DAFTAR ISI BAGIAN I GENDER DALAM DIMENSI SOSIAL, BUDAYA DAN AGAMA Makna Diam dalam Petuturan …………………………………………... M. Sri Samiati Tarjana Berbagi Suami .............................................................................................. Prahastiwi Utari Potensi wanita Jawa dalam serat Babat Nitik Mangkunegaran............. Hartini Citizenship Cultural Mobility And Female Identity in the Post New Order Era…………………………………………………………………... Sri Kusumo Habsari Keadilan dan Kesetaraan Gender dalam Islam ....................................... Moh. Fauzi Self Concept dan Preferensi Resolusi Konflik Perempuan –Istri Keluarga Poligami Mudaris Muslim dan T.A. Gutomo BAGIAN II GENDER DALAM DIMENSI PENDIDIKAN Gender Mainstreaming in Education: An Indonesian Experience …… Ign. Agung Satyawan Analisis Gender terhadap Persepsi Jenis Pekerjaan dan Pemilihan Program Studi pada Mahasiswa di IPB ………………………………… Herien Puspitawati Kebijakan Etis dan Perluasan Pendidikan bagi Wanita bumi Putera pada awal abad XX ………………………………………………………. Warto Dampak Pengarusutamaan Gender terhadap Inovasi Pendidikan D. Priyo Sudibyo dan Ismi Dwi Astuti Nurhaeni
BAGIAN III
GENDER DALAM DIMENSI POLITIK DAN KEBIJAKAN PUBLIK Pemetaan isu Gender di Bidang Politik di Sumatra Selatan .................. Eva Lidya Negara dan Tubuh Perempuan ………………………………………….. Sri Yuliani Alternatif subsistensi: resistensi Perempuan terhadap Neo Liberalisme Mahendra Wijaya Dampak Pemberlakuan Kuota 30 % Keterwakilan Perempuan Dalam Pencalonan Anggota Legislatif terhadap kebijakan partai Politik di Kota Surakarta pada Pemilu 2009 Rosita Novi Andari Evaluasi Anggaran Responsif Gender Studi Alokasi Anggaran Responsif Gender Dalam Anggaran Kesehatan Kota Surakarta Tahun 2008-2010 Dwi Hastuti
BAGIAN IV GENDER DALAM DIMENSI EKONOMI, TENAGA KERJA DAN TEKNOLOGI Keterlibatan tenaga Kerja Wanita di Pedesaan pada Industri Kerajinan Seni Kriya di Kecamatan pajangan Bantul Yogyakarta ...... Retno Kusumawiranti Pemberdayaan tenaga Kerja Wanita dalam pertanian sawah surjan di Kabupaten Kulonprogo .............................................................................. Tiwuk Kusuma Hastuti Perempuan Pedesaan dan Teknologi Tepat Guna ……………………... Iwan Sudradjat Pengembangan Budidaya dan Pengolahan Hasil Kacang-kacangan sebagai Usaha Produktif Wanita di Lahan Kering di Daerah Tangkapan Hujan Kedungombo ............................................................... Sri Handajani dkk Peran Strategis Perempuan Dalam Pengelolaan Limbah Padat Bernilai Ekonomi ......................................................................................... Al. Sentot Sudarwanto Analisis Gender Dalam Pengembangan Agroekosistem Trisni Utami
BAB V PENANGGULANGAN KEMISKINAN DARI PERSPEKTIF GENDER Perempuan dan Kemiskinan: Profil dan Upaya Pengentasan Keppi Sukesi Marjinalisasi Buruh Migran Perempuan Arianti Ina R.Hunga dan Purwanti Asih Analivi Model Pemberdayaan Perempuan Miskin Melalui Pengembangan Kewirausahaan Keluarga Menuju Ekonomi Kreatif Di Kabupaten Karanganyar Ismi Dwi Astuti Nurhaeni dan Sri Marwanti Kesehatan reproduksi pada remaja putri di keluarga miskin kecamatan Jebres Sumardiyono,dkk
BAGIAN I
GENDER DALAM DIMENSI SOSIAL, BUDAYA DAN AGAMA
Makna Diam dalam Petuturan M. Sri Samiati Tarjana
Alkisah terdapat cerita dalam pewayangan, seorang begawan bernama Resi Gotama marah sekali kepada isterinya, Dewi Indradi yang diam seribu basa. Perempuan itu adalah seorang bidadari, yang takut menjawab pertanyaan suaminya. tentang asal cupu manik Astagina yang diberikan oleh Batara Surya kepadanya ketika ia menikah dengan sang resi. Ia tidak mau mengatakan dari mana ia memperoleh cupu tersebut karena khawatir suaminya mempunyai prasangka buruk terhadapnya. Namun justru sang resi menjadi sangat marah. Perempuan itu kemudian dikutuknya menjadi sebuah tugu, karena ia membisu. Maka seketika itu jadilah ia sebuah tugu, yang kemudian dilempar jauh-jauh oleh sang resi. Menurut ceritanya tugu tersebut di kemudian hari dipergunakan cucunya untuk berperang, dan pada saat itu pula ia memperoleh kembali wujud asalnya, (Sudibyoprono, 1991: 45-46). Kisah tersebut menunjukkan berbagai aspek budaya dalam masyarakat yang empunya cerita itu. Pertama, bahwa perempuan, meskipun ia berasal dari kelas yang lebih tinggi, tampaknya berada pada suatu keadaan subordinasi pasangannya, dan cenderung menyerah pada keadaan yang ditentukan suaminya. Kedua, perempuan itu terkendala secara psikologis dalam menjawab pertanyaan suaminya, sehingga ia memilih untuk berdiam diri. Ketiga, tampaknya komunikasi di antara pasangan suami isteri tersebut tidak selalu berhasil mencari alternatif penyelesaian masalah yang memuaskan kedua belah pihak. Meskipun kisah tersebut hanya merupakan cerita pewayangan, keadaan tersebut dapat dijadikan refleksi dalam dunia kehidupan manusia, yang tentunya tidak lepas dari pola sikap hidup dan budaya masyarakatnya. Permasalahan yang hendak diutarakan disini adalah bahwa pada komunikasi antara penutur dan mitra tutur, adakalanya terdapat pihak yang memilih untuk berdiam diri. Diam disini mempunyai maksud tertentu. Dewi Indradi berdiam diri karena ia bermaksud untuk menutup diri dan tidak menginginkan suaminya mengetahui bahwa ia pernah menjalin tali kasih dengan Batara Surya sebelum ia menikah dengan Resi Gutama. Ia kemungkinan berdiam diri untuk menyelamatkan mukanya, atau untuk mencegah terjadinya ganjalan yang bisa diakibatkan oleh perbuatan yang telah dilakukan sebelum pernikahannya, yang mungkin dapat merusak hubungan di antara anggota keluarganya. Apabila diam dalam kisah tersebut menutup kelanjutan komunikasi berikutnya, acapkali diam memiliki makna yang lebih intens.
Komunikasi pada umumnya diekspresikan dalam bentuk verbal atau non-verbal, ada pula yang dinyatakan secara eksplisit (tersurat) atau implisit (tersirat). Maksud yang diungkapkan dalam bertindaktutur kemungkinan terbatas, tetapi tuturan tersebut ternyata memiliki cakupan makna yang lebih besar. Hal ini menunjukkan adanya suatu daya pragmatik yang muncul pada saat orang bertindaktutur dengan menggunakan tuturan terbatas itu. Seperti dinyatakan dalam kisah tersebut di atas, keadaan diam tidak hanya bersifat kosong tanpa makna, melainkan dapat juga mengandung maksud tertentu Fungsi dan makna dalam kediaman akan dibahas lebih lanjut pada bagian-bagian berikut. Ikhwal Diam dalam Bahasa dan Budaya Pada dasarnya sebagai makhluk sosial, manusia perlu berkomunikasi dengan sesamanya. Seorang anak kecil belajar bahasa ibunya dengan cara alami, di mana ia langsung menggunakan bahasa itu untuk berkomunikasi. Di sini ia perlu mendapat dukungan positif dari lingkungan di sekitarnya: dari ayah, ibu, saudara dan teman bermainnya. Dalam waktu relatif singkat, yakni sekitar usia 24 bulan, dan sesuai dengan perkembangan kemampuan kognitifnya, anak tersebut biasanya telah mengembangkan bahasa ibunya, dan ia mampu menggunakan bahasa tersebut dalam komunikasi. Ayah dan ibunya akan risau kalau pada usia tersebut ia belum dapat berbicara. Semakin banyak anak mendapat asupan kebahasaan, semakin subur kemampuan bahasanya berkembang (Soenjono Dardjowidjojo, 2003: 198-200) Anak tumbuh dalam budaya masyarakatnya. Dia ditampilkan dengan norma-norma tentang hal-hal yang boleh atau yang tidak boleh dilakukannya. Ia perlu menerapkan mana yang baik dan menghindari mana yang kurang baik, dan menunjukkan cara-cara menghormati orang lain dalam bersosialisasi. Sikap dan norma-norma kesantunan tersebut lambat laun tertanam pula pada dirinya. Termasuk di dalamnya adalah saat-saat ia harus memberi peluang kepada orang lain untuk mengekspresikan diri, sementara ia lebih baik diam. Berikut ini adalah beberapa pepatah yang menganjurkan orang untuk diam daripada berbicara. Dalam bahasa Inggris terdapat ungkapan: ”Speaking is silver, silent is golden.”; yang mirip dengan pepatah dalam bahasa Belanda: “Spreken is zilver, zwijgen is goud.”. Maknanya, “berbicara itu mungkin baik, tetapi diam sering lebih baik.” Dalam bahasa Indonesia terdapat ungkapan dengan preferensi yang sama, namun diutarakan dari arah berbeda, yakni: “Tong kosong berbunyi nyaring.” dan “Air beriak tanda tak dalam.” yang mempunyai arti “Orang yang bodoh banyak bualnya.” Perumpamaan tersebut cenderung menyatakan sikap negatif terhadap orang yang banyak berbicara.
1
Berbagi Suami: Representasi Multikultural Perempuan Indonesia terhadap Poligami Prahastiwi Utari
Pendahuluan Film adalah salah satu media yang merepresentasikan realitas kehidupan sosial dari khalayaknya. Terlepas dari apakah realitas yang disodorkan adalah ‘second-hand reality’ dalam artian dibuat dengan sengaja, dipilih, serta diarahkan, film mampu mengagendakan satu ide/pesan yang menurut mereka -para kreatornya- penting disampaikan dan menjadi penting pula bagi khalayaknya (agenda setting). Berarti suatu film sarat akan nuansa pesan kepentingan tertentu yang ingin disampaikan kepada khalayaknya. Dengan demikian berbicara tentang film tertentu berarti berbicara tentang ‘apa, bagaimana dan mengapa’ suatu ide atau pesan disusun, diolah dan kemudian dimunculkan oleh sorang kreator dalam serangkaian panjang pita seluloid. Keterlibatan individu-individu yang ada dalam produksi film, disebut sebagai pekerja film, akan menentukan arah, tujuan serta keberhasilan suatu film. Dengan bahasa manajemen, visi dan misi mereka inilah yang akan berperan. Dalam sejarah panjang perkembangan perfilman Indonesia para pekerja film umumnya adalah laki-laki. Jadilah dunia film identik sebagai ‘dunia laki-laki’. Aparatus sinema adalah laki-laki, mulai dari produser, sutradara, skenario, sampai pada petugas lapangan. Jika ada yang perempuan, selain jumlah mereka kecil juga tersegregasi dalam bidang-bidang kerja yang dianggap khusus cocok untuk perempuan. Pekerjaan make up, wardrobe, properti adalah pekerjaan-pekerjaan dalam industri perfilman yang biasanya dipegang oleh perempuan. Konsekuensi yang muncul kemudian adalah bahwa cara pandang dalam film menjadi cara pandang laki-laki. Menurut Mulyev (dalam Sita Aripurnami 1999: 295) hal ini berkaitan dengan proses sosial yang terjadi dalam masyarakat yang mengekspresikan ketimpangan dalam kekuasaan sosial. Permasalahan Jika kondisi perfilman di Indonesia hanya muncul dengan model semacam ini, maka gambaran realitas sosial tentang perempuan menjadi gambaran realitas menurut kacamata lakilaki. Efeknya yang nampak kemudian adalah depolitisasi isu yang terkait dengan perempuan, peremehan produksi berkaitan dengan perempuan, serta penguasaan isu atas selera laki-laki. Jadilah menurut Sita Aripurnami (1998: 287) kondisi semacam ini memunculkan citra
2 perempuan dalam film selalu tergambarkan sebagai pribadi ‘cengeng; cerewet; judes; kurang akal; dan buka-bukaan. Untuk itulah perlu digali film-film yang memiliki cara pandang tertentu terhadap perempuan. Film yang memiliki ‘keberpihakan’ terhadap perempuan atau yang dapat diistilahkan ‘dari’ perempuan dan ‘untuk perempuan’. Film yang dalam perspektif feminis disebut sebagai Film Perempuan. Sebuah film yang disutradarai oleh seorang perempuan dan bertutur tentang permasalahan perempuan, menurut Krisna Sen (1998) biasanya dikategorikan sebagai ‘film perempuan’. Film-film dalam kategori ini biasanya mendefinisikan sifat perempuan. Sifat yang berarti nasib dan watak perempuan serta unsur utama dimana mereka menjalankan fungsi sebagai ibu yang terkunci di dalam lingkungan keluarga. Molly Haskel (1999:23) melihat film perempuan adalah film yang banyak memberi aspirasi untuk perempuan. Perempuan yang tadinya digambarkan ‘biasa’ menjadi ‘luar biasa’. Pengertian luar biasa bukan berarti perempuan laksana superwoman, tetapi pada bagaimana mereka yang awalnya merupakan korban lingkungan yang diskriminatif kemudian mulai bangkit melalui rasa sakit, obsesi atau penyimpangan, untuk menjadi penentu nasibnya sendiri. Aquarini P.B (2006:337) menandaskan bahwa film yang berjenis ‘film perempuan’ memiliki karakteristik yang kuat dalam menampilkan citra perempuan yang berangkat sebagai korban dari struktur masyarakat sendiri tetapi kemudian bangkit dan menjadi luar biasa dalam artian memperoleh kekuasaan dan kendali tertentu atas hidupnya. Berbagi Suami Pemilihan film Berbagi Suami (BS) sebagai bahan kajian paper ini dilakukan terutama dalam rangka melepaskan kerangka film Indonesia yang sarat bermuatan imajinasi laki-laki terhadap perempuan. Film yang diproduksi oleh Kalyana Shira Film (2006) ditulis dan sekaligus disutradarai oleh seorang sineas muda perempuan Nia Dinata. Keberadaanya menjadi penting mengingat jumlah perempuan sebagai subyek perfilam Indonesia sangatlah marjinal. Di era kebangkitan film Indonesia tahun 2000-an, setelah cukup lama mati suri, tidak banyak dari kelompok sineas (muda) yang berjenis kelamin perempuan. Kalaupun ada, jumlah mereka tidak lebih dengan hitungan sebelah jari tangan saja. Di antaranya yang menonjol adalah Nia Dinata dan Mira Lesmana.
Potensi Wanita Jawa dalam Serat Babad Nitik Mangkunegaran Hartini
Pendahuluan Serat Babad Nitik Mangkunegaran merupakan hasil pemikiran Pangeran Mangkunegara I atas keprihatinannya terhadap kedudukan wanita Jawa pada masa abad XVIII dalam tradisi budaya pemerintahan kerajaan Jawa. Dalam naskah itu, terdapat gambaran bahwa Mangkunegara I menilai kedudukan wanita Jawa pada waktu itu berada pada kehidupan sosial yang kurang menguntungkan. Berdasarkan pada keadaan yang demikian, Pangeran Mangkunegara I melakukan destruksi budaya yang berhubungan dengan pandangan dan perlakuan masyarakat pada waktu itu terhadap kaum wanita. Dalam hal ini pemikiran Pangeran Mangkunegara I, perubahan wanita pada zamannya tertuang pada pemikirannya tentang eksistensi wanita (Fanani, 1993: 391). Di sini peran wanita berbeda dengan tokoh-tokoh yang lain. Hal ini sangat menarik untuk diteliti. Di samping itu, Mangkunegara I juga mengadakan reformasi terhadap eksistensi wanita yang justru datangnya dari lingkungan kerajaan. Pangeran Mangkunegara I menganggap bahwa hal ini merupakan ketimpangan sehingga ia mencoba mengubah tatanan sosial tentang keberadaan
wanita
Jawa
yang
sesungguhnya
sangat
berpotensi
untuk
dikembangkan. Apabila dikaitkan dengan pembangunan sekarang, faktor penduduk adalah modal dasar yang potensial. Sudah selayaknya jika pembicaraan tentang potensi dan eksistensi wanita diberi kesempatan yang sebaik-baiknya. Selanjutnya, diharapkan bahwa dengan potensi yang dimiliki, wanita dapat ikut berpartisipasi
1
2
aktif dalam pembangunan. Semua itu dapat dilihat pada Babad Nitik yang tersimpan di perpustakaan Pura Mangkunegaran dengan nomor B29a. Serat Babad Nitik adalah warisan tulisan yang berupa naskah Jawa produk masa lampau yang berasal dari kurun waktu beberapa ratus tahun yang lalu. Serat ini menyimpan berbagai informasi tentang kehidupan, tentang berbagai buah pikiran, paham, pandangan hidup yang pernah ada pada naskah tersebut diciptakan (Chamamah Soeratno, 2002: 3). Serat Babad Nitik ini bentuknya berlainan dengan babad-babad pada umumnya. Serat Babad Nitik ini berupa buku harian ditulis oleh abdi dalem wanita yang kemudian dikemas sedemikian rupa sehingga menyerupai babad perjalanan hidup Pangeran Mangkunegara I atau dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Adanya keistimewaan isi Serat Babad Nitik, maka makalah ini membahas masalah potensi wanita Jawa yang terkandung di dalamnya. Potensi wanita Jawa yang dimaksudkan di sini adalah potensi substantif prestatif. Adapun yang dimaksud dengan substantif dan prestatif adalah sebagai berikut: pertama, potensi substantif adalah di samping mengerjakan tugas utama yaitu mengurus keluarga, wanita juga mengikuti kegiatan sosial yang lain, misalnya PKK, Dawis, Posyandu dan sebagainya, dengan demikian wanita dapat mandiri. Kedua potensi prestatif adalah hasil yang diperoleh dari sesuatu yang dilakukan misalnya prestasi dalam memegang ekonomi keluarga, prestasi dalam mengelola administrasi organisasi dan sebagainya (Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer Tahun 1901). Berdasarkan arti dalam kamus tersebut maka dapat diinterpretasikan bahwa di samping seorang wanita mengurus keluarga, ia pun dapat mengikuti kegiatan
sosial. Maka
dengan demikian,
wanita dapat
berprestasi
mengembangkan karier, ia dapat melakukan kegiatan yang sejajar dengan pria.
dan
Citizenship, Cultural Mobility and Female Identity in the Post-New Order Era: Reading the Sinetron ‘Mystery of Mount Merapi’ Sri Kusumo Habsari
Introduction In this paper I analyse the relationship between cultural mobility and the construction of women’s identities as represented in Indonesian “sinetron (V.S. Wardhana, 1997: 29, 8598).” television series, “Misteri Gunung Merapi” (Mystery of Mount Merapi). This article considers how Indonesian women’s identities are being transformed, focusing in particular on an increased awareness by Indonesian women of their membership as citizens of the polity and and increased desire to participate in it. I argue that traditional female identities and gendered citizenship, established by the New Order era as the dominant ideology, has begun to be fragmented in the Post New Order era with the spread of global flows of media and culture from Western countries. Bignell has stated that “the ways in which television connects with the character of the society where it is watched raise the issue of the social significance of what television represents” (Bignell, 2004 : 4). Similarly, Connel argues that the best way to study gender images is through media representations such as magazines, films, and television dramas, although gender representations in such media are often “simplified, stylised and exaggerated” (Clark, 2004: 114). In case of Indonesia, Blackburn said that Indonesian media often represented images that were “far from the reality of most women’s lives”. This happened in large part because the purpose of media in Indonesia was to propagate the dominant ideology of New Order government (Blackburn, 1994: 567). Similarly, “even if the state did not go so far as to dictate how women could be portrayed in the media, its messages linking good citizenship for women to good domestic qualities were omnipresent” (Brenner, 1999: 15). I argue that although popular culture is often reluctant to deal with progressive ideas, this does not mean that it glorifies the old traditional values. Since socio-cultural phenomena change from time over time, the values that popular culture responds to are different also. I demonstrate this process in the course of an examination of the popular sinetron Misteri Gunung Merapi (Mystery of Mount Merapi). Considerable attention has been paid to representations of the New Order state’s gender ideologies and policies for women through Indonesian television series, or sinetron.
