PROBLEMATIKA PERNIKAHAN MELANGKAHI KAKAK DALAM ADAT BETAWI (Telaah Etnografi Hukum Islam di Kelurahan Pondok Karya Tangerang Selatan) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh Hendrawan NIM: 1111044100049
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (SAS) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
ABSTRAK Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam adat perkawinan pada masyarakat Pondok Karya Tangerang Selatan terdapat adat yang apabila seseorang ingin menikah akan tetapi terdapat kakaknya yang belum menikah, maka orang itu harus menunggu kakaknya menikah terlebih dahulu atau dapat menikah mendahului kakaknya dengan syarat orang yang ingin melangkahi kakaknya harus memberikan sesuatu berupa uang atau barang kepada kakaknya. Menurut tokoh adat bahwa pelangkah itu diharuskan, untuk menjaga hubungan baik kepada kakaknya. Namun jika pelangkah itu memberatkan atau menghalangi adiknya untuk menikah, tokoh adat mengungkapkan bahwa hal itu tidak dibenarkan karena pelangkah tidak bisa diminta dengan nominal tertentu atau barang tertentu, hanya kesadaran adiknya saja. Sejalan dengan pendapat tokoh adat, tokoh ulama mengungkapkan bahwa pelangkah boleh saja diberlakukan atas dasar kaidah ْوه َ ال َعا َدهْ َع َدakan tetapi hal itu tidak menjadi sebuah keharusan. Sumber data primer diperoleh dari wawancara dan sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku, majalah, jurnal-jurnal, dll. Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis penelitian lapangan (Field Research). Pendekatan penelitian yang dilakukan penulis menggunakan deskriptif kualitatif. Pengumpulan data yang dilakukan penulis untuk mendapatkan dan memahami gambaran serta realita yang ada, penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara, observasi dan dokumen. Dari data yang telah terkumpul kemudian penulis analisis dengan menggunakan metode deskriptif. Berdasarkan data hasil penelitian, dapat penulis simpulkan bahwa adat pernikahan melangkahi kakak dapat dilestarikan karena adat pernikahan melangkahi kakak ini selain sebagai simbol identitas bangsa, dapat juga sebagai bentuk penghormatan kepada kakak yang akan dilangkahi dan sebagai penjaga hubungan baik keluarga. Meskipun harus tetap dilestarikan, akan tetapi harus ada penyaringan dan penyesuaian dengan fikih agar tidak ada pertentangan antara adat dengan fikih. Beberapa masalah adat pelangkah yang harus disaring dan disesuaikan dengan fikih diantaranya yaitu mengenai penghalangan nikah dari kakaknya kepada adiknya yang ingin menikah. Menghalangi adiknya untuk menikah itu tidak dibenarkan dalam adat dan di dalam fikih itu dapat diharamkan karena dapat menimbulkan banyak kemudharatan. Selain itu hal yang memberatkan dan menyusahkan seseorang untuk menikah harus dihapuskan juga, Kakak yang akan dilangkahi harus dapat menerima apapun pemberian adik sebagai permohonan izin untuk menikah. Tidak boleh memaksakan kemampuan adik dan tidak boleh memberatkan permintaan kepada adik. iii
ِ بِس ِم الرِح ْي ِم َّ الر ْحمَ ِن َّ اهلل ْ KATA PENGANTAR Alhamdulilah, segala puji bagi Allah tuhan semesta alam yang telah memberikan penulis banyak sekali rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Solawat beriring salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan baginda Nabi Besar Muhammad SAW, Nabi terakhir serta manusia yang paling mulia. Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis baik dari segi moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada: 1. Bapak Asep Saepudin Jahar, S.Ag., MA., Ph.D., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H., Ketua Program Studi Hukum Keluarga yang selalu memberikan pelayanan terbaik serta motivasi-motivasi kepada penulis. 3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga yang selalu memberikan pelayanan terbaik. 4. Bapak H. M. Riza Afwi, Lc., MA., Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga serta fikirannya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Perpustakaan Umum, Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Serta Lembaga Kebudayaan Betawi yang telah membantu dalam menyediakan bahan-bahan referensi skripsi ini. vii
6. Dr. H. Supriyadi Ahmad, MA., Dosen Pembimbing Akademik yang telah meluangkan waktu, tenaga serta fikirannya untuk membimbing serta memotivasi penulis. 7. Bapak H. Muslih dan Bapak Drs. KH. Hasanuddin, MM, yang telah meluangkan waktu dan fikirannya untuk menjadi narasumber skripsi ini. 8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen di Lingkungan Program Studi Hukum Keluarga yang dengan sabar telah memberikan ilmu-ilmu kepada penulis. 9. Secara Khusus penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Ayahanda Nasan dan Ibunda Sariyah yang telah memberikan dukungan moril serta materil, yang senantiasa dengan tulus memberikan motivasi dan bimbingan serta mendoakan penulis. 10. Kakak tercinta Santi dan Anih yang telah memberikan dukungan moril maupun materil. kepada keluarga besar penulis yang senantaiasa motivasi. 11. Sahabat-sahabat Peradilan Agama 2011, khususnya untuk sahabatku Andi Asyraf, Rudi Niyarto, Nadia Nur Syahidah, Mujahidah, Lilis Sumiyati, Savira Maharani, Epi Yulianti, Triana Apriyanita, Kamelia Sari, M. Irpan, M. Hira Hidayat, Taufiq rahman dan Samsul Bahri. Yang telah memberikan semangat untuk penulis. 12. Kanda-kanda dan yunda-yunda Program Studi Hukum Keluarga Bang Fajrul, Kak Novita, Kak Nita, Bang Jejen, Kak Wiwin, Kak Aulia, Kak Eka, Kak Dita dan Kak Lulu. Yang telah memberikan penulis pengalaman yang tak terlupakan.
vii
13. Adinda-adinda Program Studi Hukum Keluarga khususnya Ricky, Habibi, Dira, Eka, Tiqoh, Reza, Lia Ipeh, Aisyah, Zulfa, Jamil, Amalkan, Anisa Mutiara, Eno, Mella, Fahra, The Barbies, Nina, Mutia dan Harum yang telah memberikan pengalaman serta semangat kepada penulis. 14. Sahabat-sahabatku Filah Apriliani, Herman Bachtiar, Edi Laras Kasman, Teman-Teman Bina Karya serta Teman-Teman Ikrab. Yang telah memberikan dukungan dan semangat. 15. Tak terlupakan pula terimakasih kepada semua yang telah berjasa membantu dalam pembuatan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namun tidak mengurangi rasa terimakasih penulis yang sebesar-besarnya. Semoga segala kebaikan dan sumbangsinya dicatat sebagai amal ibadah dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Jakarta, 06 Sya’ban 1436 H. 24 Mei 2015 M.
vii
DAFTAR ISI PERSETUJUAN BIMBINGAN ...................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. ii ABSTRAK ........................................................................................................ iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................. iv KATA PENGANTAR ...................................................................................... v DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 6 D. Review Studi Terdahulu ...................................................... 8 E. Metode dan Tehnik Penelitian ............................................. 10 F. Sistematika Penulisan .......................................................... 13
BAB II
PERNIKAHAN
MENURUT
FIKIH
DAN
HUKUM
POSITIF A. Pengertian Pernikahan ......................................................... 14 B. Syarat dan Rukun Pernikahan ............................................. 18 C. Dasar Hukum Pernikahan .................................................... 25 D. Larangan Pernikahan ........................................................... 30 E. Tujuan dan Hikmah Pernikahan .......................................... 34 BAB III
PROFIL
KELURAHAN
TANGERANG SELATAN
ix
PONDOK
KARYA
A. Kondisi Geografis, Ekonomi dan Sosial .............................. 39 B. Tata Cara Pernikahan Adat Betawi ...................................... 45 BAB IV
PERNIKAHAN MELANGKAHI KAKAK MENURUT ADAT BETAWI A. Pengertian Pernikahan Melangkahi Kakak .......................... 56 B. Melangkahi dalam Adat, Fikih dan Hukum Positif ............. 57 C. Melangkahi Menurut Ulama dan Tokoh Adat Betawi ......... 63 D. Analisis Penulis .................................................................... 66
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .......................................................................... 70 B. Saran-Saran .......................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 74 LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................. 78 1. Profil Kelurahan Pondok Karya Kecamatan Pondok Aren Tangerang Selatan. 2. Wawancara dengan Ulama Tentang Pandangan Islam Mengenai Pelangkah 3. Wawancara dengan Tokoh Adat Betawi Tentang Pelangkah Menurut Adat.
ix
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk sosial. Sejak lahir di dunia, manusia telah bergaul dengan manusia lain di dalam wadah yang bernama masyarakat.1 Pergaulan dengan manusia lain itu dinamakan sebagai proses sosial. Proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama.2 Masyarakat terbentuk mulai dari individu-individu membentuk suku-suku, kemudian suku-suku membentuk menjadi berbangsa-bangsa. Hal demikian sudah dijelaskan oleh Allah SWT di dalam firmannya surat Al-Hujurat ayat 3. Dari ayat itu terlihat jelas bahwa Allah menciptakan manusia beraneka ragam dan dipersatukan menjadi satu kesatuan dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk membentuk kehidupan bersama. Di dalam kehidupan bersama, ia harus berbicara dan berbuat untuk mengembangkan kehidupan bersama selanjutnya.3 Harus ada norma yang harus dipatuhi dalam kehidupan bersama, norma-norma melekat kuat sebagai fakta di dalam realitas.4 norma-norma
1
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal.
2
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, hal. 65
3
Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 9.
1.
4
Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Penerjemah: Nurulita Yusron, (Bandung: Nusa Media, 2009), cet. 2, hal. 214.
2
tersebut dibuat menjadi hukum di dalam kehidupan bersama ditengah masyarakat, hukum adat yang merupakan kongkritisasi dari pada kesadaran hukum. Karena hukum akan efektif apabila mempunyai basis sosial yang relatif kuat. Artinya hukum adat tersebut dipatuhi oleh warga masyarakat secara sukarela. Namun tidak selalu hukum adat merupakan hukum yang sebanding atau adil.5 Indonesia adalah satu negara kepulauan di Asia Tenggara yang wilayahnya sangat
luas,
dari Sabang sampai Merauke, dengan
penduduknya yang terdiri atas berbagai suku bangsa (etnis) dengan bahasa, adat-istiadat dan budaya yang berbeda.6 Adat dapat dijumpai dalam setiap bentuk kehidupan sosial.7 Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut.8 Sikap-sikap yang mendasar dan umum yang membentuk nilainilai yang disepakati diantara anggota-anggota masyarakat.9
5
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 338-340. 6
Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan & Kehidupan Orang Betawi, (Jakarta: Masup, 2012), hal. v 7
Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis, Penerjemah: Dariyatno dan Derta Sri Widowatie, (Bandung: Nusa Media, 2008), cet. 2, hal. 65. 8
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), cet. 2, hal. 78. 9
Peter Worsley, Pengantar Sosiologi: Sebuah Pembanding, Jilid 2, Penerjemah: Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992), hal. 248.
3
Nilai-nilai memainkan peranan yang sangat penting di dalam kehidupan sosial.10 Hukum selalu mengadopsi nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, termasuk nilai-nilai adat.11 Apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum adat, maka yang mengadili adalah pengadilan adat yang bersangkutan.12 Mengenai adat, Islam sudah mengaturnya karena di dalam kehidupan tiap gerak berawal dari agama, berujung pada kebudayaan. 13 Adat sudah diatur oleh agama di dalam kaidah fiqhiyyah yang menjelaskan bahwa adat kebiasaan dapat dijadikan pertimbangan hukum. Dalam kaidah itu Islam hanya memberikan patokan dasar yang masih umum dan global. Perinciannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan manusia.14 Adat yang banyak berkembang di masyarakat dan diatur dalam hukum adat setiap daerah yaitu hukum adat mengenai perkawinan atau pernikahan. Tata tertib adat perkawinan antara masyarakat adat yang satu berbeda dengan masyarakat adat yang lain. Dikarenakan perbedaan tata
10
Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Penerjemah: Daniel Dhakidae, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), cet. 8, hal. 12. 11
Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga di Dunia Islam Kontemporer, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), cet. 1, hal. 1. 12
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), cet. 4, hal. 14-15. 13
Sidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 127. 14
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: Wahana Semesta Intermedia, 2012), cet. 2, hal. 15.
4
tertib adat, maka seringkali dalam menyelesaikan perkawinan antar adat menjadi berlarut-larut, bahkan kadang-kadang tidak tercapai kesepakatan antar kedua pihak dan menimbulkan ketegangan.15 Islam juga telah membahas mengenai tata cara pernikahan secara rinci. Berpasang-pasangan merupakan pola hidup yang ditetapkan oleh Allah SWT.16 Pernikahan di dalam Islam merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.17 Tidak hanya itu, pernikahan juga memiliki unsur-unsur ibadah. Pernikahan dapat menjaga kehormatan diri sendiri dan pasangan agar tidak terjerumus ke dalam halhal yang diharamkan.18 Melaksanakan perkawinan berarti melaksanakan sebagian dari ibadah dan berarti pula telah menyempurnakan sebagian dari agama.19 Adat pernikahan yang masih ada hingga saat ini diperlihatkan oleh adat pernikahan masyarakat Betawi. Sebagai suatu kelompok etnik, masyarakat etnik, Masyarakat Betawi pun memiliki pelbagai atribut
15
As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Kairo: Dar Al-Fath Li al-„Ilami Al-Arabiy, 2000),
16
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, hal. 12.
hal. 5.
17
M. A. Tihami, dkk, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 6. 18
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, (Damaskus: Darul Fikr, 2004),
hal. 6516. 19
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1974), hal. 5.
5
budaya sendiri sebagai manifestasi keberadaannya, termasuk adat istiadat dalam perkawinan.20 Tercantum di dalam tata cara pernikahan Adat Betawi apabila seseorang ingin menikah, akan tetapi terdapat kakaknya yang belum menikah, maka orang tersebut tidak boleh menikah sebelum kakaknya menikah atau orang tersebut harus memberikan sesuatu, permintaan dari kakaknya agar kakaknya dapat memberi izin untuk menikah. Di dalam adat betawi hal ini dinamakan Pelangkah atau pelangke.21 Pernikahan melangkahi kakak di dalam adat betawi merupakan penghalangan pernikahan bagi seseorang yang ingin menikah, akan tetapi di dalam fikih pernikahan melangkahi kakak tidak dinyatakan sebagai penghalangan nikah. Melihat dari permasalahan di atas, penulis menganggap perlu adanya
penelitian
lebih
lanjut
bagaimanakah
fikih
menyikapi
permasalahan hukum adat seperti itu. Dari uraian yang sudah dipaparkan maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini ke dalam sebuah skripsi yang berjudul “PROBLEMATIKA PERNIKAHAN MELANGKAHI
KAKAK
DALAM
ADAT
BETAWI
(Telaah
Etnografi Hukum Islam di Kelurahan Pondok Karya Tangerang Selatan)”.
20
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, (Jakarta: Lembaga Kebudayaan Betawi, 1994), hal. 1. 21
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2008), cet. 1, hal. 47.
