Cinta
Segitiga
Tidak
Sama Sisi
buku satu: pencarian
a novel by jeffry thurana
Cinta
Segitiga
Tidak
Sama Sisi
buku satu: pencarian
a novel by jeffry thurana
http://penutur.thurana.com/ | 2
P ROLOG
French Kiss
... Sebentar, sepertinya itu lebih ke bawah sedikit dari pinggang belakang.
http://penutur.thurana.com/ | 3
Astaga! Mereka sedang berciuman! French kiss, jika dilihat sekilas dari 'pergumulannya'. Saling memeluk dengan begitu mesranya, tangan yang wanita disekeliling leher sang pria, sementara tangan sang pria menempel di pinggang belakang sang wanita. ... Sebentar, sepertinya itu lebih ke bawah sedikit dari pinggang belakang. Aku hanya bisa terdiam, bengong, berdiri tanpa bergerak di depan pintu ruangannya. Ruangan Ibu Terry yang terhormat. Salah satu dari orang-orang di dunia ini yang tidak akan pernah masuk ke dalam daftar kartu lebaranku - walaupun sepertinya hampir tidak ada lagi orang yang masih mengirimkan kartu lebaran di era SMS, email, Facebook, dan Twitter, seperti sekarang ini. Dalam sepersekian detik aku tersadar, memalingkan muka dan merapatkan lagi pintu yang barusan sempat kubuka. "Maaf, Bu. Seharusnya aku mengetuk dulu." Kataku. Sementara dalam hati aku mengutuk-ngutuk diriku sendiri yang lupa mengetuk pintu. Sari mengatakan bahwa Terry ingin secepatnya ketemu denganku, meminta kabar mengenai rencana wawancara dengan Dina Santoso - perancang busana, bintang film, sekaligus foto model. Salah satu selebritis yang paling terkenal saat ini - salah satu yang paling sulit ditemui. Sebelum pintu betul-betul tertutup, Terry memanggilku dengan logatnya yang agak British. "Lin, it's okay. Masuklah." Pemandangan pertama yang kulihat adalah mereka yang sedang merapikan penampilan setelah 'aksi gerilya' barusan. Tanpa terasa wajahku memerah. "Ada apa?" Tanyanya sambil melepaskan capit rambutnya, menguraikan rambut indahnya yang agak pirang dan menatanya sedikit dengan tangan. Setelah itu dia memasang kaca matanya. "Oh, aku hanya mau mengabarkan bahwa mbak Dina setuju untuk wawancara dan pemotretan." Jawabku. Berusaha mengalihkan pandangan, kemana saja asal jangan ke arah mereka berdua. Langit-langit ruangan sepertinya target tatapan yang cukup lumayan.
http://penutur.thurana.com/ | 4
"See? I know you could do that!" Komentarnya. Kali ini sambil menggulung rambutnya dan mencapit ulang. "Yah, dengan sedikit membawa-bawa nama Ibu." Jawabku berusaha merendah. "Please, please! Ingat apa yang kukatakan mengenai masalah 'ibu-ibu'-an itu?" Tanyanya. "Aku kan lebih muda darimu. So, no ibu, ok? Simply my name, Ter-ry!" Kenapa juga dia harus mengingatkan bahwa dia sedikit lebih muda dariku? Apakah dia ingin menegaskan bahwa meskipun aku lebih tua sedikit, tetapi karirnya lebih cemerlang? "Sorry. Kebiasaan." Jawabku sambil tersenyum kecil dan mengulang apa yang barusan dikatakannya. "Ter-ry." "That's my girl." Katanya sambil mengacungkan ibu jari kirinya. Dia kidal. Ada keheningan sesaat disitu. Dan tidak bisa tidak aku melirik ke arah pria ganteng yang berdiri disebelah Terry. Ini adalah salah satu alasan lain kenapa atasanku yang terhormat ini tidak akan pernah kuundang ke pesta ulang tahunku. Terry adalah tipe wanita yang seperti itu - yang selalu mendapatkan semua stock pria tampan yang tersedia. Terry sepertinya melihat lirikan mataku dan berkata, "Oh, sorry. How rude of me. Aku perkenalkan, ya? This is my - um - friend, Steve," katanya sambil menunjuk laki-laki itu. Lalu dia menujukku, "This is Linda, my precious sidekick. Orang yang paling bisa diandalkan disini." Pujian yang semanis madu. Dan ini menjadi salah satu alasan lainnya kenapa aku tidak pernah membawakan oleh-oleh untuknya setiap kali aku kembali dari pulang kampung - dari Bandung. Aku paling benci orang yang berpurapura sangat baik dihadapan kita... dan menikam dari belakang. Tepat seperti yang sedang kulakukan sekarang - memasang topengku yang paling manis meskipun sepertinya aku tidak punya cukup keberanian untuk menikam. Steve dan aku berjabat tangan dengan kaku. "Sepertinya mulai saat ini kalian akan sering bertemu," kata Terry sambil mengedipkan matanya kepadaku.
http://penutur.thurana.com/ | 5
"Baiklah," kataku setelah beberapa saat. "Aku kembali ke mejaku dulu." Aku berusaha memberikan senyumku yang terbaik kepada mereka. Lalu aku berbalik, berjalan keluar ruangan dan menutup pintu. Aku menggigit bibirku, menahan air mata. Sedikit terpukul, lebih banyak geram. Pasti sekarang mereka sedang mentertawakanku di dalam. Seluruh dunia sedang mentertawakanku sekarang. Akan sering bertemu? Tentu saja aku akan sering bertemu dengan Steve, tunanganku.
http://penutur.thurana.com/ | 6
S ATU - S ENIN , 21 M ARET
Senior Editor Yang Baru
Ekspresi terkejut itu keluar juga. Tidak perlu dibuat-buat sama sekali.
http://penutur.thurana.com/ | 7
Linda - 10.12 "Lin, ditunggu Pak Yus diruangannya tuh." Sari memberitahukanku sambil lewat. Sari adalah sekretaris dari Pak Yus, sang boss besar majalah tempatku bekerja ini. "Sepertinya masalah kau dan urusan Senior Editor untuk bagian Fashion." Sari menambahkan kedipan mata sebelum dia menghilang dibalik pintu ruang photo copy. Tumben Sari beramah-ramah denganku, biasanya dia selalu jutek dan menjadi nominator utama sebagai juara lomba orang yang paling menyebalkan. Mungkin ini pertanda baik? Sebentar, barusan Sari bilang apa? Senior Editor untuk bagian Fashion? Itu adalah posisi yang sudah berkali-kali aku usulkan kepada merekamereka yang berwenang. Alasannya, majalah ini sudah berkembang dari sekedar majalah wanita biasa menjadi majalah trend seputar kehidupan wanita perkotaan. Rubrik fashion yang biasanya ditangani secara sekilas saja secara serabutan oleh siapa saja (meskipun akhirnya mutlak menjadi pekerjaanku), sekarang sudah perlu ditangani secara khusus. Aku sendiri sudah kocar-kacir mengerjakan semuanya sendiri. Majalah ini perlu mendirikan bagian khusus fashion untuk menangani semuanya secara baik dan benar, dan tentu saja seorang Senior Editor untuk memimpinnya. Dan siapa lagi yang paling cocok untuk menduduki jabatan itu? Akhirnya majalah Vanity ini menyadari potensiku yang sebenarnya. Aku berjalan menuju ke ruangan Pak Yus dan melewati ruangan kosong yang sudah dirapikan. Ruangan yang dulu ditempati Ibu Mala. Ternyata itu tujuan bersih-bersih dua hari yang lalu. Memang sudah seharusnya bekas ruangan salah satu pendiri majalah ini digunakan untuk hal-hal yang lebih berguna daripada dikosongkan begitu saja. Tidak terasa, sudah hampir satu tahun sejak Ibu Mala pensiun. (Meskipun sebetulnya agak aneh, karena sepertinya usia Ibu Mala terlalu muda untuk pensiun.) Membayangkan duduk dibelakang meja di ruangan itu, disebelah ruang senior-senior editor lainnya, membuat emosiku meluap-luap kegirangan. Ruang senior editor...
http://penutur.thurana.com/ | 8
Sudah beberapa menit Aku berdiri di depan ruangan Pak Yus, mengatur nafas dan menyiapkan hati. Senyuman ini tidak bisa hilang dari bibirku sedari tadi. Ayolah Lin, kau tidak boleh menunjukkan wajah yang terlalu terbaca seperti itu. Kalau bisa bahkan pasang wajah terkejut ketika nanti Pak Yus memberitahukan kabar 'yang paling tidak kusangka-sangka' itu. Setelah memastikan bahwa 'wajah nyengir' itu sudah bersembunyi dan digantikan oleh wajah yang tenang dan percaya diri, aku mengetuk pintu ruangan Pak Yus.
http://penutur.thurana.com/ | 9
Terry - 10.18 Pintu lift terbuka dan aku melangkah keluar. Lantai 11, Vanity Magazine. Begitu yang tertulis di memo yang dikirimkan Daddy tadi pagi. "Kau kan sudah lulus sejak September tahun lalu, sudah waktunya mengisi hidup dengan bekerja. Jangan bersenang-senang saja." Itu katanya lewat telepon suatu Selasa pagi bulan Februari lalu. "Tapi aku 'kan bekerja disini, Dad." Jawabku. "I'm modeling." "I mean real job." Ayahku berkilah. "Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau tiap hari hanya foto-foto dan bolak-balik di catwalk nggak karuan." Daddy, dia tidak pernah mau mengakui kalau sebetulnya dia kangen padaku, anak satu-satunya. Aku tidak mau berargumentasi dengan ayahku. Apalagi lewat telepon. Seperti berbicara dengan tembok batu. Jadi akhirnya aku mengiyakan saja ketika dia - dengan inisiatif yang tinggi - sudah memesankan tiket pulang ke Indonesia. Selalu begitu. Seperti ketika aku lulus S1 di Australia dulu, sekarang juga dia dengan begitu saja memulangkanku dari London. Beberapa bulan setelah aku lulus S2. "Go home," katanya. "Aku sudah mendapatkan pekerjaan yang sesuai untukmu." Tetap otoriter seperti biasa, terkadang overprotective. Tetapi aku mencintainya. Dia adalah seorang ayah yang luar biasa. Dan sejak ibuku meninggal sepuluh tahun yang lalu, aku tidak bisa terlalu lama meninggalkannya. "Selamat pagi," kataku kepada mbak-mbak receptionist di meja depan. "Saya Terry Lamusa. Saya ada janji dengan Bapak Yusranto."
http://penutur.thurana.com/ | 10
Linda - 10.21 "Silakan duduk Lin," Begitu kata-kata pertama yang diucapkan oleh Pak Yus setelah aku masuk keruangannya. Dia menunggu sebentar sebelum melanjutkan, "Saat ini kau sedang mengerjakan apa?" Pertanyaan basa-basi. Tapi kujawab juga.Yang bertanya Big Boss gitu lho. "Laporan rancangan busana muslim terbaru dari Rivan yang dipertunjukkan di fashion show-nya minggu lalu, Pak." "Sudah selesai?" "Hampir." Pak Yus mendehem sedikit sebelum melanjutkan. "Begini," katanya sambil mendehem sekali lagi. "Aku dengar dari para Senior Editor bahwa waktu itu kau pernah mengusulkan bahwa majalah kita perlu bagian khusus yang menangani urusan fashion. Betul?" "Betul, Pak. Sejalan dengan perkembangan majalah kita, rubrik fashion sudah tidak bisa lagi digarap seadanya. Perlu ada koordinasi yang lebih matang dan lebih banyak lagi orang yang mengerjakannya." "Selama ini bagaimana? Katanya kau yang mengerjakan semuanya sendiri? Tapi saya lihat hasilnya tidak jelek. Betul?" Wah, apakah ini pertanyaan jebakan? Kalau kujawab hasilnya bagus, berarti aku tidak perlu bantuan dan ucapkan saja selamat tinggal pada semua harapan ruangan khusus dan naik jabatan. Kalau kujawab tidak, berarti aku yang tidak profesional. Harus dijawab dengan diplomatis dan hati-hati. "Saya memang sendirian, Pak. Terima kasih atas pujian untuk hasil kerja saya." Jawabku perlahan setelah berpikir keras selama beberapa detik. "Tetapi meskipun saya terus berusaha untuk mempertahankan keprofesional-an saya dan menjaga mutu akhir tulisan," Aku sengaja menekankan kata profesional di kalimat itu, "Memang harus diakui bahwa saya agak kewalahan." "Begitu." Katanya. Lalu dia terdiam beberapa saat.
http://penutur.thurana.com/ | 11
Aku merasakan ada butiran keringat yang mengalir perlahan di leher belakang leherku. Entah kenapa aku menjadi tidak seyakin tadi untuk urusan ini. "Begini," katanya sekali lagi. "Aku sebagai pimpinan disini menyampaikan hasil pertemuan kemarin sore, bahwa..." Rapat para petinggi. Biasanya dilaksanakan sambil makan di restoran mahal. "... kami akan mengikuti saranmu untuk masalah bagian khusus yang menangani fashion." Yess! Sepertinya sebentar lagi aku akan mulai kebagian jatah makan makanan mahal. "... Dan untuk menjamin kerja bagian itu, kita perlu seorang Senior Editor baru ..." Yess! Yess! Mungkin aku perlu menyediakan banyak kantong plastik untuk membawa makanan pulang. "... yang akan menempati ruangan yang baru dibereskan di sebelah ..." Tiga kali yesss! Dan mengadakan program perbaikan gizi untuk anak-anak kost di tempatku. "... Karena kau yang paling tahu urusan ini, kami minta bantuanmu ..." Sepuluh kali yess!. Aku mempersiapkan ekspresi terkejutku, menunggu Pak Yus mengatakan kalimat penutupnya. " ... untuk membimbing Senior Editor bagian Fashion kita yang baru." Seratus kali ye - ...WHAT? Ekspresi terkejut itu keluar juga. Tidak perlu dibuat-buat sama sekali.
