COVER BELUM ADA
KONSTITUSI september 2013
i
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA tim penelitian unggulan strategis nasional dikti ri 2012 Pembudayaan Pancasila dalam Rangka Pembangunan Karakter Bangsa pada Generasi Muda dalam Era Informatika
universitas gadjah mada
lembaga penelitian & pengabdian masyarakat universitas multimedia nusantara ii
KONSTITUSI september 2013
Edisi September 2013 No.79
Daftar Isi Ruang Sidang
15
jejak konstitusi
48
DPR: Pajak Ganda Rokok Cukup Adil
Yap Thiam Hien Sang Penentang Kembali ke UUD 1945
laporan utama 8
Sengketa Perbankan Syariah Di Tangan Peradilan Agama MK akhirnya menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah inkonstitusional. Alasanya, karena mengandung ketidakpastian hukum dan menghilangkan hak konstitusional nasabah dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
KONSTITUSI MAYA
AKSI
51
Duet Akil Mochtar–Hamdan Zoelva Pimpin MK
5
www.pembaruanperadilan.net Upaya Pembaruan Peradilan di Mahkamah Agung www.litbangdiklatkumdil.net Upaya Peningkatan Kualitas SDM Peradilan
Konstitusi Maya 5
Catatan Perkara 39
Konstitusiana 64
Opini 6
Profil Hakim 44
Pustaka Klasik 65
Laporan utama 8
Aksi 51
Pustaka 67
Ruang Sidang 15
Cakrawala 60
Kamus Hukum 69
Kilas Perkara 34
Ragam Tokoh 63
Catatan MK 71 Cover: Hermanto
KONSTITUSI september 2013
1
Salam Redaksi
Dewan Pengarah: M. Akil Mocthar Hamdan Zoelva Harjono Maria Farida Indrati Muhammad Alim Ahmad Fadlil Sumadi Anwar Usman Arief Hidayat patrialis Akbar Penanggung Jawab: Janedjri M. Gaffar Plh Pemimpin Redaksi: Pawit Haryanto Wakil Pemimpin Redaksi: Heru Setiawan Redaktur Pelaksana: Ardli Nuryadi Redaktur: Miftakhul Huda Nur Rosihin Ana Nano Tresna Arfana Achmad Dodi Haryadi Reporter: Abdullah Yazid Lulu Anjarsari P Yusti Nurul Agustin Utami Argawati Dedy Rahmadi Rahmat Hidayat Hanna Juliet Ilham Wiryadi Panji Erawan Fotografer: Gani Andhini Sayu Fauzia Fitri Yuliana Annisa Lestari Kencana Suluh H. Kontributor: Rita Triana Desain Visual: Herman To Rudi Nur Budiman Teguh Distribusi: Fitri Y Utami Argawati Foto Sampul: medanmagazine.com
Alamat Redaksi: Gedung MK Jl. Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat Telp. (021) 2352 9000 Fax. 3520 177 email:
[email protected] www. mahkamahkonstitusi.go.id
2
M
emasuki September 2013, Majalah KONSTITUSI kembali hadir dengan berbagai informasi aktual. Terpilih sebagai ‘Laporan Utama’ adalah berita putusan Perkara No. 93/PUU-X/2013 – pengujian UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah yang dikabulkan MK. Dalam berita itu Pemohon mendalilkan ketentuan perbankan syariah yang memberi pilihan tempat penyelesaian sengketa syariah, yang dapat diselesaikan di pengadilan negeri maupun pengadilan agama, tidak cukup memberi kepastian hukum. Menurut Mahkamah, adanya pilihan tempat menyelesaikan sengketa dalam perbankan syariah justru telah menyebabkan terjadinya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili. Hal ini jauh berbeda dengan isi UU Peradilan Agama yang secara tegas menyatakan peradilan agama diberikan kewenangan mutlak untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, termasuk di dalamnya sengketa ekonomi syariah. Mahkamah menyakini, proses penyelesaian sengketa syariah harus dilakukan di satu tempat sesuai kesepakatan awal kedua belah pihak, yang diharapkan tidak akan menimbulkan kerancuan tempat penyelesaian sengketa di kemudian hari. Merujuk sengketa yang dialami oleh Pemohon, Mahkamah berkeyakinan, hukum sudah seharusnya memberikan kepastian bagi nasabah dan juga unit usaha syariah dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Nasabah dan unit usaha syariah berhak untuk mendapatkan kepastian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Selain itu pada berita berjudul “DPR: Pajak Ganda Rokok Cukup Adil, DPR berpandangan, pembebanan pajak kepada perokok sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berlaku kepada seluruh warga negara yang mengonsumsi rokok atau perokok. Menjadi perokok adalah merupakan pilihan masing-masing individu. Oleh karena itu, bagi warga negara yang mengonsumsi rokok, dibebankan pajak rokok. Sebaliknya bagi bukan perokok, tidak dibebankan pajak rokok. Berita lainnya, Hamdan Zoelva Terpilih sebagai Wakil Ketua MK Periode 20132016 melalui pemilihan langsung secara terbuka pada Selasa (20/8) di Ruang Sidang Pleno MK. Pada pemilihan yang diikuti oleh dua orang calon tersebut, Hamdan terpilih usai mengungguli calon wakil ketua MK lainnya yaitu Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi. Hasil akhir diperoleh jumlah 3 suara untuk Ahmad Fadlil Sumadi dan 5 suara untuk Hamdan Zoelva. Selanjutnya, ada berita Sosialisasi Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil di Mahkamah Konstitusi. Acara yang bekerjasama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tersebut dihadiri oleh Sekjen MK Janedjri M. Gaffar serta narasumber dari Kemenpan Samsul Rizal. Acara tersebut dibuka dengan sambutan dari Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar yang menyampaikan tentang perlunya penilaian kerja yang jelas terhadap pegawai negeri sipil (PNS) agar bisa mengukur prestasi pegawai. Akhir kata, kami mengucapkan Selamat Membaca! KONSTITUSI september 2013
Editorial
Edisi No.79 - September 2013
Menegaskan Kompetensi Peradilan Agama
P
eradilan agama me miliki sejarah pan jang di Indonesia. Sebelum merdeka, eksistensi peradilan yang biasa disingkat PA ini sudah diakui. Politik kolonial dengan adanya penggolongan penduduk dengan peradilan berbeda-beda, di mana masyarakat pribumi memakai pranata adat dan agama, berpengaruh besar terhadap eksistensi peradilan selanjutnya. Upaya mengatasi dualisme peradilan dilakukan perlahan tapi pasti pasca kemerdekaan Indonesia. Semua peradilan ditegaskan sebagai peradilan negara, yang berarti meniadakan peradilan jalanan. Ada otoritas resmi yang menyelesaikan sengketa yang harus dipatuhi semua orang. Penyelesaian di luar pengadilan masih dimungkinkan dalam hal-hal tertentu sebagai penyelesaian sengketa non-peradilan. Peradilan swapraja dan peradilan adat pun berangsur-angsur dihapuskan. Eksistensi PA dipertahankan dan bahkan perkuat. PA sebagai salah satu peradilan kasus perdata antara orangorang yang beragama Islam kian kokoh dengan ditetapkannya UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Memang tidak semua persoalan umat muslim dapat mengajukan disana, karena terbatas perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Namun demikian, praktiknya masih ditanganinya beberapa kasus yang menjadi ranah PA oleh peradilan umum juga menambah ketidakpastian. UU tersebut menambah kekisruhan dengan memberi peluang pilihan hukum (choice of law) dalam penyelesaian masalah hukum, yaitu sengketa waris. Termasuk hubungan bank dengan nasabah tidak selalu berjalan lancar dan mulus, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menegaskan penyelesaian sengketa perbankan syariah menjadi kompetensi PA. Tetapi juga dibuka ruang bagi para pihak dapat membuat kesepakatan penyelesaian sengketa selain di PA. Penyelesaian tersebut adalah sesuai isi akad, yaitu jalan musyawarah, mediasi perbankan dan lainnya, serta menyebutkan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Penyelesaian sengketa ini dengan catatan tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 29 Agustus 2013, berpendapat adanya persoalan yang muncul ketika dalam akad tidak tertera jelas forum hukum yang dipilih. Hal ini dialami
KONSTITUSI september 2013
Dadang Achmad, Pemohon perkara pengujian UU Perbankan Syariah dan kasus serupa lain. Hal ini memunculkan konflik hukum dalam beberapa putusan pada tingkat arbitrase atau pengadilan yang mengadili perkara yang sama. Beberapa putusan oleh lembaga berbeda ini jelas-jelas menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Dalam pertimbangan hukumnya, MK mengakui akad adalah kesepakatan yang harus dipatuhi sebagaimana undang-undang. Akad mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai undangundang (pacta sun servanda) bagi mereka yang membuatnya. Akan tetapi isi akad tetap memiliki rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar, yaitu harus sesuai undang-undang. Undangundang dalam hal ini telah menegaskan kompetensi (kekuasaan mutlak) dari PA untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Oleh sebab itu, kejelasan dalam penyusunan perjanjian merupakan suatu keharusan, termasuk forum hukum yang dipilih bilamana terjadi sengketa. MK berpendapat, Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah dalam beberapa kasus konkret membuka ruang adanya pilihan forum (choice of forum) penyelesaian. Akibatnya timbul persoalan konstitusionalitas yang akhirnya dapat memunculkan adanya ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan kerugian bukan hanya bagi nasabah, tetapi juga pihak unit usaha syariah. Selain itu, adanya pilihan penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah menyebabkan tumpang tindih kewenangan untuk mengadili. Hal ini karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah, yaitu PA dan peradilan umum. Padahal dalam UUPA secara tegas dinyatakan bahwa PA yang kompeten. Hukum sudah saatnya memberikan kepastian bagi nasabah dan juga unit usaha syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Apabila penyelesaian sengketa oleh lembaga yang tidak kompeten pada akhirnya tidak akan mewujudkan kepastian hukum sebagai prinsip konstitusi dan hukum. Pertimbangan MK ini semakin menegaskan kompetensi PA untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah dan tiada lembaga lain yang berwenang. MK menolak tumpang tindih kewenangan yang terjadi akibat adanya pilihan forum, serta apabila terjadi ketidakjelasan akad memilih forum penyelesaian sengketa. Semoga putusan ini dapat menyelesaikan ketidakpastian hukum dengan kepastian hukum. PA menjadi peradilan negara satu-satunya yang menyelesaikan sengketa perbankan syariah sesuai prinsip-prinsip syariah. Putusan MK ini memiliki semangat menutup peluang penyelesaian oleh peradilan umum, karena PA dengan hukum dan sumber dayanya lebih memenuhi tuntutan perbankan sesuai prinsip-prinsip syariah.
3
Suara Pembaca
Putusan MK yang Tidak Dilaksanakan Yth.Mahkamah Konstitusi RI, saya memiliki beberapa pertanyaan. 1. Bagaimanakah bila putusan MK tidak dilaksanakan, padahal putusan MK bersifat Final and Binding. 2. Apakah ada sanksi yang diberikan apabila putusan MK tdk dilaksanakan? terima kasih Zaka Firma Aditya (via laman Mahkamah Konstitusi)
Jawaban Yth. Sdr. Zaka Firma Aditya, Sesuai Pasal 24C UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi memang bersifat final, yang berarti Putusan Mahkamah Konstitusi
langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Oleh karena itu, sifat final dalam Putusan Mahkamah Konstitusi juga mencakup kekuatan hukum mengikat (final and binding). Terkait pertanyaan Saudara, pada prinsipnya Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan Konstitusi dan prinsip negara hukum melalui putusan atas perkara konstitusional yang menjadi kewenangan dan kewajibannya. Dengan demikian, apabila putusan MK yang bersifat final and binding tidak dilaksanakan, maka sanksi yang berlaku adalah berupa sanksi ketatanegaraan ataupun hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsekuensi hukum akibat sebuah lembaga tidak melaksanakan Putusan MK dengan sendirinya produk hukum terkait Putusan MK tidak memiliki kekuatan hukum. Demikian.
Kami Mengundang Anda
Redaksi Majalah Konstitusi (yang diterbitkan Mahkamah Konstitusi RI) mengundang pakar, intelektual dan warga masyarakat untuk menyumbangkan tulisan dalam rubrik “Opini”, “Suara Pembaca” dan “Pustaka”. Rubrik “Opini”, merupakan rubrik yang berisikan pendapatpendapat berbentuk opini yang mendalam terhadap kajian Konstitusi dan Hukum Tata Negara. Panjang tulisan maksimal 6000 karakter. Rubrik “Suara Pembaca” merupakan rubrik yang berisikan komentar-komentar tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Panjang tulisan maksimal 2000 karakter. Rubrik “Pustaka” merupakan rubrik yang berisikan resensi bukubuku baru hukum dan Konstitusi. Panjang tulisan maksimal 6000 karakter. Tulisan dapat dikirimkan dengan menyertakan data diri, alamat yang jelas, dan foto melalui pos/fax/email ke Redaksi Majalah Konstitusi: Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jalan Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat Telp. (021) 23529000 ext. 18242; Fax. (021) 3520177; atau E-mail :
[email protected] Untuk rubrik Pustaka harap menyertakan tampilan cover buku yang diresensi. Tulisan yang dimuat akan mendapat honorarium.
4
KONSTITUSI september 2013
Konstitusi Maya
www.litbangdiklatkumdil.net
Upaya Peningkatan Kualitas SDM Peradilan
S www.pembaruanperadilan.net
Upaya Pembaruan Peradilan di Mahkamah Agung
D
alam rangka melaksanakan berbagai rekomendasi yang tertuang di dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI, maka Ketua Mahkamah Agung memutuskan melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/26/SK/IV/2004 tentang Pembentukan Tim Pembaruan Peradilan pada Mahkamah Agung RI. SK ini terakhir kali diubah dengan SK KMA No.024/KMA/SK/II/2012. Susunan organisasi dari tim Pembaruan Peradilan pada Mahkamah Agung RI terdiri dari Tim Pengarah, Tim Teknis Program, Tim Asistensi dan Tim Penasehat. Tim Pengarah berwenang untuk memberikan arahan mengenai garis-garis besar program pembaruan peradilan, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dari proses pembaruan peradilan serta mendukung proses penggalangan dukungan dari berbagai pihak agar program pembaruan peradilan dapat berjalan secara optimal, efektif dan efisien. Organisasi Tim Pembaruan Peradilan terdiri dari Tim Pengarah yang diketuai Ketua Ketua Mahkamah Agung langsung. Ada juga Tim Teknis Program yang dikoordinatori Prof. Dr. Paulus E. Lotulung, SH (Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara MA RI), Ketua Kelompok Kerja Manajemen Perkara oleh Ketua Muda Perdata MA RI. Tim Asistensi Pembaruan Peradilan dikoordinatori Aria Suyudi, Tim Penasehat oleh Prof. Dr. Bagir Manan, Mas Achmad Santosa, Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, dan Wiwiek Awiati. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, kantor Tim Pembaruan Peradilan secara kolaboratif didukung oleh pendanaan dari Anggaran Pembelanjaan dan Biaya Negara (APBN) dan kontribusi donor. Tercatat beberapa donor yang pernah terlibat dalam mendukung kegiatan Kantor Tim Pembaruan, yaitu pemerintah Kerajaan Belanda yang disalurkan lewat program IMF (Dutch TA Account), The Asia Foundation, The National Legal Reform Program, dan yang paling lama memberikan dukungan dan sampai sekarang masih aktif adalah Australian Agency for International Development (AusAID) melalui programnya Indonesia Australia legal Development Facility (IALDF) dan saat ini Indonesia Australia Partnership for Justice (IAPJ). Beberapa agenda yang menjadi prioritas, yaitu meningkatkan upaya pemulihan kepercayaan dunia hukum dan masyarakat terhadap profesionalisme, integritas, dan kewibawaan serta martabat peradilan; meningkatkan kualitas pengawasan internal dan eksternal dari masyarakat serta upaya pemberantasan KKN; meningkatkan kualitas pelayanan publik dan penggunaan teknologi baru di setiap pengadilan; dan meningkatkan anggaran yang memadai bagi pelaksanaan tugas kekuasaan kehakiman. Sampai saat ini sesuai dengan kebutuhan Pembaruan Peradilan, Mahkamah Agung menetapkan 5 kelompok kerja, yaitu Kelompok Kerja Manajemen Perkara, Kelompok Kerja Sumber Daya Manusia, Perencanaan & Keuangan, Kelompok Kerja Pendidikan dan Pelatihan, Kelompok Kerja Pengawasan, dan Kelompok Kerja Akses terhadap Keadilan.
KONSTITUSI september 2013
ebagai institusi pendukung kegiatan Mahkamah Agung RI dalam hal penelitian dan pengembangan hukum peradilan serta pendidikan dan pelatihan tenaga teknis peradilan dan tenaga administrasi peradilan, Badan Litbang Diklat Kumdil mencanangkan visi yang selaras dengan visi organisasi induknya (Mahkamah Agung RI). Visinya mewujudkan SDM yang profesional di bidang teknis peradilan dan manajemen kepemimpinan serta terwujudnya hasil pene litian dan pengembangan yang berkualitas dalam membantu terselenggaranya tugas pokok dan fungsi Mahkamah Agung untuk mewujudkan peradilan yang agung. Misinya meningkatkan kualitas profesionalisme SDM teknis peradilan, meningkatkan kualitas profesionalisme SDM manajemen dan kepemimpinan peradilan, meningkatkan kualitas hasil penelitian dan pengembangan dibidang hukum dan peradilan, serta meningkatkan pelayanan dan dukungan operasional diklat teknis peradilan dan diklat manajemen dan kepemimpinan dan penelitian dan pengembangan di bidang hukum dan peradilan yang memadai. Tupoksinya adalah membantu Sekretaris Mahkamah Agung RI dalam melaksanakan Penelitian dan Pengembangan di bidang Hukum dan Peradilan, Kerjasama antar lembaga di dalam dan luar negeri serta Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Teknis dan administrasi peradilan di lingkungan Mahkamah Agung. Sesuai UU, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud UU, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan menyelenggarakan fungsi penyiapan perumusan kebijakan di bidang penelitian dan pengembangan di bidang hukum dan peradilan, kerja sama antar lembaga di dalam dan luar negeri serta Pendidikan dan Pelatihan tenaga teknis dan tenaga administrasi peradilan di lingkungan Mahakmah Agung dan Pengadilan di semua lingkungan Peradilan; Pelaksanaan kebijakan di bidang Penelitian dan Penembangan di bidang Hukum dan Peradilan serta Pendidikan dan Pelatihan tenaga teknis dan tenaga administrasi peradilan di lingkungan Mahkamah Agung dan Pengadilan di semua lingkungan Peradilan; dan pelaksanaan administrasi Badan. Litbangdiklatkumdil memiliki sarana dan prasarana berupa auditorium, ruang kelas, laboratorium bahasa, perpustakaan, laboratorium komputer, ruang simulasi persidangan, rumah transit, asrama peserta diklat, ruang makan, sarana ibadah, poliklinik, dan sarana olahraga. Lembaga peradilan pengawal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi, yang saat ini juga memiliki Pusdiklat di Bogor, dapat bersinergi dan saling belajar dengan Mahkamah Agung dalam upaya meningkatkan kualitas SDM aparaturnya. Abdullah Yazid
5
Opini KEMBALINYA KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA Oleh Khotibul Umam, S.H, LL.M, Dosen Fakultas Hukum UGM, peneliti dan kontributor pada lembaga Pusat Khasanah Hukum dan Praktik Bisnis Syariah
P
engadilan di lingkungan Peradilan Agama pada 2006 mendapatkan tambahan kewenangan, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasca undang-undang dimaksud efektif, pengadilan agama tidak hanya berwenang dalam menerima, memeriksa, memutus, mengadili dan menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan dan kewarisan, melainkan juga di bidang ekonomi syariah. Dalam bagian penjelasan Pasal 49 huruf i disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: a. bank syariah; b. lembaga keuangan mikro syariah; c. asuransi syariah; d. reasuransi syariah; e. reksa dana sayariah; f. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. sekuritas syariah; h. pembiayaan syariah; i. pegadaian syariah; j. dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan k. bisnis syariah. Berdasarkan pada Pasal 49 huruf (i) tersebut, dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Agama mempunyai kompetensi absolut dalam perkara di bidang ekonomi syariah, antara lain yakni sengketa di bidang perbankan syariah. Kompetensi absolut berarti berbicara mengenai kewenangan lingkungan peradilan tertentu terhadap suatu jenis sengketa. Kompetensi sebagaimana dimaksud, sebelumnya menurut “sebagian besar” ahli menjadi tidak lagi absolut, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Permasalahannya Pasal 55 undang-undang dimaksud memberikan pengaturan tentang penyelesaian sengketa perbankan syariah. Dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ditegaskan bahwa: (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama; (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad; (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya melalui: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Implikasi dari adanya ketentuan tersebut, yakni berpotensi menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Hal tersebut pula yang mendorong salah satu nasabah dari PT Bank Muamalat untuk mengajukan permohonan uji materiil terhadap Undang-
6
Undang Perbankan Syariah, khususnya pada Pasal 55 ayat (2) dan (3), yakni melalui Perkara Nomor 93/PUU-X/2012 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Terhadap Undang-Undang Dasar Nagara Republik Indonesia. Hal pokok dari perkara tersebut adalah terkait dengan adanya ketentuan Pasal 55 yang dianggap merugikan nasabah dari PT Bank Muamalat, yakni terkait dengan penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Sementara menurut nasabah pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah yang berkompetensi vide Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adanya Pasal 55 menyebabkan nasabah dirugikan secara konstitusional, khususnya terkait dengan Pasal 28D Bab 10A tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin tentang kepastian hukum bagi warganya. Hal ini terjadi karena ada dua peradilan yang berwenang dalam hal ada choice of forum dalam perkara dengan substansi dan objek yang sama. Berdasarkan pada pendapat ahli sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 93/PUU-X/2012 terlihat bahwa dalam praktiknya conflict of dispute settlement sudah sering terjadi. Hal demikian menurut hemat saya disebabkan karena adanya pengaturan penyelesaian sengketa oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Hakim pengadilan umum sebagai penegak hukum seharusnya menyadari bahwa mereka terikat dengan hukum acara, yang mana hukum acara bersifat imperatif (dwingend recht). Salah satu hal yang diatur dalam hukum acara adalah mengenai kompetensi absolut, yakni berbicara mengenai lingkungan peradilan mana yang berwenang menerima, memeriksa, memutus, dan mengadili suatu jenis perkara. Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 secara tegas telah menentukan bahwa “ekonomi syariah” yang di dalamnya terdapat bank syariah merupakan kompetensi absolut pengadilan di lingkungan Peradilan Agama, sehingga konsekuensi hukumnya adalah bahwa selain lingkungan Peradilan Agama adalah tidak berwenang, walaupun itu diperjanjikan oleh para pihak. Kebebasan berkontrak hanya dapat dilakukan untuk ketentuan hukum yang bersifat perkenan, bukan ketentuan hukum yang bersifat memaksa. Artinya apabila para pihak memperjanjikan lingkungan peradilan umum, maka sejak semula harus dianggap tidak ada karena bertentangan dengan ketentuan hukum yang bersifat imperatif dimaksud. Namun dalam kenyataannya toh ternyata hakim kurang menyadari akan hal itu, dan begitu ada perkara yang dimajukan kepadanya dengan dalih bahwa hakim pengadilan dilarang KONSTITUSI september 2013
menolak perkara atau karena choice of forum menunjuk pengadilan Beberapa Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah juga menyadari di lingkungan peradilan umum, maka mereka menerima begitu bahwa masih banyak akad-akad pembiayaan yang belum sepenuhnya saja perkara tersebut. Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah comply terhadap prinsip-prinsip syariah, misalnya akad pembiayaan dalam realitasnya juga seringkali mencantumkan pilihan forum murabahah yang tidak menyebutkan obyek berupa barang secara berupa pengadilan di lingkungan peradilan umum dengan alasan spesifik, melainkan hanya menyebutkan plafond pembiayaannya. yang “seolah-olah” benar secara yuridis, yakni bahwa Undang- Padahal dalam akad murabahah hal mutlak yang harus diketahui Undang Nomor 21 Tahun 2008 adalah lex specialis terhadap oleh para pihak adalah obyek/barang, harga pokok (historical cost), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sepanjang menyangkut dan berapa margin (mark up) yang dikehendaki sebagai keuntungan penyelesaian sengketa perbankan syariah. Penggunaan asas ini bank. Apabila sengketa timbul pada pelaksanaan akad ini, maka tentu saja tidak dapat begitu saja dibenarkan mengingat bahwa Pengadilan Agama kecenderungannya akan menyatakan bahwa akad berlakunya asas hukum lex specialis derogat legi generali ada 2 dimaksud adalah batal demi hukum. Sementara hakim di Pengadilan (dua) syarat yang harus dipenuhi, yakni bahwa kedua peraturan Negeri mungkin tidak demikian. perundang-undangan tersebut harus berada dalam hierarki yang Oleh karena itu, kita perlu menyambut gembira adanya sama dan keduanya berada dalam satu rezim. putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang Syarat pertama terpenuhi, yakni bahwa keduanya sama-sama dalam amar putusannya menyatakan mengabulkan permohonan di tataran undang-undang, namun syarat kedua tidak terpenuhi Pemohon untuk sebagian, yakni: karena kedua undang-undang tersebut tidak berada dalam satu Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor rezim. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Syariah berada dalam satu rezim dengan Undang-Undang Nomor Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-Undang Dasar Negara Republik sehingga Undang-Undang Nomor Indonesia Tahun 1945; 21 Tahun 2008 merupakan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) lex specialis Undang-Undang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10 Tahun 1998 dan tentang Perbankan Syariah (Lembaran bukan lex specialis dari UndangNegara Republik Indonesia Tahun 2008 ini seharusnya juga dijadikan sebagai Undang Nomor 3 Tahun 2006. Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Asas lex posterior derogat legi momentum bagi Bank Syariah dan Unit Republik Indonesia Nomor 4867) tidak priori (dalam hal terjadi konflik mempunyai kekuatan hukum mengikat. Usaha Syariah untuk membenahi standar ketentuan hukum yang berlaku Dengan demikian yang dinyatakan kemudian dimenangkan atas akad syariah pada produk-produknya tidak berlaku melalui Putusan ini adalah ketentuan hukum sebelumnya) bagian Penjelasan Pasal 55 ayat (2). juga tidak dapat digunakan dalam Artinya bahwa Pasal 55 ayat (2) tetap hal ini dengan alasan yang sama. dianggap tidak bertentangan dengan Adapun rezim penyelesaian sengketa diatur melalui Undang- Undang-Undang Dasar 1945. Hal demikian menurut saya dapat Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Peradilan dibenarkan, karena keberadaan Pasal 55 ayat (2) mewadahi Umum, Undang-Undang Peradilan Agama, Undang-Undang prinsip umum dalam penyelesaian sengketa muamalah, yakni Peradilan Militer, dan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha berupa asas kebebasan berkontrak (al-hurriyah). Dengan adanya Negara untuk litigasi dan Undang-Undang tentang Arbitrase dan Pasal 55 ayat (2),\ akan memberikan legitimasi bagi para pihak Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk non-litigasi. Dengan untuk memilih sarana penyelesaian alternatif (non-litigasi). demikian tidak pada tempatnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi ini seharusnya juga 2008 tentang Perbankan Syariah mengatur tentang penyelesaian dijadikan sebagai momentum bagi Bank Syariah dan Unit Usaha sengketa, karena cukup diserahkan kepada undang-undang lain Syariah untuk membenahi standar akad syariah pada produkyang mengatur tentang hal itu. produknya agar lebih taat terhadap prinsip syariah dan bukannya Alasan lain yang mungkin digunakan oleh Bank Syariah menggunakan peluang menyelesaikan sengketa ke pengadilan dan Unit Usaha Syariah adalah alasan pragmatis bahwa dengan dalam lingkungan Peradilan Umum untuk memperoleh penyelesaian sengketa melalui pengadilan di lingkungan kemenangan dengan mengingat hakim di pengadilan umum peradilan umum, maka pihak bank lebih berpotensi menang ketika belum cukup memahami mengenai akad-akad syariah. berhadapan dengan nasabah. Hal ini terjadi karena pengadilan Akhirnya dengan putusan dimaksud harapannya dapat dalam lingkungan Peradilan Umum tidak begitu memperhatikan menghilangkan adanya dualisme lingkungan peradilan dalam terpenuhinya rukun dan syarat akad pembiayaan syariah, penyelesaian sengketa perbankan syariah. Sengketa perbankan melainkan fokus pada asas kebebasan berkontrak di mana para syariah adalah domein dari pengadilan di lingkungan Peradilan pihak bebas menentukan isi perjanjian dan apabila itu disepakati, Agama atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif sepanjang maka dianggap sebagai undang-undang. para pihak memperjanjikannya.
KONSTITUSI september 2013
7
Laporan Utama
Sengketa Perbankan Syariah Di Tangan Peradilan Agama MK akhirnya menyatakan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah inkonstitusional. Alasanya, karena mengandung ketidakpastian hukum dan menghilangkan hak konstitusional nasabah dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
Dadang Achmad, pemohon prinsipal dalam pengujian Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Perbankan Syariah sesaat setelah MK mengucapkan Putusan Nomor 93/PUU-X/2012 pada Kamis (29/8/2013) di Ruang Sidang Pleno MK.
S
etiap orang tentunya ingin mendapatkan keamanan dan ke nyamanan dalam setiap sendi kehidupannya. Apalagi dalam hal yang berkaitan dengan dunia perbankan. Setiap kesepakatan dan transaksi antara para pihak, sudah semestinya mendapat jaminan kepastian hukum yang jelas dan tegas. Namun apa jadinya bila kepastian hukum tersebut absen dan malah menambah masalah. Itulah yang dialami oleh Dadang Achmad, seorang nasabah Bank
8
Muamalat, Cabang Bogor, Jawa Barat. Dia mengerti benar bagaimana rasanya menyelesaikan masalah dengan aturan yang tidak jelas. Dalam hal ini, kepastian hukum tak hanya diartikan adanya aturan, namun lebih dari itu, yakni adanya aturan yang menyelesaikan masalah, bukan memunculkan persoalan baru. Persoalan bermula dari perbedaan penafsiran dalam menentukan forum mana yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syari ah yang sedang dihadapinya. Di mana memang terdapat beberapa alternatif forum untuk menyelesaikan sengketa perbankan
Humas MK/GANIE
syariah mulai dari di luar pengadilan (non litigasi) hingga litigasi Adalah Pasal 55 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) yang telah memunculkan per soalan tersebut. Pada prinsipnya, per tentangan terjadi antara rumusan Pasal 55 ayat (1) yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa Perbankan Syari ah dilakukan oleh pengadilan dalam ling kungan Peradilan Agama, sedangkan dalam Pasal 55 Ayat (2) menyatakan, para pihak yang telah mengikat janji, dapat memilih penyelesaian sengketa melalui
KONSTITUSI september 2013
beberapa forum penyelesaian sesuai dengan isi akad. Perbedaan pandangan semakin meruncing ketika penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah tersebut memberikan empat pilihan upaya penyelesaian yang dapat ditempuh para pihak, yakni musyawarah, mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain, dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Dengan kata lain, ketentuan ini di satu sisi telah menyatakan bahwa sengketa perbankan syariah adalah kewenangan dalam lingkungan peradilan agama, namun pada pasal berikutnya menyatakan, para pihak diberikan kebebasan memilih forum penyelesaian sengketa yang salah satunya adalah peradilan umum. Dalam praktiknya, rumusan tersebut seringkali menjadi pangkal masalah antara nasabah dengan pihak bank syariah. Terkadang nasabah inginnya diselesaikan melalui peradilan agama, karena dianggap lebih mengerti dan kompeten menangani sengketa perbankan syariah dibandingkan hakim di lingkungan peradilan umum. Akan tetapi, pihak bank biasanya lebih memilih penyelesaian lewat jalur peradilan umum karena dianggap lebih mengakomodasi kepentingannya. Atas persoalan tersebut, akhirnya Dadang mengajukan pengujian konsti tusionalitas Pasal 55 Ayat (2) dan Ayat (3) UU Perbankan Syariah ke Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, ketentuan tersebut mengandung ketidak pastian hukum sehingga merugikan hak konstitusionalnya. "Kerugian yang dialami oleh Pemohon di mana perkaranya sekarang sedang diurus melalui permohonan ke Mahkamah Agung, yaitu tentang kewenangan mengadili. Begitu pula Pemohon meyakini banyak nasabah dari Bank Muamalat Indonesia,Tbk yang merasa dirugikan karena tidak adanya kepastian Hukum,” ungkap Dadang dalam permohonannya. Menurut dia, jika suatu undangundang mempersilakan untuk me milih lembaga peradilan mana yang menyelesaikan sengketa, akan menimbul kan berbagai penafsiran dari berbagai pihak. “Dengan adanya kontradiktif
KONSTITUSI september 2013
tersebut antara yang satu dengan yang lainnya lahirlah penafsiran sendiri-sendiri sehingga makna kepastian hukum menjadi tidak ada,” tegasnya. Sudah Jelas dan Tegas Sementara itu, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat malah berpendapat sebaliknya. Adang Daradjatun, mewakili DPR menyatakan bahwa ketentuan tersebut sebenarnya senafas dengan konstitusi. Menurutnya, pasal yang dipersoalkan oleh Pemohon telah jelas dan tegas serta tidak menimbulkan multitafsir sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Bahkan, kata dia, norma tersebut memberikan hak kepada para pihak, berupa keleluasaan untuk menentukan forum mana yang akan ditempuh jika terjadi sengketa di antara mereka. “Pengaturan terhadap sengketa keperdataan yang dimungkinkan terjadi antar nasabah dan bank syariah, dalam undang-undang a quo memberikan alternatif penyelesaian sengketa, mengingat penyelesaian sengketa merupakan masalah keperdataan antara para pihak yang dapat diselesaikan sesuai dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan para pihak di dalam akad atau perjanjian,” ungkap Adang. Hal itu, kata Adang, juga telah sesuai dengan asas hukum perdata yang memang melingkupi hubungan keperdataan sebagaimana sengketa yang terjadi antara Dadang sebagai Pemohon dengan salah satu bank syariah. “Hal ini sejalan dengan asas hukum perdata tentang kebebasan berkontrak yang disimpulkan dalam ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa semua kontrak perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya,” bebernya. Namun demikian, sambung Adang, alternatif penyelesaian sengketa yang diperjanjikan dalam akad tersebut tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. "Namun penggunaan penyelesaian sengketa yang diperjanjikan dalam akad antara para pihak, wajib berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah. sehingga kepastian hukum tetap dapat terjamin bagi para pihak.” Adapun dibukanya kemungkinan para pihak untuk memilih pengadilan di bawah
Adang Daradjatun
Humas MK/Annisa Lestari
peradilan umum, ujar Adang, salah satunya dilandasi pertimbangan bahwa nasabah bank syariah pada hakikatnya tidaklah selalu orang perorangan yang beragama Islam. Karena memang, tidak ada pembatasan terkait agama atau kepercayaan bagi nasabah bank syariah untuk menggunakan jasa bank syariah sepanjang yang bersangkutan bersedia tunduk pada ketentuan-ketentuan dan prinsip syariah dalam pelaksanaan akadnya, termasuk dalam hal terjadinya sengketa. Apalagi, menurut Anggota Komisi III DPR ini, jika merujuk pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama) dan praktiknya selama ini, dalam proses berperkara di pengadilan agama pun tidak dipungkiri adanya pilihan dalam hal perkara sengketa keperdataan, terkait dengan proses perkara di lingkungan peradilan umum. Bahkan menurutnya, pengadilan agama menghormati keputusan pengadilan tersebut. "Apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan menjadi subjek bersengketa di pengadilan agama, sengketa di pengadilan agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan peradilan umum. Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke pengadilan agama bahwa telah didaftarkan gugatan di pengadilan negeri terhadap objek sengketa yang sama dengan sengketa di pengadilan agama. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pilihan hukum dalam proses
9
Laporan Utama penyelesaian sengketa adalah dimungkinkan dan tidak mengurangi kepastian hukum bagi para pihak,” papar Adang. Senada dengan pandangan DPR, Robinson Simbolon, selaku perwakilan Pemerintah mengungkapkan bahwa argumentasi Pemohon tidak tepat. Menurutnya, alternatif jalur penyelesaian sengketa perdata yang terjadi ruang lingkup perbankan syariah adalah hal yang wajarwajar saja dan dapat dibenarkan secara hukum. Dia berpendapat bahwa ketentuan mengenai penyelesaian sengketa pada perbankan syariah merupakan bagian dari asas kebebasan berkontrak. Selain tu, hal tersebut juga sejalan dengan syariah Islam yang memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk melakukan akad sesuai dengan yang diinginkan oleh para pihak sepanjang sesuai dengan prinsip syariah. Sedangkan yang dimaksud dengan prinsip syariah, ungkap Robinson, adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. “Dengan adanya ketentuan tersebut, terlihat bahwa undang-undang a quo justru sangat menghargai perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak dalam hal pemilihan forum penyelesaian sengketa yang ditujukan apabila pada suatu ketika terjadi sengketa antara pihak-pihak. Asas ini adalah asas universal yang masih diakui oleh masyarakat umum,” tegas Robinson. Di samping itu, menurutnya,
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tutupnya.
