SURAT PEMBACA
LAHAN PERTANIAN YANG SEMAKIN MENYEMPIT
SALUT UNTUK KETJILBERGERAK
Halo Pranala, sedikit nitip uneg-uneg...
Membaca liputan Pranala tentang komunitas ketjilbergerak menarik sekali. Sebuah komunitas yang mampu merangkul semua lapisan pemuda untuk berkembang dan bergerak bersama, tanpa menghilangkan identitas sesungguhnya dari para pemuda tersebut. Hebatnya lagi mereka bekerja tanpa sedikitpun mendapat sokongan dana baik dari pemerintah, swasta , apalagi lembaga donor. Salut untuk ketjilbergerak!
Kita ketahui bersama negara kita terkenal sebagai negara agraris. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Namun tampaknya kok identitas itu sepertinya mulai luntur. Para pemuda desa lebih memilih meninggalkan desanya untuk mendapatkan pekerjaan yang dianggap lebih bergengsi daripada sekedar menjadi seorang petani. Mereka enggan mengolah lahan pertanian. Dan pada akhirnya lahan tersebut direlokasi dan dialihfungsikan menjadi bangunan perumahan ataupun pusat perbelanjaan. Tentu hal ini sangat merugikan bagi masyarakat secara luas. Lahan pertanian menjadi semakin sempit dan produksi pangan akan semakin terbatas. Negara harus segera mengantisipasi fenomena ini. Desa dan petani harus lebih diutamakan.
Irvan Yudha, Kalasan
Andi, Mantrijeron, Yogyakarta
Daftar Isi 2 Editorial Kesalahan Terbesar Umat Manusia; Mencoba untuk Menjadi Tuhan 4 Laporan Utama Kisah Orang-Orang Tanpa Negara 15 Laporan Utama Anti Syiah Menguat di Jogja 20 Laporan Utama Negara Belum Memihak Pengungsi 25 Wawancara Abdullah Muhaimin Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Ummahat, Kotagede, Yogyakarta yang Merusak Islam adalah Mereka yang Anarkis
30 Resensi Hak Asasi Manusia yang Tumbuh Berkembang 32 Perspektif Relasi Kuasa Dalam Keberagaman di Yogyakarta (Melihat Resistensi Mahasiswa NTT Pasca Peristiwa Cebongan) 35 Ranah Mendialogkan Perbedaan: Sebuah Upaya Membangun Gerakan Nir-Kekerasan
P RANALA EDISI 6, November- Desember 20 15
1
EDITORIAL
KESALAHAN TERBESAR UMAT MANUSIA;
MENCOBA UNTUK Pemimpin Redaksi Puguh Windrawan
MENJADI
TUHAN
Sekali lagi kita dibuat terhenyak. Peristiwa miris kembali menggoncang negeri ini. Belum lama ini jalan Thamrin, pusat kota Jakarta, sekelompok orang beraksi bak pahlawan kesiangan di film-film action garapan Hollywood. Mengokang senjata, bahkan dengan sombong menenteng senjata itu dan menembaki orang tak bersalah. Korban luka tak hanya karena letupan senjata, tetapi juga karena adanya bom yang meledak. Ini tidak sesederhana yang kita pikirkan. Persoalan belum selesai hanya gara-gara polisi berhasil menguasai keadaan dan mengembalikan situasi seperti semula. Kita acungi jempol untuk kerja keras polisi dalam hal ini. Itu sebuah hal yang tak bisa terbantahkan.
2
P R AN AL A EDI S I 6 , N ov em b e r -De se m b e R 201 5
Tapi tidak sesederhana itu. Ada pola pikir yang salah dalam diri kita. Peristiwa kekerasan yang terjadi adalah acuan sahih bahwa orang dengan mudah menyalahkan, bahkan membunuh orang lain. Apapun alasannya; membunuh adalah tindakan tercela. Apalagi jika motifnya adalah perbedaan. Bahkan jika itu ada pada masalah ideologi. Jika kemudian berbeda satu sama lain, berbeda pandangan, perbedaaan struktural kaya-miskin; tetap tak bisa menjadi landasan untuk membunuh. Satu pertanyaannya; apakah dengan membunuh, dalam skala kecil; mengusir orang lain yang berbeda keyakinan, lantas membuat kita masuk surga? Lantas kita mendapatkan pahala dari Tuhan? Nyaris semua agama menjadikan Tuhan sebagai zat yang Maha Adil, Maha Kaya, dan Maha segalanya. Kedudukannya tak bisa diidiomkan dengan manusia yang tercela dan penuh kesalahan. Kosakata “Maha” itu menimbulkan
Pranala
perspektif bahwa Tuhan adalah zat yang ada diatas manusia. Dia hanya akan bisa diraih dengan ketaqwaan, dengan keparahan total dan keikhlasan yang tinggi. Bukan mengusir, apalagi membunuh. Sementara Tuhan menciptakan manusia dengan penuh perbedaan; bahasa, budaya, etnis, bahkan agama, kita sebagai manusia malah berusaha membuat perbedaan itu menjadi sama dan sejalan. Siapa yang tidak sesuai dengan pandangan kita; dianggap musuh. Dianggap layak untuk dibenci dan dicaci. Sadar atau tidak, kita yang berusaha untuk menyamaratakan keyakinan adalah mencoba menandingi kekuasaan Tuhan. Setiap individu mempunyai basis keyakinan sesuai dengan lingkungan yang didiaminya. Lingkungan dan faktor sosialisasi yang terjadi bakal membentuk pola pikir, membentuk pola kerja, dan sikap serta sifat. Sementara Tuhan menjadikan manusia hidup di negara dan bangsa yang berbeda, yang secara
otomatis akan membuat manusia yang satu dengan yang lain akan berbeda pandangan; baik dalam soal ideologi dan keyakinan. Jujur harus diakui; ketika kita hidup di lingkungan Islam, maka secara otomatais kebanyakan akan memilih Islam sebagai agamanya. Pun demikian dengan Kristen misalnya. Tak beda halnya dengan Hindu, Budha, Katholik, dan Kong Hu Cu. Itu lajur keyakinan yang selama ini terpakai dalam kehidupan kita. Maka mengakui perbedaan keyakinan dan ideologi adalah salah satu jalan menuju kemanusiaan. Ia menjadi salah satu jalan agar manusia bisa menghormati aama dan keyakinan lain, tanpa saling menyalahkan dan menafikan. Kita tidak punya kemampuan sedikitpun untuk menjadi Tuhan dengan menjadikan perbedaan sebagai sebuah kesalahan. Biarkanlah hak Tuhan tetap pada tempatnya. Kita sebagai manusia tak kuasa untuk turut mencampurinya.
Diterbitkan Oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta Penaggung Jawab: Eko Riyadi | Pemimpin Redaksi: Puguh Windrawan | Reporter: Kamil Alfi Arifin, Kelik Sugiarto, Prayudha Maghriby | Kontributor: Agustinus Fahik, Arifuddin Kunu, Sigit Budhi Setiawan | Fotografer: Gibbran Prathisara | Layout: Arief Mizuary Alamat Redaksi/Tata Usaha: Jeruk Legi RT. 13 RW. 35 Gang Bakung No.517 A, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta 55198 | Telpon: 0274-452032 | Fax: 0274-452158 | Website: www.pusham. uii.ac.id Email:
[email protected]
P RANALA EDISI 6, November- Desember 20 15
3
LAPORAN UTAMA
Kisah Orang-Orang Tanpa Negara Oleh: Prayudha Maghriby Foto Oleh: Prayudha Maghriby
Mengungsi, meninggalkan tanah air; bukan tanpa sebab. Jarak ribuan kilometer mesti ditempuh demi nyawa tetap di kandung badan. Namun, seringkali, mengungsi hanya berbuah penolakan demi penolakan.
4
P R AN AL A EDI S I 6 , N ov e m b e r -De se m b e R 201 5
SURAT PEMBACA
T
Tanggal 20 Oktober 2015. Suban Zuhri tengah mengadakan pembekalan praktikum di Balai Pemuda Ambarbinangun, Desa Tirtonirmolo, Bantul. Materinya terkait jurnalistik. Pelatihan terdiri dari berbagai pokok bahasan. Jam 20.00 WIB diperuntukkan bagi materi teknik wawancara. Zuhri mengatur perserta agar siap mendapatkan materi dari salah seorang wartawan freelance. Di tengah pelatihan, sang pemateri memberi contoh pengalamannya ketika mewawancarai seorang tokoh Syiah di Wonosobo. Kata pemateri itu, Wonosobo adalah kabupaten yang mendapat penghargaan atas kemampuannya menjaga keberagaman di sana. Jika Syiah, Ahmadiyah, aliran kepercayaan dimusuhi di daerah lain, Wonosobo justru bisa mengayominya. “Apakah Syiah sesat? Apa Syiah sesat?” tanya sang pemateri. Menjelang akhir pelatihan, Zuhri mendengar suara gumam banyak orang di luar ruangan. Suara itu sekilas mirip orang tahlilan. Namun demikian, Zuhri tak begitu
mempedulikannya. Fokusnya masih pada materi pelatihan. Jam 21.30 WIB, materi sesi itu selesai. Zuhri bersama peserta lainnya meninggalkan ruangan. Tampak olehnya empat orang pria tengah bercakap-cakap. Mereka berhadap-hadapan dengan gestur tangan yang nampak aktif. Dua orang di antaranya memakai celana pun baju coklat. Sementara itu, dua orang lainnya mengenakan setelah baju putih-putih. Di kepalanya menempel pecis hitam -khas Timur Tengah- melingkar. Sementara peserta wanita memasuki bangsal penginapan untuk tidur, Zuhri bersama sejumlah peserta laki-laki tetap terjaga. Salah satu teman Zuhri, Tri Wahyu mengambil gitar. Mereka berniat untuk kongkow dan memain lagu sejenak untuk melepas kepenatan. Wahyu sudah mulai menyetam gitar. “Asyiknya lagu apa ini, mblo (jomblo),” tanya Wahyu. Belum sempat memulai lagu satupun, Zuhri, Papau dan rekanrekan tiba-tiba hening seketika. Orang-orang semakin banyak masuk areal wisma. Gerbang sampai
dibuka. Mereka kemudian berkumpul di depan bangsal utama. Kedua pria berseragam coklat yang rupanya adalah polisi menjadi pusat kerumunan. Satu persatu dengan tak teratur pria-pria dari kumpulan itu mengajukan pertanyaan pada kedua polisi itu. Zuhri dan kawan-kawan ikut menjadi bagian dari kerumunan tanpa ada sepatah katapun yang terucap. “Kami menuntut sikap yang tegas dari aparat,” ujar salah satu pria berpecis. “Sebentar. Sedang kami kordinasikan,” jawab salah seorang polisi. “Jangan berlaku tegas pada kami saja. Kalau kami pasti langsung ditindak.” “Sabar” “Mereka itu yang kelak akan menyembelih anak-anak kita. Takbir! Allahuakbar!” Suasana semakin riuh. Takbir disahut oleh semua yang ada di tempat. Zuhri juga terpancing untuk memekikan takbir. Tangan mereka mengepal dan dijulurkan ke atas. Sementara itu, dua polisi yang ada menunjukan gerak tubuh yang lebih cepat. Mereka menaikan
P RANALA EDISI 6, November- DesembeR 20 15
5
LAPORAN UTAMA
Mediasi antara massa yang mengaku warga sekitar dengan petugas dengan petugas kepolisian. Massa menuntut para pengungsi segera dievakuasi.
pula volume suara agar pria-pria di di depan mereka mendengar. Salah seorang dari perkumpulan menjelaskan jika keberadaan 30 orang di wisma Balai Pemuda Ambarbinangun adalah massalah. Ia menuturkan jika salah satu penghuni, seorang pengungsi Rohingnya dari Vietnam suatu hari pernah menemuinya di masjid kampung. Pengungsi Rohingya itu membeberkan soal praktik keagamaan pengungsi lainnya yang tidak standar. Mereka adalah penganut Syiah. Mereka adalah pengungsi dari Afghanistan. **** Pukul 23.00 suasana semakin riuh. Semakin banyak saja massa yang datang. Motor-motor berjejal parkir di depan gerbang. Kumpulan yang mengitari dua polisi itu semakin luas. Salah seorang dari kumpulan 6
P R AN AL A EDI S I 6 , N ov e m b e r -De se m b e R 201 5
Massa semakin banyak dan berkerumun di depan Wisma Pemuda Ambarbinangun.
maju dan berdiri di samping dua polisi. Ia mengenakan jaket parasut merah dan celana blue jeans. Pria setengah baya itu mencoba menjadi mediator antara kumpulan dengan kedua polisi tersebut. Salah seorang polisi menawarkan jika esok hari akan diadakan audiensi. Alasannya, hari sudah malam. Pihak-pihak yang terkait tidak begitu saja bisa dikumpulkan
dengan mudah. Pria berjaket merah, sang mediator, menawarkan pada kerumunan massa. Massa kemudian menanggapi dengan topik lain. Massa membawa topik pembicaraan soal bahaya ajaran Syiah dalam pengetahuan mereka. Polisi tetap pada tawaran audiensi esok hari. Massa ingin agar para pengungsi itu dikembalikan ke negaranya. Sang mediator kemudian
SURAT PEMBACA
Para pengungsi tengah dimintai keterangan perihal identitas dan kelengkapan dokumennya.