1
Saraswati Sunindyo argues that such representations in Indonesian sinetron in TVRI (Television of Republic Indonesia, government television) promoted patriarchy and reinforced the idea that a woman’s primary role is to be a mother and wife (Sunindyo, 1993: 134). Similarly, Purnami asserts that stereotypes of women as dependent, irrational, emotional, passive, and obedient were dominant in most sinetrons in TVRI. Such repeated portrayals of women in the sinetron provided role models, informing people about what women were and who they should be (Aripurnami, 1996: 254). In 1994, based on her study of state policy documents and advertising images of the 1990s, Sen wrote that Indonesian women’s identity had been transformed in the late New Order not only as “daughters, wives and mothers” but also as active members of capitalist markets (Sen, 1994: 37). However, in her later article, which was based on political cartoons, she said despite the fact that the capitalist market does treat women as consumers and acknowledges their needs, “the position of women in the formal political structures declined rather than improved after the collapse of the New Order”. Implicitly, she said, women have been still experiencing ongoing inequality rather than developing a new identity (Sen, 2002: 61-62). In other words, despite the social and cultural mobility of recent years, women’s political status as citizens is still a problem.
Sinetron as Social Construction of Reality Since the fall of Indonesian cinema around 1990, television film series known with as “sinetron” have become very popular. One of the most popular sinetron, which has been broadcasted since 1998 up to present day and has attained the highest ratings in Indonesia, is Mystery of Mount Merapi. Television has connections with the real world of culture and society. Television programs also present us with constantly up-dated versions of social relations and cultural perceptions. However, television images are representation of realities rather than realities themselves and these representations are ideological. In Indonesia, television is a powerful sign of modernity, reinterpreted from its Western origins and refashioned to accommodate local needs (Sutton, 1998: 1). Television is also important in the life of Indonesians as they spend a lot of time watching television (Nilan, 2001: 1). Television drama, especially, is considered the most prestigious and expensive program type, which is why it is often prominently scheduled and advertised. In Indonesia especially, with the fall of film, sinetron became the most popular entertainment program.
2
Keadilan dan Kesetaraan Gender dalam Islam Moh. Fauzi
Banyak “tuduhan” yang ditujukan kepada Islam dengan label agama yang bias gender. Sementara hanya sedikit sekali pandangan yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan keadilan dan kesetaraan gender.1 Tuduhan Islam sebagai agama yang bias gender seringkali dikuatkan dengan argumentasi dalil-dalil agama (baca: ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah/Hadis) yang berisi ketentuan-ketentuan yang lebih memihak kepada kaum laki-laki dan mendeskriditkan kaum perempuan. Islam sebagai sebuah tatanan norma dibedakan menjadi 2 (dua) macam; Islam normatif dan Islam historis. Islam normatif merupakan Islam yang masih berada dalam teks suci al-Qur’an dan al-Hadis. Pada tataran ini, seluruh ajaran Islam mengandung nilai keadilan dan kesetaraan gender. Sementara Islam historis adalah Islam yang sudah tersentuh pemahaman umat Islam sehingga sangat dipengaruhi sosio-kultur setempat. Pada tataran ini ajaran Islam bisa dipahami sebagai adil gender dan juga bisa dikatakan bias gender. Bidang yang sering menjadi obyek kajian adalah bidang hukum Islam (Fikih). Munculnya anggapan bahwa agama Islam itu bias gender dengan lebih membela kaum laki-laki, disebabkan 2 (dua) kemungkinan. Pertama, dasar hukumnya tidak valid 1
Gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari aspek sosial-budaya. Jadi, gender merupakan konstruksi sosial-budaya (social-cultural construction) yang bersifat non-biologis dan non-kodrati sehingga bisa dipertukarkan. Dengan pengertian tersebut, gender berbeda dengan seks yang berarti perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek biologis (given) sehingga tidak dapat dipertukarkan. Jadi, seks lebih berkonsentrasi pada biologi seseorang, yang meliputi perbedaan komposisi kimia hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non-biologis lainnya. Jika perbedaan kedua jenis kelamin tersebut berada pada hubungan yang linier dan seimbang itulah yang dinamakan adil dan setara gender. Sedangkan bila lebih memihak kepada salah satu jenis kelamin (dalam hal ini lebih sering membela laki-laki daripada perempuan), maka disebut bias gender.
(jika Hadis berkualitas lemah/dlo’if).2 Jika hal ini yang terjadi, hadis tersebut harus dibuang (tidak boleh dijadikan dasar hukum). Kedua, pemahaman terhadap sumber Islam tidak melihat konteks turunnya al-Qur’an (asbabun nuzul) atau terjadinya sebuah Hadis (asbabul wurud), sehingga terjadi “kesalahan pemahaman” terhadap ajaran Islam. Di sinilah perlunya kontekstualisasi pemahaman terhadap ajaran Islam yang terkandung dalam nash (Al-Qur'an dan as-Sunnah) sehingga hasilnya sejalan dengan ruh asysyari'ah yang mengajarkan keadilan dan kesetaraan. Di bawah ini dikemukakan beberapa kasus dalam hukum Islam yang sering dipahami secara "salah" sehingga makna yang diperoleh seolah-olah Islam itu bias gender, padahal jika dipahami secara "benar" akan melahirkan makna Islam itu adil gender. Sebelum menguraikan kasuskasu tersebut, terlebih dahulu diuraikan kajian tentang posisi perempuan sebelum Islam datang di Jazirah Arab dan revolusi yang dilakukan Islam terhadap posisi perempuan.
Posisi Perempuan Sebelum Islam Untuk bisa memahami pandangan Islam terhadap perempuan secara tepat, perlu diketahui terlebih dahulu posisi perempuan sebelum Islam. Perempuan pada masa praIslam tidak mempunyai nilai sama sekali. Mereka tak ubahnya bagaikan barang yang dapat diperjualbelikan, dan bahkan dapat diwarisi. Praktek ini dilarang oleh Islam, sebagaimana diabadikan dalam Surat al-Nisa’ ayat 19: ﻛﺮھﺎ ﺗﺮﺛﻮااﻟﻨّﺴﺎء أن ﻟﻜﻢ ﻻﯾﺤﻞ أﻣﻨﻮا اﻟﺬﯾﻦ ﯾﺎأﯾّﮭﺎ.... Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi perempuan secara paksa…". Pada masa itu, kaum laki-laki-lah yang memiliki hak dominasi atas kaum perempuan. Perempuan tidak memiliki hak pribadi, mereka menjadi milik ayahnya atau milik suaminya jika sudah menikah. Bahkan janda dari seorang laki-laki seringkali diwaris oleh anak laki-laki dari suaminya yang meninggal dunia (anak tiri). Setelah
2
Dalam ilmu Hadis, suatu Hadis dilihat dari segi kualitasnya diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) macam; Hadis Shohih, Hadis Hasan, dan Hadis Dlo’if. Hadis yang dapat dijadikan sandaran hukum (hujjah) hanya Hadis Sohih dan Hadis Hasan. Sedangkan Hadis Dlo’if sama sekali tidak boleh dijadikan hujjah.
Self-concept dan Preferensi Resolusi Konflik Perempuan-Istri Keluarga Poligami Mudaris Muslim Thomas Aquinas Gutomo
Pendahuluan Self-concept atau konsep-diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita sendiri. Persepsi tentang diri ini dapat bersifat fisik, sosial, dan psikologis. Persepsi tentang diri ini diperoleh dari pengalaman-pengalaman dan hubungan dengan orang lain. Konsep-diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian kita tentang diri kita sendiri. Ada berbagai pandangan tentang perkembangan konsep-diri. Namun pada dasarnya para ahli sependapat bahwa konsep-diri bukanlah faktor bawaan sejak lahir. Kualitas konsepdiri pada seseorang dapat berupa konsep-diri yang positif atau konsep-diri yang negatif. Konsep-diri yang positif dapat diperoleh jika seseorang memandang dirinya sebagai seorang yang mampu. Konsep-diri yang positif memungkinkan seseorang untuk menatap hidup dengan penuh antusiasme, berkemauan untuk menjelajahi minat-minat baru, mencari tantangan baru bagi diri dan hidupnya serta sebagai individu yang bahagia. Sebaliknya seorang yang memiliki konsep-diri yang negatif, merasa tidak mampu, tidak berdaya, menolak untuk mencoba tugas atau hal-hal baru dan mudah menyerah sebelum mencoba sesuatu karena selalu merasa dirinya akan mengalami kegagalan. Penilaian terhadap konsep diri seseorang dapat didasarkan pada empat indikator atau skor, yaitu (1) skor Identitas diri (Self-identity), yaitu merupakan Internal self-concept yang menggambarkan identitas dasar individu, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri, (2) skor Kepuasan Diri (Self-satisfaction), yaitu yang menggambarkan perasaan individu mengenai dirinya sendiri, merefleksikan tingkat kepuasan diri dan penerimaan individu, (3) skor Family Self, yaitu yang merefleksikan persepsi diri individu dalam kaitannya dengan kelompok primer individu, dalam hal ini adalah keluarga dan teman-teman dekatnya, dan (4) skor Social Self, yaitu menampilkan persepsi diri individu dalam hubungannya dengan interaksi sosialnya dengan orang lain. Konsep-diri dibangun berdasarkan interaksi dengan orang lain, dan dalam interaksi itu sering muncul konflik. Konflik adalah hal yang biasa terjadi, namun bukan berarti konflik dapat dibiarkan begitu saja. Konflik harus dapat diselesaikan, tetapi menyelesaikan konflik 1
bukanlah sesuatu yang mudah karena salah satu kemungkinan yang terjadi adalah pihakpihak yang terlibat dalam konflik memiliki preferensi prosedur penyelesaian atau resolusi konflik yang berbeda satu sama lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep-diri antara lain (a) orang lain, (b) kelompok rujukan, (c) jenis kelamin, (d) harapan-harapan, (e) suku bangsa, dan (f) atribut nama. Menurut Pruitt (1986), “konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest)”, atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Ada berbagai macam strategi yang umumnya digunakan oleh pihak-pihak yang mengalami konflik (Pruit, 1986), antara lain: (1) contending yaitu mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lain, (2) yielding yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan, (3) problem solving yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak, (4) withdrawing yaitu memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis, dan (5) inaction yaitu tidak melakukan apapun. Strategi resolusi konflik tersebut dapat digunakan dalam mengatasi berbagai macam konflik yang mungkin timbul ketika berinteraksi dengan orang lain, mulai dari ruang lingkup yang kecil seperti keluarga, sampai lingkup yang besar seperti masyarakat. Keluarga perlu dilihat sebagai wadah sosialisasi nilai-nilai dominan dalam masyarakat. Pada keluarga poligami, konflik disinyalir akan lebih sering terjadi. Pada 1974 parlemen Indonesia menerima undang-undang perkawinan yang baru. Dikatakan bahwa laki-laki boleh melakukan poligami apabila agamanya mengizinkan, istrinya menyetujuinya, dan ia dapat membuktikan bahwa ia dapat menafkahi lebih dari satu keluarga. Undang-undang ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan perkawinan, memperkuat posisi perempuan, serta melindungi hak anak-anak mereka. Undang-undang ini membatasi praktek poligami, namun tidak melarangnya selama prasyarat-prasyarat tersebut dapat dipenuhi. Poligami sudah lama menjadi sumber perdebatan di kalangan perempuan Indonesia. Dalam surat-suratnya, Kartini pun (1879-1904) telah mengungkapkan keresahannya terhadap praktek-praktek perkawinan yang feudal dan bersifat poligami, yang membatasi perempuan di dalam rumah, menghalangi akses mereka ke pendidikan, dan mendefinisikan mereka terutama sebagai ibu dan istri. Poligami dalam Islam mengasumsikan bahwa laki-laki mempunyai dorongan seksual yang besar yang harus disalurkan untuk menghilangkan ketegangan-ketegangan jasmani dan rohani yang bisa muncul. Seorang laki-laki diperbolehkan kawin dengan lebih dari satu, tetapi juga dianjurkan menjaga keseimbangan di antara mereka agar tidak timbul konflik2
BAGIAN II GENDER DALAM DIMENSI PENDIDIKAN
Gender Mainstreaming in Education: An Indonesian Experience* Ignatius Agung Satyawan
Introduction Indonesian’s commitment to achieve gender equality and equity is reflected in the 1945 Constitution. Article 27 of the 1945 Indonesian Constitution states that “…. without any exception, all citizens shall have equal status in law and government, and shall be obliged to uphold that law and government”. Together with Pancasila as the state philosophy and the nation’s way of life, the Constitution has placed women in the highest esteem and dignity. As a member of international community, Indonesia has ratified various international conventions. United Nations Convention on the Elimination of all forms of Discrimination against Women (CEDAW) endorsed in 1979, for example has been ratified into Act No. 7/1984. Furthermore, it also signed the Optional Protocol of CEDAW on 26 February 2000. In the Convention, member countries had condemned all forms of discrimination against women and agreed on implementing the convention in every appropriate ways without delay. In general, progress has been achieved in the last two decades of women’s empowerment. Through poverty alleviation approaches using Women in Development (WID) strategy, women’s condition in various sectors of life have been improved. However, development aimed only at women’s issues does not minimize the gaps between men and women as shown by the following indicators for women: -
*
Lower quality of education, health and skills;
Adaptation from my paper presented at International Conference of Gender and Human Rights in Southeast Asia, Bangkok: June 21-22, 2006.
-
Lower access to economic resources such as technology, market, capital and credit;
-
Limited access to power and decision making;
-
Vulnerability to exploitation and violence;
-
Unfair distributions of work in which women are burdened with multiple roles of productive and reproductive functions.
Shortly, in all sector (including education), achievement of women is behind the men despite the fact that policy and development program have been designed with respect to anti-gender discrimination principles. Such condition is also depicted in Gender Development Index (GDI). Indonesia’s GDI as one macro indicator of gender equity and equality is still very low compare with those of other countries. It has not yet shown significant improvement in the last 5 years. In 2001 for example, Indonesian GDI was 92nd of 152 countries. It was 91st of 146 countries in 2002 –2003 and 108th of 177 countries in 2004 (UNDP, 2006). This condition has brought reduction in gender equality, more subordinated and resulted in less significant contribution of the women in a number of development programs. The implication of this condition is slower national production. United Nations indicated in 2008 that gender gap in Indonesia could reduce national development’s achievements. This country lost US$ 2.4 million annually (Langitperempuan, 2009). In relation to this gender issue, there is a need for redefining the priority and strategy to achieve gender equality and equity. To improve gender relation problems, the Government of Indonesia has initiated a new strategy for development. Field experiences have revealed that incorporating experiences, needs, aspiration, and perspectives of both women and men into development process can enhance productivity and efficiency in the use of resources. To implement gender-responsive development, which incorporates aspirations, experience and issues of women and men, gender mainstreaming strategy has been adopted. Hence, women who have been marginalized are now brought into the mainstream of development together with men as their equal partners.
