BAB IV PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MENGENAI CONSTITUTIONAL COMPLAINT DI MAHKAMAH KONSTITUSI 4.1 Perkembangan Pemikiran Gagasan Constitutional Complaint oleh Para Ahli Dari Pembentukan Mahkamah Konstitusi, diketahui bahwa telah ada suatu celah perkembangan hukum dalam menegakkan hak-hak dasar warga negara yang di jamin oleh Konstitusi. Dengan adanya mekanisme constitutional review, warga negara dapat mengajukan review undang-undang yang menyangkut kepentingan dasar mereka atas Undang-Undang Dasar. Untuk mengadili pelanggaran Konstitusi secara efisien dan efektif dibutuhkan satu organ yang mandiri dan berwibawa. Lembaga ini adalah Mahkamah Konstitusi. Persoalan penting ini banyak dilupakan oleh the Founding fathers Undang-Undang Dasar 1945 pra amandemen. Kesadaran pembentuk Undang-Undang Dasar mengenai peran organ peradilan sebagai unsur terpenting negara konstitusional ketika itu belum sampai titik temu yang mendorong para perancang Undang-Undang Dasar mengambil langkah-langkah strategis dan konkrit dikarenakan situasi negara yang membutuhkan dasar negara secepat mungkin. Namun, Muhammad Yamin pernah mengatakan bahwa pentingnya ada suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji Undang-Undang atas Undang-Undang Dasar, atau Hukum Adat atau Syari’ah. Yamin menyatakan hak menguji tersebut sebagai membanding undang-undang.189 Tetapi pendapat tersebut dikala itu dibantah oleh Soepomo yang menghendaki peran Dewan Perwakilan Rakyat yang kuat dan tidak ada lembaga yang berhak mereview undang-undang selain lembaga pembuat undang-undang itu sendiri.190 Namun, seiring berkembangnya wacana ketatanegaraan, pembentukan sebuah organ penafsir undang-undang telah terwujud dengan adanya Mahkamah Konstitusi yang kewenangannya terpisah dari Mahkamah Agung. Namun, kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan constitutional review tersebut masih terasa ada yang kurang. Terutama jika ada Peraturan Perundang-Undangan yang ada melanggar ketentuan hak-hak dasar, baik itu warga negara maupun masyarakat yang terdapat di 189
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, op.
cit., 582. 190
RM. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Untuk menyelidiki Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2004), 362.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
dalam Konstitusi, maka tidak ada mekanisme yang dapat di tempuh. Menurut Daniel S Lev, faktor keberhasilan Mahkamah Konstitusi dalam perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia adalah kepemimpinan yang kuat ketuanya Jimly Asshiddiqie dan lepasnya Mahkamah Konsitusi dari pengaruh kekuasaan di bawah Mahkamah Agung.191 Sebagai institusi baru yang bebas, dari pengaruh kekuasaan Mahkamah Agung ataupun campur tangan pemerintah, Mahkamah Konstitusi bisa tumbuh secara sehat dan mampu memainkan tugas dan fungsinya dengan baik.192 Meskipun demikian, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai kelemahan. Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji keabsahan materi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, dan Mahkamah Konstitusi tidak bisa menguji pelaksanaan ataupun penerapan Undang-Undang.193 Oleh karena itu tidak heran apabila Mahkamah Konstitusi tidak bisa memeriksa kasus-kasus konstitusional yang konkrit, kewenangan Mahkamah Konsitusi hanyalah memeriksa konstitusionalitas sebuah peraturan perundang-undangan secara abstrak. Dengan kata lain Mahkamah Konstitusi hanya bisa memeriksa masalah konstitusional (constitutional question) dan bukan kasus konstitusional (constitutional case). Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa perkara yang menyangkut pelanggaran hak-hak konstitusional individual melalui sebuah mekanisme yang dikenal sebagai komplain konstitusional (constitutional complaint).194
4.2.1
Gagasan Mengenai Constitutional Complaint
Perkembangan Pemikiran Para Pakar 1.
Jimly Asshiddiqie195 Menurut Jimly Asshidddiqie, jenis permohonan yang terkenal dengan sebutan
constitutional complaint ini, bagi sistem yang terdapat di Indonesia diberlakukan secara terbatas. Sebab perorangan atau kelompok hanya mengajukan permohonan 191
Herdianto, “Daniel S. Lev dan Indonesia yang Belum Berubah,” Jurnal Jentera edisi Aturan Main Politik, edisi 16 Tahun IV, April-Juni 2007, 106. 192
Ibid.
193
Ibid.
194
Ibid.
195
Asshiddiqie, op cit., 318-319.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
bila keberadaan suatu undang-undang didalilkan telah mengusik hak-hak konstitusional yang bersangkutan. Padahal pelanggaran hak-hak sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, dapat saja dan selalu bersumber dari tindakan kongkrit aparatus birokrasi pemerintah. Karena itu, menentukan pelanggaran hak-hak konstitusional hanya sebatas pada undang-undang justru membiarkan pelanggaran konstitusi berlangsung terus tanpa ada pihak yang dapat menghentikannya. Cukup banyak pengaduan dari warga perorangan yang masuk ke Mahkamah Konstitusi. Beberapa diantaranya mempersoalkan perlakuan aparat pemerintah (termasuk aparat Pemerintah Daerah) yang dipandang bertentangan dengan UUD 1945. Surat-surat dimaksud dijawab bahwasannya penanganan pengaduan perorangan berada diluar kewenangan Mahkamah Konstitusi.
2.
Daniel Saul Lev Menurut Daniel Saul Lev, kemunculan Mahkamah Konstitusi telah menjelma
menjadi lembaga yang cukup efektif dalam menjalankan wewenang dan tugasnya. Namun terlepas dari itu Mahkamah Konstitusi juga mempunyai kelemahan yaitu hanya menguji keabsahan materi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar dan tidak bisa menguji pelaksanaan dan penerapan Undang-Undang. Dengan hanya menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, berarti Mahkamah Konstitusi hanya bisa memeriksa masalah konstitusional (constitutional question) dan bukan kasus konstitusional (constitutional case). Mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksa perkara yang menyangkut pelanggaran hak-hak konstitusional individual melalui sebuah mekanisme yang dikenal sebagai komplain konstitusi (constitutional complaint)
3.
