Curriculum Vitae DR. MAS ACHMAD SANTOSA, S.H., LL.M. PENDIDIKAN - Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia (1983) - Master of Laws Degree (LL.M) dari The Osgoode Hall Law School di York University, Toronto, Canada (1990) - Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Indonesia (2014) KARIR - Koordinator Staf Khusus, Satuan Tugas Nasional Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Illegal Fishing) (2015) - Ketua Satuan Tugas Pecegahan dan Pemberantasan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing, Kementerian Kelautan dan Perikanan (2014) - Plt Pimpinan KPK dan Anggota Satuan Tugas Kepresidenan Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH) (2009) - Pendiri Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) - Ketua Presidium Nasional, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
MENINGKATKAN KEPATUHAN HUKUM KAPAL IKAN INDONESIA (KII) MENUJU KONDISI LEGAL, REPORTED AND REGULATED FISHING MAS ACHMAD SANTOSA Koordinator Staf Khusus Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas 115) Penasihat Bidang Hukum Menteri Kelautan dan Perikanan Pendiri Indonesian Center of Environmental Law (ICEL) Dosen Senior Fakultas Hukum Universitas Indonesia
KOMITMEN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Sejak dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, Bapak H. Joko Widodo telah menegaskan bahwa masa depan bangsa Indonesia ada di lautan, dna hal ini dinyatakan dalam komitmennya pada pidato kenegaraan pada tanggal 20 Oktober 2016
“Kita telah telalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, dan memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya, sehingga ‘Jalesveva Jayamahe’, di laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang di masa lalu bisa kembali lagi membahana.” - Presiden RI ke-7, Joko Widodo
LEGAL, REPORTED AND REGULATED FISHING Legal fishing:
conducted by national or foreign vessels in waters under the jurisdiction of a state, with the permission of that state, or in contravention of the laws and regulations of that state;
fishing which complies with the laws, regulations, and conservation and management measures adopted by a fishing vessel’s flag state, or which generally complies with national laws or international obligations, the obligations of cooperating states to relevant regional fisheries management organizations (RFMOs).
Reported fishing: Regulated fishing: fishing activities which have broader term, includes fishing conducted by all been reported, or have been correctly reported, to vessels with nationality, or those flying the flag of a the relevant national authority, in accordance with country which has been a national laws and regulations; party to an RFMO within similar proper reporting or the jurisdiction of that valid reporting to regional RFMO; fisheries management more generally fishing in a organizations manner which complies with the regulations of the RFMO.
3 (TIGA) PILAR PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN INDONESIA Untuk mewujudkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia, permasalahan IUU Fishing harus segera dijawab dengan upaya membangun kembali sektor kelautan dan perikanan Indonesia berdasarkan prinsip kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan. Ketiga prinsip ini merupakan pilar-pilar pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia yang terkait satu sama lain dan tidak dapat berdiri sendiri.
KEDAULATAN (SOVEREIGNTY) • Bebas menentukan nasib sendiri di laut, tanpa campur tangan bangsa asing, untuk kepentingan nasional • Keamanan wilayah • Menjaga sumber daya yang terkandung di dalamnya
KEBERLANJUTAN (SUSTAINABILITY)
KESEJAHTERAAN (PROSPERITY)
• Kekayaan laut tidak habis oleh satu generasi saja • Laut menopang pembangunan nasional • Meningkatkan kualitas hidup bangsa • Pendekatan keberlanjutan dilakukan untuk menghindari Tragedy of Freedom in Commons • Agenda 14.4 pada Sustainable Development Goals
• Mencapai tujuan untuk memajukan kesejahteraan umum (Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945) • Penghasilan ekonomi meningkat • Human Security, yaitu: lingkungan yang sehat, kesehatan terjamin, pendidikan yang layak, terhindar dari praktik pelanggaran HAM
ANALISIS DAN EVALUASI KAPAL YANG PEMBANGUNANNYA DILAKUKAN DI LUAR NEGERI Sebagai tindak lanjut dari moratorium, Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal dibentuk untuk melakukan Analisis dan Evaluasi (Anev) terhadap kapal perikanan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri.
