Cerebral Palsy Dr. Sudading Sunusi dan Dr. P. Nara Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/ RSU Ujung Pandang
PENDAHULUAN Walaupun perkembangan dan kemajuan dalam bidang obstetrik dan perinatologi akan mengakibatkan penurunan angka kematian bayi yang pesat, namun tidak dapat mencegah peningkatan jumlah anak cacat. Ini disebabkan, meskipun bayi berhasil diselamatkan dari keadaan gawat, akan tetapi biasanya meninggalkan gejala sisa akibat kerusakan jaringan otak yang gejala-gejalanya dapat terlihat segera ataupun di kemudian hari1. Cerebral Palsy adalah salah satu gejala sisa yang cukup banyak dijumpai. Istilah Cerebral Palsy (CP) pertama kali dikemukakan oleh Phelps. Cerebral : yang berhubungan dengan otak; Palsy : ketidaksempurnaan fungsi otot 2 . Dalam kepustakaan, CP sering juga disebut diplegia spastik 3 , tetapi nama ini kurang tepat, sebab CP tidak hanya bermanifestasi spastik dan mengenai 2 anggota gerak saja, tetapi juga dapat ditemukan dalam bentuk lain dan dapat mengenai ke 4 anggota gerak. Nama lain ialah : Little's disease, oleh karena dokter John Little adalah orang yang pertama pada pertengahan abad ke 19 menguraikan gambaran klinik CP 3,4 Makalah ini menguraikan secara singkat : definisi, insidensi, etiologik, neurofisiologik dan patologik, gambaran klinik dan klasifikasi, diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan khusus, penanganan, pencegahan dan prognosis CP. DEFINISI Berbagai definisi telah dikemukakan oleh para sarjana. Clark (1964) mengemukakan, yang dimaksud dengan CP ialah suatu keadaan kerusakan jaringan otak pada pusat motorik atau jaringan penghubungnya, yang kekal dan tidak progresif, yang terjadi pada masa prenatal, saat persalinan atau sebelum susunan saraf pusat menjadi cukup matur, ditandai dengan adanya paralisis, paresis, gangguan kordinasi atau kelainan-kelainan fungsi motorik5 . Pada tahun 1964 World Commission on Cerebral Palsy mengemukakan definisi CP sebagai berikut : CP adalah suatu kelainan dari fungsi gerak
48 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985
dan sikap tubuh yang disebabkan karena adanya kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai pertumbuhannya 2 . Sedangkan Gilroy dkk (1975), mendefinisikan CP sebagai suatu sindroma kelainan dalam cerebral control terhadap fungsi motorik sebagai akibat dari gangguan perkembangan atau kerusakan pusat motorik atau jaringan penghubungnya dalam susunan saraf pusat 6 . Definisi lain : CP ialah suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang kekal . dan tidak progresif, terjadi pada waktu masih muda (sejak dilahirkan), dan merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinik yang dapat berubah selama hidup, dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologik berupa kelumpuhan spastik, gangguan ganglia basalis dan serebelum7. INSIDENSI Para peneliti dari berbagai negara melaporkan insidensi yang berbeda-beda yaitu: 1,3 per 1000 kelahiran di Denmark (Erik Hansen); 5 per 1.000 anak di Amerika Serikat (Gilroy) dan 7 per 100.000 kelahiran di Amerika (Phelps) 6 ; 6 per 1.000 kelahiran hidup di Amerika (Ingram, 1955 dan Kurland, 1957) 9,10 Di Indonesia . belum ada data mengenai insidensi CP. Pada KONIKA V Medan (1981), R. Suhasim dan Titi Sularyo melaporkan 2,46% dari jumlah penduduk