2
Analisis Gender terhadap Persepsi Jenis Pekerjaan dan Pemilihan Program Studi pada Mahasiswa Institut Pertanian Bogor Herien Puspitawati
Pendahuluan Latar Belakang Indonesia
sebagai
salah
satu
negara
anggota
UNESCO
telah
menandatangani Kesepakatan Dakar mengenai Kebijakan Pendidikan Untuk Semua atau PUS (Education for All) yang di dalamnya mencanangkan beberapa hal penting berkenaan kesetaraan gender dalam pendidikan, diantaranya menghapus disparitas gender di Pendidikan Dasar dan Menengah menjelang Tahun 2005, dan mencapai persamaan pendidikan menjelang Tahun 2015 dengan suatu fokus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan prestasi yang sama dalam Pendidikan Dasar yang berkualitas baik. Komitmen untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan tersebut diperkuat dengan ditetapkannya INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, yang menginstruksikan kepada semua pejabat negara, termasuk Gubernur dan Bupati/Walikota untuk melaksanakan PUG guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing (Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, 2001). Diperkuat lagi dengan adanya tujuan ketiga Pembangunan Milenium Indonesia (MDGs) adalah mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, maka salah satu hal yang ingin dicapai Pembangunan Milenium Indonesia adalah menghapus kesenjangan gender. Untuk mencapai target tersebut, salah satunya dengan meningkatkan kemampuan kelembagaan pendidikan dalam mengelola dan mempromosikan pendidikan berwawasan gender sehingga dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kesetaraan gender (Bappenas, 2007). Seiring dengan komitmen Internasional di atas, telah diakui secara terbuka bahwa masih banyak kendala yang ditemui di Indonesia untuk
1
mewujudkan komitmen tersebut terutama dari mind set sebagian masyarakat Indonesia yang masih belum berperspektif gender. Seiring dengan VISI Departemen Pendidikan Nasional sampai dengan Tahun 2025 adalah “ Menciptakan Insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif” dengan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, maka perlu dilakukan kajian sederhana tentang persepsi mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan tentang jenis pekerjaan dan pemilihan program studi yang pantas dilakukan baik oleh kaum laki-laki maupun perempuan. Kajian ini ingin mengetahui sejauh mana mahasiswa Institut Pertanian Bogor mempunyai persepsi gender terhadap pemilihan jenis pekerjaan dan program studi strata sarjana.
Permasalahan dan Kerangka Pemikiran Kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berbegara adalah suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki dengan memperhatikan kontekstual dan situsional (KPP, 2001, 2004, 2005). Suryadi dan Idris (2004) menyatakan bahwa kesetaraan gender dalam Bidang Pendidikan sangat penting karena sektor pendidikan merupakan sektor yang paling strategis untuk memperjuangkan kesetaraan gender, dengan asumsi bahwa tidak ada bias gender dalam kebijakan-kebijakan pemerintah khususnya dalam Bidang Pendidikan. Hal ini berarti bahwa kesempatan untuk meningkatkan potensi Sumberdaya Manusia (SDM) dalam Bidang pendidikan baik laki-laki maupun perempuan sangat terbuka seluas-luasnya dengan peluang yang sama. Permasalahan kesenjangan gender di Indonesia dibuktikan dengan adanya angka Gender Development Index (GDI) Indonesia pada tahun 1999 adalah 0,691, menempati peringkat 87 dari 140 negara di dunia. Sepanjang tahun 1999-2004 angka GDI Indonesia mengalami peningkatan dari 0,670 (1999) menjadi 0,685 (2001) dan 0,690 (2003) dan akhirnya mencapai 0,704 (2004). Namun demikian peringkat GDI Indonesia (81) masih lebih rendah dari Vietnam (80), Filipina (66), Cina (64), Thailand (58) dan Malaysia (51) (UNDP - Human Development Report 1995 – 2006). Masalah kesenjangan gender di bidang pendidikan terbukti dengan
2
Kebijakan ’Etis’ dan Perluasan Pendidikan bagi Wanita Bumiputera pada Awal Abad ke 20 Warto
Pendahuluan Kebijakan politik ‘etis’ dan perluasan pendidikan bagi kaum Bumiputera pada awal abad ke-20 mempunyai hubungan yang cukup erat. Pendidikan ala Barat merupakan fenomena yang relatif baru di tanah jajahan karena pada periode sebelumnya hampir tidak dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Pendidikan modern baru diperkenalkan secara luas setelah pemerintah kolonial Belanda mencanangkan kebijakan ‘etis’ yang di dalamnya meliputi aspek-aspek ekonomi (irigasi), demografi (transmigrasi), dan edukasi. Gagasan ‘etis’ merupakan bagian dari pemikiran humanisme yang mulai berkembang sejak akhir abad ke19 di Eropa Barat yang kemudian diperluas di daerah jajahan. Humanisme mendorong lahirnya pemikiran ”balas budi” (een eereschuld) negara penjajah terhadap daerah jajahan yang selama ini telah memberikan banyak keuntungan ekonomi dan sosial. Untuk menunjukkan bahwa negara penjajah (Barat, Belanda) merupakan masyarakat yang beradab dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, maka perlu membuat kebijakan yang memihak rakyat jajahan. Mereka mempunyai tugas suci (mission-sacree) memberadabkan kaum terjajah yang primitif dan terbelakang. Mereka menyadari perlunya ”mengajari” anak-anak jajahan agar terbuka pemikiran dan wawasannya dalam menyongsong era baru yang lebih maju dan beradab. Gerakan humanisme yang kemudian dikemas dalam politik ‘etis’ itulah yang menjadi dasar dibukanya sekolah-sekolah Barat untuk kaum pribumi. Muncullah berbagai jenis sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, baik yang diusahakan/disubsidi pemerintah maupun oleh swasta, baik yang didirikan di kota-kota besar maupun di pelosok pedesaan. Namun demikian, semuanya itu terjadi dalam konteks masyarakat jajahan yang hegemonik dan diskriminatif. Sekolah-sekolah itu tidak sepenuhnya mencerminkan institusi yang bebas dan
1
demokratis untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, melainkan tetap terikat dalam relasi kolonialisme yang eksploitatif. Sekolah-sekolah itu sesungguhnya mencerminkan realitas sosial politik yang diskriminatif di bawah hegemoni kekuasaan kolonial. Diskriminasi tidak hanya didasarkan oleh perbedaan kuasa, warna kulit, ras, dan kelas, melainkan juga oleh perbedaan jenis kelamin. Dengan kata lain, konstruksi sosial gender turut mewarnai kebijakan politis ‘etis’ di bidang pendidikan. Konstruksi sosial gender yang bias kepentingan laki-laki diproduksi dan reproduksi melalui relasi sosial yang terus mengalami perubahan. Ia juga berakar pada nilai-nilai patriarki yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Singkatnya, kebijakan politik penjajahan Belanda terutama kebijakan ‘etis’ bertumpu pada budaya patriarki yang memberi tempat lebih tinggi kepada laki-laki. Implikasinya, seluruh sepak terjang dan tindakan yang dilakukan dalam rangka menguasai daerah jajahan selalu bias laki-laki. Pandangan politik seperti itu kompatibel dengan realitas sosial budaya daerah jajahan khususnya di Indonesia. Struktur patriarki mewarnai sebagian besar corak sosial budaya masyarakat Indonesia, sehingga wanita kurang mendapatkan kesempatan dalam mengakses pendidikan. Tulisan singkat ini berusaha melihat implementasi politik ‘etis’ dalam bidang pendidikan dan seberapa juah wanita Bumiputera memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam pendidikan modern. Wilayah Surakarta diajadikan contoh kasus untuk mengetahui secara riil sejauh mana perempuan terlibat dalam pendidikan modern yang diperkenalkan pemerintah kolonial Belanda.
Politik ‘Etis’ Masa-masa setelah penghapusan Sistem Tanam Paksa dikenal dengan periode Liberal yang menunjukkan bahwa pemerintah dengan sengaja mengambil langkah mundur dari kegiatan perekonomian, kecuali beberapa hal seperti perusahaan-perusahaan pemerintah, membatasi diri pada pemeliharaan hukum dan ketertiban serta menyediakan pelayanan-pelayanan infrastruktur. Pada sekitar awal abad ke-20 pemerintah kolonial Belanda sangat ingin menghentikan keterlibatannya di dalam ekonomi lokal. Namun, pemerintah secara perlahan-
2
DAMPAK PENGARUSUTAMAAN GENDER TERHADAP INOVASI PENDIDIKAN ADIL GENDER DI SEKOLAH ((Studi Kasus di Empat Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah) D. Priyo Sudibyo dan Ismi Dwi Astuti Nurhaeni PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan publik pemerintah untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam berbagai bidang pembangunan telah dinyatakan secara tegas dalam berbagai dokumen kebijakan, antara lain: Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang “Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional”, Undang-undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 84 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan. Meskipun sudah ada regulasi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, namun kesenjangan gender dalam berbagai bidang pembangunan masih terjadi, salah satunya di bidang pendidikan. Di Provinsi Jawa Tengah, kesenjangan gender di bidang pendidikan dapat dilihat dari indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah sbagai indikator komposit Genderrelated Development Index (GDI). Angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Tengah sejak tahun 2004 hingga 2007 mengalami peningkatan, baik pada laki-laki maupun perempuan. Pada tahun 2004, angka melek huruf penduduk laki-laki sebesar 92,1% dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 93,4%. Sedangkan angka melek huruf perempuan pada tahun 2004 sebesar 81,5 dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 84% (KPP dan BPS, 2007). Bila dibandingkan antara penduduk perempuan dan laki-laki, maka angka melek huruf penduduk perempuan senantiasa berada dibawah angka melek huruf laki-laki. Rendahnya kinerja pembangunan terhadap perempuan dibandingkan laki-laki juga terjadi pada indikator rata-rata lama sekolah dimana rata-rata lama sekolah penduduk perempuan berada dibawah rata-rata lama sekolah penduduk laki-laki. Rata-rata lama sekolah penduduk laki-laki pada tahun 2004 adalah 7,1 tahun dan pada tahun 2007 meningkat menjadi 7,3 tahun, sedangkan perempuan 6 tahun pada 2004 dan meningkat menjadi 6,2 tahun pada 2007. Meski demikian, 1
rata-rata lama sekolah perempuan juga lebih rendah dibandingkan laki-laki 9KPP dan BPS, 2007). Berbagai bentuk ketidakadilan gender di bidang pendidikan masih terjadi, antara lain berupa: 1. kesenjangan dalam perbedaan status sosial ekonomi, latar belakang budaya dan geografis; sehingga mengakibatkan semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar kesenjangannya; 2. Dalam hal mutu pendidikan proses pembelajaran masih netral atau bias gender, hal ini karena pemahaman guru, kepala sekolah dan pengelola pendidikan belum responsif gender; 3. Dalam hasil belajar, angka kelulusan anak perempuan lebih tinggi dbanding anak laki-laki sejak tahun 2005; 4. Kualifikasi guru perempuan jauh dibawah laki-laki, hal ini berdampak terhadap hasil sertifikasi dimana guru perempuan jauh tertinggal dibanding guru laki-laki (25%;75%) 5. Rendahnya partisipasi perempuan dalam perumusan kebijakan dan pegambilan keputusan bidang pendidikan. Menyadari masih adanya berbagai bentuk ketidakadilan gender di bidang pendidikan, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah telah memfasilitasi capacity building Pengarusutamaan Gender (PUG) sejak tahun 2003 dengan melibatkan sebagian besar stakeholders pendidikan di Provinsi Jawa Tengah maupun di kabupaten/kota. Selanjutnya capacity building tersebut ditindaklanjuti dengan pemberian dana block grand sebagai stimulan untuk mengaplikasikan pengarusutamaan gender bidang pendidikan di Kabupaten/Kota Jawa Tengah. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji apakah Pengarusutamaan Gender Pendidikan memberikan dampak terhadap inovasi pendidikan adil gender di sekolah. Adapun permasalahan penelitian dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimana strategi mengintegrasikan perspektif keadilan dan kesetaraan gender di bidang pendidikan?; (2) Apakah pengarusutamaan gender memberi dampak berupa inovasi pendidikan adil gender di sekolah?
B. Tinjauan Pustaka Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan yang selanjutnya disebut PUG Pendidikan adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan bidang pendidikan (Permendiknas 84 tahun 2008). Gender adalah konsep
2
BAGIAN III GENDER DALAM DIMENSI POLITIK DAN KEBIJAKAN PUBLIK
Pemetaan Isu Gender di Bidang Politik di Provinsi Sumatera Selatan Eva Lidya
Pendahuluan Keikutsertaan kaum perempuan dalam aktivitas politik sebagaimana tercatat dalam sejarah baru dimulai ketika mereka menuntut memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang terjadi di abad 19. Tuntutan untuk berpartisipasi di bidang politik ini memberikan suatu pengalaman baru bagi kaum perempuan dan bagi laki-laki ini berarti menghentikan dominasi di ranah tersebut. Dunia politik cenderung tidak mengenal jam kerja dan ini merupakan salah satu tantangan bagi perempuan. Di samping itu, sering terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam sehingga memerlukan waktu lama untuk mencapai kompromi-kompromi politik. Persoalannya, kaum perempuan tidak terbiasa menghadapi situasi dan kondisi yang cenderung selalu berada dalam suasana konflik sehingga tidak mengherankan bila akhirnya adaptasi perempuan dalam dunia politik menjadi rendah. Sebuah kebijakan seringkali mengabaikan kepentingan/kebutuhan perempuan. Salah satu penyebabnya karena politikus laki-laki banyak yang belum memiliki sensitivitas gender, kurang peka pada kepentingan/kebutuhan masyarakat berdasarkan jenis kelamin. Walaupun laki-laki mendominasi bidang politik tetapi bila mereka peka gender maka tentunya tidak akan timbul masalah gender. Umumnya, laki-laki menganggap bila perempuan mau berpolitik maka mereka harus berjuang dan berani menghadapi tantangan. Sementara pihak beranggapan bahwa perempuan harus berjuang untuk masuk ke dalam dunia politik ini dan tidak perlu ada affirmative action dengan kuota 30% perempuan di badan legislatif. Dengan adaptasi perempuan terhadap dunia politik yang rendah dan adanya anggapan bahwa dunia politik sangat keras dan banyak intrik maka sebagian besar kaum perempuan tidak berminat terhadap aktivitas politik. Akibatnya, kesenjangan antar jenis kelamin dalam aktivitas politik terus berlangsung sebagaimana tercermin dalam data terpilah. Data Gender Empowerment Measure (GEM) tahun 1999 untuk provinsi Sumatera Selatan menempatkan provinsi ini ke urutan 25 dari 26 provinsi dan pada pantauan periode
berikutnya juga masih berada pada urutan posisi rendah. Salah satu komponen yang dipantau dalam GEM adalah bagaimana persentase perempuan dalam parlemen. Persentase perempuan di parlemen sedikit banyak menggambarkan bagaimana kiprah perempuan di bidang politik. Keterlibatan perempuan di lembaga legislatif merupakan bagian kecil dari gambaran isu perempuan di bidang politik. Sementara itu, banyak bagian lainnya yang harus dilihat atau dikemukakan sehingga di dapat peta tentang bagaimana keterlibatan perempuan di bidang politik dengan berbagai permasalahannya. Tulisan ini didasarkan pada hasil penelitian yang sangat bermanfaat untuk menambah data tentang bagaimana keterlibatan perempuan di bidang politik. Data didapat selain dari para informan yang berkecimpung di ranah politik juga di dapat melalui dokumen-dokumen yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Sumatera Selatan, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada tingkat Provinsi.
Permasalahan Permasalahan penelitian ini adalah adanya bias gender dalam kehidupan politik di Provinsi Sumatera Selatan. Permasalahan ini dapat dirinci dalam beberapa pertanyaan berikut: 1. Bagaimana keterlibatan perempuan dalam lembaga Legislatif baik di tingkat provinsi dan di tingkat kabupaten/kota? 2. Bagaimana keterlibatan perempuan dalam lembaga Eksekutif di tingkat provinsi? 3. Bagaimana keterlibatan perempuan dalam lembaga Yudikatif ?
Pembahasan Keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan politik terutama tingkat internal partai dan dalam proses pencalonan anggota legislatif menjadi salah satu isu gender yang banyak dibicarakan orang. Ada dua faktor yang memunculkan isu gender di bidang politik yaitu: pertama, adanya tekanan dari gerakan perempuan baik dari aktivis perempuan yang
Negara dan Tubuh Perempuan: Menguak Konstruksi Patriarkis dalam Kebijakan Publik tentang Prostitusi dan Pornografi Sri Yuliani
Pendahuluan Tubuh manusia ternyata tidak semata-mata organ biologis. Tubuh bisa menjadi sumber kekuasaan dan sumber wacana, terlebih lagi tubuh perempuan. Karena keindahannya, tubuh perempuan mudah mengundang berahi. Dengan tubuhnya pula perempuan menjual jasa layanan seksual kepada lawan jenisnya atau disebut sebagai kegiatan pelacuran atau prostitusi. Tubuh dan wajah perempuan saat ini juga menjadi komoditas penting dalam industri hiburan, termasuk media yang mengeksploitasi seksualitas perempuan atau yang umum disebut sebagai pornografi. Daya tarik seksual bisa menjadi sumber kekuasaan yang mengontrol perilaku banyak orang. Karena itu tubuh perempuan tidak sekedar raga tapi sumber kekuasaan sosial, ekonomi dan politik. Untuk mengaturnya dikonstruksi wacana tentang seks yang diharapkan dapat mengendalikan perilaku seksual masyarakat. Dalam konsepsi moral, perempuan tidak dipahami sebagai korban tapi justru dipandang sebagai sumber penyimpangan dan dosa. Dalam ajaran agama perempuan adalah penggoda yang menyeret Adam ke dalam dosa. Perempuan, terutama tubuhnya, adalah sumber penggoda, sumber dosa, dan malapetaka. Karena itu timbul pemahaman untuk mengendalikan moralitas masyarakat harus dimulai dengan mengendalikan tubuh perempuan. Perempuan yang sebenarnya seringkali lebih sebagai korban karena eksploitasi tubuhnya, justru dianggap sebagai sumber masalah. Setiap tindak kekerasan dan eksploitasi seksual lebih disebabkan karena si perempuan yang mempertontonkan atau memanfaatkan bagian-bagian tubuhnya. Untuk mengendalikan bagaimana perempuan harus memperlakukan tubuhnya, negara merancang berbagai kebijakan yang intinya mengatur posisi perempuan di masyarakat serta seksualitasnya. Bahkan setelah reformasi, di Indonesia banyak lahir kebijakan-kebijakan yang cenderung menjadikan tubuh perempuan sebagai obyek pengaturan diantaranya berbagai peraturan daerah tentang maksiat atau pelacuran yang banyak bermunculan di era otonomi daerah dan yang paling kontroversial adalah UU tentang Pornografi. Kebijakan tentang prostitusi
dan pornografi menjadi contoh kebijakan yang sangat bias gender dan menstigmatisasi tubuh perempuan sebagai sumber penyakit masyarakat sehingga mengundang perdebatan panas di tengah masyarakat. Pro-kontra yang menyertai proses formulasi UU Pornografi dan juga dalam penerapan perda tentang pelacuran menjadi bukti nyata bahwa permasalahan tubuh perempuan bukan sekedar persoalan personal bagaimana perempuan menggunakan tubuhnya atau bagaimana perempuan mengendalikan seksualitasnya tapi ada relasi kekuasaan yang membuat perempuan tidak memiliki otonomi untuk mengendalikan tubuhnya sendiri. Selanjutnya tulisan ini hendak membongkar konstruksi sosial patriarkis yang ada di balik kebijakan publik yang mengatur tentang prostitusi dan pornografi.
