CIRI WILAYAH EUFOTIK PERAIRAN DANAU TOBA Oleh: Lukman Pusat Penelitian Limnologi-LIPI e-mail:
[email protected] ABSTRAK Danau Toba adalah danau di Indonesia dengan tingkat pemanfaatan beragam dengan kajian panjang aspek limnologinya. Salah satu informasi limnologis yang juga perlu diketahui adalah kondisi wilayah eufotik, yang memiliki penting sebagai wilayah “trophogenic” perairan. Pemahaman wilayah eufotik dapat memberikan arahan kebijakan pemanfaaan wilayah tepian perairan dan penentuan wilayah yang mendukung produktivitas hayatinya. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kondisi wilayah eufotik perairan Danau Toba, dan faktor-faktor yang berlangsung di dalamnya. Kegiatan penelitian dilakukan di Danau Toba, pada bulan April 2009 dan Oktober 2009. Wilayah eufotik perairan Danau Toba berkisar antara 18 – 36 meter atau rata-rata 27 meter. Luasan wilayah littoral diperkirakan mencapai 10,64 km2 atau 0,95% dari seluruh luasan. Kondisi wilayah eufotik di wilayah perairan terbuka (wilayah limnetik) cenderung memiliki kondisi suhu yang relatif homogen dan masih mendukung kehidupan biota heterotrof dengan ketersediaan oksigen yang mencukupi (> 3 mg/L). Berdasarkan kandungan klorofil-a-nya, perairan Danau Toba mencirikan perairan oligotrof, sedangkan berdasarkan nilai rataan kelimpahan khlorofil a secara keseluruhan yang mencapai 0,9182 mg/m3 atau 0,918 µg/L, memberikan potensi produksi perikanan yang mencapai 37,9 kg/ha/tahun. Kata Kunci: Danau Toba, wilayah eufotik, khlorofil a, stratifikasi suhu, stratifikasi oksigen Euphotic Zone Lake Toba and Its Characteristic. Lake Toba is a lake in Indonesia which quite high utilization rate and has long done research to its limnological aspects. One limnologcal information is also necessary to know the condition euphotik zone, which has important as the "trophogenic area" of waters. Understanding of the euphotic zone will provide policy direction waters edge use and to determinate of area which support to the biological productivity. The purpose of this study was to evaluate the condition of euphotic zone of Lake Toba, and the factors that take role in it. Research activities conducted at Lake Toba, in April 2009 and October 2009. Euphotic zone of Lake Toba ranges between 18-36 meters or an average of 27 meters. Littoral area of the region is estimated at 10.64 km2 or 0.95% of the entire lake area. Euphotic zone conditions in open waters (limnetic zone) tend to have homogeneous temperature, relatively, and still support life heterotrophic biota with the adequate oxygen (> 3 mg / L). Based on chlorophyll-a content, the lake waters was oligotroph characterize waters, and based on the whole average abundance of chlorophyll-a, 0.9182 mg/m3 or 0.918 mg / L, giving the potential for fisheries production reached 37.9 kg / ha / year. Key words: Lake Toba, euphotic zone, chlorophyl a, temperature stratification, oxygen stratification
Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011. “Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup berbasis Kearifan Lokal. PPLH –LPPM Unsoed, Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia. Tema II. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Hal. 130 - 139