mengambil jalan tengah. “Audiensi boleh tapi harus ada jaminan mereka (pengungsi-red) dideportasi,” ujarnya dengan nada keras. “Takbir”. Segenap massa yang ada menyahutnya kompak, “Allahuakbar!”. Suasana semakin riuh. Semakin malam, massa semakin banyak datang. Sebagian besarnya mengenakan baju warna putih. Kesepakatan yang mengambang cepat bergulir dan berubah. Massa yang baru datang mulai menyisir bangsal demi bangsal. Zuhri dan rekan-rekan tak luput dari sasaran interogasi. Ia ditanyai soal identitas dan keperluannya. Zuhri segera menjelaskan jika ia dan rekan-rekannya mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang tengah mengadakan pelatihan. Salah seorang massa kemudian meminta Zuhri menulisi bangsal
tempat menginapnya dengan identitas kampusnya. Merasa situasi semakin memanas, Zuhri meminta rekannya, Iqwan Sanjani, untuk mengambil banner di ruangan untuk dipasang di depan bangsal. Iqwan langsung bergegas sembari mengingatkan peserta wanita di bangsal agar tak keluar ruangan. Ada total 41 mahasiswa dan mahasiswi yang ikut dalam pelatihan selama dua hari semalam itu. Beberapa anggota dari massa itu mengingatkan Zuhri dan mahasiswa UAD untuk hati-hati. “Takutnya salah sasaran,” katanya. Selain itu, mereka menanyai para mahasiswa soal Syiah. Mereka menjelaskan bahwa Syiah tengah dalam usaha menguasai Indonesia. Para pengungsi Afghanistan tersebut, kata mereka, adalah siasat Iran untuk menyebarkan paham Syiah di
Indonesia. Zuhri dan rekan-rekan hanya terdiam. Namun kemudian, salah seorang mahasiswa, Rohmat Khoirudin, menjawab, “Kami sudah dapat kuliah soal apa itu Syiah semester awal lalu mas.” Zuhri dan kawan-kawan kini kini terhitung mahasiswa tingkat akhir. Zuhri sendiri sejatinya tak menyangka jika malam itu akan terjadi situasi yang demikian. Di siang hari ia memang sempat bertemu dengan para pengungsi Afghanistan tersebut. Ia dan rekan-rekan tak sempat berbincang. Saat berpapasan, mereka hanya mengucap salam assallamuallaikum. Zuhri pun menjawab salam itu. Ia hanya menerka-nerka jika mereka memang berasal dari Timur Tengah. **** Masuk pukul 24.00 WIB, situasi semakin tak terkendali. “Buka saja. P RANALA EDISI 6, November- Desember 20 15
7
LAPORAN UTAMA Usir mereka!” teriak salah seorang dari massa yang semakin membludak. Hingga pada akhirnya salah seorang meminta Zuhri untuk masuk ke dalam bangsal tempat para pengungsi itu menginap. Total ada dua bangsal yang menjadi tempat tinggal sementara para pengungsi. Salah satu bangsal bersebelahan langsung dengan tempat menginap mahasiswa peserta pelatihan. Zuhri, Iqwan, Rohmat, Wahyu dan dua orang mahasiswa akhirnya memberanikan diri membuka pintu bangsal yang memang tak terkunci. Bangsal itu berisikan ranjang-ranjang tingkat. Di masing-masing ranjang, tempat pengungsi tidur, terdapat tas-tas besar. Zuhri mendapati para pengungsi itu tengah mencoba tidur. Beberapa diantara mereka terbangung. Seorang pengungsi dengan pasta dan sikat gigi di tangan tampak dengan kaget keluar dari kamar mandi bangsal. Ada di antara mereka tengah asyik mendengarkan lagu dari earphone yang tertancap di smartphone. Zuhri mengaku mendengar lagu rock metal kesukaannya tengah didengar pula oleh salah seorang pengungsi; Warmest in The Soul dari Avenged Sevenfold. Rekan Zuhri, Iqwan dan Rohmat mencoba membuka percakapan dengan para pengungsi. Salah seorang pengungsi dengan bahasa Inggris cukup fasih bersedia untuk berbincang. “Would you please intoduce your name?” tanya Iqwan. “Yes of course,” jawab salah seorang pengungsi itu. Nama pengungsi itu Fawad Ullah Sadeqi. Panggilannya Fawad. Usianya baru menginjak 15 tahun. Iqwan lantas meminta Fawad menunjukan tanda pengenal dan identitasnya sebagai pengungsi. 8
P R AN AL A EDI S I 6 , N ov e m b e r -De se m b e R 201 5
Fawad bergegas berbalik arah dan membuka tas ranselnya di tempat tidur. Sebuah kartu pengenal dari United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR) ia keluarkan. Nama kartu itu refugee card atau kartu pengungsi dengan nomor seri 186-14C01215. Kartu dari organisasi di bawah PBB yang mengurusi urusan pengungsi itu menunjukan dikeluarkan pada Juni 2015 dan berlaku hingga tanggal yang sama
“Yeah, may be, but we want to life in a peaceful country,” pada 2016. Tertera jelas jika Fawad berasal dari Afghanistan. Dengan kartu itu, Fawad dan kawan-kawan memiliki hak untuk dilindungi oleh semua negara yang bernaung di bawah PBB. Fawad mengaku berasal dari salah satu distrik di Afghanistan. Ia mengungsi karena kondisi Afghanistan yang masih terus bergolak. Harapan Fawad dan kawan-kawan mengungsi adalah agar bisa mendapat kehidupan yang aman. Seluruh pengungsi adalah laki-laki. Mereka rata-rata kelahiran tahun 1998 hingga 2000-an. Orang tua merekalah yang mengirim mereka untuk mendapat kehidupan baru. Sebagaimana diketahui, sejak pendudukan Rusia di tahun 1970-an, Afghanistan terus
mengalami perang. Setelah berperang melawan Rusia, Afghanistan terperangkap dalam perang saudara. Kondisi lebih parah terjadi ketika pada 2001, Amerika melakukan invasi militer. Penduduk Afghanistan kemudian mengungsi ke negaranegara tetangga yang lebih aman. Salah satunya Pakistan. Namun demikian, negara di kawasan Timur Tengah tidak lagi ramah menjadi tempat pengungsian. Sejak itu, gelombang manusia Afghanistan mencari suaka terus terjadi. Mereka melakukan pelayaran ke negaranegara pemberi suaka. Salah satunya adalah Australia. Fawad berkisah jika ia bersama pengungsi lainnya pertama mendarat di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dari situ mereka mulai ditangani oleh UNHCR. Sempat beberapa bulan di Kupang, mereka kemudian dipindah ke Manado, Sulawesi Utara. Setelah itu, pada September ini, mereka dipindah ke Yogyakarta. Di kota ini, mereka ditangani oleh Dinas Sosial Propinsi DIY dan International Organization for Migration (IOM), sebuah organisasi internasional yang bertugas mengurusi migrasi penduduk. Mereka akhirnya ditempatkan di Wisma Ambar Binangun yang secara pengelolaan berada di bawah Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY. Pengungsi lainnya, Ali, ikut memberikan keterangan dalam Bahasa Inggris yang agak terbata. Ia mengaku mengungsi karena ingin bisa mendapat kepastian hidup. Namun demikian, pria 15 tahun itu tidak bisa memastikan tujuan akhir dari perjalanan mereka. “We want to go to the country that can accept us,” ujarnya. Ketika ditanya apakah Australia menjadi tujuan akhir, Ali tetap tak
Para pengungsi akhirnya dikumpulakn ke dalam satu ruaangan yang sebelumnya digunakan sebagai tempat ibadah.
untuk menyebarkan ajaran syiah di Indonesia, khususnya Yogyakarta. ****
Petugas kepolisian meminta keterangan kepada pengungsi dengan didampingi staf IOM.
bisa memastikan. “Yeah, may be, but we want to life in a peacefully country,” tukasnya. Sementara Zuhri dan rekanrekannya mencoba mendapat keterangan dari para pengungsi, massa yang ada terdiam dan ikut memperhatikan perbincangan itu. Tak satu pun dari mereka ikut mengajukan pertanyaan. Rekan Zuhri, Ichawan, yang tengah berbincang dengan Fawad tiba-tiba dipanggil salah satu dari kerumunan yang ada. “Masnya ini tidak tahu orang Syiah. Mereka itu luar biasa pintar mas,” ujarnya. Ichawan tak begitu mempedulikannya. Ia kemudian melanjutkan perbincangan dengan Fawad.
Iqwan mencoba menjelaskan kenapa massa datang menghampiri para pengungsi. “They were not comfortable with your religius ritual,” ujar Iqwan. Fawad mengaku tidak tahu-menahu soal itu. “Im so sorry. We don’t know the culture here,” ucapnya. Salah satu yang memicu p engusiran itu adalah praktik reliji yang dipraktikan oleh para pengungsi. Para pengungsi malam itu mengadakan semacam do’a bersama. Ini karena kala itu menjelang 10 Asyura dalam penanggalan Hijriyah. Asyura merupakan bulan penting dalam tradisi Syiah. Massa melihat ritual itu sebagai hal yang mengancam. Mereka memandang praktik itu adalah salah satu cara
Sekitar pukul 24.30 WIB, setelah membuka perbincangan dengan para pengungsi, massa rupanya tidak mendapat hal yang mereka inginkan. “Keluarkan! Kumpulkan mereka jadi satu,” teriak salah satu dari massa yang ada. Keinginan mengumpulkan pengungsi adalah agar mereka tidak melarikan diri. Zuhri dan rekan-rekannya kemudian diminta untuk menghitung jumlah pengungsi dari dua bangsal yang ada. “Totalnya ada 29,” kata Zuhri. Jumlah itu rupanya berbeda dengan data dari pihak pengelola. Terdapat total 30 pengungsi menurut pengelola. Artinya, ada satu pengungsi yang belum terhitung. Beberapa orang lantas mencoba mencarinya di belakang bangsal. Bagian bangsal dipenuhi ilalang. Ada pagar setinggi dua meter yang mengelilingi Wisma Balai Pemuda Ambarbinangun. Wisma ini sejatinya dulu adalah tempat pemandian para pembesar kraton kerajaan Mataram. Fungsinya hampir sama dengan Taman Sari. Karena tidak lagi berfungsi, wisma itu diserah kelolakan pada Disdikpora dan merubahnya menjadi tempat pelatihan. Pencarian itu membuahkan hasil. Seorang pengungsi bisa ditemukan dari bagian belakang bangsal. Ia mengenakan celana blue jeans, kaus hitam, dan berkalung. Pria yang rambutnya sedikit dicat merah itu tengah memegang smartphone dengan earphone yang terkait di pundak. Ia lantas disatukan dengan rekan-rekannya. Para pengungsi kemudian di P RANALA EDISI 6, November- DesembeR 20 15
9
LAPORAN UTAMA massa dan sejumlah petugas kepolisisan Polres Bantul membawa pengungsi menuju truk.
bawa ke salah satu paviliun besar. Seseorang memeriksa satu per satu pengungsi dari ujung kepala hingga ujung kaki untuk memastikan mereka tidak membawa senjata tajam. Dua orang polisi yang ada sedari awal kejadian berdiri di sampingnya. Selain polisi itu, rupanya ada beberapa aparat berseragam hitam. Dari seragamnya menunjukan mereka dari kesatuan Brimob. Paviliun tempat dikumpulkannya para pengungsi adalah bekas kolam renang yang ditutup dengan tembok triplek. Saat menuruni tangga, ada beberapa anggota dengan senapan panjang di tangan mengiringnya. Massa tampak mengelilingi cekungan pavilun itu. Beberapa dari mereka meneriakan takbir dan sejumlah tuntutan. “Hukum mereka Pak Polisi. Halal! Saya menjamin dunia akhirat,” teriak seseorang sembari sedikit melompat. “Allahuakbar!” sahut massa lainnya. Di pintu masuk paviliun, terdapat sejumlah orang. Salah satunya menggunakan penutup kepala yang menutup kepala dan wajahnya. “Fuck you,” kata pria itu. Kata itu lontarkan sembari membuka 10
P R AN AL A EDI S I 6 , N ove m b e r -De se m b e R 201 5
Petugas kepolisian bersenjata lengkap mendampingi para pengungsi di truk pengangkut.
penutup mulut. Ia meludahi salah seorang pengungsi. Pengungsi itu hanya sempat menutup mata sebagai reflek. Satu-persatu pengungsi masuk ke paviliun utama. Mereka diminta berkumpul di pojok barat ruangan. Mereka duduk berjejer di lantai. Beberapa polisi dengan senjata laras panjang melakukan semacam pemeriksaan. Beberapa massa juga berada dalam ruangan. Seseorang diantaranya tampak terus memandangi tiap wajah pengungsi. Para pengungsi hanya terdiam dengan ekspresi datar. Ruangan tempat dikumpulkannya para pengungsi itu cukup luas. Dindingnya dicat putih. Terdapat masing-masing dua pendingin udara di sisi timur dan baratnya. Uniknya, di dindingnya tertempel kain hitam melingkar. Kain hitam itu dipenuhi oleh kaligrafi dengan aksara Arab. Tiap beberapa meter kaligrafi diselingi tulisan “Alihuakbar”. Dalam bahasa Indonesia, arti tulisan itu adalah “Ali maha besar”. Tidak terdapat kaligrafi Allah dan Muhammad di ruangan tersebut. Selain itu, terdapat juga sebuah mimbar di sisi selatannya. Sebuah
spanduk berukuran 2x1 bertuliskan sebuah kaligrafi besar terpasang di dinding belakang mimbar. Di saat suasana semakin riuh, Zuhri dan rekan-rekan memilih untuk kembali menuju bangsal penginapan. Ketika melewati bangsal tempat para mahasiswi istirahat, ia meminta untuk tetap tenang dan tidak keluar ruangan. Zuhri dan mahasiswa lainnya kemudian duduk-duduk di teras bangsal tempat mereka menginap. Tak lama berselang, sekitar pukul 00.00 WIB, Zuhri melihat para pengungsi berbaris meninggalkan paviliun. Polisi bersenjata lengkap dan massa mengiringi mereka. Pekikan dan teriakan masih terus menggaung. Setelah keluar dari gerbang Wisma Balai Pemuda Ambarbinangun, satu-persatu pengungsi dinaikan ke sebuah truk polisi. Puluhan polisi menjaganya. Semua dari mereka memegang senjata laras panjang. Sementara itu, massa terus mengawasi. Setelah itu, truk pun segera melaju. Dua mobil polisi mengawalnya dari belakang. Satu berjenis mobil berkabin ganda dan satunya berjenis sedan Mutshubishi Lancer. Kedunya
Tampak para pengungsi bersiap untuk dibawa ke Mapolres Bantul.
bertuliskan Mapolres Bantul. Sirine mobil polisi mengaung dan para pengungsi pun dibawa menuju Mapolres Bantul. **** Esok harinya, tanggal 21 Oktober 2015, pelatihan masih berlanjut bagi Zuhri dan rekan-rekannya. Tak seperti hari sebelumnya, para mahasiswa UAD itu kini menjadi satu-satunya pengguna Wisma Balai Pemuda Ambarbinangun. Para pengungsi Afghanistan, 30 remaja itu, kini telah dipindah. Di sekretariat, dua pemuda tengah mengemasi ransel-ransel besar. Keduanya adalah petugas yang diserahi tanggungjawab oleh Disdikpora DIY untuk mengurus wisma. Salah satunya bernama Nugroho. Katanya, ransel-ransel besar itu berisi barang-barang para pengungsi. Barang-barang itu akan dibawa menuju tempat para pengungsi berada. Ia mengaku tidak tahu menahu di mana tempat itu. “Kami cuma kuli. Yang paham ini Dinsos dan IOM,” ujarnya. Nugroho berkisah jika para pengungsi itu baru tinggal selama kurang lebih tiga mingguan. Selama
itu tidak ada massalah atau hal aneh apapun. Ketika sore hari, mereka kerap bermain futsal di lapangan depan wisma. Kemampuan menggocek bola mereka juga cukup lumayan. Tubuh mereka memang bongsor. Tapi, menurut Nugroho, mereka tetaplah remaja sebagaimana umumnya. Dalam ingatan Nugroho, tidak pernah sekalipun pemuda-pemuda Afghanistan itu terlibat masalah dengan warga. Mereka hampir tidak pernah keluar dari wisma. Pernah sesekali memang IOM mengajak mereka liburan ke pantai. Mereka dijemput sebuah bus pariwisata seukuran bus transjogja. Kewenangan Nugroho dan pengelola wisma terbatas pada perawatan wisma secara fisik. Mereka harus memastikan wisma dalam kondisi baik dan bersih. Selebihnya, menjadi urusan pihak penyewa. Secara kelembagaan, wisma dikelola oleh Disdikpora DIY. Terkait pengungsi Afhganistan, menurut Nugroho, Dinsos DIY meminta izin kepada Disdikpora untuk menyewa Wisma Balai Pemuda Ambarbinangun sebagai penampungan sementara.
