1
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL (Tinjauan Pasal 16 s/d Pasal 20 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007)
SKRIPSI
Oleh : II YULIANTO E1A004153
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2011
2
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL (Tinjauan Pasal 16 s/d Pasal 20 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007)
SKRIPSI Oleh : II YULIANTO E1A004153
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2011
i
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL (Tinjauan Pasal 16 s/d Pasal 20 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007)
SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan Memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh : II YULIANTO E1A004153
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2011
ii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL (Tinjauan Pasal 16 s/d Pasal 20 Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007)
Disusun Oleh : II YULIANTO E1A004153
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Diterima dan disahkan Pada tanggal
Maret 2011
Menyetujui, Pembimbing I/ Penguji I
Pembimbing II/ Penguji II
Penguji III
Djumadi, S.H,.SU NIP. 19470505 198303 1 001
Rochati, S.H, M.Hum NIP. 19541009 198403 2 001
Sri Hartini, S.H., M.H. NIP. 19630926 199002 2 001
Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,
Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S NIP. 19520603 198003 2 001
iii
SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : II YULIANTO NIM
: E1A004153
SKS
: 2004
Judul : PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN DI KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL (Tinjauan Pasal 16 s/d Pasal 20 UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007)
Menyatakan bahwa judul skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri dan tidak merupakan plagiat/menjiplak karya orang lain maupun dibuatkan orang lain. Dan apabila terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia sanksi apapun dari fakultas.
Purwokerto,
Februari 2011
II YULIANTO NIM.E1A004153
iv
v
KATA PENGANTAR Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayahnya sehingga masih diberi kemempuan untuk dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul: “Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan di Kawaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Tinjauan Pasal 16 s/d Pasal 20 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007)”. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurah kepada pemimpin besar umat Islam, Nabi
Muhammad SAW serta kepada keluarganya dan para sahabatnya hingga kepada umatnya sampai akhir zaman. Skripsi ini ditulis, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di almamater fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini mengalami kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, petunjuk dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu dalam kesempatan ini penyusun penyampaikan terima kasaih dan penghargaan setulus-tulusnya kepada : 1. Ibu Hj. Rochani Urip Salami,S.H., MS. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Bapak Djumadi,S.H., SU selaku Dosen Pembimbing I Skripsi, Ibu Rochati,S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II Skripsi, Ibu Sri Hartini,S.H.,MH selaku Dosen Penilai serta Dosen Pembimbing Akademik yang telah berkenan memberiakn petunjuk, saran serta membimbing penyusun dalam penyusunan skripsi ini;
vi
3. Segenap Dosen Fakultas Hukuk Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan bekal ilmu kepada penyusun, serta tidak lupa kepada seluruh staff Fakultas Hukum Universitas Negeri Jenderal Soedirman; 4. Erwin Dwi K, SH yang telah membantu memberikan bahan/data-data dan penjelasan. 5. Nunung beserta keluarga, terima kasih atas kasih sayang, perhatian, dorongan dan dukungan yang diberikan kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini; 6. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam Yudhistira, dari angkatan Pioneer, Rimba Pacet, Wana Laga, Pakis Cendana, Tandu Belantara, Akas Rimba, Banyu Giri, Napak Logawa, Elang Buana, Alas Baruna, Tirta Bhaskara, Bivak Tunggal, Tebing Putih, Cahaya Senja, Akar Kelana, Bintang Fajar, Surya Kusuma hingga angkatan Tunas Bumi, khususnya angkatan Sangga Purnama : Endang “ndangdut” Sri Lestari, SH Bu Jaksa yang selalu cerewet makasih atas wejangannya, Wawan Nofiyanto, SH., Fuad “buyung” Naufal, SH., Mugi “anggi” Wijayanti, SH., Siska “michiko” Arisanti, SH., wis ketemu rung calon bojone????, Rifka Ramadani, SH, Eka Wahyu, SH., terima kasih atas segala proses pembelajaran dan petualangan yang kita lalui bersama. 7. Kawan-kawan Wismalas : Tedi Sudrajat, SH.,MH,, Dody Nur A, SH.,MH, Gernando Damanik,SH., Adlof Gultom, SH., Ardi Firnando, ST., Erik Pardamean M, SH., Rubby Extrada Y, SH., Hamzah Ahmad, SH., Jekrinius S, SH., Khrisman,SH., Akbar, Andika “bojire”. Walaopun kita berbeda-beda dan
vii
berasal dari berbagai suku dan daerah tapi kebersamaan tetap terjaga,, pokoke kosan sing paling yoi lah. 8. Teman-Teman KKN desa Karanganyar, Adipala, Cilacap : Vendes, Tomy, Adit, Tety, Galuh, Nisa. 9. Teman-teman Fakultas Hukum yang bareng-bareng ngurusin kelulusan semoga pada jadi orang sukses. Dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan kalangan yang berkepentingan. Tiada gading yang tak retak begitu pula skripsi ini, untuk itu segala saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Purwokerto,
Februari 2011
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman Judul...........................................................................................................i Halaman Pengesahan...............................................................................................ii Surat Pernyataan.....................................................................................................iii Persembahan...........................................................................................................iv Kata Pengantar........................................................................................................v Daftar Isi...............................................................................................................viii Abstraksi.................................................................................................................x Abstraction..............................................................................................................xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1 B. Perumusan Masalah.....................................................................................6 C. Tujuan Penelitian.........................................................................................6 D. Kegunaan Penelitian.....................................................................................6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lingkungan Hidup 1. Pengertian Lingkungan Hidup...............................................................8 2. Pengertian Hukum Lingkungan...........................................................12 B. Pengelolaan Lingkungan Hidup 1. Pengertian Pengelolaan Lingkungan Hidup ........................................19 2. Azas, tujuan dan ruang lingkup............................................................24 C. Konservasi dan Sumber Daya Alam
ix
1. Pengertian Konservasi dan Sumber Daya Alam............................29 2. Pengertian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.......................32 3. Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil......................36 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan.................................................................................39 B. Spesifikasi Penelitian..............................................................................39 C. Lokasi Penelitian....................................................................................39 D. Sumber Bahan Hukum............................................................................40 E. Teknik Pengumpulan Data....................................................................40 F. Teknik Penyajian Data............................................................................40 G. Metode Analisis Data.............................................................................41 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.......................................42 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan..........................................................................................85 B. Saran....................................................................................................86 DAFTAR PUSTAKA
x
ABSTRAKSI Objek dari penelitian ini adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan dan penelitian di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukuk primer dan bahan hukum sekunder, bahan hukum ini di kumpulkan melalui studi pustaka. Setelah mendapatkan bahan hukum kemudian bahan hukum tersebut disusun secara sistematis yang kemudian di analisis secara kualitatif. Dalam satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan mengalami kerusakan akibat aktifitas orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam, sementara peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya alam. Atas dasar tersebut maka di bentuklah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun lahirnya UU ini secara mendasar menunjukkan rezim pengelolaan yang sama terhadap sumberdaya pesisir dan laut Indonesia, yakni mendorong privatisasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia, melalui Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Hasil penelitian menunjukan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terutama mengenai HP-3 tertuang dalam Pasal 16 sd Pasal 20, yaitu: pemanfaatan diberikan dalam bentuk HP-3 meliputi permukaan laut dan kolam air sampai dengan permukaan dasar laut, HP-3 diberikan dalam luasan dan waktu tertentu, wajib memperhatikan kelestarian ekosistem, masyarakat adat, kepentingan nasional, serta hak lintas damai bagi kapal asing, HP-3 diberikan kepada orang perorangan, badah hukum, dan masyarakat adat, diberikan untuk jangka waktu 20 tahun dan dapat diperpanjang sampai dua kali, HP-3 dapat beralih, dialihkan dan dijadikan jaminan utang. Hasil analisis mendapatkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berupa HP-3 di khawatirkan menimbulkan permasalahan dan penyimpangan dalam pelaksanaan HP-3, maka perlu adany pengaturan lebih lanjut yaitu berupa peraturan pemerintah, selain itu juga harus dilakukan pengawasan dan pengendalian, dan apabila pemegang HP-3 melakukan penyimpangan maka harus dikenakan sanksi baik berupa sanksi administratif maupun sanksi pidana.
Kata kunci : perlindungan, pengelolaan, pesisir, pulau-pulau kecil, HP-3
xi
ABSTRACT
The object of this study is the coastal regions and small islands. This study aims to determine the protection of and research in coastal regions and small islands. The method used is the normative specification descriptive analytical research. Sources of legal materials used are of primary law materials and secondary legal materials, legal materials are gathered through library. After obtaining legal materials and legal materials are arranged systematically and then analyzed qualitatively. In this decade there is a tendency that the coastal areas and small islands are vulnerable to damage from the activities of people in utilizing their resources or due to natural disasters, while the legislation that is more oriented to the exploitation of coastal resources and small islands without sustainability of natural resources. On the basis that it is in the form a of Law Number 27 Year 2007 on the Management of Coastal and Small Islands. But the birth of this law basically show the same management regime of coastal and marine resources of Indonesia, which encouraged privatization of coastal waters and small islands of Indonesia, through the Coastal Concessions (HP-3). The result showed that the protection and environmental management in coastal regions and small islands, especially on HP-3 set forth in Article 16 up to Article 20, namely: the utilization is given in the form of HP-3 covering the surface of the sea and pool water up to the surface of the sea floor, HP-3 is given in area and time, must pay attention to the preservation of ecosystems, indigenous peoples, national interests, as well as the right of innocent passage for foreign ships, HP-3 is given to individuals, badah law, and indigenous peoples, given for a period of 20 years and can be extended up to two times, the HP-3 can be switched, transferred and pledged debt. Results of analysis found that the protection and environmental management in coastal regions and small islands in the form of HP-3 in fear cause problems and irregularities in the implementation of HP-3, it is necessary adany further arrangements in the form of government regulation, but it also must be conducted surveillance and control, and if the holder of the HP-3 perform the deviation should be penalized in the form of administrative sanction or criminal sactions.
Keyword: protection, management, coastal regions, small islands, HP-3
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, saat ini telah gencargencarnya melakukan pembangunan di segala bidang. Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimilikinya. Menurut Moestadji, pembangunan merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Untuk memenuhi hal tersebut, maka sumber daya alam itu digali dan di manfaatkan. Setiap pemanfaatan sumber daya alam akan membawa perubahan terhadap tatanan lingkungan hidup yang pada akhirnya akan mempengaruhi seluruh kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Perubahan ini dapat bersifat positif, yaitu terpeliharanya fungsi-fungsi ekosistem, sehingga menjamin keberlanjutan pembangunan. Tetapi dapat pula bersifat negatif, yaitu terjadinya degradasi fungsi ekosistem.1 Sasaran
penting
dalam
pembangunan
lingkungan
hidup
adalah
meningkatnya pengenalan jumlah dan mutu sumber alam serta jasa lingkungan yang tersedia di alam, pengenalan tingkat kerusakan, penggunaan, dan kemungkinan pengembangannya. Masalah pencemaran lingkungan adalah masalah yang kompleks, dalam pengertian bahwa lingkungan hidup merupakan bagian dari kehidupan manusia.
1
Jurnal hukum Lingkungan : Peranan Hukum dalam Mewujudkan Konsep Pembangunan yang Berkelanjutan oleh Moestadji , ICEL, Jakarta, 1994, hal 26.
2
Indonesia memiliki banyak potensi seperti potensi kelautan, dimana sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia mengklaim wilayah laut selebar 200 mil, hal ini menambah daerah yurisdiksi Perairan Indonesia sebanyak 2,7 juta km2, oleh karena itu tidaklah heran bila negara Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan. Bagian lain yang seluas ± 35% adalah daratan yang terdiri dari 17.508 pulau yang antara lain berupa lima pulau besar yakni Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua, sedangkan 11.808 pulau-pulau kecil belum diberi nama. Luas daratan dari pulau-pulau tadi ± 2.028.087 km2 dengan panjang pantai ± 81.000 km2. Topografi daratannya merupakan pegunungan dengan gunung berapi, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif.2 Untuk melindungi sumber kekayaan alam yang terkandung di Indonesia adalah kewajiban negara dan tugas negara. Hal ini tercantum dalam konstitusi Indonesia yaitu Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke empat yang menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya Penjelasan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan antara lain bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat, oleh karena itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penggunaan bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat diselenggarakan melalui upaya 2
Edy pramono dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2003, hal. 56.