PENDAHULUAN Perairan Danau Toba, merupakan salah satu danau di Indonesia yang tingkat pemanfaatannya telah cukup tinggi, yaitu sebagai pusat pariwisata di Sumatera Utara, wilayah kegiatan usaha perikanan tangkap, serta lokasi usaha budidaya ikan sistem karamba jaring apung (KJA). Kegiatan usaha perikanan tangkap tercatat sejak tahun 1950-an dengan jenis ikan tangkapan dominan ikan mujaer (Oreochromis mossambicus) dan ikan mas (Cyprinus carpio) (Soerjani et al, 1979). Pemanfaatan perairan Danau Toba untuk budidaya ikan dalam KJA sudah cukup berkembang, dan tahun 1999 tercatat 2.400 unit telah beroperasi (Arifin,2004). Kajian aspek-aspek limnologi perairan Danau Toba telah cukup lama dilakukan, yaitu sejak “Sunda Expedition” pada tahun 1929. Danau Toba memiliki karakter tipe vulkanik, dengan luas 112.970 ha, kedalaman maksimum 529 meter, dan tingkat kesuburan sangat miskin (oligotrofik) (Ruttner, 1930). Kondisi terakhir perairan Danau Toba yaitu tergolong mesotrofik (Purnomo, et al., 2005). Sementara itu dari hasil penelitian terbaru, berdasarkan pengukuran batimetri dan deliniasi citra landsat memberikan karakteristik morfometri Danau Toba, diantaranya luas permukaan 1.124 km2 (112.400 ha), volume danau sekitar 256,2 km3 (256,2 x 109 m3) dengan kedalaman maksimum 508 m (Lukman & Ridwansyah, 2010). Salah satu informasi yang juga penting menyangkut aspek limnologis, adalah kondisi wilayah eufotik perairan. Wilayah eufotik memiliki peran penting sebagai “pemasok energi utama” suatu perairan danau atau sebagai wilayah “trophogenic” terkait ketersediaan cahaya yang melimpah yang mendukung aktivitas produktivitas primer di dalamnya. Merujuk pada Odum (1971), eufotik adalah bagian perairan yang mendapat cahaya, termasuk di dalamnya adalah wilayah littoral dan limnetik. Kedalaman eufotik (EZD; Euphotic Zone Depth) dibatasi oleh menghilangnya penetrasi radiasi aktif fotosintesis (PAR; Photosythetically Active Radiation) hingga tinggal 1% dari cahaya yang datang ke permukaan perairan (Koenings & Edmunson, 1991). Dengan demikian, dimensi dari EZD akan menentukan berapa luas wilayah littoral yang tersedia dan berapa dalam kolom air yang menjadi wilayah limnetik. Pemahaman wilayah eufotik perairan Danau Toba akan sangat penting, karena informasi tersebut dapat memberikan arahan kebijakan pemanfaaan wilayah tepian peraian dan dalam menentukan wilayah yang mendukung produktivitas hayati di dalamnya. Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011. “Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup berbasis Kearifan Lokal. PPLH –LPPM Unsoed, Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia. Tema II. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Hal. 130 - 139
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kondisi wilayah eufotik perairan Danau Toba, dan faktor-faktor yang berlangsung di dalamnya. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian dilakukan di Danau Toba, Provinsi Sumatera Utara pada bulan April 2009 dan Oktober 2009. Untuk menetapkan kedalaman eufotik, dilakukan pengukuran tingkat kecerahan dengan menggunakan keping Sechi pada 12 stasiun yang mewakili (Gambar 1). Parameter lain yang diukur adalah suhu dan kadar oksigen, yaitu pada empat masing-masing pada kedalaman 0 m, 10 m, 20 m, 30 m dan 40 m. Sedangkan kelimpahan khlorofil a diukur pada enam stasiun, yaitu dari kedalaman 0 m, 10 m, 20 m dan 30 m. Parameter penunjang lainnya yang diukur adalah pH, konduktivitas dan kekeruhan. Pengambilan air untuk contoh khlorofil menggunakan Van Dorn Sampler. Contoh air sebanyak 250 ml disaring menggunakan kertas saring Whatman Glass Microfiber Filter (GFF) dan diawet dengan MgCO3. Analisis khlorofil a menggunakan spektrofotometri (Greenberg et al.1992). Suhu dan oksigen terlarut diukur DO Meter YSI dan parameter penunjang lainnya diukur dengan WQC (Water Quality Checker) merk Horiba U-10.
Gambar 1. Peta stasiun penelitian di Danau Toba HASIL DAN PEMBAHASAN Wilayah Eufotik Tingkat kecerahan perairan Danau Toba berkisar antara 7,5
– 14,9 m (Tabel 1).