Kerjasama antara Dinsos dan Disdikpora buka hal baru. Sebelumnya, ada rencana menggunakan wisma sebagai penampungan tuna wisma dan anak jalanan. “Dulu mau ada gepeng tapi tidak jadi,” ujar Nugroho. Rencana itu ditolak oleh warga sekitar. Samirin, 61 tahun, Ketua RT di mana Wisma Ambarbinangun berdiri, justru baru mengetahui peristiwa pengusiran pengungsi itu setelah tiga hari berikutnya. Ia pada malam Sabtu setelah kejadian memantau Siskamling di pos ronda. Pos itu persis di samping wisma. Warga di pos ronda tengah memperbincangkan peristiwa pengusiran itu. “Ah iya po? Aku malah ra reti (aku malah tidak tahu-red),” ucap Samirin menanggapi obrolan warga saat itu. Bahkan, ia juga mengaku tidak tahu-menahu bahwa wisma digunakan sebagai penampungan pengungsi. Samirin cukup menyesalkan soal tidak adanya pemberitahuan dari pihak terkait soal itu. Tidak ada surat pemberitahuan atau apapun dari Dinsos maupun pengelola wisma. Kegiatan sekecil apapun biasanya ada pemberitahuan. Ia cukup bingung kenapa untuk hal sebesar itu warga tidak dilibatkan. Karena warga tidak tahu, ia memastikan jika tidak satupun warganya terlibat dalam pengusiran. Ini berbeda dengan pengakuan perwakilan massa saat malam kejadian yang mengatasnamakan warga Ambarbinangun. Harian Radar Jogja, pada 23 Oktober semisal mengupas peristiwa tersebut dengan judul “Imigran Afghanistan Diusir Massa, Diduga Sebarkan Paham Syiah di Balai Pemuda”. Berita bernada sama juga dimuat oleh Kedaulatan Rakyat pada tanggal P RANALA EDISI 6, November- DesembeR 20 15
11
LAPORAN UTAMA tersebut dengan judul “Ditolak Warga, 31 Imigran Dipindahkan ke Tegalrejo”. Kedua surat kabar tersebut menyebutkan jika warga Ambarbinangun yang berinisiatif melakukan pengusiran. Salah satu elemen yang menurunkan massa pada kejadian itu adalah Forum Umat Islam (FUI DIY). Koordinator FUI DIY, Muhammad Fuad, tidak memberikan respon ketika dihubungi Pusham UII. Namun demikian, ia memberikan keterangan terkait pengusiran pengungsi Afghanistan pada Radar Jogja edisi 23 Oktober. Alasan pengusiran, menurut Fuad, adalah karena pelaksanaan upacara dalam keyakinan Syiah yang dipraktikan oleh para pengungsi. Fuad juga mengatakan jika Indonesia mayoritasnya adalah Sunni dan Syiah dilarang keberadaannya. Soal penolakan penggunaan wisma sebagai penampungan tuna wisma, akhir 2014 silam, menurut Samirin, berbeda jenisnya. Saat itu dari Dinsos memang meminta izin pada warga sekitar. Dengan alasan keamanan dan kenyamanan, warga bersepakat menolaknya. “Kami bahkan melakukan demo. Kalau penjagaannya tidak baik, warga bisa dirugikan,” ujarnya. Ia beralasan penampungan serupa di Sewon, Bantul saja bisa kecolongan. Penampungan resmi itu berpagar tinggi pun dilengkapi kawat berduri tapi penghuninya seringkali meloloskan diri. **** Tertera jelas di mesin pencari Google alamat dan nomor telepon IOM DIY. Kantornya berada di Jalan HOS Cokroaminoto, nomor 109, Kota Yogyakarta. Jika benar alamat tersebut, kantor IOM seharusnya 12
P R AN AL A EDI S I 6 , N ov e m b e r -De se m b e R 201 5
berada persis di samping Hotel Agung Mas. Namun, saat ini, di alamat tersebut hanya berdiri sebuah rumah tua yang tampak rusak dan tak berpenghuni. Tak satu pun pula orang di situ yang mengenal IOM. Nuryuwono, petugas di sub bagian umum Kantor Dinas Sosial DIY, meminta surat izin penelitian jika ingin mengetahui lebih soal pengungsi Afghanistan. Ada kemungkinan Kepala Dinas sendiri yang akan memberikan keterangan. Ia juga menegaskan jika pengungsi Afghanistan menjadi tanggungjawab IOM DIY. Setelah tiga hari, kepastian dari Dinsos tak jua datang. Setelah diperiksa ulang, surat izin penelitian yang diajukan katanya salah format. Endang, petugas di sub bagian program dan informasi memberikan contoh format surat yang benar. Ia kemudian juga memberikan ancer-ancer keberadaan kantor IOM. “Samsat Bantul, masuk ke kanan, ada gapura masuk ke kiri. Nah, di situ,” terang Endang. Lokasi yang ditunjukan Endang rupanya adalah rumah penampungan bagi tuna wisma dan anak jalanan. Seorang petugas di tempat itu mengatakan jika kantor IOM sudah pindah. Namun, dia meminta untuk mengeceknya di perumahan Truk polisi mulai belakang rumah penampungan. meninggalkan Balai Pemuda Tepatnya di Padukuhan Pandes. Ambarbinangun Gang masuk Padukuhan Pandes dengan dikawal kendaraan Patroli cukup lengang. Dari sekian rumah dan sejumlah berjejer, tidak satu pun terdapat massa. papan nama IOM. Di sisi timur gang, terdapat sebuah bangunan dengan pos satpam di pintu masuknya. Tampak pula ada taman bermain bagi anak-anak dan sebuah lapangan futsal. Pradoto, satpam yang tengah berjaga mengatakan jika tempat itu adalah penampungan bagi anak jalanan. “Itu anak punk yang baru dapet kemarin. Mereka mau nonton Endank Soekamti,” ujarnya. Sebenarnya lokasi itu diperuntukan bagi para imigran. Namun, sudah beberapa tahun ini, penampungan imigran dipindah di asrama haji ring road utara. Pradoto membenarkan jika dulu IOM pernah berkantor di lokasi tersebut. Kini, menurut perkiraanya, kantor IOM pindah di perumahan Griya Perwita, jalan Parangtritis. Ia dengan cukup detail menerangkan perkiraan keberadaan kantor IOM. Informasi dari Pradoto tepat. Salah seorang dari dua satpam yang berjaga di gerbang Perumahan Griya Perwita membenarkan jika IOM berkantor di dalamnya. Satpam tersebut menuturkan jika IOM berkantor
di perumahan sudah sejak lima tahunan silam. Tepatnya di jalan Pandega. Tidak ada satupun rumah dengan dengan papan nama IOM. Hanya ada satu rumah dengan seorang satpam. Setelah ditanya, pria berbadan tegap itu mengiyakan jika rumah itu adalah kantor IOM. “Dari mana tahu alamat kami?” tanyanya. Ia lantas masuk ke dalam kantor untuk menghubungi staf yang ada. ****
Jerman, dan sejumlah negara eropa lainnya. Asal para pencari suaka itu sebagian besar dari Timur Tengah dan Afrika Utara. Alasan mereka meninggalkan negara asal, karena gejolak politik yang berujung pada perang berkepanjangan. Ketika berada di Indonesia, Seorang staf bersedia berbincang di ruang tamu kantor. Ia seorang negara wajib melindungi HAM Ibu berusia 40 tahunan. Pada dasarnya ia tidak diperkenankan berbagi para pengungsi atau imigran. “IOM informasi terkait penangan pengungsi Afghanistan. Terlebih dengan pada dasarnya adalah membantu pengusiran tempo hari, ia merasa terancam. Untuk itu, ia meminta agar negara,” kata staf IOM. IOM memidentitasnya tidak disebutkan. “Demi edukasi terhadap masyarakat,” berikan pendampingan dari sisi ujarnya. Ia berharap keterangannya bisa membuat masyarakat memiliki kesehatan baik fisik maupun psikis. kesadaran ihwal hak asasi manusia, termasuk hak para pengungsi migran. Selain itu, IOM juga berkewajiban Di awal, ia menandaskan posisi IOM secara umum. IOM adalah organi- untuk membekali para imigran dengan keterampilan hidup. Ini agar mereka siap ketika mesti hidup di negara tujuan. Bagi imigran dengan usia dibawah 18 tahun, seperti para pengungsi Afghanistan di Ambarbinangun, mereka mendapat tunjangan hidup sebesar Rp. 800 ribu per bulan. IOM DIY sendiri adalah cabang dari IOM Indonesia yang berpusat di Jakarta. Ketika migran masuk wilayah DIY dan mereka bersetatus sebagai pengungsi, IOM akan berkordinasi dengan Dirjen Imigrasi DIY dan Dinsos DIY. Dinsos memegang tanggungjawab terkait penampungan dan rehabilitasi para pengungsi. Dinsos berkoordinasi dengan birokrasi hingga level terbawah, semisial RT. Karenanya, staf IOM sedikit menyayangkan langkah Dinsos yang tidak berkomunikasi terlebih dahulu dengan warga. Menurutnya, jika komunikasi itu ada, mungkin peristiwa 20 Oktober malam itu bisa dihindari. sasi government to government. Tak seperti NGO lain yang berada di bawah Terkait dengan pengusiran kementrian, IOM posisinya mewakili negara dalam urusan imigran. IOM pengungsi Afghanistan, staf IOM ada di semua negara dan saling berjejaring. Salah satu tugasnya adalah rupanya memiliki kesan mendalam. menjaga hak-hak para pengungsi antar negara. Ia menambahkan jika Ia rupanya ada di tempat kejadian Indonesia bukan negara tujuan pengungsi. Tujuan pengungsi adalah malam itu hanya dengan seorang negara penerima suaka seperti Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat, rekan. Ia satu-satunya perempuan P RANALA EDISI 6, November- DesembeR 20 15
13
LAPORAN UTAMA di antara kerumunan ratusan massa kala itu. “Saya merasa itu tidak adil,” ujarnya sembari sedikit meneteskan air mata. Kejadian dimulai ketika para pengungsi merayakan ritual sebagai wujud terimakasih pada Tuhan. Staf IOM bercerita jika mereka adalah anak-anak muda yang diburu di tanah airnya sendiri karena salah satunya soal keyakinan. Ribuan kilometer mereka tempuh demi untuk menyelamatkan diri. Setelah sampai di Wisma Balai Pemuda Ambarbinangun dengan selamat, mereka merayakannya dengan upacara keagamaan. Menurut staf IOM, upacara itu adalah kali keduanya. Malam sebelumnya mereka juga melaksanakannya. Pukul 19.30 WIB, ketika upacara tengah berlangsung, tiba-tiba datang massa ingin membubarkan. Staf IOM kemudian meminta para pengungsi untuk menghentikan upacara. Mereka pun mematuhinya. Mereka meninggalkan paviliun utama dan kembali ke bangsal. Staf IOM kemudian menjadi juru runding. Ia ingin agar anak-anak dalam asuhannya tersebut tidak mengalami tindakan kekerasan. Tuntutan massa jika agar para pengungsi dikeluarkan juga sekuat tenaga ia tahan. Saat situasi semakin memamnas, staf IOM mulai cemas. Ia mencoba melobi polisi utntuk melindungi anak asuhnya. Ia perlahan mundur dan sangat berhatihati dalam bertindak dan bercakap. “Bagaimanapun saya perempuan. Terlebih saya non-muslim. Saya takut ada salah kata atau apa,” katanya. Namun demikian, ia
Tampak massa mengawal truk pengangkut para pengungsi.
14
P R AN AL A EDI S I 6 , N ove m b e r -De se m b e R 201 5
tetap berada di sisi pengungsi hingga mereka dinaikan truk polisi. Ia pun mengikuti truk hingga sampai Mapolres Bantul. Selama dua hari staf IOM mendampingi para pengungsi di Mapolres. “Reaksi mereka beragam. Ada yang diam dan ada yang bersikap. Mereka merasa dikhianati,” katanya. Jumlah keseluruhan pengungsi awalnya ada 31 orang. Mereka bersama-sama sejak dari awal. Namun, sejak di Wisama Ambarbinangun, salah satu pengungsi memilih langkah lain. “Ia seorang Rohingya dan Sunni,” tambah staf IOM. Belakangan diketahui pengungsi Rohingya itu keluar dan melapor soal ke-30 rekannya yang Syiah. Pengusiran tempo hari berawal dari laporan itu. Berdasarkan pengakuan para pengungsi Afghanistan, staf IOM melihat itu lebih pada persoalan pribadi yang ditarik ke persoalan keyakinan; Sunni dan Syiah. Setelah diamankan di Mapolres Bantul, para pengungsi dipindahkan ke rumah detensi lainnya. Namun demikian, staf IOM enggan menyebut keberadaan mereka. Alasannya terkait keamanan. Ia memperingatkan persoalan serupa bisa saja timbul kembali. Setidaknya ada 13 ribu pengungsi migran yang singgah di Indonesia saat ini. Mereka tengah menunggu proses untuk bisa masuk ke negara penerima suaka, khususnya Australia. Di sisi lain, Austalia saat ini memberlakukan peraturan imigasi yang ketat. Tak jarang mereka sengaja “membuang” para pengungsi di tengah laut dan Indonesia mau tak mau mesti menyelamatkannya.
LAPORAN UTAMA
Anti Syiah Menguat di Jogja
Oleh: Kamil Alfi Arifin Foto Oleh: Gibbran Prathisara
Indonesia tidak punya basis sejarah konflik sektarian yang bersifat keagamaan. Konflik Sunni-Syiah terjadi karena didorong oleh kepentingan-kepentingan politik internasional.
P RANALA EDISI 6, November- Desember 2 015
15
LAPORAN UTAMA
B
Beberapa waktu belakangan ini, propaganda kebencian dan isu anti Syiah di Indonesia, termasuk juga di Yogyakarta, mengalami penguatan dan peningkatan. Hal ini, misalnya, dapat ditunjukkan dari merebaknya spanduk-spanduk anti Syiah yang banyak ditemukan di pinggir-pinggir jalan; seperti di perempatan Ngipik, perempatan Mojo, perempatan Kasihan di wilayah Bantul, dan perempatan Wirosaban di wilayah Kota Yogyakarta. Spanduk-spanduk itu berbunyi seperti “Syiah itu Sesat”, “Syiah itu PKI” dan lain sebagainya. Selain itu, khutbah-khutbah dan 16
P R AN AL A EDI S I 6 , N ove m b e r -De se m b e R 201 5
Dr. Suhadi Cholil, Dosen Cross Religion and Culture Studies (CRCS) UGM
pengajian-pengajian di mesjidmesjid pada hari Jum’at, sejauh pengamatan redaksi majalah Pranala, juga kerap dijadikan semacam “panggung” untuk mengadili dan menghakimi Syiah. Syiah dituding bukan bagian dari Islam. Ini terjadi bukan hanya di masjid-masjid kecil di kampung, tetapi juga ditemukan di masjid-masjid kampus.
