Citra Kepolisian dan Penampilan Polisi Wanita di Media Oleh: Yugih Setyanto, S.Sos.,M.Si Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara
[email protected] dan
[email protected]
abstrak
Banyak cara bagi suatu institusi baik pemerintah apalagi swasta dalam mengedepankan citranya. Kesadaran untuk menjaga citra merupakan perkembangan masyarakat saat ini yang menuntut kinerja dari suatu institusi. Sedangkan citra yang sesungguhnya hanya dapat dibentuk dengan kinerja yang baik. Dari berbagai berita dan pengalaman yang dialami masyarakayt sendiri menyangkut institusi pemerintah tidaklah terlalu bagus. Citra institusi pemerintah pada umumnya dipersepsikan kurang baik. Dewasa ini banyak pemimpin yang berupaya mengubah wajah birokrasi untuk kembali ke fungsi semula sebagai pelayan masyarakat salah satunya adalah Polri. Berbagai upaya dilakukan mengubah wajah Polri agar terlihat lebih ramah dan mudah disukai. Caranya selain tentu memperbaiki pelayanan kepada masyarakat juga bagaimana Polri mengedepankan polisi-polisi wanita untuk tampil di berbagai media. Para polisi wanita dihadirkan di berbagai kesempatan bahkan tak jarang di media sosial menjadi trending topic. Dalam ranah kehumasan cara pendekatan seperti ini sah-sah saja karena daya tarik merupakan salah satu cara mendapatkan perhatian publik dan membentuk citra. Polisi wanita terlebih yang rupawan dianggap lebih mudah mendekati hati masyarakat. Yang menjadi pertanyaan apakah dalam hal ini Polri bermaksud lebih mengedepankan peran perempuan dalam institusinya ataukah sekedar menjadikan perempuan sebagai alat untuk mendapatkan daya tarik masyarakat.
Kata kunci: humas, citra, peran perempuan
A.
Pendahuluan Sejak
dulu
setiap
organisasi
memerlukan
dukungan
publik
dalam
operasionalnya. Dukungan publik merupakan bentuk penerimaan masyarakat terhadap aktivitas dan keberadaan suatu organisasi. Dulu oranisasi bisnis seperti perusahaan yang berorientasi profit mengedepankan dukungan publik dan berharap agar produk atau jasa yang dihasilkannya bisa diterima bahkan dapat “dibela” oleh khalayaknya. Banyak kasus-kasus yang melanda suatu produk akibat berita atau isu negative justru mendapat pembelaan dari masyarakat (konsumen). Hal ini dapat terjadi tentu karena hubungan yang dibangun sejak dini berlandaskan saling memahami dan mengerti antara perusahaan dan masyarakat. Kondisi ini tidak otomatis tumbuh namun perlu strategi dari perusahaan dalam memproyeksikan kepentingan perusahaan dalam berkomunikasi
dengan
khalayak
sekaligus
juga
memperhitungkan
dinamika
masyarakat. Perkembangan saat ini, kepentingan dalam mendapatkan dukungan publik tidak saja diharapkan oleh institusi bisnis namun institusi pemerintah pun juga mulai memerlukan dukungan masyarakat. Selama ini organisasi pemerintah (Humas) hanya berkutat menjadi corong kekuasaan dan menomorduakan kepentingan masyarakat. Hal ini dikarenakan belum disadarinya arti penting dukungan publik. Terlebih sudah lama organisasi pemerintah berlindung dibalik kekuasaan dan kepentingan birokrasi sehingga lupa tugas utamanya sebagai pelayan masyarakat.
