ISSN : 2541-6871 Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
DAUN LONTAR Daftar Isi
Afi Fadlilah
1-13
Penggunaan Bahasa Jawarehdi Pasar Sindang Cirebon
Irma Diani
14-35
Berbagai Faktor Penyebab Pergeseran Penggunaan Bahasa Serawai
Syamsu Rijal, Wening Udasmoro
36-50
Pembelajaran Interkultural dan Sastra Remaja
Ike Revita, R.Trioclarise
51-62
Kemampuan Retorika Berbahasa Calo dalam Membujuk Calon Korban Women Traffickingdi Jawa Barat
Fransisca Tjandrasih Adji
63-92
Teks Kandhadan Teks SindhènanTari Bĕdhaya dalam Naskah-Naskah SkriptoriumKaraton NgayogyakartaHadiningratsebagai Sarana Memahami Kearifan Lokal
Rahman Taufiqrianto Dako
93-116
Bahasa Bergaya dalam Prosesi Adat Motolobalango : Upaya Membangun Karakter Bangsa
Misrita
117-136
Relasi Historis Enklave Bakumpai di Marabahan, Kalimantan Selatan dan di Buntok, Kalimantan Tengah : Kajian Linguistik Diakronis
iii
PENGGUNAAN BAHASA JAWAREH DI PASAR SINDANG CIREBON Afi Fadlilah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, UPI Bandung
[email protected] Abstract The paper is entitled “Language Use of Jawareh in Sindang MarketCirebon. The aim was to describe the language use of Jawareh in buying and selling interaction in the Sindang market-Cirebon. This research is a descriptive study using an ethnographic communication approach. The data used is the speech event with the observation method that is supported by information about the history, geographic, social, cultural and language situation in the Sindang Market. The theory used is the speech act analysis theory by Hymes. Jawareh language itself is a Java language (BJ), half Sundanese (BS) and Indonesian (BI) used by the speech community in the area in the border between East Cirebon Regency (West Java) and West Brebes (Central Java). Jawareh language is a mixture of Javanese and Sundanese tendency to use depends upon the tribe and the relationship between seller and buyer. Key words: bahasa Jawareh, the speaker relationship, Sindang market. Abstrak Makalah ini berjudul Penggunaan Bahasa Jawareh di Pasar SindangCirebon. Tujuannya adalah untuk mendeskripsikan penggunaan Bahasa Jawareh dalam interaksi jual beli di Pasar Sindang Cirebon. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan etnografi komunikasi. Data yang digunakan adalah peristiwa tutur dengan metode observasi yang didukung dengan informasai mengenai sejarah geografi, sosial, budaya, dan situasi kebahasaan di Pasar Sidang. Adapun teori yang digunakan adalah teori laku tutur (speech act analysis)oleh Hymes. Bahasa Jawareh itu sendiri adalah Bahasa Jawa (BJ) setengah Bahasa Sunda (BS) dan Bahasa Indonesia (BI) yang digunakan oleh masyarakat tutur di wilayah tutur perbatasan antara Kabupaten Cirbon Timur (Jawa Barat) dan Kabupaten Brebes Barat (Jawa Tengah). Bahasa Jawareh adalah bahasa campuran Jawa dan Sunda yang kecenderungan penggunaannya tergantung atas suku dan hubungan antara penjual dan pembeli. Kata kunci: bahasa Jawareh, relasi penutur, pasar Sindang. 1
2
Pendahuluan Sosiolinguistik sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengkaji kebahasaan bukan hanya dipahami sebagai sistim tanda saja, tetapi juga dipandang sebagai sistim sosial, sistim komunikasi dan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat tertentu. Hal ini sesuai dengan fungsi komunikasi terpenting yang digarisbawahi oleh teori etnografi dan etnometodologi, yaitu untuk menjaga keberlangsungan hubungan antara para komunikannya. Dardjowidjodjo (2003:16) mengatakan bahwa, bahasa merupakan suatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi antarsesamanya, berlandaskan pada budanya yang mereka miliki bersama. Pendapat tersebut sejalan dengan pengertian bahasa menurut ilmu linguistik, bahwa bahasa adalah “a system of communication by symbols, i.e through the organs of speech and hearing, among human beings of certain group or community, using vocal symbols processing arbitrary conventional meanings” (Kuswarno, 2008:3). Definisi tersbut mengandung pengertian bahwa bahasa merupakan sebuah sistem komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol yang dihasilkan dari alat ucap dan dengar manusia di antara sesama manusia atau pun kelompok tertentu yang memiliki kemampuan untuk melakukan simbolisasi dan berbicara. Keterkaitan antara bahasa dan komunikasi itu sangat erat karena saling melengkapi satu sama lain, sehingga ahli psikologi mempercayai bahwa komunikasilah yang melahirkan masyarakat atau kesatuan-kesatuan sosial. Oleh sebab itu, sosiolinguistik sebagai ilmu yang mengaitkan antara bahasa dan komunikasi dalam perspektif interaksionl membahas tentang penggunaan bahasa dalam interaksi sosial. Rumusan mengenai interaksi sosial itu sendiri telah dinyatakan oleh H. Booner di dalam bukunya, Social Psychology, bahwa interaksi sosial adalah hubungan antara dua individu atau lebih, di mana kelakuan individu yang satu memengaruhi, mengubah, DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
3
atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Semantara itu, bagi sosiolinguistik interaksi sosial adalah proses tiada akhir yang melibatkan komunikasi di dalamnya yang sebagian besar menggunakan bahasa. Adapun bentuk-bentuk interaksi sosial itu sendiri dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan pertentangan (conflict) (Setiadi, Hakam, Effendi: 2009). Ketiga bentuk interasksi sosial tersebut terjadi di Pasar Sindang Desa Lemahabang Kulon Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon. Di pasar ini penjual dan pembeli berinteraksi menggunakan tiga bahasa yang dikenal dengan bahasa Jawareh, yaitu bahasa Jawa (selanjutnya disingkat menjadi BJ) bercampur dengan bahasa Sunda (selanjutnya disingkat menjadi BS) dan bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat menjadi BI). Hal itu disebabkan karena Pasar Sindang merupakan pusat perbelanjaan yang aksesnya cukup mudah dilalui bagi penduduk setempat ataupun di sekitarnya yang berlokasi di sebelah barat Kecamatan Sedong beretnis Sunda, sebelah timur Kecamatan Karangsembung beretnis Sunda, sebelah utara Kecamatan Astanajapura beretnis Jawa, dan sebelah selatan Kecamatan Susukan Lebak beretnis JawaSunda. Selain penjual dan pembeli di pasar ini datang dari wilayah sekitarnya juga terdapat beberapa diantara mereka yang berasal dari etnis Cina dan etnis Arab. Mereka sudah lama menetap di sana sejak didirikannya pasar ini, yakni sebelum kerajaan Caruban atau Cerbon yang berdasarkan sistim zaman para wali disebut sebagai zaman Dupala dan sebelum agama Islam berkembang. Adapun jaraknya dari pusat kota Cirebon, adalah sekitar lima belas kilometer. Letak geografis inilah salah satu yang mengakibatkan terjadinya percampuran bahasa (bahasa Jawareh) di sana selain wilayah Cirebon yang berada di perbatasan antara provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Disamping itu, masyarakat tutur di Pasar Sindang juga termasuk masyarakat yang terbuka dan memiliki kontak bahasa (language contact) serta sosial (social contact) yang cukup tinggi diantara masyarakat tuturnya Afi Fadlilah, Penggunaan Bahasa Jawareh di Pasar Sindang Cirebon
4
karena penjual dan pembeli banyak yang berasal dari luar Kecamatan Lemahabang bahkan dari luar kota Cirebon, seperti Kuningan, Majalengka, Purwakarta. Istilah kontak bahasa menurut Crystal (1980:86) digunakan dalam sosiolinguistik sebagai acuan kepada kontinuitas geografis atau keakraban antarbahasa atau antardialek, akibat yang ditimbulkan oleh kontak bahasa yang bersifat linguistis, yaitu timbulnya kata-kata pinjaman, polapola perubahan fonologis dan gramatikal, serta percampuran bentuk-bentuk bahasa. Sementara itu, pengertian kontak bahasa menurut Rohman (2003:13) diartikan sebagai pengaruh bahasa yang satu kepada bahasa yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurutnya, kontak bahasa dan kedwibahasaan itu berbeda, kontak bahasa cenderung merupakan gejala bahasa, sedangkan kedwibahasaan cenderung kepada gejala tuturan. Hal ini berarti bahwa kedwibahasaan terjadi akibat kontak bahasa. Oleh karena itu, keberagaman bahasa yang terjadi di Pasar Sindang ini dapat dikatakan selain disebut multilingualisme menurut Chaer (2004) dalam bahasa Indonesia disebut juga keanekabahasaan, yakni keadaan digunakannya lebih dari dua bahasa seseorang dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Kemajemukan itu membawa akibat semakin bervariasinya kode-kode yang dimiliki dan dikuasai oleh anggota masyarakat baik penjual maupun pembeli di Pasar Sindang Cirebon. Di antaranya adalah terdapat banyak individu yang memiliki atau menguasai tiga bahasa, yakni BJ, BS dan BI yang masing-masing tuturannya mempunyai pola dan fungsi tertentu serta sangat tergantung pada peserta tutur atau relasi tuturnya. Pembahasan Keunikan bahasa Jawareh di wilayah selatan Kabupaten Cirebon telah menarik pemerhati bahasa untuk menelitinya. Di antaranya adalah Ayatrohaedi dan Abdurrachman yang meneliti Bahasa Sunda Daerah
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
5
Cirebon dan Struktur Bahasa Sunda Dialek Cirebon(1985).Selain itu, Fadlilah meneliti Penggunaan Bahasa Masyarakat Tutur Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon(2005). Dalam penelitiannya, Fadlilah mengelompokkan kode tutur bahasa Jawarehke dalam beberapa bagian, antara lain: kode tutur yang berwujud bahasa, tingkat tutur dan varian ragam. Begitu juga bahasa Jawarehyang digunakan dalam interaksi jual beli di Pasar Sindang, bahasa itu memiliki pola tutur yang bervariasi bergantung pada faktor-faktor sosial yang melatarbelakangi penutur dan relasi tuturnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam peristiwa tutur berikut. Peristiwa tutur 1 Peserta tutur : A (wanita/pembeli usia 30 thn, Jw); B (wanita/penjual, usia 31thn, Jw); C (wanita/penjual usia 31, Sd) Peristiwa : Di kios pakaian Topik : Menawar baju A B
A B
A B
A B A B A
: Kang ireng apa abang sih? “Yang warna hitam atau merah? : Kuen bae ku kang merah ati atasane. Ari bawaane orderku atasane klambi agak nyetrit. “Itu saja tuh yang merah ati atasannya. Kalau kebawahannya order itu atasannya banyu sedikit ketat”. : Kie si pira? Pira jejege? “Ini sih berapa?” : Kuene dua delapan, Ira sih dipadaaken je karo lagi kae “Yang itunya dua delapan, kamu sih disamakan kok dengan yang waktu dulu”. : Nyong during lawas je, lagi mama gering ka wingi ka. “Belum lama kok, waktu Bapak sakit itu kan kemaren”. : Iya, tuju lima lagi sing dingin kaen ka, lupa ingatan masa iya ngeregani “Iya, tujuh lima waktu yang dulu itu, lupa ingatan, mana pungkin kasih mahal”. : Hmmm (mencibir) silit “hmmmm anus” : Tuju lima bari empat pulu “tujuh lima dengan empat puluh” : Ya gagian coba ira ka ya karo sapa “Ya, cepet coba kamu kayak dengan siapa saja” : Sayangku, cantikku, cintaku, manisku prêt boled bau “Sayangku, cantiku, cintaku, masnisku, prêt ubi bau”. : Ya sewelas ku “Ya sebelas tuh”
Afi Fadlilah, Penggunaan Bahasa Jawareh di Pasar Sindang Cirebon
6 B
A B A
C ku” A
: Tuju lima karo patang pulu padaaken karo harga sing dingin ka “Tujuh lima dengan empat puluh disamakan dengan harga waktu dulua”. : Sewelas “Sebelas” : Priben a? “Bagaimana A?” : Sewelas ya konon a…irae ka a…kaya karo sapa mencu bae kaya Dono “Sebelas ya gitu a…kamu itu a….kakak dengan siapa saja manyun terus kayak Dono” : Pada bae Dono karo donat ku “Sama saja Dono dengan donat : Yaw is mene bagen “Ya sudah sini enggak apa-apa”.
Semua partisipan baik penjual maupun pembeli dalam peristiwa tutur di atas berinteraksi tawar menawar menggunakan BJ karena mereka berasal dari etnis Jawa. Peristiwa tutur tersebut terjadi di kios pakaian yang dilakukan oleh A= pembeli, perempuan, usia sekitar 30 tahun; B=penjual, perempuan, usia sekitar 31 tahun; dan C=penjual,perempuan,usia sekitar 31 tahun. Mereka berbicara menggunakan BJ tingkat tutur kasar (rendah) dan terkesan sangat akrab.Selanjutnya, berikut merupakan contoh peristiwa tutur di Pasar Sindang yang partisipannya menggunakan BS. Peristiwa tutur 2 Peserta tutur : A (wanita/pembeli usia 48 thn, Sd); B (pria/penjual usia 45 thn, Sd). Peristiwa : Di toko peralatan dapur Topik : Menawar peralatan dapur A B A B
A B A
: Mang ari ieu tilu saberaha? “Mang, kalau yang ini tiga berapa?” : Ieu? “Ini?” : Bade nu beureum “Mau yang warna merah” : Sarebu nu ieu. Nu ieu tilu rebu. Nu ieu sarebu limaratus “Seribu kalau yang ini. Yang ini tiga ribu. Yang ini seribu lima ratus” : Sami bae. Nu ieu saberaha Mang? “Sama saja. Yang ini berapa, Mang?” : Benten, ageung ongkoh nu eta mah “Berbeda, besar juga kalau yang itu” : Janten pasna saberaha Mang? Sarebu lima ratus nya? Opat sareung tilu tujuh, tujuh sareung dua satengah “Jadi pasnya berapa, Mang? Seribu lima ratus ya?”
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
7 B
A B
A B A B A B A B A B A
B
B A
: Teu acan kenging, aya nu lima belas mah nu itu, nu leuleusna mun keuna panas ku sangu teh ngolotok, kaos umumna bae. Ceuceu nu mana, setenles apa almunium? Nu eta tujuh ribu lima ratus. “Belum dapat, ada yang lima belas yang itu, yang lemes kalau terkena panas karena nasi bisa terkelupas seperti pada umumnya. Emba yang mana, setenles atau almunium? Yang itu tujuh ribu lima ratus” : Tos wae lima rebu. Nu ieu lima rebu, meser hiji. “Sudah saja lima ribu” : Teu acan kenging nu eta mah tujuh rebu we pasna oge. Apa setenles sareung almunium? Almunium nu ageungna kenging geuneup rebu lima ratus. “Belum dapat kalau yang itu tujuh ribu saja pasnya juga. Apa setenles dan almunium? : Ieu pasna saberaha? “Ini pasnya berapa?” : Pasna tujuh “Pasnya tujuh” : lima satengah deuh, lima satengah. “Lima setengah duh, lima setengah” : Teu kenging, tujuh teteh. Geuneup lima sareung dalapan. “Belum dapat, tujuh mbak. Enam lima dan delapan”. : Teu ah “Enggak ah” : Dalapan sareung tujuh jadi lima belas “Delapan dan tujuh jadi lima belas” : Henteu, ieu saberaha beneurna? “Enggak, ini berapa sebenarnya?” : Geuneup lima bae enggeus bati sarebu perak “Enam lima saja sudah untung seribu rupiah” : Kari geuneup rebu bae jejeg “Tinggal enam ribu saja pas” : Bae Teh lima ratus Teh “Biar Mbak lima ratus juga” : Si mamang mah sing beuneurna sabeuraha? Geus geneup rebu “Si mamang yang benar pasnya berapa?” : Sareung dua satengah jadi dalapan, dikurangan sadaya ieu dikurangan sarebu, ieu dikurangan lima rebu. Eta dalapan, dalapan sareung tujuh, jadi lima belas, opat sareung tujuh., “Dan dua setengah jadi delapan, dikurangi semuanya ini dikurangi seribu, yang ini dikurangi lima ribu. Itu delapan, delapan dengan tujuh, jadi lima belas, empat dengan tujuh”. ; Ieu teu kenging kurang? “Ini enggak bisa kurang?” : Dua rebu teu acan kenging, eta ge tilu rebu satengah masih aya nu kenging, opat rebu nawiskeuna mah tilu satengah nyandak, tukang nyangu nyandak ge tilu satengah.
Afi Fadlilah, Penggunaan Bahasa Jawareh di Pasar Sindang Cirebon
8 “Dua ribu belum dapat, itu juha tiga ribu setengah masih ada yang mau, empat ribu menawarkannya sih tiga ribu diambil, tukang masak nasi mengambil tiga setengah”.
Peristiwa tutur di atas terjadi di kios peralatan dapur yang dilakukan oleh partisipan yang berasal dari suku Sunda. A = pembeli, wanita, usia 48 thn tampak berusaha begitu keras menawar harga centong(sendok nasi) dengan menggunakan BS tingkat tutur sedeng (sedang)kepada B. B = penjual, pria, usia 45 thn pun menggunakan BS tingkat tutur sedeng (sedang). Mereka tampak begitu akrab dan komunikatif dalam berinteraksi berbahasa Sunda karena sama-sama berasal dari etnis Sunda. Selanjutnya, berikut ini merupakan data peristiwa tutur yang dilakukan oleh partisipan yang berasal dari suku sunda, namun berinteraksi menggunakan bahasa Indonesia. Peristiwa tutur 3 Peserta tutur : A=R1 (wanita/pembeli usia 20 thn, Sd); B=R2 (pria/penjual usia 30 thn, Sd). Peristiwa : Di kios sepatu anak Topik : Menawar harga sepatu anak A B A A B
B A
: Berapa ini teteh? : Tuju lima teh : Murahlah teh : Ya....illah murah, kalau yang itu berapa? : Sama aja enam lima, enggaklah enggak mahal kalau dibandingkan MB, kalau MB lima lima nawarinnya, kalau model kayak gini kan agak susah, mau? : Enggak boleh setengahnya? Enam puluh teh dapet dua gitu kan setengahnya. : Jangan setengahnya atuh : Kan buat ngesolnya? : Tukang ngesol sih beda lagi : Enam puluh dapet dua yah? Deal da. Delapan puluh dapet dua ya? Belum ngesolnya init uh, nanti teh disol gitu : Ya kalau sol sih urusannya beda lagi, sol sih lain lagi. : Buat beli ininya, apanya…kaos kakinya. Udah enam lima da
B
: Dua ribu lagi ya?
A B A B A
dua.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
9 A B A B A B A
: Enggak, males kesana kemarinya : Kaos kakinya sekalian? : Enggak usah : Mau yang item apa yang putih? : Lima ribu lagi, enggak ih ieu mah ih yang putih kek : Yang putih mah kosong : Ya udah da ini aja, kaos kaki mah gampang.
Partisipan dalam peristiwa tutur di atas berinteraksi menggunakan BI meskipun mereka berasal dari etnis Sunda. Namun, hal ini tidak selalu terjadi dalam bertransaksi karena mungkin saja penjual akan menggunakan bahasa sesuai dengan bahasa yang digunakan oleh pembeli, misalnya apabila pembeli bertanya harga suatu barang kepada penjual menggunakan BJ, maka penjual akan menjawabnya dengan menggunakan BJ meskipun penjual bukan berasal dari suku Jawa. Begitu pun sebaliknya, terdapat pula peristiwa tutur dalam transaksi jual beli pembeli dan penjual menggunakan BI dari awal sampai ahir transaksi meskipun mereka berasal dari suku yang sama, yakni Sunda sebagaimana peristiwa tutur di atas. Selaian itu, bentuk bahasa (linguistic styles) yang digunakan partisipan dalam interaksi jual beli di Pasar Sindang juga terkadang berdasarkan kepada lawan tutur dan relasi antarpartisipannya, sehingga menyebabkan terjadilnya alih kode dan campur kode. Untuk lebih jelasnya kita perhatikan contoh peristiwa tutur berikut. Peristiwa tutur 4 Kegiatan : Membeli ubi Cilembu Peserta : A (wanita usia 30 Thn, Sd); B (pedagang, pria usia 38 Thn,Sd); C (wanita usia 29 Thn, Jw) Tempat : PasarSindang A B C A
: Mang, ieu dua, lima rebueun bae nya? Bang ini dua, lima ribu saja ya? : Moal kenging Eceu, cilembu asli eta mah. Tidak bisa mbak, itu cilembu (ubi) asli : Berapa Ceu? Berapa mbak? : Telungewuan. Mang, meser tilu bungkuseun yeuh.
Afi Fadlilah, Penggunaan Bahasa Jawareh di Pasar Sindang Cirebon
10
B nya. A
Tiga ribuan. Bang, ini beli tiga bungkus saja : Mangga Eceu. Janten salapan rebueun, ngatur nuhun Silahkan mbak. Jadi Sembilan ribu, terimakasih ya. : Saawangsulna Kembali
Di dalam peristiwa tutur di atas partisipan berinteraksi menggunakan tiga bahasa, yaitu BS, BJ dan BI dalam melakukan tawar menawar harga ubi Cilembu di PasarSindang. BS dituturkan oleh A dan B karena sama-sama berasal dari etnis Sunda. BS yang digunakan oleh mereka adalah BS tingkat tutur sedeng (sedang), sedangkan BI dituturkan oleh C karena dia berasal dari etnis Jawa. Namun, pertanyaan C dijawab oleh A menggunakan BJ, seperti kata telung ewuan „tiga ribu-an‟. Selain itu, peristiwa tutur itu juga mengalami gejala alih kode yang dilakukan oleh A, yakni alih kode dari BS ke dalam BJ dan beralih kode lagi ke dalam BS, sebagaimana dalam kalimat Telungewuan. Mang, meser tilu bungkuseun yeuh „Tiga ribuan. Bang, ini beli tiga bungkus saja‟. Hal ini dimaksudkan oleh A untuk menghormati C meskipun tuturan selanjutnya menggunakan BS. Contoh peristiwa tutur yang lain, adalah sebagai berikut. Peristiwa tutur 5 Peserta tutur : A (pembeli/wanita usia 36 thn, Jw); B (penjual/wanita, usia 26 thn, Cina). Peristiwa : Di toko peralatan rumah tangga Topik : Menawar peralatan makan A
B A
: May (nama penjual), jaluk mangkok atau sendok kang rada tebel setengah bae, gawanang mana! May, minta mangkuk atau sendok yang agak tebal setengah saja, bawakan ke sana (rumah)! : Engke Ceu pang nyandakeun ka ditu. Nanti Mbak dibawakan ke sana. : Enya. Burukeun!Ya. Cepatlah!
A = pembeli, wanita, usia 36 Thn dan B = penjual, wanita, usia 26 Thn berbicara menggunakan bahasa yang berbeda, yakni BJ dan BS tetapi DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
11
keduanya cukup komunikatif dan terkesan akrab. A meminta mangkuk dan gelas menggunakam BJ tingkat tutur kasar, kemudian B pun menjawabnya menggunakan BS tingkat tutur kasar. Hal ini karena mereka sudah saling mengenal satu sama lain meskipun kedua-duanya berasal dari suku yang berbeda. Demikianlah beberapa data peristiwa tutur dalam interaksi jual beli yang terjadi di Pasar Sindang Kabupaten Cirebon. Peristiwa tutur tersebut menunjukkan bentuk dan pola kode tutur yang bervariasi bergantung kepada mitra tutur yang dihadapi meskipun terdapat pula campur kode. Dengan demikian, definisi bahasa yang dikemukakan oleh Liliweri (2003: 151) itu cukup relevan. Ia mengatakan bahwa, bahasa merupakan komponen budaya penting yang sangat mempengaruhi penerimaan, perilaku, perasaan, dan kecenderungan kita untuk bertindak menanggapi dunia sekeliling. Dengan kata lain, bahasa mempengaruhi kesadaran, aktivitas, dan gagasan kita, benar atau salah, moral atau tidak bermoral, dan baik atau buruk. Jadi, variasi bahasa dalam interaksi jual beli di PasarSindang sebagimana dicontohkan diatas tergolong ke dalam ragam yang disebut fungsiolek, yakni variasi bahasa berdasarkan pemakaian atau fungsi kemasyarakatannya (Nababan, 1993).
Hal ini karena bahasa yang
dipergunakan oleh komunitasdi pasar tergolong ke dalam bahasa perdagangan karena menyangkut keperluan beberapa barang atau jasa bagi penjual dan pembeli. Konsep ragam bahasa fungsional menurut Dittmar (1976) sama dengan ragam profesional, ialah ragam yang dikaitkan dengan profesi penuturnya, lembaga atau lingkungan kerja, atau kegiatan tertentu lainnya. Kesimpulan Bahasa Jawareh adalah singkatan dari Jawa sawareh „setengah bahasa Jawa‟ setengah bahasa Sunda yang digunakan pada masyarakat tutur Afi Fadlilah, Penggunaan Bahasa Jawareh di Pasar Sindang Cirebon
12
Cirebon Selatan, khususnya di pasar Sindang. Penggunaan bahasa tersebut berdasarkan pilah-pilah sebagai berikut. BS sebagai bahasa pertama, BS digunakan kalau relasi tutur berhadapan dengan mitra tutur orang Sunda, BJ digunakan kalau berhadapan dengan orang Jawa, dan BI sebagai lingua franca bagi semua penutur. Adanya kecenderungan penggunaan kode tutur penjual dan pembeli berdasarkan etnisitas tertentu yang sebagian fakta menunjukkan bahwa meskipun penjual dan pembeli berasal dari etnis yang sama apabila hubungan relasi (kedekatan/keakraban) mereka tidak akrab maka tuturan terkesan biasa-biasa sajadan menggunakan BI.Akan tetapi, karena terjadinya tumpang tindih pada fungsi bahasa-bahasa tersebut maka terjadi alih kode dan campur kode. Daftar Pustaka
Ayatrohaedi dan Abduracham. 1985. Bahasa Sunda di Daerah Cirebon dan Struktur Bahasa Sunda Dialek Cirebon. Balai Pustaka. Jakarta. Crystal, David. 1980. First Dictionary of Linguistics and Phonetics. London: Cambridge University Press. Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie, 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. PT Rineka Cipta. Jakarta. Dardjowidjodjo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Dittmar. 1976. Sociolinguistics. Edward Arnold: London Fadlilah, Afi. 2003. “Penggunaan Bahasa Masyarakat Tutur Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon”. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Lkis. Yogyakarta. Kuswarno, Engkus. 2008. Metode Penelitian Komunikasi: Etnografi Komunikasi Suatu Pengantar dan Contoh Penelitiannya. Widya Padjadjaran. Bandung. Nababan. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
13
Rokhman, Fathur. 2003. Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistikdi Banyumas. Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Setiadi, Hakam,dan Effendi. 2009. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Kencana Prenada Media Group. Bandung.
Afi Fadlilah, Penggunaan Bahasa Jawareh di Pasar Sindang Cirebon
BERBAGAI FAKTOR PENYEBAB PERGESERAN PENGGUNAAN BAHASA SERAWAI Irma Diani Dosen Jurusan Bahasa dan Seni, FKIP, Universitas Bengkulu Abstract This study investigates the factors affecting language shift of BS. The factors considered to be the causes of the shift and maintenance of the use of SL are (1) inheritance between generations, (2) the absolute number of speakers, (3) the proportion of speakers within total population, (4) trends in the existing language domain, (5) the response to new media, (6) educational materials and language literacy, (7) government‟s attitudes and policies on the use of language, (8) the attitude of community members towards their own language. Keywords: factors cause. language shift
Abstrak Penelitian ini mengkaji tentang faktor apa saja yang menjadi penyebab pergeseran dan pemertahanan penggunaan BS. Faktor-faktor yang dianggap menjadi penyebab pergeseran dan pemertahanan penggunaan BS adalah (1)pewarisan antar generasi, (2) jumlah absolut penutur, (3) proporsi penutur dalam populasi total, (4) tren dalam ranah bahasa yang ada, (5) respon terhadap media baru, (6) materi pendidikan dan literasi bahasa, (7) sikap dan kebijakan pemerintah tentang penggunaan bahasa (8) sikap anggota masyarakat terhadap bahasanya sendiri. Kata Kunci: faktor penyebab, pergeseranbahasa
Pendahuluan Masyarakat Serawai adalah salah satu dari suku bangsa Melayu yang tinggal di Kabupaten Seluma. Mereka banyak datang ke Kota Bengkulu seiring dengan lancarnya lalu lintas dari Kabupaten Seluma ke Kota Bengkulu. Awalnya mereka menjual hasil pertanian. Ketika mulai
14
15
mapan,mereka memilih menetap di Kota Bengkulu.Selain berdagang, mereka datang ke Kota Bengkulu untuk pendidikan. Orang Serawai di Kota Bengkulu menyesuaikan diri dengan masyarakat Bengkulu, termasuk dalam bahasa. Akibat kontak bahasa, mereka pelahan-lahan menjadi penutur dua-bahasa atau multibahasa. Mereka berbicara dengan Bahasa Serawai (BS), Bahasa Melayu Bengkulu (BMB), Bahasa Indonesia (BI), dan mungkin bahasa yang lain seperti Bahasa Inggris (B. Ing). Di tengah masyarakat dua-bahasa atau banyak-bahasa, percampuran kode, alih kode atau pergeseran penggunaan bahasasering terjadi melalui kontak bahasa atau dialek (Mardikantoro, 2007:43). Kontak bahasa ini berpotensi menyebabkan pergeseran bahasa (languageshift). Menurut Weinreich(1968: 106), pergeseran bahasa terjadi ketika masyarakat mengganti suatu bahasa ke bahasa lainnya. Jadi, pergeseran bahasa lebih terfokus pada perilaku berbahasamasyarakatnya. Pergeseran penggunaan bahasa terjadi secara aktif karena anggota masyarakat terpisah dari kelompok besarnya, lalu berpindah ke tempat lain. Mereka pindah dari suatu tempat ke tempat lain agar mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih baik. Di tempat baru, mereka menyesuaikan diri dan menggunakan bahasa penduduk setempat hingga akhirnya mereka mulai meninggalkan bahasa pertama/bahasa ibu (Holmes, 1992: 64). Jadi, pergeseran penggunaan bahasa terjadi karena perubahan penggunaan bahasa oleh masyarakat tutur akibat mereka berpindah ke masyarakat tutur lainnya (Mardikantoro: 2007). Di Kota Bengkulu, masyarakat Serawai menggunakan BMB ketika harus berkomunikasi dengan suku yang lain di kota ini untuk mengurangi kesenjangan komunikasi dan perbedaan bahasa serta agar saling memahami Irma Diani, Berbagai Faktor Penyebab Pergeseran Penggunaan Bahasa Serawai
16
maksud ucapan masing-masing.Mereka memilih bahasa yang dipahami bersama agar terbentuk hubungan saling mengerti satu sama lain. BMB menjadi bahasa pengantar dalam pergaulan sehari-sehari. Seiring dengan waktu, masyarakat Serawaimempunyai kemampuan memakai dua bahasa, bahkan menjadi penutur multibahasa. Namun, apabila generasi muda sudah tidak lagi memahami bahasa ibu dan tidak pernah lagi menggunakannya, bukan tidak mungkin lamakelamaan sastra lisan akan hilang ditelan masa. Berkurangnya kemampuan generasi muda dalam memahami makna dan pesan yang terkandung dalam sastra lisan merupakan salah satu tanda dari bergesernya penggunaan bahasa. Mbete (2003) dan Mardikantoro (2007) menjelaskan bahwa bergesernya penggunaan suatu bahasa ditandai dengan semakin hilangnya kebiasaan bercerita kepada anak, tidak berfungsinya lembaga tradisional, dan kelemahan generasi muda dalam memahami makna dan pesan yang terkandung pada naskah-naskah lama serta ungkapan-ungkapan bahasa itu. Berdasarkan latarbelakang masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan berbagai penyebab pergeseran penggunaan BS saat ini. Landasan Teori Menurut
UNESCO
(2003),
terdapat
delapan
faktor
yang
mempengaruhi daya hidup bahasa dalam suatu masyarakat, yaitu: 1.
Pewarisan bahasa antargenerasi Faktor yang paling umum mempengaruhi pergeseran penggunaan
bahasa adalah ada atau tidaknya pewarisan bahasa itu dari generasi ke generasi (Fishman 1991). Pergeseran penggunaan bahasa cenderung terjadi dalam masyarakat jika tidak ada pewarisan bahasa minoritas kepada generasi muda. Ini biasanya terjadi ketika orangtua tidak lagi mengajari anak-anak bahasa minoritas. DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
17
2.
Jumlah Absolut Penutur Pergeseran penggunaan bahasa cenderung terjadi dalam masyarakat
karena jumlah penutur yang saat ini menggunakan suatu bahasa semakin sedikit. Bahasa minoritas yang penuturnya makin menjadi dwibahasawan dalam bahasa dominan cenderung terancam dan para penuturnya mungkin bergeser ke bahasa dominan. Masyarakat tutur yang kecil selalu berisiko mengalami pergeseran penggunaan bahasa. Kelompok bahasa yang kecil sering bergabung dengan kelompok yang berdekatan, sehingga kehilangan bahasa dan budayanya sendiri. 3.
Proporsi Penutur dalam Populasi Total Jumlah penutur dibandingkan populasi total dari suatu kelompok
cenderung mempengaruhi daya hidup suatu bahasa dalam masyarakat. Proporsi penutur yang sedikit dalam suatu masyarakat dengan bahasa yang dominan akan mempermudah terjadinya pergeseran penggunaan bahasa minoritas, apalagi minoritas ini tinggal di wilayah yang heterogen seperti perkotaan. Artinya, faktor demografi dapat mendorong terjadinya pergeseran penggunaan bahasa (Holmes, 1992: 66). 4.
Tren dalam Ranah Bahasa yang Ada Bahasa minoritas yang kurang banyak digunakan dalam ranah bahasa
yang ada cenderung mengalami pergeseran penggunaan. Hal ini dipengaruhi kondisi ketidakberuntungan sosial-ekonomi dari bahasa minoritas, sehingga bahasa itu tidak dapat digunakan pada berbagai ranah dalam interaksi seharihari. Di mana, dengan siapa, dan kisaran topik suatu bahasa minoritas digunakan mempengaruhi apakah bahasa itu diwariskan ke generasi selanjutnya atau tidak. Semakin sedikit suatu bahasa digunakan dalam membangun interaksi sehari-hari dan semakin aktif digunakan di dalam
Irma Diani, Berbagai Faktor Penyebab Pergeseran Penggunaan Bahasa Serawai
18
semua ranah wacana penting untuk berbagai tujuan, semakin besar pula kemungkinan terjadinya pergeseran penggunaan bahasa. 5.
Respons terhadap Ranah dan Media Baru Wilayah baru bagi penggunaan bahasa dapat muncul ketika kondisi
hidup masyarakat berubah. Meskipun beberapa masyarakat bahasa berhasil memperluas bahasa mereka ke dalam ranah yang baru, sebagian besar tidak berhasil. Sekolah, lingkungan kerja baru, media baru, termasuk media penyiaran dan Internet, pada umumnya hanya memperluas lingkup dan kekuasaan dari bahasa dominan dengan korban bahasa minoritas. Penggunaan bahasa dominan dalam ranah baru memiliki kekuatan yang kuat seperti pada televisi. Jika masyarakat tidak mampu memenuhi tantangan modernitas dengan bahasanya, bahasa itu menjadi makin tidak relevan. 6.