Robinson Simbolon
Humas MK/GANIE
ketentuan itu juga akan lebih mendorong masyarakat umum untuk menggunakan jasa perbankan syariah. Hal ini dikarenakan kegiatan usaha dan nasabah perbankan syariah tidak hanya ditujukan bagi masyarakat yang beragama Islam, akan tetapi juga ditujukan bagi masyarakat yang bukan beragama Islam, sehingga dibukalah penyelesaian sengketa di luar peradilan agama dengan ketentuan tetap sesuai dengan prinsip syariah. “Menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UndangUndang Perbankan Syariah dimaksudkan untuk memberikan pilihan-pilihan sarana penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah dengan tetap menerapkan ramburambu sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Sehingga hal demikian telah memberikan kepastian hukum dan tidak bertentangan dengan
Penjelasan Pasal Pangkal Persoalan Pada Kamis, 29 Agustus yang lalu, MK telah menjatuhkan putusan atas persoalan ini. Dalam Putusan Nomor 93/ PUU-X/2012 perihal pengujian Pasal 55 UU Perbankan Syariah yang diajukan oleh Achmad Dadang, MK menyatakan mengabulkan sebagian permohonan Pemohon. “Dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” ucap Ketua MK M. Akil Mochtar. Dalam putusannya MK berpendapat, timbulnya sengketa dalam perbankan syariah yang terjadi antara nasabah dan Unit Usaha Syariah, disebabkan adanya salah satu pihak yang merasa tidak puas atau merasa dirugikan. Pada dasarnya, pihakpihak yang bersengketa diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang dikehendaki sesuai dengan prinsip syariah yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan, proses penyelesaian sengketa dalam perbankan syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 55 UU Perbankan Syariah telah memberikan tugas dan kewenangan kepada pengadilan di lingkungan peradilan agama. Hal tersebut juga diatur lebih lanjut dalam Pasal 49 huruf (i) UU Peradilan Agama, dimana
Pasal 55 UU Perbankan Syariah (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. (2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad. (3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah. Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut: a. musyawarah; b. mediasi perbankan; c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum * Berdasarkan Putusan MK Nomor 93/PUU-X/2012 Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) UU Perbankan Syariah ini telah dinyatakan bertentang dengan konstitusi.
10
KONSTITUSI september 2013
penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Arief menuturkan, secara sistematis, pilihan forum hukum untuk penyelesaian sengketa sesuai dengan akad adalah pilihan kedua bilamana para pihak tidak bersepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan agama. Dengan demikian, menurutnya, pilihan forum hukum untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah harus tertera secara jelas dalam akad (perjanjian). “Para pihak harus bersepakat untuk memilih salah satu forum hukum dalam penyelesaian sengketa bilamana para pihak tidak ingin menyelesaikannya melalui pengadilan agama. Persoalannya muncul bilamana dalam akad tidak tertera secara jelas forum hukum yang dipilih,” ujarnya. Pada ranah ini, ungkap Arief, persoalan tidak jelasnya pilihan forum hukum tidak hanya dialami oleh Pemohon, tetapi banyak pula dialami oleh nasabah bank syariah lainnya, hingga akhirnya timbul konflik hukum. Meskipun pada prinsipnya akad merupakan undangundang bagi mereka yang membuatnya sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, namun suatu akad tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, terlebih lagi undang-undang yang telah menetapkan adanya kekuasaan mutlak bagi suatu badan peradilan tertentu. Oleh sebab itu, kejelasan dalam penyusunan perjanjian merupakan suatu keharusan. Para pihak seharusnya secara jelas menyebutkan salah satu forum hukum yang dipilih jika terjadi sengketa. Pada dasarnya, UU Perbankan Syariah secara normatif telah memberikan contoh forum hukum yang dapat dipilih oleh para pihak dalam membuat perjanjian. Akan tetapi, dibukanya alternatif forum penyelesaian sengketa tersebut pada akhirnya malah menimbulkan persoalan konstitusionalitas karena mengandung ketidakpastian hukum. “Adanya pilihan penyelesaian sengketa (choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa dalam perbankan syariah sebagaimana tersebut dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU a quo pada akhirnya akan menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili oleh karena ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah sedangkan dalam Undang-Undang yang lain (UU Peradilan Agama) secara tegas dinyatakan bahwa peradilan agama diberikan
KONSTITUSI september 2013
kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah termasuk juga sengketa ekonomi syariah,” beber Arief. Akhirnya, dengan merujuk sengketa yang dialami oleh Pemohon dan praktik dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebagaimana terungkap dalam persidangan, menurut MK, hukum sudah seharusnya memberikan kepastian bagi nasabah dan juga unit usaha syariah dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah. Apabila kepastian dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak dapat diwujudkan oleh lembaga yang benarbenar kompeten menangani sengketa perbankan syariah, maka pada akhirnya kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga tidak akan pernah terwujud. “Mahkamah menilai ketentuan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UndangUndang a quo tidak memberi kepastian hukum. Berdasarkan kenyataan yang demikian, walaupun Mahkamah tidak
Akan tetapi, dibukanya alternatif forum penyelesaian sengketa tersebut pada akhirnya malah menimbulkan persoalan konstitusionalitas karena mengandung ketidakpastian hukum
mengadili perkara konkrit, telah cukup bukti bahwa ketentuan Penjelasan pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan hilangnya hak konstitusional nasabah untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi,” tegas Arief.
***
Putusan dalam uji konstitusionalitas Pasal 55 UU Perbankan syariah ini diwarnai perbedaan pandangan yang cukup signifikan antara para hakim. Faktanya, terdapat dua hakim konstitusi yang memiliki alasan berbeda (concurring opinion), yakni Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, sedangkan Hakim Konstitusi Muhammad Alim memiliki
pendapat berbeda (dissenting opinion). Pada intinya, Hamdan Zoelva berpandangan, Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) UU Perbankan Syariah yang memungkinkan penyelesaian sengketa melalui peradilan umum telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip konstitusi. Adapun Fadlil Sumadi menyatakan bahwa Penjelasan Umum dan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) selain bertentangan dengan konstitusi Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28J UUD 1945, menurutnya penjelasan tersebut juga telah membentuk norma baru. "Selain membatasi bentuk-bentuk penyelesaian non-litigasi yang dapat dipilih sebagaimana dipertimbangkan di atas, juga telah membentuk norma baru yang bertentangan dengan pasal dan ayat yang dijelaskan, yaitu bahwa para pihak diberikan hak melalui akad yang dibuatnya mengalihkan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama menjadi kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Pemberian hak untuk membuat akad dengan isi yang bukan saja bertentangan dengan Pasal 55 ayat (1) UU Perbankan Syariah, tetapi juga bertentangan dengan Pasal 49 UU Peradilan Agama,” jelasnya. Sementara itu, Muhammad Alim berpendapat bahwa selama ini belum pernah terjadi suatu kewenangan mutlak peradilan agama diserahkan kepada peradilan umum untuk mengadilinya. Yang justru terjadi, kata dia, kewenangan mengadili perkara pidana yang merupakan kompetensi peradilan umum bagi penduduk beragama Islam di daerah Provinsi Aceh, diadili oleh Mahkamah Syari’ah yang diemban oleh peradilan agama. Oleh karena itu ia berkesimpulan, Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) huruf d, sudah sepantasnya dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. “Adapun Penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf c UndangUndang a quo, yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa sesuai dengan akad adalah upaya musyawarah, mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional, menurut saya hal-hal tersebut merupakan upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dapat dibenarkan berdasarkan asas musyawarah, dengan syarat tidak melanggar ketentuan undangundang dan sejalan dengan ketentuan syariah,” imbuhnya. Achmad Dodi Haryadi
11
Laporan Utama Beberapa pakar perbankan syariah tak luput memberikan pandangannya dalam persoalan ini. Hadir dalam persidangan tiga orang ahli, yakni Muhammad Syafii Antonio, Ija Suntana, dan Deddy Ismatullah. Pada dasarnya, mereka bertiga berpandangan bahwa Pasal 55 UU Perbankan Syariah beserta penjelasannya memang mengandung persoalan hukum sehingga sudah selayaknya dinyatakan inkonstitusional.
Syafii Antonio
Batasi Pintu Dispute Settlement Option
S
yafii Antonio menceritakan bahwa sebelum 2006 dispute settlement option yang terjadi antara perbankan syariah dengan nasabah memang hampir seluruhnya hanya satu, yaitu Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Biasanya dalam perjanjian antara bank dengan nasabahnya dicantumkanlah arbitration clause. Bank sebagai pihak pertama, nasabah sebagai pihak kedua, keduanya sepakat untuk menunjuk Basyarnas sebagai pemutus konflik atau dispute di antara kedua belah pihak. “Biasanya apapun putusan dari Basyarnas ini bersifat final and binding, bersifat mengikat dan tidak bisa ada upaya hukum lanjutan,” tuturnya. Setelah 2006, melalui Pasal 55 UU Perbankan Syariah diberikanlah opsi kepada para pihak dalam perbankan syariah untuk memilih lembaga atau forum dalam hal menyelesaikan seng keta yang terjadi di antara mereka. Mulai dari penyelesaian di peradilan agama, musyawarah, mediasi perbankan, Basyar nas, hingga peradilan umum. Syafii Antonio mencatat bahwa kasus yang muncul dari peraturan tersebut tidak hanya muncul sekali dua kali, namun diperkirakan sudah banyak terjadi dalam dunia perbankan syariah. Di mana lembaga keuangan biasanya berbeda pendapat dengan nasabah dalam menentukan forum mana yang akan ditempuh dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka. Selain itu, dapat juga terjadi ketika salah satu pihak tidak menerima hasil putusan sebuah lembaga, maka pihak tersebut kemudian mencoba mengajukan sengketa ke forum lainnya. Misalnya, tidak puas dengan putusan Basyarnas, maka sengketa kembali diajukan ke pengadilan umum.
12
Humas MK/GANIE
Syafii Antonio saat memberikan pendapatnya sebagai ahli dalam persidangan pengujian Pasal 55 UU Perbankan Syariah, Selasa (29/1/2013) di Ruang Sidang Pleno MK.
Oleh karena itu, menurut Syafii, untuk menghilangkan konflik maka ada dua langkah yang dapat ditempuh. Pertama, ketika terjadi perjanjian antara nasabah dengan lembaga keuangan syariah, harus dijelaskan dan disepakati terlebih dahulu oleh kedua belah pihak forum mana yang akan ditunjuk jika belakangan hari terdapat masalah. Misalnya, pihak pertama dan pihak kedua sepakat menjadikan Basyarnas maka apa pun putusannya nanti akan bersifat final and binding dan tidak boleh ada upaya hukum lainnya. Apabila ada upaya hukum lainnya setelah itu, maka batal demi hukum. “Yang kedua, seandainya akan dipilih adalah pengadilan agama, maka
keduanya juga menyepakatinya sesuai dengan aturan yang berlaku dan supaya tidak terjadi dispute, menurut ahli, jikalau masih dibuka peluang untuk pergi ke pengadilan umum, akan membuat konflik antara peradilan agama dan peradilan umum. Sehingga, menurut ahli akan lebih baik mencabut poin (d) karena menurut ahli menghilangkan pintu ketiga untuk pergi ke peradilan umum, tetapi hanya Basyarnas saja dan/ atau hanya peradilan di lingkungan Peradilan Agama saja sehingga dengan demikian sudah menjadi clear dan tidak terulang masalah ini di kemudian hari,” papar Syafii.
KONSTITUSI september 2013
Inkonstitusionalitas Pengalihan Kewenangan Absolut
D
alam kacamata Ija Suntana, persoalan yang dihadapi Dadang Achmad adalah karena adanya kekaburan dalam menentukan kewenangan absolut penyelesaian sengketa perbankan syariah. Sebab, menurutnya secara filosofis sudah seharusnya sengketa tersebut diserahkan kepada peradilan agama, tanpa harus menghadirkan peradilan umum sebagai salah satu alternatif lembaga yang menangani sengketa perbankan syariah. “Hal yang benar dan tepat apabila penyelesaian perkara perbankan syariah dilakukan dalam lingkungan peradilan yang secara substantif membidangi hal-hal yang terkait dengan nilai-nilai syariat Islam. Apabila diserahkan pada sistem peradilan yang tidak menerapkan aturan-aturan syariah, yang akan muncul adalah ketidaksinkronan antara praktik akad dengan penyelesaian sengketanya. Akad dilakukan di dalam sistem syariah, sementara penyelesaiannya dilakukan dalam lingkungan peradilan yang tidak menggunakan aturan dan asas-asas syariah,” tegasnya. Apalagi hal itu telah dinyatakan secara eksplisit dalam UU Peradilan Agama, yang menyatakan salah satu kompetensi absolut peradilan agama adalah menyelesaikan perkaraperkara sengketa ekonomi syariah dan perbankan syariah. “Oleh sebab itu, pelemparan kompetensi absolut kepada selain lembaga yang tertulis secara langsung, menurut penilaian ahli adalah penyimpangan dari asas kepastian hukum yang diatur dalam UndangUndang Dasar 1945, yaitu Pasal 28D Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin tentang kepastian hukum bagi warganya,” paparnya. Ija juga menegaskan bahwa adanya pilihan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah tersebut, telah memunculkan kekacauan hukum (legal disorder). “Selain itu, akan menimbulkan disparitas keputusan, kemungkinan juga akan terjadi keanehan, sebab mungkin ketika putusan A lahir dari peradilan agama, sementara putusan B lahir dari pengadilan umum untuk kasus yang sama, atau ada dua kasus yang memiliki kemiripan sama atau bahkan sama, maka akan terjadi keanehan bagi para pihak yang menerima,” urainya.
KONSTITUSI september 2013
Humas MK/Annisa Lestari
Deddy Ismatullah (kiri) dan Ija Suntana (kanan) memberikan pandangannya dalam Sidang Mendengarkan Keterangan Ahli, Kamis (20/12/2012) di Ruang Sidang Pleno MK.
Alasan adanya nasabah nonmuslim juga tak lepas dari koreksi Ija Suntana. Menurutnya, dalam teori hukum ketika seorang nonmuslim masuk kepada peradilan atau perbankan syariah, dia telah melakukan choice of law (pilihan hukum). Ketika dia telah memilih hukum, maka secara langsung dia siap dan ikut diatur dengan aturan dan asas yang ada di lembaga yang dia masuki, yaitu hal-hal yang terkait dengan syariah. “Sehingga dari urusan asas, aturan, dan sampai penyelesaian sengketanya harus disesuaikan dengan syariah.” Sementara itu Deddy Ismatullah dalam pandangannya langsung menukik pada pokok persoalan. Terdapat tiga isu konstitusionalitas yang menjadi sorotannya, yakni kepastian hukum, jaminan negara terhadap penduduk dalam menjalankan syariat agamanya, dan jaminan perlindungan hukum yang adil kepada seluruh rakyat. Deddy berpandangan, dengan diberikannya pilihan hukum bagi para pihak dalam menyelesaikan sengketa perbankan, maka kelak akan menimbulkan kebingungan hukum. “Saya melihat (Pasal 55, Red) ayat (2) dan ayat (3)-nya ini tidak rasional, sebab bertentangan dengan ayat (1)-nya. Salah satunya itu adalah dilaksanakan peradilan di peradilan agama diberikan
pilihan di peradilan yang lain. Juga saya melihat ketika ini dilakukan, akan bertentangan dengan UndangUndang Kompetensi Peradilan Agama. Kompetensi peradilan agama ini adalah merupakan kepastian hukum bagi orang yang ingin berperkara di dalam masalah bank ekonomi Islam.” Kemudian, Deddy menuturkan bahwa pengaturan tentang hal ini sangat berkaitan dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. “Saya kira melaksanakan ekonomi syariah di peradilan agama, itu adalah merupakan bentuk daripada implementasi Pasal 29 ayat (2) ini, maka negara mempunyai kewajiban melindungi hak-hak hukum bagi setiap warga negaranya,” ungkap Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini. Selanjutnya Deddy pun mene gaskan bahwa sebaiknya pengadilan agama-lah yang diberikan kewenangan untuk menangani sengketa perbankan syariah. Jadi saya ingin menyampaikan bahwa equality before the law itu adalah samanya kedudukan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri. Tapi pengadilan agama telah dijustifikasi oleh undang-undang tersendiri, sehingga ini adalah merupakan kompetensi absolut bagi peradilan agama.” Achmad Dodi Haryadi
13
14
KONSTITUSI september 2013
ekonomi
Ruang Sidang
DPR: Pajak Ganda Rokok Cukup Adil
Anggota Komisi III DPR RI Syarifuddin Suding saat menyampaikan keterangan DPR RI dalam sidang lanjutan uji materi UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis (22/8/2013).
D
ewan Perwakilan Rakyat (DPR) berpandangan, pembe banan pajak kepada perokok sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) berlaku kepada seluruh warga negara yang mengonsumsi rokok atau perokok. Menjadi perokok adalah merupakan pilihan masingmasing individu. Oleh karena itu, bagi warga negara yang mengonsumsi rokok, dibebankan pajak rokok. Sebaliknya bagi bukan perokok, tidak dibebankan pajak rokok. “Ketentuan mengenai pajak rokok telah memenuhi asas keadilan, yaitu terhadap hal yang sama dikenakan ketentuan yang sama pula. Oleh karenanya, DPR berpandangan ketentuan mengenai pajak rokok tidaklah bertentangan dengan UUD 1945,” kata Anggota Komisi III DPR RI, Syarifuddin Suding, saat menyampaikan keterangan DPR dalam persidangan di MK, Kamis (22/08/2013) siang.
KONSTITUSI september 2013
Sidang kali ketiga untuk perkara Nomor 64/PUU-XI/2013 ihwal uji materi UU PDRD ini diajukan oleh Mulyana Wirakusumah, Hendardi, Aizzudin, Neta S. Pane, dan Bambang Isti Nugroho. Mulyana Wirakusumah dkk mengujikan Pasal 1 angka 19, Pasal 2 ayat (1) huruf e, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 94 ayat (1) huruf c dan Pasal 181 UU PDRD terhadap Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. “Tax Power Sharing” Suding menjelaskan, pajak daerah merupakan salah satu bentuk kebijakan desentralisasi fiskal. Argumentasi yang menjadi landasan pelaksanaan desentrali sasi fiskal adalah bahwa pemerintah daerah lebih memahami dan mengerti akan kebutuhan yang diperlukan dalam menyediakan tingkat pelayanan publik yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Pemerintah daerahlah yang paling menguasai segala potensi yang ada di wilayahnya, sehingga diharapkan
Humas MK/GANIE
daerah akan dapat mengoptimalkan kegiatan pemungutan pajak di daerahnya masing-masing. Menurut DPR, kebijakan perpajak an dalam konteks desentralisasi fiskal yang menjadi pertanda penting bagi demokrasi adalah dengan adanya pem bagian wewenang perpajakan taxing power sharing yang di dalamnya terdiri dari aspek expenditure assessment dan revenue assessment dengan tujuan utama adalah untuk tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas. Pembagian wewenang perpajakan secara substantif mengandung makna dan tujuan sebagai bentuk fiskal power sharing untuk membangun kemandirian daerah dalam hal fiskal. “Karena sisi paling penting dalam revenue assessment adalah kewenangan perpajakan, tax power sharing, pembagian kewenangan perpajakan,” terangnya. Pembagian kewenangan perpajakan tersebut dimaksudkan untuk memberikan kewenangan yang lebih maksimal bagi daerah dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan kepada pusat. Oleh
15
Ruang Sidang
ekonomi
karenanya, desentralisasi fiskal dibarengi dengan adanya pergeseran kekuasaan perpajakan (tax power) dari pemerintah nasional ke daerah. Penyempurnaan sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan dengan mengubah sistem daftar terbuka menjadi daftar tertutup, sehingga jenis pajak yang dapat dipungut oleh daerah adalah hanya jenis pajak yang telah ditetapkan berdasarkan UU PDRD. “Daerah tidak diberikan kewenangan dan tidak diperbolehkan untuk menetapkan jenis pajak baru di luar yang telah ditetapkan undang-undang tersebut,” tambah Suding Rokok Bukan Kebutuhan Pokok Ketentuan dalam UU PDRD juga mengatur tentang local tax power yang dilakukan dengan cara menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah, memperluas basis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada, mengalihkan beberapa jenis pajak pusat menjadi pajak daerah, dan memberikan diskresi kepada daerah untuk menetapkan tarif. Salah satu contoh pengaturan penguatan local tax power dalam UU PDRD adalah ketentuan mengenai pajak rokok yang merupakan jenis pajak baru bagi provinsi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 19, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 94 ayat (1) huruf c, dan Pasal 181 UU PDRD. Ketentuan pajak rokok dalam pasalpasal tersebut, menurut pandangan DPR, tidak terlalu membebani masyarakat. “Karena rokok bukanlah merupakan barang kebutuhan pokok yang bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya perlu dikendalikan,” dalil Suding. Di sisi lain, pengenaan pajak ini tidak terlalu berdampak pada industri rokok. Sebab beban pajak rokok akan disesuaikan dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional yang besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri rokok mengikuti pertumbuhan alamiah (natural growth) industri tersebut. Pajak rokok ini diberlakukan pada 1 Januari 2014 mendatang. Dasar pengenaan pajak rokok adalah cukai yang ditetapkan pemerintah terhadap rokok. Tarif pajak rokok disepakati 10% dari cukai rokok.
“Hasil penerimaan pajak rokok 70% dari kabupaten/kota dan 30% untuk provinsi. Untuk itu, baik bagian provinsi maupun kabupaten/kota wajib dialokasikan paling sedikit 50% untuk digunakan mendanai pelayanan kesehatan,” ungkap Suding. Ditemui usai persidangan, Suding membandingkan cukai di Indonesia dengan negara-negara di Asia Pasifik. “Negara-negara lain pajak rokoknya jauh lebih besar. Kita (Indonesia) hanya 36%, sementara Singapura 68%, Thailand 63%, Filipina 49% dan Vietnam 45%,” ungkap Suding kepada “Majalah Konstitusi”. DPR berharap, tingginya pajak rokok akan mengurangi jumlah perokok pemula. khususnya bagi remaja, dimana data tahun 2004 menunjukkan peningkatan dari 0,4% menjadi 2,8%. “Kita harus lihat sisi positifnya, kita berharap tingginya pajak rokok akan mengurangi jumlah perokok pemula,” harap Sudding. Pajak Bagi Perokok Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI, Marwanto Harjowiryono, menyatakan UU PDRD memperbaiki tiga hal pokok, yakni penyempurnaan penetapan kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan, dan peningkatan efektivitas pengawasan. Dalam UU PDRD, terdapat empat penambahan jenis pajak baru, yaitu pajak rokok, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan pajak sarang burung walet. Selain itu, dalam UU PDRD juga terdapat penambahan tiga jenis retribusi daerah, yaitu Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Penamba han jenis retribusi ini tidak akan menambah beban masyarakat karena jenis retribusi dimaksud layak dipungut dan selama ini telah dilaksanakan oleh daerah sesuai dengan kewenangannya. Senada dengan DPR, Pemerintah menyatakan, kebijakan penetapan pajak rokok sebagai pajak daerah dilakukan dalam upaya meningkatkan kemampuan perpajakan di daerah untuk mewujudkan
Marwanto Harjowiryono
Humas MK/GANIE
keselarasan antara kewenangan fiskal daerah dengan beban, fungsi, dan tanggung jawab daerah. “Penetapan pajak rokok sebagai pajak daerah, pada hakikatnya merupakan kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah dalam rangka perluasan kewenangan pemajakan pemerintah daerah (local taxing power) melalui basis pajak pusat atau yang sering disebut sebagai piggy back taxing system,” kata Marwanto Harjowiryono, menyampaikan keterangan Pemerintah. Marwanto melanjutkan, UU PDRD membatasi pengenaan pajak rokok kepada perokok. Ketentuan ini tidak berlaku bagi bukan perokok. “Dengan demikian, ketentuan a quo telah memberikan jaminan dan perlindungan hukum secara adil berdasarkan undang-undang,” tegasnya. Inkonstitusional Di pihak lain, kuasa hukum Mulyana Wirakusumah dkk, Robikin Emhas, bersikeras agar tuntutannya da pat dikabulkan oleh MK. Menurutnya, pengenaan pajak ganda pada satu jenis komoditi bertentangan dengan konstitusi. “Kami punya analogi yang menarik, saat MK membatalkan ketentuan pengenaan pajak ganda pada olah raga golf yang dikenakan pajak olah raga dan pajak hiburan. MK membatalkan ketentuan itu. Kami yakin MK akan mengabulkan tuntutan kami,” tegas Robikin kepada Majalah Konstitusi”. Julie/Nur Rosihin Ana
16
KONSTITUSI september 2013
Kekayaan BUMN, Kekayaan Negara?
Pleno Hakim Konstitusi menggelar sidang uji materi UU Keuangan Negara dan UU BPK dengan agenda mendengar keterangan ahli, Selasa (27/8/2013) di Ruang Sidang Pleno MK.
P
engelolaan dan pertanggung jawaban keuangan Negara dalam ketentuan Pasal 2 huruf g dan huruf i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), tidak memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Akibatnya, terjadi benturan hukum dan inkonsistensi dalam pengelolaan dan pemeriksaan serta pertanggungjawaban keuangan yang dianggap termasuk ruang lingkup keuangan negara. Selain itu, membawa implikasi yang tidak menguntungkan karena negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam menanggung risiko yang terjadi pada semua lingkup keuangan negara, yang seharusnya tidak menjadi tangung jawab negara. Intinya, Pasal 2 huruf g dan huruf I UU Keuangan Negara tidak memberikan kepastian hukum terhadap status kekayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Apakah kekayaan BUMN
KONSTITUSI september 2013
termasuk ke dalam kekayaan negara? Banyak perusahaan berbadan hukum yang mendapat fasilitas dari pemerintah. Apakah kekayaan perusahaan tersebut menjadi kekayaan Negara? Pertanyaan tersebut mengemuka dalam permohonan Perkara Nomor 48/ PUU-XI/2013 ihwal pengujian materi UU Keuangan Negara yang diajukan oleh Center for Strategic Studies University of Indonesia (CSSUI) atau Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia. Selain CSSUI, permohonan pengujian Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara juga diajukan oleh Forum Hukum Badan Usaha Milik Negara, Omay Komar Wiraatmadja, dan Sutrisno. Dalam per mohonan Nomor 62/PUU-XI/2013, para Pemohon mengujikan Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara, serta Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) huruf b, dan Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan terhadap UUD 1945.
Humas MK/Rizka
Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara menyatakan, “Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi: g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hakhak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah; i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Sejumlah ahli dan saksi Pemohon, didengar keterangannya dalam persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan BPK, ahli/saksi pemohon, dan pemerintah, yang digelar pada Senin (26/8/2013). Pada persidangan kelima ini, Pemohon Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013 menghadirkan dua orang ahli yaitu, Erman Rajagukguk dan Hikmahanto Juwana, serta tiga orang saksi yaitu Gatot M. Suwondo, Heriyanto Agung Putra dan Kartika B. Khaeroni. Nur Rosihin Ana/Julie
17
Ruang Sidang
ekonomi
Gatot Mudiantoro Suwondo
Utang BUMN Bukan Utang Negara
Gatot Mudiantoro Suwondo
D
Humas MK/rizka
irektur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Gatot Mudiantoro Suwondo, menyatakan status piutang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebelumnya masuk dalam rezim piutang Negara. Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUUIX/2011, dinyatakan bahwa piutang BUMN setelah berlakunya UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara, UndangUndang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, serta Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, adalah bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). “Pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah tersebut secara terang dan jelas menyatakan bahwa BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,” kata Gatot saat menjadi saksi Pemohon Perkara Nomor 62/PUU-XI/2013, dalam persidangan di MK, Senin (26/8/2013). Namun dalam praktik, putusan MK tersebut belum berlaku efektif karena masih adanya penafsiran yang berbeda dari para pemangku kepentingan mengenai ketentuan dalam Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara. “Sampai saat ini, putusan MK tersebut tidak bisa dilaksanakan dalam praktik,” kata Gatot. Selengkapnya Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara menyatakan, “Keuangan Negara sebagai mana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi: g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga,
piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Menurutnya Gatot, bank BUMN tidak hanya tunduk pada UU BUMN dan UU PT, tapi juga tunduk pada ketentuan dalam UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU BPK. Kemudian, bank BUMN selain diaudit oleh Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), juga diaudit oleh akuntan publik. Bank BUMN juga tidak memiliki fleksibilitas karena harus menyampaikan pertanggungjawaban kelembagaan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dewan komisaris, Pemerintah, DPR, dan BPK. Sedangkan bank swasta nasional hanya memiliki pertanggungjawaban kelembagaan kepada RUPS dan dewan komisaris, sehingga sangat fleksibel dibandingkan dengan bank BUMN. “Dengan demikian, bank swasta nasional lebih cepat memanfaatkan peluang bisnis yang ada di depan mata dan memanfaatkan waktu yang sangat cepat,” banding Gatot.
Heriyanto Agung Putra
Keputusan Bisnis Berujung Tindak Pidana Korupsi
U Heriyanto Agung Putra
18
Humas MK/rizka
ntung-rugi dalam dunia usaha merupakan hal yang wajar. Namun, keberanian untuk mengambil keputusan korporasi secara cepat, mutlak diperlukan. Sebab, bisnis selalu berkaitan dengan persoalan bagaimana kita memanfaatkan setiap peluang yang ada untuk mempertahankan atau meningkatkan kegiatan usaha. “Persoalannya adalah,
manakala Garuda harus menanggung akibat keputusan bisnisnya sehingga menderita kerugian, maka kerugian bisnis yang diderita itu bisa dianggap sebagai kerugian keuangan negara, kata Direktur SDM dan Umum PT Garuda Indonesia Persero, Tbk. Heriyanto Agung Putra dalam persidangan di MK, Senin (26/8/2013).
