P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 5 No. 2 - Desember 2009
ISSN 1411 - 1497
CSR (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY) STRATEGI APLIKASI ETIKA BISNIS Oleh : Edy Supriyono STIE Bank BPD Jateng Semarang ABSTRACK CSR dapat dikatakan sebagai basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat lingkungannya. CSR memandang perusahaan sebagai bagian dari agen moral, sebuah perusahaan sebaiknya harus menjunjung tinggi moralitas baik dengan atau tanpa aturan hukum. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya dan bahkan ikut meningkatkan kualitas masyarakat lainnya. Dengan prinsip ini perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan serta mengaplikasikan CSR akan memberikan manfaat terbesar bagi perusahaan maupun masyarakat, dan selanjutnya masyarakat juga akan memberikan apresiasi positif terhadap perusahaan sehingga terwujudlah suatu hormoni sosial yang saling mendukung untuk lebih maju serta berkembang bersama. Keyword : CSR, Etika Bisnis bagi perusahaan. Maka mereka mengesampingkan etika dalam berbinis, yang penting mendapatkan laba sebesar besarnya. Kelompok lain berpendapat bahwa meskipun tujuan bisnis adalah memperoleh laba tetapi bisnis harus tetap memperhatikan etika. Mereka memiliki argumentasi bahwa dengan memperhatikan etika akan dapat mendapatkan respon positif dari stake holder yang selanjutnya dapat menjaga bisnis berjalan lebih langeng dan saling menguntungkan dalam jangka panjang. Kedua kelompok ini riil ada didalam dunia bisnis dan mereka para
PENDAHULUAN Banyak pandangan yang berkaitan dengan etika bisnis, dimana pandangan-pandangan tersebut merupakan cerminan dari pemikiran-pemikiran yang dilandasi oleh pertimbangan positif dan negatif, baik dan buruk, manfaat dan mudlorot serta berbagai persepsi seseorang mengenai etika bisnis. Satu kelompok memiliki pandangan bahwa tujuan bisnis akan selalu bertentangan dengan etika, mereka beralasan bahwa tujuan bisnis adalah memperoleh laba sebanyakbanyaknya sementara etika akan dapat berpotensi mengurangi laba
16
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 5 No. 2 - Desember 2009
ISSN 1411 - 1497
pelaku bisnis akan mempertahankan pendapat tersebut entah sampai kapan. Bagi mereka yang diluar bisnis mungkin akan mudah memilih mana yang seharusnya dilakukan oleh para pelaku bisnis namun bagi mereka yang terlibat dalam bisnis nampaknya masih sulit untuk menyatukan persepsi alternatif pilihan mana, yang sebaiknya dipraktekkan. Guna memberikan suatu pandangan-pandangan yang lebih obyektif maka mari kita coba kaji permasalahan agar memperoleh jalan keluar yang baik bagi semua.
serta diperhatikan pada konsep-konsep pemahaman tentang visi bisnisnya misalnya dalam konsep tentang laba. Berikut beberapa contoh laba menurut para pelaku bisnis: “Laba ialah tanda kepercayaan masyarakat karena apa yang ditawarkan kepada masyarakat dihargai olehnya”. Demikian pandangan Matsushita CEO Mitsubishi Corp. mengenai tujuan bisnis. ”Kami bekerja keras untuk negara, bukan untuk laba” CEO Daewoo, Kim Woo Chung yang sangat patriotis. “Yang terpenting adalah memenuhi janji kepada konsumen yaitu menjaga mutu pernyataan Dicky Saelan, salah satu manajer PT. Unilever Indonesia. Tiga orang tersebut merupakan contoh orang-orang yang berpandangan idealis terkait dengan tujuan bisnisnya meskipun masih harus kita uji dilapangan, sejauh mana mereka menjalankan praktek etika bisnis dalam bisnisnya sehari-hari. Selain itu berbagai perusahaan juga telah mempraktikkan aplikasi Etika Bisnis dengan baik sebut saja Djarum Kudus, Unilever Indonesia, PT Telkom, Bank Mandiri dan sebagainya. Sementara itu pelaku binis yang lain mempraktekkan hal yang berlawanan misalnya:
