DAFTAR ISI
Daftar Isi
3
Bab I
3
Bab II
10
Bab III
20
Bab IV
21
Bab V
52
Daftar Pustaka
55
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Salah satu parameter tumbuhnya demokrasi adalah semakin terbukanya
kesempatan bagi warga negara dalam berpartisipasi dalam politik. Tanpa partisipasi masyarakat, demokrasi hanya tinggal sebuah wacana. Salah satu bentuk konkret partisipasi politik
yang mudah ditemui adalah keikutsertaan
warga negara dalam pemilu. Dalam hal ini, pemberian suara dalam kegiatan pemilihan umum merupakan bentuk partisipasi politik yang terbiasa, yang sering kali lebih luas di bandingkan dengan partisipasi politik lain (Sudijono Sastroatmodjo: 1995). Selain itu, menurut Denver sebagaimana dikutip Asrinaldi (2012), pemilu juga merupakan sarana menuju kehidupan demokrasi yang melibatkan perilaku politik yang bersifat masif dalam menentukan siapa yang memerintah. Tentunya dengan mempelajari perilaku memilih ini, seseorang dapat memahami bagaimana proses demokrasi itu bekerja serta sejauh mana hasil pilihan dalam pemilu tersebut berkualitas dan mampu melahirkan pemerintah yang mampu mensejehaterakan masyarakat. Tentunya, keikutsertaan masyarakat dalam Pemilu sangat terkait dengan perilaku memilih (Voting Behavior). Oleh karena itu, konsep perilaku memilih menjadi sangat penting dan urgen dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Berbicara mengenai perilaku memilih tentu saja terkait dengan keputusan pemilih untuk memilih kandidat atau peserta pemilu. Secara umum, perilaku memilih juga bisa diartikan sebagai kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang/alasan mengapa mereka melakukan pilihan itu (Jack Plano: 1985). Sebenarnya perilaku memilih merupakan bentuk partisipasi politik aktif yang paling kecil dari masyarakat karena hal itu hanya menuntut suatu keterlibatan minimal yang akan berhenti jika pemberian suara telah terlaksana (Affan Gafar: 1992). Mesipun demikian, perilaku memilih masyarakat tentunya akan sangat menentukan sejauh mana kandidat yang terpilih dalam pemilu adalah kandidat yang berkualitas. Selama 2
ini, keputusan pemilih dalam memilih kandidat pada saat pemilu, seringkali didasarkan pada pertimbangan dan alasan yang beranekaragam. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku memilih masyarakat. Dalam
teori
perilaku
memilih,
terdapat
tiga
pendekatan
yang
mempengaruhi perilaku memilih seseorang dalam memberikan pilihannya, yaitu pendekatan sosiologis, psikologis dan ekonomis/rasional (J.Kristiadi: 1993). Dalam pendekatan sosiologis, pemilih mendasari pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan aspek lingkungan sosial ekonomi seperti sentimen kedaerahan, afiliasi etnis, suku, ras, agama, tradisi keluarga, faktor orang tua, pekerjaan seseorang, tempat tinggal, kelas, faktor usia, jenis kelamin, hubungan patron-klien dan lain sebagainya (Asrinaldi: 2012). Selain itu, dalam pendekatan psikologis, penentuan pilihan politik seseorang sangat ditentukan oleh pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya yang menghasilkan persepsi/sikap politik terhadap partai politik, isu-isu dan kandidat tertentu sebagai produk dari sosialisasi politik yang dialaminya dalam jangka waktu yang panjang (Adman Nursal: 2004). Kemudian, dalam pendekatan rasional, penentuan pilihan politik seseorang didasarkan pada kandidat yang mampu memenuhi kepentingannya atau kebutuhannya. Pemilu
atau
pilkada
pada
hakikatnya
merupakan
sarana
bagi
masyarakat untuk menentukan sendiri pemimpin-pemimpin mereka yang mampu membawa kesejahteraan bagi seluruh masyarakat sebagai wujud kedaulatan rakyat. Di Indonesia sendiri, lahirnya reformasi semakin mendorong terwujudnya kedaulatan rakyat yang sesungguhnya tidak terkecuali dalam penyelenggaraan pemilu. Hal ini dapat dilihat dari dilaksanakannya pemilu dan pemilihan Presiden dan kepala daerah secara langsung. Tentunya itu semua bertujuan untuk mewujudkan hakikat demokrasi yang sesungguhnya, yakni mengembalikan kembali kedaulatan kepada masyarakat untuk menentukan sendiri pemimpin-pemimpin mereka di legislatif, maupun di pemerintahan. Namun, hadirnya pemilu bukanlah semata-mata dimaknai sebagai sebuah pesta demokrasi rakyat yang disambut dengan suka cita dan suka rela serta hanya dimaknai sebagai seremonial belaka untuk memilih pemimpin, 3
namun lebih dari itu, pemilu hakikatnya memberikan ruang partisipasi politik yang luas kepada masyarakat untuk memilih dan mencari pemimpin yang berkualitas baik di tingkat pusat maupun di daerah. Jika masyarakat salah memilih pemimpin mereka, tentunya akan berdampak pada terciptanya pemerintahan yang buruk selama lima tahun kedepan dan akan berakibat buruk bagi kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Jadi, pemilu bukan hanya bicara sejauh mana masyarakat berpartisipasi politik secara luas, namun persoalannya sejauh mana pilihan masyarakat itu rasional dan berkualitas, serta hasil pemilu itu dapat melahirkan pemimpinpemimpin yang berkualitas. Oleh karena itu, kemampuan masyarakat untuk memilih secara rasional dan kritis dengan memperhatikan dan mengevaluasi kualitas, visi misi dan program kandidat yang paling baik secara menyeluruh dalam pemilu atau pilkada menjadi sangat penting dalam upaya melahirkan pemimpin yang berkualitas yang mampu membawa kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Munculnya pemilih rasional setidaknya menjadi salah satu indikator dalam menghasilkan pemilu yang berkualitas. Dalam hal ini, pendekatan rasional berkaitan erat dengan ekonomi masyarakat dimana pemilih rasional akan berusaha mendasari pilihannya berdasarkan pertimbangan apa yang diperolehnya jika ikut memberikan suara dalam pemilu. Artinya, pemilih tidak akan memberikan suara kepada salah satu kandidat apabila kandidat tersebut tidak loyal dan tidak konsisten terhadap janji dan harapan yang telah mereka berikan. Hal ini beralasan karena pemilih akan cendrung memilih kandidat yang memiliki kemampuan dan kinerja yang baik serta mampu menawarkan visi/misi dan program kerja yang dapat memberikan solusi yang paling menarik dan mampu
untuk
menyelesaikan
persoalan
ekonomi
masyarakat
seperti
pengangguran, kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan, pendapatan dan permasalahan lainnya. Selain itu, tanggung jawab dan komitmen politik yang kuat dari kandidat kemudian juga menjadi pertimbangan pemilih untuk menentukan sikap.
Oleh karena itu, kemampuan masyarakat untuk
memperhatikan dan mengevaluasi kualitas, kinerja, visi/misi dan program dari setiap kandidat yang paling baik secara menyeluruh dalam pemilu atau pilkada 4
menjadi sangat penting. Tentu saja, tindakan evaluatif ini biasanya dilakukan oleh pemilih yang bersifat rasional, dengan kata lain mereka sudah dikategorikan sebagai pemilih cerdas (sophisticated voters) (Lau & Redlawsk: 2006). Selama ini, perilaku memilih di Indonesia dari pemilu ke pemilu memperlihatkan gejala yang beranekaragam, tidak terkecuali pada pemilu 2014. Praktik politik pemilihan umum presiden, legislatif maupun kepala daerah beberapa periode belakangan pasca reformasi sebenarnya telah menghadirkan sejumlah praktik baik dalam kehidupan politik kita, seperti semakin mudahnya akses informasi politik untuk memudahkan masyarakat mengevaluasi track record dan kemampuan setiap kandidat, serta tumbuhnya konstelasi pemilu yang beorientasi pada ide dan gagasan mensejahterakan rakyat. Tentunya hal tersebut setidaknya menunjukkan bagaimana tumbuhnya suatu iklim demokrasi yang mampu mendorong munculnya pemilih rasional dalam pemilu. Munculnya beberapa kepala daerah dan wakil rakyat yang berkualitas, inovatif, dan mampu membawa kemajuan bagi masyarakat di Indonesia beberapa periode belakangan ini, cukup menggambarkan bagaimana kecendrungan pemilih yang mulai rasional dalam sebagian pemilu maupun pilkada. Tetapi di sisi lain gejala yang kurang sehat juga muncul seperti menguatnya sentimen primordialisme dan menguatnya pragmatisme politik yang mendasari pertimbangan sebagian masyarakat dalam memilih. Dalam konteks pemilu di tingkat nasional maupun di tingkat lokal, sebagian pemilih masih mendasari pilihannya berdasarkan pertimbangan sosiologis seperti kesamaan suku, etnis, agama, kedaerahan, pekerjaan, pengaruh orang tua dan kerabat, kepatuhan kepada tokoh, dan pertimbangan sosiologis lainnya. Menguatnya gejala perilaku memilih sosiologis ini tidak terlepas dari pluralitas dan kemajemukan suku, budaya, dan agama bangsa Indonesia khususnya di daerah. Namun di sisi lain, kecendrungan ini tentu saja cukup mengancam bagi proses keberlangsungan demokrasi dalam hal seleksi kepemimpinan oleh rakyat, dimana kondisi ini dikhawatirkan akan menghambat lahirnya
pemimpin-pemimpin
yang
berkualitas
dan
berorientasi
pada
kesejahteraan seluruh masyarakat, dan mendorong lahirnya pemimpin yang 5
berorientasi pada kepentingan sebagian golongan atau kelompok masyarakat tertentu. Bahkan lebih jauh, gejala ini semakin mendorong terjadinya konflik SARA yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Kondisi ini semakin diperparah dengan menguatnya gejala pragmatisme politik sebagian pemilih dalam mendasari pilihannya ketika pemilu. Dalam hal ini, sebagian pemilih masih mendasari pilihannya berdasarkan iming-iming jangka pendek seperti pemberian uang, hadiah, bantuan dan pemberian lainnya dari kandidat menjelang pemilu. Kontestasi politik baik nasional maupun lokal yang mestinya ditandai dengan pertarungan gagasan untuk mensejahterakan rakyat terkadang berubah menjadi kontestasi uang demi merebut kekuasaan. Sikap toleran pemilih terhadap politik uang terutama pada Pemilu 2014 membuat praktek ini semakin masif. Tentu saja, gejala ini semakin menjauhkan kita pada hakikat dan substansi dari sebuah pemilu, yaitu melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas serta pemerintahan yang baik dan mampu mensejahterakan seluruh masyarakat. Justru yang akan muncul adalah terpilihnya pemimpin-pemimpin dan pemerintahan yang korup yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka Pemilu yang dilaksanakan dengan biaya yang tak sedikit ini tidak akan mencapai hasil optimal yang sesuai harapan rakyat Indonesia secara mayoritas. Dari banyak kajian berbagai pihak, ditemukan bahwa banyak aspek yang mempengaruhi perilaku memilih dalam pemilu di suatu daerah. Hal ini tentu harus menjadi perhatian utama bagi KPU sebagai penyelenggara pemilu karena dinamika perilaku memilih ini sangat dinamis dan beranekaragam serta fluktuatif dan berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Perbedaan karakter masyarakat di suatu daerah seharusnya juga diikuti metode penyampaian informasi yang sesuai sehingga proses tersebut efektif dan mencapai tujuan menguatnya pemilih rasional dan berkualitas dalam pemilu yang mampu menghasilkan pemimpin-pemimpin serta wakil rakyat yang berkualias baik ditingkat nasional maupun di tingkat lokal. Untuk menemukan metode yang tepat dalam pembuatan kebijakan dalam mengurai permasalahan menyangkut perilaku memilih dan rasionalitas memilih dalam pemilu, diperlukan penelitian/riset yang mendalam, terukur, 6
empiris
dan
terstruktur
dengan
metodologi
penelitian
yang
bisa
dipertanggungjawabkan sebagai input sebuah kebijakan yang akan dibuat. Permasalah seputaran prilaku memilih dalam pemilu antara lain menguatnya gejala primordialisme, gejala pragmatisme pemilih, dan lain sebagainya perlu dikaji secara mendalam karena ini menjadi pekerjaan rumah dalam pembuatan kebijakan di KPU Kabupaten/Kota lembaga penyelenggara pemilu tingkat daerah mengingat berbedanya karakteristik masyarakat suatu daerah dibanding daerah lain.
1.2.
Permasalahan Keberagaman pilihan masyarakat dalam Pemilu memang menjadi
perhatian banyak pihak.
Proses terbentuknya preferensi nilai-nilai politik
idnivodu menjadi dasar pilihan tersebut dibuat. Tidak jarang nilai-nilai yang diyakini tersebut, keluar dari konteks teori yang banyak dipelajari. Apalagi di Indonesia, transisi ke demokrasi telah mempengaruhi preferensi nilai politik masyarakat di Sumatera Barat. Nilai-nilai politik yang terbentuk dari individu tidak hanya berasal dari nilai-nilai demokrasi liberal.
