BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
A. Tinjauan Pustaka Berdasarkan pengamatan peneliti bahwa penelitian Evaluasi Model Pembelajaran Sentra Iman dan Taqwa di Kelompok Bermain Aisyiah Suryocondro belum ada yang meneliti, namun ada beberapa karya ilmiah yang masih berhubungan dengan penelitian ini: Pertama, pada penelitian Rizki Toyibah (2014) yang berjudul Program Pembinaan IMTAQ (Iman dan Taqwa) Untuk Membangun Perilaku Keagamaan Siswa Kelas X Di MAN Wonosari Gunungkidul Yogyakarta. Berdasarkan judul penelitian tersebut, maka hasil penelitian yang dilakukan peneliti dapat disampaikan bahwasannya pelaksanaan program pembinaan IMTAQ untuk membangun perilaku keagamaan siswa kelas X di MAN Wonosari Gunungkidul Yogyakarta, memakai tiga metode, yaitu pembiasaan, pengertian, dan model. Indikator siswa berperilaku keagamaan baik apabila memiliki rasa keagamaan, pengetahuan keagamaan, serta perilaku akhlak. Namun, ternyata pada progam ini terdapat juga kendala antara lain faktor keluarga yang kurang perhatian, dan siswa yang belum serius dalam melaksanakan program pembinaan IMTAQ. Kedua, penelitian Mahyumi Rantina (2013) yang dimuat dalam jurnal Pesona PAUD berjudul Pembelajaran Agama Di Sentra Iman Dan Taqwa Taman Kanak-Kanak Huffazh Payakumbuh. Berdasarkan judul penelitian tersebut, maka
11
12
penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa di Taman Kanak-Kanak Huffazh Payakumbuh memiliki pembelajaran yang berbeda dari Taman KanakKanak lainnya yang menggunakan metode klasikal sedangkan di Kanak-Kanak Huffazh Payakumbuh menggunakan metode pembelajaran Beyond Center and Circle
Time
(BCCT).
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mendeskripsikan
pembelajaran agama di sentra iman dan taqwa di Kanak-Kanak Huffazh Payakumbuh.Berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan
ditemukan
bahwa
pembelajaran agama di sentra Iman dan taqwa yang digunakan sudah sesuai dengan perkembangan anak serta menghadirkan dunia nyata di dalam pembelajaran yang mengarah kepasa pengenalan agama lebih dalam dengan menggunakan media dan pijakan dari guru.Dengan demikian, dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran agama di sentra Iman dan taqwa mengajarkan anak untuk mengenal agama lebih mendalam dengan menghadirkan dunia nyata dalam pembelajaran. Ketiga, penelitian Mursinah (2015) yang berjudul Metode Pembelajaran Sentra Iman dan Taqwa di Kelompok Bermain Budi Mulia Jatisaba Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas Tahun Pelajaran 2013/2014. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pembelajaran pada sentra Iman dan Taqwa serta metode apa saja yang digunakan oleh pendidik dalam pembelajaran tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa materi pembelajaran di sentra Iman dan Taqwa meliputi aspek Aqidah, Akhlak dan Ibadah.Materi –materi tersebut disampaikan melalui metode bercerita, menyanyi, pembiasaan, keteladanan, bermain, bercakap–cakap, demonstrasi, dan
13
penugasan.Pemilihan metode yang tepat dan sesuai perkembangan anak menjadi kunci keberhasilan pembelajaran. Dengan metode yang menyenangkan dan bervariasi diharapkan mampu menarik minat anak dalam belajar nilai –nilai Agama dan Moral, sehingga tercipta generasi Islam yang tidak hanya berilmu tetapi juga ber Iman dan ber akhlak mulia. Secara garis besar penelitian terdahulu di atas memiliki beberapa persamaan dengan yang akan diteliti oleh peneliti selanjutnya, yaitu berfokus kepada pembelajaran iman dan taqwa dan melihat bagaimana proses pembelajaran tersebut berlangsung. Namun perbedannya dengan penelitian yang terdahulu tersebut, di sini peneliti akan lebih memfokuskan kepada evaluasi pembelajaran sentra IMTAQ yang bertujuan untuk mengukur dan menilai program pembelajaran sentra IMTAQ tersebut sudah berjalan sesuai standar yang dimiliki atau belum. Hasil akhir pada evaluasi ini nantinya akan berdampak pada kelanjutan model pembelajaran tersebut, apakah harus dilakukan perubahan atau tetap berlanjut sesuai dengan apa yang telah dilaksanakan selama sebelum diadakannya evaluasi.
B. Kerangka Teori 1. Pengertian Evaluasi Pengertian evaluasi secara umum menurut Sukardi (2015: 3) yaitu suatu proses mencari data atau informasi tentang objek atau subjek yang dilaksanakan untuk tujuan pengambilan keputusan terhadap objek atau subjek tersebut. Evaluasi dalam pendidikan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok,
14
yaitu: 1) evaluasi pembelajaran, yang digunakan untuk menentukan tingkat penguasaan tentang materi pembelajaran siswa; 2) evaluasi program untuk menentukan tingkat ketercapaian program terhadap tujuan yang telah ditetapkan; 3) evaluasi sistem yang kegunaan utamanya adalah untuk menentukan
tingkat
ketercapaian
tujuan
lembaga
dan
komitmen
kepemimpinan para pengelolanya terhadap tujuan pokok dan fungsi lembaga tersebut. Menurut Ratnawulan dan Rusdiana (2015: 19) evaluasi secara umum dapat diartikan sebagai proses sistematis untuk menentukan nilai sesuatu (tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang, ataupun objek) berdasarkan kriteria tertentu. Evaluasi mencakup sejumlah teknik yang tidak bisa diabaikan oleh seorang guru ataupun dosen. Evaluasi bukan sekumpulan teknik, melainkan suatu proses yang berkelanjutan, yang mendasari keseluruhan kegiatan pembelajaran yang baik. Evaluasi dalam pengertian luas dapat diartikan sebagai suatu proses merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi atau data yang diperlukan sebagai dasar untuk membuat alternatif keputusan. Carl H. Witherington dikutip dalam (Arifin, 2016: 5) mengemukakan bahwa “an evaluation is a declaration that something has or does not have value.”. Hal senada dikemukakan pula oleh Wand dan Brown yang dikutip dalam (Arifin, 2016: 5), bahwa evaluasi berarti “…..refer to the act or process to determining the value of something”. Kedua pendapat ini menegaskan pentingnya nilai (value) dalam evaluasi.Padahal, dalam evaluasi bukan hanya
15
berkaitan dengan nilai tetapi juga arti atau makna. Sebagaimana dikemukakan oleh Guba dan Licoln dikutip dalam (Arifin, 2016: 5) , bahwa evaluasi sebagai “a process for describing an evaluand and judging its merit and worth”. Jadi, evaluasi adalah suatu proses untuk menggambarkan peserta didik dan menimbangnya dari segi nilai dan arti.
