COPYRIGHT © AQUASAINS 2014
Cover Desain Photo Properties
: Tim Editorial : (Grouper Hatching) Eko Efendi
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kehadirat Allah SWT karena Penyusunan Jurnal “AQUASAINS” telah selesai. Jurnal ini disusun untuk mengapresiasi dan mempublikasi hasil-hasil penelitian, dan kajian ilmiah bidang perikanan dan sumberdaya perairan. Untuk mendukung tujuan tersebut, jurnal ini mengkhususkan diri dengan materi-materi dalam bidang perikanan dan sumberdaya perairan. Edisi ketiga Nomor satu ini memuat delapan artikel yang diharapkan akan menambah wawasan dan pemahaman di bidang perikanan dan sumberdaya perairan. Pada kesempatan ini redaksi menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah mengirimkan artikelnya-artikelnya. Redaksi akan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh kalangangan akademisi maupun praktisi baik dari dalam lingkungan maupun diluar Universitas Lampung untuk mempublikasikan hasil-hasil penelitiannya. Akhir kata semoga jurnal ilmu perikanan dan sumberdaya perairan “AQUASAINS’ ini dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya. Bandar Lampung, Agustus 2014
Redaksi
DAFTAR ISI Vol III No 1
Aulia Sonida, Esti Harpeni dan Tarsim Deskripsi Respon Imun Non Spesifik Kakap Putih (Lates calcarifer) yang Diberi Jintan Hitam (Nigella Sativa) Dan Uji Tantang Dengan Viral Nervous Necrosis ………………………………………………………….. 187 - 192 Nur Irawati Pendugaan Kesuburan Perairan Berdasarkan Sebaran Nutrien Dan Klorofil-A Di Teluk Kendari Sulawesi Tenggara…………..…………….. 193 - 200 Pinandoyo, Titik Susilowati, Vivi Endar Herawati dan Heri Budiati Tepung Fermentasi Kedelai Sebagai Pengganti Tepung Ikan dalam Pakan Buatan Terhadap Pertumbuhan Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius)………………………………………………………………….. 201 - 206 Septi Diana Sari, Wardiyanto dan Agus Setyawan Profil Histopatologi Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) yang Distimulasi Jintan Hitam (Nigella sativa) dan Diinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) 207 - 212 ……………………………………………………………………………... Alwan Tholifin, Berta Putri, Rara Diantari dan Indra Gumay Yudha Pola Pertumbuhan Dan Reproduksi Ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) di Sungai Tulang Bawang Provinsi Lampung …………….…………………. 213 - 220 Vivi Endar Herawati, Johannes Hutabarat Profil Asam Amino Essensial Skeletonema costatum dalam Kultur Massal Menggunakan Media Kultur Teknis yang Berbeda ……………………… 221 - 226 Afandi S. Amirulloh, Eko Efendi dan Mahrus Ali Konsentrasi Efektif (EC50-1Jam) Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica) Sebagai Bahan Anestesi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio) ....................... 227 - 232 Ira, Abdul Haris Sarita, Alirman Afu Studi Kepadatan Zooxanthella Pada Tridacna squamosa dan Hippopus hippopus di Perairan Desa Toli-Toli dan Desa Sawapudo Sulawesi Tenggara …………...……………………………………………………… 233 - 238
Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No.1, Gedung Meneng, Bandar Lampung 35145. Email :
[email protected];
[email protected] Website : http://ejournal.unila.ac.id/2012/09/10/aquasains/ http://perikanan.unila.ac.id/index.php/aquasains.html; http://aquasains.wordpress.com/
PERNYATAAN PEMINDAHAN HAK MILIK (COPYRIGHT TRANSFER STATEMENT) Ketika naskah diterima untuk dipublikasikan, Hak Milik dipindahkan ke Jurnal Aquasains. Pemindahan Hak Milik memindahkkan kepemikikan eksklusive untuk mereproduksi dan mendistribusikan naskah, termasuk cetakan lepas, penerjemahan, reproduksi fotografi, mikrofilm, material elektronik (offline maupun Online) atau bentuk reproduksi lainnya yang serupa dengan aslinya. When the article is accepted for publication, its copyright is transferred to Aquasains Journal. The copyright transfer convers the exclusive right to reproduce and distribute the article, including offprint, translation, photographic reproduction, microfilm, electronic material, (offline or online) or any other reproduction of similar nature. Penulis menjamin bahwa artikel adalah asli dan bahwa penulis memiliki kekuatan penuh untuk mempublikasikannya. Penulis menandatangani dan bertanggungjawab untuk melepaskan bahan naskah sebagian atau keseluruhan dari semua penulis. Jika naskah merupakan bagian dari skripsi mahasiswa, maka mahasiswa tersebut wajib menandatangani persetujuan bahwa pekerjaannya akan dipublikasikan. The Author warrant that this article is original and that the author has full power to publish. The author sign for and accepts responsibility for releasing this material on behalf os any and all-author. If the article based on or part os student’s thesis, the student needs to sign as his/her agreement that his/her works is going published.
Judul Naskah Title of Article
:
Penulis Author
:
Tanda Tangan Penulis Author’s Signature
:
Tanda Tangan Mahasiswa Student’s Signature Tanggal Date
: :
…………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………
Panduan Untuk Penulis Persyaratan Legal
Legal Requirement
Penulis harus menjamin bahwa naskah tidak akan dipublikasikan dimanapun dalam bahasa yang sama atau berbeda tanpa izin dari pemilik hakcipta, yang menjamin hak pihak ketiga tidak akan dilanggar, dan penerbit tidak akan bertanggung jawab jika ada klaim dari pihak ketiga. Penulis yang menyertakan bagian gambar atau teks yang sudah dipublikasikan di lain tempat yang membutuhkan izin dari pemilik harus menyertakan bukti seperti izin atau persetujuan yang diperoleh ketika akan megirimkan makalahnya. Materi yang diterima tanpa bukti akan dianggap asli dari penulis. Naskah harus dilengkapi dengan “Pernyataan Pemindahan Hakmilik”
The author(s) guarantee(s) that the manuscript will not be published elsewhere in any language without the consent of the copyright owners, that the rights of third parties will not be violated, and that the publisher will not be held legally responsible should there be any claims for compensation. Authors wishing to include figures or text passages that have already been published elsewhere are required to obtain permission from the copyright owner(s) and to include evidence that such permission has been granted when submitting their papers. Any material received without such evidence will be assumed to originate from the authors. Manuscripts must be accompanied by the ‘‘Copyright Transfer Statement’’.
Prosedur Editorial
Editorial Procedure
Makalah harus merupakan hasil penelitian yang relatif baru. Semua naskah adalah subjek untuk peer review. Penulis harus mengirimkan naskahnya dalam bentuk elektronik dengan format LYX atau Word dan PDF ke alamat redaksi: Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No.1 Bandar Lampung 35145 Email :
[email protected] [email protected] Naskah yang dikembalikan ke penulis untuk revisi harus dikirim kembali dalam waktu 4 minggu, sebaliknya jika tidak akan dipertimbangkan telah menyatakan menarik diri. Naskah yang diyatakan ditolak tidak akan dikembalikan ke penulis (kecuali Ilustrasi asli). Makalah yang tidak sesuai dengan aturan jurnal akan dikembalikan ke penulis untuk direvisi sebelum dipertimbangkan untuk dipublikasi. Penulis bertanggung jawab terhadap keakuratan pustaka.
Papers must present scientific results that are essentially new. All manuscripts are subject to peer review. Authors should submit their manuscripts electronically as Postscript or PDF to: Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No.1 Bandar Lampung 35145 Email :
[email protected] [email protected] Manuscripts which are returned to the authors for revision should be sent back within 4 weeks; otherwise they will be considered withdrawn. Rejected manuscripts will not be returned to the authors (except for original illustrations). Papers that do not conform to the journal norms may be returned to the authors for revision before being considered for publication. The author is responsible for the accuracy of the references.
Persiapan Naskah
Manuscript Preparation
Untuk membantu penulis menyiapkan naskah, Aquasains akan menyediakan template dalam bentuk paket makro LYX dan template dalam bentuk word yang dapat digunakan dengan MS Office Word
General remarks To help you prepare your manuscript, Aquasains offers a LYX macropackage as well as a template that can be used with Winword 2007 or 2010 or higher. Title page The title page should include:
2007 dan 2010 atau versi yang lebih tinggi sesuai dengan perkembangan teknologi. Halaman Judul.Halaman judul harus termasuk: – Nama(nama) Penulis – Judul harus ringkas dan informatif – Intitusi yang berafiliasi dengan penulis dan alamat penulis – Alamat Email, telpon/HP dan nomor fax untuk korespondensi dengan penulis Abstrak.Tiap Makalah harus didahuli dengan abstrak berisikan hasil yang paling penting dan kesimpulan yang dapat ditulis dalam bahasa indonesia atau bahasa inggris dengan tidak lebih dari 300 kata. Kata Kunci. Tiga atau enam katakunci harus disediakan setelah abstrak untuk tujuan pengindekskan. Singkatan. Singkatan harus didefinisikan pada saat pertama kali disebutkan dalam abstaks dan disebutkan ulang pada tubuh naskah utama dan digunakan secara konsisten untuk selanjutnya. Daftar simbol yang harus mengikuti abstraks dalam bentuk daftar jika diperlukan. Penomoran Bab harus dalam bentuk desimal. Satuan Internasional (SI) harus digunakan. Catatan kaki yang mendasar pada teks harus diberi nomor secara berurutan dan ditempatkan pada bagian bawah halaman dimana dirujuk Catatan Kaki. Catatan pada halaman judul tidak diberikan simbol perujuk. Catatan kaki pada teks diberi nomor secara berurutan, begitu juga dengan tabel harus ditunjukkan dengan huruf kecil superscript (atau bintang untuk nilai signifikan dan data statistik lainnya). Pendanaan. Penulis diharapkan untuk mengungkapkan semua bentuk komersialisasi atau asosiasi lain yang mungkin memici konflik kepentingan yang berhubungan dengan materi yang dikirim. Semua sumber pendanaan yang mendukung pekerjaan dan institusi atau perusahaan yang berafiliasi dengan penulis harus diakui. Apendiks. Jika ada satu atau lebih apendiks, harus diberi nomr secara berurutan. Persamaan dalam apendiks harus ditujukan secara berbeda dari bagian utama makalah seperti (A1), (A2) dsb. Pada tiap apendiks persamaan harus diberi nomor secara terpisah.
The name(s) of the author(s) A concise and informative title The affiliation(s) and address(es) of the author(s) The e-mail address, telephone and fax numbers of the communicating author Abstract. Each paper must be preceded by an abstract presenting the most important results and conclusions in english or Indonesian in no more than 300 words. Keywords. Three to six keywords should be supplied after the Abstract for indexing purposes. Abbreviations Abbreviations should be defined at first mention in the abstract and again in the main body of the text and used consistently thereafter. A list of symbols should follow the abstract if such a list is needed. Symbols must be written clearly. The numbering of chapters should be in decimal form. The international system of units (SI units) should be used. Essential footnotes to the text should be numbered consecutively and placed at the bottom of the page to which they refer. Footnotes on the title page are not given reference symbols. Footnotes to the text are numbered consecutively; those to tables should be indicated by superscript lower-case letters (or asterisks for significance values and other statistical data). Acknowledgements. These should be as brief as possible. Any grant that requires acknowledgement should be mentioned. The names of funding organizations should be written in full. Funding. Authors are expected to disclose any commercial or other associations that might pose a conflict of interest in connection with submitted material. All funding sources supporting the work and institutional or corporate affiliations of the authors should be acknowledged. Appendix. If there is more than one appendix, they should be numbered consecutively. Equations in appendices should be designated differently from those in the main body of the paper, e.g. (A1), (A2) etc. In each appendix equations should be numbered separately. References The list of References should only include works that are cited in the text and that have been published or accepted for publication. Personal communications should only be mentioned in the text. If available the DOI can
Pustaka. Daftar pustaka hanya yang termasuk kata dalam naskah yang disitir dan yang sudah dipublikasikan atau diterima untuk publikasi. Kominikasi pribadi hanya disebutkan dalam teks. Jika tersedia DOI (Digital Object Identifier) dapat ditambahkan pada akhir dari pustaka dalam bentuk pertanyaan. Pensitiran dalam teks harus ditunjukan dengan nomor dalam kurung kuadrat seperti [1], [2] dsb. Pustaka harus diberi nomor dalam urutan dimana terlihat dalam teks dan didaftar dalam urutan numerik. Judl jurnal harus disingkat sesuai dengan aturan internasional yang berlaku. Pustaka dengan tanda baca yang benar harus mengikuti gaya seperti berikut: Artikel jurnal: Hijau T, Hitam J, Biru W (2010) Judul artikel. Singkatan Jurnal.Volume Nomor:halamanhalaman Buku: Hijau T, Hitam J (2012) Judul Buku. Lokasi: Penerbit. hal Buku dengan banyak Penulis: Biru W (2011) Judul Bab.Dalam: Hijau T, Hitam J (Eds) Judul Buku. Lokasi:Penerbit., pp 1-50 Pustaka seperti “komunikasi pribadi” atau “data tidak dipublikasikan” tidak dapat dimasukkan dalam daftar pustak, tetapi harus disebutkan dalam tanda kurung: hal ini juga diterapkan pada makalah yang dipresentasikan pada pertemuan tetapi belum dipublikasikan atau diterima untuk publikasi. Tanggal harus diberikan untuk kedua bentuk “komunikasi pribadi” atau “data tidak dipublikasikan” Makalah yang telah diterima untuk publikasi harus dimasukkan dalam daftar pustaka dengan nama jurnal dan ditambahkan keterangan “in press”. Komunikasi oral hanya disebutkan dalam Pengakuan/ucapan terima kasih. Makalah yang dipoblikasikan online tetapi belum atau tidak dicetak dapat disitir menggunakan Digital Object Indentifier (DOI). DOI harus ditambahkan pada akhir pustaka dalam bentuk pertanyaan Contohnya: Ward J, Robinson PJ (2004) How to detect hepatocellular carcinoma in cirrhosis. Eur Radiol DOI 10.1007/s00330-004-1450-y
be added at the end of the reference in question. Citations in the text should be identified by numbers in square brackets. References should be numbered in the order in which they appear in the text and listed in numerical order. Journal titles should be abbreviated. References with correct punctuation should be styled as follows: Journal articles: Green T, Black J, Blue W (2010) Title of article. Abbreviated journal title Vol No: page-page Books: Green T, Black J (2012) Book title. Publisher, location Multiauthor books: Blue W (2011) Chapter title. In: Green T, Black J (eds) Book title. Publisher, location, pp 1–50 References such as ‘‘personal communications’’ or ‘‘unpublished data’’ cannot be included in the reference list, but should be mentioned in the text in parentheses: this also applies to papers presented at meetings but not yet published or accepted for publication.A date should be given for both ‘‘personal communications’’ and ‘‘unpublished data’’. Papers which have been accepted for publication should be included in the list of references with the name of the journal and ‘‘in press’’. Oral communications should only be mentioned in the acknowledgements. A paper published online but not (yet) in print can be cited using the Digital Object Identifier (DOI). The DOI should be added at the end of the reference in question. Example: Ward J, Robinson PJ (2004) How to detect hepatocellular carcinoma in cirrhosis. Eur Radiol DOI 10.1007/s00330-004-1450-y Illustrations and Tables. All figures (photographs, graphs or diagrams) and tables should be cited in the text, and each numbered consecutively throughout. Lowercase letters (a, b etc.) should be used to identify figure parts. If illustrations are supplied with uppercase labeling, lowercase letters will still be used in the figure legends and citations. Line drawings. Please submit good-quality prints. The inscriptions should be clearly legible. Half-tone illustrations (black and white and color). Please submit well-contrasted photographic prints with the top indicated on the back.
Ilustrasi dan Tabel. Semua gambar (Foto, grafik atau diagram) dan tabel harus disitir dalam teks, dan diberi penomeran secara berurutan dengan nomer arab (1, 2, dst) untuk mengidentifikasi gambar atau tabel. Gambar atau foto atau grafik harus dikirimkan dalam kualitas terbaik untuk dicetak, untuk gambar dua warna (hitam dan putih) harus dikirim dengan kontrs yang jelas. Beberapa gambar yang ditempatkan dalam satu plate dalam satu halaman harus dibuat legenda dengan singkat dan jelas yang dapat menjelaskan gambar. Legenda ditempatkan di bawah gambar, diats sitiran untuk gambar. Tabel harus memiliki judul dan legenda untuk menjelaskan jika menggunakan singkatan dalam tabel.Catatan kaki untuk tabel digunakan untuk menjelaskan keterangan dari isi tabel dengan meggunakan superscript huruf kecil. Untuk menjelaskan signifikansi atau data statistik digunakan lambang bintang (asterik).
Plates. Several figures or figure parts should be grouped in a plate on one page. Figure legends must be brief, self-sufficient explanations of the illustrations. The legends should be placed at the end of the text. Tables should have a title and a legend explaining any abbreviation used in that table. Footnotes to tables should be indicated by superscript lower-case letters (or asterisks for significance values and other statistical data). For color illustrations the authors will be expected to make a contribution (£ 308, plus VAT) towards the extra costs, irrespective of the number of color figures.
Pengiriman Elektronik
Electronic Submission
Teks dan gambar harus dikirim dalam file terpisah. Panduan teknis untuk menyiapkan naskah. Teks Jurnal aquasain hanya menerima file dengan format LYX (lebih disukai untuk yang sudah familier) atau format dokumen MS word. Untuk pengiriman naskah menggunakan perangakt lunah pengolah kata LYX harus menyertakan sumber aslinya dan dalam bentuk postscript atau pdf. Penulis dapat menggunakan paket makro LYX ataupun template word yang akan disediakan oleh radaksi. Panduan layout 1. Menggunakan huruf normal sederhana (seperti timesRoman) untuk teks • Pilihan style yang lain: • Untuk teks yang membutuhkan perhatian, istilah asing, dan nama latin menggunakan tipe italik 2. Untuk tujuan khusus seperti vektor matematik gunakan tipe huruf tebal 3. Gunakan penomoran halaman secara otomatis 4. Untuk Indentasi menggunakan tab stops dan tidak diperkenankan menggunakan space bar 5. Untuk tabel menggunakan fungsi tabel dalam MS word, tidak menggunkan
Text and figures must be sent as separate files Technical instructions for preparing your manuscript Text This journal accepts either LaTeX or Word documents. LaTeX: The electronic version should include the original source (including all style files and figures) and a PostScript or PDF version of the compiled submission. Authors who prepare their papers with LaTeX are encouraged to use macropackage for this journal. Layout guidelines 1. Use a normal, plain font (e.g., Times Roman) for text. Other style options: o for textual emphasis use italic types. o for special purposes, such as for mathematical vectors, use boldface type. 2. Use the automatic page numbering function to number the pages. 3. Do not use field functions. 4. For indents use tab stops or other commands, not the space bar. 5. Use the table functions of your word processing program, not spreadsheets, to make tables.
spreadsheet atau program Excell untuk membuat tabel 6. Menggunakan editor persamaan dalam MS word 7. Tabel dan gambar diletakkan di halaman akhir naskah 8. Semua gambar yang ada dalam teks dikirimkan delam file terpisah Ilustrasi Siapkan gambar yang akan dikirim dalam format EPS untuk grafik vektor yang dapat dikspor dari program pengolah gambar atau perangkat lunak image converter, dan untuk gambar dua warna (hitam-putih) menggunakan format TIFF. Nama file (satu file untuk tiap gambar) juga termasuk nomor gambar. Legenda gambar harus disertakan dalam teks tidak dalam file gambar. – Resolusi pemindaian:gambar yang dipindai harus didigitasi dengan resolusi minimum 800 dpi untuk gambar berwarna dan 300 dpi untuk gambar dua warna. – Warna gambar disimpan dalam format RGB (8 bits tiap saluran). – Grafik vektor: huruf yang digunakan dalam grafik vektor harus sudah termasuk, tidak diperkenankan menggambar menggunakan hairline, minimum tebal garis adalah 0.2 mm (0.567 pt). Format Data Untuk naskah awal pengiriman file disimpan dalam bentuk RTF (Rich Text Format) atau DOC atau DOCX atau format lain yang kompatibel dengan pengolah kata MS Word. Gambar dalam format EPS dan atau TIFF. Jika menggunakan pengolah kata LYX file disimpan dalam format berekstensi .lyx dan termasuk sumber aslinya dari makropaketnya dan dalam format postscript atau pdf. Informasi umum yang berisi judul, Operating system yang digunakan, program pengolah kata, program pengolah gambar, dan program kompresi file ditulis dalam program notepad atau wordpad. Semua file teks, ilustrasi atau gambar dan informasi umum dikirim dalam bentuk file kompresi ZIP, file diberi nama dengan hal yang mudah diingat (seperti nama penulis) tidak lebih dari 8 karakter tidak menggunakan simbol khusus. File dikirim ke alamat redaksi jurnal Aquasains di :
[email protected] atau
6. Use the equation editor of your word processing program or MathType for equations. 7. Place any figure legends or tables at the end of the manuscript. 8. Submit all figures as separate files and do not integrate them within the text. Illustrations The preferred figure formats are EPS for vector graphics exported from a drawing program and TIFF for halftone illustrations. EPS files must always contain a preview in TIFF of the figure. The file name (one file for each figure) should include the figure number. Figure legends should be included in the text and not in the figure file. – Scan resolution: Scanned line drawings should be digitized with a minimum resolution of 800 dpi relative to the final figure size. For digital halftones, 300 dpi is usually sufficient. – Color illustrations: Store color illustrations as RGB (8 bits per channel) in TIFF format. – Vector graphics: Fonts used in the vector graphics must be included. Please do not draw with hairlines. The minimum line width is 0.2 mm (i.e., 0.567 pt) relative to the final size. Data formats Save your file in two formats: 1. Text: RTF (Rich Text Format) or Microsoft Word compatible formats Figures: EPS or TIFF. 2. PDF (a single PDF file including text, tables and figures). Make sure that all fonts are embedded. name (one file for each figure) should include the figure number. Figure legends should be included in the text and not in the figure file. General information on data delivery Please send a zip file (text and illustrations as separate files) to:
[email protected] atau
[email protected] Please always supply the follow- ing information with your data: journal title, operating system, word processing program, drawing program, image processing program, compression program. The file name should be memorable (e.g., author name), have no more than 8 characters, and include no accents or special symbols. Use only the extensions that the program assigns automatically.