http://penutur.thurana.com/ | 12
Sari - 10.23 "Sar, Sar!" Endah dari meja reception depan memanggil dan menghampiriku yang baru saja keluar dari ruang photo copy. Aku baru saja membuat salinan dari dokumen pengangkatan Senior Editor yang baru. Aku menoleh kearahnya. "Ada Terry, Sar! Terry!" Lanjutnya. "Yang fotomodel itu." Kampungan sekali. "Oh, dia sudah datang?" Jawabku seperlunya. "Kamu sudah tahu?" Tanyanya sedikit heran. Kampungan dan bodoh. Jadi receptionist pun sebetulnya dia tidak layak. "Tahu, lah." Jawabku dengan ekspresi yang mengatakan 'please dong ah!'. "Aku kan sekretarisnya Pak Yus." "Oh, iya, ya?" Dan Endah-pun mengeluarkan cekikikannya yang menyebalkan itu. "Sekarang dia dimana?" Tanyaku. "Duduk menunggu di sofa depan." Katanya sambil melirik-lirik ke arah ruang depan. Aku bisa melihat beberapa karyawan laki-laki bertumpuktumpuk sedang mengintip dari kaca kecil di pintu yang menghubungkan reception dan lorong meeting room satu sampai empat. Ruang photo copy terletak tepat sesudah meeting room tiga. Di seberangnya ada pantry, sebelah meeting room empat. "Kirim Terry ke aku." Lalu aku kembali berjalan menuju ke mejaku, tidak bisa menahan diri untuk tidak menghela nafas. Aku berada di lingkungan orang-orang kampung...
http://penutur.thurana.com/ | 13
Linda - 10.25 "Ma - ma..af, bagaimana maksudnya Pak?" Tanyaku berusaha meyakinkan. Berharap bahwa barusan Pak Yus sedikit salah berbicara. "Iya, kita akan meng-hire seseorang sebagai Senior Editor dan dia akan memimpin bagian Fashion. Saya harap kau mau membantunya." Pak Yus memperjelas pernyataannya. "Tapi - saya - sebelumnya - saya pikir - tapi - " Aku berusaha mengendalikan diri. "Oh, tidak usah khawatir. Jabatanmu juga kunaikkan. Sekarang kamu akan menjadi Assistant to Fashion Senior Editor. Dan kabar gembira lainnya adalah: semua masalah liputan dan wawancara tetap berada di tanganmu." Katanya sambil tersenyum. "Kami pikir bahwa kamu akan lebih tepat untuk menangani urusan lapangan daripada sekedar duduk dibelakang meja." Aku terhenyak. Tidak berusaha menyembunyikan wajah penuh depresiku. Berganti nama, beban tidak berubah. Hanya saja sekarang aku punya atasan langsung. Pekerjaan menjadi lebih menyebalkan dengan adanya seseorang yang mengatur-atur semuanya. "Kenapa? Kau kecewa dengan perubahan ini?" Tanya Pak Yus. "Eh, tidak Pak." Jelas-jelas berbohong. Sepertinya Pak Yus juga tahu. Tetapi seperti biasa, dia tidak pernah perduli dengan perasaan orang lain. "Lalu, siapa yang akan memegang jabatan Senior Editor itu?" Tanyaku. Sudah pasrah, karena aku mau jungkir balik juga keputusan itu tidak akan berubah. "Nah, aku juga baru saja memikirkannya." Jawab Pak Yus. "Seharusnya dia sudah ada disini." When you talk about the devil, the devil comes. Dan ketukan di pintu mengkonfirmasi pernyataan itu. Aku mempersiapkan diri untuk melihat orang yang sudah merebut jabatan, ruangan, dan masa depanku. Jangan lupa tambahkan makanan http://penutur.thurana.com/ | 14
restoran mahal ke dalam daftar itu. Sementara itu, entah dimana seseorang sedang memainkan snare drum mengiringi sang pembawa acara yang sedang mengumumkan 'And the winner is...'. "Pak, dia sudah datang." Sari muncul di balik pintu. Dia melirik sekilas ke arahku lalu tersenyum, sinis. Rupanya dia sudah tahu. Sedari tadi dia sudah tahu tetapi masih tetap berpura-pura dan memberikan harapan setinggi langit kepadaku. Pantas saja dia bermanis-manis padaku barusan. Dia sengaja. "Persilakan masuk." Kata Pak Yus. Dan 'The Devil' adalah... Dia masuk, dengan anggunnya. Semua di ruangan itu serentak bergerak dengan tempo slow motion seiring dengan langkahnya kedalam ruangan. Dengan tiba-tiba saja kepalaku memutar lagu Songbird-nya Kenny G sebagai latar belakang adegan tersebut. Theressa Lamusa - Terry. Siapapun yang berkecimpung di dunia fashion pasti kenal dengan nama itu. Dia adalah satu dari beberapa gelintir fotomodel Indonesia yang sudah go international. Meskipun di Indonesia sendiri dia kurang dikenal, di dunia internasional namanya cukup dipertimbangkan. Wajahnya sudah menghias berbagai sampul majalah mode dunia mulai dari Elle sampai dengan Vogue. Dia yang akan menjadi atasanku? Dari apa yang kudengar, dia sedang mengambil gelar Master dan berkarir di London. Kenapa tiba-tiba ada disini? Harapanku makin pupus dan menguap. Kalau Terry yang menjadi sainganku, sampai seratus tahun juga aku berkarir, tidak akan pernah aku bisa melebihinya. Setidaknya tidak bisa dengan cara biasa. Seperti semut melawan gajah, seperti sepatu roda melawan truk gandengan, seperti becak melawan kapal induk, seperti - ah sudahlah, everybody's got the point. Dalam situasi biasa, aku akan sangat senang bekerja sama dengannya. Tetapi ini adalah situasi yang luar biasa. Aku tidak bisa tidak membencinya, setengah mati. http://penutur.thurana.com/ | 15
"Morning, Pakde Yus. Sorry I'm late." Kata Terry sambil memeluk Pak Yus. Pakde? "It's OK dear.You're just on time." Kata Pak Yus setelah melepaskan pelukan dan menatap Terry sambil memegang kedua tangannya. "Kau makin cantik saja." "Thank you." Kata Terry. "Daddy says Hi." "Apa kabar Bapakmu? Masih rutin berenang 1000 meter setiap hari?" "Sekarang dikurangi jadi seminggu tiga kali. Dia kan sudah tidak muda lagi." "Ayahmu itu adalah salah satu orang yang paling sehat yang kukenal." Mereka tertawa kecil, lalu ngobrol ngalor-ngidul tentang remeh-temeh yang lain. Dan aku hanya bisa menjadi kambing congek. "Oh, iya." Kata Pak Yus. "Mari kukenalkan pada beberapa orang yang akan sering kau temui. Dimulai dari yang berdiri di pintu. Itu adalah sekretarisku, Sari. Kalau kau perlu apa-apa sementara aku tidak ada di kantor, kau bisa bilang padanya." Sari tersenyum manis kepadanya. Tahap awal dari proses menjilat atasan. "Dan ini," Pak Yus berpaling kepadaku. Akhirnya keberadaanku diakui lagi. "Adalah asistenmu. Linda. Kau bisa percayakan semua pekerjaan padanya." Percayakan semua pekerjaan? Memangnya aku kuli bangunan? Aku melirik ke arah Sari dan dia sedang menutupi senyum penuh kepuasannya. Kubalas kau nanti... Jabatan tangan Terry terasa mantap dan penuh percaya diri. Berbeda seratus delapanpuluh derajat denganku yang seperti kehilangan semangat hidup. Tetapi aku tetap berusaha memberikan senyum terbaikku.
http://penutur.thurana.com/ | 16
Steve - 10.31 Bunyi kicauan si Mami yang sedang bergosip ria dengan ibu-ibu tetangga membangunkanku. Ritual pagi para ibu-ibu yang nggak ada kerjaan di kompleks perumahan ini. Uuh, jam berapa ini? Kepalaku masih sakit dan mataku masih pedas. Perasaan normal setelah beberapa hari (hampir) tanpa tidur. Penyakit para arsitek ketika dikejarkejar deadline proyek. Baru setengah sebelas. Masih sempat tidur sebentar sebelum makan siang. "Steee.....veee! Bangun! Sudah hampir jam sebelas nih!" Teriak Mami dari pagar depan rumah. Teriakan itu membatalkan semua rencanaku untuk mendapatkan porsi tidur tambahan. Tidak mungkin bisa tidur tenang sementara dia sedang berteriak-teriak. Mungkin seharusnya ibuku itu menjadi penyanyi opera saja, ya? Level suara percakapan normalnya bisa mengalahkan raungan sepeda motor ber-knalpot rusak. Kalau sudah berteriak, mungkin jenazah yang sudah dikuburkan-pun bisa terbangun lagi. "Steevee?!" "Aku sudah bangun, Mam." Kataku sambil menjulurkan kepala dari jendela. Mami dan Tante Tika dari blok C sedang sibuk memilih sayur. Sementara si tukang sayur sedang berdiri menunggu. "Nggak ke kantor Steve?" Kata Tante Tika sambil tersenyum-senyum centil. Janda dengan anak satu itu mengenakan daster yang agak tipis, mengekspos tubuhnya yang - euh, tidak usah dijabarkan disini, bisa menghilangkan nafsu makan. Sepertinya dia sengaja memilih kostum seperti itu sementara menjalankan tugas sehari-harinya; berkelana keliling kompleks mencari teman bergosip. Salah satu pos favoritnya adalah rumahku.
http://penutur.thurana.com/ | 17
"Hari ini masuknya agak siang, Tante." Kataku dengan agak keras. Lalu aku menarik kepalaku cepat-cepat dari jendela. Menghindari keterlibatan yang lebih lanjut. "Iya, dia itu baru menyelesaikan proyek gede-gedean minggu lalu..." Aku masih bisa mendengar Mami sementara berjalan terkantuk-kantuk menuju kamar mandi. Rumah kosong. Ayahku pasti sudah pergi ke tokonya sejak subuh tadi. Adikku juga pasti ada di kampus. Mami bergosip di depan. Satu-satunya yang tidak pada tempatnya adalah aku. Aku menyalakan shower. Dinginnya air tidak bisa mengusir kantukku. "... iya, sudah saatnya dia menikah. Masak seumuran itu masih tinggal sama maminya sih?" Suara Tante Tika terdengar lagi masuk dari jendela begitu aku kembali dari kamar mandi. Susah juga punya kamar yang terletak paling depan. "Kalau nggak ada yang mau, aku mau lho..." Lalu suara cekikikan centilnya terdengar. Untung aku belum makan, jadi tidak bisa muntah. "Dia sudah bertunangan, Mbak." Mami menanggapi Tante Tika. "Jadi kapan hari baiknya? Menurut primbon, ..." Kata salah seorang ibu dengan logat Jawa yang kental. Dan obrolan nggak penting di depan rumah itu terus berlanjut. Aku berusaha tidak memperhatikan percakapan mereka sementara memilih-milih kemeja dan celana panjang yang akan kupakai ke kantor hari ini. Akhirnya kembali lagi ke t-shirt biru muda dan celana jeans. Itulah untungnya kalau kantor punya sendiri. Bo'im, my partner, selalu ribut mengenai pemilihan baju kantorku. Tetapi cengiranku selalu berhasil mendiamkannya. "Kan yang penting hasil kerjanya," Aku selalu berkilah.
http://penutur.thurana.com/ | 18
Aku mengenakan cincin pertunangan di jari manis tangan kiriku. Linda, dia pasti sedang sangat sibuk sekarang, seperti biasa. Aku akan menyuruhnya berhenti bekerja setelah kita menikah nanti. Setelah itu aku memasang jam tangan - Swiss Army hitam yang hampir tidak pernah lepas dari pergelangan tangan kananku. Kenangan dari cinta pertamaku. Echa. Apakah aku akan pernah bertemu dengannya lagi?
http://penutur.thurana.com/ | 19
D UA - S ABTU , 3 F EBRUARI - E MPAT T AHUN S EBELUMNYA
Kencan Buta
Seorang pelayan segera menghampiri meja kami setelah melihat ada tambahan dua orang pelanggan baru. Betul-betul cepat saji.
http://penutur.thurana.com/ | 20
Linda - 15.49 "Orangnya baik koq, Lin." Vita masih berusaha meyakinkanku. Lalu dia membelokkan mobilnya ke basement. "Dia cakep dan sudah punya usaha sendiri. Arsitek, lho." Aku tidak menjawab, masih kesal dengan segala usaha yang dilakukan olehnya hanya supaya aku bisa menemaninya berkencan. Cowok yang sedang didekatinya adalah tipe yang tidak mau dekat dengan cewek, apalagi berkencan. Jadi hari ini ceritanya adalah rencana teman baik cowok itu - katanya sih teman sekantor sekaligus partner usahanya untuk mendekatkan sang cowok dengan Vita. Untuk membuat acara hari ini tidak terlalu mencurigakan dan terkesan seperti kencan buta,Vita harus membawa seorang teman - aku - sebagai kencan untuk teman sekantornya itu dan kami harus 'secara tidak sengaja' bertemu dengan mereka. Karena itulah sepanjang minggu ini Vita berusaha sampai jungkir balik untuk mengajakku ikut hari ini.Yang dimaksud dengan jungkir balik ini termasuk membujuk dan mengancam. "Kenapa sih kau begitu antusiasnya untuk bisa berkencan dengan laki-laki ini?" Tanyaku waktu itu. "Dia adalah extremely high quality jomblo." Jawabnya sambil menghela nafas, tersenyum, dan dengan mata mengawang-awang. "Ganteng, kaya karena usaha sendiri, baik, dan yang paling penting single." "Single-nya itulah yang harus dipertanyakan." Kataku. "Kalau dia memang ganteng, kaya, dan baik, kenapa dia belum punya pacar? Pasti ada yang salah. Mungkin dia homo." "Kata si Bo'im - teman baik dan partnernya itu, yang akan menjadi kencanmu nanti - dia masih belum bisa melupakan cinta pertamanya. Romantis ya?" "Dan yang membuatmu yakin bahwa dia akan melirik kepadamu apa?" "Aku kan cantik, baik, dan sexy. Cowok mana sih yang nggak akan melirik kepadaku." http://penutur.thurana.com/ | 21
Aku mendadak sontak terbatuk-batuk. "Narsis banget sih loe!" "Nah, sekarang tinggal terserah kau. Mau membiarkan sahabat baikmu ini menderita seumur hidup atau membawaku ke jalan kebahagiaan." "Nggak. Aku nggak mau ikut-ikutan perburuanmu." "Ayolah, Lin. Demi aku." "Nggak." "Demi dirimu sendiri." "Ngga - ... apa maksudmu?" "Kau kan juga selalu menjomblo selama ini. Itu 'kan karena nggak pernah ada yang mau denganmu. Mungkin si Bo'im ini adalah belahan jiwamu yang sudah lama hilang." "Sialan. Aku nggak bakalan terpancing dengan provokasi murahan seperti itu." "Nggak bakalan terpancing, ya? Kapan terakhir kali kau kencan? Minggu lalu? Atau tahun lalu?" Dia tersenyum licik. Dan melanjutkan pelan-pelan, "Atau mungkin, lima tahun yang lalu?" Aku mendengus marah. "Itu karena aku ingin memfokuskan seluruh perhatianku pada study." "Dan sekarang setelah setahun bekerja?" Aku terdiam. Kata "mengejar karir" muncul di kepalaku. Tetapi aku malas melanjutkan perdebatan yang tidak berujung ini. Aku memang tidak pernah terlalu memikirkan masalah cowok. Aku belum menemukan orang yang sanggup meyakinkanku untuk meninggalkan dunia perjombloan. "Jadi Sabtu sore aku jemput ya?" Katanya penuh kemenangan. Maka disinilah aku. Terjebak, disebelah Vita, ditempat parkir, Sabtu sore pada awal Februari. Semoga saja yang namanya Bo'im itu tidak hancur-
http://penutur.thurana.com/ | 22
hancur amat. Meskipun kalau dilihat dari namanya, aku tidak begitu yakin juga. Dia memarkir mobilnya, melepas seatbelt, dan tersenyum kepadaku. "Kau pasti akan suka padanya." Aku mengikutinya berjalan masuk ke dalam Mall. Kami berjanji untuk 'tidak sengaja ketemu' dengan para 'kencan buta' di salah satu cafe disini. "Kau pasti suka." Katanya sekali lagi. "Bahkan menurut standardku yang tinggi, si Bo'im itu lumayan ganteng." Yeah.Whatever. Kenapa nggak si Vita aja yang kencan dengan si Bo'im?