2. Evaluasi Program Pembelajaran a. Pengertian Evaluasi Program Evaluasi program pada prinsipnya merupakan satu bagian integral dari evaluasi pendidikan pada umumnya.Beberapa batasan mengenai evaluasi program di antaranya diuraikan sebagai berikut. Evaluasi program menurut Sukardi (2009) dikutip dalam Sukardi (2015: 3) merupakan evaluasi yang berkaitan erat dengan suatu program atau kegiatan pendidikan, termasuk diantaranya tentang kurikulum, sumber daya manusia, penyelenggara program, proyek penelitian dalam suatu lembaga. Evaluasi program pada umumnya sangat memperhatikan semua elemen diklat yang berperan mendukung tercapainya tujuan lembaga. Beberapa elemen diklat di antaranya termasuk sumber daya manusia (SDM) yang terdiri atas peserta didik, instruktur, dan tenaga administrasi, kurikulum dan sistem instruksionalnya, fasilitas pembelajaran, sarana dan prasarana diklat, pengelolaan diklat, dan hubungan lembaga diklat dengan masyarakat. Program juga dapat dimaknai sebagai suatu kegiatan yang direncanakan dengan saksama, tujuan penting pengambilan keputusan.
16
Hal ini sesuai dengan anjuran Spaulding dikutip dalam (Sukardi, 2015: 3) yang mengatakan: “Program evaluation is conducted for decison making purpose.” Artinya, evaluasi program dilakukan untuk tujuan pengambilan keputusan. Sementara itu, menurut David dan Hawthorn dikutip dalam (Sukardi, 2015: 4), evaluasi bisa dipandang: “.....as a structured process that creates and synthesizes information intended to reduce uncertainty for stakeholders about a given program or policy”. Artinya, evaluasi program sebagai proses terstruktur yang menciptakan dan menyatukan informasi bertujuan untuk mengurangi ketidakpastian para pemangku kepentingan tentang program dan kebijakan yang ditentukan. b. Model Evaluasi Program Dalam ilmu evaluasi program pendidikan, ada banyak model yang bisa digunakan untuk mengevaluasi suatu program. Meskipun antara satu dengan lainnya berbeda, namun maksudnya sama yaitu melakukan kegiatan pengumpulan data atau informasi yang berkenaan dengan objek yang dievaluasi, yang tujuannya menyediakan bahan bagi pengambil keputusan dalam menentukan tindak lanjut suatu program. Model-model evaluasi ada yang dikategorikan berdasarkan ahli yang menemukan dan yang mengembangkannya, serta ada juga yang diberi sebutan sesuai dengan sifat kerjanya. Ada beberapa ahli evaluasi program yang dikenal sebagai penemu model evaluasi program adalah Stufflebeam, Metfessel, Michael Scriven, Stake, dan Glaser. Kaufman dan Thomas membedakan model evaluasi
17
menjadi delapan. Dari kedelapan model tersebut hanya model-model yang banyak dikenal serta digunakan saja(Arikunto dan Cepi, 2010: 41). 1) Goal Oriented Evaluation Model Menurut Suharsimi dan Cepi (2010: 41) Goal Oriented Evaluation Model ini merupakan model yang muncul paling awal yang menjadi objek pengamatan pada model ini adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan, terus menerus, menerus, mencek seberapa jauh tujuan tersebut sudah terlaksana di dalam proses pelaksanaan program. 2) Model Evaluasi CIPP Model evaluasi ini memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah sistem. Stufflebeam mendifinisikan evaluasi sebagai proses melukiskan (delineating), memperoleh dan menyediakan informasi yang berguna untuk menilai alternatif-alternatif pengambilan keputusan. Model CIPP terdiri dari empat jenis evaluasi yaitu context evaluation, input evaluation, process evaluation, dan product evaluation(Suharsimi dan Cepi Safrudin, 2010: 45-47). a) Context evaluation Evaluasi konteks merupakan penggambaran spesifikasi tentang lingkungan program, kebutuhan yang belum terpenuhi, karakteristik populasi dan sampel yang dilayani dan tujuan program.
18
b) Input evaluation Evaluasi lanjutan untuk membantu merencanakan keputusan, merencanakan sumber-sumber yang ada, alternatif-alternatif yang akan diambil, rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan, serta proseur kerja untuk mencapainya. c) Process evaluation Evaluasi
proses
berfungsi
untuk
membantu
mengimplementasikan keputusan sampai sejauh mana rencana telah diterapkan, hambatan-hambatan apa saja yang ditemui, dan rencanarencana apa saja yang harus direvisi. d) Product evaluation Produk evaluasi untuk membantu menetakan keputusankeputusan selanjutnya mengenai hasil yang telah dicapai, manfaat yang diperoleh dan bagaimana tindak lanjut mengenai program tersebut. Hasil/produk sangat dipengaruhi oleh konteks, input dan proses pelaksanaannya baik maka akan menghasilkan produk yang baik. Dibandingkan dengan model-model evaluasi lain, model evaluasi CIPP memiliki banyak kelebihan antara lain; (1) Lebih komprehensif, karena objek evaluasi tidak hanya pada hasil semata, tetapi mencakup konteks, masukan, proses, dan hasil.
