COPYRIGHT © AQUASAINS 2014
Cover Desain Photo Properties
: Tim Editorial : ( coralreef and seagrass at kubur island) Eko Efendi
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kehadirat Allah SWT karena Penyusunan Jurnal “AQUASAINS” telah selesai. Jurnal ini disusun untuk mengapresiasi dan mempublikasi hasil-hasil penelitian, dan kajian ilmiah bidang perikanan dan sumberdaya perairan. Untuk mendukung tujuan tersebut, jurnal ini mengkhususkan diri dengan materi-materi dalam bidang perikanan dan sumberdaya perairan. Edisi kedua Nomor dua ini memuat sepuluh artikel yang diharapkan akan menambah wawasan dan pemahaman di bidang perikanan dan sumberdaya perairan. Pada kesempatan ini redaksi menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah mengirimkan artikelnya-artikelnya. Redaksi akan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh kalangangan akademisi maupun praktisi baik dari dalam lingkungan maupun diluar Universitas Lampung untuk mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya. Akhir kata semoga jurnal ilmu perikanan dan sumberdaya perairan “AQUASAINS’ ini dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya. Bandar Lampung, Januari 2014
Redaksi
DAFTAR ISI Vol II No 2 Ira Kajian Kualitas Perairan Berdasarkan Parameter Fisika Dan Kimia Di Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari Sulawesi Tenggara …………….. 119 - 124 Muarif, Qadar Hasani dan Henni Wijayanti Toksisitas Metil Metsulfuron Hubungannya Dengan Maskulinitas Copepoda Daphnia Sp.…………………………………………………….. 125 - 130 Trisnani Dwi Hapsari Distribusi Dan Margin Pemasaran Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Di Tpi Ujungbatu Jepara……………………………… 131 - 138 Mahrus Ali, Suparmono dan Siti Hudaidah Evaluasi Kandungan Formalin Pada Ikan Asin Di Lampung …………….. 139 - 144 Eva Susanti, Esti Harpeni, Agus Setyawan dan Berta Putri Penapisan Bakteri Pendegradasi Total Ammonia Nitrogen Dari Sedimen Tambak Tradisional Udang Windu (Penaeus Monodon) …………………. 145 - 148 Retna Handayani, Y. T. Adiputra dan Wardiyanto Identifikasi Dan Keragaman Parasit Pada Ikan Mas Koki (Carrasius auratus) Dan Ikan Mas (Cyprinus carpio) Yang Berasal Dari Lampung Dan Luar Lampung………………………………………………………… 149 - 156 Dahlia Mubarokah, Tarsim dan Tutik Kadarini Embriogenesis Dan Daya Tetas Telur Ikan Pelangi (Melanotaenia parva) Pada Salinitas Yang Berbeda ........................................................................ 157 - 162 Sulistyowati Analisis Efisiensi Usaha Penangkapan Nelayan Jaring Arad di TPI Roban Kabupaten Batang………………………………………………………… 163 - 168 Siti Hudaidah, Ainul Kahfi, Gesty Ayu Akbaidar, Wardiyanto dan Y.T. Adiputra Modifikasi Biosekuritas, Peningkatan Performa Tambak Dan Keberlanjutan Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Di Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung………………………………… 169 - 176 Vivi Endar Herawati Transfer Nutrisi Dan Energi Larva Udang Vanname (Litopennaeus vannamei) Dengan Pemberian Pakan Artemia Sp. Produk Lokal Dan Impor………..…………………………………………………………….. 177 - 186
DAFTAR ISI Vol II No 1
Ahmad Mustafa dan Abdullah Strategi Pengaturan Penangkapan Berbasis Populasi Dengan Alat Tangkap Bubu Rangkai Pada Perikanan Rajungan: Studi Kasus Di Perairan Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara …………………….. 45 - 52 Nadisa Theresia Putri, Limin Santoso dan Reza Samsudin Aplikasi Bungkil Inti Sawit Melalui Pemberian Enzim Rumen Dan Fermentasi Sebagai Bahan Pakan Ikan Nila Best (Oreochromis niloticus) ………………………………………………………………. 53 - 56 Andri Kurniawan dan Ardiansyah Kurniawan Studi Potensi Teripang Di Perairan Bangka Sebagai Sumber Steroid Untuk Sex Reversal Ikan Nila ………………………………………… 57 - 60 Dwi Puji Hartono dan Dian Febriani Pengaruh Lama Waktu Pemberian Kejutan Dingin Pada Pembentukan Individu Triploid Ikan Patin (Pangasius sp) ………………………….. 61 - 68 Okta Bakara, Limin Santoso dan Deisi Heptarina Enzim Mananase Dan Fermentasi Jamur Untuk Meningkatkan Kandungan Nutrisi Bungkil Inti Sawit Pada Pakan Ikan Nila Best (Oreochromis niloticus) ………………………………………………. 69 - 72 Supyan, Sulistiono dan Etty Riani Karakteristik Habitat Dan Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Kelapa (Birgus latro) di Pulau Uta, Propinsi Maluku Utara ………………… 73 - 82 Yayu Saskia, Esti Harpeni dan Tutik Kadarini Toksisitas Dan Kemampuan Anestetik Minyak Cengkeh (Sygnium aromaticum) Terhadap Benih Ikan Pelangi Merah (Glossolepis incisus) 83 - 88 Ira, Dedi Oetama dan Juliati Kerapatan Dan Penutupan Lamun Pada Daerah Tanggul Pemecah Ombak Di Perairan Desa Terebino Propinsi Sulawesi Tengah ………. 89 - 96 Irvan Avianto, Sulistiono dan Isdrajad Setyobudiandi Karakteristik Habitat Dan Potensi Kepiting Bakau (Scylla serrata, S.transquaberica, and S.olivacea) Di Hutan Mangrove Cibako, Sancang, Kabupaten Garut Jawa Barat ……………………………… 97 – 106
Eko Efendi dan Andri Purwandani Korelasi Asian Monsoon, El Nino South Oscilation Dan Indian Ocean Dipole Terhadap Variabilitas Curah Hujan Di Propinsi Lampung …… 107 - 112 Herman Yulianto Pemetaan Sebaran Spasial Kualitas Air Unsur Hara Perairan Teluk Lampung……………………………………………………………….. 113 - 118
Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No.1, Gedung Meneng, Bandar Lampung 35145. Email :
[email protected];
[email protected] Website : http://ejournal.unila.ac.id/2012/09/10/aquasains/ http://perikanan.unila.ac.id/index.php/aquasains.html; http://aquasains.wordpress.com/
PERNYATAAN PEMINDAHAN HAK MILIK (COPYRIGHT TRANSFER STATEMENT) Ketika naskah diterima untuk dipublikasikan, Hak Milik dipindahkan ke Jurnal Aquasains. Pemindahan Hak Milik memindahkkan kepemikikan eksklusive untuk mereproduksi dan mendistribusikan naskah, termasuk cetakan lepas, penerjemahan, reproduksi fotografi, mikrofilm, material elektronik (offline maupun Online) atau bentuk reproduksi lainnya yang serupa dengan aslinya. When the article is accepted for publication, its copyright is transferred to Aquasains Journal. The copyright transfer convers the exclusive right to reproduce and distribute the article, including offprint, translation, photographic reproduction, microfilm, electronic material, (offline or online) or any other reproduction of similar nature. Penulis menjamin bahwa artikel adalah asli dan bahwa penulis memiliki kekuatan penuh untuk mempublikasikannya. Penulis menandatangani dan bertanggungjawab untuk melepaskan bahan naskah sebagian atau keseluruhan dari semua penulis. Jika naskah merupakan bagian dari skripsi mahasiswa, maka mahasiswa tersebut wajib menandatangani persetujuan bahwa pekerjaannya akan dipublikasikan. The Author warrant that this article is original and that the author has full power to publish. The author sign for and accepts responsibility for releasing this material on behalf os any and all-author. If the article based on or part os student’s thesis, the student needs to sign as his/her agreement that his/her works is going published.
Judul Naskah Title of Article
:
Penulis Author
:
Tanda Tangan Penulis Author’s Signature
:
Tanda Tangan Mahasiswa Student’s Signature Tanggal Date
: :
…………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………
Panduan Untuk Penulis Persyaratan Legal
Legal Requirement
Penulis harus menjamin bahwa naskah tidak akan dipublikasikan dimanapun dalam bahasa yang sama atau berbeda tanpa izin dari pemilik hakcipta, yang menjamin hak pihak ketiga tidak akan dilanggar, dan penerbit tidak akan bertanggung jawab jika ada klaim dari pihak ketiga. Penulis yang menyertakan bagian gambar atau teks yang sudah dipublikasikan di lain tempat yang membutuhkan izin dari pemilik harus menyertakan bukti seperti izin atau persetujuan yang diperoleh ketika akan megirimkan makalahnya. Materi yang diterima tanpa bukti akan dianggap asli dari penulis. Naskah harus dilengkapi dengan “Pernyataan Pemindahan Hakmilik”
The author(s) guarantee(s) that the manuscript will not be published elsewhere in any language without the consent of the copyright owners, that the rights of third parties will not be violated, and that the publisher will not be held legally responsible should there be any claims for compensation. Authors wishing to include figures or text passages that have already been published elsewhere are required to obtain permission from the copyright owner(s) and to include evidence that such permission has been granted when submitting their papers. Any material received without such evidence will be assumed to originate from the authors. Manuscripts must be accompanied by the ‘‘Copyright Transfer Statement’’.
Prosedur Editorial
Editorial Procedure
Makalah harus merupakan hasil penelitian yang relatif baru. Semua naskah adalah subjek untuk peer review. Penulis harus mengirimkan naskahnya dalam bentuk elektronik dengan format LYX atau Word dan PDF ke alamat redaksi: Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No.1 Bandar Lampung 35145 Email :
[email protected] [email protected] Naskah yang dikembalikan ke penulis untuk revisi harus dikirim kembali dalam waktu 4 minggu, sebaliknya jika tidak akan dipertimbangkan telah menyatakan menarik diri. Naskah yang diyatakan ditolak tidak akan dikembalikan ke penulis (kecuali Ilustrasi asli). Makalah yang tidak sesuai dengan aturan jurnal akan dikembalikan ke penulis untuk direvisi sebelum dipertimbangkan untuk dipublikasi. Penulis bertanggung jawab terhadap keakuratan pustaka.
Papers must present scientific results that are essentially new. All manuscripts are subject to peer review. Authors should submit their manuscripts electronically as Postscript or PDF to: Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No.1 Bandar Lampung 35145 Email :
[email protected] [email protected] Manuscripts which are returned to the authors for revision should be sent back within 4 weeks; otherwise they will be considered withdrawn. Rejected manuscripts will not be returned to the authors (except for original illustrations). Papers that do not conform to the journal norms may be returned to the authors for revision before being considered for publication. The author is responsible for the accuracy of the references.
Persiapan Naskah
Manuscript Preparation
Untuk membantu penulis menyiapkan naskah, Aquasains akan menyediakan template dalam bentuk paket makro LYX dan template dalam bentuk word yang dapat digunakan dengan MS Office Word
General remarks To help you prepare your manuscript, Aquasains offers a LYX macropackage as well as a template that can be used with Winword 2007 or 2010 or higher. Title page The title page should include:
2007 dan 2010 atau versi yang lebih tinggi sesuai dengan perkembangan teknologi. Halaman Judul.Halaman judul harus termasuk: – Nama(nama) Penulis – Judul harus ringkas dan informatif – Intitusi yang berafiliasi dengan penulis dan alamat penulis – Alamat Email, telpon/HP dan nomor fax untuk korespondensi dengan penulis Abstrak.Tiap Makalah harus didahuli dengan abstrak berisikan hasil yang paling penting dan kesimpulan yang dapat ditulis dalam bahasa indonesia atau bahasa inggris dengan tidak lebih dari 300 kata. Kata Kunci. Tiga atau enam katakunci harus disediakan setelah abstrak untuk tujuan pengindekskan. Singkatan. Singkatan harus didefinisikan pada saat pertama kali disebutkan dalam abstaks dan disebutkan ulang pada tubuh naskah utama dan digunakan secara konsisten untuk selanjutnya. Daftar simbol yang harus mengikuti abstraks dalam bentuk daftar jika diperlukan. Penomoran Bab harus dalam bentuk desimal. Satuan Internasional (SI) harus digunakan. Catatan kaki yang mendasar pada teks harus diberi nomor secara berurutan dan ditempatkan pada bagian bawah halaman dimana dirujuk Catatan Kaki. Catatan pada halaman judul tidak diberikan simbol perujuk. Catatan kaki pada teks diberi nomor secara berurutan, begitu juga dengan tabel harus ditunjukkan dengan huruf kecil superscript (atau bintang untuk nilai signifikan dan data statistik lainnya). Pendanaan. Penulis diharapkan untuk mengungkapkan semua bentuk komersialisasi atau asosiasi lain yang mungkin memici konflik kepentingan yang berhubungan dengan materi yang dikirim. Semua sumber pendanaan yang mendukung pekerjaan dan institusi atau perusahaan yang berafiliasi dengan penulis harus diakui. Apendiks. Jika ada satu atau lebih apendiks, harus diberi nomr secara berurutan. Persamaan dalam apendiks harus ditujukan secara berbeda dari bagian utama makalah seperti (A1), (A2) dsb. Pada tiap apendiks persamaan harus diberi nomor secara terpisah.
The name(s) of the author(s) A concise and informative title The affiliation(s) and address(es) of the author(s) The e-mail address, telephone and fax numbers of the communicating author Abstract. Each paper must be preceded by an abstract presenting the most important results and conclusions in english or Indonesian in no more than 300 words. Keywords. Three to six keywords should be supplied after the Abstract for indexing purposes. Abbreviations Abbreviations should be defined at first mention in the abstract and again in the main body of the text and used consistently thereafter. A list of symbols should follow the abstract if such a list is needed. Symbols must be written clearly. The numbering of chapters should be in decimal form. The international system of units (SI units) should be used. Essential footnotes to the text should be numbered consecutively and placed at the bottom of the page to which they refer. Footnotes on the title page are not given reference symbols. Footnotes to the text are numbered consecutively; those to tables should be indicated by superscript lower-case letters (or asterisks for significance values and other statistical data). Acknowledgements. These should be as brief as possible. Any grant that requires acknowledgement should be mentioned. The names of funding organizations should be written in full. Funding. Authors are expected to disclose any commercial or other associations that might pose a conflict of interest in connection with submitted material. All funding sources supporting the work and institutional or corporate affiliations of the authors should be acknowledged. Appendix. If there is more than one appendix, they should be numbered consecutively. Equations in appendices should be designated differently from those in the main body of the paper, e.g. (A1), (A2) etc. In each appendix equations should be numbered separately. References The list of References should only include works that are cited in the text and that have been published or accepted for publication. Personal communications should only be mentioned in the text. If available the DOI can
Pustaka. Daftar pustaka hanya yang termasuk kata dalam naskah yang disitir dan yang sudah dipublikasikan atau diterima untuk publikasi. Kominikasi pribadi hanya disebutkan dalam teks. Jika tersedia DOI (Digital Object Identifier) dapat ditambahkan pada akhir dari pustaka dalam bentuk pertanyaan. Pensitiran dalam teks harus ditunjukan dengan nomor dalam kurung kuadrat seperti [1], [2] dsb. Pustaka harus diberi nomor dalam urutan dimana terlihat dalam teks dan didaftar dalam urutan numerik. Judl jurnal harus disingkat sesuai dengan aturan internasional yang berlaku. Pustaka dengan tanda baca yang benar harus mengikuti gaya seperti berikut: Artikel jurnal: Hijau T, Hitam J, Biru W (2010) Judul artikel. Singkatan Jurnal.Volume Nomor:halamanhalaman Buku: Hijau T, Hitam J (2012) Judul Buku. Lokasi: Penerbit. hal Buku dengan banyak Penulis: Biru W (2011) Judul Bab.Dalam: Hijau T, Hitam J (Eds) Judul Buku. Lokasi:Penerbit., pp 1-50 Pustaka seperti “komunikasi pribadi” atau “data tidak dipublikasikan” tidak dapat dimasukkan dalam daftar pustak, tetapi harus disebutkan dalam tanda kurung: hal ini juga diterapkan pada makalah yang dipresentasikan pada pertemuan tetapi belum dipublikasikan atau diterima untuk publikasi. Tanggal harus diberikan untuk kedua bentuk “komunikasi pribadi” atau “data tidak dipublikasikan” Makalah yang telah diterima untuk publikasi harus dimasukkan dalam daftar pustaka dengan nama jurnal dan ditambahkan keterangan “in press”. Komunikasi oral hanya disebutkan dalam Pengakuan/ucapan terima kasih. Makalah yang dipoblikasikan online tetapi belum atau tidak dicetak dapat disitir menggunakan Digital Object Indentifier (DOI). DOI harus ditambahkan pada akhir pustaka dalam bentuk pertanyaan Contohnya: Ward J, Robinson PJ (2004) How to detect hepatocellular carcinoma in cirrhosis. Eur Radiol DOI 10.1007/s00330-004-1450-y
be added at the end of the reference in question. Citations in the text should be identified by numbers in square brackets. References should be numbered in the order in which they appear in the text and listed in numerical order. Journal titles should be abbreviated. References with correct punctuation should be styled as follows: Journal articles: Green T, Black J, Blue W (2010) Title of article. Abbreviated journal title Vol No: page-page Books: Green T, Black J (2012) Book title. Publisher, location Multiauthor books: Blue W (2011) Chapter title. In: Green T, Black J (eds) Book title. Publisher, location, pp 1–50 References such as ‘‘personal communications’’ or ‘‘unpublished data’’ cannot be included in the reference list, but should be mentioned in the text in parentheses: this also applies to papers presented at meetings but not yet published or accepted for publication.A date should be given for both ‘‘personal communications’’ and ‘‘unpublished data’’. Papers which have been accepted for publication should be included in the list of references with the name of the journal and ‘‘in press’’. Oral communications should only be mentioned in the acknowledgements. A paper published online but not (yet) in print can be cited using the Digital Object Identifier (DOI). The DOI should be added at the end of the reference in question. Example: Ward J, Robinson PJ (2004) How to detect hepatocellular carcinoma in cirrhosis. Eur Radiol DOI 10.1007/s00330-004-1450-y Illustrations and Tables. All figures (photographs, graphs or diagrams) and tables should be cited in the text, and each numbered consecutively throughout. Lowercase letters (a, b etc.) should be used to identify figure parts. If illustrations are supplied with uppercase labeling, lowercase letters will still be used in the figure legends and citations. Line drawings. Please submit good-quality prints. The inscriptions should be clearly legible. Half-tone illustrations (black and white and color). Please submit well-contrasted photographic prints with the top indicated on the back.
Ilustrasi dan Tabel. Semua gambar (Foto, grafik atau diagram) dan tabel harus disitir dalam teks, dan diberi penomeran secara berurutan dengan nomer arab (1, 2, dst) untuk mengidentifikasi gambar atau tabel. Gambar atau foto atau grafik harus dikirimkan dalam kualitas terbaik untuk dicetak, untuk gambar dua warna (hitam dan putih) harus dikirim dengan kontrs yang jelas. Beberapa gambar yang ditempatkan dalam satu plate dalam satu halaman harus dibuat legenda dengan singkat dan jelas yang dapat menjelaskan gambar. Legenda ditempatkan di bawah gambar, diats sitiran untuk gambar. Tabel harus memiliki judul dan legenda untuk menjelaskan jika menggunakan singkatan dalam tabel.Catatan kaki untuk tabel digunakan untuk menjelaskan keterangan dari isi tabel dengan meggunakan superscript huruf kecil. Untuk menjelaskan signifikansi atau data statistik digunakan lambang bintang (asterik).
Plates. Several figures or figure parts should be grouped in a plate on one page. Figure legends must be brief, self-sufficient explanations of the illustrations. The legends should be placed at the end of the text. Tables should have a title and a legend explaining any abbreviation used in that table. Footnotes to tables should be indicated by superscript lower-case letters (or asterisks for significance values and other statistical data). For color illustrations the authors will be expected to make a contribution (£ 308, plus VAT) towards the extra costs, irrespective of the number of color figures.
Pengiriman Elektronik
Electronic Submission
Teks dan gambar harus dikirim dalam file terpisah. Panduan teknis untuk menyiapkan naskah. Teks Jurnal aquasain hanya menerima file dengan format LYX (lebih disukai untuk yang sudah familier) atau format dokumen MS word. Untuk pengiriman naskah menggunakan perangakt lunah pengolah kata LYX harus menyertakan sumber aslinya dan dalam bentuk postscript atau pdf. Penulis dapat menggunakan paket makro LYX ataupun template word yang akan disediakan oleh radaksi. Panduan layout 1. Menggunakan huruf normal sederhana (seperti timesRoman) untuk teks • Pilihan style yang lain: • Untuk teks yang membutuhkan perhatian, istilah asing, dan nama latin menggunakan tipe italik 2. Untuk tujuan khusus seperti vektor matematik gunakan tipe huruf tebal 3. Gunakan penomoran halaman secara otomatis 4. Untuk Indentasi menggunakan tab stops dan tidak diperkenankan menggunakan space bar 5. Untuk tabel menggunakan fungsi tabel dalam MS word, tidak menggunkan
Text and figures must be sent as separate files Technical instructions for preparing your manuscript Text This journal accepts either LaTeX or Word documents. LaTeX: The electronic version should include the original source (including all style files and figures) and a PostScript or PDF version of the compiled submission. Authors who prepare their papers with LaTeX are encouraged to use macropackage for this journal. Layout guidelines 1. Use a normal, plain font (e.g., Times Roman) for text. Other style options: o for textual emphasis use italic types. o for special purposes, such as for mathematical vectors, use boldface type. 2. Use the automatic page numbering function to number the pages. 3. Do not use field functions. 4. For indents use tab stops or other commands, not the space bar. 5. Use the table functions of your word processing program, not spreadsheets, to make tables.
spreadsheet atau program Excell untuk membuat tabel 6. Menggunakan editor persamaan dalam MS word 7. Tabel dan gambar diletakkan di halaman akhir naskah 8. Semua gambar yang ada dalam teks dikirimkan delam file terpisah Ilustrasi Siapkan gambar yang akan dikirim dalam format EPS untuk grafik vektor yang dapat dikspor dari program pengolah gambar atau perangkat lunak image converter, dan untuk gambar dua warna (hitam-putih) menggunakan format TIFF. Nama file (satu file untuk tiap gambar) juga termasuk nomor gambar. Legenda gambar harus disertakan dalam teks tidak dalam file gambar. – Resolusi pemindaian:gambar yang dipindai harus didigitasi dengan resolusi minimum 800 dpi untuk gambar berwarna dan 300 dpi untuk gambar dua warna. – Warna gambar disimpan dalam format RGB (8 bits tiap saluran). – Grafik vektor: huruf yang digunakan dalam grafik vektor harus sudah termasuk, tidak diperkenankan menggambar menggunakan hairline, minimum tebal garis adalah 0.2 mm (0.567 pt). Format Data Untuk naskah awal pengiriman file disimpan dalam bentuk RTF (Rich Text Format) atau DOC atau DOCX atau format lain yang kompatibel dengan pengolah kata MS Word. Gambar dalam format EPS dan atau TIFF. Jika menggunakan pengolah kata LYX file disimpan dalam format berekstensi .lyx dan termasuk sumber aslinya dari makropaketnya dan dalam format postscript atau pdf. Informasi umum yang berisi judul, Operating system yang digunakan, program pengolah kata, program pengolah gambar, dan program kompresi file ditulis dalam program notepad atau wordpad. Semua file teks, ilustrasi atau gambar dan informasi umum dikirim dalam bentuk file kompresi ZIP, file diberi nama dengan hal yang mudah diingat (seperti nama penulis) tidak lebih dari 8 karakter tidak menggunakan simbol khusus. File dikirim ke alamat redaksi jurnal Aquasains di :
[email protected] atau
6. Use the equation editor of your word processing program or MathType for equations. 7. Place any figure legends or tables at the end of the manuscript. 8. Submit all figures as separate files and do not integrate them within the text. Illustrations The preferred figure formats are EPS for vector graphics exported from a drawing program and TIFF for halftone illustrations. EPS files must always contain a preview in TIFF of the figure. The file name (one file for each figure) should include the figure number. Figure legends should be included in the text and not in the figure file. – Scan resolution: Scanned line drawings should be digitized with a minimum resolution of 800 dpi relative to the final figure size. For digital halftones, 300 dpi is usually sufficient. – Color illustrations: Store color illustrations as RGB (8 bits per channel) in TIFF format. – Vector graphics: Fonts used in the vector graphics must be included. Please do not draw with hairlines. The minimum line width is 0.2 mm (i.e., 0.567 pt) relative to the final size. Data formats Save your file in two formats: 1. Text: RTF (Rich Text Format) or Microsoft Word compatible formats Figures: EPS or TIFF. 2. PDF (a single PDF file including text, tables and figures). Make sure that all fonts are embedded. name (one file for each figure) should include the figure number. Figure legends should be included in the text and not in the figure file. General information on data delivery Please send a zip file (text and illustrations as separate files) to:
[email protected] atau
[email protected] Please always supply the follow- ing information with your data: journal title, operating system, word processing program, drawing program, image processing program, compression program. The file name should be memorable (e.g., author name), have no more than 8 characters, and include no accents or special symbols. Use only the extensions that the program assigns automatically.
[email protected]
Materi Elektronik Pelengkap (MEP) Untuk artikel dalam jurnal ini yang akan dipublikasikan disediakan materi: o Dikirim ke Editor dalam bentuk elektronik bersama dengan makalah sebagai subjek untuk peer review o Diterima Editor
Electronic (ESM)
supplementary
material
for an article in the journal will be published in aquasains provided the material is: o submitted to the Editor(s) in electronic form together with the paper and is subject to peer review o accepted by the journals Editor(s)
MEP terdiri atas: – Informasi yang tidak mungkin dicetak seperti animasi, klip video, rekaman suara dsb. – Informasi yang lebih tepat dalam bentuk elektronik seperti rangkaian/sequence, data spektral dsb. – Data asli yang besar yang berhubungan dengan makalah seperti tabel tambahan, ilustrasi (berwarna dan atau hitam putih) dsb. Setelah makalah dinyatakan diterima oleh Editor MEP akan dipublikasikan sebagaimana yang diterima dari penulis hanya dalam versi online. Referensi akan diberikan pada versi cetak.
ESM may consist of information that cannot be printed: animations, video clips, sound recordings information that is more convenient in electronic form: sequences, spectral data, etc. large original data that relate to the paper, e.g. additional tables, illustrations (color and black & white), etc. After acceptance by the journals Editor(s) ESM will be published as received from the author in the online version only. Reference will be given in the printed version.
Perbaikan/Koreksi
Proofreading
Penulis harus menyertakan membuat bukti koreksi pada printout dalam file pdf, pengecekkan bahwa teks sudah lengkap dimana gambar dan tabel sudah termasuk di dalamnya. Setelah publikasi online, selanjutnya perubahan hanya dapat dilakukan dalam bentuk Erratum yang akan di hyperlink-kan dengan artikel. Penulis hanya. Perubahan mendasar dalam isi seperti hasil terbaru, nilai terkoreksi, judul dan kepengarangan tidak diperkenankan tanpa persetujuan dari editor yang bertanggung jawab. Dalam kasus ini harap menghubungi Pimpinan Redaksi sebelum mengembalikan bukti ke penerbit.
Authors should make their proof corrections on a printout of the pdf file supplied, checking that the text is complete and that all figures and tables are included. After online publication, further changes can only be made in the form of an Erratum, which will be hyperlinked to the article. The author is entitled to formal corrections only. Substantial changes in content, e.g. new results, corrected values, title and authorship are not allowed without the approval of the responsible editor. In such a case please contact the Editor-in-Chief before returning the proofs to the publisher.
Cetakan Lepas
Offprint, free copy
Cetakan lepas dari artikel akan diberikan tanpa dikenakan biaya tambahan sebanyak kontibutor dalam artikel . Jika menginginkan untuk memesan tambahan cetakan lepas harus mengembalikan formulir pemesanan dengan bukti yang sesuai, kemudian diberi judul untuk menerima file pdf dari artikel untuk penggunaan pribadi. Biaya untuk tambahan pemesanan cetakan lepas akan ditentukan kemudian.
25 offprints of each contribution are supplied free of charge. If you wish to order additional offprints you must return the order form with the corrected proofs. You are then entitled to receive a pdf file of your article for your personal use.