[email protected]
Materi Elektronik Pelengkap (MEP) Untuk artikel dalam jurnal ini yang akan dipublikasikan disediakan materi: o Dikirim ke Editor dalam bentuk elektronik bersama dengan makalah sebagai subjek untuk peer review o Diterima Editor
Electronic (ESM)
supplementary
material
for an article in the journal will be published in aquasains provided the material is: o submitted to the Editor(s) in electronic form together with the paper and is subject to peer review o accepted by the journals Editor(s)
MEP terdiri atas: – Informasi yang tidak mungkin dicetak seperti animasi, klip video, rekaman suara dsb. – Informasi yang lebih tepat dalam bentuk elektronik seperti rangkaian/sequence, data spektral dsb. – Data asli yang besar yang berhubungan dengan makalah seperti tabel tambahan, ilustrasi (berwarna dan atau hitam putih) dsb. Setelah makalah dinyatakan diterima oleh Editor MEP akan dipublikasikan sebagaimana yang diterima dari penulis hanya dalam versi online. Referensi akan diberikan pada versi cetak.
ESM may consist of information that cannot be printed: animations, video clips, sound recordings information that is more convenient in electronic form: sequences, spectral data, etc. large original data that relate to the paper, e.g. additional tables, illustrations (color and black & white), etc. After acceptance by the journals Editor(s) ESM will be published as received from the author in the online version only. Reference will be given in the printed version.
Perbaikan/Koreksi
Proofreading
Penulis harus menyertakan membuat bukti koreksi pada printout dalam file pdf, pengecekkan bahwa teks sudah lengkap dimana gambar dan tabel sudah termasuk di dalamnya. Setelah publikasi online, selanjutnya perubahan hanya dapat dilakukan dalam bentuk Erratum yang akan di hyperlink-kan dengan artikel. Penulis hanya. Perubahan mendasar dalam isi seperti hasil terbaru, nilai terkoreksi, judul dan kepengarangan tidak diperkenankan tanpa persetujuan dari editor yang bertanggung jawab. Dalam kasus ini harap menghubungi Pimpinan Redaksi sebelum mengembalikan bukti ke penerbit.
Authors should make their proof corrections on a printout of the pdf file supplied, checking that the text is complete and that all figures and tables are included. After online publication, further changes can only be made in the form of an Erratum, which will be hyperlinked to the article. The author is entitled to formal corrections only. Substantial changes in content, e.g. new results, corrected values, title and authorship are not allowed without the approval of the responsible editor. In such a case please contact the Editor-in-Chief before returning the proofs to the publisher.
Cetakan Lepas
Offprint, free copy
Cetakan lepas dari artikel akan diberikan tanpa dikenakan biaya tambahan sebanyak kontibutor dalam artikel . Jika menginginkan untuk memesan tambahan cetakan lepas harus mengembalikan formulir pemesanan dengan bukti yang sesuai, kemudian diberi judul untuk menerima file pdf dari artikel untuk penggunaan pribadi. Biaya untuk tambahan pemesanan cetakan lepas akan ditentukan kemudian.
25 offprints of each contribution are supplied free of charge. If you wish to order additional offprints you must return the order form with the corrected proofs. You are then entitled to receive a pdf file of your article for your personal use.
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
DESKRIPSI RESPON IMUN NON SPESIFIK KAKAP PUTIH (Lates calcarifer ) YANG DIBERI JINTAN HITAM (Nigella sativa) DAN UJI TANTANG DENGAN VIRAL NERVOUS NECROSIS Aulia Sonida1 · Esti Harpeni2 · Tarsim2
Ringkasan Asian seabass (Lates calcarifer) is one of the fish has a high economic value and widely cultivated in Indonesia. However, Asian seabass cultured constrains by infectious diseases such as Viral Nervous Necrosis (VNN). Application of antibiotics during cultured cause resistance and residues in the body of fish. Disease prevention method by use immunostimulant develop to enhances non-specific responses. The purposes of this research were to know the best dose of black cumin (Nigella sativa) that can increase the non-specific immune response of Asian seabass after injected by VNN. This research used four treatments (0 g black cumin/kg of feed, 25 g black cumin /kg of feed, 50 g black cumin/kg of feed and 75 g black cumin/kg of feed). Total leucocyte and differential leucocyte analyzed descriptively. The results showed that dose of 75 g black cumin/kg of feed is the best for increase the non-specific immune response of Asian seabass which had been seen from the highest total leucocyte. However, there was no effect of administrated of black cumin to Asian seabass after injected with VNN which had been seen from the RPS.
1 )Alumni
Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung 2 )Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung Alamat: Jl.Prof.Sumantri Brodjonegoro No.1 Gedong Meneng Bandar Lampung 35141 E-mail:
[email protected]
Keywords barramundi, black cumin, immunostimulatory, leucocyte, betanodavirus Received: 4 Mei 2014 Accepted: 15 Juli 2014
PENDAHULUAN Kakap putih (Lates calcarifer ) merupakan ikan yang banyak dibudidayakan di Indonesia karena mempunyai nilai ekonomis yang tinggi [1] dan kisaran toleransi fisiologis yang cukup luas [2], fekunditas tinggi dan pertumbuhan yang cukup cepat. Namun, usaha budidaya ikan kakap putih tidak terlepas dari berbagai masalah seperti serangan penyakit infeksi. Salah satunya disebabkan oleh virus, yaitu Viral Nervous Necrosis (VNN). VNN dapat menyebabkan mortalitas tinggi pada larva dan juvenil kakap putih [3]. Selama ini cara yang sering dilakukan oleh pembudidaya untuk menanggulangi penyakit VNN adalah dengan menggunakan antibiotik yang dapat menyebabkan penyakit menjadi resisten dan adanya residu pada ikan. Metode pencegahan penyakit dinilai lebih aman dengan menggunakan imunostimulan yang lebih ramah lingkungan dan dapat menciptakan budidaya perikanan yang berkelanjutan. Imunostimulan merupakan bahan yang mampu meningkatkan mekanisme respon imun non spesifik ikan. Jint-
Aulia Sonida1 et al.
188
an hitam merupakan tanaman herbal yang berasal dari famili Ranunculacea. Biji jintan hitam banyak dimanfaatkan masyarakat dalam bidang kesehatan [4]. Bahkan saat ini banyak laporan yang mengatakan bahwa jintan hitam diindikasi dapat meningkatkan sistem imun dan daya tahan tubuh. Selain itu jintan hitam merupakan salah satu imunostimulan yang berpotensi sebagai ekstrak anti-viral [5]. Diharapkan pemberian ekstrak jintan hitam mampu meningkatkan sistem imun pada ikan kakap putih yang terinfeksi virus VNN. MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada September sampai Oktober 2013 di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung dan Laboratorium Budidaya Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Bahan-bahan yang digunakan antara lain kakap putih berukuran ±10 cm, serbuk jintan hitam (HPATM) dan inokulum VNN. Penelitian ini menggunakan 4 perlakuan yaitu perlakuan A (0 g jintan hitam/kg pakan), perlakuan B (25 g jintan hitam /kg pakan), perlakuan C (50 g jintan hitam /kg pakan) perlakuan D (75 g jintan hitam /kg pakan). Pembuatan inokulum VNN mengacu pada dalam [6], dengan menggerus organ yang diambil dari ikan yang positif VNN dan ditambahkan larutan PBS steril. Air hasil penyaringan disuntikan secara intraperitoneal (i.p) dengan dosis 0,1 ml pada ikan uji. Metode pencampuran pakan dengan serbuk jintan hitam mengacu pada modifikasi metode [7]. Pakan diberikan selama 2 kali sehari dengan feeding rate 4% [2]. Uji tantang dilakukan pada hari ke-38 dengan metode menyuntikkan virus VNN ke dalam tubuh ikan secara intraperitoneal (i.p) dengan dosis 0,1 ml/ikan. Pengambilan sampel darah mengacu pada metode [8] dilakukan pada hari ke-0, 7, 14, 21, 45. Sebelum digunakan jarum suntik dan microtube dibilas dengan larutan EDTA 10% untuk mencegah penggumpalan darah. Selanjutnya darah diambil mela-
lui vena caudalis menggunakan jarum suntik 1ml 26G. Lalu darah dimasukan ke dalam microtube. Pengamatan hematologi dilakukan dengan menghitung total leukosit dan diferensial leukosit. Total leukosit dihitung berdasarkan [7], sampel darah dihisap dengan pipet berskala sampai 0,5 dilanjutkan dengan menghisap larutan turk sampai skala 11 (pengenceran 1:20), dimasukkan ke dalam haemocytometer dan dibiarkan selama 3 menit agar leukosit mengendap dalam bilik hitung, penghitungan dilakukan pada 4 kotak besar haemocytometer di bawah mikroskop dengan perbesaran 40x. T otal leukosit/mm3 = Lt x P
(1)
dimana : Lt : Jumlah sel leukosit terhitung P : Pengenceran Pengamatan diferensial leukosit dilakukan mengacu pada [8]. Preparat digenangi dengan metanol secukupnya selama 5-10 menit, selanjutnya digenangi dengan giemsa selama 25 menit, dibilas dengan aquades dan dikering anginkan, minyak imersi diteteskan pada bagian sediaan yang leukositnya tidak saling menumpuk, diamati dengan perbesaran 1000x, macam-macam bentuk leukosit dihitung sepanjang sediaan apus darah, perhitungan dihentikan bila jumlahnya telah mencapai 100 sel leukosit, hasilnya dihitung dalam persen (%). Data hasil pengamatan dari parameter hematologi dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan total leukosit menunjukkan bahwa kakap putih yang diberikan dosis 75 g jintan hitam/kg pakan memiliki respon imun non spesifik yang lebih baik dibandingkan dengan dosis yang lainnya. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan total leukosit tertinggi yang terdapat pada perlakuan D hari ke-45 yaitu sebesar 85.700
Respon imun non spesifik kakap putih
189
sel/mm3 (Gambar 1a). Meningkatnya total leukosit pada ikan yang diberi imunostimulan memperlihatkan bahwa imunostimulan yang masuk kedalam tubuh memberikan efek yang positif terhadap peningkatan total leukosit di dalam darah. Terjadinya peningkatan total leukosit diduga karena adanya respon perlawanan tubuh terhadap patogen, berupa meningkatnya aktifitas sel-sel fagosit yang berfungsi untuk menghancurkan benda asing yang masuk ke dalam tubuh ikan. Fagositosis merupakan tahap awal dalam mekanisme pertahanan tubuh [9].
sit teraktifasi oleh pemberian imunostimulan secara langsung. Pada perlakuan C dosis imunostimulan jintan hitam yang diberikan terbukti dapat meningkatkan jumlah persentase limfosit yang sangat berperan dalam sistem pertahanan tubuh ikan sebagai salah satu sel fagosit yang dapat membunuh benda asing yang masuk ke dalam tubuh ikan [11]. Hal ini juga menguatkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh [12] menunjukan pemberian ekstrak jintan hitam sebagai imunostimulan mampu meningkatkan persentase limfosit secara signifikan.
Jenis leukosit yang sering dijumpai di peredaran darah kakap putih adalah sel monosit, limfosit dan neutrofil. Persentase monosit pada perlakuan A, B, C dan D jumlahnya berkisar antara 7-11% (Gambar 1b). Persentase monosit menunjukkan peningkatan pada hari ke-0 hingga hari ke-45 pada semua perlakuan dan peningkatan tertinggi terjadi pada perlakuan B dan C pada hari ke-45 dengan persentase yang sama yaitu sebesar 11%, hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian dosis jintan hitam yang berbeda tidak terlalu berpengaruh terhadap peningkatan persentase monosit terlihat dari perlakuan A dengan dosis 0 g jintan hitam/kg pakan juga mengalami peningkatan pada hari ke-45 dengan persentase 10%. Adanya infeksi setelah uji tantang juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan sistem imun non spesifik pada ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat [10] yang mengatakan bahwa persentase monosit akan meningkat jumlahnya dalam waktu yang singkat setelah adanya infeksi dengan benda asing untuk melakukan proses fagositosis.
Persentase neutrofil mengalami penurunan pada semua perlakuan dan persentase terendah terdapat pada perlakuan C yaitu sebesar 5%. Jumlah neutrofil yang rendah di dalam sirkulasi darah akan diimbangi dengan jumlah limfosit dan monosit yang tinggi. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya persentase neutrofil di dalam sirkulasi darah adalah jumlahnya yang memang sedikit sesuai dengan pendapat [9] yang mengatakan bahwa sel neutrofil sangat jarang dijumpai pada ikan karena sulit menyerap zat warna yang biasa digunakan. Penurunan persenatse neutrofil juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh [12] persentase neutrofil yang diamati mengalami penurunan pada semua perlakuan baik kontrol maupun yang diberikan dosis jintan hitam. Hal ini mengindikasikan bahwa imunostimulan dari ekstrak jintan hitam tidak efektif dalam proses peningkatan persentase neutrofil dalam sirkulasi darah kakap putih.
Limfosit merupakan jenis sel leukosit yang paling dominan di dalam populasi leukosit pada ikan. Persentase limfosit terlihat terjadi peningkatan pada semua perlakuan yang diberikan dosis jintan hitam dibandingkan dengan perlakuan A yang tidak diberikan dosis jintan hitam (Gambar 1c). Peningkatan persentase limfosit tertinggi terjadi pada perlakuan C hari ke-45 yaitu sebesar 86% (Gambar 1c). Peningkatan sel limfosit ini diduga karena sel limfo-
Pustaka 1. Maeno,Y., L.D.De La Peña and E.R. CruzLacierda. 2004. Mass Mortalities Associated with Viral Nervous Necrosis in HatcheryReared Sea Bass Lates calcarifer in the Philippines. JARQ 38: 69–73. 2. Philipose, K. K., Sharma, S.R.K., Sadhu, N., Vaidya, N.G. and Rao, G. S.. 2010. Some aspects of nursery rearing of the Asian seabass (Lates calcarifer, Bloch) in indoor cement tanks. Indian J. Fish. 57: 61-64. 3. Chi, S. C. Wu, Y. C., Cheng, T. M. 2005. Persistent infection of betanodavirus in a novel cell line derived from the brain tissue of barramundi Lates calcarifer. Dis Aquat Org. 65: 91–98.
190
Aulia Sonida1 et al.
Gambar 1 Nilai parameter hematologi kakap putih (Lates calcarifer ) a) total leukosit; b) monosit; c) limfosit; d) neutrofil dengan berbagai perlakuan: A: 0 g jintan hitam/kg pakan, B: 25 g jintan hitam/kg pakan; C: 50 g jintan hitam /kg pakan; D: 75 g jintan hitam /kg pakan.
Gambar 2 Diferensial Leuksoit: (E) eritrosit, (M) monosit, (L) limfosit, (N) neutrofil perbesaran 1000x
4. Matthaus, B. and Özcan, M.M. 2011. Fatty Acids, Tocopherol, and Sterol Contents of Some Nigella Species Seed Oil. Czech J. Food Sci. 29: 145–150. 5. Salem, M.L. 2005. Immunomodulatory And Therapeutic Properties Of The Nigella sativa L. Seed. International Immunopharmacology 5:1749–1770 6. Johnny, F., Mahardika, K., Giri I.N.A. dan Roza, D. 2007. Penambahan Vitamin C dalam Pakan Untuk Meningkatkan Imunitas Benih Ikan Kerapu Macan, Epinephelus fuscoguttatus terhadap Infeksi Viral Nervous Necrosis. Jurnal Akuakultur Indonesia 6: 43–53.
7. Septiarini, Harpeni, E. dan Wardiyanto. 2012. Pengaruh Waktu Pemberian Probiotik Yang Berbeda Terhadap Respon Imun Non-Spesifik Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) yang Diuji Tantang Dengan Bakteri Aeromonas salmonicida. e-JRTBP 1: 39-46. 8. Tavares-Dias, M., Affonso, E.G., Oliveira, S.R., Marcon, J.L. and Egami, M. I. 2008. Comparative study on hematological parameters of farmed matrinxã, Brycon amazonicus Spix and Agassiz, 1829 (Characidae: Bryconinae) with others Bryconinae species. Acta Amazonica 38: 799-806 9. Harikrishnan, R., Rani, M. N. and Balasundaram, C. 2011. Impact of plant products on in-
Respon imun non spesifik kakap putih nate and adaptive immune system of cultured finfish and shellfish. Aquaculture 317: 1–15. 10. Clauss, T.M., A.D.M. Dove, J.E. Arnold. 2008. Hematologic Disorders of Fish. Vet Clin Exot Anim. 11: 445–462. 11. Wintoko, F., Setyawan, A., Hudaidah, S dan Mahrus, A. 2013. Imunogenisitas Heat Killed Vaksin Inaktif Aeromonas salmonicida pada Ikan Mas (Cyprinus carpio). e-JRTBP 2: 205210 12. Saad, T.T., El-Geit, A., Hammady, E.N. E., A. K. I. and Zaki, M. S.. 2013. Effect of Black Cumin Seeds (Nigella Sativa) and / or Turmeric (Curcumin) On Hematological, Biochemicaland Immunological Parameters of Sea Bass Vaccinated with Pseudomonas Fluorescence Bacterin. Life Science Journal 10: 1292-1303.
191
192
Aulia Sonida1 et al
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
PENDUGAAN KESUBURAN PERAIRAN BERDASARKAN SEBARAN NUTRIEN DAN KLOROFIL-a DI TELUK KENDARI SULAWESI TENGGARA Nur Irawati1
Ringkasan Eutrofication is an increase of nutrient supply (nitrogen and phosphor) to a very high concentration and above the limit that the nature can cope with. This recent research was aimed to predict the eutrofication of the waters based on the distribution of nutrients and chlorophyll-a and conducted on November 2012. The research was carried out by considering two main parameters which were main research parameters and supporting parameter over physical, chemical and biological variables. The main research parameters consisted of total N and P, chlorophyll-a and dissolved oxygen of which those variables were the main variables used in the TRIX index analysis (an index used to characterized the trophic status of a body of waters). The fertility status of Kendari Bay based on TRIX index was categorized as eutrophic having TRIX index of 5.12. It is confirmed that the level of nutrient (TN and TP), chlorophyla and water clarity determines the fertility status of a water body ranging from oligotrophic to hypertrophic.
Keywords eutrofication, total-N, total P, chlorophyl-a, disolved oxygen demand 1 )Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo, Jl.HAE Mokodompit Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232 phone/Fax:+62401 393782 E-mail:
[email protected]
Received: 15 Juni 2014 Accepted: 8 Agustus 2014
PENDAHULUAN Perairan pesisir merupakan perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik. Bahan ini berasal dari berbagai sumber seperti kegiatan pertambakan, pertanian dan limbah domestik yang akan masuk melalui aliran sungai dan limpasan dari daratan. Masuknya bahan organik ke pesisir ini cepat atau lambat akan mempengaruhi kualitas perairan, selanjutnya akan berpengaruh pada keberadaan organisme perairan khususnya plankton sebagai organisme yang pertama merespon perubahan kualitas perairan tersebut. Beban masukan yang nyata biasanya membawa partikel tersuspensi, nutrien, dan bahan organik terlarut yang akan mendukung terjadinya eutrofikasi dan bisa menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya pada kolom air [1]. Beban masukan bahan organik ini akan mengalami berbagai proses penguraian yang pada akhirnya akan memberikan suplai bahan anorganik atau unsur hara ke perairan. Unsur hara yang dihasilkan diantaranya adalah N dan P, dimana unsur ini dibutuhkan untuk pertumbuhan organisme akuatik yaitu fitoplankton. Teluk Kendari merupakan salah satu wilayah pesisir memiliki potensi sumberdaya
Nur Irawati1
194
perairan dan fungsi pendukung kehidupan yang sangat penting. Sebagai sumberdaya perairan, Teluk Kendari merupakan habitat bagi sejumlah organisme yang hidup di dalamnya, antara lain ikan, organisme makrofita dan mikrofita, organisme dasar (bentos), hutan mangrove, maupun padang lamun. Berbagai kegiatan baik jasa kelautan seperti pelabuhan untuk pelayaran dan perikanan, maupun kegiatankegiatan lain di sekitar pantai seperti permukiman, perindustrian, pertambakan, dan sebagainya merupakan bagian dari faktor pendukung kehidupan manusia [2]. Kegiatan penduduk yang meningkat di sekitar teluk umumnya akan memberikan dampak pada penurunan kualitas perairan di teluk. Hal ini tercermin dari data konsentrasi nutrien di perairan Teluk Kendari yang pernah dipublikasikan oleh beberapa peneliti sebelumnya. [3] memperoleh konsentrasi nitrat berkisar 0,021-0,283 mg/L dan [2] memperoleh konsentrasi nitrat dan ortofosfat pada bulan April-Juni 2008 berkisar 0,29-1,07 mg/L dan 0,02-0,15 mg/L. Peningkatan nutrien yang berasal dari aktivitas manusia sangat berpotensi meningkatkan laju pertumbuhan alga dan mikrobiota perairan lainnya. Alga dapat tumbuh dengan pesat karena ukurannya yang mikroskopik dan siklus hidupnya yang lebih cepat dibandingkan dengan tumbuhan multiseluler lainnya. Pertumbuhan alga dan biomassa dalam skala kecil dapat meningkatkan produktivitas dan menyediakan rantai makanan bagi ekosistem perairan. Namun ketika pertumbuhan tersebut meningkat drastis dan melebihi carrying capacity ekosistem yang dikenal dengan algae bloom yaitu fenomena peledakan populasi fitoplankton di perairan secara cepat dan dalam jumlah yang sangat besar, sehingga akan terjadi gangguan kestabilan ekosistem. Algae bloom dapat merubah kondisi fisika-kimia perairan yang tentu akan berakibat pula pada biologi perairan, yang pada gilirannya dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi yang mempengaruhi potensi sumberdaya alam hayati perairan. Melihat fenomena-fenomena tersebut, maka diadakan penelitian mengenai Penduga
Gambar 1 Peta lokasi penelitian di perairan Teluk Kendari [8] modifikasi
Kesuburan Perairan berdasarkan sebaran nutrien dan klorofil-a di Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Kendari yang secara geografis terletak pada 3o 57’50” – 3o 5’30” lintang selatan dan 122o 31’50”– 122o 36’30” bujur timur dengan luas ± 18,75 km2 dan panjang garis pantai ± 35,85 km. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember 2012 dengan jumlah stasiun sebanyak 25 (Gambar 1). Penentuan lokasi dan titik sampling penelitian dilakukan menggunakan transek yang ditempatkan secara membujur dan melintang di sepanjang perairan teluk, dengan jarak antara sampling baik membujur maupun melintang ± 1.000 m. Penempatan titik sampling dimulai dari muara Sungai Wanggu dan Kambu sampai muara Teluk Kendari. Parameter yang diukur meliputi parameter fisika, kimia dan biologi yang dibagi menjadi parameter utama (total N, total P, klorofil-a dan oksigen terlarut) dan penunjang (suhu, salinitas, kecerahan dan pH). Oksigen Saturasi Persentase saturasi oksigen terlarut dilakukan dengan perhitungan yaitu perbandingan antara nilai kadar oksigen yang terukur (aktual) dengan kadar oksigen teoritis pada suhu saat pengukuran, yaitu : Saturasi =
oksigen terukur (ppm) x 100% oksigen teoritis (ppm)
(1)
pendugaan kesuburan perairan
195
N dan P [5]. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Analisis Nutrien Sampel air laut dimasukkan ke dalam botol sampel berkapasitas 250 ml untuk keperluan analisis total Nitrogen (N) dan Fosfor (P). Botol sampel dimasukkan ke dalam kotak pendingin sebelum dianalisis. Sebelum dianalisis lanjutan di laboratorium, terlebih dahulu dilakukan filtrasi terhadap air sampel dengan membran filter berdiameter 47 mm yang berporositas 1,2 μm. Selanjutnya analisis kandungan unsur-unsur hara tersebut dilakukan mengacu pada [4].