Kecerahan perairan atau kedalaman terdalam keping Sechi (SD) masih terlihat merupakan salah Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011. “Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup berbasis Kearifan Lokal. PPLH –LPPM Unsoed, Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia. Tema II. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Hal. 130 - 139
satu penduga yang sederhana untuk menentukan EZD. Ketersediaan cahaya pada kolom air dengan radiasi cahaya matahari tinggal 1% dari yang masuk di permukaan perairan, merupakan wilayah tempat biologi akuatik yaitu fotosintesis masih dapat berlangsung (Kirk, 1986). Berbagai faktor diketahui mempengaruhi tingkat kecerahan ini, yang meliputi produksi autochtonous, bahan-bahan allochtonous, dan bahan yang tersuspensi kembali dari dasar danau akibat aktivitas angin dan lain-lain (Carlson, 1977; 1980; Preisendorfer, 1986). Sedangkan menurut Hakanson ( 2005) morfometri danau sangat berperan terhadap tingkat kecerahan ini, terkait dengan proses di dalam danau seperti difusi dan suspensi kembali. Tabel 1. Tingkat kecerahan perairan Danau Toba Kecerahan Perairan (m)
Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
April 2009 14.9 ta ta 13.5 14 11 9 9 ta ta 13 9.5
Oktober 2009 11 11 9 7.5 9 9 9 11 9 9 9 8
Untuk perairan Danau Toba, tingginya tingkat kecerahan selain menunjukkan kondisi perairan yang masih oligotrofik dan diperkirakan memiliki kelimpahan fitoplankton yang rendah, juga kondisi morfometri yang cukup dalam tidak memungkinkan adanya kejadian-kejadian difusi dan suspensi kembali material yang sudah mengendap ke dasar danau. Berdasarkan hasil pengukuran tingkat kecerahan perairan tersebut dan berdasarkan rumusan Koenings & Edmunson (1991) dengan rasio EZD: SD pada perairan jernih yang mencapai 2,4,
maka EZD perairan Danau Toba antara 18 – 36 meter atau rata-rata 27 meter.
Tingkat kecerahan tersebut akan menentukan EZD di daerah perairan dangkal, yang dikenal sebagai wilayah littoral, dengan penetrasi cahaya hingga sampai ke dasar (Odum, 1971). Wetzel (1983) mengemukakan bahwa di wilayah littoral ini dapat ditemukan tumbuhan tipe tenggelam (submerged), meskipun jenis-jenis Angiosperma vaskuler terdapat hanya sampai kedalaman 10 Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011. “Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup berbasis Kearifan Lokal. PPLH –LPPM Unsoed, Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia. Tema II. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Hal. 130 - 139
meter (tekanan hidrostatik 1 atm) di dalam littoral bagian yang lebih dangkal (infralittoral), dan tumbuhan nonvascular (seperti makroalga) terdapat sampai batas yang lebih dalam dari wilayah fotik (littoriprofundal). Secara umum eufotik merupakan wilayah produktif, yang mana di perairan terbuka akan menunjang pertumbuhan fitoplankton serta di tepian membentuk wilayah littroral yang menunjang perkembangan tumbuhan air tenggelam dan alga bentik.