Tak heran, jika tindakan kekerasan dan intoleranasi terhadap Syiah juga mengalami peningkatan. Dalam sepanjang tahun ini saja, di Yogyakarta ditemukan beberapa peristiwa kekerasan dan intoleransi yang dilakukan terhadap kelompok Syiah. Beberapa waktu yang lalu, kantor Rausyan Fikr, lembaga kajian yang dianggap berafiliasi ke Syiah,
isu anti Syiah yang menguat di Yogyakarta ini tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang semata-mata bersifat lokal atau nasional. Melainkan terkait dengan gerakan tingkat internasional. didatangi kelompok Islam. Mereka mengancam agar kantor Rausyan Fikr ditutup karena selama ini dituding menyusupkan agenda-agenda dan nilai-nilai Syiah di Yogyakarta. Kasus terakhir, terjadi peristiwa penggrebekan terhadap puluhan pengungsi dari Timur-Tengah yang ditempatkan di Pondok Pemuda, di Ambarbinangun, Bantul.
Penggrebekan dilakukan oleh Divisi Kelaskaran Front Jihadi Islam (FJI), karena alasan kecurigaan mereka sendiri yang sebenarnya belum terbukti, yaitu puluhan pengungsi tersebut sedang melakukan kegiatan asyura, salah bentuk ritual keagamaan dalam tradisi Syiah. Pengungsi yang dikabarkan berasal dari Afghanistan tersebut, kemudian diamankan oleh kepolisian setempat dan direlokasi ke Jawa Tengah. Beberapa peristiwa kekerasan terhadap kelompok Syiah tersebut, menjadi bukti yang terang bahwa propaganda kebencian dan isu anti Syiah di Yogyakarta bukan hanya mengalami penguatan, tetapi juga seperti tak terkendali dan diikuti oleh tindakan kekerasan fisik, bukan semata kekerasan simbolik. Banyak pihak yang bertanya, mengapa sikap anti Syiah ini semakin menguat dan massif? Dosen Cross Religion and Culture Studies (CRCS) UGM, Dr. Suhadi Cholil, menjelaskan bahwa meningkatkannya kebencian terhadap Syiah ini tidak bisa dilepaskan dari faktor politik internasional, terutama di Timur- Tengah. “Saya kira ada faktor politik internasional yang juga ikut berkontribusi. Saya kira itu cukup kuat. Beberapa kekerasan dan perang di beberapa negara di Timur-Tengah, saya kira, memiliki efek yang sangat kuat terhadap intensifikasi isu anti Syiah,” ujar Suhadi, saat ditemui redaksi majalah Pranala di kantornya, di gedung Lengkung Pascasarjana, UGM. Menurutnya, dari segi pola inter-relasi antar agama dan kelompok keagamaan, sebenarnya Indonesia relatif damai bila dibandingkan dengan negara-negara
di Timur-Tengah. Masyarakat kita, kata dia, memiliki tradisi hidup koeksistensi dengan kelompok keagamaan yang berbeda. Namun, ini kemudian menjadi masalah yang cukup serius karena direcoki kepentingan-kepentingan politik internasional. Penguatan isu anti Syiah di Indonesia, termasuk di Yogyakarta, dalam pengamatan Suhadi, sebenarnya merupakan sesuatu yang relatif baru dan barangkali asing dalam masyarakat Indonesia. “Saya tidak terlalu tahu secara persis. Tapi setelah peristiwa yang banyak mengancam orang-orang Ahmadiyah, saya kira, tidak lama sejak itu, berlangsung isu anti Syiah. Saya kira tidak lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Mungkin sekitar lima tahun yang lalu,” ujar doktor lulusan Belanda tersebut. Dalam penilaian Suhadi, isu anti Syiah yang menguat di Yogyakarta ini tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang semata-mata bersifat lokal atau nasional. Melainkan terkait dengan gerakan tingkat internasional. Saat ditanya apakah dana wahabisme-Saudi yang banyak digelontorkan pada agensiagensinya yang turut bermain di Indonesia juga menjadi faktor lain yang menentukan semakin meningkatnya isu anti Syiah ini, Suhadi tak menampiknya. Terutama kalau dilihat dari teori konspirasi. “Menurut saya iya. Saya kira, gerakan seperti ini enggak mungkin tanpa dukungan dana yang besar. Kita tahu gerakan sosial keagamaan itu butuh dana yang tidak sedikit,” tegasnya. Menurut Suhadi, bagi masyarakat Islam di Indonesia, intensifikasi isu anti Syiah ini tentu menjadi semacam ujian yang menggoda, P RANALA EDISI 6, November- Desember 20 15
17
LAPORAN UTAMA yang akan membuktikan apakah di Indonesia akan berlangsung satu kekerasan seperti yang terjadi di banyak tempat di dunia Islam atau tidak. Tetapi, kata Suhadi, Indonesia masih cukup beruntung memiliki dua ormas keagamaan terbesar, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang terus berupaya membangun keindonesiaan yang lebih mendalam. Upaya-upaya yang dilakukan dua ormas keagamaan terbesar tersebut, menjadi harapan akan cerahnya nasib Islam di Indonesia, bahkan masa depan Indonesia itu sendiri.
“Masuknya isu anti Syiah ini, saya kira, merupakan satu cara untuk menggoyangkan rencana dari NU dan Muhammadiyah untuk Islam Indonesia dan Indonesia maju. Isu anti Syiah ini, menurut saya, ini semacam godaan yang sangat seksi dan menggiurkan, apakah kalau orang-orang yang tidak memiliki basis pengetahuan yang cukup memadai bahwa Syiah itu bukan Islam, bahkan Syiah itu sama dengan PKI, seperti belakangan ini. Itu, kan keras sekali menurut saya,” jelas Suhadi. ***
Tidak jauh berbeda dengan penjelasan Suhadi, Zuly Qadir, seorang intelektual muda Muhammadiyah dan sekaligus dosen pascasarjana di jurusan Ilmu Politik juga menegaskan pendapat yang serupa. Ditemui redaksi majalah Pranala di kantornya, di gedung Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), ia menjelaskan panjang lebar mengapa propaganda kebencian dan isu anti Syiah semakin menguat di Indonesia, termasuk di Yogyakarta. Menurutnya, pertentangan antara Sunni dan Syiah hanya terjadi
Dr. Zuly Qadir, seorang intelektual muda Muhammadiyah dan dosen pascasarjana di jurusan Ilmu Politik
18
P R AN AL A EDI S I 6 , N ove m b e r -De se m b e R 201 5
“Ini bermula dari persoalan politik di Timur-Tengah, lalu dibawa ke Indonesia. Dugaan saya, ada pengaruh konstelasi politik internasional..."
di Timur- Tengah. Di Indonesia, kata dia, tidak ada pertentangan. Bahkan, Zuly menegaskan bahwa isu anti Syiah itu merupakan isu impor. Sebagai intelektual-akademisi, Zuly menunjukkan bahwa sudah cukup banyak buku-buku yang ditulis dan diterbitkan terkait dialog Sunni dan Syiah. Buku-buku tersebut, kata dia, menyimpulkan Sunni dan Syiah di Indonesia tidak ada masalah secara teologi. Pertentangan antara Sunni-Syiah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor politik dan ekonomi. Dia menegaskan bahwa sejak awal di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, sebagai dua ormas keagamaan terbesar di tanah air, tidak mempersoalkan Syiah di Indonesia. Muhammadiyah sepengetahuan Zuly tidak pernah mengeluarkan surat edaran dan fatwa mengenai sesatnya Syiah. Syiah masih dianggap bagian dari kelompok-kelompok keagamaan dalam Islam (firaqul Islam). Meskipun, Zuly tak bisa menutup mata bahwa di dalam tubuh kedua ormas tersebut belakangan ini terdapat sejumlah oknum yang menjadi anti Syiah. Zuly menduga, oknum tersebut sudah terinfiltrasi dengan Sunni ekstrim. Sebab, lanjut dia, yang sangat keras menentang keberadaan Syiah, terutama di Timur-Tengah, adalah Sunni yang keras. Zuly juga menyebutnya sebagai Sunni khawarij, seperti wahabisme Saudi. “Ini bermula dari persoalan politik di Timur-Tengah, lalu dibawa ke Indonesia. Dugaan saya, ada pengaruh konstelasi politik internasional. Karena bagaimanapun, di
Timur-Tengah, yang paling berani itu Syiah yang ada di Iran, terutama terhadap dominasi-dominasi yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang membantu Saudi Arabia. Menurut saya, ini persoalan Timur-Tengah, dimana Sunninya semakin merendah di bawah dominasi Amerika Serikat. Sementara, Iran dengan Syiahnya tetap dan semakin keras melawan,” tudingnya. Dalam pengamatan Zuly, peningkatan propaganda kebencian dan isu anti Syiah di Indonesia, termasuk di Yogyakarta ini adalah hal yang sama sekali baru. Sebagai mantan aktivis Islam, Zuly menceritakan bagaimana tahun-tahun sebelumnya, terutama pada tahun 1980-an, Syiah di Yogyakarta amanaman saja. Kelompok-kelompok studi berjalan dengan baik. Pada tahun-tahun itu, kata dia, banyak mahasiswa yang merasa perlu belajar dari tradisi keilmuan di Qum, Teheran karena pesona intelektual dan keilmuannya yang dinamis dan hidup. Sebab itu, penerbit Mizan kemudian mempublikasikan buku-buku yang ditulis intelektual-intelektual Syiah yang begitu terkenal di Indonesia, seperti biografi Ali Syariati yang diterjemahkan Amin Rais, Khomeini, Murtadha Mutahhari, dan lain sebagainya. “Baru pada tahun 2000-an, Mizan semakin kencang dituding sebagai agennya Syiah. Padahal, Mizan juga menerbitkan banyak buku dari banyak intelektual dari berbagai latar belakangan pemahaman keagamaan. Bukan hanya Syiah,” terang Zuly lekas-lekas mengakhiri pembicaraan sebab ada jadwal mengajar mahasiswa
P RANALA EDISI 6, November- Desember 2 0 15
19
LAPORAN UTAMA
Negara Belum Memihak Pengungsi Oleh: Kamil Alfi Arifin Foto Oleh: Gibbran Prathisara
Meski belum meratifikasi konvensi pengungsi 1951 dan Protokoler 1967, hal itu bukan alasan bagi Indonesia untuk tidak melindungi para pengungsi.
20
P R AN AL A EDI S I 6 , N ove m b e r -De se m b e R 201 5
SURAT PEMBACA
P RANALA EDISI 6, November- DesembeR 2 0 15
21
LAPORAN UTAMA
S
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Demikian nasib buruk yang dialami oleh puluhan pengungsi dari Timur-Tengah, yang ditempatkan di Pondok Pemuda, Ambarbinangun, Bantul, Yogyakarta. Setelah mengalami ancaman kekerasan dan dampak akibat perang yang tak berkesudahan di negaranya, puluhan pengungsi itu memang sengaja melakukan perjalanan panjang. Mereka melalui rute dan jalur laut ke negara-negara yang dianggap aman dengan maksud menyelamatkan diri. Selama ini, Indonesia, dikenal sebagai salah satu negara tujuan maupun transit dari para pengungsi. Namun nahasnya, puluhan pengungsi itu kembali mengalami kekerasan dan ancaman untuk kedua kalinya (double infraction) di tempat penampungan. Puluhan pengungsi yang dikabarkan berasal dari berbagai negara seperti Afghanistan dan Rohingnya tersebut, digrebek oleh sekelompok yang mentasanamakan Islam. Mereka dicurigai sedang melakukan ritual keagaaman Syiah. Puluhan pengungsi itu memang menggelar peringatan asyura di 22
P R AN AL A EDI S I 6 , N ove m b e r -De se m b e R 201 5
tempat penampungan. Divisi kelaskaran kelompok Islam garis keras di Yogyakarta tersebut khawatir puluhan pengungsi itu sengaja menyebarkan agenda-agenda dan nilai-nilai Syiah di bumi Mataram. Sehingga hal itu, kemudian dijadikan alasan pembenar oleh mereka untuk membubarkan secara paksa acara yang digelar. Menanggapi peristiwa tersebut, Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII), Eko Riyadi, sangat menyesalkan tindakan kriminal dan absennya negara dalam memberikan perlindungan. Meskipun puluhan pengungsi itu terbukti menyebarkan agenda Syiah di Yogyakarta sebagaimana dituduhkan yang dituduhkan, kata Eko, negara tak ada urusan dengan itu. Negara harus tetap melindungi. “Walaupun mereka (puluhan pengungsi -red.) menyebarkan Syiah di sini gitu ya, apakah secara hukum itu bisa dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum? Enggak. Dan, sekalipun mereka dituduh menyebarkan agenda Syiah, memang mereka yang menyebarkan agenda Wahabi tidak kita permasalahkan. Menurut saya, tidak fair juga,” kritik Eko. Menurut Eko, dalam kasus penggrebekan itu, terang benderang telah terjadi pelanggaran HAM. Sebab, menurutnya, negara gagal dalam melakukan tanggungjawabnya untuk melindungi para pengungsi. “Dalam kasus itu, memang terjadi pelanggaran HAM yang serius. Karena, salah satu di antara tiga kewajiban negara itu
adalah protect. Memberikan perlindungan,” tegas dia saat ditemui di sela-sela kesibukannya. Seperti luas dikabarkan media, polisi memang berhasil mengamankan puluhan pengungsi tersebut dari ancaman kelompok Islam tersebut. Tetapi hal itu dianggap tidak cukup, mestinya polisi mampu menghentikan tindakan itu, sebelum mereka tiba di lokasi dan melakukan penggrebekan di tempat penampungan para pengungsi. Dalam ketentuan hukum HAM internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, terutama dalam konvenan internasional hak sipil politik, ditegaskan bahwa setiap orang berhak bebas dari penyiksaan, tindakan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan. Seharusnya pemerintah memenuhi ketentuan tersebut. “Dalam konsepsi HAM itu sebenarnya memberikan perlindungan tanpa batas kewarganegaraan. Jadi siapapun, sepanjang dia manusia, dan dia berada dalam suatu wilayah yuridiksi negara yang berdaulat, maka dia berhak mendapatkan perlindungan dari negara itu. Negara tak boleh mengusir, apalagi itu ya. Negara harus melindungi siapapun,” terang Eko. Hanya saja, dalam konteks penanganan para pengungsi secara spesifik, terutama pengungsi dari luar negeri, Indonesia, kata Eko, memang belum memiliki kebijakan nasional yang komprehensif. Pola penanganan pengungsi masih bersifat sektoral, sporadis dan sangat minim perspektif HAM. Dalam konteks penanganan
masalah pengungsi, pemerintah selama ini hanya sekedar menggunakan UU No. 6 Tahun 2011 yang memandang status pengungsi semata-mata sebagai imigran ilegal (undocumented people) karena tidak memiliki dan membawa dokumen-dokumen resmi. Padahal, para pengungsi itu keluar dari negaranya
belasan hari, puluhan pengungsi tersebut tinggal di tempat ini. Terkait belum memihaknya pemerintah pada para pengungsi, juga disampaikan oleh Dr. Suhadi Cholil, dosen Center for Relegious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM. Menurutnya, Indonesia memang belum memiliki perang-
Eko Riyadi, Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (Pusham UII)
sendiri dan masuk ke negara orang karena menghindari persekusi dan kondisi konflik. Artinya, mereka berada dalam kondisi yang tidak normal. Dengan dipandang sebagai imigran ilegal, pemerintah kemudian menempatkan para pengungsi di Rumah Detensi Keimigrasian, atau biasa disebut Rudenim. Dan, kondisi Rudenim di Indonesia sangat buruk, tak ubahnya seperti penjara. Sehingga wajar jika potensial melanggar HAM. Menurut Eko, di Yogyakarta sendiri, keimigrasian belum memiliki Rudenim. Maka, puluhan pengungsi tersebut kemudian dititipkan ke Dinas Sosial dan ditempatkan sementara waktu di Pondok Pemuda. Kabarnya, sudah
kat kebijakan yang baik tentang pengungsi. Bahkan, kata dia, bukan hanya Indonesia, tetapi negara Asia pada umumnya masih buruk pola penanganannya dalam menangani para pengungsi. “Indonesia ini belum punya perspektif yang bagus tentang refugee atau pengungsi ya, bahwa itu adalah orang-orang yang harus dihargai haknya dan lain sebagainya. Indonesia masih compang-camping tentang pengungsi. Pengungsi tidak pernah ada dalam ide mereka, pemerintah itu. Ketika ada pengungsi, mereka tidak punya road map,” kritik alumnus universitas di Belanda tersebut saat ditemui di tempat dan waktu yang berbeda. Sementara UNHCR, sebagai
lembaga internasional yang berupaya menangani dan memberikan jaminan kehidupan para pengungsi juga masih cukup bermasalah. Sebab, para pengungsi yang akan mendapatkan jaminan kehidupan dari UNHCR harus terlebih dahulu mendapat semacam sertifikat dari UNHCR. “Untuk mendapatkan itu juga sulit,” terang Eko. Persoalan yang dihadapi para pengungsi di negara transit atau tujuan memang sangat sulit dan sangat beresiko. Terutama jika di negara transit atau tujuan para pengungsi belum meratifikasi konvensi 1951 dan Protokol 1967. Akan tetapi, lanjut Eko, meskipun Indonesia belum meratifikasi konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang status pengungsi tersebut, hal itu sebenaranya bukan alasan bagi pemerintah Indonesia untuk tidak melindungi para pengungsi. “Mau imigran gelap, mau mereka enggak punya kewarganeraan sekalipun, ketika mereka berada dalam di suatu negara yang berdaulat, negara itu wajib memberikan perlindungan kepada mereka. Hukum HAM internasional, begitu mengaturnya,” pungkas Eko serius. Indonesia, kata Eko, sudah cukup lama meratifikasi hukum HAM internasional. Meski demikian, Eko tetap menilai, dibandingkan dengan di negara-negara lain, Indonesia masih tergolong cukup baik dalam memperlakukan para pengungsi. Di Australia, lanjut dia, para pengungsi diusir, kadang tentaranya juga menyogok nahkoda kapal yang membawa para pengungsi agar membawa kembali ke negaranya. Bahkan, ada juga pengungsi yang ditembak.