Schnutz Rudolf Durr Mengenai constitutional complaint dalam arti full individual complaint lebih
lanjut Schnutz Rudolf Durr mengatakan: 196
196
Durr, op. cit., hal. 52.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
“Individual access to the constitutional court can be a power tool for human rights protection. Indirect (via ordinary courts or the ombudsperson or direct access (individual complaint) are possible. The “full” constitutional complaint which can be, directed by the individual both against unconstitutional laws by ordinary courts is one of the most effective means to protect the fundamental rights of the individual. Even with access filters in place, it can however, easily overburden a constitutional review because they do not control the activity of the ordinary courts but only of the legislator. The choise between different types of individual access may also depend on the level of the application of human rights by the ordinary courts, especially in transitional countries”. Jika merujuk pada pendapat Duur, Permohonan individual atas perlindungan konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi dapat dijadikan kekuatan dalam menjamin perlindungan hak-hak asasi manusia Baik secara tidak langsung melalui lembaga atau badan hukum yang mengadopsi jaminan akan hak-hak tersebut maupun akses langsung yang berupa permohonan individu itu sendiri. Gugatan konstitusional dalam arti penuh, yang dimungkinkan, melawan hukum yang tak konstitusionil yang disebabkan dari putusan peradilan biasa, merupakan alat yang paling efektif untuk melindungi hak dasar dari individu tersebut. Meskipun akses dalam gugatan konstitusional dalam arti constitutional review atas Undang-Undang lebih mudah karena Mahkamah Konstitusi hanya mengontrol tugas legislasi, namun Mahkamah Konsitusi harus memperhatikan pula dampak atas putusan peradilan biasa yang bisa terjadi terutama dalam negara-negara transisi. Oleh sebab itu jika mekanisme gugatan konstitusional ini di buka pada Mahkamah Konsitusi Indonesia, harus pula diperhatikan batasan pengertian akan constitutional complaint itu sendiri, sehingga keberadaan mekanisme ini tidak akan mempunyai dampak negatif dalam kestabilan sistem peradilan.
5. Maruarar Siahaan Dalam acara diskusi terbatas antara para Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jerman Prof. Dr. Jutta Limbach serta rombongan dari Hanns Seidel Foundation (HSF) Jerman yang dipimpin oleh Dr. Christian Halgemer, di ruang
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
serba guna MK, Senin 16 April 2007. Turut hadir pula dalam diskusi ini, jajaran Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI serta para staf ahli MK. Maruarar Siahaan menanggapi ide constitutional complaint sebagai berikut: 197
“Bahwa proses gugatan konstitusional merupakan wujud pengaduan masyarakat atas keberatan terhadap perlakuan kinerja pemerintah terhadap masyarakat, peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan, yang dianggap bertentangan dengan HAM yang diatur dalam konstitusi. Dari sekitar enam ribu gugatan konstitusional yang ada di Jerman, hanya sekitar dua persen yang dikabulkan. Artinya, tidak mudah juga menentukan konstitusionalitas dari suatu gugatan. Tetapi bila diterapkan di Indonesia, setidaknya hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak bisa sembarangan dalam memperlakukan warga negaranya.” 6. Benny K Harman Benny
K
Harman
mengemukakan
pendapatnya
mengenai
perlunya
Constitutional Complaint di Mahkamah Konstitusi Indonesia, dalam acara peluncuran buku Hukum Konstitusi Jerman, Beberapa Kasus Terpilih di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta 17 November 2008. Benny mengatakan bahwa terkait dengan gagasan memunculkannya mekanisme Constitutional Complaint ini, Mahkamah Konstitusi harus progresif dalam menafsirkan Undang-Undang Dasar 1945. Penafsiran atas dasar original intent tidak seharusnya lagi dilakukan dikala kebutuhan jaman akan perlindungan konstitusi semakin tinggi. Benny mengemukakan pendapatnya mengenai perlunya peningkatan fungsi MK antara lain:198 1) Dibukanya mekanisme pengujian judicial review atau peraturan perundangundangan yang langsung diuji kepada konstitusi. karena dimungkinkannya ada peraturan perundang-undangan yang materi muatannya bertentangan dengan konstitusi tetapi tidak bertentangan dengan peraturan perundangan diatasnya. 197
Terbatas,
198
Harian Kompas, Diskusikan Buku Hukum Konstitusi Jerman, Jakarta: 17 November 2008,
Gugatan Konstitusional Dalam Diskusi
,5 Juni 2008.
2.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
2) Perlunya professional question dari hakim jika menemukan adanya pertentangan materi peraturan perundang-undangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Hakim mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan. 3) Perlunya mekanisme Constitutional Complaint jika ada warga negara yang keberatan jika hak-hak dasarnya terlanggar. Mengenai Constitutional Complaint, Benny K Harman mengemukakan lebih lanjut bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi harus berjiwa konstitutif karena sesuai dengan semangat pembentukan Mahkamah Konstusi, penegakan mengenai hak-hak asasi manusia sebagai salah satu ciri rule of law menjadi semangat utama dari pembentukan mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itu tidak ada alasan bahwa hakim menolak perkara dengan alasan belum ada mekanisme yang mengatur suatu permasalahan. Khususnya permasalahan mengenai pelanggaran hak-hak
dasar
oleh
peraturan
perundang-undangan
maupun
otoritas
pemerintah.199 4.2.2
Seputar Gagasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Risalah Rapat Pleno Panitia Ad Hoc Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)Tahun 2001 Setelah mengetahui pendapat sebagian besar para pakar yang menyatakan
bahwa perlunya mekanisme constitutional complaint terlepas apakah mekanisme constitutional complaint tersebut sebatas dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan judicial review ataukah legislatif review sebatas Undang-Undang saja atas Undang-Undang Dasar ataukah peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang. Namun sesuai dengan penelitian penulis bahwa mekanisme yang dimaksud adalah mekanisme constitutional complaint yang termasuk produk hukum dan tindakan pemerintah yang merugikan hak-hak dasar warga negara yang di atur dalam Konstitusi. Maka Mekanisme Constitutional Complaint yang dimaksud adalah Full Constitutional
Complaint.