Kesenjangan Tujuan Bisnis dan Etika Bisnis. Tujuan bisnis adalah memperoleh laba sebanyak-banyaknya melalui aktivitas ekonomi yang sering kita sebut kewirausahaan. Perilaku para pelaku bisnis lazimnya berbeda-beda dalam mencapai target keuntungan, antar satu pelaku bisnis dengan pelaku bisnis yang lain. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan perspektif dalam memahami etika bisnis yang dimilikinya. Ada yang melihat etika hanya ihwal baik dan buruk dalam bisnis. Namun ada juga pebisnis lebih memahami “etika” bisnis sebagai ketaatan pada undang-undang dan peraturan serta mekanisme pasar. Sebaliknya ada pelaku bisnis yang lebih mengedepankan “pokoknya untung” dengan segala cara: mengabaikan etika bisnis, tanpa kejujuran, tanpa mempedulikan kerusakan lingkungan hidup, tanpa rasa malu (guilty complex), dan mengasingkan diri dari lingkungan bisnis. Bagi sebagian pelaku bisnis yang memiliki kesadaran baik tentang Etika Bisnis biasanya dapat dilihat
Enron Corporation 2001 di Amerika para top eksekutif bekerja sama dengan Akuntan Publiknya Athur Anderson melakukan praktek pengelembungan data akuntansi kususnya yang berhubungan dengan persediaan. Pada awal-
17
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 5 No. 2 - Desember 2009
ISSN 1411 - 1497
nya informasi ini mengakibatkan nilai perusahaan mengalami peningkatan dipasar modal tetapi karena sangat signifikan maka mengundang kecurigaan, akhirnya dilakukan penyelidikan oleh lembaga pengawas emiten dari New York Stock Exchange dan hasilnya pengelembungan tersebut terbukti. Akibatnya segera diikuti merosotnya harga saham yang berakibat pula pada kebangkrutan Enron dan sangsi penghentian Praktik Akuntan Publiknya. PT Neuwmon Indonesia beberapa tahun yang lalu dimana proses bisnisnya mengganggu lingkungan yang berdampak pada timbulnya penyakit bagi masyarakat sekitar dan solusi yang diambil tidaklah terlalu baik. PT Lapindo Brantas di Sidoharjo Jawa Timur yang sampai saat ini menimbulkan problem yang tidak berujung bagi masyarakat yang menjadi korban serta lingkungan sekitarnya. Bagaimanakah sesunguhnya yang baik, dalam makna baik bagi pelaku bisnis maupun baik pada satke holder secara lebih luas?
Apa itu Etika atau Moral? Secara etimologi, etika berasal dari salah satu kata dalam bahasa Yunani, yaitu ethos yang dalam bentuk tunggal memiliki berbagai makna diantaranya padang rumput, kandang, tempat tinggal, adat, akhlak, kebiasaan, cara berfikir dan watak. Bentuk jamak dari kata etika yaitu ta etha yang bermakna adat kebiasaan. Tetapi memahami makna etika tidak cukup hanya berdasar etimologi. Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1998 memaknai etika ke dalam tiga pengertian. Pertama, etika merupakan nilai-nilai dan norma-norma moral yang digunakan sebagai pedoman untuk mengatur tingkah laku manusia. Secara singkat etika dimaknai sebagai sistem nilai. Misalnya, etika Islam, etika Budha, etika suku Jawa dan lain-lain. Pengertian tersebut hampir sama dengan kata etis yang bermakna asas-asas atau nilai nilai tentang sesuatu yang dianggap baik dan buruk. Kedua, etika merupakan kumpulan asas atau nilai moral semacam kode etik. Kedua pengertian tersebut bersifat mengikat karena berhubungan dengan larangan dan perintah. Oleh karena itu pengertian etika di atas adalah bersifat normatif. Ketiga, etika mempunyai makna ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Dalam hal ini, etika dapat dikelompokkan sebagai filsafat moral yang merupakan salah satu cabang ilmu filsafat. Moral berasal dari salah satu kata dalam bahasa Latin yaitu mos (bentuk tunggal) dan mores (bentuk jamak) yang bermakna adat kebiasaan, dengan demikian secara etimologi, kata etika memiliki kesamaan
Tujuan Penulisan dan Pembahasan Praktik-praktik bisnis diatas masih menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan kesadaran atas pelaksanaan Etika Bisnis. Maka dalam rangka meningkatkan kesadaran serta memberikan jalan keluar yang berimbang penulis memberikan alternative dalam artikel ini.