Materi Pendidikan dan Literasi Bahasa Pendidikan bahasa sangat penting bagi daya hidup suatu bahasa.
Terdapat masyarakat bahasa yang mempertahankan tradisi lisan yang kuat, dan beberapa masyarakat tidak mau bahasa mereka ditulis. Dalam masyarakat yang lain, bahasa mereka ditulis dan literasi bahasa menjadi sumber kebanggaan masyarakat. Pada umumnya, buku-buku dan materi dalam semua topik diperlukan untuk berbagai tingkatan usia dan kemampuan bahasa. Literasi bahasa masyarakat sangat terkait dengan perkembangan sosial dan ekonomi. Semakin berkembang sektor sosial dan ekonomi masyarakat, semakin tinggi pula literasi bahasa masyarakat tersebut. 7.
Sikap dan Kebijakan Bahasa Pemerintah dan Kelembagaan, Termasuk Status dan Penggunaan Resmi Pemerintahan sebuah negara memiliki kebijakan penggunaan bahasa
yang jelas bagi bahasa-bahasa majemuknya. Di satu sisi, suatu bahasa dapat ditetapkan sebagai satu-satunya bahasa resmi negara, sedangkan semua bahasa lain ditahan. Di sisi lain, semua bahasa dari suatu bangsa bisa DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
19
menerima status resmi yang sama. Dalam masyarakat yang majemuk, pemerintah biasanya memiliki kebijakan bahasa yang jelas, yang menyatakan bahwa bahasa dari kelompok dominan adalah satu-satunya bahasa nasional resmi, sedangkan bahasa kelompok minoritas tidak diakui atau tidak didukung, atau hanya diperbolehkan digunakan dalam ranah pribadi. Namun, status hukum yang sama bagi bahasa dalam suatu bangsa tidak menjamin pemertahanan bahasa dan daya hidup bahasa dalam jangka waktu lama. Pemerintah dan berbagai lembaga memiliki kebijakan yang tersurat dan/atau sikap yang tersirat terhadap bahasa dominan dan minoritas. Dalam pendidikan, misalnya, anak-anak di sekolah diajari menggunakanbahasa resmi agar mereka mampu menyerap pelajaran dan membaca buku-buku pelajaran yang ditulis dalam bahasa resmi dengan cepat. Di Indonesia, bahasa
Indonesia
diajarkan
mulai
dari
TK,ataubahkan
playgroup
(Poedjosoedarmo: 2008). Semakin banyak anak-anak harus menggunakan bahasa resmi atau bahasa dominan, semakin mungkin pula terjadi pergeseran penggunaan bahasa minoritas. 8.
Sikap Anggota Masyarakat terhadap Bahasanya Sendiri Anggota masyarakat tutur biasanya tidak netral terhadap bahasanya
sendiri. Mereka melihat bahasa tersebut penting bagi masyarakat dan identitas mereka dan mempromosikannya. Namun, mereka juga bisa menggunakan bahasa itu tanpa memperomosikannya; malu terhadapnya dan tidak mempromosikannya; atau melihatnya sebagai gangguan dan aktif menghindari menggunakannya. Ketika sikap anggota masyarakat atas bahasanya sangat positif, bahasa itu dilihat sebagai simbol utama identitas kelompok. Jika anggota masyarakat melihat bahasanya sebagai penghalang mobilitas ekonomi serta integrasi ke dalam masyarakat yang dominan, Irma Diani, Berbagai Faktor Penyebab Pergeseran Penggunaan Bahasa Serawai
20
mereka mengembangkan sikap negatif terhadap bahasanya. Jadi, sikap bahasa negatif mempengaruhi pergeseran penggunaan bahasa suatu masyarakat. Metode Penelitian Metode penelitian bahasa umumnya adalah metode deskriptif. Metode ini bertujuan membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti (Sudaryanto 1986:62-63). Penggunaan metode deskriptif pada penelitian ini diharapkan dapat membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis mengenai pergeseran BS pada berbagai ranah dan penyebab terjadinya pergeseran bahasa. Penelitian ini dilakukan berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penutur, sehingga yang dihasilkan adalah perian bahasa seperti potret atau paparan seperti apa adanya. Penggunaan metode deskriptif dalam penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan potret pergeseran BSsecara apa adanya. Penelitian deskripstif ini dilakukan diKota Bengkulu. Kota ini merupakan ibukota provinsi sekaligus tempat tujuan urbanisasi yang paling banyak didatangi oleh masyarakat Serawai. Kajian tentang pergeseran penggunaan bahasa ini dikaitkan dengan penggunaan BS di Kabupaten Seluma sebagai wilayah tutur BS. Di wilayah ini, BS masih digunakan oleh masyarakat dalam komunikasi sehari-hari. Mayoritas penduduk Kabupaten Seluma berasal dari etnis Serawai. Kabupaten ini berdekatan dengan Kota Bengkulu, sehingga masyarakat Serawai yang berpindah ke Kota Bengkulu sebagian besar berasal dari Kabupaten Seluma. Data penelitian ini dikumpulkan dengan metode wawancara atau metode cakap. Wawancara harus dilakukandengan mengadakan kontak langsung secara lisan dengan sumber data (Nawawi, 1991:95).Wawancara dalam penelitian ini bersifat bebas dan santai, sehingga memberikan DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
21
keleluasaan dan kesempatan kepada informan untuk menjelaskan tentang data kebahasaan yang membutuhkan penjelasan lebih mendalam. PenyebabPergeseran dan PemertahananPenggunaanBahasaSerawai Pergeseran penggunaan BS pada berbagai ranah di Kabupaten Seluma dan Kota Bengkulu terjadi beberapa faktor yang mempengaruhi. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pergeseran BS ke BMB/BI secara umum terjadi karena tidak adanya pewarisan BS dari generasi tua (nenek/ibu) ke generasi muda (anak-cucu); jumlah penutur yang terbatas; proporsi penutur yang sedikit; meningkatnya tren dalam ranah bahasa yang ada; respons terhadap ranah dan media baru; materi pendidikan dan literasi bahasa; sikap dan kebijakan pemerintah terkait status dan penggunaan bahasa; dan sikap anggota masyarakat terhadap bahasanya sendiri. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pergeseran penggunaan BS di wilayah Kabupaten Seluma cenderung berbeda dari pergeseran penggunaan BS di wilayah Kota Bengkulu. Perbedaan ini terjadi karena Kabupaten Seluma adalah wilayah asli masyarakat tutur BS di mana penutur dan lawan tutur umumnya sama-sama memahami BS, sedangkan Kota Bengkulu adalah tempat migrasi bagi masyarakat Serawai yang ingin meningkatkan kesejahteraan ekonominya, atau melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi di mana penutur dan/atau lawan tutur kurang memahami BS. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut:
Irma Diani, Berbagai Faktor Penyebab Pergeseran Penggunaan Bahasa Serawai
22
Penggunaan BS Kabupaten Seluma
Migrasi (Pemicu) Dagang/ Pendidikan
Jumlah Penutur Banyak (Perdesaan)
Jumlah Penutur Sedikit (Perkotaan)
Proporsi Penutur Besar Lingkungan tempat tinggal
Orangtua mewariskan BS ke anak-cucu
Masyarakat lebih memilih BS Loyalitas bahasa kuat
Penggunaan BS Tidak Bergeser Ranah keluarga, ketetanggaan, adat
Proporsi Penutur Kecil Lingkungan tempat tinggal
Pemerintah mewajibkan BI sebagai bahasa resemi
Materi Pendidikan & Literasi Bahasa
Penggunaan BS Kota Bengkulu
Lawan tutur sesama BS sangat terbatas
Orangtua tidak mewariskan BS ke anak cucu
Tren dalam Ranah Bahasa Masyarakat lebih memilih BMB/BI Loyalitas bahasa lemah
Respons pada Ranah dan Media Baru Alih Kode Kontekstual
Respons pada Ranah dan Media Baru Campur Kode
Pemertahanan BS Kelembagaan, kelompok, individu Masih kuat
Pemertahanan BS Kelembagaan, kelompok, individu Sangat lemah
Penggunaan bergeser
Penggunaan bergeser
(Alih Kode BS ke BMB/BI) Ranah kontekstual acara keagamaan, berita
(Campur Kode Penggantian BS dengan BMB/BI) Ranah keluarga, ketetanggaan, adat, agama, berita
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
23
Bagan Temuan Konseptual Faktor-Faktor Penyebab Pergeseran dan Pemertahanan Penggunaan BS di Kabupaten Seluma dan Kota Bengkulu Temuan konseptual penelitian pada bagan tersebut menunjukkan bahwa pergeseran penggunaan BS, khususnya di Kota Bengkulu, dilatarbelakangi oleh migrasi sebagian masyarakat di Kabupaten Seluma ke ibukota Provinsi Bengkulu tersebut. Pergeseran penggunaan BS tersebut bermula dari kontak bahasa dan migrasi. Pada awalnya masyarakat Serawai bermigrasi
ke
Kota
Bengkulu
untuk
menjual
hasil
pertanian
(berdagang)dan/ataumelanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Setelah mereka tinggal di Kota Bengkulu, terjadi kontak bahasa dengan masyarakat etnis lain di Kota Bengkulu, bahkan terjadi pernikahan antar etnis. Populasi penduduk Kota Bengkulu yang heterogen atau terdiri dari berbagai suku mendorong masyarakat Serawai harus beradaptasi agar keberadaan mereka dapat diterima dengan baik. Pengaruh bahasa lain yang lebih dominan membuat penggunaan BS pada akhirnya bergeser ke BMB/BI. BS yang jarang digunakan menyebabkan terjadi penyusutan beberapa kosakata. Di Kabupaten Seluma, pergeseran penggunaan BS umumnya tidak banyak terjadi karena jumlah penutur masih sangat banyak, terutama di daerah perdesaan. Di tengah masyarakat tutur aslinya, penggunaan BS tidak begitu banyak bergeser ke BMB/BI karena proporsi penutur dibandingkan populasi total di lingkungan tempat tinggalnya masih besar, orangtua cenderung mewariskan BS ke anak-cucu, dan masyarakat lebih banyak memilih BS daripada BMB/BI. Dalam konteks itu, sikap dan kebijakan pemerintah yang mewajibkan BI sebagai bahasa resmi, materi pendidikan yang umumnya berbahasa Indonesia, tren dalam ranah bahasa maupun respons terhadap ranah dan media baru masih kurang menyebabkan Irma Diani, Berbagai Faktor Penyebab Pergeseran Penggunaan Bahasa Serawai
24
pergeseran penggunaan BS dalam kehidupan sehari-hari. Memang selama ini sudah terjadi pula pergeseran penggunaan BS di Kabupaten Seluma, terutama pada ranah adat, pekerjaan, dan berita media lokal. Namun, berbagai upaya telah dilakukan dalam pemertahanan BS, khususnya pada level kelompok dan individu di tengan-tengah kehidupan masyarakat, sehingga implikasinya penggunaan BS kurang mengalami pergeseran, dan jika memang sudah bergeser, gejalanya baru sampai taraf alih-kode ke BMB/BI secara kontekstual, dan belum banyak ke tingkat campur kode dengan BMB/BI. Hal ini terjadi karena umumnya penutur dan lawan tutur masih sama-sama memahami BS, atau setidaknya penutur masih memahami BS walau lawan tutur kurang memahami BS. Sementara itu, di Kota Bengkulu, penggunaan BS cenderung mengalami pergeseran setelah masyarakat Serawai bermigrasi ke kota tersebut. Di wilayah migrasi, jumlah penutur BS sedikit, khususnya di wilayah perkotaan dan proporsi penutur BS dalam lingkungan tempat tinggal cenderung sangat kecil. Akibatnya lawan tutur sesama Serawai yang menggunakan BS sangat terbatas dan menyebabkan komunikasi pada berbagai ranah tidak setara. Generasi tua memang masih menggunakan BS karena penutur dan lawan tutur sama-sama memahami BS, khususnya antara nenek dengan anaknya, atau suami dan istrinya sesama suku Serawai. Namun, generasi muda (anak-cucu) cenderung sudah sulit menggunakan BS karena memang orangtua cenderung tidak mewariskan BS kepada mereka. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa selama ini pewarisan bahasa antargenerasi di tengah masyarakat Serawai di Kota Bengkulu mengalami kendala akibat adanya pernikahan beda suku. Pernikahan beda suku di sini maksudnya adalah pernikahan orang dari suku Serawai dengan orang dari suku yang lain. Di Kabupaten Seluma, apabila kedua orang tuanya berasal dari suku Serawai, bahasa yang digunakan pada ranah keluarga tetap DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
25
BS. Namun, dalam pernikahan beda suku, baik ibu bersuku Serawai dan bapak di luar suku Serawai seperti Jawa, Padang, Palembang atau sebaliknya bapak bersuku Serawai dan ibu bersuku di luar Serawai, dalam komunikasi anak dengan generasi tua (nenek dan ibu) terjadi alih-kode. Sementara itu, di Kota Bengkulu pada pernikahan sesama Serawai dan berpendidikan rendah serta usia tua, BS tetap bertahan. Namun, pada generasi muda, baik kedua orangtuanya dari suku Serawai maupun beda suku, bahasa yang mereka gunakan bergeser alih-kode maupun campur-kode ke BMB/BI. Selanjutnya, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak suku Serawai yang lahir dari pernikahan sesama atau beda suku yang tinggal di Kota Bengkulu cenderung menjadi dwibahasawan, namun kurang sempurna, sehingga mereka cenderung mengalami alih-kode dari BS ke BMB/BI atau campur-kode dengan BMB/BI. Tendensi ini banyak diperkuat oleh adanya sikap dan kebijakan pemerintah yang mewajibkan penggunaan BI sebagai bahasa resmi, khususnya di bidang pendidikan sehingga materi pendidikan dan literasi bahasa cenderung akan bermuatan BI. Dalam konteks tersebut, tren dalam ranah bahasa yang berorientasi pada ranah ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknologi lebih banyak dan kuat terjadi di wilayah perkotaan Kota Bengkulu. Implikasinya, respons generasi muda terhadap ranah dan media baru cenderung mengarah pada pergeseran penggunaan BS melalui campur-kode dengan BMB/BI. Pergeseran penggunaan BS ini juga disebabkan lemahnya loyalitas dari masyarakat Serawai di Kota Bengkulu yang lebih memilih BMB daripada BS mengingat sangat terbatasnya lawan tutur yang sama-sama memahami BS. Di tengah lemahnya pemertahanan BS, baik secara kelembagaan, kelompok maupun individu, pergeseran BS cenderung terjadi, bukan hanya alih-kode ke BMB/BI di kalangan generasi tua (nenek/ibu), melainkan juga campur-kode Irma Diani, Berbagai Faktor Penyebab Pergeseran Penggunaan Bahasa Serawai
26
di kalangan generasi muda (anak-cucu). Pergeseran penggunaan BS melalui alih-kode ke BMB/BI umumnya terjadi karena lawan tutur tidak memahami BS, sedangkan pergeseran penggunaan BS yang diawali dengan campurkode BS dengan BMB/BI pada umumnya terjadi karena penutur keturunan suku Serawai sudah tidak lagi memahami BS. Banyak alasan mengapa generasi muda Serawai di Kota Bengkulu tidak memilih BS sebagai bahasa pergaulan di lingkungan tempat tinggalnya. Selain jumlah penutur BS sangat sedikit, bahasa yang pada umumnya digunakan dalam komunikasi sehari-hari adalah BMB. Di mata mereka, BMB juga dipandang lebih mudah dipahami daripada BS karena BMB cenderung mirip dengan BI. Akibat sangat lemahnya loyalitas masyarakat Serawai pada BS di Kota Bengkulu, tidak adanya pewarisan BS kepada generasi muda pada ranah keluarga menyebabkan semakin hilangnya BS dari penggunaan di berbagai ranah yang lain, baik ranah ketetanggaan, keagamaan, adat, pekerjaan maupun berita media lokal. Dampak paling mendasar dari sedikitnya pewarisan bahasa antargenerasi dan berkurangnya ranah penggunaan BS tersebut adalah hilangnya atau susutnya jumlah suku kata dan frasa BS yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Temuan penelitian ini sesuai dengan pendapat Poedjosoedarmo (2003: 195) bahwa bila suatu bahasa jarang digunakan oleh penuturnya, maka perlahan-lahan bahasa itu akan semakin menyusut dari segi kosakata maupun frasanya. Apabila dikaji secara lebih mendalam, kosakata BS yang belum bergeser pada umumnya sudah jarang digunakan. Kalaupun ada yang masih menggunakan, kosakata itu digunakan oleh masyarakat Serawai generasi tua, sementara generasi muda Serawai cenderung menggunakan kosakata baru yang kebanyakan BMB/BI. Arah pergeseran penggunaan BS cenderung ke BMB dan BI karena komposisi masyarakat Serawai di Kota Bengkulu dapat dikatakan kecil di tengah komposisi penduduk kota yang beragam. DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
27
Komposisi penduduk Kota Bengkulu yang beragam ini memungkinkan munculnya suatu bahasa baru sebagai alat komunikasi dan alat penghubung berbagai suku yang ada, dalam hal ini BMB/BI. Temuan penelitian ini sesuai dengan temuan penelitian di Pontianak oleh Novianti (2011: 7) bahwa banyak pendatang yang tinggal di Kota Pontianak pada akhirnya berkomunikasi menggunakan bahasa Melayu Pontianak sebagai bahasa sehari-hari, khususnya di pusat ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan. Artinya, di Kota Bengkulu, fungsi BS telah diambil alih oleh BMB sebagai ragam rendah dari BI sehingga akhirnya fungsi bahasa BMB menjadi penting, yaitu sebagai bahasa pengantar pada situasi kehidupan tidak resmi. Selain itu, ada aspek paling menarik dari temuan penelitian ini sehubungan dengan sikap bahasa masyarakat Serawai dan keturunannya di Kota Bengkulu. Sebagai bagian kecil dari keseluruhan populasi di ibukota Provinsi Bengkulu tersebut, masyarakat Serawai cenderung bersikap adaptif terhadap lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Sikap adaptif masyarakat Serawai terhadap masyarakat sekitarnya di Kota Bengkulu merefleksikan bahwa masyarakat Serawai cenderung mudah menyesuaikan diri dengan BMB/BI dan mudah meninggalkan BS sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Temuan penelitian ini sesuai dengan pendapat dari Poedjosoedarmo (2001: 1) bahwa pergeseran penggunaan bahasaterjadi secara aktif. Apabila suatu kelompok masyarakat terpisah dari komunitas asal, lalu berinteraksi dengan kelompok masyarakat lain, kedua individu atau kedua komunitas yang berlainan bahasa itu akan berusaha mendekat, yang satu akan berusaha berbahasa seperti yang lainnya. Hasrat saling mendekat dan sikap akomodatif ini menyebabkan terjadi inovasi baru pada tataran prosodi dan leksikon. Semakin jauh terpisah dari bahasa induknya, maka semakin bebas pembaharuan yang dihasilkan. Di Kota Bengkulu, mudahnya masyarakat Irma Diani, Berbagai Faktor Penyebab Pergeseran Penggunaan Bahasa Serawai
28
Serawai beradaptasi dengan masyarakat etnis lain di sekitarnya mendasari terjadinya pergeseran penggunaan BS, baik melalui alih-kode ke BMB/BI maupun campur-kode dengan BMB/BI. Dalam konteks yang lebih luas, penelitian ini menemukan bahwa pergeseran penggunaan BS ke BMB/BI juga cenderung terjadi karena adanya tren baru dalam ranah penggunaan bahasa yang ada. Hal ini berkaitan dengan konteks pendidikan dan pergaulan sosial yang diikuti. Anak diajar menggunakan BI sejak dari taman kanak-kanak bahkan playgroup. Hal ini menyebabkan anak menjadi penutur bilingual bahkan kemampuan anak dalam berbahasa Indonesia lebih baik daripada bahasa daerahnya (Poedjosoedarmo, 2003: 203). Semakin banyak anak-anak bergaul dengan dunia pendidikan dan pergaulan sosial yang modern, semakin besar kemungkinan mereka mengalami pergeseran penggunaan BS sesuai dengan tren terbaru dalam ranah bahasa yang ada. Akibatnya wajar jika generasi muda Serawai di Kota Bengkulu lebih banyak menggunakan BMB/BI daripada BS. Selain itu, pergaulan sosial modern melalui media sosial seperti twitter dan facebook juga tidak dapat diabaikan dalam pergeseran penggunaan BS. Hal ini terjadi karena media sosial memegang peranan yang signifikan dalam pergeseran suatu bahasa. Selain media sosial, televisi juga memberi efek serupa. BI saja yang sudah mapan mampu digeser oleh bahasa asing, apalagi bahasa daerah seperti BS. Tren baru dalam ranah bahasa ini ditemukan menyebabkan semakin berkurangnya fungsi BS pada ranah publik. Temuan ini sesuai dengan pandangan Wijana (2010: 89) bahwa bahasa yang besar dan kuat secara sosial, ekonomi, dan politik akan bertahan, serta pandangan Fishman (1991: 59) bahwa masyarakat minoritas yang lemah secara pendidikan dan ekonomi akan tersingkir atau menyesuaikan diri secara bahasa dan budaya setempat. Dalam konteks ini, BMB/BI adalah bahasa DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
29
yang berpengaruh kuat secara sosial, ekonomi politik, dan BS adalah bahasa yang lemah dalam konteks ekonomi dan pendidikan di Kota Bengkulu. Berdasarkan temuan tersebut, sebagaimana dikemukakan (Fishman, 1966), di antara semua faktor tersebut, loyalitas bahasa masyarakat paling menentukan bertahan atau tidaknya penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Sangat lemahnya pewarisan penggunaan BS dari generasi tua ke generasi berikutnya di Kota Bengkulu menjadi penyebab utama pergeseran penggunaan BS ke BMB/BI, selain karena masyarakat Serawai di sana lebih memilih menggunakan BMB/BI daripada BS akibat sangat sedikitnya lawan tutur yang memahami BS. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarsono (1990: 224-234) bahwa pemertahanan bahasa dapat terjadi bila ada pengalihan bahasa dari generasi dewasa kepada generasi anak dan remaja, sehingga kedua generasi ini mampu menggunakan bahasa ibu dengan aktif dan pada akhirnya bahasa ibu tetap terpelihara dan bertahan hingga sekarang. Tidak adanya kesinambungan BS dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya menjadi penyebab utama pergeseran penggunaan BS ke BMB/BI di Kota Bengkulu. Di daerah perdesaan Kabupaten Seluma, BS masih banyak digunakan pada ranah keluarga, ketetanggaan dan berita. Pada ranah adat, agama, dan pekerjaan, bahasa yang digunakan disesuaikan dengan situasi maupun kondisi saat peristiwa tutur terjadi, sehingga terjadi alih-kode BS ke BMB/BI. Sementara itu, di Kota Bengkulu pergeseran penggunaan BS banyak terjadi melalui alih-kode BS ke BMB/BI, bahkan campur-kode dengan BMB/BI, karena peserta tutur lebih memilih menggunakan bahasa yang dapat dipahami bersama, yaitu BMB/BI. Di Kota Bengkulu, di ranah keluarga dan ketetanggaan, penggunaan BS banyak bercampur bahkan digantikan dengan BMB. Beberapa generasi tua masih menggunakan BS, Irma Diani, Berbagai Faktor Penyebab Pergeseran Penggunaan Bahasa Serawai
30
tapi generasi muda sudah meninggalkannya. Jadi, semakin banyak penutur dan lawan tutur memahami BS, semakin kecil pula pergeseran penggunaan BS ke BMB/BI; semakin banyak penutur yang memahami BS bertemu dengan lawan tutur yang tidak memahami BS, semakin besar pula pergeseran penggunaan melalui alih-kode BS ke BMB/BI; dan semakin banyak penutur yang tidak memahami BS ketika bertemu lawan tutur yang memahami BS, maka semakin besar pula pergeseran penggunaan BS melalui campur-kode BS dengan BMB/BI. Pada tingkat akhir dari pergeseran melalui campur-kode BS dengan BMB/BI, BS bukan hanya bergeser, tetapi juga akan digantikan BMB/BI seperti banyak terjadi pada anak-cucu (generasi muda) keturunan Serawai yang tidak menerima pewarisan BS dari orangtua (nenek dan ibu) pada ranah keluarga. Penggunaan BS di Kabupaten Seluma umumnya masih bertahan karena penutur BS masih banyak, proporsi penutur di lingkungan tempat tinggal masih besar, orangtua masih mewariskan BS kepada anak-cucunya, dan masyarakat lebih memilih menggunakan BS daripada BMB/BI. Kalaupun terjadi pergeseran penggunaan BS ke BMB/BI, pergeseran tersebut baru sebatas alih-kode BS ke BMB/BI dan belum banyak terjadi campur-kode BS dengan BMB/BI. Sementara itu, pergeseran penggunaan BS dalam masyarakat Serawai di Kota Bengkulu pada umumnya terjadi akibat kurangnya kontak bahasa menggunakan BS pada ranah keluarga, yang diikuti dengan berkurangnya penggunaan BS pada berbagai ranah lainnya, seperti ranah ketetanggaan, keagamaan, adat, pekerjaan, dan berita media. Memang migrasi menjadi awal dari terjadinya pergeseran penggunaan BS dalam masyarakat Serawai di Kota Bengkulu. Namun, faktor utamanya bukan migrasi itu sendiri, melainkan sangat sedikitnya kontak bahasa menggunakan BS dengan orang-orang di sekitarnya akibat sedikitnya jumlah penutur BS, kecilnya proporsi penutur BS di lingkungan tempat tinggal, DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
31
sangat sedikitnya pewarisan BS oleh orangtua kepada anak-anak, khususnya dalam keluarga hasil pernikahan beda suku, dan masyarakat Serawai sendiri lebih memilih menggunakan BMB/BI daripada BS. Di kalangan generasi muda, pergeseran penggunaan BS melalui alih-kode atau bahkan campurkode ke BMB/BI umumnya terjadi karena anak-anak merasa BS itu sulit, tidak menguntungkan jika digunakan dalam konteks ekonomi, dan sulit diterapkan pada ranah resmi karena banyaknya kosakata baru pada ranah ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang sulit diserap ke dalam BS. Simpulan dan Saran Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa di Kabupaten Seluma, penggunaan BS belum banyak bergeser, khususnya pada ranah keluarga dan ketetanggaan karena masih banyak penutur dan lawan tutur masih samasama memahami BS, baik secara vertikal antara generasi tua (kakek/nenek) dengan generasi muda (anak-cucu) maupun secara horisontal di antara peserta tutur dalam kehidupan lingkungan tempat tinggal. Di daerah perdesaan Kabupaten Seluma, BS masih banyak digunakan pada ranah keluarga, ketetanggaan dan berita. Pada ranah adat, agama, dan pekerjaan, bahasa yang digunakan disesuaikan dengan situasi maupun kondisi saat peristiwa tutur terjadi, sehingga terjadi alih-kode BS ke BMB/BI. Sementara itu, di Kota Bengkulu pergeseran penggunaan BS banyak terjadi melalui alih-kode BS ke BMB/BI, bahkan campur-kode dengan BMB/BI, karena peserta tutur lebih memilih menggunakan bahasa yang dapat dipahami bersama, yaitu BMB/BI. Di Kota Bengkulu, di ranah keluarga dan ketetanggaan, penggunaan BS banyak bercampur bahkan digantikan dengan BMB. Beberapa generasi tua masih menggunakan BS, tapi generasi muda sudah meninggalkannya. Jadi, semakin banyak penutur dan lawan tutur memahami BS, semakin kecil pula pergeseran penggunaan BS ke BMB/BI; Irma Diani, Berbagai Faktor Penyebab Pergeseran Penggunaan Bahasa Serawai
32
semakin banyak penutur yang memahami BS bertemu dengan lawan tutur yang tidak memahami BS, semakin besar pula pergeseran penggunaan melalui alih-kode BS ke BMB/BI; dan semakin banyak penutur yang tidak memahami BS ketika bertemu lawan tutur yang memahami BS, maka semakin besar pula pergeseran penggunaan BS melalui campur-kode BS dengan BMB/BI. Pada tingkat akhir dari pergeseran melalui campur-kode BS dengan BMB/BI, BS bukan hanya bergeser, tetapi juga akan digantikan BMB/BI seperti banyak terjadi dalam anak-cucu (generasi muda) keturunan Serawai yang tidak menerima pewarisan BS dari orangtua (nenek dan ibu) pada ranah keluarga. Penggunaan BS di Kabupaten Seluma umumnya masih bertahan karena penutur BS masih banyak, proporsi penutur di lingkungan tempat tinggal masih besar, orangtua masih mewariskan BS kepada anak-cucunya, dan masyarakat lebih memilih menggunakan BS daripada BMB/BI. Kalaupun terjadi pergeseran penggunaan BS ke BMB/BI, pergeseran tersebut baru sebatas alih-kode BS ke BMB/BI dan belum banyak terjadi campur-kode BS dengan BMB/BI. Sementara itu, pergeseran penggunaan BS dalam masyarakat Serawai di Kota Bengkulu pada umumnya terjadi akibat kurangnya kontak bahasa menggunakan BS pada ranah keluarga, yang diikuti dengan berkurangnya penggunaan BS pada berbagai ranah lainnya, seperti ranah ketetanggaan, keagamaan, adat, pekerjaan, dan berita media. Memang migrasi menjadi awal dari terjadinya pergeseran penggunaan BS dalam masyarakat Serawai di Kota Bengkulu. Namun, faktor utamanya bukan migrasi itu sendiri, melainkan sangat sedikitnya kontak bahasa menggunakan BS dengan orang-orang di sekitarnya akibat sedikitnya jumlah penutur BS, kecilnya proporsi penutur BS di lingkungan tempat tinggal, sangat sedikitnya pewarisan BS oleh orangtua kepada anak-anak, khususnya dalam keluarga hasil pernikahan beda suku, dan masyarakat Serawai sendiri DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
33
lebih memilih menggunakan BMB/BI daripada BS. Di kalangan generasi muda, pergeseran penggunaan BS melalui alih-kode atau bahkan campurkode ke BMB/BI umumnya terjadi karena anak-anak merasa BS itu sulit, tidak menguntungkan jika digunakan dalam konteks ekonomi, dan sulit diterapkan pada ranah resmi karena banyaknya kosakata baru pada ranah ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang sulit diserap ke dalam BS. Dalam konteks itu, beberapa upaya memang dilakukan untuk mempertahankan BS, baik secara kelembagaan, kelompok maupun individu. Namun, upaya-upaya tersebut belum optimal, khususnya di wilayah Kota Bengkulu, sehingga terbukti
terjadi pergeseran penggunaan BS ke BMB/BI di kalangan
masyarakat Serawai di Kota Bengkulu. Pemerintah Daerah Kota Bengkulu hendaknya memperhatikan keragaman bahasa daerah yang hidup dan digunakan dalam interaksi kehidupan sehari-hari masyarakat dan mengeluarkan kebijakan untuk melindungi bahasa daerah sebagai bagian upaya melestarikan budaya daerah pada umumnya, meskipun bahasa itu bukan bahasa setempat. Di antara kebijakan yang direkomendasikan adalah membentuk tim khusus untuk mendokumentasikan BS sebagai bahasa daerah dan menerbitkan berbagai publikasi mengenai BS dan pemertahanan pada berbagai ranah di Kota Bengkulu. Dinas Pendidikan Kota Bengkulu hendaknya mengeluarkan kebijakan agar sekolah-sekolah memberikan pengajaran bahasa daerah sebagai mata pelajaran muatan lokal seperti dilakukan di Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu yang memasukkan pengajaran Bahasa Rejang beserta cara penulisan huruf Kaganga sebagai huruf asli Rejang dan Serawai. Kebijakan tersebut perlu didukung dengan Peraturan Daerah yang mengaturnya. Selain itu Dinas Pendidikan Kota Bengkulu juga perlu Irma Diani, Berbagai Faktor Penyebab Pergeseran Penggunaan Bahasa Serawai
34
mengadakan berbagai kegiatan di sekolah yang mengangkat budaya lokal pada umumnya dan bahasa lokal seperti BS pada khususnya. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang sosial dan budaya daerah hendaknya merumuskan program-program pemertahanan bahasa daerah seperti BS dengan melibatkan para pemangku kepentingan di daerah dan mengadakan berbagai kegiatan yang bersifat memberdayakan masyarakat untuk mengaktifkan penggunaan BS dalam interaksi kehidupan sehari-hari. Masyarakat Serawai di Kota Bengkulu hendaknya semakin aktif dalam membentuk kelompok sosial Serawai dan mengadakan berbagai kegiatan yang mampu mendukung upaya pemertahanan BS sebagai bahasa daerah, baik melalui jalur keluarga maupun kelompok sosial Serawai di lingkungan tempat tinggalnya. Daftar Pustaka Fishman, J.A. dkk. 1966. Language Loyalty in the United States. Paris: Mouton. Fishman, J.A.1991. Reversing Language Shift: Theoretical and Empirical Foundation of Assistance to Threatened Language. British Library Cataloguing in Publication Data. Holmes, J. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman. Hymes, D. 2003. Model of Interaction of Language and Social Life. In C.B. Paulston G.R. Tucker (Eds) Sociolinguistics, Essential Reading. Oxford: Blackwell Publishing. Mardikantoro, H. B. 2007. Pergeseran Bahasa dalam Ranah Keluarga Pada Masyarakat Multibahasa di Wilayah Kabupaten Brebes. Jurnal Humaniora. Vol 19 No 1, 43-51. Marsono. 2008. Fonetik. Yogyakarta: GadjahMada University Press. Mbete, A. M. 2003. Bahasa dan Budaya Lokal Minoritas:Asal Muasal, Ancaman, Kepunahan dan Ancangan Pemberdayaan . Denpasar: Universitas Udayana.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
35
Nawawi, H. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Novianti, E. (2011). Menilik Nasib Bahasa Melayu Pontianak. Proceedings: International Seminar, Language Maintenance and Shift (pp. 70-74). Semarang: Universitas Diponegoro. Poedjosoedarmo, S. 2001. Fungsi Tata Bahasa. Dalam Teori Tatabahasa Universal pada Seminar Regional Kedudukan dan Sumbangan Teori Linguistik Prof. Dr. J.W.M. Verhaar, S.J. Pusdok Verhaar, Pusat Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Indonesia USD bekerjasama dengan Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra USD, Yogyakarta. _______________. 2001. The Behaviour of Language Used in A Bilingual Society: The Case of Javanese and Indonesian in Java. Humanity: Journal of Humanity Studies. Vol 2 No1. _______________. 2003. Dinamika Bahasa dalam Dinamika Budaya Lokal Dalam Wacana Global. Ed. Sumiyati Atmosudiro, dkk. Yogyakarta: Divisi Penerbitan Unit Pengkajian dan Pengembangan FIB UGM. _______________. 2008. Perubahan Bahasa. Makalah disampaikan pada ceramah linguistik diselenggarakan Pusat Kajian Melayu- Jawa. Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sudaryanto. 1986. Metode Linguistik. Bagian Pertama: ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sumarsono. 1990. PemertahananBahasaMelayuLoloan Jakarta: DepartemenPendidikandanKebudayaan.
di
Denpasar.