http://penutur.thurana.com/ | 23
Steve - 16.10 Sebetulnya aku tidak terlalu suka pergi ke cafe, tapi Bo'im memaksa. Cafe baru, kopinya enak banget. Itu katanya. Aku tidak mau berargumen dengannya, sekedar perwujudan dari rasa setia kawan. Padahal aku tidak suka kopi. "Kau pesan apa?" Tanya Bo'im. Sang pelayan - berkemeja ketat dan rok mini bercelemek, menunggu disebelah meja kami. Lumayan cantik, tapi tidak mungkin bisa menyaingi kecantikan Echa. "Aku tidak begitu mengerti. Kau saja yang pesankan untukku." Jawabku. Bo'im berbicara dengan sang pelayan dengan intonasi yang menurutku agak sedikit menggoda. Betul-betul pria yang selalu haus akan cinta. Sementara aku sendiri melayangkan pandangan ke sekeliling. Cafe yang tidak terlalu besar, tapi comfy.Yang makan disini kelihatan sekali orang-orang berkelas. Pasti semuanya mahal. Duit lagi duit lagi... Aku menyesal juga sudah setuju dengan ajakan Bo'im untuk datang kesini. "Steve," panggil Bo'im. "Bagaimana menurutmu cewek yang tadi?" Aku mengangkat bahu. "Kau itu harus mulai mencari pacar." Katanya lagi. "Jangan menyia-nyiakan hidupmu untuk seseorang yang tidak akan pernah kau temui lagi." "Lebih baik seperti aku daripada kau yang terus mencari tapi tidak pernah menemukan." Bo'im bersungut-sungut. Sindiranku kena. "Bo'im?" Seseorang memanggilnya. Kami menoleh ke arah pintu masuk cafe. Dua cewek sedang melangkah masuk. "Hai! Vita, ya?" Bo'im menjawab. Agak seperti dibuat-buat. Bo'im berdiri dan mereka berkangen-kangenan sedikit. Kaku.
http://penutur.thurana.com/ | 24
"Kenalkan, ini Vita, teman SMA-ku dulu." Kata Bo'im berbasa-basi. Aku menjabat tangan cewek yang pertama. Lumayan cantik, tapi bukan tipeku. Dia tersenyum manis kepadaku. Terlalu manis. Hei-hei-hei! Sebentar. Ada yang salah disini. Jangan-jangan ini salah satu rencana busuk Bo'im untuk sekali lagi memasangkanku dengan seseorang. "Dan ini Linda. Temannya Vita." Sekarang menjabat tangan cewek yang kedua. Wajahnya mungkin sama cantik dengan yang pertama, tapi lebih enak dilihat. Badannya tidak terlalu tinggi, rambut lurus agak panjang, pakaian rapi. Tipe-tipe wanita pekerja biasa yang rajin. Tapi dari yang kulihat sepertinya dia tidak terlalu bersemangat. Sepertinya Linda ini juga korban, seperti aku. Aku harus mencari cara untuk mementahkan rencana busuk Bo'im. Cepat. "Linda?" Kataku. "Linda 'kan? Masak tidak ingat aku? Steve." Aku mengedipkan mata kepadanya. "Steve?" Dia sepertinya bingung sesaat, tetapi dengan cepat bisa menangkap sinyal-sinyal persekongkolan dariku. "Ya ampun, Steve? Apa kabar?" Nada suaranya berubah akrab. Jabatan tangan kulanjutkan dengan pelukan dan sok berkangen-kangenan sedikit. Tidak lupa pakai acara cipika cipiki. Biar rasa si Bo'im. Rencananya sudah berantakan. "Kerja dimana sekarang?" Tanyaku, tersenyum lebar. Pertanyaan yang paling aman. Bo'im dan Vita terbengong-bengong. Kutarik bangku disebelahku dan mempersilakan Linda untuk duduk disitu. Seorang pelayan segera menghampiri meja kami setelah melihat ada tambahan dua orang pelanggan baru. Betul-betul cepat saji.
http://penutur.thurana.com/ | 25
Linda - 16.15 Jadi begitulah, akhirnya kami berempat duduk di cafe itu, kaku, sambil menunggu pesanan kami datang. Beberapa detik pertama - yang terasa seperti berjam-jam - diisi dengan keheningan. Bo’im terlihat agak panik. Sepertinya dia berusaha mencari jalan keluar untuk menyelamatkan rencana busuk yang disusunnya bersama Vita. Sementara itu,Vita sendiri terlihat agak kebingungan. Sebuah lagu yang agak mellow mengalun sayup-sayup dari speaker yang tergantung di pojok-pojok ruangan cafe - diantara dinding dan langit-langit. “Hey, aku tahu lagu ini.” Steve mencoba memecah keheningan. “Aku kenal penyanyinya. Dia teman kuliahku dulu di Bandung.” Dia menjelaskan sambil melihat ke arahku. Aku memasang telinga dan mengerenyitkan dahi, mencoba menangkap musik dan lirik lagu itu.Vita dan Bo’im juga melakukan hal yang sama. “Emangnya siapa yang nyanyi?” Bo’im bertanya sambil melirik Steve dengan tatapan ‘Aku koq nggak tahu, ya? Kan kita satu kampus?’. Dahinya masih mengerenyit. “Si Jaye.Yang suka gonjrang-gonjreng ga jelas di ruang himpunan pake gitar butut yang ada di situ.” “Oh, yang akhirnya dimarahin dosen Perancangan trus disuruh ngamen ke kelas-kelas kalau mau lulus mata kuliahnya?” “Iya. Gosipnya sih Pak Aldi cuma bercanda. Tapi si Jaye beneran ngamen. Ngetok-ngetok pintu kelas satu-satu trus nyanyi. Bikin heboh satu kampus.” “Ya, gue inget. Waktu itu dia masuk ke ruang himpunan sambil nyengir menenteng-nenteng kantong kresek gede yang isinya recehan hasil ngamen.” Steve dan Bo’im tertawa terkekeh-kekeh. Aku dan Vita hanya bisa diam memperhatikan mereka. “Oh, akhirnya dia jadi penyanyi betulan?” Bo’im bertanya lagi. http://penutur.thurana.com/ | 26
“Iya, indie sih.” Jawab Steve. “Aku ketemu dia waktu pesta kawinannya Desi. Dia cerita lagi bikin album solo pakai komputer, dan mau eksperimen distribusi lagu lewat internet pakai nama ‘Jaye Of All Trades’.” “Lagunya enak.” Kataku berusaha masuk dalam pembicaraan. “Iya kan?” Steve menganggapi. “Aku punya copy album-nya. Kalau kau mau, nanti aku email download link-nya. Boleh minta alamat emailnya?” “Itu artinya membajak dong.” Kataku sambil tersenyum. “Bukan,” Steve mengelak. “Itu namanya berbagi. Lagipula penyanyinya sendiri koq yang ngasih link-nya secara sukarela.” Aku tersenyum lagi dan mendiktekan alamat email-ku. Dia juga minta nomer HP-ku, sementara Vita berusaha memberikan alamat email dan nomer HP-nya ke Steve. “Aku mau ke belakang sebentar.” Bo’im tiba-tiba berdiri dan melangkah keluar cafe. Steve melirik Bo’im sekilas sambil masih sibuk meng-input nomer HP-ku ke HPnya. Sementara itu Vita memperhatikan Steve dengan tatapan lapar dan penuh harap. “Sepertinya tadi kita memesan kopi-nya tidak pakai lama ya?” Kataku berusaha mencairkan suasana. Steve menatapku lalu tertawa kecil. Gosh, he’s handsome! Tiba-tiba Vita juga berdiri dan berkata, “Aku mau beli cupcake dulu di toko sebelah.” Lalu melangkah keluar cafe. Sekarang tinggal aku berdua dengan Steve. Meskipun aku tidak keberatan, tetapi kencan buta kali ini sungguh aneh.
http://penutur.thurana.com/ | 27
Bo'im - 16.23 Aku masih belum bisa menghilangkan shock ini. Rencana yang kususun bersama Vita sepertinya akan berantakan. Cewek yang seharusnya menjadi kencanku ternyata sudah kenal dengan Steve dan mereka sekarang duduk bersebelahan sambil ngobrol dengan akrabnya.Vita terpaksa duduk disebelahku dan harus puas sebagai figuran. Padahal dia sudah sebegitu tergila-gilanya pada Steve. Betul-betul tidak terduga. Harus dipikirkan rencana cadangan dan didiskusikan langsung dengan Vita. Aku berdiri. "Aku mau kebelakang sebentar." Lalu berjalan menjauhi meja. Dari jarak yang agak aman aku memanggil Vita. Sepertinya dia mengarangngarang alasan sebentar sebelum akhirnya berdiri dan berjalan menuju kearahku. "Gimana nih?" Tanya Vita. "Rencana kita sedikit meleset, tapi kita teruskan saja." Kataku. "Kau usahakan supaya temanmu nanti jalan bareng aku dan aku akan mengusahakan supaya Steve bisa bersamamu." Vita mengangguk. "Kita kembali?" Tanyanya. "Kita tunggu sebentar. Nanti mereka curiga." Jawabku. Vita menggangguk lagi. "Apa alasanmu?" Tanyaku. "Barusan pesan cupcake dari toko kue sebelah." "Alasan yang bagus. Sebaiknya kau betul-betul beli cupcake. Aku akan memanggil Steve." Setelah menunggu sebentar,Vita berjalan ke toko kue, sementara aku kembali ke meja. Saatnya menjalankan rencana B.
http://penutur.thurana.com/ | 28
Linda - 16.27 "Apakah kita pernah bertemu?” Kata Steve sementara menunggu dua orang itu kembali. “Sepertinya aku ingat wajahmu. Makanya tadi aku jadi sok kenal.” Aku menggeleng. Kalau aku pernah ketemu dengan orang seperti Steve ini, pasti aku ingat. “By the way, sorry ya. Aku jadi memanfaatkanmu barusan." "Nggak apa-apa, kita saling memanfaatkan." Jawabku. Seorang pelayan datang membawa baki yang berisi beberapa cangkir capucinno pesanan kami. "Masalahnya," kata Steve sambil menerima cangkir pertama dari si pelayan. "Aku tidak suka setiap kali Bimo dengan seenaknya selalu memasangmasangkan aku dengan cewek." "Selalu?" "Iya, ini sudah lebih dari tiga kali." "Kenapa dia mau repot-repot begitu?" "Mamiku biang keladinya. Dia selalu mengeluh betapa aku tidak akan pernah mungkin menikah karena tidak pernah punya pacar. Jadi sibuklah dia meminta kepada semua kenalannya untuk mencarikan aku jodoh. Bimo termasuk salah satu anak buah sejati ibuku." Aku mengangguk-angguk penuh perhatian. Sekedar sopan santun. Padahal dalam hati aku terkekeh-kekeh. Susah juga kalau punya orang tua seperti itu. Aku cukup beruntung karena kedua orang tuaku tidak pernah terlalu ikut campur urusan seperti ini. Kalau ada kerabat atau tetangga yang bertanya kenapa anak perawan mereka yang pertama masih membujang meskipun umurnya sudah pertengahan kepala 2, mereka akan bilang bahwa jodoh tidak usah dicari-cari tapi akan datang dengan sendirinya. My parents rock! "Punya alasan khusus kenapa memilih hidup melajang?" Tanyaku. http://penutur.thurana.com/ | 29
"Dibilang 'memilih' melajang sebetulnya kurang tepat." Jawabnya. Dia sedikit melambatkan kalimatnya. Sepertinya masih menimbang-nimbang apakah aku cukup layak untuk mendengarkan ceritanya. "Aku mencari, tetapi yang kucari belum kutemukan lagi." Keputusannya adalah: aku cukup layak. "Lagi?" Tanyaku. "Ya, seseorang dari masa lalu." Lalu dia mengambil gelasnya, menghirup isinya pelan-pelan sambil menatap kosong ke depan. "Cinta pertama?" "Dan yang terakhir." Aku tidak berkomentar. Hidup di masa lalu memang sulit. Cangkirku sekarang mengikuti jejak cangkirnya. Dan bibir dan lidahku seketika tersengat oleh cairan panas gelap yang bernama kopi itu. Aku gelagapan sebentar. Untungnya tidak ada yang melihat. Steve masih sibuk dengan kenangan cinta pertamanya. "Steve." Aku menoleh kebelakang. Bo'im. Dia tersenyum kepadaku sambil menunggu jawaban dari Steve yang sepertinya tidak kunjung datang. Aku membalas tersenyum. Basa-basi. "Steve! Woi!" Bo'im memanggil lagi. "Eh, iya. Kenapa?" Dia sudah kembali ke masa sekarang. "Ikut aku sebentar, ada yang ingin kubicarakan." Steve menatapku dengan pandangan 'sebentar, ya?' lalu berdiri dan mengikuti Bo'im. Aku tersenyum kearahnya dengan tatapan 'silakan...' lalu kembali ke kegiatan meniup panas keluar dari cangkirku.