Wilayah littoral ini
merupakan salah satu pemasok energi kehidupan di perairan danau, diantaranya merupakan tempat berkembangnya tumbuhan air tenggelam dan komunitas biota makrobenthik. Berdasarkan penelitian Babler et al (2008) di Danau Crampton, wilayah littoral danau tersebut memberikan pasokan produktivitas bentik tahunan cukup tinggi, yaitu lebih dari 65% produksi seluruh danau. Dikemukakan pula bahwa, wilayah littoral tidak hanya menyediakan sebagian besar ketersediaan produksi sekunder bentik tetapi juga menawarkan kondisi yang layak untuk benyak ikan (misalnya oksigen terlarut tinggi, suhu optimal untuk pertumbuhan). Ternyata banyak takson biota bentik yang mempertahankan suatu laju produksi mendekati tingkat maksimumnya di wilayah littoral melintasi berbagai kisaran kedalaman. Kedalaman eufotik (EZD) Danau Toba ini jika dibandingkan dengan kedalaman maksimumnya yang mencapai 508 meter, hanya memiliki proporsi yang sangat rendah dari seluruh kolom air. Sementara itu luasan wilayah littoral, tepian dengan kedalaman hingga 30 meter diperkirakan mencapai 10,64 km2 atau 0,95% (Gambar 2) dari seluruh luasan (1.124 km2) perairan Danau Toba (Lukman & Ridwansyah, 2010).
Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011. “Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup berbasis Kearifan Lokal. PPLH –LPPM Unsoed, Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia. Tema II. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Hal. 130 - 139
Gambar 2. Luasan wilayah littoral Danau Toba (kedalaman 0 - 30 m; warna hijau). Luas wilayah littoral Danau Toba yang relatif sempit, terkait dengan kondisi batimetrinya yang cenderung curam. Wilayah littoral yang cukup luas, tampak tersebar di tepian landai seperti di utara Pulau Samosir dan di sisi tenggara danau (Gambar 2). Terkait pengembangan KJA, wilayah yang dapat dimanfaatkan semestinya berada di lepas pantai pada kisaran kedalaman >30 meter, untuk menjaga kondisi perkembangan komunitas biotik di wilayah littoral tersebut. Stratifikasi Suhu Stratifikasi vertikal suhu perairan danau akan mencerminkan bagaimana dinamika polapola pencampuran massa air di dalamnya. Dikemukakan oleh Wetzel (1983) bahwa stratifikasi di danau bercampur (mixtic lake) melalui suatu rangkaian proses yang dimediasi oleh prosesproses fisik dan biologis.
Pada skala waktu tahunan dengan berlangsungnya tahapan
penghangatan permukaan air dan aksi angin menentukan pelapisan panas di dalam kolom air, dan berasosiasi dengan suksesi proses mikrobial heterotrofik, sejalan pula dengan dorongan yang mengarahkan untuk evolusi kimia di wilayah lebih dalam. Selanjutnya Stum (1985) mengemukakan bahwa perkembangan stratifikasi suhu di
suatu perairan memainkan peran
penting pada seluruh proses ekologis badan air. Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011. “Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup berbasis Kearifan Lokal. PPLH –LPPM Unsoed, Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia. Tema II. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Hal. 130 - 139
Berdasarkan data pengukuran profil suhu pada bulan April 2009 dan Oktober 2009 di EZD Danau Toba dan sedikit di bawahnya (hingga kedalaman 40 m) belum tampak suatu kecenderungan kestabilan suhu. Kondisi suhu pada pengukuran April 2009, dari permukaan hingga kedalaman 40 m, suhu menurun secara bertahap dari antara 26 – 28oC hingga pada kisaran 25 – 26oC (Gambar 3a). Sementara pada pengukuran Oktober 2009, suhu di permukaan berada pada kisaran 25,5 – 26,0oC dan pada kedalaman 40 m suhu hanya menurun hingga 24,5-25,0oC. Pada pengukuran Oktober 2009, suhu air permukaan cenderung lebih rendah dari pengukuran di bulan April 2009 dan menunjukkan suhu yang cenderung menjadi homogen dari permukaan hingga kedalaman 40 m (Gambar 3b). Profil suhu yang lebih rendah di bulan Oktober 2009 tampaknya menunjukkan adanya pengaruh kondisi cuaca di permukaan yang cukup kuat. Kondisi suhu udara rataan di wilayah Parapat pada bulan April ternyata relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara rataan pada bulan Oktober (Gambar 4).