Perkembangan
masyarakat ditunjang juga dengan kemajuan teknologi saat ini mengubah cara pandang itu. Saat ini masyarakat menuntut “sang pelayan” ini menjadi lebih memahami kepentingan publik bukan sekedar alat penguasa. Kehadiran teknologi informasi seperti media sosial menjadi ruang diskusi publik guna menekan institusi pemerintah agar lebih baik dalam melayani masyarakat. Tak jarang diskusi ini menjadi sebuah tekanan yang dapat mengubah sebuah institusi menjadi lebih transparan dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Belum lagi
inisiatif masyarakat untuk mengadakan survey guna melihat taraf dan kondisi institusi tersebut.
Ini semua mudah dicapai karena dibantu dengan semakin mudahnya
masyarakat berinteraksi melalui media sosial. Salah satu institusi pemerintah yang paling mendapat sorotan publik adalah Polisi Republik Indonesia (Polri).
Penilaian masyarakat terhadap organisasi ini
sayangnya tidak baik dan menjurus ke negatif. Sudah lama masyarakat menilai buruk terhadap kinerja Polri di tengah banyak juga prestasi yang telah diraih. Namun noktah hitam di hamparan kertas putih akan lebih mudah tampak.
Oleh sebab itu
kecenderungan masyarakat menilai negatif sudah terlanjur melekat dalam diri Polri. Sebuah survei yang dilakukan Global Corruption Barometer (GCB) 2013 yang dirilis Transparency International Indonesia (TII) dengan menggunakan responden 114 ribu orang di 107 negara, memperoleh hasil bahwa kepolisian menduduki peringkat pertama terkorup dan diikuti parlemen serta pengadilan. Sedangkan dari hasil survei di Indonesia, disebutkan kepolisian juga paling tinggi indikasi terkorup yaitu 4,5 persen (http://news.okezone.com/read/2013/07/10/339/834852/dituding-lembaga-terkoruppolriminta-maaf). Hal
yang
samapun
disampaikan
komisioner
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
(KPK) Adnan Pandu Praja yang menilai kepolisian, dewan perwakilan rakyat, dan pengadilan, secara
berurutan
menjadi
lembaga
negara
terkorup
di
Indonesia
(http://www.tribunnews.com/nasional/2013/09/16/ini-tiga-lembaga-paling-korupmenurut-kpk). Selain itu juga dalam survey yang dilakukan KPK untuk
mengetahui layanan publik oleh
instansi pemerintah menempatkan Polri di posisi kedua skor terendah dibidang pelayanan publik (http://www.indosiar.com/fokus/depperin-polri-dan-kominfo-terburuk_83565.html). Belum lagi ditambah kasus-kasus yang melibatkan (atau disinyalir) anggota Polri seperti rekening gendut pejabat Polri, korupsi Dirlantas Djoko Susilo, keterlibatan AKBP IEP pada kasus narkoba di Polda Kalbar, dll. Kesemuanya ini tentu menambah citra buruk Polri di mata masyarakat.
Hal ini dipertegas Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Republik Indonesia, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar menyatakan bahwa faktor penyebab buruknya citra Polri adalah diantaranya masih adanya anggota Polri yang melakukan pelanggaran tata tertib, disiplin, etika profesi bahkan melakukan tindakan pidana (Farleni dan Widayatmoko, Jurnal Fikom Untar vol.6 No.1 februari 2014).
Tuntutan masyarakat yang menginginkan agar institusi mempunyai kinerja yang baik membuat semua organisasi pemerintah berbenah dan berupaya menampilkan kinerja sebaik mungkin atau setidaknya menampilkan adanya suatu perubahan. Bentuk perubahannya pun bervariasi dari yang mencoba sekedar mengubah tampilan sampai dengan benar-benar berusaha mengubah budaya organisasi sesuai keinginan masyarakat. Polri adalah salah satu institusi yang mencoba memperbaiki citra dirinya agar dapat setidaknya disukai oleh masyarakat. Dari yang penulis amati, salah satu cara untuk lebih mendapat perhatian masyarakat adalah dengan mengedepankan polisi-polisi berparas menarik di media.