Indonesia menyandang gelar cacat, dan di antaranya ± 2 juta adalah anak. CP merupakan jenis cacat pada anak yang terbanyak dijumpai. Di Jaipur, Meenakshi Sharma dkk (1981) menyelidiki 219 CP, 150 di antaranya adalah laki-laki dan 69 perempuan. Terdiri dari 42 anak umur kurang 1 tahun, 113 antara 1—5 tahun, 52 antara 5 — 10 tahun dan 12 di atas 10 tahun11 ETIOLOGI Sebab-sebab yang dapat menimbulkan CP pada umulnnya secara kronologis dapat dikelompokkan sebagai berikut 12 : • prenatal: — gangguan pertumbuhan otak
— penyakit metabolisme — penyakit plasenta — penyakit ibu : toksemia gravidarum, toksopiasmosis, rubella, sifilis dan radiasi • natal: — partus lama — trauma kelahiran dengan perdarahan subdural — prematuritas — penumbungan atau lilitan talipusat — atelektasis yang menetap — aspirasi isi lambung dan usus — sedasi berat pada ibu • Post natal : — penyakit infeksi : ensefalitis — lesi oleh trauma, seperti fraktur tengkorak — hiperbilirubinemia/kernikterus — gangguan sirkulasi darah seperti emboli/trombosis otak Penyebab post natal kebanyakan pada usia sebelum 3 tahun. NEUROFISIOLOGIK DAN PATOLIK Perubahan neuropatologik pada CP bergantung pada patogenesis, derajat dan lokalisasi kerusakan dalam susunan saraf pusat (SSP). Semua jaringan SSP peka terhadap kekurangan oksigen. Kerusakan yang paling berat terjadi pada neuron, kurang pada neuroglia dan jaringan penunjang (supporting tissue) dan paling minimal pada pembuluh darah otak. Derajat kerusakan ada hubungannya acute neuronal necrosis tanpa kerusakan pada neuroglia. Penyembuhan terjadi dengan fagositosis bagian yang nokrotik, proliferasi neuroglia dan pembentukan jaringan parut yang diikuti dengan retraksi sekunder. Pada hipoksia yang lebih berat, terjadi kerusakan baik Pada neuron maupun neuroglia, mengakibatkan terjadinya daerah dengan perlunakan, penyembuhan yang lambat, atrofi dan pembentukan jaringan parut yang luas. Kerusakan-kerusakan yang paling berat terjadi pada bagian SSP yang sangat peka terhadap hipoksia yaitu korteks serebri, agak kurang pada ganglia basalis dan serebelum, sedangkan batang otak dan medula spinalis mengalami kerusakan yang lebih ringan. Perdarahan ringan oleh trauma persalinan biasanya diabsorpsi tanpa kerusakan yang menetap. Hematoma subdural yang biasanya unilateral tersering ditemukan pada bagian verteksi dekat sinus longitudinalis, menyebabkan kerusakan jaringan otak yang berada di bawahnya oleh karena nekrosis tekanan, menghasilkan ensefalo malaria yang akhirnya terjadi atrofi dan pembentukan jaringan parut. Perdarahan intraserebral jarang menghasilkan porencephalic cavity 12 . Menurut Perlstein dan Barnett, suatu trauma kepala dan perdarahan intrakranial pada umumnya akan melibatkan sistem piramidal, sedangkan anoksia terutama mengenai sistem ekstrapiramidal. Manifestasi klinik kelainan ini bergantung pada hebatnya dan lokalisasi lesi yang terjadi, apakah ia di korteks serebri, ganglia basalis ataukah di serebelum13 . Kernikterus menyebabkan kerusakan pada masa nukleus yang . dalam, ditandai dengan warna kuning, kerusakan berupa nekrosis dan lisis neuron yang diikuti dengan proliferasi neuroglia dan pengerutan yang hebat. Pada kelainan bawaan otak, misalnya agenesis/hipogenesis bagian-bagian otak dan hidrosefalus, akan terjadi gangguan perkembangan 12 .