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
KAJIAN KUALITAS PERAIRAN BERDASARKAN PARAMETER FISIKA DAN KIMIA DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA KENDARI SULAWESI TENGGARA Ira1
Ringkasan Ocean Fishing Port (PPS) Kendari is one of the largest fishing port in Sulawesi. The number of ships that docked in PPS Kendari also makes a lot of garbage and oil spills - used oil that went into the ocean waters. Effluent - discharge resulted in a change in water quality . This study aims to determine the condition of Water Quality based of Physics and Chemical Parameters in PPS Kendari. This research is expected to be useful for the management of coastal areas, especially ocean fishing port. The determination of the research station is based on aspects influence representation of industrial activity and PPS that is, Station 1 is located at the pier PPS which serve as a berthing vessel and place demolition catches. Station 2, located at the mouth of the sewage plant (WWTP) PPS Kendari. Environmental parameters measured include temperature, suspended solids, pH , salinity, dissolved oxygen, nitrates , phosphates. The results showed that the water quality conditions PPS Kendari terms of physical and chemical parameters by Decree of the state Minister for Environment No 51 of 2004 already exceeded the water quality standard, especially for temperature, salinity, dissolved oxygen and phosphate 1 )Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo Jl.HAE Mokodompit Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232 phone/Fax:+62401 393782 E-mail:
[email protected]
Keywords water quality, physics, chemistry, ports, fisheries, kendari Received: 13 Nopember 2013 Accepted: 10 Januari 2014
PENDAHULUAN Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki sekitar 75,08% luas wilayah berupa perairan dan sekitar 24,93% berupa daratan. Hal ini menjadi potensi yang sangat bagus untuk pengembangan usaha perikanan. Perikanan merupakan salah satu komoditi yang potensial untuk diusahakan karena ikan merupakan komoditi yang dapat dipanen sepanjang tahun dan merupakan komoditi yang sangat dibutuhkan oleh manusia baik yang dikonsumsi langsung maupun yang melalui proses lebih lanjut. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan memerlukan adanya fasilitas pendaratan ikan atau pelabuhan yang khusus melayani aktifitas industri dan perdagangan ikan. Umumnya yang dilayani adalah kegiatan perikanan tangkap di laut. Dalam hal ini maka pelabuhan yang khusus melayani kegiatan perikanan merupakan fasilitas pendaratan yang menjadi pangkalan bagi kapal-kapal perikanan dan menjadi terminal yang menghubungkan kegiatan perikanan di darat dan di laut [1]. Jadi dapat dikatakan bahwa pelabuhan perikanan
Ira1
120
merupakan pusat pengembangan ekonomi perikanan ditinjau dari aspek produksi, pengolahan, dan pemasaran, baik berskala lokal, nasional maupun internasional. Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari merupakan salah satu pelabuhan perikanan terbesar yang ada di Sulawesi dengan luas sekitar 40,55 ha. Letak PPS Kendari dalam teluk Kendari (Sulawesi Tenggara) sehingga sangat aman dari gangguan angin maupun ombak. PPS Kendari dikenal juga sebagai pelabuhan perikanan tipe A atau kelas I, dimana dirancang terutama untuk melayani kapal perikanan berukuran > 60 GT dan dapat menampung 100 buah kapal atau 6000 GT sekaligus. Selain itu, dapat pula melayani kapal ikan yang beroperasi di perairan lepas pantai, ZEE dan perairan internasional. Jumlah ikan yang didaratkan sekitar 40.000 ton/ tahun dan juga memberikan pelayanan untuk ekspor. Banyaknya kapal-kapal yang berlabuh di PPS Kendari ini membuat banyak pula buangan sampah dan tumpahan minyak - minyak bekas yang masuk ke perairan laut. Buangan-buangan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan kualitas perairan. Kualitas air dapat diketahui dengan melakukan pengujian tertentu terhadap air tersebut diantaranya pengukuran parameter fisika dan kimia. Sebagaimana menurut [2] bahwa parameter fisika, kimia dan biologi merupakan kondisi kualitatif yang mencerminkan kualitas air. Penelitian tentang kualitas air di PPS Kendari masih sangat jarang dilakukan. Oleh karena itu, penelitian untuk mengetahui kondisi kualitas air berdasarkan parameter fisika dan parameter kimia di PPS Kendari sangat penting untuk dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengelolaan wilayah pesisir khususnya Pelabuhan Perikanan Samudera. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan bulan November Desember 2012. Lokasi pengambilan sampel di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS)
Kendari Sulawesi Tenggara dengan koordinat 3°59’5"S dan 122°34’18"E. Analisis sampel di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Alat dan Bahan Penelitian Berdasarkan parameter-parameter yang diukur, maka alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah termometer untuk mengukur suhu, metode gravimetri untuk mengukur TSS, handrefractometer untuk mengukur salinitas, pH meter untuk mengukur pH air, Do meter untuk mengukur oksigen terlarut, spektrofotometer untuk mengukur nitrat dan fosfat. Metode Pengambilan sampel Penentuan stasiun penelitian berdasarkan aspek keterwakilan pengaruh akibat aktivitas industri dan PPS yaitu: – Stasiun 1, berada di dermaga PPS dimana dijadikan sebagai tempat berlabuhnya kapal dan tempat pembongkaran hasil tangkapan. – Stasiun 2, berada di muara instalasi pembuangan limbah (IPAL) PPS. Pengambilan sampel air dilakukan saat pasang sebanyak tiga kali pengulangan. Parameter lingkungan yang diukur meliputi parameter fisika (suhu dan TSS) dan parameter kimia (salinitas, pH, oksigen terlarut, nitrat, fosfat).
Analisis Data Analisis data kualitas air dilakukan secara dekriptif dan untuk mengetahui kondisi kualitas air pada lokasi penelitian, digunakan standar baku mutu berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KepMen LH) No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu air laut untuk biota laut sebagai perbandingan
Kualitas Perairan Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari
121
muara sungai Anggoeya, yang turut memberikan pengaruh terhadap karakteristik perairan di sekitarnya, khususnya di sekitar areal PPS Kendari. Parameter Fisika Perairan a. Suhu
Gambar 1 Lokasi penelitian di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pelabuhan perikanan Kendari merupakan pelabuhan perikanan terbesar di Sulawesi, tepatnya terletak di Sulawesi Tenggara, menghadap Laut Flores, Laut Banda dan Laut Seram. Pelabuhan perikanan ini memiliki beberapa kapal penampung dan kapal penangkap yang digunakan untuk menangkap ikan, khususnya Ikan Cakalang dan Tuna. Secara umum Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari mempunyai batas-batas: sebelah utara berbatasan dengan kecamatan kendari barat, sebelah timur berbatasan dengan kecamatan abeli, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Poasia, sebelah barat berbatasan dengan kecamatan kendari. PPS Kendari dikenal juga sebagai pelabuhan perikanan tipe A, atau kelas I. Pelabuhan perikanan ini dirancang terutama untuk melayani kapal perikanan berukuran > 60 GT, menampung 100 buah kapal atau 6000 GT sekaligus, dan dapat pula melayani kapal ikan yang beroperasi di perairan lepas pantai, ZEE dan perairan internasional. Jumlah ikan yang didaratkan sekitar 40.000 ton/ tahun dan juga memberikan pelayanan untuk ekspor. Perairan di sekitar PPS Kendari mempunyai topografi yang landai dan memiliki dasar perairan berpasir. Pada perairan ini juga terdapat muara sungai besar seperti
Suhu merupakan faktor langsung yang mempengaruhi laju pertumbuhan, kelangsungan hidup dan meningkatkan laju metabolisme organisme. Peningkatan suhu perairan secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan organisme suatu perairan [3]. Nilai suhu yang diperoleh di stasiun 1 dan 2 telah melebihi baku mutu air yaitu sebesar 33.2 – 34.3o C sedangkan standar baku mutu suhu menurut KepMen LH No. 51 Tahun 2004 untuk biota laut adalah 28 - 32 o C. Nilai suhu yang tinggi diduga karena perairan PPS Kendari yang sempit dan tertutup, sehingga ketika kondisi lingkungan (cahaya matahari) panas maka terjadi penguapan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat [4] bahwa suhu ekosistem air dipengaruhi oleh diantaranya intensitas cahaya matahari dan pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya b. Padatan Tersuspensi (TSS) Padatan tersuspensi adalah padatan yang mengakibatkan kekeruhan air, tidak larut dan tidak mengendapkan langsung. Padatan tersuspensi juga merupakan salah satu unsur material dalam sedimen selain batuan, material biologi, endapan zat kimia, kumpulan debu dan partikel sampah, tumbuhan, material daun, logam berat dan unsur jejak [5]. Menurut US-EPA pengaruh padatan tersuspensi sangat beragam, tergantung pada sifat kimia alamiah bahan tersuspensi tersebut, khususnya bahan toksik. Untuk zat padat tanpa bagian toksik yang nyata pada tanaman bentik dan hewan tidak bertulang belakang dapat mengakibatkan angka kematian yang tinggi. Sedangkan pengaruh yang berbahaya pada
Ira1
122
ikan, zooplankton, dan makhluk hidup lainnya pada prinsipnya adalah penyumbatan insang oleh partikel. Nilai rata-rata TSS yang diperoleh di stasiun 2 lebih tinggi yakni sebesar 0.72 mg/l dibandingkan stasiun 1 sebesar 0.02 mg/l. Namun konsentrasi TSS di stasiun1 dan 2 berada dibawah standar baku mutu biota laut menurut KepMen LH No. 51 Tahun 2004 yakni 5 – 25 mg/l. Nilai TSS yang tinggi di stasiun 2 diduga berasal dari limbah yang berasal dari limpasan limbah industri perikanan dan pemukiman penduduk.
Parameter Kimia Perairan a. Salinitas Salinitas air laut dapat mempengaruhi tingkat kejenuhan oksigen terlarut perairan tersebut, dimana semakin tinggi salinitas kapasitas kejenuhan oksigen di air semakin menurun [6]. Salinitas yang terukur di stasiun 1 lebih rendah yakni sebesar 24.0 o /oo dibandingkan stasiun 2 yakni sebesar 28.1 o /oo . Rendahnya salinitas di stasiun 1 kemungkinan disebabkan mendapat pengaruh langsung dari sungai. Sebagaimana pernyataan [7] bahwa salinitas air laut dapat berbeda secara geografis salah satunya disebabkan oleh banyaknya air sungai yang masuk ke laut. Stasiun 1 dan 2 termasuk berada dibawah standar baku mutu apabila dibandingkan dengan baku mutu salinitas berdasarkan KepMen LH No. 51 Tahun 2004 bahwa salinitas untuk biota laut adalah 33 - 34 o /oo .
7.83 dan stasiun 2 sebesar 8.41. Nilai pH di stasiun 1 dan 2 masih sesuai dengan standar baku mutu menurut KepMen LH No. 51 Tahun 2004 yakni 6.5 – 8.5. c. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme karena dapat menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme dan efek tidak langsung meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya dapat membahayakan organisme itu sendiri. Sebagaimana pernyataan [8] bahwa kandungan DO sangat berhubungan dengan tingkat pencemaran, jenis limbah dan banyaknya bahan organik di suatu perairan. Selain itu, kemampuan air untuk membersihkan pencemaran secara alamiah tergantung pada kadar DO dan banyaknya organisme pengurai. Berdasarkan hasil pengukuran DO, diketahui bahwa rata-rata di stasiun 1 lebih rendah yakni sebesar 0.12 mg/l dibandingkan stasiun 2 sebesar 1.60 mg/l. Nilai DO di Stasiun 1 dan 2 termasuk berada dibawah standar baku mutu menurut KepMen LH No. 51 Tahun 2004, yakni > 3 mg/l. Apabila dilihat dari tingkat pencemaran berdasarkan DO maka stasiun 1 dan 2 termasuk kategori tercemar berat. Sebagaimana menurut [9] bahwa kandungan DO < 4,5 mg/l termasuk kategori tercemar berat. Rendahnya kadar oksigen dapat berpengaruh terhadap fungsi biologis dan lambatnya pertumbuhan, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Fungsi oksigen selain untuk pernapasan organisme juga untuk mengoksidasi bahan organik yang ada di dasar sedimen perairan.
b. pH d. Nitrat Kondisi perairan yang bersifat sangat asam atau basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme, karena akan mengakibatkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi dan pada umumnya sebagian besar organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH. Nilai ratarata pH yang diperoleh stasiun 1 sebesar
Nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat merupakan salah satu nutrien senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh ketersediaan nutrien [8]. Nilai
Kualitas Perairan Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari
rata-rata nitrat di stasiun 1dan 2 berada dibawah standar baku yakni sekitar 0.0005 - 0.05 mg/l. Konsentrasi nitrat menurut baku mutu KepMen LH No. 51 Tahun 2004 adalah berkisar antara 0.9 – 3.2 mg/l. Sementara menurut [10], kadar nitrat-nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0.1 mg/1, akan tetapi jika kadar nitrat lebih besar 0.2 mg/1 maka akan mengakibatkan eutrofikasi. e. Fosfat Konsentrasi fosfat hasil pengukuran di stasiun 1 dan 2 menunjukkan telah berada diatas standar baku mutu. Konsentrasi ratarata fosfat stasiun 1 yakni sebesar 0.52 mg/l dan stasiun 2 sebesar 0.67 mg/l. Sementara berdasarkan KepMen LH No. 51 Tahun 2004 nilai baku mutu fosfat adalah 0.015 mg/l. Tingginya nilai fosfat yang ditemukan di stasiun 1 dan 2 diduga bersumber dari limpasan limbah industri perikanan dan pemukiman penduduk yang menghasilkan limbah organik. Sebagaimana pernyataan [11] bahwa fosfat dalam suatu perairan bersumber dari diantaranya limbah industri, domestik dan pertanian, serta hancuran bahan organik.
SIMPULAN Kondisi kualitas air Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari ditinjau dari parameter fisika dan kimia berdasarkan KepMenLH No. 51 Tahun 2004 sudah melebihi baku mutu air terutama untuk suhu, salinitas, oksigen terlarut dan fosfat.
Pustaka 1. Lubis, E. 2006. Pengantar Pelabuhan Perikanan. Bogor: Bagian Pelabuhan Perikanan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. FPIK Institut Pertanian Bogor. 2. Riyadi, S. 1984. Pencemaran Air, Dasar-Dasar dan Pokok Penanggulangannya. Karya Anda. Surabaya. 3. Wardoyo, STH . 1975. Pengelolaan Kualitas Air. IPB - Bogor.
123
4. Barus. 2002. Pengantar Limnologi. Direktorat Jendral Perguruan Tinggi. Depdiknas. Jakarta. 5. Bent, G.C., J.R. Gray, K.P. Smith, & G.D. Glysson, 2001. A Synopsis of Technical Issues for Monitoring Sediment in Highway and Urban Runoff, USGS, OFR 00-497. 6. Saeni. MS. 1999. Kimia Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Ditjen Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. IPB - Bogor. 7. Chester, R. 1990. Marine Geochemistry. Unwin Hyman Ltd. London. 8. Alaerts. G dan S Santika. 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya. 9. Miller, GT dan DG Lygre. 1994. Chemistry A contemporary Approach 3 rd ed. Wadwortth Publishing Company. California. 10. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 11. Manik, KES. 2003. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan. Jakarta.Kepmen LH. 2004.
124
Ira1
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
TOKSISITAS METIL METSULFURON HUBUNGANNYA DENGAN MASKULINITAS COPEPODA Daphni a sp. Muarif1 · Qadar Hasani2 · Henni Wijayanti2
Ringkasan Metil metsulfuron merupakan senyawa aktif yang umum digunakan oleh para petani untuk membasmi gulma di sawah. Penggunaan yang tidak sesuai pada senyawa aktif tersebut akan menyebabkan resiko pencemaran lingkungan yang berpengaruh terhadap kondisi organisme non target disekitarnya seperti gangguan reproduksi pada Daphnia sp. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat toksisitas metil metsulfuron dengan menentukan nilai LC50 48 jam terhadap Daphnia sp. serta mengetahui rasio jenis kelamin jantan anakan Daphnia sp. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemberian senyawa aktif metil metsulfuron dengan konsentrasi yang berbeda. Pada uji toksisitas akut menggunakan konsentrasi 0 ppm; 20,89 ppm; 43,64 ppm; 91,17 ppm; 190,48 ppm dan 397,96 ppm. Sedangkan pada uji pengaruh metil metsulfuron terhadap rasio anakan jantan Daphnia sp. yaitu 0 ppm; 20 ppm; 40 ppm dan 80 ppm. Hasil penelitian pada uji toksisitas menunjukkan nilai (LC50 )-48 jam sebesar 140,2 ppm sedangkan persentase rasio anakan jantan Daphnia sp. tertinggi terdapat pada perlakuan 80 ppm yaitu mencapai 71%. Hubungan antara konsentrasi metil metsulfuron dengan rasio anak1 )Alumni
Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung 2 )Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung Alamat: Jl.Prof.Sumantri Brodjonegoro No.1 Gedong Meneng Bandar Lampung 35141 E-mail:
[email protected]
an jantan Daphnia sp. menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi metil metsulfuron yang dipaparkan pada Daphnia sp., maka semakin meningkat pula rasio anakan jantan Daphnia sp. yang dihasilkan. Keywords Daphnia sp., reproduksi, metil metsulfuron, toksisitas, LC50 Received: 4 Nopember 2013 Accepted: 15 Januari 2014
PENDAHULUAN Metil metsulfuron merupakan senyawa aktif yang terkandung dalam herbisida untuk membasmi gulma di sawah. Penggunaan senyawa aktif metil metsulfuron oleh para petani tidak berbeda dengan bahan kimia pengendali hama, yaitu memiliki sifat penting berupa daya racun atau toksisitas yang jika penggunaanya tidak sesuai akan menyebabkan masalah baru berupa pecemaran lingkungan [1]. [2] menyebutkan bahwa pencemaran lingkungan khususnya di perairan yang diakibatkan oleh bahan kimia akan mempengaruhi kondisi taksonomi biota akuatik disekitarnya. Salah satu contoh hal tersebut adalah penggunaan senyawa aktif metil metsulfuron terhadap Daphnia sp. yang merupakan krustasea berukuran kecil dan hidup di perairan tawar [3].
Muarif1 et al.
126
Menurut [4] bahwa pencemaran perairan dapat mempengaruhi sistem reproduksi pada Daphnia sp. seperti berkurangnya aktivitas kawin, produksi telur yang menurun dan sebagainya. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian [5], [6] dan [7] yang menyebutkan bahwa Daphnia sp. dapat mengalami gangguan reproduksi berupa meningkatnya rasio anakan jantan Daphnia sp. akibat terpapar beberapa bahan pencemar. Melihat kondisi tersebut maka perlu diketahui kemampuan reproduksi Daphnia sp. melalui pengamatan rasio anakan jantan Daphnia sp. yang terpapar senyawa aktif metil metsulfuron, sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan penggunaan Daphnia sp. sebagai bioassay terhadap toksisitas metil metsulfuron di perairan. [8] mengatakan bahwa Daphnia sp. dapat digunakan sebagai uji toksisitas terhadap bahan pencemar karena organisme ini sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan termasuk adanya pencemaran yang diakibatkan bahan kimia seperti herbisida dengan senyawa aktif metil metsulfuron. [9] menambahkan bahwa Daphnia sp. berpotensi sebagai bioindikator pencemaran yang diakibatkan adanya bahan toksik di suatu perairan termasuk bahan aktif metil metsulfuron dengan melihat rasio seks anakan jantan Daphnia sp. yang dihasilkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kisaran ambang batas konsentrasi toksikan senyawa aktif metil metsulfuron dan rasio jenis kelamin jantan anakan Daphnia sp. serta mengetahui hubungan antara konsentrasi senyawa aktif metil metsulfuron terhadap rasio jenis kelamin jantan anakan Daphnia sp. yang dihasilkan. MATERI DAN METODE Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Daphnia sp., herbisida dengan kandungan senyawa aktif metil metsulfuron 20% dan air tawar yang sebelumnya telah diaerasi selama 3 hari sebagai pelarut dan media hidup Daphnia sp. Sedangkan peralatan yang digunakan terdiri dari akuarium
ukuran 10 x 10 x 15 cm, mikroskop, pH meter dan DO meter. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental laboratoris dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan uji lanjut beda nyata terkecil (BNT) dengan mengacu pada [10]. Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi senyawa aktif metil metsulfuron terhadap rasio jenis kelamin jantan anakan Daphnia sp. maka dilakukan uji regresi dengan mengacu pada [11]. Penelitian ini dilakukan melalui 2 tahap yaitu uji toksisitas (letal) dan uji pengaruh subletal. Uji toksisitas letal terdiri dari uji penentuan selang konsentrasi dan uji definitif (toksisitas akut). Uji penentuan selang konsentrasi bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi ambang atas ( LC100 -24 jam) dan konsentrasi ambang bawah (LC0 48 jam) pada hewan uji yaitu Daphnia sp. Sedangkan pada uji definitif (toksisitas akut) bertujuan untuk menentukan nilai LC50 –48 jam dengan menggunakan deret konsentrasi yang besarnya berada diantara ambang atas dan ambang bawah. Perhitungan dilakukan dengan mengacu pada [12] sebagai berikut: N a a b c d e log = k log ; = = = = (1) n n b a b c d dimana; N : konsentrasi ambang atas n : konsentrasi ambang bawah a : konsentrasi terkecil dalam deret konsentrasi k : jumlah konsentrasi yang diujikan (a,b,c,d,e) Hasil uji definitif (toksisitas akut) merupakan angka acuan untuk menghitung nilai lethal consentration dengan analisa probit. Hubungan nilai logaritma konsentrasi uji dengan persentasi mortalitas (dalam probit), merupakan fungsi linier : Y = a + bX. Nilai LC50 -48 jam diperoleh anti log m. Nilai m merupakan nilai X pada saat kematian sebesar 50% sehingga fungsi liniernya adalah 5 = a + bX. Untuk menentukan nilai a maupun b digunakan persa-
Toksisitas Metil Metsulfuron dan Maskulinitas Copepoda Daphnia Sp
maan dengan mengacu pada [12] sebagai berikut: P XY − 1/n (X) (Y ) (2) b= P P 2 X 2 − 1/n ( X)
127
Tabel 1 Persentase kematian Daphnia sp. selama uji toksisitas metil metsulfuron Konsentrasi
Persentase (%)
Metil
Mortalitas Daphnia sp. pada Jam Ke-
Metsulfuron
a = 1/n m=
X
Y −b
X
X
0
(3)
5−a b
(4)
LC50 − 48 jam = anti log m
(5)
dengan y, x, a, b, dan m berturut-turut adalah probit kematian hewan uji, logaritma konsentrasi uji, konsentrasi regresi, slope/kemiringan regresi, dan logaritma konsentrasi (x) pada probit mortalitas (y) 50% (y = 5). Setelah didapatkan nilai LC50 melalui uji letal, kemudian dilanjutkan dengan uji pengaruh sub letal dengan melihat rasio anakan jantan Daphnia sp. Uji ini dilakukan dengan memaparkan senyawa aktif metil metsulfuron dengan konsentrasi yang berbeda yaitu sebagai berikut : perlakuan A (0 ppm), perlakuan B (20 ppm), perlakuan C (40 ppm) dan perlakuan D (80 ppm). Identifikasi jenis kelamin anakan Daphnia sp. mengacu pada [9] yang menyebutkan bahwa Daphnia sp. jantan memiliki bentuk tubuh yang ramping dan memiliki antena yang panjang dengan dua lekukan. Sedangkan Daphnia sp. betina cenderung lebih gemuk dan memiliki antena yang lebih pendek dengan satu lekukan. Pengamatan jumlah anakan jantan Daphnia sp. diamati pada hari ke-5 disetiap perlakuan. Kemudian dilakukan perhitungan persentase anakan jantan Daphnia sp. dengan mengacu pada [13] sebagai berikut : Jumlah Individu Jantan P ersentase Jantan =
X 100%(6) Jumlah T otal
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil uji toksisitas akut yang terdiri dari persentase kematian Daphnia
24
48
Kontrol (0 ppm)
0
0
0
A (20,89 ppm)
0
0
0
B (43,64 ppm)
0
0
0
C (91,17 ppm)
0
12.6
19.4
D (190,48 ppm)
0
14
40.6
E (397,96 ppm)
0
100
100
sp. pada berbagai konsentrasi senyawa aktif metil metsulfuron yang ditampilkan pada Tabel 1 menunjukkan semakin tinggi konsentrasi senyawa aktif metil metsulfuron yang dimasukkan kedalam media uji, maka semakin tinggi pula tingkat kematian yang terjadi pada Daphnia sp. Uji toksisitas yang terdiri dari persentase kematian Daphnia sp. pada berbagai konsentrasi senyawa aktif metil metsulfuron menunjukkan nilai LC50 -48 jam sebesar 140,2 ppm. Mengacu pada kriteria tingkatan racun menurut [14], maka tingkat toksisitas senyawa aktif metil metsulfuron dikategorikan ke dalam kriteria toksik rendah. Toksisitas ini kemungkinan disebabkan oleh sifat senyawa aktif metil metsulfuron tersebut yang memiliki sifat racun dan mampu mempengaruhi seluruh kelompok taksonomi yang ada di perairan termasuk Daphnia sp. dan organisme lain. [15] menyebutkan bahwa sifat racun yang disebabkan oleh bahan pencemar seperti senyawa aktif metil metsulfuron dapat bersifat akut dan kronis. Senyawa aktif tersebut akan mengalami proses biotransformasi dan bioakumulasi dalam organisme hidup. Jumlah senyawa aktif metil metsulfuron yang terakumulasi akan terus mengalami peningkatan (biomagnifikasi) dan dalam rantai makanan biota yang tertinggi akan mengalami akumulasi metil metsulfuron yang lebih banyak. Sedangkan hasil penelitian terkait persentase rasio anakan jantan Daphnia sp. yang dihasilkan akibat terpapar senyawa aktif metil metsulfuron dengan konsentrasi yang
128
Gambar 1 Rata-rata persentase rasio anakan jantan Daphnia sp. yang terpapar senyawa aktif metil metsulfuron
Gambar 2 Hubungan perlakuan konsentrasi senyawa aktif metil metsulfuron yang berbeda terhadap rasio anakan jantan Daphnia sp.
berbeda (Gambar 1). Perhitungan menggunakan analisis ragam dengan uji F menunjukkan bahwa perlakuan pemaparan senyawa aktif metil metsulfuron dengan konsentrasi yang berbeda yang dilakukan selama 5 hari menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap rasio anakan jantan Daphnia sp. yang dihasilkan pada selang kepercayaan 95% (P<0.05). Hal tersebut didukung dengan hasil uji lanjut BNT dengan selang kepercayaan 95% yang memperlihatkan perbedaan yang nyata disetiap perlakuannya (P<0.05). Hubungan perlakuan senyawa aktif metil metsulfuron dengan konsentrasi yang berbeda terhadap rasio anakan jantan Daphnia sp. (Gambar 2) yang memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi metil metsulfuron (dibawah nilai LC50 ) yang dipaparkan pada Daphnia sp. maka akan semakin tinggi pula rasio anakan jantan Daphnia sp. yang dihasilkan. Berdasarkan persamaan regresi linier (Gambar 2) maka diketahui bahwa Y = 7,311x – 8,1061 yang berarti bahwa setiap kenaikan 1 ppm konsentrasi metil metsulfuron ak-
Muarif1 et al.
an menaikkan rasio anakan jantan Daphnia sp. sebanyak 7,311%. Sedangkan nilai R2 didapatkan sebesar 0,8964 hal ini menjelaskan bahwa pengaruh konsentrasi senyawa aktif metil metsulfuron sebesar 89.64 % terhadap rasio anakan jantan Daphnia sp. yang dihasilkan. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi metil metsulfuron dalam kisaran konsentrasi dibawah LC50 yang diberikan pada media pemeliharaan, maka semakin besar pula anakan jantan Daphni a sp. yang dihasilkan. Senyawa aktif metil metsulfuron dapat mempengaruhi arah jenis kelamin anakan Daphnia sp. karena adanya tekanan kimia lingkungan yang memberikan respon terhadap sintesis ecdysteroid yang berfungsi sebagai testosterone antagonizes [16]. Bahan pencemar seperti metil metsulfuron merupakan bahan toksik yang dapat berpengaruh terhadap menurunnya ecdysteroid pada Daphnia sp., penurunan tersebut akan berdampak terhadap perubahan jenis kelamin pada Daphnia sp. berupa terbentuknya anakan jantan karena terjadinya penghambatan ecdysteroid sehingga menyebabkan aktifnya pembentukan Methyl Farnesoate [17]. Methyl Farnesoate memiliki peran dalam menentukan jenis kelamin anakan Daphnia sp. yaitu pada saat induk Daphnia sp. siap bereproduksi. Semakin tinggi konsentrasi metil metsulfuron yang memapar Daphnia sp., maka semakin banyak Daphnia sp. yang memproduksi Methyl Farnesoate, sehingga hal tersebut menyebabkan tingginya potensi anakan jantan yang dihasilkan [18]. Hasil pengamatan parameter kualitas air yang didapatkan (Tabel 2), terlihat bahwa kisaran nilai yang didapatkan masih dalam kondisi optimal untuk kelangsungan hidup Daphnia sp., yaitu suhu berkisar 2231o C [19], pH 6,5-8,5 [20] dan oksigen terlarut dengan kisaran diatas 3 mg/l [21]. Hal tersebut dapat diindikasikan bahwa kondisi stres yang dialami oleh Daphnia sp. selama penelitian berlangsung cenderung bukan diakibatkan oleh kondisi kualitas air yang buruk namun diakibatkan oleh pengaruh pemaparan senyawa aktif metil me-
Toksisitas Metil Metsulfuron dan Maskulinitas Copepoda Daphnia Sp Tabel 2 Parameter Kualitas Air Parameter
Kisaran Nilai
Suhu (o C)
28-29
pH
7-8
Oksigen terlarut (mg/l)
4.88 – 7.39
tsulfuron, hal ini terlihat dari perlakuan (kontrol) yang menghasilkan 0% anakan jantan. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tingkat toksisitas metil metsulfuron memiliki nilai Lethal Concentration (LC50 )-48 jam sebesar 140,2 ppm dengan hasil analisis ragam (uji F) dan regresional menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi metil metsulfuron yang dipaparkan pada Daphnia sp., maka semakin meningkat pula rasio anakan jantan Daphnia sp. yang dihasilkan.