Akan tetapi, nilai-nilai
tersebut juga bercampur dengan nilai-nilai sosiologis masyarakat tempatan. Kecenderungan ini juga menimbulkan pertanyaan, nilai manakah yang dominan dan bisa mempengaruhi perilaku memilih mereka? Memang
secara
teori,
ada
tiga
mashab
kecenderungan perilaku memilih indovodu tersebut.
yang
menjelaskan
Namun, dari ketiga
mashab tersebut tidak sedikit ahli mengaitkan pada perilaku memilih yang rasional. Pemilih yang rasional adalah pemilih yang menyandarkan pilihannya kepada keuntungan yang diperoleh dengan meminimumkan dampak negatif dari pilihan tersebut.
Tentu, tidaklah mudah menjadi pemilih yang rasional
tersebut karena implikasi pilihan tersebut jelas akan mempengaruhi sistem politik. Selain itu, menjadi pemilih yang rasional juga mensyaratkan adanya ketersediaan informasi yang cukup bagi pemilih untuk membuat keputusan yang sesuai dengan kepentingannya berdasarkan informasi yang diperoleh sebelunya. Inilah realita yang mesti dipahami dalam menjelaskan bagaimana perilaku memilih tersebut dibentuk. 7
Masyarakat Kota Padang dalam konsepnya adalah masyarakat yang terpapar dengan banyak informasi politik sebenarnya dapat dimanfaatkan dalam membuat keputusan dalam Pemilu atau Pilkada. Apalagi dengan jumlah pemilihnya yag cukup banyak di Sumatera Barat, maka memahami perilaku memilih mereka menjadi penting untuk dilakukan.
Melihat kecenderungan
tersebut, maka penelitian ini akan membahas seperti apa perilaku memilih warga dan sejauh mana pilihan politik tersebut rasional ?
1.3.
Tujuan Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan
menganalisis faktor yang mempengaruhi perilaku memilih
warga dan
menjelaskan alasan pilihan politik yang dibuat warga sesuai dengan prinisp rasional dalam suatu pemilihan.
1.4
Manfaat Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
a.
Mendapatkan peta partisipasi pemilih Kota Padang berdasarkan motivasi, alasan politik dan kecenderungan memilih.
b.
Menghasilkan rekomendasi untuk ditindaklanjuti menjadi kegiatan KPU Kota Padang dalam meningkatkan partisipasi memilih.
8
BAB II TINJAUAN TEORITIS
Perilaku memilih berkaitan dengan tingkah laku individu dalam hubungannya dengan proses pemilihan umum. Sementara itu, Huntington dan Nelson (1994) menyebutkan perilaku memilih sebagai electoral activity, yakni termasuk pemberian suara (votes), bantuan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, menarik masuk atas nama calon, atau tindakan lain yang direncanakan untuk mempengaruhi proses pemilihan umum. Oleh karena itu, perilaku memilih baik sebagai konstituen maupun masyarakat umum disini dipahami sebagai bagian dari konsep partisipasi politik dalam sistem perpolitikan rakyat yang cendrung demokratis. Selanjutnya, perilaku memilih dikaitkan disini sebagai tindakan para pemilih dalam memberikan suaranya pada pemilu atau pilkada.Perilaku memilih bisa didefinisikan sebagai tindakan/kegiatan yang dilakukan oleh pemilih untuk memilih suatu kandidat dalam pemilu serta alasan dan faktor apa yang menyebabkannya memutuskan pilihan tersebut. Sejalan dengan itu, Jack Plano (1985) menyatakan bahwa studi perilaku memilih dimaksudkan sebagai suatu studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum, serta latar belakang mengapa mereka melakukan pilihan itu. Sementara itu, J. Kristiadi (1992) berpendapat bahwa perilaku memilih adalah keterikatan seseorang untuk memberikan suara dalam proses pemilihan umum berdasarkan faktor sosiologis, psikologis dan rasional pemilih atau disebut voting behavioral. Dengan demikian, perilaku memilih bisa didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemilih dalam memberikan suaranya untuk memilih suatu calon atau kandidat dalam pemilu. Dalam hal ini, pilihan pemilih terhadap suatu calon dipengaruhi oleh berbagai faktor dan alasan mengapa seorang pemilih memberikan suaranya pada calon tertentu dan bukan kepada calon lainnya dalam pemilu.
9
Penelitian mengenai perilaku memilih (Voting Behavior) dalam pemilu pada dasarnya mempergunakan beberapa mazhab atau pendekatan yang telah berkembang selama ini yakni: 1. Mazhab Sosiologis Mazhab atau pendekatan sosiologis pada awalnya berasal dari Eropa yang
kemudian
berkembang
di
Amerika
Serikat,
yang
pertama
kali
dikembangkan oleh Biro Penerapan Ilmu Sosial Universitas Colombia (Colombia`s University Bureau of Applied Social Science), sehingga lebih dikenal dengan kelompok Colombia. Menurut mazhab ini, perilaku memilih seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti sosial ekonomi, afiliasi etnik, tradisi keluarga, keanggotaan terhadap organisasi, usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal, agama, pendidikan, dan lain-lain (J.Kristiadi: 1992). Lazeersfeld menerapkan cara pikir ini kepada pemilih. Seorang pemilih hidup dalam konteks tertentu : status ekonominya, agamanya, tempat tinggalnya, pekerjaannya dan usianya mendefinisikan lingkaran sosial yang mempengaruhi keputusan sang pemilih. Setiap lingkaran sosial memiliki normanya sendiri, kepatuhan terhadap norma-norma tersebut menghasilkan integrasi. Namun konteks ini turut mengkontrol prilaku individu dengan cara memberikan tekanan agar sang individu menyesuaikan diri, sebab pada dasarnya setiap orang ingin hidup dengan tentram, tanpa bersitegang dengan lingkungan sosialnya. (Dieter Roth, 2008). Menurut pengikut mashab ini, faktor sosiologis individu adalah faktor yang menentukan pilihan akhir yang digabungkan ke dalam indeks presdisposisi politik mereka (Asrinaldi: 2012). Hasil karya penelitian dari mashab sosiologis yang paling fundamental adalah karya Lazarsfeld, Barelson & Gaudet yang bertajuk The People’s choice : how the voter makes up his mind a presidential campaign.1 Hal penting yang dapat disimpulkan dari kajian Lazarsfeld, Barelson & Gaudet yang bertajuk The People’s choice : how the voter makes up his mind a presidential campaign sebagaimana dikutip Asrinaldi (2012) bahwa perlaku memilih seseorang merefleksikan keanggotaan kelompok sosial yang dibentuk oleh kekuatan sosio 1
Lazarsfeld, Barelson & Gaudet sebagaimana dikutip Asrinaldi, Ibid,. hlm. 25.
10
ekonomi dan demografi. Asumsi ini berangkat dari eksistensi individu sebagai makhluk sosial yang berada dalam lingkungan sosial yang dinamis. Lingkungan inilah yang sebenarnya mempengaruhi nilai dan keyakinan politik individu yang selanjutnya menjadi bagian penting dalam perkembangan sikap, perilaku dan tindakan politik mereka. Sementara, kondisi sosio ekonomi individu menjadi dasar untuk memahami perubahan lingkungan yang terjadi di sekitar mereka. Selanjutnya, para penganut model sosiologis yakin bahwa seorang pemilih memilih partai atau calon pejabat publik tertentu karena adanya kesamaan antara karakteristik sosiologis pemilih dengan karakteristik sosiologis partai atau calon (Syaful Mujani, Liddle, dan Ambardi: 2012). Menurut Syaiful Mujani, Liddle, dan Ambardi (2012), salah satu faktor sosiologis lain yang juga dipercaya penting memengaruhi keputusan seseorang untuk memilih partai politik atau seorang calon pejabat publik adalah agama. Partai politik atau calon pejabat publik yang punya platform keagamaan yang sama dengan karakteristik keberagamaan pemilih, cendrung akan didukung oleh pemilih tersebut. Sementara itu, ras dan etnik juga dipercaya sebagai faktor sosiologis yang memengaruhi bagaimana seseorang memilih partai politik atau calon pejabat publik. Secara lebih khusus, kesamaan ras dan etnik antara pemilih dan calon pejabat publik cendrung memengaruhi prilaku memilih seseorang. Hal lain yang yang terkait dengan etnik adalah sentimen kedaerahan. Calon pejabat publik yang punya asal-usul atau keterikatan dengan daerah tertentu cendrung akan didukung oleh pemilih dari daerah bersangkutan. Walaupun berbeda dilihat dari asal etnik, seorang calon pejabat publik yang tinggal atau biasa memperjuangkan kepentingan suatu daerah tertentu, cendrung akan didukung oleh pemilih dari daerah bersangkutan (Syaful Mujani, Liddle, dan Ambardi: 2012). Selanjutnya, kajian Gerald Pomper sebagaimana dikutip Asrinaldi (2012), menemukan terdapat hubungan yang signifikan antara presdisposisi sosial ekonomi keluarga tersebut dengan perilaku memilih seseorang. Artinya preferensi politik keluarga seperti preferensi politik ayah dan ibu berpengaruh pada preferensi politik anak dalam keluarga tersebut dan ini yang menetukan keputusan akhir si anak dalam memilih. 11
Lebih lanjut, dalam suatu masyarakat, dukungan terhadap partai atau calon tertentu mungkin juga terkait dengan pola-pola hubungan patron-klien antara pemilih dengan calon yang terkait dengan partai tertentu. Menurut Karl. D Jackson sebagaimana dikutip oleh Syaful Mujani, Liddle, dan Ambardi 2012) bahwa orang mendukung sebuah partai politik tertentu karena ia merasa tergantung dengan pada patronnya yang terkait dengan partai atau dengan calon tertentu. Kuncinya adalah ketergantungan seseorang secara sosialekonomi kepada orang lain yang punya hubungan dengan partai atau calon tertentu. Hal ini, terlihat pada hasil penelitian J. Kristiadi (1992) di Yogyakarta yang menemukan bahwa pola panutan merupakan variabel yang cukup berperan untuk menjelaskan fenomena perilaku pemilih baik dalam masyarakat kota, dan lebih-lebih bagi masyarakat desa. Hal ini disebabkan kepatuhan kepada tokoh panutan dalam budaya masyarakat Jawa sangat tinggi sehingga mendorong mereka lebih mengandalkan tuntunan dari tokoh panutannya dalam memberikan suara mereka pada pemilihan umum.
2. Mazhab Psikologis Karena
banyaknya
kelemahan
yang
terdapat
pada
pendekatan
sosiologis, muncul model perilaku memilih berdasarkan pendekatan psikologis. Pelopor pendekatan ini August Campbel, peneliti pada Survey Research Centre, sebuah lembaga penelitian di Universitas Michigan, Amerika Serikat. Pendekatan ini dikembangkan sepenuhnya di Amerika Serikat dengan kontributor utama Universitas Michigan, hingga model perilaku memilih berdasarkan pendekatan psikologis juga sering disebut mazhab Michigan (Adman Nursal: 2004). Pendekatan psikologis ini mengidentikkan perilaku memilih individu dari proses sosialisasi yang mereka dapatkan dari lingkungan persekitarannya. Misalnya, sosialisasi yang diterima seseorang pada masa kecil, baik lingkungan keluarga maupun perkawanan mempengaruhi pilihan politik mereka, khususnya pada saat pertama kali menentukan pilihan politik. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang adalah refleksi dari kepribadiannya dan menjadi variabel yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik individu 12
tersebut (Asrinaldi: 2012). Karenanya menurut Niemy & Weisberg sebagaimana dikutip Asrinaldi (2012), pendekatan psikologis mengaitkannya dengan tiga aspek utama pendekatan psikologis ini, ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu yang berkembang dan orientasi terhadap kandidat. Menurut Cambell sebagaimana dikutip Miller & Shanks dan Syaiful Mujani, Liddle, & Ambardi (2012) bahwa dalam faktor psikologis ini terbangun sebuah persepsi dan sikap partisipan seseorang karena proses sosialisasi politik yang dialaminya. Partai politik seperti halnya agama dan kelas sosial, adalah sebuah entitas independen yang akan membentuk sentimen dan identitas politik seseorang yang tersosialisasi ke dalam partai politik tersebut. Identitas partai (party ID) ini yang memperantarai faktor-faktor sosiologis dengan opini dan sikap terhadap partai politik, calon-calon pejabat publik, isuisu politik terkait, dan keputusan untuk memilih partai atau calon pejabat publik tertentu. Sejalan dengan itu, Dan Nimmo sebagaimana dikutip Adman Nursal (2004)
menyatakan
bahwa
identifikasi
partai
berkaitan
dengan
pengelompokkan sosial. Asumsi utamanya adalah bahwa manusia bereaksi terhadap rangsangan secara pasif dan terkondisi. Perilaku pemberi suara dibentuk
oleh
faktor-faktor
jangka
panjang,
terutama
faktor
sosial.