3
pembangunan. Hal ini merupakan upaya bangsa Indonesia dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki. Karena luasnya ruang lingkup pembangunan maka pencapaiannya dilakukan secara bertahap tetapi konstan. Pembangunan merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus yang setiap saat diusahakan memiliki kemampuan menopang pembangunan. Dalam satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan mengalami kerusakan akibat aktifitas orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan Sumber Daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya alam. Sementara itu, kesadaran nilai setrategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan Sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil seperti sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat alam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil menunjukan bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu
4
mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya hayati di substansi dengan sumber daya lain, oleh sebab itu, keunikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi. Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara hukum, pengembangan sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagai bagian dari pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil maka dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden dikeluarkanlah
UNDANG-UNDANG
No
27
tahun
2007
Tentang
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. Dasar hukum itu dilandasi oleh Pancasila dan UUD tahun 1945. Namun dengan dikeluarkannya UU No. 27 Tahun 2007 ternyata juga tidak terlepas dari berbagai kekurangan dan bahkan menimbulkan permasalahan baru. Pelajaran yang diperoleh bangsa ini dalam rezim pengusahaan sumberdaya alam pada sektor eksploitatif terdahulu (seperti: kehutanan dan pertambangan) melalui pemberian hak pengusahaan kepada sektor swasta nasional maupun asing (seperti: Hak Guna Usaha ataupun Kuasa Pertambangan) telah menyebabkan dominasi sektor swasta dalam pengusahaan sumberdaya hutan
5
dan tambang Indonesia, bencana ekologis di sekitar konsesi-konsesi hutan dan tambang Indonesia, serta langkanya sumberdaya tersebut untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Lahirnya UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, secara mendasar menunjukkan rezim pengelolaan yang sama terhadap sumberdaya pesisir dan laut Indonesia, yakni mendorong privatisasi perairan pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia, melalui Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3)3 UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil, telah “lupa” memperhatikan urgensi perlindungan wilayah pesisir secara ekologis, setelah fakta menunjukkan negeri kepulauan ini memiliki kawasan yang rentan terhadap bencana ekologis mencapai 84%, dan lebih dari 60% masyarakat kita hidup dan tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di sisi lain UU ini akan mematikan sumber kehidupan perempuan nelayan, karena makin langkanya jumlah ikan dan kerang akibat rusaknya ekosistem pantai dan pesisir, yang sulit dicegah dengan UU ini. Lebih parahnya tidak adanya jaminan dalam pemenuhan hak-hak masyarakat nelayan dan petambak tradisional, termasuk di dalamnya masyarakat adat, untuk terus mengembangkan perilaku budaya baharinya, bahkan jaminan untuk mendapatkan manfaat atas sumberdaya pesisir dan laut.4 Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan
3
Artikel Pemantik diskusi, Prediksi ham 2009-2010 tahun dimana konflik pesisir akan membuncah oleh Erwin Dwi K, LBH Semarang, Semarang, 2009, hal 3. 4 ibid
6
perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu, Pasal 1 angka 18. HP-3 merupakan hak pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut, Pasal 16. HP-3 dapat diberikan kepada orang perseorangan warga negara Indonesia, Badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia, atau Masyarakat Adat, Pasal 18. Dengan masa waktu pengusahaan hingga 20 tahun, dan dapat diperpanjang kembali, Pasal 19. Dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan ke bank, Pasal 20 ayat (1), dan dikeluarkan dalam bentuk sertifikat, Pasal 20 ayat (2). B. Perumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah perlindungan dan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perlindungan dan pengelolaan kawasan pesisir dan pulaupulau kecil. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Dengan
penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan
pengetahuan lebih mendalam serta memberikan sumbangan dalam
7
perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pada khususnya hukum lingkungan 2. Kegunaan Terapan atau Praktis Sebagai bahan masukan bagi pemerintah, dan masyarakat pada umumnya yang terkait dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Lingkungn Hidup 1. Pengertian Lingkungan Hidup Manusia mulai menaruh perhatian besar terhadap lingkungan hidupnya terutama pada dasawarsa 1970-an setelah diadakan konferensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm pada tahun 1972. Konferensi ini dikenal pula sebagai konferensi Stockholm dan hari pembukaan konferensi tersebut yaitu tanggal 5 Juni telah disepakati sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Dalam konferensi Stockholm telah disetujui banyak resolusi tentang lingkungan hidup yang digunakan sebagai landasan tindak lanjut. Salah satu di antaranya telah didirikan badan khusus dalam PBB yang ditugasi untuk mengurus permasalahan lingkungan, yaitu United Nation Environmental Programe (UNEP) yang bermarkas di Nairobi, Kenya.5 Hal-hal atau segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia sebagai pribadi atau di dalam proses pergaulan hidup, biasanya disebut lingkungan. Hubungan antara berbagai organisme hidup di dalam lingkungan pada hakekatnya merupakan kebutuhan primer, yang kadang-kadang terjadi secara sadar atau kurang sadar. Ada suatu kecenderungan besar untuk mengadakan pembedaan antara lingkungan fisik, biologis dan sosial.6
5
Valentinus Darsono, Pengantar Ilmu Lingkungan, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Yogyakarta, 1995, halaman 7. 6 Ibid, halaman 12.
9
Manusia bersama tumbuhan, hewan dan jasad renik menempati suatu ruang tertentu. Kecuali makhluk hidup, dalam ruang itu terdapat juga benda tak hidup, seperti misalnya udara yang terdiri atas bermacam gas, air dalam bentuk uap, cair dan padat, tanah dan batu. Ruang yang ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan tak hidup didalamnya disebut lingkungan hidup makhluk tersebut, secara khusus kita bicarakan harimau, misalnya.7 Lingkungan hidup menyediakan sumberdaya pada manusia berupa air, tumbuhan dan hewan untuk bahan pangan, pakaian, obat-obatan, bahan bangunan, peneduh dan lain-lain kebutuhan hidup. Lingkungan juga menyajikan ancaman bagi manusia, misalnya hewan karnivora besar seperti harimau, hewan dan tumbuhan berbisa, pathogen serta banjir dan kekeringan. Antara manusia dan lingkungan hidup selalu terjadi interaksi timbal-balik. Manusia mempengaruhi lingkungan hidupnya dan manusia dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Demikian pula manusia membentuk lingkungan hidupnya dan manusia dibentuk oleh lingkungan hidupnya. Manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa adanya tumbuhan dan binatang di sekitarnya. Komponen yang mendampingi harus ada di sekitar manusia yang sekaligus sebagai sumber mutlak kehidupannya merupakan lingkungan hidup bagi manusia. Lingkungan hidup boleh dikatakan merupakan bagian mutlak dari kehidupan manusia.8
7
8
halaman7.
Ibid, halaman 51-52 R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,1996,
10
Pembagian lingkungan menjadi tiga kelompok dasar tersebut dimaksudkan untuk memudahkan di dalam menjelaskan tentang lingkungan itu sendiri. Pertama adalah lingkungan fisik (physical environment), yaitu segala sesuatu di sekitar manusia yang berbentuk benda mati seperti rumah, kendaraan, gedung serta air dan lain-lain. Kedua adalah lingkungan biologis (biological environment), yaitu segala sesuatu yang berada di sekitar manusia yang berupa organisme hidup, seperti : binatang-binatang dari yang kecil sampai yang besar dan tumbuhtumbuhan. Ketiga adalah lingkungan sosial (social environment), yaitu manusiamanusia lain yang ada disekitarnya, seperti, tetangga, teman-teman bahkan orang yang belum dikenal.9 Konferensi
Stockholm
dijadikan
pedoman
atau
referensi
dalam
penyusunan hukum lingkungan modern, yang selanjutnya diimplementasikan dalam hukum masing-masing negara peserta konferensi tersebut. Indonesia sebagai
peserta
yang
menghadiri
konferensi
tersebut
dan
ikut
serta
menandatangani kesepakatan untuk memperhatikan segi-segi lingkungan dalam pembangunan mulai merancang peraturan-peraturan mengenai lingkungan, maka lahirlah Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut dengan UULH), yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) dan terakhir dikeluarkan UndangUndang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Baik UULH, UUPLH maupun UUPPLH merupakan ketentuan 9
Fuad Amsyari, prinsip-prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan, Ghalia, Jakarta, 1986, halaman 11-12
11
payung bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berdimensi lingkungan hidup. Istilah lingkungan merupakan terjemahan dari istilah environment dalam bahasa inggris. Istilah Lingkungan Hidup atau Lingkungan dalam pengertian yang sama terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, yaitu: Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. N. H. T. Siahaan mengartikan lingkungan hidup sebagai semua benda, daya dan kondisi yang terdapat dalam suatu tempat atau ruang tempat manusia atau makhluk hidup berada dan dapat mempengaruhi hidupnya.10 Dari pengertian tersebut di atas, terdapat tiga unsur yaitu semua benda, dalam suatu tempat dan ruang serta dapat mempengaruhi hidup. Menurut Soedjono yang dikutip oleh R. M. Gatot P. Soemartono mengartikan lingkungan hidup sebagai hidup fisik atau jasmani yang mencakup dan meliputi semua unsur dan faktor fisik jasmani yang terdapat dalam alam. 11 Ada beberapa perumusan mengenai lingkungan hidup, yaitu:12 1) St. Munadjat Danusaputro Lingkungan adalah semua benda dan kondisi termasuk di dalamnya manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.
10
N. H. T. Siahaan,Hukum Lingkungan Dan Ekologi Pembangunan .Erlangga, Jakarta, cetakan kedua,2004, hal. 4. 11 R. M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 17. 12 Valentinus Darsono, Op. Cit., hal. 14.
12
2) Otto Soemarwoto Lingkungan adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati baik makhluk bersama benda hidup dan tak hidup yang mempengaruhi kehidupan kita. Secara teoritis ruang itu tidak terbatas jumlahnya, oleh karenanya misalnya matahari dan bintang termasuk didalamnya. Sedang benda tak hidup seperti udara yang terdiri atas bermacam gas, air dalam bentuk uap, cair dan padat. 3) Emil Salim Secara umum lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. Batas ruang lingkup menurut pengertian ini bisa sangat luas, namun untuk praktisnya kita batasi ruang lingkungan dengan faktor-faktor yang dapat dijangkau oleh manusia seperti faktor alam, politik, ekonomi, sosial dan lain-lain. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, lingkungan hidup dan lingkungan tidak memiliki perbedaan arti yang besar unsur-unsur yang dimiliki sama. Lingkungan bagian dari kehidupan. Dari lingkungan manusia, hewan, tumbuhan bisa memperoleh daya atau tenaga. Manusia memperoleh kebutuhan pokok atau primer, kebutuhan sekunder atau bahkan kebutuhan sendiri berupa hasrat atau keinginan. Atas dasar lingkungan pulalah manusia dapat berkreasi dan mengembangkan bakat atau seni. 2. Pengertian Hukum Lingkungan Istilah ”hukum lingkungan” merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris ”environmental law”. Kalaupun ingin lengkap dapat dinamakan dengan ”hukum lingkungan hidup”. Istilah hukum lingkungan maupun hukum lingkungan hidup dipakai dalam pengertian yang sama untuk menyebut perangkat norma
13
hukum yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup (fisik) dengan tujuan menjamin kelestarian dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup.13 Hukum lingkungan merupakan konsep yang masih baru dalam dunia keilmuan pada umumnya, yang baru berkembang dalam dua dasawarsa terakhir sejalan dengan tumbuhnya kesadaran akan lingkungan. Dengan timbulnya kesadaran untuk memelihara dan melindungi lingkungan tersebut tumbuh pula perhatian hukum kepadanya.14 Sebagai konsep yang baru, hukum lingkungan mengalami perkembangan yang pesat. Hal tersebut didukung dengan kuatnya isu penting perlindungan lingkungan hidup bagi keberlanjutan kehidupan manusia. Hukum lingkungan telah berkembang dengan sedemikian luasnya, yang meliputi hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam, dimana ruang lingkupnya meliputi dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan merupakan instrumen yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Drupsteen menyebutkan bahwa hukum lingkungan, (Milieurecht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (naturlijk milieu) dalam arti seluas-lusanya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan sebagian besar terdiri atas hukum pemerintahaan (bestuursrecht). Di samping hukum lingkungan pemerintah (bestuursrechtelijk melieurecht) yang
13
Rachmadi Usman, Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 1. 14 Kartono dan Abdul Azis Nasihudin, Diktat Kuliah Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, 2002, hal 10.
14
dibentuk oleh pemerintah pusat, ada pula hukum lingkungan pemerintah yang berasal dari pemerintah daerah dan sebagian lagi dibentuk oleh badan-badan lain. Demikian pula terdapat hukum lingkungan keperdataan (privaatrechtelijk milieurecht), hukum lingkungan ketatanegaraan (staatsrechtlijk milieurecht), sepanjang bidang-bidang hukum ini memuat ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan pengelolaan lingkungan hidup.15 Drupsteen membagi hukum lingkungan pemerintahan dalam beberapa bidang, yaitu hukum kesehatan lingkungan, hukum perlindungan lingkungan, dan hukum tata ruang. Hukum kesehatan lingkungan adalah hukum yang berhubungan dengan kebijaksanaan dibidang kesehatan lingkungan, pemeliharaan kondisi air, tanah, dan udara dan dengan pencegahan kebisingan kesemuanya dengan latar belakang perbuatan manusia yang diserasikan dengan lingkungan. Hukum perlindungan lingkungan tidak mengenal satu bidang kebijaksanaan, akan tetapi merupakan kumpulan dari peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan yang berkaitan dengan lingkunga biotis dan sampai batas tertentu juga dengan lingkungan antropogen. Hukum tata ruang adalah hukum yang berhubungan dengan kebijakan tata ruang, diarahkan kepada tercapainya atau terpeliharanya penyesuaian timbal balik yang terbaik antara ruang dan kehidupan masyarakat.16 Menurut Hardjasoemantri hukum tata ruang mempunyai jangkauan yang terbatas tidak atau kurang mencakup segi sosial budaya, seperti tata cara penumbuhan dan pembangunan sistem nilai dan sikap hidup yang menopang 15
Koesnadi Harjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, cetakan ke-8, 1991, halaman 15. 16 R. M. Gatot P. Soemartono, Op Cit, halaman 50
15
pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang, dengan memperhatikan pula adat kebiasaan yang akrab lingkungan. Adalah lebih tepat digunakan hukum tata lingkungan yang dapat mencakup segi lingkungan fisik maupun lingkungan sosial budaya. Hukum tata lingkungan ini merupakan instrumen yuridis bagi penataan lingkungan hidup yang mengatur tatanan kegunaan dan penggunaan lingkungan secara bijaksana untuk berbagai keperluan, sehingga dengan peraturan tersebut tujuan hukum lingkungan dapat diwujudkan melalui tatacara konkrit dalam rangka melestarikan kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.17 Menurut Moenadjat bahwa hukum lingkungan terbagi menjadi dua bagian yaitu hukum lingkungan modern yang berorientasi pada lingkungan (environtment oriented law) dan hukum lingkungan klasik yang berorientasi kepada penggunaan lingkungan (use oriented law).18 Hukum lingkungan modern menetapkan ketentuan dan norma-norma guna mengatur tindak perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari kerusakan dan kemerosotan mutu untuk menjamin kelestariannya agar dapat digunakan generasi sekarang dan akan datang. Sifat hukum lingkungan modern adalah menyeluruh atau komperehensif serta luwes terhadap dinamika. Hukum lingkungan klasik, sebaliknya menetapkan norma-norma dengan tujuan terutama sekali untuk menjamin eksploitasi terhadap sumber daya lingkungan guna
17 18
hal. 35.
