Daftar Isi Kata Pengantar ......................................................................................................................................................4 Pengantar Penyelenggara .....................................................................................................................................6 Sambutan Ketua Panitia ....................................................................................................................................6 Sambutan Dekan Fisipol UGM ..........................................................................................................................7 Keynote Speaker (Sri Sultan HB X, Gubernur DIY) .............................................................................................9 Diskusi Panel 1: Pembangunan Papua Selama Era Otsus ...................................................................................11 Pembicara 1: Prof. Dr. Djohermansyah Djohan (Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri RI) ....12 Pembicara 2: Dr. Adriana Elisabeth (Peneliti LIPI) ..........................................................................................14 Pembicara 3: Drs. Cornelis Lay, M.A. (Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM) ....................16 Catatan Diskusi....................................................................................................................................................18 SESI TANYA JAWAB .........................................................................................................................................18 Diskusi Panel 2: Praktik Baik Pembangunan Bidang Ekonomi di Tanah Papua ..................................................22 Pembicara 1: Dr. Stepanus Malak, M. Si. (Bupati Sorong) ..............................................................................22 Pembicara 2: Victor Mambor (Pemimpin Redaksi Tabloid Jubi) ....................................................................27 Catatan Diskusi....................................................................................................................................................28 Tanya-jawab ....................................................................................................................................................28 Diskusi Panel 3: Praktik Baik Pembangunan Bidang Pendidikan dan Kesehatan di Tanah Papua ......................32 Pembicara 1: Harry Nenobais, S.Sos, M. Si (Guru di Yayasan PESAT, Papua) ................................................33 Pembicara 2: John Rahail (Yayasan Institut Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat) .....................36 Pembicara 3: dr. Iras Rumbiak, Sp.PK (Direktur RSUD Biak Numfor) .............................................................39 Catatan Diskusi................................................................................................................................................42 Panelis 1: Untung Muhdiyarto, M.Si ...............................................................................................................42 Sesi tanya-jawab .............................................................................................................................................44 Lokakarya Penyusunan Rekomendasi Kebijakan Pelayanan Publik untuk Papua .............................................48 Dokumentasi Kegiatan ........................................................................................................................................82 Materi Presentasi Pembicara ..............................................................................................................................82 Daftar Presensi Peserta .......................................................................................................................................82
1|Page
2|Page
Kata Pengantar Daftar Isi Pengantar Penyelenggara Sambutan Ketua Panitia Sambutan Dekan Fisipol Keynote Speaker Sri Sultan HB X, Gubernur DIY Diskusi Panel 1 Pengantar Moderator oleh Dr. Gabriel Lele Pembicara 1 Prof. Djohermansyah Djohan Pembicara 2 Dr. Adriana Elisabeth, M.SocSc Pembicara 3 Drs. Cornelis Lay, M.A. Catatan Diskusi Tanya Jawab Kesimpulan Diskusi Panel 2 Pengantar Moderator oleh Drs. Bambang Purwoko Pembicara 1 Dr. Stepanus Malak, M.A. Pembicara 2 Victor Mambor Catatan Diskusi Tanya Jawab Kesimpulan Diskusi Panel 3 Pengantar Moderator Dr. rer. pol. Mada Sukmajati, M.A Pembicara 1 dr. Iras Rumbiak, Sp.PK Pembicara 2 Harry Nenobais, Sos. M.Si Pembicara 3 Johannes Rahail, M.Kes Catatan Diskusi Panelis 1 Drs. Untung Muhdiyarto, M.Si Tanya Jawab Lokakarya “Penyusunan Draft Rekomendasi Kebijakan Pelayanan Publik bagi Papua” Lampiran: Dokumentasi Kegiatan
3|Page
Kata Pengantar Tidak dapat disangkal bahwa perdebatan mengenai Papua semakin menarik perhatian berbagai kalangan. Hingga saat ini ratusan atau bahkan ribuan forum maupun studi telah digelar dalam rangka membahas persoalan di Papua. Sebagian besar forum-forum tersebut melihat Papua sebagai lokus persoalan, baik dari aspek politik, keamanan, infrastruktur, ekonomi, pendidikan, kesehatan, hingga sosial budaya. Berbagai upaya untuk mengelola persoalan-persoalan tersebut telah ditempuh baik oleh pemerintah pusat dan daerah, lembaga-lembaga donor dari dalam maupun luar negeri, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, bahkan individu. Di tengah berbagai macam kendala dan bayang-bayang kegagalan, sebagian inisiatif telah terbukti membawa hasil nyata. Tanpa menutup mata terhadap berbagai problematika pelik di tanah Papua, seminar ini bermaksud menggali inspirasi dengan mengangkat praktik-praktik yang terbukti dapat menjadi solusi bagi persoalan-persoalan yang dihadapi di Papua. Salah satu persoalan fundamental yang juga kerap didiskusikan adalah persoalan pelayanan publik, khususnya bidang pendidikan, kesehatan, dan pengembangan ekonomi masyarakat. Secara tegas undang-undang otonomi khusus Papua bahkan mengamanatkan sekurang-kurangnya 45% dari dana otonomi khusus dialokasikan untuk bidang pendidikan dan kesehatan1. Namun demikian setelah lebih dari sebelas tahun pelaksanaan otonomi khusus, kondisi pendidikan dan kesehatan di sebagian besar daerah di Papua maupun Papua Barat masih sangat memprihatinkan. Hingga saat ini ranking IPM Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua masing-masing berada pada urutan 29 dan 33 dari 33 provinsi di Indonesia (BPS, 2011). Urgensi perbaikan pelayanan publik tentunya bukan semata-mata untuk meningkatkan ranking dalam indeks pembangunan manusia maupun indikator-indikator lainnya. Lebih jauh, pelayanan publik merupakan hak setiap warga negara yang pemenuhannya dijamin oleh undangundang yakni UU No 25 Tahun 2009. Dalam konteks Papua dan Papua Barat, hadirnya puluhan kabupaten baru hasil pemekaran di Papua dan Papua Barat adalah salah satu upaya untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat2. Upaya ini tentunya harus diiringi dengan peningkatkan kapasitas dan komitmen aparat pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Kehadiran institusi pemerintah tanpa diiringi dengan peningkatan kapasitas dan komitmen untuk melayani masyarakat luas hanya akan menjadikan pemerintah sebagai arena perebutan kepentingan antar elit dengan kepentingan masyarakat sebagai korbannya.
1 2
Lihat pasal 36 UU 21 tahun 2001. Salah satu daerah di Indonesia yang paling banyak menciptakan daerah otonom baru adalah Papua. Hingga tahun 1998 pulau Papua hanya terdiri atas satu provinsi, 1 kota, dan 9 kabupaten. Total jumlah tersebut melonjak hampir 400% menyusul terbentuknya 30 daerah otonom baru dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun. Hingga tahun 2012 ini Pulau Papua telah tercacah ke dalam 2 provinsi, 2 kota, dan 38 kabupaten. Jumlah tersebut hampir pasti akan segera bertambah lagi mengingat terdapat puluhan daerah lain yang telah mengajukan pemekaran.
4|Page
Di tengah berbagai potret buram pelayanan publik, muncul beberapa praktik baik yang memberikan optimisme bagi pembangunan pelayanan publik di Papua dan Papua Barat. Dari ranah pemerintah, beberapa kepala daerah terbukti memiliki komitmen kuat dalam meningkatkan kualitas maupun kuantitas dan akses masyarakat terhadap pelayanan publik di daerahnya. Beberapa inisiatif kemanusiaan dan pemberdayaan masyarakat yang digagas oleh lembaga donor internasional seperti UNDP, UNICEF, WHO, juga terbukti membuah hasil positif. Demikian pula berbagai aktivitas yang dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat maupun individual, terbukti mampu menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat pada lingkup lokal. Seluruh upaya positif tersebut selain menjadi solusi bagi persoalan setempat juga dapat menjadi inspirasi untuk membangun optimisme dalam mengelola problematika Papua yang sangat pelik. Berdasarkan kondisi tersebut, Fisipol UGM berinisiatif untuk mengadakan Seminar dan Lokakarya Nasional “Membangun Optimisme Papua: Belajar dari Praktik Baik Pelayanan Publik” pada tanggal 27-28 November 2012 di Fisipol UGM. Semiloka tersebut bertujuan menghadirkan ke hadapan publik berbagai praktik baik (good practice) dalam pelayanan publik di Papua dan Papua Barat. Secara sederhana praktik baik pada konteks ini adalah insiatif dan tindakan nyata yang telah terbukti solutif terhadap persoalan yang dihadapi. Dengan menghadirkan dan mendiskusikan contoh-contoh good practice tersebut diharapkan forum ini dapat: 1. Menyajikan perspektif baru dalam memandang Papua, tidak semata-mata sebagai lokus persoalan namun sekaligus sebagai sumber inspirasi dalam merumuskan solusi. 2. Mendorong munculnya program-program pemberdayaan masyarakat maupun pemerintah yang lebih berakar dan kontekstual. 3. Memberikan apresiasi kepada para pihak yang telah berhasil memberikan solusi nyata bagi lingkungannya dan menjadi inspirasi bagi daerah lain. 4. Membangun optimisme baru dalam upaya merumuskan solusi-solusi yang tepat, kontekstual, dan berkelanjutan bagi peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat di Papua.
5|Page
Pengantar Penyelenggara Sambutan Ketua Panitia (Arie Ruhyanto, M.Sc) Seminar yang diselenggarakan dalam rangka dies Fisipol ini agak berbeda dari yang lain. Seringkali kita membicarakan Papua dari sisi persoalan misalnya tentang HAM, HIV AIDS. Kami mempercayai ada hal yang bisa diangkat. Bahwa ada praktik baik pelayanan publik dan menjadi inspirasi bagi pengembangan solusi-solusi atas persoalan di Papua. Kalau kita berat membahas langsung Papua dari sisi politik, mungkin kita bisa membahas dari hal yang tidak politically heavy yaitu pelayanan publik. Mengapa memilih tema pelayanan publik? Pertama, secara regulasi UU Otsus ada penekanan spesifik kepada pendidikan, kesehatan dan pengembangan ekonomi masyarakat, termasuk infrastruktur.
Menjadi persoalan krusial yang perlu dipahami bahwa tidak hanya
persoalan high-polemics. Kemudian juga perkembangan terakhir ada peluang sekian puluh kabupaten baru di Papua, ada kontroversi terhadap pemekaran di Papua. Namun, semangatnya adalah mendekatkan pemerintahan menghadirkan pelayanan publik lebih dekat ke masyarakat. Pemekaran akan menjadi omong kosong tanpa ada perbaikan penyelenggaraan pelayanan publik. Di tengah sekian banyak potret buram Papua, kalau baca berita, buku-buku teks, website di media online, semua berisi persoalan. Tapi, di tengah itu kami menemukan sekian banyak praktik baik yang selama ini tertimbun diantara persoalan Papua. Misalnya, praktik-praktik baik yang diinisiasi pemerintah provinsi atau kabupaten, atau diinisiasi lembaga-lembaga donor WHO, UNICEF, UNDP dan sebagainya. Juga terutama praktek baik yang diinisiasi oleh yayasan keagamaan bahkan individu, kita ada stok dokumentasi tentang upaya seorang Bapa dalam menginisisasi proses persalinan di Papua. Selain itu, juga ada banyak praktek baik dalam bidang pendidikan, kita berhasil menghadirkan tokoh pendidikan terutama pendidikan dasar sekolah-sekolah berbasis asrama di pedalaman, misalnya fasilitas sekolah. Kita akan mendengar cerita dari orang-orang itu kemudian tentu bisa kita bisa mengambil pelajaran untuk kemudian direplikasi di tempat lain tidak hanya di Papua atau mungkin daerah terpencil lainnya. Terlebih lagi yang mau diangkat adalah ada perspektif baru baik dari akademisi maupun praktisi dalam melihat Papua. Itu beberapa poin tujuan seminar ini. 6|Page
Kami mengharap lebih banyak lagi undangan narasumber yang bisa hadir, kami mengundang beberapa bupati yang kami lihat telah memiliki rekam jejak cukup progresif dalam menata pelayanan publik. Namun, sayangnya ada beberapa bupati yang berhalangan hadir, ada kegiatan lain yang tidak bisa ditinggalkan. Tentu saja dari sisi nasional kita berusaha menghadirkan pejabat Kemdagri dan beberapa kementrian, namun termasuk dari kantor kepresidenan Pak Felix Wanggai. Tapi, sayangnya beliau berhalangan hadir. Kami juga berharap mahasiswa Papua yang berada di Jogja bisa hadir. Kami sempat mengundang secara khusus tidak hanya jadi peserta tetapi menjadi narasumber. Saya kira itu sedikit latar belakang dan proses yang bisa kami sampaikan sebagai panitia. Apabila atas nama panitia ada kekurangan dalam penyambut bapak ibu sekalian kami memohon maaf. Selanjutnya saya ucapkan selamat berlokakarya.
Sambutan Dekan Fisipol UGM (Dr. Erwan Agus Purwanto) Mari kita panjatkan puji syukur kepada Tuhan karena kita bisa berkumpul di ruang seminar Fisipol dalam kondisi sehat wal’afiat. Beberapa peserta saya yakin datang dari jauh. Dari Papua berjam-jam seperti keluar negeri kalau Papua itu. Yang pada hari ini berkumpul siap untuk mendiskusikan masalah bangsa yang penting. Kita pantas bersyukur bisa bertemu dalam rangkaian kegiatan Dies Fisipol yang ke 57. Kami ucapkan selamat datang di kampus Fisipol. Sebagian besar yang hadir disini adalah para alumni lulusan Fisipol UGM yang menganggap Fisipol sebagai rumah keduanya. Selamat pulang kembali ke Kampus yang bapak ibu rindukan untuk mengingat kenangan selama menempuh pendidikan di Fisipol dan di UGM pada umumnya. Tema seminar dan lokakarya pada hari ini seperti yang disampaikan tadi sangat berbeda yaitu mengambil sudut pandang yang lain. Selama ini kita berbicara tentang Papua selalu dari aspek persoalan, aspek problematika, lalu sisi pesimis. Namun, pada hari ini panitia sangat tepat mengambil suatu angle yang positif. Banyak optimisme perlu kita angkat dari tanah Papua. Apa yang sudah dilakukan oleh saudara-saudara kita di sana perlu untuk ditunjukkan dan sekaligus mendapatkan tempat dan pengakuan yang selayaknya sebagai bagian dari pengalaman kita berbangsa dan bernegara. Jadi, saya sangat sepakat mengapresiasi pilihan tema yang dilakukan panitia untuk menyelenggarakan acara kita pagi sampai sore hari dan juga besok. 7|Page
Ibu bapak sekalian, tema Papua saya kira mengkaitkan persoalan-persoalan dan terobosan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di Papua dengan isu pelayanan publik saya rasa tepat. Dapat kita cermati bahwa salah satu tujuan cita-cita idealisme yang diperjuangkan dari kebijakan otda adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dengan memberikan kewenangan besar kepada pemda (kabupaten dan kota). Sehingga, kita berharap bahwa aspirasi masyarakat bisa direspon dengan baik agar kualitas pelayanan bisa ditingkatkan. Hal ini penting dicapai sebelum kita bicara tentang peningkatan kesejahteraan upaya untuk mendorongkondisi daya saing yang lebih baik. Tapi, idealisme utama ialah upaya kita meningkatkan derajat pelayanan publik di daerah. Komitmen politik sangat jelas di dalam UU Otonomi Daerah yang diturunkan menjadi peraturan teknis PP tentang SPM yang intinya adalah pemerintah ingin agar daerah betul-betul menjalankan semua urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar. Untuk itulah, Pemerintah Pusat menentukan kebijakan standard pelayanan minimum (SPM). Harapannya, dimanapun rakyat Indonesia berada mereka akan mendapatkan kualitas pelayanan publik yang sama, paling tidak yang berkaitan dengan 15 pelayanan dasar di mana pemerintah telah menetapkan Standard Pelayanan Minimum. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang mengamanatkan pelayanan publik menjadi hak warganegara dengan berbagai macam peraturan untuk melindungi dan memperoleh akses untuk hak tersebut. Secara tegas, pemerintah sudah memiliki niat politik yang tinggi agar pelayanan publik menjadi baik dan terintegrasi dengan kebijakan Otonomi Daerah. Namun demikian, niat tentu saja tidak cukup. Bapak Ibu yang punya pengalaman di lapangan akan banyak bercerita bagaimana tatanan yang harus dihadapi oleh pemda ketika menjalankan misi untuk memberikan pelayanan publik bagi masyarakat. Hambatan pertama, berkaitan dengan SDM sudah pasti. Kalau bicara pelayanan pendidikan di Papua, misalnya persoalan keberadaan guru menjadi problem yang pelik. Bidang kesehatan juga sama saja, tidak ada bedanya karena jumlah dokter apalagi dokter spesialis juga terbatas di beberapa kota. Apalagi kalau bicara geografis Papua yang luas. Sehingga, persoalan SDM menjadi problem yang sangat berat, belum lagi infrastruktur yang mencukupi. Kemudian kalau itu ada harus ada biaya operasional, itu berkaitan dengan persoalan pembangunan. 8|Page
Itulah PR besar terkait pelayanan pemerintah daerah untuk melaksanakan SPM. Tantangannya yang di Jawa yang semua serba ada itu tidak mudah apalagi kita bicara Papua yang memiliki persoalan sangat berat. Kalau kita belajar dari keberhasilan kota Jogjakarta orang tidak heran, karena Jogja orang pintar banyak, infrastruktur tersedia dan sebagainya. Tetapi kalau belajar pengalaman baik dari Papua itu bukan hal yang biasa, karena mengingat tantangannya bisa seribu satu macam, bisa jadi 100 kali lebih kompleks dari problem kota di Jawa. Jadi kalau kita belajar apa yang sudah dilakukan di Papua, banyak hal yang akan dipelajari. Kalau obat dosisnya tinggi, kalau obatnya diperoleh dari Papua diterapkan di Jawa itu separuh saja sudah sembuh. Itu pentingnya kita belajar terobosan yang bisa dilakukan dari tanah Papua. Tadi pagi, Pak Bambang Purwoko dan saya sempat mengobrol sebentar dengan Pak Bupati Sorong. Kita cukup kagum dengan gagasan beliau yang mampu membuat terobosan-terobosan agar pelayanan publik menjadi lebih baik. Itu yang saya harapkan ketika kita bertemu kita bisa belajar banyak: bagaimana saudara di Papua menemukan terobosan, inovasi ditengah kesulitan yuang luar biasa tersebut. Dengan terselenggaranya seminar ini saya ingin berterima kasih kepada ketua panitia, Mas Arie Ruhyanto, yang pagi ini bisa bernafas lega. Sebelumnya pasti beliau masih dag dig dug apakah seminar bisa dilakukan atau tidak berkaitan dengan pendanaannya. Tapi, pagi hari ini wanjah beliau cukup cerah. Terimakasih juga kepada Pak Bambang Purwoko. Beliau adalah spesialis Papua di fakultas. Tidak ada orang yang tahu Papua kecuali beliau, semua pojokan Papua sudah pernah dikunjungi. Gagasan seminar ini dari salah satu idenya dari beliau, sehingga dapat mengambil angle yang tidak biasa. Kita mengambil angle dari sisi positif. Terima kasih juga kepada delegasi pejabat, Pak Bupati jauh-jauh datang ke sini untuk bertukar pikiran dan menghadiri seminar yang penting ini. Pada akhirnya saya berharap acara ini akan menghasilkan gagasan positif terhadap praktek bernegara, terutama berotonomi daera. Kita bisa belajar banyak dari sini dan nanti bisa berikan kontribusi terhadap kualitas pelayanan publik sehingga akses pelayanan dasar bisa dipenuhi. Akhirulkalam. Wassalamu’alaikum wrwb. Keynote Speaker (Sri Sultan HB X, Gubernur DIY) Pelayanan Publik diawali dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa prinsip Otonomi Daerah yang digunakan oleh 9|Page
negara kita adalah otda yang luas, nyata dan bertanggungJawab. Otda dimaknai sebagai keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang tertentu secara nyata, hidup dan berkembang serta perwujudan atas pertanggungJawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewajiban dalam mencapai tujuan bersama otonomi. Urusan Pemda meliputi urusan wajib dan pilihan. Wajib berarti urusan terkait public services dan urusan pilihan terkait upaya pengenmbangan potensi unggulan yang menjadi kekhasan daerah. Hal yang patut dilakukan oleh pemerintahan daerah terkait membawa kemajuan bagi masyarakat: Pertama, perlu meningkatkan kadar kepekaan dan segera tanggap terhadap aspirasi masyarakat. Kedua, Pemda harus mampu melibatkan segenap kemauan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Sebab, keberhasilan pelaksanaan pembangunan masyarakat sangat bergantung pada sinergitas peranan pemerintah dan masyarakat. Di wilayah DIY, telah dilaksanakan pembenahan melalui inisiasi Corporate Culture serta pengembangan entrepeneurship bagi aparatur di lingkungan pemda. Tujuannya adalah agar tercapai akuntabilitas publik dan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Hal yang patut dilakukan ialah menumbuhkan kesadaran diri untuk melakukan perubahan tersebut. Selain itu jajaran pemprov DIY juga melakukan revitalisasi, internalisasi nilai-nilai budaya luhur, memiliki kemandirian, mengingkatkan etos kerja dan selalu memantau kemajuan diri. Dalam menjalankan pelayanan publik, telah dijalankan reformasi menyangkut finansial, SDM, regulasi serta budaya kerja. Dalam pelaksanaannya juga telah diintegrasikan dengan pemerintah kota dan kabupaten. Filosofi pemerintah daerah DIY adalah Hamemayu Hayuning Buwana yang didasarkan pada nilai budaya daerah Yogyakarta. Hakekat budaya adalah hasil cipta, karsa, dan rasa yang diyakini masyarakat sebagai suatu hal yang benar dan indah. Budaya digunakan untuk mewujudkan masyarakat ayom, ayem, tata, titi, tentrem, karta raharja. Dengan dasar filosofi tersebut maka kondisi yang ingin dicapai yaitu “terlaksananya pelayanan pemerintah yang handal, efisien dan transparan di dalam suasana kehidupan yang aman dan tenteram dalam kerangka Otonomi Daerah”. Melalui pemerintah daerah yang bersifat katalistik, yaitu Pemda DIY akan diarahkan sebagai pengatur dan pengendali daripada sebagai pelaksana langsung suatu urusan dan layanan. Dengan peran baru ini, Pemda akan memberikan peluang kepada pelaku sektor swasta dan masyarakat untuk secara bersama memikul tanggungJawab dan urusan dengan cara memberikan 10 | P a g e
kesempatan dan mendorong masyarakat dan dunia usaha melalui fasilitasi, regulasi dan pelayanan. Tujuannya untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi sehingga dapat memberdayakan potensi daerah untuk menyejahterakan masyarakat. Bertolak dari kondisi, dibentuklah visi pembangunan daerah Pemerintah DIY yaitu: Terwujudnya pembangunan regional sebagai wahana menuju kondisi DIY pada tahun 2020 sebagai pusat pendidikan,budaya, dan daerah tujuan terkemuka dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera, lahir dan batin didukung oleh nilai-nilai kejuangan dan pemerintah yang bersih dengan mengembangkan ketahanan sosial budaya dan sumberdaya berkelanjutan. Adapun kondisi yang mau dicapai dengan ditetapkan visi tersebut antara lain: 1. Terbentuknya citra DIY sebagai wilayah pengembangan sosiokultural dan sosioekonomi yang dinamis dan inovatif. 2. Tersedianya lapangan kerja. 3. Tercapainya tingkat kesehatan dan gizi masyarakat. 4. Terciptanya kondisi yang kondusif bagi partisipasi masyarakat. 5. Terciptanya masyarakat yang menghormati HAM. 6. Terlaksananya pelayanan pemerintah yang handal dan efisien. Diskusi Panel 1: Pembangunan Papua Selama Era Otsus Pembicara
: 1. Prof. Dr. Djohermansyah Djohan (Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri RI) 2. Dr. Adriana Elisabeth, M.SocSc (Peneliti P2P LIPI) 3. Drs. Cornelis Lay, M.A. (Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM) Moderator : Dr. Gabriel Lele (Dosen Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik, Fisipol UGM) Kami selaku panitia mendapat kejutan menyenangkan. Kami sudah menempuh berbagai jalur dan sampai tadi malam kita simpulkan bahwa Pak Dirjen tidak bisa datang. Hari ini ternyata beliau hadir. Sangat jarang ada Dirjen yang tiba-tiba muncul di acara seminar. Ini kejutan yang menantang untuk kami. Setelah mendapat pengantar dari Ketua Umum, Pak Dekan dan sambutan mewakili Gubernur, kita akan bersama dengan narasumber untuk melihat berbagai hal yang terjadi
11 | P a g e