Pengelompokkan sosial dan demografi berkorelasi dengan proses identifikasi partai. Ini tak lain karena karakter kelompok sosial dan demografi dimana pemilih itu berada, memberi pengaruh sangat penting dalam proses pembentukan ikatan emosional pemilih dengan simbol-simbol partai, terutama pada awal proses sosialisasi. Simbol-simbol kelompok dan ikatan-ikatan kesejarahan, dengan proses tertentu, dapat melekat pada simbol-simbol partai sehingga terciptalah identifikasi partai. Lebih jauh lagi, konsep identifikasi kepartaian dapat dihubungkan dengan konsep dukungan (partisanship). Denis Kavanagh (1983) menjelaskan konsep identifikasi partai sebagai semacam kedekatan psikologis seseorang dengan satu partai tertentu. Ia menambahkan, konsep identifikasi partai ini mirip dengan loyalitas partai atau kesetiaan seorang pemilih terhadap partai 13
tertentu. Seiring bertambahnya usia, identifikasi partai menjadi bertambah stabil dan intensif. Identifikasi partai merupakan orientasi yang permanen dan tidak berubah dari pemilu ke pemilu. Identifikasi partai hanya dapat berubah jika seseorang mengalami perubahan pribadi yang besar atau situasi politik yang luar biasa (Dieter Roth: 2008). Dalam hal ini, seseorang partisan adalah orang yang merasa dirinya bagian dari sebuah partai atau mengidentikkan dirinya dengan partai tertentu. Misalnya, “Saya orang Golkar” atau “Saya orang PDIP”. Oleh karena itu, seorang partisan punya energi psikologis untuk memilih partainya dalam Pemilu (Syaiful Mujani, Liddle, & Ambardi: 2012). Secara panjang lebar, Campbell sebagaimana dikutip Asrinaldi (2012) menjelaskan proses terbentuknya perilaku pemilih dengan istilah “Funnel of Causality”. Pengandaian itu dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena voting yang di dalam model terletak palingatas dari “funnel ” (cerobong). Digambarkan bahwa di dalam cerobong terdapat as (axis) yang mewakili dimensi waktu. Kejadian-kejadian yang saling berhubungan satu sama lain bergerak dalam dimensi waktu tertentu mulai dari mulut sampai ujung cerobong. Mulut cerobong adalah latar belakang sosial (ras, agama, etnik, dan daerah), status sosial(pendidikan, pekerjaan, dan kelas), dan watak orang tua. Semua unsur tadi mempengaruhi identifikasi kepartaian seseorang yang merupakan bagian berikutnya dari proses tersebut. Pada tahap berikutnya, identifikasi kepartaian akan mempengaruhi penilaian terhadap para kandidat dan isu-isu politik. Terkait dengan adanya pengaruh kejadian dalam dimensi waktu yang mempengaruhi individu ini mempengaruhi sifat identifikasi kepartaian. Kejadian yang dialami individu tersebut membentuk variabel penting lainnya yang menjadi perhatian mashab psikologis ini, yaitu orientasi terhadap kandidat dan orientasi terhadap isu. Dalam hal ini, Niemy & Weisberg sebagaimana dikutip Asrinaldi (2012) menegaskan identifikasi kepartaian dapat dipengaruhi dan dan mempengaruhi kekuatan-kekuatan jangka pendek seperti adanya intervensi pemerintah atau partai politik melalui orientasi isu jangka pendek dan orientasi kandidat. Oleh karena itu, selain identifikasi kepartaian, implementasi mashab psikologis dalam menganalisa perilaku memilih ini juga dapat dilihat dari isu 14
yang berkembang. Keberadaan isu dalam kegiatan memilih dalam Pemilu merupakan sebuah fenomena politik yang memiliki karakteristik tertentu dan sulit untuk di pahami. Sebab, isu yang dikembangkan agar dipahami oleh pemilih sebenarnya erat kaitannya dengan membangun opini publik sehingga mempengaruhi kedekatan emosional mereka dengan partai politik. Isu yang sering menjadi perhatian dari pemilih adalah terkait dengan pembangunan ekonomi seperti tingkat pertumbuhan, pengurangan pajak, lapangan pekerjaan dan sebagainya. Inilah yang menjadi stimulus bagi individu untuk merespon dalam bentuk pilihan politiknya (Asrinaldi: 2012) Selanjutnya, faktor lain yang tak kalah penting dalam pendekatan psikologis ini adalah variabel orientasi terhadap kandidat. Orientasi kandidat mengacu pada pada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa mempedulikan label partai. Ketertarikan para pemilih terhadap isu-isu tertentu dan kandidat tertentu yang ditawarkan oleh partai bersifat situasional (Adman Nursal: 2004). Menurut Asrinaldi (2012), pengetahuan individu terhadap kandidat akan berdampak pada posisi kandidat tersebut dalam pemilu. Biasanya pemilih lebih cendrung memberikan evaluasi terhadap kandidat berdasarkan popularitas dalam suatu daerah pemilihan, reputasi yang dimiliki kandidat, dan kemampuan kandidat yang bersangkutan. Jadi, orientasi terhadap kandidat pada umunya menjadi sesuatu yang sangat signifikan dalam sistem pemilihan langsung Presiden dan Kepala Daerah; sitem yang memungkinkan pemilih mengetahui secara mendalam karakter calon yang diajukan partai politik. Upaya penilaian terhadap kandidat ini jelas tidak berlangsung sesaat saja seperti pada masa kampanye, namun seringnya evaluasi terhadap kandidat ini dipengaruhi oleh informasi yang diterima pemilih melalui media massa yang secara tidak langsung membentuk persepi mereka dalam Pemilu. Sehubungan dengan inilah, maka iklan diri di media massa menjadi pilihan praktis bagi kandidat atau partai menjual “produk” politiknya. Hal ini terlihat dari hasil penelitian Wettenberg (2006) sebagaimana dikutip Fachri Adnan (2012) dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2004 yang menujukkan adanya pengaruh dimensi kepribadian calon terhadap 15
perilaku memilih. Dalam hal tersebut, ditemukan bahwa evaluasi pemilih terhadap
kepribadian
George
W.
Bush
lebih
menonjol
dibandingkan
kepribadian Jhon Kerry.
3. Mazhab Ekonomi/Rasional Mazhab ini lahir sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap pendekatan sosiologis dan psikologis. Pemikiran baru ini mempergunakan pendekatan ekonomi yang sering pula disebut sebagai pendekatan rasional. Anthony Dawns sebagaimana dikutip Roth (2008) , menjelaskan bahwa pemilih yang rasional hanya menuruti kepentingannya sendiri di atas kepentingan orang lain. Manusia bertindak egois, terutama oleh karena mereka ingin mengoptimalkan kesejahteraan material mereka, yakni pemasukan atau harta benda mereka. Jika hal ini diterapkan dalam perilaku pemilu, maka ini berarti bahwa pemilih yang rasional akan memilih calon yang bisa memberikan keuntungan untuknya. apabila calon ini menduduki pemerintahan dibandingkan calon lainnya. Lebih lanjut, biasanya seseorang akan memilih calon atau partai apabila calon atau partai
tersebut dipandang dapat membantu pemilih memenuhi
kepentingan dasarnya : kehidupan ekonomi. Model ini bertumpu pada asumsi bahwa pilihan politik banyak dibentuk oleh evaluasi atas kondisi ekonomi, personal, maupun kolektif. (Dawns 1956; Wheaterford dan Kiewiet, 1980; Fiorina, 1981; Lewis-Beck, 1998 sebagaimana dikutip Syaiful Mujani, Liddle, Ambardi :2012). Lebih
jauh,
Fiorina
sebagaimana
dikutip
Syaful
Mujani
(2012)
menegaskan rasionalitas pemilih tersebut tidak hanya dalam aspek pemenuhan kepentingan ekonomi individu saja, tapi harus membawa efek yang lebih besar misalnya ekonomi secara nasional. Jadi, tindakan rasional individu dalam memilih ini tidak hanya menyangkut diri individu tersebut, tapi juga akibat pada kerja sistem yang berlangsung seperti kinerja pemerintah, lingkungan sosioekonomi dan kebijakan publik. Selain itu, Antoni Downs sebagaimana dikuti Syaful Mujani (2012) menyatakan bahwa evaluasi positif warga terhadap kondisi ekonomi akan memberikan reward (ganjaran) terhadap pejabat yang sedang menjabat. 16
Sebaliknya, jika evaluasi negatif, maka dia akan memberikan hukuman terhadapnya dengan cara memilih pihak oposisi. Oleh karena itu, tindakan evaluatif biasanya dilakukan oleh pemilih yang bersifat rasional, dengan kata lain mereka sudah dikategorikan sebagai pemilih cerdas (sophisticated voters) (Lau and Redlawsk: 2006). Sejalan dengan itu, Key sebagaimana dikutip Roth (2008) melihat kecendrungan masing – masing pemilih menetapkan pilihannya secara retrospektif, yaitu dengan menilai apakah kinerja partai yang menjalankanpemerintahan pada periode legislatif
terakhir sudah baik bagi
dirinya sendiri dan bagi negara, atau sebaliknya. Penilaiannya dipengaruhi oleh penilaian terhadap pemerintahan di masa yang lalu. Apabila hasil penilaian kinerja pemerintahan yang berkuasa (dibandingkan dengan yang terdahulu) positif maka mereka akan dipilih kembali. Dan apabila hasilnya negatif, maka pemerintahan tidak akan dipilih kembali. Dalam hal ini, pemilih rasional biasanya melakukan penilaian atau evaluasi secara valid atas tawaran yang disampaikan oleh kandidat. Selain itu, pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan mendapatkan informasi yang cukup. Tindakan dalam pengambilan keputusan memilih bukan berdasarkan pada faktor kebetulan dan kebiasaan, namun menurut pikiran dan pertimbangan yang logis (Adman Nursal: 2004). Hal ini beralasan karena pemilih rasional akan cendrung memilih kandidat dengan melakukan penilaian dan evaluasi yang menyeluruh terhadap kemampuan kandidat yang dinilai mampu menawarkan solusi atau visi/misi dan program kerja yang paling menarik serta mampu untuk memenuhi kepentingan/kebutuhan masyarakat dan menyelesaikan
persoalan
ekonomi
masyarakat
seperti
pengangguran,
kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan, pendapatan dan permasalahan lainnya. Selain itu, beberapa indikator yang sering dipakai para pemilih rasional untuk menilai seorang kandidat, khususnya bagi pejabat publik yang mencalonkan diri kembali adalah kualitas, kompetensi, dan integritas kandidat tersebut. Proses evaluasi terhadap kandidat tersebut dipengaruhi oleh sejarah dan pengalaman masa lalu kandidat baik dalam kehidupan berbangsa, bernegara, maupun bermasyarakat (Asrinaldi:2012). 17
Ketiga mashab dalam perilaku memilih ini dapat dilihat dalam perilaku memilih masyarakat di Kota Padang. Setiap mashab tentu memiliki pengikut yang dapat diketahui dari perilaku memilih mereka.
Dalam konteks itulah
penelitian ini melihat bagaimana kecenderungan perilaku memilih warga Kota Padang dalam Pemilu. Apakah memang sudah rasional sebagaimana yang dipersepsikan selama ini ataukah masih bersandarkan pada aspek sosiologis semata.
Pemahaman ini berguna karena Kota Padang menjadi rujukan
sebagian besar masyarakat Sumatera Barat dalam berpolitik dan bahkan menjadi contoh berperilaku dalam aktivitas politik.
18
BAB III METODE PENELITIAN
4.1
Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang menjadi dasar
bagi sebagai besar ilmuwan dalam memahami perilaku memilih individu. Pendekatan kuantitatif ini menggunakan teknik survey yang dilakukan terjadap sejumlah responden yang dipilih secara acak. Untuk mendapatkan informasi, maka peneliti mendesain pertanyaan penelitian ke dalam bentuk kuisioner yang harus dijawab oleh responden terpilih.
4.2
Lokasi Penelitian Lokasi survey adalah Kota Padang dan kriteria responden adalah
masyarakat yang memenuhi syarat sebagai pemilih pemilu dan ikut serta memberikan hak pilihnya dalam pemilu. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 100 orang, dengan tingkat kepercayaan 90%.
Sedangkan untuk
melakukan pemilihan responden menggunakan teknik stratified random sampling, dengan segmentasi pemilih sebagai berikut: 1. Kecamatan dipilih secara random sebanyak 40% dari total kecamatan, sehingga terpilih 4 kecamatan yakni : a. Kecamatan Koto Tangah b. Kecamatan Nanggalo c. Kecamatan Padang Barat d. Kecamatan lubuk begalung 2. Dari setiap kecamatan, dipilih masing-masing dua dan tiga kelurahan untuk dijadikan sampel penelitian. 3. Di setiap kelurahan, diacak masing-masing 1 RT dan 1 RW terpilih. 4. Dari setiap RT dan RW terpilih, diacak masing-masing 10 kepala keluarga.
19
5. Di setiap kepala keluarga, dilakukan pemilihan responden dengan menggunakan metode khis grid.
Secara metodologis, dengan sampel yang sedikit ini tentu bermasalah dengan generalisasi, terutama di kecamatan yang memiliki pemilih yang masyarakatnya pluras seperti di Kecmatan Padang Selatan yang tidak menjadi sampel dalam penelitian ini.
Walaupun begitu, kesimpulan umum dari
penelitian ini dapat menggambarkan sebagian besar karakter pemilih di Kota Padang. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus 2015 dengan rincian kegiatan persiapan, pelaksanaan riset, pembuatan laporan dan publikasi hasil riset.
4.3
Analisis Data Data
penelitian
ini
dianalisis
dengan
kaedah
statistik
dengan
menggunakan SPSS untuk membantu peneliti melihat kecenderungan data dengan
menggunakan
tabel
frekuensi.
Artinya,
penelitian
ini
hanya
menggunakan analisis data yan bersifat univariate dan tidak dalam konteks melihat hubungan antar variable dalam penelitian.
