GAGAL GINJAL KRONIK (CHRONIC KIDNEY DISEASE/CKD) Gyanita Novelia, 0906493350 Definisi Penyakit Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu saat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Glomerulonefritis dalam beberapa bentuknya merupakan penyebab paling banyak yang mengawali gagal ginjal kronik. Kemungkinan disebabkan oleh terapi glomerulonefritis yang agresif dan disebabkan oleh perubahan penyakit ginjal tahap akhir yang diterima pasien, diabetes mellitus dan hipertensi adalah penyebab utama gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m².
Gagal ginjal kronik biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Doenges, 1999; 626) Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan individu transisi dari sehat ke status kronis atau penyakit yang menetap sangat lamban dan menunggu beberapa tahun. (Barbara C Long, 1996; 368) Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448) Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812) Kriteria Penyakit Ginjal Kronik antara lain : 1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi : kelainan patologis , terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah dan urin atau kelainan dalam tes
pencitraan (imaging test). 2.
Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m² selama 3
bulan
dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m², tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal (Perazella, 2005). Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut: Stadium 0 1
Deskripsi LFG (mL/menit/1.73 m²) Resiko meningkat >_ 90 dengan faktor resiko Kerusakan ginjal disertai LFG >_ 90
2 3 4 5
normal atau meninggi Penurunan ringan LFG Penurunan moderat LFG Penurunan berat LFG Gagal ginjal
60 – 89 30 – 59 15 – 29 <_ 15 atau dialisis
(Sumber: Clarkson, 2005) Etiologi Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada
tahun
2007-2008
didapatkan
urutan
etiologi
terbanyak
sebagai
berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008). Glomerulonefritis. Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya
kelainan,
glomerulonefritis
dibedakan
primer
dan
sekunder.
Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006). Diabetes melitus. Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996) Hipertensi. Hipertensi adalah tekanan darah sistolik >= 140 mmHg dan tekanan darah diastolic >= 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya,
anti hipertensi
hipertensi dibagi menjadi dua
golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998). Ginjal polikistik. Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal
lebih tepat
dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono,1998). Faktor risiko Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009). Manifestasi Klinis 1. Manifestasi klinik antara lain (Long, 1996 : 369): a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
berkurang, mudah tersinggung, depresi b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal atau
sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai lekukan,
pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah. 2. Manifestasi klinik menurut (Smeltzer, 2001 : 1449) antara lain : hipertensi, (akibat
retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu berkonsentrasi). 3. Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut: a. Sistem kardiovaskuler
Nafas berbau ammonia
Hipertensi
d. Sistem musculoskeletal
Pitting edema
Kram otot
Edema periorbital
Kehilangan
kekuatan
otot
Pembesaran vena leher
Fraktur tulang
Friction sub pericardial
e. Sistem Integumen
b. Sistem Pulmoner
Warna
Krekel
kulit
abu-abu
mengkilat
Nafas dangkal Kusmaull
Pruritis
Sputum kental dan liat
Kulit kering bersisik Ekimosis
c. Sistem gastrointestinal Anoreksia,
mual
Kuku tipis dan rapuh
dan
Rambut tipis dan kasar
muntah Perdarahan saluran GI Ulserasi dan pardarahan
mulut
f.
Sistem Reproduksi Amenore Atrofi testis
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006). a. Kelainan hemopoeisis, anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit. b. Kelainan saluran cerna, mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari
sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhankeluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika. c. Kelainan mata, visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier. d. Kelainan kulit, gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost e. Kelainan selaput serosa, kelainan selaput serosa seperti pleuritis dan perikarditis sering dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Kelainan selaput serosamerupakan salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis. f.
Kelainan neuropsikiatri, beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
g. Kelainan kardiovaskular, patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal jantung. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang
utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. ( Barbara C Long, 1996, 368) Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448). Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi tiga stadium yaitu: 1. Stadium 1 (penurunan cadangan ginjal), ditandai dengan kreatinin serum dan kadar Blood Ureum Nitrogen (BUN) normal dan penderita asimtomatik. 2. Stadium 2 (insufisiensi ginjal), lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak (Glomerulo filtration Rate besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini Blood Ureum Nitrogen mulai meningkat diatas normal, kadar kreatinin serum mulai meningklat melabihi kadar normal, azotemia ringan, timbul nokturia dan poliuri. 3. Stadium 3 (Gagal ginjal stadium akhir / uremia), timbul apabila 90% massa nefron
telah hancur, nilai glomerulo filtration rate 10% dari normal, kreatinin klirens 5-10 ml permenit atau kurang. Pada tahap ini kreatinin serum dan kadar blood ureum nitrgen meningkat sangat mencolok dan timbul oliguri. (Price, 1992: 813-814)
Diagnosis Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) mempunyai sasaran berikut: 1)
Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2)
Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3)
Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4)
Menentukan strategi terapi rasional
5)
Meramalkan prognosis. Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan
yang
terarah
dan
kronologis,
mulai
dari
anamnesis,
pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus (Sukandar, 2006). Anamnesis dan pemeriksaan fisik Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif
dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal. Pemeriksaan laboratorium Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal. 1. Pemeriksaan faal ginjal (LFG) , pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG). 2. Etiologi gagal ginjal kronik (GGK), analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis. 3. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit, progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG). Pemeriksaan penunjang diagnosis Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu: 1.