P RANALA EDISI 6, November- DesembeR 2 0 15
23
WAWANCARA
Abdullah Muhaimin Pimpinan Pondok Pesant
Yang Me Adalah M Oleh: Kelik Sugiarto Foto Oleh: Gibbran Prathisara
24
P R AN AL A EDI S I 6 , N ove m b e r -De se m b e R 201 5
SURAT PEMBACA
tren Nurul Ummahat, Kotagede, Yogyakarta
erusak Islam Mereka yang Anarkis P RANALA EDISI 6, November- DesembeR 2 0 15
25
WAWANCARA
K
Komunitas Syiah sudah lama hidup di Indonesia, tapi mengapa dalam beberapa tahun terakhir mereka seakan-akan menjadi public enemy ? Sebenarnya ini persoalan konstelasi politik global. Islam Indonesia itu sebenarnya tidak pernah merespon pemikiran-pemikiran keagamaan secara frontal. Syiah datang biarlah mereka datang dan disini diterima. Kulturnya diadopsi tapi ideologinya ditinggalkan; yang lestari tetap kulturnya. Kultur syiah yang begitu struktural secara teologis adalah penghormatan terhadap imam, ya diterima. Tapi itu bukan ideologi kultur. Maka pada saat itu, Gus Dur pernah mengatakan NU itu, ya Syiah tanpa imamah. Karena yang diambil penghormatan kepada dzurriyatun nabi, kyai, mullah, tapi imamahnya kan tidak diikuti. Di Sumatera Barat yang wahabi sekali, masih ada tradisi syiah tabut. Di Jawa juga ada jenang suran dan para wali dahulu kan sangat piawai mengubsorsi ideologi syiah menjadi kulturnya saja.
Contoh nyatanya seperti apa? Kata-kata abi, ukhti, akhi itu kan di pesantren berjalan sebagai sebuah kultur, tapi kan tidak menjadi identitas politik seperti sekarang ini. Pemikiran-pemikiran baru maupun peninggalan-peninggalan lama itu
26
P R AN AL A EDI S I 6 , N ove m b e r -De se m b e R 201 5
oleh para wali diekstraksi menjadi kultur keislaman. Entah itu animisme, dinamisme, hinduisme. Kalau ada tahlilan, tujuh hari, empatpuluh hari, nyewu; itu memang Hindu, tapi kan kulturnya yang diambil, bukan ideologinya. Jadi ada proses rekonstruksi, tapi sekaligus ada proses dekonstruksi. Karena dakwah bil hikmah itu tidak
hanya menyangkut metodologinya. Sebagai contoh; bil hikmah itu para wali mendialogkan substansi-substansi agama dengan kultur lokal dalam masyarakat. Nah, kalau sekarang kan tidak, karena konstelasi global datang dimusuhi. Syiah datang dimusuhi dan yang memusuhi itu nggak banyak sebenarnya.
Berarti hal itu tidak menjadi masalah? Bagi saya no problem. Kita ambil saja basis keislaman yang paling kuat. Contohnya; orang itu kalau sudah mengucapkan syahadat kan sudah masuk Islam, to? Entah syahadatnya ketika nikah atau ketika sunat, tapi dia kan sudah masuk Islam? Apalagi kalau sudah shalat meski kadang shalatnya ada yang berbeda. Biasa kan beda itu. Satu kisah menarik dari salah seorang sahabat dalam sebuah peperangan. Ketika musuh yang kafir itu mau dibunuh, dia mengucapkan syahadat, tapi oleh sahabat itu dianggap sebagai bentuk mengamankan diri sendiri, maka kemudian dibunuh. Pada akhirnya menimbulkan polemik dikalangan pasukan Islam. Kemudian sampailah kepada Nabi, tapi sahabat itu berdalih bahwa syahadatnya musuh kafir itu hanya tindakan mengamankan diri. Mendengar jawaban sahabat tersebut, Nabi sangat marah hingga menegang urat-urat di wajahnya. “Apakah kamu sudah membelah dadanya, sehingga bisa menyimpulkan tindakan itu hanya untuk mencari keselamatan?” Artinya kalau sudah syahadat, ya sudah.
Menurut Anda, bagaimana perilaku yang benar? Di tempat saya ini semua bebas datang. Ada dari Ahmadiyah, bahkan beberapa waktu lalu Presiden Ahmadiyah Pakistan, Prof. Dr. Abdul Karim datang kesini. Pas waktu Ashar, dia tak suruh jadi imam. Setelah selesai shalat dia bilang, “Seumur hidup ngimami orang sunni, ya baru disini. “ Kalau sudah syahadat, ya sudah. Kitab-kitab klasik juga seperti itu kok. Orang kalau sudah syahadat; haram darahnya, haram hartanya, haram kehormatannya. Jadi hiruk pikuk soal syiah ini, ya karena skenario-skenario global yang lagi-lagi Amerika dibalik itu semua. Jadi kalau saya, ya biarin ajalah. Siapapun boleh datang. Makanya organisasi seperti NU tidak masalah dengan kehadiran komunitas syiah di tengah masyarakat. Dan sebenarnya dalam “Deklarasi Aman” juga sudah menyatakan bahwa mereka syiah menjadi bagian dari madzab islam.
Konstitusi kita sebenarnya sudah mengatur dan mengakomodasi tentang kebebasan beragama, aliran kepercayaan dan nilai-nilai luhur yang ada dalam masyarakat. Tetapi mengapa negara seringkali melakukan pembiaran ketika terjadi tindakan-tindakan anarkis yang mengatasnamakan agama?
Ada penulis dari LIPI yang menulis tentang “konstruksi hukum kita” yang menurut saya bukan sekedar konstruksi hukum, tetapi saat ini negara dalam semua perannya kan mengalami disfungsi kelembagaan. Baik dari departemen agama, apalagi kepolisian. Hari ini aspek yang paling lemah adalah kepolisian. Kita sering mendengar alasan klasik dari polisi, “Kita sudah bertindak, tapi kadang terjadi keadaan diluar kemampuan kami, kami hanya bisa berdoa.” Terus saya bilang, “Anda itu digaji negara, dilindungi undang-undang, diberi senjata itu bukan untuk berdoa. Doa itu tugas kami.” Tapi memang negara kita ini serba tidak jelas. Katanya negara hukum, tapi hari ini hukumlah yang paling lemah. Baik materi hukumnya sebagai produk politik yang nggak karu-karuan, sampai pada tingkat pelaksanaannya yang sering di intervensi kepentingan politik, uang, kepentingan subyektif kelompok.
Selama ini polisi sering terlambat mengambil tindakan yang tegas terhadap pelaku-pelaku kekerasan. Dan pada saat yang sama polisi gagal memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok minoritas sehingga tindakan-tindakan anarkis terus saja terulang. Bagaimana pendapat Anda? Saya ambil contoh kasus penyerangan kantor LKIS. Sepuluh menit setelah kejadian saya sudah ada di sana. Saya sudah berikan identitas pelaku; mulai dari nama, alamat sampai nomer handphone, tapi nyatanya tetap saja. Didiamkan tanpa ada kelanjutan kasusnya sampai sekarang. Saya kadang sampai bercanda sama orang-orang yang ngaji, “Aku ki berdoa anakku besok kalau dapat kerja jangan sampai kerja jadi pegawai di departemen agama atau jadi polisi.“ Soalnya dua-duanya nggak berfungsi sekarang ini. Kalau di tempat saya ini jangankan syiah, wong ra duwe agama yo tak tompo (orang yang tidak punya agama pun kita terima-red). Terus besok akan ada sepuluh orang suster mau menginap disini, ada juga calon pendeta dari Amerika ingin belajar di sini. Tahun kemarin ada mahasiswa China nginap disini pas puasa. Ikut belajar puasa sampai jam 10 pagi sudah nggak kuat. Terus hari kedua ikut puasa lagi sampai jam 12 siang terus dia bilang, “ I can’t do it.“ Saya bilang puasa memang nggak dapat duit. Kita ini beragama Islam menerima tamu orang yang tidak beragama, kita layani dia, tapi kenapa yang ribut kita sendiri? Ada yang P RANALA EDISI 6, November- Desember 2 0 15
27
WAWANCARA sampai bilang, “Kyaine murtad.” Jangankan manusia, kucing saja datang tak kasih makan kok, apalagi manusia? Kembali ke masalah tadi, memang ada banyak aspek. Pertama, dalam tataran praktek banyak institusi negara yang mengalami disfungsi kelembagaan. Kemudian warna pemahaman keagamaan kita sangat teologis dan doktrinal. Sama-sama Islam, kalau konsep teologisnya beda itu sesat, musuh. Dalam kajian-kajian yang saya lakukan, baik dalam forum ilmiah atau keagamaan, sering saya sampaikan pemahaman agama yang sangat teologis dan doktrinal itu hanya akan menghilangkan etika. Juga menghilangkan kemanusiaan. Maka menjadi penting bagaimana kita harus membangun wacana keagamaan itu dengan isu etika dan kemanusiaan. Karena kejayaan, kekuasaan dan kemuliaan Islam itu, ya terletak di etika, di akhlaqnya.
sebenarnya kalau kita bicara wacana keagamaan maka setiap manusia itu harus dihormati. Bahkan dalam al-qur’an itu sudah sangat jelas dan final, “walaqad karamna bani adam“ dan “pasti sungguh benar-benar saya (Allah) muliakan bani adam. “ Ayat itu paling universal, paling final. Dan HAM itu dengan satu ayat itu selesai kok sebenarnya. Dan karena paham keagamaan kita ini sangat dogmatis, maka akhirnya Islam seperti menjadi musuh peradaban kan? Islam jadi musuh gender, gender itu kafir. Padahal Nabi sangat luar biasa menghormati perempuan. Ketika wanita tidak punya nilai, harkat dan martabat Nabi dengan sangat berani mendobrak itu semua dengan memberikan posisi teologis yang sangat luar biasa. Surga itu berada di bawah telapak ibu, itu kan mendobrak kultur sosiologi dengan sangat luar biasa. Ketika ada sahabat yang bertanya, “Siapa yang harus saya hormati, ya Nabi?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Di ulang sampai tiga kali, baru kemudian, “Ayahmu.“
Bagaimana dengan UU PNPS No. 1 Tahun 1965 yang hanya mengakui 5 agama resmi. Bukankah itu juga akan menimbulkan masalah bagi kelompok-kelompok Nabi merubah perspektif minoritas agama yang mempu- masyarakat? nyai tafsir lain? Dari masyarakat yang patriarki Kalau itu saya rasa persoalannya hanya administrasi negara saja. Komunitas keagamaan kita harus diakui begitu berlebihan meminta fasilitas. Nanti di tingkat atas juga pasti bakalan ribut. Seperti Kong Hu Cu, sekarang sudah menuntut adanya Bimas. Minta fasilitas anggaran dan lain-lain. Kalau semua harus diakui besar sekali anggaran negara yang harus dikeluarkan. Sebenarnya negara sudah punya anggaran pembinaan. Dan saya rasa PNPS No. 1 itu tetap kita perlukan. Dan 28
P R AN AL A EDI S I 6 , N ov e m b e r -De se m b e R 201 5
akut dirubah total. Tapi yang terjadi sekarang Islam menjadi musuh demokrasi, musuh peradaban. Sebenarnya kita sangat butuh antusiasme religius, tapi kok bangunannya sangat formalis. Dan saya khawatir bangunan keagamaan yang seperti ini mudah dikonstruksi oleh kepentingankepentingan tertentu. Islam itu etika, Islam itu kemanusiaan dan beda itu biasa. Tapi ketika berbeda terus disikapi dengan tanpa etika?