18
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 5 No. 2 - Desember 2009
ISSN 1411 - 1497
dengan kata moral. Perbedaan keduanya terletak pada asal bahasanya, etika berasal dari kata dalam bahasa Yunani sedangkan kata moral berasal dari kata dalam bahasa Latin. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak dapat terlepas dengan masalah etika dan moral, karena didalamnya terkandung norma dan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman tingkah laku manusia, pandangan dan falsafah hidup manusia. Norma dan nilai-nilai inilah yang dapat mendorong manusia megenal baik dan buruk, benar dan salah, patut dan tidak patut. Oleh sebab itu, etika dan moral sebagai (ukuran nilai) menjadi rujukan dalam menilai baik buruknya perilaku manusia. Jadi, hal itu bersifat fundamental dan universal. Itu pula sebabnya, lapangan bermain etika dan moral sangat luas seluas kehidupan manusia itu sendiri.
busi positif terhadap lingkungan sosialnya. Perubahan pada tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat maupun pemerintah memunculkan kesadararan baru tentang pentingnya melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR). Pemahaman itu memberikan pedoman bahwa perusahaan bukan lagi hanya sebagai entitas yang mementingkan dirinya sendiri saja sehingga dapat mengasingkan diri atau ter-alienasi dari lingkungan masyarakat di tempat perusahaan berada, melainkan sebuah entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi sosial maupun kultural dengan lingkungannya. Berikut beberapa difinisi CSR yang telah dikemukakan para ahli serta difinisi menurut Bank Dunia: Gray et al (1987, p. ix) dalam Belal A.,R. (2001)... the process of communiccating the social and envirormental effect of organisation economic actions to particular interest groups whthin society at large. As such, it involves extending the accountability of ogrannisations (particulary companies), beyond the traditional role of capital, in particular shareholdes. Such an extension in predicated upon the assumption that companies do have wider responsibilites than to make money for their shareholders.
CSR sebuah alternatif solusi Sebelum menjawab pertanyaan besar tersebut mari kita mencoba melihat salah satu konsep yang dua dekade balakangan ini menjadi dan menyita perhatian besar bagi para politisi, akademisi, maupun masyarakat bisnis yaitu apa yang populer deng istilah CSR (Corporate Social Responsibility). Masyarakat maupun pemerintah telah semakin kritis, memahami dan mampu melakukan kontrol sosial terhadap dunia usaha. Hal ini menuntut dunia usaha dalam hal ini pelaku bisnis untuk menjalankan aktivitas usahanya dengan semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh keuntungan dari bisnisnya, melainkan juga diharapkan dapat memberikan kontri-
Kemudian Holme and Watts (2000) dalam Wilburn K. (2008, p. 2) “ CSR is the continuing commitmen by business to behave ethically and contribute to economic 19
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 5 No. 2 - Desember 2009
ISSN 1411 - 1497
development while improving the quality of life of the worcforce and their families as well as of the local community and social at large.”
sebagai bagian dari agen moral, sebuah perusahaan sebaiknya harus menjunjung tinggi moralitas baik dengan atau tanpa aturan hukum. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya dan bahkan ikut meningkatkan kualitas masyarakat lainnya. Dengan prinsip ini perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan serta mengaplikasikan CSR akan memberikan manfaat terbesar bagi perusahaan maupun masyarakat, dan selanjutnya masyarakat juga akan memberikan apresiasi positif terhadap perusahaan sehingga terwujudlah suatu hormoni sosial yang saling mendukung untuk lebih maju serta berkembang bersama.
Anron Cramer, presiden of CEO of Business for Social Responsibility dalam Wilburn, K. (2008, p. 2) mendifinisikan CRS “ to use the market economiy to address gaps in income distribution and halp pull people out of proverty, as well as to ensure the sustainability of natural resources such as fish stoks and water” (as cited in Steen, 2007, p. 3) Menurut Bank Dunia, tanggungjawab sosial perusahaan terdiri dari beberapa komponen utama: perlindungan lingkungan, jaminan kerja, hak azasi manusia, interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat, standar usaha dan pasar, pengembangan ekonomi dan badan usaha, perlindungan kesehatan, kepemimpinan dan pendidikan, bantuan bencana kemanusiaan.
