Jurnal Geografi Vol 2, No.1, April 2011
CIUNG WANARA SEBAGAI OBJEK WISATA BUDAYA DI DESA KARANGKAMULYAN KECAMATAN CIJEUNGJING KABUPATEN CIAMIS H. Nandag Hendriawan1 Novi Nurcahyani 2 ABSTRAK Keberadaan situs-situs purbakala yang memiliki cerita atau toponini dari tiap-tiap situs yang ada di Objek Wisata Ciung Wanara merupakan daya tarik utama bagi setiap wisatawan yang datang. Masalah pokok yang dibahas adalah; situs-situs apa saja yang ada di kawasan Objek Wisata Ciung Wanara dan bagaimana cerita atau toponini dari setiap situs yang ada di kawasan Objek Wisata Ciung Wanara Desa Karangkamulyan Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis. Situs-situs yang terdapat di Objek Wisata Ciung Wanara memiliki serita. Adapun Cerita dari tiap-tiap situs (toponini) di Objek Wisata Ciung Wanara adalah: Pelinggih (Pangcalikan) merupakan singgasana Ratu Galuh, Sanghyang Bedil merupakan tempat penyimpanan persenjataan, Penyambungan Ayam sebagai tempat penyambungan ayam Ciung Wanara dan ayam Raja Bondan, Lambang Peribadatani merupakan lambang keagamaan, Panyandaan merupakan tempat dilahirkannya Ciung Wanara, Cikahuripan merupakan sumur yang berisi air sebagai air kehidupan yang tidak pernah kering sepanjang tahun, Makam Adipati Panaekan tempat disemayamkannya raja Galuh Gara Tengah yakni Dipati Panaekan, Pamangkonan merupakan batu berbentuk agak bulat yang dikelilingi batu lain yang ukurannya lebih kecil, Sipatahunan merupakan tempat dibuangnya dan dihanyutkannya Ciung Wanara ke Sungai Ci Tanduy. Kata kunci: Ciung Wanara, objek wisata
1
Dosen Program Studi Pendidikan Geografi, FKIP Univ. Siliwangi Tasikmalaya
2
Alumni Program Studi Pendidikan Geografi, FKIP Univ. Siliwangi Tasikmalaya H. Nandang Hendriawan dan Novi N., Objek wisata Ciung Wanara -
42
PENDAHULUAN Latar Belakang Dewasa ini perkembangan kepariwisataan berjalan semakin cepat,
baik
berkembang
di
negara-negara
seperti
maju
Indonesia.
Di
maupun
di
negara-negara
negara-negara berkembang,
kepariwisataan menjadi sorotan pembangunan yang diutamakan di antara aspek-aspek yang lain. Aspek kepariwisataan muncul dan berkembang sejalan dengan gerak dinamika pembangunan masyarakat dalam rangka modernisasi yang sedang berlangsung. Kabupaten Ciamis dikenal sebagai daerah yang memiliki potensi sebagai daerah tujuan wisata alam karena keindahan alam dan mitologinya. Potensi keindahan alam peninggalan sejarah yang menarik ditambah letak yang strategis membuat kawasan ini bisa dijadikan objek wisata. Salah satu objek wisata di kabupaten ciamis adalah Ciung Wanara. Situs Ciung Wanara yang memiliki sudut pandang alam yang indah merupakan salah satu aset pariwisata yang dikembangkan oleh pemerintah sebagai daerah tujuan wisata alam dan budaya. Adanya cerita rakyat yang dihubungkan dengan benda-benda yang ada di kawasan Bojong Galuh Karangkamulyan ini telah membudaya di Kabupaten Ciamis, hampir semua orang mengetahui kisah Ciung Wanara serta batu-batu yang telah diberi nama itu yang merupakan tempat kegiatan pada masa kerajaan Galuh. Meskipun Ciung Wanara mempunyai berbagai macam objek wisata dan dilengkapi dengan fasilitas yang cukup menunjang tetapi masih sedikit wisatawan yang mengetahui objek wisata Ciung Wanara sehingga Promosi wisata Ciung Wanara perlu terus ditingkatkan agar tidak hanya wisatawan lokal yang datang berkunjung tetapi juga wisatawan dari luar daerah dan bahkan dari luar negeri bisa datang ke objek wisata ini. Karena itu, penting kiranya dilakukan studi tentang objek wisata ciung wanara sebagai upaya untuk memperkenalkan Ciung Wanara sebagai objek wisata yang layak untuk dikunjungi.
Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah; Situs-situs apa saja yang ada di objek wisata Ciung Wanara di Desa Karangkamulyan Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis dan Bagaimana cerita tiap-tiap situs (toponini) di objek wisata Ciung Wanara tersebut? Tujuan Penelitian Adapun tujuan penulisan jurnal ini adalah : Untuk mengetahui situs-situs apa saja yang ada di Objek Wisata Ciung Wanara di Desa Karangkamulyan Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis dan Untuk mengetahui cerita tiap-tiap situs (toponini) di Objek Wisata Ciung Wanara di Desa Karangkamulyan Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis. Manfaat Penelitian Dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk mengetahui situs-situs apa saja yang ada di Objek Wisata Ciung Wanara di Desa Karangkamulyan Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis. Dapat dijadikan sebagai bahan informasi mengenai cerita tiap-tiap situs (toponini) di Objek Wisata Ciung Wanara di Desa Karangkamulyan Kecamatan Cijeungjing Kabupaten Ciamis.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Metode deskritif kualitatif dimaksudkan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena yang ada dilihat dari perspektif partisipan. Patisipan adalah orang-orang yang diajak berwawancara, diobservasi, diminta
memberikan
data,
pendapat,
pemikiran,
dan
persepsinya.
Pemahaman diperoleh melalui analisis berbagai keterkaitan dari partisipan dan melalui penguraian “pemaknaan partisipan” tentang situasi-situasi dan peristiwa-peristiwa.
HASIL DAN PEMBAHASAN Situs-situs dan Cerita Tiap-tiap Situs (toponini) di Objek Wisata Ciung Wanara Pelinggih (Pangcalikan) Pangcalikan
merupakan
sebuah
batu
bertingkat-tingkat
berwarna putih serta berbentuk persegi empat, termasuk ke dalam golongan/jenis yoni (sebagai tempat pemujaan) yang letaknya terbalik, digunakan meja saji atau altar sehingga dinamakan batu pelinggih atau pangcalikan. Pelinggih disebut juga pangcalikan (bahasa Sunda) yang berarti tempat duduk. Konon menurut cerita rakyat, batu pangcalikan ini merupakan pusat dari pemerintahan dan juga merupakan singgasana Ratu Galuh yang dijaga oleh tujuh buah benteng pertahanan. Benteng pertama terletak di dekat Desa Karangkamulyan sekarang, sedangkan benteng ke tujuh tepat berada di pintu di mana terdapat batu pangcalikan berada.
Gambar 1 Batu Pangcalikan Pada zaman kerajaan dulu, benteng pertahanan benar-benar dibuat selebar mungkin, sehingga kalau hendak bertemu atau menghadap kepada raja harus melalui ketujuh benteng pertahanan itu. Disamping sebagai pengaman juga merupakan pintu pemeriksaan kepada
orang
yang
datang
untuk
berbagai
keperluan
pintu
pemeriksaan. Selain itu Pangcalikan juga sempat digunakan sebagai tempat untuk melakukan musyawarah (pendopo).