Dalam dunia periklanan ada yang dikenal
dengan konsep AIDA (Attention, Interest, Desire, Action) yaitu pada tahap awal membuat konsumen tertarik dahulu. Dalam masyarakat yang kuat kultur masculine dimana peran pria lebih dominan, perempuan lazim dijadikan sebagai pendayatarik.
Contoh yang paling sering kita
temukan adalah dalam tayangan televisi, baik itu berupa bintang iklan, dan presenter dikedepankan sosok perempuan cantik yang dapat menarik perhatian pria.
Ketua
Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane mengatakan bahwa kehadiran polisi di televisi memang bisa mendekatkan polisi ke masyarakat. Langkah ini juga dilakukan untuk memberikan informasi seputar pelayanan kepolisian dengan upaya yang lebih simpatik.
B.
Perempuan, Citra dan PR Usaha memperbaiki wajah Polri untuk lebih dekat dengan masyarakat tentu
sudah sering dilakukan.
Kampanye dan publikasi yang mengedepankan gambaran
kinerja Polri yang baik dan bersahabat dengan masyarakat dapat dilihat dimana-mana termasuk melalui media sosial. Selain itu seperti diungkapkan sebelumnya bahwa guna mendapat
perhatian
menciptakan
citra
penggunaan
institusi
jamak
sosok
perempuan
dilakukan.
Dalam
berparas
cantik
pameran,
memanfaatkan sales promotion girls (SPG) sebagai daya tarik.
dalam
perusahaan
Di perkantoranpun
sosok perempuan cantik kerap berada di front office yang siap menyambut tamu
perusahaan. Begitu pula profesi sekretaris di perusahaan selalu diisi kaum perempuan. Dalam PR justru sangat kuat stereotype yang menganggap dunia ini layaknya dilakukan perempuan. Tak jarang banyak perusahaan yang menunjuk PR atau staf yang terkait dengan PR dari perempuan yang tentunya juga harus berpenampilan menarik. Penampilan fisik yang menarik seakan menjadi sebuah syarat utama bagi seorang PR ataupun orang yang dipih suatu menjadi sosok yang tampil di depan publik. Terkait dengan Polri, tentu beberapa waktu terakhir ini masyarakat sering disuguhkan dengan tampilan para Polwan cantik di televise dan media lainnya. Tak jarang banyak stasiun TV yang
“memperkejakan” para Polwan jelita tersebut dalam melaporkan
kondisi lalulintas.
Bahkan di stasiun Net.TV ada acara semi reality show yang
menjadikan sosok Polwan menjadi bintangnya. Belum lagi di banyak acara talk show kerap ditampilkan para Polwan menjadi bintang tamu seperti Bukan empat mata, Hitam Putih, bahkan di acara gossip selebritis infotainment.
Kehadiran mereka menjadi idola baru di masyarakat yang seakan melupakan kondisi intitusi tempatnya berada yang selalu mendapat sorotan negative.
Untuk
sementara kehadiran mereka juga seperti mengubah citra Polri yang selama ini berjarak dan tidak bersahabat dengan masyarakat. Yang menjadi pertanyaan sekarang apakah penampilan mereka di media menjadi sebuah symbol semakin besarnya peran
perempuan dalam tubuh Polri atau sekedar pemikat untuk menarik perhatian masyarakat agar menyukai Polri melalui kecantikan para Polwannya. Menurut Staf Pengajar Program pasca sarjana Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia Bambang Widodo Umar jika tujuan kepolisian memunculkan polisi di televisi adalah meningkatkan citranya, hal itu keliru. Disampaikannya bahwa meningkatkan citra Polri itu bukan dengan menampilkan kecantikan dan fisik yang gagah.
itu
fatamorgana. Senada diutarakan Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane kemunculan para Polwan juga harus diikuti perbaikan kinerja polisi secara umum (Koran
Tempo,21/9).
Dalam pemahaman kehumasan pun jelas dikatakan bahwa citra yang baik
hanya bisa diraih dari kinerja organisasi yang baik pula.