KONSTITUSI september 2013
Adanya penafsiran yang menyata kan bahwa keuangan Garuda Indonesia adalah keuangan negara, membuat pengurus BUMN ini diliputi kekhawatiran pada saat hendak mengambil keputusan bisnis atau tindakan korporasi. “Karena mungkin saja hal tersebut dapat berujung pada proses hukum dugaan tindak pidana korupsi yang justru dapat merugikan pribadi, keluarga, dan perusahaan kami sendiri, ungkapnya. Akibatnya, pengurus seringkali tidak mengambil keputusan bisnis secara cepat. Bahkan kadang tidak berani mengambil keputusan apapun terhadap peluang bisnis yang ada.
“Dengan demikian, terdapat hubungan sebab-akibat antara sikap diliputi rasa kekhawatiran dan opportunity lost yang terjadi, di mana hal ini bermuara pada hal yang sama yaitu disebabkan karena anggapan keuangan BUMN sama dengan keuangan negara berdasarkan ketentuan yang ada dalam UndangUndang Keuangan Negara dan UndangUndang BPK,” dalil Heriyanto. Heriyanto mencontohkan proses pengadaan pesawat di Garuda Indonesia tidak semudah di perusahaan swasta. Proses pengadaan pesawat di Garuda Indonesia lebih kompleks dan tidak dapat
dilakukan apabila pesawatnya secara fisik belum ada. Garuda Indonesia tidak dapat menerima tawaran pemesanan pembelian pesawat Boeing 737 karena rencana pembuatan pesawat tersebut baru selesai di tahun 2017. “Berbeda dengan perusahaan penerbangan swasta yang berani mengambil keputusan untuk memesan pesawat tersebut karena mereka mengetahui bahwa pembelian tersebut nantinya akan sangat menguntungkan, baik dari segi harga maupun efisiensi pengelolaan dan perawatan,” Heriyanto membandingkan.
deviden serta pajak-pajak kepada negara dalam nilai saat ini (present value) berjumlah puluhan triliyun rupiah. “Penyertaan modal negara (PMN) yang benar-benar disetor dari kas Negara hanyalah pada awal pendirian ASEI tahun 1985 sebesar Rp3,5 miliar. PMN selanjutnya diakumulasikan dari laba perusahaan dalam bentuk laba yang ditahan (retained earning) serta cadangan (reserves). Selama kurun waktu hampir 30 tahun tersebut juga PT ASEI selalu memperoleh penilaian audit wajar tanpa pengecualian,” kisah Kartika dalam persidangan di MK, Senin (26/8/2013). Kejadian mengejutkan dialami Kartika pada 2012, sekitar delapan tahun setelah ia mundur dari PT ASEI. Ia menerima surat panggilan dari Kejaksaan Agung RI yang isinya meminta Kartika memberi keterangan sehubungan dengan penyelidikan tindak pidana korupsi dalam penerbitan transaksi surat kredit berdokumen dalam negeri. Kartika menjelaskan, transaksi penjaminan kredit yang diperiksa Kejaksaan Agung tersebut merupakan salah satu bisnis inti sejak PT ASEI didirikan tahun 1985. Dalam surat dari Kejaksaan Agung RI tersebut disebutkan, Kartika selaku Direktur Utama PT ASEI saat itu, memutuskan penutupan (coverage) penjaminan kredit. Sekitar
setengah tahun setelah ia mundur dari PT ASEI, terjadi klaim. Menurutnya, klaim terjadi karena debitor gagal membayar pengembalian kredit kepada bank yang bersangkutan pada saat jatuh tempo kredit, sehingga PT ASEI harus membayarkan klaim kepada bank yang telah menyalurkan kredit kepada debitur bank tersebut sebesar Rp3,9 miliar. “Saya dan PT ASEI berkeyakinan, pembayaran klaim terkait kasus tersebut di atas adalah murni risiko bisnis yang biasa dihadapi dalam usaha asuransi dan penjaminan kredit,” terangnya. PT ASEI memandang pembayaran klaim sebagai risiko bisnis, karena usaha ASEI adalah usaha asuransi dan penjaminan yang antara lain memberikan proteksi atas risiko kredit yang dihadapi perbankan. Biasanya, proyeksi pembayaran klaim tahun berjalan sudah dihitung secara cermat berdasarkan perhitungan aktuaria dan proyeksi empiris di ASEI dan dimasukkan di dalam proyeksi laba-rugi tahunan. “Sebagai perusahaan asuransi, kredibilitas penting dijaga. Apabila setiap klaim yang harus dibayarkan ASEI sebagai perusahaan asuransi dan penjaminan kredit dipandang sebagai potensi kerugian keuangan negara, maka PT ASEI seharusnya menghentikan semua operasinya,” jelas Kartika.
Kartika B. Khaeroni
Murni Risiko Bisnis
M
antan Direktur Utama PT. (Persero) Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI), Kartika B. Khaeroni berkisah, selama hampir 30 pengabdiannya di PT ASEI, BUMN ini tidak pernah mengalami kerugian. PT ASEI selalu memperoleh laba dalam operasional perusahaan setiap tahunnya, sehingga beberapa kali menjadi salah satu perusahaan asuransi terbaik dari aspek laba terhadap modal perusahaan. Bahkan selama kurun waktu tersebut, PT ASEI telah menyumbangkan
Kartika B. Khaeroni
KONSTITUSI september 2013
Humas MK/rizka
19
Ruang Sidang
ekonomi
Erman Rajagukguk
Bukan Keuangan Negara
Erman Rajagukguk
P
Humas MK
akar Hukum Universitas Indonesia, Erman Rajagukguk, menyatakan, ketentuan Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara yang menyatakan kekayaan BUMN adalah kekayaan negara, sangat menghambat tugas jajaran direksi dan komisaris BUMN. Sebab, merugikan keuangan BUMN berarti merugikan keuangan negara, sehingga dapat
Hikmahanto Juwana
Beda Pengelolaan
Hikmahanto Juwana
U
Humas MK/rizka
ang negara yang sudah disetorkan kepada BUMN, tidak lagi menjadi uang negara, karena negara telah mendapatkan “bukti” dari modal yang disetorkan itu dalam bentuk saham. Jika negara mempunyai aset berupa
20
dituduh melakukan tindak pidana korupsi. Sebaliknya, jika keuangan BUMN bukan keuangan negara, maka kerugian suatu BUMN bukan kerugian negara, tetapi kerugian BUMN itu sendiri. Menurut Erman, Keuangan BUMN bukanlah keuangan Negara. “Keuangan BUMN bukanlah keuangan Negara melainkan keuangan BUMN itu sendiri sebagai badan hukum,” kata Erman saat bertindak sebagai ahli Pemohon dalam persidangan di MK, Senin (26/8/2013). Memperkuat hal tersebut, Erman berdalil bahwa manusia dan badan hukum merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban serta mempunyai kekayaan tersendiri. Harta kekayaan badan hukum terpisah dari kekayaan pendiri, pengawas, dan pengurusnya. “Ini karena doktrin badan hukum baik dalam sistem common law maupun civil law,” dalil Erman. Menurutnya, pengusutan kasus korupsi tidak hanya berhenti pada ke uangan negara saja. Meskipun kekayaan
BUMN bukanlah kekayaan negara, tindak pidana korupsi tetap dapat diterapkan kepada BUMN. KPK, kejaksaan, dan Kepolisian tetap mempunyai wewenang untuk menyelidiki korupsi di BUMN. Berdasarkan United Nations Convention Against Corruption 2003 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), dinyatakan bahwa korupsi berlaku terhadap keuangan siapa saja, termasuk keuangan swasta. Begitu juga UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga mencakup tindak pidana korupsi di kalangan swasta, antara lain ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. “Dengan demikian korupsi bukan terhadap keuangan negara saja,” terangnya.
tanah dan kemudian memasukkannya sebagai modal, maka BUMN dapat melakukan balik nama tanah tersebut atas nama BUMN. Sebagai kompensasinya, negara mendapatkan saham. “Adalah aneh atau janggal apabila tanah yang sudah menjadi milik dari BUMN tersebut kemudian diklaim sebagai milik dari negara. Artinya telah terjadi dua kali penghitungan, pertama adalah saham yang dimiliki oleh negara. Yang kedua adalah tanah yang memang asalnya dari negara tetapi kemudian sudah dimasukkan sebagai modal dalam BUMN,” kata Hikmahanto Juwana dalam persidangan di MK, Senin (26/8/2013). Menurut pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI) ini, keuangan BUMN tidak bisa dianggap sebagai keuangan negara karena keuangan BUMN tidak bisa diperlakukan sebagai keuangan negara. Pengelolaan keuang an negara tentu berbeda dengan pengelolaan keuangan BUMN. Dalam keuangan BUMN ada neraca badan rugi, bukan badan negara.
Dalam konteks negara, negara menganggarkan keuangan, utamanya adalah bagaimana penyerapan dari apa yang telah dianggarkan. Sedangkan dalam konteks BUMN, manajemen (pengurus) akan mengelola uang tersebut sebagaimana layaknya badan usaha, termasuk badan usaha swasta. BUMN tidak selalu untung. Untungrugi BUMN dilihat dari tahun fiskalnya. “Sehingga tidak bisa pada waktu-waktu tertentu ada kerugian, lalu kemudian dianggap telah terjadi kerugian negara,” paparnya. Hikamahanto khawatir, jika kekayaan BUMN adalah masuk dalam kekayaan negara, menyebabkan para eksekutif terbaik enggan masuk ke jajaran BUMN. “Kalau misalnya ini diteruskan, nanti orang-orang terbaik di Indonesia, para eksekutif di dunia swasta tidak akan mau masuk Badan Usaha Milik Negara karena mereka dalam membuat putusan selalu terbayangbayang dengan masalah korupsi karena dianggap merugikan keuangan Negara,” ungkapnya.
KONSTITUSI september 2013
Pemerintah: UU Perkoperasian Tak Bertentangan dengan Prinsip Ekonomi Syariah
D
eputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan UKM Kementerian Koperasi dan UKM, Setyo Hariyanto, menyatakan, larangan bagi koperasi simpan pinjam berinvestasi usaha pada sektor riil, tidak bertentangan dengan ekonomi syariah. “Ketentuan Pasal 93 ayat (5) UU Perkoperasian, tidak bertentangan dengan ekonomi syariah,” kata Setyo Hariyanto saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam persidangan di MK, Selasa (27/8/2013). Adapun mengenai pengenaan sanksi administratif bagi koperasi simpan pinjam yang berinvestasi usaha pada sektor riil, hal ini merupakan jaminan dan perlindungan hukum, serta kepastian hukum bagi setiap orang yang dijamin dalam konstitusi, yakni Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pengenaan sanksi ini adalah suatu yang universal diterapkan pada lembaga-lembaga keuangan lainnya. Hal ini untuk melindungi kepentingan anggota yang menyimpan dananya di Koperasi Simpan Pinjam. “Penerapan sanksi administratif tersebut untuk menegakkan keadilan, perlindungan, dan kepastian hukum terhadap pelayanan simpan pinjam, Koperasi Simpan Pinjam kepada anggotanya,” lanjut Setyo. Sidang Perkara Nomor 65/PUUXI/2013 ihwal pengujian Pasal 93 ayat (5) dan Pasal 120 ayat (1) huruf j UndangUndang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian) terhadap UUD 1945, ini diajukan oleh Dewan Pengurus Koperasi Usaha Pemuda– Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Cimahi dkk. Pasal 93 ayat (5) UU Perkoperasian menyatakan, “Koperasi simpan pinjam dilarang melakukan investasi usaha pada sektor riil.” Pasal 120 ayat (1) huruf j UU Perkoperasian menyatakan, “Menteri dapat menjatuhkan sanksi administratif
KONSTITUSI september 2013
Humas MK/Devi Arlina
Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan UKM Kementerian Koperasi dan UKM, Setyo Hariyanto, menyampaikan tanggapan Pemerintah atas permohonan uji materi UU Perkoperasian, Selasa (27/8/2013), di Ruang Sidang Pleno MK.
terhadap: (j) Koperasi Simpan Pinjam yang melakukan usaha pada sektor riil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (5).” Menurut para Pemohon, Pasal 93 ayat (5) UU Perkoperasian menyebabkan koperasi milik Pemohon tidak dapat melaksanakan akad mudharabah dan akad musyarakah. Kemudian, Pasal 120 ayat (1) Huruf j UU Perkoperasian menimbulkan kerugian konstitusional yang spesifik dan aktual juga yang bersifat potensial pada Koperasi Usaha Pemuda KNPI Kota Cimahi karena potensial mendapatkan sanksi administratif dari Menteri. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut di atas, bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (2) Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Sebelum menjelaskan materi permohonan, Pemerintah mengritisi kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon. Menurut Pemerintah,
keudukan hukum para Pemohon tidak jelas. Kedudukan hukum Pemohon I yaitu Dewan Pengurus Koperasi Usaha Pemuda– Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Cimahi, tidak jelas karena Surat Kuasa diberikan oleh Pengurus Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi Usaha Pemuda KNPI Kota Cimahi. Pemerintah mempertanyakan apakah Pemohon I bertindak untuk/dan atas nama unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi Pemuda atau untuk/dan atas nama Koperasi Usaha Pemuda KNPI Kota Cimahi. “Berdasarkan permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, maka tidak ada legalitas Unit Jasa Keuangan Syariah Koperasi Pemuda bertindak mewakili koperasi sebagai badan hukum,” Setyo Hariyanto mempertanyakan kedudukan hukum Pemohon I. Begitu pula dengan kedudukan hukum Pemohon II-XIII, yaitu, Iwan Dermawan, Mohamad Hatta, Jhon Iqbal Farabi, Ai Rukmintarsih, Seno Wijayanto,
21
Ruang Sidang
ekonomi
Husni Farhani Mubarak, Budi Miftahudin, Indra Budi Jaya, Tayep Suparli, Fahadil Amin Alhasan, Muhammad Kurnia Fawzi, dan Fikri Ahmad Taufik. Pemerintah mempertanyakan apakah kedudukan hukum Pemohon II-XIII adalah Anggota Koperasi Usaha Pemuda KNPI Kota Cimahi yang berkepentingan terhadap ketentuan Pasal 93 ayat (5) dan Pasal 120 ayat (1) huruf j UU Perkoperasian. Bukan Sektor Riil Menurut Pemerintah, Para Pemohon telah salah memaknai pengertian akad Mudharabah dalam rangka kerja sama permodalan pada koperasi simpan pinjam syariah, karena kerja sama tersebut masih dalam bentuk kerja sama pembiayaan yang merupakan lingkup usaha keuangan. “Tidak benar apabila para Pemohon menganggapnya sebagai bentuk investasi usaha sektor riil,” bantah Setyo. Seluruh jenis jasa keuangan yang berbasis syariah yang disebutkan para Pemohon (Al-Mudharabah, AlMusyarakah, Bai’ Al-Murabahah, Bai’ Al-Salaam, Bai’ Al-Istishna, Al-Ijarah, AlIjarah Al-Muntahia Bit Tamlik, Qardh), merupakan bentuk pelayanan pembiayaan
atau pinjaman Koperasi Simpan Pinjam. “Pola syariah yang dimanfaatkan, sepenuhnya untuk pelayanan dari anggota untuk anggota, dan karena itu bukan investasi pada usaha sektor riil,” urai Setyo. Pengaturan mengenai koperasi yang menjalankan usaha atas dasar prinsip ekonomi syariah diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sedangkan pedoman teknis pelaksanaan kegiatan usaha Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dengan pola syariah, diatur dalam peraturan menteri. Menurutnya, yang dimaksud koperasi menjalankan prinsip ekonomi di sektor riil adalah koperasi jenis produsen, koperasi konsumen, dan koperasi jasa. Sedangkan koperasi yang melaksanakan usaha ekonomi syariah di sektor keuangan, adalah jenis Koperasi Simpan Pinjam dengan prinsip ekonomi syariah. “Secara umum, pengelolaan koperasi sektor riil, berbeda dengan pengelolaan sektor keuangan, dalam hal ini usaha simpan pinjam yang diatur dalam Undang-Undang Perkoperasian,” terang Setyo. Larangan bagi koperasi simpan pinjam untuk melakukan usaha pada sektor riil lebih bertujuan untuk memperkuat
pelayanan kepada anggota dan bukan untuk pelayanan non simpan pinjam. Pemerintah berpandangan, seharusnya yang harus lebih diberdayakan dan dikembangkan adalah usaha para anggota koperasi dan bukan mengenai investasi yang dimiliki oleh koperasi simpan pinjam. Dengan demikian larangan itu telah sesuai dengan jenis koperasi simpan pinjam sebagai lembaga keuangan yang melakukan fungsi intermediasi yakni mengelola dana, menerima simpanan dan menyalurkan pinjaman atau pembiayaan pada anggota. Pemerintah juga berharap koperasi simpan pinjam dapat fokus melaksanakan tugasnya yang bersifat tunggal. Hal ini mengingat rumitnya sistem kerja yang harus dilakukan koperasi simpan pinjam. “Koperasi simpan pinjam mempunyai karakteristik yang cukup spesifik, yakni mengelola dana cair, penuh resiko dengan tingkat perputaran yang relatif cepat namun sangat rawan terjadi penyalahgunaan, karena itu diharapkan koperasi simpan pinjam dapat fokus pada satu jenis tugas saja,” jelas Setyo penuh harap.
Dewan Pengurus Koperasi Usaha Pemuda KNPI Kota Cimahi, selaku Pemohon, sedang menyimak keterangan Pemerintah dalam persidangan uji materi UU Perkoperasian, Selasa (27/8/2013), di Ruang Sidang Pleno MK.
22
Julie/Nur Rosihin Ana
Humas MK/Devi Arlina
KONSTITUSI september 2013
Ketenagakerjaan
Ruang Sidang
Pemerintah: Buruh Ditahan Enam Bulan, Pengusaha Berhak PHK
P
engusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja/buruh setelah enam bulan tidak bekerja karena yang bersangkutan ditahan pihak yang berwajib. Menurut Pemerintah, hak melakukan PHK tersebut telah memenuhi rasa keadilan, sebab waktu penahanan selama enam bulan membebani pengusaha karena harus memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh. Sementara, pekerja/buruh bersangkutan tidak dapat bekerja, tidak dapat memberikan hasil kerja sebagai kontra prestasi yang merupakan kewajibannya. “Oleh karena itu, pengusaha diberikan toleransi setelah enam bulan untuk mengakhiri hubungan kerja,” kata Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI & Jamsos) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Ruslan Irianto Simbolon, saat menyampaikan keterangan Pemerintah dalam persidangan. Perkara Nomor 67/PUU-XI/2013 dan 69/ PUU-XI/2013 ihwal uji materi UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Rabu (28/8/2013) Toleransi bagi pengusaha untuk mengambil tindakan PHK tersebut dimaksudkan agar pengusaha tidak sepanjang masa menanggung beban kewajiban terhadap pekerja/buruh yang bersangkutan. Termasuk kewajiban bantuan dikarenakan masih adanya keterikatan hubungan hukum para pihak, dan tanggung jawab atas prestasi/kontra prestasi, serta menanggung konsekuensi dugaan tindak pidana yang dilakukan pekerja/buruh baik di dalam maupun di luar perusahaan. Hal tersebut, lanjut Simbolon, berlawanan dengan prinsip no work no pay sebagaimana yang dimaksud Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa apabila pekerja/ buruh tidak melakukan pekerjaan (tidak
KONSTITUSI september 2013
Humas MK/GANIE
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI & Jamsos) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Ruslan Irianto Simbolon bangkit menuju podium untuk mennyampaikan keterangan Pemerintah terkait Pengujian UU Ketenagakerjaan di Ruang Sidang Pleno MK, Rabu (28/8/2013).
masuk bekerja), maka pengusaha tidak wajib membayar upah. Kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh UU sebagai penyimpangan dari prinsip no work no pay tersebut, sebagaimana ketentuan Pasal 93 ayat (2) huruf a juncto ayat (3) dan Pasal 153 ayat (1) huruf a juncto Pasal 82, dan Pasal 84 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pengecualian itu antara lain karena pekerja/buruh sakit (masa haid, hamil/melahirkan), menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, sedang menjalankan kewajiban terhadap negara, menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya. Simbolon memaparkan bahwa terhadap keberatan Para Pemohon yang berkaitan dengan pemberian kewenangan kepada pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa izin setelah pekerja/buruh tidak melakukan
kewajibannya selama lebih dari enam bulan, sudah diatur sedemikian rupa sehingga bila pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah lalu pekerja/buruh tidak menerima PHK maka perkerja/buruh dapat mengajukan gugatan kepada Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial untuk menuntut kompensasi atas kerugian yang diderita, baik materiil maupun immaterial. Tuntutan tersebut dapat dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sejak adanya putusan pengadilan yang berwenang dan telah mempunyai kekuatan hukum yang bersifat mengikat (inkracht van gewijsde). Simbolon juga memberikan keterangan terkait ketentuan Pasal 160 ayat (7) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami PHK sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). Simbolon memastikan jenis PHK yang dimaksud dalam Pasal
23
Ruang Sidang
Ketenagakerjaan
160 ayat (7) adalah PHK yang disebabkan pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib selama/sampai dengan enam bulan berturut-turut karena dalam proses perkara pidana sehingga tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya (Pasal 160 ayat (3)). Kemudian, terkait dengan hakhak pekerja/buruh pasca hubungan kerja berdasarkan Pasal 160 ayat (7) tersebut, Simbolon mengatakan pekerja/buruh yang bersangkutan hanya berhak atas uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Menurut Pemerintah, ketentuan tentang PHK dengan disertai hak-hak karena buruh ditahan pihak berwajib sebagaimana diatur uleh UU Ketenagakerjaan sudah sangat adil dan manusiawi. Seorang buruh yang ditahan oleh pihak berwajib secara otomatis tidak dapat melaksanakan kewajibannya sesuai peraturan atau perjanjian kerja bersama, sehingga memang tidak berhak atas upah sesuai dengan prinsip no work no pay. "Namun demikian, undang-undang memberikan penghargaan berupa bantuan kepada keluarga yang bersangkutan, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak,” ungkap Simbolon. Simbolon juga menanggapi keberatan Para Pemohon yang menyatakan pekerja/buruh yang melakukan tindak pidana dan sedang diproses oleh pihak yang berwajib tidak diberikan uang pesangon sesuai dengan Pasal 156 ayat (2). Menurut Pemerintah, hal ini merupakan konsekuensi logis dari perbuatan pidana yang dilakukan pekerja/buruh. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah menegaskan bahwa permohonan Pemohon sudah pernah diputus oleh Mahkamah, yaitu Putusan Nomor 61/PUU-VIII/2010 dengan amar putusan menolak seluruh permohonan Pemohon. Adapun mengenai adanya perbedaan batu uji dalam UUD 1945, perbedaan tersebut pada dasarnya sama. “Oleh karena itu, menurut Pemerintah sepanjang terkait dengan permohonan pengujian ketentuan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) adalah bersifat nebis in idem. Dengan perkataan lain, konstitusionalitas Ketentuan Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) telah teruji,” tegas Simbolon menyampaikan keterangan Pemerintah
24
Mualimin Abdi
terhadap permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 69/PUU-XI/2013. Dahulukan Upah Keterangan Pemerintah selanjutnya disampaikan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi, untuk menanggapi permohonan Perkara Nomor 67/PUU-XI/2013. Mualimin menyatakan suatu perusahaan yang dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, maka pengelolaan perusahaan atau debitor pailit beralih dari para direksi kepada kurator yang diawasi oleh seorang hakim pengawas di pengadilan niaga. “Pada prinsipnya pemenuhan hak-hak atau pembayaran kewajiban kepada debitor, para kreditor separatis dilakukan tersendiri dan terpisah atau bersifat separatis, dan mendahului para kreditor lainnya, termasuk para kreditor pemegang hak istimewa, dan para kreditor bersaing. Artinya, posisi kreditor separatis berada di atas kreditor preferen karena mereka mempunyai jaminan kebendaan yang dinyatakan terpisah atau separatis dari semua perjanjian utang-piutang pada umumnya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Kepailitian,” papar Mualimin. Dalam konteks pekerja/buruh sebagai
Humas MK/GANIE
salah satu kreditor yang mempunyai hak dalam proses kepailitan, lanjut Mualimin, berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bahwa yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang lainnya. Ketentuan tersebut menurut Pemerintah telah sejalan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dalam KUH Perdata, UU Kepailitan, dan PKPU. Mualimin juga mengaskan bahwa khusus upah pekerja/buruh, baik sebelum maupun sesudah pernyataan pailit, mendapatkan posisi yang lebih tinggi daripada kreditor separatis atau setara dengan fee kurator, biaya kepailitan dan pemeliharaan serta biaya sewa. Hak tersebut diberikan kedudukan yang lebih tinggi oleh undang-undang, sebagaimana diatur di dalam Pasal 1134 KUHPerdata yang menyatakan bahwa hak gadai dan hipotek adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana undang-undang menentukan sebaliknya. “Jadi ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut telah menempatkan posisi buruh sebagai kreditor preferen yang mempunyai hak istimewa untuk didahulukan daripada para kreditor lainnya,” tegasnya. Mualimin juga menegaskan bahwa
KONSTITUSI september 2013
sesungguhnya ketentuan yang ada telah sesuai dan tidak saling bertentangan satu sama lain serta telah memberikan kedudukan yang didahulukan terhadap pembayaran upah dan hak-hak lainnya bagi pekerja atau buruh dalam hal terjadi kepailitan sebagai hak istimewa. Bahkan, lanjut Mualimin, hak atas upah menjadi lebih diutamakan justru dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan dan PKPU. Dengan demikian, menurut Pe merintah ketentuan Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan telah memberikan kepastian hukum dan tidak multitafsir. Justru sebaliknya telah menguatkan kedudukan pekerja atau buruh dengan mendahulukan pembayaran upah dan hak-hak lainnya dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi. “Sebaliknya menurut Pemerintah, apabila ketentuan tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau ditafsirkan lain, maka menurut Pemrintah dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan bahkan dapat menimbulkan multitafsir,” pungkas Mualimin. Upah, Utang Harta Pailit Anggota Komisi III DPR RI Martin Hutabarat menyatakan, ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan telah cukup memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pekerja/buruh untuk tetap mendapatkan upahnya manakala perusahaan tempatnya bekerja dinyatakan pailit atau dilikuidasi. Hal ini dipertegas dalam Penjelasan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, “Yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu dari pada utang lainnya.” Jaminan hak atas upah tenaga kerja pada perusahaan yang dinyatakan pailit, juga telah diatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitian dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang menyatakan, “Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.” Berdasarkan ketentuan tersebut, maka menurut DPR, hak upah baik sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit,
KONSTITUSI september 2013
digolongkan dalam utang harta pailit yang merupakan biaya kepailitian yang harus dibayar terlebih dahulu mendahului kreditor separatis. Dengan perkataan lain, hak upah tenaga kerja diposisikan sederajat dengan biaya pengadilan, fee kurator, biaya pemeliharaan, biaya penilaian, biaya lelang, dan lain-lain. “Oleh karenanya, DPR berpandangan ketentuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan juncto Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan, telah cukup memberikan jaminan dan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak upah tenaga kerja pada persahaan yang dinyatakan pailit,” kata Martin Hutabarat menyampaikan keterangan resmi DPR RI menanggapi permohonan Perkara Nomor 67/PUU-XI/2013. Enam Bulan Tak Kerja, PHK Menanggapi permohonan Perkara Nomor 69/PUU-XI/2013, DPR menjelas kan ketentuan Pasal 160 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Menurut DPR, dasar bagi
Martin Hutabarat.
pengusaha untuk melakukan PHK kepada buruh adalah bukan karena buruh yang bersangkutan dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana, melainkan karena tenaga kerja/buruh yang bersangkutan selama enam bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya dikarenakan tenaga kerja yang bersangkutan sedang dalam proses perkara pidana. DPR berpendapat, ketentuan PHK sebagaimana diatur dalam Pasal 160 ayat (3) UU Ketenagakerjaan adalah suatu hal yang dapat diterima dan memiliki legal ratio yang cukup beralasan. Pada satu sisi, proses perkara pidana memerlukan tindakan kepolisian berupa penahanan, sehingga pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat melakukan kegiatan pekerjaan. Sementara pada sisi lainnya, pengusaha dibebani kewajiban untuk memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh. Yusti Nurul Agustin/Nur Rosihin Ana
Humas MK/GANIE
25
Ruang Sidang
Politik
Bancakan Anggaran di Banggar
K
ewenangan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) yang begitu besar, sangat berpotensi diselewengkan. Sudah bukan rahasia lagi jika Banggar menjadi arena bancakan para pihak yang ingin mengeruk keuntungan pribadi dari anggaran negara. Faktanya, berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan anggaran merupakan salah satu kategori tindak pidana korupsi paling banyak ditangani oleh KPK selama ini. “Kategori ini menempati ranking ketiga setelah kasus penyuapan dan pengadaan barang jasa.” Demikian diungkap oleh Komisioner KPK Bambang Widjojanto saat bertindak mewakili KPK untuk memberikan keterangan dalam sidang Perkara Nomor 35/ PUU-XI/2013, pada Rabu (21/8/2013) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan perkara ini diajukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Indonesia Budget Center (IBC), Indonesia Corruption Watch (ICW), Feri Amsari, dan Hifdzil Alim. Para Pemohon mengujikan Pasal 71 huruf g Pasal 104, Pasal 105 ayat (1), Pasal 107 ayat (1) dan ayat (1) huruf e, Pasal 156 huruf a, huruf b dan huruf c angka 2, Pasal 157 ayat (1) huruf c, Pasal 159 ayat (5), Pasal 161 ayat (4) dan ayat (5) UndangUndang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3); serta Pasal 15 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) terhadap UUD 1945. Para Pemohon pada intinya memersoalkan empat hal, yaitu, keberadaan dan kewenangan Banggar DPRRI, kewenangan DPR untuk membahas APBN secara terinci, perbintangan untuk pemblokiran anggaran, serta proses dan ruang lingkup pembahasan APBN. Korupsi Anggaran Bambang menjelaskan, anggota DPR RI atau DPRD yang tersangkut perkara di KPK, saat ini berjumlah 65 orang. Bila menggunakan kategorisasi kasus berdasarkan jenis perkara, maka tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penyalahgunaan anggaran
26
Komisioner KPK Bambang Widjojanto saat bertindak mewakili KPK untuk memberikan keterangan dalam Sidang Pengujian UU Keuangan Negara dan UU MD3, Rabu (21/8/2013) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
menempati posisi tiga besar, yaitu 38 perkara dari seluruh pelaku yang berasal dari anggota dewan. Kasus ini menempati ranking ketiga setelah kasus penyuapan yang berjumlah 116 perkara dan pengadaan barang/jasa yang berjumlah 107 perkara. Bambang menyontohkan, kasus korupsi pengadaan Al-Qur’an yang melibatkan anggota DPR Zulkarnaen Djabar, merupakan kombinasi antara penyalahgunaan anggaran serta pengadaan barang dan jasa. “Dalam kasus Al Quran, Zulkarnaen Djabar, itu ada kombinasi antara penyalahgunaan anggaran, juga sebenarnya dengan pengadaan barang dan jasa,” ungkap Bambang. Simpulnya, lebih dari 50% perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK, pelakunya berasal dari DPR atau DPRD, dan kasusnya berkaitan dengan penyalahgunaan anggaran. “Lebih dari 50% dari 65 (anggota DPR/DPRD) tadi itu berkaitan dengan penyalahgunan anggaran,” terang Bambang. Perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para anggota parlemen tersebut mengindikasikan adanya penyalahgunaan kewenangan sebagai anggota DPR RI. Sebagian pelakunya merupakan anggota Banggar DPR RI. Kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan empat anggota Banggar DPR RI, yaitu Muhammad Nazarudin, Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati, dan
Humas MK/hendy
Zulkarnaen Djabar, menggunakan modus operandi yang hampir sama. “Keseluruhan kasus di atas, modus operandinya hampir sama yaitu melibatkan aktor atau oknum yang berasal dari pihak legislatif, eksekutif, kementerian/lembaga pusat dan pemerintahan daerah, dan pengusaha serta pihak terkait lainnya,” uangkapnya. Menurut penuturan Bambang, KPK telah melakukan berbagai kajian terkait pola serta potensi korupsi di tubuh DPR. Setidaknya KPK menemukan tiga kelemahan terkait perencanaan dan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama ini. Pertama, potensi korupsi. Kedua, adanya kelemahan pada proses kerja. Kelemahan ini terjadi karena adanya siklus yang berulang, sehingga proses pembahasan anggaran kurang efektif dan efisien. Di samping itu juga karena kehadiran anggota DPR yang tidak optimal. Ketiga, kelembagaan yang lemah. Salah satu bentuknya adalah kurangnya dukungan riset dan kajian dalam perumusan dan pembahasan anggaran di Banggar. “DPR RI dan Banggar DPR RI memiliki kewenangan yang sangat besar mengenai fungsi anggaran, namun pembahasannya sering kali dilaksanakan secara tertutup, dan adanya pendekatan informal yang dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi anggaran, sehingga
KONSTITUSI september 2013
sulit untuk dilakukan pengawasan yang sangat komprehensif,” beber Bambang. Kewenangan yang sangat besar tersebut, lanjutnya, juga menyebabkan fungsi pengawasan menjadi tidak terkendali. Karena baik Banggar, fraksi, maupun mekanisme pengawasan lainnya juga tidak dilakukan secara komprehensif dan optimal. “Dan itu semuanya berpeluang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan karena pembahasan rancangan APBN dilakukan secara terinci sampai satuan tiga, yaitu menyetujui APBN mulai dari unit
organisasi, fungsi, program, kegiatan, hingga jenis belanja dalam pengelolaan keuangan negara,” tuturnya. Selain Bambang, pada persidangan ini Pemohon menghadirkan dua orang ahli untuk mendukung dalil-dalil permohonan. Ahli yang dihadirkan Pemohon pada persidangan kali ini yaitu Iwan Gardono Sujatmiko dan Rimawan Pradiptyo. Pihak Pemerintah dan DPR juga telah memberikan keterangan pada persidangan sebelumnya. Begitu juga para ahli juga telah menyampaikan paparan di
persidangan (Baca Majalah Konstitusi No. 78 - Agustus 2013: Sistem Penganggaran Bermasalah, Keberadaan Banggar Digugat). Mahkamah telah menggelar tujuh kali persidangan untuk memeriksa Perkara Nomor 35/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh YLBHI dkk. Usai sudah proses pemeriksaan pengujian materi UU MD3 dan UU Keuangan Negara. Kita tunggu apa amar putusan MK dalam persidangan akhir, yaitu pengucapan putusan. Achmad Dodi Haryadi/Nur Rosihin Ana
Iwan Gardono Sujatmiko
Potensi Korupsi
Iwan Gardono Sujatmiko
Humas MK/GANIE
Rimawan Pradiptyo
Korupsi Struktural
Rimawan Pradiptyo
KONSTITUSI september 2013
Humas MK/GANIE
P
akar Sosiologi Politik dari Universitas Indonesia, Iwan Gardono Sujatmiko menyatakan, DPR mempunyai kekuasaan dan wewenang berlebihan sehingga berpotensi menghasilkan korupsi. Setelah reformasi, kekuasaan dan kewenangan DPR semakin membesar. Namun sayang, hal ini tidak dibarengi dengan meningkatnya kualitas DPR. “Reformasi telah meningkatkan kekuasaan dan kewenangan yang besar di DPR, namun tanpa kontrol dan akuntabilitas publik yang memadai sehingga terjadi berbagai kasus penyimpangan,”kata Iwan Gardono Sujatmiko saat bertindak selaku ahli yang dihadirkan Pemohon, Rabu (21/8/2013)
P
akar Kriminalitas Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Rimawan Pradiptyo berpendapat, sifat korupsi yang terjadi di Indonesia bukanlah korupsi sistemik, tapi korupsi yang bersifat struktural. “Korupsi struktural adalah korupsi yang terjadi akibat sistem yang berlaku di suatu negara cenderung memberikan insentif yang lebih tinggi untuk melakukan korupsi daripada insentif untuk mematuhi hukum. Atau hukum sengaja dibuat agar tidak kredibel,” kata Rimawan, saat bertindak sebagai ahli Pemohon, dalam persidangan yang digelar pada Rabu (21/8/2013) di Ruang Sidang Pleno MK. Hal tersebut terjadi karena perumusan kebijakan yang tidak berorientasi pada optimalisasi
di Ruang Sidang Pleno MK Ditambah lagi, ujar Iwan, sering terjadi ‘kerahasiaan palsu’, yakni informasi yang tak perlu dirahasiakan malah dirahasiakan. Hal ini bertolak belakang dengan transparansi dalam pembahasan dan pengelolaan keuangan negara. Iwan pun menyitir Majalah Tempo edisi 4 Agustus 2013 yang memuat tulisan mengenai alokasi anggaran Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk lima BUMN sebesar Rp 5,75 triliun. Padahal salah satu komisi di DPR mengaku belum pernah menyetujui anggaran sebesar itu. “Hal ini disebut oleh salah seorang politikus sebagai penyelundupan anggaran,” sitir Iwan.
kemakmuran masyarakat. Selain itu, perumusan kebijakan tidak didasarkan pada studi mendalam berdasarkan fakta, namun lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik jangka pendek. Selanjutnya Rimawan mengupas teori ekonomi tentang optimalisasi anggaran yang meliputi dua hal, yaitu maksimalisasi kesejahteraan dan meminimalisasi biaya. Menurutnya, apa yang dilakukan Banggar adalah maksimalisasi anggaran untuk alokasi di bidang-bidang yang sebenarnya tidak optimal. “Banggar melakukan permainan, mencoba menggeser asumsi makro agar kelihatan optimal untuk didongkrak,” jelas Rimawan sembari menyontohkan kasus Hambalang, Wisma Atlet, dan pengadaan Al-Qur’an.