Kondisi batu pangcalikan saat ini masih terlihat beberapa buah pintu yang mesti dilewati yang di bawahnya dipagari dengan batu-batu kecil yang berjajar rapi. Pintu paling depan merupakan parit pertahanan yang cukup lebar, sekitar 30 meter kita berjalan maka dapati lagi sebuah pintu yang dipinggirnya ada struktur tembok dari batu, sekitar 15 meter kita berjalan lagi terdapat pula sebuah pintu menuju ke sebuah pelataran yang cukup
luas. Pelataran itu
merupakan balai pertemuan pada zaman dahulu. Setelah itu kita masuki struktur tembok yang di dalamnya ada dua buah pintu masuk, sampai akhirnya kita tiba di tempat yang disebut sebagai batu pangcalikan. Selain itu menurut hasil wawancara di Batu Pangcalikan ini juga setiap tahunnya selalu dilakukan sebuah upacara adat yang biasa disebut sebagai upacara ngikis. Ngikis berarti mager, jadi upacara ngikis adalah sebuah upacara dimana prosesnya adalah mengganti pager
yang
mengitari
Batu
Pangcalikan
dan
dilakukan
oleh
masyarakat Desa Karangkamulyan secara bergotong royong. Upacara ngikis biasa dilakukan setiap akhir bulan Reuwah atau menjelang bulan Ramadhan. Pada saat upacara ngikis masyarakat berbondongbondong datang ke Batu Pancalikan sembari membawa dongdang (makanan). Meskipun pager Batu Pangcalikan saat ini tidak terbuat dari bambu, upacara ngikis ini masih tetap dilakukan sampai sekarang sebagai simboliknya pager yang terbuat dari bambu diletakan di bagian dalam area Batu Pangcalikan. Selain itu upacara ngikis ini merupakan salah satu aset kepariwisataan di Karangmulyan sehingga masih terus dipertahankan sampai saat ini. Pada saat upacara adat ngikis juga biasanya digunakan oleh masyarakat sebagai suatu kesempatan
bagi
mereka
menyampaikan
aspirasinya
kepada
pemimpin pemerintahannya (Bupati Kabupaten Ciamis) karena pada upacara ngikis
ini biasanya Bupati Kabupaten Ciamis selalu
menyempatkan diri untuk hadir. Sanghyang Bedil
Tempat yang dinamakan Sanghyang Bedil merupakan suatu ruangan yang dikelilingi tembok berukuran 6,20 x 6 meter. Tinggi tembok kurang lebih 80 cm. Pintu menghadap ke arah Utara, di depan pintu masuk terdapat struktur batu yang berfungsi sebagai sekat (schutsel). Di dalam ruangan ini terdapat dua buah menhir yang terletak di atas tanah, masing-masing berukuran 60 x 40 cm dan 20 x 8 cm. Bentuknya memperlihatkan tradisi megalitik (zaman batu). Sanghyang Bedil pada zaman dahulu merupakan tempat penyimpanan alat perang, gudang senjata dan tentunya senjata yang digunakan masih merupakan senjata yang sangat sederhana yang masih terbuat dari batu. Menurut
kepercayaan
masyarakat,
Sanghyang
Bedil
kadangkala dapat dijadikan sebagai pertanda akan datangnya suatu kejadian, terutama apabila di tempat itu berbunyi suatu letusan, namun sekarang pertanda itu sudah tidak ada lagi. Disamping itu senjata memilik arti perlambangan tersendiri yang telah dikenal oleh masyarakat sekitarnya. Senjata merupakan lambang dari hawa nafsu. Arti filsafatnya adalah bahwa hawa nafsu sering menyeret kita/manusia ke dalam kecelakaan, oleh sebab itu jangan sampai kita mengikuti hawa nafsu, tetapi haru pandai mengendalikan diri supaya terhindar dari segala macam bencana dan penyesalan.
Gambar 2 Sanghyang Bedil Seperti halnya fungsi senjata, apabila digunakan ke jalan yang baik maka akan membawa keselamatan, akan tetapi apabila
disalahgunakan maka akan berubah fungsinya menjadi jalan yang buruk dan mecelakakan diri sendiri. Penyabung Ayam Tempat ini terletak di sebelah Selatan dari lokasi yang disebut Sanghyang Bedil, kira-kira 5 meter jaraknya dari pintu masuk yakni berupa ruang terbuka yang letaknya lebih rendah. Pada lokasi penyabung ayam ini terdapat sebuah batu atau peninggalan lain yang berasal dari tradisi megalitik ataupun klasik, akan tetapi hanya merupakan sebuah ruangan terbuka berbentuk bundar yang dikelilingi oleh pohon-pohon yang tinggi. Namun masyarakat menganggap bahwa tempat itu merupakan tempat penyambungan ayam
Ciung Wanara dan ayam
raja.
