Authors :
Nova Faradilla, S. Ked Ronald R. Damanik, S. Ked Wan Rita Mardhiya, S. Ked
Faculty of Medicine – University of Riau Pekanbaru, Riau 2009
0 © Files of DrsMed – FK UNRI (http://www.Files-of-DrsMed.tk
ANESTESI PADA TINDAKAN POSTEROSAGITAL ANOREKTOPLASTI PADA KASUS MALFORMASI ANOREKTAL
TINJAUAN PUSTAKA
1. MALFORMASI ANOREKTAL 1.1 Definisi Atresia ani atau anus imperforata atau malformasi anorektal adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rekti dan atresia rekti. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb).1
1.2 Epidemiologi Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000 kelahiran.2 Secara umum, malformasi anorektal lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi lakilaki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis malformasi anorektal yang paling banyak ditemui adalah anus imperforata diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal.3 Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester menunjukkan bahwa malformasi anorektal letak rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan malformasi anorektal letak tinggi.4
1.3 Embriologi Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah, esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka, dan ektoderm dari protoderm/analpit . Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut sebagai primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan 1
anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak rendah atau infra levator berasal dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus dapat tidak ada atau rudimenter.1
1.4 Patofisiologi Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis).
1.5 Etiologi Atresia ani atau anus imperforata dapat disebabkan karena:6 1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur 2. Gangguan organogenesis dalam kandungan 3.
Berkaitan dengan sindrom down Malformasi anorektal memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah
komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan malformasi anorektal yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara malformasi anorektal dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari
2
bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan malformasi anorektal atau dengan kata lain etiologi malformasi anorektal bersifat multigenik.6
1.6 Klasifikasi Klasifikasi yang paling sering digunakan untuk malformasi anorektal adalah klasifikasi Wingspread yang membagi malformasi anorektal menjadi letak tinggi, intermedia dan letak rendah. Akan tetapi, untuk tujuan terapi dan prognosis digunakan klasifikasi yang dibuat berdasarkan jenis.2 Melbourne membagi berdasarkan garis pubokoksigeus dan garis yang melewati ischii kelainan disebut:1 a. Letak tinggi
apabila rektum berakhir diatas muskulus levator ani (muskulus
pubokoksigeus). b. Letak intermediet apabila akhiran rektum terletak di muskulus levator ani. c. Letak rendah apabila akhiran rektum berakhir bawah muskulus levator ani.
Gambaran malformasi anorektal pada laki-laki8
Normal male anatomy
Recto urethral bulbar fistula (Low)
Recto bladder neck fistula (High)
Gambaran malformasi anorektal pada perempuan8
3
Normal female anatomy
Vestibular fistul
High Imperforate anus
Typical Cloaca
1.7 Manifestasi klinis Gejala yang menunjukan terjadinya malformasi anorektal terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala itu dapat berupa:5 1. Perut kembung 2. Muntah 3. Tidak bisa buang air besar 4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan. Malformasi anorektal sangat bervariasi, mulai dari anus imperforata letak rendah dimana rectum berada pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi tidak dapat melaluinya, malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari rektum dekat ke uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali tidak ada.9 Sebagian besar bayi dengan anus imperforata memiliki satu atau lebih abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%. Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler.2 Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi anorektal adalah:2,3,10 1. Kelainan kardiovaskuler
4