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Supaya pembahasannya tidak melebar, penulis membatasi hanya membahas sekitar pernikahan melangkahi kakak menurut hukum adat dari adat betawi itu sendiri, pembahasan tentang uang pelangkah yang ada dalam adat apabila ingin menikah melangkahi kakaknya dan pandangan islam mengenai adat tersebut yang terjadi di Kelurahan Pondok Karya Tangerang Selatan. 2. Perumusan Masalah Sesuai dengan apa yang sudah penulis uraikan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan tersebut dalam bentuk pertanyaan dibawah ini: a. Bagaimana tata cara pernikahan melangkahi kakak dalam adat betawi di Kelurahan Pondok Karya, Tangerang Selatan, Banten? b. Bagaimana pandangan tokoh adat dan ulama Kelurahan Pondok Karya Tangerang Selatan Banten, terhadap pernikahan melangkahi kakak? c. Bagaimana
pandangan
Hukum
Islam
terhadap
pernikahan
melangkahi kakak? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan suatu penelitian adalah mengungkapkan secara jelas apa yang ingin dicapai dalam penelitian yang akan dilakukan. Dari definisi tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:
7
1. Mengetahui tradisi pernikahan Adat Betawi di Kelurahan Pondok Karya, Tangerang Selatan, Banten. 2. Mengetahui pandangan masyarakat mengenai menghalang-halangi pernikahan dalam konteks melangkahi kakak. 3. Mengetahui pandangan Hukum Islam mengenai tradisi pernikahan melangkahi kakak. Sejalan dengan tujuan penelitian maka penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: 1. Secara teoritis a. Menambah khazanah ilmu agama Islam mengenai pernikahan. b. Menambah pengetahuan tentang hukum adat Betawi khususnya mengenai pernikahan. c. Memberi bahan masukan dan/atau dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk mengembangkan adat khususnya pernikahan. 2. Secara praktis a. Menginformasikan
masalah-masalah
yang
timbul
dalam
masyarakat mengenai hukum Islam. b. Memberikan solusi sehubungan dengan permasalah pernikahan adat. D. Review Studi Terdahulu Tinjauan pustaka adalah kajian literatur yang relevan dengan pokok bahasan penelitian yang akan dilakukan, atau bahkan memberikan
8
inspirasi dan mendasari dilakukannya penelitian.22 Penulis menemukan karya, yaitu: 1. Dalam Skripsi Karangan Muhammad Syarif yang berjudul: “Larangan Melangkahi Kakak Dalam Perkawinan Adat Mandailing (Desa Sirambas Kecamatan Panyabungan Barat Mandailing Natal)” skripsi ini menjelaskan proses dan tata cara pernikahan Desa Sirambas Kecamatan Panyabungan Barat Mandailing Natal dan menjelaskan mengenai adat pernikahan melangkahi kakak yang ada di daerah itu. 2. Dalam Skripsi Karangan Nur Faizah yang berjudul: “Pernikahan Melangkahi Kakak Menurut Adat Sunda (Studi di Desa Cijurey Sukabumi Jawa Barat)” Skripsi ini menjelaskan proses dan tata cara pernikahan adat sunda di Desa Cijurey Sukabumi Jawa Barat dan menjelaskan mengenai adat pernkahan melangkahi kakak yang ada di daerah itu. 3. Dalam Skripsi Karangan Ahmad Fauji yang berjudul: “Respon Masyarakat Kelurahan Pasirputih Kecamatan Sawangan Kota Depok Terhadap Nikah Dengan Melangkahi Kakak Kandung” Skripsi ini menjelaskan tanggapan masyarakat Kelurahan Pasirputih Kecamatan Sawangan Kota Depok mengenai pernikahan dengan melangkahi kakak kandung. Pembahasan mengenai pernikahan melangkahi kakak memang sudah dibahas oleh beberapa skripsi di atas. Pada pembahasan yang akan 22
Huzaemah T. Yanggo, (ed.), Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, (Jakarta: IIQ Press, 2011), cet. ke-2, hal. 13
9
dibahas oleh penulis memang sudah di bahas oleh skripsi nomer 1 dan 2, akan tetapi penulis akan memaparkan adat istiadat dari suku yang berbeda. Antara adat istiadat di satu daerah pasti berbeda dengan daerah yang lain. Adat Sunda dan Mandailing pasti akan memiliki perbedaan dengan adat Betawi, sehingga nilai-nilai yang terkandung akan berbeda dan menciptakan sebuah hukum yang berbeda pula. Disebabkan karena tempat, keadaan dan situasi yang dialami oleh satu daerah dengan daerah yang lain berbeda. Perbedaan antara pernikahan melangkahi kakak yang ada di Adat Betawi dengan Adat Mandailing dan Adat Sunda dari segi tehnik dapat dilihat dari yang dilangkahi, kalau di dalam Adat Mandailing dan Adat Sunda berlaku hanya melangkahi kakak perempuan saja, akan tetapi di dalam Adat Betawi berlaku baik melangkahi kakak perempuan maupun kakak laki-laki. Kemudian perbedaan hukumnya antara pembahasan yang penulis bahas dengan pembahasan yang dibahas oleh skripsi nomor 1 dan 2 yaitu penulis membahas melihat dari sisi penghalangan pernikahan sedangkan pembahasan yang dibahas dalam skripsi nomor 1 dan 2, melihat dari sisi pelarangan pernikahan. Sedangkan perbedaan dengan skripsi nomer 3 yaitu sudah jelas terlihat bahwa skripsi Karangan Ahmad Fauji itu hanya membahas mengenai tanggapan masyarakat di Kelurahan Pasirputih Kecamatan Sawangan Kota Depok mengenai pernikahan dengan melangkahi kakak
10
kandung. Sedangkan yang sekarang akan penulis kaji yaitu pengetahuan hukum islam mengenai pernikahan melangkahi kakak. Dilihat dari perbedaan tersebut, maka penulis menganggap pembahasan ini masih relevan untuk dikaji kembali karena pembahasan ini masih dalam lingkup kebudayaan yang ada di indonesia. Yang bukan hanya harus kita lestarikan tetapi juga kita harus mempelajari lebih dalam apakah bertentangan dengan agama hukum islam atau tidak. E. Metode dan Tehnik Penelitian 1. Kriteria dan Sumber Data a. Data Primer Data primer diperoleh dari wawancara dengan tokoh masyarakat dan penduduk Kelurahan Pondok Karya Tangerang Selatan Banten, Al-Qur‟an, Hadits, serta Undang-undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Serta buku-buku dan data lainnya yang memuat keterangan dan penjelasan seputar tema dan pokok penjelasan. b. Data Sekunder Di dalam penelitian perlu adanya data sekunder untuk menguatkan. Bahan sekunder berupa buku-buku, makalah seminar, jurnal-jurnal, laporan penelitian, artikel, majalah, dan koran. 2. Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini merupakan jenis penelitian lapangan (Field Research),
yaitu
11
pengumpulan data langsung di lapangan untuk mendapatkan informasi mengenai objek penelitian yang akurat dan sesuai keinginan penulis. 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang dilakukan penulis dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yang merupakan metode dengan mengamati secara langsung atau menggunakan data-data berupa gambaran sebenarnya tentang Budaya Pernikahan Adat Betawi ditinjau dari Perspektif Fiqih. 4. Teknik Pengumpulan Data Cara pengumpulan data yang dilakukan penulis untuk mendapatkan dan memahami gambaran serta realita yang ada, penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut: a. Wawancara Wawancara yaitu proses tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan informan. Wawancara ini bertujuan untuk memeriksa kebenaran informasi yang diperoleh sebelumnya. b. Observasi Observasi yaitu melakukan pengamatan terhadap objek yang diteliti. Tujuan observasi ini adalah untuk informasi mengenai objek penelitian seperti apa yang terjadi pada kenyataannya. c. Dokumen
12
Dokumen yaitu sejumlah bahan bukti berupa fakta dan data yang tersimpan dalam bentuk dokumen. Dapat berbentuk dokumen pemerintahan atau swasta, dalam bentuk website, dll. 5. Analisis Data Penulis menggunakan metode deskriptif (deskriptive research) dalam proses analisa data. Penelitian deskriptif adalah hasil penelitian yang diharapkan dapat memperoleh gambaran yang jelas dan sistematis.23 Adapun teknik penulisan, penulis merujuk kepada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum” yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.24 F. Sistematika Penulisan Bab Pertama Tentang Pendahuluan dengan memuat Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode dan Tehnik Penelitian dan yang terakhir adalah Sistematika Penulisan. Bab Kedua Tentang Pernikahan Menurut Fiqih dan Hukum Positif. Pada bab ini penulis membahas secara umum tentang Pengertian
23
Joko Medikanto, Penetapan Wali Adlal (Studi Kasus Pengadilan Agama Kendal), Tesis, (Semarang, 2006), hal. 56. 24
Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum, 2012).
13
Pernikahan, Syarat dan Rukun Pernikahan, Dasar Hukum Pernikahan, Larangan Pernikahan, Tujuan dan Hikmah Pernikahan. Bab Ketiga Tentang Profil Kelurahan Pondok Karya Tangerang Selatan. Membahas tentang Kondisi Geografis, Ekonomi dan Sosial, serta Tata Cara Pernikahan Adat Betawi. Bab Keempat Tentang Pernikahan Melangkahi Kakak Menurut Adat Betawi Membahas tentang Pengertian Pernikahan Melangkahi Kakak, Melangkahi dalam Adat, Fiqih dan Hukum Positif, Melangkahi Menurut Ulama dan Tokoh Adat Betawi, serta Analisa Penulis. Bab Kelima Tentang Penutup berisi tentang kesimpulan dan saransaran.
14
BAB II PERNIKAHAN MENURUT FIQIH DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian Pernikahan Nikah secara bahasa berasal dari kata al-wath‟u ( )الىطءyang artinya hubungan badan.25 Pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nakaha ( )وكاحdan Zawãj ()زواج. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur‟an dengan arti kawin.26 Menurut syara‟ nikah artinya akad yang telah terkenal dan memenuhi rukun-rukun serta syarat-syarat untuk berkumpul.27 Seperti dalam surat An-nisa‟ ayat 3:
ْابْلَ ُكمْ ِّم َه َ ََوإِنْْ ِخفرُمْأَالَّْذُم ِسطُىاْفِيْاليَرَا َمًْفَاو ِكحُىاْ َماْط َ ًَْوثُال ْاح َدج ِ ْخفرُمْأَالَّْذَع ِدلُىاْفَ َى ِ زْ َو ُرتَا َعْفَئِن َ َالىِّ َساءْ َمثى Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang. Demikian pula banyak terdapat kata za-wa-ja dalam Al-Qur‟an dalam arti kawin, seperti pada surat al-Ahzãb ayat 37:28
25
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta : Pustaka Al-kautsar, 2006), hal. 3
26
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2011), Cet. 3, hal. 35 27
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), cet. 3, hal. 224. 28
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 35
15
َ ًْزي ٌدْ ِّمىهَاْ َوطَرا َ ض ًَْىنْ َعل َ ْز َّوجىَا َكهَاْلِ َكيْْ َالْيَ ُك َ َفَلَ َّماْل َ ...اجْأَد ِعيَائِ ِهم َ ِال ُمؤ ِمى َ يه ِ ْح َرجٌْفِيْأز َو Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan (menceraikan) istrinya; kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) mantan istriistri anak angkat mereka... Dalam masalah perkawinan, para ahli fiqh mengartikan “nikah” menurut arti kiasan, mereka berbeda pendapat tentang arti kiasan yang mereka pakai. Imam Abu Hanifah memakai arti “setubuh” sedang Imam Asy Syafi`i memakai arti “mengadakan perjanjian perikatan”.29 Arti terminologis dalam kitab-kitab terdapat beberapa rumusan yang saling melengkapi. Perbedaan perumusan tersebut disebabkan oleh berbeda dalam titik pandangan. Di kalangan ulama Syafi`iyah rumusan yang biasa dipakai adalah:30
عقد يتضمن إلباحة الوطء بلفظ اإلنكاح أو التزويج Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja. Ulama golongan Syafi`iyyah ini memberikan definisi sebagaimana disebutkan di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh
29
30
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal. 11.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 37.
16
bergaul sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak boleh bergaul.31 Para ulama Hanafiyah mendefinisikan bahwa nikah adalah sebuah akad yang memberikan hak kepemilikan untuk bersenang-senang secara sengaja. Artinya, kehalalan seorang laki-laki bersenang-senang dengan seorang perempuan yang tidak dilarang untuk dinikahi secara syariat, dengan kesengajaan.32 Ulama
kontemporer
memperluas
jangkauan
definisi
yang
disebutkan ulama terdahulu. Diantaranya sebagaimana yang disebutkan Dr. Ahmad Ghandur dalam bukunya al-Ahwal al-Syakhsiyah fi al-Tasyri’ al-Islamiy:33
ْعمدْيفيدْحلْالعشرجْتيهْالرجلْوْالمرأجْتماْيحمكْماْيرماضايْالطثع ْاالوساويْمديْالحياجْوْيجعلْلكلْمىهماْحمىقْلثلْصاحثًْوْواجثاخ ًعلي Akad yang menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan, dan menjadikan untuk kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Al-Maibari mengemukakan definisi akad nikah, sebagai berikut: akad yang mengandung kebolehan persetubuhan dengan kata nikah atau
31
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 11 32
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani,
hal. 39. 33
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 39.
17
tazwij. Kemudian definisi akad nikah yang dikemukakan oleh muhammad abu zahra, sebagai berikut: akad yang mengakibatkan hukum halal pergaulan antara laki-laki dengan perempuan dan pertolongan serta pembatasan milik, hak dan kewajiban mereka.34 Selain itu, pernikahan juga sudah diatur di dalam hukum positif di Indonesia. Konsep perkawinan yang paling ringkas tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan merupakan :35 “ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ikatan diartikan sebagai penyatuan dari dua pasang, yaitu pria dan wanita. Penyatuan itu, meliputi penyatuan lahir dan batin. Subjek dari ikatan itu, yaitu pria dan wanita. Tujuan adanya ikatan (perkawinan), yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhinya dua macam kebutuhan, yaitu kebutuhan jasmani dan rohani.36
34
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. 1. Hal. 11 35
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata: Comparative Civil Law, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2014), cet. 1, hal. 145-146. 36
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata: Comparative Civil Law, hal. 146
18
Di samping definisi yang diberikan oleh UU No. 1 Tahun 1974 tersebut di atas, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan definisi lain yang tidak mengurangi arti-arti definisi UU tersebut, namun bersifat menambah penjelasan, dengan rumusan sebagai berikut :37 “pernikahan menurut Islam yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan
ghalizhan
untuk
menaati
perintah
Allah
dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan merupakan perbuatan ibadah dalam kategori ibadah umum, dengan demikian dalam melaksanakan perkawinan harus diketahui dan dilaksanakan aturan-aturan perkawinan dalam Hukum Islam.38 Menurut penulis pernikahan adalah akad yang menimbulkan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk membentuk sebuah keluarga. B. Syarat dan Rukun Pernikahan Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah). Sedangkan syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan.39 Perkawinan mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum itu.40
37
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 40 38
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 275 39
40
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 45-49.
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 5.
19
Pembahasan mengenai rukun merupakan masalah yang serius dikalangan fuqoha.41 Terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqoha, perbedaan dikalangan ulama yang perbedaan ini tidak bersifat substansial. Perbedaan diantara pendapat tersebut disebabkan oleh karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu.42 Abdurrahman al-Jazîrî menyebutkan yang termasuk rukun adalah al-ijab dan al-qabul karena tidak ada nikah tanpa ada keduanya. Sayyid Sabiq juga menyimpulkan rukun nikah terdiri dari ijab dan qabul, sedangkan yang lain termasuk ke dalam syarat.43 Menurut ulama Hanafiyah, nikah itu terdiri dari syarat-syarat yang terkadang berhubungan dengan shigat, berhubungan dengan dua calon mempelai dan berhubungan dengan kesaksian. Menurut Syafi`iyyah melihat syarat perkawinan itu ada kalanya menyangkut sighat dan wali calon suami-isteri. Berkenaan dengan rukunnya, bagi mereka ada lima syarat yaitu calon suami-istri, wali, dua orang saksi dan sighat.44 Ulama Malikiah berpandangan rukun nikah ada lima yaitu wali, mahar, calon suami-isteri, dan sighat.45 Semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan adalah:46 41
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), hal. 4. 42
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 59 43
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, hal. 4.
44
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, hal. 4-5.
45
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, hal. 5.
20
a. Calon suami dalam keadaan muslim, merdeka, berakal, benar lakilaki, adil, tidak beristri empat, tidak memiliki hubungan mahram dengan calon istri, dan tidak sedang berihram.47 b. Calon istri beragama Islam atau ahli kitab, terang bahwa ia wanita bukan khunsa (banci), wanita itu tentu orangnya, halal bagi calon suami, wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam „iddah, tidak dipaksa/ikhtiyar dan tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.48 c. Shighat (Ijab dan Qobul) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan.49 Lafadz ijab qobul bukan kata-kata kiasan, lafadz ijab qobul tidak dikaitkan dengan syarat tertentu yang dilarang agama, lafadz ijab qobul harus terjadi pada suatu majelis dan harus segera di ucapkan setelah ijab.50 d. Wali dalam pernikahan, harus memiliki 6 syarat berikut: islam, baligh, sehat akalnya, merdeka, laki-laki dan adil.51 e. Dua orang saksi dalam kondisi muslim, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, adil, pendengaran dan penglihatannya sempurna, memahami
46
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Hal. 59 47
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Hal. 47
48
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 54-55.
49
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), hal. 382-383.
50
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Hal. 47
51
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, hal. 233.
21
bahasa yang diucapkan dalam ijab dan qobul dan tidak sedang ihram.52 Hukum positif juga telah mengatur mengenai rukun dan syarat pernikahan. Syarat-syarat sahnya perkawinan telah ditentukan di dalam Kitab Undang-Undang Perdata. Ada dua syarat sahnya perkawinan, yaitu:53 a. Syarat materiil, dan b. Syarat formil Syarat materiil, yaitu syarat yang berkaitan dengan inti atau pokok dalam melangsungkan perkawinan. Syarat ini dibagi dua macam, yaitu:54 a. Syarat materiil mutlak, dan b. Syarat materiil relatif Syarat materiil mutlak, yaitu syarat yang berkaitan dengan pribadi seseorang yang harus diindahkan untuk melangsungkan perkawinan pada umumnya.55 Syarat itu disajikan berikut ini:56 a. Asas Monogami Mutlak (Pasal 27 BW) b. Persetujuan kedua belah pihak (Pasal 28 BW)
52
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Hal. 47
53
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata: Comparative Civil Law, hal. 147. 54
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata: Comparative Civil Law, hal. 147. 55
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata: Comparative Civil Law, hal. 147. 56
Kamarusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, hal 7.