Disamping itu di lokasi sabung ayam ini merupakan tempat khusus untuk memilih raja yang dilakukan dengan alat adu ayam.
Gambar 3 Penyambungan Ayam Pada tempat ini masyarakat pun memiliki perlambangan tertentu yang dihubungkan dengan kehidupan. Dari peristiwa yang dapat dipetik adalah mengandung makna bahwa kita harus dapat membedakan mana jalan yang baik dan mana jalan yang buruk. Seperti perjuangan Ciung Wanara dalam merebut haknya, dari orang yang bukan hak memiliki kerajaan yaitu Raja Bondan yang terkenal sebagai orang yang jahat dan senang melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Ciung Wanara turun tanpa merasa bersalah, tetapi sebaliknya meluruskan yang salah.
Selain itu setiap wisatawan yang datang ke Ciung Wanara yang berkunjung ke objek Penyambungan Ayam selalu diberi cerita bahwa setiap orang yang mampu berjalan dengan menutup mata dengan tangan diangkat ke depan dan apabila tangannya tepat menyentuh tonjolan yang ada pada pohon yang berada tepat di tengah-tengah Penyambungan Ayam maka apa yang dia inginkan dan harapkan bisa terkabulkan. Lambang Peribadatan Batu yang disebut sebagai lambang peribadatan merupakan sebagian dari kemuncak, tetapi ada juga yang menyebutnya sebagai fragmen candi, masyarakat menyebutnya sebagai stupa. Bentuknya indah
karena
dihiasi
oleh
pahatan-pahatan
sederhana
yang
merupakan peninggalan Hindu. Lambang peribadatan ini merupakan sebuah tempat yang pada zaman dahulu digunakan sebagai tempat beribadah. Letak batu ini berada di dalam struktur tembok yang berukuran 3 x 3 m, tinggi 60 cm. Batu kemuncak ini ditemukan 50 m ke arah timur dari lokasi sekarng. Di tempat ini terdapat dua unsur budaya yang berlainan yaitu adanya kemuncak dan struktur tembok. Struktur tembok yang tersusun rapi menunjukan lapisan budaya megalitik, sedangkan kemuncak merupakan peninggalan agama Hindu. Masyarakat menyebutnya sebagai Lambang Peribadatan atau lambang keagamaan, karena dilihat dari bentuknya yang mirip dengan stupa. Oleh sebab itu kita harus merasa yakin dalam kehidupan ini bahwa Tuhan itu ada dan segala sesuatu yang akan dilakukan harus memohon pertolongan dari Tuhan. Begitulah filsafat dari Lambang Peribadatan yang mengarah kepada sifat religi.
Gambar 4 Lambang Peribadatan Panyandaan Panyandaan terdiri atas sebuah menhir dan dolmen, letaknya dikelilingi oleh batu bersusun yang merupakan struktur tembok. Menhir berukuran tinggi 120 cm, lebar 70 cm, sedangkan dolmen berukuran 120 x 32 cm. Kegunaan ditandai dengan adanya struktur tembok yang merupakan himpunan batu kali yang berukuran 5,70 x 5,90 meter, dengan tinggi 65 cm. Arahnya ke barat, di depan pintu masuk terdapat struktur yang berukuran 1,58 x 8 cm, tinggi 50 cm. Tempat yang disebut sebagai Panyandaan merupakan tempat peristirahatan dan pengobatan tradisional, ini membuktikan sejak zaman dahulu kala kerajaan Galuh telah mementingkan perihal kesehatan. Di Panyandaan jugalah Ciung Wanara dilahirkan oleh Dewi Naganingrum yang kemudian bayi itu dibuang atau dihanyutkan ke Sungai Ci Tanduy. Setelah melahirkan Dewi Naganingrum bersandar di tempat itu selama empat puluh hari dengan maksud untuk memulihkan kesehatannya setelah melahirkan.