27
Ruang Sidang
Keistimewaan Surakarta
DPR: Alasan Tuntutan Status Istimewa Surakarta Perlu Dikaji
D
PR menghargai, mengakui, serta menghormati satuansatuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang dimiliki oleh daerah atau wilayah berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Namun, realitas keistimewaan yang dimiliki suatu daerah hendaknya diwujudkan atas keinginan dari masyarakat secara riil. Misalnya, salah satu ciri keistimewaan Provinsi Yogyakarta, yaitu adanya kehendak rakyat atas penetapan kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Keinginan menjadikan Surakarta menjadi daerah istimewa dilatarbelakangi keinginan Pemohon agar dilibatkan dalam penyelenggaraan pemerintahan Kota Surakarta, pembentukan lembagalembaga daerah, pengisian jabatan di pemerintah daerah, serta pelestarian, dan pengembangan budaya Jawa yang berasal dari Keraton Surakarta. “Kiranya hal tersebut perlu dikaji secara mendalam, apakah alasan-alasan tersebut telah tepat dan pada akhirnya dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat Surakarta." Demikian dikatakan Anggota Komisi III DPR RI Adang Daradjatun, saat menyampaikan tanggapan DPR atas uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Djawa Tengah (UU Jateng), dalam persidangan di MK, Senin (19/8/2013). Sidang kali keempat untuk Perkara Nomor 63/PUUXI/2013 ini beragendakan Mendengarkan keterangan DPR, Pemerintah serta ahli dan saksi. Permohonan diajukan oleh Gray Koes Isbandiyah dan KP Eddy S. Wirabhumi. Gray Koes Isbandiyah merupakan puteri Susuhunan Paku Buwono XII dan merupakan salah satu ahli waris dari dinasti Keraton Surakarta. Ketidakjelasan status hukum daerah istimewa Surakarta, mengakibatkan Gray Koes Isbandiyah kehilangan haknya untuk
28
Anggota Komisi III DPR RI Adang Daradjatun, saat menyampaikan tanggapan DPR atas uji materi UU Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Djawa Tengah (UU Jateng), dalam persidangan di MK, Senin (19/8/2013).
mengelola, mengatur tanah-tanah Keraton Surakarta sehingga berdampak pula pada kewibawaan, status sosial, keluarga dan keturunan Keraton Surakarta. Sedangkan KP Eddy S. Wirabhumi adalah Ketua Umum Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (PaKaSa). Eddy merasa dirugikan karena tidak adanya peraturan undang-undangan yang khusus yang mengatur pelestarian dan pengembangan budaya Jawa dari Keraton Surakarta. Gray Koes Isbandiyah dan KP Eddy S. Wirabhumi mengujikan Bagian Memutuskan angka I dan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Djawa Tengah terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Bagian Memutuskan angka I UU Jateng menyatakan, “Menghapuskan Pemerintahan Daerah Karesidenan Semarang, Pati, Pekalongan, Banjumas, Kedu, dan Surakarta, serta membubarkan Dewan Perwakilan Rakjat Daerah
Humas MK/GANIE
Karesidenan-Karesidenan tersebut.” Pasal 1 ayat (1) UU Jateng menyatakan, “Daerah jang meliputi Daerah Karesidenan Semarang, Pati, Pekalongan, Banjumas, Kedu, dan Surakarta ditetapkan mendjadi Propinsi Djawa Tengah.” Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang.” Berdasarkan konstitusi tersebut, kata Adang, status pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa diatur dengan undang-undang. Lebih lanjut Adang menyatakan, dalam catatan sejarah pembentukan UU Pemerintahan Daerah mulai dari UU Nomor 1 Tahun 1957 hingga UU Nomor 32 Tahun 2004, secara eksplisit tak satu pun yang menyebutkan Surakarta merupakan daerah istimewa. Namun secara de facto pernah disebutkan dalam
KONSTITUSI september 2013
Piagam Penetapan Presiden tanggal 19 Agustus 1945 mengenai Daerah Istimewa Surakarta. Kemudian pada 16 Juli 1946, keluar Penetapan Pemerintah Nomor 16/ SD Tahoen 1946 tentang Pemerintah Di Daerah Istimewa Soerakarta Dan Jogjakarta, yang berisi mengenai bentuk dan susunan pemerintahan di Surakarta yang pada intinya keraton/istana berubah fungsi sebagai tempat pengembangan seni dan budaya Jawa. Keputusan tersebut juga mengawali Kota Solo di bawah satu administrasi. Selanjutnya dibentuk Karesidenan Surakarta yang mencakup wilayahwilayah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran, termasuk Swapraja Surakarta membawahi Kotamadya Surakarta, Kabupaten Karanganyar, Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali. “Terbentuknya Karesidenan Surakarta yang diikuti berdirinya Pemerintah Daerah Kotamadya Surakarta secara otomatis menghapus kekuasaan Kasunanan
Surakarta dan Kadipaten Mangkunegara,” terang Adang Daradjatun. DPR beranggapan, jika para Pemohon ingin pemekaran wilayah, maka lebih tepat jika hal ini dilakukan melalui proses pembentukan UU sebagaimana diamanatkan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. “Tidak dengan judicial review ke Mahkamah Konstitusi,” saran Adang. Menurut DPR, pembentukan daerah atau penetapan suatu daerah menjadi daerah bersifat khusus atau istimewa berdasarkan konstitusi yang harus diatur dalam UU. Mekanismenya diatur secara jelas berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah yang di dalamnya diisyaratkan bahwa pembentukan pemerintah daerah didasari kepada persyaratan administratif yang meliputi persetujuan dari daerah induk dan berdasarkan aspirasi sebagian
besar masyarakat setempat. Di samping itu, dibutuhkan syarat teknis berupa kemampuan ekonomi, kemampuan ke uangan, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, tingkat kesejahteraan masyarakat, rentang kendali penyelenggaraan pemerintah daerah, serta secara fisik kewilayahan pembentukan daerah yang harus memenuhi cakupan wilayah paling sedikit 5 kabupaten/kota untuk pembentukan suatu provinsi. Paling sedikit 5 kecamatan untuk pembentukan 1 kabupaten dan 4 kecamatan untuk pembentukan kota, termasuk lokasi calon ibu kota, sarana dan prasarana pemerintah. “DPR berpendapat, ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah tidak bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” tandas Adang Daradjatun mengakhiri keterangan DPR. Nur Rosihin Ana /Lulu Anjarsari
Yusril Ihza Mahendra
Keistimewaan Surakarta Sah dan Konstitusional
K
eberadaan Surakarta sebagai daerah istimewa diputuskan dalam sidang PPKI pada 19 Agustus 1945. Patut disadari bahwa pada 19 Agustus 1945 itu Presiden RI memegang kekuasaan absolut. Berdasarkan Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945, yakni sebelum terbentuknya MPR, DPR, dan DPA, maka segala kekuasaan lembaga-lembaga itu dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional. Presiden RI Soekarno mengeluarkan sebuah ketetapan yang tidak diberi nomor tapi diberi tanggal, yakni tanggal 19 Agustus tahun 1945. Piagam atau ketetapan tersebut intinya menyatakan, ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII tetap pada kedudukannya sebagai Sunan atau Raja Surakarta dengan segala kewenangan di daerah kekuasaannya.
KONSTITUSI september 2013
“Pembentukan Daerah Istimewa Surakarta Hadiningrat adalah sah dan konstitusional, baik oleh keputusan sidang PPKI maupun oleh Penetapan Presiden RI tanggal 19 Agustus Tahun 1945, serta penegasan dari beberapa undang-undang yang ada antara Tahun 1945 sampai dengan Tahun 1946,” tegas Yusril Ihza Mahendra saat didaulat sebagai ahli Pemohon. Ahli Hukum Tata Negara ini juga mengemukakan bahwa UU Jateng merupakan kesalahan konstitusional dan historis. Menurut Yusril, UU Jateng bertentangan dengan asas hukum karena tidak mengakui keberadaan sebuah daerah. “Hal ini bertentangan dengan asas keadilan dan persamaan hukum. Pembentukan daerah Surakarta sah secara konstitusional,” tandasnya. Yusril Ihza Mahendra
Humas MK/GANIE
29
Ruang Sidang
PHPU
MK Tolak Tujuh Perkara Pemilukada
Kuasa Hukum Pemohon (Ki-Ka mengenakan toga) Tanda Perdamaian Nasution, Sirra Prayuna, Badrul Munir, dan Ace Kurnia mendampingi Pemohon prinsipal Wakil Bupati Daud Lende Umbu Moto (kemeja merah muda).
S
epanjang Agustus 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus delapan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah. Dari delapan perkara PHPU Kepala Daerah yang diputus, tujuh diantaranya dinyatakan ditolak seluruhnya oleh MK. Ketujuh perkara Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) yang ditolak seluruhnya oleh MK, yaitu Pemilukada Kota Padang Panjang Tahun 2013, empat perkara Pemilukada Provinsi Maluku Utara Tahun 2013, Pemilukada Kabupaten Parigi Moutong Tahun 2013, dan Pemilukada Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2013.
30
Padang Panjang Perkara Pemilukada Kota Padang Panjang dimohonkan oleh Pasangan Calon No. Urut 1 Yusyafnital-Yuheldi, Pasangan Calon No. Urut 2 Sonny Jendriza IdroesAldias Sastra, Pasangan Calon No. Urut 3 Edwin-Eko Furqani, dan Pasangan Calon No. Urut 4 Jon Enardi-Yurnalisman. Dalam permohonannya, keempat pasangan calon tersebut mendalilkan saat rekapitulasi hasil pengitungan suara dalam Pemilukada Kota Padang Panjang dan saat tahapan penyelenggaraan Pemilukada yang dilaksanakan telah terjadi banyak pelanggaran dan penyimpangan yang dilakukan oleh KPU Kota Padang Panjang. Pelanggaran dan penyimpangan
Humas MK/GANIE
yang dilakukan oleh KPU Kota Padang Panjang dinilai Para Pemohon telah sangat memengaruhi perolehan suara dan rekapitulasi sehingga Para Pemohon tidak terpilih sebagai Walikota dan Wakil Walikota Padang Panjang terpilih. KPU Kota Padang Panjang dituding oleh Para Pemohon telah melakukan penyalahgunaan surat suara rusak. Pemohon mencurigai surat suara yang rusak tersebut dimanfaatkan oleh pihakpihak yang tidak bertanggung jawab. Menanggapi kecurigaan Para Pemohon, sebenarnya Panwaslukada Kota Padang Panjang merekomendasikan/meminta kepada KPU Kota Padang Panjang untuk segera memusnahkan 11.456 surat suara
KONSTITUSI september 2013
sisa. Namun, KPU Kota Padang Panjang justru menjanjikan akan memusnahkan surat suara rusak yang menurut mereka hanya berjumlah 11.300 tersebut saat proses Pemilukada Kota Padang Panjang selesai digelar. Terhadap dalil Para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat pada putusannya bahwa sesuai bukti dan fakta yang terungkap di persidangan, ternyata Surat Panwaslu Kota Padang Panjang Nomor 149/B/Panwaslu/PP/VII/2013 ter tanggal 3 Juli 2013 sebenarnya hanya berisi rekomendasi Panwaslu Kota Padang Panjang kepada KPU Kota Padang Panjang agar memusnahkan surat suara rusak yang berjumlah 11.456 eksemplar sebagai tindakan preventif untuk menghindari kecurigaan terhadap penyelenggaraan Pemilukada Kota Padang Panjang periode 2013-2018. Terhadap surat Panwaslu tersebut KPU Kota Padang Panjang kemudian menindaklanjutinya dengan melakukan rapat koordinasi dengan Panwaslu Kota Padang Panjang dan Polres Kota Padang Panjang pada rapat tersebut disepakati bahwa surat suara rusak yang berjumlah 11.311 lembar untuk sementara dipindahkan dari Kantor KPU Kota Padang Panjang untuk diamankan ke Mapolres Kota Padang Panjang pada hari Rabu tanggal 3 Juli 2013, pukul 19.00. Surat suara tersebut pun akan dimusnahkan setelah Pemilukada Kota Padang Panjang Tahun 2013 usai digelar. Mahkamah berpendapat bahwa dari fakta hukum tersebut terlihat tidak ada niat atau pun itikad tidak baik dari KPU Kota Padang Panjang untuk menggunakan surat suara rusak demi memenangkan salah satu pasangan calon dalam Pemilukada Kota Padang Panjang Tahun 2013. Sesuai bukti yang diajukan KPU Kota Padang Panjang, Mahkamah menilai bahwa KPU Kota Padang Panjang telah mencetak surat suara sesuai dengan Pasal 6 dan Pasal 9 Peraturan KPU Nomor 66 Tahun 2009 tentang Penetapan Norma, Standar, Prosedur dan Kebutuhan Pengadaan Serta Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. “Selain itu, sesuai fakta persidangan pula Termohon (KPU Kota Padang Panjang, red) telah melaksanakan rekomendasi Panwaslu Kota Padang
KONSTITUSI september 2013
Saksi Termohon Frengky Baraham Pimpinan Gereja Advent.
Panjang terkait surat suara rusak tersebut dengan melakukan rapat koordinasi antara Termohon, Panwaslu Kota Padang Panjang, dan Polres Kota Padang Panjang pada tanggal 3 Juli 2013, untuk kemudian surat suara rusak tersebut dipindakan dari Kantor KPU Kota Padang Panjang untuk diamankan ke Mapolres Kota Padang Panjang, dan akan dimusnahkan setelah Pemilukada Kota Padang Panjang Tahun 2013 selesai,” ujar Hakim Konstitusi Achmad Sodiki membacakan penggalan putusan Mahkamah dalam sidang yang digelar, Kamis (1/8). Berdasarkan pertimbangan atas bukti dan fakta tersebut, Mahkamah pun menyatakan bahwa KPU Kota Padang Panjang tidak terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap asas-asas Pemilu dalam penyelenggaraan Pemilukada Kota Padang Panjang Tahun 2013, khususnya penggunaan surat suara rusak untuk kepentingan salah satu pasangan calon yang secara tersturktur, sistematis, dan masif berakibat terhadap perolehan suara. Empat Perkara Maluku Utara Empat pasangan calon dalam Pemilukada Maluku Utara juga mengajukan gugatan hasil Pemilukada Maluku Utara ke MK. Keempat pasangan calon dimaksud, yaitu Pasangan Calon No. Urut 2 Muhadjir Albaar-Sahrin Hamid, Pasangan Calon
Humas MK/GANIE
No. Urut 3 Ahmad Hidayat-Hasan Doa, Pasangan Calon No. Urut 4 Syamsir Andili-Benny Laos, dan Pasangan Calon No. Urut 6 Hein Namotemo-Abdul Malik Ibrahim. Pasangan Muhadjir Albaar-Sahrin Hamid dalam permohonannya mendalilkan bahwa proses penyelenggaraan Pemilukada Provinsi Maluku Utara telah menyimpang dari asas-asas Pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil. Selain itu, Pasangan Muhadjir AlbaarSahrin Hamid juga menuding telah terjadi pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif dalam proses pelaksanaan Pemilukada Provinsi Maluku Utara yang sangat mempengaruhi perolehan hasil suara masing-masing pasangan calon, termasuk Pasangan Muhadjir AlbaarSahrin Hamid. Pelanggaran-pelanggaran yang didalilkan Pasangan Muhadjir AlbaarSahrin Hamid antara lain berupa adanya manipulasi data dukungan untuk calon independen, pembukaan kotak suara tanpa disaksikan oleh Panwas, dan pencoblosan sisa surat suara tidak terpakai untuk salah satu pasangan calon. Sementara itu Pasangan Ahmad Hidayat-Hasan Doa mendalilkan bahwa dalam pelaksanaan Pemilukada Provinsi Maluku Utara seharusnya diselenggarakan
31
Ruang Sidang
PHPU
dalam satu putaran dan menetapkan Pasangan Ahmad Hidayat-Hasan Doa sebagai pemenang. Pasalnya, Pasangan Calon No. Urut 3 tersebut yakin sudah memperoleh 31,05 persen suara karena telah memperoleh 180.378 suara. Namun, karena terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh KPU Provinsi Maluku Utara, Pasangan Ahmad Hidayat-Hasan Doa mengalami pengurangan suara menjadi 163.684 suara atau 28,50 persen saja. Pasangan Calon No. Urut 4 Syamsir Andili-Benny Laos yang juga mengajukan gugatan terhadap hasil Pemilukada Provinsi Maluku Utara justru menyerang Pasangan Ahmad Hidayat-Hasan Doa dengan tudingan telah melakukan praktik politik uang. Pelanggaran berupa praktik politik uang tersebut menurut Pasangan Calon No. Urut 4 dilakukan oleh Pasangan Ahmad Hidayat-Hasan Doa demi melanggengkan kekuasaannya. Praktik bagi-bagi uang tersebut pun diyakini dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif di beberapa wilayah di Provinsi Maluku Utara. Terakhir, Pasangan Hein
Namotemo-Abdul Malik Ibrahim dalam permohonannya mendalilkan bahwa bila KPU Provinsi Maluku Utara menjalankan tugasnya pada Pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku Utara Tahun 2013 dengan berlaku jujur dan tidak menyimpang dari ketentuan perundangundangan yang berlaku, maka dipastikan Pasangan Hein Namotemo-Abdul Malik Ibrahim akan memperoleh suara paling banyak. Salah satu ketidakbecusan KPU Provinsi Maluku Utara menurut Pasangan Hein Namotemo adalah dengan membiarkan adanya praktik bagi-bagi uang yang dilakukan Pasangan Ahmad Hidayat-Hasan Doa. Terhadap dalil-dalil Para Pemohon tersebut, Mahkamah dalam masingmasing putusannya menyatakan menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya. Pasalnya, Mahkamah menyimpulkan kesemua dalil permohonan Para Pemohon tersebut tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum. “Menurut Mahkamah, jikalaupun dalil-dalil Pemohon mengenai Termohon membiarkan Pasangan Calon Nomor
Urut 3 membagi-bagikan uang kepada masyarakat yang bertujuan supaya mereka memilih Pasangan Calon Nomor Urut 3 benar, dalil dan alat bukti tersebut tidak dapat meyakinkan Mahkamah bahwa hal tersebut dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif yang secara signifikan dapat memengaruhi peringkat perolehan suara khususnya antara Pemohon dengan Pasangan Calon Nomor Urut 3. Terlebih lagi, Pemohon tidak dapat membuktikan berapa banyak masyarakat yang memperoleh uang tersebut dan Pemohon juga tidak dapat memastikan apakah para pemilih yang memperoleh uang tersebut sudah pasti akan memilih Pasangan Calon Nomor Urut 3,” ujar Hakim Konstitusi Harjono membacakan kutipan pendapat Mahkamah dalam putusan perkara yang dimohonkan Pasangan Hein NamotemoAbdul Malik. Parigi Moutong Pasangan Calon No. Urut 1 Taswin Borman-Kemal Toana dalam Pemilukada Kabupaten Parigi Moutong mendalilkan telah terjadi pelanggaran administratif
Kuasa hukum Pemohon mendengarkan pengucapan putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
32
KONSTITUSI september 2013
dan pelanggaran pidana yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif dalam proses pelaksanaan Pemilukada Kabupaten Parigi Moutong. Pelanggaran tersebut diyakini Pasangan Taswin BormanKemal Toana telah sangat mempengaruhi perolehan suara yang mengakibatkan tidak tercapainya Pemilukada yang demokratis. Pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan masif ditujukan kepada KPU Kabupaten Parigi Moutong. Salah satu pelanggaran yang ditudingkan oleh Pasangan Taswin Borman-Kemal Toana yakni KPU Kabupaten Parigi Moutong telah dengan sengaja menetapkan jadwal pencoblosan Pemilukada Parigi Moutong pada Sabtu, 6 Juli 2013 yang bertepatan dengan hari Sabat sebagai hari Ibadah Penganut Agama Kristen Advent. Padahal, menurut Pasangan Calon No. Urut 1 itu pada hari Sabat penganut Agama Kristen Advent tidak boleh melakukan aktivitas apa pun, termasuk melakukan pencoblosan. Selain itu, Pemohon dalam Perkara Sengketa Pemilukada Kabupaten Parigi Moutong itu juga mendalilkan telah terjadi mobilisasi aparat pemerintah daerah untuk memenangkan Pasangan Samsurizal Tombolotutu-Badrun Nggai. Terhadap dalil Pasangan Taswin Borman-Kemal Toana, Mahkamah dalam putusan yang diucapkan pada Kamis, 29 Agustus 2013 tersebut menyatakan dalil Pasangan Taswin Borman-Kemal Toana tidak terbukti. Mahkamah menilai KPU Kabupaten Parigi Moutong tidak dengan sengaja melakukan penghilangan hak pilih dari umat Kristen Advent secara terstruktur, sistematis, dan masif. Selain itu, tidak terdapat indikasi bahwa penetapan hari pemungutan suara yang bertepatan dengan hari ibadah umat Kristen Advent adalah untuk menghilangkan hak suara dari umat Kristen Advent. Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dalam sidang pembacaan putusan untuk perkara ini menyampaikan bahwa sesuai bukti yang diajukan KPU Kabupaten Parigi Moutong dan keterangan saksi bernama Frengky Barahama, umat Kristen Advent tetap menyetujui pelaksanaan pencoblosan pada Sabtu, 6 Juli 2013. “Lagipula jika pun seluruh umat Kristen Advent memberikan hak suaranya pada Pemilukada Kabupaten Parigi Moutong Tahun 2013 selain belum
KONSTITUSI september 2013
Para pihak menerima salinan putusan MK yang diserahkan langsung oleh Panitera MK Kasianur Sidauruk (29/8/2013) usai pengucapan putusan di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
tentu pasangan calon yang mereka pilih, jikalau pun memilih Pemohon, suara mereka tidak signifikan mempengaruhi perolehan suara masing-masing pasangan calon terutama antara Pemohon dan Pihak Terkait. Oleh karena itu, menurut Mahkamah dalil Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum,” ujar Patrialis membacakan kutipan pendapat Mahkamah pada Putusan Perkara No. 102/PHPU.DXI/2013 tersebut. Sumba Barat Daya Satu lagi perkara Pemilukada yang ditolak seluruhnya oleh MK pada bulan Agustus 2013, yaitu Perkara Pemilukada Sumba Barat Daya yang dimohonkan oleh Pasangan Calon No. Urut 2 Kornelius Kodi Mete-Daud Lende Umbu Moto. Pasangan tersebut dalam permohonannya mendalilkan telah terjadi penambahan suara Pasangan Calon No. Urut 3 Markus Dairo Talu-Ndara Tanggu Kaha di beberapa wilayah Kecamatan Wewewa Tengah. Sebaliknya, Pemohon dalam perkara ini mendalilkan telah terjadi pengurangan suara milik Pasangan Kornelius Kodi Mete-Daud Lende Umbu Moto di Kecamatan Wewewa Tengah. Pasangan Kornelius Kodi Mete-Daud Lende Umbu Moto juga melemparkan tudingan kepada KPU Kabupaten Sumba Barat Daya. Kesalahan yang ditudingkan kepada KPU Kabupaten Sumba Barat
Daya yaitu mengubah hasil perolehan suara masing-masing pasangan calon dari hasil perolehan suara pada formulir perolehan suara di tingkat TPS, PPS/ Desa menjadi berbeda di tinggat PPK/ Kecamatan dan di tingkat KPU Kabupaten Sumba Barat Daya. Namun, Mahkamah dalam putusannya berpendapat tidak terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam rekapitulasi perolehan suara Pemilukada Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2013 yang secara signifikan mempengaruhi perolehan suara dan peringkat perolehan suara masing-masing pasangan calon peserta Pemilukada Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun 2013. Pendapat tersebut dinyatakan oleh Mahkamah karena Mahkamah tidak menemukan buktibukti lebih lanjut yang dapat memberikan keyakinan akan kebenaran dalil Pasangan Kornelius Kodi Mete-Daud Lende Umbu Moto mengenai kekeliruan penghitungan suara dan/atau pengubahan perolehan suara masing-masing pasangan calon di Kecamatan Wewewa Barat. Dengan demikian Mahkamah pun menyatakan dalil Pemohon mengenai perubahan dan/ atau kekeliruan rekapitulasi perolehan suara untuk Kecamatan Wewewa Barat harus dinyatakan tidak terbukti menurut hukum. Yusti Nurul Agustin
33
Kilas perkara Lewat Tenggat, Sengketa Pemilukada Kab. Maluku Tenggara Tidak Diterima
Mahkamah Konstitusi (MK) memutus tidak dapat menerima permohonan sengketa Pemilukada Kabupaten Maluku Tenggah yang diajukan oleh pasangan calon M. Thaher Hanubun-Gerry Habel Hakubun, dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 95/PHPU.D-XI/2013, Kamis (1/8) di Ruang Sidang Pleno MK. Mahkamah menilai, pengajuan permohonan tersebut ke MK telah melewati tenggat waktu yaitu paling lambat tiga hari kerja setelah penetapan hasil pemilukada oleh KPU Maluku Tenggara. Keputusan KPU Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 139.a/KPTS/KPU.KAB-029.659602/VI/2013 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Maluku Tenggara Periode 2013-2018, dikeluarkan pada 30 Juni 2013. Sehingga batas akhir pendaftaran perkara oleh Pemohon kepada MK seharusnya adalah Rabu, 3 Juli 2013. Namun berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 346/PAN.MK/2013, Pemohon baru mengajukan permohonan perkara ke Kepaniteraan Mahkamah pada Rabu, 10 Juli 2013. Sehingga permohonan Pemohon telah melewati tenggang waktu pengajuan permohonan yang ditentukan peraturan perundang-undangan. (Ilham)
Uji Materi UU Pembentukan Kab. Tambrauw Ditarik Kembali
kuasa hukumnya dengan No. 06/KH-YS/VIII/2013, tanggal 6 Agustus 2013, perihal Pencabutan Perkara No. 70/PUU-XI/2013 tentang Permohonan Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No. 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat. Dengan demikian, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan pengujian formil UU tersebut. (Nano Tresna Arfana/Wulan Pertiwi Devi)
Permohonan Partai SRI Tidak Diterima Permohonan Partai Serikat Rakyat Indonesia (Partai SRI) atas Pengujian UU Pemilu Legislatif harus kandas setelah MK memutuskan menolak permohonan yang menuntut agar seluruh partai yang telah tercatat secara resmi di Kemenkumham dapat langsung menjadi peserta pemilu secara otomatis tanpa melalui proses verifikasi. MK berpendapat bahwa pasal yang berkaitan dengan tata cara pendaftaran partai politik sebagai peserta Pemilu merupakan kebijakan hukum terbuka dari pembentuk UU. Persyaratan penetapan satu partai sebagai peserta Pemilu oleh KPU adalah perintah UU yang merupakan penjabaran dari UUD 1945 sehingga hal demikian tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini menjawab dalil Pemohon yang mengklaim bahwa seluruh partai politik pada hakikatnya telah melalui proses verifikasi ketika mendaftar pada Kemenkumham. Menurut Partai SRI, verifikasi yang dilakukan oleh KPU dirasa tidak perlu lagi. Seharusnya KPU hanya berwenang pada tataran yang bersifat teknis administratif semata.
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menjatuhkan ketetapan yang mengabulkan penarikan kembali permohonan uji materi UU No. 14 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas UU No. 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat - Perkara No. 70/PUUXI/2013. “Menetapkan, menyatakan mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon. Permohonan dengan register Nomor 70/PUU-XI/2013, ditarik kembali,” kata Ketua MK M. Akil Mochtar didampingi para hakim konstitusi lainnya, dalam sidang pengucapan putusan, Selasa (27/8) sore di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh Ketua Lembaga Masyarakat Adat Malamoi Distrik Moraid, Ishak Malak dkk. Namun MK pada 13 Agustus 2013 menerima surat dari para Pemohon melalui
34
KONSTITUSI september 2013
Namun MK dalam putusan akhirnya sekali lagi menolak seluruh dalil dan gugatan Pemohon, karena MK menganggap ketentuan tersebut tidak melanggar aturan konstitusi. Sebelumnya MK pernah memeriksa dan menolak permohonan serupa yang juga menggunakan konstruksi yuridis yang sama. “Menolak permohonan pemohon,“ ujar Akil mengakhiri sidang pembacaan Putusan Nomor 51/PUU-XI/2013, Rabu, (28/8/2013) di Ruang Sidang Pleno MK. (Julie)
Tidak Beralasan Hukum, MK Tolak Permohonan Partai Persatuan Nasional
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pengujian terhadap Pasal 8 Ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) terhadap UUD 1945. “Menyatakan, permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK M. Akil Mochtar pada sidang Putusan Nomor 22/PUU-XI/2013 yang diajukan oleh Partai Persatuan Nasional (PPN), Rabu (28/8) di Ruang Sidang Pleno MK. Menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu Legislatif, yang di dalamnya meliputi ketentuan Pasal 8 ayat (2) huruf d UU 8/2012 yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya, telah diuji dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUUX/2012, bertanggal 29 Agustus 2012. Mahkamah mengatakan bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 terdahulu, penentuan syaratsyarat partai politik yang akan mengikuti pemilihan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu Legislatif, merupakan kebijakan hukum dari pembentuk UU untuk melakukan penyederhanaan jumlah partai politik. Mahkamah menegaskan, persyaratan verifikasi yang diatur oleh Pasal 8 ayat (2) UU Pemilu Legislatif adalah konstitusional atau tidak bertentangan dengan UUD 1945 selama diberlakukan tanpa pengecualian kepada semua partai politik yang mendaftarkan diri sebagai peserta pemilihan Umum. (Utami Argawati/mh)
Bukan Kewenangan MK, Sengketa Pembentukan Bawaslu Sumut Tidak Dapat Diterima
MK memutus tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi Sumatera Utara (Sumut), dalam perkara Sengketa
KONSTITUSI september 2013
Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Panwaslu Provinsi Sumut terhadap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut Mahkamah, objek yang dipersoalkan oleh Pemohon tersebut tidak diatur dan tidak ditentukan dalam UUD 1945, melainkan diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. MK dalam putusan sebelumnya, yaitu Putusan Nomor 004/SKLN-IV/2006, tanggal 12 Juli 2006, menyatakan bahwa SKLN yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 saja yang menjadi objek dari sengketa.