19
(2) Model evaluasi ini menuntut agar hasil evaluasi digunakan sebagai input pembuat keputusan dalam rangka penyempurnaan sistem secara keseluruhan. (3) Model evaluasi ini sangat cocok jika digunakan untuk evaluasi program pemrosesan.Kekurangan model CIPP adalah jika diterapkan dalam bidang pembelajaran mempunyai tingkat keterlaksanaan yang kurang tinggi jika tanpa adanya modifikasi. Hal ini karena untuk mengukur konteks, masukan atau hasil akan melibatkan banyak pihak dan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tinggi. c. Pengertian Evaluasi Pembelajaran Kata dasar “pembelajaran” adalah belajar. Dalam arti sempit pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses atau cara yang dilakukan agar seseorang dapat melakukan kegiatan belajar, sedangkan belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku karena interaksi individu dengan lingkungan dan pengalaman. Perubahan tingkah laku tersebut bukan karena pengaruh obat-obatan atau zat kimia lainnya dan cenderung bersifat permanen.Istilah “pembelajaran” (instruction) berbeda dengan istilah “pengajaran” (teaching). Kata “pengajaran” lebih bersifat formal dan hanya ada di dalam konteks guru dengan peserta didik di kelas/sekolah, sedangkan kata “pembelajaran” tidak hanya ada dalam konteks guru dengan peserta didik di kelas secara formal, akan tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan
20
belajar peserta didik di luar kelas yang mungkin saja tidak dihadiri oleh guru secara fisik (Arifin, 2016:10). Menurut Hamalik (2015: 57) pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran.Manusia terlibat dalam sistem pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboraturium.Material, meliputi buku-buku, papan tulis, dan kapur, fotografi, slide dan film, audio dan video tape. Fasilitas dan perlengkapan, terdiri dari ruangan kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer.Prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian dan sebagainya. Evaluasi dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah evaluation. Evaluasi secara umum dapat diartikan sebagai proses sistematis untuk menentukan nilai sesuatu (tujuan, kegiatan, keputusan, unjuk kerja, proses, orang, ataupun objek) berdasarkan kriteria tertentu. Evaluasi mencakup sejumlah teknik yang tidak bisa diabaikan oleh seorang guru ataupun dosen. Evaluasi bukan sekumpulan teknik, melainkan suatu proses yang berkelanjutan, yang mendasari keseluruhan kegiatan pembelajaran yang baik. Evaluasi dalam pengertian luas dapat diartikan sebagai proses merencanakan, memperoleh, dan menyediakan informasi atau 3ata yang diperlukan sebagai dasar untuk membuat alternatif keputusan. (Ratnawulan & Rusdiana, 2015: 19-20)
21
d. Fungsi Evaluasi Pembelajaran Menurut Scriven (1967) dikutip dalam Arifin (2016: 16), fungsi evaluasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fungsi formatif dan fungsi sumatif.Fungsi formatif dilaksanakan apabila hasil yang diperoleh dari kegiatan evaluasi diarahkan untuk memperbaiki bagian tertentu atau sebagian besar bagian kurikulum yang sedang dikembangkan.Sedangkan fungsi sumatif dihubungkan dengan penyimpulan mengenai kebaikan dari system secara keseluruhan, dan fungsi ini baru dapat dilaksanakan apabila pengembangan suatu kurikulum telah dianggap selesai. Fungsi evaluasi memang cukup luas, bergantung dari sudut mana kita melihatnya. Bila kita lihat secara menyeluruh, fungsi evaluasi menurut (Arifin,2016: 16-18) adalah sebagai berikut: 1) Secara psikologis, peserta didik selalu butuh untuk mengetahui sejauh mana kegiatan yang telah dilakukan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam pembelajaran, mereka perlu mengetahui prestasi belajarnya sehingga ia merasakn kepuasan dan ketenangan. Untuk itu, guru perlu melakukan evaluasi pembelajaran, termasuk penilaian prestasi belajar peserta didik. 2) Secara sosiologis, evaluasi berfungsi untuk mengetahui apakah peserta didik sudah cukup mampu untuk terjun ke masyarakat. Mampu dalam arti bahwa peserta didik dapat berkomunikasi dan beradaptasi terhadap seluruh lapisan masyarakat dengan segala karakteristiknya.
22
3) Secara didaktis-metodis, evaluasi berfungsi untuk membantu guru dalam menempatkan peserta didik pada kelompok tertentu sesuai dengan kemampuan dan kecakapannya masing-masing serta membantu guru dalam usaha memperbaiki proses pembelajarannya. 4) Evaluasi berfungsi untuk mengetahu kedudukan peserta didik dalam kelompok. 5) Evaluasi berfungsi untuk mengetahui taraf kesiapan peserta didik dalam menempuh program pendidikannya. 6) Evaluasi berfungsi membantu guru dalam memberikan bimbingan dan seleksi, baik dalam rangka menentukan jenis pendidikan, jurusan, maupun kenaikan kelas. 7) Secara administratif, evaluasi berfungsi untuk memberikan laporan tentang kemajuan peserta didik kepada orang tua, pejabat pemerintah yang berwenang, kepala sekolah, guru-guru dan peserta didik itu sendiri.
3. Model Pembelajaran Sentra a. Pengertian Model Pembelajaran Ibrahim (2000:2) mendefinisikan bahwa model pembelajaran merupakan pola interaksi siswa dengan guru di dalam kelas yang menyangkut pendekatan,strategi, metode, teknik pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan mengajar di kelas. Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematik dan mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai
23
tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melakukan aktivitas pembelajaran. Model pembelajaran adalah suatu desain atau rancangan yang menggambarkan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan anak berinteraksi dalam pembelajaran, sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri anak. Adapun komponen model pembelajaran meliputi; konsep, tujuan pembelajaran, materi/tema, langkahlangkah/prosedur, metode, alat/sumber belajar, dan teknik evaluasi (Depdiknas, 2008: 19). Menurut Kardi dan Nur dikutip dalam (Mahmudin, dkk, 2016: 13), Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang membedakan dengan strategi, metode atau prosedur. Ciri-ciri tersebut ialah: 1) Rasional teoritik logis yang disusun oleh para pencipta atau pengembangnya; 2) Landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana peserta ririk belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai); 3) Tingkah laku pembelajaran yang diperlukan agar model tersebut dilaksanakan dengan berhasil; dan lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembalajaran itu dapat tercapai. b. Pembelajaran Sentra Model pembelajaran sentra dan saat lingkaran atau Beyond Center and Circle Time (Lebih Jauh Tentang Sentra dan Saat Lingkaran ) atau lebih
24
dikenal dengan model pembelajaran sentra, sentra belajar (learning center atau learning areas) (Suyanto, 2005:62) posisi melingkar untuk memberikan pijakan kepada anak yang dilakukan sebelum dan sesudah bermain.
Beyond
Centers
and
Circle
Time
(BCCT)
merupakan
pengembangan dari pendekatan Montessori, HighScope, dan Reggio Emilio.Pendekatan ini
bertujuan
untuk
merangsang
seluruh
aspek
kecerdasan anak, agar kecerdasannya dapat berkembang secara optimal, maka otak anak perlu dirangsang untuk terus berfikir secara aktif dengan menggali
pengalamannya
sendiri
(bukan
sekedar
mencontoh
atau
menghafal. Pendekatan ini memandang bermain merupakan wahana yang paling tepat dan satu-satunya wahana pembelajaran anak, karena disamping menyenangkan, bermain dalam setting pendidikan dapat menjadi wahana untuk berfikir aktif, kreatif dan inovatif. Melalui pembelajaran dengan pendekatan BCCT tersebut, maka salah satu pakar Pendidikan Anak Usia Dini bernama Helen Parkhust mulai mengembangkan sendiri model pendidikan yang disebut dengan sentra atau vak. Tokoh bernama Parkhust menurut Soejono dikutip dalam (Sujiono, 2013: 110) pernah belajar di „sekolah Montessori‟ di Italia. Sebagai anak dan asisten Montessori, ia semakin mengetahui keunggulan dan kelemahan sistem pendidikan Montessori. Menurut anggapannya, Montessori terlalu menekankan
pembelajaran
individual
sehingga
anak-anak
kurang
bersosialisasi.Selain itu, banyak alat-alat pembelajaran yang dilakukan secara kaku dan monoton.