http://penutur.thurana.com/ | 30
Steve - 16.36 "Kenapa manggil-manggil gue?" Tanyaku. "Kapan loe kenal Linda?" Bo'im balik bertanya. "Udah lama juga. Kenapa?" “Kenal dimana?” Tanyanya penuh selidik. “Kenapa loe pengen tahu?” Aku menghindari pertanyaannya sambil berpikir keras mencari alibi yang masuk akal. Tetapi sepertinya Bo’im tidak melanjutkan pekerjaan detektifnya. Dia mencuri-curi pandang ke Linda. "Gue suka dia. Gue duduk di sebelahnya ya?" "Nggak," Jawabku. "Ini pasti salah satu rencana loe buat ngejodohin gue." "Iya, gue ngaku. Awalnya memang begitu. Loe mau gue ketemuin ama si Vita itu. Dia pengen banget nge-date ama loe." "Oke, gue pulang aja." Jawabku sambil siap-siap berdiri. "Please, jangan dong. Gue bener-bener suka ama Linda. Loe temenin gue, ya?" "Kalo gitu sih hasilnya sama aja ama rencana pertama loe." "Nggak, ntar gue bilangin deh ama si Vita. Sekarang loe temenin gue, ntar dari sini gue mo ngajak Linda nonton. Loe terserah, mo balik juga nggak apa-apa. Tapi tolong ajak Vita balik supaya nggak ganggu gue." Aku berpikir sebentar. "OK deh. Gue temenin, tapi loe yang beresin gambar rumahnya Pak Dodi." "Itu kan kerjaan loe..." "OK, gue pulang sekarang." "OK, OK, gue yang beresin."
http://penutur.thurana.com/ | 31
Aku tersenyum penuh kemenangan. Jadi orang memang harus bisa memanfaatkan situasi. Bo'im berjalan kembali ke meja, aku mengikutinya. Dia mengambil tempat duduk di sebelah Linda, aku didepannya, disebelah Vita yang juga sudah kembali. "Silakan dimakan kuenya." Kataku sambil menunjuk pastries yang sudah tersedia. "Bimo yang bayar." Bo'im yang sedang menghirup kopinya terbatuk-batuk sambil melotot kepadaku. Aku tersenyum sambil menggigit croissant manis.
http://penutur.thurana.com/ | 32
Bo'im - 16.52 Gile, banyak banget pengorbananku hanya sekedar supaya Vita bisa ngedate sama si Steve. Mulai dari berpura-pura suka pada Linda sampai harus membayari semua makanan disini. Nanti aku minta Vita untuk membayar setengah dari bon hari ini. Setengahnya lagi aku minta ke maminya Steve. Tapi tetap saja tersisa kerjaan yang lumayan berat. Apa lagi kalau bukan gambar rumah Pak Dodi. Perspektif, denah, tampak, potongan, rencana instalasi listrik, air bersih-air kotor, utilitas... Nasib. Yah, yang penting rencanaku hari ini bisa berjalan lancar. Steve sama sekali tidak curiga bahwa sebetulnya memang dia yang sedang dipasangkan dengan Vita. Bukan aku dengan Linda.
http://penutur.thurana.com/ | 33
Linda - 21.39 Hari yang melelahkan. Tapi lumayan menyenangkan. Kami berempat akhirnya menonton bersama, dan aku sudah bisa merasa tidak sebal dengan segala masalah kencan buta ini. Bo'im ternyata lumayan menyenangkan. Dia menarik, banyak bercanda, dan bisa selalu muncul dengan topik-topik pembicaraan yang menarik. Tetapi dia jelas-jelas bukan tipeku. Dia tidak akan bisa meyakinkanku untuk melepaskan masa per-jomblo-an-ku. Sebaliknya, ternyata Steve memang sesuai dengan yang dipromosikan oleh Vita. Kalau aku jadi Vita, pasti aku juga akan tergila-gila kepadanya. Selain ganteng, ehm - koreksi, amat ganteng, tinggi dan tegap, terlihat sekali bahwa dia memang intelligent. Tingkat ke-humoran-nya tidak setinggi Bo'im, tapi lumayanlah untuk sekedar membuat tersenyum atau tertawa cekikikan. Tapi aku bukan Vita. Aku masih percaya bahwa untuk mencapai jenjang karir yang bagus, aku harus terlebih dahulu melupakan masalah dunia percintaan. Lupakan Steve dan wajah gantengnya. Biarkan Vita yang berusaha untuk membuatnya lupa akan cinta pertamanya. Kalau aku jadi Vita, aku akan mencari tahu apa yang menjadi kesukaan sang cinta pertama Steve, dan tidak akan pernah melakukannya. Hal yang terakhir yang harus kuperbuat adalah membuatnya teringat kepada cinta pertamanya. Sebaliknya aku harus menampilkan diriku sendiri dan membuatnya menyukaiku. Tapi aku bukan Vita. Itu adalah masalah yang tidak seharusnya menggangguku di malam yang indah seperti ini. Tidak seharusnya mengganggu jam tidurku. Kalau aku jadi Vita, pasti sekarang aku sedang memikirkan dan mengingatingat semua detail dari apa yang terjadi hari ini. Semua gerak-gerik dan senyum Steve. Semuanya. Lalu menyimpannya di folder 'kenangan manis' yang ada di otakku. Tidak lupa dibuat beberapa backup di partisi lain, sekedar menjaga-jaga jangan sampai kenangan yang begitu berharga hilang hanya karena hard-disk error. http://penutur.thurana.com/ | 34
Aku tersenyum sendiri. Tapi aku bukan Vita. Sebentar, kenapa juga aku jadi terus-menerus membayangkan diriku sebagai Vita? Dan kenapa aku tidak bisa menggantikan tempat Vita? Tetapi aku tidak sempat memformulasikan jawabannya karena rasa kantukku mengalahkan narasi tidak penting di kepalaku.
http://penutur.thurana.com/ | 35
Vita - 21.34 Steve, dia adalah orang yang memenuhi semua kriteria yang ada di buku panduan mengenai 'cowok sempurna'. Well, Kecuali mungkin masalah dia dan cinta pertamanya itu. Aku harus berterima kasih kepada Bo'im yang sudah dengan susah payah mengatur dan menjalankan event hari ini dengan baik. Termasuk juga rencana cadangannya. Kalau kau tidak kebetulan ketemu dengannya di reuni kecil-kecilan kelas IPA 3 kami bulan lalu, dalam mimpipun aku tidak akan pernah bisa berkencan dengan cowok seperti Steve. Catatan kepada diri sendiri: besok pagi-pagi sekali telepon Bo'im untuk berterima kasih. Jangan lupa juga berterima kasih untuk semua joke segarnya malam ini. Sudah lama sekali aku tidak pernah tertawa seperti tadi. Mengingatkanku pada masa SMA dulu, ketika aku masih satu geng dengan Bimo. Setiap hari tidak pernah lewat tanpa tertawa terbahak-bahak seperti tadi. Betapa aku merindukan masa-masa itu. Masa-masa bersama Bimo.
http://penutur.thurana.com/ | 36
T IGA - S ENIN , 21 M ARET
Halaman Pertama
Koq bisa-bisanya ada manusia hidup semenyebalkan itu? Pasti ada kesalahan di salah satu bagian sistem seleksi alam.
http://penutur.thurana.com/ | 37
Linda - 12.01 Ini adalah salah satu moment dimana aku sangat membenci pekerjaanku. Dimana aku merasa bahwa semua yang sudah kukerjakan selama ini tidak ada artinya sama sekali. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada pemikiran mengenai weekend dimana aku bisa ketemu dan berduaan dengan Steve. Akhir-akhir ini aku semakin sering memikirkannya. Setelah berpacaran beberapa tahun dan sudah bertunangan, mungkin sudah saatnya aku menikah? Tinggal menunggu lamaran datang. Satu-satunya yang aku tidak suka dari hubungan kami adalah kenyataan bahwa Steve bekerja di Bandung dan aku di Jakarta. Biro konsultan Arsiteknya tidak bisa ditinggalkannya, seperti aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku untukku disini. Jadi kesempatan bertemu memang hanya Sabtu-Minggu. Aku yang pulang ke Bandung, atau dia yang datang ke Jakarta. Bukan masalah besar, karena perjalanan ke Bandung kadang-kadang malah lebih cepat daripada perjalanan dalam kota Jakarta. Mengingat bahwa hari ini baru Senin dan bahwa dua weekend kemarin aku tidak bisa bertemu dengannya - deadline, katanya; membuatku semakin membenci pekerjaan ini. Aku melangkah dengan sedikit lunglai keluar dari kantor. Sendirian. Hatiku sedang tidak mood untuk makan bersama dengan siapa-siapa. Makan dimana hari ini? Fast food lagi? Perutku sudah hampir tidak tahan dengan satu porsi tambahan paket combo hemat A atau B, atau Z. Hampir mati bosan aku menyantap mereka. Tetapi di gedung tempatku bekerja pilihannya hanya itu. Kecuali kalau aku rela berpanas-panas untuk sekedar bisa makan makanan terkontaminasi debu dan asap kendaraan di salah satu warteg di perkampungan belakang. Biarlah, makanan apapun akan terasa enak dikala perut lapar. Lagipula ada banyak pilihan fast food di lantai satu. Bersabarlah sedikit, perutku. Nanti aku akan belajar memasak dan mengisimu dengan makanan yang sebenarnya.
http://penutur.thurana.com/ | 38
Nanti, dua-tiga... puluh tahun lagi. Aku? Belajar memasak? Bisa hujan badai dan angin ribut kalau itu memang benar-benar terjadi. "Hi! Linda, right?" Aku menoleh. Terry. Orang paling terakhir kedua yang ingin kutemui hari ini. Sari yang pertama. "Kita makan siang bareng? Aku yang traktir." Katanya dengan ceria. Betul-betul akan lengkap penderitaanku hari ini. Cepat pikirkan alasan! "Umm, aku..." Ayo berpikir lebih keras! Dia menunggu. "Aku ... tidak bisa. Mmm, ada janji." Terima kasih otak cemerlangku! "Oh, OK! Maybe tomorrow?" Dia melambaikan tangan kepadaku sambil tersenyum. Kepalaku langsung menggambarkan suasana di tepi telaga dengan butiran-butiran air yang berkilauan ditimpa cahaya matahari senja. Dan di tengah semua itu ada Terry. Kilauan senyumnya mengalahkan semuanya. Uuh! Senyum sempurna yang menyebalkan! "Maybe." Aku juga melambaikan tangan dan membalas senyumnya, semanis mungkin. Setelah itu cepat-cepat berlalu dan dengan sedikit berlari masuk ke pintu lift yang masih terbuka. Shi- ehm, sensor- ! Sari. Dia berdiri dihadapanku, tersenyum-senyum, disebelah Pak Yus. Sudah terlambat untuk kembali lagi. Pintu lift tertutup. Hanya ada empat orang disitu. Aku, Sari, Pak Yus, dan seorang lagi yang aku tidak tahu siapa. Sepertinya kurir. "Hai, Lin." Katanya. Sambil masih tersenyum. Dia sedikit merapatkan dirinya ke arah Pak Yus. Kecentilan banget sih. "Apa kabar nih Assistant to Senior Editor kita yang baru?" Aku terpaksa menjawab, seperlunya, dengan sedikit kaku, "Lumayan." "Jabatan baru, pasti tanggung jawabnya lebih besar, ya?" http://penutur.thurana.com/ | 39
Aku tidak menjawab. Rese abis. "Tapi kalau kamu sih pasti bisa menyelesaikan semua tugas dengan baik." Orang ini sepertinya tidak tahu kapan harus berhenti. Ding! Pintu lift membuka. Thank God! "Saya duluan, Pak." Kataku kepada Pak Yus. Sementara kepada Sari aku hanya memberikan cengiran yang kira-kira bunyinya; 'heh mahluk rese, gue duluan ya?' Aku cepat-cepat berjalan keluar bersama si kurir meninggalkan lift dan pintunya yang sedang menutup. Berjalan kemana saja, secepatnya, yang penting menjauhi mereka berdua. Kenapa mereka tidak keluar? Ini kan sudah lantai yang paling bawah. Apakah mau naik lagi ke lantai atas? Biarlah, itu urusan mereka. Aku berbelok dengan sukses di ujung gang. Lalu bengong. Nah, sekarang aku mau makan kemana? Dihadapanku adalah pintu masuk Biro Perjalan Angkasa. Lantai 5. Mereka yang menyewa seluruh ruangan di lantai ini.
http://penutur.thurana.com/ | 40
Terry - 12.14 Hari pertama bekerja sebagai Editor. Sangat berbeda dengan dunia modeling yang hingar bingar dan riuh. Dunia ini terasa hening, para penghuninya lebih banyak menghabiskan waktu mereka dengan duduk diam dibalik meja. Aku merasa terasing, sendirian. Sepertinya akan perlu waktu lama sebelum aku bisa beradaptasi. Duduk diam seperti ini terasa seperti jetlag yang berkepanjangan. Belum ada yang bisa dikerjakan. Belum ada yang bisa diajak berteman. Pakde Yus sepertinya punya acara sendiri dengan sekretarisnya. Sementara ajakan yang kuajukan kepada Linda, orang yang kupikir bisa menjadi teman terbaikku di dunia asing ini, ternyata belum diterima. Jadi disinilah aku, hanya ditemani sepiring teriyaki. Tiga suapan, itu adalah waktu yang dibutuhkan sebelum akhirnya ada salah seorang dari para pria berdasi yang sedari tadi menatapku memberanikan diri untuk menghampiri. Nice looking, tapi... Tipe orang cakep yang tahu bahwa dia cakep dan diperhatikan lalu menjadi terlalu percaya diri. "Selamat siang," Katanya sopan. "Maaf mengganggu makan siangnya. Tapi anda mirip sekali dengan salah seorang fotomodel yang terkenal." "Oh, ya? Siapa?" Tanyaku. "Uhm, aku tidak tahu namanya. Girl stuff. Tapi aku sering melihat wajahnya di sampul-sampul majalah dan iklan." "Terima kasih pujiannya." Jawabku. Suapan keempat. "Boleh aku duduk disini?" Lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan, sambil menarik kursi kosong dihadapanku. Aku tersenyum. "Tidak." Dia tercengang, aku melanjutkan. "Aku lebih suka sendiri." Senyum percaya diri yang sedari tadi menghias wajahnya langsung menghilang. Sepertinya dia begitu yakin akan mendapatkan 'kencan kecil' denganku. Kau pikir aku semudah itu? http://penutur.thurana.com/ | 41
"Eh, kalau begitu, ...uh... aku kembali dulu ke meja teman-temanku di sebelah sana." Katanya. Dia memasukkan kembali kursi lalu dia berjalan menjauhiku sambil masih membawa piring berisi sushi dan gelas soft drinknya. Sekilas aku melihat teman-temannya sedang mencemoohnya. Men, they are all alike. Suapan ke-enam, dan aku makin merasa sendiri diantara keramaian Japanese fast food restaurant ini. Aku salah. Ternyata ini adalah dunia yang sama. Hanya kemasannya yang berbeda. Aku selalu sendiri.