Tubuh Perempuan: Medan Kontestasi Persoalan tubuh manusia bukan semata obyek biologis yang menjadi kajian ilmu kedokteran atau obyek sosial dan kejiwaan yang menjadi kajian ilmu sosiologi dan psikologi. Tubuh manusia, terutama tubuh perempuan, adalah ajang tarik menarik atau kontestasi banyak kepentingan. Laki-laki sebagai patron pemegang kontrol moralitas merasa berhak mengatur bagaimana perempuan memperlakukan tubuhnya: bagaimana menjaga kesucian tubuhnya, bagaimana cara berpakaian, bersikap dan berperilaku, berkomunikasi, berinteraksi dengan lawan jenisnya, beraktivitas sosial atau publik,dan sebagainya. Sedangkan masyarakat berkepentingan menjatuhkan sangsi sosial bagi setiap penyimpangan etika atau nilai moralitas terkait dengan pemanfaatan tubuh perempuan. Tubuh perempuan adalah obyek pengamatan dan perbincangan yang tiada habis-habisnya. Bagi perempuan sendiri, tubuhnya adalah daya tarik dan sekaligus sumber kekuasaan yang strategis. Di era kapitalisme, kualitas bagian tubuh perempuan - terutama postur dan wajahmenjadi modal untuk terjun ke sektor publik terutama bisnis hiburan (entertainment). Tidak heran apabila hampir semua perempuan disibukkan dengan urusan perawatan tubuh. Kegemukan dan proses penuaan menjadi momok yang ditakuti perempuan. Sanggar senam, salon kecantikan, dan industri kosmetik jeli melihat peluang ini dan menjadikan perempuan sebagai sasaran bisnisnya. Tubuh perempuan juga menjadi perebutan kepentingan mereka bidang media massa (majalah, film, foto,dsb) yang mengeksploitasi daya tarik seksual atau pornografi dan menjual jasa layanan seksual atau prostitusi.
Alternatif Subsistensi: Resistensi Perempuan terhadap Neo Liberalisme Mahendra Wijaya
Pendahuluan Tulisan ini didedikasikan untuk para intelektual yang mengadakan perlawanan pada bias gender, yang juga berpartisipasi aktif dalam menciptakan suatu altenatif untuk mangatasi tekanan neo liberalisme. Pokok bahasan dalam tulisan ini mempertanyakan tentang bagaimana produksi subsistensi sebagai altenatif? Bagaimana bentuk- bentuk perlawanan perempuan terhadap neo-liberalisme? Bagaimana praktek-praktek subsistensi sebagai alternatif dalam melawan corporate globalization?
Subsistensi Sebagai Alternatif Maria Mies (1988), mengungkapkan pembagian kerja laki- laki dan perempuan merupakan bagian dari strategi “pecah- belah dan kuasai” dari sistem kapitalis yang patriarki. Dia berpendapat bahwa dominasi laki- laki terhadap perempuan adalah merupakan fakta sejarah, di mana laki-laki atau kelompok laki- laki dapat menciptakan suatu monopoli terhadap perempuan. Ketika perempuan mempertanyakan penyebab dari ketidaksamaan/ketidakseimbangan antara laki- laki dan perempuan? Jawaban yang muncul adalah kapitalisme tidak hanya melahirkan pembagian kerja secara seksual melainkan juga pembagian sosial antara sektor privat dan publik dan pembagian kerja internasional. Semua bentuk pembagian kerja ini terstruktur dan terkait secara hierarkis. Hal yang menghubungkan semua itu adalah hubungan ketergantungan berdasarkan eksploitasi, produksi, komoditas dan uang. Sektor-sektor kehidupan yang tergantung pada tiap-tiap pembagian kerja itu disebut “koloni- koloni”. Di bawah kapitalisme tenaga kerja produktif bukan sekedar alat kerja untuk memuaskan kebutuhan manusia, tetapi tenaga surplus produksi. Tenaga kerja yang dibayar disebut “produktif” dan yang tidak dibayar disebut “tidak produktif” atau alamiah (natural). Maria Mies (1988) menyebutnya “naturalisasi kerja perempuan”, yaitu tenaga kerja disembunyikan agar tidak nampak dalam sektor publik, terkunci dalam rumah tangga atau “the realm of nature”.
Terjadinya pembagian kerja laki- laki dan perempuan sesungguhnya bukan karena pembedaan biologis, melainkan hasil konstruksi sosial. Patriarki adalah sebuah realita sejarah dan sistem sosial, bukan biologis. Dalam masyarakat matriarki, perempuan diinterpretasikan sebagai paradigma semua produktifitas dan kreativitas. Namun masyarakat patriarki kapitalis mendudukkan perempuan sebagai kelompok yang sama sekali tidak produktif. Eksploitasi terhadap perempuan merupakan hal esensial untuk menjaga pembagian kerja internasional. Contohnya dapat dilihat pada sejarah kolonialisme dan neo-kolonialisme yang merusak sistem ekonomi subsisten. Sekarang, eksploitasi terhadap perempuan merupakan metode yang dibutuhkan dalam akumulasi dan pasar dunia. Terjadinya eksploitasi itu bukan karena sadisme laki- laki atau feodalisme, melainkan sebagai hasil proses akumulasi kapital secara langsung bergantung pada eksploitasi. Lakilaki menjadi agen kapitalisme global. Maria Mies (1988), menjelaskan latar belakang eksploitasi dalam masyarakat modern bukan merupakan suatu faktor ekonomi ekstra, tapi termasuk dalam bagian intrinsik dari ekonomi. Seperti dalam perburuhan, keberadaan mereka terus menerus mengalami eksploitasi. Eksploitasi secara terbuka, tersembunyi, secara langsung dan terstruktur secara terus menerus. Eksploitasi yang dilakukan dalam keluarga merupakan suatu akar masalah peningkatan eksploitasi terhadap perempuan (Maria Mies et.al, 1988). Dalam terminologi Claudia van Werlhof (2001), corporate globalisasi tidak lain adalah cara kerja kapitalisme patriarki yang disebutnya sebagai “Alchemical Sistem” yaitu sebagi cara berfikir dan bertindak patriarki dengan metode yang memisahkan semua kehidupan perempuan dari proses produksi, merebut kekuasaan, melakukan degradasi, pengasingan dan spekulasi terhadap tenaga kerja khususnya perempuan tanpa adanya alternatif. “Alchemical Sistem” dengan menggunakan penerapan mesin dan zat- zat kimia telah menghancurkan ilmu pengetahuan lokal dan teknologi lokal serta sumber daya alam lokal (Veronica Bennholtd-Thomsen et.al, 2001). Sementara itu akhirnya menjadi jelas bahwa proyek pembangunan patriaki, penciptaan pater arche, adalah benar- benar malapetaka. Kepercayaan kita akan “alchemy” sudah diguncang semenjak kita sadar akan tak terhitungnya jumlah manusia dan non manusia yang ditekan menuju kehancuran.“Alchemy” tidak pernah memproduksi kehidupan yang lebih baik.
Dampak Pemberlakuan Kuota 30% Keterwakilan Perempuan dalam Pencalonan Anggota Legislatif terhadap Kebijakan Partai Politik di Kota Surakarta pada Pemilu 2009 Rosita Novi Andari
Pendahuluan Masalah keadilan dan kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan, khususnya di bidang politik masih menjadi isu kebijakan nasional terutama menjelang Pemilu 2009. Isu gender di bidang politik ditandai oleh masih rendahnya partisipasi politik dan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif pada setiap penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Gambaran umum tentang partisipasi politik perempuan di Indonesia memperlihatkan representasi yang rendah pada semua tingkatan pengambilan keputusan, seperti tingkat eksekutif, legislatif, yudikatif, birokrasi pemerintahan, partai politik, dan kehidupan publik lainnya. Berdasarkan data DPR–RI tahun 2007 sebagai hasil Pemilu 2004 persentase anggota perempuan adalah 12, 36 % atau 68 orang dari 550 orang anggota legislatif. Jumlah keterwakilan perempuan selama 9 kali Pemilu memperlihatkan fluktuasi yang naik turun yang tidak signifikan. Pemilu pertama tahun 1955, keterwakilan perempuan hanya mencapai 6,3% atau sejumlah 17 orang dari 272 orang anggota legislatif. Pemilu 1987, keterwakilan perempuan mencapai paling tinggi yaitu 13% atau sejumlah 65 orang perempuan dari 500 orang legislatif. Namun, pada pemilu tahun 1997 menurun kembali menjadi 9% dan terakhir pada pemilu tahun 2004 jumlah keterwakilan perempuan sebagai calon legislatif di setiap daerah pemilihan hanya dapat mencapai kenaikan yang tidak signifikan yaitu 11% (www.menegpp.go.id). Adapun perkembangan partisipasi perempuan sebagai anggota legislatif dari periode ke periode dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:
1
Gambar 1 Grafik Perkembangan Partisipasi Perempuan Sebagai Anggota Legislatif di DPR RI (1950-2009)
Sumber: (Diolah dari Miriam Budiarjo dalam Ratnawati (2004: 298) dan www. menegpp.go.id) Rendahnya partisipasi perempuan di bidang politik juga terjadi di Kota Surakarta yang 53,1 % penduduknya adalah perempuan atau sebanyak 283.672 orang dari total penduduk Kota Surakarta sebanyak 534.540 orang dengan rasio jenis kelamin (sex ratio) 88,44 (Jateng dalam Angka, 2006:54). Secara umum, perkembangan jumlah keterwakilan perempuan sebagai anggota legislatif di DPRD Kota Surakarta mengalami fluktuasi dari periode ke periode dengan rata-rata 8,5 %. Persentase tertinggi jumlah keterwakilan perempuan di DPRD terjadi pada tahun 1997 yaitu 15,6 % atau sebanyak 7 orang dari 45 orang anggota DPRD. Sedangkan persentase terendah terjadi pada tahun 1999 yaitu 2,2 % atau 1 orang dari 45 orang anggota DPRD. Gambar 2 di bawah ini memperlihatkan perkembangan jumlah keterwakilan perempuan sebagai anggota DPRD di Kota Surakarta dari tahun 19552004. Gambar 2 Grafik Perkembangan Partisipasi Perempuan
2
Evaluasi Anggaran Responsif Gender: Studi Alokasi Anggaran Responsif Gender Dalam Anggaran Kesehatan Kota Surakarta Tahun 2008-2010
Dwi Hastuti
Pendahuluan Komitmen pemerintah Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai bidang pembangunan selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Kesenjangan yang masih terjadi diakibatkan oleh terdapatnya kesenjangan antara kebijakan yang berpihak pada keadilan gender dengan cara pemerintah melakukan pengalokasian serta penggunaan anggarannya. Secara umum, anggaran pemerintah daerah di Indonesia belum memiliki perspektif gender. Anggaran tersebut lebih merupakan alokasi keuangan yang bersifat aggregate, sehingga faktor manusia secara sosial dan budaya yang berbeda, bahkan dibedakan, tidaklah terpikirkan. Hal ini yang kemudian membuat kebijakan yang bias1. Dalam rangka menghindari adanya bias gender, anggaran seharusnya mewujudkan anggaran responsif gender (ARG). Bentuk komitmen tersebut tercantum dalam Permendagri No 15 Tahun 2008 dan semakin diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104 tahun 2010 yang mengatur mengenai penerapan anggaran responsif gender. Di dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa Departemen Kesehatan menjadi salah satu kementrian/lembaga Negara yang dijadikan pilot project dalam upaya pelaksanaan anggaran responsif gender pada tahun 2011. Pengalaman di beberapa pemerintah daerah khususnya Surakarta2, Cirebon3 dan Polman4 menunjukkan bahwa implementasi anggaran responsif gender di 1
Mundayat, Aris, dkk. 2006. Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender. Jakarta: Women Research Institute, hal: 2-3 2 Rostanty, Maya, dkk. 2005. Membedah Ketimpangan Anggaran (Studi Kasus APBD Kota Tanggerang, Kota Semarang dan Kota Surakarta). Jakarta: Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) hal: 125-128 3 http://www.fahmina.or.id/penerbitan/penelitian-a-analisa/603-cermin-keberpihakan-pemkotcirebon.html
1
dalam anggaran kesehatan belum berjalan dengan baik. Peraturan -peraturan itu sering kali tidak bisa diimplementasikan karena perspektif gender belum menjadi kebutuhan mendasar guna merumuskan anggaran pembangunan. Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut diatas, sangatlah penting untuk segera dilakukan penelitian mengevaluasi anggaran responsif gender dalam anggaran Kesehatan Kota Surakarta tahun 2008-2010 sebagai upaya untuk mengetahui anggaran responsif gender dalam anggaran kesehatan dan berbagai kendala yang dihadapi. Evaluasi ini akan menjadi entry point pelaksanaan anggaran responsif gender dalam anggaran kesehatan tahun anggaran 2011.
Kajian Teori Gender dan Kesehatan Gender bukan merupakan hal yang sifatnya kodrati akan tetapi merupakan hasil kontruksi sosial. Gender merupakan perbedaan fungsi, peran, hak dan behavioral differences (perbedaan perilaku), antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial. Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan mempunyai implementasi di dalam kehidupan sosial-budaya. Persepsi yang seolah-olah mengendap di alam bawah sadar masyarakat ialah jika seorang mempunyai atribut biologis, seperti penis pada laki-laki atau vagina pada perempuan. Secara budaya, alat kelamin menjadi faktor paling penting dalam melegitimasi atribut gender seseorang. Begitu atribut jenis kelamin terlihat, pada saat itu juga kontruksi budaya mulai terbentuk Atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menentukan relasi gender, seperti pembagian fungsi, peran dan status di dalam masyarakat5. Pola kesehatan dan penyakit pada laki-laki dan perempuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Perempuan memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi daripada laki-laki sebagai akibat faktor biologisnya. Namun dalam kehidupannya perempuan banyak mengalami kesakitan dan tekanan yang dapat
4
Yeni Sucipto, dkk.2008. Belajar Dari Tanah Mandar (Mengawali Gerakan Gender Budget di Polewali Mandar). Sulawesi Selatan: Yayasan Swadaya Mitra Bangsa 5 Umar, Nasaruddin. 2002. Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Gender. Semarang: Pusat Studi Jender IAIN Walisongo dan Gama Madia, hal: 5
2
BAGIAN IV GENDER DALAM DIMENSI EKONOMI, TENAGA KERJA DAN TEKNOLOGI
Evaluasi Anggaran Responsif Gender: Studi Alokasi Anggaran Responsif Gender Dalam Anggaran Kesehatan Kota Surakarta Tahun 2008-2010
Dwi Hastuti
Pendahuluan Komitmen pemerintah Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai bidang pembangunan selama ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Kesenjangan yang masih terjadi diakibatkan oleh terdapatnya kesenjangan antara kebijakan yang berpihak pada keadilan gender dengan cara pemerintah melakukan pengalokasian serta penggunaan anggarannya. Secara umum, anggaran pemerintah daerah di Indonesia belum memiliki perspektif gender. Anggaran tersebut lebih merupakan alokasi keuangan yang bersifat aggregate, sehingga faktor manusia secara sosial dan budaya yang berbeda, bahkan dibedakan, tidaklah terpikirkan. Hal ini yang kemudian membuat kebijakan yang bias1. Dalam rangka menghindari adanya bias gender, anggaran seharusnya mewujudkan anggaran responsif gender (ARG). Bentuk komitmen tersebut tercantum dalam Permendagri No 15 Tahun 2008 dan semakin diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104 tahun 2010 yang mengatur mengenai penerapan anggaran responsif gender. Di dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa Departemen Kesehatan menjadi salah satu kementrian/lembaga Negara yang dijadikan pilot project dalam upaya pelaksanaan anggaran responsif gender pada tahun 2011. Pengalaman di beberapa pemerintah daerah khususnya Surakarta2, Cirebon3 dan Polman4 menunjukkan bahwa implementasi anggaran responsif gender di 1
Mundayat, Aris, dkk. 2006. Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender. Jakarta: Women Research Institute, hal: 2-3 2 Rostanty, Maya, dkk. 2005. Membedah Ketimpangan Anggaran (Studi Kasus APBD Kota Tanggerang, Kota Semarang dan Kota Surakarta). Jakarta: Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) hal: 125-128 3 http://www.fahmina.or.id/penerbitan/penelitian-a-analisa/603-cermin-keberpihakan-pemkotcirebon.html
1
dalam anggaran kesehatan belum berjalan dengan baik. Peraturan -peraturan itu sering kali tidak bisa diimplementasikan karena perspektif gender belum menjadi kebutuhan mendasar guna merumuskan anggaran pembangunan. Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut diatas, sangatlah penting untuk segera dilakukan penelitian mengevaluasi anggaran responsif gender dalam anggaran Kesehatan Kota Surakarta tahun 2008-2010 sebagai upaya untuk mengetahui anggaran responsif gender dalam anggaran kesehatan dan berbagai kendala yang dihadapi. Evaluasi ini akan menjadi entry point pelaksanaan anggaran responsif gender dalam anggaran kesehatan tahun anggaran 2011.