Ibid, halaman 56 Moenadjat Danusaputro, Ekologi Lingkungan dan Pembangunan, Djambatan, jakarta,
16
mencapai hasil maksimal dalam waktu sesingkat-singkatnya. Sifat hukum lingkungan klasik adalah sektoral dan kaku.19 Siti Sundari Rangkuti mangemukakan bahwa hukum lingkungan berhubungan erat dengan kebijaksanaan lingkungan yang ditetapkan oleh penguasa yang berwenang di bidang pengelolaan lingkungan. Dalam menetapkan kebijaksanaan lingkungan, penguasa ingin mencapai tujuan tertentu. Untuk itu dapat dapat dipergunakan berbagai sarana, misalnya penyuluhan, pendidikan, subsidi dan sebagainya. Segi hukum lingkungan administrasi terutama muncul apabila keputusan penguasa yang bersifat kebijaksanaan dituangkan dalam bentuk penetapan penguasa.20 Menurut Mochtar Kusuma Atmaja ada beberapa pengaturan hukum mengenai masalah lingkungan hidup manusia yang perlu dipikirkan, yaitu :21 a. Peranan hukum adalah untuk menstrukturkan keseluruhan proses sehingga kepastian dan ketertiban terjamin. Adapun isi materi yang harus diatur ditentukan oleh ahli-ahli dari masing-masing sektor, di samping perencanaan ekonomi dan pembangunan yang akan memperhatikan dampak secara keseluruhan. b. Cara pengaturan menurut hukum perundang-undangan dapat bersifat preventif dan represif, sedangkan mekanismenya ada beberapa macam yang antara lain berupa perizinan, insentif, denda, dan hukuman.
19
Ibid, hal. 36. Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hal 2. 21 R. M. Gatot P. Soemartono, Op Cit, halaman 58-59. 20
17
c. Cara pendekatan dan penanggulangannya dapat bersifat sektoral, misalnya perencanaan kota, pertambangan, pertanian, industri, pekerjaan umum, kesehatan, dan lain-lain. Dapat juga dilakukan secara menyeluruh dengan mengadakan undang-undang pokok mengenai lingkungan hidup (Law on the Human Environment atau Environment Act) yang merupakan dasar bagi pengaturan sektoral. d. Pengaturan masalah ini dengan jalan hukum harus disertai oleh suatu usaha penerangan dan pendidikan masyarakat dalam soal-soal lingkungan hidup manusia, hal ini karena pengaturan hukum hanya akan berhasil apabila ketentuan-ketentuan atau peraturan perundang-undangan itu dipahami oleh masyarakat dan dirasakan kegunaannya. e. Efektivitas pengaturan hukum masalah lingkungan hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari keadaan aparat administrasi dan aparat penegak hukum sebagai prasarana efektivitas pelaksanaan hukum dalam kenyataan hidup sehari-hari. Sebagaimana hukum pada umumnya, hukum lingkungan menyangkut mengenai penetapan nilai-nilai (warden beoordelen), yaitu nilai-nilai yang berlaku dan diharapkan akan berlaku di masa yang akan datang mengenai pengaturan tatanan lingkungan hidup. Hukum
lingkungan berkaitan erat dengan dan
ditentukan oleh ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Berdasarkan pandangan ini, Siti Sundari kemudian menyimpulkan bahwa hukum mempunyai kedudukan dan arti penting dalam memecahkan masalah lingkungan dan merupakan dasar yuridis bagi pelaksanaan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah dirumuskan
18
pemerintah dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan sebagai wadah dan dasar hukumnya.22 Andi Hamzah menyatakan bahwa hukum lingkungan mempunyai dua dimensi yaitu: a. Ketentuan tentang tingkah laku masyarakat, semuanya bertujuan supaya anggota masyarakat dihimbau bahkan kalau perlu dipaksa memenuhi hukum lingkungan yang tujuannya memecahkan masalah lingkungan; b. Yang kedua yaitu suatu dimensi yang memberi hak, kewajiban dan wewenang badan-badan pemerintah dalam mengelola lingkungan. Hukum lingkungan berisi kaidah-kaidah tentang perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungannya langsung maupun tidak langsung. Secara langsung kepada masyarakat, hukum lingkungan menyatakan apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan. Secara tidak langsung kepada warga masyarakat, hukum lingkungan memberikan landasan bagi yang berwenang untuk memberikan kaidah kepada masyarakat.23 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum lingkungan adalah seperangkat norma hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak, yang mengatur tingkah laku masyarakat terhadap lingkungan (fisik) dan tatanannya.
22
Soejono, Hukum Lingkungan dan Peranannya dalam Pembangunan, Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal. 4. 23 Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1997, hal. 10.
19
B. Pengelolaan Lingkungan Hidup 1. Pengertian Hakekat pengelolaan lingkungan bukan hanya mengatur lingkungannya, tetapi termasuk mengatur dan mengendalikan berbagai kegiatan manusia agar berlangsung dan berdampak dalam batas kemampuan dan
keterbatasan
lingkungan untuk mendukungnya,24 oleh karena itu manusia perlu secara rutin mengelola lingkungan hidup, agar dapat memanfaatkan lingkungan secara optimal. Pengelolaan lingkungan perlu dilakukan secara dini agar pembangunan yang semakin gencar dilaksanakan dapat memanfaatkan lingkungan hidup, untuk itu diperlukan penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup. Tanpa adanya pengelolaan lingkungan secara dini akan mudah timbul konflik antara lingkungan dan pembangunan, sehingga timbul kesan bahwa pengelolaan lingkungan bukan pendukung pembangunan tapi penghambat pembangunan.25 Lingkungan hidup mempunyai fungsi penyangga perikehidupan yang amat penting, oleh karena itu pengelolaan dan pengembangannya diarahkan untuk mempertahankan keberadaannya dalam keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha perlindungan dan rehabilitasi serta usaha pemeliharaan keseimbangan antara unsur-unsur secara terus-menerus. Pembangunan perlu dilaksanakan dengan mengindahkan keserasian antara pencapaian sasaran 24 25
Valentinus Darsono, Op cit, halaman 41 Ibid, halaman 43
20
pembangunan sektoral, regional dan lingkungan hidup yang bersifat jangka panjang.26 Pelaksanaan pembangunan yang sekarang ini berjalan, berlangsung seiring dengan pembangunan lingkungan. Lingkungan yang dapat menopang proses pembangunan perlu memiliki kemampuan agar berfungsi secara baik. Untuk itu pemanfaatan lingkungan bagi pembangunan perlu dilakukan secara efisien serta ditunjang oleh berbagai kebijakan seperti pengelolaan hutan tropis yang secara khusus melestarikan habitat flora dan fauna dalam taman nasional, suaka alam, suaka margasatwa, cagar alam, dan sebagainya. Manusia perlu secara rutin mengelola lingkungan hidup, agar dapat memanfaatkan lingkungan secara optimal.27 Pengelolaan lingkungan dapatlah kita artikan sebagai usaha secara sadar untuk memelihara dan atau memperbaiki mutu lingkungan agar kebutuhan dasar kita dapat terpenuhi dengan sebaik-baiknya.28 Sejak awal dalam perkembangan budayanya manusia telah berusaha untuk mengelola dampak kegiatannya terhadap lingkungan hidup. Makin berkembang kegiatan ekonomi dan teknologinya, makin besar dirasakan perlunya untuk mengelola dampak kegiatan pada lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan hidup dapat diartikan sebagai usaha dasar dan berencana untuk mengurangi dampak kegiatan terhadap lingkungan hidup sampai pada tingkat yang minimum
26
Siti Sundari Rangkuti, Hukum lingkungan dan kebijaksanaan lingkungan nasional, Airlangga University Pers, Surabaya, 2005, hal 50. 27 Valentinus Darsono, Op. Cit., hal. 41 28 Otto soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djembatan, Jakarta, Cetakan ke-6, 1994 halaman 76
21
dan untuk mendapatkan manfaat yang optimum dari lingkungan hidup untuk mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan.29 Pasal 1 angka 2 UUPPLH menyebutkan bahwa “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.”
Berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 2 UUPPLH tersebut perlindungan dan pengelolaan lingkungan merupakan30: 1) Upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yaitu memelihara kelangsungan lingkungan hidup, sehingga mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain serta melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap serangan dari luar. 2) Upaya tersebut dirumuskan dalam pelbagai kegiatan yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. 3) Perumusan lingkungan hidup di sini diberikan penekanan pada “melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup” yang dalam
ketentuan sebelumnya tidak kita jumpai, sedangkan 6 (enam) aktifitas 29
Otto soemarwoto, Atur-Diri-Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gajah Mada University Perss, Yogyakarta, cetakan kadua, 2001, halaman 76 30 Rachmadi Usman, op cit, hal 53
22
lainnya yaitu perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan,
dan
penegakan
hukum
hanya
sebagai
langkah
kebijaksanaan. Koopans menyatakan bahwa lazimnya dalam pengertian ketatanegaraan, garis kebijaksanaan yang penting ditarik oleh pembentuk undang-undang, sedangkan badan eksekutif melaksanakan penjabarannya lebih lanjut. Drupsteen menjelaskan bahwa undang-undang merupakan landasan hukum yang mendasari kebijaksanaan pemerintah dan mengenai kedudukan undang-undang, petunjuk pelaksanaan dan peraturan-peraturan sebagai instrumen kebijaksanaan.31 Pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya. Lingkungan hidup terdiri dari tatanan kesatuan dari berbagai unsur lingkungan yang saling mempengaruhi, oleh karena itu pengelolaan lingkungan hidup memerlukan keterpaduan pelaksanaan di tingkat nasional, koordinasi pelaksanaan secara sektoral dan di daerah, sehingga semua itu terkait secara mantap dengan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup, dengan kesatuan gerak dan langkah mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup.32 Menurut Mochtar Kusuma Atmadja yang dikutip oleh M. Daud Silalahi bahwa : Lingkungan hidup manusia memerlukan peninjauan dan penelaahan dalam kerja sama antara berbagai disiplin secara terpadu, karena lingkungan hidup manusia bersifat utuh menyeluruh. Sistem pendekatan terpadu atau utuh menyeluruh harus ditetapkan juga oleh hukum untuk mengatur 31
Siti Sundari Rangkuti, op cit, hal 7. Niniek Suparmi, Pelestarian Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta,1994, halaman 60. 32
23
lingkungan hidup manusia secara tepat dan baik. Justru sistem pendekatan ini telah melandasi berkembangnya hukum lingkungan.33 Kebijakan yang merupakan salah satu jalan dalam melaksan akan pengelolaan lingkungan hidup sangat diperlukan. Kebijakan nasional sebagai instrument penting untuk mendefinisikan perlindungan lingkungan melalui pendayagunaan hukum memberikan fokus dan arahan kegiatan pembaruan hukum untuk menunjang penegakan dan penataan hukum lingkungan, memudahkan sistematika dalam melaksanakan langkah-langkah penegakan hukum, mangatasi kendala peraturan perundang-undangan, dan memudahkan masyarakat luas untuk terlibat dalam proses penataan dan penegakan hukum.34 Menurut Otto Soemarwoto, untuk mengubah sikap dan kelakuan menuju kepada sikap yang peduli lingkungan ada tiga cara yaitu : a. Dengan instrument pengaturan dan pengawasan. Tujuannya adalah untuk mengurangi pilihan pelaku dalam usaha pemanfaatan lingkungan hidup. Pemerintah
membuat
ketidakpatuhan
peraturan
dikenakan
sanksi
dan denda
mengawasi dan/atau
pelaksanaannya, kurungan.
Sistem
pengelolaan lingkungan hidup ini disebut Atur-Dan-Awas (ADA) atau Command-And-Control (CAC). Pada dasarnya ADA berusaha menekan egoisme dan mendorong orang untuk berkelakuan lebih ramah lingkungan dengan ancaman tindakan hukum.
33
M. Daud Silalahi, “Perangkat Hukum Nasionl Regional dan Internasional Dalam Pembangunan yang berkelajutan” Jurnal Hukum Lingkungan ICEL, Jakarta, 1994, Halaman 32 34 M. Achmad Santosa, “Penegakaan Hukum Lingkungan : Kajian Praktek dan Gagasan Pembaruan” Jurnal Hukum lingkungan, ICEL, Jakarta, 1994, Halaman 75.
24
b. Cara kedua ialah dengan instrument ekonomi. Tujuannya adalah untuk mengubah nilai untung relatif terhadap rugi bagi pelaku dengan memberikan insentif-disinsentif ekonomi. Contohnya adalah pengurangan pajak untuk produksi dan penggunaan alat yang hemat energi, pemungutan retribusi limbah dan pemberian denda untuk pelanggar peraturan. c. Cara ketiga dengan instrumen persuasif, yaitu mendorong masyarakat secara persuasif, bukan paksaan. Tujuannya ialah untuk mengubah persepsi hubungan manusia dengan lingkungan hidup kearah memperbesar relatif terhadap rugi.
2. Asas, tujuan dan ruang lingkup Pasal 2 UUPPLH menyebutkan asas dan tujuan pengelolaan lingkungan, yaitu: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: a. Tanggung jawab Negara. Yang dimaksud dengan “asas Tanggung jawab Negara adalah: 1) Negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. 2) Negara menjamin hak warga negara atas lingkungan yang baik dan sehat. 3) Negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
25
b. Kelestarian dan keberlanjutan. Yang dimaksud dengan “asas kelestariaan dan keberlanjutan” adalah: bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup c. Keserasian dan keseimbangan. Yamg dimaksud dengan “asas keserasian dan keseimbangan” adalah bahwa pemanfaatan lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan ekonomi, social, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem. d. Keterpaduan. Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai komponen terkait. e. Manfaat. Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa segala usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang dilaksanakan disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan harkat manusia selaras dengan lingkunggannya. f. Kehati-hatian. Yang dimaksud dengan “asas kehati-hatian” adalah ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu
26
pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkahlangkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. g. Keadilan. Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup harus
mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender. h. Ekoregion. Yang dimaksud dengan “asas ekoregion” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumber daya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakatsetempat, dan kearifan lokal. i. Keanekaragaman hayati. Yang dimaksud dengan “asas keanekaragaman hayati” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan upaya terpadu untuk mempertahankan keberadaan, keragaman, dan keberlanjutan sumber daya alam hayati yang terdiri atas sumber daya alam nabati dan sumber daya alam hewani yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. j. Pencemar membayar. Yang dimaksud dengan “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap penanggung
jawab
yang
usaha
dan/atau
kegiatannya
menimbulkan
27
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan k. Partisipatif. Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung. l. Kearifan lokal. Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal” adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilainilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. m. Tatakelola pemerintahan yang baik. Yang dimaksud dengan “asas tata kelola pemerintahan yang baik” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan. n. Otonomi daerah. Yang dimaksud dengan “asas otonomi daerah” adalah bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di bidang
perlindungan
dan
pengelolaan
lingkungan
hidup
dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
28
Berdasarkan Pasal 3 UUPPLH perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan: a. Melindungi
wilyah
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
dari
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. b. Menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia. c. Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem. d. Menjaga kelestarian dan fungsi lingkungan hidup. e. Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup. f. Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan. g. Menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia. h. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana. i. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan. j. Mengantisipasi isu lingkungan global. Tujuan yang pertama
merupakan hal yang penting
untuk
diperhatikan karena kita cukup rawan dari segi ekologi. Hal demikian dikarenakan wilayah kita berada pada posisi silang antara Benua Asia dan Australia dan antara Samudra Hindia da Samudra Pasifik. Berdasarkan Pasal 4 UUPPLH ruang lingkup perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi: a. Perencanaan
29
b. Pemanfaatan c. Pengendaliaan d. Pemeliharaan e. Pengawasan f. Penegakan hukum.