Pustaka 1. Taufik, Imam dan Yosmaniar. 2010. Pencemaran Pestisida Pada Lahan Perikanan Di Daerah Karawang - Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Limnologi V. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar. Bogor 2. Garno, Y.S. 2000. Daya Tahan Beberapa Organisme Air pada Pencemar Limbah Deterjen. Jurnal Teknologi Lingkungan 1: 212-218 3. Pangkey, H., 2009. Daphnia dan Penggunaanya. Jurnal Perikanan dan Kelautan 5: 33-36 4. Jalius. 2006. Limbah Kimia dan Pengaruhnya terhadap Reproduksi Hewan. Institut Pertanian Bogor. 5. Mubarak, A. S.., Purnamasari , D. Nawang., Sulmartiwi L., dan Sudarno.2010. Kemampuan Reproduksi Daphnia Magna Jantan Hasil Induksi Logam Berat (Cd, Pb) dan Pestisida Diazinon. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan 2: 145-150 6. Hermawati, A., Kusdarwati R., Setyawati S. dan Mubarak A. S.. 2009. Pengaruh Pemaparan Beberapa Konsentrasi Kadmium (CdCl2) Terhadap Perubahan Warna dan Rasio Sex Anakan Jantan Daphnia sp. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan 1: 43-50 7. Panna, A., Damayanti, Yeni., dan Mubarak. A. S. 2009. Pengaruh Pemaparan Beberapa Konsentrasi Timbal (Pb) Terhadap Perubahan Warna dan Rasio Sex Anakan Jantan Daphnia sp. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan 1:1-15
129
8. Olmsteated, W. A. 2003. Environtmental Toxicant Effect on Sexual Reproduction in Daphnia Magna. Dissertasions submitted to the Graduate Faculty of North Caroline State University. USA 9. Mubarak, A. S. dan T. Juni. 2009. Peringatan Dini Pencemaran Logam Berat dan Pestisida berdasarkan Rasio seks anakan Daphnia sp. Jurnal Ilmiah Perikanan 11: 201-205. 10. Hanafiah, K.A. 2008. Rancangan Percobaan. Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 11. Walpole, R.E. 1991. Pengantar Statistika. Edisi Ke-3. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 12. Finney. 1971. Probit Analysis. The University Press. Cambridge. 13. Zairin, Jr. M. 2002. Sex Reversal, Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Penebar Swadaya. Jakarta 14. Swan, J. M., J.M. Neff, and P.C. Young. 1994. Environmental implications of offshore oil and gas development in Australia - the findings of an independent scientific review, Australian Petroleum Exploration Association. Sydney 15. Palar H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta 16. LeBlanc, G. A., W. A. Olmsteated, X. Mu, Y. W. Helen, R. Bethany and Hong L. 2006. Mechanictic Approaches to Screening Chemicals for Endocrine Toxicity Using an Invertebrate. Departement of Environtmental and Moleculer Toxicology. North Carolina State University, Raleigh NC. 17. Ochlan. J. and V. S. Ochlman. 2003. Endocrine Disruption in Invertebrata. Pure Applechem. Vol 75. pp 11-12 18. Olmsteated and LeBlanc. 2002. Effect of Endocrine Active Chemical on The Development of Sex Characteristic of Daphnia Magna. Departement of Toxicology North Caroline. USA 19. Radini, D.N., Gede S., Taufikurrohman. 2004. Optimasi Suhu, pH serta Jenis Pakan pada Kultur Daphnia sp. Jurnal Ilmiah Biologi : Ekologi dan Biodiversitas Tropika. 2: 23-28 20. Pescod, M. 1973. Investigation of rational Effluent and Steam Standars for Tropical Countries. Research and Development Group for East san Fransisco 21. Ebert, D. 2005. Ecology, Epidemiology and evolution of parasitism in Daphnia. University of Basel. Switzerland
130
Muarif1 et al
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
DISTRIBUSI DAN MARGIN PEMASARAN HASIL TANGKAPAN IKAN TONGKOL (Euthynnus Affinis) DI TPI UJUNGBATU JEPARA Trisnani Dwi Hapsari1
Ringkasan Ikan Tongkol adalah salah satu ikan ekonomis penting yang tidak hanya disukai oleh masyarakat Indonesia, tetapi juga beberapa negara di Asia. Diperlukan proses pemasaran yang baik dalam menyalurkan barang dari produsen hingga ke konsumen. Panjang pendeknya saluran pemasaran berpengaruh terhadap harga dari barang pada konsumen terakhir. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui saluran pemasaran, margin pemasaran serta efisiensi pemasaran pada tiap level lembaga pemasaran di TPI Ujungbatu Jepara. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi, wawancara, studi pustaka dan dokumentasi, sedangkan metode analisis data menggunakan metode deskriptif, margin pemasaran dan efisiensi pemasaran. Distribusi pemasaran ikan Tongkol di TPI Ujungbatu dipengaruhi oleh harga, produk, tempat, dan promosi. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa lembaga yang berperan dalam distribusi pemasaran ikan Tongkol adalah nelayan, pedagang besar, pedagang pengecer serta konsumen dengan pola distribusi yang terdiri dari 2 rantai pemasaran dan kesimpulan yang dapat diambil adalah keuntungan dan margin pemasaran terbesar diperoleh pedagang besar. Lembaga pemasaran baik pedagang besar maupun pengecer memiliki pemasaran yang efisien. 1 )Staf
Pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro E-mail:
[email protected]
Keywords Tongkol, Distribusi, Margin, Efisiensi, TPI Ujungbatu Received: 19 Nopember 2013 Accepted: 22 Januari 2014
PENDAHULUAN Potensi perikanan Indonesia berdasarkan jenis ikan sebagai tujuan penangkapan salah satunya adalah ikan pelagis. Menurut [1], sumberdaya ikan pelagis adalah jenisjenis ikan yang hidup di permukaan perairan. Ciri utama sumberdaya ikan pelagis tersebut antara lain: memiliki aktifitas relatif tinggi, gerak ruaya yang jauh dan membentuk gerombolan yang cukup besar, sehingga penyebarannya tidak merata dibandingkan ikan demersal. Ikan Tongkol tergolong ikan pelagis, perenang cepat, dipasarkan dalam bentuk segar, asin kering maupun asin rebus (pindang). Di Indonesia terdapat dua jenis ikan Tongkol yang sering tertangkap dan mempunyai nilai ekonomis penting yaitu ikan Tongkol jenis Euthynnus affinis dan ikan Tongkol jenis Auxis thazard. Perbedaannya adalah pada Auxis thazard tidak terdapat totol-totol putih pada tubuhnya dan panjang dapat mencapai sekitar 50 cm sedangkan umumnya hanya berkisar antara 25-40 cm [2].
Trisnani Dwi Hapsari1
132 Tabel 1 Daftar Harga Ikan di TPI Ujungbatu Tahun 2011 No
Nama Ikan
Harga rata-rata per Kg (Rp)
1
Petek
2.000,-
2
Pari
3.500,-
3
Tongkol
12.000,-
4
Kembung
3.500,-
Sumber: [4].
Ikan Tongkol adalah ikan ekonomis penting dengan jumlah ekspor terbesar di Indonesia kedua setelah Udang. Volume ekspor ikan Tongkol pada tahun 2010 sebanyak 122.450 ton, dan pada tahun 2011 sebanyak 131.269 ton, sehingga pada tahun 2011 volume ekspor mengalami kenaikan rata-rata sebesar 7,2 %. Negara tujuan ekspor ikan Tongkol sudah merambah keberbagai belahan dunia yakni Australia, Amerika, Kanada, dan negara-negara di Asia. Produk hasil perikanan yang diekspor tidak hanya dalam bentuk segar, tetapi ada juga dalam bentuk beku dan olahan/awetan [3]. Harga jual ikan Tongkol cukup tinggi di TPI Ujungbatu dibandingkan dengan ikanikan hasil tangkapan lain yang didaratkan di TPI Ujungbatu, yaitu sebesar Rp12.000,per kilogram (Tabel 1). Kelimpahan sumberdaya ikan Tongkol dan kandungan gizi tinggi yang terkandung dalam produk perikanan, berpengaruh terhadap peningkatan permintaan akan produk tersebut. Meningkatnya permintaan harus disertai dengan peningkatan mutu produk ikan, harga ikan, distribusi, promosi produk yang berkaitan dengan pemasaran hasil perikanan. Selain ikan Tongkol, ada ikan jenis lain yang ada di TPI Ujungbatu seperti ikan Petek, ikan Pari, dan ikan Kembung yang lebih dominan dibanding dengan jenis ikan lainnya. Pemasaran adalah kegiatan terpenting dalam usaha distribusi dan pemasaran ikan laut segar. Kegiatan pemasaran ini menjadi salah satu faktor penentu berjalannya usaha penjualan secara umum, khususnya nelayan sebagai produsen. TPI dalam saluran pemasaran ikan Tongkol di Ujungbatu ini berfungsi sebagai lembaga pemberi jasa. TPI berperan dalam pembentukan
harga awal ikan. Setelah hasil tangkapan nelayan didaratkan, kegiatan lelang dilakukan untuk menentukan harga ikan yang akan dijual ke pedagang-pedagang. Ikan Tongkol merupakan ikan ekonomis penting yang dominan ada di TPI Ujungbatu dibanding ikan ekonomis penting lainnya, sehingga diperlukan saluran pemasaran yang baik dalam menyalurkan barang dari produsen ke konsumen. Panjang pendeknya proses pemasaran berpengaruh terhadap harga dari barang pada konsumen terakhir. Melalui penelusuran saluran pemasaran pada hasil tangkapan ikan Tongkol ini, diharapkan dapat diketahui fungsi dan peranan pihak-pihak yang berperan dalam saluran pemasaran tersebut, seperti TPI, pedagang besar, pedagang kecil dan nelayan. Kondisi harga yang berfluktuasi dan musim yang tak menentu menimbulkan ketidakpastian pendapatan yang diperoleh nelayan dan lembaga pemasaran yang terlibat, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk : 1. Mengetahui saluran pemasaran ikan Tongkol yang didaratkan di TPI Ujungbatu Jepara; 2. Mengetahui pendapatan yang didapat oleh tiap lembaga pemasaran ikan Tongkol; 3. Mengetahui margin pemasaran yang terbentuk pada tiap-tiap tingkat pedagang ikan; dan 4. Mengetahui efisiensi pemasaran pada tiap level lembaga pemasaran.
MATERI DAN METODE Metode yang digunakan dalam praktik kerja lapangan ini adalah metode deskriptif yang bersifat studi kasus. Menurut [5], mendefinisikan metode deskriptif sebagai suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu fenomena, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang
Distribusi dan Margin Pemasaran Ikan Tongkol
yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Pengamatan yang dilakukan meliputi jalur distribusi ikan Tongkol dan margin pemasaran, aspek-aspek yang terkait didalamnya antara lain jumlah produksi dan nilai produksi ikan Tongkol, harga ikan Tongkol, biaya produksi dan keuntungan tiap level lembaga pemasaran. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Pengambilan data primer dilakukan dengan observasi dan wawancara. Data primer yang diambil meliputi: 1. 2. 3. 4.
Harga ikan Tongkol; Saluran pemasaran ikan Tongkol; Margin pemasaran ikan Tongkol; Biaya produksi pada pedagang pengecer dan pedagang besar ikan Tongkol; dan 5. Keuntungan yang didapatkan oleh pedagang pengecer dan pedagang besar ikan Tongkol. Sedangkan data sekunder dilakukan dengan cara mencatat data-data yang diperoleh dari TPI Ujungbatu. Data sekunder yang diambil meliputi: 1. Jumlah produksi dan nilai produksi hasil tangkapan yang didaratkan TPI Ujungbatu 3 tahun terakhir; 2. Jumlah produksi dan nilai produksi hasil tangkapan ikan Tongkol yang didaratkan TPI Ujungbatu setahun terakhir; 3. Peta lokasi penelitian; dan 4. Informasi-informasi lain yang terkait dengan penelitian.
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan antara lain : 1. Observasi
133
Observasi adalah teknik data dengan jalan mengadakan pengamatan secara langsung ke lapangan. Observasi dilakukan untuk mengumpulkan data kondisi obyektif daerah lokasi penelitian yaitu di TPI Ujungbatu. 2. Wawancara Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan jalan mengadakan tanya jawab dengan responden yaitu nelayan dan pedagang yang berkaitan dengan pemasaran ikan Tongkol. Wawancara digunakan untuk mengumpulkan data primer. Hal yang dilakukan adalah menyediakan kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada para responden yang terdiri dari nelayan, pedagang besar dan pengecer. 3. Studi pustaka Studi pustaka adalah teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data teoritis yang bersumberkan pada literatur-literatur yang sesuai dengan judul penelitian. Penggunaan teknik studi pustaka bertujuan untuk mengumpulkan data sekunder. 4. Dokumentasi Dokumentasi yaitu menjelaskan dan mengadakan penelitian yang bersumber pada tulisan atau bentuk gambar. Analisa Data Metode analisis data yang digunakan adalah: a. Metode deskriptif Menurut [5], metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, fenomena, sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifatsifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode deskriptif dapat digunakan untuk menjelaskan dan menggambarkan lokasi daerah penelitian, yaitu proses pemasaran, para pedagang baik pedagang besar maupun kecil Ikan Tongkol.
Trisnani Dwi Hapsari1
134
b. Margin pemasaran [6] mengemukakan bahwa marjin pemasaran menunjukkan persentase harga jual yang diterima oleh masing-masing pelaku pemasaran dibandingkan dengan harga eceran dari bentuk produk yang sama. Menurut [7], nilai margin pemasaran yang diperoleh dihitung dengan menggunakan rumus yaitu sebagai berikut: M = Hp − Hb dimana: M : Margin pemasaran Hb : Harga pembelian Hp : Harga penjualan
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemasaran Kegiatan pemasaran antara produsen (nelayan) ikan Tongkol kepada konsumen di TPI Ujungbatu berjalan lancar. Adanya perantara - perantara yang ikut terlibat seperti pedagang besar maupun pengecer dalam saluran pemasaran ikan Tongkol mempermudah produk ikan Tongkol sampai ke tangan konsumen. Kegiatan promosi yang tidak berjalan lancar dalam pemasaran, produk ikan Tongkol, harga ikan, dan tempat jual ikan hasil tangkapan berpengaruh terhadap proses pemasaran hasil tangkapan ikan Tongkol di TPI Ujungbatu Jepara.
c. Keuntungan Untuk mengetahui jumlah keuntungan yang diperoleh masing-masing tiap level lembaga pemasaran, digunakan rumus sebagai berikut: Q = M − Bp dimana: П : Keuntungan M : Margin pemasaran Bp : Biaya pemasaran d. Efisiensi pemasaran Untuk mengetahui tingkat efisiensi pemasaran Ikan Tongkol pada masing-masing lembaga pemasaran, digunakan rumus sebagai berikut: Eps =
Bp HE x100%
dimana: Eps : Efisiensi Pemasaran Bp : Biaya Pemasaran HE : Harga Eceran Kriteria: – Eps < 5% Efisien – Eps > 5 % tidak Efisien
Produk (Product) Produk yang diamati adalah ikan Tongkol, yang merupakan salah satu produk perikanan yang sangat diminati oleh konsumen. Ikan hasil tangkapan ikan Tongkol yang didaratkan di TPI Ujungbatu dijual per blong maupun per basket. Ikan Tongkol hasil tangkapan nelayan ini kemudian dibawa oleh pedagang besar untuk selanjutnya dikirim ke Jakarta atau Bandung dan pedagang kecil untuk dijual langsung kepada konsumen. Pengiriman ke luar kota harus tetap dalam keadaan segar, yaitu dengan dilakukan pengesan pada box sterefoam yang akan digunakan. 1. Berat Berat ikan Tongkol yang terdapat di TPI Ujungbatu berkisar antara 0,25 – 1 kg per ekor. 2. Warna Warna ikan yang banyak dipesan dan terjual adalah ikan Tongkol yang berwarna cerah. Kecerahan warna ikan ini juga sering kali menjadi patokan harga. Ikan Tongkol dengan warna permukaan tubuhnya cerah cenderung lebih mahal dari pada ikan Tongkol yang warnanya pucat.
Distribusi dan Margin Pemasaran Ikan Tongkol
3. Kondisi fisik ikan Ikan Tongkol dengan kondisi tubuh yang tidak cacat dan segar berharga lebih mahal. Sebagian besar penjual pengecer yang ikannya tidak terjual pada hari itu, mempertahankan kesegarannya dengan cara mengawetkannya dengan es. Untuk ukuran satu balok es air tawar dapat digunakan untuk mendinginkan ikan agar tetap segar kurang lebih 350 kg ikan dalam box sterofoam untuk yang siap kirim dan 100 kg untuk ikan yang dijual pengecer sampai ikan tersebut laku.
Harga (Price) Harga ikan Tongkol pada TPI Ujungbatu ditentukan oleh proses lelang. Kegiatan lelang biasanya menentukan harga ikan Tongkol dari harga ikan Tongkol hari yang lalu dengan jumlah hasil tangkapan ikan Tongkol nelayan yang pada hari tersebut didaratkan serta musim ikan Tongkol tersebut. Harga rata-rata ikan Tongkol pada musim paceklik mencapai Rp15.000,- / kg, Rp12.000,- / kg saat musim biasa, dan di musim panen Rp9.000,- / kg.
Lokasi (Placement) Lokasi TPI Ujungbatu terletak di Desa Ujungbatu di mana daerah tersebut berada di daerah pesisir. Letaknya lokasi ini cukup strategis karena transportasi menuju TPI Ujungbatu dekat dari jalan utama dan dekat dengan pusat kota yang berjarak kurang lebih 1,5 Km. Kondisi jalan menuju TPI sendiri sudah baik sehingga memudahkan bagi para pembeli ikan Tongkol yang umumnya adalah daerah sekitar Ujungbatu untuk secara langsung membeli dan memilah. Kemudahan akses lokasi itulah yang menyebabkan lancarnya distribusi proses pemasaran ikan. Pedagang besar biasa menggunakan mobil pick up untuk memudahkan pengangkutan, sedangkan pedagang kecil/ pengecer menggunakan sepeda motor milik sendiri atau angkutan
135
umum yang menuju tempat-tempat konsumen lokal di pasar-pasar tradisional maupun mendatangi konsumen langsung dari rumah ke rumah.
Promosi (Promotion) Berdasarkan hasil penelitian pemasaran ikan Tongkol di TPI Ujungbatu ini menggambarkan bahwa promosi ikan Tongkol tangkapan nelayan tidak berjalan. Promosi tidak berjalan dikarenakan media yang digunakan untuk promosi kurang tersedia di Desa Ujungbatu. Selain itu, para pedagang lebih cenderung menggunakan jalan mudah dan hemat biaya seperti dengan menawarkan ikan Tongkol secara langsung kepada pengunjung TPI.
Saluran Pemasaran Saluran pemasaran ikan Tongkol di TPI Ujungbatu berjalan lancar. Adanya perantaraperantara pemasaran memudahkan produsen untuk mendistribusikan ikan Tongkol agar sampai ke tangan konsumen. Pihakpihak yang terlibat dalam saluran pemasaran antara lain, produsen (nelayan), pedagang besar, pengecer, TPI, dan konsumen.
Produsen (nelayan) Produsen disini adalah nelayan yang menghasilkan produk berupa ikan Tongkol. Sebagian besar nelayan di Desa Ujungbatu menggunakan alat tangkap mini purse seine dengan lama penangkapan tiap trip 1 hari. Ikan Tongkol yang didapat dari hasil melaut per tripnya berkisar antara 10004000 kg dengan nilai produksi rata-rata Rp 5.737.000,-, tergantung musim dari ikan Tongkol. Nelayan disini dibagi menjadi 3, yaitu pemilik kapal, nahkoda, dan ABK (Anak Buah Kapal). Pembagian hasil tangkapan yang dilakukan oleh nelayan di TPI Ujungbatu dengan
Trisnani Dwi Hapsari1
136 Tabel 2 Rincian Pendapatan, Pengeluaran dan Pembagian Hasil Nelayan ikan Tongkol per Trip Jenis Biaya
Jumlah (Rp)
Pendapatan (harga jual/basket x vol. Hasil) - Tongkol Rp450.000,-/basket x 14 basket
6.300.000,-
- Cumi-cumi Rp400.000,-/basket x 4 basket
1.600.000,-
- Teri Rp300.000,-/basket x 5 basket
1.500.000,-
- Ikan lainnya
3.600.000,-
Jumlah
13.000.000,-
Pengeluaran Logistik
2.000.000,-
Retribusi 5 %
650.000,-
Es Rp17.000,- x 20 balok
255.000,-
Air bersih
250.000,-
BBM Rp4.500,- /liter x 100 liter
450.000,-
Rokok
340.000,-
Jumlah
3.945.000,-
Keuntungan
9.055.000,-
Pembagian hasil Pemilik 40 %
3.622.000,-
ABK 60 %
5.433.000,-
perbandingan 40%:60% dari total hasil tangkapan setelah dipotong untuk biaya perbekalan antara pemilik dengan ABK. Rincian pendapatan, pengeluaran serta pembagian hasil nelayan ikan Tongkol dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan rincian Tabel 2 di atas dapat diketahui keuntungan per trip penangkapan yaitu sebesar Rp13.000.000,-. Dari kesepakatan pembagian hasil, pemilik kapal mendapatkan Rp3.622.000,- dan ABK Rp5.433.000,-. Masing-masing ABK mendapatkan hasil rata-rata Rp362.200,- dengan jumlah ABK 15 orang. Menurut nelayan setempat, musim puncak terjadi pada bulan November dengan ditandainya hasil tangkapan yang meningkat dari bulan-bulan sebelumnya. Selama satu bulan, nelayan ikan Tongkol biasanya melakukan penangkapan ikan sebanyak 10 trip dengan lama 2 hari/trip. Ketika bulan bersinar terang, nelayan memilih untuk tidak melaut karena hasil tangkapan yang sedikit sehingga nelayan merugi akibat tidak dapat menutup biaya operasional.
Pedagang besar Pedagang besar di TPI Ujungbatu disebut juga dengan agen. Pedagang besar menyalurkan produk ikan Tongkol keluar kota seperti Bandung dan Jakarta. Harga ikan Tongkol di TPI rata-rata Rp12.000,-/ kg. Pedagang besar yang membeli ikan dalam jumlah besar tidak hanya menjual ikan Tongkol saja, tetapi ikan-ikan lain seperti ikan Teri, Udang dan Cumi-cumi. Rincian pendapatan dan pengeluaran pedagang besar ikan Tongkol dapat dilihat pada Tabel 3. Pedagang besar membeli ikan Tongkol langsung di TPI dengan cara melelang hasil tangkapan dengan harga tinggi. Konsumen luar kota membeli ikan dari pedagang besar dengan harga Rp15.000,-/ kg dengan volume 1.500 kg/hari. Pengiriman dilakukan setiap hari dengan menggunakan truck. Ikan-ikan yang dikirim keluar kota dimasukkan kedalam box-box sterefoam yang berisi es curai dan dibedakan berdasarkan jenis ikannya pada tiap box-nya. Tabel 3 menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh pedagang besar adalah sebesar Rp6.190.000,-/ hari tiap kali pengiriman. Keuntungan yang besar didapatkan karena adanya penjualan ikan jenis lain yang mempunyai nilai jual yang tinggi, yaitu pada ikan Teri dan Cumi-cumi yang harga jualnya mencapai Rp40.000,/ kg. Keuntungan yang didapat dari penjualan khusus ikan Tongkol yaitu sebesar Rp2.519,-/ kg. Keuntungan yang didapatkan merupakan laba bersih yang sudah dikurangi dengan biaya-biaya operasional dan pengeluaran lainnya. Kurangnya pasokan ikan-ikan dari nelayan di TPI Ujungbatu merupakan kendala yang dihadapi oleh pedagang besar saat cuaca buruk yang tidak memungkinkan nelayan untuk melaut serta musim ikan Tongkol yang hanya ada pada saat-saat tertentu saja. Aktivitas penjualan yang dilakukan oleh pengecer dilakukan setiap hari. Berdasarkan hasil perhitungan Tabel 7, keuntungan yang didapatkan oleh pedagang penge-
Distribusi dan Margin Pemasaran Ikan Tongkol
137
Tabel 3 Rincian Pendapatan dan Pengeluaran Pengecer Tongkol per Hari Jenis Biaya
Jumlah (Rp)
Pendapatan (harga/kg x vol.penjualan) - Tongkol Rp13.500,-/kg x 12 kg
162.000,-
- Teri Rp28.000,-/kg x 25 kg
700.000,-
- Pari Rp70.000,-/kg x 55 kg
3.850.000,-
- Udang Rp47.500,-/kg x 25 kg Jumlah
1.187.500,5.899.500,-
Pengeluaran - Modal beli ikan - Retribusi - Es Rp17.000,- x 3 balok
5.406.000,40,51.000,-
- Plastik
2.200,-
Jumlah
5.459.240,-
Keuntungan
Gambar 1 Saluran Pemasaran Ikan Tongkol di TPI Ujungbatu
439.960,-
cer sebesar Rp439.960,- per harinya. Keuntungan yang besar didapatkan karena adanya penjualan ikan jenis lain yang mempunyai nilai jual yang tinggi, yaitu pada ikan Pari yang harga jualnya mencapai Rp70.000,/ kg. Keuntungan yang didapat dari penjualan khusus ikan Tongkol yaitu sebesar Rp1.045,-/ kg. Keuntungan yang didapatkan merupakan laba bersih yang sudah dikurangi dengan biaya-biaya operasional dan pengeluaran lainnya.
Konsumen Konsumen adalah sasaran penjualan terakhir ikan Tongkol dalam rantai pemasaran. Mutu yang baik, kesegaran ikan dan harga yang terjangkau merupakan keinginan konsumen untuk membeli ikan Tongkol. Harga jual ikan Tongkol kepada konsumen lokal (daerah sekitar TPI, pasar tradisional dan Jepara) rata-rata Rp13.500,-/kg. Hasil tangkapan nelayan yang dilelang di TPI langsung dibeli oleh pedagang besar/agen penjual dan selanjutnya dikirim keluar kota. Selain pedagang besar/agen, pengecer juga membeli hasil lelang di TPI yang dipasarkan ke konsumen lokal sekitar TPI, pasar tradisional dan Jepara. Pemasaran hasil tangkapan ikan Tongkol di TPI Ujungbatu ada dua saluran, yaitu:
Margin Pemasaran Volume produksi, harga per kilogram, biaya pemasaran dan musim adalah faktor-faktor yang mempengaruhi margin pemasaran ikan Tongkol di TPI Ujungbatu. Semakin tinggi margin maka semakin tinggi pula beban besar yang ditanggung oleh konsumen akhir. Margin yang didapat dari saluran pemasaran hasil tangkapan ikan Tongkol di TPI Ujungbatu dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan hasil perhitungan margin pemasaran yang terbentuk dari saluran pemasaran hasil tangkapan ikan Tongkol, setiap saluran pemasaran memiliki nilai margin yang berbeda sesuai kemampuan saluran pemasaran. Margin tertinggi ada pada saluran pedagang besar yang menjual ke konsumen luar kota, yaitu sebesar Rp3.000,/ Kg. Margin terendah yaitu sebesar Rp1.500,/ Kg terdapat pada saluran pengecer yang menjual ke konsumen lokal. Rendahnya margin yang didapatkan oleh pedagang pengecer disebabkan karena sedikitnya modal yang dimiliki oleh pedagang pengecer dan rendahnya kualitas ikan Tongkol dibandingkan dengan permintaan luar kota. Efisiensi Pemasaran Efisiensi pemasaran adalah perbandingan antara biaya pemasaran dengan total nilai penjualan yang dinyatakan dalam bentuk persen. Kriteria yang dapat dipakai untuk mengukur efisiensi pemasaran adalah margin, harga ditingkat konsumen, tersedianya fasilitas fisik pemasaran, dan pesaing pasar di TPI Ujungbatu. Tingkat efisiensi pemasaran yang didapat dari masing-masing
Trisnani Dwi Hapsari1
138 Tabel 4 Margin Pemasaran Ikan Tongkol
Saluran Pemasaran Saluran 1 Nelayan → TPI Pedagang besar → konsumen luar kota Saluran 2 Nelayan → TPI Pengecer → konsumen lokal
Harga Beli (Rp/Kg)
Harga Jual (Rp/Kg)
Margin (Rp/Kg)
12.000,-
12.000,15.000,-
3.000,-
12.000,-
12.000,13.500,-
1.500,-
Tabel 5 Tingkat Efisiensi Pemasaran Efisiensi pemasaran (%) Lembaga Pemasaran
Keterangan Saluran 1
Pedagang besar Pengecer
Saluran 2
3.2
Efisien 3.3
Efisien
lembaga pemasaran di TPI Ujungbatu dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa pedagang besar lebih efisien jika dibandingkan dengan pengecer. Jumlah efisiensi yang diperoleh oleh pedagang besar sebesar 3,2%, sedangkan jumlah efisiensi yang diperoleh oleh pengecer sebesar 3,3%.
SIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian adalah sebagai berikut: Saluran pemasaran hasil tangkapan ikan Tongkol di TPI Ujung batu ada 2 saluran yakni:
Keuntungan yang didapat pada nelayan, pedagang besar dan pedagang pengecer yang dihitung dari pendapatan dikurangi jumlah pengeluaran, didapatkan hasil untuk kapal ikan Tongkol (nelayan) mendapatkan keuntungan per trip penangkapan sebesar Rp9.055.000,- hasil tersebut belum di bagi antara pemilik kapal dan ABK, dengan pembagian hasil 40%:60% antara pe-
milik kapal dan ABK maka didapatkan keuntungan pemilik kapal per trip penangkapan Rp3.622.000,- dan untuk ABK mendapatkan masing-masing Rp362.200,-. Pedagang besar mendapatkan keuntungan khusus ikan Tongkol sebesar Rp2.519,-/kg dan pedagang pengecer mendapatkan keuntungan khusus ikan Tongkol sebesar Rp1.045,/kg. Margin harga terbesar diperoleh pedagang besar/ agen ikan Tongkol sebesar Rp3.000,per kilogram dikarenakan pedagang besar memberikan kualitas yang sesuai dengan keinginan konsumen luar kota. Lembaga pemasaran baik pedagang besar dan pengecer memiliki pemasaran yang efisien dengan nilai efisiensi masing-masing sebesar 3,2% dan 3,3%.