22
c. Mencapai batas umur tertentu, untuk laki-laki berumur 18 tahun sedangkan wanita berumur 15 tahun (pasal 29 BW) d. Lewat masa tunggu bagi wanita yang ingin menikah lagi, yaitu 300 hari (Pasal 34 BW) e. Memperoleh izin kawin (Pasal 35 BW) Syarat materiil relatif, yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu. Larangan itu ada tiga macam, yaitu:57 a. Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam hubungan kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan. b. Laranga kawin karena zinah; dan c. Larangan kawin untuk memperbarui perkawinan setelah adanya perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun. Syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan tata cara atau prosedur didalam pelaksanaan perkawinan. Syarat ini dibagi dua tahapan, yaitu: 58 a. Syarat-syarat
yang
harus
dipenuhi
sebelum
perkawinan
dilangsungkan; dan b. Syarta-syarat
yang
harus
dipenuhi
bersamaan
dengan
dilangsungkannya perkawinan.
57
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata : Comparative Civil Law, hal. 148. 58
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata : Comparative Civil Law, hal. 148.
23
Syarat sahnya perkawinan juga diatur dalam pasal 6 sampai dengan pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam ketentuan itu ditentukan dua syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu: 59 a. Syarat intern, dan b. Syarat ekstern. Syarat intern, yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Syarat-syarat intern itu meliputi: 60 a. Persetujuan dua belah pihak; b. Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun; c. Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun. Pengecualiannya dispensasi dari pengadilan atau camat atau bupati; d. Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin; e. Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah). Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitasformalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi: 61 a. Harus mengajukan laporan ke P3NTR (Pegawai Pencatatan Nikah dan Talak); 59
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata : Comparative Civil Law, hal. 149. 60
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata : Comparative Civil Law, hal. 149. 61
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Perbandingan Hukum Perdata : Comparative Civil Law, hal. 149.
24
b. Pengumuman, yang ditandatangani oleh pegawai pencatat. Undang-undang perkawinan menjelaskan pada pasal 2, diperinci dalam pasal 6 sampai pasal 12. Undang-undang Perkawinan dalam pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya, maka bagi umat Islam ketentuan mengenai terlaksananya akad nikah dengan baik tetap mempunyai kedudukan yang menentukan untuk sah atau tidak sahnya suatu perkawinan.62 Penjelasan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini.63 . UU Perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun perkawinan.
KHI
secara
jelas
membicarakan
rukun
perkawinan
sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 14, yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqh Syafi`iy dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun.64 62
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 63. 63
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978),
hal. 16. 64
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 61.
25
Melihat pentingnya rukun pernikahan karena tanpa adanya rukun akan mengakibatkan tidak sahnya suatu pernikahan. Untuk menjaga sakralnya sebuah pernikahan maka penulis setuju dengan apa yang diungkapkan oleh kelompok Syafi`iyyah bahwa rukun terdiri atas calon suami-istri, wali, dua orang saksi dan sighat. C. Dasar Hukum Pernikahan Negara seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat.65 Presiden RI telah mensahkan suatu Undang-undang Nasional yaitu Undang-undang No.1 Tahun 1974 dengan peraturan pelaksanaannya PP. No. 9 Tahun 1975. Maka segenap warganegara Indonesia yang ingin melangsungkan suatu perkawinan berlakulah Undang-undang tersebut.66 Melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak boleh, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah boleh atau mubah.67 Asal hukum melakukan perkawinan, menurut pendapat sebagian sarjana hukum Islam adalah
65
Sudarsono, Hukum Kekeluargaan Nasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), hal. 162.
66
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, hal.
15. 67
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, hal. 43.
26
Ibahah atau kebolehan atau halal.68 Pendapat ini sejalan dengan pendapat dari Imam Syafi`i. Imam Syafi`i memandang bahwa menikah hukumnya mubah. Alasan yang dipegang oleh golongan ini ialah bahwa dalam ayat 3 surat an-Niŝa‟, Allah menyerahkan kepada kita untuk memperoleh wanita dengan jalan menikah atau dengan jalan tasarrî. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jalan itu sama derajatnya. Menurut Ijma`, tasarrî hukumnya mubah. Jadi, menikah juga hukumnya mubah.69 Menurut perspektif fikih, nikah disyariatkan dalam Islam berdasarkan Al-Qur‟an, as-Sunnah dan Ijma`. Ayat yang menunjukkan nikah disyariatkan adalah firman Allah dalam Surah an-Nûr (24): 32, berikut:70
ِين ِمنأ عِ َبا ِد ُك أم َوإِ َما ِئ ُك أم إِن َ َوأَنكِحُ وا أاْلَ َيا َمى مِن ُك أم َوالصَّالِح َّ َي ُكو ُنوا فُ َق َراء ي أُغن ِِه ُم َّللاُ مِن َفضأ لِ ِه Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (untuk kawin) di antara hambahamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya. Tentang hukum melakukan perkawinan, Ibnu Rusyd menjelaskan: segolongan fuqoha, yakni jumhur berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnat. Golongan Zahiriyah berpendapat bahwa nikah itu wajib. Para 68
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam, hal. 49.
69
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hal. 134. 70
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008), hal. 4-5.
27
ulama Malikiyah mutaakhkhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnat untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain.71 Hukum nikah sangat
erat hubungannya
dengan mukallaf
(pelakunya).72 Dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunat, haram, makruh ataupun mubah.73 1. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Wajib Orang yang diwajibkan kawin, ialah orang yang sanggup untuk kawin, sedang ia khawatir terhadap dirinya akan melakukan perbuatan yang dilarang Allah melakukannya. Melakukan perkawinan merupakan satu-satunya jalan baginya untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Allah, berdasarkan hadits Nabi SAW:74
َقا َل لَ َنا َرس أُو ُل:أن َمسأ ع أُو ٍد َرضِ َي َّللاُ َع أن ُه َقال ِ َعنأ َع أب ِدَّللاِ اب اع ِم أن ُك ُم ِ " َيا َمعأ َش َر ال َّش َبا,صلَّى َّللاُ َعلَ أي ِه َو َسلَّم ِ َ ب َم ِن اسأ َت َط َ َّللا َو َمنأ لَ أم.صنُ ل أِل َفرأ ِج َ ص ِر َوأَحأ َ أال َبا َء َة َف أل َي َت َزوَّ جأ َف ِا َّن ُه أَ َغضُّ ل أِل َب ."ٌَيسأ َتطِ عأ َف َعلَ أي ِه ِبالص أَّو ِم َف ِا َّن ُه لَ ُه ِو َجاء 71
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 16.
72
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, hal. 224.
73
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 18.
74
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal. 23-24.
28
“Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata, telah berkata kepada kami Rasululah SAW: “Hai sekalian pemuda , barang siapa diantara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara faraj. Dan barang siapa yang tidak sanggup hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). 2. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Sunnah Orang yang telah memiliki kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunat. Alasannya anjuran Al-Quran seperti dalam surat an-Nur ayat 32 dan hadits Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari abdullah bin Mas`ud tersebut berbentuk perintah, tetapi berdasarkan qarinah-qarinah yang ada, perintah Nabi tidak memfaedahkan hukum wajib, tetapi hukum sunnat saja.75 3. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Haram. Perkawinan hukumnya haram, apabila orang yang melakukannya tidak mempunyai keinginan dan kemampuan, serta tanggung jawab untuk menjalankan kewajiban-kewajiban dalam berkeluarga.76 Disamping itu haram hukumnya bagi orang yang yakin akan menzalimi dan membawa mudharat kepada istrinya karena ketidakmampuan dalam memberi nafkah lahir batin.77 Allah SWT berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 195:
75
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 19-20.
76
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, hal. 7
77
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hal. 6.
29
...َوالَ ُت ألقُو أا ِبأ َ أيدِي ُك أم إِلَى ال َّت أهلُ َك ِة “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan...” 4. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Makruh. Orang-orang yang makruh hukumnya kawin, ialah orang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk kawin. Pada hakekatnya orang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk kawin (dibolehkan melakukan perkawinan, tetapi ia dikhawatirkan tidak dapat mencapai tujuan perkawinannya, karena itu dianjurkan sebaiknya ia tidak melakukan perkawinan. Firman Allah SWT :78
َّ ون ِن َكاحا ً َح َّتى ي أُغ ِن َي ُه أم َّللاُ مِن َ ِين َال َي ِج ُد َ َو أل َيسأ َتعأ فِفِ الَّذ ...َفضأ لِ ِه “hendaklah menahan diri orang-orang yang tidak memperoleh (alat-alat) untuk nikah, hingga Allah mencukupkan dengan sebahagian karunianya... (QS. An Nûr : 33) 5. Melakukan Perkawinan yang Hukumnya Mubah. Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan isteri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang
78
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal. 24
30
antara pendorong dan penghambatnya untuk kawin itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan kawin.79 Melihat dari penjelasan diatas, menurut penulis seseorang dapat dihukumi wajib, sunah, haram, makruh maupun mubah dapat dilihat dari kondisi orang tersebut. D. Larangan Pernikahan Hukum perkawinan telah diatur sedemikian rupa oleh syariah sehingga ia dapat membentuk suatu umat yang ideal. Untuk mencapai tujuan itu, Al-Quran dan Sunah telah menjelaskan macam-macam larangan dalam perkawinan.80 Secara garis besar, larangan kawin antara seorang laki-laki dan seorang wanita menurut syara‟ dibagi dua, yaitu halangan abadi dan halangan sementara. Halangan abadi yang telah disepakati yaitu:81 1. Nasab (Keturunan) 2. Pembesanan (Pertalian Kerabat Semenda) 3. Sesusuan. Sedangkan yang diperselisihkan ada dua yaitu:82 1. Zina 2. Li‟an 79
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 21-22.
80
Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, Penerjemah: Basri Iba Asghari dan Wadi Masturi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), hal. 17. 81
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 103.
82
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 103.
31
Halangan-halangan sementara ada sembilan, yaitu:83 1. Halangan bilangan 2. Halangan mengumpulkan 3. Halangan kehambaan 4. Halangan kafir 5. Halangan Ihram 6. Halangan sakit 7. Halangan iddah 8. Halangan perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan. 9. Halangan peristrian. Orang-orang yang terlarang untuk dinikahi karena ada hubungan dengan nasab ada 7 macam, yaitu: (1) Ibu (dan urutan keatasnya), (2) Anak (dan urutan kebawahnya), (3) Saudara Perempuan, (4) Bibi (Saudara Perempuan Ayah), (5) Bibi (saudara perempuan ibu), (6) Keponakan dari saudara perempuan dan (7) Keponakan dari saudara laki-laki. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat an-Nisa ayat 23:84
ْْو َع َّماذُ ُكم َ ْوأَ َخ َىاذُ ُكم َ ْوتَىَاذُ ُكم َ حُرِّ َمدْ َعلَي ُكمْأُ َّمهَاذُ ُكم َ ُ َْوتَى ُ َْوتَى ....د ِ اخْاألُخ َ خ َ َو َخاالَذُ ُكم ِ اخْاأل “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anakanakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak 83
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 103.
84
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, hal. 238-239.
32
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan...” Tafsirnya: menurut ibnu katsir, ayat tersebut merupakan ayat yang mengharamkan wanita yang disebut mahram karena pertalian nasab, susuan dan persemendaan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, dia berkata: diharamkan kepadamu tujuh golongan lagi karena persemendaan.85 Wanita yang haram dinikahi karena faktor persusuan yaitu Ibu yang menyusui dan Saudara perempuan sepersusuan.86 Dan yang terlarang untuk
dinikahi
karena
hubungan
mushaharan
(besanan)
ada
4
macam,yaitu: (1) ibu dari istri dan neneknya, (2) anak dari istri, (3) istri ayah (mertua) dan (4) istri anak (menantu).87 Di
Indonesia
juga
memiliki
peraturan
yang
menentukan
perkawinan mana yang diperbolehkan dan perkawinan mana yang dilarang menurut hukum.88 Dalam Kompilasi Hukum Islam, larangan kawin seperti telah diuraikan di atas, dijelaskan pula secara rinci dalam BAB IV pasal 39 sampai pasal 44.89 Dalam Undang-undang Perkawinan menentukan beberapa larangan untuk melangsungkan perkawinan yang dimuat dalam 85
Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Ayat-Ayat Perkawinan dan Perceraian dalam Kajian Ibnu Katsir, (Jakarta: Gaung Persada Press, hal. 38-39. 86
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hal. 32.
87
Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, hal. 239-240.
88
R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1991), hal. 34. 89
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 114-117.
33
pasal 8, 9 dan 10.90 Ketentuan dalam pasal 8 itu telah sangat mendekati ketentuan-ketentuan larangan perkawinan dalam Islam.91 Pasal 8 UU No. 1/1974 menyatakan melarang perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah baik keatas, kebawah maupun garis menyamping, mempunyai hubungan semenda, hubungan susuan, hubungan saudara dengan isteri dan hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Pasal 9 melarang seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain untuk kawin lagi, kecuali ada izin pengadilan. Dan pasal 10 melarang perkawinan kembali antara suami-isteri yang telah bercerai untuk kedua kalinya.92 Larangan pernikahan selain orang yang akan menikah sebagai objek pelarangan nikah, Islam juga mencantumkan beberapa jenis pernikahan sebagai objek pelarangan untuk menikah, diantaranya yaitu: nikah mut‟ah (kawin kontrak), nikah syighar (nikah yang didasarkan kepada janji atau kesepakatan penukaran), nikah muhallil (nikah dengan tujuan menghalalkan perempuan yang dinikahinya agar dinikahi oleh mantan suaminya yang mentalak tiga) dan pernikahan silang (nikah beda agama).93
90
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, hal. 27.
91
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam, hal. 54.
92
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama: Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986), hal. 25. 93
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hal. 34-37.
34
Berdasarkan yang dijelaskan di atas, penulis hanya akan melihat terfokuskan kepada halangan semestara saja sedangkan halangan abadi bukan fokus pembahasan penulis karena penghalangan abadi merupakan pelarangan pernikahan bukanlah penghalangan pernikahan. E. Tujuan dan Hikmah Pernikahan Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Mengenai naluri manusia seperti tersebut pada ayat 14 surat Al-Imran:94
ْير َ ِاءْوالثَى ِ َْوالمَى ِ اسْحُةُّ ْال َّشهَ َىا َ يه َ خْ ِم َهْالىِّ َس ِ َُّْزي َِّهْلِلى ِ اط ...ال ُممَىطَ َرِْج “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anakanak, harta yang banyak...” Melihat uraian diatas dan memperhatikan uraian Imam Al-Ghazali dalam Ihyanya tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima yaitu:95 1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan. 2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya. 3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
94
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 22-23.
95
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 24.
35
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal. 5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang. Tujuan Perkawinan menurut Undang-undang perkawinan sudah tercantum dengan jelas di dalam isi pada Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, tujuan perkawinan adalah: “Membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.96 Selain memiliki tujuan, pernikahan pernikahan dalam islam juga mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat besar. Secara detil, beberapa hikmah dari pernikahan tersebut diantaranya:97 1. Pernikahan sejalan dengan fitrah manusia untuk berkembang biak, dan keinginan untuk melampiaskan syahwat secara manusiawi dan syar‟i. 2. Upaya menghindarkan diri dari perbuatan maksiat. 3. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tentram. 4. Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib, teratur, dan mengembangkan sikap kemandirian serta tanggung jawab. 5. Pernikahan dan adanya keturunan akan mendatangkan rezeki yang halal serta barokah.
96
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, hal. 14.
97
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, hal. 42-44.
36
6. Nikah mempunyai kontribusi di dalam membentuk pribadi untuk berperilaku disiplin. 7. Memperkokoh tali persaudaraan antar masyarakat. 8. Dapat menghasilkan keturunan yang baik, jelas nasabnya dan semakin merekatkan hubungan antar sesama. Menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi, hikmah-hikmah perkawinan itu banyak antara lain:98 1. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. 2. Keadaan hidup manusia tidak akan tenteram kecuali jika keadaan rumah tangganya teratur. Kehidupannya tidak akan tenang kecuali dengan adanya ketertiban rumah tangga. 3. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya berbuat dengan berbagai macam pekerjaan. 4. Adanya istri akan bisa menghilangkan kesedihan dan ketakutan. 5. Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat terhadap apa yang tidak dihalalkan untuknya. 6. Perkawinan akan memlihara keturunan serta menjaganya. 7. Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik sedikit. 8. Jika sudah menikah terdapat anak dan isteri yang mendoakan. Menurut Sayyid Sabiq menyebutkan pula hikmah-hikmah yang lain, sebagai berikut:99 98
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 22-23.