Bahkan seorang Yahudi buta saja disuapi oleh Nabi. Kalau kita mau menggali lebih dalam lagi tidak ada yang bisa menyamai etika dalam Islam. Bukan hanya pemahaman agama yang dogmatik dan teologis, tapi juga karena faktor puritanisme. Kalau kita mengikuti perbincangan di media sosial terkait syiah ataupun ahmadiyah, pasti yang diomongkan adalah masalah kemurnian aqidah yang tidak bisa ditawar lagi. Syiah dan ahmadiyah jelas merusak Islam. Padahal yang merusak Islam, ya mereka-mereka itulah dengan perilaku-perilaku anarkis, garang tanpa ada proses dialog.
Tunggal Ika ini, kan sebenarnya upaya merangkul semua etnis yang ada. Dan hari ini etnisitas tidak bisa nyambung dengan nasionalisme. Kena asap, terus ingin memerdekakan diri. Etnisitas dengan agama juga tidak nyambung. Etnisitas bukan sekedar entitas etnisnya, tapi filosofi kulturnya. Misalnya; Jawa, kok disandingkan dengan Islam. Pasti nggak ketemu. Mereka berfikir ahistoris, karena Jawa itu merupakan konseptualisasi para wali terhadap Islam Nusantara. Nah, sekarang orang mendengar Islam Nusantara sudah beranggapan Islam Nusantara itu anak haramnya JIL. Kalau kita bisa menyelesaikan persoalan ketiga basis kebangsaan ini, sebenarnya kita sudah menyelesaikan separuh permasalahan bangsa ini.
Ada sebuah buku yang menyatakan bahwa konflik sunni-syiah adalah pertarungan soal kepemimpinan dunia Islam di tingkat internasional. Menurut Anda?
Saya sering ungkapkan bahwa Nabi itu diapresiasi oleh Al-qur’an bukan karena intelektualitas, strategi, tapi karena akhlaqnya. Sangat jelas Al-qur’an , “laqad kana lakum fi rasulillahi uswatun hasanah.” Sungguh telah ada pada diri Rasul itu suri tauladan yang baik. Dalam dalam sebuah hadist, “Tidak ada lain bahwa saya diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”. Nilai-nilai yang ada dalam diri Rasulullah itu sekarang hilang. Dan di Indonesia ini kalau kita bicara tentang basis-basis kebangsaan memang mengalami kerapuhan yang sangat luar biasa. Realisasi dari nilai-nilai dalam Pancasila nggak karu-karuan.
Apakah kita bermasalah deSebetulnya Indonesia mempunyai kemampuan mengupsorsi ngan nasionalisme? Saya pernah diskusi dengan Menkopolhukam pada waktu itu, Djoko Suyanto; tentang rapuhnya basis kebangsaan. Mulai dari etnisitas, religiusitas, dan nasionalisme. Ketiga elemen basis kebangsaan ini tidak bisa cair dan menyatu. Yang terjadi kalau sudah religius, maka tidak bisa menyatu dengan nasionalisme. Menghormat bendera saja musyrik, Pancasila thogut, kebinekaan itu kafir, gender itu sekuler. Kalau nasionalis faktanya juga tidak religius. Etnisitas kita juga mengalami masalah. Bhineka
pandangan ulama-ulama dunia itu. Sekarang tidak, karena cara pandangnya bermasalah. Dulu, karena para wali itu wawasan budayanya tinggi, mereka paham agama itu kan non territory. Nah, kita masih terjebak disitu. Kita masih terjebak; Arab itu, ya Islam. Padahal Islam itu nilai, dan nilai itu sangat universal. Tidak terikat oleh tempat, tidak terikat oleh etnisitas, tidak terikat oleh politik. Asal dia mampu mewujudkan nilai-nilai itu, ya itulah Islam. Baik moral ataupun aqidah.
P RANALA EDISI 6, November- Desember 2 0 15
29
RESENSI
Hak Asasi Manusia yang Tumbuh Berkembang Oleh: Sigit Budhi Setiawan, penyunting di www.kalatida.com
Judul Buku Penulis Penerbit Cetakan Tebal ISBN
: Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah : Antonio Cassesse : Yayasan Obor Indonesia : 1, 1993 : xxviii + 335 halaman : 979-461-4
B Jalan HAM tidak selalu mulus dan lancar, bahkan seringkali dihadapkan tembok besar bernama irasionalitas dan penginjakan hak-hak manusia. Kekuatan-kekuatan besar kekusaan rejim otoriter, kesewenangan pemerintahan, kelompok terorisme, nilai-nilai yang berlindung di dalam agama dan adat, nilai-nilai yang mengatasnamakan nasionalisme, keamanan dan sebagainya; yang akhirnya menjadi alasan pelanggaran HAM dan bahkan pembantaian etnis. Refleksi Antonio sepanjang buku ini sangat filosofis, historis dan tentu dalam koridor latar Ilmu Hukum yang dikuasainya. Namun jangan membayangkan buku ini ditulis gaya ahli hukum yang kaku dan garing. 30
P R AN AL A EDI S I 6 , N ove m b e r -De se m b e R 201 5
Buku ini merangkum persoalanpersoalan Hak Asasi Manusia pada awal abad XX hingga tahun 1990. Ini ditulis dengan merefleksikan ketegangan dan jalan berliku sejarah HAM di dunia. Dengan menggunakan perspektif historis, buku yang ditulis oleh Antonio Cassesse, Guru Besar Universitas Florence, Italia ini, layak untuk dibaca dan diberi penghargaan. Tidak. Buku ini ditulis dengan gaya seorang filsuf dan sejarawan yang selalu mempertanyakan praktik-praktik HAM dalam mengurai pelanggaran HAM dan tindakan anti kemanusian yang terjadi sepanjang zaman. Bisa dikatakan, buku ini adalah buku sejarah dan filsafat hukum HAM dengan ancangan masa kini dan masa depan. Dan tentu harapan besar terhadap konsep dan praktik HAM yang selalu tumbuh dan hidup baik untuk melindungi kemanusian manusia. HAM sebagaimana negara, demokrasi, hukum, dan hak kewarganegaraan adalah rangkaian yang tidak terpisahkan satu sama lain. Semuanya adalah imajinasi moral
manusia yang selalu tumbuh dan hidup dari jaman ke jaman. Konsepkonsep itu tidak akan pernah mati dan hidup di masa lalu. Ya, konsepkonsep itu harus bertumbuh dan hidup di masa kini dan masa depan. Dengan tujuan dan cita-cita besar memanusiakan manusia. HAM sebagaimana konsep negara, demokrasi, hukum dan hak kewarganegaraan adalah konsep yang selalu in the making, becoming. Mereka adalah proses yang tidak akan pernah selesai. Pertarungan berbagai kepentingan, kekuasaan, dan imajinasi diabolik selalu hadir dan membajak tumbuh dan hidupnya konsep itu. Ini adalah pertarungan tiada akhir menuju kemanusiaan manusia. Pada masa polis Yunani, siapa yang disebut manusia yang bisa memimpin, dipimpin dan memiliki hak memilih; adalah laki-laki. Siapa yang boleh dilindungi hukum, memiliki kekuatan hukum dan tindakan hukum adalah laki-laki. Dan tentu ia bukan laki-laki sembarangan. Dia haruslah laki-laki merdeka, bukan budak, dan berumur dewasa. Artinya para laki-laki yang difabel, budak, anak-anak, dan renta adalah bukan manusia yang memiliki hak kewarganegaraan. Lalu bagaimana lagi dengan perempuan dan budak? Tentu mereka dianggap sebagai bukan manusia, atau setengah manusia yang akan selalu dipinggirkan dalam segala hal. Kita tentu ingat, dalam 200 tahun sebelum abad XX, perbudakan
manusia atas manusia adalah hal wajar dan umum. Hampir setiap kebudayaan memakluminya. Pun begitu dengan para pemikir dan pendiri negara demokratis pertama seperti Amerika Serikat dan Perancis. Mereka mempunyai budak di rumah tangga mereka. Lalu bagaimana dengan hak perempuan untuk memberikan suara dalam pemilu. Itu ide HAM yang baru terlaksana dalam 90 tahun terakhir. Bahkan, di banyak negara Timur Tengah, para perempuan baru mempunyai hak memilih dalam pemilu di Abad XXI. Oh ya, jangan lupa kolonialisme dengan dalih pemberadaban. Itu masih berlangsung sampai hari ini. Buku karangan Antonio ini penuh ketidakterdugaan. Banyak hal-hal yang selama ini dianggap biasa dalam politik hukum internasional, pun digugat, dipertanyakan ulang dan diproyeksikan untuk hari ini dan masa depan. Manusia modern dengan imajinasi moral yang terus tumbuh mendambakan peningkatan penghormatan terhadap HAM sebagai tiang utama kebijakan negara dalam memanusiakan manusia. Antonio pun menulisnya dengan renyah, hingga siapa saja akan mudah memahaminya. Pembaca disuguhi teks yang renyah untuk memahami persoalan HAM dewasa ini. Tidak hanya pada kejahatan kemanusiaan dalam perang, tetapi juga tindak genosida dan politik apartheid yang masih marak hingga
kini. Latar kesejarahan imajinasi diabolik seperti pada apartheid pertama akan menjadi bahasan pokok, lalu mengkontekskannya dengan hari ini dan implikasinya pada kemanusiaan. Filsafat memberikan alat bedah yang baik bagi Antonio untuk membangun imajinasi moral HAM yang menolak apartheid. Secara garis besar, buku ini memberikan wawasan yang komplek dan rumit bagi terbangunnya mekanisme HAM Internasional yang tidak saja aplikatif, efektif tetapi juga mendaulatkan kemanusian manusia secara terbuka, tumbuh dan hidup. Buku ini, dalam konteks internasional juga menyuguhkan bagaimana negara-negara, lembaga antarnegara dan PBB merumuskan HAM, membangun konvesi dan lembaga HAM untuk menjamin tidak terjadinya pelanggaran HAM sekecil apapun. Termasuk misalnya penyiksaan di penjara, barak, dan tempat penahanan lain, yang lazim memandang penyiksaan dan kekerasan sebagaimana adanya. Saya kira buku ini adalah buku yang bagus dan wajib untuk dibaca. Memang tidak memberikan banyak kasus yang dekat dengan Indonesia atau Asia Tenggara. Misalnya buku ini luput memotret genosida yang terjadi di Indonesia 1965 atau Kamboja di era Pol Pot. Namun, sebagai buku yang diterjemahkan pada era Orde Baru, saya kira wajar, dan tidak menjadikan buku ini tidak layak baca dan tidak kontekstual hari ini.
P RANALA EDISI 6, November- DesembeR 20 15
31
PERSPEKTIF
Relasi Kuasa Dalam Keberagaman di Yogyakarta (Melihat Resistensi Mahasiswa NTT Pasca Peristiwa Cebongan) Agustinus Fahik Alumnus Program Pascasarjana Kajian Budaya dan Media UGM, aktivis Liga Mahasiswa NTT di Yogyakarta
Pengantar Seorang teman asal NTT mengunggah sebuah foto di akun media sosialnya dengan menyertakan kalimat bernada ingin tahu atas apa yang ia temukan. Foto yang ia unggah bukanlah sebuah foto yang istimewa, melainkan foto tulisan berisi informasi tentang rumah yang hendak dikontrakkan disertai prasyarat bagi calon penghuninya. Dalam informasi itu tertera secara jelas bahwa calon penghuni yang diutamakan ialah yang berasal dari Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Inilah yang mengherankan teman saya, sebab ia menganggap ada sesuatu di balik pilihan seperti ini.
Dalam kasus lain sering pula ditemukan prasyarat-prasyarat tertentu bagi para calon penghuni kos-kosan yang berhubungan dengan penanda-penanda identitas; misalnya agama atau daerah asal. Hal ini menjadi sesuatu yang mungkin sebab Yogyakarta telah menjadi tempat berkumpulnya begitu banyak orang dari berbagai daerah dengan segala latar belakang sosial dan kulturalnya masing-masing. Tidak mengherankan bila Yogyakarta akhirnya dijuluki Indonesia mini. Perlu disadari bahwa ketika makin banyak kelompok hadir
dengan latar belakang sosial dan kulturalnya masing-masing secara bersamaan, terjadi perjumpaan, serentak persentuhan di antara kelompok-kelompok itu. Hal ini akan memengaruhi sikap masing-masing kelompok dalam menggambarkan dirinya sendiri di hadapan kelompok lain, maupun menggambarkan kelompok lain di hadapan kelompoknya. Gambaran-gambaran inilah yang kemudian akan berpengaruh terhadap pola-pola relasi yang terbentuk di antara kelompokkelompok tersebut.