C. Konservasi Sumberdaya Alam 1. Pengertian Sumber daya (resources) dapat diartikan sebagai suatu atribut atau unsur dari lingkungan yang menurut anggapan manusia mempunyai nilai dalam jangka waktu tertentu yang ditentukan oleh keadaan sosial budaya, ekonomi, teknologi, dan kelembagaan. Bisa saja suatu sumber daya belum dikategorikan sebagai sumber daya karena tidak mempunyai nilai ekonomi, tetapi dengan perkembangan tekonologi sumber daya itu dapat diolah atau dimanfaatkan sehingga bernilai ekonomis.35 Menurut proses terjadinya, sumber daya dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : a. Sumber daya buatan, yaitu sumber daya yang sengaja dibuat manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Contoh: waduk, danau, tempat rekreasi, areal pertanian, dan lain-lain: b. Sumber daya alam, yaitu sumber daya yang tersedia di alam secara alami. Contoh: hutan, air, tanah, satwa, udara, dan lain-lain. 35
46.
Karden E. S. Manik, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Djambatan, Jakarta, 2003, hal.
30
Berdasarkan sifatnya, sumberdaya alam dibedakan menjadi 1) Sumberdaya alam fisik. Sumberdaya alam ini merupakan benda-benda mati (abiotik), tetapi mempunyai peranan penting dalam menentukan kualitas lingkungan. Contoh sumberdaya ini adalah tanah, air, iklim, dan mineral-mineral. 2) Sumbardaya alam hayati. Sumbardaya ini terdiri dari makhluk hidup (biotik) yang berperan sebagai produsen, perombak, dan konsumen. Contoh : tumbuhan, mikro organisme, satwa, dan ikan. Sumbardaya alam juga dibedakan menurut kemungkinan pemulihannya, yaitu: a. Sumberdaya alam dapat dipulihkan atau diperbaharui. Kerusakan sumberdaya ini dapat dipulihkan, baik secara alami maupun oleh manusia. Kerusakan dapat dipulihkan secara alami, apabila daya lenting lingkungan sama dengan atau lebih besar daripada tingkat kerusakan yang terjadi. Keberhasilan pemulihan kerusakan sumberdaya alam lebih banyak ditentukan oleh manusia melalui pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya. Contoh sumberdaya alam dapat dipulihkan atau diperbaharui adalah tanah, air, hutan, padang rumput, populasi satwa dan ikan. b. Sumbardaya alam yang tidak dapat dipulihkan atau diperbaharui. Pemanfaatan sumberdaya ini hanya sekali, tidak dapat berulang-ulang. Artinya, sekali digunakan langsung habis, tidak dapat dipulihkan atau diperbaharui lagi. Dengan kondisi ini, pemanfaatannya harus dilakukan seefisien mungkin
31
karena persediaannya di alam terbatas. Contoh: tambang batubara, minyak bumi, gas alam, bijih besi, beauksit, dan bahan tambang lainnya. c. Sumber daya alam yang tidak akan habis. Sumberdaya ini tidak pernah habis, walaupun digunakan terus menerus. Sumberdaya ini tersedia secara alami dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia atau makhluk hidup lainnya dengan menggunakan teknologi. Contoh: energi matahari, angin, gelombang laut, dan air terjun. Menurut Pasal 1 angka 9 UUPPLH sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk suatu ekosistem. Sumber daya alam juga dibedakan menurut kemungkinan pemulihannya, yaitu: a. Sumber daya alam dapat dipulihkan atau diperbaharui. Kerusakan sumber daya ini dapat dipulihkan baik secara alami maupun oleh manusia. Contoh: tanah, air, hutan, padang rumput, populasi satwa dan sebagainya. b. Sumber daya alam tidak dapat dipulihkan atau diperbaharui. Pemanfaatan sumber daya ini hanya sekali, tidak dapat berulang-ulang. Contoh : minyak bumi, gas alam, bijih besi dan sebagainya. c. Sumberdaya alam yang tidak akan habis. Sumber daya ini tidak pernah habis, walaupun digunakan terus menerus. Contoh : energi matahari, angin, gelombang laut dan sebagainya.
32
Pasal 1 angka 18 UUPPLH menjelaskan bahwa: ”Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai Serta keanekaragamannya” Pasal 1 angka 4 UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menjelaskan bahwa: “Sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumber daya hayati, sumberdaya non hayati, sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir.” 2. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil a. Wilayah pesisir Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut (intrusi) yang dicirikan oleh vegetasinya yang khas, sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar daripada daerah paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.36
36
Bengen, D.G. Menuju Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis DAS. Seminar HUT LIPI, Jakarta, 25-26 September 2002.
33
Berdasarkan batasan tersebut di atas, beberapa ekosistem wilayah pesisir yang khas seperti estuaria, delta, laguna, terumbu karang (coral reef), padang lamun (seagrass), hutan mangrove, hutan rawa, dan bukit pasir (sand dune) tercakup dalam wilayah ini. Luas suatu wilayah pesisir sangat tergantung pada struktur geologi yang dicirikan oleh topografi dari wilayah yang membentuk tipetipe wilayah pesisir tersebut. Wilayah pesisir yang berhubungan dengan tepi benua yang meluas (trailing edge) mempunyai konfigurasi yang landai dan luas ke arah darat dari garis pantai terbentang ekosistem payau yang landai dan ke arah laut terdapat paparan benua yang luas. Bagi wilayah pesisir yang berhubungan dengan tepi benua patahan atau tubrukan (collision edge), dataran pesisirnya sempit, curam dan berbukit-bukit, sementara jangkauan paparan benuanya ke arah laut juga sempit. Menurut Pasal 1 angka (2) UU No. 27 tahun 2007 Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang di pengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Mendasarkan pada batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan (interface) antara daratan dan laut, oleh karena itu, wilayah pesisir merupakan ekosisitem khas yang kaya akan sumberdaya alam baik sumber daya alam dapat pulih (renewable resources) seperti ikan, terumbu karang, hutan mangrove, dan sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources) seperti minyak dan gas bumi, bahan tambang dan mineral lainnya. Selain itu, wilayah pesisir juga memiliki potensi energi kelautan yang cukup potensial seperti gelombang, pasang surut, angin, dan OTEC (Ocean
34
Thermal Energy Conversion), serta memiliki potensi jasa-jasa lingkungan (environmental services) seperti media transportasi, keindahan alam untuk kegiatan pariwisata, dan lain-lain.
b. Pulau-pulau kecil Pulau kecil dapat didefinisikan sebagai pulau dengan luas 10.000 km2 atau kurang dan mempunyai penduduk 500.000 atau kurang. Pulau kecil adalah suatu wilayah dimana wilayah tersebut memiliki luas tidak lebih dari 2000 Km2 dan lebarnya tidak lebih dari 10 Km, sedangkan definisi untuk pulau sangat kecil yaitu wilayah yang memiliki luas tidak lebih besar dari 100 Km2 dan lebar tidak lebih dari 3 Km.37 Pulau kecil selain memiliki luas wilayah juga memiliki kekayaan sumber daya alam pesisir. Pulau-pulau kecil umumnya memiliki satu atau lebih ekosistem pesisir seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, estuaria yang semuanya bersifat alamiah. Sumber daya uang paling menonjol di pulau kecil adalah sumber daya ikan dan untuk kawasan pulau kecil sumber daya ikan ketersediaanya cukup banyak karena hal ini didukung oleh ekosistem yang beragam dan kompleks. Menurut Pasal 1 angka 3 UU No.27 tahun 2007 Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.
37
T Falkland.. Water Resources Assessment, Development and Management for Small Tropical Island. Didalam: Hehanusa PE dan Haryanti GS, editor. Water Resources Assessment in Small Island and the Coastal Zone. Jakarta: 1995, LIPI-UNESCO.
35
Pulau kecil lazimnya memiliki ukuran luas kurang dari 10.000 km persegi. Secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland), memiliki batas yang pasti, dan terisolasi dari habitat lain. Jumlah penduduknya kurang dari 500.000 orang. Selain itu, pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi species endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Mempunyai tangkapan air (catchment) yang relatif kecil sehingga kebanyakan air dan sedimen hilang ke dalam air. Dari segi budaya, masyarakat yang mendiami pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan. Adanya masukan sosial, ekonomi dan teknologi ke pulau ini akan mengganggu kebudayaan mereka. Meskipun belum ada kesepakatan tentang definisi pulau kecil baik di tingkat nasional maupun dunia, namun terdapat kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil di sini adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland), memiliki batas yang pasti, dan terisolasi dari habitat lain. Menurut Dahuri, pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain, keterisolasian suatu pulau akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di pulau tersebut. Selain itu, pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi species endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen, dan pulau kecil juga mempunyai tangkapan air (catchment) yang relatif kecil sehingga kebanyakan air dan sedimen hilang ke dalam air. Dari segi budaya, masyarakat yang mendiami pulau kecil mempunyai
36
budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan. Adanya masukan sosial, ekonomi dan teknologi ke pulau ini akan mengganggu kebudayaan mereka.38 Dari uraian di atas, terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan suatu pulau kecil: yaitu (1) batasan fisik (luas pulau); (2) batasan ekologis (proporsi species endemik dan terisolasi), dan (3) keunikan budaya. Pulau kecil memiliki karakteristik biofisik yang menonjol, yaitu: (1) tangkapan air yang terbatas dan sumberdaya/cadangan air tawar yang sangat rendah dan terbatas; (2) peka dan rentan terhadap berbagai tekanan (stressor) dan pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, seperti badai dan gelombang besar serta pencemaran, (3) mempunyai sejumlah besar jenis-jenis (organisme) endemik dan keanekaragaman yang bertipikal dan bernilai tinggi.39 3. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Lebih jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia..
Sejalan
dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosialekonomi, "nilai" wilayah pesisir terus bertambah. 38
Konsekuensi dari tekanan
Rohmin Dahuri.. Kebutuhan Riset Untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu. Jurnal Pesisir Dan Lautan (Indonesian Journal Of Coastal And Marine Resources. 1998. Vol. 1 No. 2. Hal: 61 – 77. 39 D. G. Bengen. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lautan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. 2002, Bogor.
37
terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir. Pengertian pengelolaan mencakup kegiatan usaha pemanfaatan dan perlindungan. Dua kegiatan yang terkesan saling bertolak belakang ini sebenarnya merupakan pilar utama dalam melaksanakan kegiatan pembangunan secara berkelanjutan. Selama identifikasi semua permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan dilakukan dengan baik dan benar, kekhawatiran tidak seimbangnya antara pemanfaatan dan perlindungan bukanlah hal yang perlu dirisaukan. Hasil identifikasi merupakan data dasar bagi penyusunan program kegiatan lanjutan kedua unsur pengelolaan. Pasal 1 angka (1) UU No. 27 tahun 2007 menjelaskan bahwa. ”Pengelolaan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”. Proses pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil lebih lanjut terdapat pada Pasal 5 dan Pasal 6 UU. No.27 tahun 2007. Menurut Pasal 5 UU No.27 tahun 2007. “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pasal 6 UU No. 27 tahun 2007 menjelaskan :
38
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan: a. antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; b. antar-Pemerintah Daerah; c. antar sektor; d. antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat; e. antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan f. antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.
39
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsep legisme yang positivistis. Berdasarkan konsep ini hukum dipandang identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat negara yang berwenang dan melihat hukum sebagai suatu sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata.40 B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang dipakai adalah deskriptif analisis, deskriptif maksudnya bahwa penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau gejala dari suatu objek yang diteliti secara menyeluruh dan sistematis. Analisis karena kemudian akan dilakukan analisis terhadap berbagai aspek yang diteliti dengan asas hukum, kaedah hukum dan berbagai aspek yang diteliti dengan asas hukum, kaedah hukum dan berbagai pengertian hukum yang berkaitan dengan penelitian ini. C. Lokasi Penelitian Perpustakaan Universitas Jenderal Soedirman, dan PII Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 40
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 14.
40
D. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier: a. Bahan Hukum Primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundangan, dan lain sebagainya, khususnya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti Rancangan UndangUndang, Rancangan Peraturan Pemerintah, hasil penelitian (hukum), hasil karya (ilmiah) dari kalangan hukum, dan sebagainya.41 c. Bahan hukum tersier: kamus-kamus hukum, ensiklopedia, indeks
kumulatif, dan sebagainya.42 E. Teknik Pengumpulan Data Data diperoleh dengan jalan
menginventarisasikan (studi pustaka)
terhadap Peraturan Perundang-undangan, literatur-literatur dan dokumen resmi menurut relevansinya dengan pokok masalah yang diteliti dan kemudian dipelajari sebagai kesatuan yang utuh. F. Teknik Penyajian Data Data yang diperoleh akan disajikan secara deskriptif dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis.