SumarsonodanPartana, P. 2002.Sosiolinguistik. Yogyakarta: PenerbitSabda. Weinreich, U. 1968. Language in Contact. New York: Mouton & Co N.V. Publisher. Wijana, I D dan M. Rohmadi. 2010. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wijana, I D. 2003. Kebijakan Bahasa dan Dinamika Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia. Dinamika Budaya Lokal Dalam Wacana Global. Yogyakarta: Divisi Penerbitan Unit Pengkajian dan Pengembangan FIB UGM. Irma Diani, Berbagai Faktor Penyebab Pergeseran Penggunaan Bahasa Serawai
PEMBELAJARAN INTERKULTURAL DAN SASTRA REMAJA Syamsu Rijal Mahasiswa S3 Ilmu-ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada
[email protected] / Hp. 082348757527 Wening Udasmoro Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
[email protected]/Hp. 081328102274
Abstract Many of approaches can be used in the process of foreign language learning at school. Reading of literature can be used as one alternative method of foreign languages learning effectively. Language learning process can be done effectively in a way to explain a cultural context, in this case which is represented through literature. Interculturalaspect in literature, for example, is useful to bring a basic understanding in the learning culture that led to raise of intercultural competence among learners. Cultural understanding can help in the process of the foreign languages learning. Adolescent is the age that is effective for a maximum achievement of foreign language learning. To connect the adolescence with their world is one of the most important aspects. Therefore, the presence of young-adult literature as a medium of learning is expected to be one of the factors to drive the raising of intercultural competence and foreign language proficiency in order to address the development of world now. The purpose of this paper is to describe the bridgingof language context and literature as a part of the process of intercultural in the methods of foreign language learning to adolescent. Keywords: intercultural learning, intercultural competence, young-adult literature Abstrak Berbagai macam pendekatan dapat dilakukan dalam proses pembelajaran bahasa asing di sekolah. Pembacaan karya sastra dapat menjadi salah satu alternatif metode pembelajaran bahasa asing yang efektif. Proses pembelajaran bahasa yang efektif tersebut dapat dilakukan dengan cara menjelaskan sebuah konteks budaya, yang dalam hal ini direpresentasikan lewat karya sastra. Aspek interkulturalisme yang terdapat di dalam karya sastra, misalnya berguna untuk memunculkan pemahaman dasar dalam pembelajaran budaya yang berujung pada lahirnya kompetensi interkultural 36
37
di kalangan peserta didik. Pemahaman budaya membantu dalam proses pembelajaran bahasa asing tersebut. Usia remaja adalah usia yang efektif untuk ketercapaian maksimal pembelajaran bahasa asing. Menghubungkan para remaja dengan dunia mereka menjadi salah satu aspek terpenting. Oleh karena itu, kehadiran sastra remaja sebagai media pembelajaran diharapkan menjadi salah satu faktor pendorong lahirnya kompentensi interkultural dan kemahiran berbahasa asing guna menyikapi perkembangan dunia dewasa ini. Tujuan tulisan ini adalah untuk menjelaskan keterhubungan antara konteks bahasa dan sastra sebagai bagian dari proses interkulturalisme dalam metode pembelajaran bahasa asing bagi para remaja. Kata Kunci: pembelajaran interkultural, kompetensi interkultural, sastra remaja. Pendahuluan Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era globalisasi dewasa ini memaksa manusia untuk bergaul dengan manusia dari berbagai latar budaya. Kenyataan ini diperkuat oleh fakta historis bahwa tak satupun kelompok budaya yang mampu hidup terisolasi dari gempuran budaya lain. Dewasa ini dan di masa-masa mendatang akan semakin banyak manusia rela atau tidak rela, baik karena alasan pekerjaan ataupun alasan pribadihidup dalam lingkungan budaya yang asing baginya (in fremden Kulturen). Kondisi semacam ini membutuhkan kesiapan tersendiri. Menguasai bahasa asing atau bahasa tujuan hanya merupakan langkah awal, namun pemahaman budaya dan bahasa asing seharusnya menjadi tujuan dari setiap pembelajaran bahasa dan sastra asing. Hal ini sangat penting, karena dalam komunikasi lintas budaya begitu banyak kesalahpahaman yang terjadi bukan karena penguasaan bahasa semata, melainkan karena persoalan pemahaman budaya bahasa tujuan yang terbatas. Untuk itu setiap pembelajaran bahasa dan sastra terutama bahasa dan sastra asing di Indonesia selayaknya mulai berorientasi pada paradigma yang bergerak dari yang hanya membatasi tujuan pembelajarannya pada penguasaan bahasa tujuan semata menuju ke penguasaan budaya sekaligus. Hal ini menjadi penting, karena dengan paradigma semacam ini diharapkan akan melahirkan kompetensi antarbudaya atau interkulturelle Kompetenz yang akan menjembatani lahirnya komunikasi antarbudaya yang lebih efektif dan toleran.
Syamsu Rijal, Wening Udasmoro, Pembelajaran Interkultural dan Sastra Remaja
38
Dalam pembelajaran bahasa asing baik formal maupun nonformal tidak bisa dipungkiri bahwa peserta didik mayoritas berada dalam usia remaja. Fase remaja sebagai salah satu fase dalam pertumbuhan manusia memiliki ciri dan keunikannya sendiri. Untuk itu dalam mewujudkan proses pembelajaran yang efektif, usia pembelajar tentu merupakan salah satu faktor penting dalam memilih berbagai perangkat pembelajaran termasuk di dalamnya materi pembelajaran. Materi pembelajaran yang menyesuaikan usia peserta didik tentu akan membantu proses pemahaman, karena yang dibahas adalah hal-hal yang menyangkut mereka. Oleh karenanya pemahaman awal atau Vorwissen dari peserta didik akan menjadi sarana penting untuk memahami materi pembelajaran secara lebih optimal. Kehadiran sastra remaja dewasa ini dipandang sebagai salah satu media penting dalam upaya mewujudkan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan interkultural. Hal inilah yang akan menjadi fokus utama dalam tulisan ini. Untuk itu pemahaman tentang konsep dasar pembelajaran interkultural atau interkulturelles Lernen dan sastra remaja merupakan dua variabel penting yang akan dibahas dalam tulisan ini. Interkulturelle Hermeneutik sebagai Dasar Pemahaman Interkulturelle Hermeneutik merupakan pengembangan Hermeneutik dari Hans Georg Gadamer. Menurut Gadamer mengerti atau Verstehen: „zu sagen, dass man anders versteht, wenn man überhaupt versteht.“Cukuplah dikatan orang mengerti, jika dia memahami secara berbeda” (terj. penulis)(Gadamer, 1990:302). Hal ini bermakna bahwa setiap pembaca bisa memahami suatu teks secara berbeda akibat perbedaan Vor-Struktur (struktur awal) atau dalam pandangan Heidegger sebagai Vorurteil (praduga awal). Jadi Verstehen akan sangat tergantung pada latar budaya dan pengetahuan awal pembaca. Kedua kubu -das Eigene (‚budaya sendiri„) dan das Fremde (budaya/teks asing)- secara ideal akan melebur yang dikenal dalam istilah Gadamer sebagai Horizontverschmelzung atau peleburan horizon. Konsep peleburan horizon dari Gadamer dipertanyakan oleh Wierlacher yang melihat bahwa dalam Horizontverschmelzung yang terjadi adalah penguasaan das Fremde seperti dalam perspektif kolonialisme. Wierlacher berpandangan bahwa cara ‚pembacaan„ seperti ini tidak akan melahirkan Verstehen, melainkan yang terjadi adalah sebaliknya yakni pengekangan das Fremde oleh das Eigene. Wierlacher kemudian mendefinisikan konsep „Horizontverschmelzung“ dari Gadamer secara berbeda dengan menggunakan istilah „Vertrautwerden in der Distanz“. Konsep ini sejalan dengan pandangan Plessners: „nicht das sich DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
39
Identifizieren mit dem Anderen (ist), wobei die Distanz zu ihm verschwindet, sondern das Vertrautwerden in der Distanz, die das Andere als das Andere und das Fremde zugleich sehen läßt.“‘Tidak mengidentifikasi yang lain dengan cara menghilangkan perbedaan, melainkan menghadirkan keterikatan dalam perbedaan dengan menempatkan budaya sendiri dan budaya asing dalam posisi yang sama’ (terj. penulis)(Wierlacher, 1990:68). Dalam pandangan Wierlacher, proses pemahaman tidak perlu harus meleburkan das Andere sehingga tidak terlihat lagi identitasnya, melainkan dalam proses pembacaan, das Eigene dan das Fremde berada dalam posisi yang setara. Situasi seperti ini dalam teori Interkulturelle Kommunikation atau komunikasi antarbudaya dikenal dengan istilah kulturelle Überschneidungssituation atau situasi persilangan budaya. Dalam situasi ini das Eigene dan das Fremde secara bersama membentuk kelompok ‚ketiga„ sebagai sesuatu yang baru. Bentukan baru ini merupakan suatu kreatives Milieu atau ruang/dunia kreativitas antarbudaya. Proses pembacaan semacam ini digambarkan oleh Wierlacher seperti permainan orkestra, di mana setiap pemain musik memainkan instrumen berbeda guna melahirkan alunan musik yang senada, tanpa harus menghilangkan ciri dari masing-masing intstrumen musik yang dimainkan. Pembelajaran dan Kompetensi Interkultural Pembelajaran interkultural atau dalam konteks Jerman dikenal dengan istilah interkulturelles Lernen merupakan salah satu bentuk pembelajaran sosial dengan tujuan untuk memupuk kompetensi antarbudaya atau interkulturelle Kompetenz para peserta didik. Secara umum, kompetensi antarbudaya ini meliputi: sikap kritis dan kesadaran tentang stereotip; membangun kesediaan penerimaan budaya lain; menghilangkan etnosentrisme; memahami budaya sendiri dan enkulturasi; dan pemahaman terhadap budaya asing atau Fremdverstehen. Kompetensi interkultural sebagai tujuan dari pembelajaran interkultural dipertegas oleh Röttger (1996: 157) bahwa: interkulturelles Lernen „als einen Prozess, der mit dem Ziel in Gang gesetzt werden soll, interkulturelle Kompetenz(en) zu schaffen.“ „Pembelajaran interkultural merupakan suatu proses yang bertujuan untuk menghasilkan kompetensi interkultural‟ (terj. penulis.)Dengan demikian, proses belajar yang terjadi diarahkan agar peserta didik mampu memperoleh pemahaman spesifik tentang norma-norma dan nilai-nilai serta pola prilaku yang berkenaan, baik dengan budaya sendiri maupun dengan budaya asing. Dengan pemahaman ini peserta didik Syamsu Rijal, Wening Udasmoro, Pembelajaran Interkultural dan Sastra Remaja
40
diharapkan mampu bersikap terbuka, baik terhadap budayanya sendiri maupun terhadap budaya bahasa tujuan sehingga mereka mampu merefleksikan suatu sikap kritis terutama terhadap budayanya sendiri. Dalam proses pembelajaran ini, peserta didik diharapkan mampu memiliki kepekaan dan sikap toleran terhadap segala bentuk perbedaan yang ada. Jadi melalui pertemuan dan pemahaman terhadap budaya asing, peserta didik akan mampu memiliki perspektif baru terhadap budayanya sendiri. Hal inilah yang mendasari mengapa pembelajaran semacam ini dikenal dengan istilah interkultural atau antarbudaya, karena memang yang terjadi adalah proses dialog antar dua kutub yakni budaya asing dan budaya sendiri.Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa pembelajaran Landeskunde yang secara tradisional hanya bertujuan untuk pemahaman budaya tujuan tidak dipahami sebagai pembelajaran interkultural. Pembelajaran bahasa asing memang tidak boleh dilepaskan dari pemahaman budaya bahasa tujuan, karena sesungguhnya tidak ada bahasa yang lepas dari budayanya, seperti yang dikemukakan oleh Bredella dan Christ: „Keine Sprache ist kulturlos zu denken; [...] Fremdsprachenlerner werden von einer anderen Kultur affiziert, werden mit ihr konfrontiert, werden mit ihr umgehen müssen, weil die Sprache selbst sie dazu zwingt.Tidak ada bahasa yang lepas dari budayanya. Pembelajar bahasa asing akan mendapat pengaruh dari budaya bahasa tujuan, mereka akan diperhadapkan dengan budaya lain, mereka harus bergaul dan berdialog dengan budaya lain, karena bahasa memang mengharuskan demikian. (terj. Penulis). (1995: 12). Jadi pembelajar bahasa asing akan bertemu dengan teks-teks dan orangorang dengan bahasa yang asing baginya dan dengan demikian mereka akan mendapatkan pengalaman baru tentang suatu budaya yang mungkin belum pernah mereka kenal sebelumnya. Dalam proses inilah kemudian pengalaman budaya sendiri dan budaya asing berdialog melalui medium bahasa yang pada akhirnya melahirkan pemahaman terhadap budaya lain. Sastra Remaja dan Pencapaian Kompetensi Interkultural Pengertian remaja dapat didefinisikan baik sebagai kelompok usia yang secara sosial merupakan bagian dari populasi suatu kelompok masyarakat tertentu, maupun sebagai salah satu fase pertumbuhan dalam siklus kehidupan manusia. Sistem sosialbudaya suatu kelompok masyarakatlah yang kemudian memberikan batasan-batasan, baik kondisi sosial maupun rentang waktu masa remaja. Namun perubahan biologis dan DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
41
psikologis yang ditandai dengan masa puberitas menurut Bernart (1998:352) merupakan awal masa remaja yang dipahami sebagai masa peralihan dari fase anak-anak ke fase dewasa. Dalam dunia sastra, sastra remaja atau Jugendliteratur (Jerman) atau young adult literature pada umumnya dipahami sebagai karya sastra yang diperuntukkan bagi para remaja yang berusia sekitar 12 sampai 18 tahun. Namun dalam pemahaman ilmu sastra lama, sastra anak (Kinderliteratur) biasanya dipahami juga sebagai sastra remaja. Beberapa penanda utama keberadaan sastra remaja baik dalam bentuk novel atau roman maupun dalam bentuk cerita pendek di antaranya adalah kehadiran tokoh protagonisnya dari kalangan remaja dan tema yang diangkat sesuai dengan tantangan usia dan pengalaman hidup sang tokoh utama. Dari sinilah, maka sastra remaja sering pula disebut sebagai Problemliteratur atau Coming of Age Literature. Secara historis, pengelompokan segmen pembaca remaja pertama kali dilakukan oleh Sarah Trimmer, seorang penulis berkebangsaan Inggris sekitar tahun 1802. Dalam sebuah majalah anak yang dipeloporinya The Guardian of Educatioan, Trimmer (dalam Grenby, 2002: 155) mengelompokkan buku-buku yang dikhususkan untuk anak (Books for Children) dengan batasan usia sampai 14 tahun dan buku-buku untuk remaja (Books for Young Persons) dengan batasan usia antara 14 sampai 21 tahun. Pada abad ke 19 istilah sastra remaja menurut Garland (1998) sesungguhnya masih dalam tataran teoritis semata. Para penerbit juga belum memberikan label tersendiri untuk buku-buku yang memang dikhususkan untuk kalangan remaja dan terlebih lagi kehadiran budaya remaja (Jugendkultur) dalam pengertian modern dewasa ini juga belum dipahami. Meskipun demikian tetap saja sudah muncul berbagai karya sastra yang memang sesuai dan ditujukan untuk kalangan remaja. Di Eropa misalnya, telah muncul karya-karya seperti: Der Schweizerische Robinson di Swiss tahun 1812; Oliver Twist di Inggris tahun 1838; Le Comte de Monte-Cristo di Perancis 1844. Di Amerika Serikat hadir dua karya Mark Twain yakni The Adventures of Tom Sawyer (1876) dan Adventures of Huckleberry Finn (1884). Meskipun keberadaan sastra remaja sudah cukup lama, namun baru sekitar tahun 1950-an dan 1960-an mendapatkan legitimasinya, tertutama setelah terbitnya novel The Outsiders yang ditulis oleh seorang penulis Amerika berusia 19 tahun Susan E. Hilton pada tahun 1967. Di saat Syamsu Rijal, Wening Udasmoro, Pembelajaran Interkultural dan Sastra Remaja
42
bersamaan, para penerbit, toko buku dan perpustakaan menjadikan sastra remaja sebagai segmen pasar yang baru. Pada tahun 1970-an sampai pertengahan tahun 1980-an diyakini sebagai masa golden age sastra remaja. Dalam rentang waktu ini, publikum pembaca sastra remaja telah terbentuk dan telah menemukan daya tariknya sendiri yang mampu terartikulasikan dalam berbagai karya-karya sastra remaja. Dalam nuansa sastra Jerman juga dikenal salah satu genre sastra yang identik dengan sastra remaja yakni Bildungsroman. Bildungsroman atau roman pendidikan yang biasa diartikan dalam bahasa Inggris sebagai novel of education memfokuskan diri pada perkembangan psikologis dan moral tokoh protagonisnya. Dengan demikian perubahan karakter tokoh merupakan hal yang paling penting dalam genre ini. Sastra remaja dengan pola yang demikian kemudian menjadi salah satu sarana penting dalam dunia pendidikan. Dalam konteks pembelajaran bahasa asing, tidak bisa dipungkiri, bahwa teks sastra sejak awal telah menjadi sarana penting dalam proses pembelajaran, karena disadari betul bahwa melalui pembacaan teks sastra (asing), pembelajar mampu menangkap dan memahami seluk-beluk kehidupan budaya lain dan memperoleh banyak informasi berkenaan dengan budaya tersebut. Namun demikian sering muncul pertanyaan tentang posisi sastra sebagai sesuatu yang fiktif dan imaginatif yang tidak menggambarkan refleksi faktual suatu masyarakat. Pertanyaan semacam ini memang akan menjadi filter bagi pembelajaran Landeskunde, numun tidak untuk pembelajaran interkultural. Menurut Nünning (2000:104), melalui teks sastra (asing) justru para pembelajar akan mendapatkan ruang imajinasi yang seluas-luasnya sehingga mereka mampu memaknai dan merasakan sendiri bagaimana kehidupan budaya lain. Dalam pembacaan teks sastra (asing) akan terjadi proses pertukaran perspektif (Perspektivenwechsel) dan pengoordinasian perspektif (Perspektiven-koordination). Kedua hal ini menjadi penting dan harus terus diasah sehingga pembelajar mampu mamahami lebih baik -tidak hanya budaya asing tetapi juga budayanya sendiri. Sejak pertengahan tahun 1990-an, sastra secara umum termasuk sastra remaja semakin mendapat perhatian sebagai materi pembelajaran dalam pengajaran bahasa asing. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan motivasi pembelajar, keterampilan membaca dan memproduksi teks. Bahkan dengan kemajuan media pendidikan, keterampilan mendengarkan dan berbicara dapat dicapai melalui karya sastra dalam bentuk audio maupun audiovisual. Meskipun potensi sastra sedemikian banyak, namun untuk DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
43
mewujudkannya nampaknya masih memiliki beberapa kendala. Di samping penerbitan sastra (khususnya sastra remaja) masih relativ rendah, paradigma sebagian besar pengajar yang masih berorientasi pada karya sastra besar atau Kanon juga merupakan kendala utama. Namun demikian, jika sastra khususnya sastra remaja dengan segala kelebihannya dipahami dengan baik, maka kehadirannya dalam pengajaran bahasa asing tidak bisa dinafikan. Sebagai media dalam pembelajaran interkultural, sastra remaja diyakini mampu memberikan hasil optimal dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran yakni kompetensi interkultural. Hal ini tentu sangat beralasan, karena di samping keunggulan sastra secara umum, khususnya sastra remaja memiliki bahasa dan tema yang sesuai dengan persoalan remaja. Tema-tema tentang persahabatan, petualangan, hubungan dengan orang tua misalnya merupakan tema yang akrab muncul dalam sastra remaja. Tema-tema semacam ini akan memberikan peluang bagi pembelajar -yang notabene remaja- ruang optimal dalam mengidentifikasi budaya lain dan sekaligus mendialogkannya dengan budayanya sendiri. Tema semacam ini secara personal sangat relevan dengan usia mereka. Dengan demikian di satu sisi, para pembelajar memiliki kedekatan pribadi dengan apa yang sedang dihadapinya (baca: karya sastra), namun di sisi lain mereka akan menemukan hal-hal yang terasa asing baginya. Dalam situasi semacam ini pembaca dengan sendirinya akan memunculkan sikap membandingkan apa yang ditemukannya dalam teks dengan kondisi dan situasi yang mereka hadapi sendiri. Dengan pengalaman yang mereka sudah miliki akan melahirkan jembatan dialog guna mengidentifikasi sekaligus menyadari keberadaanya. Proses semacam ini dikemukan oleh Caspari dan Bredella (dalam Nowack: 2011) sebagai proses Identifikation dan Distanznahme yang akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada pembelajar tentang budaya asing yang sedang dibacanya sekaligus terhadap budayanya sendiri. Pembelajar akan memiliki kesiapan dan kemampuan untuk membuka diri dan mampu merasakan dunia lain dari perspektifnya sendiri. Relativitas dari suatu sudut pandang akan semakin mereka sadari. Proses semacam inilah yang menjadi esensi dari pembelajaran interkultural yang melahirkan kompetensi interkultural. Sastra Remaja dalam Aplikasi Untuk menjembatani terjadinya proses dialog dalam pembelajaran interkultural, maka pemilihan teks (dalam arti luas) harus memenuhi dua Syamsu Rijal, Wening Udasmoro, Pembelajaran Interkultural dan Sastra Remaja
44
kriteria penting yakni aspek representatif dan relevansi seperti yang telah dikemukakan oleh Wierlacher: "Die Textwahl im Bereich der Fremdkulturvermittlung ist vielmehr sowohl an der Repräsentativität eines Textes für die zu vermittelnde Kultur auszurichten als auch an der Relevanz eines Textes für den lesenden Lerner als Adressaten.“ (Wierlacher, 1980:152). Pemilihan teks dalam bidang pembelajaran budaya asing seharusnya memenuhi aspek representatif dari budaya tujuan dan juga relevan dengan pembaca sebagai sasaran pembelajaran. (terj. penulis). Aspek representatif yang dimaksud adalah teks yang dipilih betulbetul memuat tema yang mewakili budaya bahasa tujuan atau Zielkultur. Hal ini menjadi penting, karena dalam pembelajaran interkultural tidak semata hanya berorientasi kepada penguasaan bahasa tujuan, tetapi juga budaya bahasa tujuan. Aspek kedua adalah relevansi teks bagi pembaca sebagai sasaaran pembelajaran. Artinya teks yang ditawarkan memuat tema yang relevan bagi pembejalar. Tema yang tidak relevan tidak hanya menyulitkan pemahaman tetapi bisa menimbulkan sikap antipati. Tema-tema yang memiliki kedua aspek ini menurut Wierlacher dapat ditemukan pada teks yang bertema budaya. Istilah tema budaya ini dipinjam oleh Wierlacher dari Morris E. Opler, seorang sosioantroplog asal Amerika yang mengembangkan konsep tema budaya atau Themes of Culture. Dalam pemahaman Opler (1969), tema budaya merupakan tema-tema yang hadir dalam semua budaya dan merupakan suatu sikap mental yang secara dinamis baik secara eksplisit maupun implisit mempengaruhi aktivitas yang terimplementasi dalam bentuk tindakan dan keyakinan baik berupa tingkah laku, larangan-larangan, anjuran-anjuran dan semacamnya. Tema-tema budaya ini menurut Opler muncul secara bersamaan di setiap budaya dan nantinya akan saling melengkapi, bahkan membentuk suatu sistem hubungan antar tema. Lebih lajut Opler menjelaskan bahwa tema merupakan bentukbentuk kompleks dari suatu budaya dalam suatu rentang waktu. Dengan demikian suatu tema merepresentasikan prinsip-prinsip dasar atau tendensi hakiki suatu budaya. Tema bisa teridentifikasi melalui intensitas kemunculannya dalam praktek kehidupan. Tema-tema budaya menurut Opler tidak muncul secara singular, melainkan hadir dalam hubungannya dengan sub-sub tema dan tema-tema berlawanan (Gegenthemen). Dengan demikian pembacaan secara interrelation and balance of themes lanjut Opler menjadi sangat penting, karena hanya dengan penelusuran hubungan DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
45
antartema dan lawan tema akan mampu mengungkap prinsip-prinsip hakiki suatu budaya. Pemahaman tentang konsep tema budaya ini berfungsi untuk mengurai kompleksitas budaya bahasa tujuan dan di sisi lain diharapkan mampu merangsang munculnya pola pemikiran perbandingan budaya, karena tema semacam ini menurut Wiedenmann (2003) memiliki daya transfer atau Anknüpfungspunkt yang kuat. Dari sinilah kemudian Wiedenmann (2003) sangat mendukung penerapan konsep Thematologie, khususnya dalam pembelajaran bahasa dan sastra asing seperti yang telah dikenal di wilayah-wilayah berbahasa Perancis dan Inggris. Pengajaran bahasa dan sastra asing yang menggunakan prinsip pembelajaran interkultural memanfaatkan konsep tema budaya ini secara maksimal. Di samping tema budaya Fremdheit, Toleranz, Essen, Wohnen, ataupun Arbeit, tema budaya remaja atau Jugend merupakan salah satu tema budaya yang sangat dianjurkan dalama proses pembelajaran interkultural seperti yang telah dikembangkan oleh Universität Bayreuth di Jerman. Setelah memahami bagaimana posisi sastra remaja dalam proses pembelajaran interkultural, maka hal selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara penentuan atau pemilihan sastra remaja yang layak menjadi media pembelajaran guna mengoptimalkan tujuan dari pembelajaran interkultural. Menurut Nowack (2011) setidaknya ada tiga kriteria yang patut mendapat perhatian. Pertama, untuk mengantisipasi dinamika dan perkembangan kebutuhan paserta didik, maka aktualitas dari karya yang akan digunakan dalam proses pembelajar harus menjadi perhatian utama. Aktualitas yang dimaksud di sini adalah aspek isi atau tema bacaan yang memang menggambarkan kondisi kekinian para remaja sebagai sasaran pembelajaran. Kedua, guna mengoptimalkan sensibilitas interkultural pembelajar, maka penentuan genre atau Gattungen juga memegang peran penting. Dalam hal ini karya sastra yang bergenre prosa seperti roman dan cerita pendek (Kurzgeschichte) dipandang mampu membangkitkan daya tarik dan menggugah pengalaman pembelajar. Melalui relevansi personal dengan teks terutama dari aspek tema, maka pembelajar akan semakin tertarik untuk memahami isi cerita termasuk di dalamnya budaya asing yang mereka jumpai. Dengan keterbukaan dan kesiapan semacam ini, pembelajar akan mampu melihat budayanya sendiri dengan perspektif budaya lain untuk kemudian membandingkannya dengan perspektifnya sendiri. Dengan cara demikian pembelajar akan mengenal berbagai macam perbedaan-perbedaan Syamsu Rijal, Wening Udasmoro, Pembelajaran Interkultural dan Sastra Remaja
46
dan hal ini akan memberikan mereka cara pandang baru yang akan memperkaya cakrawala berpikir mereka. Dalam proses pembelajaran interkultural patut diperhatikan bahwa tidaklah menjadi masalah, apakah pembelajar baru menyadari dan memahami budaya sendiri setelah terjadinya proses pembacaan (baca: pertemuan dengan budaya asing) atau mereka sebelumnya sudah memiliki pemahaman dengan budayanya sendiri dan proses pembacaan ini hanya berfungsi lebih memperdalam pemahaman mereka terhadap identitas dan budaya sendiri. Karena sesungguhnya pembelajaran interkultural tidak hanya menyasar budaya bahasa tujuan tetapi juga budaya sendiri. Pertemuan dengan budaya lain dengan sendirinya akan memperdalam pemahaman terhadap budaya sendiri. Namun pada kenyataannya, sebagian besar pembelajar tidak atau belum memahami sepenuhnya identitasnya sendiri. Hal ini tentu dimaklumi, mengingat mereka berada dalam fase remaja yang masih terus berusaha mencari dan menemukan identitas (budaya) mereka. Dalam posisi inilah kehadiran sastra remaja yang menawarkan beragam potensi identifikasi akan mempermudah mereka membuka kesadaran guna menemukan identitasnya sendiri (lihat: Nünning, 2000). Kriteria ketiga yang ditawarkan Nowack (2011) untuk pemilihan karya asatra dalam proses pembelajaran interkultural adalah aspek bahasa. Kendala bahasa bisa menimbulkan rasa frustrasi bagi pembelajar dan hal ini akan menutup jalan guna mewujudkan sikap keterbukaan dan toleran yang akan diwujudkan melalui karya sastra. Namun bukan berarti bahwa kriteria bahasa ini membuat kita menghilangkan ciri khas dan daya tarik karya sastra. Karya sastra yang ditawarkan tentu harus disesuaikan dengan level atau tingkat keterampilan berbahasa pembelajar, jadi sebaiknya tidak terlalu sulit bagi pembelajar (Überforderung), namun juga tidak terlalu mudah (Unterforderung). Kriteria bahasa ini termasuk di dalamnya karakter estetik karya sastra. Penggunaan metafora, simbol, analogi, elipsis dan lainnya patut diperhatikan. Penggunaan dialog termasuk monodialog dalam karya sastra misalnya, dianggap mampu mendekatkan pembaca dengan figur/tokoh dan hal ini akan meningkatkan kedekatan emosional antara pembaca dan tokohtokoh dalam cerita, sehingga sikap empati akan lahir dengan sendirinya. Setelah memahami beberapa kriteria dalam penentuan teks sastra remaja yang akan dijadikan materi pembelajaran, maka langka selanjutnya adalah bagaimana mengaplikasikannya dalam proses belajar mengajar. DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
47
Langka pertama sebelum berhadapan langsung dengan pembelajar adalah mempersiapkan rencana pembelajaran meliputi tujuan pembelajaran, durasi waktu, dan bagaimana metode dan teknik pembelajaran yang akan digunakan. Sebagai contoh dalam mata kuliah Literatur atau Sastra yang menfaatkan roman remaja dalam proses belajar mengajar dengan pendekatan interkultural. Setelah proses pemilihan teks sastra remaja dengan memperhatikan aktualitas teks, bahasa dan tema yang diangkat, maka langkah awal dalam kelas adalah melakukan pre-reading-activities. Roman yang dipilih sebagai bahan pembelajaran ditampilkan dan pembelajar diminta untuk mencermati judul dan sampul roman. Hal ini dimaksudkan untuk membangkitkan minat dan rasa ingin tahu mereka. Di samping itu kegiatan ini juga bertujuan untuk mengaktifkan pengetahuan-pengetahuan awal (Vorverständnisse) dan pengalaman-pengalaman mereka. Langkah selanjutnya adalah memberikan informasi ringkas tentang penulis dan sinopsis roman. Hal ini dimaksudkan agar pembelajar memiliki pemahaman awal dan akan mempermudah mereka untuk analisis selanjutnya. Dalam tahap pembacaan (bisa membaca sendiri atau berkelompok dan dilakukan di luar atau di dalam kelas, hal ini sangat tergantung dari pertimbangan pengajar), melalui konstelasi tokoh (Figurenkonstelation) dan perbandingan perspektif (Perspektivenvergleich) antara tokoh-tokoh dan sudut pandang pencerita dan dengan pembaca sendiri, maka kemampuan sensibilitas untuk menumbuhkan empati akan terbentuk dan dengan sendirinya sikap toleransi dapat terbangun. Masalah yang mungkin menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana menilai keberhasilan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan interkultural semacam ini. Bagaimana cara menetapkan penilaian yang akurat untuk menilai sikap-sikap interkultural seperti empati dan toleran. Seperti dipahami bahwa pembelajaran interkultural adalah sebuah pendekatan yang bisa diterapkan dalam berbagai jenis mata pelajaran atau mata kuliah. Dalam pembelajaran Sprachbeherrschung misalnya, maka keterampilan berbahasa dan penguasaan struktur dan kosakata menjadi alat ukur yang akurat dan komptensi interkultural pembelajar akan lahir sejalan dengan pencapaian tujuan pembelajaran. Dengan kata lain, kompetensi interkultural akan membingkai keterampilan dan penguasaan bahasa asing Syamsu Rijal, Wening Udasmoro, Pembelajaran Interkultural dan Sastra Remaja
48
pembelajar. Demikian juga untuk mata kuliah lain, seperti Literatur dan Kulturkunde. Jadi ukuran keberhasilan yang sesungguhnya dari pendekatan ini adalah saat pembelajar mampu menerapkan kompetennsi interkultural yang mereka miliki dalam komunikasi antarbudaya dunia riil. Penutup Pembelajaran interkultural atau interkulturelles Lernen merupakan suatu pendekatan dalam proses pembelajaran yang melibatkan dua budaya berbeda, yakni budaya pembelajar dan budaya bahasa tujuan. Sebagai sebuah pendekatan, titik tolak pemahaman didasarkan pada kesetaraan antara budaya asing (das Fremde) dan budaya sendiri (das Eigene). Tujuan utama yang diharapkan dari proses pembelajaran semacam ini adalah lahirnya komptensi interkultural. Komptensi ini diharapkan dapat menjadi jembatan lahirnya dialog antarbudaya yang pada akhirnya akan melahirkan sikap toleran dan saling menghargai. Dalam pengajaran bahasa asing, konsep ini sudah mulai marak diterapkan khususnya di wilayah Uni-Eropa. Konsep semacam ini tentu sangat sesuai dengan iklim Indonesia yang sangat heterogen dalam berbagai dimensi dan sudah terbiasa dengan perbedaan. Hal ini tentu menjadi modal besar bagi pembelajaran bahasa asing di Indonesia. Di Indonesia, pembelajaran bahasa Jerman sebagai bahasa asing misalnya, sudah banyak mengadopsi konsep-konsep interkultural. Hal ini bisa terlihat dari maraknya buku-buku paket pembelajaran yang digunakan khususnya di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga bahasa yang menggunakan pendekatan interkultural. Khusus di perguruan tinggi yang tidak hanya fokus kepada penguasaan bahasa tujuan atau Sprachbeherrschung, tetapi juga pengetahuan lain seperti Literatur dan Kulturkunde, tentu diharapkan juga mengusung pola pendekatan interkultural sebagai roh dalam pengajarannya. Literatur atau sastra sebagai salah satu mata kuliah baik di jurusan Sastra Jerman maupun di program studi pendidikan bahasa Jerman merupakan mata kuliah yang sangat ideal dalam pencapaian kompetensi interkultural. Melalaui sastra remaja yang telah diseleksi dengan baik dengan memperhatikan aspek aktualitas, bahasa dan tema, diharapkan mampu mengoptimalkan pencapaian komptensi interkultural pembelajar.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
49
Daftar Pustaka Bernart, Yvonne. 1998. “Jugend” dalam Handwörterbuch zur Gesellschaft Deutschland, Bernhard Schäfer dan Wolfgang Zapf (eds.). Leske Budrich: Opladen. 352-361. Bredella, Lothar dan Christ, Herbert. 1995. „Didaktik des Fremdverstehens im Rahmen einer Theorie des Lehrens und Lernens fremder Sprachen“ dalam Dies (ed.): Thema Fremdverstehens. Tübingen: Narr. 8-19. Gadamer, Hans-Georg. 1990. Wahrheit und Methode. Grundzüge einer philosophischen Hermeneutik. Band 1. Tübingen: J.C.B. Mohr. Garland, Sherry. 1998. Writing forYoung Adults. Cincinnati: Writer‟s Digest Book. Grenby, Matthew. 2002. The Guardian of Education. Bristol: Thoemmes Press. Krusche, Dietrich & Wierlacher Alois. 1990. Hermeneutik der Fremde. München: Iudicium. Neuer, Gerd dkk. 1996. „Texte auf dem Prüfstand“ dalam Fremdsprache Deutsch. Heft 2. Hal. 16-19. Nowack, Lara Constanze Lavinia. 2011. Zum Potenzial von Kinder- und Jungendliteratur für Ziele des interkulturellen Lernens. Masterarbeit. Freie Universität Berlin. Fachbereich Philosophie und Geisteswissenschaften. Institut für Romanische Philologie. Didaktik der romanischen Sprachen und Literaturen. Nünning, Ansgar. 2000. „»Intermisunderstanding« Prolegomena zu einer literaturdidaktischen Theorie des Fremdverstehens: Erzählerische Vermittlung, Perspektivenwechsel und Perspektivenübernahme“ dalam Wie ist Fremdverstehen lehr- und lernbar?. Lothar Bredella dkk (eds.). Tübingen: Narr. 84-132. Opler, Morris E. 1969. “Kulturthemen” dalam Wörterbuch der Soziologie, Wilhelm Bernsdorf (ed.). Stuttgart: Ferdinand Enke Verlag. 609611. Röttger, Evelyn. 1996. „Überlegungen zum Begriff des interkulturellen Lernens in der Fremdsprachendidaktik“ dalam Zeitschrift für Fremdsprachen-forschung 7/1996/2. 155-170.