GAMBARAN KLINIK DAN KLASIFIKAS1 Manifestasi klinik CP bergantung pada lokalisasi dan luasnya jaringan otak yang mengalami kerusakan, apakah pada korteks serebri, ganglia basalis atau serebelum. Dengan demikian secara klinik dapat dibedakan 3 bentuk dasar gangguan motorik pada CP, yaitu : spastisitas, atetosis dan ataksia 13. a) Spastisitas terjadi terutama bila sistem piramidal yang mengalami kerusakan, meliputi 50—65% kasus CP. Spastisitas ditandai dengan hipertoni, hiperrefleksi, klonus, refleks patologik positif. Kelumpuhan yang terjadi mungkin monoplegi, diplegi/hemiplegi, triplegi atau tetraplegi. Kelumpuhan tidak hanya mengenai lengan dan tungkai, tetapi juga otot-otot leher yang berfungsi menegakkan kepala. b) Atetosis meliputi 25% kasus CP, merupakan gerakangerakan abnormal yang timbul spontan dari lengan, tungkai atau leher yang ditandai dengan gerakan memutar mengelilingi sumbu "kranio-kaudal", gerakan bertambah bila dalam keadaan emosi. Kerusakan terletak pada ganglia basalis dan disebabkan oleh asfiksi berat atau jaundice. c) Ataksia. Bayi/anak dengan ataksia menunjukkan gangguan koordinasi, gangguan keseimbangan dan adanya nistagmus. Anak berjalan dengan langkah lebar, terdapat intention tremor meliputi ± 5%. Lokalisasi lesi yakni di serebelum. d) Rigiditas, merupakan' bentuk campuran akibat kerusakan otak yang difus. Di samping gejala-gejala motorik, juga dapat disertai gejalagejala bukan motorik, misalnya gangguan perkembangan mental, retardasi pertumbuhan, kejang-kejang, gangguan sensibilitas, pendengaran, bicara dan gangguan mata. Berdasarkan manifestasi klinik CP, American Acedemy for Cerebral Palsy mengemukakan klasifikasi sebagai berikut 14 • Klasifikasi neuromotorik 1. Spastik, ialah adanya penambahan pada stretch reflex dan deep tendon reflex meninggi pada bagian-bagian yang terkena. 2. Atetosis, karakteristik ialah gerakan-gerakan lembut menyerupai cacing, involunter, tidak terkontrol dan tidak bertujuan. 3. Rigiditas. Jika bagian yang terkena digerakkan akan ada tahanan kontinu, baik dalam otot agonis maupun antagonis. Menggambarkan adanya sensasi membongkokkan "pipa timah" (lead pipe rigidity). 4. Ataksia. Menunjukkan adanya gangguan keseimbangan dalam ambulasi. 5. Tremor. Gerakan-gerakan involunter, tidak terkendali, reciprocal dengan irama yang teratur. 6. Mixed.
• Distribusi topografik dari keterlibatan neuromotorik 1. Paraplegi. Yang terkena ialah ekstremitas inferior, selalu tipe spastik. 2. Hemiplegi. Terkena hanya 1 ekstremitas inferior dan 1 superior pada pihak yang sama. Hampir selalu spastik, kadang-kadang ada yang atetosis. 3. Triplegi. Terkena 3 ekstremitas, biasanya spastik. 4. Quadriplegi atau tetraplegi. Terkena semua ekstremitas. • Klasifikasi berdasarkan beratnya. lalah berdasarkan beratnya keterlibatan neuromotorik yang membatasi kemampuan penderita untuk menjalankan aktifitas untuk keperluan hidup
Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985
49
(activities of daily living). 1. Ringan. Penderita tidak memerlukan perawatan oleh karena ia tidak mempunyai problema bicara dan sanggup mengerjakan keperluan sehari-hari dan dapat bergerak tanpa memakai alat-alat penolong. 2. Sedang. Penderita memerlukan perawatan oleh karena ia tidak cakap untuk memelihara diri, ambulasi dan bicara. Ia memerlukan brace dan alat-alat penolong diri. 3. Berat. Penderita memerlukan perawatan. Derajat keterlibatan demikian hebat, sehingga prognosis untuk memelihara diri, ambulasi dan bicara adalah jelek.