Biomassa Fitoplankton (Klorofil a)
mg/m3
=
26, 7(664b − 665a ) x V1 V2 x L
Dimana : PO4 : Total fosfat (microgram per liter), TN : Total nitrogen (microgram per liter), Chla : Konsentrasi klorofil-a (microgram per liter), DOsaturasi : persentase oksigen saturasi. Variabel a : 1,5 dan b : 1,2 adalah skala koefisien [6]. Nilai TRIX diklasifikasikan antara 0 sampai 10.
Penentuan biomassa fitoplankton ditentukan dengan kandungan klorofil-a. Pengambilan sampel air laut untuk analisis klorofila sebanyak 1 liter pada setiap kedalaman inkubasi dan dimasukan dalam botol sampel yang ditutup dengan plastik hitam, dan disimpan dalam kotak es yang bersuhu dingin, untuk kemudian dianalisis di laboratorium. Penghitungan konsentrasi klorofila dengan menggunakan persamaan menurut [4], yaitu : Klorof il − a
T RIX = [log10 (P O4 x T N x Chla x DOsaturasi )+a]/b(3)
(2)
dimana: V1 : Volume yang diekstrak (l), V2 : Volume sampel (m3 ), L : panjang kuvet (cm), 664b : Absorben pada 664 nm-abs pada 750 nm, sebelum pengasaman, 665a :Absorben pada 665 nm-abs pada 750 nm, setelah pengasaman
HASIL DAN PEMBAHASAN Oksigen Terlarut Nilai sebaran oksigen terlarut di perairan berkisar 2,09-8,09 mg/L (Gambar 2) dan nilai persentase saturasi oksigen terlarut berkisar 27,17-108,88%. Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan terjadinya peningkatan oksigen terlarut yang mengarah ke laut. Hal ini disebabkan karena oleh adanya pengaruh masukan air tawar dari sungaisungai yang bermuara ke teluk yang membawa bahan-bahan pencemaran baik dalam bentuk organik maupun organik. Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai 0 (nol) atau anaerob [6]. Selain faktor tersebut kelarutan oksigen terlarut juga tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis dan respirasi.
Analisis Data Nutrien Dalam mengkarakterisasi status trofik di perairan digunakan metode TRIX, mencakup didalamnya 4 variabel yang digunakan yaitu Klorofil-a, oksigen saturasi, total
Nutrien Nitrogen total merupakan gabungan dari nitrogen anorganik (nitrat, nitrit dan ammonium) dan nitrogen organik yang
Nur Irawati1
196
Gambar 2 Peta sebaran oksigen terlarut (mg/L) di perairan Teluk Kendari
Gambar 3 Peta sebaran total nitrogen (mg/L) di perairan Teluk Kendari
berupa partikulat yang tidak larut dalam air [6]. Sebaran nilai total nitrogen (TN) selama pengukuran berkisar 0,214-5,137 mg/L (Gambar 3). Nilai TN yang diperoleh menunjukkan peningkatan yang sangat besar bila dibandingkan dengan nilai nitrogen anorganik terlarut (DIN) pada penelitian [2] yaitu 0,54-0,83 mg/L. Berdasarkan Gambar 3 nilai konsentrasi TN relatif tinggi pada stasiun-stasiun yang berada di dalam teluk (depan muara sungai) dan mengalami penurunan ke arah laut, hal ini karena pada stasiun-stasiun yang berada di depan muara sungai banyak mendapatkan suplai unsur hara dari kegiatan-kegiatan di daratan, baik itu kegiatan pertanian, perikanan maupun aktivitas penduduk, yang masuk melalui sungai dan bermuara ke teluk. Keberadaan fosfor di perairan merupakan unsur yang esensial baik tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan [6]. Total fosfat (TP) yang diperoleh selama penelitian berkisar 0,005-0,038 mg/L (Gambar 4). Bardasarkan Gambar 4 sebaran TP yang diperoleh menunjukkan peningkatan ke arah
Gambar 4 Peta sebaran total fosfat (mg/L) di perairan Teluk Kendari
dalam perairan teluk, serta dijumpai nilai TP yang relatif tinggi pada daerah-daerah yang masih dipengaruhi daratan (sungai). Hal ini disebabkan beban masukan yang masuk dari daratan melalui aliran sungaisungai yang bermuara ke teluk. Nilai TP yang diperoleh selama penelitian, hampir sama dengan nilai fosfat anorganik (ortofosfat) yang diperoleh [2] pada lokasi yang sama yaitu 0,02-0,15 mg/L.
Klorofil-a Sebaran klorofil-a di Perairan Teluk Kendari berkisar 0,528-1,802 mg/m3 (Gambar 5). Nilai sebaran klorofil-a selama penelitian memperlihatkan nilai yang tidak terlalu bervariasi. Kondisi seperti ini berbeda dengan kondisi yang umum terjadi di perairan. Umumnya nilai klorofil-a tertinggi dijumpai pada daerah-daerah yang lebih kaya akan unsur hara. Hal ini berhubungan dengan ukuran sel dari fitoplankton, dimana ukuran sel fitoplankton pada daerah yang kaya akan unsur hara didominasi oleh ukuran sel yang besar, sehingga hal ini mempengaruhi jumlah klorofil-a yang dikandung masing-masing sel fitoplankton. Nilai sebaran konsentrasi klorofil-a selama penelitian menunjukkan pola yang sama dengan pola sebaran nutrien TN dan TP. Pada penelitian ini nutrien TN dan TP tertinggi dijumpai pada stasiun-stasiun yang berada di depan muara sungai wanggu dibandingkan stasiun-stasiun yang berada di depan muara teluk (ke arah laut), begitu pula pada sebaran klorofil-a. Nilai sebaran konsentrasi klorofil-a relatif tinggi di-
pendugaan kesuburan perairan
197
ngan penelitian [7] di perairan yang sama, dimana pH perairan berkisar antara 7,2-7,7 dan 7,02-7,74. Nilai pH yang diperoleh selama penelitian masih merupakan kisaran yang sesuai dengan kebutuhan fitoplankton yaitu 7,0-8,5 [6]. Sejalan dengan itu nilai pH tersebut merupakan kisaran pH perairan laut Indonesia yaitu 6,0-8,5. Gambar 5 Peta sebaran klorofil (mg/m3) di perairan Teluk Kendari
jumpai pada stasiun yang berada di depan muara Sungai Wanggu dan Kambu. Parameter Penunjang Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Kendari di seluruh kedalaman inkubasi pada stasiun dan substasiun penelitian berkisar 29,131,2o C, hal ini disebabkan oleh kondisi cuaca pada saat penelitian yang relatif tidak berbeda. Kisaran suhu pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya pada lokasi yang sama yaitu 28,5-30,6 o C [2] dan 28-32o C [3]. Secara umum kisaran suhu selama penelitian masih dalam kisaran suhu yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Kisaran suhu yang optimum untuk pertumbuhan fitoplankton adalah 2030o C [6]. Salinitas yang diperoleh selama penelitian berkisar 27-33o/oo, dimana nilai salinitas terendah dijumpai pada stasiun-stasiun yang berada di dalam teluk (depan muara sungai). Perbedaan salinitas ini disebabkan karena oleh adanya pengaruh masukan air tawar dari sungai-sungai yang bermuara ke teluk maupun masukkan air laut dengan salinitas tinggi. Nilai salinitas yang diperoleh selama penelitian lebih tinggi bila dibandingkan dengan salinitas yang diperoleh pada penelitian [7] yaitu 19,80-29,80 o/oo, pada daerah depan muara sungai, hal ini lebih disebabkan pada saat pengukuran perairan Teluk Kendari dalam kondisi surut, sehingga ini berhubungan dengan faktor pengenceran oleh air laut dan air tawar. Berdasarkan hasil pengukuran derajat keasaman selama penelitian di perairan Teluk Kendari berkisar 6,5-7,5. Kisaran tersebut tidak jauh berbeda bila dibandingkan de-
Indeks TRIX Indeks TRIX merupakan salah satu indeks yang sering digunakan dalam menilai trofik level suatu perairan dalam pemantauan kondisi eutrofikasi perairan. Komponen yang digunakan dalam metode ini adalah parameter yang terkait dengan proses eutrofikasi yaitu total nitrogen (mg/m3 ), total fosfat (mg/m3 ), oksigen saturasi (%), dan klorofil-a (µg/L) [5]. Berdasarkan hasil perhitungan keempat parameter tersebut, maka selanjutnya dideskripsikan berdasarkan kriteria tingkat kesuburan. Hasil perhitungan tingkat kesuburan di perairan Teluk Kendari berdasarkan indeks TRIX berkisar 5,644-7,113. Berdasarkan kriteria TRIX perairan Teluk Kendari digolongkan kedalam perairan eutrofik sampai hipertrofik [8] ; [9] dengan kesuburan tertinggi pada perairan depan muara Sungai Wanggu. Dalam menentukan status trofik suatu perairan tergantung pada penyebaran dan konsentrasi klorofil-a, ketersediaan nutrien (nitrogen dan fosfor). Konsentrasi klorofil-a sendiri dapat dijadikan petunjukkan dalam menentukan status trofik suatu perairan. Ketersediaan nutrien TN dan TP selama penelitian berkisar 0,214-5,137 mg/L (2145127 mg/m3 ) dan 0,005-0,038 mg/L (5-38 mg/m3 ). Berdasarkan kriteria [5] maka nilai sebaran TN menunjukkan perairan Teluk Kendari tergolong mesotrofik sampai hipertrofik, sedang berdasarkan sebaran TP tergolong oligotrofik-eutrofik (Tabel 1). Sejalan dengan kriteria status trofik menurut [10], perairan teluk kendari berdasarkan nilai sebaran TN tergolong kesuburan sedang sampai tinggi dan sebaran TP tergolong kesuburan rendah sampai sedang (Tabel 1). Selama penelitian sebaran klorofil-a berkisar 0,528-1,802 mg/m3 atau 0,528-1,802
Nur Irawati1
198 Tabel 1 Kriteria status trofik pada perairan laut [5] Status Trofik
TN (mg m−3 )
TP (mg m−3 )
Chl-a (mg L−1 )
Oligotrophic
<260
<10
<1
>6
Mesotrophic
≥260-350
≥10-30
≥1-3
3-≤6
Eutrophic
≥350-400
≥30-40
≥3-5
1.5-≤3
Hypereutrophic
>400
>40
>5
<1.5
Secchi Depth (m)
Tabel 2 Klasifikasi status trofik berdasarkan nutrien dan klorofil-a (indeks NOAA) [11] Tingkat Eutrofikasi
TN (mg m−3 )
TP (mg m−3 )
Chl-a (mg L−1 )
Rendah
0 - ≤0.1
0 - ≤0.01
0-≤5
Sedang
> 0.1 - ≤ 1
> 0.01 - ≤ 0.1
> 5 - ≤ 20
Tinggi
>1
> 0.1
> 20 - ≤ 60
Eutrofik
-
-
>60
µg/L, menurut kriteria [5] perairan Teluk Kendari tergolong oligotrofik sampai mesotrofik (Tabel 1), sedang berdasarkan indeks NOAA perairan Teluk Kendari tergolong perairan dengan kesuburan rendah (Tabel 2). Status trofik yang ditunjukkan berdasarkan nutrien (TN dan TP) serta konsentrasi klorofil-a memberikan status trofik yang berbeda dengan nilai indeks TRIX yang diperoleh, kecuali pada sebaran nutrien total nitrogen, yang memperlihatkan nilai yang sudah sangat tinggi sehingga status trofik perairan Teluk Kendari tergolong hipertrofik. Keberadaan TN yang tinggi dijumpai pada stasiun-stasiun di depan muara sungai Wanggu dan Kambu (Stasiun 1, 2, 3, 4 dan 5). Hal ini diperkirakan tingginya masukan bahan organik dari daratan yang mengandung unsur N. Menurut [8] umumnya beban masukan yang banyak mengandung unsur N berasal dari limbah rumah tangga, pertanian dan peternakan. Selain itu kondisi konsentrasi klorofil-a yang rendah sehingga perairan teluk Kendari tergolong oligotrofik-mesotrofik, menunjukkan bahwa tinggi-rendahnya konsentrasi klorofila tidak hanya dipengaruhi oleh keberadaan nutrien yang tinggi, namun juga oleh kecerahan yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan proses fotosintesis fitoplankton sebagai penyusun biomassa fitoplankton (klorofila), dimana kecerahan tinggi (kekeruhan rendah) akan mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang merupakan sumber ener-
gi bagi fitoplankton untuk berfotosintasis. Hal ini sejalan dengan penelitian [7] bahwa hubungan produktivitas primer fitoplankton dengan cahaya dan nutrien di perairan Teluk Kendari menunjukkan bahwa lebih banyak di pengaruhi oleh intensitas cahaya matahari selain keberadaan nutrien di perairan. Kisaran oksigen terlarut (DO) selama penelitian yaitu 2,09-8,09 mg/L, nilai DO yang diperoleh menunjukkan peningkatan ke arah laut (muara teluk). Hal ini lebih disebabkan karena pada stasiun-stasiun depan muara sungai Wanggu mendapatkan banyaknya limbah organik yang dibawa oleh sungai tersebut ke perairan teluk sehingga dapat mempengaruhi ekosistem perairan tersebut. Kisaran kadar oksigen terlarut selama penelitian termasuk dalam perairan dengan kondisi tercemar sedang sampai belum tercemar. Menurut [12] bahwa kadar oksigen terlarut 2,4-4,4 mg/L tergolong tercemar sedang, 4,5-6,5 mg/L tercemar ringan dan > 6,5 mg/L belum tercemar. Berdasarkan Gambar 2, kondisi perairan tercemar sedang pada stasiun-stasiun yang memiliki kadar oksigen terlarut rendah yaitu 2,09-4,20 mg/L, dijumpai pada stasiun yang berada di depan muara sungai Wanggu dan Kambu. Hal ini menunjukkan peranan sungai Wanggu dan Kambu sebagai penghasil bahan-bahan antropogenik baik dari hasil buangan rumah tangga, maupun hasil dari limbah pertanian serta tingginya kekeruhan pada stasiun-stasiun terse-
pendugaan kesuburan perairan
but, sehingga hal ini menyebabkan penurunan nilai oksigen terlarut di stasiun tersebut. Nilai kekeruhan yang tinggi terlihat dari rendahnya nilai kecerahan di stasiunstasiun depan muara sungai Wanggu dan Kambu yaitu < 1,5 meter. Menurut [5] kecerahan di bawah 3 meter tergolong perairan eutrofik.
SIMPULAN Status kesuburan perairan Teluk Kendari berdasarkan nilai indeks TRIX yaitu eutrofik, dengan nilai TRIX berkisar 5,6447,113. Keberadaan nilai nutrien (TN dan TP), klorofil-a dan kecerahan menunjukan status kesuburan perairan dari oligotrofik sampai hipertrofik.
Pustaka 1. Cervetto, G., Mesones, C., Calliari, D. 2002. Phytoplankton Biomass and its Realitionship to Enviromental Variables in a Disturbed Coastal Area of The Rio De La Plata Uruguay, before the New Sewage Collector System. Atlantica Rio Grande 24(1) : 45 – 54. 2. Irawati, N., E.M. Adiwilaga dan N.T.M. Pratiwi. 2013 Hubungan produktivitas primer fitoplankton dengan ketersediaan unsur hara dan intensitas cahaya di perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Jurnal Biologi Tropis, 13(2), 195-206. 3. Asriyana. 2004. Distribusi dan Makanan Ikan Tembang (Sardinella fimbriata Val.) di Perairan Teluk Kendari. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. 4. American Public Health Association (APHA). 2005. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater. 21st Edition. American Public Health Association. Washington. 5. Vollenweider, RA., F. Giovanardi, G. Montanari, and A. Rinaldi. 1998. Characterization of the Trophic Conditions of Marine Coastal Waters With Special Reference to The NW Adriatic Sea: Proposal for a Trophic Scale, Turbidity and Generalized Water Quality Index. Journal Enviromentric. 9(1): 329-357. 6. Giovanardi, F., & Vollenweider, R. A. (2004). Trophic conditions of marine coastal waters: Experience in applying the trophic index TRIX to two areas of the Adriatic and Tyrrhenian seas. Journal of Limnology, 63(2), 199–218.
199 7. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 8. Irawati, N. 2011. Hubungan produktivitas primer fitoplankton dengan ketersediaan unsur hara pada berbagai tingkat kecerahan di perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 9. Damar, A. 2003. Effects of Enrichment on Nutrient Dynamics, Phytoplankton Dynamics and Productivity in Indonesian Tropical Water: A Comparison Between Jakarta Bay, Lampung Bay and Semangka Bay. Ph.D Dissertation Christian Albrechts University. Kiel. Germany. 10. Pettine, M., Casentini, B., Fazi, S., Giovanardi, F., and Pagnotta, R. (2007). A revisitation of TRIX for trophic status assessment in the light of the European water framework directive: Application to Italian coastal waters. Marine Pollution Bulletin, 54,1413–1426. 11. Bricker, S.B., J.G. Ferreira and T. Simas. 2003. An integrated methodology for assessment of estuarine trophic status. Ecol. Mod. 169: 39-60.
200
Nur Irawati1
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
FERMENTASI KEDELAI SEBAGAI PENGGANTI TEPUNG IKAN DALAM PAKAN BUATAN TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG WINDU (Penaeus monodon Fabricius) Pinandoyo1 · Titik Susilowati1 · Vivi Endar Herawati1 · dan Heri Budiati1
Ringkasan Growth and survival rate of shrimp affected by feed and water quality factor. Artificial diets is one alternative to improve the growth and survival rate of tiger shrimp. The Amino Acid composition contained in the feed depends on the composition of amino acids and completeness of the raw materials in feed formula.The study aims to determine the effect of substitution of the use of fish Flour with fermented soy flour againts growth and survival rate of tiger shrimp and determine the best treatment that can enhance growth and survival of shrimp. This research used experimental methode with completely randomized design with 4 treatments and 3 replications. Treatment A (40% fish flour and 12% fermented soy flour), treatment B (30% fish meal and fermented soybean flour 26.35%), treatment C (20% fish meal and fermented soybean flour 40.68%) and treatment D (10% and 55.03% fish meal fermented soy flour). Shrimp samples use tiger shrimp (Penaeus monodon ) with average of weight (0.0029 grams) from BBPBAP Jepara. The results showed that feeding treatment with different compositions will provide significant effect (P <0.05) on the growth and influence of absolute biomass are significantly different (P <0.01) the dai1 )Program
Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl Prof Soedharto, Semarang 50275 E-mail:
[email protected]
ly growth rate, but not significantly different at survival. Absolute biomass growth on treatment B hasi best provide for (2422.33 mg) and a row followed by treatment C (2225.87 mg), A (2108.07 mg) and D (1348 mg). The best daily growth were treatment B (8.15% / day), C (7.91% / day), A (7.82% / day) and D (6.64% / day). Percentage survival of C (72%), B (70%), D (69.33%) and A (64.67%). The results of measurements of water quality parameters as maintenance medium for research is still in a decent range for maintenance of tiger shrimp. Keywords Soy Flour Fermented, Growth Rate, Survival Rate, and Daily Growth Rate Received: 05 Juni 2014 Accepted: 27 Juli 2014
PENDAHULUAN Udang yang diprioritaskan untuk dibudidayakan dalam tambak adalah udang windu atau udang Penaedae. Oleh karena itu dalam program intensifikasi tambak udang yang memiliki nilai ekonomis tinggi sebagai komoditas ekspor dan dapat tumbuh besar hingga mencapai panjang 20 cm dianjurkan untuk dipilih. Pakan merupakan salah satu bagia faktor produksi terbesar (55-60%) dari setiap ope-
Pinandoyo1 et al.