Pustaka 1. Badrudin. 1998. Penyebaran Potensi dan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia : Sumberdaya Ikan Demersal. LIPI, Jakarta 2. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Buku Pedoman Sumber Pengenalan Perikanan Laut (Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting). DKP. Jakarta. 3. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Statistik Ekspor Hasil Perikanan. Diakses dari www.statistik.kkp.go.id tanggal 5 Maret 2012. 4. Tempat Pelelangan Ikan Ujungbatu. 2011. Laporan Tahunan. Jepara. 5. Arikunto, S. 2003. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta. 6. Antoni, H., Fahrudin, A., Istiqlaliyah, M., Kusumastuti, Y. I. dan W. Oktariza. 1996. Studi Distribusi Pemasaran Hasil Perikanan Laut dari Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Jurnal Ekonomi Perikanan IPB Bogor 2 (2) : 34-41. 7. Anwar, I.M. 1994. Dasar-dasar Marketing. Alumni Bandung. Bandung.
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
EVALUASI KANDUNGAN FORMALIN PADA IKAN ASIN DI LAMPUNG Mahrus Ali1 · Suparmono1 · Siti Hudaidah1
Ringkasan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan formalin pada ikan asin yang beredar di provinsi Lampung. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik purposive sampling. Identifikasi formalin dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan teskit formalin antilin® yang dilanjutkan dengan analisis kuantitatif menggunakan spektrofotometer. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produk ikan asin yang terdapat di Lampung sangat beragam baik ditinjau jenis ikan, karakteristik maupun bentuk olahan. Ikan asin yang mengandung formalin sebanyak 25,92% dari sampel yang diteliti dengan kadar formalin berada pada level yang membahayakan, terutama sampel ikan layur dari Lampung Timur, ikan sebelah dari Bandar Lampung dan ikan nila dari Lampung Selatan.
Keywords ikan asin, formalin, Lampung Received: 23 Nopember 2013 Accepted: 12 Januari 2014
PENDAHULUAN Pengolahan ikan dengan cara diasinkan (salted fish) merupakan cara pengawetan ikan 1 )Jurusan
Budidaya Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung E-mail:
[email protected]
yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia yang hingga kini masih digemari [1]. Pada prinsipnya pengolahan ikan asin menggabungkan metode pengeringan dan penggraman [2]. Meskipun begitu, ternyata pengetahuan masyarakat terhadap ikan asin yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi relatif masih rendah, terlihat dari masih banyaknya ikan asin berformalin yang beredar di pasaran, padahal dampaknya sangat merugikan kesehatan. Penambahan bahan aditif pada produk perikanan sulit untuk dihindari mengingat komuditas perikanan termasuk paling mudah busuk (perishable food ) [2]. Dalam usaha pengolahan bahan pangan dikenal penggunaan bahan pengawet (food additive) untuk menjaga daya tahan suatu bahan pangan [3], namun dalam praktiknya masih banyak produsen yang menggunakan bahan pengawet berbahaya seperti formalin pada produk pangan, salah satunya pada ikan asin. Formalin (formaldehide) adalah salah satu zat yang dilarang berada dalam bahan makanan. Formalin dapat bereaksi cepat dengan lapisan lendir saluran pencernaan dan saluran pernafasan. Di dalam tubuh cepat teroksidasi membentuk asam format terutama di hati dan sel darah merah. Pemakaian formalin pada makanan dapat mengakibatkan keracunan yaitu rasa sakit perut yang akut disertai muntah-muntah, tim-
Mahrus Ali1 et al.
140
bulnya depresi susunan syaraf atau kegagalan peredaran darah [4]. Produk ikan asin ternyata merupakan salah satu produk perikanan yang banyak dilaporkan mengandung formalin, sebagaimana hasil penelitian [5], sampel ikan asin dari Jrakah, Jawa Tengah diketahui positif mengandung formalin, disamping itu hasil uji laboratorium yang dilakukan, di sejumlah pasar tradisional di Jakarta, menyebutkan bahwa seluruh sampel ternyata mengandung formalin, dan di Madura terutama sampel dari pasar Kamal, Socah Bangkalan dan dari salah satu pasar dari Sampang juga positif mengandung formalin [6]. Ikan asin yang mengandung formalin dapat diketahui lewat ciri-ciri antara lain tidak rusak sampai lebih dari satu bulan pada suhu 250C, bersih, cerah dan tidak berbau khas ikan asin, tidak dihinggapi lalat di area berlalat [7]. Selain itu dagingnya kenyal, utuh, lebih putih dan bersih dibandingkan ikan asin tanpa formalin yang berwarna agak coklat [8]. Maka dari itu perlu adanya kajian keberadaan senyawa formalin pada ikan asin yang ada di provinsi Lampung. Penelitian ini menjadi penting mengingat konsumen ikan asin di Lampung sangat tinggi, sehingga diharapakan dapat memberikan informasi dan proteksi pada konsumen terhadap bahan kimia formalin yang terdapat pada ikan asin. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada Bulan September hingga Desember 2012 di Laboratorium Analisis Politeknik Negeri Lampung dan Laboratorium Perikanan Universitas Lampung. Bahan yang dipakai pada penelitian ini adalah ikan asin yang diperoleh dari beberapa pasar di Sembilan Kabupaten di Provinsi Lampung. Bahan kimia yang dipakai adalah asam kromatofat, akuades, tes kit formalin (merk: antilin) (Gambar 1.) yang diproduksi oleh Badan Besar Riset Pasca Panen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Peralatan yang akan digunakan pada penelitian
Gambar 1 Tes kit formalin dan hasil uji pada ikan asin
ini adalah beaker glass, pengaduk, kompor, tabung reaksi, rak tabung reaksi, erlenmeyer dan spektrofotometer. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan teknik purposive sampling yakni pengambilan sampel didasarakan pada ikan asin yang memiliki ciri-ciri seperti: warnanya terang, tidak dihinggapi lalat, bau ikan asin yang kurang khas, dan teksturnya keras. Identifikasi keberadaan formalin pada ikan asin dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Pengujian awal dilakukan secara kualitatif, jika hasil uji positif akan dilanjutkan dengan pengujian secara kuantitatif menggunakan spektrofotometer. Analisis kualitas ikan asin Mutu ikan asin ditentukan berdasarkan parameter organoleptik dan kimiawi. Metode organoleptik menggunakan uji hedonik (tingkat kesukaan) dari panelis dengan bantuan scoresheet yang meliputi tekstur ikan asin, warna dan aroma ikan asin [9]. Kualitas kimiawi yang diamati berupa kadar air dengan menggunakan metode thermogravimetry, analsisis kadar protein dengan metode Kjeldhal, kadar lemak menggunakan goldfisch [10].
Analisis formalin secara kualitatif Analisis ini dilakukan dengan menimbang sampel ikan asin sebanyak 10 gram kemudian dicincang (blender), ditambahkan air panas sebanyak 20 mL dan dibiarkan dingin. Setelah itu diambil sampel (extract) sebanyak 5 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang selanjutnya ditambahkan larutan titer antilin sebanyak empat te-
Kandungan Formalin Pada Ikan Asin Di Lampung
141
tes pada sambil dihomogenkan. Pengamatan dilakukan dengan melihat perubahan warna pada ekstrak sampel. Produk ikan asin yang mengandung formalin akan berubah warnanya dari bening menjadi merah muda hingga ungu. Semakin ungu kadar formalin semakin tinggi [11].
yang hampir ditemukan di seluruh kabupaten di provinsi Lampung adalah: teri nasi, cumi, ikan kepala batu, petek, tanjan, ikan sebelah ikan jolot, layur, lemuru, dencis, nila, ikan layang dan ikan sepat. Menurut [12], semua jenis ikan, dari berbagai ukuran dan mutu dapat diolah menjadi produk ikan asin.
Analisis formalin secara kuantitatif Sampel yang positif mengandung formalin kemudian diuji secara kuantitatif menggunakan spektrofotometer untuk mengetahui konsentrasi formalin yang dikandungnya. Pembuatan larutan standar yaitu dengan melarutkan formadehide dan menjadikannya beberapa konsentrasi yaitu 0; 0,05; 0,1; 0,5; 0,75; 1,0; 1,5; dan 2 ppm di dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 5 ml asam kromatofat pada tiap konsentrasi dan dipanaskan selama 30 menit pada suhu 1000C, kemudian dilakukan pembacaan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm hingga diperoleh nilai kurva standar [6]. Sampel sebanyak 20 ml dihomogenkan dengan akuades dan dipanaskan sampai mendidih lalu disaring. Filtrat kemudian diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 5 ml asam kromatofat selanjutnya sampel dipanaskan selama 20 menit lalu dinginkan dan diikuti dengan pengukuran absorbansi sampel. Nilai absorbansi sampel dibandingkan dengan larutan standar pada tiap konsentrasi dan ditentukan konsentrasi kandungan formalin dengan menggunakan regresi linear.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisitik produk ikan asin di Lampung Produk ikan asin yang beredar di Lampung sangat beragam baik jumlah maupun jenis ikan yang digunakan sebagai bahan baku. Secara umum beberapa jenis ikan asin
Banyaknya keragaman jenis ikan asin ini dikarenakan hingga kini olahan ikan asin sangat digemari oleh masyarakat Indonesia dan menjadi salah satu menu favorit konsumsi harian masyarakat. Disamping itu mudahnya dalam proses pengolahan, harga yang murah serta biayanya yang rendah menyebabkan banyak nelayan yang melakukan pengolahan ikan tangkapan mereka menjadi ikan asin. Ikan asin yang beredar di Lampung dilihat dari bentuk olahannya juga beragam, ada yang utuh (whole) dan tanpa mengalami perlakuan pemotongan, dalam bentuk sayatan daging tanpa atau dengan kulit (skinless fillet, fillet skin on fillet), atau sayatan ikan berbentuk kupu-kupu (butterfly fillet) dan fillet tanpa kepala (haedless fillet). Perbedaan bentuk olahan tersebut didasari pada besar kecilnya ikan yang akan dijadikan produk asin. Ikan yang berdaging tebal atau besar, jika tidak difilet maka proses pengeringannya memakan waktu lama dan kemungkinan masih ada bagian di dalam tubuh ikan yang belum kering. Data pengamatan proksimat dari sampel ikan asin (data tidak ditampilkan) sangat bervariasi dikarenakan perbedaan bahan baku yang digunakan. Kisaran rata-rata kadar air ikan asin berformalin sebesar 35,31%, kadar protein sebesar 26,02% dan kadar lemak sebesar 6,06% serta kadar abu sebesar 25,8% yang tidak berbeda jauh dengan [13]. Salah satu keunikan ikan asin adalah tingginya kadar protein yang dikandungnya, hal ini terjadi karena adanya proses pengurangan kadar air dalam bahan sehingga kadar protein mengalami peningkatan konsentrasi, begitupun juga dengan kadar lemak. Analisis organoleptik meliputi warna, tekstur dan aroma ikan asin yang diperoleh data bahwa rata-rata tingkat ke-
Mahrus Ali1 et al.
142
sukaan konsumen berturut-turut yakni: sangat suka (angka 8), suka (angka 7) dan agak suka (angka 6). Perbedaan penilaian ini dikarenakan beberapa hal diantaranya kualitas ikan asin memang berbeda tiap sampelnya.
Kadar formalin pada ikan asin Hasil pengujian secara kualitatif dengan menggunakan tes kit Antilin pada 27 sampel ikan asin dari 9 kabupaten di Lampung diperoleh data bahwa sebanyak 7 sampel ikan asin (25,92%) positif mengandung formalin (Tabel 1). Indikasi ini terlihat dari perubahan warna sampel dari putih (keruh) hingga berwarna ungu setelah diuji menggunakan antilin. Jenis sampel yang positif mengandung formalin yakni: sampel ikan sebelah dari Lampung Timur, ikan layur dan ikan petek dari Bandar Lampung, ikan dencis dan nila dari Pesawaran, ikan kembung dari Lampung Utara dan ikan nila dari Lampung Selatan. Sementara sampel dari Kota Metro, Pulau Pasaran, dan Lampung Barat tidak terdeteksi adanya formalin. Besarnya prosentase sampel ikan yang mengandung formalin dikarenakan saat sampling kami memilih ikan asin dengan kriteria tertentu yang secara fisik diindikasikan menggunakan bahan pengawet formalin. Ketujuh sampel ikan asin kemudian diuji dengan menggunakan spektrofotometer untuk melihat konsentrasi (ppm) formalin yang terkandung di dalamnya (Tabel 1). Kandungan formalin pada ikan asin berkisar 0,33-2,63 ppm. Penggunaan formalin dalam bahan pangan telah dilarang oleh pemerintah sebagaimana Peraturan Menteri Kesehatan No. 1168/ Menkes/ PER/ X/ 1999. Serendah apapun konsentrasi formalin dalam bahan pangan akan menimbulkan masalah, akumulasi formalin yang tinggi di dalam tubuh akan menyebabkan berbagai keluhan, misalnya iritasi lambung dan kulit, muntah, diare, serta alergi, bahkan bisa menyebabkan kanker [4].
Menurut IPCS (International Programme on Chemical Safety), lembaga khusus dari tiga organisasi di PBB, yaitu ILO, UNEP, serta WHO, yang mengkhususkan pada keselamatan penggunaan bahan kimiawi, secara umum ambang batas aman di dalam tubuh adalah 1 miligram per liter (1 ppm). Formalin yang masuk ke tubuh melebihi ambang batas tersebut maka dapat mengakibatkan gangguan pada organ dan sistem tubuh manusia. Akibat yang ditimbulkan tersebut dapat terjadi dalam waktu singkat atau jangka pendek dan dalam jangka panjang, bisa melalui hirupan, kontak langsung atau tertelan [14]. Adanya residu formalin pada produk ikan asin di Lampung perlu segera diatasi agar konsumen terpenuhi haknya untuk mendapatkan produk pangan yang bermutu dan aman sesuai dengan peraturan dan perundangundangan yang berlaku. Baik produsen dan konsumen ikan asin juga perlu diberikan pemahaman mengenai bahaya yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi bahan tambahan makanan yang dilarang.
SIMPULAN Ikan asin yang mengadung formalin sebanyak 25,92% dari sampel yang sebelumnya dicurigai. Kadar formalin dalam ikan asin berada pada level yang membahayakan terutama sampel ikan layur dari Lampung Timur, ikan sebelah dari Bandar Lampung dan sampel ikan nila dari Lampung Selatan. Sedangkan sampel lainnya masih berada di bawah ambang batas, namun tetap tidak aman untuk dikonsumsi.
Pustaka 1. Suhartini, S dan N, Hidayat. 2005. Olahan ikan segar. Penerbit Trubus Agrisarana. Surabaya 2. Afrianto, E dan E. Liviawati. 1989. Pengawetan dan pengolahan ikan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta 3. Winarno, FG . 2004. Keamanan pangan. Jilid 1. M-Brio Press. Bogor
Kandungan Formalin Pada Ikan Asin Di Lampung 4. Handayani. 2006. Bahaya kandungan formalin pada makanan. PT. Astra International Tbk. Jakarta 5. Suwahono, M., Taufik, N. dan Faizah. 2009. Analisis kualitatif adanya formaldehid pada ikan asin. Makalah yang tidak dipublikasikan Jurusan Tadris kimia Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. Semarang 6. Hastuti, S. 2010. Analisis kualitatif dan kuantitatif formaldehid pada ikan asin di Madura. Agrointek. Vol. 4, No. 2. Agustus 2010. 132137p 7. Astuti, LDP. 2010. Ciri-ciri 4 zat berbahaya pada makanan. http://www.ahliwasir.com/. Diakses Tanggal 10 Desember 2013 8. Widyaningsih, DT dan SM, Erni. 2006. Formalin. Penerbit Trubus Agrisarana. Surabaya 9. Standar Nasional Indonesia. 1992. Metode pengujian organoleptik. SNI 01-2345-1991. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta 10. Sudarmadji S., B. Haryono dan Suhardi. 1996. Prosedur analisa untuk bahan makanan dan pertanian. Liberty. Yogyakarta 11. BBRP2B. 2012. Prosedur penggunaan tes kit antilin. Balai Besar Riset Pasca Banen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Jakarta 12. Sari, KM. 2011. Analisis usaha pengolahan ikan asin di Kabupaten Cilacap. Skripsi. Unpublish. Universitas Sebelas Maret. Surakarta 13. Standar Nasional Indonesia. 2009. Standar produk perikanan, standar ikan asin kering. SNI 01-2721-2009. Badan Standardisasi Nasional. Jakarta 14. Fahrudin. 2007. Formalin dan Bahayanya bagi Kesehatan. http://www.tribun-timur.com Diakses Tanggal 29 Februari 2012
143
Mahrus Ali1 et al.
144 Tabel 1 Karakteristik sampel ikan asin asal Lampung Jenis Ikan Asin Cumi-cumi (Loligo sp)
Bentuk Olahan
Kandungan Formalin
Whole
Negatif
Teri nasi (Stolephorus spp)
Whole
Negatif
Teri nilon(Stolephorus spp)
Whole
Negatif
Ikan sampa (Heterobranchus sp)
Whole
Negatif
Ikan petek (Secutor sp)
Whole
Negatif
Butterfly fillet
Negatif
Cumi-cumi (Loligo sp)
Whole
Negatif
Ikan pari (Trygon sephen)
Whole
Negatif
Ikan sebelah (Bothus ocellatus)
Whole
2,09 ppm
Ikan kepala batu (Atherinomorus sp)
Ikan kepala batu (Atherinomorus sp)
Butterfly filet
Negatif
Ikan layur (Trichiurus savala)
Butterfly filet
1,72 ppm
Ikan petek (Secutor sp)
Butterfly filet
0,48 ppm
Ikan lemuru (Sardinella lemuru)
Whole
Negatif
Ikan dencis/ lemuru (Sardinella lemuru)
Whole
0,94 ppm
Skin on fillet
0,33 ppm
Butterfly fillet
Negatif
Ikan nila (Orheochromis sp) Ikan kepala batu (Atherinomorus sp) Ikan gabus (Channa striatus) Ikan lemuru (Sardinella lemuru) Mujair (Orheochromis musambicus) Ikan kembung (Rastrelliger faughni)
Headless butterfly fillet
Negatif
Whole
Negatif
Butterfly fillet
Negatif
Whole
0,82 ppm
Butterfly fillet
Negatif
Ikan teri nasi (Stolephorus spp)
Whole
Negatif
Ikan layang (Decapterus russeli )
Whole
Negatif
Ikan sepat (Trichogaster sp)
Whole
Negatif
Ikan kepala batu (Atherinomorus sp)
Ikan sepat (Trichogaster sp)
Whole
Negatif
Ikan nila (Orheochromis sp)
Skin on fillet
2,63 ppm
Ikan layur (Trichiurus sp)
Butterfly fillet
Negatif
Asal Sampel
Pulau Pasaran, Bandar Lampung
Kota Metro (asal ikan dari Labuhan Maringgai)
Kuala Penat, Lampung Timur
Teluk Betung, Bandar Lampung
Pesawaran (asal ikan dari Rawa Jitu)
Kota Agung, Tanggamus
Lampung Utara
Krui dan Danau Ranau, Lampung Barat
Lampung Selatan
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
PENAPISAN BAKTERI PENDEGRADASI TOTAL AMMONIA NITROGEN DARI SEDIMEN TAMBAK TRADISIONAL UDANG WINDU (Penaeus monodon) Eva Susanti1 · Esti Harpeni2 · Agus Setyawan2 · Berta Putri2
Ringkasan Bioremediation is an effort to reduce pond waste pollution by exploiting the ability of microorganisms. The purpose of this study was to find the candidates of bioremediation bacterial isolates that were able to degrade the total ammonia nitrogen from the traditional pond sediment. Sediment was taken from three tiger shrimp ponds in Mulyosari, Pasir Sakti, of East Lampung. Distances of each ponds from coastal area were TI (600 m), T2 (1.200 m) and TII (1.800 m), respectively. Phenate method was used to test TAN degrading apability. The result showed that three of the best isolates were most able to reduce TAN, namely TI6, TI1, and TII5. Those isolates were able to degrade TAN 0,10; 0,06 and 0,06 mg/L, respectively. Those three isolates were identified as genus Campylobacter, Listeria and Nitrosococcus.
Keywords screening, TAN-degrading, bacteria, tiger shrimp, ponds Received: 28 Nopember 2013 Accepted: 18 Januari 2014
1 )Alumni
Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung 2 ) Dosen Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung Alamat: Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Unila Jl. Prof. S. Brodjonegoro No. 1 Gedong Meneng Bandar Lampung 35145 E-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang mempunyai peluang besar untuk mengembangkan usaha budidaya udang. Total produksi udang Indonesia mengalami peningkatan hingga 32,87%, dari 400.385 ton pada tahun 2011 menjadi 457.600 ton tahun 2012 [1]. Produksi udang yang terus menerus akan menyebabkan daya dukung lingkungan budidaya menurun. Penurunan daya dukung lingkungan budidaya umumnya terjadi karena pencemaran lingkungan, akumulasi bahan organik dan penurunan kualitas air [2]. Pencemaran pada perairan budidaya biasanya berasal dari sisa pakan buatan (pelet) dan feses hewan yang dibudidayakan [3]. Akumulasi sisa pelet (pakan udang buatan) mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi, yaitu sekitar 40% [4]. Proses perombakan pelet akan menghasikan senyawa nitrogen organik berupa TAN (Total Ammonia Nitrogen) yaitu amonia (NH3 ) dan amonium (NH4 + ) yang menurut [5] senyawa yang non ion (NH3 ) relatif lebih toksik pada udang daripada yang berbentuk ion (NH4 + ). Para pembudidaya tambak udang melakukan usaha untuk mengurangi senyawa TAN di perairan adalah dengan menerapkan teknik sedimentasi menggunakan kolam tandon air untuk mengendapkan air sebelum air dimasukkan ke dalam tambak. Namun, cara lain yang efektif untuk menurunkan kandungan TAN dapat dilakukan dengan
Eva Susanti1 et al.
146
Tabel 1 Kemampuan Tiga kandidat isolat bakteri yang dapat menurunkan kandungan TAN (mg/L).
Kode Bakteri
Gambar 1 Layout Aliran Air Tambak Udang Windu (Penaeus monodon) di Desa Mulyosari, Kecamatan Pasir Sakti, Kabupaten Lampung Timur
Nilai TAN
Selisih Hari
pada hari ke-
ke 2 dan ke 4
0
2
4
(mg/L)
TIB6
0,05
0,1
0,18
0,13
TIB1
0,25
0,02
0,06
0,07
TIIC5
0,15
0,24
0,04
0,06
Gelatin, MIO dan uji simon sitrat) menurut [12] dan [13]. HASIL DAN PEMBAHASAN
memanfaatkan kemampuan mikroorganisme yang disebut bioremediasi [6]. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kandidat isolat bakteri bioremediasi yang mampu mendegradasi TAN (Total Ammonia Nitrogen) dari perairan tambak tradisional. MATERI DAN METODE
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel sedimen dan berbagai media agar dan bahan pengujian karakter dan morfologi bakteri. Sampel diperoleh dari sedimen dasar tambak budidaya udang windu di Desa Mulyosari, Kecamatan Pasir Sakti, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Pengambilan sampel sedimen tambak dilakukan pada 3 lokasi yaitu dekat pantai (tambak 1), bagian tengah (tambak 2) dan tambak yang jauh dari pantai (tambak 3) (Gambar 1). Jarak tiga lokasi tambak dari pantai yaitu 600 s.d 1800 m. Isolasi bakteri dilakukan menurut [7]; [8]; [9]. Uji pendegradasi TAN dianalisis menggunakan metode phenate [10]; [11] dengan modifikasi. Identifikasi bakteri dilakukan pada tiga kandidat isolat terbaik yang mampu menurunkan kandungan TAN terbesar. Identifikasi yang dilakukan meliputi pewarnaan gram, uji motilitas, uji O/F, uji katalase dan uji biokimia (TSIA, LIA, TIO,
Hasil isolasi bakteri dari sedimen tambak yang mampu memanfaatkan nitrogen organik (mampu tumbuh pada media nitrifikasi) adalah sebanyak 58 isolat (data tidak ditunjukkan). Lima puluh delapan isolat bakteri yang tumbuh pada media nitrifikasi, terdapat 13 bakteri yang tidak dapat menurunkan kandungan TAN dan 45 isolat bakteri yang dapat menurunkan kandungan TAN (data tidak ditunjukkan). Tiga isolat terbaik yang mampu menurunkan kandungan TAN terbanyak adalah isolat TI6, TI1, dan TII5. Masing-masing isolat mampu menurunkan kandungan TAN sebanyak 0,10; 0,06 dan 0,06 mg/L. Penurunan kandungan TAN terjadi pada hari ke-2 sampai hari ke-4 (Tabel 1). Konsentrasi kandungan TAN mengalami peningkatan dari hari ke-0 hingga hari ke-2. Hal ini disebabkan oleh adanya bahan organik dengan kandungan protein yang tinggi yaitu peptone. Peptone merupakan salah satu bahan yang ada pada media pertumbuhan bakteri. Peptone akan didegradasi oleh bakteri proteolitik, menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu peptida dan amonium [14]. Sedangkan pada hari ke-2 sampai hari ke-4 kandungan TAN mengalami penurunan dikarenakan senyawa TAN dapat dimanfaatkan sebagai nutrisi untuk proses metabolisme dan pertumbuhan sel bakteri (Gambar 2). PKetiga bakteri tersebut mempunyai beberapa kesamaan yaitu warna koloni terlihat berwarna putih susu dan bentuk sel
Penapisan Bakteri Pendegradasi TAN
147
Tabel 2 Hasil identifikasi morfologi dan biokimia tiga isolat terbaik. berdasarkan Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology [12] dan Manual for the Identification of Medical Bacteria [13] Listeria
Campylobacter
Nitrosococcus
Jenis
Jenis Bahan/
Pengujian
Metode Pengujian
Warna Koloni
Media Nitrifikasi
Putih susu
Putih Susu
Putih Susu
Bentuk Koloni
Media Nitrifikasi
Cembung,Tidak Beraturan
Bulat,Cembung
Bulat,Cembung
Bentuk Sel
Pewarnaan Gram
Bulat (Coccus)
Bulat (Coccus)
Bulat (Coccus)
Gram
KOH 3% dan Pewarnaan Gram
+
-
-
Motilitas
MIO medium
+
-
+
(TIB1)
(TIB6)
(TIIC5)
Katalase
H2 O2 3%
+
+
+
Oksidase
Cithocrome oxidase
-
-
+
Ornitin
MIO medium
-
-
-
Indol
MIO medium
-
-
-
O/F
Oxidative Fermentatif Medium
F
O
O
LIA
Lysin Ion Agar Medium
-
-
-
TSIA
Tripple Sugar Ion Agar Medium
K/A(merah)/(kuning)
K/A(merah)/(kuning)
K/A(merah)/(kuning)
Gelatin
Gelatin Medium
-
-
-
TIO
TIO Medium
Keruh
Tidak Keruh
Tidak Keruh
Sitrat
Citrat Medium
Biru
Biru
Biru
Gambar 2 Hasil uji degradasi TAN oleh tiga isolat terbaik
bakteri bulat (coccus). Hasil katalase positif artinya bakteri mengandung enzim katalase. Hasil ornitin dan indol negatif yang berarti bakteri tidak mampu mendegradasi asama amino esensial triptofan. Uji LIA negatif yang artinya bakteri tidak mampu memproduksi lysin. Uji TSIA (K/A) artinya bakteri dapat memecah dextrosa, laktosa dan sukrosa. Kemudian gelatin negatif berarti bakteri tidak mengandung gelatin, dan sitrat positif artinya bakteri dapat menggunakan sitrat sebagai sumber energi (Tabel 2). Perbedaan beberapa sifat dari ketiga bakteri yaitu dari warna bakteri TI1 berwaran biru atau bersifat gram positif, sedangkan TI6 dan TII5 berwarna merah atau gram negatif. Uji motilitas isolat bakteri TI1 po-
sitif artinya bakteri motil sedangkan TI6 dan TII5 negatif atau bakteri tidak motil. Oksidase negatif TI1 dan TI6 artinya bakteri tidak bersifat oksidatif terhadap glukosa sedangkan TI5 positif bakteri bersifat oksidatif terhadap glukosa. Uji TIO bakteri TI1 berwarna keruh artinya bakteri bersifat anaerob, sedangkan TI6 dan TII5 bening artinya bakteri bersifat aerob (Tabel 2). Tiga kandidat bakteri yang terpilih dalam mendegradasi TAN mempunyai karakter morfologi dan biokimia yang berbeda. Bakteri TI1 merupakan bakteri yang mempunyai karakter morfologi dan biokimia yang paling berbeda dibandingkan TI6 dan TII5. Bakteri TI1 bersifat gram positif dan bersifat fermentatif/anaerob sedangkan TI6 dan TII5 bersifat gram negatif dan bersifat oksidatif/aerob. [15] mengemukakan bahwa bakteri nitrifikasi umumnya gram negatif dan bersifat aerobik. Tiga kandidat bakteri terbaik yang mampu mendegradasi TAN adalah bakteri autotrof golongan kemoautotrof, yaitu bakteri yang mampu memanfaatkan bahan kimia untuk menghasilkan makanan sebagai sumber energi untuk pembentukan sel. Hal ini dikarenakan isolat bakteri ditumbuhkan pada media yang bersifat autotrof. Bakteri
148
yang berasal dari media yang bersifat autotrof mempunyai kemampuan mengoksidasi amonia lebih tinggi dari pada isolat yang berasal dari media yang bersifat heterotrof [16]. Isolat yang berasal dari media autotrof memanfaatkan amonia sebagai satusatunya sumber energi untuk mendapatkan energi. [17] mengemukakan bahwa kelompok bakteri nitrifikasi yang bersifat autotrof mempunyai peranan yang sangat tinggi dalam siklus biogeokimia senyawa nitrogen. SIMPULAN Jumlah isolat bakteri yang tumbuh pada media nitrifikasi adalah 58 isolat bakteri. Tiga isolat terbaik yang mampu menurunkan kandungan TAN adalah Campylobacter (0,10 mg/L), Listeria dan Nitrosococcus (0,06 mg/L) pada hari ke-2 sampai hari ke-4. Ketiga bakteri tersebut adalah bakteri autotrof dari golongan kemoautotrof.