37
1. Kawin merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks. Dengan kawin, badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram perasaan tenang menikmati barang yang halal. 2. Kawin jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia, memperbanyak
keturunan,
melestarikan
hidup
manusia
serta
memelihara nasab. 3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan ramah, cinta dan sayang yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang. 4. Menyadari tanggung jawab yang akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh
dalam
memperkuat
bakat
dan
pembawaan
seseorang. 5. Adanya pembagian tugas. 6. Dengan
perkawinan,
diantaranya
dapat
membuahkan
tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang oleh Islam direstui, ditopang dan ditunjang.
99
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 69-72.
38
BAB III PROFIL KELURAHAN PONDOK KARYA TANGERANG SELATAN A. Kondisi Geografis, Ekonomi dan Sosial Pada masa sekarang masyarakat betawi hidup dalam susunan kependudukan menurut kelurahan atau desa.100 Wilayah Kelurahan Pondok Karya di Kecamatan Pondok Aren Tangerang Selatan merupakan salah satu desa yang strategis yaitu dekat dengan Jakarta, sangat berpotensi baik dari segi ekonomi maupun sosial.101 Potensi desa dapat diukur dengan melihat dari jalan utama desa, mata pencaharian masyarakat, jarak dari desa ke ibukota, sarana pendidikan, fasilitas kesehatan, sarana komunikasi dan pasar.102 Kelurahan Pondok Karya berpenduduk yang mencapai 20.180 orang dengan uraian 5.119 Kepala Keluarga, 10.297 laki-laki dan 9.883 perempuan.103 Luas desa yang mencapai 278.960 Ha yang berbatasan dengan Cipadu di sebelah Utara, Pondok Betung di sebelah Timur, Pondok Ranji di sebelah Selatan serta Jurang Mangu di sebelah Barat. Keseluruhan luas desa terdiri atas dataran kering dan pemukiman.104 100
Zulyani Hidayat, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1996), hal.
101
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
102
Masri Singarimbun, Penduduk dan Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
103
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
104
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
56.
hal. 154.
39
Letak yang strategis inilah akses jalan menuju wilayah Kelurahan Pondok Karya sangatlah mudah dengan jalan yang sudah beraspal sepanjang 5.65 Km dan jalan berbeton sepanjang 11.9 Km serta banyaknya kendaraan umum yang mengakses ke wilayah Kelurahan Pondok Karya.105 Dilihat dari segi sosial, masyarakat di wilayah Kelurahan Pondok Karya merupakan desa yang sangat potensial, dapat kita lihat dari data penduduk berdasarkan pendidikannya. Menurut data yang kami peroleh bahwa di wilayah Kelurahan Pondok Karya tidak ada lagi warga masyarakat yang tidak bersekolah.106 Mayarakat yang belum tamat sekolah dasar sebanyak 928 orang, warga yang sudah tamat sekolah dasar sebanyak 2049 orang, yang sudah tamat SLTP sebanyak 2448 orang, sudah tamat SLTA sebanyak 6772 orang, D3 sebanyak 777 orang, S1 sebanyak 2141 orang, S2 sebanyak 201 orang dan S3 sebanyak 6 orang. Jadi jumlah keseluruhan sebanyak 15322 orang.107 Terlihat Dari data di atas bahwa Kelurahan Pondok Karya ini dari segi sosial sangatlah potensial dengan sudah tidak adanya penduduk yang tidak bisa bersekolah. Bahkan dapat dilihat dari tingkatan belajar SLTA
105
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
106
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
107
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
40
hingga S1 lebih banyak dibanding SLTP hingga Tidak Sekolah.108 Hal ini disebabkan kesadaran dari penduduk Kelurahan Pondok Karya dan dorongan dari pemerintah yang mewajibkan belajar 9 tahun. Wajib belajar sampai suatu standar tertentu bisa dibenarkan dengan alasan bahwa kita semua akan dihadapkan pada resiko yang lebih kecil dan akan mendapat keuntungan yang lebih besar dari kepercayaan dasar tertentu yang sama dengan kita. Demokrasi mungkin sekali tidak jalan apabila sebagian rakyat buta huruf.109 Masih dari segi sosial, Dari data yang diperoleh juga kita dapat melihat kemajuan dari segi sosial melalui sarana pendidikan yang ada di Kelurahan Pondok Karya. Di dalam pendidikan formal yang ada di Kelurahan Pondok Karya terdapat 9 kelompok bermain/TK, 11 Sekolah Dasar, 6 SLTP dan 3 SLTA.110 Selain itu, masih terdapat juga pendidikan nonformal yang terdapat di wilayah Kelurahan Pondok Karya. Diantaranya terdapat 1 tempat kursus mengemudi, 1 tempat kursus menjahit, 1 tempat kursus komputer dan 1 tempat kursus Bahasa Inggris, serta terdapat juga 1 Club sepak bola, 1 Club bola volly, 11 club badminton, 1 club tenis, 3 club futsal dan terdapat 2 sanggar.111 108
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
109
Vic George dan Paul Wilding, Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), hal. 61. 110
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
111
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014..
41
Dari data diatas juga dapat terlihat bahwa sarana untuk memajukan sosial di Kelurahan Pondok Karya sangatlah memadai baik dari sarana pokok maupun sarana pendukung untuk memajukan sosial di Kelurahan Pondok Karya.112 Selain dari segi sosial, pada segi ekonomi di Kelurahan Pondok Karya juga sangat potensial dan memadai. Kita dapat mengukur seberapa potensial Wilayah Kelurahan Pondok Karya dengan melihat ciri-ciri yang hidup di bawah garis kemiskinan yaitu:113 1. Tidak memiliki faktor produksi sendiri 2. Tidak memliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri 3. Tingkat pendidikan yang rendah 4. Kebanyakan sebagai pekerja bebas 5. Banyak yang hidup di kota berusia muda dan tidak memiliki keterampilan. Melihat dari ciri-ciri tersebut, jelaslah bahwa Desa Kelurahan Pondok Karya bukanlah Desa yang berada di bawah garis kemiskinan. Mengenai pendidikan, sudah penulis paparkan di bagian atas dan terlihat bahwa di bidang pendidikan Desa Kelurahan Pondok Karya ini memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Selanjutnya untuk memperlihatkan bahwa
112
113
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama, 2001), hal. 229.
42
Desa Pondok Karya sangatlah potensial di bidang ekonomi, akan penulis paparkan di bawah ini. Melihat dari data yang penulis peroleh dari arsip Kantor Kelurahan Pondok Karya berdasarkan pekerjaannya, bahwa warga yang belum/ tidak bekerja terdapat 3032 orang, sebagai Ibu Rumah Tangga sebanyak 4151 orang, yang sudah pensiun sebanyak 339 orang, yang berprofesi sebagai PNS sebanyak 482 orang, sebagai TNI sebanyak 26 orang, sebagai POLRI sebanyak 34 orang, sebagai pedagang sebanyak 52 orang, sebagai karyawan/BUMN/BUMD/Swasta sebanyak 7299 orang, sebagai Buruh sebanyak 9 orang, sebagai guru sebanyak 221 orang, sebagai dosen sebanyak 26 orang, sebagai dokter sebanyak 56 orang, sebagai perawat sebanyak 19 orang dan sebagai bidan sebanyak 5 orang.114 Dari data mengenai pekerjaan penduduk Kelurahan Pondok Karya diatas dapat terlihat bahwa segi ekonomi di Kelurahan Pondok Karya sudah cukup dapat dikatakan sebagai Desa yang maju di bidang perekonomian. Kemajuan ekonomi di Kelurahan Pondok Karya juga dapat terlihat dengan adanya lapangan pekerjaan yang ada di Kelurahan Pondok Karya. Lapangan pekerjaan yang terdapat di Wilayah Kelurahan Pondok Karya diantaranya terdapat 20 warung makan/restoran, 2 hotel, 1 gedung bioskop, 1 pom bensin, 2 bengkel mobil, 20 bengkel motor, 11 toko bangunan/material, 2 toko besi, 3 toko kaca, 1 percetakan, 10 rumah jahit, 114
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
43
5 konveksi, 5 warnet, 6 bank, 8 mall/supermarket, 2 sanggar dan 2 panti pijat.115 Dari data diatas dapat terlihat bahwa perekonomian di Kelurahan Pondok Karya sudah maju dengan banyak lapangan pekerjaan yang berada di Kelurahan Pondok Karya untuk mensejahterakan penduduk Kelurahan Pondok Karya. Selain pemikiran dari segi sosial dan ekonomi yang sudah maju, penduduk Kelurahan Pondok Karya juga memiliki sikap toleransi yang sangat baik yaitu terbukti dengan tidak adanya gesekan antar umat beragama. Semua hanya bersikap toleransi dan saling menghargai. Mengingat bahwa kerukunan antar umat beragama merupakan faktor penting dalam kehidupan di masyarakat.116 Mengingat urgensinya kerukunan antar umat beragama, maka MPR
dalam
sidangnya
pada
tahun1978
melalui
ketetapan
No.
IVMPR/1978 tentang GBHN bab IV di bidang agama, angka 1 huruf b: kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin dikembangkan, sehingga terbina rukun diantara sesama umat beragama, diantara sesama penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam usaha memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dan meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun masyarakat.117 115
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
116
Syamsir Salam dan Amir Fadhilah, Sosiologi Pedesaan, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), hal. 107. 117
Syamsir Salam dan Amir Fadhilah, Sosiologi Pedesaan, hal. 107.
44
Diantara umat yang ada di Kelurahan Pondok Karya, yaitu: warga yang beragama Islam terdapat 17749 orang, beragama Kristen terdapat 1097 orang, beragama Katolik sebanyak 1049 orang, beragama Hindu sebanyak 131 orang dan beragama Budha sebanyak 154 orang.118 Meskipun di Kelurahan Pondok Karya mayoritas umat islam tetapi penduduk Kelurahan Pondok Karya tetap memiliki sikap saling menghargai dan menghormati. Berikut ini adalah data tempat ibadah yang berada di Kelurahan Pondok Karya, diantaranya: Masjid sebanyak 10 buah, Musolah sebanyak 22 buah, Gereja sebanyak 2 buah, Majlis Ta‟lim sebanyak 22 buah, TPA sebanyak 22 buah dan Pondok Pesantren sebanyak 1 buah.119 B. Tata Cara Pernikahan Adat Betawi Upacara adat perkawinan pada orang Betawi sebenarnya dilakukan melalui beberapa tingkatan upacara yang berhubungan atau berkaitan satu sama lainnya.120 Untuk sampai pada acara akad nikah, banyak tahap acara yang harus dilalui.121 Tahap-tahap itu adalah sebagai berikut: 1. Ngedelengin (melihat-lihat) Ngedelengin yaitu mencari informasi dari sumber langsung, atau terdekat untuk mengetahui apakah gadis yang menjadi “liat-liatan” itu 118
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
119
Arsip Data Kantor Kelurahan Pondok Karya Tahun 2014.
120
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Folklor Betawi, (Jakarta: Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta, 2000), hal. 72. 121
Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, hal. 143.
45
sudah ada yang empunya atau belum.122 Dalam ngedelengin ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, tindakan aktif pihak orang tua (ayah/ibu) mencari dan memilih seorang gadis untuk dijadikan calon menantu. Dalam kemungkinan yang pertama ini dapat saja terjadi si orang tua tidak dapat secara aktif ngedelengin.123 Biasanya dilakukan dengan meminta bantuan seorang wanita yang biasa dan yang pandai melakukan tugas ini. hasil kerja si wanita ahli ini nanti dilaporkan kepada orang tua si perjaka, lalu dibicarakan dalam keluarga si perjaka.124 Kedua, proses ngedelengin yang dilakukan sendiri oleh sang jejaka. Dalam hal ini, sang jejaka berupaya mencari dan menemukan gadis pilihannya. Jika jejaka sudah merasa mantap dengan gadis pilihannya, maka ia segera mengutarakan langsung tentang keinginannya tersebut kepada kedua orang tuanya untuk segera mengikat sang gadis.125 2. Main atau Silaturahim Andaikata sudah ada gadis yang dianggap cocok maka tahap berikutnya adalah keluarga si perjaka mengadakan kunjungan ke rumah keluarga si gadis untuk main, silaturahim dan berkenalan dengan si gadis dan keluarganya. Hasil kunjungan ini dibicarakan dalam keluarga si perjaka. Andaikata keluarga menyetujui gadis itu untuk menjadi isteri si 122
Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, (Jakarta: PT Gunara Kata, 2004), hal. 156. 123
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 3.
124
Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, hal. 144.
125
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 35-36.
46
perjaka maka masuk tahap lamaran. Kalau keluarga sepakat untuk tidak setuju maka acara lamaran tentu tidak ada.126 3. Melamar (Ngelamar) Ngelamar adalah pernyataan dan permintaan resmi dari pihak keluarga laki-laki (calon tuan mantu) kepada pihak keluarga wanita (calon none mantu).127 Adapun yang dikirim sebagai utusan biasanya keluarga yang dekat sebanyak dua atau tiga orang, dan jarang sekali orang tuanya sendiri.128 Bawaan pokok pada waktu ngelamar, antara lain:129 a. Sirih lamaran/sirih embun, yaitu nampan yang dihiasi kertas minyak dan diisi daun sirih lipat bulat dan sirih tampi/ sirih yang telah diisi rempah-rempah untuk nyirih (kapur, gambir, pinang). b. Pisang Raja jumlahnya dua sisir. c. Roti tawar. d. Sirop (umumnya berwarna merah dan berjumlah tiga botol). e. Hadiah Pelengkap. Hadiah berupa bahan baju kebaya, kain batik tige negeri, kain panjang, perlengkapan kosmetik, selop dan sebagainya. f. Para utusan yang terdiri atas Mak comblang dan dua pasang wakil orang tua calon tuan mantu.
126
Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, hal. 144.
127
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 41.
128
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Folklor Betawi, hal. 73.
129
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 41.
47
Utusan keluarga sang jejaka akan diterima oleh pihak keluarga dan orang tua si gadis. Maka terjadilah dialog antara kedua belah pihak, dialog berisi tentang maksud dan tujuan kedatangan pihak keluarga sang jejaka. Serta berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan apa saja yang menjadi permintaan keluarga si gadis.130 Sebagai pemeluk agama islam, yang pertama diputuskan adalah soal mahar (mas kawin). Berikutnya dibicarakan pula persyaratanpersyaratan adat
lainnya, seperti
kekudang, pecingkrem,
pesalin
(seperangkap busana lengkap), uang belanje dan pelangke. Pelangke terjadi apabila si gadis mempunyai kakak laki-laki atau perempuan yang belum menikah.131 4. Tunangan (Bawa Tande Putus) Tahap ini ditandai dengan adanya suatu acara mengantar kue-kue dan buah-buahan dari pihak laki-laki ke rumah pihak si gadis, yang kemudia dibalas dengan makanan berupa nasi dan lauk-pauknya dan seterusnya dibagikan kepada semua anggota keluarga masing-masing.132 Pada saat itu akan diputuskan hari dan tanggal pernikahan, sekaligus dibawa pecingkrem berupa cincin belah rotan sebagai pengikat.133
130
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 6.
131
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 6.
132
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Folklor Betawi, hal. 74.
133
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 7.
48
Setelah acara bawa tanda putus, kedua belah pihak menunggu dan mempersiapkan keperluan pelaksanaan acara akad nikah. Masa ini dimanfaatkan juga untuk memelihara none calon menantu yang disebut dengan piare calon none penganten dan orang yang memelihara disebut tukang piare penganten atau dukun penganten.134 5. Piare Calon None Penganten Piare calon none penganten artinya merawat calon pengantin sejak 10 hari sebelum akad nikah dilaksanakan. Perawatan dilakukan agar nanti pada waktu akad nikah dan duduk ditaman (pelaminan) wajah si pengantin tampak segar dan bercahaya.135 Perawatan ini disediakan seorang yang piawai dala bidangnya, yang oleh masyarakat Betawi dikenal dengan nama “tukang piare”. Tukang piare bertanggung jawab sepenuhnya untuk mengatur dan menentukan jangka waktu perawatan, obat-obat tradisional yang harus digunakan, dan apa saja yang harus menjadi makanan tetap serta makanan yang dilarang bagi calon pengantin putri.136 Selama dipiare ini calon none mantu diharuskan memakai baju terbalik (kain sarung dan kebaya longgar ukuran ¾ lengan) sebagai lambang tolak bala, bahkan dilarang mengganti baju. Kalau calon none menantu gemuk, makan dan minumnya diatur (diet), tidak boleh makan
134
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 48.