202
rasional budidaya. Hal ini disebabkan oleh karena penyediaan pakan oleh petani adalah sesuatu yang harus dibeli (komersial) dari suatu produsen dengan harga yang relatif mahal. Tingginya harga pakan sebagai akibat dari penyediaan beberapa jenis bahan baku yang harus diimpor dari negara lain. Kualitas pakan buatan dipengaruhi oleh kualitas bahan baku. Tepung ikan merupakan sumber protein dalam pakan ikan/udang yang berkualitas tinggi, kandungan energi dan mineralnya tinggi, daya cerna tinggi dan cocok untuk sebagaian jenis ikan dan udang [1]. Tetapi harga tepung ikan mahal dan produksinya semakin terbatas untuk mensuplai kebutuhan industri pakan buatan. Selain itu industri pakan ikan dan udang juga menggunakan tepung kedele, karena mempunyai komposisi asam amino terbaik dibanding dengan sumber protein nabati lainnya bagi kebutuhan nutrisi udang meskipun asam amino sulfat terbatas. Oleh karena itu perlu penelitianpenelitian mengenai cara teknis penanganan kedele sebagai sumber protein bagi pakan udang. Kajian yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa fermentasi kedele dapat meningkatkan kandungan protein dan menurunkan karbohidrat [2]. Dalam penelitian ini untuk fermentasi kedele digunakan ragi tape. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan fermentasi kedele dalam pakan buatan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang windu (Penaeus monodon Fabricius) dan yang memberikan pengaruh yang terbaik terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang windu (Peneaus monodon Fabricius) MATERI DAN METODE Hewan uji yang digunakan adalah udang windu Penaeus monodon Fabricius dengan berat awal rata-rata 0,0029 gram/ekor, padat penebaran 50 ekor/wadah penelitian. Udang windu uji dalam penelitian ini diperoleh dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.
Tabel 1 Formulasi Pakan Uji Pengurangan tepung ikan dalam pakan Bahan
Tepung ikan Tepung Udang Fermentasi kedele
A (0%)
B(25%)
C(50%)
40
30
20
D(75%) 10
6,25
6,25
6,25
6,25
12
26,35
40,68
55,03
Jagung
15,5
11,15
6,82
2,47
Terigu
5
5
5
5
Lechitin
3
3
3
4
Minyak ikan
4
4
4
3
Mineral mix
2
2
2
2
Vitamin mix
3
3
3
3
CMC
2
2
2
2
Jumlah
100
100
100
100
Protein
37
37
37
37
Pakan uji yang digunakan dalam penelitian berbentuk powder terdiri dari 4 (empat) jenis pakan. Perbedaan dari ke empat jenis pakan tersebut adalah pada komposisi tepung ikan dan tepung fermentasi kedele. Protein dalam pakan ditetapkan sebesar 37% dan penambahan bahan additif sebesar 14%. Penggunaan tepung ikan 40% dan tepung fermentasi kedele 12% sebagai formula kontrol. Secara bertahap persentase penggunaan tepung ikan dikurangi 25%, 50% dan 75% dan digantikan tepung fermentasi kedele sebesar 26,35%, 40,68% dan 55,03% sebagai pakan B, C dan D. Hasil perhitungan tepung ikan dan tepung kedele menurut formulasi tersebut tersaji pada Tabel 1. Wadah yang digunakan untuk penelitian berupa bak kaca kapasitas 20 liter yang diisi air dengan volume 12,5 liter, berjumlah 12 buah. Sedangkan air sebagai media hidup udang uji di dapat dari air laut bersalinitas 25 ppt – 27 ppt yang terlebih dahulu disaring kemudian ditampung ke bak penampungan. Air kemudian dialirkan melalui selang-selang yang dilengkapi dengan penyaring. Penelitian dilaksanakan dengan metoda eksperimen laboratoris yaitu suatu metoda penelitian untuk menyelidiki kemungkinan saling hubungan sebab akibat dengan cara mengenakan satu atau lebih kelompok eksperimen, sedangkan rancangan percobaan
fermentasi kedelai sebagai pengganti tepung ikan
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Penelitian meliputi masa persiapan, masa adaptasi, masa pengamatan dan analisa data. Pada masa persiapan meliputi persiapan alat yang digunakan untuk penelitian, pembuatan tepung fermentasi kedele, analisa bahan baku untuk pakan uji, pembuatan pakan uji. Setelah semua pembuatan pakan uji dikerjakan maka pakan uji dianalisa proksimat. Adaptasi hewan uji yang akan dipergunakan untuk penelitian dilakukan selama satu minggu seperti yang dinyatakan oleh [3] bahwa satu minggu diperkirakan hewan uji telah terbiasa terhadap kondisi lingkungan penelitian dan pakan buatan yang diberikan. Kegiatan pada masa pengamatan meliputi pemberian pakan uji, penimbangan biomassa udang dan pemeliharaan kualitas air. Pemberian pakan dilakukan 5 kali dalam satu hari yaitu pada jam 06.30, 11.00, 16.00, 20.00 dan 23.00 WIB dengan jumlah pakan yang diberikan 30% berat biomassa. Penimbangan berat biomassa udang dilakukan 7 hari sekali selama 35 hari penelitian dengan menggunakan timbangan elektrik dengan ketelitian 0,0001 gram. Untuk menjaga kualitas air dilakukan penyiponan kotoran sisa pakan dan feces hewan uji pada pagi hari. Penggantian air media uji 30% per hari. Pengamatan kualitas air dilakukan setiap hari meliputi temperatur, pH dan salinitas. Sedangkan oksigen terlarut, kandungan amonia dan nitrit diukur 7 hari sekali. Data yang dianalisa adalah data pertumbuhan biomassa mutlak, laju pertumbuhan harian dan kelangsungan hidup. Sebelum dilakukan analisa secara statistik terlebih dahulu dilakukan uji kenormalan Lilifort, uji additivitas Tukey dan uji homogenitas ragam Barlet [5], kemudian apabila data yang dihasilkan menyebar normal, homogen dan additif dilakukan analisa sidik ragam untuk mengetahui adanya perbedaan dari perlakuan. Apabila dari analisa sidik ragam terdapat perbedaan yang di-
203
timbulkan oleh perlakuan yang diterapkan maka analisa dilanjutkan dengan uji wilayah ganda dari Duncan untuk mengetahui perlakuan-perlakuan mana yang berbeda. Sedangkan data FCR dan kualitas air dianalisis secara deskriftif. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Data pertumbuhan udang windu (Penaeus monodon Fabricius) sebagai respon dari perlakuan yang dicobakan meliputi data pertumbuhan biomassa mutlak dan laju pertumbuhan harian. Data Pertumbuhan biomassa, pertumbuhan mutlak dan pertumbuhan harian selama 35 hari pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari masing-masing perlakuan memberikan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan biomassa mutlak udang windu, sedangkan terhadap laju pertumbuhan harian udang uji perlakuan memberikan perbedaan yang sangat nyata (P>0,01). Hal tersebut membuktikan bahwa pemberian pakan dengan pengurangan prosentase jumlah pamakaian tepung ikan dengan penggunaan tepung fermentasi kedele dalam pakan buatan akan menghasilkan kualitas pakan yang berbeda pula, sehingga mempengaruhi pertumbuhan udang windu uji. [5] menyatakan bahwa salah satu faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah kualitas pakan. Penggunaan tepung fermentasi kedele pada formulasi pakan sebesar 26,35% (perlakuan B) sangat cocok/tepat karena pertumbuhan biomassa mutlak lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol yaitu perlakuan B (2422,32 mg). Ini menunjukkan bahwa pakan B dapat meningkatkan mutu pakan. Pada perlakuan pakan uji D dengan pemakaian tepung fermentasi kedele sebesar 55,03% menunjukkan hasil yang paling rendah yaitu (1.348 mg) untuk pertumbuhan biomassa mutlak dan laju pertumbuhan harian juga terendah (6,64%/hari), hal ini diduga kandungan pada pakan D kelebihan
Pinandoyo1 et al.
204
Gambar 1 Pertambahan Berat Biomassa (a) pertumbuhan mutlak (b) dan persentase pertumbuhan harian (c) Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius)selama penelitian huruf superskrip yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (p<0,05) pada uji wilayah ganda Duncan.
energi sehingga menyebabkan udang merasa cepat kenyang sebelum dapat memanfaatkan sejumlah nutrien seperti protein untuk pertumbuhan optimal dan tidak dapat menciptakan komposisi nutrisi yang seimbang. Dimungkinkan dengan sangat kecilnya jumlah tepung ikan dalam pakan, akan berpengaruh terhadap kandungan asam amino. Menurut [6] Akiyama (1991) kandungan asam amino esensial yang terdapat pada tepung ikan dibandingkan dengan bahan penyusun ransum lainnya paling sesuai untuk kebutuhan asam amino esensial udang. Penyusunan jumlah penggunaan bahan dasar makanan yang mengandung protein akan turut mempengaruhi tingkat keseimbangan asam-asam amino esensial pakan.
udang dapat diterima dan dikonsumsi oleh udang. Diduga meskipun udang uji diberi pakan dengan menggunakan formula pakan dengan pengurangan pemakaian tepung ikan dari 25%, 50% dan 75% dan digantikan dengan tepung fermentasi kedele sebesar 26,35%; 40,68% dan 55,03%, udang masih mampu melaksanakan fungsi-fungsi biologisnya seperti respirasi, sirkulasi darah, ekskresi, osmoregulasi, pencernaan dan gerak serta mempertahankan hidup. Mortalitas udang uji selama penelitian disebabkan karena stress. Hal ini karena adanya kegiatan penimbangan dan sampling. Berdasarkan pengamatan kematian udang uji pada umumnya terjadi pada minggu I dan minggu II dan udang uji yang mati pada setiap perlakuan semuanya terjadi setelah pelaksanaan penimbangan.
Kelangsungan Hidup Nilai Konversi Pakan (FCR) Angka kelangsungan hidup udang uji yang diperoleh selama penelitian adalah sebagai berikut A (64,67%), B (70,67%), C (72,00%) dan D (70%). Tingkat kelangsungan hidup udang uji selama penelitian masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan fermentasi kedele sebagai bahan baku pakan
Perhitungan dari nilai konversi pakan uji yang diberikan selama penelitian tersaji pada Tabel 12. Untuk mengetahui efisiensi pemanfaatan pakan oleh udang windu uji maka dihitung konversi pakan . Dari nilai konversi pakan (FCR) tersebut dapat diketahui kualitas pakan secara langsung.
fermentasi kedelai sebagai pengganti tepung ikan
Oksigen terlarut dalam media pemeliharaan dalam kisaran 6,4-7, hal ini dikarenakan adanya aerasi yang terus menerus selama pemeliharaan. Untuk dapat tumbuh dengan baik udang windu membutuhkan oksigen terlarut dalam media >5 mg/L [8]. Nilai pH air media selama pemeliharaan berkisar antara 7-8 masih dalam kisaran yang layak untuk hidup udang windu. Sesuai dengan pendapat [9] yang mengatakan bahwa kisaran pH yang optimal untuk udang windu adalah 7-8,5. Sedangkan untuk suhu media selama pemeliharaan berkisar antara 25-30o C. Menurut [8] suhu yang optimal pada udang windu berada pada kisaran 26-30o C. Meskipun suhu media di
7 – 8,5c
> 5 b 6,4 - 7
7 - 8 7 - 8
6,5 - 6,9
7 - 8 7 - 8
6,5 - 7
pH
DO (mg/L)
6,5 - 7
15 –- 30a 29 - 30 29 - 30 29 - 30 Salinitas (o/oo)
29 - 30
< 3d 0,01- 0,0539 0,01- 0,0765 0,01- 0,0678 NO2 (mg/L)
0,01- 0,0609
< 1c 0,1- 0,1334 0,1- 0,1457 0,1- 0,1336 NH3 (mg/L)
0,1- 0,1331
25 – 30a 25 - 30 25 - 30 25 - 30 25 - 30 Temperatur (o C)
Pustaka D C Parameterb
Parameter kualitas air sebagai media hidup udang windu selama penelitian masih pada kisaran yang optimal bagi kehidupan udang windu. Hasil pengamatan parameter kualitas air selama penelitian tersaji pada Tabel 1. Parameter kualitas air media pemeliharaan untuk semua perlakuan baik pada perlakuan A, B, C maupun D tidak ada perbedaan dan selama penelitian masih dalam kisaran yang layak untuk hidup dan pertumbuhan udang windu. Hal tersebut di atas dikarenakan setiap hari dilakukan penyiponan untuk membuang kotoran dan sisa pakan serta penggantian air media sebesar 30% dari volume air media. Salinitas media pemeliharaan berkisar antara 29-30 ppt. [7] udang windu mempunyai toleransi hidup dan dapat tumbuh dengan baik pada kisaran 15-30 ppt.
A
B
Kualitas Air
Tabel 2 Kisaran Parameter Kualitas Air Selama Penelitian
Perlakuan
Dari penelitian ini pakan B memberikan nilai konversi pakan yang terendah yaitu (2,59± 0,26), kemudian diikuti C (3,15± 0,62), pakan A (3,66± 0,34) dan tertinggi pakan D (4,06± 0,5). Nilai konversi pakan D yang tinggi ini menunjukkan bahwa udang uji kurang efisien dalam memanfaatkan pakan. Hal tersebut disebabkan oleh daya cerna udang terhadap pakan D rendah dan kandungan karbohidrat pada pakan D paling tinggi diantara ketiga pakan uji.
205
Keterangan : a [7]b [8] c [9] d [11]
bawah kisaran optimal, tetapi masih pada batasan yang dapat ditolerasni bagi pertumbuhan udang. Menurut [10] udang windu dapat hidup dalam tolerasi di atas 15o C dan di bawah 40o C. Amoniak dan nitrit yang terlarut dalam air media berkisar antara 0,133143 – 0,145714 dan 0,05391 – 0,076522 nilai di atas masih dalam batasan toleransi bagi udang windu yaitu <1 dan <3 [11].
SIMPULAN Penggunaan tepung fermentasi kedele dalam pakan buatan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan biomassa mutlak sedangkan terhadap laju pertumbuhan harian berpengaruh sangat nyata tetapi tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hidup udang windu. Perlakuan B dengan kombinasi tepung ikan 30% dan tepung fermentasi kedele 26,35 % akan memberikan ha-
206
sil pertumbuhan yang terbaik , tingkat kelangsungan hidup tinggi serta nilai FCR yang terbaik bagi udang windu. Kualitas air media pemeliharaan berada pada kisaran yang layak bagi kehidupan udang uji selama penelitian.
Pustaka 1. Tacon. 1989. The Nutrition and Feeding of Farmed Fish and Shrimp. A Training Manual 1. The Essential Nutrition. Food and Agriculture of the United Nation. Brazil. 2. Nur , A. 1999. Teknik Penyediaan Pakan Sederhana. Makalah Ekpose Hasil Kegiatan Uji Coba Balai Budidaya Air Payau Jepara 19981999. BBAP. Jepara. 3. Jangkaru, Z. 1974. Makanan Ikan. Lembaga Penelitian Perikanan Darat. Direktorat Perikanan Darat. Jakarta. 4. Srigandono. 1989. Rancangan Percobaan. UNDIP. Semarang. 5. Huet, M. 1971. Text Book Fish Culture Eyee and Spossis. Mord Ltd. London. 6. Akiyama, D.M. 1991. Proceeding of the Aqua Culture Feed Processing and Nutrition Workshop. American Soybean Association. Singapore. 7. Lee Doc and J.T. Wickins. 1992. Crustacean Farming. Oxford Black Well Scientific Publication. London. 8. Liu, C. K. 1989. Prawn Culture in Taiwan What Wrong?. Word Aquaculture Vol. 20(2) 19-30. 9. Pescod. 1973. Manual and Pond Culture of Penaeid Shrimp. ASEAN National Coordinating Agency of the Philiphines Ministry of Foreign Affairs. Manila. Philipines. 10. Semeru dan S. Anna. 1999. Pakan Udang Windu (Penaeus monodon). Kanisius. Bandung. 11. Catedral, EFD, Gerachi AT. Quibuyer and CM. Casal Mit. 1977. Effect of Nitrit, Amoniak and Temperatur on Penaeus monodon Larvae. SEADEC. Quartely Res Report I (3) : 9-12.
Pinandoyo1 et al.
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
PROFIL HISTOPATOLOGI KERAPU TIKUS (Cromileptes altivelis) YANG DISTIMULASI JINTAN HITAM (Nigella sativa) DAN DIINFEKSI Viral Nervous Necrosis (VNN) Septi Diana Sari1 · Wardiyanto2 · Agus Setyawan2
Ringkasan Black cumin (Nigella sativa) has been used as an immunostimulant in humpback grouper (Cromileptes altivelis) was infected with Viral Nervous Necrosis (VNN). The addition of 7,5% black cumin in fish feed showed to increase innate immune responsee of humpback grouper. However, then was unknown histopathology effect forward black cumin administration in fish. This research purpose was to know profile of histopathological humpback grouper stimulated black cumin and infected VNN. Fish was organized in five tanks based on treatment i.e control, VNN infected fish, and VNN infected fish with additional 2,5 %, 5 %, and 7,5 % black cumin in fish feed. Then was five organs i.e brain, eyes, kidney, liver, and gills, that observed each fish sample. Result of this research showed that the addition of black cumin, was not affect histopathology profile in humpback grouper that infected with VNN. Keywords humpback grouper, black cumin, VNN, histopathology Received: 28 April 2014 Accepted: 24 Juli 2014 1 )Alumni
Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung 2 ) Dosen Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung Alamat: Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Unila Jl. Prof. S. Brodjonegoro No. 1 Gedong Meneng Bandar Lampung 35145 E-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN
Viral Nervous Necrosis (VNN) adalah jenis virus Nodaviridae yang menyerang kerapu, terutama pada stadia larva dan benih. VNN dapat menyebabkan kematian massal hingga mencapai 100% pada stadia larva [1]. [2] menyatakan bahwa Viral Nervous Necrosis (VNN) dapat menyebabkan kematian karena virus ini merusak saraf sentral pada ikan, sehingga berbagai rangsangan tidak mampu direspon dan keseimbangan dalam bergerak terganggu sehingga sulit berenang dan akhirnya ikan mengalami kematian. Salah satu cara untuk mengatasi masalah kerapu yang terinfeksi virus adalah dengan perbaikan nutrisi dengan memanfaatkan respon imun yang terdapat pada tubuh ikan [3]. Ekstrak-ekstrak herbal saat ini banyak dipergunakan untuk stimulan, salah satunya adalah jintan hitam (Nigella sativa). Banyaknya jintan hitam yang diperjualbelikan di pasaran dapat dijadikan sebagai alternatif imunostimulan untuk menanggulangi VNN. Penggunaan imunostimulan pada benih kerapu dapat meningkatkan kekebalan terhadap infeksi VNN, terutama dalam peningkatan respon imun non-spesifik [4]. Pemanfaatan jintan hitam sebagai imunostimulan dapat menurunkan mortalitas rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) terhadap serangan patogen [5].