Tingkat Kepatuhan Pengusaha Perikanan
Akar permasalahan dalam kegiatan usaha perikanan tangkap
Pola kepemilikan kapal
Modus Operandi pelanggaran peraturan perundangundangan
Kelemahan legislasi dan regulasi
MODUS FISHING DIFISHING INDONESIA MODUSOPERANDI OPERANDIIUU PRAKTIK IUU Melalui kegiatan Anev, ditemukan bahwa seluruh kapal objek Anev melanggar peraturan perundang-undangan terkait perikanan. 12. Tidak
1. Pemalsuan dokumen pendaftaran kapal 2. Double flagging & double registered
3. Menangkap ikan tanpa izin/dokumen pelayaran (SLO dan SPB) 4. Modifikasi kapal secara ilegal (mark down, merubah call sign, mesin) 5. Menggunakan Nakhoda dan ABK asing
mendaratkan ikan di pelabuhan yang ditetapkan dalam izin
11. Tidak memiliki/bermitra dengan UPI 10. Penggunaan alat tangkap terlarang 9. Pelanggaran jalur penangkapan ikan
8. Pemalsuan data logbook 7. Transhipment ilegal 6. Tidak mengaktifkan transmiter pemantauan kapal (VMS dan AIS)
TINDAK PIDANA LAIN TERKAIT PERIKANAN (FISHERIES CRIME) Kegiatan anev juga mengungkap fakta bahwa kegiatan penangkapan ikan secara ilegal juga diikuti berbagai jenis tindak pidana lain seperti perdagangan orang, perbudakan, penghindaran pembayaran pajak, korupsi, pencucian uang, transaksi BBM secara ilegal, dan penyelundupan barang dan orang.
1. Transaksi minyak ilegal 2. Tindak pidana terkait imigrasi
3. Tindak pidana kepabeanan, (termasuk penyelundupan narkoba, spesies yang dilindungi, komponen kapal dan barang lainnya)
4. Tindak pidana pencucian uang
5. Tindak pidana pajak (pelanggaran kewajiban)
6. Korupsi 7. Pelanggaran serius HAM (perbudakan, perbudakan anak, perdagangan orang) 8. Transaksi Narkoba 9. Tindak pidana ketenagakerjaan
REKAP DATA TANGKAPAN UNSUR SATGAS 115 JANUARI – APRIL 2017 REKAP DATA TANGKAPAN SATGAS 115 (JAN-JUN 2017)
PERBANDINGAN JUMLAH KIA DAN KII YANG DITANGKAP
RINCIAN ASAL NEGARA KIA Bendera
Jumlah Kapal
Indonesia
165
Vietnam
108
Filipina
8
Malaysia
12
Taiwan
1
TOTAL
294
129 165
Kapal Ikan Asing (KIA)
Kapal Ikan Indonesia (KII)
* Sumber Data: Direktorat Operasi Satgas 115, 2 Mei 2017
RINCIAN PENANGKAPAN PER BULAN* TNI AL NO
POLRI
PSDKP KKP
BAKAMLA**
BULAN KII
KIA
KII
KIA
KII
KIA
KII
KIA
2
0
0
0
1
JANUARI
0
3
35
2
FEBRUARI
0
5
36
1
2
2
0
0
3
MARET
0
19
41
2
0
21
0
13
4
APRIL
1
20
36
10
7
13
3
8
5
MEI
0
4
1
1
1
6
0
0
6
JUNI
0
1
0
0
0
0
0
0
TOTAL
1
52
149
14
12
42
3
21
DATA PENENGGELAMAN KAPAL OKTOBER 2014 – APRIL 2017
DATA PENENGGELAMAN KAPAL Penenggelaman kapal dapat dilakukan pada setiap tahapan pemeriksaan, sejak pra-penyidikan hingga pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
DASAR HUKUM PENENGGELAMAN
JUMLAH KAPAL YANG DITENGGELAMKAN KKP, TNI AL DAN POLAIR OKTOBER 2014 – APRIL 2017
UU NO. 45 TAHUN 2009 TENTANG PERIKANAN
NO.
