Author :
Christopher A.P, S. Ked
Editor :
Yayan Akhyar Israr, S.Ked
Faculty of Medicine – University of Riau Pekanbaru, Riau 2009
0 © Files of DrsMed – FK UNRI (http://www.Files-of-DrsMed.tk
PNEUMONIA
DEFINISI Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacammacam etiologi seperti bakteri, virus, jamur, dan benda asing.1 Terjadinya pneumonia pada anak sering kali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada
bronkhus
yang
disebut
bronkopneumonia.
Dalam
pelaksanaan
pemberantasan penyakit ISPA semua bentuk pneumonia (baik pneumonia maupun bronkopneumonia) disebut “pneumonia” saja.2 ETIOLOGI Etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditetapkan karena dahak biasanya sukar diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan imunologi belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri sebagai penyebab pneumonia. Hanya biakan dari aspirat paru serta pemeriksaan spesimen darah yang dapat diandalkan untuk membantu penetapan etiologi pneumonia. Meskipun pemeriksaan spesimen aspirat paru merupakan cara yang sensitif untuk mendapatkan dan menentukan bakteri penyebab pneumonia pada balita, cara tersebut merupakan prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika, terutama jika hanya dimaksudkan untuk penelitian. Oleh karena alasan tersebut di atas maka penetapan etiologi pneumonia di Indonesia masih didasarkan pada hasil penelitian di luar Indonesia. Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukan bahwa di negara berkembang Streptokokus pneumonia dan Hemofilus influenza merupakan bakteri yang selalu ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi, yaitu 73,9 % aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Sedangkan di negara maju, pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus.2 Etiologi pneumonia antara lain:1 1. Bakteri
: Diplococcus pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus
hemolyticus, Streptococcus aureus, Hemophilus influenza, Bacillus Friedlander. 1
2. Virus
: Respiratory syncytial virus, virus influenza, adenovirus,
cytomegalovirus. 3. Jamur
: Mycoplasma pneumoces dermatitides, Coccidioides
immitis, Aspergillus, Candida albicans. 4. Aspirasi
: makanan, kerosene (bensin, minyak tanah), cairan amnion,
benda asing.
FAKTOR RESIKO Berdasarkan hasil penelitian dari berbagai negara termasuk Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai faktor risiko baik yang meningkatkan insiden (morbiditas) maupun kematian (mortalitas) akibat pneumonia:2 a) Faktor resiko yang meningkatkan insiden pneumonia: •
Umur < 2 bulan
•
Laki-laki
•
Gizi kurang
•
Barat badan lahir rendah
•
Tidak mendapat ASI memadai
•
Polusi udara
•
Kepadatan tempat tinggal
•
Imunisasi yang tidak memadai
•
Membedung anak (selimut berlebihan)
•
Defisiensi Vitamin A
•
Pembarian makanan tambahan terlalu dini.
b) Faktor risiko yang meningkatkan angka kematian pneumonia •
Umur < 2 bulan
•
Tingkat sosio-ekonomi rendah
•
Kurang gizi
•
Berat badan lahir rendah
•
Tingkat pendidikan ibu yang rendah
•
Tingkat jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah 2
•
Kepadatan tempat tinggal
•
Imunisasi yang tidak memadai
•
Menderita penyakit kronis
•
Aspek kepercayaan setempat dalam praktek pengobatan yang salah.