Dengan
pertimbangan
Mekanisme
Constitutional
Complaint yang selama ini di lakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebatas komplain 199
Benny K Harman berpendapat pada diskusi Seminar Peluncuran Buku Siegfried Bross, Hukum Konstitusi Republik Federal Jerman; Beberapa Putusan Terpilih, Jakarta: 16 November 2008.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
mengenai Legislatif Review saja yaitu produk Undang-Undang. Dan itu terdapat kelemahan bahwa suatu tindakan hukum pemerintah maupun peraturan kebijakan pemerintah bisa melakukan pelanggaran hak-hak dasar warga negara. Meskipun suatu peraturan perundang-undangan sudah sesuai dengan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan dan materinya sesuai dengan peraturan diatasnya, terdapat kemungkinan peraturan tersebut melanggar hak-hak dasar warga negaranya.200 Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilihat pula mengenai bagaimana perdebatan Panitia Ad Hoc dalam membuat kewenangan Mahkamah Konstitusi pertama kali dalam Perubahan Ke-tiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum menginjak perlunya diubah kewenangan Mahkamah Konstitusi terkait perlunya mekanisme constitutional complaint ini. 1)
Pembahasan sekitar Pembentukan Mahkamah Konstitusi Semula hasil perdebatan untuk Bab IX pasal 24 Undang-Undang Dasar
Perubahan Ketiga adalah mengenai Kekuasaan Kehakiman. Tim Ahli dan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mempunyai pandangan yang berbeda. Tim Ahli menginginkan Mahkamah Agung Terpisah dari Mahkamah Konstitusi, sedangkan Badan Pekerja MPR menginginkan Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari Mahkamah Agung dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.201 Namun setelah naskah hasil Sidang Tahunan MPR RI terbitan Sekretariat Jenderal MPR RI Tahun 2001 terbit, judul bab ini tidak disebut. Tidak diketahui penyebabnya apakah ada kesalahan dalam pengetikan oleh staf sehingga naskah yang resmi diputuskan oleh MPR menjadi tanpa judul di Bab IX. 202 2)
Pembahasan Mengenai Kewenangan Mahkamah Konstitusi Asnawi Latief dari Fraksi PDU untuk pertama kalinya mengemukakan
kesetujuannya dengan Tim Ahli bahwa perlunya Mahkamah Konstitusi di pisah dari Mahkamah Agung dalam menjalankan kewenangan Judicial Review lebih lanjut 200
YusrilIhzaMahendra,, 11 Januari 2008. 201
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Rapat Pleno Ke-35 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI, Sekretariat Jendral MPR RI, 25 September 2001, 2-3. 202
Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002), 40.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
Latief mengatakan bahwa jika Mahkamah Agung tetap mempunyai kewenangan judicial review, maka Mahkamah Konstitusi tidak diperlukan lagi. Tetapi jika Mahkamah Agung hanya difokuskan kepada kegiatan peradilan saja, maka diperlukan adanya Mahkamah Konstitusi,selain kewenangan MK lainnya yaitu menyelesaikan sengketa lembaga negara, sengketa Pemilu dan Impeacment.203 (Risalah pembentukan pasal 24C UUD NRI 1945, MPR, 2002, hal. 6-7). Namun A.M Lutfi dari Fraksi Reformasi meragukan adanya lembaga Mahkamah Konstitusi karena kewenangannya yang dianggap terlalu besar legitimasi Mahkamah Konstitusi tidak seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat dan dikuatirkan Mahkamah Konstitusi akan menjadi lembaga over body. (Risalah pembentukan pasal 24C UUD NRI 1945, MPR, 2002, hal.8). Berbeda dengan A.M Lutfi, I Dewa Gede Palguna dari fraksi PDIP mengusulkan kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak hanya menyelesaikan sengketa lembaga negara, dan sengketa pemilu, tetapi juga mengusulkan kewenangan tambahan yaitu pendapat hukum. MK juga mempunyai wewenang untuk memberikan legal opinion. (Risalah pembentukan pasal 24C UUD NRI 1945, MPR, 2002, hal.11). Namun menariknya Pataniari Siahaan Fraksi Partai DIP secara tidak langsung telah mengusulkan perlunya mekanisme Constitutional Complaint di Mahkamah Konstitusi karena perlunya kasus Class action di tampung di lembaga yudisial seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun tidak spesifik membahas bagaimana bagian kewenangan jika mekanisme class action itu bisa di tangani oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Apakah Class action itu menggugat masalah produk hukum pemerintah (Undang-Undang ke bawah) atau UndangUndang saja. Kalau Udang-Undang saja maka setuju dengan pemisahan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dengan catatan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya menguji Undang-Undang saja. Dan Undang-Undang kebawah adalah kewenangan Mahkamah Agung. Tetapi kalau Undang-Undang ke bawah juga menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi maka mekanisme Constitutional
203
Perdebatan mengenai kewenangan ini oleh Mahkamah Konstitusi lebih banyak dikemukakan di dalam sidang, meskipun kewenangan judicial review juga tidak lepas dari perdebatkan.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
Complaint dimungkinkan diadakan di Mahkamah Konstitusi. Berikut pernyataan Pataniari Siahaan: ”Sebenarnya ada penambahan tugas-tugas wewenang yang dengan sendirinya tidak tertangani secara baik dan efektif dan selalu menimbulkan pertanyaan dan perdebatan di masyarakat, kewenangan DPR tersebut sebagai lembaga politik. Di sisi lain kalau kita bicara masalah Mahkamah Konstitusi berarti setiap warga negara/rakyat berhak dia mengajukan hak-haknya apabila ada Undang-undang yang melanggar hak tersebut dan itu biasa tidak cukup di PTUN. Sekarang ini kita lihat terjadi class action, terjadi demo orang perorangan, kelompok-kelompok, apakah sebaiknya seperti ini disalurkan melalui channel yang lebih tepat, misalnya dengan satu pemasukan yaitu lembaga Ombudsman, merupakan saluran terhadap aspirasi yang sifatnya pengaduan-pengaduan yang nantinya bisa diproses oleh yudisial, bisa diproses oleh Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung.”204 Akhirnya untuk menghindari perdebatan mengenai apakah kewenangan judicial review itu patut diberikan ke Mahkamah Agung ataukah ke Mahkamah Konstitusi. Sutjipto dari Fraksi Utusan Golongan mengusulkan perlunya Mahkamah Konstitusi karena di negara lain pun seperti Korea Selatan, Mahkamah Konstitusi diperlukan karena beban kerja Mahkamah Agung sudah begitu berat dengan perkara yang menumpuk.205 Senada dengan Sutjipto, Zain Badjeber dari fraksi PPP mengemukakan data bahwa begitu beratnya pekerjaan Mahkamah Agung jika dibebankan dengan judicial review. Dengan melihat perdebatan ini dapat dilihat semula kewenangan judicial review ini juga dipertanyakan jika menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Hal ini mungkin sejalan pula dengan pemikiran Jimly Asshiddiqie bahwa kewenangan menguji materi peraturan di bawah undang-undang masih diberikan kepada Mahkamah Agung sedangkan pengujian materi UndangUndang terhadap terhadap Undang-Undang Dasar diberikan kepada Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian diadakan pemisahan antara kegiatan pengujian materi (judicial review) undang-undang dan materi peraturan di bawah undang-undang. Terhadap ketentuan seperti ini, Jimly Ashiddiqie mengungkapkan beberapa kritik:206 204
Ibid, 14.