Sudah banyak perusahaan di dunia maupun di Indonesia yang makin meyakini bahwa CSR adalah mutlak untuk membangun citra yang lebih baik dan kredibel, dan bahwa inisiatif - inisiatif CSR berwawasan sosial dan lingkungan akan berdampak positif bagi kinerja finansial dan menjamin sukses berkelanjutan bagi suatu perusahaan.
Dari beberapa definisi diatas, maka CSR dapat dikatakan sebagai basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan harmonis dengan masyarakat lingkungannya. Secara teori, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral/etik suatu perusahaan terhadap para strategic-stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang perusahaan
Dapat dikatakan pula bahwa “CSR adalah yang sesuatu yang sifatnya melebihi (beyond) laba, melebihi hal-hal yang diharuskan peraturan dan melebihi sekedar public relations”. CSR dan perkembangannya
20
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 5 No. 2 - Desember 2009
ISSN 1411 - 1497
Menilik sejarahnya, gerakan CSR modern yang berkembang pesat selama dua puluh tahun terakhir ini lahir akibat desakan organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah perilaku korporasi, demi maksimalisasi laba, lazim mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi. Beberapa raksasa korporasi transnasional sempat merasakan jatuhnya reputasi mereka akibat kampanye dalam skala global tersebut. Hingga dekade 1980-90 an, diskusi-diskusi maupun peneilitian CSR terus berkembang. Misalnya KTT Bumi di Rio pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development (pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi. Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dilihat dari perspektif perusahaan, keberlanjutan dimaksud merupakan suatu program mengurangi dampak negatif dari proses bisnis dengan aktifitasaktifitas, berdasarkan konsep kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholder. Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia memunculkan konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic dan environment sustainability.
Ketiga konsep dasar ini menjadi landasan bagi perusahaan dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social Responsibility). Pertemuan penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia. Tujuan pertemuan ini adalah menggugah perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang populer dengan istilah corporate social responsibility. Sesungguhnya substansi keberadaan CSR jika dianalisis lebih jauh adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan bisnis perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar perusahaan dengan cara menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya. Dalam pengertian lain dapat diartikan sebagai cara perusahaan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya, baik lokal, nasional, maupun global. Oleh sebab itu pengembangan CSR ke depan seyogianya terus didorong agar tercapai pembangunan yang berkelanjutan yang harmonis. CSR sebagai sebuah konsep, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang hanya berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan (corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja, tetapi tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple bottom lines. Bottom lines lainnya selain financial yang harus juga diperhatikan adalah sosial dan lingkungan, karena kondisi keuangan saja tidak cukup dapat
21
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 5 No. 2 - Desember 2009
ISSN 1411 - 1497
menjamin perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable). Keberlanjutan perusahaan hanya akan dapat terjamin apabila, perusahaan memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan hidup. Sudah menjadi kenyataan bagaimana resistensi masyarakat sekitar serta birokrat di berbagai tempat dan waktu muncul ke permukaan terhadap perusahaan yang tidak memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya.