DIAGNOSIS Diagnosis dini dan tepat adanya lesi di otak sangat penting sebagai dasar dalam seleksi prosedur-prosedur terapeutik yang akan diambil12,15 Pada anamnesis perlu diketahui mengenai riwayat prenatal, persalinan dan post natal yang dapat dikaitkan dengan adanya lesi otak. Tahap-tahap perkembangan fisik anak harus ditanyakan, umpamanya kapan mulai mengangkat kepala, membalik badan, duduk, merangkak, berdiri dan berjalan4,13 . Pada pemeriksaan fisik diperhatikan adanya spastisitas lengan/tungkai, gerakan involunter, ataksia dan lain-lain. Adanya refleks fisiologik seperti refleks moro dan tonic neck 15 reflex pada anak usia 4 bulan harus dicurigai adanya CP demikian pula gangguan penglihatan, pendengaran, bicara dan menelan, asimetri dari kelompok otot-otot, kontraktur dan tungkai yang menyilang menyerupai gunting12,13 DIAGNOSIS BANDING CP perlu dibedakan dengan : proses degenerasi SSP, miopati, neuropati, tumor medula spinalis12 , tumor otak, hidrosefalus, poliomielitik atipik, idiocy 13 , trauma otak atau saraf perifer, korea sydenham's l5 , subdural higroma dan tumor intrakranial7. PEMERIKSAAN KHUSUS Untuk menyingkirkan diagnosis banding maupun untuk keperluan penanganan penderita, diperlukan beberapa pemeriksaan khusus. Pemeriksaan yang sering dilakukan, ialah7 1) Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah diagnosis CP ditegakkan. 2) Pungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan suatu proses degeneratif. Pada CP likuor serebrospinalis normal. 3) Pemeriksaan Elektro Ensefalografi dilakukan pada penderita kejang atau pada golongan hemiparesis baik yang berkejang maupun yang tidak. 4) Foto kepala (X-ray) dan CT Scan. 5) Penilaian psikologik perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pendidikan yang diperlukan. 6) Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain retardasi mental. Selain pemeriksaan di atas, kadang-kadang diperlukan pemeriksaan arteriografi dan pneumoensefalografi 6 . PENANGANAN Penanganan penderita CP biasanya berlangsung lama, bertahun-tahun, dan untuk setiap penderita perlu rencana penanganan yang khusus, disesuaikan dengan derajat berat ringannya CP, kemampuan motorik/mental penderita secara 50
Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985
individu. Untuk memperoleh hasil yang maksimal, penderita CP perlu ditangani oleh suatu team yang terdiri dari: dokter anak, ahli saraf, ahli jiwa, ahli bedah tulang, ahli fisioterapi, occupational therapist, guru luar biasa, orang tua penderita dan bila perlu ditambah dengan ahli mata, ahli THT dan lainlain7,16 Pada umumnya penanganan penderita CP meliputi : 1) Reedukasi dan rehabilitasi 3,6 Dengan adanya kecacatan yang bersifat multifaset, seseorang penderita CP perlu mendapatkan terapi yang sesuai dengan kecacatannya. Evaluasi terhadap tujuan perlu dibuat oleh masing-masing terapist. Tujuan yang akan dicapai perlu juga disampaikan kepada orang tua/famili penderita, sebab dengan demikian ia dapat merelakan anaknya mendapat perawatan yang cocok serta ikut pula melakukan perawatan tadi di lingkungan -hidupnya sendiri. Fisio terapi bertujuan untuk mengembangkan berbagai gerakan yang diperlukan untuk memperoleh keterampilan secara independent untuk aktivitas sehari-hari. Fisio terapi ini harus segera dimulai secara intensif. Untuk mencegah kontraktur perlu diperhatikan posisi penderita sewaktu istirahat atau tidur. Bagi penderita yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal di suatu pusat latihan. Fisio terapi dilakukan sepanjang hidup penderita. Selain fisio terapi, penderita CP perlu dididik sesuai dengan tingkat inteligensinya, di Sekolah Luar Biasa dan bila mungkin di sekolah biasa bersama-sama dengan anak yang normal. Di Sekolah Luar Biasa dapat dilakukan speech therapy dan occupational therapy yang disesuaikan dengan keadaan penderita. Mereka sebaiknya diperlakukan sebagai anak biasa yang pulang ke rumah dengan kendaraan bersanrm-sama sehingga tidak merasa diasingkan, hidup dalam suasana normal. Orang tua janganlah melindungi anak secara berlebihan dan untuk itu pekerja sosial dapat membantu di rumah dengan melihat seperlunya. 