205
Ibid, 18.
206
Asshiddiqie, op. cit., 41.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
1. Perlunya pemahaman akan hak uji itu sendiri sehingga pemberian kewenangan judicial review kepada Mahakamah Konstitusi benar-benar merupakan sebuah konsep yang tegas-tegas dijalani secara utuh oleh Mahkamah Konstitusi. 2. Terkait dengan pemahaman mengenai hak uji,pemisahan kewenangan antara materi undang-undang dan materi peraturan di bawah undang-undang harus sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal. Karena itu, pemisahan antara materi undang-undang dan materi peraturan di bawah undangundang tidak seharusnya dilakukan lagi. 3. Kewenangan judicial review seharusnya diintegrasikan dalam kewenangan Mahkamah Konstitusi. Untuk menghindari pertentangan substantive antara putusan Mahkamah Agung dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan UndangUndang Dasar. Sehingga kedua lembaga dapat memfokuskan kepada tugas yang berbeda. Mahkamah Agung menangani persoalan keadilan dan ketidakadilan bagi warga negara. Sedang Mahkamah Konstitusi menjamin konstitusionalitas keseluruhan peraturan perundang-undangan. Diluar adanya kritik mengenai kewenangan tersebut Zain Badjeber dari Fraksi PPP mengemukakan berdasarkan studi Mahkamah Agung mengenai integrated criminal justice system bahwa tugas Mahkamah Agung sudah begitu banyak karena tambahan menjadi pengawas pemilu dan memutus sengketa pilkada. Untuk itu MA Tidak seharusnya ditambahkan lagi perkara judicial review. judicial review
seharusnya
menjadi
kewenangan
Mahkamah
konstitusi.
(Risalah
pembentukan pasal 24C UUD NRI 1945, MPR, 2002, hal.19-20). Sebaliknya Hamdan Zoelva dari Fraksi partai Bulan Bintang tidak setuju diadakan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undangundang di Mahkamah Konstitusi. Selain itu Hamdan juga mengemukakan sebaiknya Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan pasif. Namun dari dua usul tersebut Hamdan Zoelva tidak mengemukakan alasannya. (Risalah pembentukan pasal 24C UUD NRI 1945, MPR, 2002, hal.21). Sejalan dengan kritik Jimly Asshiddiqie, Nursyahbani Katjasungkana membantah pendapat Hartono Marjono yang menyatakan bahwa akan ada masalah jika kewenangan judicial review diberikan kepada mahkamah Konstitusi karena akan
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
bertentangan dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Nusyahbani menegaskan pula bahwa kewenangan PTUN ruang lingkupnya hanya ketetapan pemerintah. Selain itu pula Nursyahbani mengusulkan judicial review dan judicial preview menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi karena dirasakan begitu banyak peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi. Meskipun MK nantinya akan mendapatkan banyak pekerjaan tambahan. (Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Rapat Komisi A Ke3,Sekretariat Jendral MPR RI, 6 November 2001, 7.) Selanjutnya Sri Edi Swasono Mengatakan bahwa perlunya dibentuk Mahkamah Konstitusi untuk mengatasi perselisihan pendapat antara lembaga negara dan masyarakat.
207
(Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah
Rapat Komisi A Ke-3,Sekretariat Jendral MPR RI, 6 November 2001, 7.) Namun penulis mengatagorikan bahwa kalau perselisihan pendapat dengan lembaga negara lainnya itu bisa dikategorikan sengketa kewenangan lembaga negara, namun perbedaan pendapat pemerintah dengan masyarakat itu tidak bisa dikategorikan constitutional complaint terkait dengan penafsiran atau pembentukan produk hukum pemerintah kepada rakyat. Tetapi jika perbedaan pendapat mengenai penafsiran akan konstitusi dapat di katagorikan sebagai constitutional complaint. Disamping itu perlu juga dicermati mengenai pembentukan kewenangan Mahkamah Konstitusi, bahwa ide untuk memasukkan mekanisme constitutional complaint ini juga dilontarkan oleh Komisi Konstitusi setelah proses perubahan keempat UUD 1945 disahkan. Mengenai draft tandingan oleh Komisi Konstitusi, diusulkan bahwa dalam pasal 24 ayat (1) hasil perubahan ketiga UUD 1945 ditambah dengan kewenangan constitutional complaint. Adapun draf tandingan tersebut dapat dilihat sebagai berikut.208 1.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi hasil amandemen yaitu: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengeta kewenangan lembaga Negara yang
207
Ibid, 11.