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan anus imperforata. Jenis kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum (1%2%)
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal. 4. Kelainan traktus genitourinarius Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada malformasi anorektal. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan malformasi anorektal letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan malformasi anorektal letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality).3
1.8 Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.1 Pada anamnesis dapat ditemukan :1 a. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir
5
b. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula c. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan kelainan adalah letak rendah Pena menggunakan cara sebagai berikut:1 1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila : a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti atresia letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif. Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.1
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.1 Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Leape (1987) menyatakan bila mekonium didadapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel perianal maka kelainan adalah letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar usus terisis\ udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki dipegang posisi badan
6
vertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud) dengan bertujuan agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan fistulografi.1 Pada pemeriksan klinis, pasien malformasi anorektal tidak selalu menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada pemeriksaan klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan dengan memasukkan termometer melalui anus.3,5 Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama beberapa jam pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus cukup tinggi untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis malformasi anorektal pada bayi untuk menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty.6 Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan malformasi anorektal letak tinggi dan harus dilakukan colostomy.6 Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan malformasi anorektal letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium).6 1.9 Penatalaksanaan Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan
7
cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel.1 Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula.1
Leape (1987) menganjurkan pada :1 a. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu, setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP) b. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti, baik minimal, limited atau full postero sagital anorektoplasti.1
8
Teknik Operasi1 a. Dilakukan dengan general anestesi, dengan intubasi endotrakeal, dengan posisi pasien tengkurap dan pelvis ditinggikan. b. Stimulasi perineum dengan alat Pena Muscle Stimulator untuk identifikasi anal dimple. c. Insisi bagian tengah sakrum kearah bawah melewati pusat spingter dan berhenti 2 cm didepannya. d. Dibelah jaringan subkutis, lemak, parasagital fiber dan muscle complex. e. Os koksigeus dibelah sampai tampak muskulus levator, dan muskulus levator dibelah tampak dinding belakang rektum. f. Rektum dibebas dari jaringan sekitarnya. g. Rektum ditarik melewati levator, muscle complex dan parasagital fiber. h. Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai tension.
Penatalaksanaan malformasi anorektal (pada gambar 1)11
9
Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus laki-laki11
Dengan inspeksi perineum dapat ditentukan adanya malformasi anorektal pada 95% kasus malformasi anorektal pada bayi perempuan. Prinsip penatalaksanaan malformasi anorektal pada bayi perempuan hampir sama dengan bayi laki-laki.3
Penatalaksanaan malformasi anorektal pada bayi perempuan (gambar 2)9
10
Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus perempuan9 Anoplasty PSARP adalah metode yang ideal dalam penatalaksanaan kelainan anorektal. Jika bayi tumbuh dengan baik, operasi definitif dapat dilakukan pada usia 3 bulan. Kontrindikasi dari PSARP adalah tidak adanya kolon. Pada kasus fistula rektovesikal, selain PSARP, laparotomi atau laparoskopi diperlukan untuk menemukan memobilisasi rektum bagian distal. Demikian juga pada pasien kloaka persisten dengan saluran kloaka lebih dari 3 cm.3
Penatalaksanaan Post-operatif
11
Perawatan Pasca Operasi PSARP1 a. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari ,salep antibiotik diberikan selama 8- 10 hari. b. 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2 kali sehari dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan sampai mencapai ukuran yang sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah masuk. Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejakan serta tidak ada rasa nyeri bila dilakukan 2 kali sehari selama 3-4 minggu merupakan indikasi tutup kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan.1 Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7 hari. Sedangkan pada kasus kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga 10-14 hari. Drainase suprapubik diindikasikan pada pasien persisten kloaka dengan saluran lebih dari 3 cm. Antibiotik intravena diberikan selama 2-3 hari, dan antibiotik topikal berupa salep dapat digunakan pada luka.3 Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi. Untuk pertama kali dilakukan oleh ahli bedah, kemudian dilatasi dua kali sehari dilakukan oleh petugas kesehatan ataupun keluarga. Setiap minggu lebar dilator ditambah 1 mm tercapai ukuran yang diinginkan. Dilatasi harus dilanjutkan dua kali sehari sampai dilator dapat lewat dengan mudah. Kemudian dilatasi dilakukan sekali sehari selama sebulan diikuti dengan dua kali seminggu pada bulan berikutnya, sekali seminggu dalam 1 bulan kemudian dan terakhir sekali sebulan selama tiga bulan. Setelah ukuran yang diinginkan tercapai, dilakukan penutupan kolostomi.3 Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi karena kulit perineum bayi tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya. Salep tipikal yang mengandung vitamin A, D, aloe, neomycin dan desitin dapat digunakan untuk mengobati eritema popok ini.3,6
1.10 Prognosis 12
Hasil operasi kelainan anorektal meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya metode PSARP.6
2. ANESTESI PADA ANAK DENGAN MALFORMASI ANOREKTAL Anestesi pada bayi dan anak berbeda dengan anestesi pada orang dewasa. Permasalahan yang perlu diperhatikan pada anestesi pediatrik antara lain:11,12 2.1 Pre operatif Respirasi Frekuensi pernafasan pada bayi dan anak lebih cepat dibandingkan dengan orang dewasa. Tipe pernafasan pada pada bayi adalah abdominal, lewat hidung, sehingga gangguan pada kedua bagian ini memudahkan timbulnya kegawatan pernafasan.11 Gangguan respirasi (contoh: dispnea, batuk, stridor, wheezing) bermanfaat sebagai studi tambahan. Kemampuan posisi terlentang tanpa gangguan respirasi harus dijelaskan. Kompresi trakea dan brokus dari tumor mungkin disebabkan oleh posisi.12 Tes: foto toraks, supine-duduk/ volume loops (berguna untuk evaluasi lokasi dan tandatanda obstruksi jalan nafas). AGD, pulse oxymetri, jika simptomatis, CT/MRI dada.12 Kardiovaskuler Frekuensi jantung/ nadi bayi dan anak berkisar antara 100-120 kali per menit. Hipoksia menimbulkan bradikardi, karena parasimpatis yang lebih dominan.11 Gangguan massa mediastinum mungkin termasuk sindroma vena kava superior. Gejala lain mungkin termasuk sinkop dan sakit kepala (TTIK) menjadi lebih buruk pada posisi terlentang.12 Tes: ekokardiografi, EKG, jika simptomatis. Premedikasi
13
Manfaat dan kegunaan premedikasi masih menjadi perdebatan di antara para ahli. Ada yang mengatakan bahwa premedikasi pada anak tidak diperlukan karena menimbulkan trauma yang akan dibawa sampai dewasa. Terlepas perlu atau tidaknya premedikasi pada anak, maksud dan tujuan premedikasi yang terpenting adalah: 13 1. untuk menghilangkan atau mengurangi rasa takut, cemas, dan gelisah, sehingga anak menjadi tenang ketika masuk kamar operasi. 2. memudahkan dan melancarkan induksi anestesi. 3. mencegah terjadinya perubahan psikologis atau perilaku pasca anestesi/bedah. 4. mengurang sekret pada saluran nafas dan rongga mulut. 5. sebagai vagolitik. Mencegah timbulnya refleks vagal akibat obat anestesi, rangsangan fisik, atau manipulasi pembedahan.