Bercermin Pada Kasus Cebongan Tahun 2013, terjadi persitiwa penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, yang mengakibatkan kematian empat orang tahanan yang baru saja dipindahkan dari ruang tahanan Polda DIY. Peristiwa penyerangan itu ditengarai sebagai imbas dari kejadian sebelumnya yakni tewasnya seorang anggota militer (TNI) di Hugo’s Cafe oleh keempat tahanan tersebut. 32
P R AN AL A EDI S I 6 , N ove m b e r -De se m b e R 201 5
Dua peristiwa yang terjadi saling susul itu memosisikan keempat tahanan itu pada status yang berbeda. Bila dalam peristiwa penyerangan Lapas Cebongan mereka adalah korban yang dihilangkan nyawanya, maka dalam peristiwa sebelumnya di Hugo’s Cafe keempatnya adalah pelaku yang menghilangkan nyawa orang lain. Hal ini kemudian berpengaruh terhadap respon
Relasi Kuasa Barat-Timur yang diberikan dan kampanye yang coba dibangun untuk memengaruhi opini publik, khususnya masyarakat Yogyakarta pasca kedua peristiwa itu. Ada beberapa fakta menarik di balik kedua persitiwa itu, yakni; keempat korban penyerangan berasal dari NTT, mereka digambarkan sebagai preman, tindakan keempatnya meresahkan warga Yogyakarta, tindakan penyerangan Lapas Cebongan digambarkan sebagai upaya pemberantasan premanisme di Yogyakarta. Fakta dan gambaran yang dimunculkan dari kedua peristiwa ini bermuara pada lahirnya pasangan yang saling beroposisi yakni TNI-preman dan warga Yogyakarta-warga NTT. Pasangan oposisi ini jelas berada dalam relasi kuasa yang tidak setara, sebab TNI merupakan institusi negara yang level dan kuasanya berada jauh di atas preman, sementara warga Yogyakarta sebagai warga asli atau “tuan rumah” posisinya jauh lebih menguntungkan dibanding warga NTT yang adalah pendatang atau “tamu”. Ketidaksetaraan relasi ini bisa terlihat dari spanduk-spanduk yang disebarkan hampir di seluruh bagian kota Yogyakarta. Sebagian besar spanduk berisi pernyataan dukungan terhadap Kopassus, semangat anti premanisme, hingga penolakan terhadap kehadiran warga NTT di Yogyakarta. Pada titik ini terlihat kecenderungan untuk melakukan generalisasi, dimana kelakuan beberapa anggota kelompok warga NTT dijadikan ukuran untuk menilai dan memberi label terhadap seluruh anggota kelompok warga NTT. Respon awal yang diberikan oleh kelompok warga NTT khususnya para mahasiswa ialah berupaya menyelamatkan diri ke tempat-tempat yang dirasa aman, menghindari keramaian, bahkan keluar meninggalkan Yogyakarta. Daerah-daerah di seputar kota Yogyakarta yang dianggap sebagai basis mahasiswa NTT misalnya Babarsari, Janti, Maguwoharjo dan Gambiran menjadi lebih sepi. Ada perasaan terancam dan tidak nyaman bila harus bertahan di Yogyakarta kala itu. Namun, respon lanjutan yang diberikan kemudian justru lebih positif. Mahasiswa-mahasiswa asal NTT khususnya yang menempuh pendidikan pascasarjana, didukung oleh beberapa tokoh asal NTT, atau yang bersimpati terhadap NTT melakukan konsolidasi dan membentuk sebuah kelompok dengan nama Liga Mahasiswa Pascasarjana (LMP) NTT-Yogyakarta. Kelompok ini kemudian berupaya untuk membangun komunikasi dan melakukan pendekatan dengan berbagai pihak untuk melihat secara lebih jernih apa yang terjadi dalam kasus Cebongan dan imbasnya terhadap keberadaan para mahasiswa NTT di Yogyakarta. Selanjutnya, respon-respon lain yang lebih postif pun mulai diberikan untuk memulihkan citra dan posisi mahasiswa asal NTT secara khusus dan Indonesia Timur secara umum. Sebagai misal penyelenggaraan diskusi kasus Cebongan di kampus Universitas Atma Jaya Yogyakarta, pameran seni lukis hasil karya para pelukis Indonesia Timur dan pertunjukan tarian tradisional NTT di salah satu kafe di kawasan Babarsari.
Bukan tidak mungkin bahwa dalam kasus Cebongan terjadi permainan dan pertarungan kepentingan pada tingkat elit, tetapi salah satu persoalan yang terus harus diwaspadai ialah tumbuhnya benihbenih konflik dan kecenderungan untuk saling menyematkan label dan stigma tertentu atas kelompok lain. Dalam kasus Cebongan misalnya, apa yang dilakukan keempat korban penyerangan itu dengan mudahnya dijadikan patokan untuk menilai mahasiswa-mahasiswa asal NTT secara general. Memang perlu pula diakui bahwa ada juga kejadian dimana para mahasiswa asal NTT menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan standar nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat Yogyakarta. Namun akan sangat naif bila kejadian-kejadian parsial itu langsung dijadikan rujukan untuk memberi label kepada seluruh mahasiswa NTT sebagai preman, temparamental dan tidak bisa diatur. Salah satu sebab mengapa mahaiswa asal NTT atau Indonesia Timur dapat dengan mudah diidentifikasi ialah perbedaan ciri-ciri fisik dan anatomi tubuh antara kelompok ini dengan kelompok mahasiswa dari daerah lain, khususnya dari Indonesia Barat. Namun, ciri-ciri fisik dan anatomi tubuh tidak serta merta memiliki korelasi positif dengan pola tingkah laku dan temparamen seseorang atau sekelompok orang. Kecenderungan untuk melakukan pelabelan dan stigmatisasi berdasarkan ciri fisik ini adalah sesuatu yang keliru dan harus dihilangkan.
P RANALA EDISI 6, November- DesembeR 2 0 15
33
PERSPEKTIF Selain itu, aspek-aspek kultural juga perlu diperhatikan, sebab ada perbedaan kultural antara wilayahwilayah di bagian barat Indonesia dengan wilayah-wilayah di bagian timur Indonesia. Pertemuan antara kelompok-kelompok dari dua wilayah yang latar belakang kultralnya berbeda ini sangat mungkin menimbulkan gesekan bila tidak ada saling pemahaman di antara keduanya. Pada sisi lain, faktor perkembangan dan kemajuan wilayah juga secara psikologis mempengaruhi kedua kelompok ini. Sejak zaman kolonial hingga saat ini, barat selalu diidentikkan dengan kemajuan dan dijadikan standar dalam mengukur perkembangan wilayah-wilayah lain khususnya wilayah timur. Sebaliknya timur dianggap sebagai yang merepresentasikan ketertinggalan
sehingga perlu banyak mencontoh pada barat sebagai ukuran atau standar. Pola ini kemudian berpengaruh dalam proses adaptasi kelompok-kelompok yang datang dari timur ke Yogyakarta. Apalagi Yogyakarta dan Solo dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa sebagaimana tercermin dalam kehalusan tutur kata dan kelembutan budi. Karena itu kelompok-kelompok yang datang dari luar perlu melakukan penyesuaian dengan apa yang sudah menjadi pakem atau sudah berlaku dalam masyarakat Yogyakarta. Artinya, nilai-nilai yang ada atau berlaku dalam masyarakat Yogyakarta pada level tertentu dilihat sebagai yang lebih unggul dan karena itu lebih pantas digunakan dalam pergaulan oleh kelompokkelompok lain yang datang dari luar.
Pandangan seperti ini menghilangkan kenyataan bahwa kelompok-kelompok yang datang dari luar juga memiliki perangkat nilai sendiri yang tidak harus diposisikan di bawah bayangan nilai-nilai masyarakat Yogyakarta. Kecenderungan untuk menjinakkan kelompok lain ini sangat berbahaya karena mudah dibelokkan menjadi pemicu konflik dengan kembali bercermin pada apa yang terjadi pasca Cebongan, terutama kampanye lewat spanduk yang mendiskreditkan kelompok warga dari daerah tertentu dengan label preman dan sejenisnya. Meski penyebaran spanduk itu hanya dilakukan oleh sebagian warga Yogyakarta dan bagian dari permainan kelompok kepentingan lain, hal ini mencerminkan apa yang dipikirkan tentang kelompok lain.
Catatan Akhir Yogyakarta adalah Indonesia mini, demikian pandangan banyak pihak dengan melihat keberagaman yang ada di kota ini. Meski keberagaman adalah sesuatu yang mesti diterima sebagai salah satu ciri dasar Indonesia, keberagaman ini tetap mengandung risiko. Karena itu dalam keberagaman seperti ini, masing-masing kelompok perlu diberi ruang yang cukup untuk bisa mengartikulasikan kekhasan kulturalnya masing-masing. Keberagaman juga mensyaratkan adanya pengakuan akan kehadiran yang lain sebagai pihak yang berada dalam posisi setara. Karena itu yang perlu diwaspadai ialah kecenderungan untuk membangun eksklusivitas antar kelompok, dimana masing-masing kelompok menutup diri terhadap kehadiran yang lain. Kecenderungan untuk membangun eksklusivitas juga bisa dilihat dari pengingkaran terhadap kehadiran yang lain, sebagaimana tercermin dalam sikap mengutamakan kelompok-kelompok tertentu dengan memanfaatkan penanda-penanda identitas sebagai alat identifikasi. Penggunaan penanda identitas sebagai alat identifikasi dengan sendirinya akan membuat individu atau 34
P R AN AL A EDI S I 6 , N ov e m b e r -De se m b e R 201 5
kelompok tertentu menyadari diri atau kelompoknya sebagai bagian (insider) atau bukan bagian (outsider) dari eksklusivitas yang sedang dibangun. Penggunaan penanda identitas terutama identitas primordial seperti daerah asal sebagai prasyarat dalam menerima atau menolak kehadiran yang lain, secara tidak sadar menampilkan kecenderungan diskriminatif yang tertanam dalam diri seseorang atau kelompok tertentu. Sadar atau tidak, kecenderungan diskriminatif ini juga sedang ditampilkan di Yogyakarta, kota berhati nyaman yang dianggap sebagai Indonesia mini. Keberagaman memang menjadi fakta yang tidak tebantahkan dan dengan mudah ditemui di Yogyakarta. Namun, apakah keberagaman ini sudah mengandung pengakuan dan kesetaraan di antara kelompok-kelompok yang ada merupakan sesuatu yang sudah saatnya dilihat kembali. Hal ini penting untuk mencegah terjadinya konflik dan dimanfaatkannya kelompok-kelompok tertentu oleh aktor-aktor kekuasaan bagi kepentingan diri atau kelompoknya sendiri. ***
RANAH
Mendialogkan Perbedaan:
Sebuah Upaya Membangun
Gerakan Nir-Kekerasan Oleh: Arifuddin Kunu Mahasiswa Pascasarjana Kajian Budaya dan Media UGM, pernah bekerja sebagai wartawan Tempo, biro Makassar “Barang siapa yang membunuh seorang manusia (bukan karena orang yang dibunuh itu pembunuh), bukan perusak bumi, maka seakan-akan (yang membunuh itu) telah membunuh manusia seluruh alam. Bagi yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” Q.S Al-Maidah:32 Damai merupakan muara dari upaya kompromi imbas konflik arena perbedaan dan keragaman yang tidak disadari. Idealnya, perbedaan bukan disikapi sebagai masalah tapi merupakan kekayaan bangsa yang harus dijaga dan disikapi secara positif. Perbedaan yang dimaksud dalam konteks ini adalah SARA (Suku, Agama Ras dan Antar-golongan). Sebagai sebuah kekayaan, maka perbedaan tersebut didesain menjadi
keragaman demi terciptanya kedamaian. Hal ini tentu memerlukan proses dan tahapan. Bila salah dalam menyikapi dalam konteks beragama, maka peluang yang muncul adalah perilaku intoleran. Padahal, toleransi merupakan upaya yang sejak lama digaungkan sebagai upaya menjauhkan terjadinya pelanggaran HAM yang paling mendasar dalam kehidupan, di mana pun dan kapan pun.
P RANALA EDISI 6, November- DesembeR 2 0 15
35
RANAH
Tulisan ini berupaya menguraikan pentingnya dialog dalam menjembatani perbedaan ideologi, etnis dan agama, yang kerap berujung pada perilaku kekerasan oleh kelompok mayoritas. Untuk
memberikan landasan historis, sekelumit sejarah mengenai akar kekerasan atas nama agama juga akan dipaparkan dalam tulisan ini. Jika disikapi secara bijak, perbedaan sejatinya tidak akan memunculkan
perpecahan. Dalam kaitan ini, dialog yang berbasis pada kesadaran terhadap perbedaan itu sendiri, menjadi penting dikedepankan.
penanda kematangan berperilaku. Akan tetapi, dalam realitasnya komunitas minoritas dalam hal etnik, suku, agama dan lainnya, kerap mengalami tekanan oleh komunitas mayoritas. Berbagai bentuk tekanan dari yang bersifat psikis hingga fisik, lebih kerap terjadi ketika minoritas berada dalam lingkungan mayoritas yang fanatik. Fanatisme ini bisa muncul karena dipicu oleh pemahaman atas ajaran agama yang sempit. Pemahaman atas perbedaan perlu dijembatani melalui upaya berkesinambungan, mulai dari silaturahmi hingga bentuk lain yang bermuara pada interaksi searah dalam satu wadah yang keanggotannya mengakomodasi lintas pemeluk agama, multi iman, antar penghayat kepercayaan atau kombinasi ketiganya, sebagaimana amanat UU No. 17 Tahun 2013 tentang organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang diundangkan sejak 22 Juli 2012. Dalil penetapan UU ini tak lain adalah kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat, yang merupakan bagian dari pengakuan hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam NKRI yang dijamin oleh UUD 1945. Setiap warga negara wajib menghormati hak asasi dan kebebasan orang lain dalam rangka tertib hukum serta menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bila amanat UU tentang Ormas ini terlaksana dengan baik dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa, niscaya konflik antar dan intern-umat beragama tidak akan terjadi. Namun dalam realitasnya, mengapa konflik (baca: kekerasan) terhadap minoritas terus berlangsung di NKRI? Kekerasan yang terus-menerus dialami oleh kelompok minoritas, merupakan potret bahwa radikalisme agama masih menjadi ancaman dan penghambat demokrasi di Indonesia yang menekankan kebebasan berkeyakinan, kebebasan beribadah, dan kebebasan bertuhan, meski kebebasan itu
Dialog Budaya Dalam World Culture Forum, yang berlangsung di Bali, November 2013 lalu, Amartya Sen, Guru Besar Harvard University Amerika Serikat, menyatakan bahwa dialog kultural sangat memungkinkan untuk memecahkan beragam persoalan yang dihadapi masyarakat dunia, di berbagai bidang kehidupan. Hal ini disebabkan manusia pada dasarnya lebih mampu hidup bersama secara damai dari pada hidup dalam suasana konflik dan penuh kekerasan. Karena itu, dialog budaya dapat menggantikan konfrontasi. Sifat budaya yang lintas agama dan lintas bangsa dinilai bisa mempersatukan dunia. Budaya juga bisa menjadi kekuatan dalam pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini akan menjadi modal dasar memahami perbedaan SARA dan menumbuhkan semangat keterbukaan dan saling menghormati sehingga perdamaian, toleransi dan semangat rekonsiliasi membudaya dalam kehidupan. Menerima perbedaan dan menjadikan toleransi sebagai modal hidup merupakan
36
P R AN AL A EDI S I 6 , N ove m b e r -De se m b e R 201 5
masih dibatasi oleh UU. Konflik berbasis agama yang bermuara pada kekerasan sesungguhnya mengindikasikan masih adanya kelompok yang tidak mengakui keberagaman (pluralitas) keyakinan
dan menginginkan tafsir tunggal. Fenomena kekerasan seperti ini juga menegaskan bahwa masih ada kelompok yang mengatasnamakan agama untuk memerangi agama lain bahkan yang seagama dengan
mereka. Pemicunya tak lain adalah penafsiran teks atau ajaran agama yang berbeda dan masing-masing bersikukuh dengan prinsipnya.