Syamsu Rijal, Wening Udasmoro, Pembelajaran Interkultural dan Sastra Remaja
50
Tuk, Cornelis. 2001. Textsammlung. Dalam: Gerhard Helbig (ed.). Deutsch als Fremdsprache. Ein internationales Handbuch. Berlin. Hal. 10781085. Wiedenmann, Ursula Hudson. 2003. Kulturthematische Literaturwissenschaft. Dalam: Wierlacher, Alois & Bogner, Andrea (ed.). 2003. Handbuch Interkulturelle Germanistik. Stuttgart: J.B. Metzler. (Hal. 448-456). Wierlacher, Alois. 1980. Deutsche Literatur Zur Gegenstad, Textauswahl Literaturwissenschaft des Faches Dalam: Alois Wierlacher. 1980. München: Wilhelm Fink Verlag.
als fremdkulturelle Literatur. und Fragestellung einer Deutsch als Fremdsprache. Fremdsprache Deutsch I.
Wierlacher, Alois & Bogner, Andrea (ed.). 2003. Handbuch Interkulturelle Germanistik. Stuttgart: J.B. Metzler.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
KEMAMPUAN RETORIKA BERBAHASA CALO DALAM MEMBUJUK CALON KORBAN WOMEN TRAFFICKING DI JAWA BARAT Ike Revita Universitas Andalas Padang
[email protected] R. Trioclarise Poltekes Kemenkes RI Jakarta
[email protected] Abstract Women trafficking is a kind of activity in which women are of possibility to be traded. The women trafficking is regarded unhumiliated. Women can be sold and bought, can be used, and can be discarded as they like. This may be categorized as human right violation. This violation is done neatly. Unfortunately, women trafficking activity is quite difficult to be prevented. This is in line with the professionality of the actor in this women trafficking. Even, the actor is the one who is supposed to protect these women. One of them is called pander (calo). Pander is the one who hunts for women to be trafficked. The pander has great rhetorical competence since he must be able to persuade and assure these women, their family, and the society. This writing is about the rhetorical competence of pander in communicating. The aim of this writing is to identify the pander‟s rhetorical competence to assure and persuade women. Thus, the women may follow what the pander says. The research is conducted in West Jawa (Bekasi, Cirebon, dan Indramayu). The data are all utterances categorized as persuasive utterances uttered by calo. The observational method is with note-taking, recording, and interviewing technique is used to collect data. The analysis is done by pragmatic and referential identity method referring to the concept proposed by Austin (1968) and Leech (1986).The result of analysis is decsriptively presented. Having analyzed the data, it is found that there are four rhetorical competenceof calo in persuading and assuring women as the victims of women trafficking to be. They are (1) promising big salary; (2) giving information that women need to work and have their own salary; (3) affirming working as a worship; and (4) forcing; (5) giving conditional debt Keywords: language rhetoric, rhetorical competence, pander, women trafficking Abstrak Women trafficking sering disebut juga dengan perdagangan perempuan. Kegiatan perdagangan perempuan dinilai tidak manusiawi. Perempuan dinilai tidak lebih dari sebuah barang yang bisa diperdagangkan, dipakai, 51
52
dan dibuangketika sudah tidak diperlukan lagi. Perlakuan yang termasuk dalam pelanggaran hak azazi manusia ini terbungkus sedemikian rapinya. Aktifitas women trafficking sulit untuk dihentikan karena dilakukan oleh sekelompok orang yang relatif professional. Bahkan, tidak jarang pelakunya justru orang-orang yang sedianya justru melindungi perempuan ini. Salah satu ujung tombak dari aktifitas women trafficking ini adalah calo. Calo merupakan orang yang mencari calon korban women trafficking. Calo memiliki kemampuan retorika yang bagus sehingga dia berhasil meyakinkan calon korban atau pun keluarganya untuk dijadikan korban. Tulisan ini mendesripsikankemampuan retorika calo dalam membujuk dan mempengaruhi calon korban, keluarga, serta lingkungan sekitar sehingga perempuan ini mau memenuhi keinginanya. Tujuan penulisan adalah untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kemampuan beretorika calo untuk mengajak calon korban bekerja di tempat yang ditawarkannya. Penelitian dilakukan di daerah Jawa Barat (Bekasi, Cirebon, dan Indramayu). Data adalah semua tuturan calo saat meyakinkan calon korban women trafficking. Data dikumpulakan dengan metode observasi, teknik catat, rekam, dan interview. Metode padan pragmatik dan referensial yang dihubungkan pada konsep tindak tutur menurut Austin (1968) dan Leech (1986) dipakai untuk menganalisis data. Hasil analisis dipaparkan secara deskriptif-naratif. Dari hasil analisis ditemukan empatbentuk kemampuan calo dalam meyakinkan calon korban, yakni (1) menjanjikan gaji yang besar; (2) menginformasikan perempuan sebaiknya bekerja; (3) menegaskan bekerja sebagai ibadah; dan (4) mengkondisikan dengan memberi calon korban hutang. Kata kunci: retorika berbahasa, kemampuan retorik, calo , women trafficking
Pendahuluan Berkomunikasi adalah salah satu aktifitas yang rutin dilakukan oleh manusia. Hal ini bertemali dengan posisi manusia sebagai makhluk sosial yang sudah pasti membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Untuk berkomunikasi, manusia menggunakan bahasa. Melalui bahasa inilah segala sesuatu yang ingin disampaikan dan diekspresikan dapat terwujud. Salah satu fungsi utama bahasa menurut Haliday (1973) adalah yang bersifat interpersonal. Dikatakan demikian karena ketika berbahasa dalam interaksinya, manusia melakukannya sedemikian rupa tanpa harus dilatih dan diarahkan. Realitas ini berhubungan dengan konsep competence dan performance yang dikemukakan oleh Chomsky (1965). Dengan kompetensi yang dimiliki, manusia dapat merangkai kata menjadi kalimat yang tidak perlu dihapal atau dilatih. Kemampuan ini akan lahir secara natural dengan
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
53
hanya memiliki pengetahuan tentang langue bahasa yang digunakan (Saussure, 1916). Salah satu orang yang memiliki kemampuan dalam aktualisasinya adalah calo. Calo dalam KUBI (1998) dikatakan sebagai orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah. Artinya, calo akan bekerja sesuai dengan upah yang diberikan. Salah satu pekerjaan yang melibatkan calo adalah mencari orang. Orang ini dicari untuk dicarikan pekerjaan. Misalnya, pekerjaan sebagai asisten rumah tangga atau pengasuh bayi dan orang tua. Kesulitan mencari pekerja untuk pekerjaan ini menyebabkan sebagian orang membayar calo untuk mencarikannya. Melalui trik-trik, salah satunya lewat bahasa, calo kemudian berhasil meyakinkan orang lain untuk menerima pekerjaan tersebut. Jika pekerjaan yang dijanjikan sesuai dengan kenyataan, pekerja ini mungkin akan bekerja dengan nyaman. Yang menjadi persoalan adalah janji yang diberikan hanyalah kamuflase pembungkus modus calo untuk mengeruk uang banyak. Dia menjanjikan seseorang bekerja sebagai asisten rumah tangga dengan kewajiban dan gaji yang sudah disepakati. Kenyataannya berbeda dengan kesepakatan. Ironisnya, pekerjaan pun tidak sesuai dengan yang disebutkan. Janji untuk dipekerjakan sebagai asisten rumah tangga malah dibelokkan menjadi pelayan kafe atau bar. Parahnya lagi, mereka ini tidak jarang dijadikan sebagai pelayan nafsu seksual lakilaki (Revita, 2013). Salah satu kejadian yang terjadi pada seorang remaja berusia 14 tahun. Ketidakmampuan biaya untuk melanjutkan pendidikan menyebabkan dia harus berhenti sekolah. Kemudian kawannya menawarkan untuk bekerja di counter handphone. Iming-iming gaji lumayan membuat gadis ini bersedia menerima tawaran itu. Apalagi yang menawarkan adalah temannya sendiri. Yang terjadi adalah dia dijual kepada seorang mucikari dan terpaksa menjual dirinya untuk melayani laki-laki (Revita, 2015). Fenomena ini adalah salah satu fakta yang terjadi dalam aktifitas perdagangan perempuan. Perdagangan perempuan atau disebut juga dengan women trafficking. Perbuatan perdangan perempuan dikatakan sangat biadab. Dikatakan Revita (2015a) perempuan tidak dianggap sebagai makhluk yang seharusnya dilindungi. Justru kaum perempuan ini diperjualbelikan layaknya sebuah barang. Perempuan ini diperlakukan sedemikian rupa tanpa ada rasa Ike Revita, R. Trioclarise, Kemampuan Retorika Berbahasa Calo dalam Membujuk Calon Korban Women Trafficking di Jawa Barat
54
kasihan. Mereka dianggap seperti budak yang dapat dieksploitasi. Misalnya, mereka dijadikan budak domestik, pekerja seksual komersial, pekerja di sektor pertambangan, pertanian, dan perikanan di daerah pedalaman. Orang yang menjadi ujung tombak dari semua ini adalah calo. Kepiawaian calo ini kemudian menjerumuskan banyak perempuan Indonesia ke dalam jurang „kehancuran‟. Masa depan perempuan Indonesia boleh dikatakan hancur (Revita dan Trioclarise, 2016). Kepiawaian melalui Berangkat dari fenomena di atas, tulisan ini mendeskripsikan kemapuan retorika calo dalam meyakinkan calon korban, yakni perempuan untuk dijadikan korban trarficking. Tujuan penulisan ini adalah untuk memerikan bentuk-bentuk retorika berbehasa yang dibangun calo agar calon korban mau memenuhi ajakn calo tersebut. Wilayah penelitian adalah daerah Jawa Barat yang mencakup Kab. Bekasi, Cirebon, dan Indramayu. Ketiga daerah ini dipilih karena dari catatan Komnas Perempuan (2012) dan Kusumawardhani (2010), Jawa Barat menempati urutan tertinggi di Indonesia sebagai daearah sumber dan tujuan trafficking. Data disediakan melalui metode observasi, teknik catat, rekam, dan interview. Data adalah semua tuturan dari hasil interview dengan calo dan beberapa korban women trafficking. Analisis data menggunakan metode padan referensial dan padan pragmatik yang dikaitkan dengan konsep tindak tutur Ausitn (1969) dan retorika berbahasa menurut Leech (1986). Hasil analisis dipaparkan secara deskriptif-naratif. Tentang Women Trafficking dan Retorika Berbahasa Perdagangan perempuan (women trafficking) merupakan salah satu bisnis yang sangat menguntungkan. Dengan modal yang terbatas, kecuali hanya kesediaan dan keberanian sejumlah orang, bisnis ini dapat dijalankan. Bahkan keuntungannya tidak main-main. Olujuwon (2008) menyebutkan bisnis perdagangan perempuan dan anak perempuan ini adalah bisnis illegal ketiga terbesar di seluruh dunia setelah bisnis senjata dan obat-obat terlarang. Beberapa Negara di dunia sudah dijadikan sumber atau korban dan target women trafficking, termasuk Indonesia (Revita dkk, 2015). Perdagangan manusia sebagaimana yang tertuang dalam Protokol Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Manusia, khususnya pada wanita dan Anak anak (salah satu dari tiga “Protokol Palermo”), didefinisikan sebagai: ”Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk bentuk lain dari pemaksanaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
55
memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan exploitasi. Exploitasi termasuk, paling tidak, exploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk bentuk lain dari exploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik- praktik serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh.” Trafficking tidak hanya berhubungan dengan pemindahan secara fisik tetapi dapat mengacu kepada dua hal, yakni: a. Perdagangan seks dimana tindakan seks komersial diberlakukan secara paksa, dengan cara penipuan, atau kebohongan, atau dimana seseorang diminta secara paksa melakukan suatu tindakan demikian belum mencapai usia 18 tahun; atau b. Merekrut, menampung, mengangkut, menyediakan atau mendapatkan seseorang untuk bekerja atau memberikan pelayanan melalui paksaan, penipuan, atau kekerasan untuk tujuan penghambaan, penjeratan hutang (ijon), atau perbudakan (lihat juga Revita, 2015). Hal ini juga didukung oleh temuan Sinaga (2011) dalam penelitiannya bahwa tindakan yang bersifat merekrut, menampung, menyediakan, atau mendapatkan seseorang untuk maksud-maksud tertentu maka dapat dikategorikan sebagai sebuah perdagangan. Ketika yang dijadikan korban adalah perempuan, maka inilah yang diaksud dengan perdagangan perempuan atau women trafficking. Aktifitas women trafficking ini diawali oleh kegiatan calo yang bergerilya mencari perempuan untuk dijadikan korban. Calon ini masuk dari suatu wialayh ke wilayah lain mencari informasi perempuan-perempuan yang sedang mencari pekerjaan. Tidak jarang, ada daerah yang memang identik dengan kesenangan kaum perempuan untuk bekerja di luar kota atau luar negeri. Bahkan, bagi mereka adalah sebuah kebanggaan jika dapat bekerja di luar negeri. Mereka bahkan tidak kapok meskipun sudah poernah mengalami kejadian tidak nyaman. Untuk konteks yang seperti ini, calo tidak perlu mengeluarkan kemampuan beretorika secara maksimal. Tanpa banyak meminta, calon korban bahkan sudah menawarkan diri untuk diajak bekerja. Retorika menurut Leech (1986) merupakan kemampuan berkomunikasi seseorang dalam interaksi. Pendapat ini ditegaskan oleh Verhaar (2001) bahwa kemampuan retorika ini artinya berkomunikasi secara efektif untuk tujuan tertentu. Ike Revita, R. Trioclarise, Kemampuan Retorika Berbahasa Calo dalam Membujuk Calon Korban Women Trafficking di Jawa Barat
56
Efektifitas ini menjadi kunci retorika ini. Ketika sebuah komunikasi berjalan secara efektif, keinginan penutur dengan mudah dapat terwujud. Inilah oleh Austin (1968) dan muridnya Searle (1975) yang menyebutkan ketika lokusi yang dipilih untuk maksud ilokusi tertentu sudah dilakukan dengan tepat, maka efek perlokusinya bisa berjalan dengan baik. Kemampuan beretorika ini didasari oleh adanya pemahaman akan konteks. Saat calo memahami kondisi calon korban, dia akan menciptkan sebuah retorika sehingga korban jatuh dalam persuasinya. Misalnya, calon korban yang membutuhkan uang akan dipinjaminya uang. Untuk anak yang sangat patuh dan sayang pada orang tuanya akan diciptakan retorika bekerja sebagai sebuah pengabdian atau ibadah. Diskusi Beretorika merupakan kemampuan menggunakan bahasa untuk mengkomunikaikan sesuatu. Dalam retorika berbahasa ada daya yang berujung pada berbuatnya mitra tutur sesuai dengan retorika yang dibangun. Calo sebagai ujung tombak aktifitas women traffickingmemiliki kemampuan beretorika yang mumpuni. Jika tidak. Label calo tidak akan mungkin melekat dalam diri mereka. Ada beberapa bentuk retorika yang dibangun calo dalam meyakinkan calon korban saat berkomunikasi, yakni (1) menjanjikan gaji yang besar; (2) menginformasikan perempuan sebaiknya bekerja; (3) menegaskan bekerja sebagai ibadah; dan (4) mengkondisikan dengan memberi calon korban hutang. a. Menjanjikan Gaji yang Besar Janji untuk diberi gaji besar merupakan salah satu bentuk retorika yang paling sering digunakan calo sebagai modus untuk meyakinkan calon korban. Tidak jarang janji ini dibuktikan dengan memperlihatkan contoh orang-orang sekitar calon korban yang dianggap sudah berhasil karena bekerja di rantau. Contohnya seperti yang terlihat pada data 1 di bawah ini. (1) Kalau kamu mau bekerja di sana, kamu akan diberi gaji besar. Kamu juga nanti dikontrakkan rumah. Pokoknya kamu bakalan senang. Semua barang yang kamu inginkan bakalan dapat kamu beli. Yakin deh! Data (1) di atas dituturkan oleh seorang calo kepada gadis berusia sekitar 16 tahun. Dalam usianya yang masih belia, gadis ini punya mim[I untuk menjadi orang kaya. Baginya salah satu wujud kekayaan itu adalah kemampuan memiliki barang-barang terkini, seperti ,gadget, pakaian bagus, dan barang-barang branded. Saat sedang makan-makan dengan temantemannya di sebuah kafe, dia didatangi perempuan muda yang terlihat eksklusif. Gadis ini diajak diajak bercerita bahkan ditraktir makan dan berbelanja. Awalnya si gadis dengan dua temannya terlihat ragu. Daya pikat DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
57
dan pesona perempuan ini lewat bahasa-bahasanya akhirnya berhasil membuat si calon menjadi korban hingga akhirnya dia bekerja di dunia prostitusi. Tawaran bergaji besar serta tempat tinggal yang sudah disediakan membuat gadis ini tergiur. Dalam bayangannya adalah dia akan berhasil memenuhi semua impiannya. Kesadarannya terbuka ketika dia sudah berada di lokasi tempat bekerja. Dia bukan bekerja di tempat yang „normal, tetapi melayani tamu asing. Tinggal di rumah yang jauh lebih bagus dan mewah dibandingkan dengan tempat tinggalnya di kampung tidak membuat hantinya nyaman. „Menjual diri‟ bukanlah jenis pekerjaan yang dibayangkannya.Apa mau dikata karena dia sudah jatuh dalam sebuah dunia yang sudah menjeratnya dan sulit untuk lepas. b. Menginformasikan Perempuan Sebaiknya Bekerja Memberi informasi bahwa perempuan itu sudah seharusnya bekerja supaya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri adalah bentuk retorika lain yang dipaparkan calo dalam meyakinkan calon korbannya. Informasi ini dipertegas dengan memberi contoh-coth dan fakta yang mempertegas betapa seorang perempuan wajib untuk bekerja. Contohnya seperti yang disampaikan dalam tuturan berikut. (2)
Aku dulu juga kayak kamu. Hidup susah. Tapi sekarang dah senang. Aku ndak perlu pusing-pusing memikirkan uang karena dari apa yang aku dapat aja aku dah mewah. Kamu liat kan. Aku bisa beli handphone, bisa beli baju bagus. Bahkan aku bisa ngirimin uang untuk bangun rumah di kampung. Jadi perempuan harus kerja lho. Ndak nunggu uang dari orang tua aja. Apalagi kalau dari suami nanti. Tuturan pada data 2 disampaikan oleh seorang calo kepada calon korban yang berusia sekitar 23 tahun. Saat itu korban memang sedang mencari pekerjaan. Karena orang tuanya belum mengizinkan, dia masih berupaya mencari pekerjaan di sekitar daerah tempat tinggalnya di Bekasi. Saat itulah si calo mencoba mengajaknya bekerja di daerah Surabaya. Gadis ini awalnya menolak. Si calo ini kemudian menjelaskan bahwa di Surabaya lebih banyak lapangan kerja. Selain itu, si calo Kemudian dia menemui calo yang sudah terlebih dulu bekerja di Jakarta. Calo ini berasal dari daerah yang sama dengannya. Si calo mencoba meyakinkan calon korban dengan Ike Revita, R. Trioclarise, Kemampuan Retorika Berbahasa Calo dalam Membujuk Calon Korban Women Trafficking di Jawa Barat
58
menceritakan dan memberitahu keberhasilannya selama bekerja di Jakarta. Informasi yang disampikan adalah tentang gaji yang besar, kehidupan yang mewah, kemampuan membeli kebutuhan pakaian dan mengirimkan uang ke kampung. Semua informasi ini merupakan variabel-variabel yang dibutuhkan oleh calon korban. Dengan kata lain, kecukupan materi adalah impian hampir semua perempuan, apalagi orang yang memang membutuhkan pekerjaan. c. Menegaskan Bekerja Sebagai Ibadah Bahwa bekerja merupakan bentuk penagdian kepada orang tua dan merupakan bagian dari ibadah adalah retorika lain yang dibangun seorang calo untuk mempengaruhi calon korbannya. Terlebih jika calon korban itu adalah seorang anak yang terlihat sangat menyayangi orang tuanya, seperti dalam contoh tuturan (3(-(4) di bawah ini. (3) Meskipun kamu pergi kerja ke luar sana, kan orang tuamu masih ada yang jaga. Apalagi tinggal di kampung sendiri. Kamu katanya ingin membahagiakan orang tuamu. Makanya kerja. Kan kerja itu ibadah juga. Kamu bisa kirim uang ke mereka, mereka juga ndak perlu susah payah kerja kayak sekarang. (4) Bapak mau anaknya senang kan? Makanya biarin aja dia kerja ikut saya. Kerjanya juga ndak berat. Bapak akan bangga jika anak bapak punya uang banyak. Pulang kampung bawa uang. Bagi-bagi tetangga. Pasti bapak bangga. Lagian, orang kampung juga senang dibagi rezki gitu. Dapat pahala juga kan. Nanti orang kampung kan bilang, wah hebat ya anak Pak Tarno, dah jadi orang kaya di Jakarta. Kedua tuturan (3) – (4) dituturkan oleh seorang calo kepada calon korban, gadis berusia sekitar 18 tahun dan seorang bapak calon korban, berusia sekitar 50 tahun. Kedua mitra tutur berusaha diyakinkan calo dengan menegaskan bahwa bekerja adalah ibadah karena dia akan bisa menyenangkan orang tuanya. Demikian juga dalam tuturan (4) yang menyebutkan membirakan anaknya bekerja dna kemudian membantu orang kampung dinilai sebagai pahala. Bahkan, dipertegas oleh calo adanya kebanggaan yang akan diperoleh mitra tutur, sebagai orang tua, karena anaknya dianggap berhasil dengan membagi-bagi rezeki di kampung halaman. DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
59
Pola berbahasa calo seperti pada (3) – (4) pada kelompok tertentu cukup „mumpuni‟. Sebagian masyarakat yang pemahaman agamanya cukup baik akan lebih mudah dipengaruhi jika sudah dihubungkan dengan aspek reliji ini. Niat baik berbasis agama inilah yang dibelokkan dan dimanfaatkan calo menjadi retorika untuk „menipu‟ calon dan keluarga calon korban.
d. Mengkondisikan dengan Memberi Calon Korban Hutang Mengkondisikan merupakan retorika yang dianggap cukup sering dilakukan calo. Rendahnya pendapatan dan tingginya kebutuhan hidup menyebabkan sebagian masyarakat yang potendialdijadikan korban terjebak dalam retorika ini. Revita (2015) menyebutkan mengkondisikan sebagai menciptakan suatu keadaan. Yang dimaksud dengan keadaan adalah situasi yang membuat calon korban terkurung di dalamnya. Salah satu keadaaan yang dikondisikan ini adalah dengan memberi calon korban atau keluarganya pinjaman. Ketika sudah diberi hutang, calon korban dan keluarganya dengan mudah ditarik atau dipaksa untuk bekerja. Hal demikian terjadi karena di saat hutang dimintai, keluarga tidak mampu membayar. Salah satu cara pembayara hutang adalah dengan mengizinkan anaknya bekerja bersama calo, seperti yang tergambar pada tuturan (5) di bawah ini. (5) Keluargamu kan sudah saya pinjami uang. Jadi sebagai pembayar hutang,anakmu, bisa ikut bekerja di tempatku. Kalau dia kerja denganku, semua hutang lunas. Dalam tuturan (5) ini, calo memberikan hutang kepada keluarga seorang gadis berusia sekitar 20 tahun. Mendesaknya kebutuhan ekonomi membuat keluarga gadis ini termakan bujuk rayu calo untuk dipinjami sejumlah uang. Tindak tutur dan mulut manis dari si calo, awalnya, ditanggapi sebagai sebuah kebaikan hati. Ketika sudah menumpuk, calo kemudian menagih hutang tersebut. Ketidakmampuan membayar dialihkan calo dengan menawarkan agar anaknya diperbolehkan ikut bekeja dengan dia. Mengkondisikan ini tidak jarang diikuti dengan pemaksaan dan ancaman. Ketika hutang ditagih, mitra tutur tidak mampu membayar, dn Ike Revita, R. Trioclarise, Kemampuan Retorika Berbahasa Calo dalam Membujuk Calon Korban Women Trafficking di Jawa Barat
60
menolak untuk ikut bekerja, calo akan melakukan ancaman. Salah satunya adalah akan melaporkan mereka ke kantor polisi, seperti yang terlihat pada tuturan (6) ini. 6) ...Kalau kamu menolak, saya akan laporkan ke polisi. Hutangmu sudah banyak. Kamu tidak akan mampu bayar. Paling bapak ibumu bakal dipenjara.