Dalam tulisan laporan Koran Tempo memang menyebut adanya peran agen kehumasan dalam program-program yang menampilkan sosok Polwan ini. Menurut agen Kehumasan tersebut mereka memilih beberapa Polwan untuk muncul di metro TV dan kemunculan mereka tersebut ternyata membetot perhatian masyarakat. Menurut Bowman dan Ellis
dalam Indrawadi Tamin (2012) komunikasi yang
efektif menyangkut beberapa aspek dan yang pertama adalah aspek atensi. Dalam aspek atensi, komunikasi yang disampaikan menimbulkan atensi sasaran. mendapat atensi barulah akan merangsang interest (minat).
Setelah
Atas dasar itu, dapat
dikaitka bahwa Polri ingin mendapatkan atensi dari masyarakat dan menggunakan sosok Polwan cantik. Setelah mendapat perhatian barulah masyarakat akan menerima pesan-pesan yang disampaikan. Faktor fisik dapat menjadi salah satu penentu keberhasilan PR. merupakan representasi dari institusi.
Dan PR
Dengan demikian personel yang berinteraksi
dengan masyarakat adalah PR membawa citra bagi institusi tempatnya bernaung. Polwan-polwan ini diharapkan akan memperbaiki citra Polri di mata publik.
C. Perempuan sebagai Alat Pencitraan Pemahaman mengenai perempuan pada dasarnya mengacu pada jenis kelamin dan pembagian peran gender. Salah satu pengertian perempuan disampaikan Fakih dalam Reza Ekon Wirata dan Mei Ie (Jurnal fikom Untar Vol.5 no.1 Feb.2013) bahwa “Perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi seperti cantik dan saluran untuk melahirkan, memperoduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui”.
Sedangkan menurut konsep gender, perempuan adalah manusia yang
memiliki sifat lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Selama ini institusi Polisi -seperti juga institusi militer - selalu diidentikkan dengan dunia pria.
Peran perempuan dalam dinomorduakan.
Namun dengan sering
diberitakan dan munculnya para Polwan cantik di media seakan memberi pertanyaan apakah peran perempuan semakin menguat atau sekedar menjadi sebuah alat untuk mendapat perhatian masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu perlu dilihat dahulu bagaimana peran perempuan dalam menempati posisi strategis di Polri. Pada laporan Koran Tempo (21/9) disebutkan bahwa jumlah kekuatan Polri saat ini 391.089 polisi termasuk di dalamnya terdapat 13.759 Polwan. Dari sejumlah Polwan tersebut saat ini hanya satu Polwan aktif yang memiliki pangkat tertinggi yaitu brigadir jenderal, Komisaris besar (35), ajun Komisaris Besar (308), Komisaris (225), Ajun Komisaris (123), Inspektur Polisi Satu (111), dan Inspektur Polisi Dua (52) berarti total terdapat 855 personel tingkat perwira. Sedangkan 12.904 Polwan tingkat bintara. Data Koran Tempo juga memuat bahwa total 107 orang Polwan yang memegang jabatan strategis dari tingkat pusat hingga daerah.Pembagian pekerjaan dan jabatan yang diberikan kepada Polwan pun hanya sepersekian dari porsi polisi pria. Perempuan sendiri sudah sering menjadi objek guna mendapatkan keuntungan. Padahal seperti disampaikan Reza Ekon Wirata dan Mei Ie mengutip Gandhi (2002) menyatakan pengertian perempuan adalah mitra kaum laki-laki yang diciptakan dengan kemampuan-kemampuan mental setara.
kaum perempuan juga memiliki hak atas
kemerdekaan dan kebebasan yang seperti dimiliki oleh kaum laji-laki.