41
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 114 42 Ibid
41
G. Analisis Data Data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Metode kualitatif merupakan suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan yang diteliti dipelajari sebagai suatu langkah yang utuh.43
43
Ronny Hanitijo Soemitro, Op. Cit., hal 35
42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITAIAN Indonesia mempunyai wilayah peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki kekayaan alam yang melimpah, maka sektor kelautan dan pulau-pulau kecil memegang peran strategis bagi kepentingan nasional. Terbukti, Indonesia secara fisik memiliki 17.500 pulau, dengan total panjang garis pantai mencapai 81.000 km serta luas laut mencapai 70 persen dari total luas wilayah Indonesia. Potensi sumberdaya ikan juga melimpah, di mana potensi lestari mencapai 6,2 juta ton pertahun, belum termasuk keanekaragaman hayati lainnya seperti rumput laut, terumbu karang, dan lainnya, sadar akan potensi itu, berbagai lembaga negara maupun swasta sangat berkepentingan atas regulasi tersebut. Sebuah tindakan yang tepat bagi pemerintah mejalankan fungsinya untuk mengatur tatanan khususnya pada isu pesisir dan pulau-pulau kecil ini. Akan tetapi, pengaturan tersebut haruslah tidak bertentang dengan kepentingan pengelolaan lingkungan pesisir dan masyarakat, khususnya nelayan tradisional. Regulasi sebagaimana dimaksud juga seharusnya tidak bertentangan dengan kearifan lokal nelayan. Sebagai contoh, di sepanjang pesisir pulau Jawa hingga saat ini masih hidup (terus tumbuh dan berkembang) berbagai budaya serta tradisi lokal. Konstitusi Indonesia menghargai keberadaan kebudayaan-kebudayaan tersebut, oleh karenanya Indonesia sebagai negara hukum, di mana konstitusi merupakan basis filosofis dari hukum nasional, maka sudah semestinya aturan yang ada tidak boleh bertentangan dengan konstitusi.
43
Pemerintah dengan wewenang yang dimilikinya dalam pengelolaan lingkungan hidup membentuk undang-undang yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berfungsi sebagai payung hukum. Latar belakang pemerintah dalam membentuk undang-undang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah: a) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. b) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memiliki keaneka-ragaman potensi sumber daya alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pembangunan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional. Berdasarkan latar belakang tersebut dan hasil review terhadap perundangundangan (20 undang-undang nasional) dan konvensi (5 konvensi internasional) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir, maka pemerintah bersama dewan perwakilan rakyat membentuk Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada tanggal 26 Juni 2007, dalam Sidang Paripurnanya, DPR RI mensahkan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
44
Kecil (PWP3K). Dalam salah satu bab yaitu pada bab V mengatur tentang pemanfaatan yang diberikan dalam bentuk Hak Pengusahaan Perairan pesisir yaitu diatur dalam Pasal 16 s/d Pasal 22, namun peneliti hanya akan membahas Pasal 16 s/d Pasal 20. ketentuan pasal 16 s/d Pasal 20 adalah sebagai berikut: Pasal 16 ayat (1) “Pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP-3”. Pasal 16 ayat (2) “HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut.” Pasal 17 ayat (1) “HP-3 diberikan dalam luasan dan waktu tertentu. Pasal 17 ayat (2) “Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian Ekosistem Pesisir dan PulauPulau Kecil, Masyarakat Adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing.” Pasal 18 “HP-3 dapat diberikan kepada” a. Orang perorangan warga negara Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan berdasarkan hokum Indonesia; atau c. Masyarakat Adat. Pasal 19 ayat (1) “HP-3 diberikan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.” Pasal 19 ayat (2) “Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang tahap kesatu paling lama 20 (dua puluh) tahun.” Pasal 19 ayat (3) “Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang tahap kesatu paling lama 20 (dua puluh) tahun.” Pasal 20 ayat (1) “HP-3 dapat berlih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan” Pasal 20 ayat (2) “HP-3 diberikan dalam bentuk sertifikat HP-3” Pasal 20 ayat (3) huruf (a) “HP-3 berahir karena” a. Jangka waktunya habis dan tidak diperpanjang lagi; b. Ditelantarkan; atau c. Dicabut untuk kepentingan umum. Pasal ayat (3) huruf (b)
45
“Yang dimaksud ditelantarkan merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemegang HP-3 dengan tidak berbuat sesuatu terhadap perairan pesisir selama tiga tahun berturut-turut.” Pasal 20 ayat (4) “Tata cara pemberian, pendaftaran, dan pencabutan HP-3 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah” Pasal 21 ayat (1) “Pemberian HP-3 wajib memenuhi persyaratan teknis, administratif, dan operasional”. Pasal 21 ayat (2) “Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kesesuaian dengan rencana Zona dan/atau rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. b. hasil konsultasi publik sesuai dengan besaran dan volume pemanfaatannya. c. pertimbangan hasil pengujian dari berbagai alternative usulan atau kegiatan yang berpotensi merusak Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 21 ayat (3) “Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penyediaan dokumen administratif. b. penyusunan rencana dan pelaksanaan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan daya dukung ekosistem. c. pembuatan sistem pengawasan dan pelaporan hasilnya kepada pemberi HP3. d. dalam hal HP-3 berbatasan langsung dengan garis pantai, pemohon wajib memiliki hak atas tanah. Pasal 21 ayat (4) “Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kewajiban pemegang HP-3 untuk: a. memberdayakan Masyarakat sekitar lokasi kegiatan; b. mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat dan/atau Masyarakat lokal. c. memperhatikan hak Masyarakat untuk mendapatkan akses ke sempadan pantai dan muara sungai. d. melakukan rehabilitasi sumber daya yang mengalami kerusakan di lokasi HP-3. Pasal 21 ayat (5) “Penolakan atas permohonan HP-3 wajib disertai dengan salah satu alasan di bawah ini: a. terdapat ancaman yang serius terhadap kelestarian Wilayah Pesisir. b. tidak didukung bukti ilmiah; atau c. kerusakan yang diperkirakan terjadi tidak dapat dipulihkan. Pasal 21 ayat (6) “Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengumuman secara terbuka”.
46
Pasal 22 “HP-3 tidak dapat diberikan pada Kawasan Konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum”. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management atau disingkat ICZM). Dalam hal ini yang dimaksud ICZM adalah pengelolaan
pemanfaatan
sumberdaya
alam
dan
jasa-jasa
lingkungan
(environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya. Proses pengelolaan dilaksanakan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada. Lingkup pengaturan dalam Undang-Undang nomor 27 tahun 2007 terdiri dai tiga bagian yaitu: Perencanaan, Pemanfaatan, Pangawasan dan Pengandalian separti yang dijelaskan pada Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berbunyi: “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”. Perencanaan diatur melalui pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management) yang mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan
47
dan saling penguatan (alignment) pemanfaatannya. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu (PPT) merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan sumber daya pesisir secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan antara berbagai perencanaan pembangunan dari berbagai tingkat pemerintahan antara ekosistem darat dan laut serta antara sains dan manajemen. Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dilakukan agar dapat mengharmonisasikan antara kepentingan pembangunan ekonomi dan pelestarian sumber daya pesisir dengan memperhatikan karateristik dan keunikan wilayah pesisirnya.
Perencanaan terpadu ini merupakan suatu upaya bertahap dan terprogram untuk memanfaatan sumber daya pesisir secara optimal yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomis secara berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat dengan mengendalikan dampak pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan mempertahankan kelestarian sumber dayanya. Perencanaan wilayah pesisir yang harus diatur dibagi atas empat tahapan: (1). Rencana Strategis (Strategic Plan); (2). Rencana Pemintakatan (Zoning); (3). Rencana Pengelolaan (Management Plan); dan (4). Rencana Aksi (Action Plan).seperti yang dijelaskan pada Pasal 7 Undang-Undang nomor 27 tahun 2007 mengatur tentang perencanaan yaitu:
(1) Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, terdiri atas: a. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RSWP-3- K; b. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RZWP-3- K; c. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RPWP-3-K; dan d. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RAPWP-3-K.
48
(2) Norma, standar, dan pedoman penyusunan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diatur dengan Peraturan Menteri. (3) Pemerintah Daerah wajib menyusun semua rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kewenangan masing-masing. (4) Pemerintah Daerah menyusun rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil dengan melibatkan masyarakat berdasarkan norma, standar, dan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyusun Rencana Zonasi rinci di setiap Zona Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu dalam wilayahnya.
Hak pengusahaan perairan pesisir atau biasa disebut HP-3 adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulaupulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolam air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seharusnya memperhatikan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu seperti pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatan, sehingga dalam pemberian HP-3 nantinya pemegang hak harus tetap memperhatikan hal-hal tersebut, dan pemerintah selaku pemberi hak pun harus senantiasa mengawasi hak pengusahaan perairan pesisir agar tidak terjadi pelanggaran oleh pemegang hak pengusahaan. Pemberian HP-3 meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolam air sampai dengan permukaan dasar laut. Hal tersebut terkait dengan zonasi wilayah pesisir dan lautan, dimana ekosistem laut dapat dipandang dari dimensi horizontal dan vertikal. Secara horizontal, laut dapat dibagi menjadi dua yaitu laut pesisir
49
(zona neritik) yang meliputi daerah paparan benua, dan laut lepas (lautan atau zona oseanik). Pemintakan atau zonasi perairan laut dapat pula dilakukan atas dasar faktor-faktor fisik dan penyebaran komunitas biotanya. Seluruh perairan laut terbuka tersebut sebagai daerah pelagis. Organisme pelagis adalah organisme yang hidup di laut terbuka dan lepas dari dasar laut. Dalam pada itu, zona dasar laut beserta organismenya disebut daerah organisme bentik. Pembagian wilayah laut secara vertikal dilakukan berdasarkan intensitas cahaya matahari yang memasuki kolam perairan, yaitu zona fotik dan zona afotik. Zona fotik adalah bagian kolam perairan laut yang masih mendapatkan cahaya matahari. Pada zona inilah proses fotosintesa serta berbagai macam proses fisik, kimia, dan biologi berlangsung yang antara lain dapat mempengaruhi proses distribusi unsur hara dalam peraian laut, penyerapan gas-gas dari atmosfer, dan pertukaran gas yang dapat menyediakan oksigen bagi organisme nabati laut. Zona ini disebut juga sebagai zona epipelagis. Pada umumnya zona fotik adalah hingga kedalaman perairan 50-150m. sementara itu, zona afotik adalah daerah yang secara terus menerus dalam keadaan gelap, tidak mendapatkan cahaya matahari. Secara vertikal, zona afotik pada kawasan pelagis juga dapat dibagi ke dalam beberapa zona, yaitu: a. Zona mezopelagis, zona ini merupakan bagian teratas dari zona afotik sampai kedalaman 700-1000m. b. Zona batipelagis terletak pada daerah yang memiliki kedalaman antara 700-1000m dan 2000-4000m.
50
c. Zona abisal pelagis, terletak da atas dataran pasang surut laut sampai kedalaman 6000m. d. Zona hadal pelagis, zona ini merupakan perairan terbuka dari palung laut dalam dengan kedalaman 6000m. hingga 10000m. Melihat hal tersebut seharusnya dalam menentukan luasan pengusahaan atas permukaan dan kolam air sampai
dengan permukaan dasar laut harus
memperhatikan zonasi wilayah pesisir dan lautan karena dalam zona tersebut masing-masing mempunyai fungsi yang berkaitan dengan organisme yang ada di dalamnya dan juga berpengaruh juga dengan keberlangsungan lingkungan hidup. Pemberian HP-3 seperti disebutkan dalam Pasal 17 ayat (1) UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan PulauPulau Kecil adalah HP-3 diberikan dalam luasan dan waktu tertentu, dalam pasal ini tidak jelas mengenai berapa luasan yang akan diberikan kepada pemegang hak pengusahaan, hal ini bisa menimbulkan suatu permasalahan mengenai penafsiran berapa luasan yang bisa diberikan terhadap pemegang hak pengusahaan. Sedangkan peberian jangka waktu yang dimaksudkan dalam pasal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dimana waktu yang diberikan adalah 20 tahun dan dapat diperpanjang lagi dalam tahap kesatu yaitu 20 tahun, dan perpanjangan tahap kedua sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian waktu yang begitu panjang terhadap pemegang hak pengusahaan perairan pesisir dapat mengakibatkan eksploitasi yang berkepanjangan dan terus
51
menerus terhadap ekosistem yang ada didalamnya yang dapat merusak keseimbangan dan semakin rusaknya lingkungan. Hak pengusahaan
perairan pesisir dapat diberikan kepada, orang
perseorangan warga Negara Indonesia, badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan masyarakat adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18 UndangUndang Nomor 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau kecil. Pemberian HP3 terhadap pengusaha dengan sendirinya akan membuka peluang bagi proses pengkaplingan dan eksploitasi wilayah pesisir. Indikasi ini sebenarnya sudah kelihatan ketika pemerintah melalui DKP beberapa waktu lalu pernah mencoba mengeluarkan kebijakan untuk melakukan pengklasteran wilayah perairan Indonesia ke dalam 11 wilayah yang mana pengelolaannya akan diserahkan kepada pihak swasta untuk jangka waktu tertentu. Hak pengusahaan perairan pesisir, kepemilikannya dapat beralih, dialihkan,
dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan,
ketentuan ini sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pengaturan ini rawan dengan penyimpangan karena sumberdaya ekonomi wilayah pesisir dapat diperjualbelikan dan dikuasai, sekaligus dikontrol untuk bidang usaha tertentu, sehingga hanya segelintir pemilik modal yang mengelola dan memanfaatkannya. Sangat mustahil hal ini dapat dilakukan oleh nelayan kecil di wilayah pesisir. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir atau disebut HP-3. Pasal 1 angka (18) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
52
Pulau-Pulau Kecil mengartikan hak pengusahaan perairan pesisir atau HP-3 adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Hak pengusahaan perairan pesisir atau HP-3 dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah merupahan hal yang baru dan ide mengenai hak pengusahaan perairan pesisir muncul pada saat-saat terahir sebelum undangundang ini disahkan oleh DPR. Keberadaan HP-3 dalam undang-undang ini mirip dengan pemberian izin HPH di sektor kehutanan. Dimana pihak swasta diberi keleluasaan untuk terlibat dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang ada. Keterlibatan pengusaha tampaknya menjadi sebuah keharusan dalam setiap implementasi kebijakan yang akan diberlakukan oleh pemerintah di setiap sektor. Tujuan penyusunan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 adalah: 1) Menyiapkan
peraturan
setingkat
undang-undang
mengenai
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, khususnya yang menyangkut perencanaan, pemanfaatan hak dan akses masyarakat, penanganan konflik, konservasi, mitigasi bencana, reklamasi pantai, rehabilitasi kerusakan pesisir dan penjabaran konvensi-konvensi internasional terkait. 2) Membangun sinergi dan saling memperkuat antar lembaga Pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir, sehingga tercipta kerjasama antar
53
lembaga yang harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan antar kegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 3) Memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hakhak masyarakat pesisir melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha. Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan memberikan definisi-definisi mengenai hal yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana diatur dalam Pasal 1 mengenai ketentuan umum, kemudian ruang lingkup wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yaitu: “Ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai”. Ruang lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi Wilayah Pesisir, yakni ruang lautan yang masih dipengaruhi oleh kegiatan di daratan dan ruang daratan yang masih terasa pengaruh lautnya, serta Pulau-Pulau Kecil dan
54
perairan sekitarnya yang merupakan satu kesatuan dan mempunyai potensi cukup besar yang pemanfaatannya berbasis sumber daya, lingkungan, dan masyarakat. Dalam implemetasinya, ke arah laut ditetapkan sejauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor (4437) sedangkan ke arah daratan ditetapkan sesuai dengan batas kecamatan untuk kewenangan provinsi. Kewenangan kabupaten/kota ke arah laut ditetapkan sejauh sepertiga dari wilayah laut kewenangan provinsi sebagaimana telah ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sedangkan ke arah daratan ditetapkan sesuai dengan batas kecamatan. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur mengenai Asas dan Tujuan yaitu: a. Keberlanjutan. Asas keberlanjutan diterapkan agar: 1) Pemanfaatan sumber daya tidak melebihi kemampuan regenerasi sumber daya hayati atau laju inovasi substitusi sumber daya nonhayati pesisir. 2) Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir saat ini tidak boleh mengorbankan (kualitas dan kuantitas) kebutuhan generasi yang akan datang atas sumber daya pesisir. 3) Pemanfaatan sumber daya yang belum diketahui dampaknya harus dilakukan secara hati-hati dan didukung oleh penelitian ilmiah yang memadai. b. Asas Konsistensi merupakan konsistensi dari berbagai instansi dan lapisan pemerintahan, dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan untuk melaksanakan program pengellaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah diakreditasi. c. Asas Keterpaduan. Asas keterpaduan dikembangkan dengan:
55
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j. k.