Lebih lanjut Mahkamah menilai, meskipun KPU diajukan sebagai Termohon II dalam perkara tersebut, akan tetapi persoalan kewenangan yang dipersengketakan tidak ada kaitannya dengan kewenangan KPU. Oleh karena itu, tidak tepat jika KPU diposisikan sebagai pihak dalam permohonan itu. Dengan demikian, baik Pemohon, Termohon I, maupun Termohon II tidak memenuhi syarat subjek perkara atau pihak dalam permohonan tersebut, sementara terhadap objek sengketa permohonan yang diajukan Pemohon, Mahkamah menilai objek sengketa tersebut tidak memenuhi syarat. Berdasarkan pertimbangan itu, maka Mahkamah menilai permohonan Pemohon tersebut bukan sengketa kewenangan lembaga negara yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah. Walhasil, Mahkamah menyatakan permohonan tidak dapat diterima. “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua MK M. Akil Mochtar membacakan amar Putusan Nomor 2/SKLN-XI/2013, Rabu (28/8/2013). (Ilham).
Menguji Aturan Keterwakilan Perempuan Dalam Keanggotaan KPU
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU Penyelenggara Pemilu), Senin (26/8/2013) dengan agenda pemeriksaan pendahuluan. Norma yang diujikan adalah Pasal 6 ayat (5) UU Penyelenggara Pemilu yang menentukan komposisi keanggotan KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota memerhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Meyce Dwi Waryuni selaku Pemohon, melalui kuasa hukumnya, Arief Ariyanto, memaparkan adanya kerugian konstitusional karena tidak lolos seleksi anggota
35
Kilas perkara KPU Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu. Padahal Meyce merupakan satu-satunya perempuan yang lolos dalam proses seleksi. (Gigih Priyambodo)
Penguji Syarat Surat Putusan Pemidanaan Perbaiki Permohonan
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau biasa dikenal KUHAP yang dimohonkan oleh Ferry Tansil, Rabu (21/8/2013). Pada sidang kali ini Pemohon menyampaikan poin-poin perbaikan permohonannya. Pemohon yang diwakili Fredrich Yunani selaku kuasa hukum menyampaikan perbaikan mengenai syarat surat putusan pemidanaan hanya menguji Pasal 197 ayat (1) huruf I pada KUHAP, tanpa mengujinya terhadap norma UU lainnya. Sebelumnya, Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan tentang surat pemidanaan pada Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP. Sebab, dalam Pasal 197 ayat (1) huruf l KUHAP sudah sangat jelas menyatakan bahwa dalam surat pemidanaan harus mencantumkan hari dan tanggal putusan, nama penuntut hukum, nama hakim yang memutus, serta nama panitera yang bertugas. Namun, Pemohon menyayangkan bahwa dalam putusan pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung, maupun dalam upaya hukum luar biasa (PK) ketentuan tersebut tidak pernah dicantumkan. (Yusti Nurul Agustin)
36
Dijerat Hukuman Berat, Zulkarnain Djabar Gugat UU Tipikor
Tersangka kasus dugaan penerimaan suap penganggaran proyek pengadaan Al-Qur’an dan Laboratorium Kementerian Agama, Zulkarnain Djabar mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana untuk perkara ini digelar Selasa (27/8). Zulkarnain Djabar pada sidang kali ini diwakili Andi Muhammad Asrun selaku kuasa hukumnya menyampaikan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan diterapkannya Pasal 12 UU Tipikor. Alasannya, Pasal 12 UU Tipikor tidak memiliki kepastian hukum. Dengan Pasal 12 UU Tipikor itu pulalah Zulkarnain didakwa sebagai penerima suap proyek pengadaan Al-Qur’an dan Laboratorium Kementerian Agama. Bunyi frasa “patut diduga” pada Pasal 12 UU Tipikor poin a sampai i, lanjut Asrun, telah mengantar majelis hakim menghukum Zulkarnain dengan hukuman yang sangat tinggi tanpa disandarkan pada mekanisme bukti yang memadai. Asrun berargumen kata “diketahui” dengan frasa “patut diduga” memiliki arti yang jauh berbeda. “Elemen ‘diketahui’ adalah istilah yang berkenaan dengan kesengajaan atau dolus dari pelaku tidak berkorupsi dan elemen ‘patut diduga’ diartikan sebagai kealpaan atau culpa,” papar Asrun. (Yusti Nurul Agustin/mh)
Cabup Peraih Suara Kedua Pemilukada Kabupaten Aru Perbaiki Permohonan Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) pada Kamis (29/8/2013) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 72/PUU-XI/2013 ini dimohonkan oleh Elwen Roy Pattiasina. Dalam sidang perbaikan permohonan ini, Elwen yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Anthoni Hatane, mengungkapkan telah memasukkan pemohon tambahan, yakni Abdul Rahman. Pemohon juga mengubah dalil permohonan sesuai yang saran majelis hakim konstitusi. Sebagai pasangan calon bupati dengan perolehan suara terbanyak kedua, pasangan Elwen Roy Pattiasina-Abdul Rahman Djabumona merasa berhak untuk menduduki jabatan
KONSTITUSI september 2013
sebagai bupati definitif, pasca bupati terpilih yakni Teddy Tengko harus diberhentikan dari jabatannya terkait kasus korupsi yang menimpanya. Namun dengan berlakunya Pasal 35 ayat (3) UU Pemda, maka Pemohon tidak dapat diusulkan menjadi bupati dan wakil bupati. (Lulu Anjarsari)
Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Pleno M. Akil Mochtar yang didampingi para hakim konstitusi lainnya, pada Rabu (28/8/2013) sore. (Nano Tresna Arfana)
Dianggap Tak Dapat Mewakili, Permohonan Keluarga TKI Tidak Dapat Diterima
MK: UU ITE Justru Lindungi Warga Negara
Pasal 28 ayat (2) UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) justru bersesuaian dengan perlindungan, termasuk perlindungan kehormatan segenap bangsa Indonesia, paralel dengan prinsip ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, sejalan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, karena tidak ada agama yang membenarkan penyebaran kebencian. Demikian disampaikan Majelis Hakim Konstitusi dalam sidang pengucapan Putusan Perkara Nomor 52 PUU-XI/2013 ihwal Pengujian UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dimohonkan oleh M. Farhat Abbas. Farhat mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 28 ayat (2) UU No. 11/2008 yang menyatakan, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untukmenimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Menurut Farhat, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28E Ayat (2) dan Pasal 28F UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN). Putusan dengan Nomor 5/PUUXI/2013 ini dibacakan Ketua MK M. Akil Mochtar pada Rabu (27/8) di Ruang Sidang Pleno MK. Mahkamah menilai Imam Adrongi tidak memiliki kedudukan hukum sebagai Pemohon. Imam Adrongi mendalilkan dirinya mewakili kakaknya, Siti Nurkhasanah yang dalam keadaan sakit dan tertekan jiwanya setelah kembali ke Indonesia hingga mengakibatkan dirinya tidak dapat mengajukan sendiri permohonan perkara ke Mahkamah. Namun Mahkamah berpendapat seandainya benar Siti Nurkhasanah tidak dapat menyampaikan kehendaknya secara benar untuk mengajukan perkara ini, menurut Mahkamah, permohonan ini harus dilengkapi dengan surat keterangan yang sah, yang menerangkan bahwa Pemohon benar-benar merupakan wali untuk kepentingan Siti Nurkhasanah. Berdasarkan fakta dalam persidangan, Imam Adrongi tidak mengajukan bukti yang menunjukkan bahwa dirinya sebagai wali dari Siti Nurkhasanah sebagai pihak yang berkepentingan dalam perkara ini. (Lulu Anjarsari)
MK Tolak Uji Materi Aturan Keberatan Wajib Pajak
Menurut Mahkamah, permohonan Farhat tidak beralasan menurut hukum. Alhasil, amar putusan MK menyatakan menolak permohonan Farhat. “Menyatakan menolak permohonan
KONSTITUSI september 2013
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pembacaan putusan perkara Pengujian Undang-Undang Ketentuan Umum Tentang Tata Cara Perpajakan yang dimohonkan oleh PT Hutahaean, Kamis (29/8/2013). Dalam amar putusan yang dibacakan langsung oleh Ketua MK M. Akil Mochtar, Mahkamah menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya, karena tidak beralasan menurut hukum. Sebelumnya Pemohon beranggapan mengalami kerugian dengan terabaikannya hak-hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H
37
Kilas perkara ayat (2) UUD 1945. Kerugian tersebut terjadi karena berlakunya Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan. Pemohon selaku badan hukum privat melaporkan pajaknya dengan dasar self assessment dalam masa pajak atau tahun pajak. Selanjutnya fiskus (pengumpul pajak) melakukan pemeriksaan pajak dari Pemohon. Dari hasil yang diperoleh oleh fiskus atas besaran jumlah pembayaran pajak ternyata berbeda dari apa yang telah dilaporkan Pemohon sehingga terjadi perselisihan antara Pemohon dengan fiskus. Selanjutnya Pemohon selaku wajib pajak menanggapi temuan fiskus dan menyanggah temuan tersebut. Namun, Pemohon merasa bila ingin menggunakan haknya untuk mengajukan keberatan akan terhalangi oleh ketentuan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5) huruf d UU Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan.
Tidak Dirugikan Utang Pemerintah, MK Putuskan Permohonan Tidak Dapat Diterima
Mahkamah berpendapat, apabila wajib pajak, termasuk Pemohon, melalui cara-cara hukum seperti instrumen keberatan pajak atau dengan cara-cara lain berusaha menghindari atau menunda-nunda pembayaran pajak dan hal semacam itu tanpa adanya sanksi, justru akan menghilangkan hakikat pajak sebagai kewajiban atau pungutan oleh negara yang bersifat memaksa. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. (Yusti Nurul Agustin)
“Gaji Presiden Tidak Toleran dengan Keadaan Ekonomi Rakyat” Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perkara Nomor 76/ PUU-XI/2013 ihwal pengujian Pasal 2, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10 ayat (2) huruf a dan ayat (3), serta Pasal 13 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan/Administratif Presiden dan Wakil Presiden Serta Bekas Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia (UU Hak Keuangan Presiden), Rabu (28/8/2013) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. Pada kesempatan ini, Awaluddin (Pemohon), melalui kuasa hukumnya, Robi Anugrah Marpaung dkk memaparkan, kondisi kesejahteraan Presiden dan Wakil Presiden yang dijamin dalam UU Hak Keuangan Negara, setiap tahunnya mengalami peningkatan dan tidak terpengaruh dengan tingginya biaya hidup dan tidak stabilnya perekonomian di Indonesia. Hal ini, lanjut Pemohon, sangat kontras dengan meningkatnya jumlah kemiskinan serta semakin bertambahnya utang negara di negeri ini. Oleh karenanya, Pemohon meminta MK untuk membatalkan ketentuan-ketentuan tersebut. (Wulan Pertiwi Devi)
38
Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan Perkara Nomor 41/PUU-X/2012 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UndangUndang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, tidak dapat diterima. “Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo,” tegas Ketua MK M. Akil Mochtar dalam sidang pengucapan putusan, Rabu (28/8/2013) sore, di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam putusannya MK berpandangan bahwa para Pemohon tidak mempersoalkan konstitusionalitas pinjaman yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, tetapi mempersoalkan konstitusionalitas prosedur pemberian pinjaman yang berkaitan dengan peran Menteri Keuangan (Menkeu) sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya. Menurut MK, kerugian yang diderita para Pemohon tidaklah bersifat spesifik dan dapat dipastikan akan terjadi. Permohonan ini diajukan oleh Muhammad Fhatoni, Akmal Fuadi, dan Denni. Mereka berdalil telah dirugikan oleh Pasal 8 huruf d UU Keuangan Negara, Pasal 7 ayat (2) huruf j dan Pasal 38 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara. Menurut mereka, ketentuan tersebut dapat menimbulkan pinjaman negara, dan para Pemohon menanggung kewajiban membayar pinjaman Pemerintah RI melalui kewajiban para Pemohon untuk membayar pajak. Potensi penambahan pinjaman akan semakin besar karena Menkeu tidak perlu meminta persetujuan DPR dalam mengikat perjanjian pinjaman dengan negara lain atau dengan subjek hukum perjanjian internasional lainnya. (Dodi)
KONSTITUSI september 2013
Catatan Perkara
Jangka Waktu Tujuh Hari Potensial Gugurkan Praperadilan Oleh: Nur Rosihin Ana
P
raperadilan merupakan salah satu sub sistem peradilan pida na. Masuknya praperadilan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP) dianggap sebagai bentuk kontrol horizontal lem baga judikatif terhadap kekuasan eksekutif dalam hal ini fungsi penyidik untuk melakukan upaya paksa. Praktik praper adilan yang diatur da lam Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d KUHAP telah memunculkan multitafsir yang menyebabkan ke tidakseragaman hukum acara praperadilan di Indonesia. Multitafsir dimaksud yaitu pada frasa “selambat-lam batnya tujuh hari hakim harus sudah men jatuhkan putusannya." Dalam praktik pula, ketidakseragaman ini telah mengakibatkan tidak tercapainya ke pastian hukum. Padahal keberadaan praperadilan dalam sistem hukum pidana Indonesia adalah dalam rangka menjamin hak asasi manusia. Apakah pengaturan praperadilan telah menjamin HAM sebagai
KONSTITUSI september 2013
negara hukum atau justru menjadikan jaminan itu menjadi kabur? Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut, Anwar Sadat alias
Sadat bin Satim dan Perkumpulan Masya rakat Pembaharuan Peradilan Pidana, mengadu ke MK. Keduanya mengujikan Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1), dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Permohonan mereka kemudian diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 78/PUUXI/2013 pada 20 Agustus 2013. Anwar Sadat adalah Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup lndonesia (WALHI) Sumatera Selatan. Anwar aktif mendampingi masyarakat Ogan Ilir Sumatera Selatan yang menuntut pengembalian hak atas tanah mereka yang diambilalih PTPN VII Cinta Manis, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Aksi Anwar dan para petani di depan markas Kepolisian Daerah Sumatera Selatan pada 28 Januari 2013 berujung kekerasan, penangkapan dan penahanan. Anwar menganggap proses penangkapan dan penahanan dirinya tidak sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP. Saat proses pemeriksaan praperadilan tengah berlangsung di PN Palembang, ternyata pokok perkara yang didakwakan kepadanya mulai disidangkan. Berdasarkan
39
Catatan Perkara ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, Majelis Hakim yang mengadili permohonan praperadilan yang diajukan Anwar memutuskan bahwa Permohonan Praperadilan Anwar dinyatakan gugur. Putusan ini didasari oleh alasan bahwa Pokok Perkara Pemohon telah mulai disidangkan. Pemohon lain yang menggugat ketentuan ini adalah Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana. LSM ini didirikan atas dasar kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Pasal 82 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d KUHAP menyatakan, “Acara pemeriksaan pra peradilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut: (b) dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang; (c) pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambatlambatnya tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya; (d) dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.” Menurut para Pemohon, frasa “…hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang…” dalam ketentuan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab frasa ini menjadi dasar praktik dari persidangan praperadilan terkait dengan penafsiran bahwa pengadilan wajib mendengar keterangan kedua belah pihak dalam sidang praperadilan. Dalam praktik, pejabat yang berwenang sebagai termohon praperadilan, setelah dipanggil secara patut dan layak oleh pengadilan untuk hadir dalam sidang
40
yang dibuka pertama kali, ternyata tidak menghadiri persidangan praperadilan tanpa alasan yang jelas. Persidangan pun harus ditunda beberapa kali. Akibatnya, pemohon praperadilan sebagai pihak yang dikenakan upaya paksa terancam tidak dapat dilindungi berdasarkan pasal 28 D ayat (1) KUHAP. Upaya Gugurkan Praperadilan Ketidakhadiran pejabat di per sidangan praperadilan membuat jangka waktu pemeriksaan praperadilan secara umum melebihi 7 hari sebagaimana diatur secara tegas dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP. Hal ini disinyalir merupakan upaya dari pejabat yang berwenang untuk menggugurkan permohonan praperadilan dengan menunggu ataupun mempercepat dilimpahkannya berkas perkara pokoknya
Ketidakhadiran pejabat yang berwenang di persidangan praperadilan disinyalir merupakan upaya untuk menggugurkan permohonan praperadilan ...
ke pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP. Pengadilan seharusnya dapat melanjutkan pemeriksaan permohonan praperadilan, meskipun termohon tidak hadir pada pemeriksaan yang pertama. Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP tidak mengatur secara tegas awal dimulainya perhitungan 7 hari untuk pemeriksaan praperadilan. Setidaknya berkembang empat penafsiran yang berbeda-beda mengenai sejak kapan 7 hari dimulai. Pertama, perhitungan dimulai setelah perkara didaftarkan dan mendapat nomor registrasi PN. Kedua, setelah ketua PN melakukan penunjukan hakim tunggal praperadilan. Ketiga, setelah hakim tunggal praperadilan membuka sidang perdana. Keempat, perhitungan dimulai setelah para pihak lengkap.
Apabila penafsiran waktu dimulainya 7 hari berdasarkan pada saat kedua belah pihak hadir lengkap, maka membuka kemungkinan bagi Pejabat yang berwenang untuk menunda kehadiran pada waktu panggilan sidang yang pertama, meski panggilan tersebut telah dilakukan secara patut dan layak. Penundaan kehadiran pejabat yang berwenang seringkali menjadi salah satu penyebab lamanya waktu pemeriksaan praperadilan dan menjadi faktor gugurnya pemeriksaan praperadilan karena pokok perkara telah didaftarkan ke pengadilan Gugurnya praperadilan saat di mulainya pemeriksaan pokok perkara, menghilangkan hak tersangka untuk menguji keabsahan penangkapan dan penahanan. Pengaturan dalam pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang mengakibatkan gugurnya suatu pemeriksaan di praperadilan apabila pokok perkara telah mulai diperiksa di PN adalah ketentuan yang inkonstitusional. Sebab ketentuan ini menyebabkan hilangnya hak tersangka untuk menguji keabsahan penangkapan dan penahanan sebagimana dijamin Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 82 ayat (1) b KUHAP bertentangan dengan pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, selama tidak dimaknai “hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang dapat dilakukan tanpa dihadiri oleh pejabat yang berwenang dan dapat menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pejabat yang berwenang”. Kemudian, menyatakan Pasal 82 ayat (1) c KUHAP bertentangan dengan pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 selama tidak dimaknai “pemeriksaan selambatlambatnya 7 hari tersebut dimulai pada saat hakim tunggal praperadilan membuka sidang pertama kali dengan atau tanpa kehadiran pejabat yang berwenang.” Para Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
KONSTITUSI september 2013
Daftar Putusan Pengujian Undang-Undang Sepanjang Agustus 2013 No
Nomor Registrasi
1
5/PUU-XI/2013
2
70/PUU-XI/2013
3
41/PUU-X/2012
4
22/PUU-XI/2013
5
51/PUU-XI/2013
6
52 PUU-XI/2013
7
30/PUU-X/2012
8
93/PUU-X/2012
Pokok Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri terhadap UUD 1945 Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw Di Provinsi Papua Barat terhadap UUD 1945
Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara terhadap UUD 1945 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UUD 1945 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap UUD 1945 Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap UUD 1945 Pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan terhadap UUD 1945 Pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap UUD 1945
Pemohon Imam Adrongi
Tanggal Putusan 27 Agustus 2013
Putusan Tidak dapat diterima
Ishak Malak., 27 Agustus 2013 Aristoteles Bisulu, Halim Warwey, Arius Paa, Hj. Hawa Sangaji, Maria Malak, Zakues Suu, Abd. Hi. Sangaji, Mathius Yenjau, Muhammad 28 Agustus 2013 Fhatoni, Akmal Fuadi dan Denni
Ketetapan
Partai Persatuan Nasional (PPN)
28 Agustus 2013
Tidak dapat diterima
Damianus Taufan 28 Agustus 2013 dan Horas A.M. Naiborhu
Tidak dapat diterima
M. Farhat Abbas
28 Agustus 2013
Ditolak seluruhnya
PT HUTAHAEAN
29 Agustus 2013
Ditolak seluruhnya
H. Dadang Achmad
29 Agustus 2013
Dikabulkan sebagian
Tidak dapat diterima
Daftar Putusan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Sepanjang Agustus 2013 No
1
Nomor Registrasi
2/SKLN-XI/2013
KONSTITUSI september 2013
Pokok Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, antara Panitia Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Utara terhadap Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Komisi Pemilihan Umum
Pemohon Panitia Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Utara
Tanggal Putusan
28 Agustus 2013
Putusan
Tidak dapat diterima
41
Catatan Perkara Daftar Putusan Perselisihan Hasil Pemilukada Sepanjang Agustus 2013
No
Nomor Registrasi
Pokok Perkara
Pemohon
Tanggal Putusan
Putusan
1
95/PHPU.D-XI/2013
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku Tahun 2013
M. Thaher Hanubun dan Gerry Habel Hukubun (Nomor Urut 3)
1 Agustus 2013
Tidak dapat diterima
2
96/PHPU.D-XI/2013
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 1. Yusyafnital dan H. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Yuheldi, Daerah Kota Padang Panjang Tahun 2. Sonny Jendriza 2013 Idroes dan Aldias Sastra 3. Edwin dan Eko Furqani 4. H. Jon Enardi dan H. Yurnalisman
1 Agustus 2013
Ditolak seluruhnya
3
97/PHPU.D-XI/2013
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Muhadjir Albaar Kepala Daerah dan Wakil Kepala dan Sahrin Hamid Daerah Provinsi Maluku Utara (Nomor Urut 2) Tahun 2013
1 Agustus 2013
Ditolak seluruhnya
4
98/PHPU.D-XI/2013
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Ahmad Hidayat Kepala Daerah dan Wakil Kepala MUS dan Hasan Doa Daerah Provinsi Maluku Utara (Nomor Urut 3) Tahun 2013
1 Agustus 2013
Ditolak seluruhnya
5
99/PHPU.D-XI/2013
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Syamsir Andili dan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Benny Laos (Nomor Daerah Provinsi Maluku Utara Urut 4) Tahun 2013
1 Agustus 2013
Ditolak seluruhnya
6
100/PHPU.D-XI/2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Hein Namotemo dan 1 Agustus 2013 Kepala Daerah dan Wakil Kepala Abdul Malik Ibrahim Daerah Provinsi Maluku Utara (Nomor Urut 6) Tahun 2013
Ditolak seluruhnya
7
102/PHPU.D-XI/2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Taswin Borman dan 29 Agustus 2013 Ditolak Kepala Daerah dan Wakil Kepala Kemal Toana (Nomor seluruhnya Daerah Kabupaten Parigi Moutong Urut 1) Tahun 2013
8
103/PHPU.D-XI/2013 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2013
42
Kornelius Kodi Mete 29 Agustus 2013 ditolak dan Daud Lende seluruhnya Umbu Moto (Nomor Urut 2)
KONSTITUSI september 2013
KONSTITUSI september 2013
43
Profil ketua MK aksi hakimwakil MK
HAMDAN ZOELVA
Berawal dari Pemohon Hingga Menjadi Wakil Ketua 44
KONSTITUSI september 2013
Keputusan merantau ke Jakarta pada 1987 karena gagal ujian menjadi dosen di Universitas Hassanudin Makassar, boleh jadi merupakan blessing in disguise, berkah bagi Hamdan Zoelva. Kini, 23 tahun kemudian, ia berhasil menggapai prestasi sebagai Hakim Konstitusi di Mahkamah Konstitusi. “Jika waktu itu saya lulus tes dosen, mungkin akan berbeda ceritanya,” ujar Hamdan.
S
eandainya pada saat itu ia dinyatakan lulus, bisa jadi ia masih menetap di Makassar. Rupanya, kegagalan tes itulah yang memacu Ham dan untuk hijrah ke Jakarta. Pria kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat, 21 Juni 1962 itu adalah putra pasangan TG. KH. Muhammad Hasan, BA dan Hj. Siti Zaenab. Ayahnya adalah pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukhlisin di Bima. Sedangkan ibunya berperan sebagai istri ulama yang sangat memerhatikan pendidikan agama anak-anaknya. Hamdan menghabiskan masa kecil di Desa Parado, sekitar 50 kilometer dari Bima. Ia dibesarkan dalam tradisi keluarga santri. Karena itulah Hamdan kecil disekolahkan di Madrasah Ibtidaiyah. Ketika menginjak kelas 4, ia pindah ke Sekolah Dasar di Kota Bima. Pun begitu, di sore hari, waktu Hamdan diisi dengan pendidikan agama di Madrasah Diniyah. Setelah lulus SD, darah ulama membawa dia kembali bersekolah ke Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah di Bima. Melepas Gelar Sarjana Muda Sejak lulus Madrasah Aliyah pada 1981, Hamdan mulai terpikat oleh ilmu hukum. Pria kalem itu kemudian memutuskan untuk mengambil Jurusan Ilmu Hukum. Pada tahun itu namanya mulai tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar. Siapa sangka, ayahanda Hamdan menghendaki agar putranya kuliah di InstitutAgama Islam Negeri (IAIN), sebagaimana tradisi keluarga mereka yang berlatar belakang pesantren. Tak ingin mengecewakan ayahanda, sembari kuliah di Unhas, Hamdan mendaftar ke Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin, Makassar. Walaupun, konsekuensinya ia harus berbagi waktu untuk menjalani kuliah di dua kampus sekaligus.
KONSTITUSI september 2013
Hamdan Zoelva memasukkan surat suara saat pemilihan Wakil Ketua MK, Selasa (20/8) di Ruang Sidang Pleno MK.
Semasa mahasiswa Hamdan dikenal sebagai aktivis di berbagai organisasi kemahasiswaan. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hanya salah satunya. Di organisasi tersebut, ia pernah menjabat sebagai Ketua Badan Koor dinasi HMI Indonesia Timur. Namun, ternyata tak mudah menjalankan roda organisasi sambil kuliah di dua tempat. Demi kecintaannya terhadap organisasi, mau tak mau Hamdan dituntut untuk menentukan prioritas. Walhasil, sete lah tiga tahun menjalani kuliah rangkap, ia melepas pendidikannya di IAIN Alauddin. “Karena takut tidak bisa berkonsentrasi pada ketiganya, maka saya putuskan untuk melepas pendidikan di IAIN Alauddin. Padahal saat itu saya hampir mendapatkan gelar Sarjana Muda,” kenang suami Nina Damayanti ini. Gagal Jadi Dosen Selepas lulus dari Fakultas Hukum Unhas, Hamdan sempat mengajar sebagai asisten dosen di
Humas MK/GANIE
almamaternya, serta Fakultas Syari’ah selama rentang 1986-1987. Tanpa diduga, hasratnya yang besar pada dunia pendidikan hukum harus kandas karena ia gagal ujian calon dosen di Unhas. “Saya sempat tidak percaya. Saya pikir, dengan kualifikasi yang saya miliki, seharusnya saya lulus,” kenang Hamdan. Atas saran seorang dosen pembimbingnya, akhirnya Hamdan memutuskan merantau ke Jakarta. Sesampainya di ibukota, ia mulai merintis karir di dunia hukum dengan bergabung di kantor pengacara O.C. Kaligis & Associate, pertengahan 1987. Berbekal pengalaman selama hampir tiga tahun di kantor pengacara senior itu, bersama teman-temannya, ia memutuskan untuk mendirikan kantor hukum sendiri. Berdirilah Sri Haryanti Akadijati, Poltak Hutajulu, Juniver Girsang, Hamdan Zoelva & Januardi S. Haribowo (SPJH&J) Law Firm. Pada 1997 ia meninggalkan law firm itu untuk mendirikan kantor advokat
45
Profil ketua MK aksi hakimwakil MK
Hamdan Zoelva di ruang kerja.
Hamdan, Sujana, Januardi & Partner (HSJ & Partner). Tujuh tahun kemudian, bersama Januardi S. Haribowo ia membuka Hamdan & Januardi Law Firm. Profesi yang menjadi bagian dari hidup Hamdan selama lebih dari dua dasawarsa itu pun akhirnya ditinggalkan, sesaat sebelum ia mengucapkan sumpah sebagai hakim konstitusi awal 2010. Berkecimpung di Dunia Politik Ketika reformasi bergulir di era 1998-1999, bersama sejumlah tokoh ormas Islam yang tergabung dalam Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), Hamdan mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB). Di partai politik baru itu, ia ditunjuk sebagai wakil sekretaris jenderal. Ia lantas ikut dalam bursa pemilihan calon anggota legislatif dalam Pemilihan Umum 1999. Namanya terpilih sebagai anggota DPR mewakili daerah kelahirannya, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pengalaman organisasi yang sudah Hamdan pupuk sejak sekolah menengah membuat Deputy Chairman ASEAN Muslim Youth Secretariat (AMSEC) itu dipercaya menjadi Sekretaris Fraksi PBB di DPR. Selain itu, ia juga diutus partainya untuk duduk di Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Ia juga sekaligus menjadi Wakil
46
Humas MK/GANIE
Ketua Komisi II DPR bidang Hukum dan Politik. Berbagai jabatan di parlemen tersebut membawa Hamdan terlibat langsung dalam lobi-lobi politik dan kebijakan negara yang penting dan strategis. Di dalamnya termasuk pemilihan calon presiden dan wakil presiden, bahkan pemakzulan presiden. Pada periode 1999-2002, Hamdan menjadi satu-satunya wakil Fraksi PBB di Panitia Ad Hoc (PAH) I MPR yang membidani perubahan Undang-Undang Dasar 1945. “Masa-masa di DPR itu menjadi masa tersibuk dalam hidup saya,” ujar penulis buku Impeachment di Indonesia itu. Bagaimana tidak, ia harus bolak-balik antara menjadi Wakil Ketua Komisi II DPR dan anggota PAH I MPR. Belum lagi berbagai aktivitas politik lain. Menduduki Semua Sisi Ruang Sidang MK Hamdan tercatat sebagai salah satu tokoh yang berperan dalam perubahan UUD 1945 periode 19992002, sekaligus mengantarkan kelahiran Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya, ia menjadi anggota Panitia Khusus penyusun Rancangan UndaangUndang MK. Posisi itu menjadikannya terlibat langsung merumuskan berbagai
hal mengenai MK, baik organisasi maupun hukum beracara di MK. Bahkan, ia menjadi satu di antara anggota DPR yang terlibat dalam uji kelayakan dan kepatutan calon Hakim Konstitusi periode pertama dari unsur DPR. “Sejak amandemen UUD 1945, saya ikut berperan dalam mengemukakan pentingnya membentuk sebuah lembaga yang berfungsi untuk menegakkan konstitusi kita, UUD 1945,” katanya. Tujuan awal kehadiran lembaga tersebut, menurut dia, adalah memenuhi kebutuhan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Hamdan tak lantas lepas tangan ketika MK terbentuk. Karena keanggotaannya dalam Forum Konstitusi (FK), organisasi yang didirikan para pelaku perubahan UUD 1945, ia masih berinteraksi dengan MK. Dengan posisi sekretaris, Hamdan masih tetap terus bekerja sama dengan MK melakukan sosialisasi dan peningkatan pemahaman tentang UUD 1945 ke berbagai lapisan masyarakat. Kerja sama tersebut menghasilkan buku Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara RI 1945, Latar Belakang Proses dan Hasil Pembahasan 19992002 yang diterbitkan MK. Kerja sama tersebut juga menghasilkan penerbitan buku Pendidikan Kesadar an Berkonstitusi untuk siswa tingkat SD/Madrasah Ibtidaiyah, SMP/Madra sah Tsanawiyah, dan SMA/Madrasah Aliyah. Kedekatan Hamdan dengan MK juga ditandai dengan keterlibatan Hamdan pada persidangan MK. Di dalam sidang-sidang yang ia hadiri itu Hamdan telah mencicipi berbagai kedudukan. Antara lain, mewakili DPR dalam sidang pengujian undangundang. Di kesempatan lain ia menjadi wakil pemerintah, men dampingi Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Sekretaris Negara, untuk memberikan keterangan. Bahkan, dalam sidang pengujian undang-undang maupun sengketa hasil pemilu, Hamdan juga pernah menjadi pemohon dan kuasa hukum pemohon. Keberadaannya sebagai saksi atau ahli sudah tidak dapat dihitung dengan jari. “Jadi saya sudah menduduki semua sisi di ruang sidang MK,” ujarnya seraya menambahkan, “Sekarang saya merasakan duduk sebagai Hakim Konstitusi.”