20
BAB IV TEMUAN PENELITIAN
5.1
Karakteristik Responden Responden dalam survey ini berjumlah 100 orang dengan karakteristik
sebagai berikut: Tabel 1 Jenis Kelamin Responden Jenis Kelamin Persen Laki-laki 48 Perempuan 52 Total 100 Sumber: diolah dari data primer
Temuan survey menunjukkan bahwa 48 % responden laki dan 52% responden perempuan. Meskipun tidak persis sama besar namun terlihat cukup keseimbangan antara jumlah responden laki-laki dan jumlah responden perempuan. Dilihat dari sebaran Kecamatan responden, sebagian besar responden berasal dari Kecamatan Koto Tangah dan Lubuk Begalung yang mana jumlah pemilih di kedua Kecamatan ini cukup besar, dan sebagian lainnya berasal dari Kecamatan Nanggalo dan Padang Barat yang jumlah pemilihnya lebih kecil. Dilihat dari sebaran Kecamatan responden ini setidaknya cukup bisa mewakili jumlah pemilih di Kota Padang dari segi presentase jumlah pemilih. Tabel 2 Kecamatan Responden Jenis Kelamin Persen Koto Tangah 30 Lubuk Begalung 30 Nanggalo 20 Padang Barat 20 Total 100 Sumber: diolah dari data primer
Selanjutnya, dilihat dari sisi usia resonden, sebagian besar responden berada pada usia produktif. Dilihat dari kategori umur responden cukup tersebar 21
pada semua level usia pemilih, baik pemilih pemula maupun pemilih usia lanjut. Jadi responden dalam penelitian ini cukup dapat mewakili semua level usia pemilih. Tabel 3 Usia Responden Kategori Persen 17 - 22 Tahun 20 23 - 28 Tahun 18 29 – 34 Tahun 8 35 – 40 Tahun 10 40 – 45 Tahun 12 46 – 50 Tahun 3 51 – 56 Tahun 10 57 – 61 Tahun 16 > 62 Tahun 3 Total 100 Sumber: diolah dari data primer
Sementara itu, dari segi pengeluaran kotor keluarga, sebagian responden dapat dikategorikan kelompok masyarakat menengah (lihat tabel 4). Namun kelompok masyarakat yang dikategorikan pengeluaran rendah sudah terwakili secara merata juga. Semua kelompok masyarakat dari berbagai kategori perekonomian lemah hingga menengah atau atas sudah cukup terwakili oleh semua responden. Tabel 4 Pengeluaran Kotor KK Responden Pengeluaran Kotor KK Tidak menjawab Kurang dari Rp. 500.000 Rp. 500.000 – Rp 999.999
Persen 2 2 10
Rp. 1.000.000 – Rp. 1.999.999
44
Rp 2.000.000 – Rp. 3.999.999
31
Rp. 4.000.0000 atau lebih Total Sumber: diolah dari data primer
11 100
Sedangkan dilihat dari segi pendidikan responden sebagian besar responden berpendidikan menengah dan pendidikan tinggi (lihat tabel 5). 22
Namun responden dengan pendidikan rendah masih cukup terwakili. Artinya dari sisi pendidikan, responden cukup beragam dan sudah mewakili semua level pendidikan semua pemilih. Tabel 5 Pendidikan Terakhir Responden Tingkat pendidikan Tidak pernah sekolah Tamat SD atau sederajat Tamat SMP atau sederajat Tamat SMU atau sederajat Tamat D1/D2/D3 Tamat S1 Tamat S2/S3 Total Sumber: diolah dari data primer
Persen 1 10 11 62 4 12 0 100
Dari segi pekerjaan, sebagian besar responden memiliki pekerjaan utama sebagai ibu rumah tangga dan pelajar/mahasiswa. Sebagian lagi responden memiliki pekerjaan utama sebagai pedagang dan karyawan perusahaan swasta. Selebihnya pekerjaan responden tersebar dalam berbagai jenis seperti usaha sendiri, PNS/Guru, buruh kasar, serabutan/tidak bekerja dan lainnya (lihat tabel 6). Tabel 6 Pekerjaan Utama Responden Pekerjaan Utama Petani Buruh kasar/tukang Supir Pedagang Usaha sendiri PNS/Guru Karyawan Perusahaan Swasta Pensiunan PNS Pensiunan Tentara/Polisi Kerja tidak tetap/serabutan Ibu Rumah Tangga Pelajar, Mahasiswa Tidak /Belum Bekerja Total Sumber: diolah dari data primer
Persen 2 4 3 13 11 7 13 2 1 4 22 17 1 100
23
Dari segi pengeluaran kotor keluarga, sebagian responden dapat dikategorikan kelompok masyarakat menengah (lihat tabel 5). Namun kelompok masyarakat yang dikategorikan pengeluaran rendah sudah terwakili secara merata
juga.
Semua
kelompok
masyarakat
dari
berbagai
kategori
perekonomian lemah hingga menengah atau atas sudah cukup terwakili oleh semua responden.
Namun sebagian responden (28,8%) tidak menjawab
pengeluran kotor mereka. Hal ini tidak terlalu menjadi persoalan, karena dari keseluruhan responden yang menjawab pengeluran kotor KK mereka sudah tersebar dan cukup mewakili semua kategori kemampuan ekonomi masyarakat. Sedangkan dilihat dari segi agama, seluruh responden beragama Islam. Tabel 7 Alasan memilih Caleg Agama Islam Lainnya Total Sumber: diolah dari data primer
5.2
Persen 100 0 100
Alasan Pilihan Responden pada Pemilu dan Pemilihan Presiden Tahun 2014 Pada bahagian ini menjelaskan tentang alasan pilihan responden pada
Pemilu dan Pemilihan Presiden 2014. Dalam hal ini, perilaku memilih terkait dengan tindakan pemilih memilih suatu kandidat caleg/calon Presiden dalam Pemilu, serta apa yang mendasari alasan pilihan tersebut. Berikut alasan yang mendasari responden dalam memilih partai politik/calon anggota legislatif. Jika dilihat dari alasan para responden dalam memilih dengan jawaban maksimal tiga alasan utama, sebagian besar responden menyatakan karena kamampuan calon, kedekatan dengan masyarakat, janji politik/program/visi-misi kandidat, dan agama (lihat tabel 8). Sebagian lagi memiilih karena partai pendukung caleg, perilaku dan karakter caleg, asal suku/daerah. Dilihat dari alasan umum respoden terlihat bahwa mereka dalam menentukan pilihan dalam pemilu legislatif 2014 sudah memperlihatkan kecendrungan sebagai pemilih rasional. 24
Tabel 8 Alasan Utama Memilih Caleg Alasan Memilih Partai Pendukung Ideologi Partai Asal Suku/Daerah Caleg Profesi Caleg Perilaku dan Karakter Caleg
Persen 8,6 5,8 7,4 3,3 6,2
Kemampuan Calon Janji Politik/Program/Visi-Misi
24,7 11,9
Kharisma/Ketokohan Caleg
0,4
Popularitas Caleg Gender atau usia caleg Agama caleg Kedekatan dengan masyarakat
2,1 0,4 11,9 13,6
Rekam Jejak Suka menyumbang saat kampanye Total Sumber: diolah dari data primer
3,3 0,4 100,0
Pertimbangan memilih sebagian besar pemilih berdasarkan kemampuan calon, kedekatan calon dengan masyarakat, janji politik/program/visi dan misi calon, dan persolaan menyangkut calon legislatif ternyata menjadi perhatian pemilih. Data ini menunjukkan bahwa kelompok responden dalam penelitian ini melakukan evaluasi terhadap caleg yang akan mereka pilih. Tindakan evaluatif biasanya dilakukan oleh pemilih yang bersifat rasional, dengan kata lain mereka sudah bisa dikategorikan sebagai pemilih cerdas (sophisticated voters) (Lau and
Redlawsk:
2006).
Hal
yang
menjadi
menarik
kemudian
adalah
kharisma/ketokohan caleg (0,4%), gender/usia caleg (0,4%) dan suka menyumbang saat kampanye (0,4%) tidak terlalu mendapat perhatian dari responden untuk memilih. Dari data terlihat bahwa responden sudah cukup rasional dalam menentukan pilihan mereka pada pemilu legislatif. Walaupun dari alasan umum responden bisa dikatakan sudah cukup rasional, namun disisi lain pertimbangan seperti agama caleg (11,9%), partai pendukung (8,6%) dan asal suku/daerah caleg (5,8%) dari sebagian responden 25
juga cukup mendapat perhatian. Hal ini tentu saja bisa sedikit menggambarkan bagaimana faktor-faktor sosiologis dan psikologis masih juga cukup menjadi pertimbangan sebagian responden dalam memilih partai/caleg meskipun secara umum pertimbangan responden terlihat cukup rasional. Tabel 9 Alasan memilih Presiden Alasan Memilih Partai Pendukung Ideologi Partai Asal Suku/Daerah Caleg Profesi Caleg Perilaku dan Karakter Caleg Kemampuan Calon Janji Politik/Program/Visi-Misi Kharisma/Ketokohan Caleg
Persen 9,2 6,8 3,6 4,0 6,8 26,9 8,4 1,6
Popularitas Caleg Gender atau usia caleg Agama caleg Kedekatan dengan masyarakat
1,6 0,8 11,6 15,3
Rekam Jejak Suka menyumbang saat kampanye Total Sumber: diolah dari data primer
2,8 0,4 100,0
Sementara itu, jika dilihat dari alasan para responden dalam memilih calon Presiden pada pemilihan Presiden tahun 2014 dengan jawaban maksimal tiga alasan utama, sebagian besar responden mendasari pilihannya karena kamampuan calon, kedekatan dengan masyarakat, dan agama calon Presiden (lihat tabel 8). Sebagian lagi memiilih karena partai pendukung calon, janji politik/program visi-misi calon, perilaku dan karakter calon, asal suku/daerah calon dan ideologi partai. Dilihat dari alasan umum respoden terlihat bahwa mereka dalam menentukan pilihan dalam pemilu Presiden 2014 juga sudah menunjukkan gejala pemilih rasional. Beberapa indikator yang sering dipakai para pemilih rasional untuk menilai seorang kandidat, khususnya bagi pejabat publik yang mencalonkan diri kembali adalah kualitas, kompetensi, dan 26
integritas kandidat tersebut. Proses evaluasi terhadap kandidat tersebut dipengaruhi oleh sejarah dan pengalaman masa lalu kandidat baik dalam kehidupan berbangsa, bernegara, maupun bermasyarakat (Asrinaldi:2012). Hal ini terlihat dari bagaimana sebagian besar responden mendasari pilihannya dengan memperhatikan bagaimana kemampuan calon Presiden seperti prestasi
kerja,
pengalaman
memimpin,
dan
pendidikan
calon,
serta
memeperhatikan sejauh mana calon Presiden itu dekat dengan masyarakat. Namun yang menarik adalah alasan agama calon juga cukup menjadi perhatian sebagian responden dalam memilih Presiden. Tentunya ini menjadi catatan menarik karena mayoritas pemilih Indonesia adalah beragama Islam, termasuk di Kota Padang, dan dalam konteks pemilihan Presiden, responden akan cendrung melihat apakah agama calon tersebut beragama Islam. Hal ini menunjukkan bahwa pertimbangan sosiologis setidaknya terlihat masih melekat dalam mendasari alasan responden dalam memilih. Disisi lain, alasan suka menyumbang saat kampanye, gender atau usia calon
serta
kharisma/ketokohan
calon tidak
terlalu menjadi perhatian
responden. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum responden tidak pragmatis baik dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden dalam artian tidak terpengaruh seberapa besar sumbangan yang diberikan calon, dan ini memperlihatkan bahwa secara umum responden baik dalam pemilihan legislatif maupun pemilihan Presiden tahun 2014 telah menujukkan kecendrungan sebagai
pemilih
rasional
dengan
mendasari
alasan
utamanya
pada
kemampuan calon seperti (prestasi kerja, pengalaman memimpin, dan pendidikan dari calon.
5.3
Pertimbangan Secara Umum dalam memilih pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Tahun 2014 Pemilih dalam memberikan pilihannya dalam pemilu secara umum
tentunya mendasari pertimbangan-pertimbangan kepada beberapa hal tertentu. Dari hasil penelitian ini, ketika responden ditanya apakah mendasari pilihan berdasarkan pertimbangan karena kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, hampir keseluruhan responden (97%) menjawab ya, dan hanya 27
sebagian kecil (1%) responden yang menjawab tidak, serta sisanya (1%) menjawab tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 10). Tabel 10 Pertimbangan umum dalam memilih Pertimbangan
Ya
Tidak
TT/TJ
a. Kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara
97
1
2
b. Karena diajak keluarga/kerabat/kawan
5
88
7
dan 6
88
6
38
10
c. Karena motivasi lain seperti uang, bingkisan sebagainya d. Tidak alasan khusus, tapi karena ingin memilih saja
52
Sumber: diolah dari data primer
Sementara itu, ketika responden ditanya apakah mendasari pilihan berdasarkan pertimbangan karena diajak keluarga/kerabat/kawan, sebagian besar responden (88%) menjawab tidak, dan hanya sebagian kecil (5%) responden yang menjawab ya, serta sisanya (7%) menjawab tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 10). Selanjutnya, ketika responden ditanya apakah mendasari pilihan berdasarkan pertimbangan karena motivasi uang, bingkisan dan lainnya, sebagian besar responden (88%) menjawab tidak, dan hanya sebagian kecil (6%) responden yang menjawab tidak, serta
sisanya (6%) responden
menjawab tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 10). Lalu, ketika responden ditanya apakah mendasari pilihan berdasarkan pertimbangan karena memilih saja tanpa alasan khusus, sebagian besar responden (52%) menjawab ya, dan sebagian lainnya (38%) responden menjawab tidak, serta sisanya (10%) menjawab tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 10). Berdasarkan empat pertimbangan yang terlihat dari data di atas, secara umum memperlihatkan bahwa pertimbangan responden untuk memilih pada pemilu dan pemilihan Presiden 2014 didasarkan pada pertimbangan atas kesadaran diri sendiri karena kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara yaitu untuk menggunakan hak dan kewajiban politiknya sebagai warga negara untuk ikut serta menentukan wakil-wakil dan pemimpin mereka di pemerintahan. Dalam hal ini secara umum keikutsertaan responden dalam 28
memilih bukan dikarenakan ajakan orang lain seperti kerabat, orang tua, kawan dan lainnya dan juga bukan didasarkan pada pertimbangan iming-iming pemberian hadiah, bingkisan dan lainnya, namun lebih dikarenakan faktor kesadaran politik.