Kaum
perempuan berhak untuk memperoleh tempat tertinggi dalam ruang aktivitasnya. Istilah ini yang dengan kesetaraan gender. Bila mengamati penampilan Polwan di media pesan yang ingin disampaikan seolah
ingin
mengedepankan
peran
perempuan
pengeksploitasian terhadap perempuan itu sendiri.
namun
justru
menjadi
Dalam buku Pembagian Kerja
Secara Seksual oleh Arief Budiman (1981) diantaranya mengutip bahwa lelaki adalah pemimpin yang dapat menggunakan kekuasaan untuk menertibkan perempuan sebagai pihak subordinat. Bila dikaitkan dengan pendapat ini pula diasumsikan bahwa kekuasaan pria dalam tubuh Polri memang besar.
Apalagi seperti diungkap di atas bahwa Polri
senagaja memilih Polwan yang menarik yang mengindikasikan adanya pendekatan kekuasaan dari kacamata seorang pria.
Peran Polwan dalam ranah nyata belum
sebanding dengan rekan prianya. Padahal menurut Neta S. Pane banyak kasus yang ditangani Polri terkait dengan perempuan dan anak.
Tentu kasus ini diperlukan
pendekatan seorang perempuan dan Polwan bisa lebih berperan.
C.
Kesimpulan Upaya Polri dalam memperbaiki citranya patut dihargai. Tentu banyak cara yang
telah
dilakukan.
Selain
melakukan
perbaikan
secara
internal
perlu
juga
mengedepankan sebuah harapan kepada masyarakat bahwa Polri ingin berubah. Hal pertama yang dilakukan adalah menarik perhatian masyarakat yang dalam komunikasi disebut tahap atensi.
Polri perlu mengubah persepsi masyarakat yang selama ini
menganggap Polri tidak bersahabat, kaku dan kurang humanis.
Sosok perempuan
dianggap tepat untuk dapat menumbuhkan daya tarik terlebih di dunia yang menganggap peran pria lebih dominan. Sayangnya peran para Polwan baru sampai pada level memperbaiki citra Polri. Jika melihat jajaran pejabat Polri, belum banyak Polwan yang diberi peran strategis. Bahkan sejak angkatan 2002 Akademi kepolisian sudah menerima taruna perempuan (taruni) mendahului Akademi di TNI.
Ini juga
menandakan perkiraan peran perempuan kedepan di kepolisian akan semakin meningkat.
D.
Saran
Sebagai cara mendapatkan perhatian public salah satu caranya bisa dengan mengedepankan Polwan cantik di media. Namun untuk perbaikan citra keseluruhan perlu dibarengi dengan perbaikan kinerja. Dalam menjalankan tugas kepolisian ada peran perempuan yang bisa lebih ditingkatkan dari sekedar menjadi presenter atau tampil di public.
Daftar Pustaka Abdullah, Irwan, Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan, 2001, Tarawang, Yogyakarta Budiman, Arief, Pembagian Kerja secara Seksual, 1981, PT Gramedia Tamin, Indrawadi, Ph.D, Public Relations Mitos dan Realitas, 2012, Universitas Esa Unggul Jurnal Interact Vol.1, No.2, 2012, Unika Atmajaya Jurnal komunikasi Vol.5, No.1, februari 2013, Universitas Tarumanagara Jurnal Komunikasi Vol.6, No.1, februari 2014, Universitas Tarumanagara Koran Tempo edisi 20 September 2014 http://www.youtube.com/watch?v=UnGfP0hLb_Y http://www.youtube.com/watch?v=kUzZbgnI-9Y http://www.youtube.com/watch?v=vFya4_dcMKE Yugih Setyanto adalah dosen tetap ilmu komunikasi Universitas Tarumanagara (Untar) dan Kepala Bidang Eksternal Humas Untar. Lulus sarjana ilmu komunikasi jurusan Humas di IISIP Jakarta dan magister ilmu komunikasi di Universitas Indonesia. Pernah menjadi staf Departemen Humas Pupuk Kaltim (2003-2011) dan Biro Humas Departemen Pertahanan (1999-2003).