Kajian Teori Gender dan Kesehatan Gender bukan merupakan hal yang sifatnya kodrati akan tetapi merupakan hasil kontruksi sosial. Gender merupakan perbedaan fungsi, peran, hak dan behavioral differences (perbedaan perilaku), antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial. Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan mempunyai implementasi di dalam kehidupan sosial-budaya. Persepsi yang seolah-olah mengendap di alam bawah sadar masyarakat ialah jika seorang mempunyai atribut biologis, seperti penis pada laki-laki atau vagina pada perempuan. Secara budaya, alat kelamin menjadi faktor paling penting dalam melegitimasi atribut gender seseorang. Begitu atribut jenis kelamin terlihat, pada saat itu juga kontruksi budaya mulai terbentuk Atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menentukan relasi gender, seperti pembagian fungsi, peran dan status di dalam masyarakat5. Pola kesehatan dan penyakit pada laki-laki dan perempuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Perempuan memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi daripada laki-laki sebagai akibat faktor biologisnya. Namun dalam kehidupannya perempuan banyak mengalami kesakitan dan tekanan yang dapat
4
Yeni Sucipto, dkk.2008. Belajar Dari Tanah Mandar (Mengawali Gerakan Gender Budget di Polewali Mandar). Sulawesi Selatan: Yayasan Swadaya Mitra Bangsa 5 Umar, Nasaruddin. 2002. Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Gender. Semarang: Pusat Studi Jender IAIN Walisongo dan Gama Madia, hal: 5
2
Keterlibatan Tenaga Kerja Wanita di Pedesaan pada Industri Kerajinan Seni Kriya di Kecamatan Pajangan Kabupaten Bantul Yogyakarta Retno Kusumawiranti
Pendahuluan Seiring dengan terjadinya perubahan kebijakan dan struktur perekonomian nasional yang mengarah pada proses industrialisasi, wilayah pedesaan juga merasakan imbasnya. Hal ini terlihat antara lain jika pada mulanya struktur perekonomian wilayah pedesaan didominasi oleh sektor pertanian, secara bertahap peran pertanian menurun dalam menyumbang pendapatan rumah tangga dan digeser oleh sumbangan pendapatan dari luar sektor pertanian. Partisipasi wanita dalam kegiatan ekonomi merupakan masalah kultural dan struktural. Dimensi kultural menyangkut sistem ideologi yang memberi pengaruh di dalam pembentukan cara pandang wanita, laki-laki dan cara pandang masyarakat terhadap kegiatan ekonomi dan terhadap wanita. Pada saat ideologi menjadi pembatas ruang gerak wanita maka etos kerja wanita tidak akan terbentuk karena wilayahwilayah ekspresi wanita telah dirumuskan dalam kepala setiap orang. Cara pandang yang melihat wanita sebagai obyek telah menghasilkan tindakan yang membatasi kesempatan partisipasi wanita dalam bidang ekonomi. Kemungkinan partisipasi itu juga ditentukan oleh dukungan sistem nilai yang menegaskan adanya suatu alat ukur yang dipatuhi bersama, di mana wanita mengalami subordinansi. Namun demikian, perubahan pemaknaan sedang terjadi yang disebabkan oleh kesadaran baru dalam diri wanita dan laki-laki. Partisipasi wanita kemudian meningkat sejalan dengan perubahan tersebut. Telaah tentang partisipasi wanita di pedesaan (dan Indonesia secara umum) dapat dikelompokkan dalam dua peran besar yaitu peran tradisi dan peran transisi.
1
Peran tradisi atau peran domestik mencakup peran wanita sebagai istri, ibu dan pengatur (pengelola) rumah tangga. Sementara itu peran transisi meliputi pengertian wanita sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan. Wanita sebagai tenaga kerja turut aktif dalam kegiatan ekonomi (mencari nafkah) di berbagai jenis kegiatan sesuai dengan ketrampilan dan pendidikan yang dimiliki serta lapangan pekerjaan yang tersedia baginya. Presentasi tingginya kenaikan angkatan kerja wanita sangat nyata di daerah pedesaan. Selama tahun 1980 – 1985 dan tahun 1985 – 1990, rata-rata kenaikan angkatan kerja di desa 2,5 kali lipat dibandingkan dengan angkatan kerja laki-laki. Relatif tingginya rata-rata kenaikan angkatan kerja wanita tersebut terutama disebabkan meningkatnya proporsi wanita yang bekerja. Secara rata-rata, proporsi kenaikannya sekitar 3,3 %. Sementara itu proporsi laki-laki yang bekerja di pedesaan meningkat rata-rata hanya sekitar 1,3 % (Prisma No.6 Juni 1995). Walaupun peran domestik sangat ditekankan oleh wanita desa, tetapi wanita desa sesungguhnya melakukan peran yang kompleks karena ia terlibat dalam kegiatan rumah tangga, kegiatan ekonomi (dalam pertanian, industri, perdagangan kecil-kecilan) sekaligus kegiatan-kegiatan sosial. Meningkatnya keterlibatan wanita dalam kegiatan ekonomi ditandai oleh dua proses. Pertama, peningkatan dalam “jumlah wanita” yang terlibat dalam pekerjaan di luar rumah tangga (out door activities). Seperti di dalam cacatan BPS, jumlah mereka yang meninggalkan sektor domestik, atau tidak lagi bekerja di rumah terus bertambah jumlahnya yakni dari 33,1 persen pada tahun 1971 menjadi 56,5 persen pada tahun 2000, dengan demikian dapat dikatakan, kehadiran perempuan di dunia kerja di masa-masa mendatang tidak dapat dihambat lagi. Kedua, peningkatan dalam “jumlah bidang pekerjaan” yang dapat dimasuki oleh wanita. Bidang-bidang yang sebelumnya masih didominasi oleh laki-laki berangsur-angsur dimasuki atau bahkan mulai didominasi oleh wanita. Keterlibatan wanita dalam berbagai bidang pekerjaan menjadi gejala yang mencolok sejak tahun 1980-an (Faturochman, et.al.
2
Pemberdayaan Tenaga Kerja Wanita dalam Pertanian Sawah Surjan di Kabupaten Kulon Progo Tiwuk Kusuma Hastuti
Pendahuluan Salah satu sumbangan wanita dalam pembangunan adalah partisipasi wanita sebagai tenaga kerja dalam berbagai bidang kehidupan ekonomi. Dalam masyarakat agraris, usahatani terutama pada pertanian campuran (mixed farming), membutuhkan banyak tenaga kerja, baik pria maupun wanita (Pudjiwati Sajogyo, 1993: 92-93). Peran serta wanita dalam pertanian dimulai semenjak orang menguasai alam atau bercocok tanam (Ibid. Hlm. 84.) Sejak itu pula mulai berkembang pembagian kerja yang nyata antara pria dan wanita dalam pekerjaan di bidang pertanian, di dalam keluarga dan masyarakat luas, di mana faktor penguasaan tanah menjadi penting. Gejala tersebut kemudian mendorong pula ke arah timbulnya “diferensiasi” peranan antara pria dan wanita dalam keluarga dan sistem kekerabatan yang luas (Ester Boserup,1984). Dalam proses pembangunan kita, selama dasawarsa 1970-an telah terjadi berbagai perubahan. Salah satu perubahan yang nampak adalah perubahan dalam pola kerja wanita. Penguasaan atas sumber daya tanah, penguasaan atas modal, dan teknologi unggul membawa perubahan pada keluarga petani, sebagai pendukung utama pertanian. Dampak tersebut amat nyata pada golongan wanita. Faktor-faktor tersebut menentukan peluang bekerja dan berusaha bagi para wanita di pedesaan (Pudjiwati Sajogyo, 1993:83). Dalam keadaan di mana warga masyarakat desa yang miskin hanya memiliki kemungkinan yang terbatas untuk memperoleh sumber-sumber strategis utama berupa tanah dan modal, maka kesempatan-kesempatan kerja bagi wanita merupakan sumber yang penting bagi rumah tangga-rumah tangga yang tidak memiliki tanah. Revolusi hijau menciptakan sistem pertanian sawah monokultur (padi) yang mempunyai sifat rawan hama. Kecuali itu, Revolusi Hijau menimbulkan polarisasi kelas ekonomi, meningkatkan differensiasi wanita sebagai tenaga produksi dan reproduksi, menimbulkan ketergantungan petani terhadap institusi formal, dan maskulinisasi pertanian (Emma Istiarum, 2002: 52).
Hasil evaluasi Kebijakan Pertanian masa 1970-2003 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Departemen Pertanian, menyebutkan bahwa tanaman pangan khususnya beras berhasil mencapai swasembada pangan tahun 1984. Akan tetapi usaha pencapaian swasembada pangan sejak tahun 1984 tidak didukung dengan usaha peningkatan kemandirian petani yang dapat membuat mereka berdaya dan mampu mencapai usaha komersial (YB Widodo dalam “Masyarakat Indonesia Majalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia. Jilid XXXI, No. 2, 2005: 100). Revolusi hijau yang berhasil meningkatkan posisi Indonesia dari Negara pengimpor beras terbesar menjadi Negara swasembada ternyata harus mengorbankan wanita dalam upaya meraih tujuan itu. Pada waktu terjadi perubahan teknologi panen dari ani-ani ke teknologi sabit, wanita tersingkir dari tempatnya dan digantikan oleh buruh tani pria. Penggunaan tenaga pria dianggap lebih efisien karena sabit memerlukan tenaga yang jauh lebih besar dibandingkan bila menggunakan ani-ani. Demikian pula pada waktu mesin huller mulai digunakan. Ratusan dan bahkan ribuan pekerja wanita yang bermata pencaharian penumbuk padi terpaksa kehilangan lapangan pekerjaannya. Dampak revolusi hijau akhirnya membatasi peran serta wanita untuk ikut panen dan secara otomatis mereka kehilangan sumber bahan makanannya yang murah. Perkembangan teknologi baru tersebut memperkecil peluang kerja berburuh tani bagi wanita tani setempat. Adanya keserentakan berusaha tani dari pengolahan tanah sampai dengan panen memperkecil peluang buruh tani bekerja pada petani atau majikan satu ke majikan yang lain. Akibatnya, banyak kaum wanita miskin di desa termarginalisasi, yakni tersingkir karena tidak mendapatkan pekerjaan di sawah pada musim panen. Dengan demikian, meskipun swasembada pangan dapat dicapai, sebenarnya hanya petani kaya saja yang diuntungkan dari “Revolusi Hijau”. Dibalik itu, lapangan kerja di pedesaan mengalami penurunan drastis sejak tahun 1980an (Frans Husken,1998) Sejak masuknya teknologi baru dalam usaha tani sawah, timbul gejala petani luas membatasi secara keras pemakaian buruh tani. Proses inilah yang menggambarkan makin menipisnya hubungan “bapak-anak buah,” khususnya di pedesaan Jawa. Hal tersebut nampak pada gejala adanya pengurangan tenaga kerja pria dan wanita dalam proses penanaman, digantikannya ani-ani dengan sabit, munculnya sistem tebasan, dan digantikannya cara menumbuk padi dengan mesin huller. Hal ini berarti menciutnya peluang kerja bagi tenaga kerja
Perempuan Perdesaan dan Teknologi Tepat Guna Iwan Sudradjat
Pendahuluan Data empirik menunjukkan bahwa perempuan perdesaan di negara berkembang umumnya bertanggung jawab atas sebagian besar pekerjaan pertanian dan tugas domestik. Di Afrika dan Asia, perempuan menangani sekitar 60% hingga 80% dari keseluruhan pekerjaan, sementara di Amerika Latin sekitar 40%. Namun karena perempuan tidak diakui sepenuhnya sebagai pekerja, belum banyak usaha diarahkan untuk meningkatkan produktifitas atau membuka akses mereka terhadap kredit, pelatihan, fasilitas dan peralatan yang lebih baik. Salah satu kebijakan yang dapat ditempuh untuk meningkatkan produktifitas perempuan perdesaan
dan
meringankan
pekerjaan
serta
tugas
domestiknya
adalah
dengan
mengembangkan dan menerapkan teknologi tepat guna. Pertanyaan yang sering muncul adalah: - Teknologi mana yang paling tepat bagi perempuan perdesaan di daerah tertentu? - Langkah apa yang perlu ditempuh untuk membuka akses perempuan perdesaan terhadap pilihan teknologi yang tepat? Istilah "teknologi tepat guna" memang problematis, karena ketepatan pilihan suatu teknologi sangat tergantung pada kondisi kemasyarakatan dan karakter lokal tertentu, tidak bisa dipersamakan secara umum. Kesulitan lain, teknologi tepat guna seringkali lebih mengacu pada kepentingan kaum laki-laki. Perempuan perdesaan harus menentukan sendiri teknologi mana yang paling tepat untuk memenuhi tuntutan kebutuhan dirinya, dengan mempertimbangkan segala keterbatasan yang masih ada. Semakin banyak pilihan teknologi yang tersedia, semakin mungkin bagi perempuan perdesaan untuk menentukan pilihan teknologi yang paling tepat. E.F. Schumacher (1973) mengingatkan bahwa teknologi modern dan canggih umumnya tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat perdesaan di negara berkembang. Sebaliknya, teknologi tradisional dalam konteks ekonomi subsisten biasanya dicirikan oleh kapital dan produktifitas kerja yang rendah, tidak menghasilkan surplus yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi. Karena itu perlu dikembangkan teknologi untuk mengisi "gap" di antara kedua ujung ekstrim tersebut. Masyarakat perdesaan tidak mampu melompat sekaligus 1
dari tahap terendah ke tahap tertinggi, karena kendala sumber daya manusia, perlengkapan teknis dan dukungan finansial yang sangat terbatas. Namun mereka dapat didorong agar secara berangsur bisa naik ke jenjang yang lebih tinggi dengan membuka akses mereka terhadap teknologi antara (intermediate technology) yang tepat, serta perlengkapan dan modal yang diperlukan. Teknologi antara tersebut dapat dikembangkan oleh universitas, politeknik, lembaga penelitian, industri, pakar profesi dan pekerja lapangan.
Kriteria Teknologi Tepat Guna Kriteria teknologi tepat guna bagi perempuan perdesaan dirumuskan dengan baik oleh Elizabeth Coppinger (1979): "Appropriate technology deals with issues of local control,.... to allow people and communities to have power to decide what is appropriate for them. Appropriate technology promotes energy conservation and the use of renewal resources; local food production... local economic control.... (In) order to be truly appropriate, something must be appropriate for everyone.... If it's not appropriate for women, it's not appropriate. If it's not appropriate for poor people, for minorities, it's not appropriate, it's simply passing the oppression on from one group to another". Teknologi tepat guna bagi perempuan perdesaan menawarkan peningkatan produktifitas kerja tanpa menuntut investasi yang besar, impor material dari luar, atau keterampilan tinggi untuk mengoperasikan, merawat dan memperbaiki peralatan. Sebagai contoh, untuk membantu perempuan perdesaan dalam mengatasi masalah pengumpulan dan penyimpanan air dapat diterapkan teknologi antara. Sumur dapat digali secara gotong royong berdekatan dengan perkampungan. Sungai dapat dialihkan dan disalurkan ke perdesaan. "Hydraulics rams" buatan lokal dapat dipasang di sungai-sungai untuk memompa air ke desadesa yang berada di lereng gunung. Tangki-tangki pengumpul dan penyimpan air dapat dibuat di bawah tanah. Air hujan dapat dikumpulkan dari atap dan disimpan dalam berbagai jenis wadah. Sebagai alternatif dari pompa diesel yang mahal dan menuntut perawatan sulit, dapat dikembangkan alat pompa air yang digerakkan oleh tangan, pedal, angin, matahari atau binatang. Untuk mengurangi jumlah penggunaan kayu bakar atau arang, dapat dikembangkan beberapa teknologi alternatif seperti tungku hemat energi yang sederhana dan murah, tungku energi matahari, dan gas methane yang sekaligus dapat dimanfaatkan untuk penerangan.
2
Pengembangan Budidaya dan Pengolahan Hasil Kacangkacangan sebagai Usaha Produktif Wanita di Lahan Kering Daerah Tangkapan Hujan Waduk Kedungombo
Sri Handajani, Supriyono, Eddy Triharyanto, Sri Marwanti, Ismi Dwi Astuti dan Bambang Pujiasmanto
Pendahuluan Waduk Kedungombo berguna untuk meningkatkan peran, mengendalikan dan memanfaatkan sungai Serang berupa perluasan daerah irigasi, penyediaan tenaga listrik dan air minum, pariwisata dan perikanan (Anonim, 1991). Agar dapat seperti yang diharapkan, diperlukan peran serta masyarakat sekitar secara berkelanjutan. Peran serta masyarakat diharapkan dapat diperoleh dengan meningkatkan pendapatan tanpa merusak lingkungan, atara lain melalui usaha pengembangan budidaya dan pengolahan hasil kacang-kacangan sebagai usaha produktif wanita di lahan kering sekitar waduk. Dalam usaha budidaya, aspek konservasi lahan diupayakan melalui penggunaan mulsa agar lahan tidak terbuka, pengolahan tanah minimal, tumpangsari serta tanam rapat. Hasil kacang-kacangan masih rendah sehingga kedelai dan kacang tanah dapat dipenuhi sebagian melalui import. Kualitas produk kacang-kacangan juga perlu ditingkatkan karena masih terindikasi aflatoksin di atas ambang batas. Kacang-kacangan utama yaitu kedelai, kacang tanah dan kacang hijau masih dianggap tanaman nomor dua sehingga adopsi teknologi lebih lambat dibanding padi. Kacang-kacangan lain seperti kecipir dan kara benguk juga merupakan tanaman yang potensial dikembangkan pada daerah ini. Kandungan protein kedelai dan kecipir memang tinggi sekitar 38%, namun kandungan lemaknya juga tinggi sekitar 18%, kandungan karbohidrat dan serat relatif rendah yaitu sekitar 36 dan dibawah 10%. Kara benguk dan kacang hijau memiliki kandungan protein
1
yang relatif rendah yaitu sekitar 28 dan 24%, namun kandungan lemak juga rendah sekitar 4 dan 1% kandungan karbohidrat dan serat tinggi sekitar 63 dan 16%. Lahan kering merupakan lahan pertanian dengan air tergantung sepenuhnya pada curah hujan dan budidaya dilakukan dalam keadaan tidak tergenang (Sukodarmodjo,
1991).