(a) (b) Gambar 3. Profil vertikal suhu di Danau Toba kedalaman 0 – 40 m (a.Bulan April 2009; b. Bulan Oktober 2009)
Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011. “Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup berbasis Kearifan Lokal. PPLH –LPPM Unsoed, Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia. Tema II. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Hal. 130 - 139
Gambar 4. Suhu udara rata-rata 10 tahun antara tahun 1999-2008 di wilayah Parapat (Sumber: BMKG, Sibaganding-Parapat, tahun 1999-2008). Kondisi suhu vertikal perairan Danau Toba yang cenderung seragam pada Oktober 2009, memungkinkan tidak terhambatnya pergerakan massa air di kolom tersebut dan akan menghomogenkann pula kondisi-kondisi kualitas air di dalamnya. Berdasarkan profil-profil vertikal suhu tersebut, diperkirakan kolom air antara 0 – 40 m tersebut merupakan lapisan epilimnion Danau Toba. Dengan demikian, kondisi wilayah eufotik di wilayah perairan terbuka atau yang merupakan wilayah limnetiknya, akan memiliki kondisi yang relatif homogen. Stratifikasi Ketersediaan Oksigen Ketersediaan oksigen hingga kedalaman 40 meter relatif masih cukup tinggi (> 3,0 mg/L), dengan profil vertikal yang berbeda antara pengukuran bulan April 2009 dan Oktober 2009. Kondisi kadar oksigen terlarut memiliki pola yang hampir mirip dengan profil suhu, terutama pada pengamatan bulan Oktober 2009 kadar oksigen cenderung homogen dari permukaan hingga kedalaman 40 m (Gambar 4).
Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011. “Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup berbasis Kearifan Lokal. PPLH –LPPM Unsoed, Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia. Tema II. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Hal. 130 - 139
(a) (b) Gambar 4. Profil vertikal kadar oksigen terlarut di Danau Toba kedalaman 0 – 40 m (a.Bulan April 2009; b. Bulan Oktober 2009) Keberadaan oksigen terlarut pada kolom perairan antara 0 – 40 m, yang relatif tinggi, selain ditunjang oleh proses pengadukan (agitasi) akibat adanya hembusan angin, juga akan dipasok dari aktivitas proses fotosintesis yang akan berlangsung pada EZD tersebut.
Hal ini
sejalan dengan yang dikemukakan Gelda & Effler (2002), bahwa netto perubahan ketersediaan oksigen terlarut pada bagian atas lapisan produktif campuran (UMPL; upper mixed productive layer) sebagai suatu keseimbangan dengan massa oksigen terlarut yang dipertukarkan pada permukaan air dan udara, massa oksigen terlarut yang dipertukarkan melalui batas bawah UMPL, dan netto perubahan oksigen terlarut yang diakibatkan oleh produktivitas primer. Kondisi oksigen terlarut yang cenderung homogen pada pengamatan bulan Oktober 2009, diduga terkait dengan profil vertikal suhu pada bulan yang sama yang cenderung homogen (Gambar 3). Kondisi tersebut memungkinkan massa air dan komponen di dalamnya, termasuk oksigen terlarut, akan dengan mudah bergerak diantara kolom yang berbeda karena tidak adanya perbedaan massa jenis dari air tersebut. Sementara itu ketersediaan oksigen di lapisan dalam yang cenderung lebih rendah, dipengaruhi laju perpindahan vertikal yang dapat diestimasi dari kondisi suhu dari setiap lapisan, serta konsumsi oksigen yang dipengaruhi kebutuhan untuk perombakan organik dan fitoplankton serta kebutuhan oksigen bentik (Frisk, 1982). Dengan demikian, kondisi wilayah eufotik Danau Toba di wilayah perairan terbuka atau yang merupakan wilayah limnetiknya, masih mendukung kehidupan biota heterotrof dengan ketersediaan oksigen yang masih mencukupi (> 3 mg/L). Kelimpahan Khlorofil a Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011. “Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup berbasis Kearifan Lokal. PPLH –LPPM Unsoed, Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia. Tema II. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Hal. 130 - 139