2) Psiko terapi untuk anak dan keluarganya 9 . Oleh karena gangguan tingkah laku dan adaptasi sosial sering menyertai CP, maka psiko terapi perlu diberikan, baik terhadap penderita maupun terhadap keluarganya. 3) Koreksi operasi. Bertujuan untuk mengurangi spasme otot, menyamakan kekuatan otot yang antagonis, menstabilkan sendi-sendi dan mengoreksi deformitas. Tindakan operasi lebih sering dilakukan pada tipe spastik dari pada tipe lainnya. Juga lebih sering dilakukan pada anggota gerak bawah dibanding -dengan anggota gerak atas. Prosedur operasi yang dilakukan disesuaikan dengan jenis operasinya, apakah operasi itu dilakukan pada saraf motorik, tendon, otot atau pada tulang. 4) Obat-obatan. Pemberian obat-obatan pada CP bertujuan untuk memperbaiki gangguan tingkah laku, neuro-motorik dan untuk mengontrol serangan kejang 3 . Pada penderita CP yang kejang. pemberian obat anti kejang memeerkan hasil yang baik dalam mengontrol kejang, tetapi pada CP tipe spastik dan atetosis obat ini kurang berhasil. Demikian pula obat muskulorelaksan kurang berhasil menurunkan tonus otot pada CP tipe spastik dan atetosis 15 . Pada penderita dengan kejang diberikan maintenance anti kejang yang disesuaikan dengan karakteristik kejangnya, misalnya luminal, dilantin dan sebagainya. Pada keadaan tonus otot yang berlebihan, obat golongan benzodiazepine, misalnya : valium, librium atau mogadon
dapat dicoba. Pada keadaan choreoathetosis diberikan artane. Tofranil (imipramine) diberikan pada keadaan depresi. Pada penderita yang hiperaktif dapat diberikan dextroamphetamine 5 — 10 mg pada pagi hari dan 2,5 — 5 mg pada waktu tengah hari 17 . PENCEGAHAN Pencegahan merupakan usaha yang terbaik. CP dapat dicegah dengan jalan menghilangkan faktor etiologik kerusakan jaringan otak pada masa prenatal, natal dan post natal. Sebagian daripadanya sudah dapat dihilangkan, tetapi masih banyak pula yang sulit untuk dihindari. "Prenatal dan perinatal care" yang baik dapat menurunkan insidens CP. Kernikterus yang disebabkan "haemolytic disease of the new born " dapat dicegah dengan transfusi tukar yang dini, "rhesus incompatibility" dapat dicegah dengan pemberian "hyperimmun anti D immunoglobulin " pada ibu-ibu yang mempunyai rhesus negatif. Pencegahan lain yang dapat dilakukan ialah tindakan yang segera pada keadaan hipoglikemia, meningitis, status epilepsi dan lain-lain 18 . PROGNOSIS Prognosis bergantung pada banyak faktor, antara lain : berat ringannya CP, cepatnya diberi pengobatan, gejala-gejala yang menyertai CP, sikap dan kerjasama penderita, keluarganya dan masyarakat. Menurut Nelson WE dkk (1968), hanya sejumlah kecil penderita CP yang dapat hidup bebas dan menyenangkan 15 , namun Nelson KB dkk (1981) dalam penyelidikannya terhadap 229 penderita CP yang.didiagnosis pada usia 1 tahun, ternyata setelah berumur 7 tahun 52% di antaranya telah bebas dari gangguan motorik. Dilaporkan pula bahwa bentuk CP yang ringan, monoparetik, ataksik, diskinetik dan diplegik yang lebih banyak mengalami perbaikan. Penyembuhan juga lebih banyak ditemukan pada golongan anak kulit hitam dibanding dengan kulit putih 19 . Di negara maju, misalnya diInggris dan Scandinavia, terdapat 20—25% penderita CP bekerja sebagai buruh harian penuh dari 30—50% tinggal di " Institute Cerebral Palsy". Makin banyak gejala penyerta dan makin berat gangguan motorik, makin buruk prognosis7. Umumnya inteligensi anak merupakan petunjuk prognosis 15 , makin cerdas makin baik prognosis. Penderita yang sering kejang dan tidak dapat diatasi dengan anti kejang mempunyai prognosis yang jelek 12. Pada penderita yang tidak mendapat pengobatan, perbaikan klinik yang spontan dapat terjadi walaupun lambat. Dengan seringnya anak berpindah-pindah tempat, anggota geraknya mendapat latihan bergerak dan penyembuhan dapat terjadi pada masa kanak-kanak. Makin cepat dan makin intensif pengobatan maka hasil yang dicapai makin lebih baik. Di samping faktor-faktor tersebut di atas, peranan orang tua/keluarga dan masyarakat juga ikut menentukan prognosis. Makin tinggi kerjasama dan penerimaannya maka makin baik prognosis.