208
Fadjar Laksono, Meretas Constitutional Complaint ke dalam UUD 1945:Menuju Konstitusi yang Lebih Demokratis, Jurnal Konstitusi, vol. 4 nomor 4, Desember 2007, 137.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
kewenangannya
diberikan
oleh
Undang-Undang
Dasar,
memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 2.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi hasil draft Komisi Konstitusi yaitu: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengeta kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum dan memutus pengaduan pelanggaran hak konstitusional warga negara.
4.2.3
Gagasan Pembentukan Mekanisme Constitutional Complaint dari beberapa kasus yang menyangkut hak-hak dasar warga negara.
Di
bawah
ini
mempermasalahkan
terdapat hak-hak
beberapa dasar
kasus warga
yang negara
secara dan
tidak
langsung
mempermasalahkan
konstitusionalitas suatu produk hukum dan kebijakan pemerintah. 4.2.3.1 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Terkait Sengketa Pilkada Depok dan Perkara Pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Munculnya
gagasan
mengenai
gugatan
konstitusional
(constitutional
complaint) di Mahkamah Konstitusi ini berawal dari perjuangan pasangan calon kepala daerah Badrul Kamal dan Syihabudin Ahmad untuk mempertanyakan hasil Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/PILKADA/2005.209 Putusan Mahkamah Agung tersebut memenangkan pasangan Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra yang sebelumnya merupakan pasangan yang kalah dalam gugatan perkara Pemilihan Kepala Daerah pada Pengadilan Tinggi Bandung.210 Majelis hakim menyatakan batal atas hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPUD Depok karena telah
209
Fadjar Laksono, op cit., 138.
210
Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/PILKADA/2005/PT. Bdg, 65.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
terbukti terjadi penggembosan suara pada proses pemilukada tersebut.211 Namun setelah perkara tersebut dibawa ke Mahkamah Agung, kasus pun bergulir kembali dan akhirnya Mahkamah Agung menganulir Putusan Pengadilan Tinggi tersebut, sehingga menuailah pertanyaan bagi pasangan calon Badrul Kamal-Syihabudin Ahmad bahwa menurut mereka bahwa pasal 106 Undang-Undang No.32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Putusan Pengadilan Tinggi telah final dan mengikat, dalam arti sesuai dengan penjelasan ayat (7) bahwa tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh untuk melawan putusan tersebut. 212
Gagasan constitutional complaint dalam kasus ini di cetuskan dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) oleh Hakim Konstitusi Soedarsono.213 Menurut Soedarsono, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili permohonan pemohon meskipun pada pasal 51 ayat (1) pada Undang-Undang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh suatu Undang-Undang. Soedarsono menafsirkan pasal tersebut secara luas sehingga pemohon sebenarnya dapat mengajukan gugatan konstitusional atas putusan pengadilan, karena antara putusan pengadilan dengan Undang-undang sama-sama mempunyai kekuatan yang mengikat.214 Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan juga mencetuskan gagasan constitutional complaint dalam dissenting opinion-nya. Maruarar Siahaan menampik pendapat pemohon bahwa Putusan Mahkamah Agung dapat disetarakan dengan UndangUndang sehingga dapat diajukan kepada mekanisme pengujian Undang-undang. Mekanisme gugatan konstitusional perlu dibuka karena kasus ini mengindikasikan kemungkinan jika Putusan Mahkamah Agung tersebut telah mengesampingkan Undang-Undang, maka permohonan pemohon merupakan keluhan konstitusional atas pelanggaran konstitusi. 215
211
Ibid.
212
Fadjar Laksono, op cit. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 01/PUU-IV-2006, 68-69.
213
214
Ibid.
215
Ibid, 75-76.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
Pada perkara pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Majelis hakim menyatakan pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137 Kitab UndangUndang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 216 Dalam Pendapat Berbeda (Dissenting Opinions) Hakim I Dewa Gede Palguna dan Soedarsono berpendapat bahwa perlunya pemahaman antara konstitusionalitas suatu norma dengan penerapan norma. Pemahaman suatu norma yang digunakan pada sebagian besar pasal yang diujikan tersebut, tidaklah selalu berbanding lurus dengan pencantuman norma yang dicitacitakan dapat berlaku positif. Suatu norma yang konstitusional pada saat diterapkan dalam praktek dapat menyebabkan pelanggaran atas hak-hak seseorang dikarenakan kekeliruan penafsiran dan penerapan norma tersebut. Sehingga jika merujuk kepada kewenangan mekanisme Mahkamah Konstitusi di negara lain, sepatutnyalah Mahkamah Konstitusi Indonesia diberi kewenangan untuk mengadili perkara Constitutional question dan Constitutional Complaint. Constitutional question diperlukan jika ada suatu norma hukum konkret yang ingin diputus oleh majelis hakim, maka hakim tersebut dapat menanyakan perihal konstitusionalitas kepada Mahkamah Konstitusi. Sedangkan Constitutional Complaint diperlukan jika ada seorang
warga
negara
yang
ingin
mengadukan
pelanggaran
hak-hak
konstitusionalitasnya oleh tindakan atau kelalaian pejabat negara dan tidak ada lagi upaya hukum lain yang dapat ditempuh. 217 Untuk itu sehubungan dengan pendapat hakim tersebut, maka bertambahlah berkembangnya pemikiran yang mengemuka mengenai Constitutional Complaint agar dapat di buka di Mahkamah Konstitusi.