Jenis Obat Premedikasi A. Golongan antikolinergik a. Sulfas Atropin dan Skopolamin Atropin lebih unggul dibanding skopolamin untuk mengendalikan bradikardi dan aritmia lainnya terutama pada bayi usia kurang dari enam bulan. Biasanya bradikardi timbul karena manipulasi pembedahan atau karena obat anestesi seperti halotan dosis tinggi. 13 Dengan ditinggalkannya pemakaian eter, maka tidak diperlukan lagi obat premedikasi untuk mengurangi sekresi air liur. Atropin dan skopolamin sebaiknya tidak diberikan kepada pasien dengan suhu tinggi dan takikardi. 13 b. Glikopirolat Merupakan
senyawa
garam
amonium
kuartener
dengan
khasiat
antikolinergik yang kuat. Panjang efek sampingnya tidak begitu kuat dibanding sulfas atropin. Dosis 5-10 gr/kgBB intra vena. 13
B. Golongan hipnotik sedatif 14
a. Diazepam Merupakan obat golongan sedatif yang banyak digunakan sebagai premedikasi untuk anak karena berkhasiat menenangkan. Pada sekitar 80% kasus, tanpa mendepresi nafas dan sedikit sekali menimbulkan muntah. 13 Dosis : Intravena (IV) atau intramuskular (IM) : 0,20 mg/kgBB Per oral
: 0,25-0,50 mg/kgBB
Per rektal
: 0,40-0,50 mg/kgBB
b. Midazolam Termasuk golongan benzodiazepin yang mudah larut dalam air. Waktu kerja sangat cepat, lama kerja tidak terlalu lama. Dapat diberikan secara parenteral dan oral. 13 Dosis : IM
: 0,05 mg/kgBB
Per oral
: 7,5-15 mg/kgBB
Per rektal
: 0,35-0,45 mg/kgBB
c. Prometazin (phenergan) Termasuk golongan antihistamin yang mempunyai efek sedasi cukup baik. Dapat diberikan per oral dengan dosis 1 mg/kgBB. Dosis maksimal 30 mg. 13 d. Barbiturat Terdapat 2 sediaan yang sering digunakan untuk premedikasi, yaitu pentobarbitone (nembutal) dan quinalbarbitone (seconal). Diberikan per oral 1,5 jam pra bedah dengan dosis 2-5 mg/kgBB. Obat ini tidak pernah diberikan pada bayi usia < 6 bulan, karena metabolismenya lama. Tidak dianjurkan untuk diberikan secara IM karena akan menimbulkan rasa sakit, nekrosis, dan abses. 13
15
C. Golongan narkotik analgetik Narkotik jarang diberikan sebagai obat premedikasi pada bayi/anak kecil karena sering menimbulkan pusing, mual, muntah, sampai depresi nafas. Pemberian morfin biasanya atas indikasi adanya cacat jantung bawaan yang sianotik dengan dosis 0,05-0,2 mg/kgBB intramuskuler, 1 jam prabedah. Meperidin (pethidin) merupakan obat golongan narkotik dengan sedasi ringan. Sering menimbulkan muntah sehingga jarang digunakan untuk narkotik analgetik. 13
Cara Pemberian Premedikasi Sampai saat ini belum ditemukan cara pemberian premedikasi pada bayi/anak yang dianggap ideal, yaitu sederhana, efektif, dan tidak menimbulkan trauma psikis. 13 Metode yang lazim dipakai adalah: 13 1. Parenteral (IM/IV) Masih sering digunakan, walaupun sering ditolak anak karena takut akan jarum dan sakit. 2. Per oral Pemberian cara ini sebenarnya paling ideal diberikan pada bayi/anak yg masih kecil karena tidak akan menimbulkan trauma atau rasa sakit. Agar pemberian oral lebih efektif, biasanya waktunya lebih lama. Agar anak/bayi suka, biasanya dicampur dengan aroma obat lain agar terasa manis dan disukai. 3. Per rektal Pemberian premedikasi secara rektal sering disebut sebagai anestesi basal. 4. Per nasal Metode pemberian secara nasal masih dalam penelitian dengan cara-cara yg paling baru. Obat diberikan secara tetesan/semprotan (nose spray) ke dalam mukosa hidung. Selanjutnya obat akan diserap lewat mukosa hidung dan masuk dengan cepat ke dalam sirkulasi darah karena mukosa hidung kaya akan pembuluh darah. 16
Pemberian obat cara ini cepat memberikan efek, sehingga kadang-kadang disebut sebagai pra induksi. Jenis obat
: Midazolam 0,2 mg/kgBB (untuk anak 1-5 tahun) Sulfentanil 1,5-3 U gr/kgBB