Pemberian
mulsa
berfungsi
disamping
menjaga
kelembapan tanah juga menekan gulma, menurunkan suhu tanah, mencegah erosi serta menambah hara (Indranada, 1986). Pemberian 15 t/ha jerami padi pada kedelai mampu menggantikan peran olah tanah, menekan 67% gulma, menjaga kelembapan tanah sehingga meningkatkan hasil tanaman (Kus Hartoyo dan Sarwanto, 1979). Kerapatan tanam memiliki tingkat optimumnya. Terkait peneduhan lahan untuk menekan erosi, tanam rapat baik terutama bila hasil lebih tinggi (Supriyono, 1988). Bila mungkin pengolahan tanah perlu diminimalkan dalam rangka menekan erosi, namun penggunaan penjalar kiranya akan meningkatkan hasil tanaman yang menjalar (Eddy Mitoyat dan Widodo, 1978). Tumpangsari juga berperan dalam mengendalikan tingat erosi akibat minimal dan bergantiannya lokasi pengolahan tanah. Pupuk kandang akan mampu meningkatkan kesuburan tanah baik secara fisika, kimia maupun biologi (Nurhayati Hakim et al., 1986). Peran unsur fosfat pada kacang-kacangan cukup menonjol mengingat hara nitrogen telah disuplai oleh rhizobium pada bintil akar. Kedelai merupakan jenis kacang-kacangan yang paling banyak diproduksi (Salunkhe and Khadam, 1990), namun di Indonesia karena pertambahan penduduk, kebutuhannya tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Untuk itu kacang-kacangan pengganti kedelai perlu dikembangkan. Produk non fermentasi kedelai berupa tahu, susu kedelai dan kecambah sedangkan produk fermentasinya adalah tempe dan kecap. Produk fermentasi yang kemudian disebut produk generasi I memiliki keunggulan berupa komponen gizi, cita rasa dan daya simpan. Kandungan gizi terpenting adalah perannya dalam ikut menghidari penyakit-penyakit degeneratif Kacang-kacangan pengganti kedelai yang sudah banyak dikenal masyarakat setempat yaitu kara benguk dan kecipir. Memang kara benguk mengandung
2
PERAN STRATEGIS PEREMPUAN DALAM PENGELOLAAN LIMBAH PADAT BERNILAI EKONOMI
Al. Sentot Sudarwanto
Pendahuluan Pembangunan adalah pergesaran dan suatu kondisi nasional yang satu menuju kondisi nasional yang lain, yang dipandang lebih baik dan lebih berharga Katz (Tjokrowinoto, 1995). Di samping itu, pembangunan juga merupakan proses multi dimensional yang menyangkut perubahan-perubahan penting dalam suatu struktur, sistem sosial ekonomi, sikap masyarakat dan lembaga-lembaga nasional dan akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengangguran kesenjangan (inequality) dan pemberantasan kemiskinan absolute (Todaro,1997) Pembangunan partisipatif adalah suatu proses pembangunan yang memberdayakan masyarakat mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan pembangunan. Sebagai bagian dari hal itu, keterlibatan perempuan dalam pembangunan dewasa ini semakin mendapat perhatian lebih di Indonesia, terutama berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Sejarah Gerakan Lingkungan Hidup di Indonesia tidak akan terlepas dari peran perempuan bernama Erna Witoelar, melalui pendirian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Erna Witoelar berperan sangat penting dalam meletakkan kerangka kerja bagi WALHI. Dalam realitasnya WALHI bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya, yang bergerak dalam edukasi, kampanye dari advokasi lingkungan hidup tidak pernah sepi dari peran dan keterlibatan perempuan.
Peran Strategis Perempuan Salah satu strategi terpenting yang disepakati adalah melibatkan peran perempuan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang sehat, produktif, dan tanggung jawab. Tiga pilar prinsip Pembangunan Berkelanjutan (PB) yaitu aspek
sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup dilaksanakan dengan melibatkan seluruh pihak dalam masyarakat. Namun, keterlibatan masyarakat yang sangat esensial dalam pembangunan berkelanjutan ini masih terbatas dan belum menjadi suatu gerakan aksi nyata, padahal perempuan mempunyai potensi besar sebagai pelopor dalam pemeliharaan lingkungan. Potensi perempuan yang besar dapat dikembangkan dalam pemeliharaan, pelestarian lingkungan dan pencegahan pencemaran lingkungan, karena selain jumlah perempuan cukup banyak juga telah banyak bukti bahwa perempuan telah mampu mengatasi masalah lingkungan disekitarnya. Selama ini perempuan kurang diikut sertakan dalam pengelolaan lingkungan baik itu dalam akses, partisipasi, kontrol dan manfaat. Perempuan juga kurang diberi pengetahuan tentang cara pengelolaan lingkungan termasuk pengelolaan limbah dan pencegahan pencemaran lingkungan. Perempuan hanya dijadikan objek, sebagai pemakai bahan-bahan konsumsi rumah tangga, tanpa diberi pengetahuan tentang bahaya dari bahan-bahan itu terhadap dirinya, keluarga dan lingkungannya. Tujuan Millenium Development Goals 2015 mengikut sertakan perempuan dalam pengelolaan lingkungan adalah agar perempuan memahami betapa pentingnya lingkungan, sehingga perempuan akan menjaga, memelihara lingkungan dengan baik dan juga dapat menjaga kebersihan lingkungan seperti pentingnya memperoleh air bersih untuk kesehatan dirinya dan keluarga. Berdasarkan kenyataan diatas, maka perempuan perlu diberdayakan agar dapat berperan serta dalam pemeliharaan lingkungan khususnya pencegahan pencemaran lingkungan, dengan pemberdayaan perempuan, mereka dapat berpartisipasi dalam pembangunan yang berkesinambungan. Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup khususnya kaum perempuan dan peran sertanya yang aktif di masyarakat dalam pencegahan/pengendalian dampak pencemaran dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan benar melalui sosial budaya dengan mengangkat kearifan lokal setempat. Peran strategis perempuan dalam pengelolaan lingkungan hidup terutama pengelolaan limbah terkait dengan fungsi domestik perempuan dalam rumah
ANALlSIS GENDER DALAM PENGEMBANGAN AGROEKOSISTEM
Trisni Utami
PENDAHULUAN Peranan Wanita dalam Agroekosistem Kehadiran wanita sebagai salah satu potensi untuk meningkatkan pembangunan pertanian diperlukan, mengingat jumlah penduduk wanita Indonesia yang lebih besar daripada pria. Wanita yang jumlahnya mencapai 50,3 % dari jumlah penduduk, dan diperkirakan wanita tani berjumlah 58,5 juta orang, merupakan suatu potensi sumberdaya yang sangat besar. Sebanyak 57,38 juta wanita ( 78 %) berada di pedesaan dan 55 % di antaranya terlibat di bidang pertanian. Namun akhir-akhir ini, kesempatan kerja bagi wanita di bidang pertanian semakin terbatas, sedangkan sektor non pertanian masih kurang berperan dalam perekonomian desa (Sri Suharni Siwi dkk, 1990 ). Pada umumnya wanita di daerah pedesaan tidak hanya berperan di sektor domestik, tetapi juga terlibat dalam kegiatan di sektor pertanian. Partisipasi wanita dibidang pertanian cukup besar dalam usaha tani baik dalam proses produksi maupun pasca panen. Banyak hasil penelitian mengungkapkan bahwa wanita di pedesaan mempunyai peranan sebagai pencari nafkah, terlebih-lebih dari rumah tangga berpenghasilan rendah. Golongan ini meliputi kurang lebih 40 % dari seluruh rumah tangga pedesaan (Sri Suharni Siwi, 1990).
Gender Gender adalah pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat-istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat. Pengertian gender berbeda dengan pengertian jenis kelamin. Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologi laki-laki 1
dan perempuan
yang menentukan perbedaan peran mereka di dalam
menyelenggarakan upaya meneruskan keturunan atau memiliki anak. Gender memiliki perbedaan-perbedaan bentuk antara satu masyarakat dengan
masyarakat
lain
karena
perbedaan
norma-norma,
adat-istiadat,
kepercayaan, dan kebiasaan masyarakat. Misalnya, pada kebanyakan masyarakat petani, bekerja di kebun adalah tugas laki-laki; sebaliknya di masyarakat Papua, kerja di kebun merupakan tugas utama perempuan dikarenakan laki-laki berburu dan menangkap ikan. Gender berkembang dari waktu ke waktu akibat perubahan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Sekarang telah banyak perempuan yang berperan pada sector publik. Misalnya, perempuan menjadi ketua kelompok tani, petugas PPL, bahkan menjadi manajer perusahaan.
Apakah Gender itu kodrat? Kodrat adalah segala sesuatu yang ditetapkan oleh sang Pencipta, sehingga manusia tidak dapat merubah maupun menolaknya. Kodrat adalah sesuatu yang sifatnya universal (tetap sepanjang hayat dikandung badan, pada setiap waktu, pada setiap tempat). Gender adalah pembagian peran laki-laki dan perempuan yang diatur oleh manusia (masyarakat). Gender berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain, bahkan di dalam suatu masyarakatpun mengalami perubahan terus. Karena itu gender bukan kodrat. Ada tiga kodrat pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa yang melekat pada peran perempuan, yakni hamil, melahirkan dan menyesui. Peran ini tidak dapat diubah atau dipertukarkan dengan laki-laki. Hal ini merupakan kodrat yang tidak dapat dielakkan.
Permasalahan gender Sering terjadi bias gender dalam masyarakat bahwa perempuan sebagai sumberdaya manusia dipandang hanya pantas untuk mengerjakan pekerjaanpekerjaan domestik (memasak, mencuci dll), belum cukup diperhitungkan dalam 2
BAGIAN V PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERDASAR PERSPEKTIF GENDER
Perempuan dan Kemiskinan: Profil dan Upaya Pengentasan Keppi Sukesi
Pendahuluan
Kemiskinan merupakan persoalan struktural dan multidimensi yang sangat pelik dan tercakup di dalamnya adalah masalah budaya, sosial, ekonomi, psikologi, dan lain-lain. Masyarakat miskin adalah suatu kondisi masyarakat yang berada dalam situasi kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan minimal kehidupannya secara layak. Apabila dibandingkan dengan anggota masyarakat lain yang tidak tergolong miskin, jelaslah bahwa kondisi hidup masyarakat miskin menggambarkan suatu ketidakadilan dalam kehidupan sosial ekonominya.. Hasil konferensi perempuan sedunia di Beijing tahun 1995 yang menghasilkan 12 isu kritis untuk perempuan memasukkan salah satu isu kritis yang harus segera ditangani adalah perempuan dan kemiskinan. Mengingat persoalan yang struktural dan multidimensi tersebut, upaya penanggulangan kemiskinan seyogianyalah diletakkan dan dipercayakan kepada masyarakat itu sendiri. Tentunya upaya ini dengan didukung dan difasilitasi pula oleh pemerintah maupun pihak swasta dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Hal ini dimaksudkan agar proses penanggulangan kemiskinan akan menjadi suatu gerakan masyarakat yang lebih menjamin potensi kemandirian dan keberlanjutan guna meningkatkan kehidupan mereka yang lebih layak dibandingkan jika penanggulangan kemiskinan tersebut dilakukan oleh pemerintah atau pihak luar. Pemerintah bersama masyarakat sebagai pelaku utama dalam upaya penanggulangan kemiskinan sudah barang tentu diharapkan kapasitas dan kapabilitasnya agar mampu menyelenggarakan kegiatan tersebut. Sementara itu, kemiskinan sendiri dapat dilihat dalam dimensi struktural, kultural, alamiah, dan gender.
Di Indonesia saat ini, khususnya di wilayah perkotaan, kondisi masyarakat miskin dapat dilihat dari mereka yang tidak memiliki sarana dan prasarana dasar, seperti perumahan yang memadai, kualitas lingkungan yang kumuh dan tidak layak huni. Kemiskinan tidak semata-mata merupakan kondisi kekurangan pangan dan kekurangan aset produktif saja, tetapi juga ketidaktenangan dan terbatasnya partisipasi mereka dalam kegiatan kemasyarakatan. Karakteristik yang digunakan mengenali seseorang tergolong miskin sangat beragam, namun secara umum yang dijadikan acuan adalah penguasaan tanah, jenis pekerjaan atau tingkat pendapatan, kondisi kehidupan sehari-hari, dan hubungan dengan anggota masyarakat lainnya. Jumlah kelompok masyarakat miskin ini semakin banyak dengan adanya krisis ekonomi yang telah menjadikan sebagian besar masyarakat tidak dapat lagi menikmati fasilitas mendasar, seperti sarana dan prasarana pendidikan serta transportasi. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, banyak sekali perubahan status keluarga dari yang tadinya keluarga sejahtera menjadi keluarga miskin dan sebaliknya. Hal ini merupakan dampak dari adanya krisis ekonomi yang menimpa sektor usaha (investasi) yang kemudian diikuti dengan pemutusan hubungan kerja sehingga mengurangi tingkat pendapatan masyarakat. Pada sisi lain, tingkat inflasi terjadi sangat tinggi akibat nilai tukar rupiah yang semakin merosot dan semakin sedikitnya barang (produk) yang dihasilkan oleh kegiatan usaha dalam negeri. Saat ini secara garis besar terdapat tiga jalur pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan, yaitu jalur pembangunan sektoral, jalur pembangunan regional, jalur pembangunan khusus. Tiap-tiap jalur mengandung berbagai macam pelaksanaan program yang sesuai dengan kategori program penanggulangan kemiskinan. Upaya penanggulangan kemiskinan memerlukan sinkronisasi dengan upaya-upaya pembangunan yang lain sehingga dapat mencapai sinergi dan hasil yang optimal. Dengan demikian, tidak terjadi pelaksanaan program yang tidak sinergi dan tumpang-tindih satu sama lain, serta kurang terfokus dalam menetapkan sasaran program (siapa, apa, di mana, dan bagaimana). Sasaran yang selama ini kurang mendapatkan perhatian adalah apabila melihat dari dimensi gender, bahwa
Marginalisasi Buruh Migran Perempuan1 (BMP) (Studi Kasus di Desa Warung Doyong)2 Arianti Ina R. Hunga dan Purwanti Asih Analivi
Pendahuluan Rendahnya kualitas SDM Indonesia diperburuk oleh fakta kemiskinan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (Agustus 2006) menunjukkan angka kemiskinan di Indonesia masih cukup besar, yaitu sekitar 40 juta jiwa (17,7% dari 226 juta penduduk atau meningkat 2,5% dibanding tahun 2005). Jumlah penduduk miskin menjadi lebih tinggi bila memakai indikator/ukuran international (PBB)3. Menurut ukuran PBB maka jumlah penduduk miskin di Indonesia termasuk tinggi. Ada sebanyak 110 juta penduduk miskin (53%) yang hidup di bawah US$2 per hari dan 16 juta penduduk (7.5%) yang hidup di bawah US$ 1 per hari. Sekitar 25% dari bayi usia balita (satu dari empat balita) menderita gizi buruk, dan tingkat kematian ibu melahirkan mencapai 307 dari 100 ribu kelahiran. Kesehatan ibu jauh lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara di kawasan yang sama, tiga kali lebih besar dari Vietnam dan enam kali lebih besar dari Cina dan Malaysia (www.adb.or.id; Indonesian Employment Agency Association/IDEA, 2005). Dalam kurun waktu 2000-2005, rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya 4,5% dan tidak mampu menyerap angkatan kerja baru yang meningkat sekitar 2-2,5% per tahun. Tingkat pengangguran terbuka meningkat dari 6,1% pada tahun 2000 menjadi 10,3% atau sekitar 10,3 juta penganggur pada tahun 2005 dan menjadi 40 juta orang pada tahun 2006 (11 juta orang di antaranya adalah pengangguran terbuka, dan sisanya setengah menganggur atau bekerja kurang dari 35 jam dalam satu minggu). Dari jumlah pengangguran ini, 51% di antaranya adalah perempuan. Jumlah pekerja di sektor formal mengalami penurunan sejak tahun 2000 karena penciptaan lapangan kerja sektor formal
1
Dalam paper ini akan digunakan terminologi Buruh Migran Perempuan atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) secara bergantian 2 Dalam versi bahasa Inggris sudah dipresentasikan dalam International Conference “ Global Impact of Women Migrant Workers From South East Asia”. Tanggal 2 Desember 2008 di Salatiga. Kerjasama Pusat Penelian dan Studi Gender UKSW dan I-SEED (International Society Edutaion, Expertice, and Development Austria). Desa Warung Doyong adalah nama desa yang disamarkan. Merupakan salah satu desa di Wilayah Salatiga dan sekitarnya. 3 Mengacu indikator MDGs, Indonesia gagal mencapai kemajuan yang berarti dan tertinggal dari negara-negara lain di kawasan yang sama. Bidang-bidang khusus yang patut diperhatikan; Angka gizi buruk (malnutrisi) yang tinggi dan bahkan meningkat pada tahun-tahun terakhir, angka kematian ibu di Indonesia yang masih tinggi, lemahnya hasil pendidikan, rendahnya akses terhadap air bersih khususnya di antara penduduk miskin, dan rendahnya akses terhadap sanitasi (website: www.worldbank.org).