dan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah tingkat nasional maupun lokal. Sebagaimana sudah disampaikan kita akan berdiskusi bersama dengan narasumber. Kesempatan pertama kepada Bapak Dirjen Otonomi Daerah Mendagri yg mengatur “tetek bengek” otonomi di Indonesia. Kita berharap akan berbagi hal spesifik terkait Otsus dan orientasi kebijakan nasional secara umum. Kita juga akan berdiskusi dengan Ibu Adriana Elisabeth peneliti LIPI yang cukup banyak pengalaman penelitian tentang Papua. Beliau akan berbagi dari kacamata peneliti apa yang sudah dicapai dan apa yang perlu dilakukan untuk pengembangan Papua secara khusus. Ketiga Pak Cornelis Lay, guru kita semua di JPP. Pak Cornelis melakukan riset tentang desentralisasi dan mendampingi secara khusus teman-teman Pemda dari Papua yang mengikuti program politik lokal dan Otonomi Daerah. Kalau ada terobosan di Sorong Selatan, kita tahu siapa master-mindnya. Kita mendapatkan tiga kombinasi pembicara yang sangat baik, kesempatan pertama kami persilahkan pada Pak Dirjen. Waktu 20 menit. Pembicara 1: Prof. Dr. Djohermansyah Djohan (Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri RI) Yang kami hormati teman-teman narasumber, Pak Cornelis Lay. Dulu bersama-sama keliling seluruh Indonesia untuk penguatan DPRD ke pelosok-pelosok. Ibu Adri bersama teman-teman di LIPI. Pak Bupati yang seringkali berkonsultasi dan berdiskusi tentang pengembangan Papua. Pak Gabriel bilang saya mendadak muncul, padahal sebenarnya saya berencana datang. Yang kedua, saya diundang oleh tim Gubernur untuk konsultasi terkait tindak lanjut UU Keistimewaan DIY. DIY mungkin perlu ke Papua untuk belajar tentang Perdasus. Katanya DPRD DIY sudah ke Papua untuk lihat-lihat dan belajar. Saya senang sekali karena ingin berbagi saja. Ini adalah tema yang bagus apalagi dikaitkan dengan Dies FISIPOL bahwa kita ingin membangun optimisme di Papua dalam bidang pelayanan publik. Yang menggelitik sebab belum ada best practices yang diangkat dari Papua, sehingga agar ada best practices di tanah Papua yang bisa dimunculkan. Bahwa di Papua bukan hanya terdapat bad practices yang menimbulkan korban jiwa dan memprihatinkan. Di tataran pemerintahan semoga bisa keluar praktik-praktik yang baik. Saya ingin mengungkapkan saja perkembangan terakhir di Kemendagri setelah Otsus digulirkan sampai sekarang sudah 11 tahun. Hingga kini kita belum punya evaluasi terhadap Otsus Papua. Kami baru saja menyelesaikan Otsus Papua dan Papua 12 | P a g e
Barat. Direncanakan 20 Desember 2012 akan diadakan workshop untuk menyampaikan hasil evaluasi itu. Ini ada data-data terakhir, kami berharap dengan adanya Otsus, Papua lebih mampu membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya karena desain kewenangannya diberikan lebih dibandingkan tempat lain begitu juga peluang yang diberikan. Mimpinya adalah Otsus akan menjadi berkah yang membawa kemajuan bagi masyarakat di Papua secara signifikan. Dari datadata (yang kami dapat –red) banyak hal belum berubah. Untuk melihat itu, supaya tidak hanya kuantitatif dan evaluasi kami ini dilakukan secara kuantitantif (angka): misal berapa jumlah RS, dokter, dan sebagainya setelah Otsus. Begitu juga angka partisipasi sekolahnya. Kesimpulannya memang kita masih harus bekerja keras untuk perbaikan di tanah Papua ini: Bagaimana pengelolaan tata pemerintahan yang baik terutama best practices. Pemerintahan dengan model demokratis yang kita lakukan sekarang menghasilkan best practices. Contoh best practices di daerah lain yang paling popular adalah di Kab.Jembrana. Diantaranya di bidang pelayanan pendidikan yaitu bebas SPP bagi seluruh siswa sekolah 12 tahun. Kemudian bebas biaya obat dan dokter, program dana talangan untuk hasil petani, lalu program dana bergulir dan sebagainya. Hasilnya dengan program-program itu terjadi peningkatan angka partisipasi APK, APM, penurunan angka drop-out, dan tingkat kelulusan UN 100%. Kemudian ada pelayanan kesehatan di Bontang yaitu dengan penataan ulang dengan sistem primary healthcare dengan IDI. Pelayanan kesehatan yang berorientasi pada kesehatan primer. Terus, Penanaman modal ada di kota Pekalongan, yaitu inovasi penguatan ekonomi berbasis potensi lokal berbasis kampung wisata batik dan pemberdayaan perempuan. Kalo di DIY kita ambil Kab. Bantul yaitu percepatan pembangunan daerah yang meliputi penerapan standar pelayanan, penerapan SPM, kemudian IKM serta partisipasi masyarakat. Kemudian guna melaksanakan sistem pelayanan publik terintegrasi dengan standar internasional. Kalau Surabaya, sekarang best practices untuk sister city dan ICT. Dan ia menjadi tempat bagi kota-kota lain di Indonesia untuk penerapan sister city. Ada banyak lagi. Yang kita ingin dorong adalah bagaimana praktik-praktik tersebut juga muncul di Tanah Papua. Bahkan di Kemendagri juga mendorong tidak hanya di eksekutif atau SKPD saja tetapi juga di ranah legislatif. Sekarang seringnya bad news dari dewan kita, bagaimana caranya ada best practices di dewan kita. Bagaimana dewan punya best practices di bidang eksekutif yang baik di Indonesia. Di tataran Nasional tercatat ada 50 kota dan kabupaten yang menerapkan best practices, 13 | P a g e
tapi khusus di Tanah Papua masih kurang. Best practices di ranah legislatif juga. Kita optimis bila kita berhasil membangun prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, kepercayaan masyarakat juga akan tinggi terhadap kepemimpinan di sana, jadi pikirannya tidak hanya pemekaran terus setiap hari. Pembicara 2: Dr. Adriana Elisabeth (Peneliti LIPI) Kalau kita lihat Papua tentunya kita tidak mudah memisahkan antara proses politik dan pembangunan. Mengukur pembangunan Papua tidak mudah, tidak bisa menggunakan indikator di daerah normal. Kalau berbicara pembangunan harus bertanya dulu apa sebenarnya masalah di Papua? Sejauh mana juga Otsus di Papua? Sejauh mana partisipasi masyarakat Papua? Apa yang sudah dan belum di lakukan? Apa strategi yang tepat? Dari situ kami LIPI ingin menyeimbangkan bahwa masih ada. Sebenarnya ini masalah Papua atau Jakarta? Kalalu kita bicara masalah pembangunan secara umum, sering mendengar inequality, kesenjangan pembangunan, sering disebut juga daerah tertinggal. Kemungkinan masalah kemiskinan trerkait human poverty, sangat serius di Papua. Keterbatasan infrastruktur, keamanan. Politik dan pembangunan sangat berkolerasi dan sangat susah untuk memisahkan dua hal itu. Untuk Otsus, tim LIPI mencoba untuk melihat permasalahan di Papua ada empat. Marginalisasi berefek diskriminasi, kegagalan pembangunan, kekerasan negara dan pelanggaran HAM, dan masalah konflik Papua. Mengapa gagal? Apa benar gagal atau bagaimana? Atau belum optimal? Kalau bicara kebijakan pembangunan Papua dari orde baru, dibangun sama dengan daerah lain tidak melihat konteks Papua. Sudah daerah khusus dan menjadi lebih khusus lagi. Ada master plan percepatan pembangunan ekonomi. Dimana Papua jadi koridor 6. Banyak sekali kebijakan yang dibuat khusus untuk Papua walalupun itu juga menjadi kebijakan secara nasioanl. Kita bisa lihat hasilnya. Metode pembangunannya seragam dan akibatnya Papua jadi tertinggal, karena karakteristik daerah berbeda-beda. Otsus juga gagal, mengapa? Karena sosialisasi terbatas dan tidak semua orang Papua paham Otsus. Pembentukan majelis rakyat Papua juga terlambat. Serta belum ada implementasi Otsus yang dievaluasi secara utuh, bukan hanya uang. Banyak anggaran digunakan untuk biaya operasional birokrasi, bukan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan infrastruktur. Perbedaan Papua sekarang, misalnya, lebih banyak took dan bangunan tinggi, jalan makin bagus, frekuensi penerbangan makin sering. Ini menunjukkan 14 | P a g e
ada perubahan lebih baik walau belum optimal. Di sisi ekonomi rakyat, kalau kita bertanya pemilik took-toko besar di sana siapa? Penduduk Papua atau pendatang? Mengenai kesehatan saya pernah diskusi di Timika. Kenapa setelah Otsus malah susah menangani kesehatan di Papua? Ada kesalahan di UU kesehatannya. Akhirnya orang yang sakit tidak tertangani. Jadi Apakah UU tersebut mengarahkan perbaikan atau penghambat? Yang jadi korban masyarakat Papua sendiri. Inpres tidak jalan, dananya ditaruh di masing-masing kementerian. Tentang master plan untuk peningkatan pembangunan ekonomi, pembangunan itu juga untuk keuntungan siapa? Di Jawa jelas untuk investor, bukan untuk masyarakat. Itu menjadi pertanyaan juga. Berbicara tentang kemiskinan, kita selalu terpaku di income poverty tapi bukan human poverty. Menurut bapak ibu, miskin itu apa? Kami tidak miskin bu. Kenapa orang Papua dibilang miskin padahal tidak. Pembentukan UP4B di dalam Keppres, ada dua pendekatan yang harus dilakukan. Pendekatan ekonomi infrastruktur dan kebudayaan. Tapi yang dilakukan bagaimana meningkatan ekonomi, padahal jelas Papua ini problem politik, maka selalu muncul. Pendekatan budaya yang seperti apa? Kalau saya boleh menyebutkan beberapa hal kegagalan di Papua. Pertama, masalah kepemimpinan. Harus fokus bagaimana bisa diselesaikan. Bukan project oriented. Papua harus ada keputusan politik yang kuat. Ada soal hubungan segitiga birokrat, peneliti dan pengusaha. Saya sampaikan bahwa akibat dari segitiga yang kuat, adanya marginalisasi masyarakat dan bad governance. Bagaimana menyelesakan hal-hal semacam ini? Ini terjadi juga di Papua. Kita lihat kinerja birokrasi Papua itu buruk, misalnya di Timika. Dari Timika ke pelabuhan hanya satu jam. Sampai di Komako, ada 150 anak tidak sekolah, tidak sehat dan rumah kumuh. Kalau melihat begitu bagaimana kepala daerah melakukan pembangunan? Yang membantu anak2 adalah aktivis-aktivis sendiri yang bukan dari Papua juga. Mengenai permasalahan korupsi, tidak hanya terjadi di Papua tapi secara umum, tapi korupsi di Papua terkesan berbeda karena susah membedakan antara proses politik dan pembangunan. Penegakan hukum yang lemah. Ada pejabat korupsi, takut diusut, takut minta merdeka. Korupsi harus diusut, jangan takut minta merdeka. Masyarakat jadi apatis. Misalnya, itu bukan urusan saya, bukan program saya. Relasi antara pemerintah dan masyarakat semakin buruk. Sering dibicarakan tapi tidak tahu bagaimana membicarakannya. Bagaimana memutus siklus itu. 15 | P a g e
Selalu ada masalah keamanan di Papua. Kita selalu takut dipersoalkan ke internasional. Dengan sosial media yang makin kuat perannnya, tidak mungkin kita tutupi. Negara-negara lain itu sangat menghormati kedaulatan di Papua, tapi peran media sosial yang besar, gerakan masyarakat juga bisa dari situ. Tawaran dari Papua road-map, rekognisi dan pemberdayaan masyarakat, paradigma baru pembangunan, pengadilan HAM dan rekonsiliasi. Masyarakat harus dijadikan center pembangunan, bukan objek. Ada dimensi fisik dan non fisik yang nanti akan disampaikan secara detail oleh narasumber lain. Saya coba lihat indikator pembangunan. Yang bisa kita baca di buku, ada indeks manusia yang tinggi dan rendah. Apakah di Papua baik atau buruk? Papua menjadi pengembangan kawasan ekonomi terpadu tapi tidak ada progress dan tidak tahu perkembangannya seperti apa. Adakah harmonisasi antara institusi politik dan ekonomi? People centered development atau masyarakat menjadi pusat pembangunan. Tentang dimensi non fisik, menyelesaikan Papua harus memperhatikan dua hal yang fisik dan non fisik. Non fisik, masalah norma Papua, bagaimana menegosiasi nilai-nilai ini dengan Indonesia. Kalau ada norma yang berbeda harus bersedia melakukan negosiasi. Rasa aman dan nyaman, stigma separatis. Pemulihan trauma, banyak yang belum selesai. Rekognisi juga belum selesai. Ukuranukuran ini juga harus dilihat. Paradigma pembangunan Papua harus menggunakan pendekatan human security. Bagaimana mau Ph. D kalau SD saja belum ada. Pembangunan non fisik lain adalah komunikasi politik yang intens. LIPI pernah memfasilitasi dialog forum yang berkonflik. Yang terakhir, coba kita gali kebudayaan Melanesia. Kalau itu bisa kita negosiasikan secara baik untuk menjadi kekayaan Indonesia agar tidak menjadi rasialis.
Pembicara 3: Drs. Cornelis Lay, M.A. (Dosen Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM) Saya ingin mulai dengan pernyataan sederhana. Boleh jadi forum ini berada pada posisi silang, sangat kritis secara psikologis. Titik kritis psikologis kita dalam memandang Papua. Puluhan tahun kita selalu menempatkan Papua di kerangka pikir patologis. Papua sumber masalah. Itu yang sedang terjadi. Saya mulai 90-an awal masuk Papua. 99% orang masih pake koteka. Kita kelelahan secara psikologis karena kita melihat di sana hanya masalah. Kalau mau dirangkum, ini pendekatan yang dipakai untuk melihat Afrika, ini sekarang kita dengar untuk Papua, negara gagal dan sebagainya. Argumen yang dipakai, konsep yang mencoba menjelaskan nasib politik bersandar pada 16 | P a g e
Negara dan sebagainya, dan di Papua itu jelas sekali. Kita belum punya pemerintahan Papua. Ini kira-kira yang selalu muncul di sana dan karena itu tidak ada harapan. Saya melihat tiba-tiba temanteman muda punya cara pikir yang berbeda. Di Papua itu ada masalah, tapi di sana juga ada harapan. Darimana kita akan belajar? Saya yakin anda akan tertawa, kok itu dibilang berhasil? Tapi, bagi saya yang pernah bolak balik masuk pedalaman, seorang camat masuk kantor saja itu sudah prestasi, good governance betul. Tidak usah bercerita tentang pelayanan yang cepat dan sebagainya, tidak perlu karena terlalu tinggi. Kepala distrik belajar di kantor distrik itu sudah prestasi yang sangat luar biasa, apalagi kalau kita turun ke bawah, ke level kepala kampung. Sebaliknya, masyarakat mau datang mengurus KTP saja sudah bersyukur luar biasa. Itu yang kita sebut kebiasaan pemerintahan sudah ada. Masyarakat mau datang ke puskesmas saja sudah luar biasa. Kita berkhayal tentang hal beda, datang terlambat sedikit kita sudah marah. Di Papua, tunggu tiga hari petugasnya datang itu sudah bersyukur. Ada anak datang ke sekolah itu sudah prestasi luar biasa. Justru hal-hal sederhana ini yang perlu kita apresiasi. Kalau standarnya tinggi, sampai kiamat tidak akan bisa. Mulai dari hal yang sederhana. Cerita tentang sederhananya kesehatan dari mantri yang keliling. Bisa mendatangkan hakim keliling juga sudah prestasi. Mungkinkah kita menurunkan ekspektasi tinggi kita tentang best practices itu? Di Papua sangat normal anak SMA belum bisa baca tulis. Bagi saya, tahu huruf dan angka juga sudah cukup, sehingga kita bisa mengapresiasi kerja para teman yang mulai putus asa. Pemimpin yang tidak memberikan rasa optimis itu bukan pemimpi. Sementara di sana kepemimpinan adalah kapasitas seseorang untuk mendistribusikan charity alias bagi-bagi. Jangan-jangan kita ini menuntut terlalu jauh. Analisis kedua adalah melihat Papua dalam kerangka ambivalensi atau yang kita sebut sebagai paradoks yang konstan. Cerita kancil yang kaya raya tapi miskin. Bagi yang pernah memasuki Papua, jangan sampai masuk kesimpulan seperti itu. Datanglah ke daerah Sorong agak selatan. Lihatlah pohon pun capai (lelah –red) untuk tumbuh alias kerdil. Sambil kita berkhayal ada emas berlian tapi di atasnya orang miskin. Tapi, apakah di sana tidak ada optimisme? Ada banyak. Insting untuk menjadi seperti orang di tempat lain itu tersedia. Berdagang atau enterpreneurship ada. Menurut saya, perlulah. Orang di pegunungan itu harus menjadi petani yang handal, sungguh menanam, di bagian atas itu mengolah, menanam, alamnya pun juga tidak ramah. 17 | P a g e
Jangan-jangan menjadikan kita secara keseluruhan terjebak dalam psikologi kalau ada masalah, kita buang uang, bikin organisasi baru. Dua hal itu yang dikerjakan di Papua sekarang. Bikin pemekaran, pemerintah daerah baru, timpa dengan uang. Betapa sumber daya yang begitu besar tidak ada gunanya. Ini celah baru dalam melihat Papua. UGM bisa keluar dari jebakan analisa yang patologis. Catatan Diskusi SESI TANYA JAWAB 1. Muhammad: Dari tiga perspektif, saya punya titipan dari pegiat NGO bahwa dia melihat ada praktik-praktik baik. Pertama, investasi bagi orang yang tepat. Workshop tidak pernah diselenggarakan, tapi laporannya muncul. Di lapangan bisa mencari celah, misal staff nya. Sehingga bisa diilakukan workshop. Kedua, ditinjau dari laporan pak Lay, tidak semua hal baik itu dimulai dari yang tinggi, tidak perlu malu memulai dari hal yang sangat sederhana, mikro. Literasi yang sangat rendah. Karakter apa yang membuat pejabat di sana menjadi punya kinerja rendah? Tingkat masuk juga rendah? 2.
Siti Maryam: Ibu Elisabeth, apakah ada hubungan kesejahteraan orang Papua dengan Freeport? Apa ada kebijakan terkait hal tersebut?
3.
Heri Mulyana dari Kab Biak Numfor: Apa yang disampaikan pak Lay sangat setuju. Strategi kita terkait pemahaman mengenai Papua hanya dari patologisnya saja. Sebenarnya best practices di sana sangat banyak yang perlu kita gali. Rasa memiliki orang Papua terhadap Indonesia. Bisa kita diskusikan secara luas. Terkait keberhasilan Otsus, dikaitkan dengan empat indikator, perlu dilakukan secara lebih mendalam. Di Papua ini memang ada beberapa lokasi yang sebagai wilayah, kalo dari sisi strategis nasional, kawasan cendrawasih adalah NKRI. Tidak ada keberpihakan untuk menghidupkan iut. Perlu ada gambaran secara luas, yang bisa memberikan gambaran itu. Secara khusus, ingin membacakan cambuk pada saat pertemuan bupati kami. Dulu kita yang terdepan, hari ini apakah kita didepan, ditengah atau dibelakang?
4.
Novrian: Diskusi yang sangat menarik. Saya melihat permasalahan Papua ini sepertinya juga dialami oleh propinsi lain terutama yang punya sumber daya alam yang baik. Cuma lebih menariknya, Papua ini karena dia memiliki kekayaan alam yang begitu besar tapi 18 | P a g e
kesejahteraannya jauh sekali. Di Kalimantan di sekitar perusahaan juga termarginalisasi, hanya Papua kompleks. Banyak uang beredar di sana tapi kehidupan (orang Papua –red) tetap susah? Saya rasa uang beredar bukan di Papua, tapi di luar Papua. Kenapa? Harus dipecahkan supaya uang beredar di Papua. Saya punya teman untuk membangun infrastruktur itu susah sekali, bagaimana mau maju? Akses itu penting sekali untuk meningkatkan kesejahteraan. Orang Papua yang kuliah di sini mau kembali atau tidak? Orang Papua tapi tidak berani untuk lebih keras lagi terhadap sesame mereka. Ada permasalahan internal dan eksternal. Berarti ya korupsi di sana tidak tersentuh. Intinya, bagaimana kita meng-cut, memberdayakan orang Papua untuk kembali ke Papua untuk kembali ke negerinya. Singkirkan orang-orang Papua yang tidak mau maju. Jawaban dari Pembicara: 1. Prof. Djohermansyah Saya berharap forum ini bisa membangun optimisme. Hanya mungkin kita berbicara terlalu luas. Mungkin para bupati bisa mengungkapkan upaya-upaya untuk praktik pelayanan publik yang baik. SPM untuk Papua, kalau bisa diturunkan. Mimpi kita, kita ingin praktik-praktik pelayanan yang baik itu juga bisa di Papua. Kami yakin dengan kemampuan birokrasi di Papua dilihat dari pendidikan birokrasi yang makin baik. Papua tidak terisolasi dari kemajuan-kemajuan itu. Prinsipnya kita memang harus cari celah, terobosan, ada pemikiran yang out of the box untuk mencari upaya kesejahteraan di tanah Papua. Mungkin kita coba cari bagaimana celah, cara-cara kalau perlu ada standar pelayanan paling minimum, dan pendekatan non-fisik yang jangan hanya fisik saja. Ke-Indonesiaan orang Papua, saya setuju itu memang belum utuh tapi in the making. Kalau dari segi bahasa, itu justru berbahasa yang baik dan formal orang Papua. Itu adalah potensi yang bagus di tanah Papua. Terakhir, kita memang harus mengelola tanah Papua ini dengan cara yang bijak, tidak bisa dpendekatan yang dilakukan di tempat lain serta merta kita pakai. Yang menyita waktu paling banyak adalah Papua. Harus ada cara-cara yang lain yang berbeda, sehingga dengan begitu masalah terpecahkan sedsuai dengan keadaan Papua. Walaupun tidak dilarang mimpi tinggi, tapi ketika membuat kebijakan harus disesuaikan dengan masyarakatnya. Saya kira begitu saja. 19 | P a g e
2. Dr. Adriana Elisabeth Saya mulai dari yang tidak setuju. Otsus bukan gagal, tapi dalam tanda tanya. Evaluasinya tidak pernah muncul. Ada institusi yang melakukan tapi tidak pernah dipublikasi. Mestinya tidak semua gagal, UU itu juga kompromi politik. Perlu dievaluasi sesuai atau tidak. Kinerja birokrasi, dari contoh yang saya sampaikan tadi adalah kasat mata baggaimana kepala daerah tidak membangun daerahnya, tidak semua kepala daerah tentunya. Kepala daerah itu melakukan apa disana? Dengan uang yang banyak? Kenapa itu terjadi? Saya pikir karena Papua selalu dibicarakan secara politik. Kalau bicara politik, kompak, ketika bicara ekonomi pembangunan, itu beda. Yang kita lihat orang-orang yang bekerja di lapangan, tapi pemberdayaannya tidak maksimal. Menurut saya pemerintah daerah harus sungguhsungguh untuk hal-hal seperti itu. Kinerja birokrasi, kita bayangkan Papua yang 30 tahun lebih dikelola secara sentralistik, lalu diberi kewenangan yang begitu besar, jadinya seperti apa? Artinya pemerintah Jakarta harus melihat ini secara proporsional. Bukan dengan menurunkan standar tapi membedakan standar, tapi bukan untuk menurunkan standar. Membuat kriteria yang sesuai dengan Papua. Secara nasional, Papua mau dijadikan apa? Perlu diberi ruang yang sama untuk mengakomodasi potensi-potensi lokal. LIPI pernah membuat Papua sebagai bagian tanam pokok. Tidak perlu semua tanam padi. Diberdayakan. Kalau saya melihat, masih penyeragaman meskipun masih ada Otsus. Memberikan teknologi tepat guna, teknologinya dibantu. Membangun jembatan di daerah, memang harus secara khusus melihatnya, tidak bisa disamaratakan karena kondisi berbeda. Soal Freeport, ini persoalan besar. Dari data terakhir, saham Freeport 80% dipegang asing, sisanya dibagi dua, diperpanjang sampai 2040. Ketika pak Frans seda masih ada, maaf karena saya yang memulai. Kenapa Freeport tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh orang Papua sendiri. Kalau saya sebagai orang politik melihat, itu adalah deal politik tingkat tinggi. Dari sebuah diskusi informal, ada semacam, amerika membuat deal dengan belanda, Freeport itu sebagai salah satu sumbernya. Deal berikutnya antara pemerintah Indonesia dan amerika. Siapa yang paling diiuntungkan? Secara umum seperti itu. 3. Drs. Cornelis Lay, M.A. 20 | P a g e
Saya hanya akan memberi penekanan pada soal kinerja pemerintah daerah yang rendah, salah satu yang paling penting, karena tradisi berpemerintahan usianya masih terlalu pendek di Papua. Baru 40 tahun pemerintah modern disana, tingkat kedalamannya juga baru akhir-akhir ini. Karena itu kebiasaan pemerintahan belum menjadi habit, perilaku normal. Jangan diliat orang menjadi pegawai itu akan melayani, tapi jatah suku. Tidak ada urusan dengan pelayanan. Itu yang ada. Karena itu saya kira cara yang paling sederhana itu memang membiasakan berpemerintahan itu dulu. Kalau ada kantor, mulai dulu dengan berkantor. Kalo di Jawa, bupati wibawanya luar biasa. Kalo di puncak, pejabat bupati tidur bareng sama orang, di lantai. Jadi penyatuan antara ranah privat dan sebagainya tidak berlaku di Papua. Di hal ini saja sudah menjadi prestasi. Kalau kita datang, kesulitan kita paling besar adalah jangan pernah menyimpulkan Papua sebelum mendatangi beberapa titik kritis Papua. Mengukur Papua dari jayapura atau sorong adalah kesalahan paling besar dari orang-orang dalam menilai Papua. Tradisi pemerintahan di tempat lain yang disebut desa itu sudah lama. Di Papua kita baru mengenal itu sekarang, akhir-ahir ini. Ketika ditimpa rencana program kampung, bubar. Propinsi dan kabupaten banjir ke sebuah kampung, pegang uang banyak, tidak tahu mau apa. Bahkan kepala desanya tidak ada. Usul saya sederhana, kebiasaan pemerintahan. Dimulai dari kapan orang tahu kapan menggunakan kantor. Kalo sudah tahu, mari kita catat sebagai best practices. Kita pernah mencari bupati dalam 8 bulan, kita temukan dia mabuk. Tidak minum, tidak mabuk saja itu sudah prestasi bagi pejabat publik. Jadi menurut saya kriteria yang dilekatkan, baru. Tidak mabuk didepan publik misalnya. Bagaimana mau melayani? Saya ragu tentang keIndonesiaan orang Papua? Apa betul? Ukurannya bisa macem2. Kita pernah sekali waktu hampir sepuluh tahun yang lalu ngobrol sama salah satu di sana. Dia bercerita tentang semua. Tapi kalau kita ketemu aktivis, ceritanya lain. Ukuran saya kadang2 sederhana. Kalau temen2 Papua liat bola kaki, dan Indonesia kalah lawan Singapore, berarti Indonesia masih ada di orang Papua. Tapi bagaimana agar itu tidak menjadi satu-satunya modal. Ketika saya kecil, ketemu Indonesia dengan cara yang luar biasa, sekolah, guru. Bayangan saya Indonesia itu menyegarkan, memintarkan. Kalau kita tidak bisa meletakkan pondasi dasar dalam governance, maka selamanya yang ada adalah kekerasan. Kalau orang Papua bertemu 21 | P a g e
dengan seorang Indonesia yang baik, ini akan merubah mindset. Kalo tidak, yang tertinggal tetap jadi memori buruk, tidak ada kemajuan. Tiap warga Papua layak mendapat kehidupan yang layak, menjadi cerdas, setara sosial dan ekonomi. Kalau kita dekati secara politik terus menerus, lelah. Saya kira di beberapa tempat di kampung saya, Indonesia dikenal melalui gudang garam. Menurut saya, inilah wajah surgawi dari Indonesia yang harus dihadirkan secara konsisten dan di pundak pegawai publik itulah tanggunggJawab itu berada. Diskusi Panel 2: Praktik Baik Pembangunan Bidang Ekonomi di Tanah Papua Pembicara
:
Dr. Drs. Stepanus Malak, M. Si. (Bupati Sorong) 2. Victor Mambor (Pemimpin Redaksi Tabloid Jubi) Moderator : Drs. Bambang Purwoko (Dosen JPP, Fisipol UGM) Pengantar Moderator Bismillahirrahmanirrahim, Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh. Di sesi ini 1.