208
Pemeriksaan histopatologi dilakukan melalui pemeriksaan terhadap perubahan-perubahan abnormal pada tingkat jaringan. [6] menyatakan bahwa kelebihan pemeriksaan histopatologi dalam mendiagnosa penyakit infeksi adalah untuk mengetahui penyebab infeksinya, klasifikasi penyakit berdasarkan waktu dan distribusi penyakit serta terdeteksinya penyakit infeksi pada ikan-ikan yang tidak menunjukkan gejala klinis. [7] menyatakan bahwa virus menyebabkan perubahan karakteristik selama replikasi saat menginfeksi sel. Gambaran dari infeksi virus, baik dalam sel maupun jaringan dapat menunjukkan perubahan gejala serta fungsi sel dan jaringan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang difokuskan pada pengaruh penambahan jintan hitam pada konsentrasi yang berbeda pada kerapu tikus yang diinfeksi VNN terhadap perubahan struktur jaringannya. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung. Penelitian ini terdiri dari 4 perlakuan yaitu dengan penambahan jintan hitam dalam pakan dengan konsentrasi yang berbeda per-kg pakan (0; 2,5; 5; 7,5%), dimana setiap bak perlakuan terdapat 10 ekor ikan. Ikan dipelihara dengan pemberian pakan dua kali sehari pada waktu pagi dan sore hari. Pemberian jintan hitam dilakukan selama masa pemeliharaan. Pada hari ke-38 pemeliharaan dilakukan uji tantang menggunakan ekstrak VNN sebanyak 0,1 ml/ikan dengan injeksi secara intra peritoneal (i.p). Setelah diinfeksi VNN, ikan diamati gejala-gejala abnormal yang terjadi dan saat ikan mengalami moribund (sekarat), ikan dinekropsi untuk dibuat preparat histopatologi dan kemudian diamati perubahan struktur jaringan pada ikan uji. Pengamatan perubahan jaringan dilakukan pada organ otak, mata, ginjal, hati, dan insang pada tingkatan penambahan konsentrasi jintan hitam yang berbeda 0; 2,5; 5; 7,5% per-kg pakan, yang dibandingkan dengan kontrol (tanpa distimulasi jintan
Septi Diana Sari1 et al.
hitam dan diinfeksi VNN). Hasil penelitian dianalisis secara deskriptif, analisis yang dilakukan menggunakan referensi dari [8]. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil gejala klinis setelah dilakukan uji tantang mengindikasikan bahwa ikan uji terinfeksi VNN, gejala yang ditimbulkan yaitu nafsu makan menurun, menunjukkan tingkah laku berenang yang tidak beraturan atau berenang memutar (whirling), gerak renang yang pasif, dan berada di dasar kolam terlihat seperti mati. Gejala klinis yang ditimbulkan menunjukkan perbedaan pada tingkat konsentrasi pemberian jintan hitam. Otak merupakan organ target penyerangan VNN, karena akibat pelemahan saraf oleh VNN pada otak sehingga mengakibatkan gerakan renang ikan berputar-putar (whirling) [1] Pengamatan pada organ otak, diketahui bahwa kerapu tikus terinfeksi VNN karena ditemukan adanya vakuolisasi (Gambar 1). Vakuolisasi terbentuk karena terjadinya degenerasi. Degenerasi merupakan perubahan jaringan menjadi bentuk yang kurang aktif [9]. Organ mata ikan yang terserang VNN juga mengalami pelemahan saraf sehingga mengakibatkan ikan menjadi buta dan berenang abnormal [1]. Hasil pengamatan histopatologi mata (Gambar 2) ditemukan adanya kerusakan berupa vakuolisasi pada lapisan inner nuclear. Vakuola yang terbentuk kemungkinan karena mengalami oedem. Oedem merupakan keadaan abnormal pada jaringan yang bercirikan adanya rongga diantara sel atau karena penumpukan cairan di jaringan interestisial [10]. Hasil pengamatan histopatologi organ ginjal (Gambar 3), pada perlakuan A mengalami histopatologi nefritis kronis (peradangan pada glomerulus) ditandai dengan adanya infiltrasi sel limfosit. Infiltrasi limfosit merupakan penimbunan bahan patologis dalam jaringan atau sel yang tidak normal atau dalam jumlah yang berlebihan [11]. Penimbunan bahan patologis yang berlebihan mengakibatkan inflamasi atau reaksi peradangan.
profil histopatologi kerapu tikus
209
Gambar 1 Histopatologi otak kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi VNN dengan pewarnaan H-E dan perbesaran 400x. Keterangan: a. korteks, b. medulla, c. sel-sel neuroglia; 1. Vakuolisasi
Gambar 2 Histopatologi mata kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi VNN dengan pewarnaan H-E dan perbesaran 400x. Keterangan: a. pigment epithelium, b. photoreceptor layer (cones and rods), c. inner nuclear layer, d. Inner plexiform layer; 1. Vakuolisasi.
Hati merupakan organ yang memiliki banyak fungsi diantaranya adalah pembentukan dan sekresi empedu, metabolisme zatzat penting bagi tubuh, pertahanan tubuh, serta fungsi vaskuler. Berdasarkan banyaknya fungsi hati maka dengan adanya kerusakan atau kelainan pada hati akan mempengaruhi fungsi jaringan tubuh lainnya, oleh karena itu organ hati juga diamati. Hasil histopatologi organ hati (Gambar 4), sel-sel hepatosit mengalami degenerasi yang diikuti piknotik nukleus. Piknotik merupakan tahap awal terjadinya nekrosis. Sel
piknotik memiliki ciri inti yang berkerut dan berwarna gelap akibat paparan radiasi [11]. Keadaan abnormal berupa degenerasi juga terdapat pada ikan kontrol, sehingga hal tersebut mengindikasikan bahwa adanya faktor lain yang mempengaruhi selain penambahan jintan hitam dan infeksi VNN. Secara umum organ hati ikan kerapu tikus mengalami degenerasi. Jenis-jenis degenerasi pada masing-masing perlakuan berbeda, hal tersebut menunjukkan adanya tingkat kerusakan yang berbeda pada hati. Gambaran organ hati yang normal seha-
210
Septi Diana Sari1 et al.
Gambar 3 Histopatologi ginjal kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi VNN dengan pewarnaan H-E dan perbesaran 400x. Keterangan: a. Tubulus ginjal, b. Glomerulus, c. sel-sel leukosit; 1. infiltrasi sel limfosit
Gambar 4 Histopatologi hati kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi VNN dengan pewarnaan H-E dan perbesaran 400x. Keterangan: a. Inti sel hepatosit; 1. Vakuolisasi
rusnya ditandai dengan dijumpainya satu inti atau beberapa inti di tengah sel hati.
kondisi perairan tempat pemeliharaan ikan.
Insang merupakan alat respirasi pada ikan yang berhubungan langsung dengan lingkungan luar sehingga berpeluang besar terinfeksi penyakit. Hasil pengamatan histopatologi insang (Gambar 5) menunjukkan bahwa struktur jaringan insang pada kontrol, perlakuan A, B, C dan D tidak mengalami perubahan spesifik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa VNN tidak menyerang insang dan juga tidak ada masalah dengan
Berdasarkan hasil perbandingan gambaran histopatologi pada masing-masing organ tiap perlakuan, perlakuan A (penambahan jintan hitam 2,5%) menunjukkan hasil bahwa histopatologinya yang paling parah, karena hampir disetiap organ yang diamati terdapat keadaan abnormal kecuali pada insang. Perubahan abnormal yang terjadi pada perlakuan A yaitu adanya vakuola pada histopatologi organ otak dan mata.
profil histopatologi kerapu tikus
211
Gambar 5 Histopatologi insang kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang terinfeksi VNN dengan pewarnaan H-E dan perbesaran 400x. Keterangan: a. lamella primer, b. lamella sekunder.
Histopatologi pada perlakuan B (penambahan jintan hitam 2,5 %) dan C (penambahan jintan hitam 5 %) tidak terdapat perubahan yang spesifik apabila dibandingkan dengan kontrol. Namun, perlakuan C lebih baik dibandingkan dengan perlakuan B, dilihat dari perubahan struktur jaringannya.
Histopatologi pada perlakuan D (penambahan jintan hitam 7,5 %) menunjukkan bahwa struktur jaringannya hampir sama dengan ikan kontrol dan menunjukkan hasil yang terbaik dibandingkan dengan perlakuan A, B, dan C. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingginya konsentrasi jintan hitam yang diberikan (2,6 % - 7,5%) tidak memberikan dampak kerusakan pada struktur jaringan organ, bahkan hasil profil histopatologi yang terbaik ditunjukkan pada perlakuan D. Jadi, secara berurutan tingkat kerusakan terendah dari hasil gambaran histopatologi adalah perlakuan D, perlakuan C, dan perlakuan B. Sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh [12], hasil pengamatan histopatologi hepatosit pada tikus putih yang diberi jintan hitam dengan dosis 500 – 1.500 mg/kgBB selama 21 hari, hasilnya tidak ada perubahan secara signifikan. Tingkat kerusakannya yang terjadi dapat dikendalikan karena banyak kandungan jintan hi-
tam yang melindungi hati dari kerusakan yang lebih parah. Pustaka 1. Putri, R., U. Yanuhar dan A. M. Suryanto. 2013. Perubahan Struktur Jaringan Mata dan Otak pada Larva Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) yang Terinfeksi Viral Nervous Necrosis (VNN) dengan Pemeriksaan Scanning Electron Microscope (SEM). MSPi Student Journal 1: 1-10. 2. Prayitno, S. 2002. Peran Budidaya Perairan Khususnya Penanganan Penyakit Ikan dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Semarang: Universitas Diponegoro. 3. Suprayudi, M.A., L. Indriastuti dan M. Setiawati. 2006. Pengaruh Penambahan BahanBahan Imunostimulan dalam Formulasi Pakan Buatan terhadap Respon Imunitas dan Pertumbuhan Ikan Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis. Jurnal Akuakultur Indonesia 5: 7786. 4. Roza, D., F. Johnny dan Tridjoko. 2006. Peningkatan Respon Imun Non-Spesifik Benih Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis dengan Imunostimulan dan Bakterin terhadap Infeksi Viral Nervous Necrosis (VNN). Jurnal Perikanan 8: 25-35. 5. Dorucu, M., S. Ozesen Colak, U. Ispir, B. Altinterim and Y. Celayir. 2009. The Effect of Black Cumin Seeds, Nigella sativa, on the Immune Response of Rainbow Trout, Oncorhynchus mykiss. Mediterranean Aquaculture Journal. Vol. 2(1); 27-33. 6. Purivirojkul, W. 2012. Chapter 9: Histological Change of Aquatic Animals by Parasitic Infection. Diakses melalui http://dx.doi.org/10.5772/52769 InTech, pada tanggal 20 Desember 2013.
212 7. Gupta, E., P. Bhalla, N. Khurana and T. Singh. 2009. Histopathology for the diagnosis of infectious diseases. Indian Journal of Medical Microbiology 27: 100-106. 8. Genten, F., E. Terwinghe and A. Dangui. 2009. Atlas of Fish Histology. Science Publishers. USA. 9. Tavernarakis, N and M. Driscoll. 2001. Cell/Neuron Degeneration. Academic Press. USA. 10. Robinson, A. 2012. Oedema (Swelling). Egton Medical Information Systems Limited (EMIS). Article patient. Diakses tanggal 12 Desember 2013 melalui http:// patient.co.uk/health/oedema-swelling.pdf. 11. Mitchell, R.N. 2006. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran Edisi 7 (Pocket Companion to Robbins & Cotran Pathologic Basis of Disease 7 edition). EGC Medical Publisher. Jakarta. 12. Tamad, F.S.U., Z.S. Hidayat, dan H. Sulistyo. 2011. Gambaran Histopatologi Hepatosit Tikus Putih Setelah Pemberian Jintan Hitam selama 21 hari (Subkronik). Mandala of Health. Vol 5(3). Diakses tanggal 12 Desember 2013 melalui http://kedokteran.unsoed.ac.
Septi Diana Sari1 et al.
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
POLA PERTUMBUHAN DAN REPRODUKSI IKAN LUMO (Labiobarbus ocellatus) DI SUNGAI TULANG BAWANG PROVINSI LAMPUNG Alwan Tholifin1 · Berta Putri2 · Rara Diantari2 · Indra Gumay Yudha2
Ringkasan Lumo (Labiobarbus ocellatus) is one of consumption fish that available throughout the year at Tulang Bawang river.The constrains to local fish populations is reducing fish stocks by fisherman. Information about growth and reproduction of lumo is necessary to support the management of fish resources. The research was conducted on April until December 2013. The samples were collected from 4 stations and from the fisherman who landed at fish market The parameters that were measured included of the length and weight, the gonade somatic level, the gonade somatic index and fecundity. Fish samples were used for this study is 893 fish. The result showed that lumo spawned from November to Desember and categorized as total spawner. The gonade maturity index varied from 2.22 to 7.27%, fecundity ranged from 424 to 24.491 eggs, the sex ratio of lumo is unbalanced.The growth pattern were positive allomatric and condition factor is <1 in which showed lumo in Tulang Bawang river is flat.
1 )Alumni
Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung 2 ) Dosen Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung Alamat: Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Unila Jl. Prof. S. Brodjonegoro No. 1 Gedong Meneng Bandar Lampung 35145 E-mail:
[email protected]
Keywords native fish, Labiobarbus, Sumatra, growth, reproduction, Tulang Bawang Received: 28 Mei 2014 Accepted: 12 Juni 2014
PENDAHULUAN Tulang Bawang memiliki sungai dengan panjang ± 136 km dan daerah aliran sepanjang 884,5 km dengan catchment area 1.285 km2, sungai tersebut merupakan salah satu sungai terpanjang di Lampung [1]. Ekosistem sungai Tulang Bawang, kompleks dengan sungai, anak sungai dan rawa yang mempunyai fungsi sebagai habitat ikan.Bagian pinggir anak sungai dan lubuk digunakan ikan sebagai tempat berlindung dan mencari makan serta digunakan ikan sebagai tempat memijah [2]. Diantara ikan yang terdapat di sungai Tulang Bawang terdapat beberapa jenis ikan dari genus Labiobarbus famili Cyprinidae yang secara umum dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai lumo (Labiobarbus ocellatus). Lumo dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebagai ikan konsumsi dan dapat pula digunakan sebagai ikan hias akuarium. Penangkapan yang berlebihan, penggunaan alat tangkap yang tidak selektif, serta adanya pencemaran perairan dikhawatirkan dapat mengancam populasi lumo. Usaha konservasi sangat perlu
Alwan Tholifin1 et al.
214
rameter yang diamati adalah aspek reproduksi ikan meliputi: Nisbah Kelamin Pengamatan nisbah kelamin ikan lumo dengan cara membandingkan jumlah ikan jantan dan betina, dengan rumus [3]; Gambar 1 Lokasi pengambilan sampel (sumber: http://arkeologilampung.blogspot.com)
X=
dilakukan dalam upaya pemanfaatan sumber daya perairan sungai yang berkelanjutan. Usaha tersebut akan lebih terarah dan berhasil secara maksimal, apabila informasi mengenai lumo dikaji lebih rinci. Salah satu informasi yang sangat diperlukan adalah pola pertumbuhan dan reproduksi lumo, informasi ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanansehingga diharapkan kelestarian tetap terjaga dan menjadi dasar dalam pengelolaan berkelanjutan.
J B
(1)
dimana: X : Nisbah Kelamin J : Jumlah ikan kelamin jantan (ekor) B : Jumlah ikan kelamin betina (ekor) Selanjutnya dilakukan uji keseimbangan nisbah kelamin menggunakan uji Chi-square (α = 95%), dengan rumus :
χ2 =
(oi − ei )2 ei
(2)
dimana : MATERI DAN METODE
χ2 : Nilai hitung peubah acak χ2 oi : jumlah frekuensi ikan jantan dan betina ke-i
Sampel ikan diperoleh dari sungai Tulang Bawang yang ditangkap dengan menggunakan jaring insang dengan ukuran mata jaring 0,5; 1; 1,5 dan 2 inci di sepanjang titik atau stasiun yang ditebar memanjang mengikuti bibir sungai dengan kedalamam 0,5 sampai 2 m (Gambar 1). Jaring dipasang pelampung dan pemberat sehingga dapat merentang di dalam air dan dapat menjerat ikan yang melewati jaring tersebut. Selain dari hasil tangkapan sendiri, sampel didapatkan dari ikan yang ditangkap oleh para nelayan di sepanjang perairan sungai Tulang Bawang yang kemudian didaratkan di tempat pelelangan/pasar ikan setempat. Sampel ikan yang diperoleh di ukur panjang total dan beratnya. Preservasi sampel gonad menggunakan formalin 10%. Pa-
ei : jumlah frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina ke-i Hipotesis : H0 = Jumlah ikan jantan dan betina tidak berbeda nyata H1 = Jumlah ikan jantan dan betina berbeda nyata
Tingkat Kematangan Gonad Ciri-ciri morfologis ikan Cyprinidae matang gonad dapat dilihat dengan mengamati bentuk, warna, dan ukuran testis serta ovarinya.
pola pertumbuhan dan reproduksi ikan lumo
215
Indeks Kematangan Gonad
Faktor Kondisi
Indeks kematangan dihitung dengan membandingkan bobot gonad dan bobot ikan [3];
Berdasarkan [3], Faktor kondisi (K) berdasarkan pada panjang dan berat ikan contoh dapat dihitung dengan rumus :
IKG =
Bg x 100% Bt
(3)
KN =
W aLb
(6)
dimana :
dimana :
Kn : faktor kondisi
IKG : Indeks Kematangan Gonat (%)
W : berat rata-rata ikan satu kelas (gram)
Bg : Berat gonad ikan (gram)
L : panjang total rata-rata satu kelas (mm)
Bt : Berat tubuh ikan (gram)
a dan b : konstanta dari regresi
Fekunditas Fekunditas ikan ditentukan dengan metode gravimetrik dan dihitung dengan rumus sebagai berikut [3]: F =
G xN g
(4)
dimana : F : fekunditas G : berat gonad total (gram) g : berat gonad contoh (gram) N : jumlah telur contoh (butir)
Hubungan Panjang – Berat Ikan Hubungan panjang – berat ikan dinyatakan dalam bentuk rumus yang dikemukakan oleh [3]: W = aLb dimana ; W : Berat total ikan (gram) L : Panjang total ikan (mm) a dan b konstanta
(5)
HASIL DAN PEMBAHASAN Lumo mempunyai ciri-ciri morfologi sebagai berikut: tubuh relatif panjang yaitu 100 – 219 mm. Jumlah sisik linea lateralis ± 40 – 44 buah, jari-jari sirip punggung berjumlah ± 25-26 buah, sisik sirip punggung bagian depan berjumlah ± 12-13 buah, setiap gill rakers memiliki helai insang ± 3545 buah, jumlah sisik pada sirip ekor bagian bawah ± 22 buah, dan memiliki ciri yang sangat khas yaitu ada bercak hitam di ujung depan dan belakang garis linea lateralis. Memiliki sirip punggung, sirip dada, sirip perut dan sirip dubur. Rahang bawah lebih pendek daripada rahang atas. Mulut kecil dan kedua rahang tidak memiliki gigi (Gambar 2). Ikan ini bersifat herbivor [4]. Berdasarkan pengamatan morfologi, menunjukkan bahwa panjang tubuh lumo 3-4 kali dari tinggi badan sedangkan tinggi badan 2-3 kali dari tebal badan, sirip dorsal - (D.III.12-15), sirip anal (A.III.5), sirip pectoral - (P.I.16-17), sirip caudal - (C.VIII.2.12). Warna tubuh putih keperakan dengan ciri khas yaitu bintik hitam pada belakang operkulum (penutup insang) dan pangkal ekor yang berada pada garis linea lateralis (Gambar 2.). Lumo memilik bentuk mulut yang meruncing dengan moncong terlipat, serta bentuk tubuh pipih memanjang. Bentuk pipih
216
Alwan Tholifin1 et al.
Gambar 3 Rerata ukuran panjang lumo (Labiobarbus ocellatus) selama penelitian.
Gambar 4 Rerata ukuran berat lumo (Labiobarbus ocellatus) selama penelitian
pada ikan memudahkan ikan dalam mencari makanan dan menghindar dari predator serta dapat berenang cepat meski arus air cukup kuat [5] (Gambar 2). Perbedaan jantan dan betina pada lumo dapat dilihat secara visual dengan melihat bagian alat kelaminnya. Lumo jantan memiliki bentuk kelamin yang panjang dan menonjol keluar sedangkan betina memiliki bentuk bulat yang melebar. Perbedaan antara ikan jantan dan betina pada Cyprinidae dapat dilihat dari ukuran kepala, bentuk kepala, bentuk tubuh,serta bentuk dan ukuran alat kelamin [6].
Gambar 5 Hubungan panjang-berat lumo (Labiobarbus ocellatus) di sungai Tulang Bawang
Lumo yang diamati selama penelitian dari April sampai dengan Desember berjumlah 893 ekor terdiri atas 491ekor jantan dan 402 ekor betina. Model yang digunakan daalam perhitungan pertumbuhan panjang dan berat adalah menggunakan model Von Bartalanffy Plot (VBP) dengan hasil, rerata panjang lumo setiap bulan mengalami peningkatan dari 124,5 mm sampai 205,5 mm, serta rata-rata berat yang semula 13,64 gr sampai 107,06 gr (Gambar 3; Gambar 4).Pertumbuhan lumo mengalami penurunan yaitu di Juli menjadi 138,5 mm dan 21,27 gr. Keadaan tersebut kemungkinan besar terjadi karena di Juli ketersediaan makanan tidak melimpah seperti bulan sebelumnya. Selain makanan, lingkungan, kualitas air dan kedalaman juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan, hal tersebut sesuai dengan pernyataan [7] bahwa indikator yang mempengaruhi pertumbuhan adalah faktor jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, kualitas air, umur dan organisme serta kematangan gonad. Pertumbuhan panjang ikan pada setiap umur berbeda, ikan muda akan memiliki pertum-
buhan yang relatif cepat, sedangkan ikan dewasa akan semakin lambat, untuk selanjutnya akan terhenti pada saat mencapai panjang maksimal [6]. Hasil regresi hubungan panjang dan berat lumo secara keseluruhan adalah y = 0,149x3,967 (Gambar 5). Persamaan tersebut memperoleh nilai b sebesar 3,967 yang menunjukkan bahwa tipe pertumbuhan lumo adalah allometrik positif, dimana laju pertumbuhan berat lumo lebih cepat dibandingkan dengan laju pertumbuhan panjang. Hasil analisis hubungan panjang dan berat menunjukkan nilai koefisen determinasi yang besar yaitu R² = 0,542 atau 54,2% (Gambar 5). Nilai koefisien determinasi (R2) menjelaskan besarnya pengaruh dari panjang terhadap berat ikan. Khusus lumo, panjang total tubuhnya mendukung berat tubuh sebesar 54,2%. Nilai koefisien korelasi (r) yang didapat adalah sebesar 0,73. Nilai korelasi yang cukup tinggi tersebut memperlihatkan bahwa panjang total tubuh sangat mempengaruhi berat total tubuh lumo, artinya semakin panjang total tubuh ikan maka akan semakin bertambah berat total tubuhnya. Nilai faktor kondisi lumo secara keseluruhan ialah 0,896 atau < 1, hal tersebut menunjukkan bahwa lumo memiliki bentuk tubuh yang kurus atau pipih (Gambar 6).
pola pertumbuhan dan reproduksi ikan lumo
217
Gambar 2 Morfologi lumo (Labiobarbus ocellatus)
Gambar 6 Faktor kondisi lumo (Labiobarbus ocellatus) di sungai Tulang Bawang Tabel 1 Nisbah kelamin Lumo (Labiobarbus ocellatus) di sungai Tulang Bawang Bulan
Jantan
Betina
Perbandingan
April
88
69
1,2 : 1
Mei
63
53
1,1 : 1
Juni
21
27
0,7 : 1
Juli
32
27
1,2 : 1
Agustus
41
36
1,1 : 1
September
55
43
1,2 : 1
Oktober
114
92
1,2 : 1
November
49
37
1,3 : 1
Desember
28
18
1,5 : 1
Menurut [8], selain menggambarkan kondisi aktivitas reproduksi, nilai faktor kondisi juga menggambarkan kondisi kelimpahan makanan di alam.Semakin tinggi nilai faktor kondisi menunjukkan adanya kecocokan antara ikan dengan lingkungannya. Berdasarkan hasil tangkapan selama penelitian dapat dikatakan bahwa ikan berkelamin jantan lebih banyak daripada ikan berkelamin betina (Tabel 1). Nilai nisbah kelamin yang lebih dari satu, menurut [9] bahwa nisbah kelamin yang ideal seharusnya adalah 1:1. Akan tetapi sering kali terjadi penyimpangan dari pola 1:1, antara lain karena adanya perbedaan pola tingkah laku bergerombol antara jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas, pertumbuhan, penyebaran ikan jantan dan betina
Gambar 7 Nilai indeks kematangan gonad (IKG) lumo (Labiobarbus ocellatus).
yang tidak merata, kondisi lingkungan serta faktor penangkapan. Berdasarkan nilai uji Chi-square didapatkan hasil χ2 hitung > χ2 tabel yang berarti tolak H0 terima H1 dimana jumlah ikan berkelamin jantan dengan jumlah ikan berkelamin betina berbeda nyata atau tidak seimbang (tidak mengikuti pola 1:1). Menurut [10] dalam mempertahankan kelangsungan hidup suatu populasi, perbandingan jantan dan betina diharapkan berada dalam kondisi seimbang dan setidaknya ikan betina lebih banyak. Lumo dengan tingkat kematangan gonad (TKG) IV banyak ditemukan pada November yaitu sebesar 22 ekor, sedangkan yang paling rendah terdapat pada April – September. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa lumo sedang tidak dalam masa produktif untuk melakukan pemijahan. Memasuki Oktober banyak ditemukan ikan dengan TKG II dan III, kondisi tersebut menunjukka nlumo sudah memasuki fase pemijahan.Pada November, lumo yang ditemukan keseluruhan berada pada TKG IV kemudian pada Desember jumlah ikan dengan TKG IV berkurang. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pada November lumo berada pada puncak musim pemijahan dan memijah secara keseluruhan (Tabel 2). Perbedaan tingkat kematangan go-
Alwan Tholifin1 et al.