dan 50% tidak akan membeli produk dari perusahaan yang bersangkutan dan/atau bicara kepada orang lain tentang kekurangan perusahaan tersebut. Dari pro dan kontra yang terjadi antara beberapa pihak tentang CSR, sebenarnya jika kita telaah lebih dalam tentang aplikasi CSR jika benar-benar dipraktekkan harusnya bisa ikut serta dalam memajukan bangsa dan memperbaiki perekonomian bangsa. Selama ini sudah menjadi rahasia umum, pemerintah belum sempurna dalam membangun bangsa karena alasan kurangnya anggaran dan sumberdaya, dengan adanya CSR sesunguhnya perusahaan bisa membantunya. Sepatutnya CSR ditetapkan dalam aturan yang lebih jelas agar pelaksanaannya benar benar terkoordinasi sehingga dapat lebih luas mendorong kemajuan dan peluang terjadinya penyimpangan bisa diminimalisir. Perlu dicatat para pelaku bisnis, bahwa CSR di Indonesia juga akan makin berperan, dan berbisnis dengan melakukan CSR akan menjadi suatu investasi bagi masa depan perusahaan. Salah satu konsep pemikiran CSR yang digambarkan oleh Lawrence A.T., Weber J., dan Post J.E., “Business and Society” edisi 11, pp 56 sebagai berikut:
CSR dan aplikasi Etika Bisnis Polling tentang perlukah perusahaan melaksanakan CSR pernah dilaksanakan oleh Majalah Swa (2006). Polling yang melibatkan 789 responden ini menunjukkan bahwa 91.38% perlu melaksanakan CSR, 5.58% menyatakan tidak perlu, dan 3.04% menyatakan tidak tahu. Hasil survey “The Millenium Poll on CSR” (1999) yang dilakukan oleh Environics International (Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of Wales Business Leader Forym (London) diantara 25.000 responden di 23 negara menunjukkan bahwa dalam membentuk opini perusahaan, 60% mengatakan bahwa etika bisnis, praktek terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) akan paling berperan, sedangkan bagi 40% citra perusahaan dan brand image yang akan paling mempengaruhi kesan masyarakat. Hanya 1/3 yang mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis fundamental seperti faktor finansial, ukuran perusahaan, strategi perusahaan, atau managemen. Lebih lanjut, sikap konsumen terhadap perusahaan yang dinilai tidak melakukan CSR adalah ingin “menghukum” (40%)
22
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 5 No. 2 - Desember 2009
ISSN 1411 - 1497 tersebut yang akan berhasil. Konsep pentingnya sosial responsibility ini juga diperkuat oleh banyak ahli antara lain: Pernyataan Paine, 2003, dan Shimizu, 2000 dalam Okamoto D 2009, “probabilitas yang tinggi dan juga potensi pertubuhan yang tinggi masih dianggap penting, sekalipun demikian keduanya belum cukup karena dampak sosial yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan saat ini telah demikian signifikan. Perusahaan yang hanya mencari keuntungan serta potensi pertumbuhan bagi dirinya sendiri bukan merupakan perusahaan yang baik”. Hubungan sosial harus ditambahkan sebagai kriteria ketiga (Okamoto 1994, 1995, 1996a, 2000, 2005, 2007a, b: Okamoto et al). Dalam ini profitabilitas adalah kriteria jangka pendek, potensi pertumbuhan adalah kriteria jangka menengah dan hubungan sosial merupakan kriteria
Gambar 1. The Multiple Responsibility of Business
ECONOMIC RESPONSIBILITY
LEGAL RESPONSIBILITY
SOCIAL RESPONSIBILITY
14
Sumber: Business and Society (Lawrence A.T., Weber J., dan Post J. E,) Dari diagram tersebut maka dapatlah kita lihat dan simpulkan bahwa suatu organisasi bisnis yang memiliki sekaligus menjalankan dengan baik tiga tangungjawab
Gambar 2. CSR Reporting dan Legitimacy
Sumber : Bebington, 2007
23