1) Mengintegrasikan kebijakan dengan perencanaan berbagai sektor pemerintahan secara horizontal dan secara vertical antara pemerintah dan pemerintah daerah;dan 2) Mengintegrasikan ekosistem darat dengan ekosistem laut berdasarkan masukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membantu proses pengambilan putusan dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Asas kepastian hukum diperlukan untuk menjamin kepastian hukum yang mengatur pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil secara jelas dan dapat dimengerti dan ditaati oleh semua pemangku kepentingan; serta keputusan yang dibuat berdasarkan mekanisme atau cara yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak memarjinalkan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Asas kemitraan merupakan kesepakatan kerja sama antar pihak yang berkepentingan berkaitan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. Asas pemerataan ditujukan pada manfaat ekonomi sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat dinikmati oleh sebagian besar anggota masyarakat. Asas peran serta masyarakat. Asas peran serta masyarakat dimaksudkan: 1) Agar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mempunyai peran dalam perencanaan, pelaksanaan, sampai tahap pengawasan dan pengendalian. 2) Memiliki informasi yang terbuka untuk mengetahui kebijaksanaan pemerintah dan mempunyai akses yang cukup untuk memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau keci. 3) Menjamin adanya representasi suara masyarakat dalam keputusan tersebut. 4) Memanfaatkan sumber daya tersebut secara adil. Asas keterbukaan dimaksudkan adanya keterbukaan bagi masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dari tahap perencanan, pemanfaatan, pengendalian, sampai tahap pengawasan dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. Asas desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Asas akuntabilitas dimaksudkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan Asas keadilan merupakan asas yang berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenang dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
56
Asas-asas dalam pengelolaan wilayah pesisir merupakan norma yang harus dijalankan oleh semua pihak yang yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Undang-undang ini tetap menyisakan permasalahan, yang dapat disebut di sini adalah: Pertama, undang-undang ini selalu mengkaitkan dengan adaptasi terhadap situasi global. Tidak jelas apa konteks global yang dimaksudkan. Namun, jika ditelisik lebih dalam, konsep global di sini lebih mengarah pada globalisasi; Kedua, privatisasi dalam ranah yang harusnya dikuasai negara serta persoalan tata ruang; Ketiga, perlindungan Kelompok Rentan di Pedesaan Pesisir; Keempat. persoalan kemiskinan dan kedaulatan negara di pulau kecil; Kelima, sinkronisasi dengan peraturan-perundangan lainnya yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir. Dalam Pasal 16 s/d Pasal 22 undang-undang ini mengatur mengenai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, yaitu: Hak pengusahaan perairan pesisir atau HP-3. Pasal 1 angka 18 UndangUndang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil mengartikan hak pengusahaan perairan pesisir yang selanjutnya disebut H-P3 adalah, hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Namun, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini belum mewujudkan pendekatan Integrated Coastal Management, yang ditandai dengan tidak adanya pembaruan
57
atas penguasaan dan pengusahaan yang timpang dan adanya ketidaksinkronan dengan undang-undang lainnya. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 juga lebih menekankan pada aspek investasi dan lebih memihak dunia usaha, sehingga tidak ada ruang bagi masyarakat, khususnya nelayan kecil tradisional dan masyarakat adat dalam pengusulan rencana pengelolaan, dan menyerahkan masalah kedaulatan wilayah teritorial hanya pada setingkat Peraturan Pemerintah. Munculnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 ini merupakan inisiatif pemerintah (dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan) karena melihat persoalan bahwa pengelolaan wilayah pesisir, memerlukan pengaturan secara terpadu agar potensi sumberdaya pesisir yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan bagi pembangunan daerah dan nasional secara berkelanjutan. Pembangunan tersebut tidak boleh mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan sumberdaya pesisir generasi saat ini, yang diyakini bangsa Indonesia, oleh karena pentingnya pengaturan mengenai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka diperlukan adanya regulasi yang mengatur tentang hal tersebut. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berbunyi: “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”. Sedangkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menurut Pasal 1 angka (2) undang-undang No 32 tahun 2009 adalah:
58
“Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum”.
Mencermati hal tersebut, sudah seharusnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 ini mengedepankan prinsip perlindungan dan perlakuan khusus terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan berlandaskan pada pemenuhan hak konstitusional setiap warga negara atas kenyamanan dan keselamatan, serta menghindari kerugian yang lebih besar pasca terjadinya bencana. Keberadaan HP-3 dinilai akan kontra produktif dengan semangat konstitusi dalam menjamin perlindungan dan keselamatan rakyat. Diberikannya jaminan perlindungan atas penguasaan kawasan rentan bencana kepada pelaku usaha dalam luasan dan waktu tertentu justru akan membatasi peran pemerintah dalam memenuhi kewajibannya. Belum lagi, tidak ada jaminan dari pemegang HP-3 untuk memenuhi tanggung-jawab mutlak (sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan hidup) atas dampak negatif yang ditimbulkan, seperti yang kerap terjadi pada sektor ekstraktif lainnya, seperti pertambangan dan kehutanan. Kebijakan sektor pesisir, ini merupakan kali pertama negara memberikan landasan hukum atas pengusaha wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Setidaknya ada tiga hal mendasar yang perlu dikaji kembali dalam pemberian hak tersebut. Pertama, aspek pemenuhan hak atas perlindungan dan keselamatan warga negara dari ancaman bencana ekologi. Sudah menjadi pengetahuan setiap orang, bahwa wilayah Indonesia terletak di sepanjang jajaran gunung api (yang dikenal
59
dengan ring of fire), serta pertemuan tiga lempeng bumi, yang secara alamiah telah menyebabkan Indonesia rawan bencana. Semua kondisi ini memberikan isyarat atas rentannya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia terhadap bencana. Kedua, menakar untuk siapa sebenarnya sertifikat HP-3 diberikan. Dengan komposisi kemiskinanan yang masih mendominasi, serta taraf pendidikan yang juga masih relatif rendah, menjadi tidak relevan bagi masyarakat nelayan dan pembudidaya tradisional untuk turut mendapatkan sertifikat HP-3 seperti yang diharapkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007. Budaya birokrasi yang rumit dan cenderung mahal mengisyaratkan penguasaan kegiatan usaha oleh pemilik modal besar justru akan mendominasi. Hal ini sejalan dengan kemudahan yang diberikan negara, dan kemampuan pemodal untuk memenuhi kebutuhan administrasi, serta teknis dan operasional yang diisyaratkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 ini sebagai pra-syarat untuk mendapatkan sertifikat HP-3. Ketiga, menakar intensitas konflik perikanan terkait hak kepemilikan. Charles dalam bukunya Sustainable Fishery Systems (2001) menyebutkan debat mengenai hak kepemilikan (property rights) mencakup pertanyaan filosofis yang telah berlangsung sejak lama mengenai aspek legal, sejarah dan/atau kepemilikan, akses dan kontrol perikanan. Konflik ini sendiri cenderung di antaranya disebabkan perbedaan kepentingan terhadap beberapa bentuk kepemilikan perikanan, di antaranya open-access, manajemen terpusat, hak pengelolaan kawasan, pengelolaan berbasis masyarakat, kuota individu, dan privatisasi. Keberadaan HP-3 di sela-sela mekanisme pengelolaan yang masih
60
bernuansa sektoral, upaya desentralisasi, industrialisasi, serta dihadapkan pada kebutuhan atas pengakuan eksistensi pengelolaan masyarakat, justru akan menjadi stimulus dalam meningkatnya intensitas konflik terkait hak kepemilikan. Apalagi, dengan keistimewaan yang dimiliki oleh sertifikat HP-3 yang dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan ke bank (Pasal 20 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007). Pemberian Hak pengusahaan parairan pesisir atau HP-3, dapat menimbulkan potensi tumpang tindih HP-3 dengan pemberian hak atau perijinan oleh instansi/sektor lain, Jika obyek HP-3 dicermati, maka terdapat kerancuan atau tumpang-tindih antara obyek HP-3 tersebut dengan obyek perijinan di bidang kehutanan, pertambangan, dan pariwisata. Tumpang-tindih obyek tersebut di antaranya adalah: (1) antara HP-3 dengan perijinan bidang kehutanan yaitu tentang pemanfaatan hutan mangrove, fauna/flora yang terdapat di kawasan perairan pantai, dan penggunaan jasa lingkungan di kawasan hutan mangrove tersebut; (2) antara HP-3 dengan perijinan bidang pertambangan yaitu pemanfaatan pasir sebagai sumberdaya di kawasan pantai dan mineral dalam laut; (3) antara HP-3 dengan perijinan bidang pariwisata yaitu pengembangan wisata pantai. Di samping itu, karena luas cakupan obyek HP-3 terutama yang terkait dengan pemanfaatan daratan (permukaan bumi yang disebut tanah) maupun tubuh bumi, termasuk yang di bawah air, maka terjadi tumpang tindih dengan obyek pengaturan di bidang pertanahan. Selama ini, dalam praktik telah diberikan hak atas tanah sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
61
Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) yang dapat berupa Hak Guna Bangunan (HGB), di wilayah dermaga dan perairan pantai, rumah-rumah nelayan dan pelatarannya, bangunan-bangunan di perairan pesisir; Hak Guna Usaha (HGU) diberikan untuk budidaya perikanan pantai, keramba ikan, budidaya rumput laut, budidaya mutiara. Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil selain perencanaan dan pemanfaatan juga harus dilakukan pengawasan dan pengendalian dimana pengawasan dan pengendalian dilakukan melalui: Pemantauan dilakukan untuk mengetahui kenyataan apakah terdapat penyimpangan pelaksanaan dari rencana strategis, rencana mintakat, rencana pengelolaan, serta bagaimana implikasi penyimpangan tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem pesisir pengawasan
dilakukan oleh pejabat tertentu yang berwenwng dibidang
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengendalian dilakukan untuk mendorong agar pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir yang sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah pesisirnya. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang nomor 27 tahun 2007 yaitu: “Untuk menjamin terselenggaranya Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara terpadu dan berkelanjutan, dilakukan pengawasan dan/atau pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, oleh pejabat tertentu yang berwewenang di bidang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan sifat pekerjaaannya dan diberikan wewenang kepolisian khusus.”
62
B. PEMBAHASAN Manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa adanya tumbuhan dan binatang di sekitarnya. Komponen yang mendampingi harus ada di sekitar manusia yang sekaligus sebagai sumber mutlak kehidupannya merupakan lingkungan hidup bagi manusia. Lingkungan hidup boleh dikatakan merupakan bagian mutlak dari kehidupan manusia. Inti dari permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan benda mati, khususnya manusia dengan lingkungan disekitarnya. Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang sangat dominan peranannya dalam lingkungan hidup. Manusia dengan akal budi yang dimilikinya dapat mempengaruhi lingkungan disekitarnya dengan melakukan pencemaran, perusakan maupun pelestarian terhadap lingkungan. Pencemaran dan perusakan lingkungan menimbulkan masalah bagi masyarakat yang perlu dicegah dan ditangani, hal ini disebabkan oleh kemiskinan dan kurangnya pengetahuan serta akibat negatif dari pelaksanaan pembangunan. Penguasa dalam hal ini pemerintah, perlu turun tangan mengatur dan mengendalikan perilaku seseorang agar tetap berada dalam batas-batas yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, yaitu kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup yang lainnya.44 Hukum lingkungan menetapkan ketentuan-ketentuan dan norma-norma untuk mengatur tindakan atau perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari pencemaran dan perusakan agar lingkungan terjaga sehingga
44
. Siti Sundari Rangkuti, Op Cit, hal 115.
63
dapat digunakan oleh generasi mendatang. Penegakan hukum lingkungan dilakukan melalui instrumen hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi. Hukum lingkungan menyangkut penetapan nilai-nilai, yaitu nilai-nilai yang berlaku dan nilai-nilai yang diharapkan diberlakukan dimasa mendatang sehingga dapat disebut hukum yang mengatur tatanan lingkungan hidup. Hukum lingkungan mempunyai kedudukan dan arti penting dalam menyelesaikan masalah lingkungan yang menjadi dasar yuridis bagi pelaksanaan kebijakan-kebijakan sebagaimana telah dirumuskan oleh pemerintah dalam peraturan perundangundangan. Pemerintah dalam menegakkan hukum lingkungan dengan menetapkan peraturan di bidang lingkungan hidup yang merupakan sebagai dasar pelaksanaan kebijakan pemerintah dibidang lingkungan hidup. Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup yang berfungsi sebagai ”payung hukum” (umbrella provesion) bagi peraturan perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup di Indonesia. Perumus undang-undang menyadari betapa vitalnya lingkungan hidup dengan segala komponennya bagi eksistensi sebuah negara, bahkan harus disadari bahwa vitalitas lingkungan hidup memberikan dampak positif dan berganda bagi kelangsungan dan keberhasilan pembangunan.45 Wewenang yang dimiliki pemerintah berdasarkan peraturan perundangan merupakan bentuk tanggung
45
N.H.T. Siahaan, Op Cit, hal 230.