218
893 31 4 4 364 0 0
27
483
Desember
Total (ekor)
8
86
46 5 1 1 12 * *
206
49 Nopember
*
22
4 3
0 0
2 83
15 *
* *
*
106 Oktober
*
55 September
8
77
98 * * * 43 * *
59
41
*
* * 1 35 * *
48
Agustus
*
* * * 27 * * 32 Juli
*
116 *
* *
* *
* 27
53 *
* *
* *
Juni
*
63
21
Mei
* * * 69 * *
3 2 3 2
* 88 April
Bulan
1
Jantan
4
TKG
1
Betina
4
157
Total (ekor)
Tabel 2 Frekuensi lumo (Labiobarbus ocellatus) berdasarkan tingkat kematangan gonad (TKG) menurut bulan pengambilan sampel.
nad setiap spesies ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor eksternal dan faktor internal, faktor eksternal meliputi curah hujan, suhu, sinar matahari, tumbuhan, dan ketersediaan makanan sedangkan faktor internal meliputi tersedianya hormon steroid dan gonadotropin [11]. berkaitan dengan nilai IKG yang terbesar juga ditemukan pada November. Indeks kematangan gonad akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan TKG dan berat gonad ikan tersebut.Berat gonad akan mencapai maksimum pada saat ikan akan memijah, dan menurun dengan cepat selama pemijahan berlangsung sampai pemijahan selesai [3]. Nilai fekunditas lumo terbesar adalah 24.491butir yang berada pada TKG IV dengan berat tubuh 141,06 gr dan panjang tubuh 223 mm. Nilai fekunditas terkecil adalah 424 butir yang berada pada TKG III dengan berat tubuh 47,68 gr dan panjang tubuh 174 mm. Selama penelitian terdapat beberapa ikan yang ukurannya besar dengan fekunditas kecil. Berlawanan pula, lumo yang
panjang totalnya kecil fekunditasnya besar. Perbedaan ini sesuai dengan [12] bahwa ikan dengan ukuran yang sama memilki fekunditas berbeda. Nilai b dari hubungan fekunditas dengan berat tubuh adalah 1,816 dengan nilai koefisien determinasi sebesar 64,2% serta nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,801 yang menunjukkan bahwa hubungan antara fekunditas dengan berat tubuh sangat erat (Gambar 8). Nilai fekunditas dengan panjang tubuh menghasilkan nilai b 5,821. Nilai ini menunjukkan bahwa hubungan antar fekunditas dengan panjang tubuh cukup erat, sebab nilai koefisien korelasi mencapai 0,73 atau mendekati 1, meskipun hanya 54,8% dari keragaman nilai fekunditas lumo yang dapat dijelaskan oleh panjang tubuh. [13] menyatakan bahwa pertambahan panjang tubuh ikan cenderung tidak menambah fekunditas dan bahkan relatif tetap. Korelasi fekunditas dengan bobot total lebih tinggi dibandingkan dengan panjang total. Pustaka 1. Hasyim, H. dan Nurbaya, S. 1997. Menyelami Tulang Bawang. Tulang Bawang Enterprise bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Lampung. Lampung. 2. Hartoto L, Judoamidjojo RM, dan Said EG. 1998. Biokonversi. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi. 3. Effendie, M. I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. 4. Rainboth, W.J. 1996. Fishes of the Cambodian Mekong. Rome. 109-110. 5. Iqbal, B.A. 2008. Ikhtiologi Ikan dan Aspek Kehidupannya. Yayasan Citra Emulsi. Makassar. 6. Rizal, D. A. 2009. Studi Biologi Reproduksi Ikan Senggiringan (Puntius johorensis) di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi, Sumatera Selatan.Skripsi.Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.Institut Pertanian Bogor. 7. Sparre, P., E. Ursin and S.C. Venema. 1989. Introduction to Tropical Fish Stock Assessment.Part 1 – Manual.FAO Fish.Tech. Pap.(306/1) : 337 pp. 8. Weatherley, A.H., dan H.S. Gill. 1987. The Biology of Fish Growth. Academic Press, London, U.K. 443p. 9. Ball, D. V. and K. V. Rao. 1984. Marine Fisheries. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited. New Delhi. 250 hal.
pola pertumbuhan dan reproduksi ikan lumo 10. Sofiah, S. 2003. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Ikan Butini (Glossgobius matanensis Weber) di Danau Towuti, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Utara.Skripsi. Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.IPB. 11. Wahyuningsih, H dan T. A. Barus. 2006. Buku Ajar Iktiologi. Departemen Biologi FMIFA USU. Sumatera Utara. 149 hal. 12. Fatimah L. 2006. Beberapa Aspek Reproduksi Ikan Kresek (Thryssa mystax ) Pada Bulan Januari-Juni di Perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 56 hlm. 13. Nasution, H. S. 2004. Karakteristik Reproduksi Ikan Endemik Rainbow Selebensis (Telmatherine celebensis B).Makalah pengantar falsafah sains.Institut Pertanian Bogor.
219
220
Alwan Tholifin1 et al.
Gambar 8 Hubungan fekunditas dengan berat tubuh (a) dan panjang tubuh (b) lumo (Labiobarbus ocellatus).
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
PENGARUH PERTUMBUHAN, LEMAK DAN PROFIL ASAM AMINO ESSENSIAL Skeletonema costatum DALAM KULTUR MASSAL MENGGUNAKAN MEDIA KULTUR TEKNIS YANG BERBEDA Vivi Endar Herawati1 · Johannes Hutabarat1
Ringkasan Skeletonema costatum adalah pakan alami yang banyak digunakan khusunya dalam budidaya udang, kandungan gizi yang tinggi, ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut larva merupakan keunggulan dari Skeletonema costatum. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan perbedaan media kultur teknis (Walne dan Guillard) secara massal pada Skeletonema costatum terhadap pertumbuhan, lemak dan profil asam amino essensial. Metoda kultur yang digunakan adalah secara massal dengan dua media kultur teknis yang berbeda (Double Walne dan Guillard teknis), analisis lemak dilakukan dengan analisa proksimat dan profil asam amino essensial menggunakan HPLC Eurospher 100-5 C18, 250 x 4,6mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media kultur yang terbaik adalah Guillard teknis dimana pertumbuhan pada Skeletonema costatum yaitu 86,75 x 104sel/ml dengan lama fase stasioner 52 jam, lemak 7,74%, profil asam amino essensial tertinggi pada Skeletonema costatum, yaitu asam amino Threonin yaitu 2359,05 ppm. Keywords Skeletonema costatum, Media kultur teknis Guillard dan Double Walne, Pertumbuhan, lemak dan asam amino essensial, Kultur massal 1 )Program
Studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Jl Prof Soedharto, Semarang 50275 E-mail:
[email protected]
Received: 25 Juni 2014 Accepted: 12 Juli 2014
PENDAHULUAN Pakan alami sebagai penunjang budidaya ikan dan sekaligus sebagai faktor pendukung keberhasilan budidaya semakin giat dibudidayakan [1]. Pakan alami sendiri merupakan pakan hidup yang berasal dari alam. Skeletonema costatum adalah diatom yang merupakan sumber pakan alami bagi larva ikan dan sangat baik untuk udang [2]. Hal ini karena kandungan nutrisi dan ukuran dari S. costatum sangat sesuai dengan bukaan mulut terutama larva udang stadia naupli sampai dengan mysis. S. costatum adalah diatom berbentuk rantai dengan ukuran sel berkisar antara 4-15 µm [2]. Kelebihan dari ditom memiliki nilai nutrisi yang tinggi dengan kandungann protein berkisar antara berkisar 21,63 - 32,05% [3] dan [4]. Kebutuhan larva khususnya udang akan S. costatum sebagai sumber pakan alami dalam jumlah yang banyak, oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan pakan alami tersebut kultur dalam skala massal S. costatum sangatlah mutlak untuk menunjang suatu usaha perbenihan khususnya udang. Kebutuhan S. costatum sebagai pakan alami dalam kegiatan pembenihan dibutuhk-
222
an dalam jumlah yang besar, maka diperlukan suatu kultur masal dengan kepadatan yang tinggi dalam waktu yang lebih pendek. Selain untuk mendapatkan kelimpahan sel yang tinggi, maka dalam kultur masal diharapkan pula memperoleh kandungan nutrisi maksimal melalui lemak dan profil asam amino essensial. Dalam rangka memperoleh pertumbuhan dan nutrisi yang baik, diperlukan media yang sesuai. Media kultur yang sering digunakan untuk mengkultur diatom adalah Guillard [5]; [6]; [7] dan double Walne [8]; [9]; [3]. Modifikasi media Walne (double Walne dan penambahan silikat) mampu meningkatkan pertumbuhan jumlah sel S. costatum 3-4 kali lipat [8] dan memacu pertumbuhan 4-5 kali lipat [3]. Pada penelitian ini dikaji secara lebih mendalam tentang penggunaan perbedaan media kultur teknis (Walne yang dimodifikasi dan Guillard) terhadap pertumbuhan, lemak dan profil asam amino essensial Skeletonema costatum yang dikultur secara massal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan perbedaan media kultur teknis double Walne dan Guillard dalam kultur massal terhadap pertumbuhan, lemak dan profil asam amino essensial Skeletonema costatum dalam dua media kultur teknis yang berbeda.
Vivi Endar Herawati1 , Johannes Hutabarat1 Tabel 1 Media kultur teknis double Walne dan Guillard yang digunakan untuk mengkultur S. costatum Komposisi
Walne (gram)
Guillard (gram)
Larutan nutrien: NaH2 PO4 .2H2 O NaNO3 Na2 EDTA Na2 SiO3
20
10
100
84,2
5
10
40
50
0,36
0,36
FeCl3
1,3
2,9
H3 BO3
10
-
1000 ml
1000 ml
MnCl2 .H2 O
Akuades Larutan Trace metal: ZnCl2
21
-
2
2
(NH4 )8 .Mo8 O24 .4H2 O
0,9
1,26
CuSO4 .7H2 O
20
1,96
3,15
3,15
CoCl2 .6H2 O
FeCl3 .6H2 O Akuades
100 ml
Vitamin: Vitamin B12
0,1
Thiamin
20
0,01 0,2
Biotin
0,1
0,01
Tabel 2 Kualitas air media kultur penelitian Parameter
Guillard
Walne
Pustaka
pH
8,31
8,17
7,2-8,5∗
DO
2,96
2,96
2,00 – 4,00∗∗
Suhu
30,20
30,53
25-31∗∗∗
Salinitas 25-28 25-28 17-30∗∗∗∗ Ket. :∗ [5] ; [7]∗∗ [5] ∗∗∗ [11]; [7] ∗∗∗∗ [11]; [12]
MATERI DAN METODE Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit Skeletonema costatum Media Kultur uji yang digunakan adalah pupuk Walne [6] dengan menggunakan komposisi double Walne dengan penambahan silikat [7] dan Guillard teknis [6]. Alat- alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah autoklaf, haemocytometer, bak fiber volume 2 ton, lux meter, water quality checker, mikroskop, planktonet, batu dan selang aerasi, elemeyer, HPLC Eurospher 100-5 C18, 250x4,6mm untuk analisa asam amino essensial. Bibit Diatom diperoleh dari biakan murni Laboratorium Pakan Alami BBPBAP Jepara. Sebelum ditanam bibit S. costatum
di aerasi selama 15 menit agar tidak mengendap. Bibit S. costatum kemudian ditanam dengan kepadatan awal 50.000 sel/mL. Media kultur yang digunakan dalam penelitian ini adalah media kultur double Walne dan Guillard teknis untuk mengkultur secara massal Chaetoceros calcitrans dan S. costatum tersaji dalam tabel 1. Air media yang digunakan kultur dipersiapkan pada salinitas 28 ppt [9]. Kondisi lingkungan kultur tersaji dalam tabel 2. Adapun tahap pelaksanaan penelitian yaitu membuat media dengan cara mencampur semua bahan kecuali vitamin, kemudian distirer hingga homogen. Setelah itu media di autoclave selama 2 jam. Menghitung volume media uji perlakuan, yai-
pengaruh pertumbuhan, lemak dan profil asam amino
223
tu masing-masing 1500L untuk setiap perlakuan yang terdiri dari campuran pupuk dan air laut steril. Jumlah bibit yang diinginkan untuk penebaran awal dihitung dengan menggunakan rumus pengenceran bibit sebagai berikut [2] : V1 x N1 = V2 x N2
(1)
dimana: V1 : Volume bibit yang diperlukan untuk penebaran awal V2 : Volume air media yang akan ditebari bibit N1 : Jumlah stock S. costatum N2 : Jumlah S. costatum yang diingiinkan. Setelah kepadatan awal diketahui, menghitung volume larutan stok kultur yang harus dimasukkan ke dalam media 1 L agar didapat kepadatan sel awal 50.000 sel/mL. Menghitung jumlah kepadatan dengan Haemocytometer dan pengamatan dilakukan setiap 4 jam untuk S. costatum. Pemanenan S. costatum dilakukan dengan cara mengangkat aerasi kemudian disaring menggunakan planktonet, sehingga mendapatkan hasil panen S. costatum dikeringkan sehingga berbentuk serbuk. Lemak dianalisis proksimat dengan menggunakan metode AOAC (1990) [4]. Analisis asam amino essensial dengan menggunakan HPLC dilakukan di Laboratorium Pengembangan dan Penelitian dan Pengujian Terpadu GajahMada, Yogyakarta, mengikuti prosedur LPPT Yogyakarta. Sampel ditimbang sampel ± 2,5 gram; dimasukkan dalam tabung reaksi kaca tertutup kemudian ditambahkan 15 ml HCl 6N, divortek hingga homogeny selanjutnya dihidrolisis menggunakan autoklaf pada suhu 110ºC selama 12 jam kemudian didinginkan pada suhu ruang, lalu dinetralkan dengan NaOH 6N. Tambahkan 2,5 ml Pb Acetat 40 % dan 1 ml asam oksalat 15 %, Ditepatkan 50,0 mL menggunakan aquabidest. Selanjutnya diambil ± 3 ml saring millex 0,45. Untuk injeksi ke HPLC diambil larutan yang telah dimillex sebanyak 25 µl + 475µL lar.OPAA,
Gambar 1 Pertumbuhan S. costatum dalam media kultur double Walne dan Guillard. [2]
vortek. Direaksikan selama 3 menit. Kemudian diinjeksikan 30 µL ke HPLC. Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji T, hal ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan kultur dengan menggunakan media kultur teknis double Walne dan Guillard teknis terhadap pertumbuhan S. costatum.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Salah satu tujuan kultur algae adalah untuk mendapatkan kelimpahan sel yang tertinggi dengan kandungan nutrisi optimal [13], hal ini dikarenakan pakan alami merupakan pakan mutlak yang diberikan pada larva ikan dan udang karena kandungan nutrisi yang terdapat dalam pakan alami tidak dapat digantikan oleh pakan buatan apapun. pertumbuhan S. costatum hasil penelitian disajikan pada Gambar 1. Adapun fase pertumbuhan S. costatum dalam media kultur teknis yang berbeda untuk tiap fase tersaji pada tabel 3. Pertumbuhan S. costatum dalam media kultur double Walne lebih cepat dibandingkan dalam media kultur teknis Guillard, hal ini dikarenakan kepekatan media kultur double Walne lebih pekat dibandingkan dengan media kultur Guillard. Penelitian [13], menyatakan bahwa kepekatan media kultur berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya masa pertumbuhan mikroalga apabila tidak ada perbedaan media kultur maka pertumbuhan microalgae akan berjalan dengan cepat sebaliknya apabila ada perbe-
Vivi Endar Herawati1 , Johannes Hutabarat1
224
Tabel 3 . Fase pertumbuhan S. costatum dalam media kultur teknis Walne dan Guillard Perlakuan
Fase Lag (Sel/ml) ± sd
Fase Eksponensial (Sel/ml) ± sd
Fase Stasioner(Sel/ml) ± sd
Fase Kematian (Sel/ml) ± sd
Media Guillard
48,00 x 104±0,018b
70,25 x 104 ±0,020 b
86,75 x 104±0,022b
6,70 x 104±0,028b
Media Walne
117,17 x 104±0,032b
160,83 x 104±0,040b
160,83 x 104±0,040b
122,25 x 104±0,022b
keterangan : b = berbeda nyata
daan maka microalgae akan membutuhkan waktu yang lama untuk pertumbuhannya. Berdasarkan hasil uji statistik pada fase lag menunjukkan bahwa dengan media kultur teknis Walne dan Guillard berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertumbuhan S. costatum hal ini diduga karena kepekatan media kultur teknis Walne hampir sama dengan cairan sel tubuh S. costatum sehingga pertumbuhan S. costatum dalam media kultur Walne lebih cepat dibandingkan S. costatum dalam media kultur teknis Guillard dan fase lag terjadi pada pengamatan ke 6 (setelah 24 jam penanaman S. costatum dalam media kultur). Selanjutnya hasil uji statistik pada fase eksponensial menunjukkan bahwa dengan media kultur teknis Walne dan Guillard berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap pertumbuhan S. costatum hal ini diduga cairan tubuh sel S. costatum hampir sama sehingga S. costatum dalam media kultur teknis Walne lebih cepat mengalami pembelahan sel hal ini mengakibatkan pertambahan sel persatuan waktu lebih besar daripada pertambahan waktu itu sendiri dan fase eksponensial terjadi pada jam ke 28 (pengamatan 7). Berdasarkan hasil uji statistik pada fase stasioner menunjukkan bahwa dengan media kultur teknis Walne dan Guillard berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan S. costatum, Pertumbuhan S. costatum, kepadatan tertinggi terjadi pada S. costatum dalam media kultur teknis Walne, akan tetapi lama fase stasioner berlangsung bersamaan dengan fase eksponensial sehingga lama fase stasionernya tidak ada. Hal ini berbeda pada S. costatum dalam media kultur teknis Guillard yang mempunyai fase stasioner 4 jam lebih lama. Sehingga pada media kultur Guillard teknis lebih menguntungkan dalam budidaya pakan alami selain itu lamanya fase stasioner berkaitan erat dengan
penyerapan nutrient dalam media kultur oleh S. costatum Sehingga media kultur Guillard teknis adalah media kultur terbaik untuk S. costatum. Adanya perbedaan kepekatan media kultur dengan cairan sel dalam microalgae akan berpengaruh terhadap pemulihan enzym dan konsentrasi substrat ke tingkat selanjutnya untuk pertumbuhan serta masuknya unsur hara dalam sel melalui proses difusi sebagai akibat perbedaan konsentrasi antar media kultur dengan cairan tubuh. Lemak Pada tabel 4 tersaji lemak S. costatum dalam media kultur Walne dan Guillard teknis. Analisis lemak tertinggi pada fase eksponensial yaitu 7,74% dalam media kultur teknis guillard, dan pada fase stasioner akhir 3,37%. Lemak merupakan faktor yang penting dalam pertumbuhan [2]. Perbedaan kandungan nutrisi Skeletonema costatum diakibatkan karena perbedaan komposisi nutrien dalam media kultur teknis Walne dan Guillard. Nutrient yang berpengaruh terhadap perbedaan kandungan nutrisi Skeletonema costatum pada protein (asam amino) dan lemak (asam lemak) dalam media kultur teknis Walne dan Guillard adalah nitrogen dan Fe. Nitrat sebagai sumber nitrogen dalam media kultur di transport secara langsung ke dalam sel dengan adanya rangasang ATPase dari Cl, sebelum mengalami proses diasimilasi membentuk asam amino bergabung menjadi makromolekul atau protein inilah yang akan menghidrolisis lemak menjadi asam lemak dengan reaksi enzym lipase. Pernyataan ini sejalan dengan [14], bahwa nitrogen merupkan makronutrient yang dapat mempengaruhi pertumbuhan melalui kegiatan metabolisme khususnya biosintesis protein, sehingga terjadi reaksi enzyma
pengaruh pertumbuhan, lemak dan profil asam amino
225
Tabel 4 Lemak S. costatum dalam media kultur Walne dan Guillard teknis Media Walne (%) Fase Stasioner
Akhir (± sd)
Eksponensial (± sd)
Akhir (± sd)
7,74±0,040
3,37±0,034
7,14±0,035
4,45±0,043
104,98 (G)
77,19 (G) 220,9 ± 0,026
226,67 ± 0,011
41,5 (G)
23,42 (G) 61,47 ± 0,017
36,01(G) 88,36 ± 0,016
145,99 ± 0,044
72,55 (G)
288,3 (G)
19,21 (G) 51,86 ± 0,031
267 ± 0,019
2070,73 ± 0,019
60,39 (G)
Selain nitrogen perbedaan komposisi Fe dimana pada media Guillard teknis lebih banyak dibandingkan media Walne teknis berpengaruh terhadap kandungan protein dan lemak Chaetoceros sp. dan Skeletonema sp. [7], menyatakan bahwa FeCl3 (besi) memiliki kemampuan untuk mereduksi nitrat menjadi nitrit kemudian mereduksi nitrit menjadi amonium. Amonium merupakan sumber nitrogen. Nitrogen merupakan nutrien yang dibutuhkan paling banyak untuk pertumbuhan mikroalgae.