5.4
Dasar Alasan Memilih Calon Legislatif/Calon Presiden yang Diusung Partai Politik pada Pileg dan Pilres tahun 2014 Pemilu tentunya menjadi ajang konstelasi politik dari setiap calon
maupun kandidat untuk memperoleh suara dari rakyat dalam menduduki badan-badan legislatf maupun pemerintahan baik dtingkat pusat maupun daerah. Tentunya, dalam sebuah sistem pilitik yang moderen, keberadaan partai politik sebagai sebuah infrastruktur politik yang bertujuan untuk meraih kekuasaan melalui pemilu menjadi sangat penting. Partai politik memiliki fungsi rekrutmen politik dengan merekrut warga negara untuk bergabung ke dalam partai dengan memberikan pendidikan politik sesuai dengan ideologi dan visimisi partai yang nantinya disiapkan untuk dicalonkan mengisi jabatan-jabatan politik di legislatif maupun pemimipin di pemerintahan lewat proses pemilihan rakyat dalam pemilu. Tentunya, dalam memilih caleg maupun calon Presiden pada tahun 2014 yang diusung oleh partai politik tersebut, pemilih memiliki alasan tertentu dalam pemilu seperti ideologi partai yang sesuai, kandidat yang menarik dari partai, program kerja kandidat yang sesuai, dan lainnya. Ketika responden ditanya apakah dasar pilihan kepada caleg,/calon Presiden yang diusung oleh partai politik karena ideologi partai sesuai dengan pandangan responden, sebagian besar responden (50%) menjawab ya, dan sebagian lainnya (26%) responden menjawab tidak, serta sisanya (24%) menjawab tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 11). Tabel 11 Alasan karena ideologi partai politik yang sesuai Jawaban Persen Ya 50 Tidak 26 TT/TJ 24 Total 100 Sumber: diolah dari data primer 29
Lalu, ketika responden ditanya apakah dasar pilihan kepada caleg,/calon Presiden yang diusung oleh partai politik karena kandidatnya menarik perhatian responden, sebagian besar responden (66%) menjawab ya, dan sebagian lainnya (22%) responden menjawab tidak, serta sisanya (12%) menjawab tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 12). Tabel 12 Pertimbangan Karena Kandidatnya Menarik Perhatian Jawaban Persen Ya 66 Tidak 22 TT/TJ 12 Total 100 Sumber: diolah dari data primer Sementara itu, ketika responden ditanya apakah dasar pilihan kepada caleg,/calon Presiden yang diusung oleh partai politik karena program kerja kandidatnya menarik perhatian responden, sebagian besar responden (63%) menjawab ya, dan sebagian lainnya (27%) responden menjawab tidak, serta sisanya (10%) menjawab tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 13). Tabel 13 Pertimbangan karena program kerja kandidat memenuhi kebutuhan Jawaban Persen Ya 63 Tidak 27 TT/TJ 10 Total 100 Sumber: diolah dari data primer Sementara itu, ketika responden ditanya apakah dasar pilihan kepada caleg/calon Presiden yang diusung oleh partai politik karena bujukan orang disekitar responden untuk memilih kandidat tersebut, sebagian besar responden (72%) menjawab tidak, dan sebagian lainnya (15%) responden menjawab ya, serta sisanya (13%) menjawab tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 14).
30
Tabel 14 Pertimbangan Karena Bujukan Orang Disekitar Untuk Memilih Kandidat Tersebut Jawaban Persen Ya 15 Tidak 72 TT/TJ 13 Total 100 Sumber: diolah dari data primer Kemudian, ketika responden ditanya apakah dasar pilihan kepada caleg/calon Presiden yang diusung oleh partai politik karena mengikuti arahan dan anjuran dari orang yang dihormati untuk memilih calon tersebut, sebagian besar responden (61%) menjawab tidak, dan sebagian lainnya (27%) responden menjawab ya, serta sisanya (12%) menjawab tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 15). Tabel 15 Pertimbangan Karena Mengikuti Arahan Dan Anjuran Dari Orang Yang Dihormati Untuk Memilih Kandidat Tersebut Jawaban Persen Ya 27 Tidak 61 TT/TJ 12 Total 100 Sumber: diolah dari data primer Berdasarkan data di atas, secara umum memperlihatkan bagaimana dasar pilihan responden kepada caleg/calon Presiden yang diusung oleh partai politik pada Pemilu dan Pilpres tahun 2014 tidak didasarkan pada faktor-faktor lingkungan sekitar atau pihak diluar diri responden seperti arahan, anjuran dari tokoh yang dihormati serta bujukan orang tua, kerabat atau kawan, melainkan didasarkan pada alasan dari kepentingan dari responden itu sendiri. Hal ini terlihat dari alasan pilihan responden secara umum yang didasarkan pada ideologi partai yang sesuai dengan kepentingan responden, kandidat yang menarik dalam artian memiliki kemampuan, serta program kerja yang sesuai dengan kebutuhan responden. Artinya secara umum terlihat bagaimana pada tahapan ini responden memperlihatkan kecendrungan sebagai pemilih rasional, dimana responden cendrung memilih kandidat yang ideologi partainya, program kerjanya dinilai 31
sesuai dan mampu memenuhi kebutuhan dan kepentingan responden. Hal ini sejalan dengan yang dinyakan oleh Anthony downs dalam Roth (2008) yang menjelaskan bahwa pemilih yang rasional hanya menuruti kepentingannya sendiri di atas kepentingan orang lain. Manusia bertindak egois, terutama oleh karena mereka ingin mengoptimalkan kesejahteraan material mereka, yakni pemasukan atau harta benda mereka. Jika hal ini diterapkan dalam perilaku pemilu, maka ini berarti bahwa pemilih yang rasional akan memilih calon yang bisa
memberikan
keuntungan
untuknya.
apabila
calon
ini menduduki
pemerintahan dibandingkan calon lainnya. Lebih lanjut, biasanya seseorang akan memilih calon atau partai apabila calon atau partai
tersebut dipandang dapat membantu pemilih memenuhi
kepentingan dasarnya : kehidupan ekonomi. Model ini bertumpu pada asumsi bahwa pilihan politik banyak dibentuk oleh evaluasi atas kondisi ekonomi, personal, maupun kolektif. (Dawns 1956; Wheaterford dan Kiewiet, 1980; Fiorina, 1981; Lewis-Beck, 1998 sebagaimana dikutip Syaiful Mujani, Liddle, Ambardi :2012).
5.5
Kepuasan Responden terhadap Pilihan Politik yang Diberikan pada Pemilu Tahun 2014 Adanya Pemilu memberikan akses partisipasi politik yang luas kepada
seluruh warga negara untuk menentukan sendiri pemimpin-pemimpin mereka yang mampu membawa kesejahteraan dan sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat. Munculnya para kandidat dengan berbagai pencitraan serta menawarkan janji-janji dan harapan yang baik kepada pemilih menjadi hal yang lumrah dalam setiap pemilu. Oleh karena itu, setiap pemilih harus mampu mengevaluasi secara menyeluruh dan akurat track record, kemampuan, visimisi,dan program yang dijanjikan setiap kandidat agar pemilih tidak salah pilih dengan pilihan yang dibuat kepada kandidat tertentu dan pemilih betul-betul puas terhadap pilihannya serta tidak mengecewakan pemilih itu sendiri dikemudian hari. Namun, seringkali ditemui sebagian pemilih yang kecewa dan tidak puas dengan pilihan politiknya dalam pemilu karena janji dan harapan yang diberikan 32
kandidat tidak sesuai ketika kandidat itu terpilih atau kandidat yang dipilih tidak terpilih. Tentu saja kekecewaan masyarakat terhadap pilihan politiknya dapat mengakibatkan sikap apatis masyarakat terhadap kegiatan politik. Tapi disisi lain, kekecewaan terhadap pilihan politiknya membuat sebagian masyarakat juga semakin kritis dengan menagih janji yang disampaikan kandidat ketika pemilu. Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan bahwa sebagian besar responden (66%) kecewa dengan hasil dan pilihan politik yag diberikannya pada Pemilu tahun 2014, sebagian lainnya (27%) responden puas dengan pilihan politiknya, dan sisanya (7%) menyatakan tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 16). Berdasarkan data tersebut, menujukkan bagaimana sebagian besar responden kecewa dengan pilihan politiknya pada pemilu tahun lalu. Tabel 16 Kepuasan dengan Hasil dan Pilihan Politik yang Diberikan Pada Pemilu Alasan Memilih Ya, puas dengan pilihan saya Tidak, kecewa dengan pilihan politik pada pemilu lalu Tidak Tahu/Tidak Jawab Total Sumber: diolah dari data primer
Persen 27 66 7 100
Kekecewaan terhadap pilihan politik pada Pemilu yang lalu setidaknya menggambarkan bagaimana pilihan politik yang dibuat oleh responden kepada kandidat pada Pemilu yang lalu ternyata belum mampu memenuhi kepentingan dan harapan yang diinginkan responden. Yang menarik kemudian adalah walaupun
pada
data
sebelumnya
secara
umum
responden
telah
memperlihatkan kecendrungan sebagai pemilih rasional yakni telah mendasari alasannya pada penilaian kemampuan kandidat serta mempertimbangkan program kerja yang sesuai dengan kebutuhannya, namun hasil pilihan tersebut ternyata memunculkan ketidakpuasan bagi responden. Tentu saja hal ini memperlihatkan bagaimana responden memiliki persoalan
pada
tahapan
penilaian/pertimbangan
terhadap
kemampuan
kandidat, program kerja kandidat ketika memilih. Dalam hal ini, responden kurang memiliki informasi yang baik dan akurat untuk menilai dan membuat 33
keputusan memilih kepada kandidat yang betul-betul sesuai dan mempu memenuhi kebutuhan/kepentingannya. Hal ini dikarenakan pertimbangan rasional yang dilakukan oleh seorang pemilih sangat terkait dengan informasi yang relevan yang dimiliki oleh pemilih itu dan informasi tersebut sangat mempengaruhi hasil dari perhitungannya (James B. Rule dalam Joko Fitra: 2011). Artinya, data ini memperlihatkan bahwa pada tahapan tertentu, responden sudah mulai memperhatikan kemampuan kandidat, program kerja kandidat yang sesuai dalam memilih seorang kandidat, namun pada tahapan selanjutnya, kemampuan responden untuk mengelola dan menerima informasi yang betul-betul akurat dan relevan untuk melakukan penilaian kandidat yang paling mempu memenuhi kepentingannya masih belum maksimal dan masih terbatas. Hal ini terlihat dari sebagian besar responden yang ternyata kecewa dengan pilihan politiknya pada Pemilu tahun lalu walaupun responden telah mendasari alasan pilihannya pada penilaian kandidat. Lebih lanjut Downs sebagaimana dikutip Roth (2008) menjelaskan, seorang pemilih umumnya tidak memiliki informasi yang baik di bidang politik. Oleh karena itu banyak pemilih tidak berusaha untuk mengetahui “pandangan sesungguhnya” untuk kemudian dapat mengambil keputusan yang sesuai dengan kepentingan mereka. Gejala ini tentu saja sedikit memperlihatkan bagaimana secara umum responden belum menjadi pemilih yang betul-betul rasional, dimana pemilih rasional biasanya melakukan penilaian atau evaluasi secara valid atas tawaran yang disampaikan oleh kandidat serta memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan mendapatkan informasi yang cukup (Adman Nursal:2004).