Simpulan Women trafficking adalah sebuah fakta dan realitas sosial. Keberadaannya tidak jarang belum disadari oleh masyarakat sekitar. Kekurangpahaman akanwomen trafficking menjadikan aktifitas perdagangan perempuan ini tumbuh dan tetap berkembang dalam masyarakat. Bahkan, tidak mungkin sebagian dari masyarakat itu sediri belum menyadari bahwa sesungguhnya mereka juga merupakan pelaku dari women trafficking. Aktifitas women trafficking seperti fenomena gunung es. Puncaknya terlihat kecil, tetapi lelehannya terjadi terus menerus dan menumpuk di kaki serta pinggang gunung e situ. Artinya, kegiatan women trafficking tidak pernah berhenti dan terlihat tidak berkembang. Kamuflase inilah yang menyebabkan banyak pemerintah, masyarakat, dan aparat terkait terkesan mengabaikannya. Salah satu ujung tombak dari aktifitas ini adalah calo. Calo bertugas mencari calon korban. Mereka bergeriliya dari satu kampung ke kampung untuk mengumpulkan perempuan yang akan diperdagangkan. Calo ini bisa saja berasal dari luar kampung atau orang kampung itu sendiri. Ironisnya, tidak jarang yang mejadi calo adalah keluarga atau kerabat dari calon korban. Salah satu senjata yang digunakan calo dalam meyakinkan calon korban adalah dengan membangun retorika berbahasa yang efektif dan efisien. Retorika yang diciptakan sering berbasis konteks. Dari hasil analisis, ada empat retorika yang digunakan calo dalam melakukan upaya persuasi calon korban, yakni (1) menjanjikan gaji yang besar; (2) menginformasikan perempuan sebaiknya bekerja; (3) menegaskan bekerja sebagai ibadah; dan (4) mengkondisikan dengan memberi calon korban hutang. Penggunaan retorika ini berimbang secara kuantitas. Hanya, dari keempat ini, retorika pertama lebih sering digunakan. Hal demikian terjadi karena calon korban kebanyakan berasal dari kelompok masyarakat yang secara finansial kekurangan. Upaya memenuhi kebutuhan hidup menyebabkan mereka cukup mudah untuk diyakinkan dengan tawaran pekerjaan dan gaji yang terdengar cukup besar. DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
61
Daftar Pustaka Chomsky, Noam. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge: The MIT Press Halliday, M.A.K. 1973. Exploration in Function of Language. London: Edward Arnold Moeliono, Anton. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Saussure, Ferdinand de. 1916. Course in General Linguistics. Geneva: Open Court Classic Austin, J.L. 1968. How to Do Things with Words. New York:Oxford University Press Haetik, Nur. 2014. „Human Trafficking. Artikel (Tidak Dipublikasi). Surakarta: UNS International Organization for Migration (IOM). 2005. Data and Research on Human Trafficking: a Global Survey. Switzerland: IOM publisher Komnas Perempuan. 2014. Kegentingan Kekerasan Seksual: Lemahnya Upaya Penanganan Negara. Jakarta: Komnas Perempuan Komnas Perempuan. 2012. Stagnansi Sistem Hukum: Menggantung Asa Prempuan Korban. Jakarta: Komnas Perempuan Kusumawardhani, DTP dkk. 2010. „Human Trafficking: Pola Pencegahan Dan Penanggulangan Terpadu Terhadap Perdagangan Perempuan „. Laporan Penelitian. Jakarta: LIPI Moeliono, Anton dkk. 2012. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Olujuwon, Tola. 2008. Combating Trafficking in Person: A Case Study of Nigeria. European Journal of Scientific Research, 24(1), 23-32 Protokol PBB tahun 2000 Revita, Ike dkk. 2016. „PerempuanBerilmu sebagai Model Pencegahan Women Trafficking‟.Harian Singgalang. Revita, Ike dkk. 2015a. „Women Trafficking Bentuk Perbudakan Modern‟. Harian Singgalang. Revita, Ike dkk. 2015. „Model Pencegahan Women Trafficking dengan Meningkatkan Self-Awareness dan Kearifan Lokal di Jawa Barat dan Sumatera Barat‟. Laporan Penelitian (Tidak Dipublikasi). Padang: Universitas Andalas Ike Revita, R. Trioclarise, Kemampuan Retorika Berbahasa Calo dalam Membujuk Calon Korban Women Trafficking di Jawa Barat
62
Revita, Ike. 2013. „Faktor-faktor Pemicu Keberhasilan Tindak Tutur Persuasif Calo Korban Women Trafficking‟. Jurnal Perkotaan. Jakarta: Unika Atmajaya Searle, John R. 1975. „Indirect Speech Act‟. Dalam Peter Cole dan Jerry Lmorgan. Syntax and Semantics 3: Speech Acts.New York: Academic Press The UN Refugee Agency. 2011. 2011 Trafficking in Persons Report – Indonesia. United States: United States Department of State Verhaar, J.W.M. 2001. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Voice of America. 2014. Warga Negara Indonesia jadi Korban Perdagangan Manusia di AS. Wheaton, Elizabeth M; Schauer, Edward J and Galli, Thomas V. 2010. Economics of Human Trafficking. International Migration, 48(4)
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
TEKS KANDHA DAN TEKS SINDHÈNAN TARI BĔDHAYA DALAM NASKAH-NASKAH SKRIPTORIUM KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT SEBAGAI SARANA MEMAHAMI KEARIFAN LOKAL Fransisca Tjandrasih Adji Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia
[email protected] Abstract The bĕdhaya classical dance is a very old dance in Javanese kingdoms. The bĕdhaya dance placed as one of the most important art show in the Sultan Palace . In the bĕdhaya dance, the important element to facilitate knowing the plot is on the kandha and the sindhènan. The kandha and the sindhènan mediate for the audience to understand the context of the bĕdhaya dances. The kandha and the sindhènan tell us about the local wisdom of the bĕdhaya dances. Key word: bĕdhaya, important, kandha, sindhènan, local wisdom Abstrak Tari bĕdhaya merupakan tari klasik yang sangat tua usianya dan merupakan kesenian asli kerajaan-kerajaan di Jawa. Sebagai sebuah genre tari, bĕdhaya ditempatkan sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan yang paling penting di Kraton Yogyakarta. Dalam tari bĕdhaya unsur penting untuk memudahkan mengetahui ceriteranya adalah pada kandha dan sindhènannya. Kandha dan sindhènan menjadi mediasi bagi penonton untuk memahami konteks tari bĕdhaya. Melalui kandha dan sindhènan dapat dimengerti dan dipahami muatan kearifan lokal dalam tari bĕdhaya. Kata kunci: bĕdhaya, penting, kandha, sindhènan, kearifan lokal Pendahuluan Dalam kehidupan masyarakat Jawa, dikenal tarian yang disebut bĕdhaya. Istilah bĕdhaya mengisyaratkan pada genre tari khusus dalam lingkungan istana, yaitu di Keraton Yogyakarta, Pura Pakualaman Yogyakarta, Keraton Surakarta, dan Pura Mangkunegaran Surakarta. Dalam lingkungan istana-istana tersebut, tari bĕdhaya dipahami sebagai tari yang 63
64
disakralkan, yang dipertunjukkan dalam acara-acara tertentu, yang biasanya ditarikan oleh 9 penari putri yang dalam keadaan suci dalam arti tidak sedang menstruasi (Hadiwidjojo, 1981:14-15 ; Suryobrongto,1981:42, lihat pula http://www.karatonsurakarta.com/-tari%20bedhoyo.html). Pemahaman ini didasarkan pada anggapan bahwa tari bĕdhaya diciptakan oleh Sultan Agung dengan bantuan Ratu Kidul (Hadiwidjojo, 1981: 13-17; Ricklefs, 1998: 6-9; Soedarsono, 1974: 42; Suharti, 2015: 40-49). Dalam kehidupan raja-raja Mataram dan raja-raja keturunan Mataram, Ratu Kidul memiliki peran khusus. Ratu Kidul dipandang sebagai pendamping spiritual sultan dalam memerintah negara (Resink, 1997: 313-316). Berdasarkan hal-hal yang disebutkan di atas, sebagai sebuah genre tari, bĕdhaya memiliki spesifikasi antara lain, pertama, ditunjukkan dengan penggunaan penari putri yang pada umumnya berjumlah sembilan dan mempergunakan rias busana yang serba kembar. Kedua, bĕdhaya sebagai salah satu genre tari Jawa, telah dijadikan sumber referensi dalam penyusunan gerak tari putri di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Ketiga, tari bĕdhaya memiliki muatan makna simbolik dan filosofis yang tinggi dan dalam, sehingga menjadi contoh yang paling tepat bagi cara penerapan konsep alus-kasar dalam tari Jawa (Pudjasworo, 1993: 8). Maksudnya, setiap ragam gerak merupakan gerakan simbolik yang memiliki filosofi tertentu. Sebagai contoh gerakan sěblak tidak dipahami sebagai gerakan mengibaskan sampur namun sebagai gerakan membuang hal negatif (Wawancara dengan KRT Widyawinata, tanggal 20 Januari 2015). Muatan makna simbolik filosofis yang tinggi dan dalam dari tari bĕdhaya, menyebabkan genre tari ini ditempatkan sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan yang paling penting di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Dalam upacara-upacara atau ritus kerajaan yang bersifat sakral, tari bĕdhaya berfungsi sebagai alat kebesaran raja, sama dengan alat-alat kebesaran yang lain yang memiliki DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
65
kekuatan magis seperti berbagai macam senjata, payung kebesaran, mahkota, kereta kuda, dan benda-benda lainnya. Tari bĕdhaya dan benda-benda dengan kekuatan magis yang terkandung di dalamnya, berfungsi sebagai regalia atau pusaka kerajaan, yang turut memperkokoh dan memberi perlindungan, ketenteraman, kesejahteraan kepada raja beserta seluruh kawula-nya. Tari bĕdhaya bahkan dianggap sebagai salah satu atribut raja dan berfungsi sebagai sarana untuk melegitimasi kekuasaan serta kewibawaan para sultan atau sunan. Kepercayaan seperti itu memiliki makna peranan kosmis raja, yaitu hubungan antara istana (dengan rajanya) dan wilayah kerajaannya sebagai suatu bentuk kesejajaran antara mikrokosmos dan makrokosmos. Artinya istana (dengan rajanya) sebagai mikrokosmos berusaha mencari keselarasan, keserasian dan keharmonisan kehidupan dengan wilayah kerajaannya sebagai makrokosmos. Istana (dengan rajanya) mengharapkan
kelanggengan
untuk
mencapai
kesejahteraan
dan
kemakmuran wilayah kerajaan (Hughes-Freeland, 2009: 55; bdk. Hadi, 2006: 84). Penelitian terhadap tari bĕdhaya cukup banyak. Dalam disertasinya, Suharti (2015)
menjelaskan kehidupan tari bĕdhaya di Karaton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Penjelasan ini berupa deskripsi motif-motif gerak dalam bĕdhaya. Dalam bukunya yang berjudul Ragam Seni Pertunjukan Tradisi # 3, Dokumentasi Rekonstruksi Tari Klasik Gaya Yogyakarta: Bĕdhaya Kuwung-kuwung, Beksan Guntur Segara, Bĕdhaya Angronsekar, Beksan Bugis, Purwadmadi (2014) lebih mengutamakan pendokumentasian tertulis atas tari Bĕdhaya Kuwung-kuwung, Beksan Fransisca Tjandrasih Adji, Teks Kandhadan Teks Sindhènan Tari Bĕdhaya dalam Naskah-Naskah Skriptorium Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Sarana Memahami Kearifan Lokal
66
Guntur Segara, Bĕdhaya Angronsekar, Beksan Bugis. Bĕdhaya Kuwungkuwung, Beksan Guntur Segara, Bĕdhaya Angronsekar, Beksan Bugis. Dalam tulisannya tentang tari Bědhaya Kětawang, Sedjati (2004) menjelaskan fungsi tari Bědhaya Kětawang. Suharji (2004) meneliti tari Bĕdhaya Suryasumirat Pura Mangkunegaran dari segi proses kreatif penciptaannya. Dewi dalam penelitiannya tentang tari Bĕdhaya Ketawang (1994) Surakarta mengkhususkan pada persoalan mitos yang melingkupi tari Bĕdhaya Ketawang. Berdasarkan uraian di atas, tampaklah bahwa penelitianpenelitian terhadap tari, khususnya tari bĕdhaya, tidak membahas kandha dan sindhènannya, padahal unsur kandha dan sindhènan memegang peranan yang penting dalam pergelaran tari bĕdhaya. Penelitian ini adalah penelitian sastra. Unsur sastra dalam pergelaran tari bĕdhaya adalah kandha dan sindhènan. Kandha adalah narasi singkat yang dilagukan untuk mengawali pementasan dan sindhènan adalah nyanyian yang mengiringi untuk mengiringi tarian. Dalam hal ini, keduanya adalah dalam konteks pergelaran tari bĕdhaya. Selain itu, kandha dan sindhènan merupakan hal yang penting karena kandha dan sindhènan menjadi bagian inspiratif dalam pergelaran tari bĕdhaya. Melalui kandha dan sindhènan dapat dipahami kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Jawa pada umumnya, khususnya dalam kehidupan keraton Yogyakarta. Oleh karena itu, yang menjadi objek kajian penelitian ini adalah unsur sastra dalam tari bĕdhaya yaitu naskah-naskah yang berisi teks kandha dan sindhènan tari bĕdhaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang ada dalam skriptorium Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tari Bĕdhaya Keraton Yogyakarta Telah disebutkan dalam bagian Pendahuluan bahwa tari bĕdhaya merupakan suatu genre tari khusus dalam kehidupan keraton-keraton di Jawa, termasuk Keraton Yogyakarta. Ada banyak ketentuan yang harus DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
67
diperhatikan dan dipenuhi dalam pergelaran tari bĕdhaya. Ketentuanketentuan itu dibuat bukannya tanpa alasan. Penempatan sebagai tarian sakral merupakan dasar adanya ketentuan-ketentuan itu. Tari bĕdhaya yang sangat penting dalam kehidupan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah Bĕdhaya Sĕmang. Disebutkan dalam naskah K.131-B/S 9 halaman 29 dan K.145-B/S 24 halaman 4 bahwa tari Bĕdhaya Sĕmang adalah tari bĕdhaya yang tertua dan menjadi babon tari bĕdhaya lainnya serta tari klasik gaya Yogyakarta. Tari Bĕdhaya Sĕmang dibangun kembali oleh Sultan Hamengku Buwana I pada tahun 1759, setelah palihan nagari „pembagian Negara‟ Mataram (Carey, 1997: 711; Dewan Ahli Yayasan Siswa Among Beksa Ngayogyakarta Hadiningrat, 1981: 15; Hughes-Freeland, 2009: 23-24; Soedarsono, 1974: 42; Suharti, 2015: 4; Surjodiningrat, 1970: 27), sebagai tari pusaka Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tari Bĕdhaya Sĕmang ini ada kesamaan dengan tari Bĕdhaya Kĕtawang milik Keraton Surakarta. Hal ini disebabkan dalam membangun kembali tari Bĕdhaya Sĕmang, Sultan Hamengku Buwana I meminjam para guru tari dan para pengrawit dari Keraton Surakarta (Sabdacarakatama, 2009: 71). Dalam anggapan umum, tari Bĕdhaya Sĕmang
mengandung
cerita pertemuan Sultan Agung dari Mataram dengan Ratu Kidul yang berkuasa di Samudera Indonesia (Hadiwijdjojo, 1981: 14-15; Suharti, 2015: 4-5; Surjodiningrat, 1970: 26) seperti halnya tari Bĕdhaya Kĕtawang. Hal inilah yang sering menjadi alasan mengapa tari Bĕdhaya Sĕmang dianggap sakral. Pertemuan antara Sultan Agung dari Mataram dengan Ratu Kidul yang berkuasa di Samudera Indonesia tersebut dianggap sebagai hubungan Fransisca Tjandrasih Adji, Teks Kandhadan Teks Sindhènan Tari Bĕdhaya dalam Naskah-Naskah Skriptorium Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Sarana Memahami Kearifan Lokal
68
suci. Karena kesakralannya itulah, maka tari Bĕdhaya Sĕmang menjadi pusaka keraton yang sangat dikeramatkan (Suharti, 2015: 3; Surjodiningrat, 1970: 26). Namun demikian, hal ini masih perlu kajian yang lebih lanjut. Di samping tari Bĕdhaya Sĕmang, di Keraton Yogyakarta dijumpai banyak tari bĕdhaya. Berdasarkan naskah tentang tari bĕdhaya yang ada dalam skriptorium Keraton Yogyakarta, tercatat ada 53 tari bĕdhaya Keraton Yogyakarta. Sejak zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I sampai dengan Sultan Hamengku Buwana X, tradisi pelembagaan tari bĕdhaya terus dilakukan. Setiap sultan, ketika memerintah, sengaja menciptakan atau mementaskan tari bĕdhaya. Hal ini dilakukan bukan untuk kepentingan pertunjukan saja, melainkan sebagai perwujudan pengukuhan kewibawaan, dan lebih kepada kepentingan ritual. Ciri-ciri itu dapat dilihat misalnya tempat pementasannya yang diselenggarakan di tempat tertentu yang masih dalam lingkup Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, khusus tari Bĕdhaya Sĕmang dipergelarkan di Bangsal Kencana, dan digunakan untuk upacara penting, misalnya hari ulang tahun raja, penobatan raja, dan ulang tahun penobatan raja (Brakel-Papenhuyzen, 1992a: 46; Hadi, 2006: 83). Dalam tulisan ini dipilih empat tari bĕdhaya yang akan dibahas unsur kandha dan sindhènan-nya. Keempat tari bĕdhaya itu adalah Bĕdhaya Semang, Bĕdhaya Kuwung-kuwung, Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara, dan Bĕdhaya Sang Amurwabumi. Dasar pemilihan keempat tari bĕdhaya itu adalah tari Bĕdhaya Semang merupakan induk tari bĕdhaya dan tari-tari klasik gaya Yogyakarta, tari Bĕdhaya Kuwung-kuwung merupakan tari bĕdhaya yang kandha dan sindhènan-nya banyak disalin, Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara yang merupakan ciptaan Sultan Hamengku Buwana IX ditarikan oleh 6 penari, dan Bĕdhaya Sang Amurwabumi merupakan tari bĕdhaya abad XXI dan diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana IX.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
69
Naskah Tentang Tari Bĕdhaya Naskah tentang tari bědhaya skriptorium Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat ada sejumlah 44 naskah. Sejumlah 5 naskah ada di perpustakaan KHP Widya Budaya dan 39 naskah ada di perpustakaan KHP Kridha Mardawa. Satu naskah di KHP Kridha Mardawa tidak masuk dalam katalog sehingga tidak memiliki kode naskah. Hal ini dikarenakan naskah tersebut tidak berada di kraton atau sedang dipinjam saat dilakukan katalogisasi, dan kemungkinan saat itu tidak diketahui dengan jelas siapa peminjamnya. Ada empat macam naskah yang memuat unsur-unsur tari bĕdhaya. Contoh naskah-naskah itu antara lain: 1) naskah yang memuat nut gěndhing, 2) naskah yang memuat daftar gerakan tari, 3) naskah yang memuat kandha, 4) naskah yang memuat sindhenan. Dalam naskah yang berisi nut gendhing dituliskan notasi-notasi musik gamelan untuk mengiringi berbagai tari bĕdhaya. Naskah yang berisi nut gěndhing banyak yang disertai lirik vokal atau sindhenan. Naskah-naskah yang berisi daftar gerakan tari mendeskripsikan ragam gerak dan rangkaian gerakan tari bĕdhaya disertai petunjuk musiknya atau jumlah gongan. Naskah-naskah yang berisi kandha memuat sinopsis atau narasi singkat beberapa tari bĕdhaya dan srimpi yang dilagukan sebelum penari menari. Dalam beberapa naskah yang berisi kandha dijumpai iluminasi yang membingkai teks. Namun demikian tidak semua halaman menggunakan iluminasi. Naskah-naskah yang berisi sindhènan memuat lirik atau vokal Fransisca Tjandrasih Adji, Teks Kandhadan Teks Sindhènan Tari Bĕdhaya dalam Naskah-Naskah Skriptorium Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Sarana Memahami Kearifan Lokal
70
yang digunakan untuk mengiringi beberapa tari bĕdhaya dan srimpi. Sama dengan naskah-naskah yang berisi kandha, dalam beberapa naskah yang berisi sindhènan dijumpai pula iluminasi yang membingkai teks sindhènan, dan tidak semua halaman menggunakan iluminasi. Dalam tulisan ini digunakan empat naskah dan dua teks ketikan manual sebagai dasar pembahasan tentang teks kandha dan teks sindhènan tari bĕdhaya Keraton Yogyakarta. Naskah-naskah dan teks ketikan manual itu adalah Kagungan Dalěm Sěrat Nut Gěndhing Sěmang Bědhaya dengan kode naskah K.125-B/S 1A, Kagungan Dalěm Sěrat Pasindhѐn sarta Běksa Bědhaya Sěmang dengan kode naskah K.126-B/S 1B, Kagungan Dalěm Sěrat Kandha dengan kode naskah K.131-B/S 9, Kagungan Dalěm Sěrat Pasindhèn dengan kode naskah K.132-B/S 11, Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara, dan Lampah-lampah Iringan Kagungan Ndalěm Běksa Bĕdhaya Sang Amurwabumi. Naskah K.125-B/S 1A berisi daftar sajѐn yang digunakan setiap kali akan mulai menyusun nut, membunyikan gamelan, menjelaskan tariannya, dan sindhènan-nya; kandha, dan nut gěndhing tari Bědhaya Sěmang. Naskah K.126-B/S 1B berisi daftar sajѐn yang digunakan setiap kali akan mulai menyusun nut, membunyikan gamelan, menjelaskan tariannya, dan sindhènan-nya; sindhènan, dan ragam gerak tari Bědhaya Sěmang. Naskah K.131-B/S 9 berisi kandha-kandha untuk tari-tari bĕdhaya dan srimpi. Dalam tulisan ini yang dipakai adalah halaman 137 – 141 yang memuat teks kandha Bĕdhaya Kuwung-kuwung. Naskah K.132-B/S 11 berisi sindhènansindhènan untuk tari-tari bĕdhaya dan srimpi. Dalam tulisan ini yang dipakai adalah halaman 51-56 yang memuat teks sindhènan Bĕdhaya Kuwungkuwung. Teks ketikan manual Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara berisi kandha, sindhènan, dan nut gěndhing tari Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara. Teks ketikan manual Lampah-lampah Iringan Kagungan Ndalěm Běksa Bĕdhaya DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
71
Sang Amurwabumi berisi kandha, sindhènan, dan nut gěndhing tari Bĕdhaya Sang Amurwabumi. Naskah K.125-B/S 1A dan naskah K.126-B/S 1B merupakan satu kesatuan. Keduanya merupakan naskah yang khusus berisi teks yang berkaitan dengan pergelaran tari Bědhaya Sěmang. Dalam tulisan ini, teks kandha tari Bĕdhaya Kuwung-kuwung diambilkan dari naskah K.131-B/S 9 dan teks sindhènan-nya dari naskah K.132-B/S 11 dengan alasan kedua naskah ini khusus bagian teks kandha dan teks sindhènan-nya utuh dan masih baik kondisinya. Teks ketikan manual Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara dipilih karena tidak ada naskah yang memuat kandha dan teks sindhènannya. Demikian halnya dengan teks ketikan manual Lampah-lampah Iringan Kagungan Ndalěm Běksa Bĕdhaya Sang Amurwabumi. Kandha dan Sindhènan Dalam konteks sastra, kandha dan sindhènan merupakan hal yang penting karena kandha dan sindhènan menjadi bagian inspiratif dalam pergelaran tari bĕdhaya. Kandha adalah susunan kalimat yang berisi keadaan atau kejadian dalam suatu adegan di atas pentas (Dinusatama, 1981: 143) atau semacam sinopsis atau narasi singkat yang dilagukan untuk mengawali pementasan, dalam konteks penelitian ini pementasan tari bĕdhaya. Kandha dilagukan oleh pamaos kandha, yang biasanya laki-laki, dengan irama yang khas dan tidak diiringi karawitan. Saat kandha dilagukan, penari bĕdhaya duduk diam dalam posisi siap menari. Dalam kandha biasanya disebutkan pencipta, raja yang berkepentingan atas ceritera yang dibawakan, peristiwa, dan sumber ceritera yang dibawakan dalam pementasan. Sementara itu, Fransisca Tjandrasih Adji, Teks Kandhadan Teks Sindhènan Tari Bĕdhaya dalam Naskah-Naskah Skriptorium Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Sarana Memahami Kearifan Lokal
72
sindhènan adalah seni suara vokal yang dilagukan oleh swarawati dengan lagu yang berirama ritmis pada suatu pentas yang diiringi karawitan (Martopangrawit dalam Darsono, 2009: 3, bdk. Supanggah dalam Martopangrawit, 1988: vi-vii). Dalam konteks naskah-naskah yang menjadi objek penelitian ini, sindhènan yang dimaksud adalah teks ceritera yang dinyanyikan untuk mengiringi pementasan tari. Teks ceritera dalam sindhènan yang menjadi objek penelitian ini bersumberkan babad, ceritera panji, Sěrat Pararaton, dan sebagainya. Berpijak pada uraian di atas, teks kandha dan teks sindhènan merupakan genre sastra. Teks kandha dapat dikatakan sebagai sastra yang bersifat prosais, sementara teks sindhènan sebagai sastra yang bersifat puitif. Berdasarkan posisi kandha dan sindhènan sebagai bagian untuk mengerti dan memahami ceritera tari bĕdhaya, dapat dikatakan bahwa kandha dan sindhènan memiliki peranan penting dalam pergelaran tari. Tanpa kandha dan sindhènan, penonton, terutama penonton awam, akan kesulitan untuk memahami maksud tarian yang dipergelarkan. Keberadaan kandha dan sindhènan semakin memperkuat keberadaan tari bĕdhaya yang dipergelarkan. Penonton tidak sekedar menyaksikan gerakan penari bĕdhaya sambil mendengarkan iringannya, namun dapat mengikuti maksud setiap gerakan yang dipertunjukkan. Kandha dan sindhènan menjadi mediasi bagi penonton untuk memahami konteks tari bĕdhaya. Penonton menjadi seperti pembaca teks real karena pendendangan kandha dan sindhènan. Jadi, teks kandha dan teks sindhènan merupakan kesatuan teks yang menjadi bagian penting dari konteks tari bĕdhaya. Kearifan lokal dirumuskan oleh Quaritch Wales (dalam Rahyono, 2009: 7-8) sebagai “the sum of the cultural characteristics which the vast majority of a people have in common as aresult of their experiences in early life”. Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal merupakan kecerdasan DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
73
manusia yang dimiliki oleh sekelompok (etnis) manusia yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya serta terwujud dalam ciri-ciri budaya yang dimilikinya. Selanjutnya, kearifan lokal merupakan pengetahuan yang muncul
dari
proses
yang
panjang
(Tiezzi,
http://library.witpress.com/pages/paperinfo.asp). Kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan masyarakat. Ada nilai-nilai yang berakar kuat pada setiap aspek lokalitas. Demikian halnya dengan tari bĕdhaya. Tari bĕdhaya, yang dikatakan sebagai ciptaan sultan, setiap unsur di dalamnya, termasuk kandha dan sindhènan, muncul melalui proses yang panjang. Tari bĕdhaya merupakan suatu kecerdasan yang dihasilkan berdasarkan pengalaman yang dialami, dilihat, direnungkan oleh sultan berdasarkan pengalaman yang dialami oleh masyarakat. Di samping itu, tari bĕdhaya menjadi tari yang sangat penting dalam kehidupan Keraton Yogyakarta dan juga masyarakat. Pergelaran tari bĕdhaya selalu menjadi peristiwa besar. Hal ini menunjukkan adanya nilai-nilai penting dan besar pula dalam tari bĕdhaya. Kearifan Lokal dalam Teks Kandha Tari Bĕdhaya Kandha tari bĕdhaya merupakan sinopsis suatu pergelaran tari bĕdhaya yang didendangkan sebelum para penari menarikan tari bĕdhaya. Dalam kandha tari Bĕdhaya Sěmang disebutkan bahwa tari Bĕdhaya Sěmang ini merupakan kesukaan sultan, wasiat, warisan kuna, pedoman semua tari klasik gaya Yogyakarta. Selain itu, digambarkan kecantikan para penari yang mengakibatkan siapa pun yang melihat terhanyut oleh rasa cinta. Berikut Fransisca Tjandrasih Adji, Teks Kandhadan Teks Sindhènan Tari Bĕdhaya dalam Naskah-Naskah Skriptorium Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Sarana Memahami Kearifan Lokal
74
adalah teks dan terjemahan kandha tari Bĕdhaya Sěmang yang terdapat dalam naskah K.125-B/S 1A (kandha ini dijumpai pada halaman 3-4). Teks: Sebětbyar wahu ta, aněnggih ingkang kakarsakakěn punika, lělangěn Dalěm bědhaya, wasiyat walurining kina, ingkang dados wěwinihipun saniskaranipun ing lělangěn Dalěm bědhaya srimpi sadaya. Tur samya dados těpa palupining běksa. Lah ing riku sakathahing priyayi ingkang sami kakěrsakakěn bědhaya. Sarěng sami majěng ing ngarsa Dalěm, dhasar ayu sami ayu ingkang warna, karěngga ing busana. Sangsaya wimbuh cahyanira. Sing amulat, ciptaning kabyatan ing asmara. Sangking sruning arsa, ѐsthining manah kadya aningali madu. Samya kѐntir ing asmara. Terjemahan: Segera (diceriterakanlah) hal itu tadi. Inilah yang dikehendaki (oleh sultan) yaitu kesukaan sultan (yang berupa) tari bědhaya, yang menjadi wasiat warisan kuna, yang menjadi bibit untuk semua kesukaan sultan yang berupa tari bědhaya dan srimpi, dan lagi menjadi pedoman dan contoh (semua) tari. (Saat itu), di situ (di tempat pergelaran tari diceriterakanlah) semua para priyayi yang diharapkan (hadir), setelah (para penari) bědhaya maju ke hadapan sultan. Sudah dasarnya semua indah dalam hal kecantikan, dihias dengan busana, semakin bertambah cahaya mereka. Siapa pun yang memandang, hatinya akan terberati dengan rasa cinta, oleh karena terlalu besarnya kehendak hati. Bagaikan melihat madu, semua terhanyut di dalam hati. Dalam kandha tari Bĕdhaya Kuwung-kuwung disebutkan bahwa tari Bĕdhaya Kuwung-kuwung ini ciptaan Sultan Hamengku Buwana VII, yang dipergelarkan saat beliau menerima bintang besar komandor dari pemerintah Belanda. Selanjutnya, digambarkan kecantikan para penari yang jika dilihat dari kejauhan pantas menjadi sinar kerajaan. Berikut adalah teks dan terjemahan kandha tari Bĕdhaya Kuwung-kuwung yang terdapat dalam naskah K.131-B/S 9 halaman 137 – 141. Teks:
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
75
Sѐbětbyar wahu ta, aněnggih ingkang kawiyosakěn punika, lělangěn Dalěm Bĕdhaya Kuwung-kuwung énggal sapunika yasan Dalěm Ingkang Sinuwun Kanjěng Sultan Haměngku Buwana Sénopati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Juměněng Kaping VII, komandhoring ordě Néděrland kang sudibya angrěnggani karaton Dalěm ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Wondéné karsa Dalěm hamarsudѐng karsa anglaras nalika miyos Dalěm kěprabon miyos sinéwaka wontěn Siti Hinggil binatu rětna kasongan ing witana adi rinukma. Lěnggah ing dhampar kěncana badhé anampѐni agěm-agěman Dalěm bintang agěng kuměndhur saking Kangjěng Guběrmѐn minangka pratandha sah saking Kangjěng Guběrmѐn. Wondéné sasaniskaranira sampun kocap wontěn sěrat pasindhѐn sědaya. Wau ta, para běndara bědhaya sarěng sampun sami marak munggѐng ngarsa dalěm, dhasar sami ayu riněngga ing busana yѐn sinawang saking mandrawa ana těka pantěs dadya kěkuwungé nagari Dalěm ing Ngayogyakarta. Terjemahan: Segera (diceriterakanlah) hal itu tadi. Inilah yang dipergelarkan (oleh sultan) yaitu kesukaan sultan (yang berupa) tari Bĕdhaya Kuwung-kuwung yang merupakan (tarian) baru pada saat ini, ciptaan beliau Ingkang Sinuwun Kanjěng Sultan Haměngku Buwana Sénopati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Juměněng Kaping VII. (Beliau) adalah komandor masa pemerintahan Belanda yang luhur, (yang) berkediaman di kerajaannya di Keraton Yogyakarta. Adapun keinginannya untuk menciptakannya adalah untuk dipergelarkan saat beliau keluar dari kerajaan duduk di singgasana dihadapkan para abdi dalěm (dalam Keraton Yogyakarta, semua karyawan disebut abdi dalěm) di Siti Hinggil yang dihiasi batu-batu mulia yang sangat indah termasuk singgasananya. Duduk di singgasana untuk menerima tanda bintang besar komandor dari gubernur sebagai tanda sah dari gubernur. Fransisca Tjandrasih Adji, Teks Kandhadan Teks Sindhènan Tari Bĕdhaya dalam Naskah-Naskah Skriptorium Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Sarana Memahami Kearifan Lokal
76
Adapun semuanya sudah diuraikan dalam tulisan yang berisi sindhѐnan. Saat itu, para penari bědhaya setelah semua berada di hadapan raja, pada dasarnya memang cantik (semakin) cantik dihiasi dengan busana (tari) sehingga jika dipandang dari kejauhan sangatlah pantas jika menjadi sinar Keraton Yogyakarta. Dalam kandha tari Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara disebutkan bahwa tari Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara ini ciptaan Sultan Hamengku Buwana IX untuk mengiringi pertemuan dan perarakan pengantin. Selanjutnya, disebutkan penarinya masih gadis muda dan cantik. Berikut adalah teks dan terjemahan kandha tari Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara yang terdapat dalam teks ketikan manual Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara halaman 0. Teks: Sebětbyar wahu ta, aněnggih ingkang kawiyosakěn punika, lělangěn Dalěm Bĕdhaya iyasan Dalěm Ngarsa Dalěm Sampéyan Dalěm Ingkang Sinuwun Kanjěng Sultan Haměngku Buwana Sénopati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Juměněng Kaping Sanga. Ingkang sudibya angrěnggani Karaton Dalěm ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Karsa Dalěm iyasa lělangěn Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara amangrěngga bayangkaraning pěngantyan. Wondéné sasaniskaranira sampun kocap wontěn kagungan Dalěm sěrat pasindhѐn sědaya. Wau ta, ingkang samya riněngga běksa, sarěng sampun marěk ing ngabyantara, dhasar samya kěnya taruna, riněngga saliring sumbaga. Yѐn sinawang saking mandrawa solah wirganing běksa anawung raras rasaning driya. Terjemahan: Segera (diceriterakanlah) hal itu tadi. Inilah yang dipergelarkan (oleh sultan) yaitu kesukaan sultan (yang berupa) tari Bĕdhaya, ciptaan beliau Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping IX, yang luhur, (yang) berkediaman di kerajaannya di Keraton Yogyakarta.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
77
Adapun keinginannya untuk menciptakan adalah untuk mengiringi saat dipertemukan dan perarakan pengantin. Adapun semuanya sudah diuraikan dalam tulisan yang berisi sindhenan. Saat itu, yang ditampilkan untuk menari, setelah semua berada di hadapan raja, pada dasarnya masih gadis muda, dihiasi dengan segala sesuatu yang indah. Jika dilihat dari kejauhan segala gerak-gerik yang menari, menimbulkan kenikmatan rasa di dalam hati. Dalam kandha tari Bĕdhaya Sang Amurwabumi disebutkan bahwa tari Bĕdhaya Sang Amurwabumi ini ciptaan Sultan Hamengku Buwana X. Cerita tari bĕdhaya ini mengambil (petikan) saat Sang Sri Amurwabumi yang
beragama
Hindu
menikah
dengan
Sang
Prameswari
Dyah
Pradnyaparamita yang beragama Budha di kerajaan Singasari. Selanjutnya, disebutkan penarinya masih gadis muda dan cantik. Berikut adalah teks dan terjemahan kandha tari Bĕdhaya Sang Amurwabumi yang terdapat dalam teks ketikan manual
Lampah-lampah Iringan Kagungan Ndalem Beksa
Bĕdhaya Sang Amurwabumi halaman 2-3. Teks: Sebětbyar wahu ta, aněnggih ingkang kawiyosaken punika, lělangěn Dalěm beksa Bĕdhaya iyasan Dalem Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panata Gama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa. Ingkang sudibya angrenggani Karaton Dalem ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Saking keparenging karsa Dalem, beksa bedhaya punika kaparingan tetenger asma Bĕdhaya Sang Amurwabumi. Wondene ingkang kinarya tepa palupining kandha, mundhut cariyos duk nalika Sang Sri Amurwabumi ingkang anut agami Hindhu dhaup lan Sang Prameswari Dyah Pradnyaparamita ingkang anut agami Budha, Fransisca Tjandrasih Adji, Teks Kandhadan Teks Sindhènan Tari Bĕdhaya dalam Naskah-Naskah Skriptorium Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Sarana Memahami Kearifan Lokal
78
angrenggani ing nagari Singasari. Ing rikala punika, sampun timbul piwulang utawi ajaran, paugeran-paugeran gegebenganing budaya Jawi tumrap para narendra pangemban pangwasa. Sasaniskaranira karsa Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Kaping Sedasa rinakit rinengga ing salebeting Bĕdhaya Sang Amurwabumi. Wau ta, para dyah ingkang maharsa beksa, dhasar sami kenya taruna, pinunjul sulistya ing warna, mumpuni kasusilaning wanita, wimbuh karengga ing busana abra, ingkang ganda kusuma angambar. Terjemahan: Segera (diceriterakanlah) hal itu tadi. Inilah yang dipergelarkan (oleh sultan) yaitu kesukaan sultan (yang berupa) tari Bĕdhaya, ciptaan beliau Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping X, yang luhur, (yang) berkediaman di kerajaannya di Keraton Yogyakarta. Atas kehendak beliau, tari bedhaya ini diberi nama Bĕdhaya Sang Amurwabumi. Adapun yang menjadi sumber ceritera dalam kandha, mengambil ceritera saat Sang Sri Amurwabumi yang menganut agama Hindhu menikah dengan Sang Prameswari Dyah Pradnyaparamita yang menganut agama Budha, berkediaman di Singasari. Pada saat itu sudah muncul ajaran, pedoman-pedoman dalam hal budaya Jawa bagi para raja pengemban kekuasaan. Semua kehendak beliau Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Kaping Sedasa dirangkai di dalam Bĕdhaya Sang Amurwabumi. Saat itu, para putri yang akan menari, pada dasarnya masih gadis muda, sangat cantik wajahnya, menguasai segala gerak-gerik sebagai wanita, bertambah lagi (kecantikannya) dihiasi dengan pakaian yang bersinar (indah), keharumannya bagaikan (wangi) bunga (yang) semerbak. Teks-teks kandha di atas menunjukkan adanya beberapa kesamaan. Dalam teks kandha tari Bĕdhaya Semang tersirat siapa penciptanya. Disebut sebagai wasiyat dan warisan kuna menyiratkan bahwa tari Bĕdhaya Semang merupakan karya Sultan Hamengku Buwana I. Sementara itu, teks kandha DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
79
yang lain menyebutkan secara jelas sultan yang berkuasa. Teks kandha itu dapat dipastikan bukan sultan yang membuat, namun abdi dalem yang memang diberi tugas untuk merealisasikan kehendak sultan dalam keinginannya menciptakan tari bedhaya. Namun demikian, abdi dalem tetap menyebutkan nama sultan dan bukan namanya sendiri. Abdi dalem yang telah menerjemahkan kehendak raja dalam bentuk tari bedhaya tidak pernah dikenal. Di samping itu, dengan sikapnya yang berusaha menerjemahkan kehendak sultan tanpa menempakkan dirinya sendiri, ini menunjukkan bahwa sultan menjadi penguasa yang sangat dihormati, diagungkan. Dari sini tampak adanya nilai-nilai yang dipegang kuat oleh para abdi dalem yaitu nilai kepatuhan, kerendahan hati, dan hormat terhadap penguasa. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, khususnya dalam kerajaan Jawa, raja digambarkan sebagai orang yang
agung binathara „orang yang
memiliki kebesaran bagaikan dewa‟, bau dhendha nyakrawati „rang yang bertanggung jawab atas tegaknya hukum serta berkuasa atas dunia‟ (Moedjanto, 1990: 102-108). Gelar sultan pun sudah menunjukkan hal itu. Hamengku Buwana memiliki arti berkuasa atas dunia, Kalifatullah mengandung arti sebagai utusan Allah. Dengan demikian, nilai kepatuhan, kerendahan hati, dan hormat sungguh dijiwai oleh abdi dalem. Di samping itu, dalam rasionalitas orang Jawa diyakini bahwa semakin menghormati seseorang semakin tinggi kedudukannya (Suseno dan Reksosusilo, 1983: 4546). Di sini tampaklah bahwa orang Jawa memilih menjaga relasi dengan siapa pun untuk keselarasan dalam kehidupan.