kita akan berbicara tentang best practice di bidang ekonomi. Bupati Sorong, alumni UGM untuk masternya, dan doktornya di Unpad. Aktif di KNPI, AMPI, dan Golkar 1982-sekarang. Tentu saja banyak aktivitas yang banyak dilakukan. Kab. Sorong jadi contoh pembangunan ekonomi di Papua. Ketika tim UGM pertama kali datang ke Kab. Sorong tahun 1999, kami mendarat di Pulau Jetman. Kemudian naik long boat dengan ombak tinggi jadi ada kemungkinan sampai atau tidak, tergantung pada cuaca dan kekuasaan Tuhan. Di sana masih sangat sepi. Setiap minggu semua pergi ke Gereja, tapi ternyata sepi juga. Tetapi, sejak 2005 Sorong adalah pintu gerbangnya Papua. Sorong sudah berkembang pesat. Kab. Sorong merencanakan atau mungkin bahkan memiliki pelabuhan internasional. Secara khusus itu masuknya pengembangan ekonomi. Indikatornya kalau ada ATM di berbagai bank itu menunjukkan pembangunan di bidang ekonomi. Pembicara 1: Dr. Stepanus Malak, M. Si. (Bupati Sorong) Saya bermaksud menyampaikan materi pembangunan ekonomi di tanah Papua. Di pembicaraan pertama sudah sangat hangat. Kajian ilmiah dan praktis Papua pada kondisi saat ini dan ke depan dalam pelaksanaan tugas pemerintah ke depan. Kami akan fokus ke kabupaten Sorong, karena Papua tidak semua sama. Seperti di Jawa juga tidak sama. Papua dalam kultur, di sana beda – beda juga, itu mempengaruhi perbedaan secara makro dan mikro, ekonomi, sosial, politik, secara umum semua. Termasuk, mungkin juga pelaku birokrat, maupun mahasiswa murni, 22 | P a g e
menjadi potensi baru di masyarakat Papua. Dari pengalaman kuliah di UGM, bisa membuat saya menjadi pemimpin. Dalam melihat Papua, peta seperti ini. Papua dipandang orang dalam dan luar berbeda. Apalagi dalam policy yang berbeda, seperti Otsus, dan kebijakan lainnya. Papua ini ketika pendeta datang, ini adalah “tanah yang diberkati” bukan miskin, bodoh atau yang lain. Orang Papua ini ramah pada kita. Ketika kita datang ke sana, kita meragukan, padahal ramah dan sebagainya. Pada zaman Belanda, dibentuk kota, mulai dari pesisir. Tetapi tidak di pedalaman, sehingga yang di pedalaman masih tertutup. Dibentuk 1 provinsi dan 9 kabupaten, kecuali Wamena. Dengan adanya Reformasi, memberi peluang bahwa Papua sama dengan provinsi lain di Indonesia ini. Di sana jaraknya beratus kilometer satu kabupaten. Dengan kondisi seperti ini bagaimana pelayanan publik bisa berjalan? Dalam kondisi ini kita harus melihat. Peluang itu ada, muncul kabupaten baru baik di pedalaman dan pesisir. Ditambah satu provinsi lagi, yakni provinsi Papua barat. Tidak bisa kita ukur setiap provinsi dan kabupaten ini sama di Jawa. Otsus ada sebatas pelayanan. Tapi, suatu langkah yang telah kita lakukan untuk membawa kebaikan bagi masyarakat Papua. Dulu belum ada orang Papua jadi bupati, setelah Otsus ada, ada harapan. Ada pembangunan fisik, SDM, jadi karena itulah kalau kita samakan dengan di Jawa itu tidak mungkin. Kini orang Papua ada di jabatan pemerintah. Kemudian secara struktur, kualitas, dan lainnya mungkin masih rendah, tapi bisa menjalankan roda pemerintahan. Tadi yang disampaikan oleh pak Dirjen, di tingkat desa, distrik, tempatnya sulit, pelayanan itu ada. Dalam politik yang menarik, ada pemerintahan. Kita melihat Papua seperti itu yang akan datang. Mari kita semua punya komitmen. Baik dari orang Papua maupun orang luar Papua. Freeport bukan barang baru. Dari saya belum lahir sudah ada ini. Bisa dilihat dari aspek politik, ekonomi, sosial, ada (menurut logika saya) Timika itu bisa terbuka, bisa berkembang, jika tidak ada Freeport mungkin tidak bisa dari aspek psikologi. Aspek sosial ada yang baik ada yang tidak. Aspek politik, ada kebijakan dari pemerintah pusat ke depan berapa persen insinyur Papua yang ada di Freeport. Bangun universitas ternama di sana. Ada rumah sakit yang baik. Semua perlu kemauan pemerintah pusat. Keberhasilan pembangunan Kab. Sorong ini dulunya satu kabupaten, kemudian mekar jadi kota Sorong, Kab. Sorong selatan, Kab. Raja ampat, ada enam wilayah pemerintahan. Urusan saja 23 | P a g e
kabupaten, karena kalau ada kabupaten pelayanan akan sampai ke masyarakat. Provinsi urusan orang atas saja tidak sampai ke pelayanan masyarakat. Pendidikan, kesehatan, ada empat pokok pelayanan bagi masyarakat. Di Papua ada korupsi. Tahun 1985 baru dimulai pembangunan. Sebelumnya ada permasalahan politik dan krisis, sehingga tidak bisa melakukan pembangunan. Semua yang menguasai itu orang luar. Baru setelah 1985, ada orang daerah Papua yang bisa menjadi pemimpin. Kita harus melihat kondisi yang umum dalam kondisi seperti ini. Raja Ampat sekarang terkenal dengan wisata bahari, Kab. Sorong, Kota Sorong, Kab. Sorong selatan, dan dua lagi. Keenam kabupaten ini lebih menjanjikan dibanding membentuk provinsi untuk pelayanan. Tapi, adik-adik ini lebih mampu, biar bisa memandang ke depan. Selesai dari UGM saya susun pemekaran, konsep Papua barat dan tengah, tetapi kenapa konsep tersebut tidak ada tindak lanjut? Dalam dinamikanya ada, akhirnya jadi Papua Barat. Kabupaten Sorong kita bicara tentang kabupaten saja, tapi semuanya memiliki dampak yang saling mempengaruhi dengan wilayah lain. Sorong ini juga kepentingan dari Papua barat. Setiap Hari Jumat atau Sabtu pejabat dari Papua barat liburannya ke Kab. Sorong karena “gula” nya ada di sana. Ketika pertama jadi bupati, saya cuci otaknya semua pejabat. Ikut saya, ikut sistem. Kepala dinas jadi stres, jadi sakit. Mereka mengeluh. Jangan ganti pejabat akibatnya struktur ganti. Filosofi saya “binatang yang buas bisa dijinakkan menjadi peliharaan manusia, kenapa tidak manusia dipegang dalam sistem”. Saya tidak di belakang meja, tapi ke lapangan, biar tahu. Sistem bisa mengolah pemerintahan berjalan secara maksimal, normal. Kalau ada program silakan, tapi visi dan misi itu otak saya. Perencanaan bagus, tapi kalau tidak diimplementasikan akan jadi cerita saja. Saya bangun jalan di pedalaman, di kota. Uangnya dari mana? Dari Tuhan. Kalau melihat APBD tidak cukup. Kedua, mendidik pegawai di sana ke UGM, Unpad, Unsrat, dan lainnya. Putra Daerah juga disekolahkan. Kurang lebih ada 2000 orang yang sudah saya kirim. Otsus tidak hanya itu saja, tapi hal yang konkrit. Bagaimana orang Papua melihatnya. Jika kita mengolahnya akan jadi sistem yang sangat bermanfaat. Pertama infrastruktur, kedua SDM, ketiga pemberdayaan masyakarakat, dan keempat stabilitas keamanan. Saya bangun Koramil dan lainnya dan melihat polisi militer kerja betul atau tidak. Itu semua menJawab semua yang selama ini menjadi persoalan. Dalam kondisi seperti ini, 80 persen di pedesaan, yang di kota itu pendatang. Jadi harus bangun jalan di pedesaan, bangun sekolah di pedalaman sehingga anak Papua itu tak perlu jauh-jauh sekolah. Pengalaman kalau jauh 24 | P a g e
paling lama bertahan 2 – 3 bulan. Solusinya saya membuka sekolah di beberapa titik. Ada yang saya kirim ke UGM, ITB, dan lainnya, sekarang ada 7 orang latihan penerbangan ke Australia. Ke AS, Eropa, langkah seperti itu harus saya lakukan. Tahun depan TK sampai SMA/SMK gratis tanpa pungutan. Kalau ada pungutan, itu masalah dengan saya. Itu kualitas pelayanan itu, fasilitas. Dari semua tingkatan sudah kami bangun sampai 95 persen. Orang Papua ini tidak bodoh. Hanya sistem yang tidak tepat. Ternyata yang dulu tidak bisa matematika, ternyata bisa. Rencana tahun depan, akan kita lakukan Olimpiade nasional di Sorong. Biar Sorong bisa mendunia. Memang awal seperti ini mahal tapi ke depan sistem bagus. Keterkaitan sistem dengan ekonomi, masyarakat ini ada pendampingan. Dulu tidak ada bank, sekarang ada bank masuk, baik pemerintah dan swasta. Dampaknya, perkembangan ekonomi bagus. Ada perdagangan, perputaran uang, ada pembeli untuk ikan dari nelayan, jadi ada potensi yang memungkinkan untuk jangka panjang memberdayakan masyarakat. Terkait dengan Otsus, pertama kali menjadi bupati saya mengajukan dana untuk bangun rumah warga. Paling tidak ada 5-7 rumah sehat di satu desa. Lima tahun kemudian. Ada program listrik desa, baik dari tenaga surya maupun mikro, dan berhasil sehingga masyarakat bisa hidup dengan baik. Ada jalan yang menembus sampai daerah yang sulit. Sekarang bisa pulang pergi. Tujuannya membangun Sorong dalam kondisi yang kita butuhkan. Di Sorong ada perusahaan minyak yang terkenal zaman Belanda. Saya bikin kebijakan baru, kalian boleh mengebor minyak tapi bangun jalan sekian kilo, gereja, beasiswa, program CSR itu bisa berhasil. Mereka beroperasi, dan bisa memberi bantuan untuk berbagai hal. Mereka terlibat dalam pembangunan masyarakat sehingga nanti terbentuk wilayah yang baik. jangan ada konfik antara masyarakat dengan perusahaan. Saya buat keputusan bupati, kalau tanah adat bayar ke adat, kalau sertifikat ya ke sertifikat. Sehingga ada kearifan agar tidak menimbulkan konflik kepentingan masyarakat. Kab. Sorong jangka panjang, dari tenaga skill, apa saja masuk ke dalam. Minggu lalu saya kontrak karya di Pertamina. Saya minta semua orang Papua yang mampu bekerja untuk bekerja di sana. Jangan sampai semua orang asing yang mengelola. Tidak ada regulasi yang membuat kita bisa mengelola. Kita tak punya skill. Kita tak punya uang untuk investasi. Kalau bisa ada semua, ke depan akan lebih baik. Dulu listrik mati hidup. Kemudian saya membuat kerjasama dengan konsorsium dari 25 | P a g e
Austria, dan mereka investasi 10 persen gas yang biasanya diekspor digunakan untuk pembangkit listrik. Sekarang listrik di sana bagus. Kita tak perlu lagi tabung kompor dan lainnya. Tidak ada kebakaran atau semacamnya. Kita itu perlu visioner, yang punya peluang ke depan. Gas ini lebih murah dibanding BBM yang lain. Kita sedang mengembangkan wilayah yang memiliki potensi alam, jasa, dan lainnya, seperti Raja Ampat tidak boleh merusak alam. Kita juga terkenal dengan budayanya juga. Kelestarian ada, berkesinambungan, dan nilai ekonominya ada bagi kita Selain itu,saya sedang menyusun program di Sorong yaitu perencanaan pelabuhan internasional. ini tidak hanya sebatas impian. Tapi kajian bahwa Singapura jadi pelabuhan di Asia Tenggara yang ramai, karena kita kalah menangkap peluang. Sorong ini strategis, terbang ke Hongkong hanya 3 jam. Ikan tuna paling besar sedunia ada di sini. Kita harus mampu mengelola potensi itu semua. Kalau ini jadi, kita mengurangi pendapatan Singapura. Walaupun saat ini kita di bawah, namun ke depan akan naik. Ini sangat strategis. Semoga masuk kajian UGM juga. Agar masuk kajian Raja Ampat ini baik kita kembangkan bandara internasional dari berbagai negara. Ada kegiatan yang kita lakukan untuk masyarakat, juga global untuk menarik pertumbuhan besar di masa yang akan datang. Tidak ada ekspor kayu, supaya kayu bisa dimanfaatkan masyarakat setempat dan ada nilai ekonomi. Semoga disepakati oleh gubernur. Ikan tuna ini dari Sorong tapi made in Singapura dan lainnya. Kini saya ubah sistem ini agar ada pengawasan, misalnya dibuat made in Sorong dan sebagainya. Kita sedang mengkaji bahwa ada perbedaan. Dulu Papua itu cukup tinggi sekarang rendah. Sedapat mungkin kota itu tidak terpusat, tapi bisa berkembang ke berbagai wilayah. Bagaimana mempertahankan ke-Papuaannya di tengah banyak pendatang. Kawasan yang dulunya dianggap tidak subur kita tanam kelapa sawit. Perusahaannya bermitra dengan masyarakat adat. Mereka bisa hidup dengan baik dengan adanya lapangan kerja. Ini menyangkut ekonomi dan lingkungan hidup. Kita lakukan ini di pedalamanan, termasuk di pesisir pantai. Kita kasih lapangan kerja. Agar mereka bisa hidup dalam kondisi yang baik. Cara kita memandang Papua itu berbeda dengan orang lain. Melihat orang Papua seperti ini, berbeda dengan daerah lain, karena budaya, pengembangan, dan aspek lainnya berbeda. Kita melihat orang Papua pendatang dengan yang asli Papua berbeda. Kami membangun suatu 26 | P a g e
hubungan yang membuat agar orang Papua tidak saling konflik. Sehingga membawa manfaat dan nilai bagi Papua di masa mendatang. Semoga semuanya maju. Pembicara 2: Victor Mambor (pemimpin Redaksi Tabloid Jubi) Kalau semua bupati seperti ini saya rasa Papua bisa maju. Tapi, sayangnya tidak semua bupati seperti ini. Kalau belum pernah ke sana, Papua itu mungkin identik dengan kekerasan. Saya rasa itu kelemahan wartawan yang tidak punya niat yang baik dalam melihat Papua seperti pemerintah di Jakarta. Tidak seksi itu sekian banyak orang Papua bisa jadi doktor. Profesor pertama wanita dari Papua itu sedikit sekali yang menulis. Sementara kalau masalah penembakan, semua menulis. Semua media, atau wartawan, itu brengsek. Sebenarnya kita bisa melihat semua blokbloknya dan semua ingin menjadi presiden. Saya dulu ketua AJI, kalau ada yang tersinggung silakan protes kepada saya. Ada satu persoalan. Hanya Kompas yang mau mengekspose berita baik tentang best practice dari Papua. Ini tantangan bagi saya untuk lebih mengeksplorasi hal seperti ini, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan. Biar pembangunan Papua itu ada progresnya. Saya rasa saya tidak tahu hal yang sudah disampaikan ini. hal yang baik seperti ini perlu dieksplorasi. MoU untuk peningkatan skill minyak perlu dipublikasikan agar banyak yang tahu. Bupati Damitubi, yang walau harus masuk penjara, kalau bupati di pegunungan itu dianggap kepala suku. Kalau saya jadi kepala suku, bupati harus melayani masyarakat jadi memberi “upeti”. Dari sisi administrasi dan hukum itu hal yang salah. Orang – orang di sekitar pemimpin ini harus diawasi. Biasanya orang- orang ini yang seringnya beraksi. Di lingkungan kepala dinas dan lainnya ini yang bermasalah. Orang Papua tipu orang Papua sendiri. Untuk pembangunan ekonomi ini masih seperti jual pisang beli pisang goreng. Masih ada hal yang dibutuhkan untuk
meningkatkan kebijakan masyarakat. Satu hal yang cukup menarik,
menurut saya seperti yang disebutkan pak Cornelis Lay, “orang Papua itu tidak bisa berdagang”. Di Gelael itu di depannya, ada pasar yang besar yang eksis. Kalau tidak ada swalayan, akan bagus untuk pengembangan ekonomi masyarakat melalui pasar. Perjuangan mereka untuk mendapatkan pasar itu sejak tahun 2001. Mereka diberi oleh Gubernur Barnabas Suebu, menempatkan pasar di pusat kota, tujuannya juga mendapatkan pasar yang permanen tapi sampai sekarang belum jadi pasarnya. Papua yang sebenarnya punya potensi yang sangat besar. Hal seperti ini juga jarang diekspose oleh 27 | P a g e
media. Proses ini masih terus diadvokasi oleh teman media, LSM, agar sampai pasar ini terwujud. Kami semua berharap agar ini terwujud. Ada jiwa enterpreneur sedikit. Kalau di Papua kalau tidak tentara, ya brimob. Kita perlu kritisi juga. Jiwa entrepreneurship masih kurang di kalangan anak muda. Perlu ada perubahan. Bank Papua dalam beberapa hal punya kebijakan baik untuk pembangunan ekonomi. Tapi, untuk UMKM masih sedikit. Pernah kami buat liputan, ternyata banyak pedagang tidak bisa mengakses kredit. Pertama, karena persoalan administrasi. Kedua, bank tidak membuat publikasi yang baik. Bank lebih suka mengeluarkan kredit di atas 50 juta. Satu klub sepak bola, MC, Papua itu terkenal dengan sepak bola yang baik tapi tidak punya stadion yang besar dan visi yang baik sebuah perekonomian. Ini menjadi peluang yang bagus. Mereka membuat satu perubahan dalam pengelolaan olahraga. Kalau hanya bermain di kompetisi lokal, itu tidak mengubah mental mereka. Walaupun mereka hebat, tapi persoalan mental yang sulit ketika keluar. Jadi, sering di timnas mereka pulang duluan. Mereka perlu membuka peluang perekonomian dari sektor sepak bola. Sekarang ada Perpres tahun 2012 bahwa para pengusaha Papua boleh melakukan penunjukan langsung untuk proyek di atas 500 juta. Ini kebijakan yang sangat berpihak pada orang – orang Papua. Saya pikir, Otsus adalah kebijakan yang sangat luar biasa tapi karena tidak diawasi dan dikontrol sangat baik jadi tidak baik. Bupati dan gubernur perlu mengawasi, karena pengusaha ini nantinya malah tidak memberi keuntungan yang baik. Catatan Diskusi Tanya-jawab 1. Janur, dari MIP UNY: Saya sepakat dengan narasumber sebelumnya, masalah di benak saya, “kita membangun pola pikir ini terlambat. Pola pikir lama, dari keterbelakangan Papua itu belum terselesaikan. Setelah itu kita membangun cara pikir yang optimis. Kita melihat praktik baik pelayanan publik setelah otsus diberlakukan. Sistem itu dibangun dari proses politik dan kompromi. Otsus itu dijalankan lalai dari praktik evaluasi. Kalau evaluasi tidak ada itu tidak menghasilkan apa yang diharapkan daerah. Good governance sulit untuk dicapai. Hal – hal lain kurang dijawab. Kita perlu membangun cara berpikir yang lebih kritis. Pertanyaan saya
28 | P a g e
“bagaimana pengembangan otonomi kerakyatan, kita mulai dari mana karena dari sisi pengetahuan masih belum bagus jika dibanding daerah lain ?” 2. Muh Histant, FTP: Sangat mengapresiasi bupati Sorong dalam mengembangkan ekonomi masyarakat, tapi bukankah itu seharusnya tidak hanya sebatas angka. Oleh karena itu, “bagaimana bapak stefanus membangun partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam pengembangan ekonomi ?” Yang kedua, disinggung pemberitaan keburukan dari suatu pemerintahan, “karakter ideal yang harus diberitakan oleh media itu seperti apa ?” 3. Alfrida Dama, FEB M.Si UGM: Terima kasih untuk panitia, bapak bupati, apa yang disampaikan oleh para pembicara saya sangat mengapresiasi. Tidak hanya retorika tapi turun lapangan, sehingga kebijakan bisa dirasaakan masyarakat. Papua itu sangat kompleks, tapi kita tetap harus positif. Banyak orang, lembaga yang sangat optimis, walaupun itu belum terekspose oleh media secara luas. Maunya yang buruk – buruk saja. Papua itu seperti apa tapi takut ke sana karena perang dan lainnya, padahal orang Papua itu sangat ramah. Saya sangat setuju untuk meningkatkan skill masyarakat Papua, salah satunya langsung hal langsung turun lapangan, secara nasional, maupun internasional. yang saya ingin bertanya, “saya tinggal di sentani, melihat pembangunan mall dan swalayan, pelayannya itu orang pendatang yang banyak, pada awalnya karyawan papua itu banyak, tapi seiring berjalannya waktu berkurang, itu ada hal apa ? perlu diperhatikan oleh pemerintah, mungkin kedisiplinan, budaya bekerja, atau bagaimana kebijakan, agar pengusaha tetap memperhatikan pekerja di lingkungan perusahaan itu berada ?” 4. Yustina Yoma, Atmajaya FE: Saya juga dari Sorong, bisa hadir dari bupati Sorong, karena yang lain tidak. Biasanya seminar tidak bisa dipertanggung jawabkan karena biasanya bubar. Semoga sampai besok lancar. Saya ingin menyampaikan suatu gagasan mengenai pendidikan di Sorong, saya menyarankan kurikulum pendidikan agar ada Perda Bupati agar kurikulum memuat muatan lokal, seperti bahasa daerah, seperti suku malaoi. Kenapa kita tidak belajar bahasa Papua ? yang kedua, saya ingin bertanya secara konkret, kita membangun budaya berpemerintahan yang baik. saya ingin tanyakan, kalau staf di lingkungan kab. Sorong tidak ditempat apa yang bapak lakukan ? Nyatanya saja supaya ada tindakan yang betul – betul nyata supaya kita bisa tidak main – main kebijakan pengangkatan kepala distrik atau lainnya. 29 | P a g e
Jawaban Pembicara 1. Bupati Sorong: Ekonomi kerakyatan dimulai dari mana. Masing-masing wilayah memiliki potensi apa yang menonjol misalnya potensi alam dan masyarakatnya. Di Sorong petani ladang dikasih ilmu petani sawah, ya tidak kena. Saya punya pengalaman, terutama yang lokal, petani kita beda dengan yang transmigrasi. Mereka ini menetap. Papua ini petaninya musiman. Misalnya, sekarang sayur, besok pisang. Kita harus melihat kondisi masyarakatnya. Pada umumnya mereka yang melakukan yang sifatnya maksimal, kalau jagung ya jagung saja. Mau dijual atau tidak, bukan urusan. Kalau begini kita lakukan pendekatan, dinas pertanian melakukan penyuluhan. Agar hasil seperti ini bisa masuk ke pasar. “pasar kaget” itu untuk memberi tempat bagi mereka untuk menjual. Ada pendampingan modal dari bank. Ada kredit tanpa jaminan, di bawah 10 juta. Dilihat dari perkembangan, mulai dari 500 ribu, batasnya 10 juta. Mereka ini tercatat, mereka memiliki tempat disitu. Ada masyarakat lokal yang menjadi panutan juga memberi pendampingan. Di Kab. Sorong, dana Otsus saya fokuskan untuk pembangunan infrastruktur (membangun jalan), kalau tidak cukup ya nunggu uang tahun depan. Jalan – jalan strategis untuk menyentuh masyarakat. Ada pulau tidak ada penghuninya, tapi sudah dimiliki oleh adat, kalau kita bangun jalan, orang akan ke sana. Sama saja dengan jawa tengah, DIY. Dalam rangkat meningkatkan hidup masyarakat dengan lingkungannya, akan berkembang dengan menjadi satu desa, satu kecamatan, dsb. Ada enam suku yang besar, kalau kita tidak tahu suku ini kita anggap semua sama. Padahal tidak seperti itu. Jadi, kita bangun ekonomi kerakyatan dari potensi. Kedua, masyarakat itu mau apa. Ada papua yang tinggal dengan orang Jawa, mereka pergi ke sawah, yang satu menanam ubi, tidak sama. Kita buatkan sawah, kelompok itu hasilnya bagus. Tapi, kemudian musim kelima sudah tidak jalan. Sehingga kita lihat potensi dan kemandirian masyarakat itu seperti apa. Yang pesisir kita kasih paket budidaya rumput laut. Yang berladang, dikasih juga peternakan, biar tidak pergi-pergi. Ini humor papua. Waktu penyuluhan transmigrasi di Papua masuk ke Wamena, semuanya lengkap, kemudian tanya ke kanwil dengan dialek papua. Bapak pelihatra sapi tapi sapinya tidak bisa kemana2, jangan lagi bapak bawa binatang. Transmigrasi dikira 30 | P a g e