Kelimpahan khlorofil a suatu perairan dapat mencerminkan tingkat kesuburannya. Pada bulan April 2009 kadar khlorofil a di perairan Danau Toba pada wilayah eufotik (kedalaman 0 – 30 meter) berkisar antara 0,344 – 1,337 mg/m3, atau dengan rata-rata antar stasiun pada kisaran 0,474 - 1,276 mg/m3 (Tabel 2), sedangkan pada bulan Oktober 2009 berkisar antara
0,335 –
1,701 mg/m3, atau dengan rata-rata antar stasiun pada kisaran 0,528 – 1,496 mg/m3 (Tabel 3). Berdasarkan kandungan klorofil-a-nya, baik pada pengukuran
April 2009 maupun
Oktober 2009, Danau Toba menujukkan perairan oligotrof (tidak subur). Menurut Seller & Markland (1987), kandungan khlorofil perairan oligotrofik berkisar antara 0 – 4 mg/m3 (0,000 – 0,004 mg.l-1), mesotrofik antara 4 - 10 mg/m3 (0,004 – 0,010 mg.l-1), sedangkan jika kisaran 10 - 100 mg/m3 (0,010 – 0,100 mg.l-1) menunjukkan perairan eutrofik. Tabel 2. Kadar khlorofil a di Perairan Danau Toba Bulan April 2009 Stasiun (mg/m3) 5 7
Kedalaman (m)
2
3
0
0,540
0,344
0,421
10
0,651
0,355
20
1,091
30 Rata-rata
11
12
1,710
0,540
0,813
0,382
1,163
1,337
0,862
0,380
0,553
1,333
0,935
1,132
1,092
0,866
0,541
0,899
1,254
0,687
0,844
0,486
0,474
1,276
1,017
0,874
Tabel 3. Kadar khlorofil a di Perairan Danau Toba Bulan Oktober 2009 Stasiun (mg/m3) 5 7
Kedalaman (m)
2
3
0
1,701
1,404
0,593
10
1,441
1,699
20
1,402
30 Rata-rata
11
12
0,850
0,850
1,106
0,335
1,145
0,850
0,554
1,402
0,850
0,595
1,441
0,258
1,147
1,481
0,337
1,104
1,106
0,552
1,422
1,496
0,528
0,923
1,062
0,617
Nilai rataan kelimpahan khlorofil a secara keseluruhan di perairan Danau Toba mencapai 0,9182 mg/m3 (0,000918 mg/L) atau 0,918 µg/l. Kelimpahan khlofil a di perairan Danau Toba ini tidak jauh berbeda dengan kelimpahan khlorofil a di perairan Danau Lindu yang mencapai 0,929 µg/l (Lukman, 2005).
Sementara itu, jika mengikuti formulasi Moreau & De Silva
Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011. “Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup berbasis Kearifan Lokal. PPLH –LPPM Unsoed, Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia. Tema II. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Hal. 130 - 139
(1991), kelimpahan khlorofil a memberikan potensi produksi perikanan Danau Toba yang dapat mencapai 37,9 kg/ha/tahun.
Data Kondisi Kualitas Air Parameter Penunjang Tingkat keasaman (pH) perairan Danau Toba cenderung basa (>7,0), kekeruhan pada kisaran rendah, dengan konduktivitas antara 0,154 – 0,162 mS/cm (Tabel 4). Karakteristik pH perairan Danau Toba cenderung alkalin (pH antara 7,14 – 8,97), tampaknya terkait dengan daerah tangkapan(DTA; atcment area) Danau Toba yang kondisinya cukup terbuka, sementara luasan dari DTA itu sendiri cukup dominan (Rasio DAS : Luas perairan ≈ 2,2 : 1; Lukman & Ridwansyah, 2010). Pada umumnya perairan alkalin berada di daerah karst, yang aliran airnya banyak melarutkan komponen kalsium (Ca), sebagaimana sungai-sungai pada kawasan karst di Barat Laut Slovenia yang memiliki pH bervariasai antara 7,7 – 8,0 (Mori & Bracelj, 2006). Sementara itu tingkat kekeruhan jika mengacu pada baku mutu air bersih (Peraturan MenKes RI No. 416/IX/90) atau untuk melindungi kehidupan akuatik (US-EPA) yaitu < 25 NTU, maka tingkat kekeruhan perairan Danau Toba masih cukup baik dan layak.