KLASIFIKASI Pembagian pneumonia tidak ada yang memuaskan. Berdasarkan anatomis, pneumonia dibagi atas:1 1. Pneumonia lobaris 2. Pneumonia lobularis (bronkopneumonia) 3. Pneumonia interstitialis (bronkiolitis) Tabel 1. Klasifikasi klinik pneumonia:3 Tipe klinik
Epidemiologi
Pneumonia komunitas
Sporadis atau endemik; muda atau orang tua
Pneumonia nosokomial
Didahului perawatan di rumah sakit
Pneumonia rekurens
Terdapat dasar penyakit kronik paru
Pneumonia aspirasi
Alkoholik, usia tua
Pneumonia pada gangguan
Pada pasien tranplantasi, penyakit keganasan,
sistem imun
AIDS
PATOGENESIS Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme. Keadaan ini disebabkan adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru menunjukkan adanya gangguan daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan mengakibatkan timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain inhalasi langsung dari udara, aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring serta perluasan langsung dari tempat-tempat lain, penyebaran secara hematogen.4 Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien untuk mencegah infeksi yang terdiri dari susunan anatomis rongga hidung, jaringan limfoid di nasofaring, bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan 3
sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut. Reflek batuk, refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional. Fagositosis,
aksi limfosit dan
respon imunohumoral terutama dari IgA. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja sebagai anti mikroba yang non spesifik.1 Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu : A. Stadium (4–12 jam pertama/ kongesti) Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida, sehingga mempengaruhi perpindahan gas dalam darah dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
B. Stadium II (48 jam berikutnya) Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
4
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
C. Stadium III (3–8hari) Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
D. Stadium IV (7–11hari) Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.4
LANGKAH DIAGNOSTIK •
Anamnesis Pasien biasanya mengalami demam tinggi, batuk, gelisah, rewel dan sesak
nafas. Pada bayi, gejalanya tidak khas, sering kali tanpa demam dan batuk. Anak besar biasanya mengeluh nyeri kepala dan muntah.5 •
Pemeriksaan Fisik Manifestasi klinis yang terjadi berbeda-beda sesuai kelompok umur
tertentu. Pada neonates sering terjadi takipneu, retraksi dinding dada, grunting dan sianosis. Pada bayi yang lebih tua jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel. Pada anak pra
sekolah,
gejala
yang
sering
terjadi
adalah
demam,
batuk
(non
produktif/produktif), takipneu, dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif/produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi. Pada semua kelompok umur, akan dijumpai pernafasan cupping hidung. Pada auskultasi, dapat terdengar suara pernafasan menurun. Fine crackles (ronki basah halus) yang khas 5
pada anak besar bisa saj tidak ditemukan pada anak bayi. Gejala lain pada anak besar adalah dull (redup) pada perkusi, fremitus menurun, dan terdengar Fine crackles di daerah yang terkena. Iritasi pleura akan menyebabkan nyeri dada. Bila berat, gerakan dada menurun saaat inspirasi, anak berbaring ke arah yang sakit dengan kaki fleksi. Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu, dan perut.5 •
Pemeriksaan Penunjang a) Ro torak PA merupakan dasar diagnosis utama pneumonia b) Leukosit>15.000/ul, dengan didominasi sel neutrofil c) Trombositopenia bisa didapatkan pada pneumonia dengan empiema d) Pemeriksaan sputum kurang berguna e) Biakan darah jarang positif (3 – 11%) kecuali untuk Pneumokokus dan H. Influenzae (25 – 95%) f) Rapid test untuk deteksi antigen bakteri mempunyai sensitifitas dan spesifisitas rendah. g) Pemeriksaan serologis kurang bermanfaat.5
TERAPI Diagnosis etiologi pneumonia sangat sulit untuk dilakukan, sehingga pemberian antibiotik diberikan secara empirik sesuai dengan pola kuman tersering yaitu Streptococcus pneumonia dan H. influenza. Pemberian antibiotik sesuai kelompok umur. Untuk umur dibawah 3 bulan diberikan golongan penisilin dan aminoglikosida. Untuk usia > 3 bulan, pilihan utama adalah ampisilin dipadu dengan kloramfenikol. Bila keadaan pasien berat atau terdapat empiema, antibiotik adalah golongan sefalosporin. Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun, dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7 – 10 hari. Bila diduga penyebab pneumonia adalah S.aureus, kloksasilin dapat segera diberikan. Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin, klindamisin, atau vancomycin. Lama pengobatan untuk Stafilokokus adalah 3 – 4 minggu.5
6
DAFTAR PUSTAKA 1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 3. Jakarta: Infomedika Jakarta; 1995.1228-1235. 2. Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan. Pemberantasan Penyakit ISPA. Nomor: 1537.A/MENKES/SK/XII/2002. Tanggal 5 Desember 2002. Jakarta : Departemen Keseharan; 2002. 3. Dahlan Z. Artikel: Pandangan Baru Pneumonia Atipik dan Terapinya. Bagian Penyakit Dalam FK.UNPAD Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Bandung : FK UNPAD; 2007. 4. Webmaster. Bronkopneumonia. Disitasi dari : http://hsilkma.blogspot.com /2008/03/bronkopneumonia.html, pada tanggal 14 Juni 2008. Perbaharuan
terakhir : Januari 2008. 5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Standar Pelayanan Kesehatan Anak Edisi I. 2004. Jakarta : IDAI; 2004.
7 © Files of DrsMed – FK UNRI (http://www.Files-of-DrsMed.tk