http://penutur.thurana.com/ | 42
Sari - 13.05 Behind every great man, there's a greater woman. Ungkapan diatas digunakan untuk menggambarkan betapa dukungan seorang wanita sangat penting dalam pencapaian sukses seorang pria. Tetapi bisa juga dilihat dari sudut pandang lain; bahwa setiap pria tidak lebih daripada 'boneka' yang dikendalikan oleh wanita untuk mencapai keinginannya. Sama seperti Pak Yus yang semakin hari semakin mudah saja untuk kukendalikan. Sepotong kalimat 'Katanya rumah makan X yang dijalan Kemang itu enak lho, Pak' sebelum makan siang cukup untuk membuatnya mengajakku makan disana. Tempat yang tidak akan pernah kudatangi jika aku harus membayar harga makanannya dengan uang dari dalam dompetku sendiri. Atau kalimat 'udara di rumahku terasa semakin panas saja' cukup untuk mendatangkan beberapa unit AC termasuk pemasangannya. Kuncinya mudah saja. Hanya perlu tahu beberapa 'informasi tertentu' yang tidak boleh sampai ke tangan 'orang tertentu' juga. Sebagai sekretaris pribadi, itu adalah hal yang tidak terlalu sulit didapatkan. Semua berawal ketika 'secara tidak sengaja', aku yang waktu itu masih sekretarisnya Ibu Mala memergoki mereka berdua sedang 'rapat penting' di ruangan Pak Yus. Beberapa kali makan siang mewah dan sebuah mobil baru kemudian, posisiku naik menjadi sekretaris Pak Yus. Sementara Ibu Mala (plus sekretaris Pak Yus yang lama) pensiun. Hidupku yang tadinya membosankan sekarang berubah total. Aku sudah menemukan cara untuk menghukum sebagian dari orang-orang yang mengotori dunia ini. Laki-laki yang tidak bisa setia pada keluarganya. Seperti Pak Yus, yang meskipun sudah memiliki seorang istri yang cantik dan anak yang lucu, masih saja sempat meluangkan waktu untuk berbagai kegiatan ekstrakurikuler diluar jam kantor. Seperti ayahku, yang meninggalkan aku dan ibuku untuk seorang gadis cantik dari keluarga kaya.
http://penutur.thurana.com/ | 43
Bisa dibilang bahwa arah perusahaan ini sekarang bisa kugerakkan sesuai dengan kepentinganku. Karena kalau tidak, istri Pak Yus beserta beberapa kolega dan keluarganya akan menerima 'dokumen-dokumen penting' mengenai acara tambahan sang Boss Besar diluar jam kerja yang ditemani oleh: Ibu Mala, seorang fotomodel cantik yang baru memulai karirnya, mahasiswi jurusan akhir jurnalisme yang sedang magang, pelayan restoran cepat saji, aku sendiri, dan beberapa tokoh lainnya yang harus kulihat dulu didalam catatanku. Pemerasan? Aku lebih suka kata 'pemanfaatan situasi'. Kata kedua itu lebih bisa menjelaskan tindakanku selanjutnya. Menyingkirkan mereka-mereka yang sok baik dan sok suci. Para wanita penggoda yang merasa bahwa hidup mereka jauh lebih baik dariku.Yang selalu melihat kepadaku dengan sebelah mata. Aku berjalan menghampiri Linda.
http://penutur.thurana.com/ | 44
Linda - 13.08 Aku sedang membereskan berkas-berkas yang akan kubawa ke ruang Terry. Belum sepuluh detik aku duduk setelah kembali dari makan siang dan telepon di mejaku sudah berdering. Dia minta di-briefing mengenai segala hal yang kulakukan di majalah ini. Cepat sekali dia beradaptasi di posisinya sebagai boss. "Ada rapat nih?" Oh, God. Sari lagi, Sari lagi. "Boss baru bergerak dengan sangat cepat rupanya." "Ada yang bisa kubantu, Sar?" Dia duduk di sudut mejaku. "Ah, tidak. Hanya kepingin ngobrol saja dengan rekan kerja." Lalu dia mulai memain-mainkan kepala Snoopy - tutup ballpoint-ku. "Wah, aku sedang tidak ada waktu nih untuk bergosip ria." Jawabku sambil mengambil Snoopy dari tangannya dan meletakkan kembali di tempat yang seharusnya. Di ujung ballpoint-ku. Aku langsung membayangkan betapa menyenangkannya kalau bisa menancapkan ballpoint ini di punggung telapak tangan Sari yang sedang berada di atas meja menopang tubuhnya. "Bukan gosip, sayang." Katanya dengan intonasi yang menyebalkan. Khas Sari. "Aku hanya mau menyatakan dukunganku kepadamu." Dia berdehem sebentar lalu melanjutkan. "Aku pikir, seharusnya memang kau yang seharusnya duduk di ruangan itu. Bukan orang baru yang tidak berpengalaman yang kebetulan ayahnya adalah teman dekat boss. Setelah semua kerja kerasmu selama ini, kau layak mendapatkannya." Aku menunggu. Kemana kira-kira arah pembicaraan ini? "Kalau aku di posisimu, aku pasti akan berusaha merebut jabatan yang seharusnya milikku itu. Entahlah kalau orang lemah sepertimu, mungkin kau akan duduk diam seperti anak baik dan menerima semuanya." http://penutur.thurana.com/ | 45
Sepuluh kali sudah kutancapkan ujung ballpoint itu ke tangannya. Sayangnya hanya dalam imajinasiku. Kapan aku punya cukup keberanian untuk melakukan itu? "Maaf, aku sudah ditunggu." Kataku sambil meninggalkan Sari. Lebih lama sedikit lagi dan mungkin aku akan betul-betul mewujudkan angan-anganku yang melibatkan tubuh Snoopy tadi. Plus melemparkan setumpukkan binder tebal yang ada ditanganku ini kekepalanya. Koq bisa-bisanya ada manusia hidup semenyebalkan itu? Pasti ada kesalahan di salah satu bagian sistem seleksi alam. Seharusnya orang-orang seperti Sari ikut punah bersama para Dinosaurus.
http://penutur.thurana.com/ | 46
Sari - 13.12 Linda berjalan meninggalkanku. Wajahnya terlihat kesal. Aku tersenyum penuh kemenangan. Babak pertama cerita sudah dimulai.
http://penutur.thurana.com/ | 47
Terry - 13.35 Linda duduk dihadapanku, sibuk membolak-balik berbagai dokumen yang dibawanya sambil menjelaskan segala sesuatunya mengenai apa yang selama ini dilakukannya dalam mengisi rubrik fashion. Kata-kata yang keluar dari mulutnya mengalir dengan lancar. Terlihat sekali bahwa dia memang tahu apa yang dibicarakannya. Kesan pertamaku tidak salah, bahwa Linda adalah memang orang yang cerdas. Kenapa aku yang menjadi Senior Editor? Nanti aku akan bertanya kepada Pakde - uh, Pak Yus mengenai hal tersebut. Apakah karena dia adalah kenalan Papa? Kalau itu alasannya, aku tidak akan berpikir panjang untuk mengundurkan diri. Nama Papa cukup dibawa-bawa sebatas mendapatkan pekerjaan disini. Itupun setelah melalui protes keras dariku. Kalau lebih jauh lagi, akan menjadi sangat tidak adil untuk Linda. Aku paling benci yang namanya mendompleng diatas kesuksesan orang lain. Meskipun itu adalah ayahku sendiri. Semua hasil yang kudapat harus menjadi buah dari usahaku sendiri. Sekilas aku sempat mendengar bisik-bisik cewek-cewek di meja reception bahwa seharusnya posisiku ini adalah milik Linda. Tidak heran bahwa Linda terlihat tidak suka dengan keberadaanku disini. Reaksi yang normal. Dengan situasi yang seperti itu, aku juga tidak suka dengan keberadaanku disini. "Bu? Ibu Terry?" Linda memanggilku. Menyadarkanku dari lamunan. "Yes?" "Apakah ada pertanyaan?" "Oh, ya. Sorry. Aku sedang memikirkan sesuatu mengenai konsep bagian kita." Kataku sambil meluruskan dudukku. Berbohong sedikit. "Kalau boleh tahu, apakah kau punya target yang belum sempat diwujudkan?" "Ada, Bu." Jawabnya. http://penutur.thurana.com/ | 48
"Please, cukup Terry saja." "Terry," Dia terlihat sedikit kikuk setelah mengatakannya. "Aku sedang berusaha mewawancarai Dina Santoso. Kalau berhasil, nama majalah kita pasti akan lebih terangkat. Dia adalah salah seorang selebritis yang paling sulit diwawancarai." "Dina? Aku kenal dia." Kataku. "Boleh aku bantu?" Mungkin jalan ini akan lebih mudah dilalui untuk mendapatkan kepercayaannya. "Tentu saja. Terima kasih banyak sebelumnya, Bu." "Terry." Kataku menegaskan. "Terry." Koreksinya. Aku tersenyum. Sepertinya memang dia akan bisa menjadi sahabat baikku disini. Hanya perlu usaha sedikit lebih keras.
http://penutur.thurana.com/ | 49
Linda - 13.45 Aku sibuk menjelaskan dan dia sibuk melamun? 'Sopan' betul, ya? Lalu sok membantu dalam urusan Dina. Siapa yang butuh? Aku menghempaskan diri ke kursi, menghela nafas. Satu lagi tambahan orang yang menyebalkan. Sari sekarang mendapat saingan yang cukup berat. Tetapi apa yang dikatakan Sari ada betulnya juga. Seharusnya aku yang duduk di ruangan itu. ... Orang yang lemah! Aku layak mendapatkan jabatan itu. ... Duduk diam seperti anak baik. Aku harus melakukan sesuatu. ... Hanya menerima nasib. Aku harus rebut jabatan itu darinya! Aku bukan orang lemah.
http://penutur.thurana.com/ | 50
Sari - 17.35 Lihatlah dia. Tuan Putri. Dijemput oleh mobil dan sopir pribadinya. Uang saku yang didapat dari ayahnya mungkin dua-tiga kali lipat dari gaji yang didapatnya disini. Atau mungkin lebih. Dia tidak perlu bekerja untuk uang. Dia ada disini hanya karena dia perlu menunjukkan dirinya. Berkoar-koar kepada dunia untuk mendapatkan perhatian semua orang. Dan dalam satu hari dia sudah mendapatkannya. Dari para pegawai laki-laki, dari para pegawai perempuan, dari semua orang. Bertingkah seolah-olah dunia berputar mengelilinginya. Bahkan Pak Yus yang biasanya hampir tidak pernah kelihatan di kantor, menghabiskan hampir sepanjang hari bolak balik di depan ruangan sang putri. Tetapi tidak akan kubiarkan kau merebut Yus dari pelukanku. Dia mangsaku.