Gambar 5 Panyandaan Ada anggapan dari masyarakat yang sampai kini masih ada mempercayainya, terutama bagi ibu yang ingin mempunyai anak dengan mencoba bersandar di tempat itu maka akan segera dikaruniai anak. Begitulah keramat dari tempat Panyandaan itu, akan tetapi orang mempercayainya, mungkin ini hanyalah permainan saja sebagai sarana hiburan.
Cikahuripan Di lokasi ini tidak terdapat tanda-tanda adanya peninggalan arkeologis. Tetapi hanya merupakan sebuah sumur yang letaknya dekat dengan pertemuan antara dua sungai, yaitu Sungai Ci Tanduy dan Sungai Ci Muntur. Di Cikahuripan ini terdapat dua sumber mata air yaitu mata air Citeguh yang berarti percaya diri dan sumber mata air Cirahayu yang berarti selamat. Kedua sumber mata air ini bersatu membentuk sumur yang disebut sebagai Cikahuripan berasal dari kata hurip yaitu selamat lahir dan batin. Sumur ini disebut Cikahuripan yang berisi air kehidupan, air merupakan lambang kehidupan itu sebabnya disebut sebagai Cikahuripan. Sumur ini merupakan sumur abadi karena airnya tidak pernah kering sepanjang tahun.
Gambar 6 Cikahuripan Berawal dari sumber mata air yang membentuk Cikahuripan dapat diambil sebuah filsafat yang diyakini masyarakat setempat yaitu dalam menempuh hidup ini harus dibekali modal keteguhan hati dan rasa percaya diri agar selamat lahir dan batin. Hurip berarti hidup, teguh berarti tidak tergoyahkan pendiriannya, sedangkan rahayu artinya selamat di dalam hidup ini, orang selalu mencari keselamatan agar berbahagia baik lahir maupun batinnya. Makam Dipati Panaekan
Pada tempat yang disebut makam Dipati Panaekan, tidak terdapat
tanda-tanda
adanya
peninggalan
arkeologis.
Tetapi
merupakan batu yang berbentuk lingkaran bersusun tiga, yakni merupakan susunan batu kali.
Gambar 7 Makam Adipati Panaekan Pada susunan paling bawah berdiameter 6 meter, susunan kedua berdiameter 5 meter, dan susunan atau undakan ketiga berdiameter 3 meter. Pada susunan paling atas itulah yang disebut sebagai makam Adipati Panaekan. Letak makam tersebut berada di salah satu jalan setapak yang menuju ke arah Sungai Ci Muntur. Dipati Panaekan adalah raja Galuh Gara Tengah yang berpusat di Cineam dan mendapat gelar Adipati dari Sultan Agung Raja Mataram. Dipati Panaekan merupakan anak kedua dari Cipta Permana (Prabudi Galuh) raja Galuh Gara Tengah, ia wafat karena dibunuh oleh adik iparnya sendiri yang bernama Dipati Kertabumi (Singa Perbangsa 1) karena perselisihan paham dalam rangka penyerbuan Belanda ke Batavia dimana Panaekan condong ke pendapat Dipati Ukur sedang Singaperbangsa condong ke pendapat Rangga Gempol yaitu sebelum penyerangan harus ada persatuan dulu antara kebupatian di Tatar Sunda yang waktu itu dibawah kekuasaan Mataram. Setelah dibunuh jasadnya dihanyutkan ke Sungai Ci Muntur dan di angkat lagi di pertemuan Sungai Ci Muntur dan Sungai Ci Tanduy lalu dikuburkan di Karangkamulyan.
Keberadaan makam Adipati Panaekan merupakan salah satu bukti telah masuknya ajaran agama Islam di Galuh yakni pada abad ke-16 Masehi. Anak dari Adipati Panaekan ini akhirnya menjadi bupati pertama Imbanagara. Pamangkonan Pamangkonan merupakan salah satu situs yang berada di kawasan Karangkamulyan. Pada pamangkonan ini sebenarnya tidak terdapat
tanda-tanda
adanya
peninggalan
arkeologis.