membawa binatang. Kita harus melakukan pendekatan. Misalnya, kelapa sawit, lahan tidak serahkan ke pengusaha tapi ke masyarakat. Mereka juga menjadi pekerja di lahan sawit tersebut. yang dulunya pengangguran banyak sekarang punya pekerjaan. Daripada TKW ke luar negeri, lebih baik ke Papua, aman, sama – sama orang Indonesia. Indonesia masa depan lebih hebat Partisipasi masyarkata jadi masyarakt ini tidak bisa kita biarkan mereka pada lingkupnya, tapi perlu ada intervensi dari pemerintah untuk melakukan sesuatu secara positif. Memang ada kendala juga. Ada akal yang perlu dipahami untuk berbagai kondisi/keadaan seperti itu, contoh usaha kayu. Mereka tanam kakao, kita berikan program yang lahannya 50ha, ini ada dana otsus, bibitnya dibantu, mereka kini menjadi petani kakao dan nilai ekonominya bagus. Tergantung pemerintah setempat, kita ada mall baru, tapi saya buat komitmen dengan perusahaan, ada 50 persen pegawai yang orang lokal papua. Saya kasih fasilitas, mall empat lantai, desember nanti saya resmikan, 50 persen orang papua mereka ditraining di Jakarta dan makassar. Tidak sembarang juga memberi pekerjaan. Perlu jujur, disiplin, dan ada hal yang perlu diperhatikan ke depan. Muatan lokal, ada kamus dan buku antropologi, agar mereka kenal bahasa itu seperti apa. Yoma bikin kamus besar yang lebih besar tentang bahasa papua. Malu kalau di sini pulang tak bisa berhasil. Selesai, kerja, kuliah yang betul. Ini potensi. Papua masa depan itu di tangan kalian2 ini. kembali ke Papua dengan kualitas. Saya MoU dengan Dikti dan FK UI, saya buka dua fakultas di Universitas Manokwari, FK dan Budaya Kepapuaan sehingga orang Papua ada yang jadi dokter juga. Kita perlu pendekatan2 tertentu dengan setiap masyarakat. Langkah pertama tidak mungkin memelihara staf yang tidak disiplin, itu pasti mutasi. Kedua, kalau belum sampai tingkat yang kritsi kita bilang. Kalau memang dia sudah lebih satu bulan gajinya dihentikan. Kalau melanggar, kenaikan pangkatnya ditunda. Tapi sepanjang saya mengawasi mereka. Bedanya papua dengan DIY, di sini sehari bisa mengawasi semua, kalau di sana sulit, tapi bisa dengan helikopter. 2. Victor Mambor Saya pikir tidak ada yang baku dengan materi pemberitaan. Tapi, cara memandang wartawan terhadap papua. Saya pikir sudah benar. Dampaknya itu perlu dipikir bila membawakan berita 31 | P a g e
seperti sekarang. Saya berikan gambaran, 83 persen itu tentang konflik, 17 persen dibagi pendidikan, ekonomi, dll. Jadi, ini mempengaruhi cara pandang orang terhadap papua. Kalau berimbang, ini bisa mengubah cara pandang orang jakarta terhadap orang papua. Sebenarnya itu yang perlu kita pelihata. Melakukan peliputan di daerah pedalaman, itu sangat mahal sekali, sehingga wajar berita seperti itu jarang, satu peliputan bisa 16-20 juta. Yang sanggup seperti itu ya paling Kompas. Makanya mereka bisa banyak memberitakan papua secara humanis. 3. Bambang Purwoko: Satu poin penting yang perlu digarisbawahi, pembangunan ekonomi sangat bergantung pada komitmen pimpinan. Ini sangat membuka peluang untuk direplikasi oleh daerah lainnya. Komitmen kepala daerah menjadi aspek penting dalam good practices pelayanan publik. Bagaimana kepala daerah ini dtransfer ke lembaga sehingga bisa dilanjutkan kepala pemerintah selanjutnya dan kemandirian bagi masyarakat.
Diskusi Panel 3: Praktik Baik Pembangunan Bidang Pendidikan dan Kesehatan di Tanah Papua Pembicara: 1. Harry Nenobais, S.Sos, M.Si (Guru di Yayasan PESAT: Pengembangan Pendidikan Berbasis Asrama di Pedalaman Papua) 2.
Johannes Rahail, M.Kes (Yayasan Institut Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat)
3.
dr. Iras Rumbiak, Sp. PK (Direktur RSUD Biak Numfor)
Panelis: Drs. Untung Muhdiyarto, M. Si. (Dosen Ilmu Pemerintahan, Fisip Uncen) Moderator: Dr. rer. pol. Mada Sukmajati (Dosen JPP, Fisipol UGM) Pengantar Moderator: Dewasa ini perkembangan pendidikan dan kesehatan di Papua dinilai mengalami ketertinggalan. Untuk melihat benar atau tidaknya hal tersebut, pada sesi yang sebenarnya sangat penting ini akan dipaparkan tentang perkembangan bidang pendidikan di Papua. Telah hadir pembicara yang akan memaparkan apa yang terjadi dalam bidang pendidikan, yang pertama adalah Bapak Harry Nenobais, S.Sos, M.Si. Beliau merupakan guru di Yayasan PESAT: Pengembangan Pendidikan Berbasis Asrama di Pedalaman Papua. Kemudian dilanjutkan oleh pembicara kita yang kedua adalah Bapak John Rahail dari Yayasan Institut Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat. Untuk bidang kesehatan akan dipaparkan tentang keberhasilan yang terjadi di Biak yang akan dijelaskan 32 | P a g e
oleh dr. Iras RumBiak, Sp. PK, Direktur RSUD Biak Numfor. Selain pembicara dalam sesi ini, hadir pula panelis kita yang akan membantu kita memahami apa yang terjadi di sana, yaitu Bapak Untung Muhdiyarto. Pembicara dan panelis ini akan memfasilitasi diskusi kita untuk bisa tahu apakah optimisme itu masih ada atau tidak khususnya di bidang pendidikan. Kesempatan pertama dipersilakan kepada pembicara pertama kita Bapak Harry Nenobais. Pembicara 1: Harry Nenobais, S.Sos, M. Si (Guru di Yayasan PESAT, Papua) Mohon maaf untuk pertemuan kali ini Pendeta Daniel Alexander berhalangan untuk datang. Kebetulan sekali beliau sedang menulis disertasi untuk hal ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Fisipol UGM yang memilih kami sebagai good practice. Ada yang kontradiktif di mana sumber daya alam yang melimpah dimiliki oleh Papua, tetapi ironisnya kualitas sumber daya manusia Papua ini tertinggal dibanding daerah lain. Ini kemudian yang menjadi latar belakang kami (PESAT –red) ingin mengubah sistem pendidikan di Papua melalui pendidikan berbasiskan asrama. Pada waktu itu, Bapak Alexander Daniel berserta tim melakukan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan yang sangat mendasar untuk mengubah Papua adalah melalui pendidikan. Menyangkut pendidikan berpola asrama, hal ini belajar dari kegagalan. Langkah pertama yang dilakukan untuk mengejar ketertinggalan adalah mulai membangun sekolah tingkat SMA, dengan harapan akan mempercepat lahirnya para pemimpin baru Papua hingga mereka nantinya dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikannya ke tingkat Perguruan Tinggi. Namum, dalam kenyataannya mereka sulit menerima pendidikan khususnya pelajaran matematika. Sampai–sampai guru kami ingin menyerah dan pulang ke Jawa. Namun, kami tidak tinggal diam. Kami berkonsultasi dengan konsultan di Surabaya, menunjukkan budaya anak-anak di Papua, terutama Wamena, ditemukan fakta bahwa mereka mengalami kesulitan memahami pelajaran matematika. Kemudian SMA pertama kami pada tahun 1991 ditutup. Belajar dari hal tersebut, PESAT melakukan evaluasi. Dimulai kembali di daerah yang baru. Dari Wamena kemudian di Kab. Nabire pada di tahun 1996. Kami berpikir untuk membangun pendidikan anak-anak, kami tidak memulai dari tingkat SMA, tetapi mulai dari TK. Pada waktu itu belum dengan skema asrama. Kami memulai membangun sekolah asrama di Nabire, SD, dan TK di Cendrawasih. Pada Tahun 2004 kemudian membuat sekolah setingkat SMA. Jadi lengkap mulai dari TK – SD – SMP – SMA. Hal ini
33 | P a g e
didasari atau diniatkan karena memperoleh visi dari Tuhan untuk membangun anak-anak Papua harus dengan pola Yesus, yaitu guru dekat dengan murid. Nyatanya hal tersebut berhasil. Ada empat faktor yang diperhatikan dalam membangun sekolah Asrama yang kami lakukan, yaitu: 1. Masalah pertumbuhan fisik Pola asrama yang kami terapkan dari mulai tingkat TK ini, sangat kami perhatikan pola pertumbuhan fisiknya. Kami memberikan gizi seimbang melalui makanan dan minimuan tiga kali sehari, lingkungan, dan istirahat yang baik. 2. Masalah rohani Bukan hanya soal fisik saja yang kami perhatian, masalah rohani juga kami perhatikan. Di mana pertumbuhan iman dan firman Tuhan, melalui ibadah pagi dan malam. 3. Masalah intelektual Dalam perkembangan anak-anak, ilmu pengetahuan dan akademik diperhatikan tidak hanya di sekolah, tetapi juga di asrama –sesuatu yang tidak diperoleh kalau mereka tinggal di rumah orang tua. Dalam pembelajaran mereka dibantu wali asrama dan lainnya. 4. Masalah karakter Kalau dilihat dari kecil mereka ini anak pedalaman. Karena itu kami didik mereka untuk membantu wali asrama menjemur pakaian, dan lainnya. Hal ini bertujuan untuk membangun karakter mereka. Dengan pola yang di berikan begitu banyak apresiasi dan prestasi yang kami dapat . Salah satunya ada anak didik kami yang sekarang kuliah di Teknik Elektro UGM. Sebenarnya lebih bagus jika mereka yang bicara. Pada tahun 2012 ada sekitar 35 anak yang bisa lolos ke perguruan tinggi negeri, seperti UGM, IPB, Unibraw, Undip, Uncen, dan lainnya. Dari segi hasil pola asrama memang luar biasa. Para pejabat, bahkan badan akreditasi mengatakan hal tersebut. Namun, dari segi biaya yang dibutuhkan itu besar sekali. Per bulan untuk membiayai pendidikan ini perlu 100 juta, pada Desember 2012 saja sekitar 180 juta. Pengeluarannya mahal memang, tetapi hasilnya luar biasa disertai apresiasi yang luar biasa. Namun, ada juga beberapa tantangan yang dihadapi oleh PESAT, yaitu: 34 | P a g e
1. Eksternal, secara geografis Nabire sulit dijangkau. Sarana prasarana publik yang minimal, serta biaya kebutuhan pokok yang tinggi. Untuk melayani daerah pedalaman itu tidak gampang. Saya lahir dan besar di Jakarta ketika bergabung dengan yayasan ini, saya merasa kesepian. Namun, bersyukur akhirnya bisa kuat. Secara geografis Papua sulit dijangkau, dan minimnya fasilitas. Hal ini juga membuat tingginya harga bahan pokok. Semen satu sak saja bisa Rp 1.250.000,- ini membuat biaya operasional kami sangat besar. 2. Internal, karena banyaknya anak didik dari tingkat TK sampai SMA, biaya yang dikeluarkan tinggi. Kami memiliki visi membangun generasi Papua yang cerdas, sehat, dan memiliki karakter yang kuat. Namun, beban kami semakin besar. Kami semakin tua. Anak – anka didik yang dahulu kami didik dari TK sekarang sampai PT semakin memperlukan pengeluaran biaya yang sangat besar. Kadang terlambat menerima kebutuhan tetapi tidak masalah. Itulah yang akhirnya membuat kami meningkatkan prestasi kami, supaya bisa menangangi masalah. Anak-anak di pedalaman, yang sudah lulus TK, kami kirim ke Nabire untuk melanjutkan SD, SMP, dan SMA. Akhirnya tidak semua anak kami sekolahkan sampai tingkat SMA. Ada tiga kesimpulan dan rekomendasi dari keberhasilan sekolah asrama ini, yaitu: 1. Melihat indikator ekonomi dan pendidikan yang tertinggal, dan budaya yang kurang kondusif. Maka, sangatlah tepat pola pendidikan asrama. 2. Melalui pendidikan asrama perkembangan anak bisa diawasi dengan lebih cepat dan tepat. 3. Untuk menjamin efektivitas menghasilkan sistem pendidikan berasrama di Papua dipelukan kerjasama dari negara, masyarakat. Penggambaran pelayanan yang dilakukan oleh PESAT melalui film. Bagian pertama menggambarkan keindahan di pedalaman Papua. Kemudian menggambarkan kehidupan anak – anak didikan dan orangtua di pedalam Papua. Kemudian menggambarkan pendidikan Papua di Nabire. Di bagian selanjutnya menggambarkan kondisi sosial dan finansial dengan keterbatasan. Kemudian menggambarkan pelopor – pelopor pelayanan pendidikan di Papua. Dari film ini bisa menggambarkan bahwa, ketika anak – anak pedalaman Papua mendapatkan pendidikan yang sama dengan wilayah lain, bahwa mereka juga bisa berprestasi seperti yang lain. “siapa yang bekerja dan berjalan di tanah ini, akan melihat tanda heran ke tanda heran yang lain” 35 | P a g e
Pembicara 2: John Rahail (Yayasan Institut Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat) Ibu bapak yang saya hormati. Suatu kebanggaan, ke sini kembali setelah 15 tahun lalu menyelesaikan kuliah di bidang kesehatan di UGM. Saya akan paparkan tentang sekolah kampung yang saya buat. Sekolah ini awalnya dirintis oleh kakek saya pada tahun 1979 yang pada awalnya merupakan seorang guru agama. Saya mencoba mencari jejak kaki mereka yang hilang. Pada sesi pertama dan kedua sudah tahu bagaimana kualitas SDM Papua. Pembangunan di sana itu selalu indikatornya fisik. Namun, ternyata dari pengalaman saya. Saya sebagai akademisi di Uncen, di satu sisi saya itu aktivis untuk masalah-masalah pemberdayaan masyarakat sehingga dalam pandangan ilmiah ada sesuatu yang hilang di masyarakat Papua. Kita tidak sungguh-sungguh melakukan perubahan bagi mereka. Menurut prestasi, anak-anak di Papua Barat itu mengejar akademik, tetapi mengabaikan identitas. Hal itu bukan sesuatu yang luar biasa, kalau ada anak yang tidak sekolah tetapi guru minta anak untuk ujian. Kalau ada yang ikut lomba, itu hanya satu dari sekian ribu anak Papua. Mereka takut. Sisi lain mereka mudah menyerah, misalnya untuk yang berhubungan secara fisik mereka di urutan terdepan, tetapi kalau akademik mereka orang kesepuluh mungkin. Mereka tidak percaya diri walaupun sudah SD, SMP, SMA, dan mahasiswa. Papua merupakan ranking ke 33 dari 33 provinsi. Sejak masa Otsus, ini menunjukkan wajib belajar 9 tahun itu tidak berhasil. Hanya 3 tahun yang berhasil, bahkan ada yang rata-rata belajar 2 tahun di sekolah. Angka yang rendah itu terdapat pada anak-anak yang berada di pesisir dan daerah pedalaman. Karena latar belakang saya geografi, saya melihat Papua secara geografis. Daerah yang sulit itu IPM-nya rendah. Kalau dikaitkan dengan lama hari sekolah itulah masalahnya. Suka atau tidak suka walaupun ini diungkapkan siapa saja “kondisi sosial, geografis, dan lainnya sangat berdampak pada pembangunan masyarakat Papua” Kalau sudah bicara kampung, menunjukkan akses untuk mereka itu susah. Walaupun mereka diberikan penguatan untuk banyak hal, namun pendekatan selama ini tidak berhasil. Ikatan emosional itu tidak terbangun antara kita yang mau membangun dan masyarakat yang sedang menunggu. Pendidikan itu bukan investasi karena terlalu lama. Mau makan ada sagu, di mana hasil melimpah. Namun, situasi semakin berubah. Kalau masyarakat ke hutan berhari-hari kini berminggu- minggu, membuat mereka semakin jarang ke sekolah. Biaya sekolah juga mahal. Anak dapat PR ke rumah dan orangtua tidak bisa membantu, “kau bilang ke guru yang sudah dikasih gaji, dia tahu betul matematika” gurunya pergi ke kota 36 | P a g e
berminggu- minggu, anak bingung PR harus dibawa ke mana. Ini menunjukkan partisipasi masyarakat itu rendah. Bisa 60 anak daftar di kelas 1 SD, tapi mungkin hanya ada 3-5 anak yang daftar ujian akhir di kelas 6. Di sisi yang lain, banyak stakeholders pendidikan di Papua ini tidak menyangkut ke lingkungan sekitarnya. Di daerah tertentu, kalau tiba di kota itu terpikir saya ingin bakso, padahal masyarakat hanya mengenal bakar dan rebus. Semua serba sulit. Kemudian pada tahun 2007 saya berinisiatif membuat pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui mendirikan sekolah kampung. Dengan anakanak didik usia 3-5 tahun, seperti PAUD. Biaya untuk sekolah dini mahal. Namun, sekolah ini kebanggaan tinggi betul bagi masyarakat, yang nantinya bisa menolong mereka ya mereka sendiri. Saya punya prinsip kelebihan saya adalah kelebihan saya, kelemahan orang lain dan kelemahan saya adalah kelebihan orang lain. Mereka ini memiliki banyak kearifan lokal. Sekolah kampung ini memiliki konsep sekolah di mana saja itu tempat mereka. Dengan membangun rasa percaya diri di anak-anak untuk mencintai belajar. Bagaimana mencintai jika mereka sering bolos atau kalau ada matematika mereka tidak datang. Bagaimana menyiapkan mereka agar bisa masuk sekolah formal dan ketika sudah di sekolah formal bisa mencintai sekolah. Dalam memulai konsep ini banyak pihak yang menilai saya kurang beres. Hal ini karena jarak tempuh yang harus saya lalui sekitar 8-9 jam, sekarang bisa 6 jam. Dalam usaha untuk merubah mereka yang terpenting adalah jangan datang dengan baju baru, yang perlu dilakukan adalah merapikan baju mereka. Hal ini berlandaskan sudah ada sistem adat yang bagus tinggal dibenahi. Dengan mengadopsi nilai – nilai adat yang ada seperti permainan lokal yang kemudian diterapkan di pelajaran secara formal. Kemudian saya juga membangun jejaring dengan semua pihak. Pengelolaan sekolah kampung itu tidak tamat SMP. Tapi 2010, mereka bicara di depan gubernur Papua itu bilang itu good practice yang baik. Sekolah kampung ini bagus. Ada proses yang panjang dalam membangun hal ini. Di mana yang mengelola bukan PNS, tapi pemuda adat. Mereka ingin menjaga adat dan lingkungan mereka. Jika mereka bersekolah dengan baik maka mereka bisa bangga untuk melindungi suku mereka. Saya mulai menginventaris nilai yang ada di masyarakat, termasuk permainan yang ada di masyarakat adat. Saya bukan profesor tapi coba saya transformasikan ke berbagai pelajaran, seperti matematika, fisika, dan lainnya. Saat mereka bermain permainan tradisional ini mereka pulang 37 | P a g e
orang tua, nenek, bisa membantu mereka. PR yang tahun 2007 itu susah bagi mereka, tahun 2012 ini sudah tidak susah bagi mereka. Ketidakberdayaan mereka untuk tidak bisa melanjutkan, saya bantu fasilitasi mereka. Kalau sudah hari kamis itu saya ada di kampung dan tidur di sana. Apa yang mereka lakukan, saya lakukan. Kemudian nilai yang bagus diberi penguatan. Nilai negatif tidak bisa kita hilangkan tapi setidaknya kita minimalkan. Kekuatan pengembangan dari sekolah kampung ini karena kita tinggal bersama mereka. Mereka menjadi merasa tidak menjadi objek pembangunan, tetapi bagian dari pembangunan. Mereka merasa setiap proyek itu ada uang, tapi saya datang tidak bawa uang. Saya datang karena saya ingin melihat berkembang di sana. Mereka tidak percaya saya ada di kampung. Agar mereka tidak hilang arahnya. Terkait dengan perkembangan nilai konsep rohani dan lainnya. Pengenalan huruf dan angka kami lakukan. Kalau mereka di pantai mereka tulis di sana atau di kulit kayu yang ada di sekolah kampung itu yang ada di kampung kita itu sekolah kita. Ada lima orang, 3 orang bapak dan 2 orang ibu, rumah kita kampung kita. Pada awalnya yang berasal anak pra sekolah, tapi kemudian berkembang anak2 usia SD yang ikut sekolah kampung. Kenapa ada tiga kali? Karena tidak ada uang. Kita kaitkan pengembangan potensi ekonomi. Ada kelapa, kami belikan mesin parut sehingga ada minyak kelapa untuk dijual demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Hal penting untuk dilakukan adalah jangan mengucapkan bodoh, dia akan mundur 10 langkah, kata malas, dia maju satu langkah dan mundur 10 kalah. Hati hancur betul kalau dengar kata itu. Terakhir ini, sekolah kampung ini, dampaknya ini lebih baik jadi kepala kampung. Tapi, kemudian tidak mau karena beban besar. Ibu di kampung di Papua itu fungsinya sebagai reproduksi dan produksi, melahirkan dan bekerja. Ibu ikut ke hutan sama bapak. Ketika ada sekolah kampung ini, setiap hari sekolah ibu2 ada di kampung, bapak dengan gagah berani ikut ke hutan. Ibu di kampung karena mereka harus membantu anak pergi ke sekolah. Mereka dulu tidak mandi pagi, kini mereka mandi pagi. Itu sebuah kebanggaan tersendiri. Yang terjadi adalah ibu jaga anak, di sana secara tidak langsung ibu belajar mengenal huruf dan berhitung. Sisi lain, beban lain berkurang. Di sisi lain, posyandu hidup. Ada pengelola, adat, dan dari posyandu. Pada hari minggu ada sekolah. Petugas posyandu datang sekarang ibu sudah siap. Ada pengobatan di kampung untuk anak-anak remaja biar mereka bisa baca. Untuk para orang tua saya bawa koran cendrawasih post. Kepala kampung merasa kehadiran kami itu penting. Bikin peraturan jam belajar kampung, akan di38 | P a g e
launch Bulan Desember, tapi sudah diimplementasikan sekarang. Ada dana 50 juta rupiah. Dana posyandu langsung habis. Tapi, pendidikan sudah tahu untuk dibagi-bagi. Sistem pendidikan di kabupaten sudah berjalan. Anak-anak sudah bisa memiliki nilai – nilai, pemuka adat suka dengan ini. Tokoh agama, ada raja mabuk di kampung itu sudah tidak ada, karena takut status sosial. Saya buat ini untuk di berbagai tempat, yagn terjadi adalah seleksi alam. Ada yang sudah tidak jalan. Yang konsentrasi justru bisa berjalan. Dari data BPS, ini 70 persen seperti ini. Angkatan pertama itu lima kelas SD, nanti mereka kelas 6 bisa kita ukur dampakd ari sekolah kampung. Nanti akan ada replikasi di pantai barat dan selatan. Anak-anak sekarang sudah sopan sekali. Ada 18 permainan yang diaplikasikan ke pelajaran, tetapi ada permainan yang belum saya ketahui. Ada permainan yang bisa untuk belajar untuk menghitung jarak dengan permainan ranting. Permainan lompat tali, ada di berbagai tempat tapi dengan sebutan yang berbeda-beda. Kami juga fmemperkenalkan dengan permainan edukatif. Pola hidup sehat cuci tangan dengan sabun dan sebagainya. Mereka bangga dengan hadiah ini. Pembicara 3: dr. Iras RumBiak, Sp.PK (Direktur RSUD Biak Numfor) Bagaimana akses dan kualitas pelayanan kesehatan di Biak nufmor itu tersebut tersedia. Tanah Papua ini sangat kompleks, kami berikan gambaran tentang Papua. Papua berada di timur Indonesia. disini kabupaten Biak Numfor di kepulauan. sudah trerpecah dengan kabupaten, namun kami berada di satu pulau. Dan akses kesehatan ada di kepulauan. Untuk pelayanan kesehatan di Biak Numfor, dari Kemenkes ada pelayanan di sana, ada di puskesmas, rawat inap atau pustu polindes, kalau tidak ada dokter diberikan ke rumah sakit ke Biak. Ada rumah sakit kbaupaten, angkatan laut dan klinik2 lain. Dari lembaga pem,erintahan, adalah puskesmas dengan jumlah distrik 19, namun ada 17 puskesmas, hanya 11 diisi dokter umum atau perawat yang D3. Bagaimana kita memantapkan roda pemerintah kalau akses kesehatan tidak tervisikan. Visi Kabupaten Biak Numfor memantapkan sebagai kota jasa sebagai jembatan emas Biak sejahtera dimasa depan. Sedangkan Misi Kabupaten Biak Numfor, yaitu: 1. Meningkatkan dan memantapkan Biak sebagai Kota silang transit udara dan darat 2. Meningkatkan dan memantapkan Biak sebagai kota komoditi kepariwisataan dan kelautan 3. Meningkatkan dan memantapkan Biak sebagai kota sosial dan budaya 4. Meningkatkan dan memantapkan Biak sebagai kota ekonomi