http://penutur.thurana.com/ | 51
Steve - 18.09 "Im, gue balik dulu." Kataku kepada Bo'im. "Mewah amat loe! Dateng paling siang pulang paling pagi." Bo'im menanggapi dari balik layar komputernya. rekanku yang satu itu memang paling betah berlama-lama di kantor. Meskipun sepertinya dia lebih sering main game daripada bekerja. Aku tertawa sambil memakai jaketku. Sore-sore naik motor tanpa jaket setara dengan kerokan satu punggung. "Eh, Steve." Kata Bo'im tiba-tiba. "Gue lupa cerita kalo tadi pagi Deni telepon. Dia ada proyek di Jakarta dan minta bantuan kita untuk desainnya." "Kapan mulainya?" "Hari ini. Dan gue udah bilang besok loe mau datang ke sono ketemu dia." "Gila loe. Gue pengen istirahat. Proyek yang kemaren capeknya belon abis sekarang gue udah disuruh melanglang buana ke Jakarta? Kenapa nggak loe aja yang pergi?" "Gue jaga gawang aja. Kalo loe kan bisa sekalian ketemu sama bakal bini. Asyik kan?" Aku berpikir sebentar. Membayangkan perjalanan ke Jakarta-nya - apalagi harus menyetir mobil sendiri, sudah cukup untuk membuat semua tulang dan otot di tubuhku menjerit-jerit minta ampun. Tetapi membayangkan bisa ketemu Linda disana juga cukup untuk membungkam mereka semua. "Baiklah," kataku kemudian. "Besok gue pergi." Bo'im tertawa-tawa penuh kemenangan. "Asal semua pengeluaran termasuk bensin dan penginapan ditanggung kantor." Dia langsung terdiam. "Gue mau nginep di Hilton." Kataku sambil keluar ruangan. http://penutur.thurana.com/ | 52
E MPAT - S ENIN , 14 F EBRUARI - L IMA T AHUN S EBELUMNYA
Menuju Bandara Sydney
Dan untuk sesaat tadi, kalau aku betul menafsirkannya, sepertinya aku merasa syaraf di tubuhku bergetar sedikit. http://penutur.thurana.com/ | 53
Steve - 10.15 Aku berdiri dengan semua barangku di dalam ransel yang kuletakkan di sebelah kiriku. Sementara itu sang penjaga pintu melambaikan tangan ke arah Taxi yang ada di seberang jalan. Masih cukup banyak waktu sebelum keberangkatan pesawatku. Tetapi sesuai saran orang-orang yang sudah sering bepergian, lebih baik menunggu dengan aman di bandara daripada bersantai-santai di hotel lalu terpontang-panting di jalan dan ketinggalan pesawat. Persis seperti itulah yang kukatakan kepada Bo'im tadi pagi. Tapi yang namanya playboy kelas teri yang sudah melihat cewek cantik, mana bisa dibelokkan dari 'misi suci'-nya.Yang diincarnya adalah salah satu anggota panitia penerimaan tamu asing - mahasiswi asal Canada. Taxi itu berhenti di depanku. Penjaga pintu membukakan pintunya lalu memasukkan backpack-ku ke bagasi. Bagian dari culture orang kalangan atas yang sampai sekarang masih terasa asing. Meskipun demikian, cukup menyenangkan. Dan aku tidak akan keberatan hal yang seperti ini menjadi kebiasaan. "Thank you." Kataku kepadanya. Dia menunggu di sebelah pintu sambil berdehem. Aku bengong sebentar sebelum akhirnya mengerti. Kuselipkan beberapa lembar recehan Australia yang ada di kantongku ke tangannya. Ini juga adalah bagian dari culture orang kalangan atas. Tapi bagian yang tidak akan pernah menjadi kebiasaanku, atau juga orang Indonesia kebanyakan. "Airport please." Kataku kepada sopir taxi. Dan kami pun meluncur. Aku berada selama tiga hari disini dalam rangka menghadiri seminar mengenai tata kota dan juga sekalian pengumuman lomba desain landscape kampus University of Sydney. Desain dari biro milikku dan Bo'im adalah salah satu finalisnya. Meskipun pada akhirnya kami tidak menang, tetapi yang namanya jalan-jalan selalu menyenangkan. Apalagi karena semuanya dibiayai oleh uang yang tidak keluar dari kantongku sendiri - sponsor dari penyelenggara lomba. Yang paling bersemangat untuk pergi tentu saja Bo'im. Bukan karena lomba ataupun seminarnya, tapi karena adanya kemungkinan untuk bisa ketemu http://penutur.thurana.com/ | 54
dengan bule-bule cantik. Dia memang tipe orang yang seperti itu. Dan dia tidak pernah bisa mengerti kenapa aku tidak pernah sedikitpun menaruh minat menggaet cewek. Bukannya aku tidak mau punya pacar sih; tetapi sejauh ini, dari sebegitu banyaknya wanita yang mendekatiku, belum ada yang bisa membuat seluruh syaraf ditubuhku bergetar. Seingatku, syarafku pernah bergetar sekali ketika masih SMA. Sayangnya aku tidak ingat dengan siapa. Lagipula semua pacar yang dicarikan oleh Bo'im (atas permintaan mamiku tentu saja) biasanya selalu berakhir menjadi (mantan) pacarnya. Aku membuka buku panduan mengenai Sydney sambil tersenyum. Masih banyak tempat yang belum sempat kukunjungi. Kalau tidak memikirkan banyaknya pekerjaan yang menunggu, aku akan memperpanjang kunjunganku disini, dan pasti mampir ke Opera House. Taxi-ku melewati daerah apartment yang banyak disewa oleh para mahasiwa University of Sydney dari golongan berduit. Hotelku memang terletak tidak jauh dari kampus. Aku menatap bangunan-bangunan yang cukup tinggi itu. Biaya sewa per bulannya mungkin lebih besar daripada gajiku. Aku kembali ke buku panduan. Taxi berhenti di lampu merah di perempatan jalan. Pintu sebelah kanan terbuka dan seorang gadis cantik berambut hitam agak pirang masuk. "Go, anywhere but here. And hurry!" Aku terbengong-bengong. "Um, this is my cab." Kataku padanya. Dia tidak menanggapiku tetapi malahan menepuk-nepuk punggung sopir taxi. "Hurry, please!" Ekspresi wajahnya sepertinya menggambarkan gabungan dari rasa sedih dan marah. Sang sopir melirik kearahku. Aku melambaikan tangan menyuruhnya jalan.
http://penutur.thurana.com/ | 55
Beberapa detik kemudian, ketika lampu sudah berganti hijau, Taxi-ku melaju. Sang gadis melihat keluar lewat jendela belakang, dan aku secara otomatis ikut-ikutan melihat kebelakang. Seorang laki-laki muda berlari berusaha mengejar. Dia mengenakan t-shirt putih dengan celana pendek biru tua. Sepertinya keluar dari salah satu bangunan yang ada disitu. "Miss?" Kataku setelah kami semakin menjauhi laki-laki muda itu. "Sorry but you have to find another cab.This one is mine." Dia melihat kearahku dengan mata yang berkaca-kaca. Gosh, itu adalah wajah yang paling cantik yang pernah kulihat seumur hidupku. Lalu dia menutupi wajahnya dan menangis tersedu-sedu. Semakin lama semakin keras. Aku bingung harus berbuat apa. Kalau kuturunkan disini, itu kejam namanya. Kalau kulanjutkan perjalanan ke bandara, lalu bagaimana dengan dia? Biarkan saja menangis di taxi, limpahkan masalah pada sang sopir? Jangan-jangan nanti terjadi sesuatu. "Look," Kataku akhirnya. "Where do you want to go? I'll take you there, OK?" Tangisnya mulai mereda dan dia menyeka air matanya menggunakan lengan bajunya. Aku baru memperhatikan bahwa dia membawa sebuah kotak kecil yang dibungkus kertas kado. "Sorry. Just drop me anywhere." Dia menatapku, matanya masih merah setelah menangis. "Sorry for troubling you." Aku memberi isyarat pada sang sopir. Taxi menepi dan si pemilik wajah cantik membuka pintu lalu keluar. "Are you sure you're OK?" Tanyaku. "No." Jawabnya. "But I'll live." Aku menutup pintu dan taxi kembali berjalan. Kulirik jam tanganku. 10.26. Masih cukup banyak waktu sampai keberangkatan pesawatku tengah hari nanti. Aku menengok keluar lewat jendela belakang. Sosok gadis cantik yang beberapa menit lalu masih duduk disebelahku semakin menjauh.
http://penutur.thurana.com/ | 56
Sebuah kotak kecil berbungkus kado tergeletak disampingku. Jangan ikut campur urusan orang! Lihat jam tangan. Masih cukup waktu. Lihat jendela belakang. Well...? Jam tangan. Jendela belakang. Jam tangan. Jendela belakang. Jarum detiknya terus bergerak; dari angka 5 - detik demi detik - 6 - detik demi detik - 7 detik demi detik ... Ah, what the h"Stop the car, please." Kataku pada si sopir. Aku membayar lalu turun dari taxi. Aku mengambil backpack di bagasi dan berlari mengejar si gadis. Impulsive. Really not me. Tapi tidak setiap hari ada gadis secantik itu yang secara tiba-tiba muncul dihadapanmu. Dan untuk sesaat tadi, kalau aku betul menafsirkannya, sepertinya aku merasa syaraf di tubuhku bergetar sedikit.
http://penutur.thurana.com/ | 57
Echa - 10.31 "Miss... Miss..." Seseorang memanggilku. Aku menoleh. The taxi guy. Cowok yang lumayan tinggi, berkemeja biru muda, celana jeans, sepatu kets, dan ransel hitam tergantung di bahu kiri. Dia berjalan agak cepat menuju ke arahku. "You forget something." Tangan kanannya mengacung-acungkan kotak kecil yang tadi kubawa. Yang sengaja kutinggalkan di taxi. Sepertinya aku memang tidak bisa melarikan diri dari Alex. "Miss?" Dia masih harus memanggilku sekali lagi sebelum aku dengan malasnya berbalik. "You forgot this." Katanya sekali lagi sambil terengahengah dan menyodorkan kotak kecil itu. "You can have it." Kataku sambil melanjutkan langkahku menjauhi dia. Lakilaki itu tertegun sebentar. "Hey, what do you mean?" Kembali dia mengejarku. "That is the part of the past that I want to forget." "What? I don't understand..." "You don't have to understand. Just take it and leave O.K?" Aku menjawabnya dengan sedikit kesal. Dia terdiam, berhenti mengikutiku. Dan tiba-tiba aku merasa menyesal. Laki-laki ini hanya mencoba berbuat baik. Dia tidak tahu apa-apa. Dia bahkan sudah membantuku pergi menjauhi Alex - the pig, dan membayar biaya taxi. Dan sekarang aku membentaknya. Minta maaf, Cha! Aku berbalik dan melihat dia sudah berjalan ke arah yang berlawanan. "Excuse me, um, Sir? Look, I'm sorry." Aku berlari kecil mengejarnya.
http://penutur.thurana.com/ | 58
Steve - 10.47 It's a small world. Disinilah aku duduk di salah satu cafe kecil di tepi jalan di Sydney, satu seperempat jam sebelum keberangkatan pesawatku kembali ke Indonesia. Hanya ada lima meja kecil bulat yang bertudungkan payung besar berwarna-warni. Masing-masing meja memiliki empat bangku, dan hanya dua meja yang terisi. Dihadapanku duduk seorang cewek yang walaupun berambut agak pirang dan berbicara amat fasih dalam bahasa Inggris, ternyata adalah setengah orang Indonesia juga. Ayahnya orang Indonesia, ibunya orang Australia sudah meninggal tujuh tahun yang lalu. Jauh-jauh aku ke sini, ketemu-ketemunya dengan orang Indonesia lagi. Berawal dari permintaan maaf karena sudah memperlakukanku dengan kurang sopan, begitu katanya, pembicaraan berpindah dari sidewalk ke cafe dan berlanjut dengan saling memperkenalkan diri lalu small talk. Yang sudah kuketahui sejauh ini adalah namanya Echa - setidaknya begitulah dia ingin dipanggil, dia adalah seorang mahasiswi tingkat akhir University of Sydney jurusan seni, dan dia baru saja meninggalkan pacarnya yang tertangkap basah sedang making love dengan teman sekamarnya, di apartemen miliknya. "Aku bolos kuliah hari ini, supaya bisa membelikan hadiah untuknya. You know, for the Valentine's dinner tonight. Dan ketika pulang ke apartemenku, pemandangan pertama ketika membuka pintu kamarku adalah my boyfriend's humping my roomate." Aku tidak berkomentar. Lagipula, apa yang bisa dikomentari untuk cerita seperti itu? 'Wah, selamat ya?' Atau 'Cari saja teman sekamar baru'? Untuk situasi seperti ini, diam adalah memang betul emas. Lagipula aku tidak punya terlalu banyak kesempatan untuk berkomentar. Seluruh waktu yang kupunya tersedot untuk memperhatikan segala sesuatu tentang dirinya. Makin lama diperhatikan dia semakin cantik saja. Caranya berbicara, caranya duduk, gerak geriknya, bagaimana dia http://penutur.thurana.com/ | 59
merapikan beberapa helai rambutnya yang jatuh menutupi wajahnya, semua terlihat begitu indah. Sudah dikonfirmasi. Memang betul, seluruh syarafku terasa bergetar dengan hebat. "Sorry," Katanya. "Aku membuatmu duduk mendengarkan ocehanku sepanjang hari." "It's OK." Jawabku. "Aku senang mendengarkan ocehanmu." "Thank you, for being a good listener." Dia tersenyum. Such a beautiful smile. "Hatiku terasa lebih lega dan tenang setelah bercerita kepadamu." Aku masih tidak bisa melepaskan pandanganku dari dia. Pasti cowok yang baru ditinggalkannya adalah tipe laki-laki yang mentalnya terbelakang, extremely stupid dan bahkan mungkin imbisil karena mengkhianati cewek sesempurna ini. "Funny isn't it?" Katanya kemudian. "Kita baru bertemu tidak lebih dari, what? Two hours? Dan sekarang aku disini menceritakan segala macam hal kepadamu. Sama sekali tidak seperti diriku. Padahal aku baru saja kehilangan - koreksi - meninggalkan kekasihku. Tetapi sepertinya semua kesedihan dan kemarahanku menguap dihadapanmu. Kau seperti sahabat yang sudah kukenal bertahun-tahun." Aku tersenyum. "Padahal aku bertemu denganmu out of the blue. Aku bisa saja naik taksi kosong atau bus atau bersembunyi di restoran atau ketemu dengan orang lain. Ada berapa banyak orang di depan apartemenku tadi. Tapi dari semua kemungkinan yang mungkin terjadi, aku bertemu denganmu. Mungkin ini yang namanya, um, fate?" Dia menyerocos tanpa henti. "Sepertinya begitu. It's our destiny to meet. Aku bisa saja berangkat sedikit lebih siang atau lebih pagi, tetapi tidak. Aku memilih waktu yang paling tepat supaya kau bisa 'membajak' taxi-ku." Kami tertawa.
http://penutur.thurana.com/ | 60
"And from all of the beautiful Australian girl, yang kutemui adalah Indonesian." Tertawa lagi. "By the way, kau tadi dalam perjalanan ke mana?" Tanyanya. "Airport. Aku mau kembali ke Indonesia." Meskipun sekarang niat itu semakin menipis. Aku ingin lebih lama lagi bersama dengan gadis yang baru kukenal kurang dari dua jam ini. "Penerbangan jam berapa?" "11.50" Dia melihat jam tangannya lalu berkata, "Berarti kau punya waktu kurang dari duapuluh menit untuk sampai disitu." "Jam berapa sekarang?" Tanyaku sedikit panik sambil melirik juga ke jam tanganku. Dia tidak menjawab karena aku sudah mendapatkan jawabanku. Setengah duabelas siang lewat sedikit. Menakjubkan sekali bagaimana waktu bisa terbang lebih cepat dari pesawat jet ketika kita sedang menikmatinya. "God, I have to go!" Aku menghabiskan isi gelasku dengan tergesa-gesa lalu berdiri dan mengambil ransel yang tergeletak di bangku sebelahku. "It's nice to meet you." "Me too." Katanya. Tiga langkah berikutnya dia memanggil. "Steve!" Aku menoleh. "Ini untukmu," katanya sambil melemparkan bungkusan kecil yang seharusnya adalah kado makan malam Valentine untuk mantan cowoknya. "Consider it as my saying sorry." "Thanks." Kataku sambil menangkap kotak itu. Lalu menyetop taxi. "Airport, and A.S.A.P." Aku menepuk pundak sang sopir. Taxi pun melaju meninggalkan cinta pertamaku disitu. Cinta pertama? Sok romantis banget sih. Aku terkekeh-kekeh didalam hati. http://penutur.thurana.com/ | 61
Tetapi aku memang langsung suka kepadanya. Mungkin nanti seiring dengan lebih seringnya kami bertemu, rasa cinta itu akan muncul dan berkembang. Aku membuka bungkusan yang kuterima darinya. Jam tangan. Dari bentuknya sepertinya bukan jam tangan murah. Nanti, kali berikutnya bertemu, aku harus berterima kasih kepadanya. Sebentar... Nanti? ... Bertemu? Bagaimana cara aku bisa bertemu lagi dengannya? Aku tidak tahu apapun mengenai dia selain nama panggilannya. Jendela belakang. Jam tangan. Jendela belakang. Jam tangan. Aku tidak akan bisa mencapai bandara tepat waktu jika kembali kepadanya. Bo'im sudah pasti akan membunuhku jika aku terlambat. Aku harus pulang hari ini. Pesawatku berangkat sekitar sepuluh menit lagi. Sepersekian detik kemudian, setelah berpikir ekstra keras, aku berkata pada sopir itu. "Turn the car, please."