1
relatif stagnan. Penciptaan tenaga kerja hanya bersumber dari sektor informal, yang sebagian besar mengandalkan tenaga kerja dengan ketrampilan yang rendah (low skill), upah rendah (low paid), dan tanpa proteksi sosial. Selain itu, dalam kurun waktu yang sama terjadi pemutusan hubungan kerja di sektor riil,khususnya industri yang padat karya (Bappenas, 2005;Mudrajad 2006). Saat ini Buruh Migran (TKI) tersebar di 20 negara baik Asia, Timur Tengah, USA, dan Eropa. Jumlah TKI terbanyak ada di kawasan ASEAN (terbesar di Malaysia), Timur Tengah (terbesar di Arab Saudi) dan Asia Timur (terbesar di Hong Kong) (TEMPO Interaktif, 2005). Persoalannya adalah kualitas SDM TKI masih rendah yang ditunjukan oleh 70% TKI masih bekerja pada jenis pekerjaan yang berketerampilan rendah (unskilled-worker) seperti pegawai rendahan dan pembantu rumah tangga. Di samping karena rendahnya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, juga karena kurangnya penguasaan bahasa, budaya, dan adat istiadat di negara tujuan. Hal tersebut telah mengakibatkan TKI kita kalah bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain seperti Filipina, Sri Langka, dan Bangladesh. Sedangkan untuk tenaga kerja terampil (skilled-worker) hanya sekitar 30% yaitu pada pekerjaan seperti operator mesin pabrik, tenaga perawat, dan lain-lain. Terbatasnya kapasitas pribadi ini menyebabkan daya tawar mereka sangat rendah dalam seluruh proses dan sangat rentan dengan tindak kekerasan yang menimpa mereka, misalnya mudah ditipu/dipermainkan baik oleh oknum-oknum aparat sebelum pemberangkatan maupun oleh majikan tempat mereka bekerja di luar negeri, obyek kekerasan, eksploitasi dalam lingkungan pekerjaan maupun pasca menjadi TKW (http://perpustakaan.bappenas.go.id/pls; www.menakertrans.or.id). Menakertrans (2004) menambahkan paling kurang 40.000 buruh migran perempuan Indonesia di Timur Tengah berada pada posisi yang tidak memiliki dokumen. Dari kawasan Timur Tengah, terungkap 118 buruh migran perempuan Indonesia ditahan di penjara Arab Saudi karena dituduh terlibat prostitusi. Ditemui, para buruh migran perempuan Indonesia yang terlibat praktek prostitusi di Arab Saudi adalah korban sindikat perdagangan perempuan (Susilo, 2004). Berdasarkan data kasus yang dikeluarkan oleh KOPBUMI dan SBMI pada tahun 2005 dapat diuraikan bahwa sedikitnya tercatat 19 kasus kematian, penyiksaan disertai pemerkosaan 101 kasus, hilang kontak 117 kasus, sedang kasus-kasus lainnya seperti deportasi, trafficking, gaji tidak dibayar, dan jam kerja yang panjang berjumlah 4.100 kasus (TEMPO Interaktif, 2005). Dalam gambaran mikro, Salatiga dan sekitarnya merupakan salah satu kota ’kantong’ Buruh Migran (TKI) dari Jawa Tengah. Ada beberapa desa di Salatiga dan
2
Model Pemberdayaan Perempuan Miskin Melalui Pengembangan Kewirausahaan Keluarga Menuju Ekonomi Kreatif di Kabupaten Karanganyar Ismi Dwi Astuti Nurhaeni dan Sri Marwanti
Pendahuluan Kemiskinan merupakan masalah utama pembangunan yang sifatnya kompleks dan multi dimensional. Persoalan kemiskinan bukan hanya berdimensi ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, politik, bahkan juga ideologi (Basuki dan Presetyo, 2007: xi). Menurut laporan statistik tentang tingkat kemiskinan di Indonesia, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada bulan maret tahun 2006 sebanyak 39,90 juta jiwa (17,75%). Dibandingkan dengan bulan Februari tahun 2005, jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan sebesar 3,95 juta jiwa. Pada bulan Maret 2007, terjadi penurunan angka kemiskinan secara nasional. Penduduk miskin turun sebanyak 2,13 juta dari 39,90 juta jiwa (17,75%) menjadi 37,17 juta jiwa (16,58%) dari jumlah penduduk. Dalam
upaya
menanggulangi
kemiskinan,
maka
arah
kebijakan
penanggulangan kemiskinan di Jawa Tengah dilakukan melalui program-program pro-poor, pro-job dan pro-growth yang berorientasi pada pemerataan pendapatan antar kelompok masyarakat, pengurangan beban pengeluaran penduduk miskin, pemenuhan kebutuhan dasar dan pemerataan pembangunan antar wilayah. Upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan melalui berbagai strategi, baik secara langung maupun secara tidak langsung. Secara langsung diwujudkan dalam bentuk bantuan dana stimulan sebagai modal usaha kegiatan ekonomi produktif, bantuan sosial (seperti program subsidi langsung tunai, beras miskin, dll), secara tidak langsung melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan sosial ekonomi, pemberdayaan masyarakat, penguatan kelembagaan dan perlindungan sosial. Upaya penanggulangan kemiskinan perlu diimbangi dengan program penyadaran masyarakat (public awareness). Apalagi satu hal yang seringkali
1
terlupakan adalah dimensi feminis dan ketimpangan gender. Dimanapun, kemiskinan selalu menampilkan wajah perempuan di depan. Banyak peneliti kontemporer mengungkapkan, dalam sebuah keluarga miskin, perempuan senantiasa sebagai katup penyelamat bagi perekonomian keluarga. Setidaknya ada empat peran perempuan miskin dalam keluarga. Pertama, sebagai pengelola keuangan keluarga; Kedua, sebagai penanggung jawab seluruh pekerjaan domestik; Ketiga, sebagai pencari nafkah keluarga; Keempat, sebagai salah satu simpul jaringan sosial yang penting dalam hal transfer sosial, khususnya pada masa-masa kritis dan krisis (Basuki dan Prasetyo, 2007: 10-11). Komitmen internasional United Nation Millenium Declaration (2000) memuat satu rekomendasi penting untuk diterapkan di semua negara yaitu: ”to promote gender equality and empowerment of women as effective ways to combat poverty, hunger and disease and to stimulate development that is sustainable”. (dalam Darwin, 2005). Komitmen internasional tersebut menegaskan pentingnya upaya mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai cara efektif untuk mengeliminasi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Pentingnya memasukkan dimensi keadilan dan kesetaraan gender adalah adanya pengakuan tentang hambatan-hambatan struktural yang menyebabkan tidak terealisasinya hak-hak orang miskin. Salah satu hambatan struktural yang menjadi perhatian di sini adalah relasi gender (gender relation) yang tidak setara dan tidak adil (Darwin, 2005: 2). Budaya patriarki mengakibatkan perempuan berada dalam posisi tawar yang lemah. Sementara itu suara perempuan dalam memperjuangkan
kepentingannya
tidak
tersalurkan
melalui
mekanisme
pengambilan keputusan formal. Marginalisasi, diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak menjadi sebab penting dari parahnya masalah kemiskinan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang. Karena itu, pengarusutamaan gender dalam penanggulangan kemiskinan menjadi bagian yang tak terelakkan. Menurut Kimani and Kombo (2010: 24), Poverty is a dehumanizing condition for everyone. It erodes human rights of the affected whether women or men. Poverty has a gender dimension since women and men experience and react differently to its impact.
2
Pengetahuan, Sikap dan Praktek Perawatan Organ Reproduksi Eksternal pada Remaja Putri Keluarga Miskin di Kecamatan Jebres Surakarta Sumardiyono, Insiwi Febriary Setiasih dan Siti Muslifah
Pendahuluan Masalah kesehatan usia remaja merupakan salah satu masalah penting dalam siklus kehidupan.
Menurut
WHO
(2004),
sepuluh
faktor
risiko
utama
penyebab
kesakitan/kematian pada usia remaja adalah: Konsumsi minuman beralkohol dan obatobatan terlarang, perilaku makan/jajan, hygiene individu dan sanitasi. Kesehatan mental, aktifitas fisik, faktor protektif, aspek demografi, kesehatan reproduksi, merokok, dan kekerasan dan cedera. Pada peringatan hari kependudukan sedunia pada tahun 2003 mengambil tema “Kesehatan Remaja dan Seksualitas Remaja”. Jika remaja berperilaku produktif dan terpuji akan menjadi kabaikan, namun jika terjadi sebaliknya akan menjadi masalah. Masa remaja merupakan masa yang menarik perhatian karena sifatnya khas dan juga karena peranannya yang menentukan kehidupan individu dalam masyarakat orang dewasa (BKKBN, 2003). Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah (Hurlock, 1998). Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi (WHO, 2004). Masalah remaja (usia >10 – 19 tahun) merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam pembangunan nasional di Indonesia, mencakup aspek fisik, biologis, mental, dan sosial. Perubahan fisik yang pesat dan perubahan endokrin/hormonal yang sangat dramatik merupakan pemicu masalah kesehatan remaja serius karena timbuhnya dorongan motivasi
seksual yang menjadikan remaja rawan terhadap penyakit dan masalah kesehatan reproduksi (Yudhi, 2008). Kendati kesehatan reproduksi remaja di Indonesia telah memperoleh komitmen politik dari pemerintah dan parlemen, serta telah menjadi program nasional sejak tahun 2000, namun pengetahuan dan pengalaman para pengelola program ini masih rendah. Padahal, jika tidak ditangani dengan baik, kesehatan reproduksi remaja dapat menjadi masalah amat serius, karena tahun 2000 lalu kaum remaja telah menjadi kelompok populasi terbesar dalam piramida penduduk Indonesia. Pada tahun 2001, di Indonesia terdapat sekitar 47 juta orang remaja (10-19 tahun) atau 23 persen dari seluruh penduduk, lebih besar dibanding kelompok bayi dan anak-anak, dewasa, serta lanjut usia (Sianturi, 2001). Pada tahun 2008, jumlah remaja di Indonesia menjadi 62 juta orang, yang menunjukkan bahwa satu dari lima orang Indonesia berada dalam rentang usia remaja. Mereka adalah calon generasi penerus bangsa dan akan menjadi orangtua bagi generasi berikutnya. Tentunya, dapat dibayangkan, betapa besar pengaruh segala tindakan yang mereka lakukan saat ini kelak di kemudian hari tatkala menjadi dewasa dan lebih jauh lagi bagi bangsa di masa depan. Ketika mereka harus berjuang mengenali sisi-sisi diri yang mengalami perubahan fisik-psikis-sosial akibat pubertas, masyarakat justru berupaya keras menyembunyikan segala hal tentang seks, meninggalkan remaja dengan berjuta tanda tanya yang lalu lalang di kepala mereka (Adek Ratna Jameela, 2008). Oleh karena itu pemerintah perlu mengembangkan kebijakan dan program berdasar paradigma baru yang lebih peka gender dan "ramah" pada remaja dengan menempatkan remaja sebagai subjek aktif yang patut didengar, dilibatkan, dan dengan demikian turut bertanggung jawab atas kepentingan mereka sendiri. Pendidikan kesehatan reproduksi remaja, termasuk di dalamnya informasi tentang keluarga berencana dan hubungan antar gender, diberikan tak hanya untuk remaja melalui sekolah dan media lain, tetapi juga untuk keluarga dan masyarakat (Adek Ratna Jameela, 2008). Menurut Ilyani Susradjat (2004), remaja rentan mempunyai risiko gangguan terhadap kesehatan reproduksi, bila hal itu terjadi akan menurunkan kualitas hidupnya. Permasalahan remaja, apabila tidak mendapat perhatian serius akan memberikan dampak terhadap besar masalah. Sebaliknya, dari kenyataan yang ada, meskipun besar populasinya, kebutuhan kesehatan reproduksi sampai sekarang masih diabaikan oleh pelayanan kesehatan remaja yang ada. Remaja adalah masa penghubung atau masa peralihan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada periode ini terjadi perubahan-perubahan besar dan esensial
TENTANG PENULIS Al. Sentot Sudarwanto, S.H, M.Hum, adalah staf pengajar Fakultas Hukum UNS. Lahir pada 27 November 1959, menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum UNS tahun 1985, S2 di UNDIP tahun 1999 dan sedang menempuh pendidikan S3 di UNS. Aktif melakukan kegiatan di Pusat Studi Lingkungan LPPM UNS dan membantu penelitian gender dan lingkungan di P3G LPPM UNS. Beberapa karya dan kegiatan beliau antara lain Pemberdayaan Perempuan Dalam Mencegah Dan Menanggulangi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Nara Sumber Pada Forum PKK Kabupaten Sragen Tahun 2006, Model Pengembangan Pelestarian Lingkungan Hutan Jati Melalui Ekowisata Dengan Loco Tour Dalam Upaya Meningkatkan Ekonomi Masyarakat Di Blora Tahun 2008 dan Model Pengelolaan Lingkungan Hidup Berwawasan Gender Untuk Mendukung Pembangunan Berkelanjutan Tahun 2009.
Ir. Arianti Ina Restiani Hunga, M.Si. atau lebih dikenal dengan nama Ina Hunga adalah salah satu pegiat gender andal dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Perempuan yang dilahirkan di Semarang 19 November 1965 ini sejak tahun 2000-sekarang mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UKSW dan menjadi penggerak Pusat Penelitian dan Studi Gender (PPSG) Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Universitas Kristen Satya Wacana. Di samping mengajar, beliau telah banyak menghasilkan penelitian, menulis jurnal dan melakukan pengabdian masyarakat dengan tema-tema gender dan pembangunan. Beberapa penelitiannya antara lain Model Transformasi “Putting-Out” System: Peningkatan Daya Saing Industri, Pemberdayaan dan Perlindungan Pekerja Rumahan Dari Perspektif Gender (Kasus di Industri Mikro-Kecil-Menengah di Jawa Tengah) Program Hibah Kompetensi – Dikti 2009-2010, Koran Ibu : Media Peningkatan Kapasitas Perempuan di Salatiga dan Sekitarnya Subdit Pendidikan Perempuan – Direktorat Pendidikan Masyarakat – Depdiknas 2009-2010 serta Pendidikan Pemilih dan Kepemiluan untuk Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan di Jawa Tengah. Elections-MDP United Nation Development Program (UNDP) 2009. Prof. Dr. Ir. Bambang Pujihasmanto, M.S, guru besar Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, lahir di Klaten 25 Februari 1956. Menyelesaikan S1 Fakultas Pertanian UGM tahun 1980, S2 di University of Leeds tahun 1990 dan S3 di Universitas Brawijaya tahun 2008, ketiganya di bidang agronomi. Banyak melakukan penelitian, pengabdian dan seminar tentang pembudidayaan tanaman pangan maupun obat serta pemberdayaan masyarakat di berbagai daerah. Pernah menjabat sekretaris Pusat Penelitian dan Pengembangan Pedesaaan (Puslibangdes) LPPM UNS tahun 1992-1996. Mulai tahun 2008 menjabat Ketua Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian UNS. Ir. Eddy Tri Haryanto, M.P, staf pengajar Program Studi Agronomi Fakultas Pertanian UNS dan saat ini menjabat Ketua Pusat Pengembangan Kewirausahaan (PPKWU) LPPM UNS. Lahir di Semarang 5 Februari 1960 menyelesaikan S1 di Fakultas Pertanian UNS tahun 1983 dan S2 di Ilmu Pertanian Universitas Brawijaya tahun 1998. Banyak bergiat sebagai peneliti khususnya tentang konservasi dan energi baru serta reviewer pada program magang. Drs. D. Priyo Sudibyo, M.Si, adalah salah satu pegiat gender di Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender LPPM UNS dan staf pengajar di Jurusan Administrasi Negara FISIP UNS serta Magister Administrasi Publik Pascasarjana UNS. Lahir pada 23 Mei 1962, menamatkan pendidikan S1 Administrasi Negara UGM tahun 1987, S2 di UGM tahun 1997,
dan saat ini sedang melanjutkan studi S3 di Universitas Gadjah Mada. Berkonsentrasi pada bidang gender dan kebijakan pembangunan. Beberapa karyanya yang berupa penelitian, pengabdian atau berperan sebagai fasilitator antara lain Reformasi Pelayanan Publik : Studi Evaluasi Tentang Kualitas Pelayanan One Stop Service Pada Unit Pelayanan Terpadu Pemerintah Kota Surakarta, Evaluasi Kebijakan Pendidikan Dasar dan Menengah Dalam Perspektif Gender dan International Seminar on Gender Mainstreaming in Education : Poverty Reduction. Dwi Hastuti, S.Sos, merupakan alumni Jurusan Administrasi Negara FISIP UNS angkatan 2006 yang baru saja menamatkan studinya pada tahun 2010 dengan predikat cumlaude. Pernah menjadi asisten peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender (P3G) LPPM UNS tahun 2009 serta banyak melakukan penelitian dan mengikuti berbagai pelatihan yang terkait dengan disiplin ilmunya. Antara lain Evaluasi Anggaran Responsif Gender: Studi Alokasi Anggaran Responsif Gender Dalam Anggaran Kesehatan Kota Surakarta Tahun 2008-2010 dan Implementasi Kebijakan Relokasi Penduduk Bantaran Sungai Bengawan Solo di Surakarta. Dra. Eva Lidya, M.Si, merupakan pegiat gender yang banyak berkonsentrasi dalam masalah Gender dan Politik. Sehari-hari merupakan Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya Palembang. Dra. Hartini, M.Hum, staf pengajar Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS. Lahir di Solo 30 Januari 1950, menamatkan S1 di Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra UNS tahun 1982 dan S2 di Sastra FIB UGM tahun 1996. Berminat pada bidang Gender dan Sastra, terlihat pada karya penelitian dan artikelnya antara lain Relevansi Serat Sandi Wanita dengan Peranan Wanita dalam Pembangunan Nasional (2002), Persepsi Masyarakat terhadap Wanita Jawa dalam Buku Peranan Ratu Kalinyamat di Jepara pada XVI (2006) dan Profil Wanita Jawa dalam Naskah Jawa Klasik (2007).
Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc.M.Sc (P), dosen Institut Pertanian Bogor dilahirkan di Malang 10 November 1962. Menamatkan S1 di IPB tahun 1985, S2 diselesaikan di Iowa State University tahun 1991 dan 1995, sedangkan S3 diselesaikan di IPB tahun 2006. Peminatan yang dipilih yaitu di bidang gender, keluarga dan sosiologi pembangunan. Karyakarya beliau yang banyak dirujuk oleh para peneliti gender antara lain Analisis Gender tentang Interaksi dalam Keluarga dan Kenakalan Pelajar pada Pelajar Sekolah Menengah di Kota Bogor (2007), Analisis Gender Terhadap Kebiasaan Makan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Positif Pelajar Sekolah Menengah di Kota Bogor (2008) dan Glossary: Gender, Keluarga, Pendidikan dan Pembangunan (2010). Selain itu beliau juga banyak terlibat dalam kegiatan seminar di dalam dan luar negeri sebagai pembicara dan sebagai anggota tim ahli Gender Mainstreaming di Kementerian Pendidikan Nasional sejak 2006 hingga sekarang. Drs. Ign. Agung Satyawan,M.Si adalah staf pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta staf peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender, Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Sebelas Maret Surakarta. Memperoleh gelar sarjana Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada, sarjana Ekonomi Manajemen dan sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Terbuka serta magister Ilmu Politik dari Universitas Indonesia. Pendidikan tambahan non gelar/pelatihan yang pernah diikuti antara lain: Studi filsafat dan teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Jakarta; Studi tentang electoral system di Manila- Philipina; Pelatihan Gender and Tourism di Mount Carmel International Training Center, Haifa-Israel; Studi tentang Gender, Reproductive Health and HIV/AIDS di Department of Gender and Development Studies, Asian Institute of Technology, Thailand. Pernah pula menjadi visiting scholar selama satu tahun di School of International Studies Peking University-Beijing. Menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender di Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Sebelas Maret periode 2005-2008. Fokus perhatian studi gender yang ditekuni adalah gender dan politik serta gender budgeting. Selain sebagai peneliti, juga sebagai trainer di bidang gender dan penguatan masyarakat. Insiwi Febriary Setiasih, SS, MA merupakan staf pengajar di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS. Meraih gelar Sarjana Sastra dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS tahun 2002 dan S2 dari Jurusan Sejarah FIB UGM tahun 2009. Memiliki peminatan pada bidang sejarah pemikiran, sejarah perempuan dan sedang intensif mempelajari kajian gender di P3G LPPM UNS. Beberapa tulisan yang berkaitan dengan perempuan yaitu Pola Perkawinan Masyarakat Keturunan Arab di Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta (2007, ketua peneliti), Pergeseran Peran Perempuan Samin di Blora (Studi Kewanitaan tentang Peran Perempuan Samin dalam Keluarga) (2007, Anggota peneliti), Pemikiran KGPAA Mangkunegara VII di Bidang Pendidikan Wanita dan Kebudayaan (19161944) (2009, Tesis), artikel “ Perubahan Identitas Wanita di Surakarta pada abad XX” (2010) dan “Pengetahuan, Sikap & Praktek Perawatan Organ Reproduksi Eksternal pada Remaja Putri Keluarga Miskin di Kecamatan Jebres Surakarta (2010, Anggota Peneliti). Dr. Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, M.Si, staf pengajar Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP UNS dan Program Magister Administrasi Publik Pascasarjana UNS sekaligus Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender LPPM UNS. Lahir di Purworejo 25 Agustus 1961, menyelesaikan S1 program studi Ilmu Administrasi Negara FISIP UNS tahun 1985 dan melanjutkan jenjang S2 dan S3 di program studi Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM masing-masing tahun 1995 dan 2008. Menjadi salah satu perintis berdirinya Pusat Studi Wanita yang sekarang menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Gender LPPM UNS dan telah sekian lama berkonsentrasi pada bidang Gender dan Kebijakan. Banyak menulis, meneliti dan menjadi fasilitator di berbagai daerah. Sebagian dari karya dan kegiatan beliau antara lain Evaluasi Program Pendidikan Berperspektif Gender (2006) Pemberdayaan Perempuan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (2008) dan Kebijakan Publik Pro Gender (2008). Sejak tahun 2002 hingga sekarang menjadi anggota tim pakar Gender pada Kelompok Kerja Gender di Kementerian Pendidikan Nasional.