BENDERA KAPAL
TOTAL
1
Vietnam
144
2
Filipina
76
3
Thailand
21
4
Malaysia
50
5
Indonesia
21
Article 92 -- “A ship which sails under the flags of two or more States, using them according to convenience, may not claim any of the nationalities in question with respect to any other State, and may be assimilated to a ship without nationality”
6
Papua Nugini
2
7
China
1
SE MA 1 TAHUN 2015 TENTANG BARANG BUKTI KAPAL DALAM PERKARA PIDANA PERIKANAN
8
Belize
1
9
Tanpa Negara
1
Pasal 69 ayat (4) -- …. Pembakaran dan/atau penenggelaman kapal berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup
UU NO. 45 TAHUN 2009 TENTANG PERIKANAN Pasal 76A -- …. dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri
UNCLOS – RATIFIKASI UU 17 TAHUN 1985
Barang bukti kapal yang digunakan untuk kejahatan pencurian ikan di laut dapat ditenggelamkan atau dimusnahkan
TOTAL
317
7 PRINSIP PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI (PENDEKATAN COMPLIANCE BERSIFAT THREATBASED) 1
2
Penegakan Hukum Administrasi berorientasi Pencegahan Pelaksanaan Penegakan Hukum Administrasi Kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
3
Keberadaan Sanksi Administrasi yang komprehensif
3
Keberadaan Pejabat Pengawas (Inspektur) untuk memantau tingkat kepatuhan
4
Pelaksanaan Pengawasan Kepatuhan secara konsisten dan teratur
4
Kewenangan Pembinaan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah melalui pengembangan NPSK
5
Kewenangan Pengawasan (“Step In”) Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah (oversight dan second line enforcement)
TEORI PENATAAN (COMPLIANCE)
2 (dua) Strategi Law Enforcement (Reiss, 1984)
Pendekatan Penaatan (Compliance)
Pendekatan Penjeraan (Deterrence)
- Tujuan dari penegakan hukum dengan pendekatan compliance adalah menjamin kepatuhan/ketaatan dengan menggunakan perangkat (means) untuk memastikan penaatan tanpa harus menjatuhkan hukuman pidana (penalizing) terhadap pelanggar. Sedangkan strategi penegakan hukum dengan penekanan deterrence adalah menjamin ketaatan/kepatuhan melalui cara-cara pendeteksian terhadap pelanggaran, menentukan pihak-pihak yang bertanggung jawab (liable person). - Reiss mengkategorikan pendekatan compliance yang berbasis insentif (incentive based of compliance), berdasarkan kesadaran/kesukarelaan (voluntary based) sebagai pendekatan penegakan hukum. Dengan perkataan lain, Reiss memberikan definisi yang luas mengenai penegakan hukum yang tidak terbatas pada pendekatan paksaan (coercive), akan tetapi termasuk di dalamnya pendekatan compliance yang bersifat sukarela (voluntary). - Penegakan hukum administrasi dengan penggunaan sanksi administratif seperti teguran, paksaan pemerintah, uang paksa, denda administratif, pembekuan izin dan pencabutan izin merupakan strategi yang lebih sesuai dengan strategi compliance jenis threat based. - Idealnya penggunaan sanksi administratif (threat based) ini dikombinasikan dengan tindakan pembinaan atau bimbingan teknis oleh instansi teknis di bidang lingkungan hidup untuk mencapai tingkat kepatuhan yang optimal.
TEORI PRASYARAT EFEKTIVITAS GAKUM ADMINISTRASI
A bility to Detect Kemampuan untuk Mendeteksi
A bility to Respond
3A+1
Kemampuan untuk Merespon
A bility to Punish Kemampuan untuk Menghukum
A bility to Build Perception Kemampuan untuk Membangun Persepsi
(Wasserman-INECE, 2008)
PRASYARAT EFEKTIVITAS PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI (SANTOSA, 2014)
8 Prasyarat Umum
1. Legislasi (5 kriteria) 2. Mekanisme dan pelaksanaan koordinasi 3. Dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) 4. Sarana dan Prasarana 5. Pembinaan dan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah 6. Sistem dan mekanisme pengaduan masyarakat 7. Kecukupan anggaran untuk melakukan pengawasan kepatuhan 8. Keberadaan Standard Operating Procedures (SOPs).
KEWENANGAN MENTERI KP “STEP IN”
STEP IN
Pengawasan Lapis Kedua (Oversight)
Dilakukan oleh Pemerintah Pusat apabila terdapat pelanggaran serius yang dilakukan oleh kegiatan/usaha
Penegakan Hukum Lapis Kedua (Second Line Enforcement) Dilakukan oleh Pemerintah Pusat apabila Pemda secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang bersifat serius
TERIMA KASIH