39 | P a g e
5. Meningkatkan dan memantapkan Biak sebagai kota junjungan mitra bersaudara.
Tentu di dalam sinkronisasi bidang kesehatan maka RS dan dinas memiliki visi dan misi agar pelayanan berjalan dengan baik. Visi Dinas kesehatan dan RSUD adalah Biak Numfor Sehat tahun 2015. Tentu untuk misi disesuaikan dengan visi kabupaten, yaitu : 1. Meningkatkan pelayanan kesehatan kesehatan terutama Ibu dan anak 2. mengembangkan sistem kesehatan, 3. meningkatkan upaya pencegahan, pemberantasan dan pengendalian penyakit baik menular maupun tidak menular. 4. Meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan Karena RS berstatus sebagai rumah rujukan, Biak juga melayani teluk cenderawasih selain jayapura. Rumah sakit harus dilandasi dengan otonomi yang diatur dengan menerapkan prinsipprinsip yang
melandasi pelaksanaan Otonomi Daerah yaitu keadilan, demokrasi, efisiensi,
efektivitas didaerah dapat terdesentralisasi. Fungsi rumah sakit dijalankan dengan dengan UU no 44 tahun 2009. Kita bekerja secara profesional semua diatur oleh undang-undang.Terkait dengan p[elayanan terkait subspesialis, tenaga, fasilitas diatur oleh undang-undang tersebut. Apa yang harus kita lihat didalam keberhasilan pengembangan pelayanan kesehatan di Biak Numfor? Kalau kita lihat visinya kenapa rumah sakit menjadi tempat pelayanan terpadu? Karena dia bisa diakses dari jalur udara, kapal, perahu boat atau speed, atau jalan yang 90-100% bisa dijangkau dengan kendaraan. Visi rumah sakit: rumah sakit harus memiliki visi agar dengan visi itu agar pelayanan terakses. diRS kami karena sebagai RS rujukan kami mempunyai 11 spesialis. Moga tahun depan bisa naik pelayanan melayani dari 5-7 pelayanan hingga 12 pelayanan. Kita punya citiscan, kita punya USG laporan scopy, kita punya fasilitas untuk pelayanan dapat terakses, menunjang baik dari udara, laut agar tidak membuang pembiayaan waktu dan efektivitas waktu bisa tercapai. Masyarakat datang kepada kita dengan kita punya rumah sakit untuk meningkatkan kualitas kesehatan khususnya kabupaten Biak Numfor, dan masyarakat turut serta ke kegiatan pelayanan. Kalau kita lihat slide ini, pendidikan yang ada akper dan akbid smua belajar di rumah sakit. Kita lebih mengutamakan kualitas pelayann dan keprofesionalan untuk melayani dengan profesional. 40 | P a g e
Tujuan khususnya yaitu Meningkatkan pelayanan kesehatan secara bermutu, berdaya guna dan hasil guna serta memberikan hasil secara tepat, cepat dan akurat untuk penegakan diagnosa penyakit. Dan menekan angka kesakitan dan kematian. Selain itu, motto RS adalah melayani masyarakat dengan hati serta dijiwai dengan moral. Mengapa RS Biak penting? Biak di peta di tengah, ada kabupaten di sekitar Biak. Ada seruni dan kabupaten lain. Semua terakses, rujukan bisa laut dan pantai. Tapi bisa ke Makassar atau Jayapura. Jangkauannya karena desentralisasi. Manfaat peningkatan layanan kesehatan di kabupaten Biak: kita membuat pelayanan terdesentralisasi itu bisa setara dengan Jayapura, karena pasien masyarakat yang ada disekitar atau pulau atau pegunungan itu akses itu ditunggu karena utamakan pelayana kesehatan untuk setiap penduduk Papua. Serta efektifitas pembiayaan tidak membuang biaya besar bagi daerah, meningkatkan pelayanan mutu dan kualitas pelayanan. Dan efektivitas waktu pelayanan. Kondisi kepemilikan RS adalah pemKab. Tipe rumah sakit masih C. Pelayanan yang terakreditasi ada 5. Prioritas RS: manajemen, sarana, SDM. Prasarana. Bisa mendukung pelayanan perorangan dan terpadu bisa terwujud. Potret pelayanan yang sudah tercapai. Memang secara geografis di pesisir utara, curah hujan sangat tinggi. Kalau semakin tinggi penyakit dominan adalah malaria, ISPA, TBC selain HIV. Kasus malaria teresiana terbanyak di Biak, kedua tropika dan ketiga gabungan dari kedua buah. (slide malaria) Angka kematian bayi 2011 11 per 587, atau 2/1000 balita. Harapan kita jumlah ini bisa berkurang. (slide penyakit lain) Karena Biak sebagai kota jasa semua dirujuk ke kita. Dan kita mengumpulkan data seperti ini. (silde penyebab akb) Karena kita sebagai RS rujukan kami bisa menerima dari UGD, Poliklinik, bisa langsung kita lakukan rawat inap dan sebagainya. Poliklinik yang kita layani di Biak: poliklinik anak, poliklinik penyakit dalam, poliklinik bedah, poliklinik obsgyn, poliklinik gigi. Ini adalah untuk mendermakan kita meneydiakan fasilitas pelayanan agar masyarakat yang datang bisa terlayani dengan baik. Fasilitas penunjang: 41 | P a g e
laboratorium klinik, radiologi, fisipoterapi, Instalasi gizi klinik dan kesehatan lingkungan/IPAL. Rumah sakit dikatakan berhasil kalau indikatornya baik. Misal bagaimana pemakaian tempat tidur, terus bagaimana yang rawat jalan, rawat inap. (slide tempat tidur) Indikator keberhasilan RS harapan kita SPM kita bida mencapai. Dari 6 indikator rumah sakit ini menunjukan keberhasilan: BOR, ALOS, TOI, BTO, GDR, NDR. Tujuan sinkronisiasi RSUD dan dinas: bagaimana akses bisa teroptimalisasi, yaitu dengan indikator tadi diatas rata2 depkes. Dan RS Biak masih mempertahankan masyarakat dalam menggunakan jasa pelayanan, terus menekan jumlah kematyian bayi (MDGs). Hanya yang kurang disini adalah IPM tahun 2011 adalah 78. Kesimpulan dari awal kita prioritaskan ke peningkatan kualitas, tentu pelayana ibu dan anak dan peningkatan kualitas pelayana secara umum. Catatan Diskusi Panelis 1: Untung Muhdiyarto, M.Si Pada tahun 1989 saya lulus dari Jurusan Pemerintahan Fisipol UGM. Lalu tahun 2000 balik ke sini, tapi tahun 1965 sudah hidup di Papua. Orang tua saya menjadi guru di sana. Ada pelajaran moral yang bagus ketika bapak saya mengajarkan bau gas kentut, ketika siapa ditanya tidak ada yang mengaku. Dan konsultasi dengan pendeta, anak2 tidak mau mengaku kalau kentut. Di sini orang-orang takut dengan kepercayaan tradisional, kalau ada yang kentut tancapkan lidi, lalu satusatu tunjuk diri. Kami di Uncen melalui democratic center, yang menggeluti Otsus, kami optimis, kalau tidak kami sudah pindah dari sana. Memang kita melakukan riset di pasca Otsus ini secara logis ada kemajuan dan progres bagus dan pernbaikan. Kalau kecamatan dulu yang jadi ibukota kabupaten, ada perubahan fisik yang sangat drastis, cuman belum diikuti oleh noinfisik. Ukuran2 yang dipakai juga teknokratik, ekonomik, Jawasentris. Sehingga indikator lokal tidak dipakai. Kalau pembangunan di Papua kan harus bertumpu pada sosial budaya, ketika pemekaran aspek kesatuan sosial budaya tidak boleh diabaikan. Yang terjadi adalah pengukuran terhadap indikator sosbud dengan hal yang remeh-temeh, dengan indikator seperti berapa kelompok kesenian, berapa lapangan olahraga tersedia. Maka terjadilah “cincang-cincang pusat budaya” di dalam Otsus ini itu bagi kami menjadi
42 | P a g e
satu hal jadi concern dicaci ataupun dimaki kami tetap melakukan kajian. Bahkan dengan kelompok yang berseberangan kami juga bertukar pikiran. Dari aspek pelayann publik pasca Otsus ada perubahan, dan Otsus sebagai rumah besar, memang sebagai karya manusia tidak sempurna. Tapi kan ada etape dan perbaikan. Salah satu adalah affirmative action, karena ada 4 isu besar dalam Otsus yaitu salah satunya pelayanan pendidikan dan kesehatan. Di bidang pendidikan, karena mereka teknis di lapangan, tapi kami mendorong dalam sistem dalam aturan main yaitu dalam pembentukan raperdasus. Sudah ada perdasi disusun 2006 disahkan, itu lamanya hampir 3 tahun dengan dana milyaran tapi tidak implementable. Habis energi, habis waktu, habis tenaga. Ibarat mobil tidak ada rodanya. Kemudian 3-6 bulan yang lalu, kami mendorong pemda dan komponen masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan mendorong perdasus layanan pendidikan khsusus orang asli Papua, yang notabene ada di kawasan terpencil, terbelakang dan terisolir dan terluar di Papua. Dan di raperdasus adalah salah satunya berasrama, dan isinya pembentukan SD SD kecil di kampung-kampung kelas 1-2-3, dan mereka akan bersekolah kelas 4-5-6 di ibukota kecamatan, dengan sistem satu atap dan berasrama. Raperdasus membentuk orang asli Papua di pedalaman agar menikmati pendidikan minimal baca, tulis, hitung (calistung). Gurunya ada yang lulus SMA, SMK. Kami memang berbenturan tembok dengan UU nasional yang misal guru minimal s1, yang disiplin ilmunya dsb. Malah KPG yang memproduksi guru2 yang peduli orang Papua menjadi dihilangkan. Kami menghasilkan KPI dihidupkan, dan menghasilkna guru2 yang mau mengajar di pedalaman. Mereka dilatih dengan kecakapan hidup (survival skill), misal di kali dia bisa berenang, menangkap ikan, menanam ubi dan sebagainya. Kemudian untuk kesehatan, kita perlu belajar praktik bagus dari bupati sarmi, salah satu kabupaten di Papua. Beliau salah satu bupati yang memperoleh penghargaan MURI, satu kampung dikasih satu truk, kunjungan ke luar daerah paling sedikit. Beliau merancang program puskesmas spesialis di 3 puskesmas, di sarmi, bowok, metap melakukan operasi. Bahkan beliau juga melaksanalkan puskesmas yang melayani pelayanan TBC, liver dan pelayana
khsusu lainnya.
Kemdian di kab kerom, ada posyandu plus, plusnya bagus. Selain ada 5 meja dan ada kelas ibu hamil. Beliau memadukan dengan kelas kampung itu, bagaimana pola hidup sehat, merawat bayi, sampai melahirkan dan makan selama 5 tahun sebab menentukan kualitas setelah 5 tahun. Dan itu 43 | P a g e
Otsus untuk perbaikan gizi, 15% untuk kesehatan, 30% untuk kesehatan. Kalau di wamena anak2 kecil yang harus sekolah menawarkan jasa di pasar. Di kota jayapura ada penjadwalan dokter spesials ke puskesmas-puskesmas untuk pelayanan pasien, gambaran ini utnuk waktu menulis riset ada perbandingan dengan Afrika. Di Afrika 24 jam ada speed, ada helipad, dokter spesialis banyak, setiap saat bisa online. Puskesmas di indonesia kan tidak, orang sakit di puskesmas kan untuk pelayanan yang berat. Harapanya puskesmas yang punya pelayanan mobile. Pendek kata: kita harus optimis, kalau tidak optimis buat apa datang jauh-jauh kesini. Bahkan ada yang bilang, bagaimana kalau acara seperti ini diadakan di jayapura. Terakhir, keistiqomahan Fisipol melalui ini jangan sampai putus, pengalaman univ lain mengingkari, jangan sampai menipu orang Papua. Sesi tanya-jawab Pertanyaan: 1. Zita, MEP UGM: Mempertegas bahwa kalau melihat tadi paparan presentasi saya yakin dengan melihat senyum anak-anak itu bukan hanya secercah harapan namun banyak harapan di tanah Papua itu sendiri. Saya memberikan apresiasi kepada Bapak Hery atas komitmen bapak di tanah Papua, untuk membangun sekolah asrama. Kok hampir sama dengan pesantren namun beda, apakah disana ada pembekalan kemandirian karakter kepemimpinan untuk pengembangan ekonomi produktif dan enterpreneurship ke anak didik barangkali tidak semua anak didik tersbeut ingin ke PT namun bisa menjadi pengusaha, tokoh masy. Apa ada hal tersebut diberikan kepada mereka? Kemudian keseluruhan tentang pendidikan, formal. Saya belum melihat konsentrasi minat pengembangan public service untuk anak-anak berkebutuhan khusus, bagaimana kondisi anak kebutuhan khusus, ada atau tersembunyi? Apa terasa malu jika punya anak berkebutuhan khusus, apakah itu tertutupi? Ataukah masyarakat sudah terima dengan kondisi anak-anak mereka, baik itu di komunitas pengembangan pendidikan maupun lainnya? Saya juga apresiasi dengan bapak john tentang kearifan lokal di Papua, karena itu pengembangan karakter. 2. Upik, MPKP UGM: Ada persoalan mengenai kapasitas sekolah untuk menampung peserta didik, di satu sisi prasarana disatu sisi anak didik tidak boleh dilupakan untuk mau dan bersedia dengan suka cita untuk masuk sekolah? Bagaimana solusinya? 44 | P a g e
Untuk pak John, siapa saja tim yang menggarap ini karena pasti butuh SDM yang banyak? Apakah dari tim bapak ini melibatkan orang muda di Papua atau ada orang sendiri dengan kualifikasi yang dibutuhkan. Karena saya melihat tadi ada efek positif sekolah kampung ada pemberdayaan masyarakat pendidikan dan kesehatan. Mungkin ibu bisa menJawab karena ada keterkaitan dengan puskesmas. Bagaimana tindak lanjutnya? Karena mereka dikampung butuh tenaga kesehatan, tenaga seperti apa? 3. Edi Suparji, MAP UGM: Dari awal mengikuti sesi awal, cukup panjang proses belajar itu sendiri. Terkait pelajaran kebijakan, yang sebenranya belajar tidak hanya Papua, tapi jakarta selaku pemerintah pusat dan daerah. Disini ada pilar yang dpt membentuk the best service public service itu sendiri. Kalau menurut saya ini tanggung Jawab bersama, membutuhkan waktu yang. Kalau membentuk perdasus harus melibatkan banyak pihak, saya setuju dengan topik ini dibahas di sini. 4. Novrian, PNS Kalimantan: Saya rasa kita harus optimis melihat kejadian Jepang saja mereka bisa sanggup, mereka bisa saat setaraf dengan Papua. Masalahnya cuma beda semangat, mentalitas orang jepang dengan kita berbeda. Tapi kita tetap optimis. Optimisme ini bisa dibangun dengan melihat tim, yang bisa melihat. Papua kan sudah mengirim mahasiswa ke luar Papua, itu modal Papua untuk menbangun Papua lebih maju. Seperti Jepang kan dia sekolahkan keluar, begitu juga Malaysia. Namun orang yang diajak membangun itu orang tepilih. Kita harus menyingkirkan pecundang-pecundang yang menghambat untuk maju. Apakah aset yang ada ini nanti dimaksimalkan atau tidak? Karena mencari orang2 yang mencintai negeri dengan rasa tulus itu sulit, karena itu yang harus diseleksi. Jadi akhir kata, kita harus optimis. Karena melihat jepang dan malaysia itu kita lebih baik dengan kondisi yang sekarang. 5. Monika, S2 Ilmu Sejarah: Saya rasa penjengan semua orang hebat dengan membangun optimisme rasa Papua, dengan semangat yang dikit bisa berani dan berani lagi. Saya mau menyarankan bagaimana kalau disana kita menulis sejarah lokal, akhirnya nanti akan meningkatkan daya integrasi mereka, kalau mereka punya sejarah sendiri mereka akan tertarik lagi, membangun tanah Papua dari aspek mereka sendiri. Ini lho saya, jangan semua aspek luar. Disini saya ingin menambahkan alangkah baiknya menulis sejarah lokal Papua, misal menulis 45 | P a g e
alumni sukses UGM mereka akan tertarik untuk menjadi apa dan bagaimana. Bagaimana bisa seperti itu? Ya kita bisa menulis sejarah lokal. Misal dipadukan dengan antropologi juga. Jawaban Pembicara: 1. dr. Iras Rumbiak Bahwa memang kalau menyampaikan optimisme memang kompleks tinggi, yang kami pahami geografinya. Siapa yang tinggal di terisolir, kalau yang di pegunungan itu sangat sulit. Kalau pesisir itu masih bisa terjangkau, kases pelayanan di Biak misalnya anatar kabupaten itu bisa pakai speed. Bisa punya puskesmas yang ada perahu, jadi ada jadwal akses turun ke lapangan. Kalau daerah yang di belakang gunung, jangkauan antar kecamatan itu sangat susah. Saya kalau jadi dokter PTT disana dulu itu harus potong gunung dulu. Tapi yang penting semangat dan kerja keras kita. Kalau dulu tahun 95an itu kami susah, tapi kalau tahun 2000 ke atas penerbangan sudah mudah, jalan sudah dibangun dan sebagainya, jadi lebih mudah. 2. John Rahail: Anak berkebutuhan khusus, kami belum melakukan itu. Tapi kalau studi lapangan, kita jarang menemukan anak seperti itu. Dalam kondisi kemiskinan, anak seperti itu biasanya umurnya pendek. Ide tim penggagas ini lahir dari kerinduan saya memunculkan perubahan di Papua. Ada banyak hal yang kadang bikin marah tapi mau marah ke siapa, dan ini memunculkan ide. Apakah ke depan zona ini bisa dikembangkan. Pengalaman saya tiap tahun mahasiswa saya ada yang menulis sekolah di kampung-kampung, dan mereka mau untuk tinggal di kampungkampung tersebut. Tapi bagi saya proses berbagi cerita dan pengalaman menyapa teman-teman di Papua, ya salah satunya siap tinggal di Kampung. Beberapa hari ke depan ada diskusi yang terbangun bagaimana membangun. Nanti kami membangun modul kesehatan di kampungkampung. Sedangkan mengenai pertanyaan Mbak novi, memang betul kami pernah diskusi dengan Dinkes. Itu kan pengalaman kecil yang dilakukan pak john. Kami bangun sekolah kampung, yang kami siapkan untuk masuk ke sekolah yang dinas bangun. Dalam dialog inetraktif di TV lokal juga seperti itu kami dianggap kecil. Dari Mbak Monika, ada satu mahasiswa saya menulis dengan sejarah lokal itu. Dia lagi intensifikasi lagi untuk lebih lanjut. Dan berakhir bahwa hutan di Papua bisa diselamatkan 46 | P a g e
dengan mengedepankan nilai-nilai lokal. Terkait kesehatan, di Papua HIV AIDS 13ribu, ternyata saya punya penelitian di pegunungan tengah itu bukan isu utama. Bagi mereka isu utama perang. Nilai-nilai lokal itu menjadi penting. Kesehatan ibu dan anak kami kampanyekan. Dan kemudian ditawar oleh satu lembaga untuk menjadi program.