Fransisca Tjandrasih Adji, Teks Kandhadan Teks Sindhènan Tari Bĕdhaya dalam Naskah-Naskah Skriptorium Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Sarana Memahami Kearifan Lokal
80
Persamaan lain dalam keempat teks tersebut adalah penggambaran kecantikan penari. Ini menunjukkan bahwa adanya penghargaan terhadap ciptaan Tuhan. Sekaligus penghargaan terhadap wanita. Wanita selalu ditempatkan pada posisi yang positif, senantiasa diidentikan dengan keindahan. Hal ini dapat dilihat pula pada masa kini bahwa dalam acaraacara pernikahan, siapapun yang menikah seperti apapun fisik pengantin pasti akan digambarkan atau dicandra bagaikan dewa-dewi. Kearifan Lokal dalam Teks Sindhènan Tari Bĕdhaya Dalam teks sindhѐnan tari Bědhaya Sěmang, diceriterakan tentang manusia dan alam. Dalam kehidupannya, manusia diharapkan senantiasa memilih jalan yang baik supaya jika mati tidak mengalami kesengsaraan. Selanjutnya, digambarkan pula kondisi alam jika terjadi bencana. Berikut adalah kalimat-kalimat inti dalam teks sindhѐnan tari Bědhaya Sěmang, yang dicuplik dari naskah K.125-B/S 1B halaman 1 – 14, beserta terjemahannya. 1) Ěnggé sěsěkaré, ěndho sěsěkaré, rěnyuh cinitrèngnya kadi. Dipakailah tembang-tembangnya tujuannya tembangtembangnya, menyenangkan seperti yang dituliskan. 2) Babo (seruan seperti aduh, wahai, oh) babo ing yasa (Pada zaman dulu, yasa adalah bangunan seperti rumah yang biasanya digunakan untuk bercengkrama atau untuk mencari inspirasi. Pada masa sekarang yasa sama dengan rumah.). Babo babo layonira, layonira babo, ěnggé ěmbok babo. Layonira sun waca isi pralambang. Oh dalam rumah. Oh bungamu yang sudah layu, bungamu yang sudah layu oh, dipakailah wahai gadis. Bungamu yang sudah layu saya baca berisi ceritera perumpamaan. 3) Arjatana babo babo, těkèng wědharing puspita. Ěmbok ěmbok si ěmbok lumiringa babo babo, lumiringa mirah duluněn kawula, babo ho babo babo si ěmbok, lumiringa duluněn kěkasihira. Tidak ada keselamatan babo babo, hingga mekarnya bunga. Oh gadis, lihatlah sepintas, lihatlah sepintas sayang, lihatlah hamba, oh gadis, lihatlah sepintas lihatlah kekasihmu. 4) Měndhung měndhung měndhung, kěkudhungé limarpathi, babo limarpathi, bok si ěmbok. DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
81
Mendung, mendung, mendung, kerudungnya limarpati (kain dengan motif daun yang diblok), oh limarpati, oh gadis. 5) Lung wulung widho měngalor ing wanasraya. Burung wulung (burung yang bulunya hitam), burung wido (burung sebangsa wulung) terbang ke arah utara ke hutan. 6) Ěmbok ěmbok ěmbok iya, alapana, alapanan kěkudhung sangkaning paran, pilih marga yén mati aja tansara wong akuning. Oh gadis, ambilah, ambilah, berkerudunglah dengan yang hendak dituju, pilihlah jalan, jika mati jangan sampai sengsara, (oh) gadis cantik. 7) Ěnggé prang alésus us prang alesus těngěran kuda praléna, prang alésus us, prang alésus těngěran kuda praléna. Balika lara katěmua palayaran wong akuning. Adalah perang yang hebat, perang yang hebat yang ditandai dengan kuda-kuda mati, perang yang hebat yang ditandai dengan kuda-kuda mati. Kembalilah gadis, berjumpalah dalam suatu pelayaran, oh gadis cantik. 8) Durgama bawaning Kali Kungkang, kungkang muni jurang gětěr mandra liris kalamukan. Kungkang muni jurang gětěr mandra liris kalamukan. Berbahaya keadaan Sungai Kungkang, katak besar bersuara, jurang bergetar kencang, gerimis agak lebat. Katak besar bersuara, jurang bergetar kencang, gerimis agak lebat. 9) Rum ing arka kinasut ing jaladara, těkap ing kuwon, ramyang ing mangsa katiga. Keindahan matahari tertutup awan, hingga di pesanggrahan, keindahan pada musim panas. 10) Ěnggé ěnggě ramyang ing mangsa katiga, siti harug jawuh tiba, tiba ping tiga. Oh keindahan pada musim panas, tanah longsor hujan jatuh, jatuh tiga kali. 11) Kuwung kuwung ingkang jaladara měndhung kuměnyar tan praba, tan praba. Menggelantunglah awan, mendung berkelap tanpa sinar, tanpa sinar. Fransisca Tjandrasih Adji, Teks Kandhadan Teks Sindhènan Tari Bĕdhaya dalam Naskah-Naskah Skriptorium Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Sarana Memahami Kearifan Lokal
82
12) Ěnggé ěnggé, kadi rum liris sěkar sangsaya lumrap, wiyat lan thathit. Oh, bagaikan harumnya hujan bunga semakin tampak berkerlap, langit dan petir. 13) Ambara warsa bayu bajra kumrusuk ruk sèng salata, ruk rěbah kapala warsa. Langit hujan angkasa petir bergemuruh rontok segala dedaunan, rontok berguguran dihantam hujan. 14) Ěnggé ěnggé ya rěbah kapala warsa yang ngalimut sindhung riwut pracalita. Oh, berguguran dihantam hujan, sang kabut, angin besar, petir. 15) Mulat mangétan, abra minguk minguk dyaning mawas, jaladriya watwat tinon. Memandang ke timur, sinar mengintip jika dicermati, matahari seperti hendak keluar ketika dilihat. 16) Ěnggé ěnggé jaladriya watwat tinon, surak angruk grah agoragurnita. Oh, matahari seperti hendak keluar ketika dilihat, bersamaan suara gemuruh. 17) Umpak ing gělap, awor bumi loro prak aprikan, gara-gara warsa. Penahanan petir bercampur bumi keduanya berbenturan, karena hujan. 18) Ěnggé ěnggé, gara-gara warsa běstang běstung nistha pralaya těka. Oh karena hujan, mengakibatkan keburukan (dan) kematian. 19) Dutaning pralaya, tinon takut ing arka téja, ing kéndran mega bang awor. Ěnggé ěnggé ing kéndran měga bang awor warna bangun wraksa ya lěbu dahana. Pertandha kematian, tampak takut akan sinar matahari, di angkasa (tampak) awan putih merah bercampur. Oh di angkasa (tampak) awan putih merah bercampur, wujud pepohonan menjadi debu (karena) api. Dalam teks sindhѐnan tari Bĕdhaya Kuwung-kuwung diuraikan prosesi pemberian bintang komandor dari pemerintahan Belanda kepada Sultan Hamengku Buwana VII. Pada bagian akhir diceriterakan semua yang hadir dalam prosesi pemberian bintang komandor kembali ke umah masingmasing. Berikut adalah teks kalimat-kalimat inti dalam sindhѐnan tari
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
83
Bĕdhaya Kuwung-kuwung, yang dikutip dari naskah K.132-B/S 11 halaman 51 – 56, beserta terjemahannya. 1) Punika sindhѐnanipun kagungan dalěm Bĕdhaya Kuwungkuwung. Inilah sindhѐnan tari Bĕdhaya Kuwung-kuwung. 2) Karsa Dalěm Radén Jěng Sinuwun Sultan Haměngku Buwana Kaping Sapta Sénapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidina. Babo Nata Gama, radѐn, Klipatullah kang darbѐni tah tělatah nusa Jawa, kang ngědhaton ing nagari Yugyakarta Hadiningrat. (Ini) kehendak Sultan Haměngku Buwana yang ketujuh Sénapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidina Panata Gama Kalipatullah yang berkuasa di tanah Jawa, yang berkerajaan di Yogyakarta. 3) Tuhu trahing radѐn naya ganda rěmběsing madu, musthika kasub ing rat, mahasadu santabudya, sudigdya mběg martatama. Sungguh keturunan orang luhur, permata yang sangat mulia, luhur, halus budinya. 4) Jějěg ajěg radѐn paměngkuning praja arja, kontap kotamaning nata, nguncarѐng rat pramudita, sih ing dasih, marma sagung. Senantiasa memerintah dengan mengupayakan kesejahteraan. Sungguh merupakan keutamaan seorang raja. Sangat berbelas kasih kepada para hamba. 5) ...wus juměněng jéndral mayor sangking déning sih ira Sri Maharaja, babo babo ing Néděrlan. Pan antara gantya warsa kawimbuhan antuk tandha piněrcaya... kuměnduring ordě Néděrlan sěnleyo. ...ketika menjadi jendral mayor oleh karena kasih dari Raja Belandha. Tidak berapa lama berganti tahun, akan diberi tandha kepercayaan...sebagai komandor Belanda. 6) Amarěngi Soma Manis kaping sapta, babo babo ing Rabingulakir candra, kang warsa siněngkalan Ngѐsthi Luhur Murtining Rat, babo babo wanci énjang. (Waktu itu) hari Senin Legi, tanggal 7 Rabingulakir tahun 1891, pagi hari. Fransisca Tjandrasih Adji, Teks Kandhadan Teks Sindhènan Tari Bĕdhaya dalam Naskah-Naskah Skriptorium Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Sarana Memahami Kearifan Lokal
84
7) Sri Naréndra wus busana akěprabon, ngagěm kampuh parang rusak, calana cindhé puspita, arasukan bludru krěsna, wěwangkingan pusakéndra. Sang raja menggunakan busana kerajaan, menggunakan kampuh parang rusak, celana cindhé puspita, baju beludru hitam, menggunakan keris pusaka. 8) ...lěnggah bangsal, tan antara lěbětira babo twan asistѐn, Gusti Pangran Mangkubumi, juru basa. ...duduk di bangsal, tidak lama kemudian sang asisten masuk, yaitu Gusti Pangeran Mangkubumi, dan juru bahasa. 9) ...Sri naréndra dhawuh měthuk ingkang bintang. ...Raja memerintahkan untuk menjemput tanda bintang. 10) ...juru basa ngampil bintang nѐng karéta. ...juru bahasa membawa tanda bintang dalam kereta. 11) ...pangéran kurmat měthuk rawuhira sri naréndra. ...wus lěnggah nѐng Siti Běntar, kanjěng tuwan. ...rawuh nulya tata lěnggah. ...pangeran memberi hormat menjemput sang raja...sudahlah duduk di Siti Bentar, sang tuan... (raja) datang lalu duduk. 12) Mring asistѐn gya Jěng Tuwan angagěmkěn, babo Bintang Kuměndur. Kepada asisten, sang tuan mengenakan bintang komandor 13) Gya drѐl ping tri, maryěm munya akundhisi. Segera diiringi tembakan tiga kali, meriam juga berbunyi, lalu bersulang. 14) Sri Naréndra babo, tandya kondur angědhaton. Raja lalu pulang ke dalam keraton. 15) Kangjěng Tuwan sung uninga mring Jěng Ratu. Sang tuan melapor pada ratu (Belanda). 16) Tan antara gya bubaran... Tidal berapa lama lalu bubar... Dalam teks sindhѐnan tari Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara dijelaskan alasan raja menciptakan tari Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara. Selanjutnya, diuraikan gerak-gerik penari yang sangat indah dan menimbulkan rasa cinta pada yang menyaksikan. Berikut adalah kalimat-kalimat inti dalam teks kalimat-kalimat inti sindhѐnan tari Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara, dikutip dari teks ketikan manual Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara halaman 1 – 10, beserta terjemahannya.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
85
1) Lingěn risang langěning rasa kawuryan. Diceriterakanlah keindahan yang tampak dalam rasa. 2) Harsa běksa saba-saba lumaksana ring ngarséndra. (Yang) akan menari datang mendekat raja. 3) ...samya munggѐng mungguh wěgig manggung sila... Mělěng měsu sěmu minta mangastawa dѐnnya měmangun mataya. Solah raga darapon sinudarsana. ... rětna tama amrasida mardi mardawѐng susila. ...semua sangat pandai dalam hal duduk bersila...pandangannya tampak mengarah mengeluarkan kekuatan batin, sambil menyembah memohon restu untuk menari. Tingkah lakunya diharapkan menjadi contoh...sungguh permata yang utama, mengupayakan untuk menyenangkan (dengan) budi yang baik. 4) Karsa Dalěm Maha Kangjěng Sang Prabu mangripta běksa asayogya sakotama. Pan sinukmѐng ѐsthinira Amiwaha Sangaskara, amung sad ingkang miraga, tinon anawung asmara. (Itulah) kehendak raja dalam menciptakan tari yang pantas dan utama. 5) Dhaup ira amiwaha sangaskara, pinandara busana kang sarwa éndah. Dalam pernikahan menikahkan (sebagai) berkah, dihiasi dengan pakaian yang serba indah. 6) ... yéku kadi caritanya ringgit purwa pra hapsari nuju sami lѐnggotbawa. Suka-suka samya anѐng madyapada, angiděri tětirahirѐng ing ngalaga. ...yang (diceriterakan) itu seperti ceritera wayang purwa saat para bidadari sedang menari. Semua bersenang-senang di khayangan, mengitari kunjungannya di medan perang. 7) ...pra lělangěn hadi winulad, patitis rěnggѐng wiraga. Babo, apratistha samya baut, solah bawa asatuhu sramѐngkara. ...mereka yang yang (sedang melakukan) keindahan jika dilihat sangat indah, tingkah lakunya menyenangkan. 8) ...satriya di sumitra putra mati anglěs yѐn wurunga. ...para satriya yang utama dengan teman-temanya serta para putra (raja) merasa seperti mati (jika) tidak terjadi (kebersamaannya). Fransisca Tjandrasih Adji, Teks Kandhadan Teks Sindhènan Tari Bĕdhaya dalam Naskah-Naskah Skriptorium Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Sarana Memahami Kearifan Lokal
86
9) Pangungrumé lir brěmara anguswa sari kadi ngarih-arih kang madya hartati. Kata-kata cintanya bagaikan kumbang mencium bunga, seolah-olah mencari-cari tengahnya yang manis. 10) Kumudu angrayut kang sih, akarya gěmpunging driya, wus mangkono ing pangarih. Berkehendak kuat memadu kasih, membuat hancurnya hati, seperti itulah harapannya. 11) Purna sang mataya tama. ...mangenjali ring ngarsendra. Yun lumengser sing sasana. Selesailah para penari yang utama. ...menyembah di hadapan raja. Hendak turun dari tempat (menari). Dalam teks sindhѐnan tari Bĕdhaya Sang Amurwabumi dijelaskan bahwa atas kehendak raja ceritera dalam sindhѐnan yang digunakan untuk mengiringi tari Bĕdhaya Sang Amurwabumi diambil dari ceritera pernikahan Sang Maha Prabu Sri Amurwabumi yang beragama Hindu dengan Sang Pradnyaparamita yang beragama Budha. Selanjutnya, diuraikan tentang ajaran hastha karma, posisi mudra dalam yoga khususnya Bumi Sparsa. Hal ini untuk menunjukkan persatuan Hindu dan Budha. Berikut adalah teks kalimat-kalimat inti sindhѐnan tari Bĕdhaya Sang Amurwabumi, yang dikutip dari teks ketikan manual Lampah-lampah Iringan Kagungan Ndalem Beksa Bĕdhaya Sang Amurwabumi halaman 1 – 19, beserta terjemahannya. 1) Ing karsa narindra Ngayugyakarta di kang kaping sadasa mangrěngga carita něnggih dhaupnya Sang Pradnyaparamita lan Sang Maha Prabu Sri Amurwabumi kang wus sung piwulang něnggih lambang-lambang kabudayan Jawa pan praptѐng samangkin lěstari tinulat. Marma karsa nata tinrap jroning běksa bědhaya di luhung Sang Amurwabumi. Yang dikehendaki raja Yogyakarta yang kesepuluh adalah merangkai ceritera yaitu pernikahan Sang Pradnyaparamita dan Sang Maha Prabu Sri Amurwabumi yang sudah memberikan ajaran tentang lambang-lambang dalam kebudayaan Jawa supaya sekarang senantiasa dicontoh. Oleh karena itu, diterapkan dalam bentuk tari bědhaya yang luhur (yaitu) Sang Amurwabumi.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
87
2) Purwanya kang riněngga Nagri Singasari pinanggya pѐngět lambang Joko Dhělěg mujudkěn Sri Krětaněgara pan dadya Sang Hyang Siwa lan Sang Budha maděg birawa noraga. Pada awalnya yang dirangkai adalah Kerajaan Singasari sebagai peringatan akan Joko Dheleg yang merupakan wujud Sri Kertanegara karena menjadi Siwa dan Buda yang gagah perkasa dan rendah hati. 3) Těgěsnya prakosa ing lahir alus lěmbat ing batin dén lěnggahnya něnggih Bumi Sparsa Mudra, lirira sětya ing janji kyat santosa apri tuwin bѐrbudi bawa lěksana. Artinya, gagah perkasa lahirnya namun halus lembut hatinya, duduknya adalah Bumi Sparsa Mudra, artinya setia dalam janji kuat dan sentausa serta suka memberi. 4) Ing saat iku Sang Dyah Pradnyaparamita wus aparing ajaran hastha karma pratama di wěla. Gancarnya juga pamriksa ping dwi pikir tri wicara kapya kang běněr satuhu ping catur tindak tanduk panca ing ngagěsang karasa sad ichtiyar sapta éling kang ping hastha ningnya junjung luhur punjuling Sang Adi ... Ketika itu Sang Dyah Pradnyaparamita sudah diberikan ajaran tentang hastha karma yang utama. Penjelasannya adalah mata, kedua pikiran, ketiga bicara tentang kebenaran, keempat tingkah laku, kelima merasakan kehidupan, keenam mencari sarana, ketujuh ingat, kedelapan keheningan dalam menjunjung Yang Maha Agung. 5) ... pan satuhu mengku pralambang piwulang tumuju mring kautaman. ...sungguh memuat simbol ajaran menuju keutamaan (hidup). 6) Gantya kocap Sang Dyah Pradnyaparamita ingkang nut agama Budha garwa Sri Amurwabumi ingkang nut agama Hindu... Berganti disebutkan Sang Dyah Pradnyaparamita yang menganut agama Budha, (dia) istri Sri Amurwabumi yang menganut agama Hindu... 7) Risang kalih tuhu samya agung asih jumbuh ing lahir lan batin. Hindhu lan Budha manunggil antuk nugrahaning Widhi, pantěs linuri tinulad. Keduanya sungguh besar kasihnya, selaras secara lahir dan batin. Hindu dan Budha menyatu hingga memperoleh anugerah Widhi, pantas untuk dilestarikan dan dicontoh. Fransisca Tjandrasih Adji, Teks Kandhadan Teks Sindhènan Tari Bĕdhaya dalam Naskah-Naskah Skriptorium Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Sarana Memahami Kearifan Lokal
88
8) Purna pamudyaning běksa bědhaya hadi haluhung. Selesailah pergelaran tari bědhaya yang indah dan luhur. Salah satu prinsip yang amat penting dalam kehidupan bersama orang Jawa adalah kerukunan. Tujuan dari kerukunan itu adalah mempertahankan keadaan masyarakat yang harmonis (Suseno dan Reksosusilo, 1983: 86-92). Berbagai bentuk interaksi sosial senantiasa diupayakan dan diarahkan untuk mencapai harmonisasi. Hal ini tampak pula dalam ceritera yang dikemas dalam bentuk sindhѐnan dalam keempat tari bĕdhaya yang menjadi objek material tulisan ini. Berdasarkan sindhѐnan dalam keempat tari bĕdhaya di atas, tampak adanya perbedaan ceritera dalam sindhѐnan setiap tari bĕdhaya. Namun demikian, pada dasarnya inti dalam ceritera itu sama. Dalam sindhѐnan tari Bĕdhaya Sěmang disebutkan bagaimana sebaiknya sikap manusia serta uraian keadaan dunia yang dilanda bencana. Secara tidak langsung, hal tersebut
dapat
dikatakan
bahwa
manusia
diharapkan
senantiasa
mengupayakan harmonisasi dalam kehidupan di dunia. Sindhѐnan tari Bĕdhaya
Kuwung-kuwung
menguraikan
prosesi
pemberian
bintang
komandor pada sultan. Namun demikian, dalam uraian itu, tersurat juga tentang karakter sultan. Sultan disebutkan sebagai raja yang memiliki keutamaan, keluhuran di seluruh dunia, mengasihi para hamba. Karena sikapnya ini, semua anggota keluarga, sanak saudara, serta abdi dalem mengasihi, menghormati, tunduk dalam mengabdi sultan. Hal ini juga menggambarkan adanya harmonisasi antara penguasa dan yang dikuasai. Dalam sindhѐnan tari Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara disebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh raja dengan jumlah penari 6 orang. Tari Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara diciptakan untuk dipergelarkan dalam upacara pernikahan. Oleh karena itu, dalam sindhѐnan diuraikan pula romantisme pertemuan antara pria dan wanita yang telah menikah. Diumpamakan pria bagaikan kumbang DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
89
yang mencium sari bunga lalu seolah-olah mencari-cari pusat manisnya. Selanjutnya, diuraikan rayuan yang dilakukan si pria. Rayuannya digambarkan dengan indah sehingga mengenakkan hati si wanita dan menimbulkan hasrat untuk memadu kasih. Penggambaran ini juga menunjukkan adanya harmonisasi. Artinya, antara pria dan wanita ada kehendak yang sama untuk bersatu. Tari Bĕdhaya Sang Amurwabumi yang diciptakan Sultan Hamengku Buwana X menceriterakan pernikahan Sang Amurwabumi dan Sang Pradnyaparamita yang berbeda keyakinan. Namun demikian, intinya bukan pada pernikahannya. Dalam sindhѐnan tari Bĕdhaya Sang Amurwabumi pernikahan itu sebagai sarana untuk menunjukkan hal yang lebih mendalam lagi yaitu penyatuan ajaran agama Hindu dan Budha. Hastha karma dan Bumi Sparsa Mudra dijadikan inti ajaran yang disampaikan melalui sindhѐnan tari Bĕdhaya Sang Amurwabumi. Dengan demikian, harmonisasi pula yang menjadi inti sindhѐnan tari Bĕdhaya Sang Amurwabumi. Penutup Tari bĕdhaya merupakan tari yang memiliki peranan penting dalam kehidupan Keraton Yogyakarta. Namun demikian, kajian terhadap tari bĕdhaya cenderung fokus terhadap aspek-aspek performance-nya terutama koregrafi. Aspek sastra dalam tari bĕdhaya yang termuat dalam kandha dan sindhѐnan tidak disentuh. Kandha dan sindhѐnan dalam tari bĕdhaya merupakan aspek untuk memahami makna pergelaran tari bĕdhaya. Berdasarkan kajian di atas, tampak bahwa kandha dan sindhѐnan dalam tari bĕdhaya dibuat tidak Fransisca Tjandrasih Adji, Teks Kandhadan Teks Sindhènan Tari Bĕdhaya dalam Naskah-Naskah Skriptorium Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Sarana Memahami Kearifan Lokal
90
sekedar untuk mengiringi pergelaran tari bĕdhaya. ada muatan kearifan lokal yang dapat dipahami dari kandha dan sindhѐnan dalam tari bĕdhaya. Daftar Pustaka A.
Buku
Brakel-Papenhuyzen, Clara. 1992a. The Bedaya Court Dances of Central Java, Leiden: E.J. Brill. Darsono, 2009. “Pengetahuan Dasar Swarawati”, bahan kursus dasar swarawati se Jawa Tengah, ISI Surakarta. Dewan Ahli Yayasan Siswa Among Beksa Ngayogyakarta Hadiningrat. 1981. Kawruh Joged-Mataram, Yogyakarta: Yayasan Siswa Among Beksa. Dewi, Nora Konstantina. 1994. “Tari Bedhaya Ketawang: Reaktualisasi Hubungan Mitis Panembahan Senapati dengan Kanjeng Ratu Kencanasari dan Perkembangannya”. Tesis pada Program Studi Seni Pertunjukkan dan Seni Rupa, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada. Hadi, Sumandiyo. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Penerbit Buku Pustaka. Hadiwidjojo, KPH. 1981. Bĕdhaya Ketawang: Tarian Sakral di Candicandi, Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hughes-Freeland, Felicia. 2009. Komunitas yang Mewujud: Tradisi Tari dan Perubahan di Jawa, Terjemahan Nin Bakdi Soemanto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Martopangrawit, R.L., 1988. Dibuang Sayang: Lagu dan Cakepan Gerongan Gending-gending Gaya Surakarta. Surakarta: Penerbit SetiAji dan Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta. Moedjanto, G. 1990. The Consept of Power in Javanese Culture. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pujasworo, Bambang. 1993. “Tari Bedhaya Kajian Tentang Konsep Estetik Tari Putri Gaya Yogyakarta”, SENI. Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, III/02 April 1993, BP. ISI Yogyakarta, halaman 1-13. Purwadmadi. 2014. Ragam Seni Pertunjukan Tradisi # 3, Dokumentasi Rekonstruksi Tari Klasik Gaya Yogyakarta: Bĕdhaya Kuwung-kuwung, Beksan Guntur Segara, Bĕdhaya Angronsekar, Beksan Bugis, Yogyakarta: UPTD Taman Budaya, Dinas Kebudayaan daerah Istimewa Yogyakarta. Rahyono, F.X., 2009, Kearifan Budaya dalam Kata, Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra. DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
91
Ricklefs, M.C. 1998. The Seen and Unseen Worlds in Java 1726 – 1749: History, Literature and Islam in the Court of Pakubuwana II, Asian Studies Association of Australia in Association with Allen & Unwin and University of Hawai‟i Press Honolulu. Sabdacarakatama, Ki. 2009. Sejarah Kraton Yogyakarta, Yogyakarta: Penerbit Narasi. Soedarsono. 1974. Dance in Indonesia, Jakarta: Gunung Agung. Sedjati, Djandjang Purwo. 2004. “Busana Tari Bedhaya Ketawang: Ragam Hias dan Makna Simboliknya”, Tesis pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Suharji. 2004. Bedhaya Suryasumirat, Semarang: Intra Pustaka Utama. Suharti, Theresia. 2015. Bĕdhaya Sĕmang Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Reaktualisasi Sebuah Tari Pusaka, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Surjodiningrat, R.M. Wasisto. 1970. Gamelan Tari dan Wayang di Jogjakarta, Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada. Suryobrongto, GBPH. 1981. “Sejarah Tari Klasik Gaya Yogyakarta” dalam Fred Wibowo, Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta, Dewan Kesenian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Proyek Pengembangan Kesenian Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 30 – 33. Suseno, Franz Magnis dan Reksosusilo, S. 1983. Etika Jawa dalam Tantangan, Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius. B. Internet Carey, Peter. 1997. “Civilization on Loan: The Making of an Upstart Polity: Mataram and Its Successors, 1600-1830”, in Modern Asian Studies, Vol. 31, No. 3, Special Issue: “The Eurasian Context of the EarlyModern History of Mainland South East Asia, 1400-1800” (Jul., 1997), pp. 711-734, Cambridge University Press, http://www.jstor.org/stable/312797 , accessed: 23/02/2015 22:29. Resink, G. J. 1997. “Kanjeng Ratu Kidul: The Second Divine Spouse of the Sultans of Ngayogyakarta”, Asian Folklore Studies, Vol. 56, No. 2 Fransisca Tjandrasih Adji, Teks Kandhadan Teks Sindhènan Tari Bĕdhaya dalam Naskah-Naskah Skriptorium Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Sarana Memahami Kearifan Lokal
92
(1997), pp. 313-316, Nanzan University, http://www.jstor.org/stable/1178729 , accessed: 07/02/2015 17:53. “Tari Bedhoyo Ketawang” http://www.karatonsurakarta.com/tari%20bedhoyo.html diunduh pada tanggal 17 Desember 2014. C.
Naskah dan Teks Ketikan Manual
Kagungan Dalem Sěrat Nut Gěndhing Sěmang Bědhaya dengan kode naskah K.125-B/S 1A koleksi KHP Kridha Mardawa, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kagungan Dalem Sěrat Pasindhѐn sarta Běksa Bědhaya Sěmang dengan kode naskah K.126-B/S 1B koleksi KHP Kridha Mardawa, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kagungan Dalem Sěrat Kandha dengan kode naskah K.131-B/S 9 koleksi KHP Kridha Mardawa, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kagungan Dalěm Sěrat Pasindhèn dengan kode naskah K.132-B/S 11 koleksi KHP Kridha Mardawa, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Lampah-lampah Iringan Kagungan Ndalěm Běksa Bĕdhaya Sang Amurwabumi naskah koleksi KHP Kridha Mardawa, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Bĕdhaya Wiwaha Sangaskara teks ketikan manual koleksi KHP Kridha Mardawa, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
BAHASA BERGAYA DALAM PROSESI ADAT MOTOLOBALANGO : UPAYA MEMBANGUN KARAKTER BANGSA Rahman Taufiqrianto Dako Universitas Negeri Gorontalo
[email protected] Abstract Language that is used in traditional procession of motolobalango (proposing) is Gorontalo language custom variety which has characteristics. The characteristics are caused by function dan situation that happen in interaction in the traditional procession of motolobalango. This article is an introduction that has aim to describe language stylish in the traditional procession as a way to build national characters. By using observation and invterview in collecting data, then, data is analyzed by extra-lingual comparison based on ethnography of communication. Based on investigations, language stylish in traditional procession of motolobalango are style of sound : reduplication of sound, pantunistic, has aliteration and asonance; style of word or frase : simbolic, figurative, archaisme, synonym, and has reversal word; style of sentence : long dan indirectional expresion. The characteristics of language style in traditional procession of motolobalango give harmonisation, the right words and sentence; therefore they may be used to build national character of young generation which has responsibility, cheritable and merciful, understood nature of character, believeable, loyal, and emphaty. Key words : language stylish, motolobalango, Gorontalo language custom variety, and character Abstrak Bahasa yang digunakan dalam prosesi adat motolobalango (meminang) adalah bahasa Gorontalo ragam Adat (BGRA) yang memiliki ciri khas. Kekhasan dari BGRA disebabkan oleh fungsi dan situasi terjadinya interaksi dalam prosesi adat motolobalango. Tulisan ini, sebagai sebuah pengantar, bertujuan untuk menggambarkan bahasa bergaya dalam prosesi adat motolobalango sebagai upaya membangun karakter bangsa. Dengan memanfaatkan metode simak dan wawancara dalam memperoleh data, data dianalisis dengan metode padan ekstralingual berdasarkan kajian etnografi komunikasi. Hasil penelitian menunjukan bahasa bergaya dalam prosesi adat motolobalango yaitu, gaya bunyi, terdiri dari pengulangan bunyi, bersifat pantun, beraliterasi dan berasonansi. Gaya kata/frasenya 93
94
menggunakan simbol, kiasan, arkais, sinonim, dan menggunakan kata yang dibolak-balik. Gaya kalimatnya memiliki ciri khas panjang dengan ketidaklangsungan ekspresi. Kekhasan dari bahasa bergaya dalam prosesi adat motolobalango melahirkan harmonisasi, ketepatan pemilihan kata dan kalimat. Kekhasan bahasa yang digunakan menyiratkan watak yang diharapkan dapat digunakan sebagai upaya membangun karakter generasi muda yang bertangungjawab, pengasih dan penyayang, memahami kodrat masing-masing, amanah, taat aturan dan memiliki rasa empati dengan sesama. Kata-kata kunci : bahasa bergaya, motolobalango, bahasa Gorontalo ragam adat dan karakter. Pendahuluan Pernyataan seorang penghulu: “wahai ... bin ..., saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan seorang perempuan pilihanmu yang bernama ... binti ... yang oleh walinya telah menyerahkannya kepada saya untuk menikahkan denganya, dengan mahar darimu seratus sepuluh ribu rupiah dan seperangkat alat shalat dibayar tunai”, dan pernyataan seorang calon suami “saya terima nikahnya ... binti ... dengan mahar tersebut tunai adalah dua pernyataan yang bergaya sebagai salah satu syarat syah sebuah pernikahan. Tanpa pernyataan seperti itu tidak ada ikatan resmi sebuah pernikahan. Pernikahan adalah salah satu momen yang penting dan sakral dalam kehidupan umat manusia. Pernikahan menjadi penting karena ada ikrar janji untuk menjalani kehidupan secara bersama-sama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Pernikahan menjadi sakral karena ada kesucian cinta yang hendak dibangun oleh kedua insan yang dibalut dengan ridho Tuhan yang Maha Esa. Olehnya pernikahan itu harus benar-benar diresapi oleh kedua mempelai. Pernikahan tidak hanya menyatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam sebuah ikatan pernikahan yang syah tetapi juga menyatukan dua keluarga besar laki-laki dan perempuan. DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
95
Untuk menuju ke jenjang pernikahan, bagi masyarakat Gorontalo ada sejumlah tahap-tahap yang akan dilalui. Dalam beberapa bagian, ada tahaptahap yang sudah tidak dilakukan karena di antaranya kedua calon mempelai baik sang jejaka maupun sang gadis sudah pernah/sering bertemu. Untuk jaman sekarang ada yang sudah ditandai dengan pertunangan sebelum pernikahan. Pada zaman dahulu para orang tua juga mengenal tahapan mencari jodoh tetapi dengan versi lain. Cara yang ditempuhpun berbeda seperti saat sekarang dimana untuk menentukan bibit, bebet dan bobot calon pasangan hidup didasarkan kepada fenomena alam. Tahap-tahap dalam menentukan calon pendamping memiliki nilai dan norma yang berlaku di masyarakat dan mempunyai tujuan yang baik. Tahap meminang calon mempelai perempuan dalam bahasa Gorontalo (BG) disebut motolobalango. Motolobalango
berasal dari kata tolobalango (BG) yang berarti
peminangan yang mendapat afiks mo + tolobalango yang bermakna meminang dalam bahasa Indonesia. Dalam konteks budaya Gorontalo, motolobalango adalah proses dimana seorang perjaka meminang atau meminta sang gadis untuk menjadi calon istrinya, atau keluarga dari pihak laki-laki menyeberang kepada keluarga sang gadis untuk menjadikannya calon menantu mereka(Djou, 2012:45). Secara lingustik motolobalango memiliki keunikan tersendiri. Ada dialog verbal yang menarik untuk dikaji disamping benda-benda budaya yang juga perlu diketahui fungsinya. Tuturan-tuturan yang digunakan oleh dua juru bicara tergolong khas dan tuturan tersebut jarang dijumpai dalam Rahman Taufiqrianto Dako,Bahasa Bergaya dalam Prosesi Adat Motolobalango : Upaya Membangun Karakter Bangsa
96
kehidupan sehari-hari. Kekhasan tuturannya terletak pada penggunaan irama, kiasan, pernyataan yang panjang, dan ketaklangsungan ekspresi kalimat. Kekuatan atau daya tuturan yang digunakan oleh juru bicara laki-laki yang dalam BG disebut „lundu dulungo layi‟o (LDL) dan dari pihak keluarga perempuan juru bicaranya disebut “lundu dulungo wolato (LDW = BG) menarik untuk dijabarkan. Kekhasan tuturan yang jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari perlu diketahui terutama oleh generasi muda agar mereka
memahami
mengapa
prosesi
adat
masyarakat
Gorontalo
menggunakan tuturan verbal seperti itu. Setiap kata memiliki jiwa dan mewakili perasaan dari orang yang hendak menyatakan lamaran. Perasaanperasaan itu tersampaikan lewat tuturan yang teratur dengan irama yang indah dan kiasan
yang tepat.
Akan tetapi
Ketidaktahuan dan
ketidakingintahuan masyarakat pelaku budaya itu menyebabkan masyarakat tersebut seperti kehilangan jati diri. Prosesi motolobalango hanya menjadi sekedar prosesi adat semata tanpa makna dan bersifat seremonial belaka. Idealnya, setiap tradisi yang baik perlu dipertahankan dan dilestarikan sebab selalu ada pesan yang ingin disampaikan. Tradisi seperti motolobalango dapat digunakan untuk membangun karakter bangsa. Budaya bangsa (perilaku) yang ada sekarang merupakan produk budaya bangsa yang pernah ada dulu. Sisi positif yang baik itu memang berguna dan alangkah baiknya ditumbuhkembangkan. Untuk menguraikan maksud di atas, penulis hendak melihat bagaimana bahasa bergaya dalam prosesi adat motolobalango dapat dijadikan sebagai sebuah alternatif dalam membangun karakter genarasi muda bangsa. Dengan memanfaatkan kajian etnografi komunikasi tulisan ini hendak menguak hubungan bahasa dan komunikasi sebagai perangai budaya (Schiffrin, 1994:12). Data diperoleh melalui dua metode yakni metode simak dan metode wawancara. Untuk metode simak dilakukan dengan tehnik catat DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
97
dan rekam sebagai tehnik lanjutan, sedangkan tehnik pancing sebagai tehnik lanjutan untuk metode wawancara (Mahsun, 2005: 242-243). Analisis data memanfaatkan metode padan ekstralingual yaitu menghubungkan masalah bahasa dengan hal-hal yang berada di luar bahasa seperti makna, informasi, konteks tuturan dan lain-lain (Mahsun,2005: 120). Bahasa Bergaya dalam Prosesi Adat Motolobalango sebagai Upaya membangun Karakter bangsa Jika memperhatikan komponen tutur yang disampaikan oleh Hymes, maka genre yang digunakan dalam prosesi adat motolobalango adalah ragam bahasa adat atau ragam bahasa yang indah (sastra). Bahasa sastra itu menurut Slametmuljana (Pradopo, 1997:38) adalah kata berjiwa yang telah mengandung perasaan pengarang dan lain dari arti kamus. Hal ini selaras dengan ciri-ciri umum yang disampaikan oleh Djou (2012) mengenai Bahasa Gorontalo Ragam Adat (BGRA). Bahasa sastra dan BGRA memiliki kesamaan yaitu bahasa bergaya. Bahasa bergaya atau gaya bahasa (language syle) artinya bahasa yang digunakan memiliki gaya. Dalam tuturannya ada tujuan tertentu yang ingin ditimbulkan oleh pengguna bahasa tersebut. Hal ini nampak jelas seperti yang ditunjukkan melalui sifat
BGRA sebagai
sebuah ragam bahasa yang situasional. Menurut Keraf (Pradopo, 1997:40) bahwa gaya bahasa adalah pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas dari penulis (pemakai bahasa) yang memperlihatkan jiwa dan kepribadiannya. Sementara itu, Pradopo (1997: 39) mendefinisikan gaya bahasa sebagai penggunaan bahasa Rahman Taufiqrianto Dako,Bahasa Bergaya dalam Prosesi Adat Motolobalango : Upaya Membangun Karakter Bangsa
98
secara khusus yang menimbulkan efek tertentu khususnya efek estetis. Seirama dengan hal tersebut Kridalaksana (2001: 63) mendefinisikan gaya bahasa: 1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; 2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu; 3) keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Berdasarkan tiga definisi dari tiga pakar ini nampak bahwa gaya bahasa adalah pemanfaatan bahasa oleh penggunanya (penutur/penulis) untuk mendapatkan efek tertentu. Tuturan yang digunakan oleh LDL dan LDW dalam BGRA memiliki karakter yang tersamarkan. Karakter adalah tabiat; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; watak (Rais, 2012: 299). Untuk dapat mengetahui watak atau karakter yang ada dalam tuturan harus dipahami terlebih dahulu asumsi-asumsi kajian etnografi komunikasi agar pemahaman kandungan karakter yang ada dalam tuturan
menjadi
maksimal..