135
Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, hal. 146.
136
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 9.
49
makanan yang digoreng, makanan yang dianjurkan adalah makanan yang dibakar/dipanggang dan diharuskan minum jamu godok dan jamu air secang. Seluruh tubuhnya diurut dan dilulur sekali sehari. Dilarang mandi dan ngaca/bercermin. Diharuskan banyak berzikir, membaca selawat, dan membaca surah Yusuf.137 6. Dimandiin/Mandi Kembang Pengantin putri dimandikan sehari sebelum akad nikah.138 Sebelum upacara mandi, calon pengantin meminta izin orang tuanya dengan menemuinya dan mencium tangannya, dengan mengenakan kemben serta kebaya tipis, rambut disanggul biasa dan mengenakan kerudung tipis. Adapun yang memandikan hanya tukang piare pengantin (kecuali ada permintaan lain dari pihak keluarga, misalnya disertakan juga beberapa orang tua), sedangkan yang lain hanya menyaksikan saja.139 Adapun perlengkapanya adalah: 1) kembang 7 rupa (setaman); 2) paso tanah; 3) gayung batok; 4) pedupaan dengan setanggi/gahru yang diletakkan dibawah bangku tempat pengantin duduk. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan oleh keluarga pengantin, pakaian bekas mandi diberikan kepada tukang piare pengantin sebagai hadiah.140
137
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 48-49.
138
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 10.
139
Ensiklopedia Jakarta, Culture dan Heritage (Budaya dan Warisan Sejarah), (Jakarta: Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, 2005), hal. 483. 140
Ensiklopedia Jakarta, Culture dan Heritage (Budaya dan Warisan Sejarah), hal. 483.
50
Setelah upacara mandi, pengantin menjalani upacara tangas atau kum (semacam mandi uap) untuk membersihkan dari bekas-bekas dari pori-pori dan membuat kulit pengantin menjadi wangi serta tidak mengeluarkan keringat pada waktu di rias. Peralatannya adalah: 1) kembang 7 rupa (setaman) serta ramuan lainnya seperti: daun jeruk purut, daun pandan, akar wangi, daun mangkok, dll; 2) paso tanah; 3) kursi rotan bolong-bolong; 4) tikar atau kain penutup.141 Kemudian dilakukan acare ngerik dan malem pacar. Alat-alat yang digunakan antara lain: 1) kain putih ukuran 2 meter, 2) kembang setaman, 3) air putih dalam cawan dicampur dengan satu atau dua kuntum mawar dan bunga melati, 4) pedupaan dan setanggi/gaharu, 5) alat cukur, 6) dua keping uang logam, 7) tempat sirih lengkap dengan isinya, dan 8) pacar secukupnya.142 Acara ngerik yaitu acara memersihkan/mencukur bulu-bulu kalong calon pengantin wanita yang tumbuh di sekitar kening, pelipis, tengkuk, dan leher. Acara malam pacar adalah acara memakaikan pacar pada kuku tangan dan kuku kaki calon pengantin wanita. Ini dilakukan oleh tukang piara dan keluarga serta teman-teman wanita calon pengantin.143
141
Ensiklopedia Jakarta, Culture dan Heritage (Budaya dan Warisan Sejarah), hal. 483.
142
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 50.
143
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 50.
51
7. Malem Mangkat/Malem Bumbu/Malem Ngeracik Kegiatan di rumah calon tuan mantu (calon pengantin pria) disebut malem nyerondeng, malem bungkus-bungkus, malem goreng ikan, dan lain-lain. Pada malam itu, pihak calon pengantin pria mempersiapkan semua kebutuhan serah-serahan.mereka membuat pesalin, menghias nampan kue (kuenya antara lain dodol, wajik, geplak dan uli), menghias peti sie, membuat dan menghias miniatur masjid, dan sebagainya. Buahbuahan pun dihias sedemikian rupa sehingga enak dilihat. Itu sebabnya pada malam itu disebut malam bungkus-bungkus, yaitu membungkus seluruh serah-serahan yang ada dan esok hari akan dibawa ke rumah calon none mantu.144 8. Ngerudat/Duduk Nikahnya Acara ngerudat adalah upacara akad nikah atau ijab kabul. Pengantin pria akan datang dengan rombongan pengiring yang besar terdiri dari: 1) calon pengantin pria diiringi dan diapit oleh para alim ulama dan tokoh masyarakat di lingkungan keluarganya, 2) para penabuh rebana, 3) dibelakang mereka terdapat rombongan pembawa barang.145 Perlu disinggung kembali ketika kunjungan penyerahan tande putus, selain membicarakan mahar atau mas kawin, ditentukan juga beberapa jenis bawaan yang harus diikutsertakan mengiringi mahar pada pelaksanaan akad nikah. Bawaan pengiring itu antara lain: 1) sirih nanas 144
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 51-52.
145
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 19.
52
lamaran dan sirih nanas hiasan, 2) mahar atau mas kawin, 3) miniatur masjid yang berisi uang sejumlah yang telah dibicarakan sebelumnya, 4) sepasang roti buaya, 5) kekudang/sesuatu yang sangat disukai none calon menantu sejak kecil hingga dewasa, 6) kue penganten, biasanya kue kembang, 7) pesalin atau hadiah pelengkap, berupa pakaian wanita, kain, selop, alat kecantikan dan sebagainya, 8) beberapa nampan kue-kue khas betawi (dodol, wajik, geplak, tape, uli, dan lain-lain, 9) beberapa nampan buah-buahan khas Betawi, 10) sie, dan 11) jung atau perahu cina berisi buah-buahan.146 Acara akad nikah dimulai dari rumah calon mempelai pria yang dimulai dengan maulud nabi, pembacaan doa untuk keselamatan semuanya, serta mengarak pengantin pria menuju rumah pengantin wanita. Sebagai tanda rombongan pengarak pengantin akan berangkat, dibakarlah sederet petasan. Nanti setelah sampai kira-kira 100 meter dari rumah mempelai wanita, akan dibakar pula sederet petasan untuk menandai kedatangan.147 Tiba di depan rumah mempelai wanita, rombongan dihalangi oleh wakil dari keluarga mempelai wanita yang menanyakan ini rombongan apa dan mau kemana. Pertanyaan dan dialog dilakukan dalam bentuk pantun. Pertanyaan ini memulai acara yang disebut buka palang pintu.148 146
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 53-54.
147
Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, hal. 147-
148
Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, hal. 148.
148.
53
Tradisi palang pintu pada acara pernikahan betawi dimulai dari beradu pantun hingga adu ketangkasan bersilat.149 Setelah acara buka palang pintu selesai, maka mempelai pria dan rombongan dipersilahkan masuk untuk melangsungkan acara akad nikah.150 Setelah akad nikah selesai pengantin pria diterimadan dituntun oleh tukang rias yang akan mempertemukannya dengan pengantin putri di pelaminan.151 9. Pulang Tiga Hari Tepat tiga hari setelah pengantin pria menginap di rumah istrinya, mereka berdua akan diboyong ke rumah pengantin pria. Peristiwa itu disebut orang “Pulang Tiga Hari”.152 Keberangkatan pengantin wanita menuju rumah pengantin pria diantar oleh beberapa orang wakil keluarga orang tuanya. Sebelum meninggalkan rumah, pengantin wanita diberi nasihat atau wejangan bagaimana seharusnya ia berperilaku di rumah mertuanya. Di rumah pengantin pria, dikamarnya sudah diletakkan seperangkat kotak sirih komplit dengan isinya dan selembar kain putih.153
149
Lily Turangan, Willyanto dan Reza Fadhilla, Seni Budaya dan Warisan Indonesia: Manusia dan Lingkungan Budaya, (Jakarta: PT Aku Bisa, 2014), hal. 39 150
Abdul Chaer, Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi, hal. 147-
151
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 28.
152
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 31.
153
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 72.
148.
54
Adat Betawi mengharuskan jika pada malam itu telah terjadi “kumpul” antara keduanya, pada pagi hari suaminya akan mengeluarkan kotak sirih dan meletakkan di sisi luar pintu kamar. Jika alat penumbuk sirih diletakkan miring atau tergeletak, itu mengisyaratkan bahwa istri benar-benar gadis suci ketika memasuki mahligai pernikahan. Sebaliknya, jika tempat sirih dikeluarkan dalam keadaan sama seperti dimasukkan, berarti istri bukan gadis lagi tatkala memasuki pernikahan.154
154
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 72-73.
55
BAB IV PERNIKAHAN MELANGKAHI KAKAK MENURUT ADAT BETAWI A. Pengertian Pernikahan Melangkahi Kakak Pernikahan melangkahi kakak memiliki beberapa suku kata yang masing-masingnya
memiliki
melangkahi kakak, penulis
arti.
Untuk
mengartikan
pernikahan
menguraikan satu persatu dari suku kata
tersebut. Pertama, arti kata pernikahan. Pernikahan memiliki asal kata nikah yaitu perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi. Pada kata pernikahan, asal kata nikah ditambahi imbuhan Per – an sehingga menjadi kata pernikahan yang artinya hal (perbuatan) nikah.155 Kedua, arti kata melangkahi. Melangkahi memiliki asal kata langkah yaitu gerakan kaki (ke depan, ke belakang, ke kiri, ke kanan). Pada kata melangkahi, asal kata langkah ditambahi dengan imbuhan me – i sehingga menjadi kata melangkahi yang artiya melewati, melalui, menyalahi, melanggar, mendahului (kawin, memperoleh sesuatu, dsb), melewatkan, tidak mengikutsertakan.156 Ketiga, arti kata kakak. Kakak artinya saudara tua (menurut silsilah), penggilan kepada orang yang dianggap lebih tua, panggilan
155
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal. 614. 156
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 494-495.
56
kepada suami.157 Dari suku kata tersebut dapat penulis definisikan bahwa pernikahan melangkahi kakak yaitu perbuatan nikah yang mendahului saudara tua menurut silsilah. Maksudnya adalah pernikahan yang dilakukan seorang dengan mendahului kakak kandungnya. B. Melangkahi dalam Adat, Fiqh dan Hukum Positif 1. Melangkahi dalam adat Pelangkah di dalam Adat merupakan sesuatu yang harus ada apabila di dalam pernikahan tersebut terdapat kakak dari calon pengantin yang belum menikah. Di dalam Adat Betawi hal ini dinamakan Pelangke, pelangke terjadi apabila si gadis mempunyai kakak laki-laki atau perempuan yang belum menikah.158 Adat Betawi mengajarkan di dalam sebuah pernikahan adat bahwa apabila seseorang ingin menikah akan tetapi terdapat kakaknya yang belum menikah terdapat dua pilihan, yaitu menunggu hingga kakaknya menikah terlebih dahulu atau dapat tetap menikah dengan melangkahi kakaknya dengan syarat seseorang yang ingin melangkahi kakaknya itu harus memenuhi permintaan kakaknya, dapat berupa uang atau barang. Oleh karena itu, pelangke atau pelangkah berlaku hanya kalau ada abang atau empok yang dilangkahi.159
157
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal. 378. 158
Lembaga Kebudayaan Betawi, Upacara Perkawinan Adat Betawi, hal. 6.
159
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 47.
57
Pelangke atau pelangkah untuk mendapatkan kesepakatan antara yang melangkahi dengan yang dilangkahi, hal ini dibicarakan pada acara bawa tande putus.160 Pembicaraan mengenai pelangkah ini berkenaan dengan berapa jumlah atau barang apa yang harus dipersembahkan kepada kakak yang dilangkahi. Hal ini berlaku selain bertujuan sebagai cara untuk menjaga kebudayaan tetap ada, tetapi juga untuk menghormati dan menjaga
perasaan
kakak
yang dilangkahi.
Intinya
adalah
pada
kekerabatan, kekeluargaan dan kebersamaan.161 Manfaat dari adanya pelangkah ini yaitu melestarikan adat istiadat, membuat hubungan kakak beradik, hubungan kedua mempelai dan hubungan kedua keluarga menjadi baik dan tidak ada sakit hati maupun permasalahan. intinya mengarahkan manusia untuk manunggal (berpadu) dengan alam, kerabat dan sesama manusia lain.162 2. Melangkahi dalam Fiqh Islam merupakan agama yang fleksibel dan dinamis, cocok untuk semua kalangan, untuk semua waktu dan kondisi. Islam juga sebenarnya mengatur tentang kehidupan bermasyarakat. Mengenai bermasyarakat, dalam Fiqh tidak detail membahas mengenai cara bermasyarakat. Namun itulah fungsi manusia diberikan akal supaya dapat berfikir penyelesaian bermasyarakat dengan cara yang islami. Hukum Islam juga ditetapkan 160
Yahya Andi Saputra, Upacara Daur Hidup Adat Betawi, hal. 47.
161
Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), (Surabaya: Laksbang Justitia, 2014), hal. 73. 162
Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), hal. 73.
58
untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun secara bermasyarakat.163 Seperti halnya mengenai pernikahan melangkahi kakak ini, di dalam Fiqh tidak membahas mengenai pernikahan melangkahi kakak. Maka manusialah yang dituntut untuk berfikir cara penyelesaiannya seperti apakah yang Islami dan tidak bertentangan dengan apa yang sudah diyakini di tengah-tengah masyarakat. Karena sesuatu yang sudah diyakini oleh masyarakat mempunyai basis sosial yang relatif kuat, keyakinan tersebut dipatuhi oleh warga masyarakat secara sukarela.164 Fiqh memang tidak menjelaskan mengenai pernikahan melangkahi kakak, Pernikahan melangkahi kakak hanya dijelaskan di dalam salah satu adat di Indonesia. Karena di dalam Fiqh tidak dijelaskan sebagai penghalangan pernikahan, maka Islam menganjurkan orang menyegerakan berkeluarga.165 Sebagaimana nikah disyariatkan dalam firman Allah sebagai berikut:
ِين ِمنأ عِ َبا ِد ُك أم َوإِ َما ِئ ُك أم إِن َ َوأَنكِحُ وا أاْلَ َيا َمى مِن ُك أم َوالصَّالِح َّ َي ُكو ُنوا فُ َق َراء ي أُغن ِِه ُم َّللاُ مِن َفضأ لِ ِه Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (untuk kawin) di antara hambahamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu
163
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 13.
164
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, hal. 340.
165
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 15.
59
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya (QS. An-Nur: 32). Melihat dari ayat diatas, dapat penulis argumentasikan bahwa pernikahan tidak boleh dihalang-halangi kecuali dengan alasan-alasan yang mendasar kepada Fiqh. Meskipun demikian, pada dasarnya adat yang sudah memenuhi syarat dapat diterima secara prinsip.166 Bahkan di dalam kaidah fiqih menyebutkan bahwa:
ٌال َعا َدجُْ ُم َح َّك َم ْح “Adat itu dapat menjadi dasar hukum” Ulama sepakat dalam menerima adat. Adat yang dalam perbuatan itu terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur mudharat atau unsur manfaatnya lebih besar dari unsur mudharatnya serta adat yang pada prinsipnya secara substansial mengandung unsur maslahat, namun dalam pelaksanaannya tidak dianggap baik oleh Islam. Adat dalam bentuk itu dikelompokkan kepada adat atau urf yang shahih.167 Melihat dari segi penilaian baik dan buruknya, adat atau urf terbagi menjadi 2 macam, yaitu urf sahih dan urf fasid. Urf sahih ialah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara‟, juga tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan
166
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 74.
167
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 395.
60
yang wajib.168 Sedangkan urf fasid yaitu apa yang saling dikenal orang, tapi berlainan dari syariat, atau menghalalkan yang haram, atau membatalkan yang wajib.169 Ulama yang mengamalkan adat sebagai dalil hukum menetapkan 4 syarat dalam pengamalannya:170 a. Adat itu bernilai maslahat. b. Adat itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan tertentu. c. Adat itu telah berlaku sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya. d. Adat itu tidak bertentangan dengan nash.171 3. Melangkahi dalam Hukum Positif Pernikahan melangkahi kakak di dalam hukum positif juga tidak ada pengaturan mengenai hal itu. Karena pernikahan melangkahi kakak ini masih termasuk di dalam hukum adat, maka dasar hukum berlakunya dapat penulis sandarkan kepada hukum adat. Dasar hukum ini diperlukan sebab negara kita menganut paham hukum Positivisme.172
168
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushulul Fiqh, Penerjemah: Noer Iskandar al-Barsany, Moh. Tolchah Mansoer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 131. 169
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fikih, Penerjemah: Halimuddin, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hal. 105. 170
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, hal. 74.