47 | P a g e
Lokakarya Penyusunan Rekomendasi Kebijakan Pelayanan Publik untuk Papua Sesi Fasilitator
: :
Penyusunan Rekomendasi Kebijakan Pelayanan Publik untuk Papua 1. Drs. Bambang Purwoko (Bidang Ekonomi) 2. Drs. Suparjan, M.Si (Bidang Kesehatan) 3. Arie Ruhyanto, M. Sc (Bidang Pendidikan)
Sesi Ekonomi No. 1.
Pembicara/Panelis Dr. Gabriel Lele (Wakil Dekan III Fisipol UGM)
Uraian (salam pembuka dan ucapan terima kasih) Apa yang akan kita lakukan hari ini adalah kelanjutan kegiatan kemarin. Intinya kita ingin menegaskan kembali penting untuk tetap optimis dalam melihat Papua. Agar tetap optimis, kita perlu sesuatu yaitu basis. Di Fisipol ini Mas Arie ingin mengembangkan berbagai kegiatan advokasi dan mengembangkan evidence based of policy making. Artinya dalam konteks kali ini jika semua orang optimis walaupun ada yang pesimis haruslah ada sesuatu yang dijadikan dasar. Dari seminar kemarin kita sudah diskusi pada level yang lebih mikro, keluar dari pembicaraan depolitisasi, keluar dari pembicaran tentang politisasi, ternyata ada banyak hal yang baik yang bisa kita jadikan modal. Banyak hal yang kita pelajari dari Papua untuk kemudian kita replikasikan untuk konteks Indonesia. Kami sebenarnya mengundang policy makers dan non government elemen, tetapi sayangnya hanya beberapa yang bisa hadir kemarin. Dari yang kemarin kita paksa kembali beberapa pembicara untuk bicara sesuatu yang lebih konkrit apa yang terjadi di Papua demi mewujudkan optimisme yang coba kita sebarluaskan. Untuk itulah, kita mencoba mengidentifikasi kembali persoalanpersoalan mikro yang kita hadapi khususnya kasus pelayanan publik dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Lalu berangkat dari itu. kita kemudian mencoba merumuskan alternatif solusi untuk kita 48 | P a g e
advokasi untuk pembangunan papua. Intinya adalah membicarakan dua hal tersebut dengan mendengarkan teman-teman yang paham Papua tentang apa saja limitasi pelayanan publik dan berdasarkan itu apa saja rumusan untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Sekiranya kami merancang kegiatan yang lebih spesifik dengan membagi dalam tiap sektor. Namun, karena keterbatasan pembicara yang hadir karena kesibukan masing-masing. Pada hari ini kita switch acaranya, kita split dari yang dibagi masing-masing sektor kita mencoba mengkroyok secara bersama membahas tiga sektor ini. Semoga apa yang kita lakukan akan menghasilkan sesuatu hal yang konkrit. Kemudian nantinya kita bisa pertajam lebih lanjut dan semoga bisa menghasilkan dalam bentuk memorandum dalam konsep pelayanan publik di Papua. Ini masih menjadi awal dari membahas tentang Papua yang besok kita tidak lanjuti lebih serius agar menghasilkan rekomendasi yang lebih solid, yang kemudian rekomendasi tersebut
mungkin bisa diteruskan kepada
pemerintah. 2.
Drs. Bambang
Pagi ini kita sebenarnya bertugas mengelaborasi tentang apa yang
Purwoko (Fasilitator kita diskusikan pada seminar kemarin. Elaborasi ini dimaksudkan bidang ekonomi)
mencari atau melakukan pembahasan lebih mendalam. Khusus untuk sesi pembangunan dan ekonomi. ini kita akan melakukan elaborasi praktik-pratkik baik yang telah dilakukan dalam mengingkatkan pembanguann ekonomi di Papua. Sebagaimana kemarin sudah dipaparkan oleh Bapak Bupati Sorong dan Redaksi Tabloid Jubi, Bapak Virtor Mambor. Sekedar melakukan refreshing apa yang didiskusikan kemarin saya ingatkan kembali. Meskipun terkesan normatif, tetapi Bapak Bupati Sorong telah memaparkan kiat-kiat keberhasilan pembangunan ekonomi di Kabupaten Sorong. Dimulai dari membenahi birokrasi dengan menegakan aturan dan melakukan penguatan kapasitas 49 | P a g e
SDM melalui pendidikan. Kedua juga, program-program yang bersifat pemberdayaan masyarakat. Termasuk juga didalamnya pembangunan kapasitas SDM masyarakat melalui pendidikan. Beliau mengatakan telah mengirimkan 2000
warga masyarakat dan pejabat Sorong untuk
mengikuti pendidikan. Tentu saja pendidikan ini berkontribusi besar terhadap upaya-upaya pembangunan di tingkat lokal. Ketiga, adalah peran dari pimpinan daerah sendiri, yaitu ketegasan dan komitmen kepala daerah menjadi sesuatu hal yang penting. Apa yang terjadi di Sorong mungkin terjadi di kabupaten yang lain. Misalnya Bupati Sarmi juga melakukan hal yang sama bagaimana akselerasi pembangunan ekonomi dihubungkan dengan pemberian truk untuk masing-masing kampung.
Pembangunan
kampung
juga
berpengaruh
dalam
pembangunan ekonomi di sana. Lalu Bapak Victor Mambor juga menyoroti tentang adanya bias pemberitaan yang ada di Papua. Seolah-olah apa yang terjadi di Papua lebih banyak menbicarakan tentang konflik, ketika ada pembicaraan tentang konflik bernilai besar. Perang suku yang ada di sana bagian dari resolusi konflik diberitakan di Jakarta sebagai sebuah konflik. Perang suka yang biasanya di daerah-daerah gunung, kalau kita tahu tradisi di gunung itu adalah resolusi konflik bukan bagian dari konflik itu sendiri. Namun, berita itu mencuat, berita tentang praktik baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi tidak banyak yang muncul. Oleh karena itu tugas kita adalah mengelaborasi persoalan itu. Pertanyaan yang muncul adalah kalau ada contoh keberhasialn apakah mungkin bisa direplikasi di daerah lain? Jikalah mungkin apa pula tantangan yang dihadapi jika direplikasi di daerah lain. Kemarin sudah disinggung bahwa Papua itu berbeda. Cara melihat Papua antara orang Papua asli dan orang pendatang berbeda. Orang 50 | P a g e
Papua sendiri juga berbeda antara orang gunung dan orang pantai, ada 320 etnis dan bahasa di Papua. Artinya saya ingin menggambarkan apa yang terjadi di Papua merupakan problematika yang berkaitan dengan kompleksitas persoalan dan diferenitas yang sangat banyak. Karena itu akan sulit mengatakan pembangunan ekonomi di suatu daerah, akan berhasil juga di daerah yang lain. Saya kira itu sekedar pengantar, saya persilahkan pada para peserta di sini untuk mengungkapkan pendapatnya. 3.
Ibu Yeti
Kantor wakil presiden sangat intensif dalam memonotoring
(Asisten bidang
perkembangan Papua, terutama setelah kepemimpinan bapak Jusuf
komunikasi,
Kalla. Hasil dari monitoring selama periode JK ditindak lanjuti pada tahun
Kesekretariatan
kemarin, dengan menghasilkan Perpres tentang UP4B, bukti pemerintah
Wakil Presiden)
pusat berkomitmen mempercepat pembangunan di Papua dan Papua Barat. Sesuai dengan bidang saya komunikasi politik, saya akan menyoroti dari bidang komunikasi. Berdasarkan pantauan kami di beberapa daerah, komunikasi politik didominasi oleh pers baik lokal maupun pusat. Bahwa pemberitahan sangat tendensius dengan memiliki agenda setting berhubungan dengan masalah ratting karena ada faktor ekonomi. Kami telah banyak diskusi yang melibatkan universitas dengan melakukan penelitian maraton di Riau, Bali, Yogyakarta (UNY), dan yang terakhir Kalimantan Selatan. Mengingat kita tidak bisa mendikte pemberitaan lokal tetapi akhirnya diskusi merekomendasikan seyogyanya media lokal kita ajak agar mau memberitakan dan mau jadi mitra strategis pemerintah agar mereka tidak mepratekan bad news is good news. Apa yang kita harapkan agar tercapai stabilitas sosial dan politik di daerah. Rekomneadi lainnya, kita memiliki lembaga penyiaran TVRI dan RRI. Namun, kita memiliki kendala terutama keterbatasan kewenangan. Ada 51 | P a g e
rekomendasi dari beberapa diskusi bahwa direksi diberikan kewenangan untuk melakukan pembinaan untuk dapat mengelola SDMnya, keuangan, dan aset-asetnya. Kami sedang melakukan hal itu. Khususnya di Papua mengingat secara demografi sulit, mungkin sarana komunikasi pemerintah perlu di optimalkan, dan menjadi prioritas karena infrastruktur menjadi salah satu komitmen pemerintah pusat. Mungkin selama ini komunikasi kurang menjadi perhatian. Namun, kita mengengetahui komunikasi mempengaruhi opini, dan opini
telah
mampu membangkitkan emosi – emosi dan profokasi sehingga terjadi distabilitas. Arahnya LPP ini diganti kemudian akan memaksimalkan Perpes ini. 4.
Victor Mambor
Saya ingin menanggapi apa yang disampaikan oleh Ibu dari
(Pemimpin Redaksi
Kesekretariatan Wakil Presiden. Maslah memang ada di profesi
Tabloid Jubi)
wartawan, yang sering sesuatu seakan- akan memberitakan Papua secara bombantis padahal tidak. Namun, saya kurang setuju dengan apa yang ibu sampaikan masalah terletak apada media lokal, karena menurut kami masalah terketak pada media nasional. Karena kami teman-teman di Papua sangat tahu sangat mengerti. Karena mereka berintereksi dekat dengan penguasa lokal di sanan . Sampai kami tahu seorang gubernur datang di Jayapura harus disetor uang berapa oleh bupati untuk bertemu. Atau masalah penembakan kemarin kami tahu siapa penembaknya. Pada akhirnya kita bagaimana kita mempublikasi secara berimbang, cuma sebenarnya yang punya interest media di Jakarta. Kita tahu jelas kepentingan pemilik media, mereka yang memaksa wartawan-wartawan lokal
membuat berita seperti itu. Media nasional yang memaksa
wartawan mereka untuk mencari berita yang seksi tentang peperangan, bukan berita kemajuan tentang bidang pendidikan ekonomi seperti ini. 52 | P a g e
Harus ada komunikasi antara penguasa dengan wartawan itu yang perlu diperbaiki dalam tataran lokal. Namun, salah satu hal diperbaiki adalah bagaimana komunikasi pemerintah pusat dan media nasional di Jakarta harus diperbaiki. Harus ada cara yang secara kontinyu membangun komunikasi dengan menggunakan cara pandang yang lain. Karena itu harus dilakukan sinergi antara pemerintah pusat dengan media puasat untuk menngintervensi mereka membangun dengan sudut pandang yang berimbang. Contohnya memandang Papua untuk dilihat di sisi yang lebih baik seperti yang kita bicarakan sekarang. 5.
Edi Supardi (MAP UGM)
Saya mempunyai contoh praktek baik dalam pelayanan publik di Biak. Kebetulan orang tua mengelola media masa, orang tua saya mempunyai agen surat kabar, yang menarik kami memberdayakan anak – anak di Papua untuk menjadi loper koran. Dengan mekanisme pembagian hasil,
penghasilan anak-anak ada yang ditabung untuk
keperluan pendidikannya. Hal yang menjadi problem adalah yang terkenal di papua adalah Cenderawasih Pos. Hanya nilai abonemen koran tertinggi di Indonesia sebulan Rp 200.000,-. Dan jadi soal, masalah transportasi: distribusi ke masyartakat terhambat. Kedua: mohon pemberitaan di Papua yang bombastis bisa di hindari karena bisa memprovokasi masyarakat di luar Papua. 6.
Muhammad Terkait dengan hal kemarin, terutama mengenai replikasi (Megister Hukum S3 keberhasilan di Sorong. Pertama saya melihat pendidikan dengan UGM) memberikan peluang anak-anak lokal di kirim ke tempat lain dapat menjadi replikasi. Yang jadi catatan penting, harus anak-anak
yang
memiliki kompetensi. Karena persoalan di Papua bukan akademik saja dan ada persoalan kemantangan emosial juga. Membicarakan Papua tidak bisa juga lepas dari politik. Di Papua terbelunggu dengan masalah hukum, misalnya dalam putusan MK, ada disopinion antara hakim 53 | P a g e
konstitusi itu sendiri. Yang jadi soal tentang penetapan kepala daerah Papua apakah harus orang asli Papua. Konstitusi harus dikatkan dengan dengan kearifan yang ada di Papua. Seperti apa yang di praktekkan oleh Bapak John waktu lalu yang menceritakan tentang pendidikan sekolah kampung . Sehingga dengan pendekatan tersebut, dapat diserap oleh masyarakat di sana. 7.
Novrian ( Sekolah Pascasarjana UGM)
Saya menanggapi apa yang dipaparkan oleh Ibu dari Kesekretariatan Wakil Presiden tentang kepemilikan media. Saya sepakat media mempunyai peran penting membuat imej negara baik atau jelek. Apakah mampu ibu menyampaikan untuk menertibkan mereka? Banyak hal terkait media, misal Indonesia masih ada karena media, di agresi militer dulu pindah ibukota juga karena media (diskip karena keluar dari konteks)
8.
Alfeldra Yamanof
Saya senang dengan seminar ini dibahas dengan perspektif berbeda.
(Magister
Terkait seminar kemarin, peran media memang sangat penting.
Ekonomika dan
Pemerintah harus mendorong media memberitakan hal- hal yang baik,
Bisnis UGM)
menghindari pemberitaan berbau konflik, seolah-olah Papua itu tidak menarik untuk dikunjungi baik investor, teman-teman diluar Papua dsb. Kedua, terkait pendidikan dan kesehatan, mengingat geografi yang rumit. Pendidikan dan kesehatan tidak dpaat di tangani pemerintah. Pemerintah harus bekerja sama dengan pihak lain: yayasan-yayasan, seperti
YPPK, Yapis, LSM karna ada peran penting dalam sektor
tersebut. Ketiga masalah mengenai replikasi, mengingat keunikan yang sudah disampaikan, perlu disesuaikan dengan kondisi alam dan SDM yang ada. Apa yang menjadi kebutuhan setiap daerah berbeda. 9.
Drs. Bambang Purwoko
Kita memfokuskan kembali pembahasan kita tentang ekonomi. Permasalah yang mengusik oleh kita sebenarnya adalah mengenai dana otsus yang besar sampai 2012 dana otsus 25-27 triliun. Alokasi yang 54 | P a g e
sangat besar yang digelontorkan sesuai dengan UU no 21 tahun 2001 apakah sudah dialokasikan dengan baik . Mestinya dialokasikan ke infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Dengan alokasi besar ini apakah sudah muncul praktek-prektek baik di sektor-sektor tersebut? Kalau belum hambatan apa? Jika kita melihat sejarah Papua, gereja mengambil peran pendidikan dengan melakukan sekolah berasrama. Tetapi ketika Orde Baru, pemerintah membatasi peran yang bukan pemerintah. Sehingga kita bisa lihat dominasi peran pemerintah sangat besar dalam pembangunan Papua. 10.
Vincent (Media di Yogyakarta)
Masih ada hal misspersepsi di pemerintah, misal dana otsus itu efektivitas tidak sampai ke masyarakat. Laporan di pemerintah pusat banyak untuk dana operasioanl dan biaya pesawat. Kalau manajemen ini dipertahankan tidak tepat sasaran. Sumpah jabatan tidak lengkap harus tidak boleh menerima dana tsb. Praktik ini akan terus berlanjut jika sumpah tidak diperbaiki. Kalau dana diatur dengan cara protokoler hanya akan berujung seperti ini. Kalau tidak dievaluasi, terutama mentalmental pejabat, pembangunan Papua tidak akan berjalan. Kalau masalah media, jangan kita kritisi, karena ada kewenangan di kementrian komunikasi dan informasi.
11.
Victor Mambor
Beberapa tahun yang lalu saya di Yahukimo saya menemukan pola dari gereja, mereka orang-orang yang pergi kuliah di Jayapura dan tidak bisa melanjutkan kuliah, mereka pulang dan mengajar di kampungnya. Ini satu pola yang bisa diterapkan di Papua. Kalau mengacu apa yang disampaikan Bapak Cornelis Lay kemarin tentang optimisme, mulai hal yang sederhana misal orang Papua bisa baca dan tulis.
12.
Mahasiswi ekonomi asal Sorong.
Banyak hal yang bisa dikaji dari hal kemarin. Saya begitu tidak begitu paham tentang media, karena itu saya mau soroti pembangunan di 55 | P a g e
Papua. Pembangunan ekonomi di Papua, Papua punya best practice. Hanya kewenangan dari bupati atau gubernur kurang maksimal, jadi kendala di kampung tidak di eksplor dengan baik. Dari Sorong dapat dikembangkan, misal ada perusahaan minyak yang besar dan sudah kerjasama dengan perusahaan sehingga jalan-jalan sudah dibangun, tidak lagi terisolir, sekolah juga dibangun. Dari pembangunan ekonomi segi mikro, ada UMKM. Di kampung harus ada koperasi, jadi mamamama Papua tidak ke kota dan ke pasar pergi pagi pulang malam. Solusi saya tentang itu mungkin hal yang baik terutama mengangkut potensi hasil bumi di kampung. Dan di koperasi ada pula dana genting, ini penting misal untuk pendidikan, wisuda dan sebagainya. koperasi dapat membantu secara finansial. 13.
Drs. Bambang Purwoko
Contoh di Sorong Selatan, Dinas Perindagkop memfasilitasi membangun kios untuk hasil bumi dan pinang. Dinas juga membantu untuk etnis tertentu dengan berikan lapak dan modal. Namun, mereka hanya mampu berjualan selama satu bulan, bulan berikutnya jadi tempat nongkrong.
Yang terjadi, modal habis dalam satu bulan.
Kolektivisme masyarakat menjadi kendala bisnis. Misal stau keluarga jualan, adik datang butuh garam, gula, penjual tidak bisa menolak. Persoalan dasar, mungkin pembangunan ekonomi tidak menghancurkan kolektivisme. Hanya perlu dipahamkan mada modal usaha dan modal untuk kolektivisme. Kasus menarik, kenalan di Papua berdagang tetapi istrinya yang dari Jawa menjadi penjual. Bisa memilah mana modal usaha dan sebagainya. 14.
John Rahail
Ada dua hal:
(Yayasan Institut
1. Televisi lokal jam terbatas, sedang tivi nasioanl 24 jam. Yang
Pengembangan dan
terjadi berita2 dicermati betul oleh orang papua. Jadi informasi
Pemberdayaan
kota hancur sudah tersebar, padahal sebenarnya tidak terjadi 56 | P a g e
Masyarakat)
apa2. 2. Sosok dipublish oleh kompas, ini menjadi kontribusi positif. Mengapoa tidak dipublikasikan media lain? 3. Orang pakai koteka bisa jadi punya uang banyak. Tapi uangnya untuk apa? Saya melihat banyak program pengembangan ekonomi, yaitu membentuk kelompok2 baru. Dan, masyarakat di kampung tidak bisa diberi uang, dana di papua itu besar. Uang bukanlah sebuah penjaminan.
15.
I Ngurah Suriawan
Saya merasa apa yang kita perbicangkan apa tentang best practice
(Dosen Sastra di
menjadi masalah yang akut. Pragmatisme dalam melihat otsus yang
Manokwari)
dilihat sebagai peluang. Pengalaman di pusat studi bahasa, efektif untuk pendidikan, pengalam kami yang inspiratif adalah menggunakan bahasabahasa lokal, kami menginventarisir bahasa sebagai modul pembelajaran berbasis lokal. Itu mendapatkan apresiasi daeri sekolah di nebak. Itu dapat menjadi model merekognisi bahasa yang hampur punah. Cara menginventarisir bahasa yang mau punah di Papua, kekayaan di papua itu tidak hanya alam, padahal bahasa dan kebudayaan. Yang kami lakukan melakukan program inovatif agar bahasa itu dituturkan kembali. Jika kebijakan tidak digerakan dari inisiatif mereka hasilnya akan omong kosong.
16.
Mariana (HI UNCEN)
Kolektivisme tadi itu betul. Ada tambahan lagi, pembelajaran bisnis kepada mama-mama Papua. Pengalaman kalau belanja di pasar, misal beli keladi, kalau mereka kasih harga tidak bisa ditawar, kalau di tawar malah marah. Mereka perlu belajar bisnis, misal keuntungan pertanian habis untuk beli banyak hal rokok, keperluan sehari-hari, dsb. Mereka perlu belajar dari pendatang, kalau jual ditawar seribu dua ribu dibolehkan. Mereka perlu belajar untuk mengurangi harga, pembeli akan senang dan akan terus bertambah pembelinya. Logika kalau pembeli 57 | P a g e
banyak keuntungan lebih besar. Agar bisa setara dengan pedagang dari Jawa, Makassar. 17.
Drs. Bambang Purwoko
Persoalan ini bukan hanya terjadi di satu dua tempat, melainkan hampir semua tempat. Betul, riset kami di Imekko, kami menemuikan hal yang sama. Harga gula 1Rp 10.000, kalau ditawar Rp 9.900 tidak boleh. Padahal sudah untung, alasanya nanti orang lain marah kalau harga diturunkan. Ada kepakatan diantara mereka kalau gula harganya Rp 10.000,-.
18.
Kusmadi, SH (Konsultan Hukum)
Saya kira permasalahan di Papua, pertama adalah ada 320 etnis dengan bahasa yang beda. Namun ada bahasa yang sama, perlu ada pembakuan. Misal di China, bahasa yang tidak sering dipakai dibakukan. Jadi kalau di Papua nanti ada pembakuan. Kedua, bagi orang luar perlu belajar bahasa papua. Alangkah lebih baik, kalau orang Papua yg melalukan pendekatan kepada non-Papua. Ketiga, pembangunan ekonomi, di Nabire itu budaya meramu. Lantas orang jawa masuk mengajarkan bertani kepada 10 orang, tapi yang berhasil cuma orang yang berhasil. Mereka menganggap dan cenderung me-refuse. Ini persoalan bagaimana orang Papua masuk ke teknologi dsb. Dan masalah UKM terkait pemberdayaan ekonomi, mama-mama tadi berjual hasilnya sedikit, manfaat ekonomi saja belum paham. Padahal potensi tanahnya: padi, wortel, kubis bisa ditanam. Terus kelistrikan, Papua padahal kaya mikrohidro, kenapa bangun genset?
19. Drs. Bambang Purwoko
Tower telkomsel di papua disebut pohon sms. Disana kurang berhasil karena masyarakat minta ganti rugi tidak hanya tanah, taopi juga udara. Mikrohidro juga, tidak hanya ganti rugi tanah, tetapi air juga. Ini problematika disana.
20.
Monika (S2 Ilmu Sejarah
Saya ingin mengkaji dari sejarah dan ekonomi. Kita perlu memperhatikan kaum intelegensia. Mungkin perlu kita bahas character 58 | P a g e
UGM)
building. Kita tahu mereka merdeka, kalau mereka belum merdeka kenapa kita harus berjuang? Mereka padahal juga punya rasa memiliki, tetapi bagaimana nasionalisme dibangun disana? Misal bisa dibangun lewat komunikasi politik dan sejarah. Nanti nasionalisme sudah dibangun akan ada integrasi, rasa keindonesiaan tumbuh dan rasa ingin maju tumbuh. Kedua, menyoroti dari sisi pemuda. Pengalaman saya di jambore koperasi nasional, kita mengakomodasi interest pihak-pihak, termasuk Papua. Tujuannya membangun jiwa kewirausahaan diawali dari siswa SMA. Tetapi yang saya kecewa dari Papua tidak datang karena tidak dibiayai pemda. Padahal setelah kegiatan ini akan munculnya kompetisi. Dan nanti akan muncul gagasan dari pemuda itu sendiri. Ketiga kita harus membudayakan potensi daerah, dengan kekhasan karakter, potensi daerah, masing – masing daerah harus dipetakan.