2.2 Intra operatif Teknik Anestesi Dilakukan anestesi umum dengan pipa endotrakea, dengan gas hangat. Kamar operasi dengan suhu 20-25ºC. Pad hangat pada meja operasi. 12 Induksi Pasang jalur IV sebelum induksi. Jika ada sindroma vena kava superior, penting jika akses intravena pada ekstremitas bawah. Atropin (0,02 mg/kg IV) diberikan untuk mengurangi sekresi kelenjar dan mencegah bradikardi dari efek induksi halotan yang dalam dari laringoskopi. Intubasi bangun pada posisi duduk mungkin perlu. Suatu induksi memakai sungkup dengan halotan/ O2 pada posisi semifowler mungkin tepat. Intubasi seharusnya dilakukan dengan ventilasi spontan. Gunakan pipa endotrakeal dan evaluasi dari trakea/bronkus. Hindari penggunaan pelemas otot sampai pipa endotrakeal terpasang. Dokter bedah segera hadir dengan persiapan bronkoskopi yang rigid saat dilakukan induksi yang berakibat obstruksi jalan nafas akut. Perubahan posisi sederhana (misalnya: dari posisi supine ke lateral atau duduk) mungkin mengakibatkan kolaps kardiorespirasi. 12 Induksi anestesi parenteral a. Intramuskuler Metode ini dipilih jika ada kesulitan mencari pembuluh darah vena atau cara induksi lain tidak memungkinkan. Sebenarnya induksi anestesi cara ini lebih pasti dan praktis dibanding cara induksi per rektal, dan dapat dilakukan pada saat bayi/anak sudah ada di meja operasi. Kerugian metode ini adalah suntikan, yg sangat ditakuti bayi/anak dan volume yg diberikan cukup banyak. 13 17
Obat yg digunakan biasanya ketamin dosis 6-10 mg/kgBB. Biasanya anak/bayi akan tidur setelah 3-5 menit. 13 b. Intravena Keuntungan cara ini adalah selain cepat, juga menyenangkan karena dapat berjalan mulus dan cepat, terutama apabila telah terpasang infus. Kerugiannya biasanya sangat sukar memasang infus, anak/bayi sering berontak, dan kesukaran mencari pembuluh vena. 13 Obat yang digunakan: 13 1. Penthotal Dapat diberikan pada bayi/anak. Perlu diingat bahwa neonatus sangat peka terhadap obat ini, danmetabolisme berlangsung lama. Dosis induksi bayi/anak 4-5 mg/kgBB. 2. Methohexital (brevital) Untuk induksi digunakan larutan 1% dengan dosis 1,5 mg/kgBB. Sebagai pilihan alternatif penthotal, biasanya pemulihan lebih cepat dibanding penthotal. Pada anak sering menimbulkan twitching otot dan singultus apabila dosisnya tinggi. 3. Diazepam Masa pemulihan lebih lama dari penthotal. Dosis 0,4 mg/kgBB. 4. Ketamin Dosis 2 mg/kgBB. Dalam waktu 1-2 menit anak sudah tidur. 5. Propofol Cukup efektif untuk anak, tapi sering menimbulkan rasa sakit dan terbakar sehingga cara pemberiannya memerlukan teknik khusus. Dosis 2,5-3,5 mg/kgBB. 6. Midazolam
18
Tergolong benzodiazepin yang larut air, tidak menyebabkan rasa sakit pada pembuluh darah. Dosis 0,15 mg/kgBB.
Induksi anestesi inhalasi Dari penelitian didapatkan bahwa penangkapan (uptake) gas anestesi pada paru anak/bayi lebih cepat dibanding orang dewasa, karena proporsi jaringan pembuluh darahnya lebih banyak. Karena itu, induksi inhalasi pada anak/bayi lebih cepat dibanding orang dewasa, dan ekskresinya pun lebih cepat. 13 Oleh sebab itu, banyak ahli anestesi sering memakai teknik ini, tapi kerugian teknik ini adalah dapat menimbulkan trauma psikis dan pengalaman yang buruk. 13 Untuk mengatasi kendala tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan: 13 Persiapan pre operatif harus lebih baik. Masker diberi rasa dan warna yg menarik. Pemasangan masker jangan langsung menutupi muka. Bisa memakai teknik single breath.
Obat anestesi untuk inhalasi: 13 a. N2O/O2 Induksi dengan gas ini karena tidak berbau, tidak merangsang. b. Eter Karena baunya sangat merangsang dan tidak enak, sering menimbulkan sekresi yg berlebihan dan saat ini sudah tidak dipergunakan lagi. c. Halotan Merupakan gas anestesi inhalasi yg sering digunakan untuk bayi/anak karena baunya tidak merangsang, sehingga induksi bisa berjalan lancar. Gas ini sering menimbulkan kejadian drug induced hepatitis pada pemakaian berulang, terutama pada anak usia > 14 tahun. 19
d. Isofluran Koefisien kelarutan gas ini dalam darah sangat rendah dibanding halotan, sehingga secara teoritis induksi anestesi dan pemulihan berlangsung sangat cepat. Gas ini hampir tidak mengalami metabolisme dalam tubuh. Dikeluarkan lewat paru secara utuh dan sempurna. Induksi anestesi dengan isofluran perlu pengalaman cukup dan penuh perhatian, karena baunya yg tidak sedap dan merangsang jalan nafas dimana kadang-kadang bayi/anak akan menahan nafas.