KONSTITUSI september 2013
satu dasawarsa MK Hakim Konstitusi Adalah Ujian Sebagai salah satu tokoh perintis lahirnya MK, Hamdan pernah membayangkan, kelak ia akan menduduki kursi hakim konstitusi. “Tapi itu nanti, jika saya berusia lebih dari 50 tahun,” ujar ayah Muhammad Faris Aufar, Ahmad Arya Hanafi, dan A. Adib Karamy itu. Ketika itu ia berpikir, pada seusia itu ia akan lebih bijak. Tetapi Tuhan sudah punya jadwal sendiri. Pada usia 47 tahun, Hamdan bersanding dengan delapan hakim konstitusi lain, yang rata-rata usianya jauh di atas dia. “Saya menjadi hakim konstitusi termuda pada periode ini,” katanya. Ia menggeser kedudukan M. Akil Mochtar sebagai hakim konstitusi termuda. Menjadi hakim konstitusi, bagi Hamdan, merupakan sebuah ujian dan beban yang amat berat. Ia ingat betul pesan ayahandanya akan sebuah hadits. Rasulullah SAW bersabda, hanya ada satu dari tiga orang hakim yang masuk surga, sedangkan sisanya masuk neraka. Hadits yang dimaksud Hamdan itu menjelaskan, hakim yang masuk surga adalah hakim yang mengetahui kebenaran dan memutus perkara dengan kebenaran. Sedangkan seorang hakim yang mengetahui kebenaran tetapi menyimpangkan hukum dan kebenaran, maka ia masuk neraka. Begitu pula hakim yang memutus perkara dengan kebodohan dan tanpa pengetahuan, jatahnya adalah neraka. “Jadi sungguh sangat berat,” tutur Hamdan. Hamdan berharap bisa menjadi hakim yang masuk surga. Nilai dan keyakinan itulah yang memberinya kekuatan untuk membulatkan tekad menjadi hakim konstitusi, dengan berpijak pada hukum dan keadilan, tanpa memihak kecuali pada kebenaran. Menjadi hakim konstitusi lebih berat dibanding hakim biasa, karena harus memiliki sifat negarawan. Di Republik Indonesia, hanya inilah satu-satunya jabatan yang mensyaratkan pejabatnya harus seorang negarawan. Artinya, seorang hakim konstitusi harus bebas dari kepentingan apapun, kecuali kebenaran dan keadilan itu sendiri. Itulah sebabnya, seorang Hamdan Zoelva yang besar di lingkungan profesi hukum dan dunia politik, menanggalkan seluruh latar belakangnya itu tatkala bersumpah menjadi hakim konstitusi.
KONSTITUSI september 2013
“Menghindari konflik kepentingan,” begitu ia memberi alasan.
mengantisipasi adanya sengketa antar calon legislatif, meski kemungkinan perkara yang masuk juga akan banyak,” jelasnya. Menyikapi hal itu, menurut Hamdan, MK sudah mengantisipasi dengan mempersiapkan sumber daya manusia serta mempersiapkan fasilitas pendukung untuk membantu proses persidangan yang dibatasi waktu hanya 30 hari. “Di sisi lain, MK juga berupaya untuk meningkatkan kesadaran politik
Wakil Ketua MK Harus Bersinergi Sementara itu, disinggung mengenai keterpilihannya sebagai Wakil Ketua MK periode 2013 – 2016, Hamdan mengungkapkan hal tersebut merupakan tanggung jawab dan amanah yang besar. Ia menuturkan sama sekali tak pernah membayangkan akan terpilih menjadi wakil ketua MK. “Bagi saya, posisi ini merupakan sebuah tanggung jawab dan amanah yang besar. Saya tidak terbesit sama sekali akan menduduki posisi sebagai wakil ketua MK,” tuturnya. Bagi Hamdan, menjadi Wakil Ketua MK mengemban visi dan misi tertentu, yakni perlu adanya sinergitas antara diriya sebagai Wakil Ketua MK dengan Ketua MK, hakim konstitusi serta para pegawai Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK. “Posisi sebagai wakil ketua MK berarti saya membantu dan bekerja sama dengan Ketua MK M. Akil Mochtar memimpin pelaksanaan tugas dan wewenang yang dimiliki Hamdan Zoelva saat memimpin sidang panel. MK secara bersamasama, juga dengan hakim konstitusi lainnya,” jelasnya. Menjelang 2014 mendatang serta adanya kemungkinan tantangan yang akan dihadapi MK, Hamdan mengungkapkan MK sudah bersiap untuk menghadapinya. Hamdan mengungkapkan yang diperlukan adalah sinergitas berbagai pihak, di antaranya Ketua MK, hakim konstitusi serta para pegawai di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK. “Yang terpenting adalah sinergi tas bersama Ketua MK dan para hakim konstitusi serta Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK untuk memastikan MK menyelesaikan tugas dan kewenangannya dengan baik. Berbeda dengan Pemilu 2009 yang diikuti banyak parpol, Pemilu 2014 hanya diikuti 15 parpol. Kami
aksi
Humas MK/GANIE
dan kemampuan politik parpol dengan melakukan sosialisasi pemahaman hukum acara MK. Dan ini dipersiapkan untuk dimulai sejak akhir 2013 ini,” paparnya. Ke depannya, Hamdan berharap agar MK menjadi institusi peradilan yang berwibawa, dihormati dan dipercayai di negeri ini, juga di dunia internasional. Hal ini tercermin dalam integritas MK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya serta dalam putusanputusannya. “Selain itu, kemampuan dari seluruh komponen pelaksana tugas dan wewenang MK mulai dari hakim konstitusi hingga Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK untuk saling mendukung agar pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan semakin prima,” tegasnya. Lulu Anjarsari
47
Jejak Konstitusi
Yap Thiam Hien Sang Penentang Kembali ke UUD 1945
S
uara Yap Thiam Hien begitu kencang menolak anjuran kembali ke UndangUndang Dasar 1945. Bagi tokoh yang biasa dipanggil “John” oleh temantemannya ini, kembali ke konstitusi hasil dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan ini merupakan sebuah kemunduran. Pada 12 Mei 1959, Yap di hadapan ratusan anggota Konstituante menekankan pentingnya prinsip negara berdasarkan konstitusi. Bagi Yap, konstitualisme adalah sejarah melawan tirani, despotisme dan absolutisme. “Perjuangan dari hak-hak dan kebebasan-kebesan hak asasi manusia melawan kekuasaan mutlak. Konstitusi adalah manifestasi dari kemenangan keadilan atas kesewenang-wenangan, kemenangan ‘recht’ atas ‘macht’,” kata Yap tegas pada sidang Konstituante. Prinsip inilah yang menurutnya belum memadai dirumuskan dalam konstitusi oleh para founding fathers. Konstituante sebagai hasil Pemilu 1955 yang diselenggarakan pertama kali sejak kemerdekaan, merupakan lembaga yang diberikan mandat menetapkan konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam negara. Undang-Undang Dasar Sementara, konstitusi tertulis yang berlaku saat itu, sesuai namanya masih bersifat “sementara”. Namun, pertentangan antara golongan yang menghendaki negara Islam dengan negara kebangsaan yang netral terhadap agama ini membuat Konstituante tidak menghasilkan keputusan. Perdebatan lama terulang kembali.
48
ke UUD 1945, ia menolaknya. Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), organisasi di mana Yap turut mendirikan dan bernaung, semula bertujuan memperjuangkan kepen tingan politik kalangan Tionghoa. Yap berbeda pendapat dengan fraksinya yang mendukung pemerintah untuk kembali kepada UUD 1945 dengan perubahan.
Yap Thiam Hien
YapThiamHien.com
Yap sendiri mengganggap UUD Sementara jauh lebih baik dalam memberikan jaminan hak asasi manusia kepada warga negaranya dari konstitusi pendahulunya. UUD Sementara yang di tetapkan pada 1950 memang merumuskan hak asasi manusia lebih lengkap yang tidak ditemukan dalam UUD 1945. Dapat dibaca dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid II, Yap adalah anggota Konstituante yang menentang pemberlakuan UUD 1945 pada rapat ke-12 di pagi hari. Pasal 6 yang mengharuskan presiden harus Indonesia asli dianggap diskriminatif dan kepresidenan yang terlalu kuat. Saat fraksinya mendukung kembali
Lingkungan Keluarga Pendirian Yap tidak bisa dilepaskan dari sejarah kehidupan keluarga, pen didikan, dan gesekannya dalam aktivitas sosial dan politik. Yap sesuai sumber Wikipedia, adalah anak sulung dari tiga bersaudara dari Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Yap lahir di Banda Aceh, saat itu masih bernama Kutaraja. Kakek buyutnya seorang Luitenant yang bermigrasi dari provinsi Guangdong di Tiongkok ke Bangka, namun kemudian pindah ke Aceh. Keluarganya bangkrut saat monopoli opium di Hindia Belanda dihapuskan, kekeliruan investasi di Aceh berupa kebun kelapa tidak menguntungkan, dan pemerintah Belanda memangkas kekuasaan istimewa pejabat lokal keturunan Tionghoa. Dari keluarga ini Yap lahir dan besarkan dalam lingkungan perkebunan yang feodalistik. Kondisi ini menempa pribadi cucu Kapitan Yap Hun Han, sejak kecil sebagai pemberontak dan membenci segala bentuk penindasan dan berbau kesewenang-wenangan. Di usia 9 tahun, ibu Yap meninggal dunia. Ia dan saudaranya kemudian dibesarkan oleh Sato Nakashima, KONSTITUSI september 2013
Yap sedang diperiksa atas tuduhan pencemaran nama baik terhadap aparat penegak hukum pada tahun 1971.
perempuan Jepang, nenek asuhnya. Sato membentuk pribadi Yap dengan suasana kepedulian. Sato kerap membacakan buku cerita sebagai pengantar tidur Yap dan adik-adiknya dengan pesan moral: jadilah seorang pemberani yang setia seperti samurai, jangan pernah takut jika memang benar, dan kebenaran pastinya akan menang. "Yap tak pernah memicingkan mata sebelum Omah Sato mengakhiri ceritanya," tulis Majalah Tempo dalam laporan khususnya dalam rangka 100 Tahun Yap Thiam Hien. Yap Sin Eng, ayah Yap hidup dengan Yap pada saat-saat sulit. Ayahnya ini memohon status hukum disamakan (gelijkstelling) dengan bangsa Eropa. Hal ini membuka peluang anak-anaknya memperoleh pendidikan Eropa, meskipun mereka telah kehilangan status sebagai tokoh masyarakat. Sin Eng berharap dengan kondisi sulit ini, sekolah sebagai satu-satunya usaha agar keturunannya lebih beruntung.
KONSTITUSI september 2013
Pendidikan Yap Pendidikan bahasanya membawa berkah tersendiri. Yap memperoleh kesempatan langka sekolah di negeri yang pernah menjajah Indonesia ratusan tahun itu. Pada 1920-an, Sin Eng membawa Yap dan adiknya Thiam Bong pindah ke Batavia (Jakarta). Yap pindah sekolah ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), lalu meneruskan ke Algemene Middelbare School (AMS) A-II, sekolah menengah atas, dengan program bahasabahasa Barat di Bandung dan Yogyakarta dan lulus pada 1933. Yap akhirnya fasih dalam bahasabahasa Barat, yaitu bahasa Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, dan Latin. Sebelum di Batavia, Yap belajar di Europesche Lagere School, Banda Aceh, dan lanjut ke MULO di Banda Aceh. Yap juga pernah sekolah Hollandsche Chineesche Kweekschool, sekolah pendidikan guru, di Batavia. Menurut Daniel S. Lev, pemerhati hukum Indonesia yang menulis biografinya, No Consessions: The Life of Yap Thiam
repro majalah tempo
Hien, Indonesian Human Rights Lawyer, yang diterbitkan University of Washington Press pada 2011, pendidikan hukumnya di Belanda menempanya dengan komitmen terhadap hukum, keadilan dan hak asasi manusia. Ia kemudian memang berkesempatan kuliah ke Belanda dengan kapal pemulangan orang-orang Belanda di Universitas Leiden. Gelar Mesteer in de Rechten (Mr) diraih dari Universitas Leiden pada 1947. Sebelum diterima di Leiden, Yap bersekolah di Rechtshogeschool selama dua tahun. Jalan Lurus Setahun setelah bergelar Mr yang masih langka untuk keturunan Tionghoa, Yap kembali ke tanah air, lantas menjalankan profesi sebagai advokat. Dunia advokat adalah dunianya. Yap sepanjang kariernya banyak menangani perkara kriminal. Semula kasus yang menimpa kalangan Tionghoa di Jakarta. Perkara perdata yang ditanganinya banyak
49
Jejak Konstitusi yang pro bono (gratis) untuk orang-orang yang teraniaya. Kalaupun memasang tarif, nilainya jauh dari ukuran umum di Jakarta. Yang penting, Yap selalu mengemukakan kepada kliennya, jika menginginkan kemenangan jangan memilihnya sebagai pengacara. Tetapi apabila mencari suatu kebenaran, Yap akan membelanya. Yap tercatat pernah membela kasus Sawito Kartowibowo yang dituduh menggoyang Soeharto. Namanya melam bung saat menangani kasus politik membela mantan Wakil Perdana Menteri Soebandrio, yang dituduh terlibat dalam gerakan 30 September 1965 saat semua orang tidak berani membela PKI. Yap juga membela tokoh-tokoh lain, yakni Abdul Latief, Asep Suryawan, Oei Tjoe Tat. Yap sendiri dicap anti PKI, tetapi justru membela orang-orang yang dituduh PKI. Pada Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974, Yap juga membela para aktivis mahasiswa. Ia ditahan karena dianggap menghasut atas demonstrasi besar-besaran. Di dalam tahanan, Yap justru menjadi guru para tahanan politik lain, para tahanan yang dicap PKI. Yap mengajarkan agar para terdakwa agar tidak diperiksa dahulu sebelum memeriksa saksi-saksi. Proses persidangan kala itu masih salah kaprah,
karena terdakwa dituntut sebelum kesaksian. “Waktu itu, sebagian kan meng anggap (persidangan) itu sandiwara doank. Saya kira Yap tahu itu, tetapi dia tetap bersikap, itu tantangannya buat pemerintah. Dia mengungkap segala argumen-argumennya. Pada saat itu, hukum itu diperkosa oleh penguasa. Dan itu karena sikap yang konsisten dari Yap. Tetapi saya kira, Yap sadar dia bakal kalah,” kata Aristides Katoppo, wartawan yang meliput persidangan 45 tahun lalu sebagaimana dikutip portalkbr.com. Dalam kasus korupsi, Yap juga membela pengusaha bengkel yang mengaku diperas oleh aparat hukum di Jakarta. Yap dalam kasus ini juga ditahan karena dianggap menyinggung polisi dan jaksa. Dalam kasus yang menimpa Yap inilah cikal bakal lahirnya imunitas advokat saat membela kliennya. Mahkamah Agung yang diketuai Subekti memutuskan membebaskan Yap dari tuduhan pencemaran nama baik. Pergumulannya dengan para bandit saat ditahan ini, Yap pun akhirnya membela Kelompok Taufik, bandit dari Ujung Pandang. Yap juga pernah membela penguasa Indonesia dalam kasus pencurian merk kosmetik Tancho yang sangat terkenal bagi
YapThiamHien.com
Acara peresmian Yayasan Yap Thiam Hien dilaksanakan di gedung MK (18/12/2012). Tampak Ketua Yayasan Todung Mulya Lubis, Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, Dubes Swiss untuk Indonesia Heinz Walker-Neder Koorn.
50
para praktisi hukum. Juga kasus Basoeki, kasus peledakan bom BCA pada tahun 1980an, di mana terdakwa dikenal anti-China. Menurut pengakuan teman-temanya, Yap sering kalah dalam menangani kasuskasus di pengadilan. Itu mungkin karena kebenaran yang dicari. Menurut pengakuan orang-orang yang bersinggungan dengan Yap, baginya yang penting sudah menyampaikan kebenaran. Yap sangat paham betul kondisi peradilan saat itu. Selain melakukan advokasi ini, ia juga aktif di organisasi. Yap bersama P.K. Ojong, Loekman Wiriadinata, Hasjim Mahdan, Ali Moertopo, dan Dharsono, adalah pendiri Lembaga Bantuan Hukum yang menempatkan diri sebagai pelopor bantuan hukum struktural. Bersama tigabelas pengacara kawakan, ia juga mendirikan Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) yang termashur sebagai organisasi profesi yang disegani. Yap juga tercatat satu-satunya orang Indonesia (mewakili Asia) yang menjadi anggota International Commission of Jurist (ICJ), dan penggagas universitas untuk semua kalangan, serta kiprah lainnya. Tersingkir Sikap Yap yang terlalu lurus, hitamputih dan tanpa kompromi akhirnya membuatnya tersingkir. Di Konstituante, Yap sendirian. Di Baperki, meski secara personal hubungannya baik, perannya banyak dibatasi. Dalam menangani kasus, ia tergolong lawyer yang tidak banyak kasusnya, sehingga tidak bergelimang harta. Suami Yap Gien Khing Nio ini aktivitasnya lebih banyak di bidang sosial sampai ia menghembuskan nafas terakhir. Atas perjuangannya, Yap ditahbiskan namanya sebagai penghargaan untuk para pembela HAM di Indonesia. Citacita besar Yap banyak terealisasikan saat reformasi dengan amandemen konstitusi yang dilakukan pada 1999-2002. Di tengah praktik kotor di dunia politik dan hukum, Yap perlu menjadi cermin sikap konsistensi pada prinsip. Yap selama hidup mewakafkan dirinya pada profesi dan menjaganya sebagai kehormatan dan senantiasa berpihak kepada kebenaran. Yap beruntung tidak mengalami carut marutnya masalah bangsa akhir-akhir ini. Miftakhul Huda
KONSTITUSI september 2013
hakim MK
aksi
M. Akil Mochtar mengucap sumpah sebagai Ketua MK untuk kedua kalinya pada Selasa (10/8).
P
asangan M. Akil Mochtar dan Hamdan Zoelva terpilih sebagai Ketua dan Wakil Ketua MK oeride 2013 – 2016. Akil kembali terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) untuk masa jabatan 20132016, setelah hakim konstitusi mencapai mufakat dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk memilih Ketua MK, Senin (19/8). Sementara Hamdan, terpilih melalui pemilihan langsung secara terbuka yang diadakan pada Selasa (20/8) di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam konferensi pers yang dihelat Akil, ia menjelaskan pemilihan ketua MK dilakukan sehubungan dengan pengucapan sumpah dirinya sebagai hakim konstitusi di hadapan Presiden beberapa waktu lalu, setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menetapkan dirinya sebagai hakim konstitusi untuk masa jabatan 2013-2018. Lebih lanjut, pria kelahiran Putussibau yang lahir 52 tahun yang lalu tersebut menjelaskan, berdasar RPH tersebut para hakim konstitusi menyepakati bahwa masa jabatan ketua MK ini dan masa jabatan ketua MK yang sudah dijalaninya sejak April 2013 lalu tetap dihitung sebagai periode pertama dirinya menjabat sebagai
KONSTITUSI september 2013
Foto Humas/Ganie
ketua MK. Mantan anggota Panitia Ad Hoc I Majelis Permusyawaratan Rakyat 1999-2004 itu juga menginformasikan bahwa pada hari yang sama MK juga akan melakukan pemilihan Wakil Ketua MK pada pukul 14.00 WIB sehubungan dengan purnatugas dari Achmad Sodiki sebagai hakim konstitusi. Akil menerangkan, pemilihan Wakil Ketua MK itu akan dilakukan melalui RPH. Apabila tidak tercapai kata mufakat menurut Akil, maka pemilihan akan dilakukan dengan pemungutan suara. Kemudian, pada Selasa (20/8) di Ruang Sidang Pleno MK, MK menggelar Sidang Pleno Khusus Pengucapan Sumpah Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi masa jabatan 2013–2016. Sidang ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim. Tampak hadir seluruh hakim konstitusi, Sekjen MK, Panitera MK, pegawai MK, dan para undangan. Saat memimpin sidang pleno, Alim menyatakan bahwa Akil Mochtar terpilih dalam RPH secara aklamasi. “Terpilih secara musyawarah mufakat,” ungkap Alim. Sebagaimana diketahui, Akil sebelumnya telah menjabat sebagai Ketua
MK melalui proses pemungutan suara dalam Rapat Pleno Pemilihan Ketua MK pada Rabu (3/4) silam menggantikan Moh. Mahfud MD yang telah selesai masa jabat an sebagai hakim konstitusi. Pemilihan Ketua MK dilakukan kembali sehubungan dengan masa jabatan Akil Mochtar yang berakhir pada 16 Agustus 2013. Namun, DPR memutuskan untuk memperpanjang masa jabatan Akil Mochtar sebagai hakim konstitusi hingga 2018. Unggul 2 Suara Sementara Hamdan terpilih usai mengungguli calon wakil Ketua MK lainnya, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi. Hasil akhir diperoleh jumlah 3 suara untuk Ahmad Fadlil Sumadi dan 5 suara untuk Hamdan Zoelva. “Berdasarkan hal itu, Hamdan Zoelva terpilih sebagai Wakil Ketua MK 2013-2016 dengan masa jabatan dua tahun enam bulan terhitung sejak sumpah jabatan dilakukan,” ujar Akil membacakan hasil pemilihan di hadapan undangan yang hadir. Pada sambutannya sebelum pe milihan berlangsung, Ketua MK M. Akil Mochtar meminta agar Wakil Ketua MK
51
aksi
Pimpinan MK
Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva mengucapkan sumpah sebagai Wakil Ketua MK di hadapan Mahkamah pada Kamis (22/8) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK
terpilih dapat bersinergi dengannya, hakim konstitusi, dan para pegawai MK mendukung kinerja dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi MK sebagai lembaga peradilan. “Dapat membangun sinergi dengan seluruh hakim konstitusi dan pegawai MK untuk membentuk kinerja sebaik-baiknya yang memberikan akses kepada publik terhadap keadilan. Dengan pemilihan yang disaksikan umum dan Tuhan, semoga akan memberikan kinerja yang baik bagi MK,” ujar Akil di hadapan undangan yang hadir. Sebagai Wakil Ketua MK, Hamdan menggantikan posisi yang ditinggalkan Achmad Sodiki pada 12 Agustus 2013 lalu karena memasuki masa purnabakti. Doktor Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Bandung tersebut, merupakan hakim yang diajukan oleh Presiden. Sebelum menjadi hakim konstitusi, Hamdan pernah bergelut dalam dunia hukum dan peradilan sebagai seorang advokat. Selain itu, dia juga aktif mengajar di beberapa universitas, salah satunya Universitas Islam Asy-Syafiiyah, Jakarta. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan MK Nomor 03/PMK/2012
52
tentang Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK, proses pemilihan ini dilakukan secara musyawarah mufakat dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang tertutup untuk umum. Namun, jika mufakat tidak tercapai, keputusan diambil dengan voting berdasarkan suara terbanyak dalam Rapat Pleno Terbuka. Setelah terpilih, Wakil Ketua MK akan menjabat selama 2,6 tahun sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) UU MK. Tanggalkan Hak Dipilih Sebelumnya, pada rapat per musyawaratan hakim pemilihan wakil ketua MK, 6 orang hakim konstitusi lainnya menyatakan tidak bersedia untuk dipilih sebagai wakil ketua MK. Keenam hakim konstitusi tersebut adalah Anwar Usman, Arief Hidayat, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, dan Patrialis Akbar. Pada Kamis (22/8), Hamdan resmi menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) masa jabatan 2013-2016 usai mengucapkan sumpah di hadapan Mahkamah pada Kamis (22/8) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Hamdan Zoelva
Foto Humas/Ganie
akan menjabat sebagai Wakil Ketua MK selama dua tahun enam bulan, terhitung sejak Pengucapan Sumpah Wakil Ketua MK. Usai pengucapan sumpah, Akil dalam pidato pengantarnya menyampaikan selamat atas terpilihnya Hamdan Zoelva sebagai wakil ketua MK sekaligus menyampaikan apresiasi kepada seluruh hakim konstitusi atas proses pemilihan yang telah berlangsung secara demokratis tersebut. Akil juga mengungkapkan, pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK merupakan hal yang rutin, seperti halnya MK rutin bersidang memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara konstitusi. Acara pengucapan sumpah tersebut juga dihadiri oleh para pimpinan lembaga negara, antara lain Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Irman Gusman, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin dan Ahmad Farhan Hamid, Wakil Ketua DPR Shohibul Imam, Ketua KPU Husni Kamil Manik, dan Kabareskrim Komjen Pol Sutarman. Selain itu hadir pula para mantan hakim konstitusi antara lain Mahfud MD, HAS Natabaya, dan Laica Marzuki. Dodi/Nano Tresna/Lulu Anjarsari
KONSTITUSI september 2013
RDP
aksi
Prioritas Hadapi Pemilu 2014, MK Usulkan Penambahan Pagu Anggaran 2014
Foto Humas/Ganie.
Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar beserta jajarannya hadir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR-RI di Gedung DPR.
S
ekretaris Jenderal (Sekjen) Mahkamah Konstitusi (MK) Janedjri M. Gaffar beserta sejumlah pejabat dan pegawai MK, menghadiri acara Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR pada Rabu (4/9) siang di Gedung DPR, Jakarta. Mengawali pertemuan itu, Janedjri menyampaikan perkembangan perkara yang ditangani MK pada Tahun Anggaran 2013. Hingga 4 September 2013, jumlah perkara yang masuk ke MK adalah 265 perkara yang terdiri atas 150 perkara Pengujian UU (PUU), 3 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), 112 perkara Perselisihan Hasil Pemilukada. Dari jumlah tersebut telah
KONSTITUSI september 2013
diputus sebanyak 189 perkara atau 71,3%. Sedangkan perkara yang masih dalam proses pemeriksaan persidangan sebanyak 76 perkara atau 28,7%. Pada kesempatan tersebut, Janedjri juga melaporkan mengenai realisasi program kerja dan anggaran Tahun Anggaran (TA) 2013 sampai dengan 4 September 2013. “Realisasi sampai hari ini adalah sebesar Rp.116.565.243.035 atau 58,54%,” kata Janedjri kepada Ketua Komisi III DPR, Gede Pasek Suardika selaku pimpinan sidang. Berikutnya, Janedjri menyampaikan pagu anggaran MK untuk TA 2014. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, dapat diketahui bahwa pada TA 2014, MK mendapatkan alokasi pagu
anggaran sebesar Rp.188.977.249.000. Alokasi anggaran tersebut didistribusikan ke dalam empat program yaitu Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya MK, Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur, serta Penanganan Perkara Konstitusi, maupun Kesadaran Berkonstitusi. Mengenai Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya MK, kegiatan yang dilaksanakan, antara lain pemeliharaan gedung kantor, barang milik negara, terutama fasilitas persidangan, dimana kegiatan ini agar persidangan Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 dapat dilaksanakan dengan lancar. Termasuk juga pengelolaan dan penyelamatan arsip
53
aksi
RDP
perkara konstitusi dan putusan MK. Program kedua adalah Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur MK yang ditujukan untuk peningkatan kualitas perangkat persidangan yang akan digunakan untuk perbaikan ruang penyimpanan arsip perkara konstitusi. Selain itu, MK akan melakukan pengadaan e-perisalah persidangan MK sebagai teknologi yang mengalihbahasakan bahasa lisan langsung ke bahasa tulisan untuk kemudahan akses masyarakat kepada keadilan dan pengadilan (access to court and justice) dan efektifitas dokumentasi persidangan. Program ketiga adalah Penanganan Perkara Konstitusi. Program ini terkait tugas dan kewenangan konstitusional MK secara langsung dalam menangani perkara, terutama menghadapi Pemilu 2014. MK sebagai pengadilan perselisihan hasil pemilu merupakan bagian penting dalam Pemilu yang memastikan integritas dan kualitas proses dan hasil dari pelaksanaan Pemilu tersebut. Dalam menyusun kebutuhan anggaran Program Penanganan Perkara Konstitusi, MK berangkat dari pengalaman penanganan perkara Pemilu 2009. Berdasarkan data MK, pada 2009 terdapat 38 parpol peserta Pemilu, sebanyak 36
54
dari jumlah tersebut mengajukan gugatan ke MK. Sedangkan pada 2014, MK mengasumsikan 12 parpol peserta pemilu nasional dan 3 parpol lokal. Pada Pemilu Legislatif 2014 dengan penanganan perkara berbasiskan daerah pemilihan (dapil), MK diperkirakan akan menangani sebanyak 204 perkara (dapil) untuk Pemilu Anggota DPR dan DPRD, dan sebanyak 33 perkara yang diajukan oleh calon anggota DPD dari 33 provinsi tersebut. Adapun untuk Pemilu Presiden 2014, MK akan menangani 2 perkara dengan asumsi Pemilu 2009 sebanyak 2 perkara. Lainnya, mengenai penanganan perkara PHPU Kepala Daerah. Untuk penanganan perkara PHPU Kepala Daerah, pada 2014 MK diperkirakan akan menangani 40 perkara Pemilukada, dengan asumsi 78% dari 51 daerah yang melaksanakan Pemilukada. Sementara untuk penanganan perkara PUU, diperkirakan sebanyak 80 perkara PUU dan 3 perkara SKLN akan ditangani MK dengan waktu yang efektif delapan bulan. Sedangkan Program keempat adalah Program Kesadaran Berkonstitusi, antara lain melaksanakan bimbingan teknis Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif dan Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Semua program yang dilaksanakan MK ini pada dasarnya untuk menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2014. Ditambahkan Janedjri, apabila pagu anggaran MK TA 2014 dibandingkan anggaran MK TA 2013, dapat diketahui bahwa anggaran MK untuk TA 2014 mengalami penurunan sebesar Rp.10.131.681.000 atau 5,08%. Untuk itu, MK mengusulkan penambahan anggaran kepada Komisi III DPR sehubungan dengan agenda ketatanegaraan pelaksanaan Pemilu yang 2014, dimana MK diberikan mandat konstitusi sebagai pengadilan yang menyelesaikan Perselisihan hasil Pemilu Legislatif dan Presiden. “Karena prioritas program MK pada 2014 adalah program penanganan perkara konstitusi, khususnya perkara perselisihan hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden wakil presiden serta kegiatan-kegiatan turunannya, dalam kesempatan ini kami mengusulkan penambahan pagu anggaran agar pelaksanaan tugas konstitusional MK dapat dilaksanakan sesuai dengan amanat konstitusi dan pemilu utamanya dapat dilaksanakan dengan lancar, adil dan bermartabat,” tandas Janedjri. Nano Tresna Arfana
KONSTITUSI september 2013
Sosialisasi tindak pidana pencucian uang
aksi
Cegah Pencucian Uang, Kepala PPATK Ceramahi Pegawai MK Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar dan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf sebagai narasumber pada Sosialisasi UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di Aula Lt. Dasar Gedung MK.
D
alam rangka meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang praktik korupsi dalam bentuk kejahatan pencucian uang (money laundring), Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi UU No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Jumat (6/9) di gedung MK. Pada kesempatan tersebut, Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar saat menyampaikan sambutan mengatakan bahwa upaya untuk merongrong lembaga MK tidak akan pernah berhenti. Oleh karena itu, sudah banyak yang dilakukan MK dalam menghadapi rongrongan tersebut. Di antaranya, MK mewajibkan kepada seluruh pegawai untuk melaporkan harta kekayaan. Selain itu, MK sudah mendeklarasikan komitmen antikorupsi, serta melakukan banyak hal untuk mewujudkan good governance melalui Mahkamah yang transparan dengan menggelar persidangan secara terbuka. “Hal itu sekaligus merupakan wujud transparansi dan akuntabilitas MK terhadap masyarakat, khususnya masyarakat pencari keadilan,” tambah Janedjri.
KONSTITUSI september 2013
Humas MK/GANIE
Namun, lanjut Janedjri, berbagai upaya yang dilakukan MK masih belum cukup. Dengan latar belakang seperti itulah, dilakukan kegiatan sosialisasi ini untuk mewujudkan tata kelola lembaga peradilan yang baik dari perspektif UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. “Output yang kita harapkan, mudah-mudahan materi yang disampaikan beliau nanti bisa kita implementasikan dan bisa menjadi benteng bagi kita untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak terpuji di lingkungan MK,” ucap Janedjri kepada para pegawai MK yang hadir. Pada acara yang dihadiri oleh seluruh pegawai MK tersebut, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf menjadi narasumber utama yang langsung menyampaikan penjelasan tentang praktikpraktik pencucian uang, khususnya yang melibatkan para penyelenggara negara. Yusuf mengatakan, tujuan acara ini adalah untuk menyosialisasikan budaya antikorupsi di Indonesia. Yusuf prihatin, saat kemiskinan melanda di sejumlah daerah, di sisi lain terjadi korupsi yang luar
biasa di Indonesia. “Upaya memberantas korupsi kembali ke moral pelakunya dan harus didukung clean and good governance,” imbuh Yusuf. Saat ini PPATK sedang membangun rezim anti money laundry karena sistem pelaporan transaksi keuangan yang berjalan sekarang tidak berjalan sebagaimana mestinya. “Kalau sistem pelaporan transaksi keuangan itu jelas, maka akan mudah terdeteksi ada tidaknya tindak pidana korupsi di sebuah perusahaan atau lembaga,” urai Yusuf. Pada kesempatan itu, Yusuf antara lain juga memaparkan definisi pencucian uang sebagai upaya untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan dari hasil tindak pidana, sehingga harta kekayaan tersebut seolah-olah berasal dari aktivitas yang sah. Ia juga menjelaskan perihal proses pencucian uang yang terdiri atas placement (penempatan hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan), layering(memindahkan atau mengubah bentuk dana melalui transaksi keuangan yang kompleks dalam rangka mempersulit pelacakan asal usul dana), dan integration (mengembalikan dana yang telah tampak sah kepada pemiliknya sehingga dapat digunakan dengan aman). Yusuf juga menerangkan modus transaksi pencucian uang yaitu smurfing (memecah-mecah transaksi dari sejumlah besar uang menjadi kecilkecil), structuring (melakukan transaksi dari yang semula berjumlah kecil, makin lama makin besar di bawah batas minimum pelaporan) dan u-turn(memutarbalikkan transaksi untuk kemudian dikembalikan ke rekening asalnya). Nano Tresna Arfana
55
aksi
Sosialisasi Program
Tingkatkan Profesionalisme, MK Sosialisasi Kebijakan Penilaian Prestasi Kerja Sekjen MK Janedjri M. Gaffar (tengah) didampingi Kepala Biro Perencanaan dan Pengawasan Pawit Haryanto (kanan) dan Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan SDM Aparatur Kemenpan dan RB Syamsul Rizal dalam acara Sosialisasi Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil di Mahkamah Konstitusi di Lt. Dasar Gedung MK.
Foto Humas/Ganie.