21
Drs. Bambang
(closing)
Purwoko
Ada tiga point penting dalam membangun berlandaskan pada tiga sektor, yaitu government, business society dan civill society. Dari sisi masyarakat, kita harus melihat dan disesuaikan dengan kondisi sosial yang ada. Harus memperhatikan aspek budaya agar kebijakan pemda lebih match dan cocok sesuai dengan kondisi masyarakat. Belum muncul dari sektor bisnis, kita paham hampir disemua daerah yang belum maju, kekuatan bisnis mengandalkan dari pemerintah atau APBD. Di Papua bisnis itu penting, dari diskusi kemarin modal asing (Austria, tambang dsb) punya kontribusi besar di penguatan ekonomi lokal.
59 | P a g e
Sesi Pendidikan dan Kesehatan No. 1.
Pembicara/Panelis Drs. Suparjan, M.si
Uraian Selama satu sesi ke depan akan membahas beberapa hal khususnya
(Fasilitator bidang
di bidang kesehatan. Harapannya, berangkat dari yang kemarin di
Kesehatan)
diskusikan, bisa menemukan alternatif solusi. Terkait pembangunan di bidang kesehatan, akan coba berangkat dari paparan Ibu Iras, selaku Dir. RSUD di Biak Numfor. Mereview kembali bebearpa isu krusial yang terjadi, bahwa ada persoalan tentang berbagai macam keterbatasan terkait sarana prasarana, SDM medis, dan tantangan geografis. Artinya, di Jawa satu kecamatan cukup dengan satu puskesmas, kalau di Papua, tidak mempunyai arti karena luas wilayah Papua kemudian karakteristik kependudukan yang tersebar, ini menjadi tantangan yang tidak ringan bagi peningkatan di bidang kesehatan. Dari apa yang dipaparkan, ada beberapa contoh persoalan antara lain keterbatasan SDM, derajat kesehatan masih rendah dilihat dari angka harapan hidup, angka kematian ibu-bayi, meskipun bila dibandingkan tahun 2011, ada peningkatan yang besar, misalnya untuk angka kematian ibu pada tahun 2011
dibandingkan tahun sebelumnya. Kita bisa elaborasi faktor
keberhasilan apa yang mampu menekan angka tersebut. Dari beberapa kajian yang sempat dilakukan, di samping tantangan geografis dan karakter demografis, ada data yang menarik, di Sorong Selatan bahwa sarana prasarana yang tersedia tadi sebagian masih dibawah rata-rata penggunaannya. Mencoba melihat berapa banyak yang memanfaatkan pelayanan, satu hari hanya tiga orang. Sarana prasarana untuk persalinan ternyata masih berbungkus plastik, padahal disediakan dari beberapa tahun sebelumnya. Kalau ada proses persalinan, dilakukan di rumah. Ketika persalinan diadakan di rumah, maka biaya persalinan tidak masuk ke puskesmas tapi ke tenaga medis 60 | P a g e
itu sendiri. Nanti perlu diverifikasi lagi. Kaitannya, harapannya kita dapat memberi satu rekomendasi dibidang kesehatan. Ini sebagai pengantar saja, untuk mendapatkan informasi dari bapak-ibu dan teman-teman yang concern terhadap pembangunan Papua. Bisa menambahkan pengalaman baik yang bisa direplikasikan, kira-kira tantangannya apa, sehingga rekomendasi ini benar-benar punya basis bukti, kejadian yang bisa dipertanggungjawabkan. Satu lagi, problem underutility, bukan hanya terbatasnya SDM. RSUD Sorong Selatan dikenal sebagai rumah sakit daerah lima menit meninggal. Masyarakat datang saat sudah sangat kritis, kemudian meninggal di situ. Karena keterlambatan anggota masyarakat membawa anggota keluarganya berobat di situ. 2.
Victor Mambor
Satu tahun ini kita mengadakan riset jurnalistik tentang kesehatan di
(Pemimpin Redaksi
delapan kabupaten di Papua,yaitu:
Tabloid Jubi)
1. Adanya sugesti di masyarakat. Hasil yang mengejutkan, masyarakat lebih percaya berobat ke tentara di perbatasan. Berobat di tentara, hidup. Di rumah sakit, mati. Masyarakat terdidik untuk berobat, tapi di sisi lain mereka meninggalkan apa yang sudah disediakan oleh pemerintah. Di perbatasan, RS cukup mewah tetapi tidak digunakan. Masyarakat lebih berobat ke tentara. Masyarakat tidak percaya, tersugesti, tetapi ini tidak benar. 2. Persoalan perilaku, perlu diperbaiki. Masih banyak yang proses melahirkannya di luar rumah, di belakang rumah. Dalam jangka beberapa lama baru kembali ke rumah, ini jadi tantangan. Masalah tentang kearifan lokal, kaget juga melihat anak-anak di sana makan tiga hari sekali. Mereka yang angkat barang-angkat barang saya untuk keliling kampung, mereka makan tiga hari sekali. Mereka makan suplemen lokal, tapi mereka kuat. Dipublikasikan sebagai kelaparan, padahal tidak. Selain itu ada satu yang menarik. Kalau bisa bukan 61 | P a g e
dibangun puskemas, mati, karena kepalanya tidak ada. Tidak ada tenaga
medis,
tetapi
mantrinya
eksis.
Mungkin
ini
perlu
dipertimbangkan, pemberdayaan mantri-matrinya.
Sedangkan riset yang dilakukan di kota menunjukan birokrasi di RS perlu didorong untuk menjadi lebih bersih dari korupsi. Kita temukan, misalnya dokter, ada yang berobat ke dokter, dirujuk berobat ke RS. Ketika di RS akan gunakan fasilitas di RS, setelah berobat kita membayar. Dari biaya itu, 70% masuk ke dokter, sedangkan 30 % nya masuk ke RS. Kebanyakan praktik-praktik RS seperti itu, jadi pendapatan tidak masuk ke kantong RS. Perlu didorong juga bagaimana RS bersih dari hal-hal seperti itu. 3.
Drs. Suparjan M.Si
Beberapa hal yang disampaikan oleh Bapak Victor memberikan gambaran mendalam tentang pelayan kesehatan di Papua, tentang skeptisme tentang RS dan masalah habit tentang melahirkan di luar rumah. Kemudian terkait dengan praktik pelayanan kesehatan di RS, misal proporsi tentang fee dokter dan yang masuk ke lembaga dsb. Saya kira ini menjadi ilustrasi yang cukup menarik untuk melihat persoalan pembangunan kesehatan di Papua.
4.
Harry Nenobais
Saya ingin mengajak menganailis masalah ini untuk kemudian
(Guru di Yayasan
diangkat menjadi best practice yang kemudian bisa menjadi contoh di
PESAT, Papua)
wilayah – wilayah lain. Tetapi kita harus melihat sebelum itu masalah geografis antara penggunungan dan di pantai karena berbeda. Kulturnya berbeda, perlu dipahami dulu. Analisis pada tiga tataran, makro, meso, dan mikro, yaitu: 1. Makro. Saya bersyukur untuk bidang pendidikan, Pemda provinsi telah mengeluarkan peraturan pendidikan berbasis asrama. Ini jelas akan menguatkan sekali di sisi hukum dan administrasi. Sekolah 62 | P a g e
berbasis asrama khususnya di daerah terpencil, karena itulah yang tepat melihat sosial, budaya dan ekonomi yang rendah. Karena anak perlu tinggal di asrama agar lebih terperhatikan.
Karena
dengan asrama kita bisa mengkontrol makan, kesehatan anak – anak. Ini menjadi salah satu kekuatan bagaimana pola pendidikan asrama bisa dilakukan di seluruh Papua. Itulah tataran makro di mana ada Perda, yang biasanya di ikuti dengan alokasi anggaran. Anggaran ini yang kurang jelas, berapa yang dialokasikan. Selama ini dana untuk kita (Pesat) bersifat indensitil, bantuan kurang transparansi, akuntabilitas untuk keuangan. Sejauh mana dana otsus itu yang triliunan diberikan. 2. Meso. Belum ada kesepatan di antara bupati, DPRD, dinas pendidikan, dinas sosial dan yayasan –yayasan. Ini belum ada sinergi yang kuat disana, padahal Perdanya sudah ada, untuk pendidikan berbasis asrama di daerah terpencil. Ada dari pemerintah yang dateng ke kami, pola ini akan dipakai. Namun, Pemda memulai dari kelas 3 SD, kalau kami dari TK. Saya lihat belum ada kesepakatan. Perlu ada kesepakatan dan kerjasama yang kuat baik dari pemerintah bahkan dari gereja, tokoh adat, bahkan universitas. Kita kesulitan mendapatkan orang untuk guru-guru yang mau mengajar di pedalaman. Ini jadi problem. Perlu ada kerjasama antara universitas, kalau bisa universitas menghasilkan guru-guru yang mau berkarya di pedalaman. Kami mengalami masalah disitu, tinggal di pedalaman memang tidak mudah karena tidak ada listrik. Ini harus ada kesepakatan. Harus ada kesepahaman juga bahwa ini bertujuan untuk meningkatkan generasi baru Papua, untuk memajukan anakanak Papua. Bukan hanya berbasis kesukuan, hanya suku2 tertentu yang diurus, ketika bupati dari suku lain, tidak mau membantu suku 63 | P a g e
yang lain. Harusnya tidak ada pembedaan. 3. Mikro. Hal yang perlu diperkuat adalah dari sekolah-sekolah asrama dan panti yang perlu melakukan. Kelemahan kita(LSM) hasil dari penelitian adalah masalah manajemen. Itu yang menjadi tantangan, bagaimana
memperkuat
sudut
manajemen,
organisasi
dan
kepemimpinan. Dari pemerintah belum ada yang lakukan, kebanyakan dari organisasi-organisasi keagamaan dsb. 4.
Drs. Suparjan M.S i
Perlu kita sepakati, konteks sesi ini adalah kesehatan atau perlu disepakati apakah dua bidang kesehatan dan pendidikan
akan
diakomodasi dalam satu sesi. 5.
Bambang Purwoko (Dosen JPP UGM)
Tentang persoalan kesehatan ada problem bukan hanya di masyarakat, tetapi Pemda. Dari Asmat misalnya, memberikan insentif khusus untuk pelayanan kesehatan. Namun, sampai saat ini belum melihat keberhasilan dari bidang-bidang kesehatan. Jadi ada surat dari Bapak Bambang Darmono, Kepala UP4B, ditunjukan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat. Walikota dan Bupati se Papua, dan Walikota dan Bupati se Papua Barat perihal rekomendasi hasil hasil rapat koordinasi tentang afermasi pendidikan dan afermasi lainnya bagi putra putri Papua. Isinya suratnya adalah proses penerimaan mahasiswa Papua 2013 akan diperbaiki karena sudah dikoordinasikan dari awal lagi antara MRPPMI, UP4B, dan Pemda. Kemudian program studi diperluas sesuai kebutuhan masingmasing daerah seperti dokter gigi, teknik pertambangan, teknik geologi, mesin geologi dan farmasi. Saya tidak tahu kenapa di sebutkan dokter gigi, bukan dokter. Papua sebenarnya sangat membutuhkan dokter, bukan hanya dokte gigi. Kemudian diperlu dibentuknya sekretariat pengelola program afermasi DIKTI di setiap dinas kota. Lalu program pemenuhan guru jangka pendek akan dilakukan melalui program SM3P, 64 | P a g e
yaitu sarjana mengajar di daerah terpencil. Asumsinya, sarjana diberi insentif khusus untuk mengajar di daerah terpencil. Jangka menengah adalah dilalukan dengan mengembangkan koleso pendidikan guru yang akan dilakukan nantinya melalui program P4. Jangka panjang dilakukan dengan mekanisme ikatan dinas di wilayah terpencil. Program ini dilakukan di UNCEN dan UMIKA. Setiap peserta mendapat peningkatan biaya. Ini perlu dicermati, mungkin mereka tertarik ikut pendidikan dan lulus. Pengalamannya, setelah lulus, hanya bertahan 2-3 bulan kemudian menghilang. Problema umum, bagaimana kita mau tinggal di daerah yang tidak ada fasilitas. Mewawancarai dokter di sana, selain kebutuhan obat dll apa kebutuhan mendesak yang dokter inginkan? Dia butuh radio SSB. Di Ngawatan, mewawancari dokter perempuan kebutuhan paling mendesak, butuh SSB. Ternyata mereka suami istri, butuh sarana komunikasi. Ada program dari Kominfo, ada program-program berbasis satelit, yaitu pulsa biru. Namun, dibangun tanpa ada penjelasan dari sana. Kemudian akhirnya satelit itu mangkrak. Begitu guru dan dokter ditetapkan di daerah terpencil, banyak yang hilang. Ini persoalan mendasar, keterpencilan. Perlu diperhatikan. Tambahan di Asmat memberikan insentif 25 juta untuk dokterm 40 juta untuk dosen spesialis. Di Sorong selatan hanya memberi insentif 6-15jt, tapi tiap daerah berbeda. 6.
Drs. Suparjan M.Si
Ada
beberapa
informasi
yang
cukup
menarik
bagaimana
mengembangkan pendidikan dan kesehatan Papua, kalo kita coba lihat beberapa kebijakan, Papua sudah cukup banyak. Yang perlu dicermati, bagaimana mengawal tadi pada tataran yang implementatif. Di Sorong Selatan, ada komitmen yang cukup besar dengan APBD yang ada, mengirim penduduk lokal di sana untuk menempuh pendidikan Politekes 65 | P a g e
di Jogja. Meskipun yang lulus baru 60. Ini merupakan terobosan yang menarik meskipun masih perlu dievaluasi. Setelah menyelesaikan studi, mereka diangkat jadi pegawai daerah meskipun belum ada evaluasi apakah mampu meningkatan kesejahteraan masyarakat. 7.
Ibu Yeti
Perlu saya sampaikan pengalaman tim kami, memang benar secara
(Kesekretariatan
fisik pembangunan kesehatan sudah banyak terlihat tapi belum
Wakil Presiden)
termanfaatkan secara optimal. Berdasarkan rekomendasi, supaya dibuat program tenaga bidan plus. Plus itu berarti pengabdian pada masyarakat, pada profesinya. Bisa mencontoh anis baswedan dengan program indonesia mengajar. Orang yang terpanggil untuk tugas itu adalah orang yang mendapat pencerahan. Mungkin UGM bisa mensponsori seperti apa yang dilakukan program IM. Saya pikir ini bukan mustahil. Ada contoh dokter dari UI yang PTT hanya satu tahun, ternyata bertahan sampai 6 tahun. Ini bukti bahwa tidak ada halangan. Contoh lain ada dokter dari UKI yang semangat dalam pengabdian di Papua. Dia jemput bola, pergi ke daerah terpencil. Namun, disuruh pulang
oleh
orangtua
karena
kecelakaan.
Ternyata
semangat
pengabdian semacam itu ada dan kita perlu semacam model seperti IM yang bisa kita tiru dan contek. Kedua, ditengah keterbukaan informasi publik. Terkait kebijakan jangka panjang, pemeritnah pusat sedang mencarikan, merintis alokasi untuk mahasiswa kedokteran di PT terkemuka untuk menerima anak-anak kita kuliah di kedokteran dan kebidanan. Masih diupayakan dan masih berlanjut. Beasiswanya nanti akan diusahakan. Dalam hal ini UP4B hanya bersifat koordinatif. Berdasarkan analisis tim, koordinasi agak lemah sehingga pemerintah pusat menganggap ini harus dikuatkan. Agar lebih kuat dan dinamis. Semangat bekerja dengan hati dan cinta sehingga program bisa berlangsung dengan baik dan cepat. 66 | P a g e
8.
Drs. Suparjan M.Si
Tentang gagasan mengembangkan Papua, bisa menjadi alternatif. Kira-kira virus pencerahan yang akan mendasari bisa ditularkan. Karena ada gap kultur juga sehingga ketika mereka ke sana bisa mencintai apa adanya. Sebuah alternatif termasuk tantangan.
9.
Ibu Yeti
Mohon bila rekomendasi sudah dibuat bisa disampaikan sehingga bisa menjadi bahan acuan untuk bekerja. Bisa dikirim ke UP4B sebagai bahan acuan. Terima kasih.
10.
Drs. Suparjan M.Si
Baik bu Yeti. Sebenarnya Kami panitia sudah mengundang UP4B, tetapi mungkin berhalangan hadir. Harapannya bisa sharing dengan kita dilihat dari sisi best practices. UGM punya concern yang cukup besar untuk pembangunan di 3T. Saya kira beberapa pilihan agenda yang bisa dilakukan ke depan, mengundang teman-teman kita Papua untuk menempuh pendidikan di UGM sesuai kebutuhan keilmuan di sana.
11.
Victor Mambor
Menambahkan, menurut saya Papua trlalu banyak program segala macam. Ini tumpang tindih semua. Misalnya persoalan guru yang tidak ada di tempat. Saya melihat di Yautimo, masalahnya untuk ambil gaji dibutuhkan waktu pulang pergi yang lama. Pergi 7 hari, pulang 7 hari, total 15 hari. Atau untuk ambil gaji menggunakan pesawat, habis gaji, habis waktu. Solusinya, harus menyediakan fasilitas, gaji, penerbangan. Itu saja, pengalaman kita seperti itu solusinya. Kalau kita lakukan program-program lain, jadi masalah baru lagi. Dulu sudah ada, tinggal bagaimana mereka tidak pergi.
12.
Drs. Suparjan M.Si
Hal yang sama juga terjadi di daerah lain, Sorong Selatan mendirikan bank cabang di Imeko. Namun,
tidak beroperasi dengan baik. Ini
persoalan, tantangan. Di Kaimana, Fakfak, infrastruktur sudah dibangun, tapi underutility. Sarana cukup bagus, tapi yang muncul justru dianggap gagal. Misal di kelas hanya ada dua siswa. Ini tidak imbang, tidak proporsional antara biaya yang dikeluarkan untuk pengembangan 67 | P a g e
infrastruktur dan utility di sana. Sehingga sarana banyak yang underutility dan tidak tepat sasaran. Apa yang disampaikan, bagaimana kita bisa mengawal implementasi kebijakan ini. Aliran dana yang masuk luar biasa, tetapi ada persoalan di level masyarakat, kesadaran tentang pendidikan, pola hidup bersih juga masih rendah. 13.
I Ngurah Suriyawan
Melanjutkan pak victor, terlalu banyak program di Papua jadi objek,
(Dosen Sastra di
mengundang banyak program. Misal di pendidikan, banyak program
Manokwari)
yang dibuat, misalnya program P4B kenyatannya banyak anak yang terlantar. Bahwa kadang perspektif kita untuk logika projek ada dimanamana , logika pragmatis, bukan gerakan sosial. Misalnya IM, awalnya inspirasinya dari UGM. Itu kan perspektif ingin bahwa pendidikan ini bukan projek tetapi proses kesadaran kritis. Saya kira pondasi itu tidak sampai di program-program di Papua. Karena orientasinya, projek berhasil bukan dari keberhasilan memajukan Papua. Di Papua, tujuan program pendidikan di Papua untuk mengangkat harkat dan meningkatkan martabat mereka. Saya kira pendidikan humaniora digerus dengan pendidikan pragmatis sehingga apresiasi menghasilkan generasi Papua yang empati yang halus tidak bisa. Kedua, saya apresiasi apa yang dilakukan yayasan pendidikan Katolik Kristen. Di Teluk Bintuni, yayasan yang dikelola baik oleh gereja menghasilkan generasi papua yang bisa dipertanggungjawabkan. Kami sebenarnya, benar bahwa universitas harus membuka koordinasi dengan yayasan trsebut untuk membuka kesempatan pada lulusan sarjana keguruan untuk menjadi guru di tempat-tempat yang membutuhkan. Koordinasi ini harus dibangun dengan sangat bagus bahwa anak Papua bisa menjadi guru ditempatnya, tidak perlu datangkan dari luar. Saya kira lulusan UNCEN juga bisa mengajar di sana, tanpa mendatangkan guru dari luar. Pak Bambang bilang banyak program seperti itu. Perlu 68 | P a g e
dibangun relasi antara lulusan dsb. Saya pikir penting untuk ditindaklanjuti. 14.
Cornelis Lay (Dosen JPP UGM)
Kalau kita mau menemukan best practice, kita tidak bisa memulai dari awang – awang tetapi pengalaman langsung. Apa tantangan dan hambatan, kalau tidak kita tidak bisa menemukan jawaban. Kita tanya saja pada best practices, apa kesulitan dan persoalan, kalau mampu kita urai kita bisa menemukan best practices dan kita replikasi. Hanya bisa kita lakukan kalau kita memahami hal-hal yang fundamental. Misal sekolah asrama, butuh uang sangat besar. Dari situ kita bisa bicara pada Pemda, apakah proses pencerdasan Papua akan kita lakukan dengan cara ini, konsekuensinya seperti apa. Saya ingin mendengar detail betul. Misal kenapa kalau di kelas mengantuk, ternyata kurang gizi. Karena itu kita perlu orang yang menyadarkan gizi sejak kecil sehingga punya kapasitas untuk berada di kelas itu. Termasuk pembicaraan mengenai ekonomi. Fase Papua baru sampai pada masyarakat pra kapitalis, kita tidak bisa memaksa mereka menjadikan ekonomi sebagai sesuatu yang utama. Kalau kita hadapi dengan konsep kapitalis, tidak nyambung. Di sana fungsi ekonomi masih sosial. Jangan-jangan yang kita perlukan adalah enterpreneruship. Di sana bakat luar biasa. Ini problema ekonomi atau yang kita perlukan adalah community organized. Pengalaman, tidak berkaitan dengan soal teknis, apa yang menjadi pondasi? Orang motifnya lain. Kalo bisa direplikasi, bukan bentuknya tapi filosofi dsb. Kita tidak bisa memulai best pratices dari sesuatu yang abstrak.
15.
Drs. Suparjan M.Si
Perlu kita elaborasi, fokus pada persoalan apa yang harus dihadapi. Dari pengalaman itu kita bisa belajar. Lebih mengelaborasi lagi apa pengalaman yang cukup menarik dan berhasil untuk mengembangkan sektor kesehatan. Kita coba pertajam dari pengalaman konkret, diskusikan bersama. Bila pola itu kita anggap sebagai alternatif yang bisa 69 | P a g e
dikembangkan, seperti apa. 16.
Harry Nenobais
Pada tahun 1991, Pak Alexander mengetahui betapa miskinnya
(Guru di Yayasan
Papua, ada beban sebagai anak bangsa untuk menolong Papua. Dengan
PESAT, Papua)
semangat itu dibuka SMA di Wamena. Dari situ muncul kesulitan. Misal anak SMA perkalian tidak tahu, guru-guru stres. Guru-guru ingin pulang. Setelah dievaluasi, ditemukan di Wamena ternyata tidak ada budaya hitung. Akhirnya SMA kami tutup. Pendidikan yang berhasil di Papua harus di asrama dan dari usia dini, tidak tinggal dengan orang tua agar anak-anak dapat gizi yang baik, bisa belajar. Kalau dengan orangtua, pasti diajak bekerja. Kalau anak-anak pulang waktu liburan, mereka banyak luka karena membantu bekerja. Akhirnya anak-anak tidak kami pulangkan karena badan luka-luka. Jadi anak-anak harus sekolah asrama. Di asrama, anak-anak diperhatikan fisik, makanan, kami harus menyediakan uang. Kalau anak-anak mau cerdas, asupan harus seimbang. Awalnya kami harus datang ke pedalaman. Kesadaran untuk sekolah sangat minim. Anak-anak harus bantu di kebun, bekerja. Kerjasama dengan gereja kami minta anak-anak sekolah, tinggal di asrama kami, padahal sekolah kami pun gratis. Kita buka pemikiran orangtua. Tantangan yang lain, hukum denda, masih berlaku. Ketakutan kami, kalau ada anak sakit atau meninggal, kami kena denda ratusan juta. Bagaimana kalau tiba-tiba ada anak meninggal? Kami bisa didenda hingga ratusan juta atau milyaran rupiah atau dipanah. Namun, karena motivasi kami baik, ada yang meninggal, kami tidak dituntut. Ini ketakutan di awal, tetapi harus dilalui. Kalau tidak asrama, sekolah mulai jam 7, datang jam10. Di sekolah, kelelahan perjalanan, tidur. Kalau sekolah seperti ini, tidak akan jalan. Maka kami berusaha, sekolah asrama adalah keharusan. Sampai sekarang, 17 tahun pola asrama, kami 70 | P a g e
bersyukur orangtua tidak menuntut. Bahkan sekarang orangtua datang berbondong-bondong untuk menyekolahkan anaknya di tempat kami. Orangtua mau anak-anak menjadi sarjana, dokter, dsb apalagi setelah ada pemekaran. Ini membuat kami termotivasi. Tantangan tidak membuat kami mundur. Visi, motivasi kami kuat. Ini yang mungkin harus dicontoh. Untuk guru, kami punya sekolah di Sul-Ut menyiapkan guru-guru yang mau dan siap tinggal di pedalaman. Ada lulusan UNCEN juga yang mau menjadi guru di sekolah kami. Ketika dana kami kurang, masih banyak yang mau mengajar dan menjadi guru di daerah kami. Tidak harus sesuai bidang, yang penting bisa mengajar. Ini perlu ada kerjasama. Mungkin perlu kurikulum khusus agar mereka bisa bertahan di pedalaman. Fasilitas juga. Misal mengambil gaji harus ke Nabire. Ada ketakutan juga kalau ada dari tim kami sakit, tidak ada dokter, bagaimana? Puskesmas perlu ada. Kami coba sediakan alat komunikasi, genset, obat-obatanan. Pengasuh asrama tidak hanya tahu pendidikan tetapi juga untuk kesehatan. Tinggal pemerintah mau bagaimana? Adopsi? Kerjasama? 17.