Tabel 5 Profil asam amino essensial S. costatum dalam media kultur teknis double Walne dan Guillard Selisih Nilai (ppm)
lipase yang dihasilkan protein yang kemudian dihidrolisis lemak menjadi asam lemak.
113,33 ± 0,015
Lemak
Media Guillard (%) Fase Stasioner Eksponensial (± sd)
Skeletonema sp. Walne (ppm) (± sd)
Parameter
2359,05 ± 0,018
339,55 ± 0,011
71,07 ± 0,037
124,37 ± 0,022
187,54 ± 0,019
84,89 ± 0,013
298,09 ± 0,037
331,65 ± 0,019
L-Threonine
L-Arginine
L-Methionine
L-Valine+L-Thryptophan
L-Phenylalanine
L-Isoleucine
L-Leucine
L-Lycine
Skeletonema sp. Guillard (ppm) (± sd)
173,72 ± 0,012
Komposisi asam amino dari protein diatom sangat mirip antar spesies [15] dan relatif tidak terpengaruh oleh fase pertumbuhan serta kondisi cahaya. Berdasarkan hasil penelitian asam amino tertinggi S. costatum terdapat pada media kultur Guillard teknis. Dalam penelitiannya [15], mendapatkan hasil untuk diatom berkisar 1,83 ppm 2,21 ppm, berdasarkan penelitian yang dilakukan mendapatkan hasil 2,05 ppm untuk S. costatum.
Parameter uji
Pada Tabel 5 tersaji profil asam amino essensial dimana konsentrasi total asam amino essensial S. costatum. Hasil analisis kandungan asam amino essensial pada S. costatum dilihat pada tertinggi dalam media kultur Guillard. Berdasarkan kromatogram tertinggi, yaitu Threonin S. costatum 2359,05 ppm dalam media kultur Guillard teknis dan 2070,73 ppm pada media kultur teknis Walne. asam amino essensial pada S. costatum dilihat pada kromatogram teredah yaitu Isoleucyne, yaitu 84,89 ppm dalam media kultur Guillard teknis dan 61,47 ppm pada media kultur teknis Walne.
L-Histidine
Profil Asam Amino Essensial
Dari hasil kromatogram terdapat asam amino threonin yang tertinggi, adapun fungsi dari asam amino threonin sebagai kerangka dasar senyawa vitamin karena asam nukleat yang berfungsi sebagai pengikat ion logam yang diperlukan dalam reaksi enzymatis selain itu threonin juga berfungsi membantu pencegahan penumpukan lemak [4].
226
Selanjutnya dari hasil kromatogram terdapat asam amino valin dan triptofan berikatan hal ini dikarenakan triptofan merupakan asam amino essensial yang mempunyai rantai cabang aromatik dan valin merupakan asam amino essensial yang mempunyai rantai cabang alifatis. Dua asam amino yang berikatan melalui satu ikatan peptida dengan cara melepas molekul air ini sering disebut reaksi keseimbangan lebih ke arah hidrolisis dengan tidak memerlukan energi. Asam – asam amino digabungkan oleh suatu ikatan peptida (-CONH-) dimana gugus karboksil suatu asam amino berkaitan dengan gugus amino dari molekul asam amino lain menghasilkan suatu dipeptida dengan melepaskan molekul air [16]. Dipeptida ini masih mempunyai gugus asam amino dan karboksil bebas sehingga dapat bereaksi dengan dipeptida dipeptida lain dan akhirnya memebentuk suatu molekul protein.
SIMPULAN Media kultur terbaik adalah Guillard teknis hal ini berdasarkan pada pertumbuhan, lemak da profil asam amio essensial. Acknowledgements Terima kasih disampaikan kepada Dinas Perikanan dan Kelautan Maribaya Tegal dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah atas semua fasilitas yang telah diberikan pada saat penelitian. Seluruh staf Satker PPIP Sluke Rembang yang telah banyak membantu. Ucapan terimakasih penulis ucapkan pada ibu Antik Erlina, M.Si; Siska Apriliyanti., S.Pi dan semua staf Laboratorium Pakan Alami BBPBAP Jepara.
Pustaka 1. Herawati Endar, Johannes Hutabarat, S. Budi Prayitno, Ocky Karna Radjasa, YS. Darmanto. 2013. The Profile Essential Amino Acid, Fatty Acid and The Growth of Chaetoceros gracilis Using Technical Media Culture Guillard and Double Walne. FFTC-NTOU Joint International Seminar on Integrating of Promissing Technologyfor Aquaculture and Fisheries.
Vivi Endar Herawati1 , Johannes Hutabarat1 2. Herawati V.E., Johannes Hutabarat, S.Budi Prayitno. 2012. The Effect of Essential Amino Acid Profile, Fatty Acid Profile and To Growth of Skeletonema costatum using Technical Media Culture Guillard and Double Walne. J. Coast Dev. Vol 16 (1): 48-54. 3. BBPBAP, 2010. “Pattern of Growth, Protein Content and Production Biomass Skeletonema sp At Various Levels of Gram”. Litkayasa report. BBPBAP 4. Herawati, V.E. 2013. “Analysis of Technical Culture Media Chaetoceros calcitrans and Skeletonema costatum To Improving Quality of Local Artemia salina as a Source of Natural Feeding Larvae of Shrimp Vanname (Litopennaeus vannamei).” [Disertation]. Doctoral Program. Universitas Diponegoro. Semarang. 5. Anderson R. 2005. Algal Culturing Tehniques. J. Aquat. Int. 15(4). 239-269. 6. BBPBAP. 2007. “Application Medium ’Walne’ 2 Dosage and Preparation Techniques Media On Culture Chaetoceros sp Laboratotium Scale and Semi Bulk”. Litkayasa Report. BBPBAP 7. Amsler. D. 2008. Alga Chemical Technology Department of Biology University of Alabama at Birmingham. Aquaculture 18(5): 105-116. 8. Susanto, A., E. Sutanti dan A. Basyar, 2007. Provision of plankton biomass for shrimp hatcheries and aquaculture. Reports test results. Center for Development of Brackish Water Aquaculture, Jepara 9. Rousch JM.Scott SE, Sommerfeld MR. 2008.Changes in Fatty Acids Profile of Intolerant Thermo and Tolerant Marine Diatoms During Temperature Stress.Journal Exp. Marine Biol. 39(5): 145-156 pp. 10. Abdul gani, N., Zuhdi, A. and Sukresi. 2008 Potential Skeletonema costatum and Spirulina Microalgae as biodiesel feedstock. Journal Oceatek 5. 15-21 11. Cahyaningsih, S., 2006. “Natural Forage Production Technical Instructions”. Department of Marine and Fisheries 12. Koniyo, Yuniarti. 2010. “Biology and Culture Method of Plankton For Natural Feeding Animals Water Larva”. Faculty of Sciences. UNG. 3 (2): 1-6. 13. Fogg, G.E. 1965. Algae Culture and Pytoplankton Ecology.The University of Winconsin Press. Madisson Milk. Wauhe 14. Agustini, N.W.S and Kabinawa, I. N. K. 2011. The Influence of Nitrate Concentration as a Nitrogen Resources and Culture Media Towards The Forming. Biotechnology and Research Center LIPI. Bogor 15. Brown, M.R. 2002. ”Nutritional Value and Use of Microalgae in Aquaculture.”Simposium Internasional de Nutrition Acuicola. Mexico. 16. Araujo,S and V. Garcia. 2010. “Growth and Biochemical Composition of the Diatom Chaetoceros cf. wighamii brightwell Under Different Temperature, Salinityand Carbon Dioxide Levels. 1. Protein, Carbohydrates and Lipids. J.Aquaculture. 24(6):40-48.
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
KONSENTRASI EFEKTIF (EC50 -1JAM) EKSTRAK AKAR TUBA (Derris elliptica) SEBAGAI BAHAN ANESTESI BENIH IKAN MAS (Cyprinus carpio) Affandi S Amirulloh1 · Eko Efendi2 · Mahrus Ali2
Ringkasan Tuba (Derris elliptica) root was used traditionally as a poison to fish catching. This research looks for beneficial of tuba root extract as an anesthetic for the transport of fish seed. This research aims was to explore the value of effective concentration (EC50 - 1 hr) of tuba root extracts by ethanol and hexane, as well as determine the effect of the effective concentration value and the period of transportation time on the survival and growth of common carp seed. Probit analysis used to determine the effective concentration , whereas to determine the effect of differences of periods of transportation (2 , 4 and 6 hours) and the value of the effective concentration of each solvent on the survival and growth of the research design uses factorial analisis. The results of probit analysis for ethanol and hexane solvent are 6.166 and 3.72 ppm. Transportation showed the highest survival rate at treatment of transportation period 2 hour with values reaching an average of 100%, while the highest growth occurres in hexane treatment on the period of transportation of 6 hours. This results also found that the period of transportation differences significantly affect the 1 )Alumni
Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung 2 ) Dosen Jurusan Budidaya Perairan Universitas Lampung Alamat: Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Unila Jl. Prof. S. Brodjonegoro No. 1 Gedong Meneng Bandar Lampung 35145 E-mail:
[email protected]
survival of common carp seeds but has no significant effect on the growth of common carp other results showed that the difference in the solvent not significantly affect the survival and growth of common carp seed. Keywords tuba, EC50 - 1h, anesthetic, common carp, handling Received: 18 April 2014 Accepted: 18 Juli 2014
PENDAHULUAN Transportasi merupakan bagian penting dari usaha ikan komersial [1]. Transportasi benih ikan mas (Cyprinus carpio) yang dilakukan selama ini menggunakan media pengangkutan air yang beresiko kematian. Ikan mudah mengalami stres saat transportasi yang menyebabkan cedera fisik, atau bahkan kematian. Kematian disebabkan oleh penurunan kualitas air media pengiriman akibat aktifitas metabolisme dan respirasi ikan [2]. Meningkatkan nilai kelangsungan hidup saat transportasi dapat dilakukan salah satunya dengan anestesi. Anestesi ikan dapat dilakukan dengan cara memberikan bahan pembius kepada benih ikan, salah satunya menggunakan ekstrak akar tuba (Derris elliptica) [3]. [4] mengungkapkan akar tuba mengandung senya-
Affandi S Amirulloh1 et al.
228
wa aktif rotenon yang merupakan senyawa beracun yang dapat membunuh ikan dan hama tanaman jika digunakan pada dosis besar. Agar akar tuba dapat digunakan sebagai bahan penelitian perlu dilakukan ekstraksi menggunakan pelarut etanol ataupun heksan. Pemilihan bahan pelarut etanol dan heksan karena kedua pelarut tersebut bersifat polar dan non polar, sehingga masing-masing bahan pelarut dapat mengikat bahan anestesi dalam akar tuba [5].
9,963 ppm dan setiap perlakuan menggunakan 3 kali ulangan. Parameter yang diamati adalah jumlah ikan yang pingsan selama 1 jam. Analisis data penentuan nilai konsentrasi efektif (EC50 -1 Jam) menggunakan analisi probit [6]. Nilai EC50 diperoleh dari hubungan nilai logaritma konsentrasi bahan toksik uji dan nilai probit dari persentase jumlah pingsan hewan uji merupakan fungsi linear dengan persamaan :
MATERI DAN METODE
dimana :
Y = a + bX
(1)
Y : Nilai Probit Mortalitas Acuan nilai konsentrasi ekstrak akar tuba sebagai bahan anestesi adalah konsentrasi efektif (EC50 -1 Jam). EC50 -1 Jam merupakan konsentrasi yang memberikan efek penghambatan sistem saraf pada 50% hewan uji dalam satu jam pengujian. Waktu satu jam menunjukan bahwa dalam pengujian nilai EC50 periode waktu yang digunakan dalam waktu tersebut. Konsentrasi efektif (EC50 -1 Jam) didapat melalui pengujian rentang konsentrasi yang dapat memingsankan ikan, yaitu menguji jumlah ikan pingsan dengan diberikan lima konsentrasi bahan anestesi pada rentang 1-10 ppm. Selanjutnya dari hasil pengujian tersebut dilakukan analisis probit [6] untuk penentuan nilai konsentrasi efektif. Nilai konsentrasi efektif yang didapat pada setiap pelarut digunakan sebagai perlakuan untuk uji simulasi transportasi. Uji trasnportasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh lama waktu transportasi dan nilai konsentrasi efektif kedua pelarut, juga melihat pengaruh interaksi perlakuan waktu dan konsentrasi efektif terhadap kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan benih ikan mas. Ikan mas yang telah ditransportasi dipelihara selama 14 hari untuk menentukan nilai pertumbuhannya. Penelitian dilaksanakan pada Desember 2012 sampai Februari 2013 bertempat di Laboratorium Budidaya Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Perlakuan yang digunakan dalam uji penentuan konsentrasi efektif (EC50 -1 Jam) adalah lima konsentrasi yaitu 1,585; 2,512; 3,979; 6,298 dan
a : konstanta b : slope/ kemiringan X : Logaritma konsentrasi bahan uji Nilai EC50 -1 Jam diperoleh dari anti log m, dimana m merupakan logaritma konsentrasi bahan toksik pada Y = 5, yaitu nilai Probit 50 % hewan uji, sehingga persamaan regresi menjadi : M=
5−a b
(2)
Dengan nilai a dan b diperoleh berdasarkan persamaan sebagai berikut : b=
P P P XY − 1 ( X Y ) P 2 n1 P 2 X − n ( X)
(3)
a=
X 1 X ( Y −b X) n
(4)
dimana : n : banyaknya perlakuan m : nilai X pada Y = 5 Parameter penentuan ikan pingsan mengacu pada [7] : Perlakuan yang digunakan untuk uji simulasi transportasi adalah lama waktu transportasi yaitu 2, 4, dan 6 jam; pelakuan konsentrasi efektif ekstrak akar tuba dengan etanol, dan heksan masing-masing yaitu 6,166 dan 3,72 ppm, serta perlakuan kontrol (tanpa anestesi),; dan diulang sebanyak 3 kali. Parameter yang digunakan adalah kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih
konsentrasi efektif akar tuba
229
Pelarut etanol bersifat polar sehingga melarutkan senyawa polar sedangkan pelarut
Sebagian besar pingsan, kurang merespon rangsangan dari luar
Normal
Mulai kehilangan keseimbangan, sebagian pingsan Ia
Normal
Ia
Ib
40
50
Mulai kehilangan keseimbangan, sebagian pingsan
0 Normal
Jenis Pelarut Etanol
Tingkat
Perhitungan analisis probit untuk menentukan nilai konsentrasi efektif ekstrak akar tuba dengan pelarut etanol dan heksan. Adapun nilai konsentrasi efektif untuk ekstrak akar tuba dengan pelarut etanol dan heksan berturut-turut adalah 6,166 dan 3,72 ppm (Tabel 1). Hasil tersebut menunjukan bahwa ekstrak akar tuba dengan pelarut heksan lebih efektif membuat ikan pingsan dibandingkan dengan ekstrak akar tuba dengan pelarut etanol.
Waktu (menit ke)
Uji penentuan nilai konsentrasi efektif menunjukan bahwa semakin tinggi konsetrasi bahan anestesi yang diberikan pada ikan uji maka akan semakin banyak jumlah ikan yang pingsan (Tabel 1). Hal tersebut diduga karena bahan anestesi yang diserap oleh ikan uji berbeda dari setiap konsentrasi yang diberikan. [8], menyatakan bahwa pada konsentrasi pemberian bahan anestesi yang lebih besar menyebabkan ikan mengalami pingsan lebih cepat yang artinya dengan waktu yang sama pada konsentrasi yang lebih tinggi maka jumlah yang pingsan lebih banyak.
Tingkat
HASIL DAN PEMBAHASAN
0
Heksan
ikan mas. Analisis data pengaruh waktu transportasi dan konsentrasi efektif terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan mas menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan selang kepercayaan 95%.
30
10±0 Normal
10±0
0
10±0
9,963
Normal
8,67±0,58
8,67±0,58
0
0±0
6,298
20
3,979
0
0±0 2,67±0,58
Normal
0±0 0±0
Tingkah Laku
1,585 2,512
Tingkah Laku
heksan
0
Etanol
Ib
Rata-rata ikan pingsan
10
Konsentrasi (ppm)
Tabel 2 Tingkah laku dan kecepatan ikan mas (Cyprinus carpio) selama anestesi
Sebagian besar pingsan, kurang merespon rangsangan dari luar
Tabel 1 Uji penentuan nilai konsentrasi efektif (EC50 -1 Jam)
Affandi S Amirulloh1 et al.
230
heksan bersifat nonpolar sehingga melarutkan senyawa nonpolar, hal tersebut diduga menjadipenyebab ekstrak akar tuba dengan pelarut etanol dan heksan memiliki nilai konsentrasi efektif yang berbeda [9]. Senyawa aktif yang dilarutkan dengan etanol tidak terlalu toksik dibandingkan dengan ekstrak dari pelarut heksan, oleh sebab itu senyawa dari golongan alkohol banyak digunakan sebagai bahan pembius [10]. Senyawa aktif yang dilarutkan dengan pelarut heksan paling toksik karena zat aktif yang diekstrak adalah rotenone yang termasuk senyawa flavanoid yang sangat beracun terhadap golongan serangga dan ikan [5]; [11] dan [4]. Nilai konsentrasi efektif (EC50 -1 Jam) digunakan untuk memingsankan benih ikan mas pada uji transportasi. Pada saat proses anestesi menggunakan nilai konsentrasi efektif (EC50 -1 Jam) dilakukan pengamatan kecepatan pingsan dan tingkah laku ikan uji (Tabel 2). Kecepatan pingsan benih ikan mas pada ekstrak akar tuba dengan pelarut etanol adalah 41-45 menit, sedangkan kecepatan pingsan benih ikan mas pada estrak akar tuba berpelarut heksan adalah 45-49 menit. Hasil tersebut masih lebih cepat jika dibandingkan dengan aplikasi pada lobster air tawar yang mencapai 135-150 menit [12], dan penggunaan ekstrak hati batang pisang pada ikan bawal air tawar yang mencapai 92 meni [8]. Uji simulasi transportasi menunjukan bahwa perlakuan yang berbeda pada EC50 berbagai pelarut tidak menunjukan kecenderungan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup benih ikan mas. Masing-masing waktu transportasi baik perlakuan kontrol, etanol maupun heksan kelangsungan hidup benih ikan mas relatif sama (Gambar 1). Hasil penelitian tersebut juga menunjukan bahwa nilai konsentrasi efektif tidak berbahaya pada ikan. Hal tersebut terlihat dari nilai kelangsungan hidup ikan yang diberi ekstrak akar tuba relatif sama dengan yang tidak diberi ekstrak akar tuba/kontrol. Uji simulasi transportasi ikan mas selama 2, 4 dan 6 jam menunjukan bahwa perlakuan waktu transportasi dengan kelangsung-
an hidup terbesar terdapat pada perlakuan 2 jam dengan nilai rata-rata seluruhnya 100% (Gambar 1). Hal tersebut diduga karena pada waktu 2 jam transportasi perubahan kualitas air dalam media pengiriman relatif kecil dan seluruh ikan masih mampu berdaptasi didalamnya, hal tersebut sesuai dengan pendapat [13], bahwa perlakuan 2 jam transportasi belum memberikan hasil yang signifikan terhadap kelangsungan ikan uji. Perlakuan waktu 4 dan 6 jam transportasi nilai rata-rata kelangsungan hidup pada perlakuan heksan lebih tinggi dari pada etanol. Hal tersebut diduga karena bahan anestesi yang ada pada benih ikan mas lebih sedikit sehingga lebih cepat hilang. Kelangsungan hidup ikan uji semakin menurun seiring dengan bertambahnya waktu transportasi. Hal tersebut diduga karena terjadi penurunan kualitas air dalam media pengiriman, yang memungkinkan terjadi yaitu kenaikan suhu sehingga menyebabkan metabolisme ikan meningkat. Aktivitas ikan yang semakin tinggi di dalam media pengiriman membuat kebutuhan oksigen ikan pun bertambah, sehingga ikan mengalami kekurangan oksigen dan berakibat kematian [14]. Hal tersebut menunjukan bahwa perbedaan waktu transportasi berpengaruh terhadap kelangsunagn hidup ikan uji (P<0.05). Hasil pengamatan terhadap laju pertumbuhan harian benih ikan mas setelah dilakukan transportasi dan pemeliharaan berkisar antara 0,06-0,085 gram (Gambar 2). Hasil tersebut menunjukan tidak ada perbedaan antara pertumbuhan ikan yang diberi perlakuan bahan anestesi dengan ikan yang tidak diberi perlakuan bahan anestesi (kontrol). SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa nilai konsentrasi efektif (EC50 1 Jam) ekstrak akar tuba dengan pelarut etanol dan heksan berturut-turut adalah 6,166 dan 3,72ppm. Perbedaan waktu transportasi berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup benih ikan mas, namun per-
konsentrasi efektif akar tuba
231
Gambar 1 Tingkat kelangsungan hidup ikan mas (Cyprinus carpio) pada simulasi transportasi
Gambar 2 Laju pertumbuhan benih ikan mas (Cyrprinus carpio).
bedaan konsentrasi efektif dan interaksi perlakuan konsentrasi efektif berbagai pelarut dengan lama waktu transportasi tidak berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup benih ikan mas.Perbedaan konsentrasi efektif, lama waktu transportasi dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan benih ikan mas.
Pustaka 1. Absali, H. Mohamad, S., 2010. Effects of Using the Valeriana officinalis Extract During Transportation of Swordtail, Xiphophorus helleri. University of Agriculture and Natural Resources of Gorgan. Golestan, Iran. 2. Hjeltnes, B., Waagbø, R. 2008. Transportation of fish within a closed system. Opinion of the Panel on Animal Health and Welfare. Norwegian Scientific Committee for Food Safety. Norwegian 3. Hulaifi. 2010. Pengaruh Penggunaan Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica Benth) dengan Konsentrasi yang Berbeda pada Pembiusan
Affandi S Amirulloh1 et al.
232
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio L) dalam Transportasi Tertutup. Jurnal Ilmiah. FPIK UMM. Malang. http//www.umm.ac.id. diakses tanggal 15 april 2012 Starr, F. K. Starr, and L. Loope. 2003. Derris elliptica. United States Geological Survey– Biological Resources Division Haleakala Field Station, Maui. Hawai. Kardinan. 2000. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal. 3-4 Hendri, M. Gusti, G. Jetun, T. 2010. Konsentrasi Letal (LC50 -48 jam) Logam Tembaga (Cu) dan Logam Kadmium (Cd) Terhadap Tingkat Mortalitas Juwana Kuda Laut (Hippocampus spp). Jurnal Penelitian Sains. Vol. XIII No. 1 Tidwell, H. J., Shawn D. Coyle, Robert M. Durborow. 2004. Anesthetics in Aquaculture. SRAC Publication No. 3900 Abdullah, R.R., 2012. Teknik Imotilisasi Menggunakan Ekstrak Hati Batang Pisang (Musa spp) dalam Simulasi Transportasi Kering Ikan Bawal Air Tawar (Colossoma Macropomum). Scientific Repository. Bogor Agricultural University. http://repository.ipb.ac.id/ handle/ 123456789/55634. Diakses Tanggal 20 Februari 2014. Keenan, C. W, Donald, C. K, Jesse, H. W. 1990. Kimia Untuk Universitas Jilid 1 edisi keenam. Erlanggga. Jakarta. World Health Organization. 1992. Rotenone Health and Safety Guide. IPCS International Programme On Chemical Safety. Health and Safety Guide No. 73. Geneva. 1 - 10 Maini, P.N and Rejesus, B. M. 1993.Moluscicidal activity of Derris eliptica (Fam. Leguminosea). Phillipine Journal of sience. Nasution, H.S. 2012. Pemingsanan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) dengan Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica roxb. benth) dan Kelulusan Hidupnya Selama Penyimpanan dalam Media Serbuk Gergaji. Skripsi. FPIK. IPB. Bogor Crosby, T.C. 2008. Metomidate Hydrochloride as a Sedative for Transportation of Selected Ornamental Fishes. Thesis. University of Florida. Florida. USA. Karnila, R.E. 2001. Pengaruh Waktu dan Suhu Pembiusan Bertahap terhadap Ketahanan Hidup Ikan Jambal Siam (Pangasius sutchi) dalam Transportasi Sistem Kering. Jurnal Natur Indonesia 3: 151-167.
AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)
STUDI KEPADATAN ZOOXANTHELLA PADA Tridacna squamosa DAN Hippopus hippopus DI PERAIRAN DESA TOLI-TOLI DAN DESA SAWAPUDO SULAWESI TENGGARA Ira1 · Abdul Haris Sarita
2
· Alirman Afu1
Ringkasan Zooxanthellae is one food source of clams. Zooxanthellae stay on the mantle tissue and photosynthesis activity. Quantity of photosynthesis is influenced by the zooxanthellae density and type of clam. This study aims to determine the density zooxanthellae of symbiotic with clams Tridacna squamosa and Hippopus hippopus. The usefulness of the research will provide data and information on the density zooxanthellae of the Tridacna squamosa zooxanthella and Hippopus hippopus clams and as consideration for site selection translocated clams. The study was conducted in August-December 2013 by doing sampling clams in Toli-Toli and Sawapudo village waters. Mantle tissue clams taken 1 cm2 and analyzed in the laboratory. The results showed that Tridacna squamosa has the highest density zooxanthellae compared with Hippopus hippopus. Tridacna squamosa and Hippopus hippopus shell size > 15 cm has the highest density zooxanthellae compared with shell size <15 cm. High suspended solids in the water affect the density zooxanthellae of clams. Keywords Density, Zooxanthellae, Tridacna squamosa, Hippopus hippopus, Toli-Toli, Sawapudo 1 )Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo, Jl.HAE Mokodompit Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232 phone/Fax:+62401 393782 E-mail:
[email protected]
Received: 15 Juli 2014 Accepted: 28 Agustus 2014
PENDAHULUAN Kima atau kerang raksasa merupakan salah satu sumberdaya laut yang sudah lama menjadi sumber pendapatan penting bagi masyarakat pantai, karena dagingnya yang mengandung protein digunakan sebagai makanan, dan cangkangnya dapat dibuat untuk berbagai peruntukan seperti asbak, tempat cuci tangan, dan perhiasan. Dari segi ekologis kima merupakan biota yang berperan sebagai biofilter alami, di mana mereka mampu menyaring amonia dan nitrat terlarut dalam air laut untuk kebutuhan zooxanthella akan nitrogen bagi proses pertumbuhannya [1]. Kima ditemukan pada kedalaman 1 - 20 meter [2] dan menempati permukaan dasar atau lubang karang yang banyak mendapat cahaya matahari. Kedua cangkangnya terbuka lebar menghadap ke permukaan air dan melalui pembukaan ini terlihat lapisan jaringan yang berwarna terang. Pada jaringan mantel [3] tersebut terdapat alga simbiotik yang disebut zooxanthella. Zooxanthella yang bersimbiosis dengan kima termasuk jenis Symbiodinium [4] kelas Dinophyceae dan bersel tunggal [5].
Ira1 et al.
234
Interaksi antara zooxanthella dengan hewan inangnya (kima) merupakan hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme), dimana zooxanthella mendapat perlindungan, karbondioksida, dan hara dari inangnya, dan sebaliknya inangnya mendapat zat-zat makanan dan oksigen hasil produksi fotosintesis zooxanthella. Semakin tinggi laju fotosintesis pada perairan akan berdampak pada makin besarnya kontribusi yang akan diberikan ke inangnya. Jadi, zooxanthella merupakan modal utama bagi kima untuk menghasilkan makanan sendiri [6]. Kuantitas hasil fotosintesis dipengaruhi oleh kepadatan zooxanthella dan jenis kima. Untuk mengetahui hal tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai kepadatan zooxanthella pada kima jenis yang berbeda. Kima dapat dibedakan atas dua genus yakni Tridacna dan Hippopus. Genus Tridacna dalam penelitian ini diwakili oleh Tridacna squamosa sedangkan genus Hippopus oleh Hippopus hippopus. Kegunaan penelitian yakni akan memberikan data dan informasi mengenai kepadatan zooxanthella pada kima Tridacna squamosa dan Hippopus hippopus dan sebagai bahan pertimbangan bagi pemilihan lokasi translokasi kima. MATERI DAN METODE Penelitian berlangsung pada bulan Agustus – Desember 2013. Pengambilan sampel Kima dilakukan di Perairan Desa ToliToli Kecamatan Lalonggasumeeto dan Desa Sawapudo Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe. Pengukuran kualitas air dan kepadatan zooxanthella di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi scuba set, mistar sorong, coolbox yang dilengkapi dengan es batu, skalpel dan sikat halus, kain saringan zooxanthella, gelas ukur, spoit, SCR, counter, mikroskop, termometer, handrefractometer, TSS. Bahan – bahan penelitian terdiri mantel kima Tridacna squamosa dan
Hippopus hippopus yang digunakan sebagai sumber zooxanthella, aquades dan air laut yang telah disaring. Pengambilan sampel di lapangan Tridacna squamosa dan Hippopus hippopus merupakan kima yang umum dijumpai di perairan Desa Toli-Toli dan Desa Sawapudo. Sampel kima diperoleh pada kedalaman 2 – 4 meter dengan melakukan penyelaman. Kima yang diambil jaringan mantelnya berukuran > 15 cm dan < 15 cm sebanyak 1 cm2. Jaringan mantel yang diambil disimpan dalam cool box yang diisi es batu untuk pengawetan sampel hingga sampai waktu analisis di Laboratorium. Pengukuran parameter fisika-kimia perairan terdiri atas suhu menggunakan termometer, salinitas menggunakan handrefractometer, padatan tersuspensi (TSS) menggunakan metode gravimetrik, kedalaman perairan menggunakan depth gauge. Prosedur Laboratorium Mantel kima dihitung kepadatannya berdasarkan petunjuk [7], yaitu sampel jaringan mantel kima seluas 1 cm2 dikeruk, diulang sebanyak 3 kali dengan menggunakan skalpel atau sikat halus. Hasil kerukan dikumpulkan, kemudian disuspensikan dalam air laut yang telah disaring sampai mencapai volume 100 ml. Selanjutnya disaring dengan saringan bertingkat 250, 175, dan 50 µm, untuk memisahkan antara zooxanthella yang berukuran 10-14 µm dengan kotoran. Setelah itu dimasukkan ke dalam botol sampel yang bervolume 100 ml. Sampel zooxanthella diambil sebanyak 1 ml dengan 3 kali pengulangan untuk melihat kepadatannya. Zooxanthella yang tersuspensi dihitung kepadatannya dengan menggunakan sedwick rafter counting cell (SCR) dan diamati di bawah mikroskop. Kepadatan zooxanthella dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : 2
Organisme P er mm =
Dimana :
N x At x Vt Ac x Vs x As
(1)
studi kepadatan zooxanthela
N : Jumlah zooxanthella terhitung (sel/cm2 ) At : Luas penampang permukaan sedwick rafter counting cell (mm2 ) Vt : Volume botol sampel (ml) Ac : Luas amatan (mm2 ) Vs : Volume sampel dalam sedwick rafter counting cell (ml) As : Luas substrat yang dikerik (cm2 )
HASIL DAN PEMBAHASAN Zooxanthella merupakan simbion alga yang bersifat fotosintetik dan uniseluler yang hidup pada jaringan mantel kima. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan diperoleh kepadatan zooxanthella yang berbeda pada Tridacna squamosa dan Hippopus hippopus baik di perairan Desa Toli-Toli maupun Desa Sawapudo. Tridacna squamosa memiliki kepadatan zooxanthella tertinggi yakni berkisar 28,8 x 106 - 63,8 x 106 sel/cm2 sementara kepadatan zooxanthella terendah pada Hippopus hippopus yakni berkisar 2,56 x 106 – 44,9 x 106 sel/cm2 . Perbedaan kepadatan zooxanthella yang ditemukan tersebut kemungkinan disebabkan oleh spesies inangnya yang berbeda. Inang yang berbeda spesies dihuni oleh zooxanthella yang berbeda pula. Sebagaimana pernyataan [4] bahwa 1 spesies kima bisa mengandung sekitar 4 taxa zooxanthella. Perbedaan dalam spesies zooxanthella juga akan memberikan perbedaan dalam hasil fotosintesis. Menurut [8] dan [9], apabila kepadatan zooxanthella meningkat maka kandungan klorofil -a juga meningkat. Peningkatan ini disebabkan oleh besarnya jumlah pigmen per sel zooxanthella, karena dalam 1 sel zooxanthella bisa terdapat 2 - 3 pigmen klorofil-a [6]. Hasil penelitian yang diperoleh ini diperkuat pula oleh penelitian yang telah dilakukan oleh [10] yang menunjukkan bahwa zooxanthella yang berasal dari Tridacna squamosa mempunyai kemampuan DNA yang
235
lebih tinggi. Konsentrasi DNA pada sel berhubungan dengan sifat dan karakteristik biologi. Zooxanthella yang berasal dari Tridacna squamosa mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan tekanan lingkungan. Sebagaimana pernyataan [11], tingginya kandungan DNA pada sel berhubungan dengan sifat dan karakteristik biologi, dan sifat ini yang digunakan untuk mengasumsikan kemampuan adaptasi terhadap goncangan lingkungan atau pengaturan metabolisme untuk pertumbuhan sel. Kepadatan zooxanthella Tridacna squamosa tertinggi ditemukan di perairan Desa Sawapudo, begitu pula dengan Hippopus hippopus. Sementara di perairan Desa ToliToli kepadatan zooxanthellanya rendah, walaupun dari ukuran cangkangnya termasuk lebih besar dibandingkan dengan Tridacna squamosa dan Hippopus hippopus yang ditemukan di Desa Sawapudo yakni > 15 cm, sementara di Desa Sawapudo ukuran cangkangnya < 15 cm. Ini menunjukkan bahwa ukuran cangkang mempengaruhi kepadatan zooxanthella. Dimana semakin besar ukuran cangkang semakin berkurang kepadatan zooxanthellanya. Jumlah populasi zooxanthella yang terkait dengan parameter alometrik, seperti daerah mantel dan ukuran tubuh. Ukuran cangkang yang lebih besar bisa diasumsikan bahwa umur individu tersebut lebih tua sehingga daya ikat mantelnya terhadap zooxanthella sudah mulai berkurang. Pada kima berukuran kecil memiliki luasan mantel yang kecil sehingga menyebabkan luas penyebaran zooxanthella pada bagian mantelnya lebih padat dibandingkan dengan kima yang lebih besar ukuran cangkangnya, dimana luas mantelnya juga bertambah sehingga penyebaran zooxanthella lebih besar sehingga kepadatan zooxanthella lebih kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat [7] bahwa pertambahan ukuran cangkang akan memberikan pengaruh terhadap penurunan jumlah/populasi zooxanthella. Ditambahkan pula bahwa penurunan secara logaritmik jumlah absolut zooxanthella per kerang, seiring dengan peningkatan perbesaran kerang. Padatan tersuspensi merupakan padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak larut dan
Ira1 et al.
236 Tabel 1 Parameter fisika-kimia perairan Desa Toli-Toli dan Desa Sawapudo Parameter lingkungan
Desa Toli-Toli
Desa Sawapudo
TSS (mg/l)
10,20 – 12,40
0,2 – 5,2
Suhu (o C)
27 - 29
28 - 30
Salinitas (o/oo)
29 - 30
29 - 31
2 - 4
2 - 4
Kedalaman (meter)
tidak mengendapkan langsung. Walaupun kondisi perairan memiliki padatan tersuspensi yang tinggi, kima masih dapat bertahan hidup. Namun, hal ini berpengaruh pada kepadatan zooxanthellanya. Karena zooxanthella sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Sebagaimana pernyataan [12] bahwa perubahan secara drastis densitas zooxanthella akan terjadi walau hanya sedikit saja terjadi perubahan fisika lingkungan. Padatan tersuspensi yang tinggi di perairan menyebabkan sinar matahari yang masuk ke dalam perairan (sampai pada zooxanthella pada kima) berkurang. Zooxanthella sebagai mikro alga memerlukan cahaya untuk melakukan aktivitas fotosintesis. Secara fisiologi kima membutuhkan cahaya yang optimum untuk fotosintesis zooxanthella yang hidup dalam jaringan mantelnya [13]. [14] menunjukkan bahwa kepadatan zooxanthella berbanding terbalik dengan tingkat kekeruhan perairan, dimana kepadatannya akan menurun dengan peningkatan tingkat kekeruhan perairan. Hasil pengukuran parameter fisikakimia perairan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan suhu perairan Desa Toli-Toli dan Desa Sawapudo berkisar 27 - 30 o C dengan tingkat kedalaman mulai dari 2 – 4 meter. Kisaran suhu di lokasi penelitian masih pada kisaran normal dan dapat ditoleransi oleh biota perairan. Menurut [15] bahwa suhu yang baik untuk pertumbuhan kima adalah 25-35 o C. Suhu mempengaruhi daur hidup organisme dan merupakan faktor pembatas penyebaran suatu jenis dalam hal ini mempertahankan kelangsungan hidup, reproduksi, perkembangan dan kompetisi [16]. Salinitas mempengaruhi pertumbuhan dan penyebaran kima. Salinitas akan berpengaruh pada pengaturan ion-ion internal, yang
secara langsung memerlukan energi untuk transpor aktif ion-ion guna mempertahankan lingkungan internal. Hal ini sangat berpengaruh pada proses fisiologis yang dapat berakibat pada mortalitas kima. Kisaran salinitas yang diperoleh selama penelitian berkisar 29 – 31 o/oo. Kisaran ini masih sesuai untuk kehidupan kima. Salinitas yang baik untuk kima adalah 25 - 40 o/oo [16]. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa Tridacna squamosa memiliki kepadatan tertinggi dibandingkan dengan Hippopus hippopus. Tridacna squamosa dan Hippopus hippopus berukuran cangkang > 15 cm memiliki kepadatan tertinggi dibandingkan dengan yang berukuran cangkang < 15 cm. Padatan tersuspensi yang tinggi di perairan mempengaruhi kepadatan zooxanthella kima.
Pustaka 1. Braley RD. 2009. Giant clam biology and culture. http://aquasearch.com. (Dikunjungi pada pada tanggal 28 April 2014). 2. Jantzen C, Wild C, El-Zibdah M, Roa-Quiaoit HA, Haacke C, Richter C. 2008. Photosynthetic performance of giant clams, Tridacna maxima and T. squamosa, Red Sea. Mar Biol. 155:211–221. 3. Norton JH, MA Shepherd, HM Long dan WK Fitt. 1992. The zooxanthellal tubular system in the giant clam. The Biological Bulletin 183: 503-506 4. Carlos AA, BK Baillie dan T Maruyama. 2000. Diversity of dinoflagellate symbionts (zooxanthellae) in a host individual. Marine Ecology Progress Series 195: 93-100. 5. Coffroth MA dan SR Santos. 2005. Genetic diversity of symbiotic dinoflagellates in the genus Symbiodinium. Protist 156: 19-34. 6. Fisher CR, WK Fitt dan RK Trench. 1985. Photosyntesis and respiration in Tridacna gigas a functions of irradiance and size. Biol Bull.169 : 230-245 7. Griffiths, CL. dan D.W. Klumpp. 1996. Relationships between size, mantle area and zooxanthellae numbers in five species of giant clam (Tridacnidae). Marine Ecology Progress Series 137: 139-147. 8. Belda CA, Lucas JS, Yellowlees D. 1993. Nutrient limitation in the giant clam–zooxanthellae symbiosis: effects of nutrient supplements on growth of the symbiotic partners. Mar. Biol. 117: 644–655
studi kepadatan zooxanthela 9. Fitt WK, HJ Spero, J Halas, MW White, JW Porter. 1993. Recovery of the Coral Montastrea annularis in the Florida Keys after 1987 Caribbean Bleaching Event. Coral Reefs 12:57-64. 10. Niartinigsih A. 2001. Analisis Mutu Zooxanthella dari berbagai Inang dan Pengaruhnya terhadap Sintasan dan Pertumbuhan kima Sisik (Tridacna squamosa). Disertasi. Universitas Hasanuddin. Makassar. 11. Haryanti, K Sugama, SB Maria dan IGN Permana. 2001. Keragaan Mitokondria DNA beberapa Mikroalga sebagai pakan Alami Larva Ikan Bandeng dan Kerapu. Teknologi Budidaya laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan Bekerjasama dengan Japan International Corperation Agency.ISBN 979-8186-82-3:264-270. 12. Glynn PW. 1990. Coral mortality and disturbances in coral reefs in the tropical eastern Pacific. Pp 55-126 in Blobal Ecological Consequences of the 1982-83 El-Nino Southern Oscillation. P. W. Glynn (ed). Elsevier, Amsterdam. 13. Niartiningsih A, Yusuf S dan M A. Amran. 2013. Pemetaan Populasi Biota Langka Kima (Tridacnidae) dan Upaya Konservasi melalui Perbaikan Mutu Benih untuk Restocking. Laporan Penelitian Strategis Nasional (Stranas), Dirjen Dikti. 14. Thamrin, M Hafiz, A Mulyadi. 2004. Pengaruh Kekeruhan Terhadap Densitas Zooxanthellae pada Karang Scleractinia Acropora aspera di Perairan Pulau Mursala dan Pulau Poncan Sibolga, Sumatera Utara. Ilmu Kelautan.Vol 9 (2) : 82-85. 15. Jameson CS. 1976. Early Life History of The Giant Clams Tridacna crocea Lamarck,Tridacna maxima (Roding) and Hippopus hippopus (Linnaeus) Pasific Science. 30 (3) : 219-233. 16. Krebs CJ. 1985. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Edition, Harper and Row Publisher, New York. Pp: 395-399.
237