171
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996), hal. 144
172
Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), hal. 111
61
Dasar hukum berlakunya hukum adat dalam UUD 1945 adalah Pasal II Aturan Peralihan. Menurut pasal ini dikatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih terus berlangsung selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.”173 Pasal diatas dapat menjadi dasar hukum dan kekuatan berlakunya adat
pernikahan
melangkahi
kakak.
Secara
sosiologis,
kekuatan
berlakunya hukum adat karena hukum itu benar-benar secara nyata ditaati oleh anggota masyarakat. Walaupun secara tertulis tidak dinyatakan dengan tegas dalam sebuah peraturan perundang-undangan.174 Kekuatan berlakunya hukum adat secara yuridis dapat kita lihat bahwa hukum itu memiliki kemampuan untuk dipaksakan kepada anggota masyarakat. Kemudian kekuatan berlakunya hukum adat secara filosofis dapat kita lihat dari alasan hukum adat itu dibuat dan tujuan dari berlakunya hukum adat tersebut.175 Melihat dari penjelasan diatas dapat penulis argumentasikan bahwa di dalam hukum positif, adat mengenai pernikahan melangkahi kakak ini dapat diberlakukan selama belum ada perundang-undangan yang mengatur. Selain untuk menjaga adat sebagai identitas bangsa, berlakunya
173
Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), hal. 111-112
174
Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), hal. 50
175
Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), hal. 50-51
62
adat pernikahan melangkahi kakak ini juga untuk memperkuat persatuan dan kesatuan di dalam kekerabatan, kekeluargaan dan kebersamaan.176 C. Melangkahi menurut Ulama dan Tokoh Adat 1. Melangkahi menurut Ulama Adat pelangkah merupakan kebiasaan atau adat yang awalnya hanya sebuah perasaan yang menjadi pertimbangan dalam interaksi sosial untuk menjalin hubungan baik di dalam keluarga. Dengan adanya interaksi sosial, maka kebiasaan tersebut lambat laun menjadi adat yang telah menjelmakan perasaan masyarakat itu sendiri.177 Adat pelangkah di dalam Islam tidak dijelaskan di dalam Al-Quran maupun Hadits. Ketua MUI Kecamatan Pondok Aren Hasanuddin menjelaskan bahwa “Boleh saja diberlakukan, tidak ada larangannya. Jadi boleh saja menikah dengan melangkahi kakaknya”.178 Karena beliau berpandangan bahwa adat pelangkah ini hanya bersifat tasliyah atau menghibur saja agar tidak menjadi beban dihati atau dibatin dengan dia mendapatkan hadiah, akan tetapi hal ini bukanlah sebuah keharusan. Beliau menambahkan bahwa “Hal itu hanya permberian seseorang, pemberian seseorang itu hanya keikhlasan saja, pemberian suka rela tidak
176
Dominikus Rato, Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar), hal. 74.
177
A. Suriyaman Masturi Pide, Hukum Adat: Dahulu, Kini dan Akan Datang, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hal. 4. 178
Hasil wawancara dengan Drs. KH. Hasanuddin, MM di Pondok Karya Pada hari Minggu, 3 Mei 2015.
63
ada paksaan dan tidak ada keharusan.179 Seseorang yang sudah memenuhi syarat untuk menikah dan sudah ingin berkeluarga, Islam menganjurkan orang menyegerakan berkeluarga.180 Meskipun hal itu harus mendahului kakaknya yang belum menikah. “Sesuai dengan Syariat bahwa nikah itu siapa yang mendapat jodoh duluan, dia yang akan nikah dan itu tidak melanggar syariat. Tidak karena adiknya nikah duluan lalu dikatakan melanggar syariat”, kata Ketua MUI Kecamatan Pondok Aren Hasanuddin saat ditemui di rumahnya di Kelurahan Pondok Karya, Tangerang Selatan. Beliau juga menuturkan bahwa pernikahan melangkahi kakak hanyalah melanggar adat. Meskipun berpotensi menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan syariat, seperti penghalangan pernikahan. Beliau menanggapi hal itu bahwa “kalau adat sudah bertentangan dengan syariat maka adat harus melebur diri untuk ikut syariat”.181 Beliau juga menambahkan bahwa “memang ada kaidah “Al-a’dah Adawah” yang artinya meninggalkan kebiasaan maka akan menimbulkan kesalahpahaman. Tetapi itu adalah adat yang dianggap tidak bertentangan
179
Hasil wawancara dengan Drs. KH. Hasanuddin, MM di Pondok Karya Pada hari Minggu, 3 Mei 2015. 180
181
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hal. 15.
Hasil wawancara dengan Drs. KH. Hasanuddin, MM di Pondok Karya Pada hari Minggu, 3 Mei 2015.
64
dengan syariat, kalau yang bertentangan dengan syariat, jelas sekuat apapun adat tersebut harus ditinggalkan”.182 Melihat dari penjelasan Ketua MUI di atas, pada intinya bahwa adat pelangkah di dalam Hukum Islam boleh diberlakukan. Akan tetapi, sesuatu yang bertentangan dengan Hukum Islam di dalam adat tersebut harus ditinggalkan, seperti halnya penghalangan pernikahan. Kemudian mengenai pemberian pelangkah menurut Ketua MUI juga hal itu dibolehkan namun pemberian seseorang itu hanya keikhlasan saja, pemberian suka rela tidak ada paksaan dan tidak ada keharusan. 2. Melangkahi Menurut Tokoh Adat “Pelangkah itu apabila ingin menikah di kampung atau desa orang lain maka diwajibkan oleh adat memberikan uang pelangkah ke kampung tempat menikah karena melangkah kampung, dengan tujuan untuk meminta izin menikah. Itu yang dimaksud pelangkah kampung. Kemudian ada yang disebut pelangkah kakak, pelangkah kakak itu yang seharusnya nikah terlebih dahulu ialah kakaknya, akan tetapi adiknya mendahului kakaknya menikah. Karena hal itu dari pihak adik memberikan uang pelangkah kepada kakaknya. Budaya seperti itu memang dari dahulu sudah ada, makanya sampai sekarang mayoritas tetap ada dan kuat”. Kata Muslih. Pembahasan pada penelitian ini terfokus hanya kepada pelangkah kakak. Menurut Muslih pelangkah di dalam adat diharuskan ada, untuk 182
Hasil wawancara dengan Drs. KH. Hasanuddin, MM di Pondok Karya Pada hari Minggu, 3 Mei 2015.
65
menjaga hubungan baik kepada kakaknya, jangan sampai ada sakit hati dari kakaknya dan kakaknya dapat mengikhlaskan serta dapat memberikan doa restu kepada adiknya.183 Meskipun pelangkah diharuskan ada dengan tujuan-tujuan tersebut, tetapi tetap saja masih ada orang yang menyalahi tujuan dari adanya pelangkah itu. Masih ada orang yang menghalangi pernikahan adiknya atau meminta sesuatu yang memberatkan adiknya untuk menikah dengan alasan adat pelangkah. Di dalam adat hal ini tidak dibenarkan. Tokoh adat Pondok Karya Muslih menjelaskan bahwa “hal itu salah, aturan dalam adat juga menyalahkan. Dan dalam adat tidak bisa meminta dengan nominal tertentu atau meminta barang tertentu itu salah. Hanya kesadaran adiknya saja”.184 Beliau juga menjelaskan bahwa “kewajiban yang harus dipenuhi adik yaitu memberikan sesuatu kepada kakaknya, itu hanya sekedarnya saja tidak bisa dipaksakan. Hal ini untuk menghargai kakaknya. kakak pun tidak meminta hanya suka rela dari adik”.185 D. Analisis Penulis Melihat dari penjelasan di atas, penulis dapat mengalisis beberapa hal mengenai adat pernikahan melangkahi kakak bahwa adat pernikahan melangkahi kakak memang tidak dijelaskan di dalam fiqh maupun hukum
183
Hasil wawancara dengan H. Muslih di Pondok Karya Pada hari Rabu, 6 Mei 2015.
184
Hasil wawancara dengan H. Muslih di Pondok Karya Pada hari Rabu, 6 Mei 2015.
185
Hasil wawancara dengan H. Muslih di Pondok Karya Pada hari Rabu, 6 Mei 2015.
66
positif. Jadi sudah sangat jelas bahwa pernikahan tersebut tidak akan mempengaruhi sah atau tidak sahnya pernikahan karena tidak tercantum di dalam syarat pernikahan. Bahkan di dalam adat sendiri, prosesi pelangkah itu tidak sampai menjadi tolak ukur bahwa pernikahan itu sah atau tidak. Seseorang yang ingin menikah dan sudah memenuhi syarat untuk menikah, Islam sangat menganjurkan untuk disegerakan pernikahan tersebut. Oleh karena itu, perintah menyegerakan tersebut yang membuat pernikahan tidak dapat dihalangi oleh siapapun tanpa ada alasan yang diatur dalam hukum syar‟i maupun hukum positif, bahkan meskipun seseorang itu menikah dengan mendahulu kakaknya yang belum menikah, maka kakaknya tidak dapat mengahalangi orang itu untuk menikah. Seorang kakak yang dilangkahi oleh adiknya menikah, tidak dapat mempengaruhi pernikahan tersebut apalagi menghalangi adiknya untuk menikah. Kalau pun hal itu terjadi dengan alasan adat, bahkan adat tidak membenarkan hal itu karena adat mengatur adat pelangkah tersebut hanya untuk meminta izin kepada kakak dalam bentuk uang atau barang untuk menyenangkan hati kakak yang akan didahului. Di dalam agama juga melarang seseorang menghalangi pernikahan tanpa alasan syar‟i. Bahkan dapat dihukumi haram karena hal itu dapat menyebabkan banyak kemudharatan. Bentuk permintaan izin yang berupa uang atau barang tersebut sebenarnya hanya pemberian suka rela dari adik kepada kakaknya, namun ada beberapa bentuk permintaan izin tersebut yang menjadi permintaan
67
kakaknya. Meskipun permintaan dari kakaknya yang akan dilangkahi, akan tetapi menurut penulis permintaan tersebut harus melihat kemampuan adik. Jika permintaan itu memberatkan bahkan menjadi syarat yang diharuskan ada maka hal itu tidak dibenarkan. Apalagi bila permintaan itu sampai membuat pernikahan adik terhalang, hal itu sangat tidak dibenarkan baik agama maupun adat. Meskipun
adat
pernikahan
melangkahi
kakak
itu
tidak
mempengaruhi dan tidak menjadi tolak ukur sah atau tidaknya suatu pernikahan. Namun menurut penulis, adat pernikahan melangkahi kakak masih harus terus dilestarikan. Bukan untuk menghalangi pernikahan akan tetapi adat tersebut hanya untuk menjadi sebuah bentuk penghormatan dan permintaan izin kepada kakak yang akan didahului adiknya menikah. Melihat dari penjelasan tokoh adat serta praktik yang terjadi mengenai adat pelangkah, dapat dikatakan bahwa tidak semua di dalam adat pelangkah tersebut bertentangan dengan hukum syara‟. Harus ada pemisahan antara yang bertentangan dengan hukum syara‟ dengan yang tidak bertentangan dengan hukum syara‟. Bahkan bagian yang mengandung kemaslahatan dari adat pelangkah tersebut menurut penulis harus tetap dipertahankan. Sesuatu yang bertentangan dengan hukum syara‟ di dalam adat pelangkah
tersebut
diantaranya
yaitu
mengenai
penghalangan
pernikahannya. Menurut penulis hal itu harus dirubah menjadi kerelaan dan keridhoan kakak kepada adiknya.
68
Selanjutnya sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum syara‟ bahkan menjadi sebuah kemaslahatan dengan adanya adat pelangkah yaitu permintaan izin dari adik kepada kakaknya untuk mendahului menikah. Hal tersebut yang menurut penulis perlu dilestarikan untuk menjaga hubungan baik antara adik dan kakak bahkan antar keluarga, karena sebuah pernikahan itu bukanlah hanya menyatukan dua orang saja, akan tetapi pernikahan itu menyatukan dua keluarga. Adapun manfaat dari adanya adat pelangkah yaitu menjaga perasaan kakak yang akan dilangkahi dan menyenangkan hati kakak yang akan dilangkahi. Hal ini yang menurut penulis harus dibudayakan dan dilestarikan agar tidak ada perselisihan bahkan keretakan di dalam keluarga. Namun perlu penyaringan juga, jangan sampai ada yang bertentangan dengan hukum syara‟.
69
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Melihat dari yang sudah dijelaskan di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal mengenai adat pernikahan melangkahi kakak yang terdapat di dalam Adat Betawi Kelurahan Pondok Karya Tangerang Selatan yaitu tatacara pernikahan melangkahi kakak dalam adat betawi bermula pada pembicaraan mengenai pelangkah, hal itu diadakan pada saat lamaran terjadi dan pemberiannya bersamaan dengan akad pernikahan, bahkan ada yang saat akad disebutkan pemberian apa yang diberikan sebagai pelangkah. Menurut tokoh adat bahwa pelangkah itu diharuskan, untuk menjaga hubungan baik kepada kakaknya. Namun jika pelangkah itu memberatkan atau menghalangi adiknya untuk menikah, tokoh adat mengungkapkan bahwa hal itu tidak dibenarkan karena pelangkah tidak bisa diminta dengan nominal tertentu atau barang tertentu, hanya kesadaran adiknya saja. Sejalan dengan pendapat tokoh adat, tokoh ulama mengungkapkan bahwa pelangkah boleh saja diberlakukan atas dasar kaidah “Al-A`dah Adawah” akan tetapi hal itu tidak menjadi sebuah keharusan. Adat pelangkah di dalam fiqh memang tidak dijelaskan dan tidak dirinci, hal itu hanya terdapat di dalam adat. Oleh karena itu, diberlakukan
70
atau tidak diberlakukannya adat ini tidak akan mempengaruhi pernikahan tersebut sah atau tidak. Meskipun tidak mempengaruhi sah atau tidaknya pernikahan, adat mengenai pelangkah ini harus tetap dilestarikan sebagai simbol identitas bangsa namun perlu ada penyaringan dan penyesuaian dengan fiqh agar tidak
bertentangan.
Penyesuaian
tersebut
diantaranya
mengenai
penghalangan nikah dari kakaknya kepada adiknya yang ingin menikah. Penghalangan tersebut harus ditinggalkan dan diganti dengan kerelaan dan keikhlasan, karena keegoisan seorang kakak untuk menghalangi adiknya untuk menikah itu tidak dibenarkan dan di dalam fiqh
itu
dapat
diharamkan
karena
dapat
menimbulkan
banyak
kemudharatan. Tidak hanya penghalangannya saja yang harus dihapuskan akan tetapi hal yang memberatkan dan menyusahkan seseorang untuk menikah harus dihapuskan juga, seperti halnya meminta dibelikan sesuatu yang di luar kesanggupan dan kemampuan adik yang ingin memberi pelangkah. Karena hal ini hanya keikhlasan saja, pemberian suka rela tidak ada paksaan dan tidak ada keharusan. Kakak yang akan dilangkahi harus dapat mengikhlaskan dan menerima apapun pemberian adik sebagai permohonan izin untuk menikah. Tidak boleh memaksakan kemampuan adik dan tidak boleh memberatkan permintaan kepada adik.
71
Seorang adik yang ingin melangkahi juga harus tetap melihat keadaan psikologis maupun mental kakak yang akan dilangkahinya, berikanlah sesuatu yang akan menyenangkan hati kakak agar tidak merasa sakit hati dan rendah diri. Hal ini hanya untuk penghormatan kepada kakak dan menjaga hubungan baik dengan keluarga. Dari penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa adat pernikahan melangkahi kakak yang terdapat di Kelurahan Pondok Karya dapat dilestarikan dengan catatan bahwa sesuatu yang bertentangan dengan fiqh harus diubah agar tidak terjadi pertentangan antara hukum adat dengan fiqh. B. Saran-Saran Melihat penjelasan dari penelitian yang penulis lakukan di atas, penulis ingin menyampaikan saran-saran kepada kita semua agar menjadi masyarakat dan umat yang lebih baik. Karena mengenai pernikahan ini adalah sesuatu yang serius dan tidak hanya melibatkan dua orang saja, akan tetapi melibatkan dua keluarga yang akan dipersatukan. Oleh karena itu, penulis akan memberikan beberapa saran sesuai dengan apa yang telah penulis teliti, diantaranya: 1. Hendaklah orang yang akan menikah, konsultasikan terlebih dahulu kepada ahli hukum keluarga atau ustadz-ustadz yang mengerti mengenai pernikahan agar mendapat pencerahan mengenai hal yang harus dilakukan dan hal yang harus ditinggalkan ketika akan menikah.