5.6
Niat atau Tindakan Responden atas Kekecewaan terhadap Pilihan Politik Pada Pemilu yang Lalu Kekecewaan pemilih terhadap pilihan politiknya dalam pemilu tentu saja
akan menimbulkan sikap dan tindakan dikemudian hari. Ketika ditanyakan apakah responden yang menyatakan kecewa dengan pilihan politiknya pada Pemilu lalu akan berniat tidak akan memilih pada pemilu ataupun pilkada mendatang, sebagian besar responden (86,4%) menyatakan tidak, sebagian 34
kecil (6,1%) responden menjawab ya, dan sisanya (7,6%) menyatakan tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 17). Tabel 17 Tidak akan memilih pada Pemilu ataupun Pilkada mendatang Jawaban Persen Ya 6,1 Tidak 86,4 TT/TJ 7,6 Total 100,0 Sumber: diolah dari data primer Kemudian, ketika ditanyakan apakah responden yang menyatakan kecewa dengan pilihan politiknya pada Pemilu lalu akan berniat mendatangi anggota DPR/DPRD atau Presiden untuk menagih janji yang pernah disampaikan, sebagian besar responden (87,9%) menyatakan tidak, sebagian kecil (10,6%) responden menjawab ya, dan sisanya (1,5%) menyatakan tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 18). Tabel 18 Mendatangi anggota DPR/DPRD atau Presiden Untuk Menagih Janji yang Pernah Disampaikan Jawaban Persen Ya 10,6 Tidak 87,9 TT/TJ 1,5 Total 100,0 Sumber: diolah dari data primer Sementara itu, ketika ditanyakan apakah responden yang menyatakan kecewa dengan pilihan politiknya pada Pemilu lalu berencana hanya diam saja dan tidak tahu berbuat apa, sebagian besar responden (89,4%) menyatakan ya, sebagian kecil (9,1%) responden menjawab tidak, dan sisanya (1,5%) menyatakan tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 19). Tabel 19 Diam Saja dan tidak tahu berbuat apa Jawaban Persen Ya 89,4 Tidak 9,1 TT/TJ 1,5 Total 100 Sumber: diolah dari data primer 35
Lalu, ketika ditanyakan apakah responden yang menyatakan kecewa dengan pilihan politiknya pada Pemilu lalu akan berniat menghentikan semua aktivitas dan kegiatan yang bersentuhan dengan politik dan pemerintahan, sebagian besar responden (78,8%) menyatakan tidak, sebagian lainnya (1,5%) responden menjawab ya, dan sisanya (19,7%) menyatakan tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 20). Tabel 20 Menghentikan Semua Aktivitas dan Kegiatan yang Bersentuhan dengan Politik Dan Pemerintahan Jawaban Persen Ya 1,5 Tidak 78,8 TT/TJ 19,7 Total 100,0 Sumber: diolah dari data primer Berdasarkan data di atas, memperlihatkan bahwa responden memiliki sikap yang berbeda-beda atas beberapa niat dan tindakan selanjutnya terkait kekecewaan mereka dengan pilihan politik pada pemilu yang lalu. Hal ini terlihat bahwa secara umum responden yang kecewa terhadap pilihan politiknya pada pemilu yang lalu tetap akan ikut memilih pada Pemilu dan Pilkada mendatang dan tidak akan menghentikan semua aktivitasnya yang bersentuhan dengan politik dan pemerintahan. Artinya, data ini menujukkan bahwa kekecewaan responden terhadap pilihan politiknya pada pemilu yang lalu tidak serta merta membuat mereka apatis dan skeptis terhadap aktivitas politik. Hal ini bisa menunjukkan bagaimana masyarakat masih memiliki kesadaran politik yang cukup yang terlihat dari data sebelumnya (lihat tabel 10) yang menujukkan bahwa secara umum responden ikut memilih pada pemilu karena kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Tentu saja, kesadaran politik individu menjadi sangat penting untuk mendorong partisipasi politik warga (Huntington & Nelson:1994). Meskipun secara umum kekecewaan responden terhadap pilihan politiknya tidak mendorong mereka menjadi apatis dalam politik, namun pada tahap selanjutnya responden juga tidak mampu bersikap kritis dan rasional. Secara umum responden berencana hanya akan bersikap diam saja dan tidak berbuat apa-apa atas kekecewaan mereka terhadap pillihan politiknya dan tidak 36
berniat untuk mendatangi anggota DPR/DPRD atau Presiden untuk menagih janji yang pernah disampaikannya. Artinya pada tahap ini setidaknya menggambarkan
bagaimana
responden
cendrung
belum
mampu
memaksimalkan keuntungan atau manfaat yang ingin didapatkan dari pilihannya ketika pilihan tersebut tidak memuaskan responden. Selain itu, data ini memperlihatkan bahwa secara umum partisipasi politik responden masih bersifat pasif dan belum menyadari posisinya sebagai subyek politik yang aktif dan kritis, namun disisi lain secara umum kekecewaan mereka belum menjurus kepada sikap apatis dan skeptis terhadap politik. Tentu saja, kondisi ini cukup mengkhawatirkan apabila dari pemilu ke pemilu selanjutnya pemilih merasa kecewa terhadap pilihan politiknya, besar kemungkinannya masyarakat akan menjadi apatis terhadap politik termasuk tidak bersedia lagi ikut memilih dalam pemilu. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang serius dan efektif terutama dari KPU sebagai penyelenggara pemilu, pemerintah, lembaga pendidikan,akademisi, LSM, tokoh masyarakat untuk memberikan pendidikan politik yang efektif dan berkesinambungan kepada masyarakat khususnya agar masyarakat mampu menjadi pemilih yang rasional dan cerdas dalam menentukan pilihannya dalam pemilu.
5.7
Tingkat Rasionalitas Pilihan pada Pemilu Legislatif, Pemiihan Presiden, dan Pemilihan Kepala Daerah Perilaku memilih terkait dengan keputusan untuk memilih kandidat atau
peserta pemilu tertentu dan kenapa seseorang pemilih menjatuhkan pilihannya kepada kandidat tertentu. Tentu saja, beragam alasan yang dapat dikemukakan oleh pemilih atas pilihannya dalam Pemilu. Namun yang menarik untuk dilihat adalah sejauh mana pilihan-pilihan yang dilakukan oleh responden itu bersifat rasional. Oleh karena itu, pada bagian ini akan menggambarkan tingkat rasionalitas pilihan pemilih pada Pemilu Legislatif, Pemilihan Presiden, dan Pemilihan Kepala Daerah.
37
Pertimbangan Responden Memilih Calon Anggota Legislatif, Calon Presiden atau Calon Kepala Daerah Ketika responden ditanya apakah pilihan yang diberikan responden dalam Pemilu dan Pilkada sudah melalui proses pemikiran dan pertimbangan yang dalam dan menyeluruh, maka sebagian besar responden (67%) menyatakan ya, sebagian lainnya (20%) menyatakan tidak, dan sisanya (13%) menyatakan tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 21). Tabel 21 Memilih dengan Melalui Proses Pemikiran dan Pertimbangan Yang Dalam dan Menyeluruh Jawaban Persen Ya 67 Tidak 20 TT/TJ 13 Total 100 Sumber: diolah dari data primer Berdasarkan data di atas memperlihatkan bagaimana secara umum responden dalam menentukan pilihannya pada Pemilu, Pemilihan Presiden dan Pilkada, telah melalui proses pemikiran dan pertimbangan yang dalam dan menyeluruh. Hal ini memperlihatkan bahwa pada tahapan ini responden telah memperlihatkan kecendrungan sebagai pemilih rasional. Dalam hal ini, pemilih rasional biasanya melakukan penilaian atau evaluasi secara valid atas tawaran yang disampaikan oleh kandidat. Tindakan dalam pengambilan keputusan memilih bukan berdasarkan pada faktor kebetulan dan kebiasaan, namun menurut pikiran dan pertimbangan yang logis (Adman Nursal: 2004). Tabel 22 Memilih dengan Mempertimbangkan Visi, Misi dan Program Calon Jawaban Persen Ya 88 Tidak 3 TT/TJ 9 Total 100 Sumber: diolah dari data primer Kemudian pada tahap selanjutnya, ketika responden ditanya apakah dalam memilih calon anggota legislatif, calon Presiden, dan calon kepala daerah, responden mempertimbangkan visi, misi, dan program calon, maka 38
sebagian besar responden (88%) menyatakan ya, sebagian lainnya (3%) menyatakan tidak, dan sisanya (9%) menyatakan tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 22). Selanjutnya, ketika responden ditanya apakah dalam memilih calon anggota legislatif, calon Presiden, dan calon kepala daerah, responden mempertimbangkan rekam jejak calon dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat, maka sebagian besar responden (64%) menyatakan ya, sebagian lainnya (19%) menyatakan tidak, dan sisanya (17%) menyatakan tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 23). Tabel 23 Memilih dengan Mempertimbangkan Rekam Jejak Calon dalam Memperjuangkan Kepentingan Masyarakat Jawaban Persen Ya
64
Tidak
19
TT/TJ
17
Total
100
Sumber: diolah dari data primer Sementara itu, ketika responden ditanya apakah dalam memilih calon anggota legislatif, calon Presiden, dan calon kepala daerah, responden mempertimbangkan kebebasan dalam memilih dan lepas dari tekanan dan ajakan dari orang lain diluar diri sendiri, maka sebagian besar responden (54%) menyatakan ya, sebagian lainnya (22%) menyatakan tidak, dan sisanya (24%) menyatakan tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 24). Tabel 24 Memilih Karena Pertimbangan Kebebasan dalam Memilih dan Lepas dari Tekanan dan Ajakan dari Orang Lain di Luar Diri Sendiri Jawaban Persen Ya 54 Tidak 22 TT/TJ 24 Total 100 Sumber: diolah dari data primer Lalu, ketika responden ditanya apakah dalam memilih calon anggota legislatif,
calon
Presiden,
dan
calon
kepala
daerah,
responden 39
mempertimbangkan integritas moral dan etika sosial calon yang hidup dalam masyarakat , maka sebagian besar responden (66%) menyatakan ya, sebagian lainnya (7%) menyatakan tidak, dan sisanya (27%) menyatakan tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 25). Tabel 25 Memilih dengan Mempertimbangkan Integritas Moral dan Etika Sosial Calon yang Hidup dalam Masyarakat Jawaban Persen Ya 66 Tidak 7 TT/TJ 27 Total 100 Sumber: diolah dari data primer Setelah itu, ketika responden ditanya apakah dalam memilih calon anggota legislatif, calon Presiden, dan calon kepala daerah, responden mempertimbangkan dan mengevaluasi kinerja yang telah dilakukan calon, maka sebagian besar responden (40%) menyatakan tidak, sebagian lainnya (26%) menyatakan ya, dan sisanya (34%) menyatakan tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 26). Tabel 26 Memilih dengan Mempertimbangkan dan Mengevaluasi Kinerja yang Telah Dilakukan Calon Jawaban Persen Ya 26 Tidak 40 TT/TJ 34 Total 100 Sumber: diolah dari data primer Setelah itu, ketika responden ditanya apakah dalam memilih calon anggota legislatif, calon Presiden, dan calon kepala daerah, responden mempertimbangkan kedekatan emosional seperti kerabat/ saudara/ suku/ etnis/ agama dan sebagainya, maka sebagian besar responden (65%) menyatakan tidak, sebagian lainnya (25%) menyatakan ya, dan sisanya (10%) menyatakan tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 27).
40
Tabel 27 Memilih dengan Mempertimbangkan Kedekatan Emosional Seperti Kerabat/Saudara/Suku/Etnis/Agama dan Sebagainya Jawaban Persen Ya 25 Tidak 65 TT/TJ 10 Total 100 Sumber: diolah dari data primer
Kemudian, ketika responden ditanya apakah dalam memilih calon anggota legislatif, calon Presiden, dan calon kepala daerah, responden mempertimbangkan pemberian berupa materi atau janji dari calon, maka sebagian besar responden (73%) menyatakan tidak, sebagian lainnya (14%) menyatakan ya, dan sisanya (13%) menyatakan tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 28). Tabel 28 Memilih Karena Mempertimbangkan Pemberian Berupa Materi Atau Janji Dari Calon Jawaban Persen Ya 14 Tidak 73 TT/TJ 13 Total 100 Sumber: diolah dari data primer Berdasarkan data di atas, memperlihatkan bagaimana dalam memilih calon anggota legislatif, calon Presiden atau calon Kepala Daerah, secara umum responden sudah mempertimbangkan visi, misi dan program kerja calon, rekam jejak calon dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat, integritas moral dan etika sosial hidup di dalam masyarakat serta kebebasan dalam memilih dan lepas dari tekanan dan ajakan dari orang lain diluar diri sendiri. Tentu saja pada tahapan ini secara umum responden telah memperlihatkan kecendrungan sebagai pemilih rasional dimana tindakan evaluatif biasanya dilakukan oleh pemilih yang bersifat rasional (Lau and Redlawsk: 2006). Dalam hal ini, dimana pemilih rasional biasanya melakukan penilaian atau evaluasi secara valid atas tawaran yang disampaikan oleh kandidat serta (Adman 41
Nursal:2004). Hal ini terlihat dari bagaimana secara umum responden mempertimbangkan visi, misi dan program kerja dari kandidat dalam memilih. Selain itu, proses evaluasi tersebut juga dipengaruhi oleh sejarah dan pengalaman masa lalu kandidat baik dalam kehidupan berbangsa, bernegara, maupun bermasyarakat (Asrinaldi: 2012). Dalam hal ini, pemilih rasional ini juga menilai kandidat berdasarkan ingatannya mengenai rekam jejak kandidat tersebut (restropective) serta prospek atau hal-hal mengenai kandidat dimasa yang akan datang (Lau and Redlawsk: 2006). Berdasarkan data di atas terlihat bagaimana secara umum responden juga melakukan pertimbangan dengan memperhatikan penilaian terhadap rekam, jejak calon dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat dan juga integritas moral dan etika sosial hidup dalam masyarakat. Tentu saja, gejala ini memperlihatkan bagaimana secara umum responden memprlihatkan kecendrungan sebagai pemilih rasional. Selanjutnya, data ini menunjukkan bahwa secara umum responden mempertimbangkan kebebasan dalam memilih dalam artian bebas dari tekanan dan ajakan dari orang lain diluar diri sendiri. Secara umum responden menentukan pilihannya berdasarkan kehendaknya sendiri yang cocok dengan kepentingannya. Hal ini juga menujukkan bahwa pada tahapan ini responden juga memperlihatkan kecendrungan sebagai pemilih rasional, dimana Anthony downs dalam Roth (2008), menjelaskan bahwa pemilih yang rasional hanya menuruti kepentingannya sendiri di atas kepentingan orang lain. Kecendrungan ini semakin diperkuat dengan pertimbangan responden secara umum yang tidak mempertimbangkan faktor-faktor sosiologis/psikologis seperti kedekatan emosional seperti kerabat/saudara/suku/etnis/agama. Pada tahapan selanjutnya, rasionalitas responden dalam memilih tidak sampai menjurus pada faktor pragmatisme, dalam artian secara umum responden tidak terjebak pada kepentingan secara langsung atau jangka pendek dan tidak mempertimbangkan pemberian berupa materi atau janji dari calon. Meskipun dari data di atas responden telah memperlihatkan gejala atau beberapa pertimbangan yang bersifat rasional, namun pertimbangan rasional ini belum dilakukan secara menyeluruh. Dalam artian bahwa responden belum melakukan evaluasi kinerja yang dilakukan calon. Hal ini ini terlihat dari data di 42
atas
yang
memperlihatkan
sebagian
besar
responden
belum
mempertimbangkan evaluasi kinerja yang telah dilakukan calon dalam memilih calon legislatif, calon Presiden, dan calon Kepala Daerah. Padahal menurut Key (1966) pemiih rasional menntukan pilihannya
secara retrospektif, yaitu
dengan menilai apakah kinerja partai/calon yang menjalankan pemerintahan pada periode legislatif terakhir sudah baik bagi dirinya sendiri dan bagi negara, atau
sebaliknya.