Ir. Iwan Sudrajat, MSA, P.h.D, staf pengajar Institut Teknologi Bandung dengan spesialisasi di bidang historiografi arsitektur, teori arsitektur, metodologi riset, serta gender dan lingkungan. Memperoleh gelar master dari ITB dan doktor dari University of Sydney. Dapat dikontak pada
[email protected] Prof. Dr.Keppi Sukesi, M.S., guru besar Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Lahir 26 Februari 1956 adalah salah seorang perintis kajian tentang perempuan dan sosiologi gender, dan mengajar di Jurusan Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Banyak menerbitkan buku-buku sebagai rujukan kajian gender. Masih aktif di Pusat Penelitian Gender dan Kependudukan (PPGK) Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya Malang. Saat ini yang bersangkutan menjadi anggota tim pakar Gender pada Kelompok Kerja Gender di Kementerian Pendidikan Nasional
Prof. Dr. MMA.Sri Samiati Tarjana Dipl.TESOL merupakan salah satu guru besar UNS khususnya di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS. Pakar pragmatik lahir di Sidoarjo 2 Juni 1944. Beliau menempuh pendidikan S1 di IKIP Malang bidang pendidikan bahasa Inggris tahun 1973, Diploma Tesol di Victoria Univ. of Wellington New Zealand 1974 dan S3 di Pendidikan Bahasa IKIP Malang 1986. Telah lama aktif di penelitian tentang gender dengan menghasilkan karya-karya seperti Developing Intercultural Sensitivity in a Gender-Biased Community: A Case in the film Anna and the King (2003), Peranan Seorang Wanita dalam Membangun Kepekaan Antar-Budaya pada Masyarakat Bias Gender (2004), dan Sendi Logikal dan Pragmatik pada Penguasaan Bahasa Ibu (2009)
Dr. Mahendra Wijaya, M.S, dilahirkan pada 23 Juli 1960, menamatkan S1 Jurusan Sosiologi FISIP UGM tahun 1986, S2 Sosiologi Pedesaan di IPB tahun 1992 dan meraih gelar doktor sosiologi dari UGM tahun 2002. Saat ini merupakan staf pengajar Jurusan Sosiologi FISIP UNS. Penelitian dan artikel-artikel yang berhubungan dengan perempuan dan gender antara lain Kesehatan Reproduksi Pekerja Wanita yang dimuat dalam Populasi, Buletin Penelitian Kebijaksanaan Kependudukan UGM Volume 5 no 2, Pusat Penelitian Kependudukan UGM, 1994 dan The Protection of Female Worker Reproductive Health in Surakarta Enterprise: A Case Study, Book of The 4th APSAAM Conference, 1998.
Dr. Moh. Fauzi, M.Ag lahir di Kudus 17 Mei 1972. Menamatkan pendidikannya mulai MI sampai MA di Madrasah Tasywiquttullab Salafiyah (TBS) Kudus. Dilanjutkan studi di Fakultas Syari`ah IAIN Walisongo Semarang yang kemudian Setelah itu, dia melanjutkan studi di Fakultas Syari`ah IAIN Walisongo Semarang yang kemudian melanjutkan studi S.2 di almamaternya dengan mengambil konsentrasi Pemikiran Hukum Islam. Kedua jenjang studi ini diselesaikannya dengan predikat cumlaude. Tahun 2009 menamatkan di PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dengan predikat kelulusan cumlaude. Selain sebagai dosen Hukum Islam di IAIN Walisongo Semarang, dia juga aktif di Pusat Studi Gender (PSG) dan Pengurus MUI Kota Semarang Komisi Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Di antara karyanya yang terkait dengan kajian gender adalah: Peran Perempuan dalam Penyelesaian Konflik Sosial (Studi Kasus di Kabupaten Jepara), Penelitian IAIN Walisongo, 2002. Peningkatan Mutu Pesantren melalui Peningkatan Kualitas Santri Putri di Pontren Darul Falah Jekulo Kudus (PAR), Depag RI, 2005. Identifikasi Perda Bias, Netral dan Responsif Gender di Provinsi Jawa Tengah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, 2008.
Drs. Mudaris Muslim, M.Psi merupakan staf pengajar Jurusan Ilmu Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP UNS. Lahir di Pekalongan pada 20 Maret 1954. Menyelesaikan S1 Ilmu Pendidikan bidang ilmu Bimbingan dan Konseling di IKIP Yogyakarta tahun 1981 dan S2 Psikologi Universitas Indonesia tahun 2003 bidang ilmu Psikologi Sosial. Banyak melakukan penelitian di bidang perempuan dan psikologi masyarakat. Hasil penelitiannya antara lain Konsep Diri dan Problem Psikologis Perempuan, Pengusaha Kecil dan Menengah (2007) serta Problem Peran Ganda Perempuan Pengusaha Batik dan Garmen (2008). Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, P.hD adalah staf pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS. Perempuan yang dilahirkan pada 13 Agustus 1960 ini memiliki peminatan di bidang perempuan, gender dan media. Hal ini bisa terlihat dari tulisan-tulisan beliau antara lain, The
Lucky Few: Female Graduate of Communication Studies in the Indonesian Media Industry, Asia Pacific Media Educator Journal, Issue no 15, December 2004, When Discriminatory Employment Practices Persist: Women as media Workers in Indonesian, Annual Academic Journal and the Law Society University of Queensland, 2005, Media and Communication Work in Indonesia: Transformations and Challenges for Women. Globalization and Work in Asia, 2007 dan Meaning of Work for Female Media and Communication Workers, Women and Work in Indonesia, Asian Women in Asian Series, 2008. Purwanti Asih Analivi, SS adalah lulusan UNS (1997) dan sekarang menjadi peneliti dari Pusat Penelitian dan Studi Gender (PPSG) Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Universitas Kristen Satya Wacana. Banyak menghasilkan penelitian dan terlibat dalam pelatihan serta seminar tentang gender dan industri kecil. Karya-karyanya antara lain “Transformasi Kinerja Pekerja Rumahan di Industri Kecil-Menengah Berbasis Sistem Putting-Out dari Perspektif Gender di Jawa Tengah (2003), “Transformasi Sistem PuttingOut di Industri Mikro-Kecil Batik dan Konveksi Batik di Jawa Tengah (2005) dan Gender Mainstreaming in Wastewater Treatment (2006).
Rosita Novi Andari, S.Sos adalah lulusan Jurusan Administrasi Negara FISIP UNS tahun 2009 dengan predikat cumlade. Lahir di Pati 5 November 1986, semasa kuliah aktif dalam kegiatan penelitian dan kegiatan kemahasiswaan. Pernah menjadi asisten lapangan penelitian dosen untuk beberapa judul seperti “Perempuan dan Partai Politik (Studi Keterlibatan Perempuan dalam Partai Politik di Kota Surakarta),“Keterlibatan Pemuda dalam Partai Politik (Studi Analisis tentang Motivasi, Posisi, dan Peran Pemuda dalam Partai Politik di Kota Surakarta) dan “Kesenjangan Digital Berbasis Gender di Kota Solo”, semuanya dilakukan di tahun 2008 serta “Analisis Situasi Anak dan Perempuan di Indonesia” di Propinsi Jawa Tengah (Kabupaten Brebes dan Kota Surakarta) Tahun 2009. Sempat menjadi mahasiswa magang di P3G LPPM UNS. Saat ini berdinas di Pusat Kajian Pendidikan dan Pelatihan Aparatur (PKP2A) I Lembaga Administrasi Negara, Jatinangor Jawa Barat.
Prof Ir. Sri Handajani, MS, Ph.D. telah menggeluti sejak masuk S1 di Fakultas Teknologi Pertanian UGM (lulus tahun 1976), S2 dengan spesialisasi pangan dan gizi di UGM juga (lulus 1983), dan University New South Wales Sidney, Australia, untuk spesialisasi Food Science and Technology (lulus tahun 1991). Prof Han- panggilan akrabnya- meraih gelar Guru Besar pada tahun 2002. Konsentrasi Prof Handajani pada kacang koro dapat diketahui dalam penelitian saat S2 dan S3, serta berbagai penelitian yang didanai oleh berbagai pihak. Dalam aktifitasnya sebagai Staf Peneliti Pusat Studi Wanita (sekarang P3G) LPPM UNS, ia juga ikut membina dalam pemberdayaan perempuan bidang teknologi pangan di Kedung Ombo. Di wilayah itu, ia mencoba mengembangkan koro benguk. Awalnya ia terkejut melihat kondisi daerah yang miskin dan kekeringan. Berawal dari kondisi tersebut maka dilakukan pemberdayaan perempuan untuk membudidayakan koro benguk menjadi teknologi proses dan alat sehingga koro benguk dapat diproduksi secara monokultur dan kemudian dapat dijadikan produk jadi seperti kripik tempe.
Dra. Sri Kusumo Habsari, M.Hum,P.hD adalah staf pengajar Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS. Lahir di Surakarta 23 Maret 1967.Menamatkan S1 di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra UNS tahun 1986, dilanjutkan dengan menempuh S2 di
bidang American Studies UGM, terakhir baru saja menyelesaikan S3 Women Studies di Flinders University Adelaide Australia (2009). Tertarik pada bidang Kajian Amerika dan Kajian Budaya. Beberapa karyanya yang berkaitan dengan gender dan media antara lain Citra Wanita pada Sinetron Indonesia (1999), Mitos Kesuksesan Pria dan Wanita Pada Iklan Televisi Indonesia (2000) dan Wacana Gender Pada Majalah Anak-Anak “Bobo” (2002). Dr. Ir. Sri Marwanti, M.S merupakan staf pengajar jurusan Agrobisnis Fakultas Pertanian UNS. Lahir di Sukoharjo 9 Juli 1959, menyelesaikan S1 di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UGM tahun 1982, disusul S2 di bidang Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UGM tahun 1990 dan tahun 2010 memperoleh gelar Doktor di bidang Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian UGM. Berminat di bidang Ekonomi Pertanian terlihat pada judul disertasinya yaitu Analisis Penawaran Tenaga Kerja Rumahtanggga Pertanian di Propinsi Jawa Tengah. Dra. Sri Yuliani, M.Si lahir di Surakarta 30 Juli 1963. Saat ini menjadi staf pengajar di Program Studi Administrasi Negara FISIP UNS baik pada S1 maupun S2 (Magister Administrasi Publik/ MAP) UNS. . Lulus S1 Ilmu Administrasi Negara UNS tahun 1988 dan Pascasarjana Administrasi Publik UGM tahun 2000. Menaruh minat pada bidang kebijakan publik dan politik gender. Penelitian yang pernah dilakukan mencakup: Politik Tubuh dalam kebijakan Publik, Analisis Gender dalam Kebijakan Prostitusi, dll. Prof. Dr. Ir. Supriyono, M.S adalah guru besar Fakultas Pertanian UNS dilahirkan di Sleman 11 Juli 1959. Menyelesaikan S1 hingga S3 di UGM bidang ilmu agronomi. Disertasi yang ditulis berjudul Kajian Biologi dan Agronomi Karabenguk (Mucuna pruriens (L.) DC.) Sebagai Tanaman Pangan dan Penutup Tanah dan Pidato Pengukuhan dengan judul Pengembangan Budidaya Korobenguk (Mucuna pruriens (L.) DC.) Sebagai Salah Satu Alternatif Penyedia Sumber Bahan Pangan Lokal. Saat ini menjabat Ketua Program S2 Agronomi Pascasarjana UNS. Sumardiyono, SKM,M.Kes adalah Sekretaris dan Staf Pengajar Program D3 Hiperkes dan Keselamatan Kerja Fakultas Kedokteran UNS. Lahir di Surakarta 6 Juli 1965, menyelesaikan jenjang D3 Hiperkes di UNS tahun 1987, S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP tahun 2004 dan S2 Ilmu Kesehatan Kerja di UGM tahun 2007. Banyak melakukan penelitian, menulis jurnal, mengikuti seminar dan pengabdian tentang kesehatan dan keselamatan kerja. Penelitian yang bertema perempuan dan gender antara lain Hubungan antara Kadar Debu Kain dan Umur terhadap Fungsi Paru Tenaga Kerja Wanita di PT. Panji Dananjaya Sragen, Faktor-Faktor Lingkungan Kerja yang Menyebabkan Kelelahan Kerja Tenaga Kerja Wanita di CV. Cahyo Nugroho Jati Sukoharjo, Study tentang Status Gizi, Beban Kerja, dan Kelelahan Kerja Pada Tenaga Kerja Wanita di PT. Ladewindo Karanganyar, serta yang terbaru Pengetahuan, Sikap dan Praktek Perawatan Organ Reproduksi Eksternal pada Remaja Putri Keluarga Miskin di Kecamatan Jebres Surakarta (sebagai ketua). Retno Kusumowiranti, S.Sos, MPA adalah Wakil Dekan II Jurusan Administrasi FISIP Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Lahir pada 5 Mei 1975 di Sleman, menamatkan S1 di Jurusan Administrasi Negara FISIP UNS tahun 1997 dan memperoleh gelar S2 dari Administrasi Negara UGM pada 2009. Beliau banyak melakukan penelitian, pengabdian dan pelatihan yang berhubungan dengan gender dan kebijakan. Beberapa karyanya antara lain Analisis Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment) Berbasis Pedukuhan Guna Mengentaskan Kemiskinan di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul (2008), Potensi dan Partisipasi Tenaga Kerja Wanita di Pedesaan pada Industri Kerajinan
Seni Kriya di Kecamatan Pajangan Kabupaten Bantul Yogyakarta (2007) dan Peran dan Kedudukan Wanita dalam Kawin Kontrak di Lingkungan Industri Kerajinan Ukir (Studi Kasus di Tahunan Jepara Jawa Tengah)(2006).
Siti Muslifah, SS, M.Hum, merupakan staf pengajar di Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS. Dilahirkan di Sukoharjo 3 November 1973, menamatkan S1 Sastra Daerah di Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS tahun 1999 dan S2 Sastra FIB UGM pada 2004. Konsentrasi utama di bidang gender dan sastra, hal itu tercermin pada karyakaryanya antara lain Gender dalam Karya Sastra Jawa (Studi Kasus Serat Centhini Episode Centhini dengan Teori Naratologi dan Pendekatan Gender pada Fabula) (2007), Resensi Buku Hikayat Siti Mariah : Estetika Perselingkuhan Pramoedya Ananta Toer (2010) dan Pengetahuan Reproduksi Eksternal pada Remaja Putri Keluarga Miskin di Kecamatan Jebres (2010, sebagai anggota).
Tiwuk Kusuma Hastuti, SS, M.Hum, merupakan staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS. Lahir di Sleman tanggal 13 Juni 1973, menamatkan S1 Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS tahun 1996 dan S2 Jurusan Sejarah FIB UGM tahun 2006. Berkonsentrasi pada penelitian-penelitian sejarah yang bertema agraria, antara lain Tanah Sende dan Konflik Agraria (Studi Kasus di D.I Yogyakarta tahun 1930-1990-an dan Tanah Sende Antara Beban Kultural dan Ketergantungan Ekonomi Petani (Studi Kasus Dinamika Ekonomi dan Kebudayaan di D.I Yogyakarta tahun 1980-2000. Tulisan tentang perempuan yaitu Keterlibatan Tenaga Kerja Wanita dalam Pertanian Sawah Surjan di Kabupaten Kulon Progo Tahun 1970-1990. Dra. Trisni Utami,M.Si adalah staf pengajar di Jurusan Sosiologi FISIP UNS. Lahir pada 14 Oktober 1963, menyelesaikan S1 di Jurusan Sosiologi UGM tahun 1986 dan S2 Ilmu Lingkungan UI lulus 1994. Memiliki peminatan pada bidang Sosiologi Lingkungan dan Pemberdayaan Komunitas. Beberapa tulisan yang berkaitan dengan peminatan beliau antara lain Perilaku Petani Menuju Masyarakat Pertanian Berbudaya Industri Untuk Mendukung Pembangunan Pertanian Berorientasi Agribisnis (2005), Pemberdayaan Komunitas Sektor Informal Melalui Kemitraan Antar Stake Holders (Study Pada Pedagang Kaki Lima Kota Surakarta (2006) dan Peran Serta Perempuan Dalam Mewujudkan Ecological Society Menuju Pembangunan Berkelanjutan (2009). Dr. Warto, M.Hum, staf pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS sekaligus Ketua Program Studi S2 Pendidikan Sejarah Pascasarjana UNS. Dilahirkan di Karanganyar 25 September 1961, menamatkan S1 di UNS (1985), S2 di UI (program sandwich dengan Universitas Leiden) tahun 1993 dan S3 di UGM (2007). Banyak berkecimpung dalam penelitian maupun pengabdian yang bertema sejarah, pariwisata dan gender. Beberapa karya yang berhubungan dengan gender adalah Partisipasi Perempuan dalam Kegiatan Pariwisata di Surakarta (2004) dan Pengembangan Model Pemberdayaan dan Peningkatan Peran Wanita Pedesaan di Bidang Pembangunan Pariwisata (2004-2005).