25
Berdasarkan pertimbangan kelemahan tersebut, maka Parkhust mencoba konsep pendidikannya untuk anak cacat di sekolah menengah di Kota Dalton. Keberhasilannya mengembangkan sistem pendidikan tersebut diberi nama “The Dalton Plan”. c. Implikasi Model Pendidikan Dalton Ruangan kelas, seperti halnya kelas Montessori, kelas Dalton juga memiliki ruang kelas yang luas untuk memberikan pembelajaran klasikal.Ruangan kelas ini dapat dibagi menjadi kelas-kelas kecil, yang disebut dengan sentra atau vak.Desain tersebut menunjukkan bahwa model pendidikan Dalton memberikan pelayanan seimbang antara bentuk pembelajaran klasikal dan individual. 1) Ruangan klasikal digunakan untuk membelajarkan hal-hal yang bersifat umum, misalnya bercerita, berdoa, bernyanyi, menari dan gerak badan, serta membahas kegiatan yang akan dilakukan anak di sentra-sentra. 2) Ruangan sentra terdiri atas satu bidang pengembangan. Sebagai contoh adanya sentra persiapan, sentra balok, sentra bermain peran, sentra bahan alam, sentra Imtaq, dan lain-lain. Pada setiap sentra memiliki alat sumber belajar yang spesifik sesuai dengan tujuan pembelajarannya.
26
Bagan 1. Denah Ruang Pembelajaran Model Sentra Sentra Persiapan
Sentra Balok
Sentra Imtaq
klasikal
Sentra Bahan Alam
Sentra Main Peran
Sentra Musik dan Gerak
Penataan ruang kelas dapat disesuaikan dengan keadaan sekolah dan ukuran ruangan (Sujiono, 2013: 111). Model pembelajaran sentra membuat anak bebas memilih bermain yang disiapkan dalam satu sentra.Di dalam sentra dilengkapi dengan 3 jenis kegiatan bermain, yaitu bermain sensorimotorik, main peran, dan main pembangunan.Keragaman memfasilitasi
untuk
main dapat
atau
disebut
memilih
juga
mainan
densitas sesuai
main dengan
minatnya.Kelompok anak berpindah bermain dari satu sentra ke sentra lainnya setiap hari.Tiap sentra dikelola oleh seorang guru. Proses pembelajarannya dengan menggunakan 4 pijakan, yaitu pijakan penataan alat (pijakan lingkungan), pijakan sebelum main, pijakan selama main, dan pijakan setelah main (Pedoman Penerapan Kurikulum 2013, 2015: 12-13). d. Landasan Model Pembelajaran Sentra Berikut beberapa pasal yang berkaitan mengenai pelaksanaan model pembelajaran sentra pada anak usia dini:
27
1) Undang-undang
Republik
Indonesia
23
Tahun
2002
Tentang
Perlindungan Anak, salah satunya pada BAB III pasal 9 dan 11. Berikut isi Pasal 9: Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Berikut isi Pasal 11: Setiap anak berhak beristirahan dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasan demi pengembangannya. 2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, salah satunya Pasal 2 Ayat (1) Tentang Hak Anak yang menyatakan bahwa: Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayng baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. e. Macam-macam Sentra Pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Model
pembelajaran
sentra
Pendidikan
Anak
Usia
Dini
berdasarkanPedoman penerapan kurikulum 2013 (2015: 13-15) adalah sebagai berikut. 1) Sentra Balok Sentra balok memfalisitasi anak bermain tentang konsep bentuk, ukuran,
keterkaitan
bentuk,
kerapihan,
ketelitian,
dan
kreativitas.Bermain balok selalu dikaitkan dengan main peran mikro, dan bangunan yang dibangun anak digunakan untuk bermain peran.
28
Alat dan bahan main: a) Balok-balok dengan berbagai bentuk dan ukuran b) Balok aksesoris untuk main peran c) Lego berbagai bentuk d) Kertas dan alat tulis 2) Sentra Main Peran Kecil (Mikro) Main peran kecil mengembangkan kemampuan berpikir abstrak, kemampuan berbahasa, sosial-emosional, menyambungkan pengetahuan yang sudah dimiliki dengan pengetahuan baru dengan menggunakan alat main peran berukuran kecil. Alat dan bahan: a) Berbagai miniatur mainan b) Berbagai mainan alat rumah tangga c) Berbagai mainan mini alat kedokteran d) Berbagai mainan mini alat transportasi e) Berbagai mainan mini alat tukang 3) Sentra Main Peran Besar (Makro) Sentra main peran mengembangkan kemampuan mengenal lingkungan sosial, mengembangkan kemampuan bahasa, kematangan emosi dengan menggunakan alat main yang berukuran besar sesuai dengan ukuran sebenarnya. Alat dan bahan: a) Mainan untuk pasar-pasaran
29
b) Mainan untuk rumah-rumahan c) Mainan untuk dokter-dokteran d) Mainan untuk kegiatan pantai e) Mainan untuk tukang-tukangan f) Mainan untuk kegiatan nelayan g) Mainan salon-salonan h) Dll 4) Sentra IMTAQ Sentra IMTAQ mengenalkan kehidupan beragama dengan keterampilan yang terkait dengan agama yang dianut anak.Sentra IMTAQ untuk satuan PAUD umum mengenalkan atribut berbagai agama, sikap menghormati agama. Bahan-bahan yang disiapkan adalah berbagai maket tempat, perlengkapan ibadah, gambar-gambar, buku-buku cerita keagamaan, dan sebagainya (Depdiknas, 2008: 53). 5) Sentra Seni Sentra seni dapat dibagi dalam seni musik, seni tari, seni kriya, atau seni pahat.Penentuan sentra seni yang dikembangkan tergantung pada kemampuan sentra PAUD.Disarankan minimal ada dua kegiatan yang dikembangkan di sentra seni yakni seni musik dan seni kriya.Sentra seni mengembangkan kemampuan motorik halus, keselarasan gerak, nada, aspek sosial-emosional dan lainnya.