Pustaka 1. Indra, S. 2013. KKP Targetkan Produksi Udang 200 ribu ton. http//KKP Targetkan Produksi Udang 200 Ribu Ton - ANTARA News.htm. Diakses pada tanggal 18 Juli 2013 pukul 21.00 WIB. 2. Badjoeri. M. dan Widiyanto T. 2008. Penggunaan Bakteri Nitrifikasi untuk Bioremediasi dan Pengaruhnya terhadap Konsentrasi Amonia dan Nitrit di Tambak Udang. Laporan Tahunan. Program Penelitian dan Pengembangan Iptek - Riset Kompetitif LIPI. Oceanologi dan Limnologi di Indonesia. LIPI. Bogor. 262 hal. 3. Gunalan, D. E. A. 1993. Penerapan Bioremediasi untuk Melenyapkan Polutan Organik dari Lingkungan. Makalah Diskusi Panel. Kongres Nasional Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, Surabaya 2-4. Desember 1993. Univ. Erlangga. 13 hal. 4. Akiyama, M. D., Dominy, W. G., Lawrence, L. 1992. Penaeid Shrimp Putrition. In Marine Shrimp Culture: Principles and Practices (Fast, A.W, Lester, L. J (Eds). THF Publishing. 535-568 pp. 5. Boyd, C. E. 1990. Water quality in ponds for Aqua Culture. Alabama agricultural experiment station. Auburn University. 482 pp. 6. Verschuere. L. G, Rombaut. P, Sorgeloos, dan Verstraete W. 2000. Probiotic bacteria as biological control agents in auaculture. Microbial, Mol. Biol. Rev. 64: 656-671.
Eva Susanti1 et al. 7. Collins, C.H., Lyne, P.M. and Grange, J.M. 1995. Microbial Methods. Butterworth- Heinemann. Oxford. London. 493 p 8. Cappuccino, J.G. and Sherman, N. 2001. Microbiology.A laboratory manual. Benjamin Clummings, San Fransisco.xv + 489 pp. 9. Pelczar, M.J. dan Chan E.C.S. 2005. Dasardasar mikrobiologi Jilid 1. Terj. Dari Elements of microbiology oleh Hadioetomo, R.S., T. Imas, S.S. Tjitrosomo, S.L. Angka. UI Press. Vvii + 443 pp. 10. Clasceri, L.S., Greenberg A.E., and Trussells R.R. 1989. Standard methods for the examination of water and waste water 17 th edition. Port City Press, Baltimore. XXXV + 1,192 pp. 11. APHA. 2005. Standard methods for the examination of water dan wastewater. 21 st edition. APHA AWWA WEF, Washington. Xxxvii + 1,207 pp. 12. Holt J. G., Krieg Noel R.., Sneath Peter H.A., Stalei james T., Williams Stanley T. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Ninth edns. Baltimore: The Williams and Wilkins. Baltimore. USA. 13. Cowan S.T. and Steel, K.J. 1974. Manual for the Identification of Medical Bacteria. London: Cambridge University Press. 14. Khasani, I. 2009. Isolasi dan skrining bakteri nitrifikasi serta aplikasinya pada biofiltrasi media pemeliharaan larva udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man). Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Perikanan Air Tawar, Sukamandi. 15. Buchanan ER and Gibbon NE. 1974. Bergeys Manual of Determinative Bacteriology. Williems and Welkins Co. Baltimore. 16. Widiyanto, 2006. Seleksi bakteri nitrifikasi dan denitrifikasi untuk bioremidiasi di tambak udang. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. xv + 121 pp. 17. Atlas RM and Bartha R. 1998. Microbial Ecology: Fundamental and applications. The Benjamin/ Cumming Publ. Co. California.
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
IDENTIFIKASI DAN KERAGAMAN PARASIT PADA IKAN MAS KOKI (Carrasius auratus) DAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) YANG BERASAL DARI LAMPUNG DAN LUAR LAMPUNG Retna Handayani1 · Y. T. Adiputra2 · Wardiyanto2
Ringkasan Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan membandingkan keragaman jenis ektoparasit pada ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan maskoki (Carassius auratus) yang berasal dari Lampung dan luar Lampung Metode penelitian yang digunakan adalah survei langsung dan pengambilan sampel secara random ke pedagang ikan yang mendatangkan ikan dari luar Lampung serta ke lokasi budidaya ikan yang ada di Lampung. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah prevalensi parasit, intensitas, dominasi, indeks keragaman, indeks dominasi dan indeks keseragaman terhadap parasit yang ditemukan. Metode pemeriksaan secara langsung di lokasi dengan preparasi kerokan kulit dan insang dilakukan di laboratorium. Data yang diperoleh ditabulasi dan dihitung keragamannya dengan indeks Shannon-Wiener. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis parasit yang ditemukan menginfeksi ikan uji adalah Trichodina nobilis, Gyrodactylus sp, Trichodina reticulata, Dactylogyrus sp. Myxobolus sp. Vorticella sp. dan Ichthyophthirius sp. Parasit yang mendominasi ikan maskoki dari luar Lampung adalah Trichodina nobilis (69,66%) dan pada ikan maskoki asal Lampung ada1 )Alumni
Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung 2 )Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung Alamat: Jl.Prof.Sumantri Brodjonegoro No.1 Gedong Meneng Bandar Lampung 35141 E-mail:
[email protected]
lah Trichodina nobilis (70,05%). Parasit yang mendominasi ikan mas asal luar Lampung adalah Trichodina nobilis (65,89%), dan pada ikan mas asal Lampung adalah Vorticella sp. (37,86%). Indeks keragaman parasit (H’) tertinggi pada ikan maskoki asal luar Lampung sebesar 0,6389, pada ikan maskoki asal Lampung sebesar 0,3836, pada ikan mas asal luar Lampung H’ sebesar 0,5766, dan pada ikan mas asal Lampung H’ tertinggi sebesar 0,5625. Keywords ektoparasit, indeks keragaman, intensitas, prevalensi, asal ikan hias Received: 3 Desember 2013 Accepted: 27 Januari 2014
PENDAHULUAN Famili Cyprinidae merupakan famili ikan dengan genus terbesar, yaitu 210 genus, dengan jumlah spesies sebanyak 2010 dengan penyebaran hampir diseluruh dunia [1];[2]. [3] menyatakan bawa pasokan ikan mas dan ikan maskoki yang ada di Lampung berasal dari daerah DKI Jakarta, Depok, dan Bogor. Selama pengangkutan ikan sampai mencapai konsumen memiliki resiko ikan stres dan mudah terinfeksi patogen. Sedangkan di Bandar Lampung, ada beberapa lokasi yang merupakan sentra budidaya ikan
150
Retna Handayani1 et al.
konsumsi dan ikan hias, namun tidak lepas dari serangan jenis patogen yang berbahaya seperti parasit, sehingga perlu diwaspadai. Jenis dan tingkat infeksi parasit antar lokasi budidaya di suatu daerah dengan daerah yang lain akan berbeda karena menurut [4] kejadian infeksi parasit terjadi karena adanya perbedaan pakan yang diberikan, umur ikan, ukuran ikan, kondisi perairan serta aktivitas budidaya. Pengendalian parasit perlu dilakukan secara dini. Informasi mengenai jenis parasit, jumlah parasit yang menginfeksi, dan habitat parasit diperlukan sehingga kegiatan antisipasi dan pengobatan parasit dapat dilakukan secara efektif [5]. [6] menyatakan ikan pada fase benih merupakan fase rawan terjadinya serangan parasit sehingga akan menurunkan produksi benih ikan. [7] menambahkan bahwa pada fase pendederan ikan sangat rentan terhadap serangan parasit dan dapat mengakibatkan kematian. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan pada Maret-April 2013 dengan menggunakan metode survei langsung ke pedagang ikan yang memasok ikan dari luar Lampung, serta pembudidaya ikan yang ada di Lampung. Ikan mas dan ikan maskoki yang berasal dari luar Lampung diperoleh dari pedagang ikan hias yang mendatangkan ikan dari daerah Jakarta, Bogor dan Depok. Pengambilan sampel ikan dari toko dilakukan setelah ikan baru didatangkan dari luar Lampung sehingga kondisi lingkungan ikan masih sama seperti kondisi lingkungan awalnya. Ikan mas asli Lampung di peroleh dari pembudidaya ikan di daerah Pagelaran, Kabupaten Pringsewu yang diasumsikan masih menggunakan metode budidaya ikan secara tradisional. Sedangkan ikan maskoki yang asli dibudidayakan di Lampung diperoleh dari pembudidaya ikan maskoki di daerah Punggur, Kabupaten Lampung Tengah. Ikan yang digunakan adalah ikan pada fase pendederan. Prosedur pemeriksaan ektoparasit diawali dengan memingsankan ikan dengan air
Gambar 1 Parasit yang ditemukan pada ikan uji: Trichodina nobilis (A), Vorticella sp. (B), Ichthyophthirius sp. (C), Gyrodactylus sp.(D), Dactylogyrus sp. (E), Trichodina reticulata (F), Myxobolus sp. (G)
yang telah diberi minyak cengkeh. Setelah itu dilakukan pengerokan (scrapping) pada permukaan kulit dan insang. Lendir (mucus) yang diperoleh di letakkan diatas kaca preparat lalu diberi larutan violet dan ditutup dengan gelas penutup. Preparat kemudian diamati dibawah mikroskop binokuler dengan perbesaran 400x. Parasit yang telah ditemukan lalu diidentifikasi dan dihitung prevalensi parasit, intensitas, dominasi, indeks keragaman, indeks dominasi dan indeks keseragaman merujuk pada [5], [8] dan [9]. HASIL DAN PEMBAHASAN Parasit yang menginfeksi ikan mas dan ikan maskoki yang berasal dari Lampung dan luar Lampung antara lain: Dactylogyrus sp. Gyrodactylus sp. Ichthyophthirius sp. Myxobolus sp. Trichodina nobilis, Trichodina reticulata, dan Vorticella sp.(Gambar 1.). Banyaknya jumlah dan jenis parasit yang ditemukan pada ikan maskoki dan ikan mas yang berasal dari lokasi yang berbeda sangat bervariasi dalam jumlah dan keragamannya (Tabel 1.). Parasit Trichodina nobilis yang ditemukan terdiri dari satu sel berbentuk seperti mangkuk terbalik. Blade melengkung, ujung blade berbentuk seperti bulan sabit, dengan thorn yang melengkung [3]. Trichodina nobilis biasa menginfeksi kulit dan lendir Ctenopharyngodon idella [9], benih ikan mas, Cyprinus carpio, dan ikan botia, Botia macracantha [10]. Menurut [9], Tricho-
Identifikasi Dan Keragaman Parasit Pada Ikan Mas Koki dan Ikan Mas
dinids sebenarnya bersifat komensal. Trichodinids memakan bakteri dan partikelpartikel air lainnya dan akan berubah sifat menjadi parasit jika terjadi kekurangan makanan. Trichodina nobilis memiliki siklus hidup yang langsung dan dapat melakukan reproduksi secara seksual maupun aseksual. Reproduksi seksual dengan melalui konjugasi [9] dan reproduksi aseksual melalui pembelahan biner [8]), sehingga menyebabkan kemudahan dalam penyebaran parasit ini. Spesies Vorticella sp. telah menginfeksi permukaan tubuh ikan mas asal Lampung. Morfologi Vorticella sp. adalah berkoloni, sel berwarna kekuningan atau kehijauan, menempel pada inangnya dengan myoneme, tangkai pipih dan silindris, peristome besar dan bersilia, memiliki makronukleus dan mikronukleus. Zooid berbentuk seperti lonceng terbalik yang terdiri dari tangkai berbentuk seperti bunga yang bersilia [11]. [12] menyatakan bahwa parasit Vorticella sp. sering menyebabkan kematian pada pembenihan udang galah. Dari hasil penelitian ini, jenis parasit Vorticella sp. hanya menginfeksi ikan mas dari Lampung. Hal tersebut menandakan lingkungan budidaya ikan mas di Lampung buruk. Parasit Ichthyophthirius sp. termasuk salah satu anggota protozoa yang menginfeksi kulit, sirip, dan insang [13]. Penyakit yang disebabkan oleh Ichthyophthirius sp. disebut penyakit white spot karena adanya bintik-bintik putih pada permukaan tubuh ikan yang terinfeksi. Siklus hidup Ichthyophthirius sp. dimulai dari parasit dewasa yang berkembang dan menghasilkan kista. Kista yang berkembang menjadi tomit yang mampu berenang bebas untuk mencari inang baru dan bersifat infektif [8];[13]. Parasit Gyrodactylus sp. merupakan monogenea viviparus pada insang, sirip atau permukaan tubuh ikan telesotei [14]. Gyrodactylus sp. yang ditemukan pada ikan uji memiliki tubuh yang memanjang, dua tonjolan pada bagian anterior, dan tidak memiliki bintik mata. Opisthaptor terletak pada bagian posterior dan terdapat jangkar pada opisthaptor -nya. [8] menyebutkan bah-
151
wa parasit ini sering menginfeksi ikan Cyprinus carpio dan ikan Trichopterus pectoralis dengan cara menginfeksi inang definitif secara langsung tanpa melalui inang perantara. Berukuran relatif kecil dan memiliki embrio yang berkembang dan menetas di dalam uterusnya [5]. Walaupun hanya satu embrio yang dilahirkan, namun dalam tubuh embrio sudah terdapat embrio generasi berikutnya, bahkan dalam satu embrio terdapat hingga lima embrio lagi [8]. Sehingga proses regenerasi parasit ini sangat cepat. Parasit Dactylogyrus sp. tergolong dalam Filum Platyhelminthes, kelas Monogenea, Ordo Dactylogyridea, Family Dactylogyridae[8]. Parasit ini bersifat oviparus. Dactylogyrus sp. yang ditemukan menginfeksi ikan uji memiliki tubuh yang memanjang dan mempunyai empat tonjolan pada bagian anterior. Pada bagian anterior terdapat empat bintik mata. Ophisthathaptor terletak pada bagian posterior, dengan sepasang jangkar. Pada pengamatan preparat segar terdapat 14 marginal hook pada ophisthaptor Dactylogyrus sp. Parasit tersebut ditemukan menginfeksi ikan Clarias batrachus, Cyprinus carpio, Helostoma temmincki, Osphronemus gouramy, Puntius javanicus, Puntius sp. Rasbora lateristriata, Trichogaster pectoralis dan Trichogaster trichopterus [8]. Trichodina reticulata adalah spesies yang sangat umum menginfeksi Carassius auratus dan Cyprinids lainnya yang dipelihara dalam akuarium [3] dan [15]. Selama penelitian jenis parasit Trichodina reticulata hanya ditemukan di bagian lendir, dan tidak dijumpai di bagian insang. [3] menyatakan bahwa pembeda antara Trichodina reticulata dan Trichodina nobilis adalah adanya beberapa sel seperti struktur melingkar atau persegi di bagian adhesive disk. Parasit Myxobolus sp. ditemukan telah menginfeksi insang ikan maskoki asal luar Lampung, dan insang ikan mas asal luar Lampung dan Lampung. Ikan yang terserang Myxobolus sp. menunjukkan gejala berupa timbulnya bintil-bintil berwarna keme-
152
Retna Handayani1 et al.
rahan, bintil tersebut merupakan kumpulan spora dan menyebabkan tutup insang terbuka. [16] menambahkan bahwa infeksi parasit jenis ini dapat menyebabkan gangguan pernapasan sampai penurunan fungsi organ pernapasan. Ikan mas koki yang berasal dari Lampung dan luar Lampung Prevalensi tertinggi dari sampel ikan maskoki adalah Trichodina nobilis dan Dactylogyrus sp. yang menginfeksi ikan maskoki yang berasal dari Lampung, yaitu 100%. Intensitas Trichodina nobilis yang menginfeksi ikan maskoki yang berasal dari Lampung sebesar 51 ind/ekor dengan tingkat dominasi 70,04%. Prevalensi, intensitas dan dominasi pada sampel ikan maskoki yang berasal dari Lampung lebih tinggi dari dibandingkan nilai prevalensi, intensitas, dan dominasi pada sampel ikan maskoki yang berasal dari luar Lampung. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa lokasi budidaya di Lampung buruk. Keadaan ikan dapat terganggu akibat kepadatan yang tinggi, kurangnya nutrisi serta kualitas air yang buruk, sehingga menyebabkan kondisi ikan menjadi lemah dan mudah terserang penyakit [17]. [18] menambahkan bahwa semakin tinggi kepadatan, maka semakin besar kemungkinan gesekan yang dapat terjadi antara ikan yang dapat menularkan parasit secara langsung atau menimbulkan luka yang dapat menjadi sasaran organisme patogen lain (infeksi sekunder). Selain itu, kejadian infeksi parasit dapat terjadi karena adanya perbedaan pakan yang diberikan, umur ikan, ukuran ikan, kondisi perairan serta aktivitas budidaya [4]. Indeks keanekaragaman (H’) pada ikan maskoki asal luar Lampung adalah 0,4203 pada lendir dan 0,6389 pada insang. Sedangkan H’ pada lendir ikan maskoki asal Lampung adalah 0,0815 dan 0,3836 di insang (Gambar 2.). Kisaran nilai H’ yang pada kedua lokasi masih dikatakan memiliki tingkat keanekaragaman parasit yang rendah [19]. Semakin banyak jenis yang ditemukan maka keanekaragaman semakin besar, meskipun nilai ini sangat tergantung dari jumlah inividu masing-masing jenis [20]. Pen-
Gambar 2 Perbandingan nilai H’, C, dan e pada ikan maskoki (Perbandingan nilai H’, C, dan e pada ikan maskoki (Carrasius auratus))
dapat ini juga didukung oleh [21] yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah anggota individunya dan merata, maka indeks keanekaragaman juga akan semakin besar. [22], menyatakan bahwa keragaman parasit lebih rendah pada lingkungan budidaya, jika dibandingkan dengan perairan umum. Pada lingkungan budidaya, yang sering terjadi adalah parasit mempunyai siklus hidup langsung. Hal ini disebabkan oleh keberadaan inang antara atau inang akhir yang dibutuhkan parasit mempunyai siklus hidup tidak langsung biasanya tidak ada. Indeks dominasi terbesar dari sampel ikan maskoki yang berasal dari Lampung (Tabel 1.) yaitu spesies Trichodina nobilis (70,05%). [23] menyatakan bahwa semakin besar nilai indeks dominansi (C), maka semakin besar pula kecenderungan adanya jenis tertentu yang mendominasi. Dalam hasil penelitian ini parasit yang mendominasi antara lain: spesies Dactylogyrus sp. Gyrodactylus sp. Vorticella sp. dan Trichodina nobilis. Indeks keseragaman pada ikan maskoki asal Lampung lebih rendah dibanding dengan tingkat keseragaman parasit pada ikan yang berasal dari luar Lampung (Gambar 2). Hal tersebut karena ada spesies yang mendominasi pada lingkungan tersebut sehingga indeks keseragamannya rendah [23]. Indeks keseragaman parasit tertinggi adalah parasit pada insang ikan maskoki asal Lampung, yaitu 0,7471. Kisaran tersebut dikatakan memiliki tingkat keseragaman yang tinggi. Berdasarkan perhitungan Indeks keseragaman Evennes e dikatakan rendah apabila e<0,4, dikatakan sedang apabila nilai e
Identifikasi Dan Keragaman Parasit Pada Ikan Mas Koki dan Ikan Mas
153
Tabel 1 Data prevalensi, intensitas, dominasi, indeks keragaman (H’), indeks dominasi (C), dan indeks keseragaman (e) yang menginfeksi ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan maskoki (Carrasius auratus). Asal
Jenis
Prevalensi
Intensitas
Dominasi
Ikan
Parasit
(%)
(ind/ekor)
(%)
Nilai H’
Nilai C
Nilai e
luar Lampung Lampung
Ikan mas
luar Lampung
Lampung
Ikan maskoki
Jenis
Gy
78
14
23,07
Tn
98
34
69,66
Tr
5
1
0,10
Da
78
4
7,01 0,05
Ic
3
1
My
3
2
0,10
Gy
18
3
0,62
Tn
100
51
70,05
Tr
8
5
0,55
Da
100
21
28,78
Gy
48
4
8,27
Tn
90
18
65,89
Tr
8
4
1,21
Da
98
6
21,80
My
10
7
2,83
Gy.
38
4
7,35
Ic
3
13
1,45
Tn
85
8
29,40
Vo
15
57
37,86
Da
100
5
23,61
My
8
1
0,33
Lendir
Insang
Lendir
Insang
Lendir
Insang
0,4203
0,6389
0,7299
0,5487
0,5513
0,5534
0,0815
0,3836
0,9665
0,7647
0,1023
0,7471
0,3751
0,5766
0,7843
0,6153
0,3968
0,7471
0,5625
0,5119
0,4304
0,6958
0,5121
0,6312
Keterangan Jenis Parasit: Gy : Gyrodactylus sp; Tn: Trichodina nobilis ; Tr: Trichodina reticulata ; Da: Dactylogyrus sp. ; Ic: Ichthyophthirius sp.; My: Myxobolus sp.; Vo: Vorticella sp.
antara 0,4 dan 0,6 dan tinggi apabila nilai e>0,6. Pernyataan ini diperkuat oleh [23] bahwa nilai indeks keseragaman melebihi 0,7 mengindikasikan derajat keseragaman komunitasnya tinggi.
Ikan mas yang berasal dari Lampung dan luar Lampung Gambar 3 Perbandingan nilai H’, C, dan e pada ikan mas (Cyprinus carpio)
Persentase jumlah parasit tertinggi yang menginfeksi ikan mas yang berasal dari Lampung adalah Dactylogyrus sp. yaitu sebesar 100%. Sedangkan prevalensi parasit tertinggi pada ikan mas yang berasal dari luar Lampung adalah Dactylogyrus sp. yaitu sebesar 98%. Frekuensi kejadian parasit yang paling dominan dari sampel ikan mas yang berasal dari luar Lampung adalah jenis Trichodina nobilis yaitu sebesar 65,89%, sedangkan parasit paling dominan yang menginfeksi ikan mas yang berasal dari Lam-
pung adalah Trichodina nobilis yaitu sebesar 37,86% (Gambar 3). Selama kegiatan pengamatan, ikan mas yang berasal dari Lampung dipelihara dalam kolam sedangkan ikan mas yang berasal dari luar Lampung dipelihara dalam akuarium. Menurut [24], ikan yang menghabiskan seluruh siklus hidupnya di satu tipe perairan akan memiliki parasit lebih sedikit daripada ikan yang berpindah-pindah. Ikan-
Retna Handayani1 et al.
154
ikan yang dipelihara dalam akuarium, intensitas dan prevalensi parasitnya cenderung berfluktuasi sesuai dengan pengelolaan kesehatan yang diterapkan dalam kegiatan budidaya. [25] menyatakan, bahwa meningkatnya keberadaan beberapa parasit misalnya Trichodina sp. dan Dactylogyrus sp. tidak ditentukan oleh umur. Sementara [24], menyatakan bahwa pada beberapa spesies ikan, semakin meningkat umur ikan maka intensitas parasitnya cenderung semakin berkurang. Berdasarkan hasil perhitungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener pada ikan mas yang berasal dari luar Lampung nilai H’ sebesar 0,3751 pada lendir dan 0,5766 pada insang (Gambar 3). Sedangkan H’ pada ikan mas yang di ambil dari Lampung adalah 0,5625 pada lendir dan 0,5119 pada insang. Kisaran nilai H’ pada masingmasing ikan uji dikatakan memiliki keanekaragaman jenis parasit yang rendah [19]. Keanekaragaman ektoparasit yang rendah pada ikan kemungkinan merupakan petunjuk adanya penurunan kualitas perairan [26]. Penurunan kualitas perairan diduga terjadi karena penanganan selama masa pemeliharaan ikan masih kurang. Penerapan Manajemen Kesehatan Ikan dalam Kegiatan Akuakultur Persebaran parasit dari lokasi yang berbeda dapat terjadi dengan mudah apabila penerapan manajemen kesehatan ikan tidak dilakukan. Ikan maskoki dan ikan mas yang berasal dari luar Lampung ditampung untuk diperjualbelikan namun, tidak diberi perlakuan pencegahan penyakit sama sekali. Sehingga penyebaran parasit dari daerah lain akan mudah terjadi. Untuk mengantisipasi adanya persebaran parasit dari daerah lain, ikan yang baru didatangkan dari luar harus diberi perlakuan manajemen kesehatan ikan salah satunya adalah tindakan sanitasi terhadap media pemeliharaan ikan hias yaitu air serta akuarium. Tindakan ini merupakan salah satu manajemen yang tepat dilakukan untuk pencegahan penyakit ikan [27]. Pada kegiatan budidaya ikan di area terbuka penerapan manajemen kesehatan ju-
ga perlu dilakukan, antara lain pemasangan filter air pada pintu inlet, pemasangan jaring di atas kolam untuk mencegah masuknya predator, serta masuknya sampah ke lingkungan budidaya. [28] menyatakan bahwa parasit dapat saja masuk ke perairan kolam akibat terbawa air, tumbuhan, dan dapat pula masuk bersama benda atau hewan yang masuk ke dalam perairan kolam. Padat tebar ikan mas dalam kolam budidaya di Lampung cukup besar sehingga terjadi kompetisi oksigen dalam kolam tersebut. [17] menyatakan bahwa kandungan oksigen yang rendah, bahan organik terlalu tinggi, serta padat tebar yang tinggi sangat memungkinkan tingkat serangan parasit pada ikan semakin tinggi. Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan [29] bahwa populasi yang tinggi akan mempermudah penularan parasit karena kemungkinan kontak antara ikan yang sakit dengan ikan yang sehat akan meningkat. Manajemen kesehatan ikan yang tidak dilakukan dapat menjadi pemicu timbulnya parasit dalam lingkungan budidaya. Hal tersebut berpengaruh terhadap hasil budidaya ikan itu sendiri. Menurut [27], penyakit infeksi parasit dapat menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas produk yang berimplikasi pada kerugian ekonomi bagi pembudidaya. [30] menambahkan bahwa dengan diterapkannya manajemen kesehatan ikan, akan menghasilkan produk budidaya yang bermutu dan berkuantitas tinggi. SIMPULAN
Jenis ektoparasit yang ditemukan menginfeksi ikan mas dan ikan maskoki yang berasal dari Lampung dan luar Lampung antara lain: Trichodina nobilis, Gyrodactylus sp. Trichodina reticulata, Dactylogyrus sp. Myxobolus sp. dan Ichthyophthirius sp. Prevalensi ektoparasit pada ikan maskoki dan ikan mas yang berasal dari Lampung lebih tinggi dibandingkan prevalensi parasit ikan maskoki dan ikan mas yang berasal dari luar Lampung. Parasit yang paling mendominasi dari ikan maskoki dan ikan mas yang berasal dari Lampung dan luar Lampung adalah Trichodina nobilis.
Identifikasi Dan Keragaman Parasit Pada Ikan Mas Koki dan Ikan Mas
Pustaka 1. Nelson, J.S., 1994. Fishes of the World. John Wiley and Sons, Inc., New York. p; 524. 2. Mayden, R.L., Tang, K.L., Conway, K.W., Freyhof, J., Chamberlain, S., Haskins, M., Schneider, L., Sudkamp, M., Wood, R.M., Agnew, M., Bufalino, A., Sulaiman, Z., Miya, M., Saitoh, K., He, S., 2007. Phylogenetic relationships of Danio within the order Cypriniformes: a framework for comparative and evolutionary studies of a model species. J. Exp. Zool., B Mol. Dev. 308: 642–654. 3. Windarto, R., Y.T.Adiputra, Wardiyanto dan E. Efendi. 2013. Keragaman Karakter Morfologi antara Trichodina nobilis dan Trichodina reticulata pada Ikan Komet (Carrasius auratus).e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. 1:121-123. 4. Bauer, O. N.1970. Relationship Between Host Fishes and Their Parasites. In Dogiel, V. A,. G. Petrushevski and Y. I. Polyanski (Eds). Parasitology of Fishes. TFH. Publication.Hongkong. p: 84-103. 5. Hoffman, G.L. 1967. Parasites of North American Freshwater Fishes. University of California Press, Berkeley and Los Angeles 6. Diani, S. 1995. Kematian benih Ikan Kerapu Lumpur (Epinephelus stulus) yang terinfeksi oleh Dipledtanum sp. dan Trichodina sp. Jurnal Parasitologi. 8; 43-47. 7. Black, K. D. and A. D., Pickering. 1998. Biology of Farmed Fish. CRC Press, Canada. 8. Kabata,Z. 1985. Parasites and Diseases of Fish Cultured in the Tropics. Taylor And Francis, London and Philadelphia 9. Lom, J. 1995. Trichodinidae and other ciliates (Phylum Ciliphora). p: 229-257. In Fish Diseases Disorders Protozoa, metazoan, infections. Edited by P.T.K. Woo, Department of Zoology, University of Guelph, Canada. Cab International, Canada. 10. Setyadi, G. 1994. Parasit pada Ikan Botia macracantha Bleeker yang Melalui Stasium Karantina Ikan bandara Soekarno-Hatta. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal: 39. 11. Jasin, Maskoeri. 1992. Zoologi Invertebrata. Surabaya : Sinar Wijaya 12. Thonguthai.1997. Disease of the freshwater Prawn. Microbachium rosenbergii. AAHRI Newsletter Article. 13. Noga, E. J. M. S,. O. V. M. 1996. Fish Disease Diagnosis and Treatment. Department of Companion Animal and Species Medicine. North Carolina State University. 14. Cone D.K., Arthur R., Bondad-Reantaso M.G.1995. Description Of Two Ne Species Of Gyrodactylus Von Nordmann, 1832 (Monogenea) From Cultured Nile Tilapia, Tilapia Nilotica (Cichlidae), in the Philippines. 62; 6–9. 15. Basson, L., Van AS, JG. and Paperna, I., 1983. Trichodinid ectoparasites of cichlid and cyprinid fishes in South Africa and Israel. Systematic Parasitology 5: 245-257.