Insidensi penyakit ini di luar negeri bervariasi antara 0,07 — 6per 1.000 kelahiran hidup. Di Indonesia masih belum diketahui. Faktor penyebab mungkin terletak pada masa prenatal, natal dan post natal. Perubahan neuropatologik pada CP berlokasi pada korteks motorik, ganglia basalis dan serebelum. Manifestasi klinik bergantung pada lokalisasi dan luasnya kerusakan jaringan otak. Dibedakan 3 bentuk dasar gangguan motorik pada CP, yaitu spastisitas, atetosis dan ataksia. Diagnosis ditegakkan atas adanya riwayat yang berkaitan dengan kemungkinan adanya kerusakan jaringan otak dan kelainan fisik/neurologik yang sesuai. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang. Penanganan meliputi : reedukasi/rehabilitasi, psiko terapi, tindakan operasi dan pemberian obat-obatan, yang melibatkan suatu team yang terdiri dari berbagi disiplin keahlian. Prognosis bergantung pada : berat ringannya CP, gejalagejala penyerta, cepatnya dimulai dan intensipnya penanganan, sikap dan kerjasama penderita/keluarga serta masyarakat. KEPUSTAKAAN
1. Stanley FJ, Fracp MSTH. Neonatal Mortality and Cerebral Palsy: The Impact of Neonatal Intensive Care. Aust Paed J, 1980; 16: 35-39. 2. Handojo Tjandrakusumo H, Sujadi, Alchujah. JPAT Pusat Surakarta dan Cerebral Palsy. Fisioterapi Indonesia, 1972; 8: 15-23. 3. Slobody LB, Wasserman E. Survey of Clinical Padiatrics, 5th ed. New York, St Louis, San Francisco, Duseldorf, London, Mexico, Panama, Sydney, Toronto: Mc Graw Hill Book Co. 1968; pp 409410.
RINGKASAN Cerebral Palsy adalah suatu kerusakan jaringan otak yang bersifat permanen dan tidak progresif. Walaupun demikian, gambaran kliniknya masih dapat berubah dalam perjalanan hidup penderita. Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985
51
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Merritt HH. A Textbook of Neurology, 2nd ed. Philadelphia: Lea & Febiger. 1959; pp 413415. Clark DB. Cerebral Palsy. In: Textbook of Pediatrics, 8th ed. Neison WE. Philadelphia, London: WB Saunders Co, 1964; pp 12441247. Gilroy J, Meyer JS. Medical Neurology, 2nd ed. New York, Toronto, London, Collier Macmillan Canada Ltd, Bailliere Tindall: Macmillan Publishing Co. 1975; pp 114-121. Kumpulan Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bagian II Cetakan ketiga. 1981; haL 910916. Soedomo Hadinoto. Cerebral Palsy sebagai salah satu faset pada anak cacad. J. Public Health. 1977; 15: 7-8. Handojo Tjandrakusumo. Masalah Rehabilitasi Penderita Cerebral Palsy di Indonesia. J Public Health. 1977; 15: 1-6. Rumalean L. Cerebral Palsy. Dibacakan pada Penataran Ilmu Saraf Masa Kini Jakarta, 1981. Meenakshi Sharma, Saxena S, Prem Prakash. A Study of Cerebral Palsy with Special Reference to Psychososial and Economic Problems. Indian Paed 1981; 18: 895-898. Brashear HR, Raney RB. Shands Handbook of Orthopaedic
52 Cermin Dunia Kedokteran No. 40, 1985
13. 14. 15.
16. 17.
18. 19. 20.
Surgery, 9th ed. Saint Louis: The CV Mosby Co. 1978; pp 180186 Tajib Salim S, Sri Susworo dan Soelarto Reksoprodjo. The Management of The Cerebral Palsied Child in YPAC Jakarta. Orthopedi Indonesia. 1976; 2. Soepanto Wiryosusono HR. Usaha Rehabilitasi Anak Kejang di RSUP Palembang. Dibacakan pada Simposium Kejang Pada Anak. Palembang, 1979. Nelson WE, Vaughan VC, McKay RJ. Textbook of Pediatrics, 9th ed. Philadelphia, London, Toronto: WB Saunders Co. 1969; pp 1311-1314. Wiroreno S. Langkah pertama untuk Cerebral Palsy. Fisioterapi Indonesia. 1972; 8: 24-31. Farmer TW. Pediatric Neurology. New York, Evanston, London: Haever Medical Division Harper & Ro Publishers. 1964; pp 211216. Apley J. Paediatrics, 2nd ed. London: Bailliere TindalL 1979; pp 168-170. Nelson KB and Ellenberg JH. Children Who "Outgres" Cerebral Palsy. Pediatr. 1982; 69: 529-535. Suhasim R dan Titi Sularyo. Masalah Anak Cacad. Dibacakan pada KONIKA V Medan, 1981.