Penilaiannya
dipengaruhi
oleh
penilaian
terhadap
pemerintahan di masa yang lalu. Apabila hasil penilaian kinerja pemerintahan yang berkuasa (dibandingkan dengan yang terdahulu) positif maka mereka akan dipilih kembali. Dan apabila hasilnya negatif, maka pemerintahan tidak akan dipilih kembali (dalam roth 2008 :48). Jadi data ini menujukkan bagaimana pemilih secara umum sudah mulai mendasari pertimbangannya kepada beberapa pertimbangan yang bersifat rasional dalam memilih calon anggota legislatif, calon Presiden dan calon Kepala Daerah. Namun, pertimbangan tersebut belum sepenuhnya bersifat rasional, dalam artian pertimbangan responden dalam memilih belum mempertimbangkan aspek-aspek rasional secara menyeluruh. Jadi tingkat rasionalitas responden dalam memilih belum betul-betul rasional walaupun secara umum responden telah memperlihatkan kecendrungan sebagai pemilih rasional.
5.8
Keuntungan atau Manfaat yang Didapatkan Responden dari Pilihan Pemilu atau Pilkada yang Dibuat Keuntungan atau manfaat yang didapatkan responden dari pilihan
Pemilu atau Pilkada yang dibuat merupakan salah satu ciri dari pemilih rasional. Setidaknya hal ini juga menjadi salah satu indikator untuk mengukur seberapa rasional pilihan responden tersebut dalam Pemilu atau Pilkada. Ketika responden ditanya apakah responden mendapatkan keuntungan atau manfaat dari pilihan Pemilu atau Pilkada yang dibuat, maka sebagian besar responden (92%) menyatakan tidak, sebagian lainnya (7%) menyatakan ya, dan sisanya (1%) menyatakan tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 29). 43
Tabel 29 Pilihan Politik yang Dibuat/Diberikan pada Pemilu atau Pilkada Memberikan Keuntungan dan Manfaat Bagi Responden Jawaban Persen Ya 7 Tidak 92 TT/TJ 1 Total 100 Sumber: diolah dari data primer
Data ini tentu saja cukup mencengangkan dan bertolak berlakang dengan pertimbangan rasionalitas yang dilakukan responden pada data sebelumnya. Pada data ini terlihat secara umum responden merasa tidak mendapat keuntungan atau manfaat dari pilihan dalam Pilkada atau Pemilu yang dibuat. Tentu saja pada tahapan ini, responden terlihat semakin jauh dari asumsi dasar pilihan rasional, yaitu bagaimana pilihan rasional mencoba menjelaskan bahwa kegiatan memilih sebagai kalkulasi untung dan rugi pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk membuat keputusan tentang partai atau kandidat yang dipilih (Ramlan Surbakti:) Dalam hal ini Anthony downs dalam Roth (2008), menjelaskan bahwa pemilih yang rasional hanya menuruti kepentingannya sendiri di atas kepentingan orang lain. Manusia bertindak egois, terutama oleh karena mereka ingin mengoptimalkan kesejahteraan material mereka, yakni pemasukan atau harta benda mereka. Jika hal ini diterapkan dalam perilaku pemilu, maka ini berarti bahwa pemilih yang rasional akan memilih calon yang bisa memberikan keuntungan/manfaat untuknya, apabila calon ini menduduki pemerintahan dibandingkan calon lainnya. Tentunya jika mengacu pada pernyataan ini, secara umum responden belum bertindak sebagai pemilih rasional, karena responden merasa tidak mendapat keuntungan atau manfaat dari pilihannya. Namun jika dibandingkan pada sebelumnya, terlihat bahwa responden telah mempertimbangkan beberapa aspek rasional dalam memilih meskipun belum menyeluruh. Tentunya data ini semakin menarik untuk dianalisis dan melihat sejauah mana pilihan responden betuk-betuk rasional. 44
Dalam hal ini, sebenarnya responden dalam menentukan pilihannya telah berusaha melakukan tindakan-tindakan evaluatif kepada kandidat dengan mempertimbangkan aspek-aspek rasional seperti visi, misi, program kerja kandidat, rekam jejak kandidat, dan integritas moral kandidat dalam masyarakat. Tentu saja tindakan evaluatif dan pertimbangan ini merupakan upaya pemilih untuk menilai kandidat-kandidat mana yang dianggap mampu dan sesuai dengan kepentingan pemilih serta mampu mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi pemilih maupun masyarakat. Namun, persoalan selanjutnya adalah sejauh mana tindakan evaluasi yang dilakukan pemilih tersebut betul-betul akurat dan didukung oleh unsur kognisi yang baik dalam menerima informasi yang valid. Hal ini sejalan yang dinyatakan oleh Dawn sebagaimana dikutip oleh Roth (2008), bahwa seorang pemilih umumnya tidak memiliki informasi yang baik di bidang politik. Oleh karena itu banyak pemilih tidak berusaha untuk mengetahui “pandangan sesungguhnya” untuk kemudian dapat mengambil keputusan yang sesuai dengan kepentingan mereka. Hal ini bisa dianalisis bahwa sikap responden yang secara umum merasa tidak memperoleh manfaat dari pilihannya pada Pemilu atau Pilkada yang lalu, bisa saja dikarenakan keterbatasan responden dalam menerima informasi
yang
relevan
dan
akurat
ketika
melakukan
pertimbangan-
pertimbangan rasional. Melalui pertimbangan-pertimbangan rasional yang dilakukan sebelumnya, responden merasa telah memilih kandidat yang sesuai dengan kepentingannya, namun pada tahap selanjutnya, pilihan responden terhadap kandidat tersebut ternyata tidak membawa manfaat dan keuntungan bagi responden. Hal ini menujukkan bahwa responden tidak berusaha untuk mengetahui “pandangan sesungguhnya” untuk kemudian dapat mengambil keputusan yang sesuai dengan kepentingan mereka. Dalam hal ini, pandangan sesungguhnya ini sangat terkait dengan kemampuan kognisi responden dalam menerima informasi yang relevan dan akurat. Tentu saja analisis ini menggambarkan bagaimana responden secara umum belum mampu menjadi pemilih rasional yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan bahwa pemilih rasional biasanya melakukan penilaian atau evaluasi secara valid atas tawaran yang disampaikan oleh kandidat. Selain itu, 45
pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan mendapatkan informasi yang cukup. Tindakan dalam pengambilan keputusan memilih bukan berdasarkan pada faktor kebetulan dan kebiasaan, namun menurut pikiran dan pertimbangan yang logis (Adman Nursal: 2004). Disini terlihat bagaimana responden kurang mendapatkan informasi yang cukup ketika melakukan pertimbangan visi, misi, program kerja kandidat, kemampuan kandidat, jejak rekam kandidat, sehingga evaluasi yang dilakukan responden terhadap kandidat kurang valid. Hal ini terlihat dari sebagian besar responden yang merasa tidak memperoleh manfaat dari pilihannya. Jika respoden betul-betul mampu memperoleh informasi yang baik, tentu saja evaluasi kandidat yang dilakukan oleh responden bisa akurat, dan responden pasti akan merasa mendapatkan manfaat atas pilihannya dalam Pemilu. Kemudian, pada bagian selanjutnya dalam penelitian ini, sebagian kecil responden yang memperoleh manfaat dari pilihanya ditanyakan keuntungan seperti apa yang diperoleh oleh responden tersebut. Hal ini penting untuk melihat apakah keuntungan yang diperoleh oleh sebagian kecil responden ini betul-betul rasional atau menjurus pada pragmatis. Dari tujuh persen (7%) responden yang menyatakan mendapat keuntungan atau manfaat dari pilihan politik yang dibuat pada Pemilu atau Pilkada, ketika ditanya apakah manfaat yang diperoleh secara tidak langsung, responden merasa kehidupannya menjadi lebih baik dari sebelumnya, maka sebagian besar responden menjawab (71,4) ya, dan sisanya (28,6) tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 30). Tabel 30 Keuntungan/Manfaat Secara Tidak Langsung Merasa Kehidupannya Menjadi Lebih Baik Dari Sebelumnya, Jawaban Persen Ya 71,4 Tidak 0,0 TT/TJ 28,6 Total 100,0 Sumber: diolah dari data primer Kemudian, dari tujuh persen (7%) responden yang menyatakan mendapat keuntungan atau manfaat dari pilihan politik yang dibuat pada Pemilu 46
atau Pilkada, ketika ditanya apakah manfaat yang diperoleh secara tidak langsung, responden merasa sistem politik menjadi lebih baik, maka sebagian besar (71,4%) responden menjawab tidak tahu/tidak jawab, dan sisanya (28,6%) menjawab ya (lihat tabel 31).
Tabel 31 Keuntungan/Manfaat Secara Tidak Langsung Merasa Sistem Politik Menjadi Lebih Baik Jawaban Persen Ya 28,6 Tidak 0,0 TT/TJ 71,4 Total 100,0 Sumber: diolah dari data primer Sementara itu, dari tujuh persen (7%) responden yang menyatakan mendapat keuntungan atau manfaat dari pilihan politik yang dibuat pada Pemilu atau Pilkada, ketika ditanya apakah manfaat yang diperoleh secara langsung, responden mendapatkan hadiah atau pemberian dari calon, maka sebagian besar responden (57,1%) menjawab tidak, dan sebagian lainnya (14,3%) menjawab iya, dan sisanya (28,6%) tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 32). Tabel 32 Keuntungan/Manfaat Secara Langsung Responden Mendapatkan Hadiah atau Pemberian dari Calon Jawaban Persen Ya 14,3 Tidak 57,1 TT/TJ 28,6 Total 100,0 Sumber: diolah dari data primer Lalu, dari tujuh persen (7%) responden yang menyatakan mendapat keuntungan atau manfaat dari pilihan politik yang dibuat pada Pemilu atau Pilkada, ketika ditanya apakah manfaat yang diperoleh secara tidak langsung, responden mengenal banyak pemimpin di daerah ini, maka sebagian besar responden (42,9%) menjawab ya, dan sebagian lainnya (14,3%) menjawab tidak, dan sisanya (42,9%) tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 33).