155
16. Dana. D dan S.L. Angka., 1990. Masalah Penyakit Parasit dan Bakteri pada Ikan Air Tawar Serta Cara Penanggulangannya. Prosiding seminar II Penyakit Ikan dan Udang. BPPAT. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. Bogor. Hal 10-23 17. Sinderman, C. J. 1990. Principal Disiases of Marine Fish and Shell Fish. Vol.1. Diseases of Marine Fish. Academis Press. London. 18. Untergasser, D. 1989. Hand Book of Fish. Disease. TFH. Publications. Inc. 19. Djahiyat, Y. Djalinda S. Hamdani H. 2003. Struktur Komunitas Ikan Karang di Daerah Transplantasi Karang Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jurnal Ikhtiologi Indonesia.3; hal 8790 20. Wilhm, J. L., and T.C. Doris. 1986. Biologycal Parameter for water quality Criteria. Bio.Science: p:18 21. Krebs, C.J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distributions and Abundance. Ed. New York: Harper and Row Publishers. 654 p. 22. Lansberg, J. H. 1989. Parasites and Associated Diseases of Fish in warm water Culture With Special Emphasis on Intensification. In Shilo, M, and S.sarig (Eds.). fish culture in Warm water System : Problem and trends. CRC Press, Inc. Boca raton, Florida. P: 195-196; 199-210. 23. Insafitri. 2010. Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Bivalvia di Area Buangan Lumpur Lapindo Muara Sungai Porong. Jurnal Kelautan. Universitas Trunojoyo. 3; 54-57 24. Noble, E.R., G.A. Noble, G.A Schad & A.J. McInnes 1989. Parasitology. The Biology of Animal Parasites. 6th Edition. Lea & Febiger, Philadelphia London. 25. Dogiel, V.A., G.K. Petrushevski & Y.I. Polyanski (Eds). 1970. Parasitology of Fishes. T.F.H. Publ. ncl. Ltd., Hongkong. p: 384. 26. Broeg, K., Zanders, A. Diamant, W.Koerting, G.Kruener, R.Paperna and H.von Westernhagen. 1999. The Use of Fish Metabolic, Pathological and Parasitological Indices in Pollutant Monitoring. Marine Research 53: 171-194 27. Alifudin, M. Priyono, A. Nurfatimah, A. 2002. Inventarisasi parasit pada Ikan Hias yang dilalulintaskan di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. Jurnal Aquaculture Indonesia 1: 123-127 28. Moller, H and Anders .K. 1986. Disease and parasites of marine fishes.Verlag Moller. Kiel, Germany. p: 365. 29. Irianto, A. 2005. Patology Ikan Teleostei. Universitas Terbuka Press. Jakarta. 30. Lightner, D.V. (Ed.). 1996. A Handbook of Shrimp Pathology and Diagnostic Procedures for Diseases of Cultured Penaeid Shrimp. The World Aquaculture Society. Batonn Rouge, Lousiana, USA.
156
Retna Handayani1 et al.
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
EMBRIOGENESIS DAN DAYA TETAS TELUR IKAN PELANGI (Melanotaenia parva) PADA SALINITAS YANG BERBEDA Dahlia Mubarokah1 · Tarsim2∗ · Tutik Kadarini3
Ringkasan Ornamental fish industry in Indonesia need to growth to full fill aquaculture country production. One of their constraits is mostly ornamental fishes rely on captured from wild. Ornamental fishes included freshwater fishes are native fish inhabit rivers and lakes. Rainbow fish (Melanotaenia parva) is one of the freshwater fish that has wonderful in coloration, body shape and size. Rainbow fish captivity able to conducted eventhough limited eggs availabe due to low hatching rate of eggs. Unpredicted time may constraits to eggs to hatched in normal condition. The purposes of this research is to increase hatching rate of rainbow fish eggs with use salinity. Further, higher hatching eggs may shorthen embriogenesis period. The research used was completely randomized design with six treatments are 0, 2, 4, 6; 8, and 10 ppt. Resulted showed optimum salinity for egg to hatching is 4 ppt. Within this salinity rainbow fish eggs tend to shorthen period of embriogenesis. Contrast, salinity not related to time of eggs to hatched. Suggestion from this study salinity need to used for hatchery system of rainbow fish in captivity.
1 )Alumni
Jurusan Budidaya Perairan Unila Staf Pengajar Jurusan Budidaya Perairan Unila Jl. Prof. Sumantri Brodjonegoro No. 1 Gedong Meneng Bandar Lampung 35145 ∗ E-mail:
[email protected] 3 ) Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Depok 2)
Keywords ornamnetal fish, salinity, embriogenesis, osmoregulation, Papua Received: 2 Desember 2013 Accepted: 21 Januari 2014
PENDAHULUAN Ikan hias adalah salah satu potensi budidaya perikanan yang cukup besar di indonesia. Budidaya ikan hias air tawar memiliki nilai ekspor yang cukup tinggi dan berpeluang dapat meningkatkan devisa. Ikan hias dapat dijadikan alternatif usaha yang dapat memberikan keuntungan finansial. Salah satu jenis ikan hias yang dapat di budidayakan adalah ikan pelangi (Melanotaenia parva). Selain warna bentuk dan ukuran yang menarik, ikan pelangi juga mudah di budidayakan. Ikan pelangi merupakan salah satu ikan asal Indonesia dengan habitat asli Danau Sentani, Papua. Budidaya ikan pelangi sudah dikembangkan di Indonesia untuk pelestarian plasma nutfah. Budidaya ikan pelangi masih terkendala dengan ketersedian benih yang dikarenakan lamanya waktu penetasan telur. Selain itu kendala yang sering di jumpai adalah telur yang membusuk pada saat proses penetasan yang dikarenakan lamanya waktu penetasan. Sehingga memperlambat proses budidaya dan produksi benih ikan pelangi.
Dahlia Mubarokah1 et al.
158
Penetasan telur ikan pelangi memerlukan waktu 7 hari [1].
HASIL DAN PEMBAHASAN Embriogenesis
Salah satu cara untuk mempercepat waktu penetasan telur yang dihasilkan adalah dengan melakukan rekayasa lingkungan. Faktor lingkungan seperti salinitas media budidaya dapat mempengaruhi daya tetas dan lama waktu penetasan telur dan kualitas telur. Salinitas media akan berpengaruh terhadap tekanan osmotik dalam telur ikan. Apabila osmotik lingkungan (salinitas) berbeda jauh dengan tekanan osmotik dalam telur ikan (kondisi tidak ideal) maka osmotik media akan menjadi beban bagi telur sehingga dibutuhkan energi yang relatif besar untuk mempertahankan osmotik telurnya [2]. Sampai saat ini belum diketahui berapa kisaran salinitas yang optimum untuk penetasan telur ikan pelangi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian agar diketahui salinitas optimum dalam media penetasan serta pengaruhnya terhadap lama penetasan telur ikan pelangi.
Penelitian dilaksanakan pada Maret sampai Mei 2013 di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Ikan Hias Depok. Bahan yang digunakan yaitu induk ikan Pelangi dan garam (NaCl). Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah rencangan acak lengkap (RAL) yang terdiri 5 perlakuan dosis dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Dilakukan analisis ragam uji F, jika ada pengaruh atau beda nyata dilakukan uji lanjut BNT dengan selang kepercayaan 95% [3].
Berdasarkan hasil penelitian embriogenesis ikan pelangi pada salinitas yang berbeda yaitu 0 ppt (kontrol), 2 ppt, 4 ppt, 6 ppt, 8 ppt, dan 10 ppt menunjukkan perbedaan waktu. Telur ikan pelangi pada perlakuan A (kontrol) menetas pada menit ke-9389, B (2 ppt) menit ke-9315, C (4 ppt) menit ke7690, D (6 ppt) menit ke-7815, E (8 ppt) menit ke-7830 dan perlakuan F (10 ppt) menit ke-7833. Hasil tersebut menunjukan bahwa telur ikan pelangi pada perlakuan C (4 ppt) menetas lebih cepat jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Tabel 1; Gambar 1). Pada pengamatan embriogenesis, fase blastula pada kontrol dan perlakuan B (2 ppt) terjadi pada menit ke-405 sedangkan pada perlakuan C, D, E dan F perkembangan blastula terjadi pada menit ke-600. Selanjutnya adalah perkembangan grastula, pada kontrol dan perlakuan B (2 ppt) perkembangan grastula terjadi pada menit ke-747, sedangkan perlakuan C, D, E dan F terjadi pada menit ke 680 setelah fertilisasi (Tabel 1; Gambar 1). Setelah terjadi perkembangan blastula dan grastula selanjutnya adalah fase awal embriogenesis yang ditandai dengan pembentukan tabung kemudian akan muncul bagian tubuh yang merupakan bakal kepala dan organ yang lain akan tumbuh. Pada perlakuan kontrol, fase awal embriogenesis ini terjadi pada menit ke-1125, pada perlakuan B (2 ppt) terjadi pada menit ke-1080, C (4 ppt) terjadi pada menit ke-945, D (6 ppt) menit ke-1005, E (8 ppt) dan perlakuan F (10 ppt) terjadi pada menit ke-990 (Tabel 1; Gambar 1).
Penelitian menggunakan salinitas sebagai media daya tetas dan lama waktu penetasan telur ikan pelangi dengan 5 perlakuan dan 3 kali pengulangan. Perlakuan tersebut sebagai berikut : Perlakuan A: salinitas 0 ppt Perlakuan B: salinitas 2 ppt Perlakuan C: salinitas 4 ppt Perlakuan D: salinitas 6 ppt Perlakuan E: salinitas 8 ppt Perlakuan F: salinitas 10 ppt
Fase berikutnya adalah munculnya bintik mata ditandai dengan munculnya bakal mata dimulai dari warna coklat muda, coklat tua hingga akhirnya mata benar benar berwarna hitam. Bintik mata ini mulai terlihat pada menit ke-2150 pada kontrol, B (2 ppt) menit ke- 2142 , C (4 ppt) terjadi pada menit ke-1800, E (8 ppt) menit ke-1890, F (10 ppt) menit ke-1831. Setelah bakal embrio dan bintik mata telah sempurna berwarna
MATERI DAN METODE
Embriogenitas dan Daya Tetas Telur Ikan Pelangi
Gambar 1 Lama waktu penetasan dan embriogenesis ikan pelangi (Melanotaenia parva) pada salinitas yang berbeda
hitam embrio mulai bergerak walaupun tidak secara aktif. Pergerakan embrio pada kontrol terjadi pada menit ke- 2835, B (2 ppt) menit ke-2835, C (4 ppt) menit ke1825, D (6 ppt) menit ke-2100, E (8 ppt) menit ke-2125, F (10 ppt) terjadi pada menit ke-2131 (Tabel 1; Gambar 1). Setelah peristiwa pergerakan pertama kali maka embrio akan terjadi pembentukan organ-organ tubuh yang lain hingga siap untuk menetas. Proses penetasan embrio ikan terjadi apabila badan embrio telah lebih panjang dari diameter cangkangnya. Embrio menetas pada perlakuan A (kontrol) pada menit ke-9389, B (2 ppt) menit ke-9315, C (4 ppt) menit ke-7690 menit, D (6 ppt) menit ke-7815, E (8 ppt) menit ke-7830 dan perlakuan F (10 ppt) menit ke-7833 (Tabel 1; Gambar 1). Lama waktu penetasan adalah lama waktu yang dibutuhkan telur untuk menetas. [4] menyebutkan bahwa tanda-tanda telah terjadinya pembuahan yaitu terbentuknya ruang perivitelin, karena terjadinya penyerapan setelah telur dikeluarkan dan berhubungan langsung dengan air yang mengakibatkan telur mengembung. Setelah pembuahan, embriogenesis akan berlangsung terus setiap waktu dan terjadi proses proses cleavage, blastula, grastula, bintik mata dan embrio mulai bergerak yang selanjutnya penetasan [5]. Lama waktu penetasan selain dipengaruhi oleh faktor dalam seperti hormon dan volume kuning telur juga dipengaruhi oleh faktor luar seperti salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut dan intensitas cahaya [6].
159
Hasil penelitian lama waktu penetasan telur ikan pelangi pada salinitas yang berbeda menunjukan bahwa setiap perlakuan mengalami perkembangan fase embriogenesis yang berbeda pada setiap jam nya dari seluruh perlakuan, perlakuan C (4 ppt) menunjukan bahwa waktu penetasan lebih cepat yaitu 7690 menit atau 5 hari dibandingkan dengan kontrol ikan pelangi menetas pada 9389 menit atau 7 hari. Perlakuan A (0 ppt) mengikuti pernyataan [1] bahwa telur ikan pelangi menetas pada hari ke tujuh setelah fertilisasi. Perbedaan lama waktu penetasan kemungkinan disebabkan oleh kandungan sel klorid yang terdapat pada telur ikan pelangi meningkat seiring dengan meningkatnya salinitas. [7] menyebutkan bahwa ketika telur ikan tersebut dimasukan kedalam salinitas yang lebih tinggi maka kandungan dalam membran kantung kuning telur akan berubah menjadi kompleks sebagai respon terhadap perubahan salinitas. Sel klorid tersebut berperan dalam mengontrol osmoregulasi [8] dan juga dapat meningkatkan aktivitas Na+ K+ - ATPase dalam pertukaran garam untuk meningkatkan kemampuan toleransi [9]. Peranan sel klorid juga menyebabkan cairan dalam telur ikan pelangi menjadi lebih kental dan semakin mendekati konsentrasi cairan dalam media penetasan. sehingga energi yang digunakan untuk aktivitas osmoregulasi dan proses proses lain yang terjadi di dalam telur menurun dan energi yang tersisa dapat digunakan untuk pertumbuhan telur ikan.
Daya Tetas Telur atau Hatching Rate (HR) Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95% menunjukan bahwa daya tetas telur menggunakan salinitas yang berbeda antar perlakuan memberikan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) (Gambar 2). Daya tetas telur menunjukan bahwa pada perlakuan C (4 ppt) merupakan nilai tertinggi yaitu 100 % meski tidak berbeda nyata pada kontrol yaitu sebesar 98%. Sedangkan pada perlakuan B (2 ppt) sebesar 95%, D (6 ppt) 93%, E (8
Dahlia Mubarokah1 et al.
160
Tabel 1 Embriogenesis ikan pelangi (Melanotaenia parva) pada salinitas yang berbeda Perkembangan embrio Blastula
Grastula
Embriogenesis awal
Bintik mata
Embrio bergerak
Menetas
Perlakuan dan lama waktu perubahan (menit) A (kontrol)
B (2 ppt)
C (4 ppt)
D (6 ppt)
E (8 ppt)
F (10 ppt)
405
405
600
600
600
600
747
747
680
680
680
680
1125
1080
945
1005
990
990
2150
2142
1800
1885
1890
1831
2835
2835
1825
2100
2125
2131
9389
9315
7690
7815
7830
7833
ppt) 93% dan pada perlakuan F (10 ppt) sebesar 88%. Pada perlakuan F (10 ppt) dijumpai telur yang membusuk sebanyak 12%.
tas [2], rata-rata daya tetas telur ikan nila dapat mentoleransi terhadap kadar salinitas hingga 15 ppt dan masih memberikan nilai HR cukup tinggi yaitu sebesar 76,7 %.
[10] menyatakan apabila konsentrasi air dalam cairan intraseluler dan ekstraseluler adalah sama dan zat terlarut tidak dapat masuk atau keluar dari sel, maka keadaan tersebut disebut isotonik. Pada kondisi ini telur mempunyai daya tahan yang baik sehingga bisa menghasilkan daya tetas yang tinggi. Contohnya pada penelitian telur ikan nila yang ditetaskan pada media salini-
Daya tetas telur terendah terdapat pada perlakuan F (10 ppt) yaitu 88% pada perlakuan ini 12% telur membusuk dan ditemukan embrio yang mati. Hal ini disebabkan keadaan yang hipertonik, yaitu kepekatan media penetasan lebih tinggi dari pada telur ikan pelangi. Sesuai dengan pernyataan [11] bahwa dalam keadaan hipertonik tersebut cairan akan cenderung ke-
Embriogenitas dan Daya Tetas Telur Ikan Pelangi
161
Gambar 2 Daya tetas telur ikan pelangi (Melanotaenia parva)
Gambar 3 Sintasan larva ikan pelangi (Melanotaenia parva)
luar dari telur. Hal ini dikarenakan konsentrasi cairan dalam telur ikan sudah semakin menjauhi konsentrasi cairan dalam media penetasan dan telur ikan tersebut sudah tidak dapat mentoleransi perubahan salinitas yang diberikan sehingga telur dapat mengalami turgor atau plasmolisis [11]. [10] juga menambahkan, dari keadaan cairan intraseluler dan ekstraseluler yang tidak seimbang tersebut telur dapat mengalami plasmolisis, yaitu terjadinya pengkerutan karena keluarnya cairan dari telur ke media, dan pada akhirnya dapat menyebabkan kematian.
dipengaruhi oleh kualitas air. Diduga salinitas sebagai salah satu parameter kualitas air berpengaruh pada saat penetasan yang membuat larva ikan pelangi memiliki tingkat sintasan yang tinggi. Penggunaan energi untuk osmoregulasi dapat ditekan apabila organisme yang dipelihara hidup pada medium yang berisotonik. Jika perbedaan osmolaritas dari suatu perlakuan berbeda jauh maka ikan akan membutuhkan energi yang besar untuk beradaptasi.
Sintasan atau Survival Rate (SR) Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95% menunjukan bahwa telur yang di tetaskan pada salinitas yang berbeda tingkat sintasan atau kelangsungan hidupnya (SR) tidak berbeda nyata (P>0,05) (Gambar 3). Sintasan larva ikan pelangi selama percobaan diamati selama 30 hari setelah penetasan telur. Perlakuan E (8 ppt) memberikan sintasan tertinggi yaitu sebesar 84% kemudian pada perlakuan C (4 ppt) dan perlakuan F (10 ppt) yaitu 83%, perlakuan B (2 ppt) 76% dan perlakuan A (kontrol) sebesar 64% (Gambar 3). Hasil percobaan yang diperoleh masih menunjukan dalam kisaran normal dimana sintasan larva masih di atas 50%, sesuai dengan pernyataan [12] yang menyatakan bahwa sintasan larva ikan pelangi berkisar antara 50-99%. Sintasan larva ikan selain dipengaruhi oleh pakan dapat juga
SIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini, yaitu Berdasarkan hasil penelitian embriogenesis ikan pelangi pada salinitas yang berbeda yaitu 0 ppt (kontrol), 2 ppt, 4 ppt, 6 ppt, 8 ppt, dan 10 ppt menunjukkan perbedaan waktu. Pengaruh salinitas terhadap daya tetas telur memberikan hasil yang tidak berbeda nyata, sedangkan telur yang di tetaskan pada salinitas yang berbeda tingkat sintasan atau kelangsungan hidupnya (SR) juga tidak berbeda nyata.
Pustaka 1. Nugraha, F. 2004. Embriogenesis dan Perkembangan Larva Ikan Pelangi (Melanotaenia parva). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 2. Diana, A.N, Maisthah, E.D, Mukhti, A.T dan Triastuti J.2010. Embriogenesis dan daya tetas telur ikan nila (Oreochromis niloticus) pada salinitas yang berbeda. Universitas Airlangga. Surabaya. 3. Hanafiah, K.A., 2008. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
162 4. Blaxter, H.S. 1969. Development of eggs and larvae. In Fish Physiology. W.S. Hoar and D.J. Randall (Ed.). Academic Press. New York. 117-241 p. 5. Woynarovich, E. and Horvarth, L. 1980. The Artificial Propagation of Warmwater Fin Fish. A Manual for Extention. FAO Fish. Tech. Pap. No. 201. 183 p. 6. Gusrina. 2008. Budi Daya Ikan Jilid 1 untuk SMK. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta. hal. 165- 174. 7. Maetz, J. and M. Bornancin. 1975. Biochemical and biophysical aspects of salt excretion by chloride cells in teleosts. Forts. Chr. Zool. 22 : 322- 362. 8. Kaneko, T., K. Shiraishi, F. Katoh, S. Hasegawa, and J. Hiroi. 2002. The effect of temperature and salinity on marine and brackishwater animals. Oceanography and Marine Biology Annual Review 2: 281-339. 9. Prunet, P dan M, Bornancin. 1989. Physiology of Salinity Tolerance in Tilapia : An Update of Basic and Applied Aspects. 10. Guyton, A. C. dan J. E. Hall. 2000. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran : Textbook of Medical Physiology. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 381- 388 p. 11. Maisura, I. 2004. Pengaruh Perbedaan Salinitas terhadap Tetasan Telur dan Kelulushidupan Larva Ikan Manvis (Pterophyllum scalare). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang. 52 hal. 12. Allen, G.R. 1995. Pelangi Fishes in Nature and the Aquarium. Tetra Press. Malle. 268 p.
Dahlia Mubarokah1 et al.
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
ANALISIS EFISIENSI USAHA PENANGKAPAN NELAYAN JARING ARAD DI TPI ROBAN KABUPATEN BATANG Sulistyowati1
Ringkasan Penelitian yang dilakukan di wilayah pesisir pantai Utara Jawa bertujuan untuk menghitung efisiensi teknis usaha nelayan jaring arad dan mengetahui efisiensi keuangan usaha nelayan jaring arad di TPI Roban Timur dan Barat kabupaten Batang berdasarkan kriteria investasi (investment criteria) sederhana yakni BC ratio (Benefit Cost Ratio), BEP (Break Event Point) dan Payback Period. Metode yang digunakan adalah deskriptif. Responden nelayan diambil secara random sampling sebanyak 10% dari populasi yang ada karena n >100, sejumlah 31 orang yang berasal dari desa Kedawung dan desa Kedung Segog Kecamatan Tulis di wilayah TPI Roban Barat dan TPI Roban Timur sedangkan Kabupaten secara purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Nopember - Desember 2013. Hasil penelitian menunjukkan dari hasil analisis nilai BC ratio 1,21 , BEP(Q) 17,5 kg/trip dan untuk BEPharga Rp 9.765,80,-/kg/trip, BEP(PK) Rp 206.546,61,-/trip;dan Payback Periode 2,2 tahun modal sudah kembali.
Keywords Efisiensi usaha, nelayan jaring arad Received: 23 Nopember 2013 Accepted: 22 Januari 2014 1 )Jurusan
Sosial Ekonomi Pertanian Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Farming Semarang Jl. Pawiyatan Luhur IV/15 Semarang E-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN Fluktuasi pendapatan dari hasil tangkapan nelayan di wilayah pantai Utara Jawa (pesisir pantai Kabupaten Batang) disebabkan oleh adanya faktor musim, terutama pada musim paceklik yang biasanya ditandai dengan penurunan jumlah hasil tangkapan. Hal ini mengakibatkan fluktuasi harga sehingga berdampak pada penurunan pendapatan nelayan. Menurut [1] dan [2], pendapatan usaha tangkap nelayan sangat berbeda dengan jenis usaha lainnya, seperti pedagang atau bahkan bahkan petani. Jika pedagang dapat mengkalkulasikan keuntungan yang diperolehnya setiap bulannya, begitu pula petani dapat memprediksi hasil panennya, maka tidak demikian dengan nelayan yang kegiatannya penuh dengan ketidak pastian (uncertainty) serta bersifat spekulatif dan fluktuatif. Secara umum, pada musim paceklik produksi hasil tangkapan ikan menurun sehingga harga ikan naik karena di sisi lain permintaan atau konsumsi relatif tetap atau meningkat [3]. Faktor-faktor yang mempengaruhi penghasilan nelayan dari kegiatan penangkapan ada lah faktor fisik berupa kondisi lingkungan pesisir, teknologi penangkapan, lokasi penangkapan, dan modal, serta faktor non fisik berkaitan dengan kondisi iklim (musim) [4]. Menurut [5], tingkat kesejahteraan masyarakat pesisi umum-
Sulistyowati1
164
nya menempati strata paling rendah dibanding masyarakat lainnya di darat. Bahkan nelayan termasuk paling miskin di semua negara dengan atribut “the poorest of poor” (termiskin diantara yang miskin [6]. Sehubungan dengan kondisi tersebut maka diperlukan adanya analisis efisiensi teknis dan efisiensi keuangan usaha penangkapan nelayan jaring arad yang berbasis di TPI Roban Kabupaten Batang berdasarkan kriteria investasi (invesment criteria) sederhana yakni BC Ratio (Benefit Cost Ratio), BEP (Break Event Point) dan Payback Period. MATERI DAN METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei dengan analisis deskriptif agar faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan dapat tergali lebih detil. Responden nelayan diambil secara random sampling sebanyak 30 orang (±10% dari responden yang ada, karena n>100) [7] yang berasal dari desa Kedawung kecamatan Tulis 14 orang dan desa Kedung Segog Kecamatan Tulis 16 orang. Penentuan sampel Kabupaten Batang digunakan metode purposive sampling. Penelitian dilaksanakan pada bulan Nopember - Desember 2013. Untuk mengetahui besarnya efisiensi teknis dan mengetahui efisiensi keuangan usaha tangkap nelayan jaring arad yang berbasis di TPI Roban Barat dan Roban Timur berdasarkan kriteria investasi (invesment criteria) sederhana yakni BC Ratio (Benefit Cost Ratio), BEP (Break Event Point) dan Payback Period. Analisa Data Metode analisis data yang digunakan adalah: a. Analisis deskriptif Metode ini dimaksudkan untuk menjelaskan data yang diperoleh. Analisis deskriptif digunakan untuk mengumpulkan dan menyajikan data yang telah didapat, sehingga
memberikan gambaran secara jelas mengenai pengaruh penggunaan perbekalan, bahan bakar minyak dan tenaga kerja terhadap pendapatan usaha tangkap jaring arad. b. Analisis Kuantitatif Untuk analisis data yang telah dikumpulkan ditabulasi dalam tabel yang telah disesuaikan dengan keperluan. Analisis data meliputi penghitungan kelayakan usaha menggunakan analisis Pendapatan/keuntungan dan Pengeluaran (Total Cost), Break Even Point (BEP), Benefit Cost Ratio (BCR), Payback Period (PP). Pengertian efisiensi dalam produksi merupakan antara perbandingan output dan input, berkaitan dengan tercapainya output maksimum dengan sejumlah input. Jika rasio ouput besar maka efisiensi dikatakan semakin tinggi. Dapat dikatakan bahwa efisiensi adalah penggunaan input terbaik dalam memproduksi output [8]. c. Aspek Ekonomi Usaha tangkap Jaring Arad 1. Analisis Biaya Pendapatan dan Pengeluaran Analisis ini digunakan untuk menghitung besarnya biaya produksi, penerimaan dan pendapatan usaha tangkap nelayan jaring arad. Total penerimaan atau total revenue dihitung dengan rumus: TR = P x Q
(1)
dimana: TR = Total Revenue / penerimaan(Rp/trip) P = Price / Harga Q = Quantum/ total produksi(kg/trip) Biaya (cost) produksi dikeluarkan untuk usaha tangkap nelayan jaring arad merupakan penjumlahan dari seluruh biaya, meliputi biaya tetap/fix cost (penyusutan perahu, mesin, jaring, kranjang+box, retribusi dan perawatan perahu, mesin, jaring, kranjang+box; biaya variabel (perbekalan, bahan bakar minyak dan membayar upah tenaga kerja).
Analisa Efisiensi Usaha Jaring Arad
165
Adapun pendapatan adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan, dengan rumus sebagai berikut: P endapatan = T otalpenerimaan−T otalBiaya(2)
2. Analisis Usaha Menurut [9], keuntungan harus dicapai atas dasar pelaksanaan yang efisien dan rasional dan tidak merugikan fihak ketiga seperti membayar upah tenaga kerja yang terlalu rendah, karena penilaian terakhir terhadap perusahaan adalah keuntungan. Suatu perusahaan yang baik harus mendatangkan untung, makin baik usahanya makin besar untungnya. Menurut [10], BC ratio dipergunakan untuk mengetahui apakah usahatani tersebut menguntungkan atau tidak. Benef it Disbenef it Cost
b = Variable Cost (biaya variable) per unit p = Price (harga per unit) Untuk menghitung BEP dalam rupiah dan BEP Pendapatan Kotor adalah : BEP(Rp) =
a. Benefit Cost Ratio (BCR)
BC Ratio =
a = Fixed Cost (biaya tetap)
(3)
dimana: Benefit : Keuntungan/faedah yang didapat pemilik Disbenefit : Kerugian Cost : biaya/pengeluaran untuk pembuatan, operasi, pemeliharaan, dll (total cost) Dengan total penerimaan Rp 62.412.433,88 dan Total biaya produksi yang digunakan adalah Rp 51.636.652,50, maka pendapatan yang diterima adalah Rp 10.775.781,38.