Drs. Suparjan M.Si
Satu hal yang menarik, ada pengalaman-pegalaman yang cukup unik terkait dengan bagaimana merintis sampai bisa berlangsung dengan baik. Tidak kalah penting, terkait pembiayaan. Selama ini yayasan dalam mengembangkan supporting tadi mungkin bisa ditambahkan agar bisa menjadi alternatif. Mungkin bisa ditambahkan.
18.
Harry Nenobais
Awal menjalankan pendidikan pola asrama, awalnya SD, sekarang dari TK. Yayasan itu bergantung pada donatur. Selama ini untuk keuangan operasional saat ini dengan usia 17 tahun dengan pengembangan program yang luas, kami berkembang juga di Manokwari dsb, kerjasama dengan pihak luar. Kami yang menjalankan teknisnya. Awalnya tidak terlalu berat, ketika bertambah, semakin berat. Sebulan 71 | P a g e
bisa ratusan juta. Kami tidak bisa lagi bergantung sepenuhnya pada donatur. Bersyukur donatur percaya, karena tiap bulan kami selalu melaporkan keuangan. Dengan perkembangan PESAT, kami melakukan bisnis dan diperbolehkan oleh yayasan. Ada bisnis pribadi, ada bisnis yayasan. Kami juga membuat sistem orangtua asuh. Kami tawarkan bebearpa orangtua untuk mengasuh membiayai anak-anak per bulannya. Tidak hanya dari luar komunitas, tetapi juga guru-guru kami. Menjadi orangtua asuh untuk dana per bulan, jadi meringankan beban kami. Kami secara komunitas menganggap anak-anak ini adalah anakanak kita juga, memperlakukan seperti anak kandung. Tiap guru bisa mengambil satu-satu. Ternyata meringankan beban yayasan. Tapi insidentil. Harapan kami pemerintah bisa berperan aktif. 19.
Arief Ruhyanto
Belakangan kami khawatir. Dengan sistem seperti itu tidak bisa
(Fasilitator bidang
menyediakan bagi semua siswa. Membuat pendidikan bukan hanya
pendidikan)
kebutuhan dan kepedulian yayasan, tetapi juga masyarakat. Misal, pesantren punya kebun pesantren. Hasil tersebut bisa untuk memenuhi kebutuhan pesantren sehari-hari. Mungkin bisa menjadi inspirasi sebagai dukungan pendanaan dari sisi lain. Persoalan lain, sekolah berpola asrama, persoalan ini bukan sekedar membangun penginapan tetapi juga membangun karakter. Bagaimana pengalaman di sana dengan guruguru yang memiliki karakter? Bagaimana penguatn kapasitas SDM di sana? Banyak orang misal, dengan motivasi religius sehingga bisa bertahan.
20.
Victor Mambor
Kepedulian orangtua juga. Kebanyakan orangtua tidak menganggap pendidikan sebagai tanggung jawab mereka, tetapi tanggung jawab pemerintah. Jadi kalau sudah diserahkan ke asrama, bukan urusan mereka lagi.
21
John Rahail
Tiga yang penting adalah: 72 | P a g e
(Yayasan Institut
1. Pertama jati diri. Ketika bicara kesehatan. Bila ada ibu hamil
Pengembangan dan
meninggal, karena terlambat dibawa. Ada yang terlupakan dari
Pemberdayaan
Papua bahwa perempuan adalah penerus generasi Papua, penjaga
Masyarakat)
keturunan suku. Kalau ada ibu meninggal, harus menunggu belasan tahun agar ada ibu baru. Anak-anak adalah penjaga martabat suku di masa depan. Ini kita kampanyekan terus. 2. Kedua, persoalan pendidikan kesehatan Papua rumit dan tidak ada penanganan optimal. Menjadi masalah adalah ketika daerah pemekaran, penerimaan PNS, peluang menjadi anggota DPR, ijazah jadi penting. Namun, mereka tidak mempunyai. 3. Program yang kita buat di Papua selalu pakai kacamata kuda, datang dengan pendekatan masing-masing. Padahal bila bicara pendidikan, berkaitan dengan yang lain. Kenapa tidak duduk satu meja? Beberapa program di Papua buatnya sendiri-sendiri, tidak ada sinergitas. Kita selalu membuat sesuatu yang bertentangan dengan semangat kebersamaan dan adat. Ini jadi persoalan. Pengalaman, ada sekolah kampung, bisa ada sampai hari ini. Kita bekerja dengan hati, akan terbangun ikatan emosional yang kuat bukan hanya ada program kita datang, tetapi karena ingin membuat. Pengalaman selama ini, ketika fasilitator pulang, mereka menunggu fasilitor. Karena proyek suatu saat pasti berhenti. Dalam aturan pendidikan memang ada pendidikan informal melalui satuan pendidikan sejenis. Apa cukup untuk mendampingi sekolah kampung ini? Akhirnya bagaimana kita mendorong peraturan kampung
ini. Dana
pemberdayaan kampung turun, dibagi habis. Untuk jangka panjang, sistem pendidikan nasional ada, UU tentang otsus ada, tetapi terjun bebas ke bawah, bagaimana implementasinya? Saya harap forum ini bisa memberi solusi. Bagaimana implementasi perdasus?
Kami
73 | P a g e
sudah mencoba membuat naskah akademik, dsb. Berharap ini bisa mendorong semangat sekolah kampung tetap berjalan dan bisa direplikasi. 22.
Harry Nenobais
Membuka tawaran untuk membatu menjadi pengajar untuk menjadi guru. Selain itu ada yang menawarkan diri untuk menjadi pengajar. Di yayasan kami sistem kekeluargaan dibangun. Untuk orangtua, pada awalnya memang orangtua menyerahkan semua kepada yayasan, tetapi kemudian hal ini mulai tergusur, para orangtua mulai mendukung pendidikan bagi anak – anaknya. Di asrama fisik, rohani, intelektual diperhatikan. Pengajaran bukan hanya di sekolah, tetapi di asrama proses pembelajar juga terjadi. Ini terbukti dari cerita salah satu anak didik kami, yang sekarang kuliah di perguruan tinggi di Jakarta yang ditawari merokok dan minum, tetapi dia menolak.
23.
Bapak Rahmat
Kesulitan dalam bidang matematika atau aritmatika di Papua mungkin berkaitan dengan literasi. Kami mempunyai pengalaman yang hampir saya di Papua, di Priki, Lombok Timur daerahnya juga terpencil. Mata pencaharian adalah bertanam tembakau. Kalau masa panen anak – anak membolos, karena harus membantu orangtuanya. Hal itu yang menjadi masalah, mengganggu kegiatan belajar mengajar. Akhirnya melalui LSM Madakarsa kami membuat modul literasi informasi untuk membantu kapasitas guru-guru yang mengajar kepada anak. Kedua menyiapkan untuk anak materi kegiatanapa yang bisa dilakukan mereka di saat mereka membantu orangtua saat panen. Kedua juga titipan dari teman saya, dia bilang pada pak victor bahwa tingkat absensi guru yang tinggi tidak hanya dipedalaman, tetapi juga di perkotaan.
Alasan
yang
berhasiil
diambil,
mengambil
materi
pembelajaran. Berarti ini masalah pelaksanan perencanaan pengajaran Juga karena kepala sekolah tidak masuk. Ini masalah manajereal yang 74 | P a g e
penting. UNICEF Papua, merekomendasikan perlu buku presensi guru. Dengan adanya presensi itu, meningkatkan presensi kehadiran sebesar 15 % menurut penelitian. Pendekatan yang dibutuhkan adalah interdisipliner. 24.
Arie Ruhyanto (F)
Terima kasih, nanti modul akan share kepada kawan – kawan yang membutuhkan. (break makan siang)
24.
No name
Apa saja yang menjadi hambatan dalam melakukan program – program sekolah berpola asrama?
25.
Harry Nenobais
Sekolah berpola asrama awalnya dibuat oleh para misionaris. Namun, lama – lama sekolah ini karena karena adanya sekolah – sekolah impres. Secara hasil kami sama, secara akademik, karakter, dan rohani. Namun, yang saya dengar yayasan kami ini yang pertama pola asrama yang mulai dari tingkat TK, karena yang terdahulu mulai dari SD. Kenapa TK, karena usia 4-5 tahun usia yang rawan, kebutuhan gizi dari kecil mempengaruhi kedepannya. Kami kontrol gizi kesehatan yang kami kontrol setiap sebulan sekali.
26.
dr. Iras Rumbiak,
Kesehatan itu diturunkan dari pusat ke provinsi, provinsi ke daerah
Sp.PK (Direktur
kota. Setiap kegiatan alokasi ada dananya, mulai dari dana alokasi
RSUD Biak Numfor)
khusus, dana otsus. Dana BOK sangat besar. Kalau kita cerita tentang Papua, kita kalau melihat papua, antara daerah pesisir dan pegunungan berbeda. Di pegungunungan, biayanya sangat besar untuk akomodasi. Menurut Perpers 70 atau 84, menteri keuangan sudah mengatur pengalokasian dana untuk pembelian obat, Papua masuk golongan 4. Namun, obat sudah dibeli, masalah terletak pada pendistribusian obat. Ketika akan disebar ke pegunungan harus menggunakan pesawat, ditimbangm lalu mengeluarkan biaya lagi. Akhirnya semuanya harus mengguanakan uang. Dana yang besar, tetapi SDM nya kurang. Di Merauke, singkronisasi 75 | P a g e
RS dan puskesmas sePapua. Melacak permasalah apa yang ada, misalnya masalah tenaga medis mana yang kurang atau tidak ada. Kemudian masalah kenapa distribusi obat terganggu oleh persoalan cuaca, di kabupaten di kota ketersedian obat sudah ada, tetapi belum sampai ke tingkat puskesmas. Misalnya distribusi obat terkendala masalah cuaca, misal ombak dan hujan yang tidak tentu. Obat sudah banyak di seluruh provinsi,
tetapi
masalah
terletak
pada
transportasi
untuk
mendistribusikan. Pemerintah memberikan insentif di setiap daerah. Namun, biaya hidup juga tinggi, Selain itu operasional apa – apa membutuhkan uang, ini tidak menyelesaikan Persoalan
yang
besar
masalahnya
adalah
pendidikan
dan
pembiayaan. Pemerintah bilang, RS harus seperti ini, Puskesmas seperti ini. Menyiapkan jenjang pendidikan berkelanjutan untuk tenaga medis. Biaya
kesehatan
sangat
mahal.
Uang
itu
kan
harus
dipertanggungjawabkan. Penggunaan uang kita betul-betul , tetapi kita belum bisa menggambarkan secara pasti untuk yang di pegunungan, dsb. Saya setuju juga memang salah satu problem. Kedepan, persoalan penting bagi kesehatan. Pembawa keputusan kebijakan harus hadir, kita bicara tapi siapa yang memutuskan? Harus kita libatkan disitu. Itu dari kami. Kami sudah melakukan 3-4 kali sinkronisasi terhadap pelayanan kesehatan di Papua tapi kami melihat masih ada masalah di pegunungan. Walaupun ada uang ada obat, kalau orangnya tidak ada, tidak bisa, begitu juga sebaliknya. Kami hati-hati sekali menerjemahkan aturan-aturan ini. Kita harus betul-betul paham dengan persoalan. Saya melihat ada tandatangan bupati se papua, banyak membicarakan pendidikan, kesehatan, dsb. Semua uang ada, akses tidak ada, program tidak bisa jalan. 27.
Arie Ruhyanto (F)
Proses yang ibu sebutkan, sudah tiga kali sinkronisasi Papua – Papua 76 | P a g e
Barat, hal apa yang disinkronisasikan, bagaimana kelanjutannya? 28.
dr. Iras Rumbiak, Sp.PK
Tentang SDM yang kurang, misalnyanya masalah tenaga medis, bidan di daerah yang kurang yang mana. Lalu kepala – kepala puskesmas yang tidak ada dokter, harus menggantikan. Atau bila tidak ada dokter spesialis dirujuk ke RS. Selain itu ada program dokter terbang, yang bersama
dengan
bidan
turun
ke
bawah,
tahun
2013
akan
diimplementasikan 29.
Satria (Alumni HI UGM)
Di wiliyah Sorong yang membuka peluang kepada instransi – instansi asing yang mengeksploitasi. Saya lihat hal ini seperti apa yang terjadi ditempat saya Aceh, ada perusahan minyak dan gas di sana. Setelah semakin berkurang SDA yang diambil, mulai muncul berbagai konflik, salah satunya mereka yang bekerja di sana seakan dikurung di dalam. Sehingga memunculkan ada gap sosial. RS dan sekolah hanya boleh diakses untuk anak yang orangtuanya bekerja di perusahaan swasta tersebut. Di sini saya merekomendasikan satu hal bagaimana Pemda membuat aturan agar fasilitas tersebut juga bisa diakses orang di luar perusahaan, sehingga tidak terjadi gap sosial. Potensi konflik antara pendatang dan orang-orang di sana cukup tinggi. Banyaknya pendatang baru yang bekerja disana seolah daerah dimajukan kepalanya, tetapi ekornya dibiarkan. Orang di sekitar tidak boleh mengakses fasilitas perusahaan. Terkait perundingan damai, contoh GAM mengusulkan 70% penghasilan bumi untuk Aceh, sisanya untuk RI. Padahal hasil bumi sudah mau habis, jadi seolah-olah orang Aceh tidak tahu apa yang menjadi isi buminya. Untuk masalah pendidikan, orang-orang luar tidak diperbolehkan mengakses fasilitas perusahaan, orang banyak belajar di balai-balai. Mungkin ini bisa menjadi sedikit, ada kaitan dengan yang di Papua. Kalau Papua tidak bisa mendapat pendidikan yang baik, kenapa tidak didukung saja sekolah 77 | P a g e
asrama? Mungkin ini salah satu solusi bagi masyarakat Papua. Kesehatan juga persis sama dengan pendidikan. Ini semacam privatisasi, aksesakses ini tidak boleh digunkan oleh orang lain, hanya yang diperusahaan saja. untuk pembangunan ekonomi makro di Sorong. Orang-orang Papua diberdayakan untuk masuk perusahaan, tapi seolah dianggap rendah di perusahaan itu. 30.
dr. Iras Rumbiak, Sp.PK
Memang itu sebagai catatan untuk kita semua. Namun, pada prinsipnya, pelayanan kesehatan tidak boleh ada diskriminasi. Kami lakukan di Biak, kami tidak pernah melakukan diskriminasi. Tergantung bagaimana bupati melihatnya. Bagaimana bupati membuka jejaring. Ada SDM kami juga yang sekolah ke luar, jadi dokter yang PTT yang dikirim. Saya pikir hambatan tidak ada. Karena orang Biak pelaut semua, jadi bisa akses. Setiap puskesmas di pesisir paling ujung punya perahu. Satu dua jam kita sampai di Biak. 17 distrik itu punya puskesmas, pustu, speed, kendaraan ambulan, dsb.
31.
Mariana (HI Uncen)
Sharing tentang kesehatan, ini merupakan cikal bakal best practices. UNCEN sudah punya fakultas kedokteran. Mereka mulai berdiri tahun 2004. Kalau dididik secara maksimal, 20 tahun lagi kita tidak perlu melakukan MoU dari Makassar atau Manado. Di fakultas kedokteran mengalami kesulitan, kerjasama dengan UNAIR untuk mendatangkan pengajar, sekarang berganti dengan UNSRAD. Muncul permasalahan. Keterbatasan fasilitas yang lain, mereka saat koas tidak dipercaya. Mislanya saja kami merasa takut kalau kami bawa saudara yang menangani mahasiswa dari Uncen, kami khawatir, suntik satu kali mati. Mungkin karena tidak maksimal mereka punya alat. Tidak semua mahasiswa Uncen seperti itu, ada juga yang berhasil. Pembentukan opini masyarakat juga mereka tidak yakin dari sarjana Uncen. Ada kejadian saat dokter muda memeriksa ayah saya, aturannya 78 | P a g e
tepat, prosedurnya tepat. Berarti yang dipelajari betul, pas. Jadi sebenarnya ini menurut saya salah satu best practices, 20 tahun ke depan bisa menjadi sesuatu yang luar biasa, tidak perlu bergantung dari luar, dari Papua sendiri bisa. Mengubah mindset bahwa orang Papua pun bisa. Pasti bisa 20-30 tahun ke depan, tinggal pola berpikir dan kepercayaan ditingkatkan. Hal ini memunculkan optimis untuk Papua. 32.
Drs. Untung
Kita mungkin mau mengulang yang kemarin, ada gelar kesehatan
Muhdiyarto, M. Si.
terbaik, ada tiga puskesmas yang melakukan operasi dengan fasilitas
(Dosen Ilmu
lengkap dokter spesialis, ini prestasi yang dilakukan kabupaten Sarmi.
Pemerintahan FISIP
Puskesmas memiliki fasilitas lengkap di tiga puskesmas. Rencananya di
UNCEN)
tahun 2013 yang akan datang akan ditambah dua puskesmas lagi dengan meniru tiga puskesmas sebelumnya. Ini sangat spektakuler, dengan kondisi kesulitan yang sangat tinggi, bupati pemberdayaannya baik sekali terkait pelayanan publik. Daerah lain, bupati Yamukimo justru membangun ruko yang itu umurnya tidak satu tahun udah jadi hunian. Barang banyak, listrik banyak, satu tahun kemudian barangnya habis tapi uang tidak ada, sehingga tidak ada kegiatan perekonomian disana. Sekian milyar untuk bangun ruko, ekonomi rakyat kok bangun ruko? Belakangan yang isi juga pendatang. Ini juga menyangkut kebijakan yang baik tapi tidak tepat sasaran. Pengalaman saya sebagai guru di Uncen, ada mahasiswa dari pegunungan, di jurusan kami di Fisip, 30-4-% dari pegunungan, 50% dari pesisir, 10% pendatang. Beberapa kali kami ujian akhir tidak dengan tertulis. Karena terus terang menulis juga kegiatan berat untuk sodara-sodara kita, akhrinya pakai ujian lisan, untuk menggali apa yang ada di benak mereka, kalau ngomong mereka pintar. Karena itu kami menggunakan beberapa pendekatan seperti itu. Sesekali kita coba untuk membaca di depan. Walaupun sudah doktor, kalau kembali ke Uncen harus bisa mendampingi seperti guru lagi. Karena 79 | P a g e
geografis sangat sulit, tidak bisa saat pembayaran KRS dsb tepat waktu. Di Uncen agak unik, ada demo minta perpanjangan SPP. Kalau kita pakai aturan hitam putih, tidak jalan. Beberapa yang lain ada yang minta dicicil. Pelayanan yang sebenarnya tidak ada di aturan tapi kita harus jalankan. Bagaimana kreativitas street level birocracy. Harapan kami tidak semua dokter perlu jadi kepala puskesmas, karena banyak rapat, lalu nanti kapan melayani pasien? Itu beberapa hal yang perlu diperhatikan. Bupati Sarmi dapat tiga rekor MURI dengan membangun rumah khusus orang Papua, membeli truk, dan berapa 354 hari di tempat. 33.
dr. Iras Rumbiak, Sp.PK
Memang kita tidak bisa, bahwa kita tidak bisa buka jaringan ke RS lain. Sekarang masyarakat bukan hanya yang sakit yang ke dokter, yang sehat pun begitu. Bagaimana masyarakat ini minta bisa spesialisasi, di Uncen belum ada. Saya bersyukur bahwa dinas kesehatan sudah mengirim residen ke seluruh Indonesia sehingga RS yang tidak punya spesialis bisa punya spesialis. Sekarang ada dokter internship. Maksud kami kerjasama yang tidak ada di Papua seperti spesalis. Saya bersyukur dari luar sudah mulai masuk sini untuk spesialis. Kalau kami di Biak itu, rata-rata kami menyelenggarakan RS mengikuti ke Menkes, terkait tipetipe RS dsb. Harus ada subspesialis. Kita membuka jaringan di mana tidak ada konsep spesialis sedangkan yang penting sasarannya masyarakat terlayani. Pendidikan juga belum terakreditasi. Memang kita yang namanya pesimis itu pasti, tapi mungkin dengan adanya Pak Untung bisa melanjutkan ke rektor dsb.
34.
Masudi (Mahasiswa S2 PLOD UGM)
Transmigrasi orangtua ke Keron. Terkait dinas kesehatan, pertama kali datang pasti kena malaria. Ada pandangan bahwa RS umum dokterdokter tidak bagus. Penyebabnya, bisa jadi di sana belum ada pembanding. Dulu masyarakat belum bisa membandingkan dengan 80 | P a g e
rumah sakit yang lain. Atau bisa jadi manajemen RS berubaha. Manajemennya berubah tidak seperti yang lalu. Manajemen jadi lebih mundur. Kalau sekarang kita ke sana, merasa kurang. Rawat inap di ruang syaraf, banyak pintu dan gorden tidak terawatt. Saya kira yang perlu ditata yang manajerial RS. Terakhir, teman-teman saya ada beberapa yang mengambil dokter, farmasi, dsb, anak-anak Papua juga. Namun, kemudian saya tanya teman-teman saya, jawabannya justru mereka masih berat untuk pulang. Ketika ditanya kenapa tidak mau pulang, ada teman yang menjawab dulu waktu kuliah saya minta beasiswa ke Pemda dsb susah sekali, dua, lama sekali. Tiga, ada donator yang lain yang bisa bantu, sehingga ketika selesai tidak punya komitmen untuk balik. Sehingga merasa tidak punya ikatan untuk kembali. Yang mau kembali yang memiliki komitmen yang benar-benar tinggi. 35.
Arie Ruhyanto
Saya kira itu sekaligus menutup diskusi kita pada hari ini. Kami ucapkan terima kasih kepada bapak ibu dari Papua dan kawan – kawan dari Jogja. Kami berencana tahun depan, Fisipol UGM mengidentifikasi best practices di Papua terutama di bidang pelayanan publik. Mohon nanti apabila rekan – rekan mempunyai praktek baik tentang hal tersebut untuk bisa dikomunikasikan ke kami dan kita akan mencoba untuk mendokumentasikannya sehingga bisa disebarluaskan di Papua atau di daerah lain. Sekaligus ini kami bercita-cita membangun counter wacana dari wacana mainstream yang dibangun oleh media massa tentang Papua. Wacana praktik baik ini untuk counter atas wacana yang selama ini dibangun tentang Papua.
36.
Drs. Suparjan M.Si
Kita tadi telah mencoba mengelaborasi beberapa persoalan dan best practices bidang kesehatan dan pendidikan. Paparan kasus cukup menarik, semoga menjadi sebuah inspirasi untuk bagaimana kita menyusun
rekomendasi
akademis
terkait
dalam
pembangunan 81 | P a g e
kesehatan
dan
pendidikan
di
Papua.
Tentu
saja
dengan
mempertimbangkan tantangan-tantangan yang ada, wilayah geografis, sarana dan prasarana, Meskipun juga ada yang membahas terkait dengan masalah policy, tentang komitmen pimpinan daerah, misalnya di Biak Numfor atau daerah yang lain. Seperti di Sorong dan Sorong Selatan yang memberikan perhatian yang besar untuk bidang pendidikan dan kesehatan. Meskipun dalam pengimplementasinya masih banyak kelemahan. Tetapi saya kira ini menjadi sebuah best practices yang tentu saja perlu dikembangkan lebih jauh lagi terutama pada level implementasi. Saya kira mungkin itu sebagai bagian penutup diskusi ini. Sekian dan selamat sore. Dokumentasi Kegiatan Materi Presentasi Pembicara Daftar Presensi Peserta
82 | P a g e