47
Tabel 33 Keuntungan/Manfaat Tidak Langsung Responden Mengenal Banyak Pemimpin di Daerah Jawaban Persen Ya 42,9 Tidak 14,3 TT/TJ 42,9 Total 100,0 Sumber: diolah dari data primer Selanjutnya, dari tujuh persen (7%) responden yang menyatakan mendapat keuntungan atau manfaat dari pilihan politik yang dibuat pada Pemilu atau Pilkada ketika responden ditanya apakah responden akan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan yang ingin didapatkan dari pilihan yang dibuat dalam Pemilu atau Piilkada jika keinginan tersebut tidak dipenuhi, maka jawaban responden berimbang, sebagian responden (42,9%) menjawab ya dan sebagian responden lainnya menjawab tidak (42,9%) serta sisanya (14,3%) tidak tahu/tidak jawab (lihat tabel 34). Tabel 34 Keuntungan/Manfaat Tidak Langsung Responden Mengenal Banyak Pemimpin di Daerah Jawaban Persen Ya 42,9 Tidak 42,9 TT/TJ 14,3 Total 100,0 Sumber: diolah dari data primer Berdasarkan data di atas, menunjukkan bahwa dari sebagain kecil responden yang mendapat manfaat/keuntungan dari pilihannya pada Pemilu atau Pilkada yang lalu, secara umum responden menyatakan secara tidak langsung merasa kehidupannya lebih baik, dan merasa sistem politik semakin baik di negeri ini. Sedangkan manfaat seperti mendapatkan hadiah atau pemberian dari calon secara langsung dan mengenal banyak pemimpin di daerah tidak terlalu dirasa oleh responden. Data ini memperlihatkan bahwa manfaat/atau keuntungan yang diterima oleh responden dalam memilih bukan saja keuntungan pribadi atau jangka pendek, melainkan juga pada pada keuntungan yang lebih luas dan jangka panjang. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Fiorina 48
sebagaimana dikutip oleh Syaiful Mujani (2012) yang menegaskan rasionalitas pemilih tidak hanya dalam aspek pemenuhan kepentingan ekonomi individu saja, tapi harus membawa efek yang lebih besar misalnya ekonomi secara nasional. Jadi, tindakan rasional individu dalam memilih ini tidak hanya menyangkut diri individu tersebut, tapi juga akibat pada kerja sistem yang berlangsung
seperti kinerja
pemerintah,
lingkungan
sosioekonomi
dan
kebijakan publik. Jadi data ini menujukkan bahwa hanya sebagian kecil responden yang bisa digolongkan sebagai pemilih yang betul-betul rasional dalam artian sepenuhnya dalam menetukan pilihannya dalam Pemilu atau Pilkada. Hal ini terlihat dari pertimbangan-pertimbangan pada aspek-aspek rasional yang dilakukan oleh responden dan merasa mendapatkan manfaat/keuntungan dari pilihannya. Temuan ini tentu saja cukup mengejutkan bagi kita semua bahwa ternyata hanya sebagian kecil responden yang betul-betul rasional dalam memilih. Satu hal yang bisa diapresiasi dari temuan ini bahwa secara umum responden sudah mengarah pada kecendrungan sebagai pemilih rasional, dimana
responden
sudah
mendasari
pertimbangannya
dalam
memilih
berdasarkan beberapa pertimbangan yang bersifat rasional, serta telah berusaha melakukan tindakan evaluatif kepada kandidat. Responden secara umum tidak terpengaruh dari faktor-faktor sosiologis serta faktor-faktor diluar diri responden seperti ajakan orang lain. Yang juga cukup penting untuk diapresiasi dari temuan ini bahwa secara umum responden juga tidak terpengaruh oleh faktor pragmatisme dalam memilih, dalam artian responden tidak termotivasi atau terpengaruh oleh pemberian uang, hadiah dan lainnya dari calon dalam menentukan. Tentu saja temuan ini perlu mendapat perhatian yang serius bagi semua pihak, khususnya KPU dan Pemerintah sebagai penyelenggara Pemilu. Bahwa pemilih di Kota Padang ternyata sudah mulai mendasari pertimbanganya pada aspek-aspek rasional seperti evaluasi terhadap janji, kemampuan, dan track record kandidat serta tidak mendasari pada faktor sosiologis atau faktor diluar diri responden dalam menentukan pilihannya. Namun, pada tahap yang lebih jauh, sebagian besar pemilih belum mampu menjadi pemilih yag betul-betul 49
rasional dalam artian bahwa tindakan evalutif yang dilakukan responden tersebut belum betul-betul akurat dan tepat karena keterbatasan pemilih akan informasi yang relevan serta masih kurangnya kemampuan kognisi pemilih dalam menerima dan mencerna informasi dengan baik. Buktinya, dari data di atas ditemui bahwa sebagian besar responden tidak merasa mendapat manfaat dari pilihan yang dilakukannya dalam Pemilu atau Pilkada walaupun responden sudah mencoba mempertimbangkan aspek-aspek rasional dalam memilih. Oleh karena itu, upaya yang serius dan berkelanjutan dari seluruh pihak dalam melakukan pendidikan dan sosialisasi kepada seluruh pemilih menjadi sangat penting dalam upaya mendorong masyarakat betul-betul menjadi pemilih yang rasional dalam Pemilu. Dalam artian, cikal bakal masyarakat untuk menjadi pemilih rasional sebenarnya sudah mulai tumbuh, dalam hal ini perlu dorongan yang kuat dari seluruh pihak baik itu KPU, Pemerintah, Partai Politik Perguruan Tinggi, Akademisi, LSM, Mass Media, dan elemen lainnya dalam memberikan pendidikan politik yang baik agar pemilih betul-betul memiliki pengetahuan, dan motivasi yang tinggi terhadap informasi ataupun kegiatan politik seperti Pemilu, sehingga upaya pemilih untuk melakukan evaluasi kepada kandidat bisa lebih tepat dan akurat dan tentunya pilihan pemilih tersebut mendatangkan manfaat bagi pemilih khusunya dalam upaya melahirkan kandidat-kandidat yang mampu memperbaiki kesejahteraan pemilih khsusnya, dan bangsa umumnya.
50
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.6
Kesimpulan Bertolak dari keseluruhan pembahasan hasil temuan penelitian di atas
dicoba menarik beberapa pelajaran: pertama, bahwa pemilih mendasari pilihannya dalam memilih calon anggota legislatif/partai politik dan calon Presiden tahun 2014 kepada kemampuan calon. Artinya responden sudah mulai berorientasi kepada kandidat dan sudah mulai melakukan tindakan evaluatif kepada calon. Tentu saja ini memperlihatkan bagaimana bibit atau kecendrungan
menjadi pemilih
rasional sudah
mulai tumbuh.
Kedua,
keterlibatan atau partisipasi warga secara umum dalam Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2014 yang lalu didasarkan kepada kesadaran akan hak dan
kewajiban
sebagai
warga
negara.
Dalam
hal
ini
pemilih
tidak
mempertimbangkan ajakan kerabat/keluarga/kawan dan juga motivasi lain seperti uang, bingkisan dan sebagainya, melainkan murni berasal dari pertimbangan dan kesadaran politik dari dalam diri responden sendiri yakni kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negaranya. Artinya, hal ini bisa dilihat bagaimana kecendrungan pemilih untuk menjadi rasional sudah mulai tumbuh, meskipun pada tahap yang masih awal. Ketiga, dasar alasan pilihan warga dalam memilih calon legislatif/calon presiden yang diusung partai politik pada Pemilu 2014 didasarkan pada alasan bahwa ideologi partai yang sesuai dengan pandangan pemilih, kandidatnya yang menarik perhatian pemilih serta program kerja kandidat yang memenuhi kebutuhan pemilih. Tentu saja alasan tersebut setidaknya bisa menggambarkan kecendrungan sebagai pemilih rasional walaupun belum sempurna, dimana pemilih rasional akan memilih kandidat, ideologi ataupun program kerja yang dinilai sesuai dengan kepentingannya dan mampu memenuhi kebutuhannya serta memberikan manfaat bagi pemilih itu. Di sisi lain, bujukan dari orang sekitar atau mengikuti arahan dan anjuran dari orang yang dihormati, sama
51
sekali tidak menjadi perhatian dan mendasari pilihan pemilih dalam memilih calon. Keempat, bahwa pada tahapan tertentu, responden sudah mulai memperhatikan kemampuan kandidat, program kerja kandidat yang sesuai dalam
memilih
seorang
kandidat,
namun
pada
tahapan
selanjutnya,
kemampuan responden untuk mengelola dan menerima informasi yang betulbetul akurat dan relevan untuk melakukan penilaian kandidat yang paling mempu memenuhi kepentingannya masih belum maksimal dan masih terbatas. Hal ini dikarenakan pertimbangan rasional yang dilakukan oleh seorang pemilih sangat terkait dengan informasi yang relevan yang dimiliki oleh pemilih itu dan informasi tersebut sangat mempengaruhi hasil dari perhitungannya. Hal ini terlihat dari sebagian besar responden yang ternyata kecewa dengan pilihan politiknya pada Pemilu tahun lalu walaupun responden telah mendasari alasan pilihannya pada penilaian kandidat. Gejala ini tentu saja sedikit memperlihatkan bagaimana secara umum responden belum menjadi pemilih yang betul-betul rasional, dimana pemilih rasional biasanya melakukan penilaian atau evaluasi secara valid atas tawaran yang disampaikan oleh kandidat serta memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan mendapatkan informasi yang cukup. Kelima, secara umum pemilih dalam memberikan pilihan dalam Pemilu atau Pilkada sudah mulai melalui pemikiran dan pertimbangan yang dalam dan menyeluruh. Selain itu, dalam memilih calon anggota legislatif, calon Presiden atau calon Kepala Daerah, pemilih telah melakukan pertimbangan kepada beberapa aspek-aspek rasional meskipun belum sempurna seperti, visi, misi, dan program kerja calon, rekam jejak calon, integritas moral calon, serta kebebasan memilih tanpa terpengaruh ajakan, tekanan atau ikatan emosional (suku, kerabat, agama) dengan orang lain. Pertimbangan evaluasi kinerja calon yang juga menjadi indikator rasionalitas memilih ternyata kurang mendapat perhatian dari pemilih. Hal ini memperlihatkan bahwa pada tingkatan tertentu, pemilih telah memperlihatkan kecendrungan sebagai pemilih rasional walaupun belum sempurna. Namun pada tahapan selanjutnya, pemilih belum bisa dikategorikan sebagai pemilih yang betul-betul rasional sepenuhnya. Hal ini dikarenakan sebagian besar pemilih merasa tidak memperoleh manfaat dari 52
pilihannya, meskipun mereka sudah melakukan tindkan-tindakan evaluatif terhadap kandidat. Tentu saja, dalam rasional choice, tindakan evaluatif ini akan berhasil jika pemilih itu memiliki unsur kognisi yang baik serta mampu menerima dan mengelola informasi secara akurat dan relevan. Dan data penelitian ini menujukkan bahwa hanya sebagian kecil pemilih yang betul-betul menjadi pemilih yang rasional yang sepenuhnya, yaitu pemiih yang melakukan tindakan evaluatif terhadap calon, dan memperoleh manfaat dari pilihan itu.
5.7
Saran Dari berbagai temuan data dalam penelitian ini, ada beberapa saran
yang diajukan untuk beberapa pihak: 1. Pemerintah, KPU dan Perguruan tinggi harus memberikan pendidikan politik yang baik untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya menjadi pemilih rasional dan cerdas, sehingga masyarakat mampu mendasari pilihannya pada tindakan evaluatif yang akurat terhadap kandidat/peserta pemilu sehingga pemilih tidak salah memilih dikemudian hari. 2. Pemerintah, KPU, Partai Politik, Perguruan Tinggi, LSM Media Massa serta seluruh elemen terkait perlu mempermudah masyarakat untuk mendapatkan akses informasi-informasi khususnya informasi politik sebagai upaya mendorong masyarakat untuk aktif dan terlibat mencari tahu informasi-informasi tentang masing-masing calon secara akurat sebelum menetukan pilihan. 3. Tahapan-tahapan
dalam
Pemilu
seperti
Pembentukan
badan
penyelenggara, Sosialisasi, publikasi dan pendidikan pemilih, Pendataan pemilih serta tahapan Kampanye pemilu perlu adanya perpanjangan waktu. 4. Pemilu harus dilakukan serentak untuk beberapa jenis pemilihan karena jarak pemilu yang selama ini terlalu dekat sehingga masyarakat jenuh. 5. Proses rekruitmen dan seleksi keanggotaan partai politik dan calon legislatif yang mereka usung diperbaiki agar lebih berkualitas.
53
RENCANA TINDAK LANJUT UNTUK KEGIATAN KPU
Beberapa rencana tindak lanjut yang dapat dilakukan oleh KPU: 1.
Memetakan alasan politik pemilih di Kota Padang berdasarkan segmentasi pemilih sehingga didapatkan strategi untuk mengintervensi partisipasi memilih masyarakat Kota Padang.
2.
Terkait dengan pendidikan politik yang dilakukan oleh KPU Kota Padang dapat melibatkan relawan demokrasi yang sudah dibentuk KPU Kota Padang menjadi ujung tombak pendidikan bagi pemilih melalui kegiatan training and trainer bagi relawan demokrasi.
3.
Memperkaya model sosialisasi yang sesuai dengan segmentasi pemilih agar partisiapsi memilih semakin meningkat.
Misalnya, bedah buku
tentang Pemilu yang melibatkan pemilih pemula dan relawan demokrasi. Hal ini tentu akan menarik perhatian pemilih baru. 4.
Menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah dengan mensinergikan program KPU di luar pelaksanaan tahapan Pemilu/Pilkada sehingga capaian kegiatan menjadi maksimal.
54
TIM PENELITI:
Andri Rusta, SIP, MPP
Dr. Asrinaldi, M.Si
Irawati, SIP, MA
55
Daftar Pustaka
Adnan, Fachri M. 2012. Perilaku Memilih Pada Pemilihan Daerah Secara Langsung. Padang: UNP Press. Asrinaldi. 2012. Politik Masyarakat Miskin Kota. Yogyakarta: Gava Media. Gaffar,Afan. 1992. Javanese Voters, A Case Study of Election Under Hegemone. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Huntington, Samuel dan J.P. Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Rieneka Cipta, Jakarta, 1994. Kavanagh, Denis. 1983. Political Science and Political Behaviour. London: George Allen & Unwin. Kristiadi, Josef. 1993. Pemilihan Umum dan Perilaku Memilih: Studi Kasus Tentang Perilaku Memilih Di Kotamadya Yogyakarta dan Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah pada Pemilu 1971-1978. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Mujani, Saiful, R.William Liddle, & Kuskridho Ambardi. 2012. Kuasa Rakyat : Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Mizan Publika. Nursal, Adman. 2004. Political Marketing: Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. Plano, Jack. 1985. Kamus Analisa Politik. Jakarta : CV.Rajawali Press. Richard R. Lau and David P. Redlawsk, How Voter Decide, Information Processing during Election Campaigns, Cambridge University press, 2006. Roth,Dieter. 2008, Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori, Instrumen, dan Metode,terj. Jakarta: Friedrich-Naumann Stiftung fur die Freiheit. Sastroatmodjo,Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang : Ikip Semarang Press.
56