M
ahkamah Konstitusi meng gelar acara Sosialisasi Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil di Mahkamah Konstitusi, pada Jumat (23/8) di Aula Gedung Mahkamah Konstitusi. Acara yang merupakan bekerja sama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tersebut dihadiri oleh Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar serta narasumber dari Kemenpan Samsul Rizal. Acara tersebut dibuka dengan sambutan dari Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar yang menyampaikan, tentang perlunya penilaian kerja yang jelas terhadap pegawai negeri sipil (PNS) agar bisa mengukur prestasi pegawai. “Ini adalah mimpi dari Sekjen MK beberapa tahun lalu, yang memang seharusnya ada penilaian atas kinerja para pegawai. Namun pada saat itu belum ada peraturan pemerintah yang mengikat dan mengatur secara khusus tentang
56
bagaimana melakukan penilaian kinerja pegawai. Namun dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS, mimpi tersebut sudah dapat diwujudkan,” jelas Janedjri. Peraturan Pemerintah tersebut memiliki tujuan yang sangat bagus untuk penyelenggaran pembinaan PNS berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang jelas. Selain itu, penilaian prestasi kerja PNS bertujuan untuk menciptakan sistem prestasi kerja yang bersifat terbuka. Dari tujuan itulah, ujar Janedjri, dapat diambil manfaatnya, antara lain adalah sebagai dasar pemetaan keputusan kebijakan pembinaan karier PNS yang berkenaan dengan bidang pekerjaan, pengangkatan dan penempatan, pengembangan, serta pengerjaan maupun kedisiplinan. Adapun penilaian prestasi kerja PNS dilihat dari dua hal, yakni SKP atau sasaran kerja pegawai yang meliputi aspek
kuantitas, kualitas, waktu dan dapat disertai biaya. Dan yang kedua yakni perilaku kerja PNS meliputasi aspek orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, kerjasama, dan kepemimpinan. Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Selain acara tersebut, MK juga melakukan penyuluhan pencegahan penyalahgunaan narkoba bagi pegawai di lingkungan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia. Irjen Pol dr. Benny Joshua Mamoto, Deputi Pemberantasan BNN selaku narasumber menjelaskan tentang beberapa hal terkait data tindakan pidana narkoba tahun 2008-2012. Mulai dari modus operandi yang beraneka macam cara dan menjelaskan kerusakan pada otak yang tidak dapat disembuhkan akibat penyalahan gunaan narkotika. Panji Erawan
KONSTITUSI september 2013
Kunjungan
aksi
Komisi A DPRD Kabupaten Ponorogo Konsultasi ke MK
Foto: Humas/Wulan
Panitera MK Kasianur Sidauruk didampingi Plh. Kepala Biro Humas dan Protokol MK Pawit Haryanto menerima kedatangan para anggota Komisi A DPRD Kabupaten Ponorogo pada Jumat (23/8) di Ruang Rapat MK.
P
anitera Mahkamah Konstitusi (MK) Kasianur Sidauruk didampingi Plh. Kepala Biro Humas dan Protokol MK Pawit Haryanto menerima kedatangan para anggota Komisi A DPRD Kabupaten Ponorogo pada Jumat (23/8) di Ruang Rapat MK. Dalam kesempatan itu, Anggota Komisi A DPRD Ponorogo meminta penjelasan MK terkait dengan Putusan Nomor 39/PUU-XI/2013 tertanggal 31 Juli 2013 lalu. Komisi A DPRD Kabupaten Ponorogo mencemaskan adanya aturan perpindahan parpol sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pasal 16 ayat (3) UU Parpol menyatakan “Dalam hal anggota Partai KONSTITUSI september 2013
Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan partai politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga parwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundangundangan”. Menanggapi hal tersebut, Kasianur meminta agar para anggota DPRD Kabupaten Ponorogo melakukan konsultasi melalui surat-menyurat. “Saya bukan tidak bisa menjelaskan mengenai putusan MK tersebut, namun agar tidak terjadi tafsir berbeda dari putusan MK yang sudah jelas itu, maka lebih baik konsultasi dilakukan melalui surat-menyurat,” urai Kasianur. Mengenai Putusan MK Nomor 39/ PUU-XI/2013, Kasianur menjelaskan MK mengakomodasi partai politik kecil yang tidak lolos dalam verifikasi. Kasianur membacakan sebagian pertimbangan hukum
MK terkait Pasal 16 ayat (3) UU MK. Kasianur melanjutkan dalam pertimbangan hukum, MK mengemukakan legitimasi politik dalam sebuah konfigurasi tersebut harus dipertahankan, kecuali jika terjadi hal-hal yang menyebabkan harus dilakukannya pergantian. “Karena pada prinsipnya tidak boleh ada kekosongan keanggotaan DPR atau DPRD, karena kekosongan keanggotaan akan menghambat terselenggaranya tugas negara,” paparnya. Disinggung mengenai Putusan MK yang belum dieksekusi oleh KPU maupun Bawaslu, Kasianur menjelaskan MK tidak memiliki daya untuk mengeksekusi setiap putusannya. “Tapi harus diingat setiap putusan MK bersifat final dan mengikat,” tandasnya. Lulu Anjarsari
57
aksi
Kunjungan
Ketua MK: Penguasaan Hutan Adat Upaya Menghidupkan Kearifan Lokal Ketua MK M. Akil Mochtar (tengah) sesi foto bersama beserta Presiden Majelis Adat Dayak Nasional A. Teras Narang (kiri) dan Tokoh Adat Dayak lainnya usai menjadi narasumber dalam acara Rakernas II Majelis Adat Dayak Nasional di Ballroom Swiss Belhotel Palangkaraya.
Foto Humas/Dedi.
K
etua Mahkamah Konstitusi (MK) M. Akil Mochtar menghadiri acara Rapat Kerja Nasional II Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) dan Borneo Dayak Forum 2013, bertajuk “Dengan Semangat Gotong Royong Kita Tingkatkan Kesejahteraan, Jati Diri, Harkat dan Martabat Masyarakat Adat Dayak dalam Bingkai NKRI”, yang berlangsung di Ballroom Swiss Belhotel Palangka Raya, Kalimantan Tengah (29/8). Kegiatan Rakernas ini dibuka secara langsung oleh Presiden MADN A. Teras Narang yang juga menjabat Gubernur Kalimantan Tengah. Dalam kesempatan ini, Ketua MK Akil Mochtar mengangkat makalah berjudul “Hutan Adat dan HakHak Masyarakat Adat, Pertimbangan Konsekuensi Hukum Atas Keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara No. 35/PUU-X/2012”. Dalam pemaparannya, Akil mengatakan bahwa persoalan di sektor kehutanan selama ini sesungguhnya terletak pada pengaturan sektor kehutanan yang kurang memberikan keadilan dan kepastian hukum, terutama kepada masyarakat adat. Padahal, lanjut Akil, kesatuan masyarakat
58
hukum adat memiliki sejarah panjang dan landasan konstitusional yang kuat, terkait atas penguasaan tanah dan sumber daya hutan di wilayah adatnya sendiri. Karena itu, wajar jika kalangan masyarakat adat tidak berhenti memperjuangkan hakhak konstitusionalnya. Kemudian dalam Putusan MK dalam perkara No. 35/ PUU-X/2012, dikatakan Akil sebagai titik penting bagi masyarakat adat dalam perjuangan mempertahankan hak-hak konstitusionalnya. Disampaikan pula dalam kesempatan tersebut pertimbangan MK pada setiap norma yang diuji sesuai dengan konstruksi amar putusan. Menurutnya, sebelum putusan MK, masyarakat hukum ada berada dalam posisi yang lemah karena tidak diakuinya hakhak mereka secara jelas dan tegas ketika berhadapan dengan negara dengan hak menguasai yang sangat kuat. “Seharusnya penguasaan negara atas hutan dipergunakan untuk mengalokasikan sumber daya alam secara adil demi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” tegas Akil. Sebagaimana diketahui, dalam Undang-Undang Kehutanan, hutan adat secara langsung didefinisikan sebagai hutan negara yang berada di atas tanah
dalam wilayah masyarakat hukum adat. Padahal, suatu hutan disebut sebagai hutan negara apabila hutan tersebut berada di atas tanah yang tidak dibebani suatu hak atas tanah. Hal ini memungkinkan negara memberikan hak-hak di atas tanah hak ulayat kepada subjek hukum tertentu tanpa persetujuan masyarakat hukum adat dan tanpa memiliki kewajiban hukum untuk membayar kompensasi kepada masyarakat hukum adat yang mempunyai hak ulayat atas tanah tersebut. Akibatnya, masyarakat adat tidak dapat mengelola dan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang berada di wilayah mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Di akhir paparannya Akil menegaskan bahwa putusan MK membawa sejumlah konsekuensi. Sejak putusan tersebut diucapkan maka hutan adat bukan lagi bagian dari kawasan hutan negara yang berada di bawah penguasaan negara, tetapi berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Kemudian melalui putusan ini, MK telah berperan menguatkan posisi hak dan peran masyarakat adat dalam penguasaan tanah dan sumber daya hutannya. “Masyarakat adat sudah seharusnya diberi ruang untuk menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal yang mereka punya, meski telah mendapat penguatan MK, status masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dalam penguasaan hutan adat perlu dikukuhkan dalam peraturan perundangan-undangan. Karena itulah semua pihak harus berperan untuk mengawal dan melaksanakan putusan MK,” tutup Akil. Dedy Rahmadi
KONSTITUSI september 2013
Anggota Paskibraka Nasional Bertandang ke MK
Foto Humas/Ganie.
Anggota Paskibraka berfoto bersama Ketua MK M. Akil Mochtar dan Sekjen MK Janedjri M. Gaffar ketika berkunjung ke MK di Aula Lantai Dasar Gedung MK.
P
ara anggota pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka) nasional berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (19/8) sore. Kunjungan mereka diterima oleh Ketua MK M. Akil Mochtar yang didampingi Sekjen MK Janedjri M. Gaffar. “Sebagai salah satu pimpinan lembaga negara, saya merasa bangga bahwa saudara-saudara telah melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Dari sekian banyak pemuda-pemudi Indonesia bisa mewakili, berkumpul di Istana Negara melaksanakan langsung Upacara Peringatan Kemerdekaan Indonesia dan bertemu Presiden maupun petinggipetinggi negara,” ujar Akil Mochtar. Dalam pertemuan itu Akil menuturkan sekilas perjalanan sejarah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Secara kelembagaan, MKRI baru berusia 10 tahun, tepatnya 13 Agustus 2013. Meskipun dari sejarah konstitusi Indonesia, sebenarnya ide membentuk MK di Indonesia sudah ada dalam pikiran para pendiri bangsa. “Pikiran-pikiran itu KONSTITUSI september 2013
sudah ada pada saat penyusunan UUD. Tetapi, kekuasaan kehakiman di Indonesia sampai Reformasi 1998 dilakukan oleh Mahkamah Agung,” jelas Akil kepada para peserta paskibraka nasional beserta para pembina dan pelatih. Hingga pada 2003, setelah terjadi amandemen UUD 1945, maka kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang kedudukannya setara dan seimbang, hanya dibedakan oleh fungsi dan wewenangnya. Dikatakan Akil, MK memiliki empat wewenang dan satu kewajiban. “Wewenang pertama MK, menguji UU terhadap UUD sesuai Pasal 24C UUD 1945. Misalnya kalau ada pasal, ayat, norma atau seluruh isi UU dinyatakan bertentangan dengan UUD, maka UU itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat dan bertentangan dengan UUD. Sifat dari putusan MK adalah final dan binding,” kata Akil. Sejak MKRI didirikan, lebih dari 100 perkara sudah diputus MK, sedangkan UU secara keseluruhan yang dibatalkan ada lima UU.
Wewenang berikut MK adalah memutus sengketa antara lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Kalau misalnya Presiden berselisih dengan DPR tentang satu hal. Selain itu, MK berwenang memutus pembubaran partai politik. Selanjutnya, MK berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum, mulai dari Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilu Kepala Daerah. Lainnya, MK memiliki kewajiban mengadili pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden melanggar UUD, melakukan tindak pidana korupsi atau tindak kejahatan lainnya, dan sebagainya. “Kalau MK sependapat dengan DPR, maka usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden diteruskan ke MPR,” tandas Akil. Lebih lanjut Akil menjelaskan, MK memiliki 9 orang hakim dari unsur DPR, MA dan Presiden. Sedangkan syarat Hakim MK antara lain negarawan, tidak tercela dan adil. Nano Tresna Arfana
59
cakrawala
Supreme Court of Japan
Terdiri 15 Hakim, Ditopang Majelis Yudisial
J
epang (bahasa Jepang: Nippon/ Nihon, nama resmi: Nipponkoku/ Nihonkoku adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung barat Samudra Pasifik, di sebelah timur Laut Jepang, dan bertetangga dengan Republik Rakyat Cina, Korea, dan Rusia. Pulau-pulau paling utara berada di Laut Okhotsk, dan wilayah paling selatan berupa kelompok pulau-pulau kecil di Laut Cina Timur, tepatnya di sebelah selatan Okinawa yang bertetangga dengan Taiwan. Jepang terdiri dari 6.852 pulau yang membuatnya merupakan suatu kepulauan. Pulau-pulau utama dari utara ke selatan adalah Hokkaido, Honshu (pulau terbesar), Shikoku, dan Kyushu. Sekitar 97% wilayah daratan Jepang berada di keempat pulau terbesarnya. Sebagian besar pulau di Jepang bergunung-gunung, dan sebagian di antaranya merupakan gunung berapi. Gunung tertinggi di Jepang adalah Gunung Fuji yang merupakan sebuah gunung berapi. Penduduk Jepang berjumlah 128 juta orang, dan berada di peringkat ke10 negara berpenduduk terbanyak di dunia. Tokyo secara de facto adalah ibu kota Jepang, dan berkedudukan sebagai sebuah prefektur. Tokyo Raya adalah sebutan untuk Tokyo dan beberapa kota yang berada di prefektur sekelilingnya. Sebagai daerah metropolitan terluas di dunia, Tokyo Raya berpenduduk lebih dari 30 juta orang. Menurut mitologi tradisional, Jepang didirikan oleh Kaisar Jimmu pada abad ke-7 SM. Kaisar Jimmu memulai mata rantai monarki Jepang yang tidak terputus hingga kini. Meskipun begitu, sepanjang sejarahnya, untuk kebanyakan masa kekuatan sebenarnya berada di tangan
60
anggota-anggota istana, shogun, pihak militer, dan memasuki zaman modern, di tangan perdana menteri. Menurut Konstitusi Jepang tahun 1947, Jepang adalah negara monarki konstitusional di bawah pimpinan Kaisar Jepang dan Parlemen Jepang. Sebagai negara maju di bidang ekonomi, Jepang memiliki produk domestik bruto terbesar nomor dua setelah Amerika Serikat, dan masuk dalam urutan tiga besar dalam keseimbangan kemampuan berbelanja. Jepang adalah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, G8, OECD, dan APEC. Jepang memiliki
kekuatan militer yang memadai lengkap dengan sistem pertahanan moderen seperti AEGIS serta armada besar kapal perusak. Dalam perdagangan luar negeri, Jepang berada di peringkat ke-4 negara pengekspor terbesar dan peringkat ke-6 negara pengimpor terbesar di dunia. Sebagai negara maju, penduduk Jepang memiliki standar hidup yang tinggi (peringkat ke-8 dalam Indeks Pembangunan Manusia) dan angka harapan hidup tertinggi di dunia menurut perkiraan PBB. Dalam bidang teknologi, Jepang adalah negara maju di bidang telekomunikasi, permesinan, dan robotika.
Suasana Persidangan di Ruang Pleno
KONSTITUSI september 2013
Suasana persidangan panel
Mahkamah Agung Jepang Konstitusi (diundangkan pada tanggal 3 November 1946, dan diberlakukan pada tanggal 3 Mei 1947) memberikan landasan demokrasi untuk pemisahan kekuasaan negara. Untuk lebih tepatnya, kekuasaan legislatif berada di tangan Diet, kekuasaan eksekutif dipegang oleh cabinet. Anggota kabinet secara kolektif bertanggung jawab kepada Diet dalam pelaksanaan kekuasaan ini. Diet ini diberdayakan untuk menunjuk Perdana Menteri, Kepala Kabinet, dari antara anggota Diet, dan kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah Agung dan pengadilan yang lebih rendah yang ditetapkan oleh hukum. Pengadilan adalah adjudicator akhir dari semua sengketa hukum, termasuk yang timbul dari tindakan administratif antara warga dan negara. Sistem peradilan Jepang terdiri dari lima jenis: Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri, Pengadilan Keluarga, dan Pengadilan Summary. Masing-masing memiliki yurisdiksi mereka sendiri sebagaimana diatur dalam undang-undang. Fungsi Yudisial Mahkamah Agung adalah pengadilan tertinggi di negara bagian dan terdiri dari Kepala Kehakiman dan empat belas Hakim. Mahkamah Agung melakukan yurisdiksi banding final dan banding terhadap putusan sebagaimana diatur secara khusus dalam
KONSTITUSI september 2013
kode prosedur. Selain itu, ia memiliki yurisdiksi asli dan terakhir dalam proses yang melibatkan impeachment komisaris Otoritas Kepegawaian Nasional. Sebuah banding terakhir ke Mahkamah Agung diperbolehkan dalam contoh berikut: (1) banding yang diajukan terhadap putusan yang diberikan pada tingkat pertama atau kedua oleh pengadilan tinggi, (2) banding langsung terhadap putusan yang diberikan oleh pengadilan distrik atau pengadilan keluarga, atau penghakiman dalam kasus pidana diberikan oleh Pengadilan Summary sebagai pengadilan tingkat pertama, (3) banding yang diajukan ke pengadilan tinggi dan ditransfer ke Mahkamah Agung untuk alasan khusus, (4) banding khusus ke pengadilan dilakukan terhadap putusan dalam kasus perdata diberikan oleh pengadilan tinggi sebagai pengadilan banding akhir, dan (5) banding yang luar biasa ke pengadilan diajukan oleh Kejaksaan Agung terhadap putusan final dan mengikat kasus pidana. Sebuah banding terhadap putusan ke Mahkamah Agung diperbolehkan dalam contoh berikut: (1) banding diajukan terhadap putusan dalam kasus perdata atau kasus hubungan domestik baik atas dasar pelanggaran Konstitusi atau dengan izin dari pengadilan tinggi yang akan diberikan dalam kasus di mana pengadilan dianggap melibatkan isu penting menyangkut konstruksi hukum dan peraturan, dan (2) banding khusus diajukan terhadap perintah
atau petunjuk dalam kasus pidana yang ada banding biasa diizinkan di Hukum Acara Pidana atau banding diajukan terhadap perintah, dll pengadilan banding menengah dalam kasus remaja, dengan alasan pelanggaran Konstitusi atau karena alasan konflik dengan preseden yudisial. Dalam kasus perdata dan administrasi, banding akhir ke Mahkamah Agung dapat diajukan hanya atas dasar pelanggaran Konstitusi yang tercantum dalam Hukum Acara Perdata sebagai alasan mutlak untuk banding terakhir. Mahkamah Agung, bagaimanapun, dapat menerima kasus ketika Mahkamah memandang bahwa itu melibatkan isu penting mengenai konstruksi hukum dan peraturan. Dalam kasus pidana, alasan untuk banding akhir terbatas yang melibatkan kemungkinan pelanggaran Konstitusi, konstruksi salah Konstitusi atau konflik dengan preseden Mahkamah Agung. Apabila banding tidak beralasan, Mahkamah Agung dapat memberhentikan banding tanpa melanjutkan ke argumen lisan. Jika Mahkamah Agung menemukan itu cukup beralasan, bagaimanapun, putusan akan diberikan setelah argumen lisan terdengar. Untuk membantu para Hakim Mahkamah Agung dalam pekerjaan peradilan mereka, ada sejumlah pejabat Penelitian Yudisial di Mahkamah Agung. Selain fungsi utama kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung dipegang dengan kekuasaan pembuatan aturan dan
61
cakrawala otoritas tertinggi peradilan. Mahkamah Agung bertindak atas resolusi Majelis Yudisial, yang terdiri dari lima belas hakim dan dipimpin oleh Ketua. Majelis Yudisial diadakan untuk musyawarah dan penentuan urusan pembuatan aturan dan administrasi peradilan. Dengan kekuatan pembuatan aturan, Mahkamah Agung dapat membentuk aturan prosedur pengadilan, dan hal yang berhubungan dengan pengacara, disiplin internal pengadilan, dan administrasi urusan peradilan. Penunjukan Ketua Mahkamah Agung dan pengangkatan Hakim Agung dan hakim lain dari pengadilan yang lebih rendah berada dalam lingkungan kabinet. Namun, pencalonan hakim pengadilan rendah dari antaranya Kabinet menunjuk, termasuk Presiden pengadilan tinggi, dan penugasan hakim untuk pengadilan khusus disediakan untuk Mahkamah Agung, yang memegang kewenangan melalui resolusi-resolusi Majelis Yudisial, asalkan, sebagai suatu peraturan, pencalonan hakim pengadilan yang lebih rendah membutuhkan saran Komite Penasehat untuk Nominasi Hakim Pengadilan rendah. Selain itu, hal-hal seperti pengangkatan dan pemberhentian pejabat pengadilan lain selain hakim berada dalam lingkup administrasi peradilan Mahkamah Agung. Adapun anggaran pengadilan, Mahkamah Agung, pada resolusi Majelis Yudisial, menyampaikan perkiraan tahunan penerimaan dan pengeluaran langsung ke kabinet. Dalam hal ini, Kabinet harus melampirkan rincian pengurangan mengenai estimasi pengeluaran untuk anggaran pendapatan dan belanja dan jelas menyatakan sumber daya fiskal yang diperlukan agar Diet dapat mengubah angka untuk musyawarah tersebut. Dalam rangka melaksanakan urusan administratif ini, Mahkamah Agung memiliki Sekretariat Jenderal sebagai organisasi internal untuk administrasi peradilan, Hukum Pelatihan dan Research Institute, Pelatihan dan Penelitian Institut Pejabat Pengadilan, dan Perpustakaan Mahkamah Agung. Staf kunci dari Sekretariat Jenderal dapat dipilih dari antara para hakim pengadilan yang lebih rendah dengan persetujuan mereka. Dengan demikian, Mahkamah Agung mengelola sistem peradilan seluruhnya
62
Ruang Permusyawaratan Hakim (RPH)
secara mandiri, tanpa intervensi oleh eksekutif atau legislatif. High Courts Pengadilan Tinggi berlokasi di delapan kota besar di Jepang: Tokyo, Osaka, Nagoya, Hiroshima, Fukuoka, Sendai, Sapporo, dan Takamatsu. Setiap pengadilan tinggi memiliki yurisdiksi teritorialnya sendiri lebih dari salah satu dari delapan bagian Jepang. Beberapa pengadilan tinggi memiliki cabang. Ada enam cabang di seluruh Jepang. Selain itu, pada bulan April 2005, Pengadilan Tinggi Kekayaan Intelektual baru didirikan sebagai cabang khusus dari Pengadilan Tinggi Tokyo, yang menangani kasus yang berkaitan dengan kekayaan intelektual saja. Setiap pengadilan tinggi terdiri dari Presiden dan hakim pengadilan tinggi lainnya. Pengadilan tinggi, kecuali Pengadilan Tinggi Kekayaan Intelektual, memiliki yurisdiksi atas banding diajukan terhadap putusan yang diberikan oleh pengadilan distrik di tingkat pertama, kecuali di mana Mahkamah Agung memiliki yurisdiksi sebagaimana diatur secara khusus dalam kode prosedur. Selain itu, pengadilan tinggi memiliki yurisdiksi asli atas kasus administrasi pemilu, kasus pemberontakan, dll Pengadilan Tinggi Tokyo juga memiliki
yurisdiksi asli eksklusif atas kasus-kasus untuk mencabut penentuan lembaga kuasiyudisial seperti Pengadilan Kecelakaan Jepang Marine. Ada 50 pengadilan distrik di Jepang yang memiliki yurisdiksi teritorial atas masing-masing kabupaten, daerah yang identik dengan setiap prefektur (kecuali Hokkaido, yang terbagi menjadi empat kabupaten). Pengadilan distrik memiliki 203 cabang secara total. Pengadilan distrik umumnya pengadilan tingkat pertama, kecuali untuk hal-hal yang khusus datang di bawah yurisdiksi asli eksklusif pengadilan jenis lain. Dalam pengadilan distrik, sebagai suatu peraturan, kasus ditangani oleh hakim tunggal dan dibantu tiga hakim panel yang diperlukan. Semua pengadilan distrik dan beberapa cabang mereka mengadakan persidangan pidana dengan partisipasi Saiban-in (hakim awam) dalam beberapa kasus serius tertentu. Di bawah sistem ini, sebuah panel yang terdiri dari enam Saiban-in dan tiga hakim profesional menangani kasus tersebut. Referensi: http://www.courts.go.jp/ http://id.wikipedia.org/wiki/Japan
KONSTITUSI september 2013
ragam tokoh
Muhammad Yusuf
Pertahankan Kredibilitas MK
K
epala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ( PPATK) M Yusuf meminta agar MK dapat menjaga kredibilitasnya sebagai lembaga peradilan yang bersih dan terpercaya. Dalam kesempatan pelaksanaan sosialisasi anti pencucian uang di MK, Jumat, 6 September, 2013, yang bertujuan menciptakan buadaya anti korupsi di Indonesia. M Yusuf mengungkapkan saat ini PPATK tengah gencar mensosialisasikan rezim anti pencucian uang yang dicurigai menjadi pintu masuk terjadinya tindak pidana korupsi. Menurutnya, maraknya praktek korupsi yang terjadi tidak hanya terkait moral dan prilaku seseorang namun juga dipengaruhi oleh lingkungan. Karena itu penting untuk menciptakann clean & good governance. Usai menyampaikan paparannya, Yusuf yang dijumpai Media MK berpesan agar Mahkamah Konstitusi dapat mempertahankan kredibilitas dan integritasnya. Sebagai salah satu lembaga negara yang terhitung masih bersih dari praktek korupsi, penting bagi MK untuk terus membentengi diri dan menjaga reputasinya. “ Lembaga seperti MK patut dijaga, ini aset negara karena putusannya yang kredibel dan prosesnya yang transparan. Bayangkan kalo ini rusak, akan sangat berbahaya sekali. UU sebagai produk politik sangat rawan disalahgunakan untuk kepentingan politik, dan disinilah peran MK sebagai filter.” Tegas Yusuf yang berharap sosialisasi kali ini akan semakin membentengi MK dari gangguan tindak pidana korupsi. Julie
Hatta Ali
Apresiasi Putusan MK
H
atta Ali, Ketua Mahkamah Agung RI mengapresiasi putusan MK yang menghapus peran pengadilan umum yang menetapkan pencatatan kelahiran yang telat. “Saya kira itu tidak ada masalah bagi pengadilan, malah justru mengurangi beban para hakim,” kata Hatta Ali, usai acara melepas sepuluh hakim agung yang memasuki usia pensiun di Jakarta, Rabu, 1 Mei 2013. Menurut Hatta MA akan menindaklanjuti putusan MK yang sudah ditetapkan. Hatta melanjutkan, dirinya telah menerbitkan SEMA Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pencabutan SEMA Nomor 6 Tahun 2012 tentang pedoman penetapan pencatatan kelahiran yang melampaui batas satu tahun secara kolektif. Dengan SEMA itu, terang Ikatan Alumni (IKA) Universitas Airlangga periode 2012-2016 ini meminta permohonan terkait akta kelahiran yang telah masuk ke pengadilan sebelum putusan MK agar segera diselesaikan. “Bagi pemohon yang baru mengajukan jangan diterima, tapi yang sudah masuk supaya diselesaikan. Dan itu biasanya penyelesaiannya satu hari,” tandasnya. Miftakhul Huda
KONSTITUSI september 2013
63
konstitusiana
Curhat Bambang Widjojanto
S
idang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu 21 Agustus 2013, dalam perkara 35/PUU-XI/2013 pengujian Undang-Undang (UU) nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, berubah menjadi ajang keluh kesah antara wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bambang Wijoyanto, kepada Ketua MK M. Akil Mochtar Bambang Widjojanto yang hadir atas permintaan pemohon, mengungkapkan keluh kesahnya atas tidak jelasnya ukuran yang digunakan Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menentukan prioritas penentuan anggaran suatu instansi atau lembaga pemerintahan. Bambang mengungkapkan, alasan ketidaksetujuan Banggar DPR terhadap anggaran yang diajukan KPK untuk membangun gedung baru yang lebih representatif selalu bermacam-macam, namun terhadap penggunaan yang tidak penting justru disetujui. “Ada satu lembaga penegak hukum yang untuk membangun gedung parkirnya saja, gedung parkir untuk mobilnya, bukan untuk orang ini, itu diperlukan dana lebih dari Rp300 miliar,” ungkap Bambang Terhadap penjelasan yang disampaikan oleh Bambang Widjojanto, Ketua MK M Akil Mochtar menimpalinya dengan kondisi keuangan yang dialami MK.”Pak, MK ini tahun lalu itu dapatnya Rp250 miliar seluruh dipotong tahun ini hanya tinggal Rp150 miliar,” ujar Akil. Menurutnya anggaran MK hanya bisa sampai bulan Oktober, tapi Akil menegaskan tidak akan pernah menyerah. Akil juga mberikan dorongan kepada KPK untuk tetap yakin akan memiliki gedung yang baru, “sebentar lagi gedung KPK berdirilah itu, jadi Pak Bambang tenang saja.” Tegas Akil. Ilham
Humas MK/GANIE
Kesulitan Menyebutkan Nama Daerah
B
anyaknya daerah pemekaran baru, baik provinsi, kabupaten maupun kota memunculkan banyaknya nama daerah yang unik dan terkadang sulit untuk diingat oleh kebanyakan orang. Hal tersebut terjadi juga dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK), ketika MK menggelar sidang pemeriksaan sengketa pemilihan umum kepala daaerah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, Provinsi Sulawesi Utara. Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Sangihe. Dalam sidang nomor perkara 73/PHPU.D-XI/2013, yang dipimpin oleh Hamdan Zoelva, agenda sidang kedua sengketa pemilukada kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro pada saat itu adalah mendengarkan jawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kepulauan Siau Tagulandang Biaro serta mendengarkan tanggapan petahana bupati selaku pihak terkait dalam perkara tersebut. Setelah mendengarkan jawaban KPU dan tanggapan pihak terkait, Hamdan Zoelva mengungkapkan bahwa penyebutan nama kabupaten tersebut sulit. “Ya, untuk memudahkan penyebutan ini nama Kabupaten ini susah sekali sebutannya. Jadi Sitaro saja, ya? Saya pikir saya saja yang susah sebutnya, rupanya semua. Kabupaten Sitaro.” Ujar mantan Anggota Panitia Ad Hoc I Majelis Permusyawaratan (MPR) 1999-2004 itu. Ilham
Humas MK/hendy
64
KONSTITUSI september 2013
pustaka klasik
Pengantar Memahami Hukum Indonesia Miftakhul Huda Redaktur Majalah Konstitusi
B
uku berjudul Peladjaran Hukum Indonesia karya J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto yang terbit pertama kali pada 1956 ini mengenalkan dengan uraian sederhana, dan ringkas berbagai segi hukum yang berlaku di Indonesia. Seperti dikemukakan penulis dalam pengantarnya, buku ini diperuntukkan bagi pelajar sekolah menengah tingkat atas (SMU) dan pengantar bagi mahasiswa awal di perguruan tinggi. Dibandingkan buku pengantar hukum Indonesia yang sudah banyak beredar saat ini, karya ini tergolong pionir dan rujukan penulis periode sesudahnya. Dengan membuka lembaran awal buku ini pembaca sudah diajak mamahami hukum yang sudah ada sejak manusia hidup bermasyarakat di bagian pertama dalam Bab I. Dimana ada masyarakat disitu ada hukum, sehingga mustahil “tanpa hukum”, meskipun dalam bentuk tidak tertulis dan masyarakat belum modern. Adanya sebuah keteraturan dalam masyarakat, disamping berdasarkan norma hukum juga mendasar pada norma lainnya, yakni norma agama, kesopanan, dan kesusilaan. Pembedaan norma ini tidak berarti kelimanya terpisah secara tegas. Dengan pembedaan ini, Simorangkir dan Woerjono memberikan definisi norma hukum sebagai, “pedoman atau petunjuk bagi setiap orang untuk tidak hanya mengetahui saja, tetapi juga dapat membedakan dalam hidupnya seharihari apa yang baik dan apa yang tidak baik.” Norma hukum tersebut, misalkan norma hukum pidana yang melarang orang mencuri, membunuh, sumpah palsu dan lainnya. Pembedaan dalam lima macam norma terang kedua penulis, lebih kepada bahwa norma selain hukum pelaksanaannya datang dari dari orang yang bersangkutan. Pelanggaran norma non hukum tidak mendapatkan sanksi dari negara. Sedangkan norma hukum KONSTITUSI september 2013
pelaksanaannya tergantung dari orangorang tersebut (masyarakat) dan apabila norma hukum dilanggar kekuasaan dari luar mereka akan turut campur, yaitu pemerintah dapat memaksa norma-norma tersebut ditaati semua orang. Ketaatan terhadap norma selain hukum berdasar keinsafan, kesadaran, keyakinan dan kepercayaan saja. Dikemukakan pula, bagaimana akibat hukum pelanggaran norma hukum yang tidak hanya mengandalkan sanksi dari Tuhan dalam norma agama, atau akan disingkirkan dari lingkungan dan timbul rasa menyesal jika melanggar norma kesopanan dan kesusilaan, tetapi pemerintah melalui alat-alatnya dengan pelanggaran norma hukum dapat memaksakan kekuatan berlaku norma tersebut kepada setiap orang yang melanggarn dan mengancam dengan hukuman. Karena perbedaan inilah kedua penulis ini membuat pengertian norma
hukum dan akhirnya pada kesimpulan bahwa pengertian “hukum” memiliki unsur-unsur yaitu: bersifat memaksa, peraturan-peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran atutan hukum dengan tegas. Namun demikian, norma-norma ini memiliki kesamaan tujuan yaitu melindungi kepentingan tiap-tiap orang
Judul : Peladjaran Hukum Indonesia Penulis : Mr. J.C.T. Simorangkir dan Mr. Woerjono Sastropranoto Penerbit : Penerbit Gunung Agung, Djakarta Tahun : cet ke-9,1960 Jumlah : 329 halaman
Humas MK/GANIE
65
pustaka klasik dalam masyarakat atau kepentingan orang yang satu terhadap kepentingan yang lain atau kepentingan masyarakat dalam keseluruhan. Dengan perbedaan ini, menurut peresensi, norma hukum memiliki keunggulan yang tidak dimiliki norma lain dengan kekuasaan memaksa. Tetapi disisi lain norma non hukum memiliki keunggulan dipatuhi karena kesadaran sendiri yang berbeda dengan norma hukum. Untuk itu dalam pembentukan norma hukum ini mestinya sebanyak mungkin mengakomodir norma-norma yang hidup di masyarakat, disamping dengan hukum dapat digunakan sebagai media untuk merubah perilaku masyarakat. Selain itu, buku ini juga memuat berbagai macam hukum yang dibedakan atas hukum publik dengan hukum privat, hukum materiil dengan hukum formil, dan pembagian hukum menurut kekuatan berlaku, serta pembagian lainnya. Bagi yang belajar pertama kali mengenai hukum, buku ini akan cukup memuaskan pemahaman pembaca dengan berbagai uraiannya. Hukum publik dikemukakan sebagai hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara dengan orang dan antara negara dengan bagian-bagiannya, sehingga ada hukum pidana, hukum internasional, hukum administrasi, hukum negara dan lainnya. Sedangkan hukum privat lebih mengatur hubungan antara orang satu dengan yang lain, misalkan hukum sipil secara luas yang didalamnya ada hukum perdata dan hukum niaga. Pembedaan hukum publik dengan privat ini kata penulis, lebih karena sebab kepentingan yang dilindungi. Hukum publik menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan, sedangkan hukum privat melindungi hubungan-hubungan hukum antara orang perseorangan dalam negara. Kemudian dalam hukum privat yang dimaksud dengan orang adalah tidak hanya orang perorangan, tetapi juga badan hukum. Kemudian perbedaan lainnya, yaitu pelaksanaannya yaitu dalam pelanggaran hukum privat pelaksanaannya tergantung kepada adanya pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan baru negara bertindak. Dalam hukum pidana, pelaksanaanya tidak tergantung diadukannya oleh orang yang dirugikan, negara dapat menghukum pelakunya. Kemudian perbedaan dalam menafsirkan aturan, meskipun sama-sama
66
yang menafsirkan tugas hakim. Apabila hukum pidana metode penasirannya terbatas dengan interpretasi gramatikal atau letterlijk, hukum perdata dapat memperluas tafsir atas peraturan perundang-undangan interpretasi gramatikal, sistematis, historis, teleologis (sosiologis), autentik, dan analogi. Selain itu, dikemukakan lebih detail bagaimana beda hukum materiil dengan hukum formil dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, dan pembagian hukum berdasarkan kekuatan berlakunya, dimana Simorangkir dan Woerjono membedakan atas UUD 1945, undangundang biasa, dan peraturan-peraturan lain. Undang-undang biasa yang dimaksudkan disini sebagai peraturan yang lebih rendah tingkatannya dari UUD yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Peraturan yang tergolong ini memiliki tingkatan-tingkatan yang memperlihatkan kekuatan bekerjanya berdasarkan hierarki dalam perundangundangan. Sedangkan peraturan-peraturan lain ini dijelaskan terbatas kepada peraturan yang sifatnya lokal sehingga berlaku untuk daerah tertentu saja. Pembagian lain juga dibahas, misalkan hukum objektif, hukum subjektif, hukum positif, dan hukum asasi. Mengenai sejarah kodifikasi juga dibahas apik keadaan sebelum dan sesudah kodifikasi untuk mencapai tujuan: kesatuan hukum, kepastian hukum dan penyederhanaan hukum. Dimana sebelum upaya pencatatan (kodifikasi) tidak tercapai tujuan itu. Contoh-contoh upaya kodifikasi dilakukan di masa Romawi, usaha Kaisar Justisianus dari Kerajaan Romawi Timur dengan Corpus Iuris Civilis, Code Civil dari Kaisar Napoleon Bonaparte, dan kodifikasi di Indonesia, antara lain dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku sejak 1848 dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada 1918. Sumber-sumber hukum sebagai sumber dimana orang dapat mengetahui dan mengenal berbagai macam peraturan, dijelaskan juga dalam buku ini secara sekilas, mulai dari undang-undang, kebiasaan, hakim, perjanjian, dan ilmu pengetahuan. Lalu, pembagian mengenai penggolongan penduduk Indonesia sebelum kemerdekaan (golongan Eropa,
Bumiputra, dan Timur Asing) dengan mengenal berbagai hukum yang berlaku untuk berbagai golongan ini. Pembagian golongan ini penting karena fakta sejarah pernah berlaku dualisme sistem hukum dan peradilan berdasarkan perbedaan golongan penduduk yang menempatkan Bumiputra tidak sederajat. Pada pembahasan selanjutnya, pembaca akan mengetahui lebih jauh dan mendalam berbagai macam hukum berdasarkan pembagian hukum yang dikemukakan diatas. Seperti uraian mengenai Hukum Negara di Bagian II, Hukum Internasional di Bagian III, Hukum Adat di Bagian IV, Hukum Intergentil (Hukum Antar Golongan) di Bagian V, Hukum Perdata Internasional di Bagian VI, dan Hukum Islam di Bagian VII. Semua bagian ini diletakkan pada Bab I. Tidak ada penjelasan lebih jauh dari penulis kenapa beberapa pembahasan ini di bagian ini. Tetapi dari sisi substansinya memiliki kesamaan, yaitu lebih banyak terkait hukum publik. Namun, hukum Islam kenapa dimasukkan di bagian ini, karena uraiannya menunjukkan bahwa lebih mendekati pembagian dalam hukum privat. Kemudian pada Bab II didalamnya terdapat Hukum Perdata di Bagian I dan Hukum Perniagaan di Bagian II. Kedua bagian ini adalah termasuk dalam ranah hukum privat. Adapun untuk Bab III sebagai bagian terakhir buku ini didalamnya terdapat uraian mengenai Hukum Pidana. Sedangkan pada Bab IV didalamnnya terdapat uraian Hukum Acara Peradilan, yaitu Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana. Buku ini mudah dicerna dan dipahami siapa saja. Karena perkembangan hukum berjalan dengan pesat, sehingga di masa sekarang substansinya perlu disesuaikan dan perkembangan bidang hukum dan spesialisasi hukum yang berjalan pesat. Karya ini juga tidak menyinggung berbagai perdebatan yang memperkaya pengetahuan, misalkan kelemahankelemahan pada pembagian hukum publik dan privat dan lainnya. Karya ini lebih banyak memberikan manfaat daripada kekurangannya bagi siapa saja yang ingin mengetahui gambaran hukum di Indonesia dengan uraian sistematis.