30
6) Sentra Persiapan Sentra persiapan lebih menekankan pengenalan keaksaraan awal pada anak.Penggunaan buku, alat tulis dapat dilakukan di semua sentra, tetapi di sentra persiapan lebih diperkaya jenis kegiatan bermainnya.Pada kelompok anak paling besar yang segera masuk sekolah dasar, frekuensi main di sentra persiapan lebih banyak.Kegiatan persiapan dapat juga diperkuat dalam jurnal siang. 7) Sentra Bahan Alam Sentra bahan alam kental dengan pengetahuan sains, matematika, dan seni.Sentra bahan alam diisi dengan berbagai bahan main yang berasal dari alam, seperti air, pasir, bebatuan, daun. Di sentra bahan alam anak memiliki kesempatan menggunakan bahan main dengan berbagai cara sesuai pikiran dan gagasan masing-masing dengan hasil yang berbeda. Gunakan bahan dan alat yang ada disekitar.Perhatikan keamanannya.Bahan dan alat yang digunakan harus bebas dari bahan beracun atau binatang kecil yang membahayakan. 8) Sentra Memasak Sentra memasak kaya dengan pengalaman unik bagi anak mengenal berbagai bahan makanan dan proses sain yang menyenangkan. Di sentra memasak anak belajar konsep matematika, sains, alam, dan sosial sehingga menunjang perkembangan kognitif, sosial-emosional, bahasa, motorik, dan juga seni, serta nilai agama.
31
Model-model tersebut di atas merupakan hasil penelitian dan penerapan para pakar pendidikan anak usia dini yang berlangsung bertahun-tahun sebelum disosialisasikan lebih luas. Pengkajian oleh para ahli dilakukan untuk mengetahui sejauhmana efektivitas model-model tersebut mampu membantu anak dalam belajar.Setiap model model memiliki kekuatan dan keunggulan masing-masing. Oleh karena itu, apa pun model yang digunakan, anak bisa bermain nyaman, aman, dan berkembang kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan perilaku baiknya. f. Pendidik atau Guru Pembelajaran Sentra Menurut Sujiono (2013:111) setiap guru haruslah seorang ahli yang menguasai dan mencintai vak atau sentra bidang studi masing-masing. Setiap guru harus kompetensi dalam memberi penjelasan secara umum pada anak-anak yang mengunjungi vak bidang studinya sesuai dengan topik/pokok bahasan yang akan dipelajari anak-anak. Selain itu guru harus berusaha memperhatikan dan mengamati pekerjaan setiap anak, menanyakan kesulitan yang dialami, memberikan bimbingan sehingga anak benar-benar menguasai vak tersebut; Guru juga memberikan arahan ketika anak menggunakan berbagai alat untuk mengkaji suatu bahan tertentu; Guru vak harus mengetahui perkembangan setiap anak dalam mengerjakan berbagai tugas, sehingga dapat mengikuti tempo dan irama perkembangan anak dalam menguasai bahan pembelajaran.
32
g. Bahan atau Tugas pada Pembelajaran Sentra Bahan pembelajaran di setiap sentra atau vak secara umum menurut Sujiono (2013: 112) terdiri dari bahan minimal dan bahan tambahan. 1) Bahan pembelajaran minimal merupakan target minimal yang harus dikuasai setiap anak di dalam setiap sentra. Bagi anak yang telah menguasai bahan minimal maka akan memperoleh bahan tambahan yang merupakan pengayaan dari bahan pembelajaran minimal tersebut. 2) Bahan pembelajaran tambahan merupakan pengayaan dari bahan minimal yang disusun dan disesuaikan dengan kenyataan dan kondisi lingkungan hidup di mana setiap anak berada. Bahan pembelajaran tambahan dapat diberikan pada setiap anak secara individual sesuai dengan tempo penguasaan anak tersebut pada bahan minimal. Namun, bahan tambahan dapat diberikan pada seluruh anak jika mereka telah menguasai bahan minimal dengan waktu yang relatif sama. Melalui pengembangan ini anak dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan nyata dengan penuh rasa tanggung jawab. Bahan pembelajaran minimal dalam Model Pendidikan Dalton sama dengan model pendidikan yang lain. Perbedaannya terletak dari cara guru menyajikan dan cara anak mengolah serta menguasai bahan tersebut. Bahan pembelajaran minimal diperkenalkan guru pada awal tahun pelajaran sebagai kontak belajar.
33
h. Proses Pembelajaran Sentra Berikut beberapa tahapan yang harus dilakukan guru saat mengajar di kelas bermodel sentra: 1) Penyambutan Anak Sambil menyiapkan tempat dan alat main, agar ada seorang pendidik yang bertugas menyambut kedatangan anak.Anak-anak langsung diarahkan untuk bermain bebas dulu dengan teman-teman lainnya sambil menunggu kegiatan dimulai.Sebaiknya orang tua atau pengasuh sudah tidak bergabung dengan anak. 2) Main Pembukaan (Pengalaman Gerakan Kasar) Pendidik menyiapkan seluruh anak dalam lingkaran, lalu menyebutkan kegiatan yang akan dilakukan. Kegiatan pembuka dapat berupa permainan tradisional, gerak dan musik, dan sebagainya.Satu kader yang memimpin, kader lainnya jadi peserta bersama anak.Kegiatan pembuka berlangsung sekitar 15 menit. Setelah selesai main pembukaan, anak-anak diberi waktu untuk pendinginan dengan cara bernyanyi dalam lingkaran, atau kegiatan permainan tebak-tebakan. Tujuannya agar anak kembali tenang.Setelah anak-anak tenang secara bergiliran dipersilahkan untuk minum atau ke kamar kecil. Setelah itu anak-aank diberi penjelasan secara garis besar secara klasikal tentang bahan pembelajaran pada suatu sentra. Anak-anak dapat memilih sentra yang akan dipelajari. Untuk mengembangkan sosiobilitas,
34
guru memperbolehkan anak mengerjakan tugas tertentu secara bersamasama. Dengan cara ini maka setiap anak akan memiliki kesempatan bersosialisasi, bekerja sama dan tolong menolong. 3) Kegiatan Kelompok di Setiap Sentra Berikut beberapa kegiatan belajar yang dilakukan guru terhadap peserta didik pada pembelajaran sentra: a) Pijakan pengalaman sebelum main (1) Pendidik dan anak duduk melingkar. Pendidik memberi salam kepada anak-anak, menanyakan kabar anak-anak. (2) Pendidik meminta anak-anak untuk memperhatikan siapa saja yang tidak hadir hari ini. (3) Berdoa bersama, setiap anak digilir untuk memimpin doa hari ini. (4) Pendidik menyampaikan tema hari ini dan dikaitkan dengan kehidupan anak. (5) Pendidik membacakan buku yang terkait dengan tema. Setelah selesai membaca, pendidik menanyakan kembali isi cerita. (6) Pendidik mengaitkan isi cerita dengan kegiatan main yang akan dilakukan. (7) Pendidik mengenalkan tempat dan semua alat yang sudah disiapkan. (8) Dalam
memberikan
pijakan,
pendidik
harus
mengaitkan
kemampuan apa yang akan muncul pada anak, sesuai dengan rencana belajar yang sudah disusun.