72
2. Seseorang yang sudah ingin menikah dan memenuhi persyaratan untuk menikah, janganlah dibebani dengan sesuatu yang memberatkan pernikahannya dan jangan dihalangi baik itu oleh kakaknya atau yang lainnya. Karena hal itu hanya akan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar. 3. Seorang adik yang akan menikah akan tetapi memiliki kakak yang belum menikah, hendaklah meminta izin terlebih dahulu kepada kakaknya agar tidak terjadi kesalahpahaman ataupun keretakan dalam keluarga. Karena saling menghormati dan menghargai di dalam keluarga itu sangat penting. 4. Hendaklah kepada ahli-ahli hukum keluarga maupun ustadz-ustadz yang
mengerti
mengenai
pernikahan,
untuk
memberikan
pembelajaran-pembelajaran kepada masyarakat mengenai pernikahan agar masyarakat tidak hanya mengacu kepada sesuatu hal yang sudah ada saja seperti halnya adat istiadat, akan tetapi agar masyarakat dapat berfikir lebih luas dan melihat dari berbagai sudut pandang, baik itu sudut pandang adat, sudut pandang agama, maupun sudut pandang hukum positif.
DAFTAR PUSTAKA Asmin. Status Perkawinan Antar Agama: Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974. Jakarta: PT Dian Rakyat. 1986. Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006. Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Penerjemah: Abdul Hayyie alKattani. Jakarta: Gema Insani. 2011. Chaer, Abdul. Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi. Jakarta: Masup. 2012. Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana. 2007. Cetakan ke-2. Duverger, Maurice. Sosiologi Politik. Penerjemah: Daniel Dhakidae. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2000. Cetakan Ke-8. Ensiklopedia Jakarta. Culture and Heritage (Budaya dan Warisan Sejarah). Jakarta: Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dinas Kebudayaan dan Permuseuman. 2005. Gazalba, Sidi. Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan Sosiografi. Jakarta: Bulan Bintang. 1976. George, Vic dan Wilding, Paul. Ideologi dan Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 1992. Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana. 2010. Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1990. Cetakan Ke-IV. ---------------------------. Hukum Ketatanegaraan Adat. Bandung: Alumni. 1998. Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos. 1996. Hidayat, Zulyani. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES. 1996. Hosen, Ibrahim. Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2003. Idris, Abdul Fatah dan Ahmadi, Abu. Fikih Islam Lengkap. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2004.
Kelsen, Hans. Dasar-Dasar Hukum Normatif. Penerjemah: Nurulita Yusron. Bandung: Nusa Media. 2009. Cetakan Ke-2. Khallaf, Abdul Wahhab. Kaidah-Kaidah Hukum Islam: Ilmu Ushul Fiqh. Penerjemah: Noer Iskandar al-Barsany dan Moh. Tolchah Mansoer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002. ---------------------------------. Ilmu Usul Fikih. Penerjemah: Halimuddin. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005. Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Di Dunia Islam Kontemporer. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011. Cetakan ke-1. Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995. Lembaga Kebudayaan Betawi. Upacara Perkawinan Adat Betawi. Jakarta: Lembaga Kebudayaan Betawi. 1994. Medikanto, Joko. Penetapan Wali Adlal (Studi Kasus Pengadilan Agama Kendal). Tesis. Semarang. 2006. Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang. 1974. Muhaimin, Abdul Wahab Abd. Ayat-Ayat Perkawinan dan Perceraian dalam Kajian Ibnu Katsir. Jakarta: Gaung Persada Press. 2010. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Folklor Betawi. Jakarta: Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta. 2000. Pide, A. Suriyaman Masturi. Hukum Adat: Dahulu, Kini dan Akan Datang. Jakarta: Prenada Media Group.2014. Prakoso, Djoko dan Murtika, I Ketut. Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara. 1987. Prodjodikoro, R. Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung. 1991. Pusat Peningkatan dan Jmainan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum. 2012. Rahman, Abdur. Perkawinan dalam Syariat Islam. Penerjemah: Basri Iba Asghari dan Wadi Masturi. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1992. Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. 1994.
Rato, Dominikus. Hukum Adat di Indonesia (Suatu Pengantar). Surabaya: Laksbang Justitia. 2014. Rusdiana, Kama dan Aripin, Jaenal. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2007. S, Salim H dan Nurbani, Erlies Septiana. Perbandingan Hukum Perdata: Comparative Civil Law. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2014. Sabiq, Sayyid. Fiqh As-Sunnah. Kairo: Dar Al-Fath Lil I’lami Al-Arabiy. 2000 Saidi, Ridwan. Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan dan Istiadatnya. Jakarta: PT Gunara Kata. 2004. Salam, Syamsir dan Fadhilah, Amir. Sosiologi Pedesaan. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah. 2008. Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1978. Saputra, Yahya Andi. Upacara Daur Hidup Adat Betawi. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. 2008. Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. Jakarta: Elsas. 2008. Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana. 2010. Singarimbun, Masri. Penduduk dan Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996. Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2003. -------------------------. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers. 2013. Soelaeman, Munandar. Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu Sosial. Bandung: PT Refika Aditama. 2001. Sopyan, Yayan. Islam-Negara Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional. Jakarta: Wahana Semesta Intermedia. 2012. Cetakan Ke-2. Sudarsono. Hukum Kekeluargaan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1991. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2009.
---------------------. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana. 2011. --------------------. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2012. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam. Jakarta: Universitas Indonesia Press. 1986. Tihami, M. A. dkk. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers. 2009. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1988. Turangan, Lily, Willyanto dan Fadhilla, Reza. Seni Budaya dan Warisan Indonesia: Manusia dan Lingkungan Budaya. Jakarta: PT Aku Bisa. 2014. Unger, Roberto M. Teori Hukum Kritis. Penerjemah: Dariyatno dan Derta Sri Widowatie. Bandung: Nusa Media. 2008. Cetakan Ke-2. Worsley, Peter. Pengantar Sosiologi: Sebuah Pembanding, Jilid 2. Penerjemah: Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 1992. Yanggo, Huzaemah T. Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertas., Jakarta: IIQ Press. 2011. Cetakan Ke-2.
PROFIL KELURAHAN PONDOK KARYA KECAMATAN PONDOK AREN KOTA TANGERANG SELATAN KONDISI GEOGRAFIS Luas Wilayah (Ha) : 278.960 Ha Batas Wilayah : Utara Cipadu Timur Pondok Betung Selatan Pondok Ranji Ciputat Timur Barat Jurangmangu Timur Luas Wilayah Menurut Pengguna Lahan Sawah :Ha Darat / Kering : 278.960 Ha Perkebunan :Ha Hutan :Ha Pemukiman : 278.960 Ha Orbitasi Kelurahan (Km) Ke Ibukota Kec Ke Ibukota KAB/KOTA Ke Ibukota Provinsi : 70 Ke Ibukota Negara : 30
:4 :6 Km Km
Km Km
PEMERINTAHAN Jumlah RT / RW RT 69 RW 10 Jumlah Aparat Pemerintah Kelurahan Jumlah Aparat Pegawai Tetap / PNS Pegawai Tidak Tetap / Non PNS Jumlah Sarana Kerja Kantor : Telepon Radio Komunikasi Meja Kursi Mesin Tik Komputer / Laptop Lemari Kayu / Besi Filling Kabinet Meja Tamu Kursi Tamu
:
: 17 Orang 2 Orang 15 Orang
1 1 25 83 4 6 2 5 4
Wifi 1 Kendaraan Roda 3 1 Kendaraan Roda 2 Jumlah Kepala Keluarga dan Jumlah Penduduk Jumlah KK : 5119 KK Jumlah Laki-laki : 10297 Jiwa Jumlah Perempuan : 9883 Jiwa Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia ( Tahun ) 0 – 4 Th 1836 Orang 5 – 9 Th 1607 Orang 10 – 14 Th 2032 Orang 15 – 19 Th 2121 Orang 20 – 24 Th 1873 Orang 25 – 29 Th 2174 Orang 30 – 34 Th 2155 Orang 35 – 39 Th 2181 Orang 40 – 44 Th 1201 Orang 45 – 49 Th 1002 Orang 50 – 54 Th 799 Orang 55 – 59 Th 674 Orang 60 Th Keatas 525 Orang Jumlah 20180 Orang Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama ISLAM 17749 Orang KRISTEN 1097 Orang KHATOLIK 1049 Orang HINDU 131 Orang BUDHA 154 Orang KONGHUCU JUMLAH 20180 Orang Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Tidak Sekolah Belum Tamat SD / 928 Sederajat Tamat SD / Sederajat 2049 Tamat SLTP / Sederajat 2448 Tamat SLTA / Sederajat 6772 Diploma III / Sederajat 777 Diploma IV / Akademik 2141 Starat II 201 Strata III 6 Jumlah
Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencarian / Pekerjaan : Belum / Tidak Kerja 3032 Ibu Rumah Tangga 4151 Pensiunan 339 PNS 482 TNI 26 POLRI 34 Pedagang 52 Petani 0 Karyawan / BUMN / BUMD / 7299 SWASTA Buruh 9 Guru 221 Dosen 26 Dokter 56 Perawat 19 Bidan 5 Lainnya 0 Jumlah 15751 SOSIAL Jumlah Sarana Pendidikan Kelompok Bermain/TK SD / Sederajat SLTP / Sederajat SLTA / Sederajat Perguruan Tinggi
9 11 6 3 -
Tempat Ibadah dan Sarana Pendidikan Agama MASJID 10 MUSHOLLA 22 GEREJA 2 PURA KELENTENG VIHARA MAJLIS TA’LIM 22 TPA 22 PON – PES 1 Pendidikan Non Formal Kursus Montir
Kursus Mengemudi 1 Kursus Elektronik Kursus Memasak Kursus menjahit 1 Kursus Komputer 1 Kursus Kecantikan Kursus Bahasa Inggris 1 SARANA DAN PRASARANA 1. Jalan Panjang jalan yang ada di wilayah Kelurahan Pondok Karya Sepanjang 17.6 Km, dengan klasifikasi a. Berdasarkan status : Jalan Negara : - Km Jalan Provinsi : - Km Jalan KAB / KOTA : - Km b. Berdasarkan Kondisi Fisik : Jalan Beton : 11.9 Km : 5.65 Km Jalan Aspal Jalan Tanah/Diperkeras : - Km 2. Jembatan Jumlah Jembatan dengan Klasifikasi Jembatan Besi : - Buah Jembatan Kayu : - Buah Jembatan Beton : 1 Buah Jembantan Gantung : - Buah 3. Sarana Olah Raga Sepak Bola : 1 Club Bola Volly : 1 Club Bulu Tangkis : 11 Club Tennis : 1 Club Tenis Meja : - Club Basket : - Club Atletik : - Club Golf : - Club : - Club Bela Diri Futsal : 3 Club 4. Sarana Angkutan Umum / Transportasi Bis/Metro mini : Ada ( ± 15 Unit ) Angkutan Umum : Ada / Perorangan Taksi : Ada / Perorangan Motor/Ojek : Ada / Perorangan Sepeda : Tidak Ada Stasiun : Tidak Ada Terminal : Tidak Ada
PEREKONOMIAN NIAGA INDUSTRI, PARIWISATA DAN PERKOPERRASIAN 1. NIAGA INDUSTRI Warung Makan / Restoran : 20 Hotel :2 Pasar : Terminal : Gedung Bioskop :1 Pom Bensin :1 Bengkel Mobil :2 Bengkel Motor : 20 Toko Bangunan / Material : 11 Toko Besi :2 Toko Kaca :3 Percetakan :1 Penjahit : 10 Konveksi :5 Toko Alat Mobil / Motor : Warnet :5 2. PEREKONOMIAN Perbankan BPR Mall / Supermarket Seni Budaya / Sanggar Panti Pijat
:6 : :8 :2
Buah Buah Buah :2 Buah Buah
1. Data dan jumlah peserta Diklat, Prajab dan Diklat Struktur lainnya : 2. Data dan jumlah Peserta Diklat Kedinasan : 3. Data dan Jumlah kasus lingkungan yang ada : 4. Jumlah kasus lingkungan yang ada : 5. Data dan jumlah perusahaan wajib AMDAL : 6. Data dan jumlah perusahaan wajib AMDAL yang yelah diawasi : 7. Data dan jumlah sumur / lubang resapan air : 8. Data dan jumlah RHL : 9. Data dan jumlah pelayanan perijinan yang terpenuhi : 10. Data dan jumlah korban bencana alam : 11. Data dan jumlah korban bencana alam yang dievakuasi : 12. Data dan jumlah Lembaga Ekonomi Mikro Perdesaan : 13. Data dan jumlah kegiatan Usaha Ekonomi Masyarakat Keluarga : 14. Data dan jumlah Posyandu : 29 15. Data dan Jumlah Posyandu yang aktif : 29 16. Data dan jumlah PKK : 1 17. Data dan jumlah PKK yang aktif : 1 18. Data dan jumlah Binaan Kelompok Lembaga Pemberdayaan Masyarakat ( LPM ) : 1 19. Data dan jumlah kader Pembinaan Masyarakat (KPM) : 5 Orang 20. Data dan jumlah Binaan kader Pembinaan masyarakat (KPM) : 21. Data dan jumlah Perempuan Dilembaga Perintahan : 4 Orang 22. Data dan jumlah Perempuan yang ada dilokasi P2WKSS : 23. Data dan jumlah Perempuan yang mendapat pembinaan di;lokasi P2WKSS : 24. Data dan jumlah pengaduan yang masuk keunit pelayanan terpadu : 25. Data dan jumlah pengaduan yang ditindaklanjuti oleh unit pelayanan terpadu : 26. Data dan jumlah perkara kekerasan terhadap perempuan dan anak yang disidangkan : 27. Jumlah perkara yang diputuskan pengadilan dengan dasar perundangundangan yang berkaitan dengan kekerasan perempuan dan anak : 28. Data dan jumlah Suluruh korban KTP/A yang terdata dating kepuskesmas mampu tatalaksana KTP/A atau PPT/PKT dirumah sakit : 29. Data dan jumlah korban kekerasan yang memperoleh layanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih di puskesmas mampu tatalaksana KTP/A atau PPT/PKT dirumah sakit : 30. Data dan jumlah pasangan usia subur (PUS) : ± 2602 31. Data dan jumlah pasangan usia subur (PSU) yang istrinya dibawah 20 tahun : 32. Data dan jumlah unmet need / targer KB baru : 33. Data dan jumlah PUS anggota Bina Keluarga Balita (BKB) : 34. Data dan jumlah PUS anggota Bina Keluarga Remaja (BKR) : 35. Data dan jumlah PUS anggota BKR yang ber-KB : 36. Data dan jumlah anggota Bina Keluarga Lansia : 37. Data dan jumlah anggota Bina Keluarga Lansia Aktif : 38. Data dan jumlah peserta KB aktif : 39. Data dan jumlha PUS yang ingin ber-KB tapi tidak terpenuhi : 40. Data dan jumlah PLKB/PKB, PPKBD :