Tabel 4. Kondisi beberapa Parameter Kualitas air Penunjang di Danau Toba pH Konduktivitas Stasiun Kekeruhan (NTU) (mS/cm) April Oktober April Oktober April Oktober 1 8.37 7,70 0.159 0,160 18 3,0 2 8.55 7,70 0.158 0,160 2 3,0 3 8.22 7,69 0.154 0,162 4 3,0 4 7.77 7,58 0.157 0,161 0 3,0 5 8.97 7,66 0.158 0,161 2 3,0 6 8.66 8,11 0.157 0,161 0 0 7 8.95 7,67 0.156 0,160 0 0 8 9.04 7,70 0.156 0,159 0 1,0 9 ta 7,30 ta 0,162 ta 3,0 10 ta 7,44 ta 0,161 ta 3,0 11 8.87 7,14 0.157 0,160 0 3,0 12 8.62 7,40 0.155 0,160 1 3,0 Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011. “Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup berbasis Kearifan Lokal. PPLH –LPPM Unsoed, Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia. Tema II. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Hal. 130 - 139
Tingkat konduktivitas perairan menunjukkan kadar ion-ion yang terkandung di dalamnya, yang sangat berguna sebagai pendekatan pendugaan kekayaan kimiawinya. Tingkat konduktivitas perairan Danau Toba berada pada kisaran sedang. Konduktivitas tinggi umumnya terukur pada perairan yang berada di kawasan karst, seperti sungai-sungai Bantimurung dan Patunuang (0,219 mS.cm-1 - 0,386 mS.cm-1) di Sulawesi Selatan (Lukman et al., 2008). Sedangkan konduktivitas yang sangat rendah, teramati pada perairan berawa seperti di Danau Semayang (maksimum 0,0045 mS.cm-1), yang sumber airnya diantaranya berasal dari kawasan rawa-rawa (Lukman, 1998). KESIMPULAN Wilayah eufotik perairan Danau Toba dapat
mencapai kedalaman 27 meter, dan
menciptakan luasan wilayah littoral diperkirakan 10,64 km2 atau 0,95% dari seluruh luasan danau. Kondisi wilayah eufotik di perairan terbuka (limnetik) cenderung memiliki kondisi suhu yang relatif homogen dan masih mendukung kehidupan biota heterotrof dengan ketersediaan oksigen yang masih mencukupi (> 3 mg/L). Berdasarkan kandungan klorofil-a-nya, perairan Danau Toba mencirikan perairan oligotrof, dan memberikan potensi produksi perikanan yang mencapai 37,9 kg/ha/tahun.