Tetapi
pamangkonan ini merupakan batu yang berbentuk agak bulat yang dikelilingi oleh batu lain yang tersusun melingkar pada batu pamangkonan dengan ukuran yang lebih kecil daripada batu pamangkonan yang terletak di tengahnya. Batu pamangkonan yang ada saat ini hanyalah sebuah simbol dan bukanlah Batu pamangkonan yang asli. Menurut sejarahnya yang diceritakan oleh kuncen setempat bahwa pada zaman penjajahan Belanda, para pejuang Galuh sebelum melakukan peperangan mereka berdo’a dengan seteguh hati kepada Tuhan untuk memohon petunjuk, dan mereka melambangkan petunjuk yang diberikan dengan cara apabila batu pamangkonan ini mampu terangkat dengan mudah oleh mereka maka mereka akan memperoleh kemenangan dan juga kemerdekaan namun apabila batu pamangkonan ini tidak mampu terangkat
maka
mereka
akan
mengalami
kekalahan
dalam
peperangan. Hingga akhirnya jawaban dari do’a para pejuang Galuh ini mereka mampu mengangkat batu pamangkonan dengan sangat mudah dan ringan tanpa bantuan alat apapun. Hal ini membuat semangat juang para pejuang semakin berkobar karena mereka yakin akan menang dalam melawan penjajahan
Gambar 8 Area Pamangkonan
Gamb ar 9 Batu Pamangkonan
Pihak penjajah Belanda yang mengetahui perihal keberadaan batu
pamangkonan
ini
menjadi
geram,
mereka
hendak
menghancurkan dan memusnahkan batu pamangkonan dengan harapan akan juga menghancurkan semangat juang dari para pejuang Galuh. Dengan susah payah pemerintah Belanda menghancurkan batu pamangkonan ini bahkan menurut cerita untuk membawa batu pamangkonan saja pemerintah Belanda sampai menggunakan tank baja saking beratnya. Namun
usaha dari penjajah Belanda ini
akhirnya sia-sia saja karena walaupun batu pamangkonan asli telah berhasil dihancurkan semangat pejuang Galuh tidaklah surut karena mereka telah meyakini bahwa mereka akan menang dalam melawan penjajahan Belanda. Saat ini, konon menurut kuncen dari kawasan Karangkamulyan bahwa setiap orang yang ingin mengetahui lebih banyak mana antara dosa ataukah amalan baik yang paling banyak dimiliki adalah dengan cara mengangkat batu pamangkonan dengan tangan kosong, apabila batu pamangkonan dapat terangkat itu artinya lebih banyak amalan baik yang dimiliki oleh orang tersebut begitu juga sebaliknya pabila batu pamangkonan tidak mampu diangkat itu artinya dosa orang tersebut lebih banyak dari amalan baik yang ia miliki.
Sipatahunan Sipatahunan bukanlah merupakan sebuah batu ataupun bangunan seperti yang terdapat pada situs-situs lain yang terdapat di Karangkamulyan. Sipatahunan merupakan sebidang lahan yang tidak terlalu luas di pinggiran Sungai Ci Tanduy. Di Sipatahunan inilah Ciung Wanara diduga dibuang dan dihanyutkan oleh ibunya sendiri guna menyelamatkan nyawa Ciung Wanara dari ancaman Raja Bondan yang berniat akan membunuh Ciung Wanara karena ketakutan kekuasaanya akan jatuh kepada Ciung Wanara.