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 5 No. 2 - Desember 2009
ISSN 1411 - 1497
jangka panjang (Okamoto dan Unerman, 2006). Hubungan sosial adalah komitmen perusahaan yang berbeda kepada para stake holdernya selain keuntungan dan potensi pertumbuhan. (Okamoto, 2008). Hubungan sosial tidak seharusnya menjadi sub sasaran atau hal yang berbeda diluar bisnis. Hubungan sosial harus dipandang sebagai faktor yang terpadukan dalam rumusan strategi perusahaan. Perumusan strategi yang memadukan profitabilitas, potensi pertumbuhan dan hubungan sosial didalamnya merupakan hal yang penting karena akan memberikan banyak keuntungan terhadap setiap stake holder serta perusahaan itu sendiri. Penelitian-penelitian lain juga banyak menunjukkan bahwa corporate social performance memiliki hubungan positif terhadap corporate financial performance dan sedikit yang menunjukkan berhubungan negative serta tidak memiliki hubungan. Gambar 2 menunjukkan hubungan CSR dalam sebuah institusi bisnis yang dikembangkan oleh Bebington 2007. Dalam gambar dibawah dapat dijelaskan bahwa laporanh CSR yang dilakukan oleh sebuah institusi bisnis dan dapat diakses oleh stakeholder secara luas, akan meningkatkan reputasi perusahaan. Selanjutnya bersama reputasi yang meningkat akan menjadikan perusahaan mendapatkan legitimasi yang positif dan secara bersamaan akan berdampak pada peningkatan financial performance perusahaan. Bahkan pernyataan Asif Salam 2009 mengatakan perusahaan yang melakukan CSR dengan baik dalam arti pelaksanaan dan pelaporannya seperti sebuah organisasi yang memi-
liki tandon air diwaktu masa kering. Maksudnya ketika masa krisis dimana perusahaan lain banyak mengalami kesulitan, perusahaan yang melaksanakan CSR dengan baik seperti memiliki cadangan konsumen sehingga mereka tidak mengalami kesulitan yang berarti atau paling tidak kesulitannya lebih sedikit disbanding mereka yang tidak mempraktikkan CSR. Inilah barang kali jawaban yang dapat direkomendasikan untuk menyatukan persepsi bahwa para pelaku bisnis hendaknya mempraktekkan Etika Bisnis dimana salah satu yang menurut kami terbaik adalah dengan mempraktikkan CSR dengan sunguhsunguh. KESIMPULAN DAN SARAN Dari uraian diatas maka pertanyaan besar yang muncul dalam paparan didepan kiranya sudah dapat terjawab bahwa yang baik dalam makna yang sebenarnya baik bagi pelaku bisnis atau perusahaan, dan stake holder secara lebih luas adalah suatu unit bisnis yang tidak hanya memiliki tujuan memperoleh laba sebanyak-banyaknya, tetapi mengabaikan tangung jawab sosial namun perusahaan yang melakukan keduanya secara seimbang. Perusahaan yang melakukan tangung jawab sosial (CSR) yang sungung-sungguh akan dapat melakukan laporan CSR dengan penampilan yang baik. Hal ini dapat meningkatkan reputasi CSR perusahaan. Reputasi CSR yang meningkat berdampak pada Corporate Financial Performance (CFP) yang semakin baik pula. Performan laporan keuangan yang baik akan meningkatkan reputasi keuangan yang baik. Reputasi keuangan yang baik dan reputasi
24
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 5 No. 2 - Desember 2009
ISSN 1411 - 1497
CSR yang baik akan memberikan legitimasi yang baik terhadap organisai perusahaan, sehingga organisasi akan mengalami peningkatan yang berkelanjutan. Oleh karenanya dapat penulis sarankan adalah baik jika semua pelaku bisnis mempraktikkan CSR guna mengaplikasikan konsep etika bisnis, karena selain bermanfaat untuk stake holder secara lebih luas, ternyata memiliki dampak yang positif terhadap perusahaan dalam jangka panjang.