http://penutur.thurana.com/ | 62
Echa - 11.37 Sekarang kemana? Pulang ke apartment? Dan ketemu dua manusia busuk itu? No thank you. Aku melihat ke gedung tinggi dibelakangku dan mengambil keputusan. Akan kulakukan yang paling menyenangkan untuk menghilangkan kesedihan. Shopping! Jika saja Steve masih disini. Mungkin lebih menyenangkan lagi jika kami berjalan-jalan berdua. Entah kenapa pertemuan singkat tadi cukup untuk membuatku suka padanya. Ada rasa gelitik kecil di seluruh tubuhku sepanjang pembicaraanku dengannya. Is it love? Tetapi tadi adalah kejadian yang hanya akan terjadi sekali seumur hidup. Aku mungkin tidak akan pernah bertemu dengannya lagi. Pemikiran tadi mendadak menimbulkan sakit yang menekan dadaku. Rasa sakit yang juga menguasai seluruh tubuhku. Hampir seperti perasaan ketika kita akan selamanya kehilangan seseorang yang begitu berarti. Kenapa ini? Aku merasa seperti ini untuk orang yang hampir tidak kukenal? Aku mencoba menenangkan hati lalu melangkahkan kaki masuk ke gedung pertokoan itu. Aku menghibur diri dengan berpikir bahwa jika memang sudah ditakdirkan untuk bersama, suatu hari nanti kami akan ketemu lagi. Apa ya nama yang diberikan oleh orang-orang kepada hal-hal yang beginian? Fate? Destiny? Aku tersenyum sendiri. Terlalu melankolis. Sekarang shopping!
http://penutur.thurana.com/ | 63
Steve - 11.39 Kosong. Waiter yang kutanya hanya menjawab bahwa gadis yang tadi kuajak berbicara baru saja pergi, tetapi tidak tahu kemana. Aku meninggalkan cafe itu, masuk kembali ke taxi lalu kembali menuju bandara. Sudahlah, Steve. Bukan jodohmu. Aku memang paling pandai dalam urusan menghibur diri. Tetapi semakin kupikirkan, dadaku semakin terasa sakit menghadapi kemungkinan bahwa aku tidak akan pernah lagi bertemu dengan Echa. Aku mengawang-awang cukup lama sebelum kembali ke dunia. Sementara Taxi ku melaju cepat di jalan bebas hambatan. Sekarang tinggal memikirkan bagaimana cara menghadapi Bo'im. Karena sudah bisa dipastikan bahwa aku akan terlambat sampai di bandara.
http://penutur.thurana.com/ | 64
Steve - 11.57 Aku berlari terengah-engah. Kenapa sepertinya seluruh dunia bersekongkol untuk memperlambat kita justru pada saat kita terburuburu? Mulai dari traffic light yang sepertinya selalu menyala merah, pengalihan arus karena perbaikan jalan, rombongan panjang anak-anak TK yang menyeberang jalan, sampai tasku yang sempat-sempatnya tersangkut di bagasi taksi. Vonis sudah dijatuhkan. Bo'im akan membunuhku. Setidaknya setelah kami ketemu di Indonesia nanti. Soalnya aku sudah pasti ketinggalan pesawat. Mataku melihat Bo'im berdiri di dekat pintu keberangkatan. Dia belum berangkat? Apakah dia membatalkan keberangakatannya karena menungguku? Perasaanku semakin tidak enak. Sepertinya jadwal eksekusi kematianku baru saja dimajukan ke saat ini. Bo'im tersenyum sinis. Dan ketika aku berhenti berlari dihadapannya, dia berkata, "Dari mana loe? Marah-marah dan maksa-maksa gue pergi pagipagi, loe sendiri melanglang buana entah kemana. Gue harus meninggalkan Canadian cutie itu di lobby hanya supaya bisa sampai lebih cepat di sini. Ternyata loe sendiri yang telat." "Pesawatnya?" Tanyaku cepat-cepat sambil berusaha memasukkan sebanyak mungkin oksigen ke paru-paruku. "Keberangkatan ditunda satu jam." Katanya. “…maskapai Indonesia…” Gumamnya, lebih untuk dirinya sendiri. Aku menghela nafas. Sebagian karena lega, sebagian karena menyesal. Jika tahu aku masih punya satu jam, pasti aku masih akan duduk bersama Echa. Saat itu aku membulatkan hatiku untuk kembali lagi kesini. Sesering yang diperlukan. Aku akan mencari dan menemukan Echa kembali. Aku menghempaskan tubuhku di kursi tunggu, mata mengawang. Otak memainkan kembali semua kejadian tadi, in slow motion. Tidak ingin kehilangan sedetikpun. Ingin menikmati setiap moment-nya. "Kenapa, loe? Kayak orang yang lagi dalam pengaruh obat penenang aja." http://penutur.thurana.com/ | 65
Bo'im menatapku, aku balik menatapnya sambil terseyum kecil. "Loe nggak bakalan percaya apa yang barusan terjadi di jalan." Dia duduk disebelahku, mengambil posisi yang nyaman, lalu berkata, "OK, silakan cerita. Gue punya waktu lowong sekitar satu jam-an"
http://penutur.thurana.com/ | 66
L IMA - S ELASA , 22 M ARET
Jakarta Blues
Dia adalah bagian dari masa lalu yang memang sudah seharusnya dibiarkan di masa lalu.
http://penutur.thurana.com/ | 67
Linda - 10.07 Aku mempersiapkan tas ku. Memasukkan buku catatan, ballpoint Snoopy, mini tape recorder, kamera digital, make up, ... Apa lagi ya? "Pagi-pagi mau kemana nih, Assistant Editor kita?" Sari. Aku selalu heran bagaimana dia bisa selalu begitu segar setiap pagi. Padahal sebelumnya selalu bergentayangan di jembatan Ancol sepanjang malam. "Biasa, liputan." Tidak usah berpanjang-panjang kalau urusannya dengan Sari. "Senang, ya. Jabatan naik, pekerjaan berkurang, atasan rajin..." Menusuk, dalam, langsung ke jantung. Aku meninggalkan Sari tanpa berkata apa-apa. Sedikit lirikan kearahnya membuatku melihat senyumnya. Darn, I hate her. Tetapi sekali lagi aku harus mengakui bahwa apa yang disindirkannya memang benar. Bisa dibilang jabatanku turun karena semua inisiatif untuk pekerjaan yang biasanya kukerjakan sendiri sekarang diambil alih. Tanpa adanya tambahan staff sementara bagian fashion sekarang berdiri sendiri, otomatis juga pekerjaanku akan berlipat kali. Apalagi dengan adanya sang boss yang hobinya hanya menyuruh. Seperti tadi pagi. Belum sepuluh menit aku sampai di kantor, Ibu Terry yang terhormat sudah memanggil ke ruangannya. Padahal aku datang kepagian. Jadi jam berapa dia datang? Mungkin memang seperti itulah tipe orang yang tidak punya kehidupan. Anyway, dia langsung menodongku dengan sebuah liputan luar; pembukaan butik baru milik Lula Darmanto - salah seorang perancang busana tradisional dan kebaya yang baru naik daun. Dia diramalkan akan menjadi salah satu nama penting di dunia fashion Indonesia.
http://penutur.thurana.com/ | 68
Acara ini memang sudah menjadi salah satu agendaku sih, dan disuruh ataupun tidak aku memang sudah berencana pergi ke sana hari ini. Tetapi adanya orang yang menyuruhku malahan membuat semuanya jadi menyebalkan. Aku berjalan melewati meja-meja para editor lain, mereka juga sudah sibuk dengan tugas masing-masing Beberapa juga sudah mulai meluncur ke tempat-tempat sumber berita lainnya. Keluar dari ruangan para editor, sebelum sampai di lorong lift, aku melewati ruang tunggu sekaligus tempat mangkal para receptionist. Mereka itu adalah sekumpulan cewek anggota geng baweler bin rumpier. Selalu ada dua orang yang standby disitu. Dan seperti dugaanku, Endah - salah satu dari mereka, dengan serta merta memanggil. Tentu saja dengan logat centil khas geng-nya. "Mbak Li-in, Pagipagi udah mau jalan? Rajin amat. Ngobrol dulu dong sebentar." Mereka sebetulnya menyenangkan, kalau sedang tidak banyak kerjaan. Ada saja 'hot topik' minggu ini yang bisa membuat dua-tiga jam ngobrol melintas bagai shinkansen. Tapi kalau sedang dikejar-kejar deadline, keberadaan mereka amat mengganggu. Terutama karena mereka kurang kenal dengan konsep yang bernama waktu, dan tidak mengerti sindiran halus pengusiran. "Wah, aku harus buru-buru nih." Jawabku. "Acaranya mulai jam 11." "Santai, Mbak. Sekarang baru jam sepuluh lewat seperempat." "Aku takut macet nih. Daripada telat nggak dapet berita, lebih baik berangkat agak pagi." Kataku sambil melambaikan tangan kearah mereka dan melangkah keluar ruangan. "Sebentar, Mbak Lin." Endah mengejarku. Tapi aku tidak berhenti, hanya memperlambat sedikit langkahku. "Kenapa, Ndah?" Aku berhenti di depan lift, menekan tombol 'bawah'. Endah dengan cepat sudah berdiri dihadapanku. "Um, kalau bisa," Endah berhenti sebentar. "Kalau bisa, lho." Dia berhenti lagi. "Aku dan Nunuk dan beberapa teman-teman lain kepingin ketemu dengan boss Mbak yang baru." http://penutur.thurana.com/ | 69
Ternyata urusan dengan orang menyebalkan itu. "Kami kepingin minta tanda tangan dan foto bareng." Endah melanjutkan tanpa menunggu jawabanku. "Kalau mau ketemu sih langsung aja. Kenapa harus minta ijin aku dulu?" "Mbak Sari bilang, kalau mau ketemu boss harus lewat pesuruhnya dulu..." Katanya dengan mimik polos tanpa rasa bersalah. Pesuruh?! Sekarang aku jadi pesuruhnya? Dan sementara darahku sudah mulai menggelegak di kepala, Endah dengan segala keterbatasan kemampuannya untuk membaca situasi, melanjutkan, "Jadi tolong bikinkan kami janji ya, Mbak? Meskipun nggak banyak orang Indonesia yang tahu betapa terkenalnya boss Mbak, tapi kami-kami ini cukup gaul, lho. Kami juga mengikuti perkembangan mode dunia." Tubuhku sudah memasuki ambang batas dehidrasi karena hampir semua cairan tubuh sudah menguap lewat kepala. Sementara itu otakku sedang sibuk mematangkan rencana pembunuhan Sari. "Makasih ya, Mbak? Tolong kabari kita-kita kalau boss-nya Mbak sudah ada waktu." Dan Endah pun berlari-lari kecil dengan ceria a'la anak TK kembali ke balik mejanya.Yang kurang hanya taman bunga dan seikat balon ditangannya. Ding! Pintu lift terbuka.
http://penutur.thurana.com/ | 70
Terry - 10.19 Aku melirik sebentar keluar jendela ke arah ruangan para editor, meja Linda sudah kosong. Aku lupa memberitahukannya sesuatu. Kasihan dia kalau sampai tidak tahu. Aku cepat-cepat mengeluarkan handphone dari dalam tas dan ber-jempol-ria selama beberapa detik. Lalu send. Sekarang apa lagi yang belum, ya? Berpikir sebentar. Tentu saja, kenapa aku bisa lupa? Hal yang ini juga jangan sampai terlewatkan. Maka aku mengambil gagang telepon dan menekan beberapa nomer lalu berbicara dengan orang yang di ujung sana. Nah, satu lagi urusan selesai. Apa lagi? Sepertinya hari ini penuh sekali. Aku sedang membereskan susunan materi rapat diatas meja ketika telepon berbunyi. Internal phone. "Bu, sudah ditunggu di ruang rapat." Kata suara wanita yang ujung sana. Sepertinya Sari. "Aku akan kesitu sebentar lagi." Jawabku dengan sedikit bingung. Bukankah jadwalnya jam 10.30? Tapi tidak ada waktu untuk memikirkan itu. Dengan cepat aku menutup MacBook Air-ku, dan memasukkannya ke tas jinjing. Semua materi presentasiku ada disitu. Lalu aku mengumpulkan dan memasukkan semua kertas-kertas dan bahan lainnya kedalam map plastik berwarna biru muda - my favorite color. Aku berdiri dengan cepat dan berjalan keluar dari ruanganku menuju ke ruang rapat. Sebentar, ruang rapatnya dimana? Aku bertanya pada salah satu editor yang ada diruangan itu. Aku belum tahu namanya. "Maaf, kalau ruang rapat ada dimana, ya?" Laki-laki itu memalingkan wajahnya dari depan komputer, lalu menatapku tanpa berkedip dengan mulut yang setengah menganga. Tangannya perlahan-lahan menunjuk ke arah lorong keluar.
http://penutur.thurana.com/ | 71
Men. I really hate it when they look at me like that. Aku berjalan ke arah yang ditunjukkan laki-laki tadi. Tidak bisa tidak aku melihat bahwa sepanjang jalan semua mata yang ada di ruangan mengikuti aku. Hari kedua dan aku sudah merasa kurang nyaman. Mungkin bukan ide yang buruk untuk minta pindah ruangan. Tapi kemana? Aku menyesal kenapa tidak memutuskan untuk ikut saja dengan Linda keluar. Setidaknya bersama dia aku bisa lebih nyaman. I can be myself. Nama ruangan itu terulis jelas di papan kecil yang menempel di pintu. Meeting Room 3. Semuanya ada empat. Meskipun aku sudah beberapa kali bolak-balik di lorong ini sejak kemarin, aku tidak pernah tahu bahwa ini adalah ruang rapat. Aku mengetuk pintunya, membukanya, lalu masuk.