Gambar 4.26 Lokasi Sipatahunan Keberadaan situs Karangkamulyan yang merupakan pusat pemerintahan kerajaan Galuh pada zaman dahulu telah membuktikan bahwa penempatan pusat pemerintahan telah ada pada posisi yang strategis karena diapit oleh dua sungai yaitu Ci Tanduy dan Ci Muntur, dimana pada daerah ini merupakan daerah yang subur dan dekat dengan sumber air, air adalah suatu zat yang penting bagi kehidupan karena makhluk hidup tidak akan pernah mampu hidup tanpa adanya air. Selain itu kondisi alam di Karangkamulyan pada waktu itu sangatlah mempengaruhi terhadap kebudayaan maupun kebiasaan dari masyarakat Galuh hal ini bisa dilihat dari sisa-sisa peninggalan ataupun situs-situs yang terdapat di Karangkamulyan, yang sebagian besar situs terbuat dari batu berjenis batu kali atau batu sungai, hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Wagner dan Mikasell bahwa cultural geography sebagai aplikasi dari ide-ide kebudayaan
bagi masalah-masalah geografi, ini membuktikan bahwa lingkungan geografis mempengaruhi dalam pembentukan suatu kebudayaan. Pada situs Karangkamulyan ini terdapat juga unsur budaya yang berbeda namun
masih berada dalam satu wilayah yakni di
Kawasan Objek Wisata Ciung Wanara, unsur budaya yang dapat dilihat adalah keberadaan situs Karangkamulyan yang berupa struktur tembok yang tersusun rapi yang menunjukan peninggalan budaya di zaman megalitik atau zaman batu di masa prasejarah, lalu ditemukan juga batu pada lambang peribadatan yang berupa kemuncak atau fragmen candi masyarakat biasa menyebutnya stupa, kemuncak ini merupakan salah satu bukti peninggalan agama Hindu, dan juga adanya makam Adipati Panaekan, makam tersebut membuktikan telah masuknya agama Islam karena pada waktu itu hanyalah yang memeluk agama Islamlah yang melakukan penguburan mayat. Dari berbagai unsur budaya yang dimiliki pada situs Karangkamulyan inilah yang menjadikan Objek Wisata Ciung Wanara sebagai salah satu objek wisata budaya yang menarik di Kabupaten Ciamis.
DAFTAR PUSTAKA
Anggriani, Risti. (2010). Kearipan Lokal Masyarakat Kampung Kuta di Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis (Suatu Kajian Geografi) Skripsi. Tasikmalaya: Tidak Diterbitkan. Fahrudin, Achmad. (2010). Fisiografi Jawa Barat Menurut Van Bemmelen. [Online]. Tersedia di: www.google.com (19 Oktober 2011). Gamal, Suwantoro. (2004). Dasar-dasar Pariwisata. Yogyakarta: Andi. GBHN. (1997). Peraturan Pemerintah Tentang Kepariwisataan. [Online]. Tersedia: http//www.disparbudkes.com Mantra, B. Ida. (2000). Demografi Umum. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nasution. (1987). Metode Research. Bandung: Jemars. Pendit, S. Nyoman. (1980). Ilmu Pariwisata, Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Rafi’i, Suryatna. (1989). Metode Statistik Analisa (untuk Penarikan Kesimpulan). Bandung: Alumni. Saprudin.
(2008).
Prospek
Perkembangan
Objek
Wisata
Pantai
Tanjungpasir Desa Tanjungpasir Kecamatan Teluknaga Kabupaten Tangerang Propinsi Banten. Skripsi. Tasikmalaya: Tidak Diterbitkan. Sukardja, Djadja. (2002). Situs Karangkamulyan. Ciamis : File Amipro. Sumaatmaja, Nursyid. (1981). Studi Geografi Suatu Pendekatan dan Analisa Keruangan. Bandung: Alumni. Sumaatmaja,
Nursyid.
Departemen
(1988).
Geografi
Pembangunan.
Jakarta:
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi. Surakhmad, Winarno. (1998). Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito. Sya, Ahman, HM. (2005). Geowisata Kabupaten Tasikmalaya. Garut: CV Gajah Poleng.
Yayah. (2008).Pengembangan Objek Wisata Budaya Ciung Wanara di Desa Karangkamulyan
Kecamatan
Cijeungjing
Kabupaten
Ciamis.
Tasikmalaya: Tidak Diterbitkan. Yoeti, Oka A. (1983). Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: PT Angkasa.