managers on the current state of and future prospects for, social reporting in Bangladesh”, Accounting, Auditing and Accountability Jurnal, Vol. 20, No. 3, pp. 472-494. Birth, G. dan Illia, L. (2008), “Communicating CSR practices among Switzerland’s top 300 companies”, Corporate Communications An International Journal, Vol. 13, No. 2, pp. 182-196. Branco, M.C. dan Rodrigues, L.L. (2008), “Factor influencing social responsibility disclosure by Portuguese companies”, Jurnal Business Ethics, Vol. 83, pp. 685-701. Carmichael, D.R. (2004), “The PCAOB and social responsibility of the independen auditor. Accounting Horizon, Vol. 28, No. 2, pp. 127-133. Chih H-L., Shen C-H. dan Kang F-C. (2007),” Corporate social responsibility investor protektion, and earning manajemen: some international evidance,” Journal of Business Ethics, Vol. 79, pp. 179-198. Davidson III, W.N. dan Worrell, D.L. (1990), “A comparison and test of the use of accounting and stock market data in relating corporate social responsibility and financial performance”, Akron Business and Ekonomic Review, Vol. 21, No.3, pp. 719. Dey, C. (2007), “Social accounting and traidcraff.pcl. a struggle for the incoming of fair trade”, Accounting, Auditing and
DAFTAR PUSTAKA Adams, C.A. dan Mc Nicholas, P. (2007), “Making a difference sustainability reporting, accountability and organizational change”, Accounting, Auditing and Accountability Jurnal, Vol. 20 No. 3, pp. 382-402 Adams, C.A. dan Whelaus, G. (2009), “Conceptualising future change in corporate sustainability reporting”, Accounting, Auditing and Accountability Jurnal, Vol. 22, pp. 118-143. Ararat, M. (2009), “A development perspectif for “corporate social responsibility”: case of Turkey”, Corporate Governance, Vol. 8, No. 3, pp. 271-285. Barrett, J.D. (2009), “Corporate social responsibility and quality management revisited”, The Journal for Quality and Participation, pp. 22-29. Brooks L.J., “Business & Profesional Ethics for Directors, Executives, & Accountans”. Belal, A.R. dan Owen, D.L. (2007), “The views of corporate
25
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 5 No. 2 - Desember 2009
ISSN 1411 - 1497
Accountability Jurnal, Vol. 20, No. 3, pp. 423-445. Eweje, G. (2007), “Multinational oil companies’ CSR initiative in Nigeria”, Mangerial Low, Vol. 49, No. 5/6, pp. 218-235. Fauzi, H., Mahoney, L.S. dan Rahman, A.A. (2007), “The link between corporate social performance and financial performance: evidence from Indonesian companies”, Issues in Social and Envirormental Accounting, Vol. 1, No. 1, pp. 149-159.
Salam, M.A. (2009), “Corporate social responsibility in purchasing and supply chain”, Journal of Business Ethics, Vol. 85, pp. 355-370. Scholtens, B. (2009), “Corporate social responsibility in the international banking industry”, Jurnal of Business Ethics, Vol. 86, pp. 159-175. Siwar, Ch. dan Hossain, Md.T. (2009), “An analysis of Islamic CSR concept and the opinions of Malaysian managers”, Management of Environmental Quality: An International Journal, Vol. 20, No. 3, pp. 290-298. Sutantoputro, A.W. (2008), “Social disclosure rating system for assessing firms CSR reports”, Corporate Communications An International Journal, Vol. 14, No. 1, pp. 34-48. Van der Laan, G., Van Ees, H. dan Van Witteloostuijn, A. (2008), “Corporate social and financial performance: An extended stakeholder theory, and emprical test with accounting measures”, Journal of Business Ethics, Vol. 79, pp. 299-310. Vanhamme, J. dan Grobban, B. (2009), “ Too good to be true” The effectiveness of CSR history in countering negative publicity”, Journal of Business Ethics, Vol. 85, pp. 273-283. Velasquez M. G. (2005) “Etika Bisnis Konsep dan Kasus”, Penerbit Andi, Edisi 5 Vuontisjari, T. (2006). “Corporate social reporting in the Europen context and human resource disclosures: An analysis of
Galbreath, J. (2008), “Buikding corporate social responsibility into strategy”, European Business Review, Vol. 21, No. 2, pp. 109-127. I down, S.O. dan Papasolomou. (2007), “Ace the corporate social responsibility matters based on good intentions or false pretences? An empirical study of motivation behind the issuing of CSR reports by UK companies”, Corporate Governance, Vol. 7, No. 2, pp. 136147. Jones, P., Hiller D. dan Comport D. (2009), “Corporate social responsibility in the UK gambling industry”, Corporate Governance, Vol. 9, No. 2, pp. 189-201. Keraf, S.(1998) “Etka Bisnis Tuntutan dan Relevansinya” Pustaka Filsafat Lawrence A.T., Weber J., dan Post J.E. (2005) “Business and Society” Mc. Graw Hill International Edition, Elevanth Editian
26
P3M STIE BANK BPD JATENG Prestasi Vol. 5 No. 2 - Desember 2009
ISSN 1411 - 1497
Finnish companies”, Jurnal Business Ethics, Vol. 69, pp. 331-354. Wilburn, K. (2009), “A model for partnering with not-for-profits to develop socially responsible business in global environment”, Journal of Business Ethics, Vol. 85, pp. 111-120.
27