DAFTAR PUSTAKA Arifin, S., 2004. Pengelolaan Ekosistem Kawasan Danau Toba yang Berwawasan Lingkungan. Prosiding Lokakarya Danau Kedua Pengelolaan Danau Berwawasan Lingkungan di Indonesia. Forum Danau Indonesia (FDI) dan International Lake Environment Committee Foundation (ILEC). Hal. 89 – 95. Babler, A., C.T. Solomon & P.R. Schilke. 2008. Depth-specific pattern of benthic secondary production in an oligotrophic lake. J. N. Am. Benthol. Soc, 27(1): 108 - 119 Carlson, R.E. 1977. A Trophic State Index for Lakes. Limnology and Oceanography, Vol. 2(2): 361-369 Carlson, R.E. 1980. More Complications in the Chlorophyl Sechi Disk Relationship. Limnology and Oceanography, Vol 25: 379 - 382 Frisk, T. 1982. An Oxygen Model for Lake Haukivesi. Hydrobiologia 86: 133 -139 Gelda, R. K., & S. W. Effler, 2002. Metabolic rate estimates for a eutrophic lake from diel dissolved oxygen signals. Hydrobiologia ,485: 51 - 66 Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011. “Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup berbasis Kearifan Lokal. PPLH –LPPM Unsoed, Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia. Tema II. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Hal. 130 - 139
Greenberg, A. E., L. S. Clesceri, and A. D. Eaton (ed.). 1992. Standard methods for the examination of water and waste water, 18th edition. APHA-AWWA-WEF. Hakanson, L. 2005. The Importance of Lake Morphometry and Catchment Characteristic in Limnology – Rangking Based on Statistical Analiyses. Hydrobiologia, 541: 117 – 137 Kirk JTO. 1986. Light and Photosynthesis in Aquatic Ecosystems. Cambridge Univ.Press. London. P 401 Koenings J.P & J.A. Edmundson, 1991. Sechi disk and photometer estimates of light regimes in Alaskan lakes: Effects of yellow color and turbidity. Limnology and Oceanography, 36(1): 91 – 105 Lukman, 1996. Kualitas Air Danau Semayang pada Periode Pra Penyurutan dan Pra Penggenangan. Limnotek, Vol. 5 (1): 77 – 83 Lukman. 2005. Kondisi Perikanan Danau Lindu, Sulawesi Tengah. Limnotek, Vol. 12 (1): 24 – 32 Lukman, D. S Said, dan Triyanto. 2007. Kondisi Lingkungan Sungai-sungai Habitat Ikan Beseng- beseng (Telmatherina ladigesi) di Sulawesi Selatan. Limnotek, Vol. 15(2): 55 - 65 Lukman & I. Ridwansyah. 2010. Kajian morfometri dan beberapa parameter stratifikasi perairan Danau Toba. Limnotek, Vol. 17 (2). Moreau, J and S.S. De Silva, 1991. Predictive Fish Yield Models for Lakes and Reservoirs of the Philippines, Sri Langka and Thailand. FAO Fisheries Technical Paper 319. Rome: FAO. Mori, N., & A. Bracelj, 2006. Macroinvertebrate Communities of Karst Springs of Two Rivers Catchments in the Southern Limestone Alps (the Julian Alps, NW Slovenia). Aquatic Ecology, Vol. 40: 69 - 83 Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecolology. Third edition. Sunders Coll. Publ. Preisendorfer, R.W. 1986. Sechi disk Science: Visual Optics of Natural Waters. Limnology and Oceanography, Vol. 31: 909 - 927 Purnomo, K., E. S. Kartamihardja, Wijopriono, Z. Fahmi, M. M. Wahyono, R. Faizah & A. S. Sarnita, 2005. Riset Pemetaan Kapasitas Sumberdaya Ikan dan Lingkungan di Danau Toba, Sumatera Utara. Pusat Riset Perikanan Tangkap, BRKP-DKP. 31 hal. Ruttner, F. 1930. Hydrographische und hydrochemishe Beobachtungen auf Java, Sumatera und Bali. Arch. Hydrobiol. Suppl. 8: 197-454 Seller, H.B. and R. Markland. 1987. Decaying Lake. The Origin and Control of Cultural Eutrophication. John Wiley & Sons. New York. 254 pp Soerjani, M., Wargasasmita, S., Djalil, A., Tjitrosudirdjo, S., & Aziz, K. A. 1979. Survey Ekologi Danau Toba, Laporan Akhir. Univ. Indonesia – Dep. PU. 24 hal. Stumm. W., 1985. Chemical Processes in Lakes. Wiley-Interscience, New York, 435 pp. Wetzel, R. G. 1983. Limnology. W. B. Saunders College Publ., Philadelphia. 743 pp.
Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup 2011. “Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup berbasis Kearifan Lokal. PPLH –LPPM Unsoed, Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia. Tema II. Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Hal. 130 - 139