Induksi anestesi per nasal Merupakan cara induksi anestesi yg paling baru. Dikenal dengan istilah pra induksi karena perubahan kesadaran yg timbul berbeda dengan akibat pemberian premedikasi secara oral atau intramuskuler. Pemberian sufentanil lewat nasal dengan dosis 1,5-3 U gr/kgBB ternyata cukup efektif sebagai pra induksi pada anak yg lebih besar. Cara ini tidak begitu menimbulkan efek yg traumatis. 13 Rumatan Ventilasi spontan/ ventilasi bantu dengan volatile dan O2 100% mungkin tepat. 12 Pengakhiran Penderita harus sadar penuh sebelum dilakukan ekstubasi. 12 Kebutuhan cairan dan darah Biasanya kehilangan darah minimal. Jika ada mediatinoskopi kehilangan darah dapat diketahui segera. Kebutuhan cairan 10-20 ml/kgBB IV. 12 Posisi Jika obstruksi bertambah secara mendadak, ubah posisi ke dekubitus lateral yang memungkinkan trakea terelevasi. 12
20
Komplikasi Gagal nafas, gangguan jalan nafas, bronkospasme, laringospasme, hipotensi. Oleh karena itu perlu memperhatikan ABC. Gunakan obat resusitasi (misalnya: efedrin 10µg/Kg). 12 Pengelolaan nyeri post op Dapat diberikan ketorolac 0,9 mg/Kg IV, 6 kali 24 jam. 12
21
DAFTAR PUSTAKA 1.
Bedah UGM. Atresia Ani. http://www.bedahugm.net. [diakses tanggal 1 April 2009].
2.
Grosfeld J, O’Neill J, Coran A, Fonkalsrud E. Pediatric Surgery 6th edition. Philadelphia: Mosby elseivier, 2006; 1566-99.
3.
Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. principles and Practice of Pediatric Surgery Vol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005; 1395-1434
4.
Boocock G, Donnai D. Anorectal Malformation: Familial Aspects and Associated Anomalies. Archives of Disease in Childhood, 1987, 62, 576-579. http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi?artid=1778456&blobtype=pdf [diakses 1 April 2009]
5.
FK UII. Atresia Ani. Fakultas Kedokteran Unversitas Islam Indonesia, 2006. [diakses 1 April 2009]
6.
Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007, 2:33. http://www.ojrd.com/content/2/1/33 [diakses 1 April 2009]
7.
Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. principles and Practice of Pediatric Surgery Vol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2005; 1395-1434
8.
Anonim. Anorectal Malformation A parent’s Guide. Departement of Paediatric Surgery Starship Hospital Auckland, 2006. http://www.starship.org.nz/General%20Surgery%20PDFs/anorect.pdf [diakses 1 April 2009]
9.
University of Michigan. Imperforate Anus. Departement of Surgery University of Michigan http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vii/a/anorectalmalformation [diakses 1 April 2009]
10. Kella N, Memon S, Qureshi G. Urogenital Anomalies Associated with Anorectal Malformation in Children. World Journal of Medical Sciences 1 (2) 2006; 151-154 http://www.idosi.org/wjms/1(2)2006/20.pdf [diakses 1 April 2009] 11. Latief SA, Suntoro A. Anestesi Peditrik dalam: Anestesiologi. Muhiman M, Thaib M, Sunatrio S, Dahlan M (eds). Jakarta: Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FKUI. 1989, 115119. 12. Soerasdi E, Husaeni H, Kadarsah RK. Petunjuk Teknis Prosedur Tetap Anestesia. Bandung: Bagian Anestesiologi dan Reanimasi FK UNPAD. 2004. 498-501. 13. Obat-obat anestesi. EGC
© Files of DrsMed – FK UNRI (http://www.Files-of-DrsMed.tk
22