4.2.3.2 Kasus Buruh Migran di Nunukan
216 217
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 013-022/PUU-IV/2006, 62. Ibid.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
Hal yang menarik dari kasus Nunukan ini adalah diterimanya gugatan penggugat sebagian yaitu mengenai gugatan hak warga negara (Citizen Law Suit). Majelis Hakim berpendapat sebagai berikut: 218 ”Menimbang, bahwa dari hal-hal yang dipertimbangkan di atas, dihubungkan dengan kedudukan dan dalil-dalil kepentingan hukum Para Penggugat maka Majelis berpendapat bahwa gugatan Para Penggugat melalui instrumen Citizen Law Suit layak diterima dengan memberi kapasitas ”standing” kepada Para Penggugat sebagai warga negara untuk bertindak sebagai Penggugat atas nama kepentingan warga negara RI yang menjadi buruh migran Indonesia di malaysia dan diseportasi melalui Nunukan” Sedangkan diketahui dalam sistem hukum kita belum terdapatnya mekanisme Citizen Law Suit. Dalam kasus ini. Menurut Tergugat, para penggugat sama sekali tidak mewakili kepentingan umum. Seperti dalam Continental law System bahwa gugatan yang mewakili kepentingan umum dapat disebut Actio Popularis. Namun, para penggugat menyatakan bahwa gugatan para penggugat adalah gugatan citizen Law Suit. Sementara Gugatan Citizen Law Suit hanya dikenal dalam Common Law System, terutama dalam Environment Law di Amerika Serikat. Dalam Defender of Wildlife and Centre of Wildlife Law, dalam tulisannya the Public in Action menyatakan bahwa:219 “The state Citizen Suits Statues to Protect Biodiversity, menyatakan bahwa “The Statues give citizen, or any person, the right to sue the state, a private party, or both, to protect the state’s environment”. Dengan kata lain, Citizen Law Suit adalah hak yang diberikan oleh Undang-Undang pada warga negara untuk menggugat orang lain, negara, pihak lain, dan bertujuan untuk melindungi lingkungan hidup. Apabila seseorang mengajukan gugatan terutama menggunakan mekanisme Citizen Law Suit maka Penggugat harus
218
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 28/PDT.G/2003/PN.JKT.PST.,8 Desember 2003, 57. 219
Ibid.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
mempunyai “Standing “ atau hak gugat. Sedangkan dalam kasus ini penggugat tidak mempunyai legal standing.220 Penggugat dalam kasus ini adalah warga negara yang sebagian besar adalah tenaga kerja yang di deportasi ke Nunukan serta berbagai lembaga bantuan hukum yang mewakili tenaga kerja tersebut. Adapun pertimbangan hukum majelis hakim dalam pokok perkara yang mengindikasikan gugatan penggugat sebagai gugatan hakhak dasar warga negara antara lain sebagai berikut : 221 1. Bahwa buruh migran Indonesia di Malaysia yang dideportasi ke Nunukan berhak atas perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia maupun hak-hak dasar warga negara yang dijamin di dalam konstitusi. 2. Bahwa gugatan Citizen Law Suit sebagai terobosan hukum untuk mengatasi kesulitan teknis penyelesaian perkara pelanggaran hak-hak dasar warga negara yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja. Namun di dalam pertimbangan hukum majelis hakim yang terkait dengan konstitusi tidak dijelaskan ketentuan pasal yang melanggar hak-hak dasar warga negara tersebut. Selain itu juga putusannya tidak secara langsung mengatakan bahwa tindakan pemerintah bertentangan dengan konstitusi. Tetapi sejatinya jika konstitusi yang
dijadikan
pertimbangan
bahwa
tindakan
pemerintah
ini
seharusnya
memperhatikan hak-hak dasar warga negara. Maka gugatan ini dapat dikatagorikan sebagai gugatan konstitusional (Constitutional Complaint). 4.1.3.3 Kasus Ujian Nasional Dalam kasus Ujian Nasional ini, yang patut dikaji adalah selain diterimanya gugatan Citizen Law Suit atas dasar pertimbangan konstitusi, ada pula penerimaan gugatan judicial review oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam ketentuan mengenai Ujian Nasional dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam salah satu gugatan penggugat, dikatakan bahwa Memerintahkan para tergugat untuk segera mengeluarkan peraturan tambahan mengenai penentuan kelulusan dengan penggabungan nilai-nilai selama proses belajar mengajar di satuan 220
Ibid. 13.
221
Ibid, 57.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
pendidikan. Kemudian lulus tidaknya seseorang dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah sudah diatur secara jelas oleh ketentuan hukum yang berlaku, yaitu ketentuan yang tercantum dalam Pasal 72 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.222 Oleh sebab itu penggugat telah mempersoalkan isi dan kekuatan hukum dari Pasal 72 ayat (1) PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Ini menunjukkan bahwa gugatan Penggugat merupakan permohonan untuk menguji isi peraturan perundangundangan, atau setidak-tidaknya menguji isi ketentuan Pasal 172 ayat (1) PP No. 19 Tahun 2005 Standar Nasional Pendidikan.223 Selain itu di dalam gugatan juga terdapat klausula Bahwa perbuatan Tergugat dalam hal ini Pemerintah bertentangan dengan pasal 28C Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.224 Jadi secara tidak langsung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima gugatan hak warga negara (citizen law suit) atas dasar pengujian Undang-Undang, Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik (AAUPB) dan Konstitusi. Namun semua batu uji tersebut tidak digunakan secara optimal oleh Pengadilan. Batu uji yang digunakan hanya sebagai pembanding atas fakta-fakta Unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH), tanpa menguji lebih lanjut substansi atau makna dari isi konstitusi tersebut, dan hubungannya dengan peraturan-perundangan dibawahnya.225 Sepertinya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ingin melakukan terobosan Putusan melalui batu uji yang dipaparkan dalam menyusun pokok perkara Putusan Majelis. Sehingga fenomena dalam Putusan ini dapat dilihat oleh penulis sebagai 222
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST.,21 Mei
2007, 30. 223
Ibid, 31.
224
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28C.