http://penutur.thurana.com/ | 72
Linda - 10.25 Aku sedang menunggu taksi di Lobby ketika tas kerjaku yang kukempit diantara tangan kiri dan tulang rusuk terasa bergetar beberapa kali. Pendek. SMS dari siapa, ya? Aku meneluarkan handphone dari dalam tas, menekan tombol di sisi kiri engsel untuk membuka flip-nya, dan membaca nama yang tertulis disitu; Terry. Now what? "Tidak usah naik taksi, pakai saja mobilku. Sopirku menunggu di lobby, namanya Pak Rahman." Begitu bunyi pesan singkatnya. Siapa yang mau naik mobilmu? Siapa yang mau pakai sopirmu? Aku menutup handphone dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Mana taksi-nya? "Ibu Linda?" Seorang bapak-bapak yang sudah agak tua menghampiriku. "Saya Rahman, sopirnya Ibu Theressa." Tatapan kebingungan dariku dijawabnya dengan penjelasan singkat. "Ibu Theressa sudah menjelaskan ciri-ciri ibu: muda, berambut lurus panjang, memakai blazer coklat tua, cantik. Tidak mungkin salah, pasti ibu." "Oh," jawabku. Sedikit salah tingkah setelah dibilang cantik. "Maaf, pak. Sepertinya saya tidak perlu naik mobilnya Ibu Theressa, saya sudah memesan taksi." Dia tersenyum. "Baiklah kalau begitu." Dan bapak yang agak tua itu berjalan ke luar gedung dan masuk ke mobil mewah yang diparkir tidak jauh dari pintu masuk. Jaguar hitam. Dia dan mobilnya menghilang tidak lama kemudian. Sepertinya kembali ke tempat parkir. Ada sedikit rasa menyesal kenapa tidak kuterima saja tawarannya. Kondisi yang jauh lebih baik dan menyenangkan daripada taksi murah tanpa AC ditengah kemacetan jalan.
http://penutur.thurana.com/ | 73
Tetapi kalau begitu, mau ditaruh dimana harga diriku. Pantang hukumnya menerima bantuan dari musuh. Aku melihat keluar. Sepertinya cuaca sedang mulai panas-panasnya. Makan tuh harga diri!
http://penutur.thurana.com/ | 74
Terry - 10.31 Aku duduk diantara para Senior Editor dan petinggi lainnya. Ada kira-kira beberapa belas orang disitu. Dengan stereotype orang Indonesia yang hobi banget terlambat, mereka ini bisa digolongkan kelompok orang yang kelewat rajin. Jadwal meeting jam 10.30 tetapi mereka sudah mulai ketika aku masuk sepuluh menit yang lalu. Dan setelah Pak Wayan dari divisi Art and Design selesai menjelaskan mengenai beberapa ide untuk lay-out baru majalah edisi pasca ulang tahun nanti, Pak Yus memanggilku, "Ibu Theresa, sekarang giliranmu untuk menjelaskan mengenai rencana isi fashion section. Bagian khusus yang baru dari majalah kita." Aku berdiri dan mengucapkan selamat pagi. Mata para lelaki itu... "Seharusnya kau giliran pertama, Ibu Terry." Kata Pak Yus. "Tetapi mungkin kau mencoba terlalu keras untuk jadi orang Indonesia sejati sampai datang paling terlambat." Semua tertawa. Aku ikut tersenyum meskipun agak sedikit tidak mengerti. "Maaf, saya tidak tahu bahwa disini ada kebiasaan untuk memulai rapat lebih cepat." Aku menjawab. "Menurut jadwal, saya kira malahan saya datang sepuluh menit lebih awal." Semuanya saling berpandangan. Ibu Melia - kalau tidak salah itulah namanya, Senior Editor untuk bagian human interest - berkata, "Apa maksudnya? Kita selalu mulai rapat jam 10 tepat. Kau datang hampir setengah jam terlambat." Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Kubuka agendaku, disitu tertulis 10.30 dengan jelas. Sari yang memberitahukanku kemarin. Sari. Aku meliriknya. Dia duduk disebelah Pak Yus, sibuk membuat catatan. Dia juga melirik sekilas kearahku sambil tersenyum. http://penutur.thurana.com/ | 75
"Wah, maaf kalau begitu." Aku berkata kepada semua orang disitu. "Pasti ada kesalahan pada jadwal saya. Disini tertulis setengah sebelas. Saya akan langsung meng-update-nya dan memastikan bahwa hal seperti ini tidak akan terjadi lagi." Mulai sekarang aku harus lebih berhati-hati. Lautan ini tidak setenang yang terlihat di permukaannya. "Baiklah, cukup dengan penundaannya. Mari kita mulai saja." Kataku sambil membuka MacBook Air-ku dan menghubungkankannya ke proyektor.
http://penutur.thurana.com/ | 76
Linda - 13.54 Hal yang aneh terjadi hari ini. Setelah segala penderitaanku tadi pagi, mulai dari berangkat dari kantor, berpanas-panas di jalan, kemacetan yang sepertinya tidak akan pernah berakhir, nyaris ditodong di lampu merah, tiba di tempat dengan keterlambatan yang hampir setengah jam; semuanya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Acara tertunda sekitar setengah jam, seolah-olah menungguku tiba. Penyambutan kedatanganku oleh panitia secara khusus. Pemberian tempat duduk istimewa diantara para undangan. Dan, ini yang paling aneh, pemberian kesempatan pertama untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Bertanya langsung pada Lula-nya sendiri! Plus makan siang semeja dengan Lula dan orang-orang penting lainnya. "So, bagaimana kabar Vanity sekarang?" Lula bertanya. Kepadaku pastinya. Soalnya setelah menengok kiri kanan sedikit, tidak ada tanda-tanda orang lain yang berasal dari kantorku. Selain itu, semua sedang memperhatikanku diantara suapan-suapan menu makanan tradisional Indonesia yang tersaji di meja. "Well," jawabku. "Yang pasti sekarang kami punya bagian khusus yang menangani Fashion." "Ya, aku sudah dengar itu." Jawab Lula. Bagaimana mungkin sudah dengar? Itu kan keputusan yang baru dibuat kemarin. "Terry meneleponku tadi pagi." Lanjut Lula seolah-olah bisa membaca jalan pikiranku. "Ternyata dia sekarang jadi senior editor disana, ya? Aku harus memintanya menjadi modelku kapan-kapan." Ternyata ulah Terry. Jangan-jangan semua fasillitas yang kuterima saat ini juga karena dia? Kenapa mendadak semua makanan ini jadi terasa tidak enak? "Maksudmu Terry yang itu?" Seseorang di meja menanggapi. "Terry yang Lamusa?" Orang lain menanggapi. http://penutur.thurana.com/ | 77
"Bukannya dia ada di London?" Yang lain lagi bertanya. Maka sibuklah satu meja berdiskusi mengenai 'bossku'. Mengenai betapa baik hatinya dia, mengenai betapa pandainya dia, mengenai betapa jarangnya ada orang yang bisa cantik sekaligus pintar, mengenai kenapa dia masih sendiri sampai sekarang... "Kudengar dia memang tidak mau menikah." Komentar yang satu. "Bukannya tidak mau, setahuku dia masih mencari cinta sejatinya." Komentar yang lain. "Apa maksudnya dengan cinta sejatinya?" Ada yang bertanya. "Entahlah, aku juga tidak terlalu tahu ceritanya." Jawab yang lain. "Tetapi ada yang bilang bahwa dia hanya pernah betul-betul jatuh cinta pada seorang cowok yang hanya pernah ketemu dengannya satu kali. Terry sendiri juga hanya tahu namanya." "Kata gosip, mereka ketemunya pas Valentine, lho!" "Wah, romantis sekali. Seperti di film-film..." Dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya... Jika saja aku tahu betapa pentingnya pembicaraan itu untuk hidupku, mungkin aku akan lebih memilih mendengarkan daripada sibuk dengan potongan rendang yang ada di piring dihadapanku.
http://penutur.thurana.com/ | 78
Terry - 14.09 Rapat yang melelahkan. Mempersiapkan edisi ulang tahun dan perencanaan edisi pasca ulang tahun memang menguras tenaga. Begitu banyak pendapat, begitu banyak pertentangan. Semua ingin ide mereka yang diperhatikan. Ada dua orang diruangan itu yang kuperhatikan bekerja dengan sangat baik dan tidak ikut-ikutan berargumen.Yang pertama adalah aku, tentu saja. Mana pantas orang yang baru masuk satu hari sudah ikut-ikutan ribut. Lagipula tidak banyak yang mempermasalahkan ide dan rencanaku.Yang kedua, dan ini yang aneh, adalah Sari. Sari; yang oleh anak kemarin sore-pun bisa langsung kelihatan bahwa dia bukanlah sahabat baik semua orang, tipe orang yang dengan segala keyakinan dan kepastian akan menghancurkan siapapun yang ada dihadapannya; sungguh suatu pemandangan yang aneh menyaksikan orang seperti itu sedang bekerja dengan baik. Atau mungkin semua itu hanyalah prasangkaku saja? Mungkin Sari sebetulnya adalah orang yang baik, hanya aku saja yang kebetulan bertemu dengannya pada saat-saat yang kurang tepat? Kemungkinan tersebut memang ada, tetapi sejauh ini kemampuanku untuk menilai karakter orang-orang yang kutemui hampir selalu tepat. Kuharap kali ini aku salah. Aku akan mencari tahu lebih banyak mengenai Sari nanti. Mungkin bertanya-tanya sedikit kepada Pakde. Tetapi itu urusan nanti. Sekarang urusannya adalah mencari makan siang. I'm so hungry that I can eat a horse. Or an elephant, ... if I don't have to think about my appearance. Tapi satu hal yang pasti adalah bahwa aku akan makan sendiri dan tidak bergabung dengan para senior editor. Apalagi yang laki-laki. They are so hungry that they can eat me!
http://penutur.thurana.com/ | 79
Steve - 17.15 Bayangkan betapa terkejutnya Linda jika dia melihatku berada di ruang tunggu nanti, menunggunya, menjemputnya. Apalagi setelah 'berpuasa' selama dua weekend, bisa habis aku dilahapnya. Hehehe. Aku juga akan melahapnya habis. Seharusnya aku sudah bisa datang kesini ketika makan siang, tetapi pertemuan pagi yang direncanakan akan singkat dengan Deni dan klien-nya ternyata memanjang menjadi berkali-kali lipat singkat dan baru berakhir jam empat. Tanpa makan siang pula. Betul-betul klien yang pelit. Kalau tidak memikirkan nilai proyek yang lumayan, aku sudah akan melarikan diri dari pagi. Kasihan sekali lambungku yang tidak kunjung diisi. Jadi aku memutuskan untuk sekalian saja makan siang yang agak sore di gedung Linda. Burger, fries, coke. Tidak sehat, tetapi tidak ada yang lebih praktis daripada itu. Dan setelah selesai langsung melesat menuju lantai sebelas. Tidak sabar untuk memberi kejutan. Sengaja tidak kuberitahukan kedatanganku ke Jakarta ini. Namanya juga kejutan. Aku juga menyimpan potongan rencana besar terakhir untuk nanti. Setelah makan malam - romantis tentu saja, aku akan membuka kotak kecil yang sudah seharian menghuni kantong jaketku ini lalu memintanya untuk menjadi orang yang akan mendampingiku seumur hidup. Aku akan melamarnya! Keputusan ini kubuat setelah melihat kenyataan bahwa tidak ada lagi hal yang mengganjal. Kami berdua sudah sama-sama mapan, sudah bertunangan terlalu lama, usia juga sudah sama-sama - ehm - tua, keluarga dari kedua pihak sudah sama-sama ribut. 'Apa lagi yang ditunggu?' kata mereka setiap kali bertemu salah satu dari kami. Ya, apa lagi yang ditunggu? Pencarian yang tidak pernah membawa hasil yang kulakukan selama ini menyadarkanku bahwa aku sudah terlalu lama membiarkan Linda menunggu.
http://penutur.thurana.com/ | 80
Pertemuan dengan Echa tidak pernah terjadi. Tidak akan pernah terjadi. Dia adalah bagian dari masa lalu yang memang sudah seharusnya dibiarkan di masa lalu. Linda adalah masa kini dan masa depanku. Tanganku menggenggam kotak cincin yang didalam kantong jaket sementara lift bergerak naik menuju lantai sebelas. Hatiku berdebar-debar, tidak sabar untuk bisa bertemu Linda. Mataku tidak bisa berhenti bolak balik melihat ke layar LCD diatas pintu lift. Lantai sembilan ... sepuluh ... dan ... sebelas! Pintu lift terbuka dengan didahului oleh bunyi mendenting. Dan bagaikan mimpi, dia ada disitu, berdiri dengan cantiknya di depan lift. Aku sampai harus berkali-kali mengucek mataku, tidak percaya. Orang yang selama ini kucari dan kurindukan. Echa.
http://penutur.thurana.com/ | 81
Buku Dua: Kebimbangan Steve akhirnya menemukan Echa, cinta pertama yang selama ini dicari dan dirindukannya, justru pada saat dia akan melamar Linda. Apa yang akan dilakukan Steve? Bagaimana dengan Linda? Setelah kehilangan pekerjaan yang diidamidamkan selama ini, akankah dia juga kehilangan Steve? Dan apa peran Terry di dalam cerita cinta Steve dan Linda? Semuanya akan terjawab di “Cinta Segitiga Tidak Sama Sisi Buku Dua: Kebimbangan”. Tidak lupa cerita tentang bagaimana Linda akhirnya bertunangan dengan Steve meskipun harus menyakiti hati Vita, tentang Bo’im yang mempertanyakan hati sahabat baikknya, dan juga tentang Sari yang sepertinya tidak mengenal kata “baik hati”.
Klik link berikut ini untuk mendapatkan “Cinta Segitiga Tidak Sama Sisi - Buku Dua: Kebimbangan” (http:// penutur.thurana.com/bukukedua/) Plus: Original Soundtrack novel ini: “Luluh” dari “Jaye Of All Trades” dan kesempatan untuk mendapatkan uang tunai, iPod Touch, dan iPad.
http://penutur.thurana.com/ | 82