35
(9) Pendidik menetapkan bagaimana aturan main, memilih teman, memilih maninan, cara menggunakan alat. (10) Setelah anak siap main, pendidik mempersilakan alat untuk bermain. Agar lebih tertib pendidik dapat mengatur giliran main, misalnya dengan urutan warna baju, huruf depan anak. b) Pijakan Pengalaman Selama Anak Main (1) Pendidik berkeliling di antara anak-anak yang sedang bermain. (2) Memberi contoh cara main kepada anak yang belum dapat menggunakan alat atau bahan. (3) Memberikan dukungan dan pernyataan positif tentang pekerjaan yang dilakukan. (4) Memancing anak dengan pertanyaan terbuka untuk memperluas cara main anak. (5) Memberikan bantuan apabila ada anak yang membutuhkan. (6) Memberikan dorongan agar anak mencoba dengan cara lain sehingga anak kaya pengalaman. (7) Mencatat
yang
dilakukan
anak
(jenis
permainan,
tahap
perkembangan, tahap sosial). (8) Mengumpulkan hasil kerja anak. Mencatat nama dan tanggal pada lembar kerja anak. (9) Bila waktu hampir selesai, pendidik memberitahukan agar anakanak bersiap-siap menyelesaikan kegiatan.
36
c) Pijakan pengalaman Setelah Main (1) Bila waktu habis, pendidik memberi tahu sudah saatnya untuk membereskan bersama-sama alat dan bahan yang sudah diapakai bermain. (2) Bila mainan telah dirapikan, pendidik membantu merapikan baju anak. (3) Bila anak sudah rapi, mereka diminta untuk duduk melingkar bersama pendidik. (4) Setelah semua duduk dalam lingkaran, pendidik menanyakan pada setiap anak tentang kegiatan main yang tadi dilakukan. Kegiatan ini melatih daya ingat anak dan melatih anak menemukan gagasan dan pengalaman mainnya. d) Makan bekal bersama (1) Usahakan dalam setiap pertemuan ada kegiatan makan bersama. Diusahakan satu kali dalam satu bulan disediakan makan untuk perbaikan gizi. (2) Sebelum makan bersama, pendidik menanyakan apakah ada anak yang tidak membawa makanan, bila ada tanyakan siapa yang mau berbagi makanan. (3) Pendidik memberitahukan jenis makan baik dan yang kurang baik.
37
(4) Jadikan waktu makan bekal sebagai pembiasaan tatacara yang baik saat makan. (5) Libatkan anak saat membereskan dan membersihkan bekas makanan. e) Kegiatan Penutup (1) Setelah semua anak berkumpul membentuk lingkaran, pendidik dapat mengajak anak untuk bernyanyi atau membaca puisi. Pendidik menyampaikan rencana kegiatan untuk besok. (2) Pendidik meminta anak untuk memimpin doa penutup. (3) Sebelum pulang anak bergiliran bersalaman dengan pendidik (Sujiono, 2013: 112-114). i. Evaluasi Pembelajaran Sentra Evaluasi kemajuan perkembangan anakdilakukan setiap pertemuan dengan cara mencatat perkembangan kemampuan anak dalam hal motorik kasar, motorik halus, berbahasa, sosial dan aspek-aspek lainnya. Pencatatan kegiatan main anak dilakukan oleh pendidik.Selain mencatat kemajuan belajar anak, juga dapat menggunakan lembaran ceklist perkembangan anak, mengumpulkan hasil karya anak sebagai bahan evaluasi dan melaporkan perkembangan belajar anak kepada orang tua masing-masing (Departemen Pendidikan Nasional 2007).
38
4. Pembelajaran Sentra Iman dan Taqwa (IMTAQ) a) Pengertian Iman dan Taqwa Menurut Glasse dikutip dalam (Eniyawati, 2014: 258) pengertian iman secara bahasa berasal dari bahasa Arab amina-yu’minu-imanan yang berarti percaya.Terkait dengan aqidah, iman mengandung makna al-tashdiq yakni pembenaran terhadap suatu hal, yang tidak dapat dipaksakan oleh siapapun karena iman terletak dalam hati yang hanya dapat dikenali secara pribadi. Menurut syara‟, iman diartikan sebagai pembenaran terhadap ajaran Nabi Muhammad SAW, yakni beriman kepada Allah, para malaikat, para nabi dan rasul, hari kiamat, qadha dan qadar. Sebagaimana hadits Rasul SAW. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. mengenai pertanyaan Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad tentang Iman:
ِ ااهلل ومالَئِ َكتِ ِه وُكتُبِ ِه ورسلِ ِه والْي وِم ِ ِ ِ اآلخ ِر َوتُ ْؤِم َن َ ََخِ ِِب ْي َع ِن اْ ِإل ْْياَ ِن ق ْ فَأ َ َ أَ ْن ْتؤم َن ب:ال ْ َ َ ُ َُ َ )باِلْ َق َدر َخ ِْْيهِ َو َشِّرِه ِه (متفق عليه Artinya: “Beritahukan aku tentang Iman”. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun buruk” (Shahih Muslim)dikutip dalam Eniyawati (2014:259). Adapun menurut Glasse dikutip dalam (Eniyawati, 2014: 259) pengertian taqwa secara bahasa berasal dari bahasa Arab waqa-yaqiwiqayatan yang berarti menutupi, menjaga, berhati-hati dan berlindung. Sedangkan menurut syara‟, taqwa ialah memelihara diri dari siksaan Allah
39
dengan mengikuti segala apa yang diperintah-Nya dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya. Dengan demikian pengertian taqwa menurut istilah berarti melaksanakan segala aturan yang telah diperintahkan Allah dan menjauhi segala yang dilarang Allah dengan penuh rasa rela dan ketaatan semata-mata hanya untuk mencapai ridha dari Allah. b) Pengertian Pembelajaran sentra Iman dan Taqwa (IMTAQ) Kegiatan pada pembelajaran sentra IMTAQ adalah untuk menamkan nilai-nilai kehidupan beragama, keimanan, ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama merupakan suatu konsep yang abstrak yang perlu diterjemahkan menjadi aktivitas yang konkrit bagi anak.. Bahan-bahan yang disiapkan adalah berbagai bangunan ibadah berbentuk mini, alat-alat beribadah dan kitab berbagai agama, buku-buku cerita, gambar-gambar dan alat permainan lain yang bernuansa agama (Depdiknas, 2008: 53). Sentra ini anak melakukan kegiatan bermain untuk mengenal agama Islam seperti; rukun Islam (syahadat, shalat, puasa, zakat, haji), rukun iman/akidah (iman kepada Allah, malaikat, nabi dan rasul, kitab Allah, hari akhir), al-Qur‟an (mengaji) dan akhlak (mengucapkan kalimat thayyibah, akhlakul karimah, salam, dan lain-lain). Berdasarkan Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak pada pendidikan usia dini, pengembangan aspek nilai agama-moral merupakan aspek yang sangat berpengaruh dalam perkembangan peserta didik setelah mengikuti pembelajaran sentra IMTAQ. Oleh karena itu, seorang guru
40
dituntut agar dapat mengajar secara profesional dan mampu menyesuaikan dengan kebutuhan peserta peserta didik agar dapat memenuhi aspek tersebut secara baik.