225
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 228/PDT.G/2006/PN.JKT.PST.,21 Mei 2007, 154-156.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
suatu kebutuhan akan adanya suatu mekanisme gugatan atas pelanggaran hak-hak dasar warga negara yang proses pengujiannya tidak hanya menggunakan konstitusi dan Undang-Undang sebagai faktor pembanding saja berdasarkan Legal Formal atas Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, Tetapi juga secara Normatif dan substantif pengujian atas nilai-nilai dan norma masyarakat yang dijamin oleh Konstitusi itu sendiri. Tetapi jika terkait dengan pengujian norma di dalam konstitusi maka seharusnya menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
4.2.3.3 Kasus Ahmadiyah Seiring dengan bertambahnya permasalahan bangsa kebutuhan akan perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia makin bertambah pula. Hal ini dapat dilihat dari berkembangnya kasus yang berhubungan dengan hak hak dasar dari warga negara yang terus dipermasalahkan tanpa ada suatu mekanisme yang tepat untuk menyelesaikannya. Kebutuhan akan adanya suatu mekanisme Constitutional Complaint makin nyata setelah terjadinya suatu kasus yang berhubungan dengan Hak-hak Dasar warga negara-dan bisa dikatagorikan Hak Asasi Manusia-dalam menjalankan suatu agama dan keyakinan. Kasus Ahmadiyah baru-baru ini menyeruak kembali dan berbagai elemen masyarakat bisa mengkajinya dari berbagai segi. Namun jika dilihat dari perkembangan sistem ketatanegaraan, kasus ini patut dijadikan rujukan. Adapun kasus Ahmadiyah sebenarnya sudah ada sejak lama. Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia telah dimulai sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Ahmadiyah Indonesia telah pula mendapat status badan hukum yang disahkan Kementerian Kehakiman pada tahun 1950. Namun aktivitas gerakan ini sampai sekarang meresahkan bagian terbesar Umat Islam di Indonesia. khususnya tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad serta ajaran-ajarannya. Dalam beberapa bulan terakhir ini isyu Ahmadiyah kembali mencuat dan tindak kekerasan terjadi di
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
berbagai tempat. Dalam konteks inilah, wacana keluarnya Surat Keputusan Bersama muncul ke permukaan.226 Setelah muncul Surat Keputusan Bersama (SKB) yang merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan), masalah Ahmadiyah makin meruncing. Ditambah dengan terjadinya bentrok antara Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dengan Front Pembela Islam (FPI). Membuat Kasus Ahmadiyah sepantasnya untuk cepat diselesaikan, tentunya dengan hukum yang berlaku. Namun, munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tentang Ahmadiyah yang memuat rincian mengenai:227 1. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu; 2. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad S.a.w; 3. Penganut, anggota, dan/atau pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan atau perintah sebagaimana dimaksud pada diktum 1 dan diktum 2 dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.
226 1.1 Surat Keputusan Bersama Tentang Ahmadiyah, , 9 Mei 2008.
227
Ibid.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
Banyak pihak pro dan kontra dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama ini. Pihak yang pro terutama Forum Umat Islam (FUI) merupakan organisasi yang memperjuangkan agar SKB segera diterbitkan. Sementara pembubaran Ahmadiyah dikatakan tidak bertentangan dengan konstitusi dan justru hak tersebut dijamin oleh konstitusi..228 Sedangkan Pihak yang kontra FUI, beda Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Kuasa hukum Ahmadiyah, Asfinawati. Direktur LBH Jakarta ini mendalilkan Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut kepercayaan dan agamanya, justru akan melanggar konstitusi jika Surat Keputusan Bersama ini di keluarkan. Silang pendapat kedua belah pihak ini direncanakan akan di bawa ke Mahkamah Konstitusi 229 Kedua belah pihak merasa tindakan mereka di cekal oleh kelompok lawan masing-masing yang keduanya berdalih atas dasar konstitusi. Dan berniat untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi. Namun jika dikaji lebih lanjut, terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) ini jika ingin dipertentangkan merupakan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sepanjang SKB ini materinya merupakan suatu Keputusan yang bersifat kongkrit, individual, final dan bukan Pengaturan yang bersifat abstrak, umum, dan terus menerus. Kalaupun SKB tersebut merupakan suatu Pengaturan, maka sebaiknya gugatan atas SKB di layangkan ke Mahkamah Agung. Yang jadi salah satu permasalahan selain kaburnya mekanisme yang tepat untuk menguji SKB ini, adalah Peraturan Perundang-Undangan Pembanding untuk melakukan Judicial Review ke Mahkamah Agung. Tetapi jika SKB itupun merupakan suatu pengaturan, SKB itu sendiri bukan sebuah Peraturan yang dikatagorikan oleh Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan oleh UndangUndang No. 10 Tahun 2004.230
228
Menggagas Constitutional Complaint Lewat Kasus , 9 Mei 2008. 229
Ibid.
230
Ibid.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
Ahmadiyah,
Namun jika ditelaah bahwa kedudukan SKB setara dengan Peraturan
Menteri. Di dalam ketentuan Pasal 7 ayat (4) yang mengatur peraturan menteri secara
implisit.231 Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 (1)
Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan adalah sebagai berikut:
(2)
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c.
Peraturan Pemerintah;
d.
Peraturan Presiden;
e.
Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi: a.
Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur.
b.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten kota bersama bupati/walikota.
c.
Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
(3)
Ketentuan mengenai tata cara pembuatan Peraturan Desa/peraturan yang setingkat diatur oleh peraturan daerah Kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4)
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
(5)
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Jika dilihat dari ketentuan pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, maka Surat Keputusan Bersama bisa diajukan ke Mahkamah Agung melalui judicial review. Namun Undang-Undang yang dapat dijadikan batu uji mungkin jatuh kepada 231
Indonesia, Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,UU No. 10, LN. No. 53 tahun 2004, TLN. No. 4389, pasal 7.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
Undang-Undang No. 1/PnPs/1965 dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Agung. Karena kedua Undang-Undang ini justru mengamanatkan Jaksa Agung untuk membuat prduk hukum seperti Surat Keputusan Bersama232. Bisa mungkin Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menjadi alternatif batu uji. Namun hal yang sangat krusial di sini adalah menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung, Surat Keputusan Bersama itu adalah kebijakan (beleid) Pemerintah, yang dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak dapat diadili. Seperti pendapatnya Yusril Ihza Mahendra, yaitu: “SKB yang sudah diterbitkan oleh tiga pejabat negara itu, nampaknya akan terus menuai kontroversi. Pro dan kontra masih akan terus berlanjut. Pemerintah sendiri –seperti telah saya singgung di atas– mempersilahkan mereka yang menolak SKB untuk memperkarakannya di Mahkamah Konstitusi. Sepanjang pemahaman saya tentang tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi, lembaga itu bukanlah mahkamah yang dapat mengadili sebuah SKB yang diterbitkan oleh pejabat tinggi negara, sepanjang ia tidak menimbulkan sengketa kewenangan. SKB itu bukan pula obyek sengketa tata usaha negara yang dapat dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara, karena sifatnya bukanlah putusan pejabat tata usaha negara yang bersifat individual, kongkrit dan final. Kalau mau dibawa ke Mahkamah Agung, boleh saja untuk menguji apakah SKB itu – kalau isinya bercorak pengaturan—bertentangan atau tidak dengan undang-undang (yakni UU Nomor 1/PNPS/1965). Saya sendiri berpendapat, walaupun isi SKB itu tidak memuaskan, namun SKB itu adalah kebijakan (beleid) Pemerintah, yang oleh yurisprudensi Mahkamah Agung, dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak dapat diadili.233 Sehubungan dengan pembahasan diatas, pengujian melalui Mahkamah Agung dan Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kajian yang berbeda. Sedikit banyak masalah Ahmadiyah234pasti bersinggungan dengan hak asasi manusia dan 232
Menggagas Constitutional Complaint Lewat Kasus , 9 Mei 2008.