Kekerasan dan Agama Semua agama pada dasarnya menolak segala bentuk kekerasan. Islam, secara doktrinal adalah agama non-kekerasan, namun fakta penaklukan atau dalam bahasa historiografi Islam lebih dikenal dengan pembebasan (futuhat) yang dilakukan terutama mulai abad 7 juga menggandeng kekerasan. Agama Kristen yang mengklaim diri dan memiliki misi sebagai agama cinta kasih, namun sejarah kekristenan juga sarat dengan kekerasan. Beberapa kasus perang agama atau perang salib (crusade), dan kolonialisme barat atas dunia muslim abad 18 dan 19, juga sarat dengan kekerasan.. Di sisi lain, munculnya sufisme atau mistisisme dengan intensitas yang kuat, sesungguhnya bisa menjadi faktor penyeimbang terhadap dominasi Islam doktrinal atau resmi-formalistis. Bahkan dalam semua agama terdapat individu-individu yang memiliki komitmen membangun kebersamaan dan konsen mengatasi kekerasan. Sesungguhnya gerakan, baik yang bersifat individual
maupun kelompok ini, secara reguler mendorong debat di internal agama-agama, karena faktanya, dalam agama apapun tidak ada ideologi dan afiliasi teologis yang monolitik. Sebagai akibatnya juga berbeda-beda dalam menghadapi agama lain. Kekerasan atas nama agama, sesungguhnya juga akan bisa diminimalisir ketika hal tersebut menjadi komitmen moral-nyata bagi semua penganut agama-agama. Agama merupakan fondasi etika dalam penyelesaian kasus-kasus konflik dan kekerasan, karena pada hakikatnya entitas agama adalah menciptakan perdamaian, bukan menebarkan konflik dan kekerasan. Watak komunalisme agama yang kental, terutama pada agama-agama semitis (the Semitic Religions) memberikan peluang dan potensi tersendiri bagi terjadinya konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Hal ini karena, watak dasar dari revelasi ketiga agama tersebut adalah dakwah, yang selama ini dalam pemikiran mayoritas umat ketiga agama tersebut lebih
dipahami sebagai upaya mengkonversi penganut agama lain ke dalam agama mereka. Dalam konteks Islam ada misi “pengislaman” dunia dengan justifikasi Islam sebagai agama universal dan penutup serta penyempurna semua agama sebelumnya. Dalam konteks ini pula, perlu dimajukan tesis Wim Beuken dan Karl-Josef Kuschel yang berkesimpulan bahwa kekerasan atas nama agama bisa dilihat dari dua perspektif, yakni: pertama, pembacaan agama mengenai hubungan sosial, dimana agama merupakan legitimasi tersendiri bagi keabsahan perilaku kekerasan, karena memiliki fungsinya sebagai ideologi; kedua, agama sebagai faktor budaya identitas. Beberapa kasus kekerasan atas nama agama seperti di Afrika, yakni di Rwanda, di mana suku Hutu dan Tutsi berkonflik sebagai kekerasan agama. Misionaris Kristen-Islam menemukan masyarakat yang terpecah belah, namun wahyu Kristen menang; Kristen menghancurkan agama tradisional Rwanda
P RANALA EDISI 6, November- DesembeR 2 0 15
37
RANAH
(dengan memuji prajurit suci). Asia (sri Lanka), di mana kerajaan Singhalese dengan konsep nasionalisme Budhisnya, berperan aktif dalam pentas politik; Sri Lanka, yang kemunculannya sebagai respon terhadap kolonial (sistem pendidikan kolonial) dan missionaris Kristen; Eropa (Bosnia) yang merupakan representasi perang etnis dan budaya. Konflik dan kekerasan dimaksud, adalah bukti konkrit betapa agama memiliki akar dan legitimasinya terhadap keabsahan perilaku “kekerasan”. Dengan teologi pembebasan, penindasan dan pembebasan mendominasi wacana teologis dalam masalah sosial, karena eksploitasi ekonomi dan politik, yang dengan senjata moral akan memberikan kekuatan luar biasa seperti
konflik yang terjadi pada Hutu-Tutsi, Kroasia-Serbia, Nazi Jerman dan Apertheid di Afsel. Untuk itu, pemecahkan konflik tersebut dilakukan dengan cara: exclusion (penyingkiran) dan embrace (penerimaan). Sementara konflik keagamaan di Amerika Latin,yakni di Guatemala dan Elsavador, kekerasan terjadi sebagai respon terhadap ketidakadilan struktural; sikap kekerasan adalah represi, perang dan terorisme negara; revolusioner atau balasan kekerasan; pelajaran sejarah yang tidak bisa dilupakan, karena di antaranya berakar pada kapitalisme dan bukan agama. Manipulasi agama dilakukan dalam kerangka konflik dan kekerasan di berbagai belahan bumi di atas, di antaranya, karena; pertama, untuk meladeni ketidakadilan struktural
dan karena dukungan dan legitimasi agama tradisional dan sekte-sekte agama diangap sebagai kekuatan tersendiri yang bisa membebaskan; kedua, agama yang membebaskan masyarakat dari ketidakadilan struktural ini sesungguhnya, baik langsung maupun tidak, adalah pengaruh dari teologi pembebasan yang membolehkan partisipasi kristiani dalam perjuangan bersenjata. Dalam konteks ini, “perang” dianggap sebagai upaya memerangi kekerasan; perjuangan melawan sumber nafsu, yang harus dilakukan dengan menyelami dimensi iman; memanusiawikan kekerasan dengan cara meminimalisasi kejahatan dan maksimalisasi manfaat; serta menebus kekerasan dengan martirdom (kesyahidan).
Islam dan Gerakan Nir-Kekerasan Menarik untuk mengamati pemikiran-pemikiran Chaiwat Satha-Anand, seorang intelektual sekaligus aktifis perdamaian asal Thailand yang pada Oktober lalu memberikan kuliah umum di Univeristas Gadjah Mada. Dalam pandangannya, Anand mengajak untuk menelaah kembali secara kritis anggapan yang selama ini menjastifikasi kaitan antara Islam dan kekerasan sebagai sebuah kebenaran. Anand membangun tesis
38
P R AN AL A EDI S I 6 , N ov e m b e r -De se m b e R 201 5
yang sederhana; Islam bisa menjadi sumber inspirasi untuk gerakan Nir-Kekerasan. Ia mencontohkan gerakan Nir-Kekerasan dalam Islam bisa ditemukan dalam sunnah atau teladan Nabi, terutama melalui contoh yang secara khusus diulas, yakni peristiwa sengketa peletakan batu hitam al-hajar al-Aswad, saat pembangunan Kabah di era pra kenabian Muhammad, dan peristiwa penaklukan Mekah dimana Nabi memberikan pengampunan umum
kepada kaum musyrikin Mekah. Anand bahkan mengaskan bahwa dalam gerakan Nir-Kekerasan yang dicetuskan oleh Mahatma Ghandi—figur yang kerap disebut sebagai nabi gerakan Nir-Kekerasan modern—banyak dipengaruhi oleh ajaran dalam Islam, meskipun tidak banyak yang mengetahui. Anand juga mengasakan bahwa antara gerakan Nir-Kekerasan Ghandi dan Islam, memiliki banyak kesesuaian. Dalam surah Al Maidah:32;
mengaskan kesucian nyawa (nafs) manusia. Qur’an mengajarkan nyawa individu mewakili seluruh spesies manusia. Membunuh satu nyawa berarti membunuh seluruh umat manusia. Sementara tindakan menahan diri dari kekerasan (pembunuhan) terhadap satu nyawa, sama dengan memberikan kehidupan kepada seluruh manusia. Dalam studi-studi tentang gerakan Nir-Kekerasan, ada kecenderungan untuk meremehkan peran tokoh agama. Karena itu, Anand mencoba mencari figurfigur dalam agama yang sekiranya bisa menjadi inspirasi untuk membangun gerakan Nir-Kekerasan. Dalam pandangannya, sosok seperti Muhammad, Yesus dan Budha bisa menjadi contoh gerakan ini. Meskipun Anand menyadari bahwa menyebut Muhammad sebagai sososk yang mengilhami gerakan Nir-Kekerasan, memang agak problematis, sebab aksi perang merupakan faktor penting dalam
karier kenabiannya sepanjang dua puluh tiga tahun, terutama setelah kepindahannya ke Madinah. Anand melakukan “interpretasi ulang” atas doktrin jihad dalam Islam yang menjadi landasan perangperang yang dilakukan oleh Nabi. Menggaungkan pandangan yang sudah sering dikemukakan oleh pemikir Islam lain, Anand memahami jihad sebagai perjuangan internal melawan tendensi-tenednsi jahat dalam diri manusia. Jihad semacam ini, menurut Anand, jauh lebih mulia dibandingkan jihad eksternal melawan “musuh-musuh” agama. Hal yang menarik adalah cara Anand menerjemahkan QS 2:193 yang kerap dijadikan sebagai pembenaran oleh kaum jihadis. Istilah “fitnah” dalam ayat tersebut, ditafsirkan sebagai “huru-hara dan penindasan”, sehingga bunyi lengkap ayat tersebut dalam versi Anand: Perangilah mereka itu sehingga tidak ada lagi huru-hara dan pendindasan, yang ada hanya keadilan keimanan pada
Allah. Anand tidak hanya menggali sumber-sumber ajaran Nir-Kekerasan baik dalam Qur’an dan praktik Nabi, melainkan juga menunjukkan bahwa opsi Nir-Kekerasan itu mungkin ada dalam praktik kehidupan seharihari di dunia modern. Ia menyebut beberapa aksi-aksi Nir-Kekerasan beberapa komunitas muslim di Thailand. Anand menyebut tiga contoh aksi Nir-Kekerasan: aksi komunitas Mitraparb (yang secara harafiah berearti “persahabatan”) di pinggiran kota Bangkok yang melawan sindikat narkoba yang beroperasi di perkampungan mereka; aksi komunitas Bankrua yang melawan rencana pembangunan jalan tol yang melewati perkampungan mereka; dan aksi nelayan muslim di Phangnga Bay melawan kapal-kapal penangkap ikan besar. Seluruh aksi perlawanan dilakukan dengan metode Nir-Kekerasan dan secara efektif terbukti mampu meraih tujuan.
dengan agama, maka kemudian kekerasan lebih kental nuansa dan motif agamanya dibanding motif lainnya. Ini karena, persoalan agama menyentuh secara langsung dimensi emosionalitas dan batiniah setiap pemeluknya. Karenanya, ketika agama menjadi identitas dan
ideologi, maka akan mudah tersulut jka simbol-simbolnya disinggung atau merasa dilecehkan orang lain. Belum lagi, ketika agama teralienasi dan tereliminasi dari kancah modernitas, maka identitas agama akan selalu dibangkitkan menjadi ideologi alternatif yang mampu
Penutup Kekeraan berbasis agama, kendati memiliki legitimasi teologis, namun sesungguhnya juga dipahami sebagai fenomena yang memiliki jalinan degan entitas dan faktor lain, semisal ekonomi, politik atau lainnya. Namun, karena ekspresi kekerasan seringkali dibungkus
P RANALA EDISI 6, November- Desember 20 15
39
RANAH menghadirkan nuansa baru dalam kehidupan modern. Tetapi sayang, alih-alih berhasil mengokohkan diri sebagai ideologi alternatif pilihan manusia modern, yang terjadi adalah sebaliknya, kharismatika agama dicoreng-moreng oleh pemeluknya sendiri, karena diekpresikan dengan beragam bentuk kekerasan, yang justru kontrapoduktif dan berlawanan dengan hakikat kehadiran agama bagi manusia. Ekspresi kelompok fundamentalisme (dalam agama apapun), justru seringkali mempertontonkan fenomena ini. Gejala fundamentalime agama, hampir selalu menunjukkan sikap perlawanan terhadap semua sistem yang dianggap dapat mengancam eksistensi agama, baik dalam bentuk modernitas atau modernisme, sekuralisasi dan bahkan semua tata nilai dan semua paham yang diklaim sebagai produk dan bercitarasa occident. Dengan demikian, kekerasan agama, memiliki
akar teologis yang terkait dengan interpretasi teks-teks keagamaan yang ketika dipahami secara literal, mampu menghadirkan sosok agama yang penuh kekerasan. Akhirnya, kekerasan (berbau dan bernuansa) agama masa sekarang harus dipahami sebagai seusatu yang bukanlah jatuh dari langit, atau dibawa makhluk asing (alien). Ia merupakan bagian integral dari lanskap kehidupan, yang terkait satu sama lain—dengan ekonomi, politik, sosial, budaya, hubungan internasional dan seterusnya. Maka senada yang ditulis Karen Armstrong bahwa kehidupan masa kini yang penuh kekerasan atas nama agama, bisa membuat orang frustrasi dan stress, dan bahkan kehilangan bagian terbaik dari kemanusiaannya. “Kita harus membangun perasaan sebagai masyarakat global, menumbuhkan sikap saling hormat dan keseimbangan emosi bagi semua, dan mengambil tanggungjawab atas berbagai penderitaan di muka bumi.”
Daftar Pustaka Anees, Munawar Ahmad et.al. Muslim-Kristen: Dulu, Sekarang, Esok. Yogyakarta: Qalam, 2000. Azra, Azyumardi “Jihad dan Terorisme: Konsep dan Perkembangan Historis” dalam Islamika No. 4, AprilJuni 1994. ----------------, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga PostModernisme. Jakarta: Paramadina, 1996. Beuken, Wim dan Kuschel, Karl-Josef et.al. Agama Sebagai Sumber Kekerasan? Terj. Imam Baehaqi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Chouerie,Youssef M. Islamic Fundamentalism. Boston: Twayne Publishers, 1990. Hamim, Thoha. Islam dan NU Di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer: Dialektika Kehidupan Politik, Agama, Pendidikan dan Sosial Masyarakat Muslim. Surabaya: Diantama, 2004. Hawwa, Sa’id. Fi Afaq al-Ta’alim. Terj.Abu Ridha. Jakarta: Al-Ishlahy Press, 1993. Johnson, James Turner. Perang Suci Atas Nama Agama Dalam Tradisi Barat dan Islam. Terj. Ilyas Hasan dan Rahmani Astuti. Jakarta: Pustaka Hidayah, 2002. Jurgensmayer, Mark. Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence. Berkeley: University of California Press, 2000.
40
P R AN AL A EDI S I 6 , N ove m b e r -De se m b e R 201 5
Kasdi, Abdurrahman. “Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar teologi, Kritik Wacana dan Politisasi Agama” dalam Taswirul Afkar : Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 13 tahun 2002. Jakarta: LAKPESDAM, 2002. Qardhawi, Yusuf. Nahwa Wahdah Fikriyah li al-‘Amilin li al-Islam. Terj. Ali Makhtum Assalamy. Jakarta: Gema Insani Press, 1993. Riyanto, Armada. “Membongkar Eksklusivisme Hidup Beragama” dalam Riyanto, Armada (ed.). Agama Kekerasan Membongkar Eksklusivisme. Malang: DIOMA-STFT Widyasasana, 2000. Rosyid, Mohammad. Mendialogkan Ahamdiyah: Belajar dari cikuesik dan Kudus. Nertja Press, 2015 Sayyid, Bobby S. A Fundamental Fear: Eurosentrism and the Emergence of Islamism. London&New York: Zed Book Ltd, 1997. Abshar Abdalla, Ulil. Memenangkan Argumen Nir Kekerasan, islamlib.com Vatikiotis, P.J. “What is an Islamic Revival?” dalam Journal of New Society February, 15, 1979