41. Data dan jumlah kebutuhan alat dan obat kotrasepsi : 42. Data dan jumlah alat dan obat kontrasepsi yang terpenuhi : 43. Data panjang dan jumlah jembatan : 1 Buah panjang 10 M2 44. Data kondisi jembatan : Baik 45. Data dan panjang dan jumlah ruas jalan : 46. Data kondisi jalan : baik 47. Data panjang dan jumlah sungai : 48. Data konsisi sungai : 49. Data panjang kondisi drainase : 17.6 km 50. Data konsdisi drainase : kurang baik 51. Data jumlah titik banjir : 2 52. Data jumlah titik banjir tertangani : 2 53. Data jumlah kebutuhan PJU : 54. Data jumlah kebutuhan PJU terpasang : 55. Data kondisi PJU : 56. Data jumlah RTH : 57. Data jumlah RTH tertata : 58. Data jumlah timbunan sampah : 59. Data jumlah timbunan sampah yang tertangani : 60. Data dan jumlah komunitas yang terlibat dalam pengelolaan persampahan (PSBM) : 61. Data dan jumlah masyarakat miskin penerima jamkesda : 62. Data dan jumlah ibu yang melaksanakan kunjungan antenat 4 kali : 674 63. Data dan jumlah ibu bersalin : 597 64. Data dan jumlah komplikasi kebidanan yang mendapatkan penanganan : 115 65. Data dan jumlah ibu bersalin yang ditolong nakes : 597 66. Data pelayanan ibu nifas ( KF lengkap ) : 597 67. Data dan jumlah neonates : 597 68. Dan jumlah neonates dengan komplikasi yang ditangani : 108 69. Data dan jumlah seluruh bayi lahir hidup : 597 70. Data dan jumlah kunjungan bayi memperoleh pelayanan kesehatan sesuai standar : 597 71. Data dan jumlah pelayanan anak balita : 2406 72. Data dan jumlah anak usia 6-24 bulan yang diberkan MP-ASI : 73. Data dan jumlah seleuruh balita gizi buruk yang ditemukan : 2 74. Data dan jumlah gizi buruk mendapat perawatan disarana pelayanan kesehatan :2 75. Data dan jumlah PUS anggota BKB yang ber-KB : 76. Jumlah kader kesehatan aktif : 154 77. Data dan jumlah desa/kelurahan siaga aktif : 78. Data dan jumlah balita dilayani di posyadu : 3392 79. Data dan jumlah desa/kelurahan UCI : 80. Data dan jumlah penanganan penyakit menular & PTM diseluruh layanan kesehatan : 81. Data dan jumlah penderita DBD yang ditemukan : 14 82. Data dan jumlah penderita DBD yang ditangani sesuai SOP : 14
83. Data dan jumlah ODHA : 84. Data dan jumlah ODHA yang memdapat pengobatan ARV sesuai protokol yang ditetapkan : 85. Data dan jumlah penderita baru TBC (BTA+) yang ditemukan : 86. Data dan jumlah desa/kelurahan mengalami KLB : 87. Data dan jumlah rumah sehat : 88. Data dan jumalah UKM : 89. Data dan jumlah UKM yang mendapatkan bantuan : 90. Data dan jumlah UKM aktif : 91. Data dan jumlah koperasi : 92. Data dan jumlah koperasi aktif : 93. Data dan jumlah SD/MI Negeri : 2 94. Data dan jumlah SD/MI Swasta : 9 95. Data dan jumlah SMP/Mts Swasta : 6 96. Data dan jumlah SMA/MA Negeri : tidak ada 97. Data dan jumlah SMA/MA Swasta : 3 98. Data dan jumlah SMK Negeri : tidak ada 99. Data dan jumlah SMK Swasta : 100. Data dan jumlah siswa SMK Swasta : 101. Data dan jumlah ruang kelas SD/MI Negeri dan kondisinya : 102. Data dan jumlah ruang kelas SD/MI Swasta dan kondisinya : 103. Data dan jumlah ruang kelas SMP/MTs Negeri dan kondisinya : 104. Data dan jumlah ruang kelas SMP/MTs Swasta dan kondisinya : 105. Data dan jumlah ruang kelas SMA/MA Negeri dan kondisinya : 106. Data dan jumlah ruang kelas SMA/MA Swasta dan kondisinya : 107. Data jumlah ruang kelas SMK Negeri dan kondisinya : 108. Data jumlah ruang kelas SMK Swasta dan kondisinya : 109. Data dan jumlah anak putus sekolah usia SD/Sederajat : 110. Data dan jumlah anak putus sekolah usia SMP/Sederajat : 111. Data dan jumlah anak putus sekolah usia SMA/Sederajat : 112. Data jumlah guru SD/SMP/SMA, SMK : 113. Data jumlah guru SD/SMP/SMA, SMK memiliki sertifikat sesuai dengan kompetensi : 114. Data dan jumlah siswa miski SD/MI : 115. Data dan jumlah siswa miski SMP/Mts : 116. Data dan jumlah siswa miski SMA/MA : 117. Data luas areal pertanian : tidak ada 118. Data dan jumlah produksi hasil pertanian : tidak ada 119. Data dan jumlah kelompok tani : tidak ada 120. Data dan jumlah petani terbina : tidak ada
121. Data dan jumlah peternak : tidak ada 122. Data dan jumlah kelompok peternak yang telah mengikuti penyulihan : tidak ada 123. Data dan jumlah produksi budidaya perikanan : tidak ada 124. Data dan jumlah kelompok POKDAKAN, UPR dan kelompok pengolah : tidak ada 125. Data dan jumlah kelompok binaan pokdakan yang mendapatkan bantuan PEMDA : tidak ada 126. Data kondisi kantor kecamatan dan kelurahan : kurang baik 127. Data dan jumlah rumah tangga pengguna air bersih : 5119 KK 128. Data dan jumlah rumah layak dihuni : 129. Data dan jumlah rumah tinggal berakses sanitasi : 130. Data dan jumlah lembaga kesejahteraan sosial : 131. Data dan jumlah lembaga kesejahteraan sosial yang diberdayakan : 132. Data dan jumlah Panti Asuhan : 133. Data dan jumlah Panti Jompo : 134. Data dan jumlah PMKS : 135. Data dan jumlah penduduk usia kerja (15-64 th) : 12584 136. Data dan jumlah penduduk angkatan kerja : 8383 137. Data dan jumlah pencari kerja yang mendaftar : 138. Data dan jumlah pencari kerja yang telah ditempatkan dalam 1 tahun : 139. Data dan jumlah transmigrasi swakarsa : tidak ada 140. Data dan jumlah penduduk berusia > 17 thn yang memiliki KTP : 141. Data dan jumlah keseluruhan pasangan nikah : 142. Data dan jumlah pasangan berakta nikah : 143. Data dan jumlah keseluruhan bayi yang lahir : 144. Data dan jumlah bayi lahir yang memiliki akte kelahiran : 145. Data dan jumlah kondisi prasarana dan fasilitas LLAJ : 146. Data dan jumlah uji kir angkutan umum : 147. Data dan jumlah titik rawan macet : tidak ada 148. Data dan jumlah terminal bis : tidak ada 149. Data dan jumlah tower bersama : tidak ada 150. Data dan jumlah kelompok pengrajin : tidak ada 151. Data dan jumlah kelompok pengrajin binaan PEMDA : tidak ada 152. Data dan jumlah produk industri kecil dan menengah yang mendapatkan fasilitas untuk mendaftarkan HAKI : tidak ada 153. Data dan jumlah kelompok pedagang/usaha informal : 154. Data dan jumlah kelompok pedagang/usaha informal yang mendapatkan binaan PEMDA: 155. Data dan jumlah organisasi kepemudaan :
156. Data dan jumlah kegiatan kepemudaan : 157. Data dan jumlah lapangan olahraga dikelurahan : 158. Data dan jumlah aset kota Tangsel : 2 terdiri dari Kantor Kelurahan Luas 450 M2dan SDN Pondok Karya Luas 1500 M2 159. Data dan jumlah gedung serbaguna : 160. Data dan jumlah cagar budaya yang direvitakisasi : tidak ada 161. Data dan jumlah kunjungan wisatawan : tidak ada 162. Data dan jumlah objek wisata : tidak ada 163. Data dan jumlah kejadian kebakaran : tidak ada 164. Data dan jumlah perpustakaan (Sekolah, Kelurahan) : 165. 166. 167. 168. 169. 170.
Data dan jumlah koleksi buku (perpustakaan sekolah, kelurahan : tidak ada Data dan jumlah pos jaga limnas kelurahan/desa : Data dan jumlah sarana dan prasarana RSUD : tidak ada Data dan jumlah pos jaga pasar : Data dan jumlah lembaga keagamaan dan tempat ibadah : Data dan jumlah penyedian jasa beserta IUJK nya : tidak ada
LAPORAN HASIL WAWANCARA DENGAN KETUA MUI KECAMATAN PONDOK AREN MENJABATAN DARI TAHUN 2009 - Sekarang DRS. KH. HASANUDDIN, MM.
1. Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai Adik yang melangkahi kakaknya dalam pernikahan? Jawaban: Sesuai dengan Syariat bahwa nikah itu siapa yang mendapat jodoh duluan, dia yang akan nikah dan itu tidak melanggar syariat. Tidak karena adiknya nikah duluan lalu dikatakan melanggar syariat, akan tetapi melanggar adat. Adat itupun tidak semua memangku adat tersebut, ada orang yang menganggap itu biasa saja artinya tidak mempermasalahkan bahwa nikah harus kakak duluan karena takut diolok-olok oleh masyarakat atau adat, mereka berjalan biasa saja dan menganggap biasa-biasa saja. Seseorang kalau berbicara adatnya, memang ada sebagian orang yang mengharuskan memberikan sesuatu, seperti halnya uang pelangkah atau tanda jasa dapat berupa barang atau uang. Tetapi hal itu tidak ditentukan nominal atau harganya, hal itu hanya bersifat adat semata yang bertujuan untuk menghibur kakaknya, untuk membuat senang kakaknya yang sudah mengikhlaskan adiknya menikah dengan adanya hadiah yang diberikan. 2. Menurut Bapak, Seberapa kuatkah masyarakat di Kelurahan ini memegang adat istiadat? Jawaban: Untuk melihat secara dalam memang perlu penelitian, Cuma memang hanya sekelompok orang yang memegang adat itu. Memang dilakukan dari generasi ke generasi dan itu merupakan sesuatu yang tidak baku, jadi kalau ditanya seberapa kuat, memang tidaklah kuat karena tidak baku. 3. Bagaimana jika adat pernikahan melangkahi kakak ini sebagai penghalang pernikahan? Jawaban: Memang ada juga, akan tetapi hal itu tidak menjadi sebuah keharusan. Tidak ada adat yang mengkhususkan, hal itu hanya bersifat parsial dan kelompok, hanya ada beberapa orang yang berfikir seperti itu. Kalau secara umum tidak ada. 4. Bagaimana pandangan Hukum Islam tentang adat? Jawaban: Memang ada kaidah “Al-a‟dah Adawah” yang artinya meninggalkan kebiasaan maka akan menimbulkan kesalahpahaman. Tetapi itu adalah adat yang dianggap tidak bertentangan dengan syariat, kalau yang bertentangan dengan syariat, jelas sekuat apapun adat tersebut harus ditinggalkan. Sebab adat itu bukanlah agama, adat hanya kebiasaan
sekelompok orang atau sekelompok daerah sedangkan agama sifatnya universal untuk rahmatan lil „alamin. Sehingga kalau dilihat seberapa kuat adat mempengaruhi agama, tidak boleh jika adat mendominasi agama. Bahkan jika adat yang bertentangan dengan syariat, harus melebur dan harus ikut syariat. 5. Bagaimana pandangan Islam tentang memberikan pelangkah? Jawaban: hal itupun Islam tidak ada aturan mengenai orang yang menikah akan melangkahi terikat dengan pelangkah, kalaupun ada hanya bersifat tasliyah (menghibur) saja. Menghibur kepada si kakak yang dilangkahi sehingga dia tidak menjadi beban dihati atau dibatin dengan dia mendapatkan hadiah, bukan berarti hal itu adalah keharusan bila melangkahi harus memberikan sesuatu. 6. Apakah di dalam Islam, adat mengenai pernikahan melangkahi kakak dapat diberlakukan? Jawaban: Boleh saja diberlakukan, tidak ada larangannya. Jadi boleh saja menikah dengan melangkahi kakaknya. 7. Bagaimanakah jika adat pernikahan melangkahi kakak ini sebagai penghalangan pernikahan? Jawaban: hal ini kan hanya adat, jadi kalau adat sudah bertentangan dengan syariat maka adat harus melebur diri untuk ikut syariat. 8. Bagaimana pandangan bapak sebagai masyarakat betawi juga, apakah adat ini dihapuskan saja atau tetap dipertahankan? Jawaban: Kalau dihapuskan sih tidak, akan tetapi jangan dimaknai hal itu sebagai sebuah keharusan. Artinya jika ingin berjalan, berjalan saja menurut biasanya. Tapi jangan dimaknai bahwa ini adalah suatu keharusan secara adat maupun syariat. Hal itu hanya permberian seseorang, pemberian seseorang itu hanya keikhlasan saja, pemberian suka rela tidak ada paksaan dan tidak ada keharusan. Tangerang Selatan, 3 Mei 2015. Peneliti,
Hendrawan.
Tokoh Agama,
Drs. KH. Hasanuddin, MM.
LAPORAN HASIL WAWANCARA DENGAN TOKOH ADAT PONDOK KARYA (GURU BESAR BEKSI) BAPAK H. MUSLIH
1. Menurut Bapak apakah masyarakat Pondok Karya masih memegang kuat adat istiadat, seberapa kuatkah? Jawaban: Menurut saya untuk hal-hal yang positif masih kuat. Ritual-ritual adat yang positif masih dipegang kuat oleh masyarakat. 2. Bagaimana tata cara Perkawinan di Pondok Karya? Jawaban: Tata cara perkawinan di sini mengikuti tata cara adat pernikahan Betawi, bila tidak melakukan menurut adat pernikahan betawi dianggapnya kurang afdhal. 3. Apakah yang Bapak ketahui mengenai pelangkah? Jawaban: Pelangkah itu apabila ingin menikah di kampung atau desa orang lain maka diwajibkan oleh adat memberikan uang pelangkah ke kampung tempat menikah karena melangkah kampung dengan tujuan untuk meminta izin menikah. Itu yang dimaksud pelangkah kampung. Kemudian ada yang disebut pelangkah kakak, pelangkah kakak itu yang seharusnya nikah terlebih dahulu ialah kakaknya, akan tetapi adiknya mendahului kakaknya menikah. Karena hal itu dari pihak adik memberikan uang pelangkah kepada kakaknya. Budaya seperti itu memang dari dahulu sudah ada, makanya sampai sekarang mayoritas tetap ada dan kuat. 4. Apakah Bapak tahu sejarah adanya budaya pelangkah? Jawaban: jadi pelangkah itu adalah adat orang tua terdahulu seperti itu. Memang jodoh tidak melihat adik atau kakak, yang seharusnya kakak lebih dahulu menikah, akan tetapi dalam hal ini adik lah yang menikah terlebih dahulu. Itulah yang memancing kesadaran dari adiknya untuk memberikan sesuatu kepada kakaknya. Hal itu memang sudah ada sejak dahulu hingga sekarang. Karena memang seharusnya kakak yang lebih dahulu menikah sebelum adiknya. 5. Apa saja kewajiban yang harus dipenuhi bila terjadi pernikahan melangkahi kakak? Jawaban: kewajiban yang harus dipenuhi adik yaitu memberikan sesuatu kepada kakaknya, itu hanya sekedarnya saja tidak bisa dipaksakan. Hal ini untuk menghargai kakaknya. 6. Siapakah yang harus memberikan pelangkah?
Jawaban: Adiknya, tidak bisa diwakilkan kepada siapapun harus adiknya diberikan kepada kakaknya. 7. Siapakah yang diberikan pelangkah? Jawaban: kepada kakak yang dilangkahi saja, hanya kakak kandung bukan kakak sepupu atau yang lainnya. 8. Apakah yang diberikan dalam prosesi pelangkah? Jawaban: biasanya terserah yang ingin memberikan dapat berupa uang atau barang, kakak pun tidak meminta hanya suka rela dari adik. 9. Kapankah pelangkah itu diberikan? Jawaban: pelangkah itu diberikan saat ingin menikah, bahkan disebutkan di dalam ijab qabul. 10. Apakah pelangkah itu menurut adat diharuskan? Jawaban: menurut adat hal itu diharuskan, untuk menjaga hubungan baik kepada kakaknya, jangan sampai ada sakit hati dari kakaknya dan kakaknya dapat mengikhlaskan serta dapat memberikan doa restu kepada adiknya. 11. Apakah ada sanksi apabila pelangkah itu dilanggar? Jawaban: kalau itu tidak ada sanksinya, makanya hal ini hanya untuk meminta doa restu aja, takutnya ada sakit hati bila tidak memberikan pelangkah. Jadi tidak ada sanksi apa-apa. Hal ini hanya menjaga agar tidak ada masalah antara adik dengan kakak. 12. Dimanakah pelangkah itu diberikan? Jawaban: diberikan pada saat menikah, jadi dimanapun seseorang itu menikah maka disitulah pelangkah diberikan kepada kakaknya. 13. Apakah pelangkah tersebut diminta? Jawaban: tidak. Hal ini hanya untuk meminta doa restu, tidak harus diminta, hanya inisiatif dari adiknya. Kakak pun tidak meminta, jadi tidak diberikan juga tidak apa-apa. 14. Apakah pelangkah boleh dihutang atau dicicil? Jawaban: tidak, hal itu tidak bisa dihutang ataupun dicicil. Pelangkah saja hanya se relanya sang adik, tidak diharuskan berapa harganya dan nilainya.
15. Bagaimana jika sang kakak meminta pelangkah yang memberatkan adiknya atau menghalangi adiknya menikah? Jawaban: hal itu salah, aturan dalam adat juga menyalahkan baik itu yang meminta pihak orang tua tetap itu disalahkan. Tidak bisa meminta dengan nominal tertentu atau meminta barang tertentu itu salah. Hanya kesadaran adiknya saja. 16. Apakah tujuan dari adanya pelangkah? Jawaban: tujuan pelangkah itu untuk toleransi antara adik dengan kakak agar rukun dan agar diberikan doa restu dari kakaknya. 17. Apakah manfaat dari adanya pelangkah? Jawaban: manfaatnya itu untuk saling memberikan. Untuk kerukunan di dalam keluarga serta untuk melestarikan budaya.
Tangerang Selatan, 6 Mei 2015.
Peneliti,
Tokoh Adat,
Hendrawan.
H. Muslih