BEP(P K) =
a 1−
b p
BT 1 − PBV K
BEPP roduksi =
T otal Biaya Harga P enjualan
(5)
(6)
(7)
Menurut [13] kenaikan harga jual produksi akan berakibat turunnya variabel cost ratio, meningkatnya biaya variabel akan mengakibatkan naiknya variabel cost ratio yang sekaligus akan menambah naiknya tingkat break even, biaya tetap yang tinggi akan menyebabkan perusahaan mencapai titik break even yang tinggi pula. c. Payback Period (PP) Pay Back Period (PBP) digunakan untuk mengetahui tingkat pengembalian investasi yang telah ditanam pada suatu jenis usaha atau lama waktu yang dibutuhkan agar suatu investasi (modal) bisa kembali. PP =
T otal Investasi X 1 T ahun Keuntungan
(8)
b. BEP (Break Event Point) Break Event Point adalah titik pulang pokok dimana total revenue sama dengan total cost (TR =TC). Menurut [11] analisa break event adalah suatu cara atau teknik untuk mengetahui kaitan antara penjualan, produksi, harga jual, biaya, rugi adan laba. Formula yang digunakan untuk mengetahui jumlah produksi dan dalam keadaan BEP menurut [12] adalah : BEP(Q) = dimana :
a (p − b)
(4)
HASIL DAN PEMBAHASAN Jaring arad (beach seine/jaring kantong) di perairan kabupaten Batang pada umumnya dengan ukuran jaring berkantong 30 m x 10 m, mesh size 1”, tali ris atas 30 m. Cara operasinya dengan cara jaring kantong ini ditarik sepanjang dasar perairan dengan menggunakan mesin dong feng berkekuatan 20 PK, ukuran perahu 7 m x 2,83 m x 2 m dengan bobot ± 3 GT, dengan jarak melaut sampai 10 mil dari pantai. Menggunakan tenaga kerja 1-2 orang dan
Sulistyowati1
166
biasanya 2 orang terdiri dari nakhoda (pemilik) dan buruh, dengan sistem pembagian hasil yang umumnya 60 : 40. Dengan hasil tangkapan yang diperoleh antara lain : udang jerbung, udang dogol, layur, tigowojo, petek, songot, kadalan/beloso, cumicumi, belanak, rajungan, sripeng dan lainlain.
Tabel 3 Penerimaan Usaha Penangkapan Ikan/Udang Dengan Arad Skala Kecil, JanuariDesember 2012
Biaya Investasi Usaha Penangkapan Ikan atau udang Dengan Jaring Arad
Penerimaan
Biaya investasi usaha penangkapan ikan atau udang dengan jaring arad di TPI Roban Barat dan Roban Timur Kabupaten Batang dengan lama waktu penangkapan 10 jam per trip dalam satu hari, sebulan bisa melakukan penangkapan ± 25 trip dan efektif penangkapan dalam setahun 10 bulan dengan investasi seperti Tabel 1. Biaya Produksi Biaya produksi terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap dan biaya variabel yang dikeluarkan oleh Usaha Penangkapan Ikan di “ TPI Roban Barat dan TPI Roban Timur” dapat dilihat pada lihat Tabel 2. Biaya tetap yang dikeluarkan oleh Usaha Penangkapan ikan/udang dengan jaring arad perikanan skala kecil sebesar Rp 30.936,69 per trip atau per hari. Biaya tetap tersebut mencakup biaya penyusutan ( perahu, mesin, jaring arad, keranjang, box), perawatan (perahu, mesin, jaring arad, keranjang, box), SIPI dan retribusi. Biaya tidak tetap yang dikeluarkan untuk mendapatkan ikan/udang adalah sebesar Rp 175.609,92 per trip penangkapan . Biaya variable tersebut meliputi biaya biaya perbekalan + es batu, bahan bakar minyak , dua orang tenaga kerja. Total Biaya adalah penjumlahan seluruh biaya tetap dan biaya variabel dari usaha penangkapan jaring arad. Total biaya yang dikeluarkan oleh Usaha Penangkapan ikan/udang dengan jaring arad skala kecil pada umumnya dalam bulan JanuariDesember 2012 sebesar Rp 206.546,61 per trip.
Uraian Produksi (kg) Harga Per Kilogram (Rp) Penerimaan (Rp)
Per Hari (per trip)
Per Tahun
21,15
5.287,50
11.803,77 249.649,80
62.412.433,88
Penerimaan merupakan hasil kali antara harga produk dengan jumlah produksi. Besarnya jumlah penerimaan dalam penelitian ini diperoleh dari penjualaan ikan/udang dalam satu tahun penangkapan di TPI Roban Barat, dan TPI Roban Timur dapat dilihat pada Tabel 3. Dari tabel 2 diatas terlihat pada Usaha Penangkapan ikan/udang dengan arad skala kecil, produksi per perahu /hari 21,15 kg, per tahun 5.287,50 kg , dengan harga jual per kilogram Rp 11.803,77,- sehingga penerimaan nelayan Rp 62.412.433,88 per tahun. Usaha Penangkapan ikan/udang dengan jaring arad pada perikanan skala kecil pada umumnya tidak melakukan pencatatan dengan baik. Sehingga tidak didapati data produksi maupun penerimaannya. Kalaupun ada catatan, catatan tersebut hanya sebagai acuan pengingat bagi bakul/pedagang pengumpul dalam pembayaran. Lain halnya dengan penjualan ikan/udang yang di lelang melalui pelelang di TPI. Pendapatan Salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan nelayan adalah melalui tingkat pendapatan [1] dan [2]. Pendapatan usaha tangkap nelayan jaring arad merupakan selisih antara penerimaan dengan total biaya penangkapan yang benar-benar dikeluarkan oleh nelayan jaring arad saat musim penangkapan per trip. Apabila penerimaan lebih besar daripada biaya total maka dikatakan usaha memperoleh pendapatan/keuntungan. Sebaliknya apabila total biaya lebih besar dibandingkan penerimaan maka usaha menderita kerugian. Pendapatan dari Usaha Pe-
Analisa Efisiensi Usaha Jaring Arad
167
Tabel 1 Biaya Investasi Usaha Penangkapan Ikan/udang Dengan Jaring Arad Investasi
Jumlah
Perahu
1 unit
Umur
Harga
Ekonomis
Penyusutan
(Rp)
10 tahun
14.670.330,00
Penyusutan
per tahun
per trip
1.467.033,00
5.868,13
Mesin
1 unit
5 tahun
5.692.308,00
1.138.461,60
4.553,85
Jaring arad
2 unit
1 tahun
3.043.956,00
3.043.956,00
12.175,82
Keranjang ikan
4 bh
1 tahun
335.080,00
335.080,00
1.340,32
Oblong /sterofom
1 bh
1 tahun
Total
5.000,00
5.000,00
20,00
23.746.674,00
5.989.530,60
23.958,12
Tabel 2 Biaya Produksi Usaha Penangkapan Ikan dan udang di TPI Roban pada puncak musim udang (Bulan Januari - Maret 2012) Uraian
Tiap Trip (Rp)
1 Tahun (Rp)
Biaya Tetap/fixed cost
30.936,69
7.734.172,50
• Penyusutan perahu, dll
23.958,12
5.989.530,00
• Retribusi
2.000,00
500.000,00
• Perawatan perahu dll
2.895,24
723.810,00
• SIPI Biaya Tidak tetap/variabel cost
2.083,33
520.832,50
175.609,92
43.902.480,00
25.000,00
10.500.000,00
101.250,00
30.937.500,00
• Perbekalan • Bahan Bakar Minyak • Tenaga Kerja Total Biaya Produksi
49.359,92
12.339.980,00
206.546,61
51.636.652,50
Tabel 4 Biaya dan Pendapatan Usaha Penangkapan Ikan/Udang Dengan Jaring Arad Pada Perikanan Skala Kecil, Desember 2012 Uraian Penerimaan Total Biaya Produksi Pendapatan/keuntungan
Per trip ( Rp ) 249.649,80 206.546,61 43.103,19
Tabel 5 Harga Pokok Ikan/Udang Pada Usaha Penangkapan Jaring Arad Skala Kecil, Desember 2012 Uraian
Total (Rp)
62.412.433,88
1
Biaya Total (Rp/trip)
206.546,61
51.636.652,50
2
Produksi (Kilogram/trip)
10.775.781,38
3
Harga Pokok (Rp/kilogram)
4
Harga Jual (Rp/kilogram)
11.803,77
5
Keuntungan (Rp/trip)
43.103,19
Per Tahun ( Rp )
nangkapan Ikan/udang di TPI Roban Barat dan TPI Roban Timur dapat dilihat pada Tabel 4. Total pendapatan Usaha Penangkapan ikan/udang Dengan Jaring Arad Pada Perikanan Skala Kecil berdasarkan Tabel 3 adalah Rp 10.775.781,38 ,- per tahun. Analisis Titik Impas (BEP) Harga pokok merupakan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi tiap unit produk; dapat dikatakan sebagai biaya ratarata untuk tiap unit yang diproduksi. Perhitungan harga pokok pada penelitian ini menggunakan metode pembagian. Harga pokok diperoleh dari jumlah total biaya produksi pada satu satuan waktu tertentu di-
No
21,15 9.765,80
bagi jumlah produk yang dihasilkan pada satuan waktu yang sama. Harga pokok, harga jual dan keuntungan dari tiap ikan/udang per kilo gram pada Usaha Penangkapan Jaring Arad Skala Kecil dapat dilihat pada Tabel 5. Dengan total biaya penangkapan ikan/udang sebesar Rp 206.546,61,- tiap hari atau tiap trip dengan produksi sebanyak 21,15 kg dan harga pokok ikan/udang sebesar Rp 9.765,80 per kilogram maka akan didapatkan keuntungan sebesar Rp 43.103,19,- per trip. Berdasarkan harga pokok penangkapan ikan/udang menunjukkan bahwa harga pokok ikan/udang masih berada dibawah
Sulistyowati1
168
Pustaka
Tabel 6 BEP Ikan/Udang Pada Usaha Penangkapan Jaring Arad Skala Kecil, Desember 2012 Uraian Penerimaan (Total Revinue) Keuntungan usaha B/C BEPQ BEPharga BEP(P K) PBP
Per trip (Rp)
Per tahun ((Rp)
249.649,80
62.412.433,88
43.103,19
10.775.781,38
-
1,21
17,50
4.375,00
9.765,80
-
206.546,61
51.636.652,50
-
2,2
harga jualnya yaitu Rp 9.765,80 ,- per kilo gram . Artinya usaha ini menguntungkan sebesar Rp 2.037,97,- per kilogram. Walau demikian, banyaknya jumlah penjualan ikut menentukan jumlah keuntungan yang dapat diperoleh. Break Even Point merupakan suatu analisis yang digunakan untuk mengetahui pada saat kapan suatu usaha mengalami titik impas. Pada penelitian ini menentukan penjualan minimal yang harus dipertahankan agar perusahaan tidak mengalami kerugian dan menentukan jumlah penjualan yang harus dicapai untuk memperoleh keuntungan tertentu. Hasil perhitungan BEP dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai BEP yang diperoleh adalah sebesar Rp 206.546,61,-,per perahu/trip artinya usaha penangkapan ikan/udang Pada Usaha Penangkapan Jaring Arad Skala Kecil ini dapat menghasilkan penjualan sebesar Rp 206.546,61,- agar tidak untung atau rugi. Karena hasil produksi ikan/udang yang dihasilkan sebesar 21,15 kg melampaui nilai BEP sebesar 17,50 kg maka usaha ini efisien dan layak dipertahankan.
SIMPULAN BC ratio sebesar 1,21 , perbandingan antara output dan input > 1 berarti usaha penangkapan ini efektif digunakan. Agar usaha penangkapan Jaring Arad Skala Kecil ini efisien secara ekonomi maka harus memperoleh hasil tangkapan sebanyak 17,5 kg per perahu/trip dengan harga Rp 9.765,80 /kg dan penerimaan sebesar Rp 206.546,61,-
1. Wahyono, A, I.G.P. Antariksa, M, Imron, R, Indrawasih, dan Sudiyono, 2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan, Media Pressindo, Jogjakarta. 2. Kusnadi, 2007. Jaminan Sosial Nelayan, Pelangi Aksara, Yogjakarta. 3. Fauzi A. 2005. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 259 hal. 4. Ismail, Z, 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penghasilan dan Pola Konsumsi Nelayan. Dampak Kerusakan Lingkungan Pesisir terhadap kondisi Sosial Ekonomi Nelayan, Jakarta. 5. Mubyarto, 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian, Penerbit LP3ES. 6. Nikijuluw, VPH (2002)Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: Pustaka Cidesindo. 7. Arikunto, 1998. Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. PT Penebar Swadaya, Jakarta. 8. Susantun, I. 2000. “Fungsi Keuntungan CobbDauglas Dalam Pendugaan Efisiensi Ekonomi Realtif”. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol.5 No.2. hal 149-161 9. Adiwilaga, 1982. Ilmu Usahatani. Alumni, Bandung. 10. Ida dan Herman, 1994. Manajemen Usahatani. Universitas Terbuka. 11. Soehardi Sigit, 1997. Analisa Break Even. BPEF. Yogyakarta, hal 7. 12. Kadariah, L Karlina dan C Gray. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 181 hal. 13. Saputro, G.A, 1997. Anggaran Perusahaan II. BPFE, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
MODIFIKASI BIOSEKURITAS, PENINGKATAN PERFORMA TAMBAK DAN KEBERLANJUTAN BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei ) DI KABUPATEN PESAWARAN PROVINSI LAMPUNG Siti Hudaidah1 · Ainul Kahfi2 · Gesty Ayu Akbaidar2 · Wardiyanto1 · Y.T. Adiputra1∗
Ringkasan Ponds biosecurity of Pacific white shrimp (Litopenaeus vannamei) cultured and its relationship among viruses and parasites infection, cultured performances and sustainability of shrimps industry in Pesawaran Region of Lampung was investigated. Research conducted with comparing ponds that applying standard biosecurity, viruses and parasites infection and shrimp cultured performances. Sixteen ponds within four villages (Hanura, Sidodadi, Gebang and Seribu) used for this study. Results showed that modification of biosecurity has been applied include procedure, material and culture methods of shrimp ponds. The Hanura shrimp ponds that applied lowest biosecurity standards was infected by virus disease during culture period. Modifying biosecurity standard has been applied in other three villages and resulted different cultured performances. Villages that applied most complete standard biosecurity tend to enhances better production and sustain the culture period. Consistent applying standard biosecurity follow by local, national and international regulations recommend to secure shrimps production in Pesawaran Region. 1 )Dosen
Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung Alamat: Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Unila Jl. Prof. S. Brodjonegoro No. 1 Gedong Meneng Bandar Lampung 35145 2 )Alumni Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung ∗ E-mail:
[email protected]
Keywords Biosecurity, pacific white shrimp, production, sustainability Received: 23 Nopember 2013 Accepted: 12 Januari 2014
PENDAHULUAN Infeksi penyakit pada budidaya udang menjadi penghambat meningkatnya produksi [1]; [2]. Terutama infeksi penyakit yang disebabkan oleh virus yang mendorong kegagalan produksi menjadi resiko terbesar dalam siklus budidaya [3]; [4]; dan [5]. Infeksi virus yang dicermati sebagai patogen tunggal harus ditinggalkan karena pada berbagai studi menunjukkan kerjasama lebih dari satu patogen dan lingkungan menyebabkan infeksi penyakit semakin parah dan mematikan [6]; [7]. Penerapan manajemen kesehatan ikan pada budidaya udang menjadi keharusan terutama semakin intensifnya dan bervariasinya metode budidaya yang digunakan [1]; [8]. Penerapan manajemen kesehatan ikan yang pada tahapan pelaksanaan dikenal dengan biosekuritas menjadi alternatif baru dalam pengelolaan budidaya udang [9]. Penerapan biosekuritas yang terjaga dengan bantuan teknologi dapat mendukung budidaya dan kualitasnya [10]. Budidaya udang sangat berhubungan dengan lingkungan disekitar yang secara keseluruhan tergantung dengan daya dukung lahan. Berbagai metode budidaya udang
170
diterapkan yang mengedepankan produksi dan keberlanjutan [11] memiliki keterbatasan. Selain karena infeksi penyakit, budidaya udang di Indonesia mengalami hambatan juga karena tingginya limbah yang dihasilkan tidak bisa terdegradasi secara alamiah [12]. Penelitian tentang penerapan biosekuritas dan hubungannya dengan keberlanjutan budidaya masih jarang dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari penerapan biosekuritas pada salah satu sentra budidaya udang di Provinsi Lampung. Hasil studi ini dimungkinkan sebagai acuan yang dapat mendorong perbaikan pengelolaan wilayah budidaya udang. MATERI DAN METODE Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah 16 petak tambak yang berada di empat desa yang merupakan sentra budidaya udang di Kabupaten Pesawaran antara lain Hanura, Sidodadi, Gebang dan Seribu (Gambar 1). Pada tambak di keempat desa tersebut diambil sampel berupa udang yang menunjukan gejala infeksi virus dan parasit. Sebagai data pendukung dilakukan juga wawancara dengan operator tambak tentang sarana, prasarana dan prosedur biosekuritas yang dilakukan dan pengamatan terhadap siklus budidaya udang pada 16 petak tambak. Bahan-bahan standar untuk diagnosis virus dan identifikasi parasit serta bahan analisa kualitas air juga digunakan dalam penelitian. Metode yang digunakan adalah kuisioner standar biosekuritas berdasarkan [9] diagnosis IMNV dan WSSV berdasarkan [13], identifikasi jenis parasit dan perhitungan performa budidaya udang yang meliputi berat tubuh, perbandingan rasio pakan, sintasan, biomasa dan produktifitas. Data dianalisa secara deskriptif dengan membandingkan hasil aplikasi biosekuritas, diagnosis penyakit virus dan parasit dan performa budidaya udang pada empat desa. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan terdapat modifikasi penyediaan sarana, prasarana dan penerapan biosekuritas pada empat desa dibandingkan biosekuritas standar (Tabel
Siti Hudaidah1 et al.
Gambar 1: Peta Lokasi Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei ) di Kabupaten Pesawaran
1 (a dan b)). Modifikasi biosekuritas yang buruk di Desa Hanura yang ditunjukkan dengan banyaknya rekomendasi biosekuritas yang tidak dilaksanakan menyebabkan infeksi penyakit virus dan budidaya udang tidak berlanjut. Kontras pada ketiga lokasi desa yang lain, rekomendasi biosekuritas lebih sedikit untuk tidak dilaksanakan yang berlanjut dengan performa budidaya udang vaname yang baik. Penyaringan air, pembatasan jumlah kunjungan dan prosedur operasional standar biosekuritas di Desa Hanura yang tidak dilaksanakan sesuai dengan standar biosekuritas menjadi pembeda dengan ketiga desa lainnya. Penyaringan air menjadi keharusan karena lingkungan di Teluk Lampung yang mulai mengalami penurunan. Pembatasan jumlah kunjungan yang masuk dalam tambak menjadi salah satu syarat dalam penerapan biosekuritas. Pengunjung yang masuk dalam tambak memiliki tujuan yang beragam dapat membawa patogen bila pengunjung tersebut datang dari tambak lain yang sebelumnya telah terinfeksi penyakit. Prosedur operasional standar menjadi petunjuk dasar setiap pengelola tambak. Pelaksanaan pengelolaan tambak yang tidak berdasarkan prosedur akan mendapatkan akibat berupa ketidakberlanjutan karena tidak terjalinnya sinergitas antar komponen pengelola tambak. Hasil penerapan biosekuritas ternyata menunjukkan hasil yang serupa dengan hasil pengamatan kualitas air dan infeksi parasit dalam tambak yang diamati secara periodik (Tabel 2 dan Tabel 3). Desa Ha-
Modifikasi Biosekuritas Peningkatan Performa Tambak Udang
171
nura memiliki pengelolaan air yang paling buruk dan kisarannya berada jauh diluar standar nasional (Tabel 2). Ketiga desa yang lain (Sidodadi, Gebang, Seribu) menunjukan pengelolaan kualitas air yang baik ditunjukkan dengan masih dekat dengan kisaran standar nasional (Tabel 2). Infeksi parasit mengikuti pola penerapan biosekuritas dan kualitas air. Infeksi parasit yang berpeluang mematikan paling tinggi terjadi di Desa Hanura dibandingkan dengan ketiga desa lainnya (Tabel 3). Hubungan antara inang dan lingkungan yaitu antara udang, parasit dan kualitas air akan semakin baik jika dikelola dengan baik. Pengelolaan yang terpadu yang diwujudkan pada penerapan biosekuritas secara tidak langsung berhubungan dengan kualitas air dan infestasi penyakit.
terapkan di Kabupaten Pesawaran sebagai salah satu sentra budidaya udang di Provinsi Lampung. Usaha yang lebih keras perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran tentang manfaat penerapan biosekuritas tersebut bukan melalui pendekatan ekonomi tetapi melalui pendekatan sosial kemasyarakatan. Selama ini penerapan biosekuritas diterapkan dengan mengeluarkan biaya yang besar sehingga biaya produksi budidaya udang menjadi besar. Unifikasi melalui organisasi pengelola tambak yang telah ada dapat digunakan sebagai media pembelajaran tentang manfaat penerapan biosekuritas. Pendekatan sosial kemasyarakatan dapat mempercepat pencapaian tujuan tersebut karena berupa dorongan sekaligus motivasi pengelola tambak untuk bertahan dan berkembang dalam profesinya .
Tabel 3: Infeksi Parasit pada Udang Vaname (Litopenaeus vannamei ) di Empat Lokasi Budidaya.
Modifikasi biosekuritas di Desa Sidodadi, Gebang dan Seribu yang berbeda mempengaruhi performa budidaya udang (Gambar 2). Desa Hanura dengan modifikasi penerapan biosekuritas yang paling banyak tidak dilaksanakan memiliki produktivitas budidaya yang paling rendah. Kontras dengan kondisi tersebut Desa Sidodadi memiliki produktivitas yang tertinggi diikuti oleh Desa Seribu dan Desa Gebang (Gambar 2). Pengaruh tidak langsung teramati sebagai hubungan sebab akibat antara produktivitas dengan penerapan biosekuritas dalam budidaya udang vaname di Kabupaten Pesawaran. Hasil ini juga menunjukkan bahwa perlu standarisasi pengelolaan tambak udang pada berbagai kluster tambak yang ada di Pesawaran. Kluster tambak tersebut adalah tambak rakyat, tambak swasta menengah dan tambak swasta besar. Standarisasi pengelolaan tambak yang terjangkau oleh semua kluster dapat menguntungkan dalam jangka pendek dan panjang yang ditunjukkan dengan keberlanjutan dalam budidaya [14] [15]. Penerapan standar biosekuritas yang konsisten sesuai aturan lokal, nasional dan internasional diperlukan agar keberlanjutan industri udang vaname di Kabupaten Pesawaran dapat dipertahankan. Standar biosekuritas yang diterapkan konsisten akan men-
Parasit yang Lokasi
Prevalensi
Organ menginfeksi
(%)
Kulit
Zoothamnium
16,67
Insang
Zoothamnium
83,33
Leucothrix
66,67
Zoothamnium
16,67
Desa Hanura Usus
Desa Sidodadi
Desa Gebang
Kulit
-
-
Insang
Zoothamnium
66,7 33,33
Usus
Nematoda
Kulit
-
-
Insang
Zoothamnium
62,5
Usus
Nematoda
25
Kulit
Zoothamnium
7,14
Insang
Zoothamnium
7,14
Leucothrix
87,5
Zoothamnium
7,14
Desa Seribu Usus
Meskipun Desa Hanura menerapkan modifikasi biosekuritas yang paling rendah ternyata ketiga desa lain memiliki kesamaan pola modifikasi biosekuritas yang belum terlaksana. Hal ini sungguh memprihatinkan karena pada saat pemerintah lokal dan nasional mempublikasikan banyak program budidaya udang berkelanjutan tetapi hasil kerja tersebut belum pernah di-
172
jadi kunci penerapan manajemen kesehatan budidaya ikan [16]. Sebagai tindak lanjutan standarisasi biosekuritas yang baik mendapatkan pengakuan berupa sertifikasi produk yang memiliki jaminan mutu pada semua kalangan konsumen [14]; [17]. Standarisasi biosekuritas tetap diperlukan karena lingkungan budidaya yang digunakan untuk budidaya memiliki karakteristik yang sama. Hasil studi ini penting sebagai saran kepada pemerintah daerah untuk menerapkan kebijakan yang terarah dan terintegrasi dan memiliki dasar ilmiah yang kuat agar industri budidaya udang vaname yang menjadi sumber ekonomi lokal tetap berkelanjutan.
Siti Hudaidah1 et al.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Gambar 2: Produktifitas Tambak pada Empat Lokasi Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) 10.
SIMPULAN Aplikasi biosekuritas tambak pada budidaya udang vaname dilakukan dengan modifikasi yang mempengaruhi performa dan keberlanjutan budidaya udang di Kabupaten Pesawaran.
11.
12.
13.
Pustaka 14. 1. Bondad-Reantaso, M.G., R.P. Subasinghe, J.R. Arthur., K. Ogawa., S. Chinabut., R. Adlard, Z. Tan and M. Shariff. 2005. Disease and health management in Asian aquaculture. Veterinary Parasitology 132: 249–272. 2. Meyer, F.P. 1991. Aquaculture disease and health management. J. Anim Sci 69: 4201-4208. 3. Diggles, B.K. and Arthur, J.R. 2011. Pathogen risk analysis for aquatic animals:experiences from nine case studies. In Bondad-Reantaso,
15.
M.G., Jones, J.B., Corsin, F. And Aoki, T. (Eds). Disease in Asian Aquaculture VII. Fish Health Section. Asian Fisheries Society, Selangor Malaysia. pp.271-290. Lightner, D.V. 2011. Status of shrimp disease and advances in shrimp health management. In Bondad-Reantaso, M.G., Jones, J.B., Corsin, F. and Aoki, T. (Eds). Disease in Asian Aquaculture VII. Fish Health Section. Asian Fisheries Society, Selangor Malaysia. pp.121134. Walker, P.J and Mohan, C.V. 2009. Viral disease emergence in shrimp aquaculture:origins, impact and the efectiveness of health management strategies. Reviews in Aquaculture 1: 125-154 Feijó, R. G., Kamimura, M. T., Oliveira-Neto, J. M., Vila-Nova-C.M.V.M., Gomos, A.C.S., Coelho M. G.L., Vasconcelos, R.F., Gesteira, T.C.V., Marins, L.F. and Magigioni, R. 2013. Infectious myonecrosis virus and white spot syndrome co-infection in pacific white shrimp (Litopenaeus vannamei) farmed in Brazil. Aquaculture 380-383:1-5. Olafsen, J. A. 2001. Interaction between fish larvae and bacteria in marine aquaculture. Aquaculture 200:223-247. Shariff, M. 1995. Health management in tropical aquaculture systems. In Bagarinao, T.U., Flores E.E.C. (Eds). Towards Sustainable Aquaculture in Southeast Asia and Japan. Iloilo. Philippines. pp.73-80 Bebak-Williams, J., A. Noble., P. R. Browser and G. A. Wooster. 2010. Fish Health Management. In M. B. Timmons and J. M. Ebeling (Eds). Recirculating Aquaculture. Cayuga Aqua Ventura. Ithaca. New York. p. 619-663. Carr, N. A and Appleyard, S. A. 2008. Using FTA® Eluds MicroCards to address biosecurity and DNA quality issues in abalone aquaculture. Aquaculture Research 39: 1799-1802. Martínez-Porchas, M., Martínez-Còrdova, L.R., Porchas-Cornejo, M. A. and LòpezElías,J.A. 2010. Shrimp polyculture: a potentially profitable, sustainable, but uncommon aquacultureal practices. Reviews in Aquaculture 2: 73-85. Sidik, F. and Lovelock, C.E. 2013. CO2 efflux from shrimp ponds in Indonesia. PLoS ONE 8(6): 1-5. OIE, 2009. Manual of Diagnostic Test for Aquatic Animals. World Organisation of Animal Health. pp. 97-104. Ha, T.T.H., Bush, S.R and Dijk, H.V. 2013. The cluster panacea?: Questioning the role of cooperative shrimp aquaculture in Vietnam. Aquaculture 388-391: 89-98. Padiyar, P. A., Phillips, M. J., Ravikumar, B., Wahju, S., Muhammad T., Currie, D.J., Coco, K. and Subasinghe, R.P. 2012. Improving aquaculture in post-tsunami Aceh, Indonesia:experiences and lessons in better management and farmer organizations. Aquaculture Research 43: 1787-1803.
Modifikasi Biosekuritas Peningkatan Performa Tambak Udang 16. Corsin, F., C.V. Mohan, A. Padiyar., K. Yamamoto., P. Chanratchakool and M. J.Phillips. 2008. Codes of practices and better management: a solution for shrimp health management ?. In Bondad-Reantaso, M.G., Jones, J.B., Corsin, F. And Aoki, T. (Eds). Disease in Asian Aquaculture VII. Fish Health Section. Asian Fisheries Society, Selangor Malaysia. pp.419-432. 17. Le Groumellec, M., Rigolet, V., Duraisamy, P., Vandeputte, M. and Rao, V.M. 2011. Development of the shrimp industry in the Western Indian Ocean- a holistic approach of vertical integration, from domestication and biosecurity to product certification. I n BondadReantaso, M.G., Jones, J.B., Corsin, F. And Aoki, T. (Eds). Disease in Asian Aquaculture VII. Fish Health Section. Asian Fisheries Society, Selangor Malaysia. pp.291-308.