Diagnosis etiologi GGK , beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos perut, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).
2.
Diagnosis pemburuk faal ginjal, pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan ultrasonografi (USG).
Pencegahan Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darahanemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian beratbadan (National Kidney Foundation, 2009).
Penatalaksanaan Keperawatan Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu : Konservatif Melakukan pemeriksaan lab.darah dan urin Observasi balance cairan Observasi adanya oedema Batasi cairan yang masuk
Dialysis Peritoneal dialysis, biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency. Sedangkan dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut adalah CAPD ( Continues Ambulatori Peritonial Dialysis ) Hemodialisis, yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan : AV fistule : menggabungkan vena dan arteri Double lumen : langsung pada daerah jantung ( vaskularisasi ke jantung ) Operasi Pengambilan batu Transplantasi ginjal Diagnosa Keperawatan Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien CKD adalah: 1. Penurunan curah jantung 2. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit 3. Perubahan nutrisi 4. Perubahan pola nafas 5. Gangguan perfusi jaringan 6. Intoleransi aktivitas 7. Kurang pengetahuan tentang tindakan medis 8. Resti terjadinya infeksi Intervensi Keperawatan Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat Tujuan: Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan Kriteria hasil : mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler Intervensi: 1) Auskultasi bunyi jantung dan paru Rasional: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
2) Kaji adanya hipertensi Rasional: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal) 3) Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10) Rasional: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri 4) Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas Rasional: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O) Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan Kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output Intervensi: 1) Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital 2) Batasi masukan cairan Rasional: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi 3) Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan Rasional: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan 4) Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran Rasional: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat Kriteria hasil: menunjukan BB stabil Intervensi: 1) Awasi konsumsi makanan / cairan Rasional: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi 2) Perhatikan adanya mual dan muntah Rasional: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau
menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi 3) Berikan makanan sedikit tapi sering Rasional: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan 4) Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan Rasional: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial 5) Berikan perawatan mulut sering Rasional: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil Intervensi: 1) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles Rasional: Menyatakan adanya pengumpulan sekret 2) Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam Rasional: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2 3) Atur posisi senyaman mungkin Rasional: Mencegah terjadinya sesak nafas 4) Batasi untuk beraktivitas Rasional: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis Tujuan: Integritas kulit dapat terjaga Kriteria hasil : Mempertahankan kulit utuh dan menunjukan perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit Intervensi: 1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan Rasional: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus / infeksi. 2) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa Rasional: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan 3) Inspeksi area tergantung terhadap udem
Rasional: Jaringan udem lebih cenderung rusak / robek 4) Ubah posisi sesering mungkin Rasional: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia 5) Berikan perawatan kulit Rasional: Mengurangi pengeringan , robekan kulit 6) Pertahankan linen kering Rasional: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit 7) Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis Rasional: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera 8) Anjurkan memakai pakaian katun longgar Rasional: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi Intervensi: 1) Pantau pasien untuk melakukan aktivitas 2) Kaji faktor yang menyebabkan keletihan 3) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat 4) Pertahankan status nutrisi yang adekuat Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan tindakan medis (hemodialisa) b.d salah interpretasi informasi. Intervensi : 1) Kaji ulang penyakit/prognosis dan kemungkinan yang akan dialami. 2) Beri pendidikan kesehatan mengenai pengertian, penyebab, tanda dan gejala CKD serta penatalaksanaannya (tindakan hemodialisa ). 3) Libatkan keluarga dalam memberikan tindakan. 4) Anjurkan keluarga untuk memberikan support system. 5) Evaluasi pasien dan keluarga setelah diberikan penkes.
DAFTAR PUSTAKA Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC Doenges E, Marilynn, dkk. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perancanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC Long, B C. (1996). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan) Jilid 3. Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. (1995). Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta : EGC Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC Suyono, Slamet. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jilid I II. Jakarta.: Balai Penerbit FKUI