c) Pengembangan Nilai Agama dan Moral Pengembangan moral tergantung dari perkembangan kecerdasan.Hal tersebut terjadi dalam tahapan yang dapat diramalkan yang berkaitan dengan tahapan dalam perkembangan kecerdasan. Dengan berubahnya kemampuan menangkap dan mengerti, anak-anak bergerak ke tingkat perkembangan moral yang lebih tinggi, sementara urutan tahap perkembangan moral tetap, usia anak mencapai tahapan ini berbeda menurut tingkat perkembangan kecerdasan anak. John
Dewey dikutip
dalam
(Hidayat,
2008:
1.4)
tahapan
perkembangan moral seseorang itu akan melewati 3 fase sebagai berikut: 1) Fase Pre Moral atau Pre Conventional; pada level ini sikap dan perilaku manusia banyak dilandasi oleh impuls biologis dan sosial. 2) Tingkat konvensional; perkembangan moral manusia pada tahapan ini banyak didasari oleh sikap kritis kelompoknya. 3) Autonomous: pada tahapan ini perkembangan moral manusia banyak dilandaskan pada pola pikirnya sendiri. Apresiasi terhadap teori John Dewey di atas adalah bahwa pada dasarnya manusia memiliki kesamaan pola perkembangan moral, seperti pada awal kehidupannya manusia tidak memiliki konsep berkehidupan yang
41
mencerminkan nilai moral. Pendidikan memiliki peran sangat strategis dalam hal ini, sebab tanpa landasan pendidikan, manusia akan benyak dikendalikan oleh dorongan kebutuhan biologisnya belaka ketika hendak menentukan segala sesuatu (Hidayat, 2008: 1.5). Pengembangan nilai-nilai agama merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk sikap dan kepribadian anak.Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk memahami masalah makna dan nilai universal, untuk menilai bahwa tindakan hidup dan jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan lainnya. Kecerdasan spiritual berpusat pada prinsip atau kebenaran hakiki yang bersifat universal dan abadi yang tahapannya meliputi: proses penjernihan emosi, membangun mental, ketangguhan pribadi, dan ketangguhan sosial (Yetti,dkk, 2016: 20-21). Menurut Mansur (2011: 47-48) ada beberapa teori timbulnya jiwa keagamaan pada anak, yakni: (1) Rasa ketergantungan (sense of depende) Manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat kebutuhan, yakni keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru
(new
experience),
keinginan
untuk
mendapat
tanggapan
(response), dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan pengalaman
hidup yang
dalam
ketergantungan.Melalui
diterimanya
dari
lingkungan
terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
pengalamanitu
kemudian
42
(2) Instink keagamaan Berdasarkan pernyataan Haryadi (2003: 5-6) Bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink, di antaranya instink keagamaan.Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna. Dengan demikian pendidikan agama perlu diperkenalkan kepada anak jauh sebelum usia 7 tahun . Berdasarkan pernyataan Mansur (2011: 48-50) perkembangan agama anak dapat melalui beberapa fase (tingkatan), yakni: (1) The fairy tale stage (tingkat dongeng) Pada tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun.Pada anak dalam tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi.Pada tingkatan ini anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya.Kehidupan pada masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng yang kurang masuk akal. (2) The realistic stage (tingkat kenyataan) Tingkat ini dimulai sejak anak masuk SD hingga sampai ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini ide ketuhanan anak sudah mencerminkan
konsep-konsep
yang
berdasarkan
kepada
kenyataan.Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan
43
pengajaran agama dari orang dewasa lainnya.pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. (3) The individual stage (tingkat individu) Anak pada tingkat ini memiliki kepekaan emosi yang paling sejalan dengan perkembangan usia mereka. Ada beberapa alas an mengenalkan nilai-nilai agama kepada anak usia dini, yaitu anak mulai punya minat, semua perilaku anak membentuk suatu pola perilaku, mengasah potensi positif diri, sebagai individu, makhluk sosial dan hamba Allah. Agar minat anak tumbuh subur, harus dilatih dengan cara menyenangkan agar anak tidak merasa terpaksa dalam melaksanakan kegiatan. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anakanak tumbuh mengikuti pola ideas concept on authority.Ide keagamaan anak hampir sepenuhnya autoritas, maksudnya konsep keagaman pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Berdasarkan hal itu, Mansur (2011: 52-55) menyatakan bahwa bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi menjadi: (1) Unreflective (tidak mendalam) Mereka mempunyai anggapan atau menerima terhadap ajaran agama dengan tanpa kritik.Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.