Ahmadiyah,
233
Sekali lagi Surat Keputusan Bersama Tentang Ahmadiyah, , 9 Mei 2008. 234
Yusril juga mengemukakan Persoalan Ahmadiyah kini bukan saja menjadi persoalan dalam negeri kita, tetapi telah mendunia. Sidang Dewan HAM PBB di Jenewa mempertanyakan
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
hak-hak dasar warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaannya masingmasing sesuai dengan konstitusi. Jadi Mekanisme yang tepat memang Constitutional Complaint di Mahkamah Konstitusi. Sehingga pengkajian mengenai legal-formal maupun substansi isi ketentuan Surat Keputusan Bersama atas konstitusi mengenai kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan bisa ditafsirkan dan menjadi sebuah Putusan Hukum. 4.2 Perubahan Aturan Undang-Undang Dasar 1945 atau Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Dengan adanya kasus Surat Keputusan Bersama (SKB) Ahmadiyah ini, gagasan mekanisme Constitutional Complaint sedikit banyak telah disinggung untuk diadakan. Meskipun di beberapa negara kewenangan ini sangat berat dan seperti di Jerman mengharuskan gugatan melalui semua mekanisme peradilan biasa terlebih dahulu. Jika dilihat dari kebutuhan adanya kewenangan Constitutional Complaint di Mahkamah Konstitusi,maka kebutuhan itu bisa dilihat dari Pembentukan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Pasal 24 C ayat (1)pada saat Risalah Sidang majelis Permusyawaratan Rakyat. Bila dilihat dari latar belakang pembentukan kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka pembahasan sidang mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi lebih fokus ke masalah pemakzulan (impeachment).235 Sedikit sekali yang menyinggung fungsi Mahkamah konstitusi sebagai the guard of constitution atas hak-hak dasar warga negara236 Senada dengan hal tersebut, Firmansyah Arifin
masalah ini. Cukup banyak negara, yang melarang Ahmadiyah, termasuk Malaysia dan Brunei Darussalam. perlunya memberikan penjelasan komprehensif mengenai Ahmadiyah ini, baik dari perspektif hukum nasional kita, maupun dari perspektif hukum internasional mengenai hak asasi manusia. Penjelasan itu tidak akan lari dari prinsip yakni persoalan Ahmadiyah akan selesai jika mereka dianggap sebagai agama di luar Islam dan penganutnya bukan lagi dianggap sebagai Muslim. Dengan demikian, hak-hak konstitusional mereka di negeri ini akan dijamin sepenuhnya sebagaimana warganegara yang menganut agama lainnya 235
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Rapat Pleno Ke-35 Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI, Sekretariat Jendral MPR RI, 25 September 2001, 2-3. 236
Ada beberapa anggota sidang yang mengemukakan mekanisme constitutional complaint secara tidak langsung, namun argumen mereka masih lemah dan cenderung untuk tidak diperhatikan sebagai suatu kewenangan yang perlu bagi Mahkamah Konstitusi.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
mengemukakan pembentukan Mahkamah Konstitusi berdasarkan kebutuhan pragmatis yang dilatar belakangi oleh kasus Mantan Presiden Abdul Rahman Wahid yang bisa di-impeach begitu mudah. Karenanya Majelis Permusyawaratan Rakyat menginginkan suatu mekanisme impeachment yang jelas.237 Soal perubahan Undang-Undang Dasar, Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa tidak mudah memberikan kewenangan Constitutional Complaint kepada Mahkamah Konstitusi karena banyak tahap yang perlu dilalui. Diantaranya adalah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 karena kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terbatas pada lima kewenangan pasal 24C ayat (1) dan (2). Yaitu: 1)
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik,dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
2)
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Norma pasal 24C ayat ini bersifat tertutup, dan berarti tidak ada penambahan
mekanisme yang lain. Lain halnya dengan norma terbuka dari Pasal 24A 1)
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang. Norma terbuka ini menurut Jimly akan memungkinkan untuk menambah
kewenangan tanpa harus melakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Jika Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan dengan norma terbuka seperti ini maka penambahan kewenangan cukup dengan melakukan perubahan pada pasal 10 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tanpa perlu mengubah Undang-Undang Dasar 1945.238
237
Menggagas Constitutional Complaint Lewat Kasus , 9 Mei 2008. 238
Ibid.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009
Ahmadiyah,
Selain itu juga hal yang patut dipertimbangkan jika constitutional complaint menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi maka pemohon sebaiknya telah menempuh semua upaya hukum terlebih dahulu seperti di Jerman. Sehingga tidak akan terjadi adanya dualisme hukum seperti pengadilan umum dan pengadilan tindak pidana korupsi. Kemungkinan mekanisme constitutional complaint berhubungan langsung dengan Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pemeriksaan constitutional..., Rike Yolanda Sari, FHUI, 2009