64
jawab negara terhadap hak warga negaranya untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 pada bab XA yang mengatur mengenai hak asasi manusia Pasal 28H ayat (1) menyatakan bahwa: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Berdasarkan
amanat
Undang-Undang
Dasar
tersebut
memberikan
konsekwensi bahwa pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan publik dalam pengelolaan lingkungan hidup termasuk didalamnya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil karena permasalahan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil salah satunya adalah masalah lingkungan. Konsekwensi hukum muncul karena dengan adanya pasal tersebut paka pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggung jawab agar masyarakat memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat perlu dimengerti secara yuridis dan diwujudkan melalui sarana hukum sebagai upaya perlindungan hukum bagi warga masyarakat dibidang lingkungan hidup.46 Pengaturan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat ke dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara indonesia, hal ini merupakan kemajuan dalam penegakan hukum lingkungan karena sebelumnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat hanya diatur pada tingkat undang-
46
Siti Sundari Rangkuti, op. cit, hal 175
65
undang yaitu diatur dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa: ”Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat” Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
sebagai payung hukum penegakan hak asasi manusia di Indonesia dalam Pasal 9 Ayat (3) bab ketiga bagian kesatu yang mengatur tentang hak hidup menjelaskan bahwa. ”Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.
Pasal 65 Ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menyebutkan bahwa. ”Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia” Setiap warga negara berdasarkan peraturan tersebut maka berhak memperoleh hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat maka konsekwensi hukum bagi pemerintah baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif berkewajiban menjaga lingkungan hidup agar berfungsi sebagaimana mestinya sesuai dengan kewenangan dan tugas masing-masing. Pemerintah selaku pihak eksekutif memiliki wewenang dalam menjaga fungsi lingkungan hidup, dalam ketatanegaraan Indonesia Presiden berkedudukan sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Presiden dalam menjalankan
66
tugasnya dibantu oleh menteri-menteri sesuai dengan ketentuan Pasal 17 bab V Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: 1) 2) 3) 4)
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu daingkat dan diberhentikan oleh presiden. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementrian negara diatur dalam undang-undang.
Dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia Presiden dibantu oleh menteri negara lingkungan hidup, mengenai pengertian kementrian negara diatur dalam Pasal 16 Keptsan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara menerangkan bahwa menteri negara lingkungan hidup mempunyai tugas membantu presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 dalam Pasal 18 menteri negara lingkungan hidup mempunyai kewenangan: a. Menetapkan kebijakan lingkungan hidup untuk mendukung pembangunan secara makro. b. Penetapan pedoman untuk menentukan standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota di bidang lingkungan hidup. c. Penyusunan rencana nasional secara makro dibidang lingkungan hidup. d. Pembinaan dan pengawasaan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, arahan, supervisi di bidang lingkungan hidup. Dengan demikian kewenangan yang dimiliki memteri negara lingkungan hidup memiliki luas ruang lingkup tugas koordinatif, sehingga diperlukan kerjasama yang serasi dan terpadu antar departemen dan lembaga pemerintah non departemen yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
67
Pengelolaan lingkungan hidup perlu dilakukan secara dini agar pembangunan yang semakin gencar dilaksanakan dapat memanfaatkan lingkungan hidup, untuk itu perlu dilakukan penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup. Tanpa adanya pengelolaan lingkungan secara dini akan mudah terjadi konflik antara lingkungan dan pembangunan, sehingga timbul kesan bahwa pengelolaan lingkungan bukan pendukung pembangunan tapi penghambat pembangunan. Demikian juga dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu dilakukan secara dini agar tidak mudah terjadi konflik baik konflik yang timbul antara pembangunan dan lingkungan ataupun konflik antar sektor dan supaya tidak terjadi tumpang tindih peraturan hukum. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai payung hukum yang mengatur mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan undang-undang tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha. Sesuai dengan tujuan undang-undang tersebut. Merumuskan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ke dalam undang-undang merupakan hal yang penting agar permasalahan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dikurangi dan teratasi dampak negatifnya.
68
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan upaya pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 1 angka 2 UndangUndang
Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup,
menerangkan bahwa: “Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan, penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup” Yang kemudian digantikan dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menerangkan bahwa: “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.” Hakekat pengelolaan lingkungan bukan hanya mengatur lingkungannya, tetapi termasuk mengatur dan mengendalikan berbagai kegiatan manusia agar berlangsung dan berdampak dalam batas kemampuan dan
keterbatasan
lingkungan untuk mendukungnya,47 oleh karena itu manusia perlu secara rutin mengelola lingkungan hidup, agar dapat memanfaatkan lingkungan secara optimal. Pengelolaan lingkungan perlu dilakukan secara dini agar pembangunan yang semakin gencar dilaksanakan dapat memanfaatkan lingkungan hidup, untuk itu diperlukan penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup. Tanpa adanya pengelolaan lingkungan secara 47
Valentinus Darsono, Op cit, halaman 41
69
dini akan mudah timbul konflik antara lingkungan dan pembangunan, sehingga timbul kesan bahwa pengelolaan lingkungan bukan pendukung pembangunan tapi penghambat pembangunan.48 Pengertian pesisir dan pulau-pulau kecil secara yuridis terdapat dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan pulau-Pulau Kecil Pasal 1 Angka 2 dan 3: “Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.” “Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.” Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut (intrusi) yang dicirikan oleh vegetasinya yang khas, sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar daripada daerah paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.49 Berdasarkan batasan tersebut di atas, beberapa ekosistem wilayah pesisir yang khas seperti estuaria, delta, laguna, terumbu karang (coral reef), padang lamun (seagrass), hutan mangrove, hutan rawa, dan bukit pasir (sand dune)
48 49
Ibid, halaman 43
Bengen, D.G. Menuju Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis DAS. Seminar HUT LIPI, Jakarta, 25-26 September 2002.
70
tercakup dalam wilayah ini. Luas suatu wilayah pesisir sangat tergantung pada struktur geologi yang dicirikan oleh topografi dari wilayah yang membentuk tipetipe wilayah pesisir tersebut. Wilayah pesisir yang berhubungan dengan tepi benua yang meluas (trailing edge) mempunyai konfigurasi yang landai dan luas. Ke arah darat dari garis pantai terbentang ekosistem payau yang landai dan ke arah laut terdapat paparan benua yang luas. Bagi wilayah pesisir yang berhubungan dengan tepi benua patahan atau tubrukan (collision edge), dataran pesisirnya sempit, curam dan berbukit-bukit, sementara jangkauan paparan benuanya ke arah laut juga sempit. Mendasarkan pada batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan (interface) antara daratan dan laut, oleh karena itu, wilayah pesisir merupakan ekosisitem khas yang kaya akan sumberdaya alam baik sumber daya alam dapat pulih (renewable resources) seperti ikan, terumbu karang, hutan mangrove, dan sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable resources) seperti minyak dan gas bumi, bahan tambang dan mineral lainnya. Selain itu, wilayah pesisir juga memiliki potensi energi kelautan yang cukup potensial seperti gelombang, pasang surut, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), serta memiliki potensi jasa-jasa lingkungan (environmental services) seperti media transportasi, keindahan alam untuk kegiatan pariwisata, dan lain-lain Pulau kecil dapat didefinisikan sebagai pulau dengan luas 10.000 km2 atau kurang dan mempunyai penduduk 500.000 atau kurang. Pulau kecil adalah suatu wilayah dimana wilayah tersebut memiliki luas tidak lebih dari 2000 Km2
71
dan lebarnya tidak lebih dari 10 Km, sedangkan definisi untuk pulau sangat kecil yaitu wilayah yang memiliki luas tidak lebih besar dari 100 Km2 dan lebar tidak lebih dari 3 Km.50 Pulau kecil selain memiliki luas wilayah juga memiliki kekayaan sumber daya alam pesisir. Pulau-pulau kecil umumnya memiliki satu atau lebih ekosistem pesisir seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, estuaria yang semuanya bersifat alamiah. Sumber daya uang paling menonjol di pulau kecil adalah sumber daya ikan dan untuk kawasan pulau kecil sumber daya ikan ketersediaanya cukup banyak karena hal ini didukung oleh ekosistem yang beragam dan kompleks. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah pesisir Dan Pulau-Pulau kecil memberikan pengertian mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil: “Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut merupakan wewenang pemerintah yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk melakukan proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. 50
T Falkland.. Water Resources Assessment, Development and Management for Small Tropical Island. Didalam: Hehanusa PE dan Haryanti GS, editor. Water Resources Assessment in Small Island and the Coastal Zone. Jakarta: 1995, LIPI-UNESCO.
72
Perencanaan diatur melalui pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management) yang mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan (alignment) pemanfaatannya. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu (PPT) merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan sumber daya pesisir secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan antara berbagai perencanaan pembangunan dari berbagai tingkat pemerintahan; antara ekosistem darat dan laut serta antara sains dan manajemen. Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dilakukan agar dapat mengharmonisasikan antara kepentingan pembangunan ekonomi dan pelestarian sumber daya pesisir dengan memperhatikan karateristik dan keunikan wilayah pesisirnya. Perencanaan terpadu ini merupakan suatu upaya bertahap dan terprogram untuk memanfaatan sumber daya pesisir secara optimal yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomis secara berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat dengan mengendalikan dampak pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan mempertahankan kelestarian sumber dayanya. Perencanaan wilayah pesisir yang harus diatur dibagi atas empat tahapan: (1). Rencana Strategis (Strategic Plan); (2). Rencana Pemintakatan (Zoning); (3). Rencana Pengelolaan (Management Plan); dan (4). Rencana Aksi (Action Plan).seperti yang dijelaskan pada Pasal 7 Undang-Undang nomor 27 tahun 2007 mengatur tentang perencanaan yaitu: (1) Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, terdiri atas: a. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RSWP-3- K; b. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RZWP-3- K;
73
c. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RPWP-3-K; dan d. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RAPWP-3-K. (2) Norma, standar, dan pedoman penyusunan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diatur dengan Peraturan Menteri. (3) Pemerintah Daerah wajib menyusun semua rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kewenangan masing-masing. (4) Pemerintah Daerah menyusun rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil dengan melibatkan masyarakat berdasarkan norma, standar, dan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menyusun Rencana Zonasi rinci di setiap Zona Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu dalam wilayahnya.
Dalam hal pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diberikan dalam bentuk hak pengusahaan perairan pesisir atau bisa disebut HP-3 yaitu dalam Pasal 16 yang mengatur bahwa pemanfaatan perairan pesisir diberikan dalam bentuk HP-3. Penyebutan HP-3 sebagai “Hak” tidak tepat. Lebih tepat digunakan istilah “ijin” untuk memanfaatkan (dalam hal ini mengusahakan) perairan pesisir.Contoh: Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, “hak” dalam undang-undang yang lama (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967) telah dikoreksi dengan penyebutan “Ijin”, misalnya Ijin Usaha Pemanfaatan Kawasan, Ijin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu, Ijin Pemungutan Hasil Hutan Kayu, Ijin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu. Sebagai ijin pemanfaatan atau pengusahaan perairan pesisir, HP-3 selayaknya tidak dilekati dengan sifat-sifat sebagai berikut: dapat dialihkan, dihibahkan, ditukarkan, disertakan sebagai modal perusahaan, dijadikan obyek
74
Hak
Tanggungan
maupun
diwariskan.
Sebab,
jika
pemanfaatan
HP-3
menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomis, HP-3 dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999. Hak pengusahaan perairan pesisir atau HP-3 seperti dijelaskan pada Pasal 16 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memberikan kesempatan pada masyarakat dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu dalam hal pemanfaatan, namun peran serta masyarakat di sini lebih terbatas terhadap mereka yang mempunyai kemampuan keuangan, sedangkan masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan keuangan tidak bisa berperan dalam pengelolaan pesisir dan pulaupulau kecil tersebut. Mengenai fungsi peran serta masyarakat di bidang lingkungan hidup, Koesnadi Hardjosoemantri mengemukakan: Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup mempunyai jangkauan luas. Peran serta tersebut tidak hanya meliputi peranserta individu yang terkena berbagai peraturan atau keputusan administratif, akan tetapi meliputi pula peranserta kelompok dan organisasi dalam masyarakat. Peranserta efektif dapat melampaui kemampuan orang-seorang, baik dari sudut kemampuan keuangan maupun dari sudut kemampuan pengetahuannya, sehingga peranserta kelompok dan organisasi sangat diperlukan, terutama yang bergerak di bidang lingkungan hidup51. Pasal 12 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang UUPPLH menjelaskan mengenai pemanfaatan yaitu:
“Pemanfaatan sumberdaya alam
dilakukan berdasarkan RPPLH”. RPPLH sendiri adalah perencanaan perlindungan
51
Koesnadi Hardjasoemantri, aspek hokum peranserta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, universitas gajah mada,1985 hal 2
75
dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan melalui tahapan sebagai berikut, inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion, dan penyusunan RPPLH, hal ini sesuan dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tenteng UUPPL. Dalam
pemberian
hak
pengusahaan
perairan
pesisir
seharusnya
memperhatikan perencanaan perlindungan, dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu melakukan inventarisasi lingkungan hidup, penetapan ekoregion, dan penyusunan RPPLH, karena dalam suatu wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terdapat satu atau lebih system lingkungan (ekosistem) dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami atau buatan, dan sumberdaya pesisir terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih dan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih.52 Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang UUPPLH menjelaskan bahwa: “Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan:” a. keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup; b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat. Demikian juga dalam hal pemberian hak pengusahaan wilayah perairan pesisir seperti yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil harus tetap memperhatikan hal-hal diatas Pasal 17 ayat (2) menjelaskan bahwa:
52
Rokmin dahuri, pengelolaan wilayah pesisir dan lautan terpadu,, pradnya paramita hal 11
76
“Pemberian HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kepentingan kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat Adat, dan kepentingan nasional serta hak lintas damai bagi kapal asing.” Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang melibatkan dua eosistem atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu (integrated) guna mencapai pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengandung tiga dimensi, sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis. Menurut Rokhmin Dahuri definisi dan pengertian Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dengan menggunakan beberapa pemahaman: a. “Proses Pengelolaan yang mempertimbangkan hubungan timbal balik antara kegiatan pembangunan (manusia) yang terdapat diwilayah pesisir dan lingkungan alam (ekosistem) yang secara potensial terkena dampak kegiatan-kegiatan tersebut. b. “adalah suatu proses penyusunan dan pengambilan keputusan secara rasional tentang pemanfaatan wilayah pesisir beserta segenap sumberdaya alam yang terkandung didalamnya secara berkelanjutan”. c.