44
(2) Egosentris Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia
perkembangannya
dan
akan
berkembang sejalan
dengan
pertambahan pengalamannya. semakin bertumbuh semakin meingkat pula egoisnya. Sehubungan dengan itu, maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. (3) Anthropomorphis Konsep ketuhanan pada diri anak menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran, mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan mendukung orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada dalam tempat yang gelap.Anak menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung ke rumahrumah mereka sebagaimana layaknya orang mengintai. (4) Verbalis dan ritualis Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Perkembangan agama pada anak sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan agama anak itu di usia dewasanya. Banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa kanak-kanak mereka.Latihanlatihan bersifat verbalis dan upacara keagamaan yang bersifat ritualis
45
(praktek) merupakan hal yang berarti dan merupakan salah satu ciri dari tingkat perkembangan agama pada anak-anak. (5) Imitatif Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru.Berdoa dan shalat, misalnya, mereka laksanakan karena hasil melihat realitas di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif.Dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung, dan sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak. (6) Rasa heran Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak.Rasa kagum pada anak-anak ini belum bersifat kritis dan kreatif, sehingga mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal suatu pengalaman yang baru. Dengan demikian kompetensi dan hasil belajar yang perlu dicapai pada aspek pengembangan moral dan nilai-nilai agama adalah kemampuan melakukan ibadah, mengenal dan percaya akan ciptaan Tuhan dan mencintai sesama manusia. Selain
beberapa
penjelasan
dari
beberapa
teori
mengenai
pengembangan Nilai Agama dan Moral tersebut, maka PERMENDIKBUD Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, juga membuat Standar pencapaian pada aspek
46
Nilai Agama dan Moral yang diharapkan mampu tercapai pada anak kelompok usia 2-3 tahun setelah mengikuti pembelajaran sentra IMTAQ atau pembelajaran keseharian lainnya yang menunjang pencapaian aspek tersebut. Berikut Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak kelompok usia 2-4 tahun lingkup perkembangan Nilai Agama dan Moral (NAM). Tabel 1. Standar Isi Tentang Tingkat Pencapaian Perkambangan Anak Kelompok Usia Lahir 2-4 Tahun Lingkup Perkembangan
Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak 2-3 tahun
Nilai Agama dan Moral 1. Mulai meniru
3-4 tahun 1. Mengetahui perilaku yang
gerakan
berlawanan meskipun
berdoa/sembahyan
belum selalu dilakukan
g sesuai dengan
seperti pemahaman
agamanya.
perilaku baik-buruk,
2. Mulai memahami kapan mengucap salam, terima kasih, maaf, dsb.
benar-salah, sopan-tidak sopan. 2. Mengetahui arti kasih sayang kepada ciptaan Tuhan. 3. Mulai meniru doa pendek sesuai dengan agamanya.
47
5. Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebenarnya telah ditemukan oleh para ahli bahkan para filsuf, baik filsuf Barat maupun Timur, termasuk filsuf Indonesia. Beberapa ahli atau filsuf tersebut di antaranya adalah Pestalozzi, Froebel, Montessori, Al-Ghazali, Ibn Sina, Ki Hadjar Dewantara, Hasyim Asyarie, Ahmad Dahlan, dan lain-lain. Sebagian umum pandangan mereka dapat dipetakan menjadi dua perspektif.Kedua perspektif PAUD menurut para filsuf tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, perspektif pengalaman dan pelajaran.PAUD adalah stimulasi bagi masa yang penuh dengan kejadian penting dan unik yang meletakkan dasar bagi seseorang di masa dewasa. Menurut Fernie dikutip dalam (Suyadi dan Ulfah, 2013: 16) meyakini bahwa pengalaman-pengalaman belajar awal tidak akan pernah bisa diganti oleh pengalaman-pengalaman belajar awal tidak akan pernah bisa diganti oleh pengalaman-pengalaman berikutnya, kecuali dimodifikasi. Kedua, perspektif hakikat belajar dan perkembangan. PAUD adalah suatu proses yang berkesinambungan antara belajar dan perkembangan selanjutnya. Menurut Ornstein dikutip dalam (Suyadi dan Ulfah, 2013:17) menyatakan bahwa anak pada masa usia dininya mendapat rangsangan yang cukup dalam mengembangkan kedua belah otaknya (otak kanan dan otak kiri) akan memperoleh kesiapan yang menyeluruh untuk belajar dengan sukses atau berhasil pada saat memasuki SD.
48
Pendidikan
Anak
Usia
Dini
merupakan
salah
satu
bentuk
penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilkau serta beragama), bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. Contohnya, ketika menyelenggarakan lembaga pendidikan seperti Kelompok Bermain (KB), Taman Kanak-Kanak (TK) atau lembaga PAUD yang berbasis pada kebutuhan anak (Sujiono, 2013: 6-7). a. Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini Anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia enam tahun. Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak. Usia dini merupakan usia di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Para pakar pendidikan usia dini menyatakan bahwa anak usia dini disebut sebagai usia emas (golden age) (Mahmudin, dkk, 2016: 1) Secara institusional, Pendidikan Anak Usia Dini juga dapat diartikan sebagai
salah
satu
menitikberatkan pada
bentuk
penyelenggaraan
pendidikan
peletakan dasar kea rah pertumbuhan
yang dan
perkembangan baik koordinasi motoric (halus dan kasar), kecerdasan emosi, kecerdasan jamak (multiple intelligences) maupun kecerdasan spiritual. Sesuai dengan keunikan dn pertumbuhan Anak Usia Dini, penyelenggaraan
49
Pendidikan bagi Anak Usia Dini disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh Anak Usia Dini itu sendiri. Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 28 tentang Pendidikan Anak Usia Dini dinyatakan bahwa “(1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, (2) pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non-formal, dan/atau informal, (3) Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal: TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat, (4) Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan non-formal: KB, TPA, atau bentuk lain yang sederajat, (5) Pendidikan usia dini jalur pendidikan informal: pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan, dan (6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.” (Suyadi dan Ulfah, 2013: 17-18). Pendidikan pada anak usia dini pada dasarnya meliputi seluruh upaya dan tindakan yang dilakukan oleh pendidik dan orang tua dalam proses perawatan, pengasuhan dan pendidikan pada anak dengan menciptakan aura dan lingkungan dimana anak dapat mengeksplorasi pengalaman yang memberikan kesempatan kepadanya untuk mengetahui dan memahami pengalaman belajar yang diperolehnya dari lingkungan, melalui cara mengamati, meniru, dan bereksperimen yang berlangsung secara berulang-ulang dan melibatkan seluruh potensi dan kecerdasan anak (Sujiono, 2013: 7).
50
b. Tujuan Pendidikan Anak Usia Dini Secara umum tujuan Pendidikan Anak Usia Dini ialah memberikan stimulasi atau rangsangan bagi perkembangan potensi anak agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Dalam hal ini, posisi Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, dan cakap (Depdiknas: 2007). Tujuan pendidikan Anak Usia Dini yang lebih ekstrim dikemukakan oleh Suyanto yang dikutip dalam (Suyadi dan Ulfah, 2013: 19) yang menyatakan bahwa tujuan PAUD adalah untuk mengembangkan seluruh potensi anak (the whole child) agar kelak dapat berfungsi sebagai manusia yang utuh sesuai falsafah suatu bangsa. Manusia utuh dalam pandangan Islam disebut Insan Kamil atau manusia sempurna.Untuk menjadi manusia sempurna atau utuh, harus terpelihara fitrah dalam dirinya.Fitrah adalah konsep Islam tentang anak, dimana anak dipandang sebagai makhluk unik yang berpotensi positif.