KONSTITUSI september 2013
pustaka
Ke mana Mahfud MD Mengalir? R.N. Bayu Aji Dosen Luar Biasa Ilmu Sosial Budaya Dasar di Universitas Ciputra Surabaya
S
osok Mahfud MD dalam dunia hukum dan politik di negeri ini sungguh fenomenal. Mahfud MD merupakan satusatunya orang yang mampu berkarir di tiga jabatan cabang kekuasaan yang terkenal dengan nama trias politica, yakni sebagai Menteri Pertahanan di era Gus Dur (lembaga eksekutif), politisi di Dewan Perwakilan Rakyat (lembaga legislatif) dan menjadi hakim konstitusi serta menahkodai Mahkamah Konstitusi (MK) selama hampir dua periode (lembaga yudikatif). Terutama saat menahkodai MK, Mahfud MD banyak melakukan terobosan hukum dan langkah politik yang mungkin dipandang olehnya sebagai modal sosial yang kuat setelah nantinya tidak lagi menjadi hakim. Sewaktu menjadi hakim MK, ia gemar sekali berbicara di hadapan pers. Banyak pro kontra terhadap sikap Mahfud ini lantaran langkahnya dianggap kurang tepat oleh pengamat hukum dan politik. Profesi hakim yang pada awamnya dianggap akan menjadi lebih baik untuk diam, menutup pintu, dan siap kesepian tidak diikuti oleh Mahfud. Alasan mengapa dirinya tidak mau diam adalah karena juga ingin melakukan perubahan dengan cara berbicara kepada pers. Dalam undang-undang maupun kode etik tidak ada larangan bagi hakim untuk berbicara kepada pers. Pers, menurut Mahfud merupakan salah satu pilar demokrasi yang masih bisa dipercaya sehingga pers juga dapat mengubah keadaan menjadi lebih baik.
KONSTITUSI september 2013
Oleh sebab itu, pada saat ini mulai banyak buku-buku yang mengulas tentang sosok dan pemikirannya, tak terkecuali buku Biografi Mahfud MD, Terus Mengalir yang ditulis oleh Rita Triana Budiarti ini. Dalam proses penulisannya, Rita sebagai penulis buku banyak menguraikan kembali bahasa lisan (wawancara) yang dituturkan oleh Mahfud MD menjadi bahasa tulis
Judul Buku : Biografi Mahfud MD, Terus Mengalir Penulis : Rita Triana Budiarti Penerbit : Konstitusi Press Cetakan : Pertama, Maret 2013 Tebal : xxxii + 614 halaman; 14,5 x 21 cm
67
pustaka agar bahasanya mengalir dengan lancar dari segi logika dan sistematikanya. Sebuah biografi menurut sejarawan Kuntowijoyo adalah sejarah dan sama halnya dengan narasi sejarah kota, negara dan bangsa. Meskipun lingkupnya sangat mikro, Biografi atau catatan tentang hidup seseorang merupakan bagian dari mosaik sejarah yang lebih besar. Namun demikian, terdapat empat permasalahan penting dalam penulisan biografi, yakni kepribadian tokohnya, kekuatan sosial yang mendukung, lukisan sejarah zaman tokoh itu selama hidup, dan keberuntungan serta kesempatan yang datang pada tokoh. Kepribadian tokoh yang ditulis dalam sebuah biografi akan sangat dominan dan menonjol apabila penulis atau tokoh yang ditulis menganut hero in history. Biografi Mahfud yang ditulis oleh Rita ini memuat keempat permasalahan penting tersebut. Rita sebagai penulis, mengisahkan perjalanan Mahfud mulai dari lahir sebagai anak istimewa yang dipercayai dalam mitos Madura akan menjadi orang besar di kemudian hari. Hal itu tidak terlepas bahwa Mahfud memiliki sepasang telinga yang kalau ditarik garis lurus ke muka letaknya sejajar dan mendekati hidung. Sementara itu, Mahfud juga anak tengah laki-laki dari tujuh bersaudara yang dipercayai akan membawa berkah menjadi orang besar. Mitos ini mungkin hanya sekadar mitos, namun realitasnya Mahfud benar-benar menjadi orang besar yang berasal dari pulau garam (hlm. 1-7). Selanjutnya, kita diajak oleh
68
Rita untuk menelusuri sejarah panjang jabatan trias politica yang diraih oleh Mahfud. Dari seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, Mahfud mengalir bagai air. Prestasinya berbicara sendiri sehingga Presiden Gus Dur mampu melihat kekuatan karakter dan keilmuan Mahfud yang tidak dimiliki oleh sosok lain di Indonesia (hlm. 202). Pilihan Gus Dur mengangkatnya sebagai Menteri Pertahanan Indonesia tidak keliru karena sejak saat itu Mahfud selalu muncul menjadi sosok yang sangat diperhitungkan, baik sebagai ketua MK hingga saat ini telah berhenti menjadi seorang hakim. Meskipun pemilihan presiden 2014 masih satu tahun ke depan, keriuhan menjelang suksesi kepemimpinan sudah terdengar gemuruhnya. Nama Mahfud MD masuk sebagai tokoh dalam bursa calon presiden dan wakil presiden walaupun ia tidak pernah memasang baliho di berbagai kota maupun pelosok desa. Hasil survey dari Soegeng Sarjadi Syndicate, CSIS dan LSI tahun 2012 bahkan menempatkan Mahfud sebagai calon presiden alternatif dan figur paling bersih (hlm. 603). Mahfud pun mengaku senang dan tersanjung, namun masih terlihat malumalu kucing ketika ditanya oleh wartawan terkait peluang menjadi calon presiden. Jawaban yang selalu terlontar adalah “kita lihat sajalah nanti 2013, kalau sudah berhenti sebagai ketua MK, saya akan menentukan pilihan”. Satu sisi Mahfud merasa senang
karirnya sudah di puncak, namun ia merasa senang kalau naik ke puncak lagi. Akhirnya Mahfud pun membiarkan semuanya mengalir dan menyatakan, “biarlah Tuhan yang ngatur saya mau diletakkan mana”. Bagi Mahfud, ia tidak berkeberatan orang berspekulasi apabila jabatannya berhenti sebagai hakim MK dipaskan dengan momen politik 2014 karena Mahfud juga memastikan akan kembali ke dunia politik (hlm. 610). Sebagai biografi, buku ini termasuk tipe biografi yang ditulis dengan pendekatan hero in history. Maka dari itu, jangan kecewa apabila pembaca akan merasa disuguhi hal-hal yang baik-baik saja dari Mahfud yang mungkin saja terkesan seperti counter wacana dan isu dari Mahfud, terkait serangan-serangan terhadapnya. Pada akhirnya, Mahfud pun menyatakan siap maju jadi capres dan cawapres baik dicalonkan oleh salah satu partai maupun mengikuti mekanisme konvensi. Mahfud memang berada pada puncak ketika menjadi hakim dan ketua MK. Ia juga berada di lembaga tinggi negara yang tepat karena MK merupakan lembaga tinggi negara yang reputasinya bersih di negeri ini. Buku ini boleh jadi dihadirkan sebagai sarana legitimasi bahwa Mahfud memang pantas menjadi seorang calon pemimpin politik masa depan. Perjalanan Mahfud memang belum selesai dan berakhir, karena Mahfud akan diuji dengan langkah dan pengabdian selanjutnya. Kemana Mahfud akan mengalir?
KONSTITUSI september 2013
PUSTAKA
kamus hukum
Kamus Hukum
“Staatsidee/Cita Negara”(2)
B
agaimana perkembangan pembentukan cita negara suatu bangsa? Menurut A. Hamid Attamimi dalam disertasinya berjudul Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara pada 1990, adalah Bierens de Haan (1866-1943) yang mengemukakan secara jelas dan rinci bagaimana terjadinya cita negara dalam suatu bangsa dalam pengantar buku M.L. Bodlaender, Politeia, grote mannen over staat en maatschappij pada 1956. Bierens de Haan dalam pendapatnya bertolak pada pandangan negara adalah lembaga manusia. Manusialah sebagai pembentuk sebuah negara, baik sebagai makhluk perorangan dan juga makhluk sosial. Dengan sebagai makhluk perseorangan ia tidak melebur dan menyatu satu dengan yang lain. “Secara alamiah terdapat hubungan dan pertentangan (samenhang en tegenstelling) antara keduanya. Masing-masing mempunyai sifatnya sendiri-sendiri,” terang Bierens de Haan. Perbedaan keduanya terletak dar kenyataan sifatnya yang berhadapan dan dialektis, dibangun kenyataan kejiwaan yang berlainan. Hal ini memengaruhi KONSTITUSI september 2013
pembentukan pemahaman dan konsep tentang negara. Selanjutnya Bierens de Haan menyatakan, dilihat dari kejauhan orang perorangan itu hilang dan yang nampak adalah kelompok. Namun demikian, orang perorangan dan kelompok merupakan satu satuan yang orisinal dan saling bergantung. Isi kehidupan orang perorangan tidak dapat diperoleh tanpa hubungan dengan kelompok dan sebaliknya sebuah kelompok tidak dapat ada tanpa memperhitungkan orang perorangan. Masyarakat di dalam dirinya dan alamiah ingin berorganisasi yang timbul karena dorongan dari dalam dirinya. Dan, negara sebagai bentuk berorganisasi suara masyarakat, suatu bangsa. Meskipun masyarakat bangsa terbagi dalam berbagai kelompok, negara ini membentuk suatu kesatuan yang bulat dan mewakili sebuah cita (een idée vertegenwoordigt). Cita tersebut tidak menghapuskan perbedaan berbagai kelompok tersebut, namun negara menjadi jembatan berbagai kelompok tersebut. “Negara adalah produk dari suatu masyarakat bangsa dan bukan kebalikannya,” tegasnya. Lebih jauh dikatakan, suatu masyarakat bangsa (volksgemeenschap)
mewakili kesatuan cita yang memberikan kadar kepada wawasan dari suatu bangsa tersebut. Kesatuan cita yang lebih dulu ada dalam perasaan bawah sadar daripada sebuah akal yang berfikir itu merupakan sebuah cita nasional. Dengan demikian, untuk mewujudkan sebuah cita negara tersebut sebuah bangsa membentuk negara. Cita masyarakat bangsa (volksgemeenschapside) tersebut menjadi cita negara (staatsidee). Kesimpulan dari pembentukan suatu cita negara, Bierens de Haan menyatakan titik sentral dari cita negara ialah masalah kewibawaan pemerintahan atau overheidsgezag. Hal yang menentukan perbedaan dari kewibawaan sebuah pemerintahan adalah pemikiran-pemikiran tentang dasar dari kewibawaan tersebut serta tujuan campur tangan pemerintah dalam penggunaan kewibawaan dimaksud. “Maka dapatlah diketahui bahwa cita negara bangsa Indonesia berasal dari cita masyarakat bangsa Indonesia sendiri, atau untuk mengikuti bahasanya Bierens de Haan, de Indonesische staatsidee berasal dari de Indonesische volksgemeenschapsidee.,“ jelas Attamimi ketika mau menjelaskan cita bangsa Indonesia.
69
kamusPUSTAKA hukum
Mengenai bagaimana staatsidee atau cita negara bangsa Indonesia, Soepomo dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan mengemukakan teori tentang negara yang dikenal dalam ilmu negara. Terdapat teori individualistis sebagaimana diajarkan Thomas Hobbes dll, teori golongan atau teori kelas sebagaimana diajarkan oleh Karl Max dll, dan teori integralistik sebagaimana diajarkan Baruch Spinoza, Adam Muller, Hegel dll. Mengenai teori negara integralistik ini Soepomo mengemukakan, negara tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, tetapi menjamin seluruh kesatuan. Negara menurut teori integralistik, adalah susunan masyarakat yang integral, segala golongan, bagian, dan anggotanya berhubungan erat satu sama lain sebagai satu kesatuan organis. Menurut teori negara integralistik, yang terpenting dalam negara yang berdasar aliran integral ini ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada sesuatu golongan yang paling kuat, atau yang paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat. Akan tetapi, kata Soepomo negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Dasar dan bentuk susunan negara berhubungan erat dengan riwayat hukum (rechtsgeschichte) dan lembaga sosial (sociale structuur) negara. Apa yang baik dan adil bagi suatu negara belum tentu baik dan adil menurut negara lain. Tiap-tiap negara memiliki keistimewaan sehubungan dengan corak masyarakatnya. Politik pembentukan negara Indonesia harus disesuaikan dengan kenyataanya struktur masyarakat Indonesia dan tuntutan zaman. Soepomo memenjelaskan mengenai corak nasional sosialis seperti negara Jerman. Prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat dan prinsip persatuan dalam negara dalam keseluruhannya cocok dengan corak ketimuran. Selain itu, negara Dai Nippon berdasar atas persatuan lahir dan batin yang kekal antara Yang Maha Mulia Tennoo Heika, negara dan rakyat Nippon seluruhnya. Tennoo adalah
70
pusat rohani dari seluruh rakyat. Negara bersandar atas kekeluargaan. “Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai pula dengan coraknya masyarakat Indonesia,” terang Soepomo. Sedangkan dasar susunan hukum negara Eropa Barat ialah perorangan dan liberalisme, Soepomo tegas menolaknya, karena ketidaksesuaian dengan corak ketimuran. “Dasar susunan negara Sovyet Rusia pada masa sekarang, ialah diktatur dari proletariaat. Boleh jadi dasar itu
Menurut teori negara integralistik, yang terpenting dalam negara yang berdasar aliran integral ini ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada sesuatu golongan yang paling kuat, atau yang paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat. sesuai dengan keistimewaan keadaan sosial dari negeri Rusia, akan tetapi dasar pengertian negara itu bertentangan dengan sifat masyarakat Indonesia yang asli,” kata Soepomo berargumen pada momen bersejarah itu. Bagaimana struktur sosial Indonesia yang asli? Soepomo mengatakan, struktur sosial Indonesia asli sebagai ciptaan kebudayaan Indonesia, buah aliran pikiran atau semangat kebatinan bangsa Indonesia sendiri. Ahli hukum adat ini menyatakan, semangat kebatinan, struktur kerohanian bangsa Indonesia bersifat dan bercitacita persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti, yaitu persatuan antara dunia
luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakyat dan pemimpinnya. “Segala manusia sebagai seseorang, golongan manusia dalam sesuatu masyarakat dan golongan-golongan lain dari masyarakat itu dan tiap-tiap masyarakat dalam pergaulan hidup di dunia seluruhnya dianggapnya mempunyai tempat dan kewajiban hidup (dharma) sendiri-sendiri menurut kodrat alam dan segala-galanya ditujukan kepada keimbangan lahir dan batin. Manusia sebagai seseorang tidak terpisah dari seseorang lain atau dari dunia luar, golongan-golongan manusia, malah segala golongan makhluk, segala sesuatu bercampur-baur dan bersangkut-pant, segala sesuatu berpengaruh-pengaruhi dan kehidupan mereka bersangkut-paut. Inilah idee totaliter, idee integralistik dari bangsa Indonesia, yang berwujud juga dalam susunan tata negara-nya yang asli,” lanjut Soepomo. Sifat tata tatanegara Indonesia yang asli dan masih hidup, para pejabat negara ialah pemimpin yang bersatu jiwa dengan rakyat dan para pejabat negara memiliki kewajiban memegang teguh persatuan dan keimbangan dalam masyarakat. Kepala rakyat atau kepala desa bertugas menyelenggarakan dan memberi bentuk rasa keadilan rakyat dan cita-cita rakyat. Untuk mengikuti perkembangan tersebut, kepala rakyat selalu bermusyawarah agar terpelihara pertalian batin. Dalam suasana persatuan rakyat dengan pemimpin dan antar golongan rakyat, segala golongan tersebut diliputi dengan semangat gotongroyong, semangat kekeluargaan. “Maka teranglah tuan-tuan yang terhormat, bahwa jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (Staatsidee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun,” jelas arsitek Undang-Undang Dasar 1945 ini. (bersambung) Miftakhul Huda
KONSTITUSI september 2013
PUSTAKA
catatan MK
Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar
S
Pilkada dan Demokrasi
alah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah adalah pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (pilkada) secara langsung. Selain sebagai sarana manifestasi kedaulatan dan pengukuhan bahwa pemilih adalah masyarakat di daerah, pilkada juga memiliki fungsi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pertama, memilih kepala daerah sesuai dengan kehendak bersama masyarakat di daerah sehingga diharapkan dapat memahami dan mewujudkan ke hendak masyarakat di daerah. Kedua, melalui pilkada diharapkan pilihan masyarakat di daerah didasarkan pada misi, visi, program, serta kualitas dan integritas calon kepala daerah, yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Ketiga, pilkada merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana evaluasi dan kontrol publik secara politik
KONSTITUSI september 2013
terhadap seorang kepala daerah dan kekuatan politik yang menopang. Karena itu, pilkada sebagai bagian dari pemilu harus dilaksanakan secara demokratis sehingga betul-betul dapat memenuhi peran dan fungsi tersebut. Pelanggaran dan kelemahan yang dapat menyesatkan atau membiaskan esensi demokrasi dalam pilkada harus diperbaiki dan dicegah. Sengketa Pilkada Sejak menerima pengalihan wewenang memutus perselisihan hasil pilkada dari MA pada Oktober 2008 hingga saat ini, tercatat 392 perkara diregistrasi di MK. Putusan MK terhadap perkara perselisihan hasil pilkada terdiri atas 45 dikabulkan, 256 ditolak, 78 tidak dapat diterima, 6 perkara ditarik kembali, dan 7 perkara sedang dalam proses persidangan. Putusan-putusan tersebut diambil berdasarkan persidangan yang bersifat terbuka untuk umum yang tidak hanya membuktikan penghitungan hasil mana yang benar, tetapi juga selalu ada dalil
dan pembuktian pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam penyelenggaraan pilkada. Semua persidangan perkara perselisihan hasil pilkada menunjukkan ada pelanggaran dan kelemahan dalam penyelenggaraan pilkada dalam derajat yang berbeda-beda. Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam proses penyelenggaraan pilkada tentu memengaruhi kualitas demokrasi dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kualitas calon terpilih dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal yang terjadi dalam persidangan di MK telah mendorong perkembangan ruang lingkup wewenang dan putusan MK. Dihadapkan pada perkara- perkara yang di dalamnya menyuguhkan berbagai bentuk pelanggaran, MK sebagai pengawal konstitusi memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pelaksanaan pilkada tidak melanggar asas konstitusional pemilu yaitu ‘luber’ dan ‘jurdil’. Karena itu, MK tidak hanya memeriksa perbedaan penghitungan
71
catatan MK hasil pilkada, tapi juga memeriksa dan mempertimbangkan pelanggaranpelanggaran yang terjadi. Pada saat pelanggaran sudah diyakini merusak asas luber dan jurdil, MK memiliki kewajiban konstitusional untuk meluruskannya. Hal inilah yang mendasari perkembangan putusan MK untuk perkara perselisihan hasil pilkada. MK tidak lagi hanya memutuskan penghitungan siapa yang benar, tetapi juga melahirkan amar putusan penyelenggaraan pemungutan suara ulang, memasukkan bakal calon tertentu yang semula dinyatakan tidak lolos, mendiskualifikasi calon tertentu, melakukan penghitungan suara ulang, bahkan menetapkan pemohon sebagai pemenang pilkada. Bentuk Pelanggaran Setidaknya terdapat tujuh bentuk pelanggaran dan kecurangan yang pada umumnya terjadi pada setiap tahapan penyelenggaraan pilkada. Pertama, pada tahap pendaftaran pemilih acapkali terjadi data pemilih tetap tidak valid karena ada sebagian warga yang memiliki hak pilih tidak terdaftar, ada nama yang terdaftar sebagai pemilih, tetapi tidak ada orangnya, serta ada pemilih yang terdaftar lebih dari satu. Hal ini dapat terjadi, baik karena kelemahan sistem administrasi kependudukan dan sistem pendaftaran pemilih maupun karena unsur kesengajaan. Kedua, pada tahap awal juga terjadi pelanggaran dalam tahap verifikasi pasangan bakal calon yang menentukan pasangan mana yang lolos menjadi pasangan calon peserta pilkada. Ketiga, politik uang merupakan bentuk pelanggaran paling banyak didalilkan dan menjadi materi pemeriksaan persidangan di MK. Pelanggaran ini dapat terjadi di semua tahap, bahkan sebelum dimulai tahap pendaftaran pasangan bakal calon. Politik uang terjadi setidaknya dengan memanfaatkan program-program, hibah, atau bentuk lainnya yang dibiayai anggaran negara (APBD) untuk membentuk persepsi masyarakat bahwa keberhasilan program itu adalah atas jasa orang tertentu yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
72
Keempat, pelanggaran berupa pengerahan atau mobilisasi organisasi pemerintahan untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Mobilisasi dalam hal ini dapat terjadi terhadap pegawai pemerintahan, baik mulai dari tingkat atas hingga tingkat bawah di kelurahan atau desa maupun mobilisasi sarana dan prasarana untuk kepentingan pemenangan pasangan calon tertentu.
MK tidak lagi hanya memutuskan penghitungan siapa yang benar, tetapi juga melahirkan amar putusan penyelenggaraan pemungutan suara ulang, memasukkan bakal calon tertentu yang semula dinyatakan tidak lolos, mendiskualifikasi calon tertentu, melakukan penghitungan suara ulang, bahkan menetapkan pemohon sebagai pemenang pilkada.
Kelima, pelanggaran berupa ancaman atau intimidasi untuk memaksa warga masyarakat memilih pasangan calon tertentu. Intimidasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan dilakukan oleh berbagai pihak. Intimidasi dapat dilakukan
oleh aparat pemerintahan daerah dalam bentuk ancaman tidak akan mendapatkan layanan pemerintahan. Intimidasi juga dapat dilakukan oleh kelompok tertentu berupa ancaman kekerasan. Keenam, pelanggaran berupa pemberian hak suara oleh orang yang tidak berhak, baik di tempat pemungutan suara maupun di luar tempat pemungutan suara. Ketujuh, pelanggaran berupa manipulasi penghitungan hasil perolehan suara. Penghitungan suara secara bertingkat memungkinkan terjadinya manipulasi dengan mengurangi atau menambah perolehan suara calon tertentu. Model pelanggaran ini dapat dikatakan sebagai model klasik yang saat ini sudah jarang terjadi karena tuntutan keterbukaan dan saling kontrol antarpasangan calon. Perbaikan Sistem Berbagai bentuk pelanggaran tersebut pasti memengaruhi kualitas demokrasi di daerah. Akibatnya, kepala daerah yang terpilih sesungguhnya bukan merupakan kehendak rakyat. Alih-alih mendapatkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas, yang diperoleh justru kepala daerah yang hanya haus kekuasaan dan akan menyalahgunakan kekuasaan.Hal ini pasti berdampak pada penyelenggaraan pemerintahan daerah. Orientasi pemerintahan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah bukan untuk rakyat di daerah, melainkan untuk kekuasaan belaka. Namun, fakta tersebut tentu tidak perlu menjadi alasan untuk bersurut langkah, meninggalkan demokrasi dan otonomi kembali kepada otokrasi dan sentralisasi. Yang perlu dilakukan adalah perbaikan di masa mendatang, baik dari sisi electoral system maupun electoral process. Selain itu juga diperlukan penataan kelembagaan penyelenggara serta peningkatan kesadaran peserta pilkada dan warga negara agar tidak terjebak pada permainan dan pragmatisme kekuasaan yang merugikan bangsa. (Tulisan ini pernah dimuat di Harian Seputar Indonesia pada 5 Januari 2012)
KONSTITUSI september 2013
MELALUI VIDEO CONFERENCE MAHKAMAH KONSTITUSI MEMBUKA AKSES PADA PERADILAN
Catatan mk
Fakultas Hukum 1 Universitas Syiah Kuala Banda Aceh
Fakultas Hukum 11 Universitas Indonesia Depok
Fakultas Hukum 21 Universitas Udayana Denpasar
Fakultas Hukum 31 Universitas Sam Ratulangi Manado
Fakultas Hukum 2 Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
Fakultas Hukum 12 Universitas Padjadjaran Bandung
Fakultas Hukum 22 Universitas Mataram Mataram
Fakultas Hukum 32 Universitas Pattimura Ambon
Fakultas Hukum 3 Universitas Sumatera Utara Medan
Fakultas Hukum 13 Universitas Diponegoro Semarang
Fakultas Hukum 23 Universitas Nusa Cendana Kupang
Fakultas Hukum 33 Universitas Khairun Ternate
Fakultas Hukum 4 Universitas Andalas Padang
Fakultas Hukum Universitas 14 Jenderal Soedirman Purwokerto
Fakultas Hukum 24 Universitas Tanjungpura Pontianak
Fakultas Hukum 34 Universitas Cendrawasih Jayapura
Fakultas Hukum 25 Universitas Palangkaraya Palangkaraya
Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial 35 Universitas Bangka Belitung Bangka
Fakultas Hukum 5 Universitas Jambi Jambi Fakultas Hukum 6 Universitas Riau Pekanbaru Fakultas Hukum 7 Universitas Sriwijaya Palembang Fakultas Hukum 8 Universitas Bengkulu Bengkulu Fakultas Hukum 9 Universitas Lampung Bandar Lampung
10
Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang
Fakultas Hukum 15 Universitas Sebelas Maret Surakarta Fakultas Hukum 16 Universitas Gajah Mada Yogyakarta
Fakultas Hukum 26 Universitas Mulawarman Samarinda
Fakultas Hukum 17 Universitas Airlangga Surabaya
Fakultas Hukum Universitas 27 Lambung Mangkurat Banjarmasin
Fakultas Hukum 18 Universitas Brawijaya Malang
Fakultas Hukum 28 Universitas Hasanuddin Makassar
Fakultas Hukum 19 Universitas Jember Jember
Fakultas Hukum 29 Universitas Tadulako Palu
Fakultas Hukum 20 Universitas Trunojoyo Bangkalan
Fakultas Hukum 30 Universitas Haluoleo Kendari
36 Politeknik Batam Fakultas Hukum 37 Universitas Negeri Gorontalo Gorontalo Universitas Al Asyariah 38 Mandar Polewali 39
Universitas Negeri Papua Manokwari
Informasi Penggunaan Video Conference dapat menghubungi Bidang Teknologi Informasi MK Konstitusi Lantai 5 - Jl. Medan Merdeka Barat No.6 Telp. 021-23529000 ext. 1811273
Gedung Mahkamah KONSTITUSI september 2013
74
KONSTITUSI september 2013