“Suatu proses kontinu dan dinamis dalam penyusunan dan pengambilan keputusan tentang pemanfaatan berkelanjutan dari wilayah pesisir beserta segenap sumberdaya alam yang terdapat didalamnya”.
77
d. “Suatu
proses
kontinu
dan
dinamis
yang
mempersatukan/
mengharmoniskan kepentingan antara berbagai stakeholders (pemerintah, swasta, masyarakat lokal dan LSM); dan kepentingan ilmiah dengan pengelolaan pembangunan dalam menyusun dan mengimplementasikan suatu rencana terpadu untuk membangun (memanfaatkan) dan melindungi ekosistem pesisir beserta segenap sumberdaya alam yang terdapat didalamnya, bagi kemakmuran/kesejahteraan umat manusia secara adil dan berkelanjutan. Dalam pemberian hak pengusahaan perairan pesisir atau HP-3 diberikan kepada: orang perseorangan warga Negara Indonesia, badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia, dan masyarakat adat, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam pasal ini mesyarakat diberikan peranserta dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil melalui HP-3. Dalam pandangan ekologi politik, menempatkan masyarakat adat, individu, dan sektor swasta untuk berkompetisi mendapatkan hak pengusahaan, seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, adalah sebuah kekeliruan mendasar negara dalam memahami dan menafsirkan kehendak penghormatan dan pemenuhan hak adat. Belum lagi, jika terbukti objek yang dikompetisikan dalam pemberian hak tersebut adalah ruang hidup dan penghidupan masyarakat adat yang telah berlangsung dalam waktu yang panjang.
78
Dalam kondisi demikian, dapat-lah dipastikan, pemenuhan hak akses dan kontrol masyarakat adat terhadap sumberdaya alam semakin sulit untuk terpenuhi. Hak atas sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai bagian dari hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) masyarakat, membebankan kewajiban kepada pemerintah untuk memastikan hak tersebut terpenuhi dengan cara melakukan berbagai upaya sehingga secara bertahap (progressive realization approach) hak-hak Ekosob terpenuhi, termasuk dengan melakukan affirmative action. Sementara, ketentuan di Pasal 18 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, sama sekali tidak sesuai dengan prinsip affirmative action ini, oleh karena prinsip yang seharusnya adalah equal treatment of equals and unequal treatment of unequals in proportion to the inequality. Menempatkan masyarakat hukum adat untuk berkompetisi dengan swasta, bila merujuk pada prinsip tersebut di atas, dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM. Seharusnyalah masyarakat hukum adat (yang notabene lebih lemah atau lebih rentan) diperlakukan berdasarkan prinsip affirmative action. Hak pengusahaan perairan pesisir diberikan dalam jangka waktu 20 tahun, selanjutnya dapat diperpanjang kembali untuk yang pertama selama 20 tahun, dan dapat diperpanjang kembali untuk yang kedua kalinya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal tersbut diatur dalam Pasal 19 Udang-Undang Nomor 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Dengan kondisi ini, sesungguhnya masyarakat adat tidak-lah berdaulat atas sumberdaya alam dan relasi sosio-ekologisya. Namun justru, telah ditunggangi oleh otoritas kekuasaan yang jauh lebih besar dari kemampuan masyarakat adat untuk
79
meninjaunya, dari sinilah etnosida kultural berawal. Di saat terjadinya tindakan sistemik negara untuk menghilangkan integritas masyarakat adat dari nilai-nilai kultural yang dijalankannya, tindakan yang berupaya mencerabut masyarakat adat dari ruang hidup dan sumberdayanya, serta pemaksaan menggunakan cara-cara hukum, administratif, dan cara-cara lainnya guna mengilfiltrasi kebudayaan, cara hidup, dan model pengelolaan yang diyakini oleh suatu komunitas masyarakat adat. Dengan pemberian waktu yang begitu panjang kepada pemegang hak pengasuhan perairan pesisir juga dapat mengakibatkan eksploitasi yang terusmenerus dan pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan yang berdampak pada rusaknya ekosistem yang ada. Dengan adanya kerusakan terhadap fungsi-fungsi ekosistem, kerusakan struktur dasar ekosistem seperti itu merupakan gangguan terhadap keberlangsungan dan kenyamanan hidup manusia53. Selanjutnya Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil mengatur bahwa, HP3 dapat beralih, dialihkan, dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan, mekanisme seperti ini mendorong terjadinya komersialisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, karena sertifikan HP-3 dapat diperjual-belikan dan dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan, hal tersebut justru semakin membuktikan bahwa undang-undang ini hanya berpihak pada pengusaha saja.
53
Valentinus darsona, pengantar ilmu lingkungan, universitas atmajaya, yogyakarta, hal 47
80
Jika obyek HP-3 dicermati, maka terdapat kerancuan atau tumpang-tindih antara obyek HP-3 tersebut dengan obyek perijinan di bidang kehutanan, pertambangan, dan pariwisata. Tumpang-tindih obyek tersebut di antaranya adalah: (1) antara HP-3 dengan perijinan bidang kehutanan yaitu tentang pemanfaatan hutan mangrove, fauna/flora yang terdapat di kawasan perairan pantai, dan penggunaan jasa lingkungan di kawasan hutan mangrove tersebut; (2) antara HP-3 dengan perijinan bidang pertambangan yaitu pemanfaatan pasir sebagai sumberdaya di kawasan pantai dan mineral dalam laut; (3) antara HP-3 dengan perijinan bidang pariwisata yaitu pengembangan wisata pantai. Di samping itu, karena luas cakupan obyek HP-3 terutama yang terkait dengan pemanfaatan daratan (permukaan bumi yang disebut tanah) maupun tubuh bumi, termasuk yang di bawah air, maka terjadi tumpang tindih dengan obyek pengaturan di bidang pertanahan. Selama ini, dalam praktik telah diberikan hak atas tanah sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) yang dapat berupa Hak Guna Bangunan (HGB), di wilayah dermaga dan perairan pantai, rumah-rumah nelayan dan pelatarannya, bangunan-bangunan di perairan pesisir; Hak Guna Usaha (HGU) diberikan untuk budidaya perikanan pantai, keramba ikan, budidaya rumput laut, budidaya mutiara. Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil selain perencanaan dan pemanfaatan juga harus dilakukan pengawasan dan pengendalian dimana pengawasan dan pengendalian dilakukan melalui: Pemantauan dan pengawasan
dilakukan
untuk
mengetahui
kenyataan
apakah
terdapat
81
penyimpangan pelaksanaan dari rencana strategis, rencana mintakat, rencana pengelolaan, serta bagaimana implikasi penyimpangan tersebut terhadap perubahan kualitas ekosistem pesisir pengawasan dilakukan oleh pejabat tertentu yang berwenwng dibidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengendalian dilakukan untuk mendorong agar pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir yang sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah pesisirnya. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang nomor 27 tahun 2007 yaitu: “Untuk menjamin terselenggaranya Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara terpadu dan berkelanjutan, dilakukan pengawasan dan/atau pengendalian terhadap pelaksanaan ketentuan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, oleh pejabat tertentu yang berwewenang di bidang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan sifat pekerjaaannya dan diberikan wewenang kepolisian khusus.”
Apabila terjadi sengketa dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil maka penyelesaian sengketa dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Terhadap penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku untuk tindak pidana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dimana dalam hal penyelesaiannya dapat mengunakan pihak ketiga untuk membantu penyelesaian sengketa. Hasil kesepakatan penyelesaian harus dibuat secara tertulis dan mengikat para pihak. Terhadap penyelesaian sengketa melalui pengadilan, apabila sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, pengadilan membebankan kewajiban kepada setiap orang dan/atau penanggung jawab kegiatan yang telah merusak WP3K untuk melakukan dan membayar biaya untuk rehabilitasi dan pemulihan kondisi WP3K. Selain itu, hakim dapat menetapkan
82
sita jaminan dan uang paksa apabila keterlambatan pembayaran rehabilitasi dan pemulihan kondisi WP3K.
Masyarakat atau organisasi kemasyarakatan (“Ormas”) dapat mengajukan gugatan perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan. Ormas yang dapat mengajukan gugatan apabila sudah memenuhi ketentuan organisasi kemasyarkatan sesuai UU WP3K. Tuntutan oleh Ormas hanya sebatas tuntutan untuk melakukan tindakan rehabilitasi dan pemulihan kondisi WP3K tanpa ada tuntutan ganti rugi.
UU WP3K mengatur sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan sementara, denda administratif, dan/atau pencabutan HP-3 apabila telah melanggar mengenai persyaratan HP-3. Pengelolaan WP3K yang tidak sesuai dengan dokumen perencanaan, maka pemerintah dapat melakukan pembekuan sementara bantuan melalui akreditasi dan/atau pencabutan tetap akreditasi program. Selain sanksi administratif, UU WP3K mempunyai ketentuan pidana berupa pidana penjara dan denda. Ancaman pidana penjara paling lambat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 2.000.0000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.0000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) bagi setiap orang perorangan dan/atau badan hukum (“Orang”) yang dengan sengaja melakukan:
1. Kegiatan menambang terumbu karang, mengambil terumbu karang di kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan beracun dan/atau cara lain yang dapat merusak ekosistem terumbu karang.
83
2. Menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove, konversi ekosistem mangrove, menebang pohon mangrove untuk kegiatan perindustrian dan pemukiman dan/atau kegiatan lain yang dilarang dalam UU WP3K. 3. Mengunakan cara dan metode yang merusak padang lamun. 4. Penambangan minyak dan gas yang dilarang dalam UU WP3K. 5. Penambangan mineral yang dilarang dalam UU WP3K. 6. Pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan dan/atau merugikan masyarakat. 7. Tidak melaksanakan mitigasi bencana WP3K yang diakibatkan oleh alam dan/atau Orang sehingga mengakibatkan bencana, atau dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan kerentanan bencana.
Apabila kelalaian dari kegiatan tersebut sehingga mengakibatkan kerusakan, dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta), untuk setiap Orang yang karena kelalaiannya tidak melaksanakan kewajiban rehabilitasi dan/atau reklamasi, dan melakukan kegiatan usaha di wilayah pesisir tanpa hak dan/atau tidak melaksanakan kewajiban dari persyaratan operasional, sesuai dengan ketentuan dalam UU WP3K.
84
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seharusnya dilakukan dengan sungguh dan senantiasa untuk menjaga keberlangsungan ekosistem dan sumberdaya yang ada dan semata-mata demi kesejahteraan masyarakat, bukan untuk sekedar memakmurkan segelintir orang saja. Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembentukan Undang-Undang nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
85
BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh simpulan, bahwa perlindungan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diatur dalam Pasal 16 s/d Pasal 20 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yaitu: : pemanfaatan diberikan dalam bentuk HP-3 meliputi permukaan laut dan kolam air sampai dengan permukaan dasar laut, HP-3 diberikan dalam luasan dan waktu tertentu, wajib memperhatikan kelestarian ekosistem, masyarakat adat, kepentingan nasional, serta hak lintas damai bagi kapal asing, HP-3 diberikan kepada orang perorangan, badah hukum, dan masyarakat adat, diberikan untuk jangka waktu 20 tahun dan dapat diperpanjang sampai dua kali, HP-3 dapat beralih, dialihkan dan dijadikan jaminan utang. Namun pemberian HP-3 menimbulan banyak permasalahan dan cenderung lebih berpihak kepada pengusaha dan dikawatirkan terjadi penyimpang dalam pelaksaannya sehingga berdampak pada kelestarian ekosisitem yang ada dan berdampak pada pencabutan hak-hak masyarakat pesisir dalam mengakses sumberdaya baik di permukaan laut, badan air maupun di bawah dasar laut. Maka perlu adanya pengawasan dan pengendalian oleh pemerintah.
86
B. Saran 1. Segera dibentuk peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Hak Pengusahaan pesisir dan pulau-pulau kecil 2. Dalam hal pemberian izin HP-3 harus mempertimbangkan hak hidup yang sehat dan kepentingan masyarakat pada umumnya, dan memperhatikan kelestarian pada khususnya. Apabila terjadi penyimpangan dalam pelaksananny maka pemegang HP-3 harus dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang ada.
87
DAFTAR PUSTAKA Buku: Danusaputro, Moenadjat, 1994, Ekologi Lingkungan dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta. Darsono, Valentinus, 1995, Pengantar Ilmu Lingkungan, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta. Hamzah, Andi, 1997, Penegakan Hukum Lingkungan, CV Sapta Artha Jaya, Jakarta. Hardjasoemantri, Koesnadi, 1997, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Kartono, Abdul Azis Nasihuddin, 2002, Diktat Kuliah Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Manik, Karden E. S., 2003,. Pengelolaan Lingkungan Hidup, Djambatan, Jakarta. Moestadji, 1994, Jurnal Hukum Lingkungan : Peranan Hukum dalam Mewujudkan Konsep Pembangunan yang berkelanjutan, ICEL, Jakarta. Pramono, Edy dkk, 2003, Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Rangkuti, Siti Sundari, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya. Siahaan, N.H.T., 2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Erlangga, Jakarta. Soejono, 1995, Hukum Lingkungan dan Peranannya dalam Pembangunan, Rineka Cipta, Jakarta. Soemartono, R. M. Gatot P. 1996, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Soemarwoto, Otto, 1994 Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djembatan, Jakarta.
88
Soemarwoto, Otto, 2001 Atur-Diri-Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gajah Mada University Perss, Yogyakarta, cetakan kadua Soemitro, Ronny Hanitijo, 1983, Indonesia, Jakarta.
Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia
Sunggono, Bambang, 2005, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Suparni, Niniek, 1994, Pelestarian Pengelolaan dan penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta. Usman, Rachmadi, 2000, Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung. Artikel: Kristianto, Erwin Dwi, Perdiksi HAM 2009-2010 Tahun dimana Konflik Pesisir akan Membuncah, Semarang, LBH Semarang, 2009. Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil