COMMUNICATION STYLE DAN PERILAKU TAWURAN (Studi Kasus Mengenai Communication Style yang Menyebabkan Adanya Perilaku Tawuran di Kalangan Siswa SMA Negeri 70 Jakarta) Chairani Marliana Prahastiwi Utari Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract In 2014, SMAN 70 Jakarta public high school got into the spotlight after 13 students, all of whom were 12th graders, were expelled from the school for having allegedly bullied some 10th graders. violence is also occurs outside of school. Brawls at SMAN 70 Jakarta is actually a tradition that has been passed from senior to junior for many years. Communication styles between students in SMAN 70 Jakarta had an impact on the cultural transmission of the brawl SMAN 70 Jakarta apply relationships between levels on odd and even-numbered years as seen from the entrance. 12th graders are associated with the 10th graders and 11th graders has no ally. Students who styles are aggressive and assertive in school is related to low context communication while the passive communication style have a tendency as a high-context communication.Students use aggresive style in the neighborhood outside the school have a tendency as low-context communication. Aggressive communication style associated with low-context communication is the cause of the existence of a cultural brawl in SMAN 70 Jakarta. Remove its multilevel communication patterns and consolidate alumni rated by researcher as things that need to be done to eliminate the brawl in the schools. This study used a case study analysis techniques with purposive sampling to fit the purpose of the researcher to know the communication style of the cultural influence of a brawl in the school. Keywords: SMAN70, brawl, communication styles
1
Pendahuluan Masa remaja adalah masa di mana seorang individu lebih dekat dengan teman-teman sekolahnya dibanding keluarga. Aktivitas remaja biasanya akan mendapatkan pengaruh sosial lebih banyak oleh teman-teman sekolah dibanding keluarga dan masyarakat. Siswa remaja lebih banyak melakukan suatu tingkah laku hanya karena ingin mengikuti atau menyamakan tingkah laku dengan temantemannya. Hal ini bisa menjadi kunci utama bahwa pengaruh sosial dari lingkungan luar keluarga merupakan faktor utama pembentuk tingkah laku siswa remaja. Pengaruh sosial yang buruk dapat menyebabkan penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para remaja (Sarwono, 2009). Menurut Kartini Kartono, kenakalan remaja didefinisikan sebagai ‘Juvenille Delincuency’ yaitu bentuk perilaku yang menyimpang yang dilakukan oleh anak yang berumur 13-21 tahun yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial,sehingga mereka mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang (Kartono,1986). Salah satu bentuk perilaku menyimpang yang dilakukan remaja adalah perkelahian antar pelajar atau tawuran. Fenomena tawuran antar pelajar sudah bukan sekedar tawuran remaja biasa. Perkelahian beramai-ramai tersebut bukan dengan tangan kosong atau mengandalkan kekuatan, melainkan sudah menggunakan barang-barang atau senjata berbahaya lainnya dan mengarah ke tindakan kriminal karena menelan korban jiwa. Terkadang tawuran pelajar terjadi secara spontan ketika dua kelompok pelajar secara sengaja maupun tidak sengaja bertemu atau berpapasan di sebuah tempat. Namun terkadang tawuran terjadi karena dipicu oleh alasan sederhana seperti balas dendam karena ada pelajar yang diganggu oleh pelajar dari sekolah lain, keributan setelah pertandingan, atau hanya karena saling ejek. Bahkan seringkali tawuran terjadi karena sudah menjadi sebuah kebiasaan atau tradisi pada hari- hari tertentu di tempat yang menjadi titik rawan tawuran. Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat jumlah kasus tawuran antarpelajar sepanjang tahun 2012 ada 147 kasus tawuran pelajar, lebih banyak dibandingkan periode sama tahun lalu sejumlah 128 kasus. Menurut data yang diperoleh dari layanan pengaduan masyarakat KPAI tersebut, dari 147 kasus tawuran yang kebanyakan berupa kekerasan antarpelajar tingkat sekolah 2
menengah pertama dan sekolah menengah dan sudah memakan korban jiwa sebanyak 82 anak (Kuwado, 2012). Berdasarkan data kasus tawuran pelajar 2012 di wilayah hukum Polda Metro Jaya, sudah terjadi puluhan kasus tawuran pelajar yang menimbulkan korban luka dan meninggal dunia. Kasus pertama terjadi pada 19 April 2012 di Jalan Matraman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dan membuat dua pelajar berinisial GN (17) dan HS (17) mengalami luka-luka. Kejadian kedua di Jalan Ampera RT 03 05 Bekasi Timur, Kota Bekasi, 3 Mei 2012, aksi tawuran ini menyebabkan Bayu Dwi Kurniawan (16) meninggal dunia dan membuat lukaluka terhadap RA (17) dan MA (16). Tawuran antar pelajar di Bundaran Bulungan, Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, terjadi 29 Mei 2012. Korban lima pelajar SMAN 6, dua pelajar SMAN 70, dan anggota Patko Polres Jakarta Selatan. Aksi tawuran juga terjadi di Jalan Kramat Raya Senen, Jakarta Pusat, 26 Juli 2012. Korban RN (28). Korban berada di antara keributan antara pelajar Budi Utomo dengan Santa Yoseph. Penyebab karena saling ejek dan salah satu pelajar melempar air keras sehingga mengenai kaki korban di sebelah kanan. Tawuran pelajar di Stasiun Panjang, Buaran, Duren Sawit, Jakarta Timur, 29 Agustus 2012, menyebabkan Jasuli (16) meninggal dunia. Korban sedang tawuran dengan pelajar lain, tiba-tiba datang kereta api dari Jakarta arah Bekasi menyebabkan korban terseret kereta api dan mengalami luka di kepala (Priliawito, 2012) Tawuran yang dilakukan oleh para pelajar tersebut dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delinkuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delinkuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang mengharuskan mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti anggotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya (Kartono, 1986). Pada tahun 2014 SMA Negeri 70 menjadi sorotan setelah sebanyak 13 siswanya dikeluarkan dari sekolah lantaran melakukan pelanggaran, yaitu
3
melakukan kekerasan terhadap juniornya hingga luka-luka. Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) DKI Jakarta Lasro Marbun menjelaskan kronologi mengenai kasus bullying yang menimpa 15 siswa kelas X oleh seniornya di Gelora Bung Karno (GBK). Di sana, para junior di-bully habis-habisan oleh senior. Satu orang junior mengalami luka di wajah hingga berdarah-darah (Prasetya, 2014). Tak hanya di dalam SMA Negeri 70 Jakarta, aksi kekerasan pun terjadi di luar sekolah. Siswa SMA Negeri 70 Jakarta langganan terlibat tawuran dengan SMAN 6 yang berjarak beberapa meter saja. Salah satu kasus tawuran yang banyak diberitakan adalah tawuran di Jalan Mahakam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 24 September 2012 antara SMA Negeri 70 Jakarta dan SMA Negeri 6. Korban meninggal dunia adalah Alawi Yusianto Putra, siswa SMA Negeri 6. Sementara dua pelajar lain, RD dan DF, yang juga pelajar SMA Negeri 6 mengalami luka-luka (Priliawito, 2012). SMA Negeri 70 Jakarta sebagai sekolah bertaraf internasional yang berdiri sejak tahun 1981 dilaporkan memiliki tradisi kekerasan yang berlangsung sejak puluhan tahun, sampai sekarang. "Sudah membudaya. Sudah puluhan tahun," kata Ketua Komite Sekolah SMA Negeri 70 Jakarta Musni Umar kepada VIVAnews.com, Jumat 28 Oktober 2011 (Ruqoyah, 2011) Siswa senior mempunyai peranan penting dalam membudayakan kebiasaan tawuran pada kelompok pelajar. Aksi kekerasan hingga tawuran yang sering terjadi antara Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 70 Bulungan dan SMAN 6 terjadi karena rivalitas diantara kedua sekolah dan perilaku tawuran yang turun-temurun diwariskan seniornya serta pelanggaran wilayah kekuasaan masing-masing sekolah. siswa SMA 6 dilarang memasuki Jalan Bulungan, yang menjadi wilayah SMA 70. Demikian pula, Jalan Mahakam adalah teritori SMA 6 dan menjadi wilayah terlarang bagi siswa SMA 70. Pelanggaran terhadap batas wilayah kekuasaan itu bisa langsung memicu tawuran. Tim Psikologi Polda Metro Jaya telah selesai melakukan hasil pemeriksaan terhadap kejiwaan Fitra (19), tersangka pembunuhan terhadap siswa SMA Negeri 6. Dari hasil tes diketahui lingkungan menjadi pemicu kuat FR bisa bertindak demikian (Felisiani, 2012).
4
Communication style yang diterapkan para siswa di lingkungan SMA 70 merupakan salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya tawuran. Communication style adalah suatu kekhasan yang dimiliki setiap orang dan berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Perbedaan antara communication style antara satu orang dengan yang lain dapat berupa perbedaan dalam ciri-ciri model dalam berkomunikasi, tata cara berkomunikasi, cara berekspresi dalam berkomunikasi, dan tanggapan yang diberikan atau ditunjukkan pada saat berkomunikasi (Ardianto, 1999). Communication style para siswa tersebut dapat dilihat dari berbagai faktor yaitu di dalam lingkungan internal sekolah dan lingkungan luar sekolah. Communication style antar siswa di dalam lingkungan SMA Negeri 70 Jakarta yang memiliki tradisi senioritas yang sudah berlangsung secara turuntemurun dari angkatan sebelumnya kepada angkatan berikutnya. Budaya senioritas di SMA 70 sangat kuat, dapat dikatakan hormat terhadap senior sudah menjadi hal yang mutlak. Setiap angkatan di SMA Negeri 70 Jakarta mempunyai nama angkatan yang dibentuk oleh senior atau siswa kelas tiga. Mereka harus melalui proses inisiasi dimana proses ini melalui metode kekerasan. Pembagian angkatan tersebut berarti juga pembagian terhadap wilayah wilayah sekolah, seperti kantin, tangga, koridor sekolah serta wilayah tongkrongan masing-masing angkatan yang semuanya tidak boleh dilanggar. Setiap angkatan hanya boleh berada di tempat yang merupakan bagian dari wilayah kekuasaan angkatan masing-masing. Senior memiliki hak otoritas yang lebih tinggi dibanding dengan angkatan tahun di bawahnya. Hal ini dikarenakan senior dianggap seseorang yang lebih mengerti dan berkuasa di lingkungan sekolah sehingga para junior, baik itu satu tahun dibawah dan siswa baru, harus mengikuti aturan yang berlaku. Sedangkan communication style para siswa di luar sekolah, Jalan Bulungan dimana lokasi SMA 70 berada merupakan wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh siswa SMA 70. Kalau wilayah Bulungan dimasuki SMA 6 ataupun SMA lainnya maka akan diserang oleh siswa SMA 70. Fenomena tawuran siswa yang lebih sering terjadi di kota-kota besar khususnya Jakarta dibandingkan dengan di daerah-daerah lainnya di Indonesia
5
menyebabkan fenomena ini menjadi menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Masyarakat perkotaan yang sangat heterogen saat ini umumnya memiliki low context culture communication oleh Edward T Hall yaitu bersifat logis, linear atau langsung, individualistis, dan lebih banyak bertindak daripada berbicara, mengutamakan logika, fakta, dan selalu menggunakan kata-kata yang tepat dan langsung.
Diskusi yang terjadi pada masyarakat dengan low context culture
biasanya akan berakhir dengan suatu tindakan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Aspek komunikasi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Komunikator.
Komunikator adalah seseorang atau sekelompok orang yang
menyampaikan pikirannya atau perasaannya kepada orang lain. Komunikator memegang peran penting dalam komunikasi, komunikator juga dianggap sebagai aspek penting dalam penelitian ini karena komunikator memegang peranan dalam proses transmisi perilaku tawuran yang ada di SMA Negeri 70 Jakarta. Komunikator dalam penelitian ini difokuskan pada para siswa SMA Negeri 70 Jakarta. Metode yang akan digunakan adalah penelitian kualitatif studi kasus yaitu suatu penyelidikan intensif tentang individu dan atau unit sosial yang dilakukan secara mendalam dengan menemukan semua variabel penting tentang perkembangan individu atau unit sosial yang diteliti. Studi kasus dipilih karena peneliti ingin mengetahui secara rinci dan menyeluruh mengenai perilaku tawuran yang ada di SMA Negeri 70 Jakarta. SMA Negeri 70 Jakarta dipilih sebagai objek penelitian karena memiliki keterkaitan dengan peneliti karena peneliti merupakan alumni dari sekolah tersebut. Selain itu fenomena tawuran di SMA Negeri 70 Jakarta dinilai sangat unik karena yang menjadi penyebab tawuran adalah siswa menganggap tawuran merupakan budaya mereka. Budaya itu kerap dilakukan untuk mempertahankan wilayah kekuasaan mereka agar tidak dikuasai sekolah lain. Jadi, jika ada siswa SMA Negeri 6 atau siswa sekolah lain masuk ke area Jalan Bulungan berarti sebuah tanda penyerangan bagi SMA Negeri 70 Jakarta.
6
Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah communication style antar siswa di dalam SMA Negeri 70 Jakarta yang memiliki perilaku tawuran? 2. Bagaimanakah communication style siswa SMA Negeri 70 Jakarta yang memiliki perilaku tawuran dengan lingkungan di luar sekolah? Tujuan Tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Mendeskripsikan dan menganalisis communication style antar siswa di dalam SMA Negeri 70 Jakarta yang memiliki perilaku tawuran. 2. Mendeskripsikan dan menganalisis communication style siswa SMA Negeri 70 Jakarta yang memiliki perilaku tawuran dengan lingkungan di luar sekolah. Tinjauan Pustaka a. Komunikasi Komunikasi adalah pertukaran informasi, ide, sikap, emosi, pendapat, atau instruksi antar individu atau kelompok yang bertujuan untuk menciptakan sesuatu, memahami, dan mengkoordinasikan suatu aktivitas (Liliweri, 2011). Komunikasi berarti penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Komunikasi didefinisikan sebagai “proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih dengan maksud untuk merubah tingkah laku mereka” (Cangara, 1998). Sedangkan menurut (Muhammad, 2005), komunikasi didefinisikan sebagai “pertukaran pesan verbal maupun nonverbal antara pengirim dengan penerima pesan untuk mengubah tingkah laku.” b. Communication Style Communication style didefinisikan sebagai a cognitive process which accumulates ‘micro behavior’ form-giving of literal content, and adds up to macro judgement. When a person communicates, it is considered an attempt of getting literal meaning across (proses kognitif yang mengakumulasikan bentuk suatu konten agar dapat dinilai secara makro. Setiap style selalu merefleksikan bagaimana setiap orang menerima dirinya ketika dia berinteraksi dengan orang lain (Norton 1983; Kirtley&Weaver, 1999)). Heffner mengklasifikasikan ulang 7
communication style dari (McCallister, 1992) ke dalam tiga gaya, yakni: a. Pasif (passive style), gaya seseorang yang cenderung menilai orang lain selalu benar dan lebih penting daripada diri sendiri. b. Tegas (assertive style), gaya seseorang yang berkomunikasi secara tegas mempertahankan dan membela hak-hak sendiri demi mempertahankan hak-hak untuk orang lain. c. Agresif (aggresive style), gaya seorang individu yang selalu membela hakhaknya sendiri, merasa superior, dan suka melanggar hak orang lain serta mengabaikan perasaan orang lain c. High/Low Context Culture Menurut teori komunikasi antarbudaya, Edward T. Hall dalam (Liliweri, 2011) mengkaitkan komunikasi dengan budaya memiliki hubungan sangat erat. Menurutnya, communication is culture and culture is communication. Hall terlebih dahulu membedakan high context culture dengan low context culture. Low context culture ditandai dengan low context communication seperti pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung lugas dan berterus terang. Para penganut budaya ini mengatakan bahwa apa yang mereka maksudkan (they say what they mean) adalah apa yang mereka katakan (they mean what they say). Sebaliknya, high context culture seperti kebanyakan pesan yang bersifat implisit, tidak langsung dan tidak terus terang, pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi dibalik perilaku nonverbal, intonasi suara dan gerakan tangan. d. Tawuran Remaja Menurut Kartono dalam (Aprilia, 2014), kelompok tawuran remaja ini pada masa awalnya merupakan kelompok bermain yang dinamis. Permainan yang mula-mula bersifat netral, baik, dan menyenangkan, kemudian berubah menjadi
sebuah
perilaku eksperimental
yang berbahaya
dan
sering
mengganggu atau merugikan orang lain. Pada akhirnya kegiatan tersebut menjadi sebuah tindakan kriminal. Dengan semakin sering frekuensi kegiatan bersama dalam bentuk keberandalan dan kejahatan itu membuat kelompok remaja ini menjadi semakin “ahli” dalam berkelahi dan terbentuk sebuah perilaku “perkelahian kelompok”, pengeroyokan, perang batu, dan termasuk
8
perkelahian antarsekolah. Aksi demikian ini mempunya tujuan khusus yaitu mendapatkan prestige individual juga memiliki dalih untuk menjunjung tinggi nama sekolah. Menurut (Kartono, 2006) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perkelahian antar kelompok atau tawuran, dan faktor-faktor itu ke dalam dua jenis yaitu faktor internal dan faktor eksternal. a. Faktor Internal Faktor internal mencakup reaksi frustasi negatif, gangguan pengamatan, dan tanggapan pada diri remaja, gangguan cara berfikir pada diri remaja, dan gangguan emosional atau perasaan pada diri remaja. Tawuran pada dasarnya dapat terjadi karena tidak berhasilnya remaja untuk mengontrol dirinya sendiri. Gangguan pengamatan dan tanggapan pada diri remaja antara lain berupa: ilusi, halusinasi, dan gambaran semu. b. Faktor Eksternal Selain faktor dari dalam (internal) yang dapat menyebabkan tawuran juga ada beberapa faktor dari luar, yaitu keluarga, lingkungan sekolah yang tidak menguntungkan, dan lingkungan sekitar. Keluarga memegang peranan penting dalam membentuk watak anak. Kondisi keluarga sangat berdampak pada perkembangan yang dialami seorang anak, apabila hubungan dalam keluarganya baik maka akan berdampak positif begitupun sebaliknya, jika hubungan dalam keluarganya buruk maka akan pula membawa dampak yang buruk terhadap perkembangan anak. e. Pelajar Menurut Slamet (Haling, 2006) mengemukakan bahwa pelajar adalah individu yang melakukan proses seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Wingkel dalam (Haling, 2006) menjelaskan bahwa pelajar adalah manusia yang melalui suatu proses psikologi yang berlangsung dalam interaksi aktif subjek dengan
lingkungan,
dan
menghasilkan
perubahan-perubahan
dalam
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang bersifat konstan atau menetap.
9
Perubahan-perubahan itu dapat berupa sesuatu yang baru yang segera nampak dalam perilaku nyata. (Surya, 1981), mendefinisikan pelajar sebagai individu yang melakukan proses usaha untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku keseluruhan sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksinya dengan lingkungan.
Sajian dan Analisis Data A. Pembagian Angkatan di SMA Negeri 70 Jakarta Pemilu Angkatan di SMA Negeri 70 Jakarta dimulai saat penggabungan SMA Negeri 9 dan SMA Negeri 11 pada tanggal 3 Oktober 1981 dan mengadakan aktivitas belajar mengajar pada tanggal 5 Oktober 1981 dan sekaligus diperingati sebagai Hari Ulang Tahun SMA Negeri 70 Jakarta. SMA 70 Bulungan Jakarta berdiri pada tanggal 5 Oktober 1981, atas keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Hal ini bisa terjadi karena terjadi eskalasi perkelahian massal yang seakan-akan menjadi suatu tradisi antara kedua sekolah yang bertetangga, SMA 9 Bulungan dan SMA 11. Angkatan pertama menamakan dirinya "Brigade 70" yang langsung digunakan untuk 3 angkatan pertama, yaitu angkatan 82, 83 dan 84. Tabel Daftar Nama Angkatan SMA Negeri 70 Jakarta 1982-1985: BRIGADE (I) 1983-1986: MILITARY [II] 1984-1987: GAB [III] 1985-1988: ABOR & SQUADRON [IV] 1986-1989: BASIS [V] 1987-1990: LASKAR [VI] 1988-1991: SEPARATIS [VII] 1989-1992: SANDINISTA & MAKAR [VIII] 1990-1993: LEGIUN [IX] 1991-1994: REZIM-MAWAR [X] 1992-1995: EKSTRIMIS-BARBIE [XI] 1993-1996: AGRESOR-HAWA [XII] 1994-1997: PLATOON-CEMPLON [XIII] 1995-1998: GARNIZOON-SUGAR [XIV] 1996-1999: ZAPATISTA-CHEZTA [XV] 1997-2000: SOMOZA-TRIZA [XVI] 1998-2001: TRABALISTA-GLITTER [XVII] 1999-2002: BATALYON-CRAYON [XVIII] 2000-2003: SALVOZESTA-HAZEL [XIX]
10
2001-2004: RESIMENT-ETNIQ [XX] 2002-2005: VANDALIST-VANILLA [XXI] 2003-2006: ZENDAVEST-PRINZEST [XXII] 2004-2007: RAVAZES-RAISIN [XXIII] 2005-2008: SPORADIS-SKAVEL [XXIV] 2006-2009: INTERFET-VELVET [XXV] 2007-2010: BEZANIKA-BRUZEL [XXVI] 2008-2011: PASOPATI-PLAVETA [XXVII] 2009-2012: DETASMENT-DESTVEL [XXVIII] 2010-2013: GESTAVO-GRAZIA [XXIX] 2011-2014: BALLISTIK-BALZES [XXX] 2012-2015: KAVALERI-KAVERSA [XXXI]
Sumber: Hasil Penelitian Pembagian angkatan di SMA Negeri 70 Jakarta berdasarkan tahun masuk dikategorikan ke dalam 2 kategori yaitu angkatan ganjil dan genap. Penentuan kategori tersebut dihitung dari tahun masuk mereka di SMA Negeri 70 Jakarta, misalnya saja angkatan Ballistik yang masuk menjadi siswa pada tahun 2011 merupakan angkatan ke-30 sejak sekolah tersebut berdiri maka secara otomatis angkatan Ballistik adalah angkatan genap dan angkatan Kavaleri yang masuk pada tahun 2012 sebagai angkatan ke-31 adalah angkatan ganjil. Pembagian angkatan tersebut berarti juga pembagian terhadap wilayahwilayah sekolah, seperti kantin, tangga, koridor sekolah serta wilayah tongkrongan masing-masing angkatan yang semuanya tidak boleh dilanggar. Setiap angkatan hanya boleh berada di tempat yang merupakan bagian dari wilayah kekuasaan angkatan masing-masing. B. Communication Style Antar Siswa SMA Negeri 70 Jakarta di Lingkungan Sekolah Peneliti mencoba menganalisis communication style yang ada dalam hubungan antar siswa di SMA Negeri 70 Jakarta . Communication style di antara para siswa SMA Negeri 70 Jakarta mempunyai peranan penting bagi proses transmisi perilaku tawuran dari senior ke juniornya. Analisis yang dilakukan menggunakan 3 gaya utama komunikasi gaya pasif, gaya asertif ,dan gaya agresif berdasarkan indikator yang dibuat oleh Myers-Briggs dalam (Liliweri, 2011).
11
Berdasarkan hasil analisis dari penelitian yang sudah dilakukan mengenai communication style siswa di SMA Negeri 70 Jakarta dapat digambarkan dalam piramida berikut: Pasif
Agresif Gambar 1. Pola Komunikasi
Semakin ke atas piramida tingkatan senioritas di dalam sekolah semakin tinggi dan communication style menjadi agresif. Begitupun sebaliknya, semakin ke bawah status siswa semakin rendah yang menjadikan mereka kemudian menerapkan communication style pasif karena ketidak berdayaannya menghadapi siswa dari kelas yang lebih tinggi. Sedangkan communication style asertif diterapkan oleh siswa yang berada pada tingkatan yang sama karena komunikasi yang terjadi pada tingkatan yang sama bersifat seimbang, tidak ada yang lebih dominan antara satu dengan yang lainnya. P C. Communication Style Siswa SMA Negeri 70 Jakarta di Lingkungan Luar Sekolah Lokasi di sekitar SMA Negeri 70 Jakarta di Jalan Bulungan Kebayoran Baru Jakarta Selatan saat ini makin dipadati dengan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi, yang diantaranya terdapat pusat perbelanjaan, pusat hiburan dan terminal dinilai tidak nyaman dan kondusif. Hal tersebut menyebabkan ruang publik untuk aktualisasi diri siswa semakin berkurang. Hampir tidak adanya ruang publik untuk aktualisasi diri siswa menjadikan siswa kemudian membuat batasan-batasan sendiri mengenai ruang publik mereka. Analisis communication style siswa SMA Negeri 70 Jakarta di lingkungan luar sekolah akan dilihat dari hubungan mereka dengan para alumni, sekolah lain yang berada di sekitar SMA Negeri 70 Jakarta serta siswa
12
yang berasal dari sekolah lain yang berinteraksi dengan siswa SMA Negeri 70 Jakarta. Status alumni yang bisa dibilang sebagai senior di atas senior menjadikan siswa yang masih bersekolah menggunakan communication style pasif. Komunikasi agresif diterapkan oleh siswa SMA Negeri 70 Jakarta dengan siswa sekolah lain. Salah satu yang paling dekat dengan SMA Negeri 70 adalah SMA Negeri 6 di Jalan Mahakam yang jaraknya kurang dari 300 meter. Jarak yang dekat bukan berarti memiliki hubungan yang dekat bahkan sebaliknya, SMA Negeri 70 dan SMA Negeri 6 sudah dikenal sejak dulu sebagai musuh bebuyutan. Kedua sekolah tersebut bahkan sampai memiliki batas teritori masing-masing. Jalan Bulungan milik SMA Negeri 70 dan Jalan Mahakam milik SMA Negeri 6 dan kalau ada yang melanggar batas artinya mengajak perang. D. High/Low context Culture dalam Hubungan Siswa di Sekolah High context culture yang terdapat dalam hubungan antar siswa yaitu selalu mengutamakan homogenitas dan budaya kolektif. bersikap kooperatif yaitu siswa mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dan saling bantu antara satu dan lainnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencapai hasil yang diinginkan demi kelompoknya. Siswa juga mempercayai bahwa keputusan dan kehidupan mereka dipengaruhi oleh diri mereka sendiri Sedangkan low context culture yang ada di sekolah tersebut yaitu kompetitif aktivitas mencapai tujuan dengan cara mengalahkan orang lain atau kelompok. Individu atau kelompok memilih untuk bekerja sama atau berkompetisi tergantung dari struktur reward dalam suatu situasi. Dalam hal ini biasanya terlihat dari hubungan antar angkatan dan dengan sekolah lain. Selain itu siswa menganggap bahwa kritik merupakan sesuatu yang baik dalam komunikasi. Sikap mengkritik pada siswa SMA Negeri 70 dapat terlihat dari pengakuan siswa yang menyatakan bahwa junior sering dikritik oleh seniornya jika melakukan pelanggaran terhadap aturan yang berlaku. E. High/Low Context Culture dan Communication Style Siswa di Sekolah High/Low Context Culture Communication dan Communication Style Siswa di Dalam Lingkungan Sekolah Kelas Context Communication Style X High Context Culture Pasif
13
Communication Sangat sulit mengatakan sikap tidak setuju High Context Culture Communication Konfrontasi merupakan sesuatu yang tidak lazim High Context Culture Communication Berkomunikasi berhadaphadapan tidaklah utama Low Context Culture Communication Pernyataan secara eksplisit, bicara langsung
XI
Selalu Sepakat
Pasif Mengikuti tuntutan dan kemauan orang lain, ingin menghindari konflik Pasif Tidak pernah bicara lebih dulu
Asertif Ekspresi diri secara langsung, menyatakan pendapat dan keinginan Asertif Terbuka Pasif Mengikuti tuntutan dan kemauan orang lain, ingin menghindari konflik Asertif Berorientasi pada tindakan
High Context Culture Communication Konfrontasi merupakan sesuatu yang tidak lazim Low Context Culture Communication Kompetitif XII High Context Culture Asertif Suka berguyon Communication Selalu menjaga harmoni demi tujuan pertukaran komunikasi Low Context Culture Agresif Menggunakan kekerasan Communication Konfrontasi itu perlu untuk mengasah kecerdasan Low Context Culture Agresif Sinis Communication Harmoni tidak selalu Tampil seperti bos dibutuhkan dalam pertukaran informasi High/Low Context Culture Communication dan Communication Style Siswa di Luar Lingkungan Sekolah High Context Culture Pasif Mengikuti tuntutan dan Communication Konfrontasi merupakan kemauan orang lain, ingin sesuatu yang tidak lazim menghindari konflik (kepada alumni dan senior) Low Context Culture Agresif Menggunakan kekerasan Communication Konfrontasi itu perlu untuk mengasah kecerdasan
14
Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah dan analisis yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti menarik kesimpulan bahwa: 1.
Adanya pembagian nama angkatan di SMA Negeri 70. Setiap angkatan di SMA Negeri 70 Jakarta mempunyai nama angkatan yang dibentuk oleh senior atau siswa kelas tiga dari angkatan tersebut. Untuk mendapatkan nama angkatan tersebut siswa kelas X harus melalui proses inisiasi dimana proses ini melalui metode kekerasan. Pembagian angkatan didasarkan pada tahun masuk dikategorikan menjadi 2 yaitu angkatan ganjil dan genap.
2.
Communication style siswa yang agresif dan asertif di dalam sekolah dipengaruhi oleh low context culture sedangkan pasif dipengaruhi oleh high context culture. Siswa junior menerapkan communication style pasif seperti tidak pernah berbicara lebih dahulu, mengikuti keinginan senior untuk menghindari konflik dan selalu sepakat dengan apa yang dikatakan oleh
senior
diterapkan
oleh
junior
karena
ketidakberdayaannya
menghadapi dominasi dari siswa kelas yang lebih tinggi. Communication style asertif
yang terbuka yang dapat mengekspresikan diri secara
langsung, segera menyatakan pendapat dan keinginan, berorientasi pada tindakan, dan mempunyai rasa humor serta suka berguyon dengan teman diterapkan oleh siswa yang berada pada tingkatan yang sama karena komunikasi yang terjadi pada tingkatan yang sama bersifat seimbang, tidak ada yang lebih dominan antara satu dengan yang lainnya. Pada angkatan yang sama mereka dapat akur dengan berbagai teman dan juga bisa berbicara secara santai. Siswa juga dapat menyatakan dan menyalurkan perasaan, sikap, gagasan, emosi atau tekanan-tekanan perasaan secara langsung kepada siswa lainnya. Communication style yang agresif diterapkan dalam komunikasi senior kepada juniornya yaitu dengan tampil seperti bos, bersikap sinis dan menggunakan kekerasan. Berdasarkan analisis mengenai communication style siswa yang dikaitkan dengan high/low context culture diketahui bahwa communication style yang dominan dilakukan dalam hubungan antar siswa adalah communication style agresif yang dipengaruhi oleh low context culture.
15
3.
Communication style siswa yang agresif di lingkungan luar sekolah dipengaruhi oleh low context culture. Communication style yang diterapkan para siswa di lingkungan luar sekolah adalah communication style agresif yang menggunakan kekerasan. Hal tersebut terlihat dari komunikasi yang dilakukan disertai dengan kekerasan seperti melakukan konfrontasi dan penyerangan terhadap siswa yang berasal dari sekolah lain.
Saran 1.
Menghilangkan Pola Komunikasi Bertingkat Berdasarkan hasil dari analisis penelitian mengenai communication style di Sekolah Menengah Atas Negeri 70 Jakarta ditemukan bahwa communication style agresif yang digunakan oleh senior kepada juniornya memegang peranan penting dalam proses transmisi nilai-nilai yang berlaku di dalam sekolah. Nilai-nilai yang ditransmisikan tersebut mencakup senioritas dan tawuran. Nilai dan budaya tersebut dipertahankan dengan cara diturunkan
dari
generasi
ke
generasi,
seniorlah
yang
bertugas
mentransmisikan budaya tersebut kepada junior. Mereka tidak ingin budaya ini hilang, lalu mengajak para junior berbudaya seperti itu. Para junior sulit mengelak dari ajakan tersebut karena takut dengan para senior. Maka, untuk memutus budaya tawuran yang telah diturunkan melalui communication style agresif dari angkatan sebelumnya hal pertama yang harus dilakukan oleh sekolah adalah Sekolah juga harus mengubah pola komunikasi bertingkat yang ada dalam hubungan antar siswa dengan menanamkan nilai bahwa setiap siswa memiliki hak dan kewajiban yang sama di sekolah sehingga tidak akan ada lagi komunikasi agresif dan pasif dalam hubungan antara senior dan junior di sekolah. Pemberian sanksi yang membuat efek jera kepada siswa senior yang melakukan komunikasi agresif dan kekerasan kepada juniornya juga dapat mengurangi tindakan agresif. 2.
Konsolidasi Alumni Dilihat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa communication style agresif digunakan oleh siswa dalam hubungannya dengan lingkungan luar sekolah yaitu wilayah tongkrongan dan sekolah sekitar khususnya SMA 16
Negeri 6. Untuk mengurahi ketegangan karena komunikasi agresif tersebut peneliti menyarankan sekolah untuk melakukan konsolidasi alumni dan senior, diharapkan ada komunikasi antara alumni senior dengan alumni junior, agar tidak terjadi intervensi kepada siswa-siswa yang lain karena alumni muda atau alumni yang baru lulus dan senior (siswa kelas XII) memegang peranan penting dalam proses transmisi budaya tawuran.
17
Daftar Pustaka Cangara, Hafied. (1998). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Haling, Abdul. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar. Kartono, Kartini. (1986). Patologi Sosial dan Kenakalan Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada. ----------, Kartini. (2006). Kenakalan Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Liliweri, Alo. 2011. Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Muhammad, Arni. (2005). Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara. Sarwono, S. W, Meinarno, E. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika Aprilia, Nuri., Indrijati, Herdina. April (2014). Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Perilaku Tawuran pada Remaja Laki-laki yang Pernah Terlibat Tawuran di SMK 'B' Jakarta. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan. Vol. 3. No.01. Surabaya Dikutip dari http://fokus.news.viva.co.id/news/read/259713--budaya--di-sma-70bulungan yang diakses pada 13/09/2014 pukul 13.03 WIB Dikutip dari http://m.news.viva.co.id/news/read/354946-sederet-tawuran-pelajardi-jabodetabek-sejak-awal-2012 yang diakses pada 14/09/2014 pukul 20.15 WIB Dikutip dari http://m.tribunnews.com/metropolitan/2012/10/07/sejarah-kelamantarsekolah-memicu-fr-membunuh-alawy yang diakses pada 20/04/2014 pukul 10.17 WIB Dikutip dari http://m.tribunnews.com/metropolitan/2014/12/01/gaya-senioritassman-70-jakarta-kelas-xii-raja-kelas-x-sapi-perah yang diakses pada 19/05/2014 pukul 19.19 WIB Dikutip dari http://megapolitan. kompas.com/read/2012/12/21/10534239/ 82. Pelajar.Tewas.Sia.sia.karena.Tawuran yang diakses pada 01/05/2014 pukul 10.10 WIB Dikutip dari http://mtro.news.viva.co.id/news/read/354946-sederet-tawuranpelajar-di-jabodetabek-sejak-awal-2012 yang diakses pada 01/05/2014 pukul 12.35 WIB Dikutip dari https://id.berita.yahoo.com/siswa-sma-70-dianiaya-senior-hinggaberdarah-darah-090030079.html yang diakses pada 01/05/2014 pukul 00.12 WIB
18