Asumsi-asumsi
ini
digunakan
untuk
menerjemahkan karakter tuturan LDL dan LDW. Pertama, para anggota budaya akan menciptakan makna yang digunakan bersama. Mereka memiliki derajat pemahaman yang sama. Kedua, para komunikator dalam sebuah komunitas budaya harus mengkoordinasikan tindakan-tindakannya. Oleh karena itu, di dalam komunitas itu akan terdapat aturan atau sistem dalam berkomunikasi. Ketiga, makna dan tindakan bersifat spesifik dalam sebuah komunitas, sehingga antara komunitas yang satu dengan yang lainnya akan memiliki perbedaan dalam hal makna dan tindakan tersebut. Keempat, selain memiliki kekhususan dalam hal makna dan tindakan, setiap komunitas juga memiliki kekhususan dalam hal memahami kode-kode makna dan tindakan (Zakiah, 2008: 186). Dari penjelasan ini menunjukkan bahwa ada kemampuan antar komunikator dalam sebuah komunitas budaya dalam memahami kode-kode DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
99
makna dan tindakannya. Mereka memiliki kesamaan persepsi dalam mentransfer makna, walaupun dengan kode-kode makna dan tindakan itu sangat spesifik. Tulisan ini sebagai upaya mengungkap karakter yang terkandung dalam tuturan LDL dan LDW yang dianggap “bernyawa”. Karakter yang diungkap ini diharapkan menjadi motivasi kepada generasi muda. Tiga pokok gaya bahasa yang hendak dibahas adalah gaya bunyi, gaya kata dan gaya kalimat. 1 Gaya bunyi Gaya bunyi yang dapat ditemui dalam prosesi adat motolobalango yakni pengulangan bunyi, bersifat pantun, dan aliterasi dan asonansi. Harmonisasi bunyi yang ada dalam tuturan menjadi ciri khas dalam BGRA. 1.1 Pengulangan bunyi Bunyi-bunyi yang berulang dapat dijumpai dalam tuturan (1) yang bertujuan agar tuturannya berirama. (1)
amiatia pe‟entapo talu-talu kami sekali lagi menghadap lotaluwa wau tumalu dan berhadapan du‟ola de buto‟o teristimewa pejabat tato huhulo‟o, yang hadir, talu-talu lo maklumu untuk mendapatkan pemakluman ode ta‟ahuwo lo kambungu, kepada pemilik kampung, Pengulangan bunyi /u/,/o/, terjadi secara teratur. Kata [talu] diulang
beberapa kali dengan tujuan memberikan irama yang indah untuk didengar, meskipun makna talu-talu, lotaluwa, dan tumalu kurang lebih sama.
Rahman Taufiqrianto Dako,Bahasa Bergaya dalam Prosesi Adat Motolobalango : Upaya Membangun Karakter Bangsa
100
Demikian juga bunyi akhir /u/ kembali diulang pada kata maklumu dan kambunguagar bunyi berirama. 1.2 Bersifat pantun Dalam tuturan-tuturan LDL maupun LDW ada juga yang mangandung unsur pantun. Jika bentuk yang sesungguhnya, pantun memiliki sampiran dan isi dan keteraturan rima akhir. Meskipun tidak mengikuti bentuk pantun yang sesungguhnya, contoh (2) dan (3) dapat dikatakan memiliki sifat pantun sebab ada bagian sampiran dan isi, serta ada keteraturan rima pada bagian akhir tuturan. (2)
To paramata intani, to paladu lani-lani, bo‟o-bo‟o lo imani, lomongopulu tuwani, terhormat) wonu delo dipoolu (kekasihnya),tuudu tahemoo bimbangi, (3) To paramata intani, to paladulani-lani tomongo pulutuani. terhormat) Debo woluwo tainsani, Tu‟udu tahemo‟o bimbangi. Dabo: iloti:ngama‟o lamiyatotiya Kami Bo:donggoma‟o lopole‟ede Sa:ngi
permata intan, di tempat yang terjaga dengan pakaian iman, dari para Tuan (yang jika belum adainsani yang membuatnya bimbang, permata intan ditempat yang terjaga dari para Tuan (yang ada juga insan (kekasih) yang membuatnya bimbang, namun yang didengar oleh masih merajuk ke Sangir
(SULUT) Contoh (2) adalah tuturan dari LDL yang bertugas sebagai juru bicara dari pihak calon mempelai laki-laki hendak bertanya mengenai status dari calon mempelai perempuan. Bagian yang dapat dianggap sebagai sampiran dimulai
dari
...
to
paramata
intani..
(permata
intan)
sampaidengan...lomongopulu tuwani...,(dari para Tuan yang terhormat). Sedangkan bagian isi adalah ....wonu delo dipo:lu...(jika belum adainsani (kekasihnya),tuudu tahemoo bimbangi, (yang membuatnya bimbang). DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
101
Iramanya berakhiran dengan bunyi /i/. Pertanyaan LDL dijawab oleh LDW dengan tuturan (3) yang juga dengan irama yang diakhiri dengan bunyi /i/. Bagian sampiran adalah ...to paramata intani (permata intan), to paladu lani-lani (di tempat yang terjaga) , lomongopulu tuani (dari para Tuan yang terhormat) dan bagian isi adalah ...debo woluwo ta insani (ada juga kekasih), tu‟udu ta hemo‟obimbangi (yang membuatnya bimbang), dabo: iloti:ngama‟o lamiyatotiya bo: donggo lopole‟e de sa:ngi (namun yang didengar oleh kami masih merajuk ke Sangir. 1.3 Beraliterasi dan Berasonansi Aliterasi dan asonansi adalah dua bentuk gaya bunyi yang bertujuan memberi efek keindahan bunyi didengar. Aliterasi adalah pengulangan konsonan atau kelompok konsonan pada awal suku atau awal kata secara berurutan
(Kridalaksana,
2001:10).
Sementara
itu
asonansi
adalah
pengulangan vokal (Kridalaksana, 2001:18). Pengulangan dua bentuk gaya bunyi ini terjadi dalam tuturan LDL dan LDW seperti dalam contoh-contoh di bawah ini. Contoh aliterasi, (4) (5) (6)
hihulo‟a hiduota duduk hikmat hidudu‟a hipakua terpatri terpaku potunu wawu potuhata, petunjuk dan pendapat Konsonan yang diulang adalah /h/ dalam contoh (4) dan (5) yakni
dalam kata hihulo‟a hidu‟ota dan hidudu‟a hipakua, dan konsonan /p/ dalam
Rahman Taufiqrianto Dako,Bahasa Bergaya dalam Prosesi Adat Motolobalango : Upaya Membangun Karakter Bangsa
102
contoh (6) kata potunu dan potuhata. Efek kesedapan bunyi di dengar juga terjadi dalam contoh asonansi dibawah ini. Contoh Asonansi, (7) (8)
salamu ... kalamu ... teto teya, teya teto.,
salam ... kalam di sanasini, di sini sana
Vokal yang diulang dalam contoh (7) adalah /a/ dan /u/. Contoh (8) merupakan kombinasi aliterasi dan asonansi. Aliterasinya adalah bunyi /t/ sedangkan asonansinya adalah bunyi /e/. Keindahan ini merupakan harmonisasi bunyi. Harmonisasi bunyi ini menimbulkan efek keindahan dalam tuturan-tuturan LDL dan LDW. Harmonisasi dalam rumah tangga juga diharapkan akan terjadi dalam pernikahan seperti harmonisasi bunyi dalam tuturan-tuturan di atas. 2 Gaya Kata/frase Prosesi motolobalango merupakan prosesi lamaran. Prosesi ini dapat berakibat diterima atau ditolaknya lamaran. Para penutur berusaha sebaik mungkin agar tidak menimbulkan ketersinggungan atau ketidaknyamanan. Berdasarkan data yang ada, para penutur (baik LDL maupun LDW) menggunakan simbol, kata/frase berkias, bersifat arkais, bersinonim dan dibolak-balik. 2.1 Menggunakan simbol, Prosesi adat motolobalango adalah prosesi yang menggunakan simbol-simbol adat yang telah membudaya. Penggunaan simbol-simbol itu merupakan tradisi yang turun-temurun. Ketika sebuah tuturan dalam prosesi adat diucapkan, sejumlah simbol juga diserahkan. Simbol ini menjadi syarat berlangsung prosesi adat motolobalango. to‟owoluo lo tolo pangge mengenai tiga tangkai lo aadati lomongo tiombunto mulo adat dari para leluhur (10) bohulio tonggu, tonggu lo wunggumo pertama tonggu,tonggu lo wunggumo tuwoto lo‟u mememotihelumo sebagai tanda untuk bersepakat (9)
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
103
(11) Oluwo tilajali lamiatia pajabiya tiluwango lohudu balango sarati hu‟o longango (12) Otolu lo tilajali lamiatia mama pilututo mepolile pohedupo to banta donggo wungu-wunguto,
kedua kami hamparkan pajabiya tiluwango bermaksud menyeberang syaratnya untuk membuka ketiga kami hamparkan mama yang terbungkus untuk melihat anak gadis yang masih terjaga
(kehormatannya), Tiga tangkai adat yang dimaksud dalam (9) adalah simbol dalam prosesi adat motolobalango. Tiga tangkai (syarat) yang dimaksud adalah tonggu lo wunggumo ( dalam10), pajabiya tiluwango (dalam 11)dan mama pilututo(dalam 12). Ketiga syarat ini menjadi simbol adat
yang
mengkondisikan berlangsungnya prosesi adat motolobalango. Dalam gerak kehidupannya, manusia, sebagai animal simbolicum, meminjam istilah Cassirer, memiliki kemampuan menggunakan simbolsimbol sehingga dapat dipahami oleh manusia yang lain. Simbol menurut Ahimsa-Putra (2009: 17-18) adalah sesuatu yang dimaknai. Karena sifat kolektivitasnya maka manusia kemudian dapat menciptakan kebudayaan dan kehidupan sosial. Kehidupan bersama-sama dengan yang lain, menciptakan kegiatan-kegiatan bersama. Kebudayaan mengandung norma yang dijadikan acuan dalam beraktivitas secara sosial.Secara maknawi simbol-simbol ini menyiratkan sebuah prosesi kehidupan yang harus dilalui oleh umat manusia. Kehidupan itu ibarat anak tangga. Kehidupan dimulai dari yang paling dasar beranjak terus hingga mencapai tangga kehidupan yang tertinggi. Antara satu Rahman Taufiqrianto Dako,Bahasa Bergaya dalam Prosesi Adat Motolobalango : Upaya Membangun Karakter Bangsa
104
simbol dengan simbol yang lain saling berhubungan dan merupakan gambaran jenjang kehidupan yang sesungguhnya. 2.2 Kata/frase Berkias, Dalam BGRA, selain menggunakan simbol-simbol terdapat pula kiasan. Kata-kata atau kelompok kata tertentu yang digunakan untuk memperoleh efek tertentu dengan membandingkan atau mengasosiasi dua hal adalah kiasan (Kridalaksana, 2001: 110). Kata/frase berkias dijumpai dalam prosesi adat motolobalango. Seperti contoh-contoh di bawah ini. (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20)
Paramata i:ntani, Hulawanto ngopata mopulo pata dulopulalimo pato‟o wolomo bonto‟o tuwawu uyila-yilapito, Uduluwo u‟ipi-ipito ilato bulonggodu
permata intan, emas sepuluh helai dua puluh lima tiang enam (angka) nol satu yang mengejar dua yang terjepit kilat guntur
Contoh (13), dan (14), adalah kiasan untuk seorang gadis. Gadis dikiaskan sebagai permata intan dan emas. Ini berarti bahwa sang gadis adalah sesuatu yang sangat berharga. Menyimpannya juga harus dengan hati jangan sampai ada yang mencurinya. Selanjutnya setelah diterimanya lamaran antara kedua belah pihak, pihak calonn mempelai laki-laki akan menyerahkan sejumlah potongolito (kesepakatan). Dari contoh (15) sampai dengan (20) adalah potongolito dari pihak calon mempelai laki-laki sebagai tanda kesungguhan dalam melamar gadis idamannya. Contoh (15) dan (16) adalah jumlah kiasan untuk jumlah uang yang akan diserahkan. Mopulo pata (sepuluh helai) artinya sepuluh juta, atau dengan tuturan dulopulalimo pato‟o wolo bonto‟o artinya dua puluh lima juta (yang terdiri dari angka dua puluh lima dengan enam angka nol). Selain itu juga, pihak keluarga calon mempelai laki-laki juga menyerahkan satu ekor sapi (tuawu yila-yilapito) dalam contoh (17), dua DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
105
karung beras (duluwo u ipi-ipito) dalam contoh (18). Sapi biasanya kalau berjalan berada di belakang dari orang yang menuntunnya sehingga dikatakan u yila-yilapito (yang mengikuti). Jika orang yang hendak membawa beras biasa dengan cara menjepit di sela-sela tangan dan badan (dibawah ketiak) sehingga beras terjepit (u ipi-ipito). Ilato (kilat) dalam contoh (19) berarti bahwa pihak keluarga laki-laki bersedia menanggung biaya foto. Kilat sama dngan blitz foto ketika kita mengambil gambar yang mengeluarkan cahaya. Bulonggodu (guntur) dalam contoh (20), artinya ada gemuruh guntur ketika akan turun hujan dan itu didentikkan dengan hiburan. Ilato dan bulonggodu diserahkan untuk melengkapi kesempurnaan penyelenggaraan pelaksanaan pernikahan. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa ketika tuturan diucapkan, LDL dan LDW memilih tuturan yang berkias. Hal ini dilakukan untuk menghindari ketersinggungan dari mitra tutur dan sifat riya‟ dalam bertutur. 2.3 Arkaisme Situasi resmi dan suasana yang formal dalam prosesi sidang adat menyebabkan LDL dan LDW menggunakan BGRA dalam motolobalango. Penggunaan ragam ini memunculkan sejumlah kata yang sangat spesifik dalam prosesi adat motolobalango. Unsur bahasa yang tidak lazim tetapi yang dipakai untuk efek tertentu yang kadang-kadang muncul dalam bahasa kini disebut arkaisme (Kridalaksana, 2001:17).
Contoh-contoh arkaisme
seperti yang ada di bawah ini: (21) mawajaliolo.
akan dihantarkan
Rahman Taufiqrianto Dako,Bahasa Bergaya dalam Prosesi Adat Motolobalango : Upaya Membangun Karakter Bangsa
106
(22) (23) (24) (25) (26) (27) (28) (29)
tamatona-tonapato yang bersedia motiwayonga berpijak walo-walodei . yang dihantar tima-timamanga to yang selalu melaksanakan wunggumiyo loidigamu sebagai tanda pengikat to paladu lani-lani, di tempat yang terjaga bada-badari kiasan lototayowa melangkah Kata-kata ini sangat jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain jarang kata-kata ini berhubungan dengan prosesi adat. Seperti dalam (21) dan (24). Kata mawajaliolo (akan dihantarkan) itu biasa adalah perangkat adat, misalnya yang disebutkan dalam contoh (9) tolo pangge lo aadati(tiga tangkaiadat)akan dihantarkan. Demikian juga dalam contoh (24), meskipun memiliki maksud yang sama, walo-walodei (dihantarkan) namun perangkat adat yang diserahkan berbeda. Biasanya tuturan no (25) lebih mengacu ke payung kebesaran yang menghantar tonggu lo wunggumo (lihat no. 10). Demikian juga contoh-contoh yang lain dalam contoh 22, 23, 25, 27,28 dan 29. Tuturan-tuturan seperti ini hanya dapat ditemui dalam prosesi adat. Kata-kata/frase arkaisme adalah ciri khas tuturan yang ada dalam prosesi adat motolobalango. 2.4 kata yang bersinonim Kemampuan seorang juru bicara dalam prosesi adat motolobalango sangat menentukan pilihan kata yang digunakannya. Baik LDL maupun LDW, kedua fasih dalam berbahasaGorontalo. Contoh-contoh di bawah ini adalah kata-kata yang bersinonim. (30) (31) (32) (33)
molilimbuto, ... mololawalo, motombilu, mokawuli, moloiya lo sadiya lodapato matapaledu tapahuwato,
merasa khawatir berucap, bertutur, berkata, menyediakan mempersiapkan tersandung
Sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk bahasa yang lain (Rais, 2012: 590). Penggunaan sinonim ini selain untuk memberikan keindahan juga diharapkan dapat memberikan daya DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
107
dalam tuturan-tuturannya. Misalnya dalam contoh (30), ada kehawatiran dari LDL mengenai keinginan mereka yang tidak akan diterima oleh LDW. Hal ini disampaikan dengan harapan kehawatiran (molilimbuto ... mololawalo...) ini beroleh tanggapan positif dari pihak LDW. Artinya mereka tidak ingin mendapat respon negatif (ditolak lamarannya). Demikian juga dalam (31, 32, 33), kata-kata tersebut bersinonim satu dengan lain. 2.5 kata yang dibolak-balik Untuk menghasilkan efek keindahan dalam tuturan, LDL dan LDW membolak-balik kata yang mereka gunakan. Seperti contoh di bawah ini (34) ... ti po‟ulat i po‟uwama, ... bibi paman, ... ti po‟owama ti po‟ula paman bibi (35) .... mahidilita hi huntinga telah ditata dan diatur ito bolo hipopodembinga, Kita hanya melaksanakan, mahihuntinga hidilita telah diatur dan ditata ito bolo hipopoa‟yita, Kita hanya melakukan,,. Dalam tuturan (34) kata yang dibolak-balik adalah po‟ula (bibi) dan po‟uwama (paman). Sedangkan contoh (35) yang dibolak-balik adalah hidilita (secara harafiah artinya terpola) dan hihuntinga (secara harafiah artinya digunting). Pembolak-balikan kata bertujuan untuk memberikan penegasan tuturan. Jika dalam (34) penegasannya bahwa kehadiran dari paman dan bibi sangat penting. Sedangkan dalam (35) penegasannya adalah memberikan kepastian bahwa aturan yang harus diikuti sudah jelas. Mereka tinggal melakasanakan apa yang menjadi kesepakatan sebelumnya.
Rahman Taufiqrianto Dako,Bahasa Bergaya dalam Prosesi Adat Motolobalango : Upaya Membangun Karakter Bangsa
108
3 Gaya Kalimat Ciri khas gaya kalimat dalam tuturan-tuturan LDL dan LDW adalah panjang dengan ketidaklangsungan ekpresi. Dalam menyampaikan tuturantuturan mereka, kedua juru bicara ini tidak hanya menggunakan satu atau dua kalimat pendek namun dengan tuturan-tuturan yang panjang dan ekspresi yang tidak langsung. (36) ... amiyatotiya mohabari wonu delo dipolu tahe pata-patata ... ... wonu delo dipoolu insani tuudu tahemoo bimbangi ... ... Wanu delo dipoolu tahi woli-woliluwa... ... wanu dipoolu tahi hile-hileya. (37) ... Dabo ilotingama‟o lamiyatotiya bodonggoma‟o lopole‟ede Sangi ... dabo ilotingama‟o lamiyatotiya boodelo dipo yilowali... ... Tu‟udu ta hehabariyolo dipo:lu ta lominggolo, Insya Allah wanu opiyohe loloiyama owaliya, wonu opipiyohe lototayowa mayinawowa.
...kami ingin mengabari jika belum ada yang bertanyatanya... ...jika belum adainsan, yang membuatnya bimbang... ...jika belum ada ada yang membayanginya... ...jika belum ada yang meminta (melamarnya)... namun yang didengar oleh Kami masih merajuk ke Sangir (SULUT) namun yang terdengar oleh Kami Belum jadi (melamar) (gadis) yang dikabari belum ada yang mengikat (melamar) InsyaAllah, jika baik dalam perkataan, akan terterima, jika baik dalam melangkah Akan terkabul
Tuturan (36) adalah inti dari penggalan-penggalan kalimat dari LDL yang menanyakan status calon mempelai perempuan, dan tuturan (37) adalah jawaban LDW atas pertanyaan dari LDL. Kalimat-kalimat panjang dengan ekpresi yang tidak langsung merupakan ciri khas yang menonjol dalam tuturan-tuturan mereka. Sebagian besar ekspresi mereka dinyatakan dengan kalimat panjang dan tidak langsung. Sifat panjang dan tidak langsungnya ekspresi dalam prosesi adat motolobalango menyiratkan bahwa jalan DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
109
kehidupan yang akan ditempuh oleh pasangan yang hendak disatukan dalam sebuah pernikahan. Jalan kehidupan berumahtangga adalah sebuah proses kehidupan yang melibatkan banyak pihak. Berdasarkan tiga kategori yang disebutkan di atas, gaya bunyi, gaya kata/frase dan gaya kalimat, menunjukkan bahwa jalan kehidupan yang diisyaratkan dalam prosesi motolobalango merupakan gambaran kehidupan manusia yang sesungguhnya. Kehidupan manusia itu tentunya bergaya. Gaya atau riak kehidupan itumelibatkan banyak pihak. Pihak-pihak tersebut ada dalam tuturan-tuturan LDL dan LDW mulai dari penggunaan kata amiatotia (amiatia = kami) yang berarti bahwa yang berbicara itu adalah wakil dari keluarga kedua belah pihak.Kata amiatia/amiatotia (kami,) berkelas kata pronomina persona eksklusif yang bermakna saya dan orang lain kecuali lawan bicara (olanto) yang berbeda dengan pronomina inklusif yang bermakna saya lawan bicara dan/atau pihak lain, misalnya, kita (kridalaksana, 2001:179). Konsekuensinya, tuturan LDL maupun LDW dalam banyak kesempatan selalu diikuti dengan ito wolo mongowutatonto atau olanto wolo mongowutatonto (anda dan para saudara anda). Tuturan mereka juga mengacu kepada keluarga besar ( ... to heluheluma ta mohutato... ,... motolodile heluma lo‟u ngala‟a.... ). Orang yang tidak boleh dilupakan juga adalah paman, bibi (... po‟ulapo‟uwama... , ... po‟owama ti po‟ula ... (tuturan no. 34) dan para tetangga ( ... tabilobilotula‟o tolana‟a lotu‟adu...) yang diharapkan kehadiran mereka dalam prosesi motolobalango. Unsur lain di luar pihak keluarga dekat adalah para Rahman Taufiqrianto Dako,Bahasa Bergaya dalam Prosesi Adat Motolobalango : Upaya Membangun Karakter Bangsa
110
pejabat dan pembesar negeri (... buto‟o tato huhulo‟o..., ...ta‟ahuwo lo kambungu ..(tuturan no. 1.) dan pemangku adat (ba:te) sertaperlu juga hadirnya pegawai syara‟sebagai bagian penting yang akan menentukan berlangsungnya
pernikahan.
Ini
penunjukan
bahwa
sejak
prosesi
motolobalango semua unsur yang disebutkan di atas turut berperan. Mereka ikut bertanggungjawab atas kelangsungan rumah tangga nanti. Artinya bahwa semua bertanggungjawab mulai dari lingkungan keluarga sampai pihak pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah, unsur adat, dan pegawai syara‟. Hal yang tidak kalah penting bahwa nantinya pernikahan harus tercatat dan diketahui oleh pihak keluarga (dekat) dan tetangga sehingga tidak akan menimbulkan fitnah. Karakter bertanggungjawab harus dimiliki oleh setiap individu. Semua pihak bekerja sesuai tugas pokok dan fungsi masing-masing sehingga kemaslahatan hidup akan tercapai. Harapan ideal dari sebuah pernikahan adalah sifat pengasih dan penyayang dari pasangan yang hendak disatukan. (38) wanu delo sipati ma‟o juriyati pilomonu lo Allahu ta‟ala li pak ... motolodile sipa-sipati lo‟u rahmani u isi-isimu u adamu lo dehuma‟o de‟u baanga dilutuwa lioma‟o wanu sipatiya ma‟o juriyati pilomonu lo Allahu ta‟ala li pak ... motolodile sipa-sipati u rahimu isi-isimu u hawa lo dehuma‟o de ubaanga dilituwalio ma‟o
Adapun sifat juriati dianugrahkan Allahu ta‟ala kepada Bapak ... suami istri bersifat Rahman seperti Adam yang tiba ke dunia diberi ... jika sifat juriati yang dianugrahkan Allah ta‟ala kepada Bapak ... suami istri bersifat Rahim Seperti Hawa yang tiba ke dunia yang diberi ...
Kata sifat rahman (pengasih) dan rahim (penyayang) diwujudnyatakan melalui Nabi Adam A.S dan Siti Hawa. Dua sifat ini adalah sifat Allah (asma ul husna) yang perlu diaplikasi oleh kita sebagai hamba dalam kehidupan sehari-hari. Dari tuturan (38) sifat rahman itu berwujud dalam diri Nabi Adam, dan sifat rahim dimiliki oleh oleh Siti Hawa. DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
111
Gambaran penyatuan sifat ini diharapkan tercermin dalam pernihakan. Pernikahan itu adalah penyatuan dua insan yang berlainan jenis (bukan yang sejenis) dalam sebuah ikatan yang suci yang dilandasi syariat agama. Dua sifat yang hendaknya dimiliki oleh pasangan yang akan disatukan adalah sifat rahman (pengasih) dan rahim (penyayang). Sifat rahman diharapkan dari calon mempelai laki-laki (u isi-isimu u adamu) dan sifat rahim diharapkan dari calon mempelai perempuan (u isi-isimu hawa). Pernikahan sesungguhnya adalah penyatuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, bukan penyatuan yang sesama jenis. Ini menunjukan bahwa kodrat manusia seperti penyatuan Nabi Adam A.S dan Siti Hawa. Marwah pernikahan yang sesungguhnya adalah anugrah kepada manusia sejati (lakilaki dan perempuan). Tidak ada dalam kamus adat manapun yang mengijinkan pernikahan sejenis terlebih lagi dalam tuntunan syariat agama (islam). Sehingga memahami kodrat sebagai mahkluk yang sempurna ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa adalah karakter yang harus dibangun dan dikembangkan oleh anak bangsa. Karakter berikut yang perlu dimiliki oleh generasi muada adalah amanah.
Ahklak
untuk
menjadi
orang
yang
amanah
harus
ditumbuhkembangkan oleh generasi muda. Karakter amanah itu ditampilkan dalam tuturan di bawah ini. (39) ... bo:pilopotolodulungai li pak ... hanya diutus oleh Bapak ... bo: pile‟i bantaliomai payu hanya diminta menyampaikan payu lo titimenga lomongotiombunto mulo aturan dari leluhur Kita Rahman Taufiqrianto Dako,Bahasa Bergaya dalam Prosesi Adat Motolobalango : Upaya Membangun Karakter Bangsa
112
dahulu (40) ... watotia bo:ta saya hanyalah pilopowakilia tu‟udu donggo yang mewakili, tentunya masih mamolalayiliya to tili mohuwalia meminta ijin kepada seluruh ... Tuturan (39) dan (40) menunjukan sebuah amanah yang diemban oleh sang juru bicara.
keduanya menyadari betul tugas mereka adalah
sebuah amanah. Karakter amanah itu dapat ditelusuri melalui tuturan pilopotolodulungai
(diutus),
bantalaliomai
(diminta
membawa)
dan
pilopowakilia (diminta mewakili). Tugas seorang utusan (LDL dan LDW) memang sangat strategis dalam prosesi adat motolobalango sebab peran keduanya yang menentukan kesepakatan atau bahkan penundaan pernikahan (atau kemungkinan terburuk adalah pembatalan pernikahan). Untuk sampai pada saat pernikahan, sejumlah prosesi harus dilalui oleh kedua belah pihak. Sejumlah aturan telah disepakati secara umum. Aturan-aturan itu tergambar melalui tuturan LDL dan LDW yang selanjutnya dapat dijadikan norma yang harus diikuti oleh kedua belah pihak. (41) molilo‟a diyanuhe payu lo lipu botiye memperhatikan aturan negeri ini tanu boheli ito wau watotia tentu hanyaAnda dan Saya tamo tinggayiya, yang berbicara, (42) di:po talo bobohuwamahidudu‟a belum berubah, telah terikat hipakuwa, mahidilita hi huntinga terpatri, telah ditata dan diatur ito bolo hipopodembinga, Kita tinggal melaksanakan, mahihuntinga hidilita telah diatur dan ditata ito bolohipopoa‟yita, Kita hanya melakukan, (43) ito boti didu bolo olo lawalo, Anda tidak usah gundah gulana matihe-tihedu dalalo polibayalo telah terbuka jalan untuk dilalui (44) hulanggili hulalata penyelesaian persoalan wolihipato‟a data melalui tiang penyanggah wopato putu buwata berupa empat pilar polinela ponga‟ata tonula untuk menyelesaikan perselisihan uhilangga-langgata yang berlebih-lebihan tombipide ulayata satukan pendapat DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
113
Norma masyarakat Gorontalo dalam prosesi adat motolobalango ada dalam tuturan-tuturan di atas. Tuturan (41) menjelaskan bahwa hanya juru bicara yang berhak berbicara (ito wau watotia tamotinggayiya) yaitu LDL dan LDW. Pembicaraan ini (42) sudah disepakati oleh kedua belah pihak sebelumnya.