173
174
Siti Hudaidah1 et al.
Tabel 1: Penerapan Biosekuritas dan Performa Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di Empat Lokasi. (a) Lokasi dan Parameter Penerapan Biosekuritas yang Tidak Dilaksanakan Desa Hanura
Desa Sidodadi
1. Penyaringan air.
1. Penggunaan crustacid.
2. Penggunaan crustacid.
2. Pemasangan bird scaring device.
3. Pemasangan bird scaring device.
3. Pemasangan pagar keliling tambak.
4. Pemasangan pagar keliling tambak.
4. Fasilitas karantina benur.
5. Fasilitas karantina benur.
5. Aklimatisasi benur.
6. Aklimatisasi benur.
6. Pengujian benur abnormal.
7. Pengujian parasit, bakteri dan virus.
7. Pengujian parasit, bakteri dan virus.
8. Penggunaan bahan kimia dan antibiotik.
8. Penggunaan bahan kimia dan antibiotik.
9. Tempat pencucian alas kaki dan desinfeksi kendaraan
9. Tempat pencucian alas kaki dan desinfeksi kendaraan
10. Operator mencuci tangan.
10. Operator tambak mencuci tangan.
11. Wilayah untuk desinfeksi perlengkapan budidaya.
11. Wilayah untukdesinfeksi perlengkapan budidaya.
12. Tempat penyimpanan peralatan budidaya.
12. Hewan peliharaan berada di luar area budidaya.
13. Hewan peliharaan berada di luar area budidaya.
13. Parkir kendaraan jauh dari fasilitas budidaya.
14. Prosedur operasional standar untuk penerapan biosekuritas. 15. Parkir kendaraan jauh dari fasilitas budidaya. 16. Pembatasan jumlah kunjungan. Desa Gebang
Desa Seribu
1. Penggunaan crustacid.
1. Penggunaan crustacid.
2. Pemasangan bird scaring device.
2. Pemasangan bird scaring device.
3. Pemasangan pagar keliling tambak.
3. Pemasangan pagar keliling tambak.
4. Fasilitas karantina benur.
4. Fasilitas karantina benur.
5. Aklimatisasi benur selama 4-7 hari saat tiba di tambak.
5. Aklimatisasi benur.
6. Pengujian sampel benur yang abnormal.
6. Pengujian benur abnormal.
7. Pengujian parasit, bakteri, dan virus.
7. Penggunaan bahan kimia dan antibiotik.
8. Penggunaan bahan kimia dan antibiotik.
8. Pemusnahan udang sakit/abnormal.
9. Pemusnahan udang sakit/abnormal.
9. Pencucian alas kaki dan desinfeksi kendaraan.
10. Tempat pencucian alas kaki dan desinfeksi kendaraan.
10. Hewan peliharaan berada di luar area budidaya.
11. Operator mencuci tangan.
11. Parkir kendaraan jauh dari fasilitas budidaya.
12. Hewan peliharaan berada di luar area budidaya. 13. Parkir kendaraan jauh dari fasilitas budidaya.
(b) Performa Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di Empat Lokasi Luas
Padat
Umur
Berat
Perbandingan
Sintasan-
Biomasa
Status
Lokasi
Tambak
Tebar
(hari)
Tubuh
Rasio Pakan
SR (%)
(ton)
Budidaya
(m2)
(ekor/m2)
(gram)
FCR
Desa Hanura
2000-3610
139-174
49
5,1-10,2
1,2-5,4
40-66
4,9-13,2
Panen dini karena infeksi WSSV
Desa Sidodadi
2700-3800
98-100
72-93
15,5-25,1
1,7-2,0
38,5-63,4
4,5-7,6
Panen normal
Desa Gebang
2700-3800
112-117
75-77
13,7-18,4
1,4-2,1
35,8-63,0
7,3-10,8
Panen normal
Desa Seribu
2373-3610
104-116
74-79
12,9-15,3
1,3-1,6
39-79
9,4-12,4
Panen normal
175
Modifikasi Biosekuritas Peningkatan Performa Tambak Udang
Tabel 2: Kisaran Kualitas Air Tambak pada Empat Lokasi Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Parameter pH Nitrit (NO2 ) (ppm) Salinitas (ppt) Alkalinitas (ppm)
Hanura 6,61-6,97 >1 20-28 176-185
Sidodadi 7,32-8,84 0,01-4,72 21-30 90-222
Desa Gebang 7,43-8,55 0,02-4,5 26-33 96,08-108,9
Seribu 7,26-8,87 0,01-4,9 27-34 84,07-132,11
176
Siti Hudaidah1 et al.
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
TRANSFER NUTRISI DAN ENERGI LARVA UDANG VANNAME (Litopennaeus vannamei ) DENGAN PEMBERIAN PAKAN Artemia sp. PRODUK LOKAL DAN IMPOR Vivi Endar Herawati1
Ringkasan Nutrisi dalam pakan merupakan faktor utama yang diperlukan dalam pertumbuhan dan meningkatkan tingkat kelulushidupan. Transfer nutrisi diperlukan untuk menemukan kandungan nutrisi yang paling banyak diserap dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan larva udang, kemudian kebutuhan energy ditemukan melalui proses penyerapan nutrisi dalam Artemia sp. pada larva udang. Tujuan dari penelitian ini, yaitu menemukatan transfer nutrisi melalui profil asam lemak serta profil asam amino essensial dan menemukan kebutuhan energy total dalam penyerapan pakan Artemia sp. pada larva udang vanname stadia PL1PL10. Metode yang digunakan adalah eksperimental dengan 3 perlakuan dan analisa data yang dilakukan secara deskriptif berdasarkan hasil analisis profil asam lemak dan profil asam amino essensial. Hasil yang didapatkan transfer asam lemak lemak jenuh tertinggi pada larva udang dengan pemberian pakan Artemia sp. produk lokal, yaitu asam lemak palmitat dan transfer asam lemak tak jenuh tertinggi pada larva udang dengan pemberian pakan Artemia sp. produk impor, yaitu 6,44%. Transfer asam amino essensial total tertinggi pada larva udang dengan pemberian pakan Artemia sp. produk lokal dengan nilai tran1 )Program
Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl. Prof.Soedarto Tembalang-Semarang E-mail:
[email protected]
sfer 0,61 ppm. Hasil perhitungan energi total pada larva udang vanname stadia PL 5 dan PL 10 dengan pemberian pakan Artemia sp. produk lokal adalah 2,95 kkal/g dan 3,35 kkal/g; kemudian untuk energi total pada larva udang stadia PL 5 dan PL 10 dengan pemberian pakan Artemia sp. impor adalah 2,76 kkal/gr dan 3,20 kkal/gr. Keywords transfer nutrisi, kebutuhan energy, larva udang vanname, Artemia sp. lokal, Artemia sp. impor. Received: 19 Nopember 2013 Accepted: 25 Januari 2014
PENDAHULUAN Udang vanname (Litopennaeus vannamei ) memiliki keunggulan, yaitu mempunyai nilai gizi tinggi serta pertumbuhan yang cepat. Pada tahun 2011 volume ekspor udang vanname mencapai 400.385 ton; pada tahun 2012 meningkat menjadi 457.000 ton; peningkatan produksi udang 2013 sampai dengan bulan April 308.002 ton [1]. Peningkatan produksi udang vanname dari tambak akan memberikan konsekuensi perlunya penyediaan larva udang dari panti pembenihan (hatchery) dalam jumlah yang cukup dan berkualitas [2]. Pemberian pakan yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan larva udang
178
[1]. Pakan yang sesuai untuk larva udang pada stadia naupli adalah diatom dan pada saat memasuki stadi post larva pakan terbaik adalah Artemia sp. Artemia atau “brine shrimp” adalah sejenis udang-udangan primitif. Artemia merupakan salah satu pakan alami bagi larva udang yang banyak digunakan di hatchery benih udang karena Artemia banyak mengandung nutrisi terutama protein dan asamasam amino [3] dan [4]. [3] menyatakan, petani di Indonesia sangat bergantung pada Artemia produk impor, padahal kebutuhan Artemia tersebut diharapkan dapat diproduksi sendiri pada lahan tambak garam yang banyak terdapat di Indonesia. Adapun keuntungan dari Artemia sp. produk lokal antara lain yaitu kualitas kista yang kondisinya masih relatif segar dan harganya lebih murah dibandingkan dengan Artemia sp. produk impor. Kandungan nutrisi melalui profil asam amino essensial dan profil asam lemak Artemia sp. produk lokal dan produk impor memiliki kualitas nutrisi hampir sama [5]. Kebutuhan nutrisi larva udang khususnya pada stadia post larva akan terpenuhi melalui pakan Artemia sp., oleh karena itu sebarapa banyak kandungan nutrisi yang bermanfaat untuk pertumbuhan dan kelulushidupan larva udang dapat diketahui melalui transfer nutrisinya. Adapun nutrisi yang terserap sangat berkaitan dengan energi yang dikeluarkan untuk proses tersebut. Adapun ketergantungan akan Artemia sp. produk impor sebagai pakan alami larva udang dapat dikurangi dengan menggunakan pakan berupa Artemia sp. produk lokal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan transfer nutrisi larva udang vanname dengan menggunakan pakan Artemia sp. produk lokal dan impor; menemukan transfer energi larva udang vanname dengan menggunakan pakan Artemia sp. produk lokal dan impor; Manfaat dari penelitian yaitu untuk meningkatkan kualitas nutrisi Artemia sp. produk lokal dengan pakan pengkaya diatom serta mengurangi ketergantungan Artemia
Vivi Endar Herawati1
sp. produk impor sebagai pakan alami dalam pembenihan larva udang vanname khususnya pada stadia post larva dan membuka wawasan masyarakat untuk memproduksi secara massal Artemia sp. produk lokal. MATERI DAN METODE Penelitian ini bersifat eksperimental. Larva udang vanname yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva udang vanname stadia PL 1 jenis varietas nusantara 1 (VN1). Larva udang dipelihara dalam bak beton dengan volume 2000 L dan kepadatan 75 ekor /L (SNI produksi benih, 2006). Artemia sp. produk lokal dan Artemia sp. produk impor. Preparasi Artemia sp. produk Impor. Artemia sp. produk impor yang digunakan dalam penelitian ini adalah kista Artemia sp. yang berasal dari Amerika dan yang banyak digunakan oleh para pembudidaya udang di hatchery. Kista Artemia sp.produk impor tersebut ditetaskan terlebih dahulu selama 24 jam kemudian kemudian di keringkan dan di analisa Asam lemak dan asam mino essensial. Preparasi Artemia sp. Produk lokal. Artemia sp. produk lokal adalah Artemia sp. produk impor yang diinokulasi pada tambak garam sejak tahun 2000. Artemia sp. produk lokal yang siap dipanen berada pada pinggir- pinggir tambak, kemudian Artemia sp. produk lokal tersebut diambil dengan menggunakan saringan bertingkat, hal ini bertujuan untuk memisahkan antara kista dengan Artemia sp. produk lokal dewasa. Artemia sp. produk lokal adalah kista Artemia sp. produk lokal yang telah didapat kemudian ditetaskan selama 24 jam untuk kemudian dipanen dengan cara menyaring dengan menggunakan planktonet, setelah itu dikeringkan dengan cara diangin- anginkan. Transfer Nutrisi . Diketahui melalui : 1. Analisis Asam Lemak dilakukan untuk mengetahui komposisi asam lemak total Artemia sp. produk lokal dan produk impor. Alat yang digunakan adalah
Transfer Nutrisi dan Energi Larva Udang Vanname
GC dan metode yang digunakan adalah Transesterifikasi in situ. 2. Analisis asam amino essensial Analisis asam amino essensial dilakukan untuk mengetahui komposisi asam amino essensial Artemia sp. produk lokal dan produk impor. Analisa asam amino essensial dilakukan dengan menggunakan HPLC. HPLC dengan kolom Eurospher 100-5 C18, 250x4,6mm with precolumn P/N: 1115Y535; Eluen; dengan A berupa Buffer Asetat 0.01 M pH 5.9 kemudian B = (MeOH: Buffer Asetat 0.01 M pH 5.9: THF> 80:15:5 Λ Fluorescence: Ext : 340 mm Em : 450 nm. Frekuensi Pemberian Pakan Pola atau frekuensi pemberian pakan mengacu pada pemberian pakan menurut PL 1PL 10 mengacu pada dan [6], dimana frekuensi pemberian pakan Artemia sp. produk lokal dan impor untuk stadia post larva 1-10 diberikan 4-6 kali sehari. Dalam penelitian ini frekuensi pemberian pakan diberikan 5 kali sehari yang tersaji pada tabel 1.
Analisa Data Data dianalisa secara deskriptif berdasarkan hasil analisis asam lemak dan analisa asam amino essensial untuk kemudian dihitung nilai transfer nutrisi dan transfer energi dari larva udang vanname tersebut dengan pemberian pakan Artemia sp. produk impor dan Artemia sp. produk lokal.
179
lemak palmitat dan asam lemak tak jenuh tertinggi adalah asam lemak oleat. Kemudian berdasarkan hasil analisis asam amino essensial Artemia sp. produk impor dan Artemia sp. produk lokal tersaji dalam Gambar 2. Berdasarkan hasil analisis asam amino essensial asam amino tertinggi adalah asam amino threonina, adapun fungsi dari asam amino threonina adalah kerangka dasar senyawa vitamin karena asam nukleat pengikat ion logam yang diperlukan dalam reaksi enzymatic, selain itu Threonin juga berfungsi dalam pencegahan penumpukan lemak [2]. [7], dalam penelitiannya menyatakan bahwa asam amino threonina sebagai pembentuk asam nukleat berfungsi sebagai pengikat ion logam yang diperlukan dalam reaksi enzymatik. Hasil analisis asam amino essensial terkecil adalah asam amino lysine, adapun fungsi asam amino lysina adalah kerangka pembentuk vitamin B1, bersifat anti virus, membantu penyerapan kalsium, pembentuk hormone antibody, menstimulasi selera makan, membantu dalam produksi carnitin mengubah asam lemak menjadi energy [2]. Fungsi asam amino lysine berdasarkan penelitian [7], yaitu mempunyai sifat anti virus serta membantu penyerapan kalsium, dan menstimulasi selera makan. Untuk selanjutnya Artemia sp. produk lokal dan impor diaplikasikan pada larva udang untuk menemukan nilait ransfer nutrisinya dan kebutuhan energinya.
Transfer Asam Lemak HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisa asam lemak Artemia sp. produk lokal dan Artemia sp. produk impor tersaji dalam Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1 terlihat 6 dari 9 komposisi asam lemak total lebih tinggi Artemia sp. impor (Amerika) dibandingkan Artemia sp. lokal. Asam lemak jenuh tertinggi berdasarkan hasil analisis adalah asam
Hasil transfer asam lemak larva udang vanname dengan pemberian pakan Artemia sp. produk lokal tersaji dalam Tabel 2. Hasil nilai transfer asam lemak tertinggi pada asam lemak jenuh adalah asam lemak palmitat dan asam lemak linolenat pada asam lemak tak jenuh. Selanjutnya nilai transfer asam lemak larva udang vanname dengan pemberian pakan Artemia sp. produk impor tersaji dalam Tabel 3.
Vivi Endar Herawati1
180
Tabel 1 Kebutuhan pakan Artemia sp. produk impor dan produk lokal untuk udang stadia Post Larva 1 -10 Pakan
Artemia sp. produk lokal dan produk impor (naupli/ individu)
Stadia Post larva 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
10
15
20
25
30
40
50
60
70
80
4x
4x
4x
4x
4x
5x
5x
5x
5x
5x
Gambar 1 Profil asam lemak Artemia sp. produk lokal dan Artemia sp. produk impor
Gambar 2 Profil asam amino essensial Artemia sp. produk lokal dan Artemia sp.produk impor
Linolenat
EPA
4
5
4.89
0.51
2.87
18.98
3.74
Artemia sp. produk lokal (%)
5.62
4.09
5.44
20.99
22.12
Larva udang vanname PL5 (%)
0.23
6.31
4.28
23.15
14.60
Larva udang vanname PL10 (%)
Komposisi Asam Lemak Total
Palmitat
Oleat
Linoeat
Linolenat
EPA
No
1
2
3
4
5
6.69
6.10
5.64
24.90
7.92
Artemia sp. produk impor (%)
6.00
3.46
6.97
18.82
19.66
Larva udang vanname PL5 (%)
4.56
12.54
3.57
19.12
10.39
Larva udang vanname PL10 (%)
Tabel 3 Nilai transfer asam lemak larva udang vanname dengan pemberian pakan Artemia sp. produk impor
Oleat
Linoeat
3
Palmitat
1
2
Komposisi Asam Lemak Total
No
Tabel 2 Nilai transfer asam lemak larva udang vanname dengan pemberian pakan Artemia sp. produk lokal
-
6.44
-
-
2.47
Nilai Transfer (%)
-
5.80
1.41
4.17
10.86
Nilai Transfer (%)
Transfer Nutrisi dan Energi Larva Udang Vanname 181
182
Hasil nilai transfer asam lemak tertinggi pada asam lemak jenuh adalah asam lemak palmitat dan asam lemak linolenat pada asam lemak tak jenuh. Asam lemak palmitat adalah asam lemak jenuh dimana fungsi dari asam lemak palmitat sebagai tempat penyimpanan enrgi pada fitoplankton dan zooplankton. [8], dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa asam lemak palmitat merupakan tempat penyimpanan energy dan kandungan asam lemak palmitat biasanya mempunyai nilai tertinggi diantara asam lemak jenuh yang lain. Berdasarkan hasil penelitian asam lemak palmitat memberikan hasil tertinggi yaitu 19,66% pada PL5 dan 10,39% pada PL10. Peningkatan asam lemak palmitat yang terjadi pada PL 5 dan penurunan terjadi pada PL10, dikarenakan aktifitas yang dilakukan larva udang stadia PL1 –PL5 tidak seaktif larva udang stadia PL6-PL10. Hal ini dapat dilihat dari aktifitas proses moultingnya pada stadia PL1-PL5, larva udang melakukan proses moulting minimal 6 kali dalam sehari sedangkan PL6-PL10 melakukan proses moulting minimal 8 kali dalam satu harinya. Selain itu larva udang stadia PL1-PL4 merupakan masa transisi perpindahan stadia larva udang dari mysis ke PL sehingga udang masih dalam proses adaptasi dan tidak mengeluarkan banyak energy. Sedangkan pada PL6-PL10 larva udang semakin aktif dan agresif dalam pergerakan mencari makan, hal ini untuk memenuhi kebutuhannya dalam meningkatkan energy pada saat proses moulting. [9], menyatakan bahwa larva udang pada stadia PL6 sudah mulai bersifat pelagic dia akan aktif mencari pakan. Apabila pakan tidak tercukupi maka udang akan bersifat kanibalisme, hal ini dipertegas dengan pernyataan [10] dan [11], bahwa udang pada stadia larva cenderung bersifat kanibal apabila pakan yang dibutuhkan tidak tercukupi. Asam lemak linolenat adalah asam lemak tak jenuh dimana fungsi dari asam lemak linolenat sebagai substrat dasar dalam pembentukan rantai panjang DHA. Asam oleat merupakan substrat panjang dalam pembentukan rantai panjang asam lemak lino-
Vivi Endar Herawati1
leat dan asaam lemak linoleat merupakan substrat pembentukan rantai panjang EPA dan asam lemak linolenat, kemudian asam lemak linolenat merupakan substrat panjang dalam pembentukan rantai panjang DHA. Hasil analisis pada penelitian kandungan asam lemak larva udang lebih rendah, berarti kebutuhan asam lemaknya telah tercukupi. Sehingga cadangan pakan digunakan untuk mengisi kekurangan dalam rangka memelihara permeabilitas sel cukup memadai. Nilai transfer nutrisi asam lemak total yang ditemukan dari pada Artemia sp. lokal dan Artemia sp. produk impor menunjukkan hasil bahwa kebutuhan asam lemak Artemia sp. lokal terpenuhi sehingga transfer berjalan dengan baik.
Transfer Asam Amino Essensial Hasil transfer asam lemak larva udang vanname dengan pemberian pakan Artemia sp. produk lokal tersaji dalam Tabel 4. Nilai transfer berdasarkan hasil analisis, yaitu pada asam amino essensial valina. Selanjutnya nilai transfer asam amino essesnsial larva udang dengan pemberian pakan Artemia sp. produk lokal tersaji dalam Tabel 5. [7] dalam penelitiannya menyatakan bahwa asam amino essensial yang paling berperan penting terhadap pertumbuhan larva ikan dan udang adalah asam amino essensial valina, isoleusiana, leusina dan lysina. Berdasarkan hasil penelitian peningkatan asam amino essensial terjadi pada PL5 dan penurunan terjadi pada PL10, hal ini disebabkan aktifitas PL 1-5 tidak seaktif PL6PL10 selain itu kebutuhan nutrisi pakan pada PL6-10 lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan nutrisi pada PL1-5. Adapun fungsi dari asam amino essensial valin antara lain yaitu valina menggantikan posisi asam glutamat yang kemampuan mengikat oksigen secara efektif. Fungsi asam amino essensial isoleusina adalah sebagai penyusun protein, selanjutnya asam amino leusina adalah Ia mutlak diperlukan
Valina
Isoleusina
Leusina
Lysina
1
2
3
4
131.50
960.69
1324.49
525.3
Artemia sp. lokal (ppm)
107,94
839,53
419,76
711,60
Larva udang vanname PL5 (ppm)
47.93
666.96
322.62
615.04
Larva udang vanname PL10 (ppm)
Komposisi Total Asam Amino
Valina
Isoleusina
Leusina
Lysina
No
1
2
3
4
130.96
1061.15
1256.00
505.18
Artemia sp. impor (ppm)
133.06
827.44
428.27
839.92
Larva udang vanname PL5 (ppm)
43.81
661.17
322.62
601.43
Larva udang vanname PL10 (ppm)
Tabel 5 Transfer asam amino essensial larva udang dengan pemberian pakan Artemia sp. produk impor
Komposisi Total Asam Amino
No
Tabel 4 . Transfer asam amino essensial larva udang dengan pemberian pakan Artemia sp. produk lokal
-
-
-
96.25
Nilai Transfer (ppm)
-
-
-
89.74
Nilai Transfer (ppm)
Transfer Nutrisi dan Energi Larva Udang Vanname 183
Vivi Endar Herawati1
184
dalam pertumbuhan larva ikan dan udang, yaitu menjaga kesetimbangan nitrogen. dan berperan dalam menjaga perombakan dan pembentukan protein. Fungsi asam amino essensial lysine adalah sebagai kerangka pembentuk vitamin B1, bersifat anti virus, membantu penyerapan kalsium, pembentuk hormone antibody, menstimulasi selera makan, membantu dalam produksi carnitin mengubah asam lemak menjadi energi. Nilai transfer kandungan nutrisi asam amino yang ditemukan dari Artemia sp. lokal dan Artemia sp. produk impor sebagai pakan larva udang vanname memberikan hasil, bahwa kebutuhan asam lemak larva udang vanname terpenuhi sehingga transfer berjalan dengan baik. Kandungan asam amino pada pakan lebih rendah dari larva udang vanname berarti suplai pakan masih dibawah kebutuhan artinya jika ditambahkan pakan dengan kadar asam amino pada pakan alami lebih tinggi maka daya serap atau transfernya lebih efektif. Setiap organisme memerlukan asam amino essensial dan asam lemak tertentu dan itu direfleksikan dalam profil asam amino dan asam lemak pada daging atau keseluruhan organ. Jika pakan tidak ada yang jauh dibawah resiko, defisiensi menjadi kecil sehingga dari hasil penelitian didapatkan pertumbuhan dan tingkat kesehatan larva udang vanname dari aspek nutrisi mencukupi.
Transfer Energi Peningkatan kandungan nutrisi yang terjadi dari PL 5 dan PL 10 disebabkan karena energy yang dikeluarkan semakin tinggi maka nutrisi yang dihasilkan akan semakin tinggi pula. Pernyataan tersebut dibuktikan dalam penelitian ini berdasarkan hasil perhitungan energi total pada larva udang vanname stadia PL 5 dan PL 10 dengan pemberian pakan Artemia sp. produk lokal adalah 2,95 kkal/g dan 3,35 kkal/g; kemudian untuk energi total pada larva udang stadia PL 5 dan PL 10 dengan pemberian pakan Artemia sp. impor adalah 2,76
kkal/gr dan 3,20 kkal/gr. Selanjutnya berdasarkan perhitungan FER atau efisiensi pakan rata rata pada larva udang vanname pemberian pakan Artemia sp. produk lokal yaitu 94,33% dengan demikian FCR nya 1,06 hal ini berarti dalam 1,06kg pakan yang diberikan terserap 1 kg menghasilkan daging. Untuk perhitungan FER atau efisiensi pakan rata rata pada larva udang vanname pemberian pakan Artemia sp produk impor yaitu 66,63% dengan demikian FCR nya 1,5 hal ini berarti dalam 1,5kg pakan yang diberikan terserap 1 kg. Sehingga semakin banyak pakan terkonsumsi semakin cepat pertumbuhannya sehingga semakin tinggi energy yang dikeluarkan maka nutrisi yang dihasilkan semakin tinggi. Pernyataan ini sejalan dengan [11], bahwa proses moulting sebagai indikasi bahwa larva udang mengalami proses pertumbuhan, semakin cepat proses moulting semakin cepat pertumbuhannya sehingga nutrisi dalam udang vanname yang dihasilkan semakin tinggi.
SIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini, yaitu transfer asam lemak lemak jenuh tertinggi pada larva udang dengan pemberian pakan Artemia sp. produk lokal, yaitu asam lemak palmitat dan transfer asam lemak tak jenuh tertinggi pada larva udang dengan pemberian pakan Artemia sp. produk impor, yaitu 6,44%. Transfer asam amino essensial total tertinggi pada larva udang dengan pemberian pakan Artemia sp. produk lokal dengan nilai transfer 0,61 ppm. Transfer energi pada larva udang vanname stadia PL 5 dan PL 10 dengan pemberian pakan Artemia sp. produk lokal adalah 2,95 kkal/g dan 3,35 kkal/g; kemudian untuk energi total pada larva udang stadia PL 5 dan PL 10 dengan pemberian pakan Artemia sp. impor adalah 2,76 kkal/gr dan 3,20 kkal/gr.
Transfer Nutrisi dan Energi Larva Udang Vanname
Pustaka 1. Herawati Endar, Johannes Hutabarat, S.Budi Prayitno. 2012. The Effect of Essential Amino Acid Profile, Fatty Acid Profile and To Growth of Skeletonema costatum using Technical Media Culture Guillard and Double Walne. J. Coast Development. Vol 10. Number 1. 50-56. 2. Herawati Endar, Johannes Hutabarat, S. Budi Prayitno, Ocky Karna Radjasa, YS. Darmanto. 2013. The Profile Essential Amino Acid, Fatty Acid and The Growth of Chaetoceros gracilis Using Technical Media Culture Guillard and Double Walne. FFTC-NTOU Joint International Seminar on Integrating of Promissing Technologyfor Aquaculture and Fisheries. 3. Mintarso., Y. 2007. Evaluasi Pengaturan Waktu Peningkatan Salinitas Pada Kualitas Produksi Kista Artemia. Tesis. Program Magister Manajemen Sumber Daya Pantai. Universitas Diponegoro. Semarang. Halm 18 – 20. 4. Vilchis. M.C., 2011. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Artemia franciscana Dengan Pemberian Pakan Chaetoceros dan Chlorella dalam Media Guillard. Jurnal. Masyarakat. Akuakultur 40: 104-112. 5. Mai Soni., A.F, Joko S, Madenur dan Suparjono, 2006. Pengaruh Salinitas yang Berbeda Terhadap Produksi Kista Artemia Skala Laboratorium. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara. Laporan Litkayasa BBPAP. 26 hlm. 6. Nugroho, A. 2011. Pengaruh Perbedaan Feeding Regime Thallasiosira sp. Terhadap Pertumbuhan dn Kelulushidupan Larva Udang Vanname (Litopennaeus vannamei). Tesis.Universitas Diponegoro. 83 hlm. 7. Brown. M. R. 2002. Preparation and Assessment of Microalgae Concentrates as Feeds for Larva and Juvenile Pacific Oyster Crassostrea. J. World. Aquaculture. Soc. 7: 289-309. 8. Ming yun Huai., 2009. Effect of Dietary Protein Reduction With Syntetic Amino Acid Suplementation on Growth Performance Digestability And Body Composition of Juvenile White Shrimp (Litopenaeus vannamei). J. Aquat. Living. Res. 5: 222-237. 9. Hutabarat. J., 1999. Foods and Feeding Strategics In Rearing Shrimp Penaeus monodon Larvae. Diponegoro University. 24 hlm. 10. Villamar, D.F. and Lawrence,A.L., 2009. Preliminary Work in The Development of Purified Diet for Penaeus vannamei postlarvae. J. World. Aquaculture. Soc. 20: 78 – 90. 11. Lodeiras. C., D.Danato., Marcos., 2012. Evaluation of Microalgae diets for Litopenaeus vannamei larva using a simple protocol. J. Aquat. Living. Res. 10 : 177 – 187.
185
186
Vivi Endar Herawati1