LDL
dan
LDW
tinggal
melaksanakannya
(ito
bolo
hipopodembinga, ito bolohipopo‟ayita). Kesepakatan itu dipertegas dengan tuturan (43) bahwa sudah ada jalan untuk dilalui (matihe-tihedu dalalo polibayalo). Ketika terjadi masalah (hulanggili hulalata) maka ada pesan dari leluhur kita (wolihi pato‟a data) untuk menggunakan empat pilar agar terjadi kesepakatan (44). Ini menunjukkan bahwa norma-norma (hukum) yang berlaku dimasyarakat harus ditaati dan diikuti. Taat aturan berarti berarti menjalankan kehidupan bermasyarakat berdasarkan norma yang berlaku. Sebagai anggota masyarakat yang baik selayaknya tidak bersikap egois mementingkan kepentingan individu (partai, golongan) namun lebih mementingkan kepentingan umum. Ketika terjadi kesepakatan dalam prosesi motolobalango berarti ada kemauan dari keluarga calon mempelai laki-laki untuk menyatakan lamaran dan ada kerelaan keluarga calon mempelai perempuan untuk menerimanya. Biasanya, sebelum ada prosesi motolobalango, sudah ada pembicaraan yang mendahuluinya. Ketika ada kekurangan maka semua pihak harus memakluminya (45) Pulitalio bolo woluo u olionga terlupakan mohutata bolo
akhirnya
kalau
ada
yang
oleh bersaudara cukup
Rahman Taufiqrianto Dako,Bahasa Bergaya dalam Prosesi Adat Motolobalango : Upaya Membangun Karakter Bangsa
114
motontonga ito kita berpandangan sababu ito wau watia sebab Anda dan Saya pada tohianga botia kesempatan ini bome popota‟uwa lio to‟u molo‟iya, hanya diberi mandat berbicara debo:lioma‟o wanu kemudian kalau (Kita) telah malo‟iya bersepakat lo ta‟uwa ma ta‟uwa sudah itu yang menjadi hasil lolo‟iya keputusan Usaha manusia itu selalu ada celah-celah kekurangannya. Kekurangan itu sudah selayaknya dimaklumi sebab tiada manusia yang sempurna. tuturan-tuturan ini mengisyaratkan bahwa jika ada yang kekurangan (u olianga) maka cukuplah kita berpandangan (motontonga ito). Tugas juru bicara adalah juru amanah tempat keluarga menitipkan ucapan (molo‟iya). Sehingga apa yang telah disepakati sudah itulah kesepakatan yang menjadi dasar kepakatan (wanu malo‟iya lo ta‟uwa ma ta‟uwa lolo‟iya). Harapan ini juga yang diinginkan dalam berumah tangga maupun dalam bermasyarakat. Kekurangan bukan menjadi kendala namun bagaimana kekurangan itu harus dimaklumi. Rasa empati antara suami istri dalam rumah perlu ditumbuhkembangkan. Lebih luasnya, rasa empati dalam hidup bermasyarakat juga perlu dibina agar toleransi antar warga akan terbina. Kekurangan atau kelebihan orang lain selayaknya menjadi motivasi positif dalam hidup. Rasa empati adalah salah satu kelebihan yang dapat diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Jika mahluk Tuhan yang lain memiliki rasa empati mengapa kita sebagai manusia tidak membangun rasa itu. Bukankah kita adalah mahluk yang berakal. Penutup Pernikahan bukan hanya penyatuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Pernikahan itu penyatuan dua keluarga besar untuk mencapai kebahagiaan hidup. Sebelum pernikahan biasa didahului dengan proses meminang yang dalam BG disebut motolobalango. Tahap ini sebagai upaya untuk menyatakan lamaran secara resmi dari pihak keluarga calon DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
115
mempelai laki-laki kepada keluarga calon mempelai perempuan, yang dihadiri oleh keluarga dekat termasuk unsur pemerintah dan pegawai syara‟. Secara linguistik tuturan-tuturan LDL, sebagai juru bicara pihak laki-laki, dan LDW, juru bicara pihak perempuan menarik untuk dibahas karena tuturan-tuturan verbal mereka sangat khas. Tuturan-tuturan mereka menggunakan bahasa Gorontalo ragam adat (BGRA) yang berbeda dengan bahasa Gorontalo umum yang digunakan dalam kehidupan sehar-hari. Ragam ini sebagai upaya melihat fungsi dan situasi terjadinya pemibicaraan yang memperhatikan topik, hubungan pembicara, dan medium pembicaraan. Fungsi dan situasi ini menyebabkan prosesi adat motolobalango tata kalimatnya panjang, bernuansa adat, berlirik dengan pilihan kata berkias yang diungkapkan secara dengan nada dan gaya tersendiri. Bahasa bergaya dalam prosesi adat motolobalango yaitu, gaya bunyi, terdiri dari pengulangan bunyi, bersifat pantun, beraliterasi dan berasonansi. Gaya kata/frasenya menggunakan simbol, berkias, arkaisme, bersinonim, dan menggunakan kata yang dibolak-balik. Gaya kalimatnya memiliki ciri khas panjang dengan ketidaklangsungan ekspresi. Gaya bunyi melahirkan harmonisasi. Harmonisasi juga diharapkan akan terimplementasi dalam kehidupan berumah tangga. Gaya kata/frase diharapkan melahirkan pilihan kata yang tepat ketika bertutur dan mengabdi dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Gaya kalimat diharapkan melahirkan harapan-harapan dimana kehidupan berumah tangga adalah kehidupan yang panjang (langgeng) dengan ekpresi yang bertujuan menjaga keharmonisan rumah tangga. Rahman Taufiqrianto Dako,Bahasa Bergaya dalam Prosesi Adat Motolobalango : Upaya Membangun Karakter Bangsa
116
Harapan-harapan
dari
bahasa
bergaya
dalam
prosesi
adat
motolobalango melahirkan karakter yang bertanggungjawab, pengasih dan penyayang, memahami kodrat masing-masing, amanah, taat aturan, dan rasa empati. Karakter-karakter ini diharapkan menjadi bagian dalam hidup berbangsa dan bernegara. Daftar Pustaka Abdussamad, K. Tahrun Dali, Nani Tuloli, Djaiz Dujo, Th. Musa, M.M Kasim, Ibrahim Polontalo, B. Y. Mahdang, dan Habu Wahidji. 1985. Empat Aspek Adat Daerah Gorontalo (Penyambutan Tamu, Penobatan, Perkawinan, Pemakaman). Jakarta: Yayasan 23 Januari 1942. Ahimsa-Putra, H.S. 2009. „Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami Agama‟ dalam Jurnal Penelitian WALISONGO XVII (2) 1 – 33. Djou, D.N. 2012. Penggunaan Bahasa dalam Upacara Pernikahan Menurut Etnik Gorontalo. Disertasi Program Pascasarjana. Manado: Universitas Sam Ratulangi. Kridalaksana, H. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya. Jakarta: Rajawali Pers. Prodopo, R.Dj. 1997. “Ragam Bahasa Sastra” dalam Humaniora(IV) 38-46. Rais, HeppyEl. 2012. Kamus Ilmiah Populer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Savile-Troike, M. 2003. The Ethnography of Communication, An Introduction. Oxford: Blackwell Publishing. Schiffrin, D. 1994. Approaches to Discourse. Massachusetts: Blackwell Publishers. Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori dan Problem. Surakarta: Henary Offset Solo. Umar, F.AR. 2011. “Wacana Tujaqi pada Prosesi Adat Perkawinan Masyarakat Suwawa Propinsi Gorontalo” dalam Bahasa dan Seni 39 (1) 27 – 37. Wardaugh, R. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Basil Blackwell Ltd. Zakiah, K. 2005. “Penelitian Etnografi Komunikasi: Tipe dan Metode” dalam Mediator 9 (1) 181 – 188.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
RELASI HISTORIS ENKLAVE BAKUMPAI DI MARABAHAN, KALIMANTAN SELATAN DAN DI BUNTOK, KALIMANTAN TENGAH : KAJIAN LINGUISTIK DIAKRONIS Misrita Universitas Palangka Raya
[email protected] Abstract Historical relations between Bakumpai language in Marabahan enclave, South Kalimantan Province and in Buntok, Central Kalimantan Province is assessed quantitatively as an effort to clarify the status of the Bakumpai Marabahan enclave. The Bakumpai Marabahan enclave is hypothesized to be members of Malay language differed from the Bakumpai in Buntok that has the closeness of kinship with the Dayak language. It is done because their opinion is still confusing among linguists. The status of the enclave appears in the Wurm‟s map (1983), in accordance with the opinion of anthropologists Mallinckrodt (1928) and Sellato (1980), which classifies Bakumpai Marabahan enclave as members of Malay languages. Based on the quantitative evidence, it can be found that Bakumpai Marabahan enclave and Bakumpai in Buntok is closely allied as a member of a group of the same language. The language is Bakumpai which consists of Marabahan and Buntok dialects. Thus, these results verify Hudson’s hypothesis that classified the Bakumpai language as members of the subgroup of Dayak language. Keywords: lexicostatistics, quantitative, enclave, historical relationships and diachronic analysis. Abstrak Relasi historis bahasa Bakumpai di aliran sungai Barito ini dikaji secara kuantitatif sebagai upaya untuk mendapatkan kejelasan status antara bahasa Bakumpai di kedua enklave yang dihipotesiskan sebagai anggota satu subkelompok bahasa Bakumpai yang memiliki keeratan hubungan kekerabatan. Hal ini dilakukan karena adanya pendapat yang masih simpang siur di kalangan linguis, tentang status kedua enklave itu sebagaimana tampak dalam peta Wurm (1983) sesuai dengan pendapat antropolog Mallinckrodt (1928) dan Sellato (1980), yang menggolongkan enklave Bakumpai Marabahan sebagai anggota subkelompok bahasa Melayu. 117
118
Adapun menurut Hudson (1967), bahasa Bakumpai termasuk anggota subkelompok bahasa Dayak tanpa menyebutkan nama sebuah enklave Bakumpai pun yang ada di wilayah itu. Bertitik tolak dari bukti-bukti kuantitatif, maka dapat ditemukan bahwa secara kuantitatif enklave Bakumpai di Marabahan dan enklave Bakumpai di Buntok merupakan satu kelompok tersendiri yang berkerabat erat. Kelompok bahasa Bakumpai beranggotakan dialek Bakumpai Marabahan dan dialek Bakumpai Buntok. Dengan demikian, hasil penelitian ini memverifikasi hipotesis Hudson bahwa bahasa Bakumpai tergolong anggota subkelompok bahasa Dayak. Kata kunci: Leksikostatistik, kuantitatif, enklave, relasi historis, dan analisis diakronis. Pendahuluan Bakumpai adalah bahasa yang dituturkan oleh komunitas etnis pribumi yang bermukim di desa-desa yang saling berjauhan letaknya dan tersebar di sepanjang daerah aliran sungai Barito yang meliputi wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dan Tengah. Walaupun desa-desa itu dipisahkan oleh hutan rimba, rawa-rawa dan bukit, namun bahasa Bakumpai ini masih digunakan dan tidak terdapat kesulitan dalam kontak antar penuturnya. Secara geografis bahasa Bakumpai dibedakan atas beberapa daerah kantong (enklave) yaitu, enklave bahasa Bakumpai di Marabahan yang berada di daerah wilayah Kalimantan Selatan dan enklave bahasa Bakumpai di Buntok wilayah Kalimantan Tengah. Istilah enklave digunakan dalam pengertian daerah
(wilayah)
budaya
yang terdapat
di
wilayah
budaya
lain
(Depdikbud,1995) Enklave Bakumpai di Marabahan menjadi fokus perhatian utama dalam kajian ini karena selama ini menyimpan masalah kebahasaan yang kontradiktif. Hal itu terlihat dari silang pendapat kalangan para ahli dalam memposisikan status enklave bahasa Bakumpai di Marabahan. Seperti yang tercantum dalam peta bahasa Wurm (1983) yang mengelompokan enklave bahasa Bakumpai di Marabahan sebagai anggota subkelompok Melayu. DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
119
Tampaknya hal itu lebih didasarkan pada kajian antropologis yang dilakukan Mallinckrodt (1928) dan Sellato (1980). Dalam pandangan Anthropolog penutur bahasa Dayak yang beralih agama menjadi muslim dikaitkan dengan melayu, seperti yang diungkapkan oleh Mallinckrodt : In the Bornean context, the term Malay is the reciprocal of Dajak, and in an equally general way is used as a cover for all Moslems of “Indonesian” origin. Moslems of Dajak origin have usually been placed in the Malay category (1928:27). Hal ini sejalan dengan Sellato (1980) yang mengungkapkan bahwa penduduk Kalimantan adalah Dayak, Punan dan Melayu. Penduduk Melayu mencakup semua penutur bahasa Melayu dan beragama Islam. Dengan demikian, di Kalimantan yang beragama Islam adalah Melayu sehingga, orang mengkaitkan ke-melayu-an dengan Islam dari sisi anthropologis. Pendapat dua anthropolog di atas sangat berbeda dengan hasil pengamatan Hudson (1967) yang mengkaji Protobahasa Barito. Hudson (1967) secara tersurat mengelompokan bahasa Bakumpai sebagai anggota kelompok Barito Barat (non-Melayu) tanpa membedakan enklave-enklave bahasa Bakumpai yang ada. Pendapat yang pertama tidak dapat diterima karena kriterianya tidak tepat dijadikan sebagai dasar pengelompokan bahasa.
Dalam hal
pengelompokan bahasa kembalikan terlebih dahulu status Marabahan yang Misrita, Relasi Historis Enklave Bakumpai di Marabahan, Kalimantan Selatan dan di Buntok, Kalimantan Tengah : Kajian Linguistik Diakronis
120
anakronis.
Dikatakan anakronis karena dalam perjalanan sejarah kajian
anthropologi Dayak yang beragama Tantaulang/Heiden/Kaharingan menjadi Islam yang identik dengan Melayu, akhirnya diidentikkan dengan peralihan Dayak ke Melayu seperti yang diuraikan Fischer (1980). Oleh karena status Marabahan sebelumnya lebih ditinjau dari sudut anthropologi maka perlu diamati dengan penuh seksama berdasarkan tinjauan linguistik. Dalam hal ini
linguistik
diakronis,
yang
pada
hakekatnya
dalam
masalah
klasifikasi/penggolongan bahasa mempunyai kewenangan seperti yang lazim dikaji dalam Linguistik Historis Komparatif seperti pendapat Fernandez (1996, lihat juga Lehman,1973:6; Bynon,1979:271-272; Lyons,1982:129). Orang Bakumpai di Marabahan merupakan salah satu kelompok minoritas dalam lingkungan mayoritas masyarakat Banjar yang menempati Provinsi Kalimantan Selatan. Orang Bakumpai di Marabahan ini dikenal juga dengan beberapa sebutan lain yaitu urang Marabahan atau urang awen. Dari julukan yang diberikan kepada Bakumpai ini terlihat bahwa orang Banjar mengeksklusifkan diri dari keberadaan kelompok minoritas, dalam hal ini orang Bakumpai. Wilayah Marabahan
dahulunya dikenal
sebagai
daerah pusat
perdagangan dan pelabuhan pada masa Kerajaan Melayu Banjar karena letaknya yang sangat strategis berada tepat di muara Sungai Barito yang bersimpangan dengan Sungai Nagara (Ras,1968).
Menurut Ras (1968)
wilayah Bakumpai dahulunya merupakan kawasan wilayah kerajaan Melayu Banjar dan dijadikan sebagai daerah pelabuhan serta pusat perdagangan. Orang Bakumpai terkenal pula sebagai pedagang yang handal (Arman,1994). Oleh karena itu umumnya orang Bakumpai di Marabahan berperan sebagai pedagang perantara antara pedagang Melayu Banjar dengan penduduk hulu Barito (orang Dayak) (Ibrahim, dkk. (1979). Berdasarkan DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
121
pendapat ini, ada beberapa alternatif yang bisa dilihat dari orang Marabahan, Pertama, orang Marabahan adalah orang hulu yang ke hilir, kemudian belajar perdagangan dari orang Melayu Banjar dan menjadi handal serta menjadi pesaing bagi orang Melayu, selanjutnya menyebar luas kembali ke pedalaman menempati Buntok.
Kedua, orang Marabahan adalah orang
Bakumpai yang memang sudah ada sejak awal di pesisir, karena kedatangan Melayu yang mendominasi, sehingga mereka menyingkir ke Buntok. Ketiga, memudarnya bahasa Dayak (Bakumpai) di pesisir karena bahasa Melayu sebagai lingua franca yang datang kemudian. Kedudukan dan peran daerah Marabahan ini menyebabkan orang Bakumpai di Marabahan sekurang-kurangnyanya sejak dua abad yang lalu telah menjalin kontak dengan dunia luar terutama sekali dengan Melayu Banjar. Situasi semacam ini menyebabkan dipakainya lebih dari satu bahasa (bilingualism) dalam aktifitas orang Bakumpai Marabahan, maka terjadilah kontak bahasa (language contact) (Weinrich,1979). Kontak bahasa yang menyebabkan penutur bahasa Bakumpai dapat berbahasa Melayu dan Bakumpai mengakibatkan terjadinya pemindahan atau peminjaman unsurunsur dari satu bahasa ke bahasa yang lain, seperti yang diungkapkan oleh Romaine
(2000:51,
lihat
juga
Poedjosoedarmo,2003:55-56)
bahwa
peminjaman leksikon dalam bentuk adopsi kata perkata atau bahkan mungkin seperangkat butir leksikal dari bahasa yang lain merupakan fenomena umum dalam situasi kedwibahasaan (bilingualism). Misrita, Relasi Historis Enklave Bakumpai di Marabahan, Kalimantan Selatan dan di Buntok, Kalimantan Tengah : Kajian Linguistik Diakronis
122
Pengaruh Melayu Banjar pada enklave bahasa Bakumpai di Marabahan sangat kuat terutama sekali dalam pemakaian bahasanya karena bahasa Melayu Banjar sebagai bahasa lingua franca digunakan dalam perdagangan. Sedangkan bahasa Bakumpai hanya digunakan dalam lingkungan keluarga. Sejak orang Bakumpai di Marabahan memeluk agama Islam, bahasa Melayu Banjar ini semakin intensif lagi digunakan sebagai salah satu identitas ke-Islam-annya dan sebagai sarana untuk mensejajarkan diri dengan orang Melayu Banjar (Ibrahim, dkk.1979). Hal ini telah berlangsung lama sehingga terjadi perubahan bahasa karena dominasi Melayu Banjar yang menyebabkan
generasi
berikutnya
dalam
pemakaian
bahasanya
memperlihatkan Melayu Banjar sebagai bahasa ibunya. Berdasarkan uraian di atas tidak mengherankan peta bahasa Wurm (1983) tentang enklave Bakumpai di Marabahan sebagai anggota Melayu ini mendapatkan dukungan dari para peneliti yang lebih kemudian, seperti Muhadjir (1997), Haenen dan Masinambow (2000) yang melihat enklave bahasa Bakumpai di Marabahan tanpa mempertimbangkan unsur-unsur pinjaman yang dominan seperti uraian di atas. Namun demikian, ada pula pendapat lain yang menjelaskan keeratan hubungan antara enklave bahasa Bakumpai di Marabahan dengan bahasa kelompok Dayak secara sinkronis yang berseberangan pula dengan pendapat Wurm di atas, seperti antara lain Ibrahim,dkk (1979) dan Kawi (1985) yang dalam hasil kajiannya secara eksplisit menyatakan bahwa enklave bahasa Bakumpai di Marabahan merupakan dialek bahasa Bakumpai yang merupakan anggota bahasa Dayak Berdasarkan pendapat yang masih simpang siur tersebut, perlu dilakukan penelitian secara lebih mendalam terhadap enklave-enklave bahasa Bakumpai ini. Melalui langkah penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara lebih ilmiah, dalam makalah ini jawaban yang lebih DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
123
memuaskan dapat dihasilkan pendapat yang berbeda dengan pendapat yang diajukan oleh Wurm, Haenen dan Masinambow. Dalam penelitian ini, melalui hasil pendekatan kuantitatif ditemukan bahwa enklave bahasa Bakumpai Marabahan dan enklave bahasa Bakumpai Buntok masing-masing merupakan dialek dari prabahasa Bakumpai sebagai anggota kelompok bahasa Dayak. Hasil kajian ini pada gilirannya dapat menuntaskan persoalan pengelompokan bahasa dalam kelompok Barito, khususnya Barito Barat yang telah dilakukan oleh Hudson, sebagai anggota subkelompok bahasabahasa Austronesia Barat. Dengan demikian hasil yang dicapai menjadi kontribusi yang sangat berharga bagi studi linguistik di kawasan Austronesia secara menyeluruh. Berdasarkan uraian di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah relasi historis antara enklave bahasa Bakumpai di Marabahan dan Buntok secara kuantitatif? 2. Mengapa kajian kuantitatif tentang bahasa Bakumpai dan enklavenya perlu dilakukan? Penelitian ini mengenai klasifikasi relasi historis antarenklave sekerabat dalam telaah komparatif melalui tahap kajian kuantitatif. Dalam makalahnya Darmadi (2004;1) mengungkapkan bahwa hakikat pendekatan kuantitatif adalah menggunakan cara kerja perhitungan statistik
dengan
metode yang disebut leksikostatistik bertujuan untuk menentukan tingkat Misrita, Relasi Historis Enklave Bakumpai di Marabahan, Kalimantan Selatan dan di Buntok, Kalimantan Tengah : Kajian Linguistik Diakronis
124
kekerabatan antara dua enklave bahasa atau lebih; apakah
merupakan
sekelompok bahasa sekerabat, apakah merupakan sekelompok dialek dari suatu bahasa, dan sebagainya. Fernandez (1993:47-49; 1994:53-55) menjelaskan bahwa metode kuantitatif memiliki
dua asumsi
dasar
yaitu pertama, sebagian
perbendaharaan kata setiap bahasa cenderung mengalami perubahan jika dibandingkan dengan lainnya. Ini berarti ada kata yang dengan mudah digantikan oleh bentuk yang bukan kata kognat. Hal ini akan berimplikasi pada perubahan kosa kata itu berlaku sama pada semua bahasa. Kosa kata inti mencakup kata ganti, kata bilangan, kata nama bagian badan, dan kata yang merujuk ciri-ciri geografis dan alam sekitar. Kedua, harkat pergantian kosa kata dasar (inti) kurang lebih stabil dan karenanya berlaku sama pada semua bahasa untuk setiap kurun waktu.
Bukti-bukti yang bersifat
kuantitatif ditetapkan berdasarkan penghitungan leksikostatistik yang lazim digunakan sebagai teknik kuantifikasi persentase yang dapat menetapkan kedekatan antarenklave. Pendekatan kuantitatif oleh beberapa sarjana dipandang sebagai pendekatan yang lebih seksama untuk pengelompokan enklave bahasa sekerabat (Dyen,1978:50).
Metodenya dipandang sederhana dapat
diikhtisarkan sebagai berikut.
Pendekatan ini menggunakan alat utama
berupa Daftar Swadesh (dua ratus kosa kata dasar baku) untuk penelusuran padanan perangkat kognat enklave-enklave bahasa yang diteliti.
Setelah
daftar diisi, persentase kognat ditetapkan dengan mengandalkan pemahaman tentang hukum perubahan bunyi yang teratur antarenklave bahasa tersebut. Garis silsilah kekerabatan atau pohon kekerabatan (family tree) yang dihasilkan pendekatan kuantitatif menggambarkan kekerabatan yang lebih erat atau tidak antarenklave bahasa sekerabat dalam usaha pengelompokan DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
125
enklave-enklave bahasa tersebut (Dyen,1965:52).. Karena kesederhanaan metode ini, selanjutnya Dyen (1965:53) berpendapat bahwa “Sepertinya sangat beralasan untuk menyatakan bahwa studi mengenai lexicostatistical sangat diperlukan untuk mengurangi jumlah kesalahan, baik karena kelalaian maupun kesalahan dalam pengelompokan sehingga suatu kesimpulan tergantung pada pengelompokan itu.
Hal ini merupakan
kontribusi yang besar pada perbandingan umum bahasa-bahasa, bahkan mungkin salah satu yang paling penting di abad ini” Klasifikasi Enklave-enklave Bahasa Bakumpai Melalui
pendekatan
kuantitatif
ditemukan
bukti-bukti
yang
meyakinkan bahwa enklave-enklave bahasa Bakumpai merupakan dialek dari satu kelompok bahasa. Berikut ini diperlihatkan bukti-bukti tersebut. A. Bukti Kuantitatif Sesuai dengan hasil pengamatan yang berdasarkan pendekatan kuantitatif terhadap kedua enklave bahasa Bakumpai, dengan menggunakan perhitungan leksikostatistik yang menggunakan daftar 200 kosakata dasar, persentase kata kognat antarenklave bahasa Bakumpai yang diteliti seperti pada diagram berikut:
Misrita, Relasi Historis Enklave Bakumpai di Marabahan, Kalimantan Selatan dan di Buntok, Kalimantan Tengah : Kajian Linguistik Diakronis
126 Diagram 1 Persentase kata seasal antara enklave bahasa Bakumpai Marabahan, Buntok, Dayak Ngaju dan Banjar BkM BkB DNg Bjr
93,4 79,8 28,7 BkM
80,7 28 BkB
20 DNg
Bjr
Catatan : Bjr = Melayu Banjar BkB = enklave bahasa Bakumpai Buntok
DNg = Dayak Ngaju BkM = enklave bahasa Bakumpai Marabahan
Alasan disertakannya bahasa Melayu Banjar dan Dayak Ngaju sebagai pembanding karena telah disertakan oleh Hudson (1967) maupun Dempwolff (1934-1938) dalam rekonstruksi Proto Austronesia sebagai salah satu anggota kelompok Proto Austronesia. Diagram 1 di atas memberikan gambaran
perbedaan yang
menentukan antara kelompok Melayu dengan kelompok bahasa Barito (Dayak). Perbedaan yang terjadi antara persentase tertinggi Bjr - BkM 28,7 dibandingkan dengan persentase terendah dalam kelompok enklave BkB – BkM 93,4. Perbedaan kritis yang cukup tinggi ini sangat signifikan untuk menyatakan keduanya berbeda kelompok. Diagram 2 Persentase kesamaan kata seasal antar enklave bahasa Bakumpai Marabahan, Buntok, dan Dayak Ngaju BkM BkB 93,4 DNg 79,8 80,7 BkM BkB DNg Berdasarkan hasil persentase kekerabatan, kelompok bahasa Barito Barat (Dayak) dapat dipertalikan dalam bipartit yaitu bipilah subkelompok prabahasa Bakumpai yang terdiri dari dialek Bakumpai Marabahan dan DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
127
dialek Bakumpai Buntok yang dipertalikan dalam persentase kekerabatan 93,4 dan bipilah yang lainnya adalah anggota subkelompok Dayak Ngaju dengan persentase pertalian kekerabatan rata-rata 80,25. Dalam lingkungan subkelompok Prabahasa Bakumpai terbentuk subkelompok bawahan disebut dialek Bakumpai Marabahan-Buntok (MB). Dialek Bakumpai Marabahan-Buntok (MB) terdiri dari dialek Bakumpai Marabahan dan dialek Bakumpai Buntok yang dipertalikan dalam persentase kekerabatan 93.4%. Hubungan kekerabatan antarbahasa kelompok Barito Barat (Dayak) tersebut di atas dapat dinyatakan dalam diagram silsilah kekerabatan (family tree) sebagai berikut.
Misrita, Relasi Historis Enklave Bakumpai di Marabahan, Kalimantan Selatan dan di Buntok, Kalimantan Tengah : Kajian Linguistik Diakronis
128 Garis Silsilah Kekerabatan Bahasa Dayak Persentase Kognat
Barito Barat Dayak
Status Bahasa
BkD 80.25
Keluarga Bahasa
PraBk 81% 93,4
dialek BkM
BkB
DNg
Keterangan : BkD = Subkelompok Bakumpai-Dayak BkM = dialek bahasa Bakumpai Marabahan PraBk = Prabahasa Bakumpai BkB = dialek bahasa Bakumpai Buntok DNg = Bahasa Dayak Ngaju
Klasifikasi
berdasarkan
perhitungan
leksikostatistik
(secara
kuantitatif) atas dua dialek bahasa Bakumpai dan bahasa Dayak Ngaju anggota subkelompok Dayak seperti yang terlihat dalam diagram di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. a. Subkelompok Barito Barat dalam pertalian kekerabatan bipilah yaitu bipilah Prabahasa Bakumpai (PraBk) dan Dayak Ngaju (DNg). Keduanya dipertalikan dalam persentase kekerabatan rata-rata 80.25 % (BkB – DNg 80,70%, BkM – DNg 79.8%). b. Sub-Subkelompok Prabahasa Bakumpai terdiri dari dialek bahasa Bakumpai Marabahan dan dialek bahasa Bakumpai Buntok dengan persentase kekerabatan 93.4%.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
129
Hasil klasifikasi kuantitatif ini berdasarkan penelusuran kata-kata yang mengandung kognat homo leksikosemantik, artinya kata-kata dari bahasa/dialek yang masih tergolong sefamili yang bentuk dan artinya mirip. Hal ini berimplikasi bahwa penelusuran kata–kata yang memiliki kognat homoleksikosemantik di bidang fonologi selanjutnya hanya akan diterapkan pada dialek bahasa Bakumpai Marabahan dan Buntok karena sebagai dua dialek dari bahasa yang sama yaitu prabahasa Bakumpai. Secara berturut-turut di bawah ini akan diuraikan evidensi kata-kata yang mengandung kekognatan homoleksikosemantik di bidang fonologi pada masing-masing dialek bahasa Bakumpai Marabahan dan Buntok dengan contoh data sebagai berikut. B. Evidensi kognat homoleksikosemantik di bidang fonologi 1) evidensi kognat homoleksikosemantik fonem vokal /e/ dengan fonem vokal /i/ Contoh : Glos „perut‟ „gigi‟ „ular‟ „telur‟ „takut‟ „berat‟ „satu‟
BkM tanae? kaseŋe? handepe? hanteluh mekeh behat eje?
BkB tanai? kasiŋe? handipe? hantiluh mikeh bihat ije?
Misrita, Relasi Historis Enklave Bakumpai di Marabahan, Kalimantan Selatan dan di Buntok, Kalimantan Tengah : Kajian Linguistik Diakronis
130
„tiga‟ telu? tilu? „itu‟ jete? jite? Dari data-data di atas terlihat adanya kekognatan antara fonem vokal /e/ dialek Bakumpai Marabahan dengan fonem vokal /i/ dialek Bakumpai Buntok pada posisi penultima. Hal ini merupakan salah satu gejala awal arah perkembangan sistem fonem pada masingmasing dialek karena perbedaan lingkungan kebahasaannya. Adapun contoh data yang membuktikan adanya kekognatan fonem vokal /e/ dan fonem vokal /i/ pada posisi akhir seperti pada kata /tanae/ ~ /tanai/ dan pada posisi awal kata seperti contoh data /eje?/ ~ /ije?/ dari data yang terkumpul hanya terdapat masing-masing satu contoh data. 2) Evidensi kognat homoleksikosemantik fonem vokal /e/ pada posisi ultima. Contoh : Glos
BkM
BkB
„masuk‟
tame?
tame?
„tawa‟
tawe?
tawe?
„mata‟
mate?
mate?
„buta„
bute?
bute?
„suami‟
bane?
bane?
Pada kata bersuku dua di atas, ditemukan kekognatan fonem vokal /e/ pada dialek bahasa Bakumpai Marabahan dan Buntok. Kekognatan fonem vokal /e/ ini merupakan kaidah perubahan primer bersyarat, karena hanya terjadi pada posisi ultima. Kekognatan fonem vokal /e/ ini merupakan bukti pengklasifikasian keseasalan dua dialek bahasa Bakumpai.
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
131
3)
Evidensi kognat homoleksikosemantik deret konsonan /ns/ pada posisi antar vokal Contoh : Glos
BkM
BkB
„buah asam‟
ansem
ansem
„asap‟
ansep
ansep
„kasihan‟
ansi-ansi
ansi-ansi
„tanya‟
insek
insek
„isap‟
insep
insep
Data di atas menunjukan bahwa adanya kognat homosemantik deret konsonan /ns/ pada dialek bahasa Bakumpai Marabahan dan Buntok. Hal ini merupakan evidensi klasifikasi keseasalan kedua dialek dari bahasa yang sama. 4) Evidensi kognat homoleksikosemantik fonem konsonan /b/ pada pada posisi antar vokal Contoh : Glos
BkM
BkB
„bibir‟
bibih
bibih
„babi‟
babui
babui
Misrita, Relasi Historis Enklave Bakumpai di Marabahan, Kalimantan Selatan dan di Buntok, Kalimantan Tengah : Kajian Linguistik Diakronis
132
Contoh data di atas, memperlihatkan adanya kekognatan fonem konsonan /b/ pada dialek bahasa Bakumpai di Marabahan dan Buntok. 5) Evidensi kognat homoleksikosemantik fonem diftong /ai/ pada posisi ultima Contoh : Glos
BkM
BkB
„benang‟
lawai
lawai
„bedak‟
kasai
kasai
„tape‟
tapai
tapai
Contoh data yang dikemukakan di atas, dapat diamati bahwa terdapat kekognatan homoleksikosemantik fonem diftong /ai/ pada posisi ultima pada dialek bahasa Bakumpai Marabahan dan Buntok. Kekognatan fonem diftong /ai/ ini menunjukkan gejala keseasalan dua dialek ini dari bahasa yang sama. 6) Evidensi kognat homoleksikosemantik fonem diftong /ei/ pada posisi ultima Contoh : Glos
BkM
BkB
„padi‟
parei
parei
„hati‟
atei
atei
„mati‟
matei
matei
Dari data-data fonem diftong /ei/ yang ditampilkan di atas, tampak bahwa terdapat gejala kekognatan homoleksikosemantik fonem diftong /ei/ pada posisi ultima pada dialek bahasa Bakumpai Marabahan dan Buntok sebagai evidensi keseasalan kedua dialek dari bahasa yang sama. DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
133
7) Evidensi kognat homoleksikosemantik fonem diftong /au/ pada posisi ultima Contoh : Glos
BkM
BkB
„curi (mencuri)‟
takau
takau
„tikus‟
lawau
lawau
„lalat‟
laŋau
laŋau
Kekognatan fonem diftong /au/ pada posisi ultima pada dialek bahasa Bakumpai Marabahan dan Buntok ini merupakan evidensi keseasalan kedua dialek dari bahasa yang sama. Kesimpulan Dari kajian ini dapat ditarik kesimpulan berdasarkan hasil analisis kebahasaan yang dilakukan secara kuantitatif leksikostatistik. dilakukan
untuk
mengkonfirmasi
pendapat
Hudson
(1967)
Hal ini selain
memverifikasi pendapat Wurm (1983). Hasil kajian ini membuktikan bahwa terdapat pola klasifikasi hubungan antara enklave bahasa Bakumpai Marabahan dan enklave bahasa Bakumpai Buntok merupakan dialek dari bahasa yang sama yaitu prabahasa Bakumpai, karena dipertalikan dengan prosentase hubungan keseasalan sebesar 93.4%.
Adapun klasifikasi hubungan bahasa lebih erat antara
prabahasa Bakumpai dan bahasa Dayak Ngaju karena dihubungkan dengan Misrita, Relasi Historis Enklave Bakumpai di Marabahan, Kalimantan Selatan dan di Buntok, Kalimantan Tengah : Kajian Linguistik Diakronis
134
prosentase rata-rata sebesar 80.25% sedangkan hubungan kekerabatan antara prabahasa Bakumpai dan bahasa Melayu Banjar rata-rata hanya sebesar 25.5%. Hasil penghitungan kuantitatif ini secara tersirat menunjukkan pula bahwa bahasa Bakumpai dengan dua dialeknya adalah merupakan anggota subkelompok bahasa Barito Barat (Dayak) bukan anggota subkelompok Melayu. Berdasarkan analisis pada beberapa contoh data kata-kata yang mengandung kognat homoleksikosemantik di bidang fonologi pada dialek bahasa Bakumpai Marabahan dan Buntok ditemukan beberapa evidensi pendukung keseasalan kedua dialek dari bahasa yang sama yaitu prabahasa Bakumpai. Kekognatan homoleksikosemantik antara kedua dialek Bakumpai itu terdapat pada fonem vokal /e/ ; diftong /ei/, /ai/ dan /au/ ; dan konsonan /b/ serta pada deret konsonan /ns/. Pengkajian relasi historis dialek-dialek bahasa Bakumpai ini berdasarkan kajian komparatif dengan metode kuantitatif leksikostatistik sebagai langkah awal dalam mengkaji relasi historis dialek-dialek bahasa Bakumpai ini secara diakronis. Masih diperlukan lagi kajian yang lebih mendalam dengan melibatkan kajian komparatif dengan metode kualitatif diakronis dengan teknik rekonstruksi meliputi berbagai tataran kebahasaan agar mendapatkan gambaran pengelompokan bahasa yang lebih memadai dan lebih komprehensif. Daftar Pustaka Anonim.1953. Republik Indonesia: Provinsi Kalimantan. Jakarta: Kementrian Penerangan Arman, Syamsuri.1994. Analisa Budaya Manusia Dayak, Kebudayaan Dayak :Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta : Kerjasama LP3ES-Institute Dayakology Research and Development dengan PT. Gramedia
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016
135
Bynon,Theodora.1979. Historical Linguistics. New York : Cambridge University Press Darmadi, Kaswan.2004.”Keterkaitan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif Dalam Studi Linguistik Historis Komparatif”. http://www.kasih.8k.com/.On line 31 Mei 2004 Dempwolff, O.1934-1938. Vergleichende Lautlehre des Austronesischen Wortschatzes. Berlin Dyen, Isidore.1965. A Lexicostatistical Classification of the Autronesian Languages. Indiana University Publication in Linguistics, Memoir 19, Supplement to the IJAL -----. 1978. “Subgrouping and Reconstruction” dalam Mohammad Ali Jazayery,(Eds):32-53 Fernandez, Inyo Yos. 1993.”Linguistik Historis Komparatif”. (Bagian Pertama,Bagian Kedua).Hand out Perkuliahan. Yogyakarta UGM. -----. 1994.”Linguistik Historis Komparatif (Pengantar Bidang Teori)” Jilid.I.Hand out perkuliahan.Yogyakarta.UGM. -----. 1996.Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores : Kajian LHK terhadap Sembilan Bahasa di Flores. Ende:Nusa Indah. Fischer, H.TH. 1980. Pengantar Anthropologi Kebudayaan Indonesia. Pustaka Sarjana : PT. Pembangunan. Hudson, Alfred B. 1967. The Barito Isolects on Borneo : A Classification Based on Comparative Reconstruction and Lexicostatistics. Ithaca Nj : Cornell University
Misrita, Relasi Historis Enklave Bakumpai di Marabahan, Kalimantan Selatan dan di Buntok, Kalimantan Tengah : Kajian Linguistik Diakronis
136
Ibrahim, Sjahrial SAR., Durasid Durdje, Darmansyah.1979. Bahasa Bakumpai. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kawi, Djantera. 1985. Kamus Bakumpai Indonesia. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Lehman, W.P. 1973. Historical Linguistics: An Introduction. New York. Holt, Rinehart, and Winston. Lyons, John.1982. Language and Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press. Mallinckrodt.1928. Het Adatrecht van Borneo. Leiden, M.Dubbeldman. Muhadjir.1997. Bahasa di Kalimantan Tengah. Jakarta:Laporan LIPI Masinambow, E.K.M & Haenen Paul .2000. Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Jakarta : Obor Poedjosoedarmo, Soepomo. 2003. Muhammadiyah University Press.
Filsafat
Bahasa.
Surakarta:
Ras, J.J.1968. Hikajat Bandjar : A Study in Malay Historiography. The Hague. Martinus Nijhoff Romaine, Suzanne. 2000. Bilingualism. Oxford : Blackwell Publishers. Sellato, B. 1980. “The Upper Mahakam Area”. Borneo Research Bulletin 12:40-6. Weinreich,U. 1979. Language in Contact: Findings and Problems. Paris: Mouton Publisher, The Hague. Wurm, S.A. 1983. Maps of Insular South-East Asia II. PL.C.67.Canberra. The Australian Academy of Humanities
DAUN LONTAR, Tahun ke 3, Nomor 3, September 2016