1 RESILIENSI PADA MAHASISWA BARU PENYANDANG CEREBRAL PALSY (CP)
Riezky Vieramadhani Poetry (
[email protected]) Amir Hasan Ramli Ari Pratiwi Universitas Brawijaya Malang
Abstract Persons with Cerebral Palsy (CP) is often equated with people with mental disorders, so not many of them who have a desire to continue their education. The purpose of this study is to see how resilience occurs in new students with CP who decide to continue their education to higher education. This research uses a qualitative research design with a case study approach with emphasis on special case that occur in the object of analysis. Methods of data collection by interview, observation, and data artifacts. The subjects in this research is a new student (freshman collage) with CP. The results showed that the subjects have a source of resilience establishment I Have, I Am, and I Can each aspect along with the consistency of appearance in I Have (Trusting Relationship), I Am (Filled with hope, faith, and trust) and I Can (Communicate, Gauge the temperament of myself and others, Seek Trusting relationships). The results also showed that the subjects had the seventh forming factor in her resilience, the Emotion Regulation, Impulse Control, Optimism, Causal Analysis, Empathy, Self-efficacy, and Reaching Out with the consistency of the appearance is SelfEfficacy. Keywords: Resilience, New Student, Cerebral Palsy
Abstrak Penyandang Cerebral Palsy (CP) seringkali disamakan dengan penderita gangguan mental, sehingga tidak banyak dari mereka yang memiliki keinginan melanjutkan pendidikan. Tujuan penelitian ini untuk melihat bagaimana resiliensi yang terjadi pada mahasiswa baru penyandang CP yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan hinggaperguruan tinggi.Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus dan menekankan pada kasus khusus yang terjadi pada obyek analisis. Metode pengumpulan data dengan wawancara, observasi, dan data artefak. Subyek pada penelitian ini adalah seorang mahasiswa baru penyandang CP.Hasil penelitian menunjukkan bahwasubyek memiliki sumber pembentukan resiliensi I Have, I Am,dan I Canbeserta masing-masingaspeknya dengan konsistensi kemunculan pada sumber I Have (Trusting Relationship), I Am (Filled with hope, faith, and trust)dan I Can (Communicate, Gauge the temperament of myself and others, Seek trusting relationships). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa subyek memiliki ketujuh faktor pembentuk resiliensi dalam dirinya, yaitu Emotion Regulation, Impulse Control, Optimism, Causal Analysis, Empathy, Self-efficacy, dan Reaching Out dengan konsistensi kemunculan pada Self-Efficacy. Kata kunci: Resiliensi, Mahasiswa Baru, Cerebral Palsy
2 LATAR BELAKANG Hak Asasi Manusia berdasarkan Undang - Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Berdasarkan hal trersebut, hendaknya setiap orang saling menghormati haknya satu sama lain. Hak manusia didunia meliputi banyak hal, salah satunya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan, khususnya pada anak-anak. Indonesia melalui Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah memiliki undang-undang perlindungan anak, dimana KPAI bertindak sebagai salah satu wadah yang berpedoman pada undang-undang tersebut. Undangundang tersebut tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) yang telah disahkan pada tanggal 22 Oktober 2002 melalui UU Nomor 23 tahun 2002. UUPA itu sendiri merupakan perangkat perundang-undangan yang paling akhir yang memberikan pengaturan tentang perlindungan anak. Selain UUPA, pemerintah juga mengatur hak anak dalam Undang - Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu pada Bab 3 Bagian ke-10 pasal 54 tentang Hak Anak yang menyatakan bahwa setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang ditandatangi oleh Presiden SBY pada tanggal 10 Agustus 2012. Berdasarkan ketiga undang-undang tersebut, maka bisa diketahui bahwa setiap anak memiliki hak yang sama dalam menuntut ilmu, tidak terkecuali anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Cerebral Palsy (CP) merupakan salah satu kondisi anak berkebutuhan khusus. Secara definisi, Brunner dan Suddarth mengartikan kata cerebral itu sendiri adalah otak, sedangkan palsy adalah kelumpuhan, kelemahan, atau kurangnya pengendalian otot dalam setiap pergerakan atau bahkan tidak terkontrol. Kerusakan otak tersebut mempengaruhi sistem dan penyebab anak mempunyai koordinasi yang buruk, keseimbangan yang buruk, pola-pola gerakan yang abnormal atau kombinasi dari karakter-karakter tersebut (Hidayat, 2010). Angka kejadian CP yang sesungguhnya tidak diketahui secara pasti. Namun berdasarkan penelitian National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) yang diadakan pada tahun 2000, menyatakan bahwa 2-3 bayi dari 1000 kelahiran menderita CP (Akatsuki, 2011). Sedangkan menurut Garrison (Saputro, 2010), angka kejadian CP adalah lebih kurang 5,5 per 1000 kelahiran hidup dan tersebar merata pada kedua jenis kelamin, segala ras dan berbagai negara. Di Indonesia sendiri angka kejadian CP belum dapat dikaji secara pasti. CP 10x lebih sering ditemukan pada bayi yang lahir premature serta bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari normal (berat badan bayi lahir normal 2,5 - 4 kg). Seseorang dengan CP dapat menampakkan gejala kesulitan dalam hal motorik halus, misalnya menulis atau menggunakan gunting; masalah keseimbangan dan berjalan; atau mengenai gerakan involunter; misalnya tidak dapat mengontrol gerakan menulis atau selalu mengeluarkan air liur (Saharso, 2006). Keadaan tersebut bisa mem unculkan banyak keterbatasan pada anak dalam beraktivitas, terutama apabila anak tersebut mulai mengenyam pendidikan yang mengharuskannya patuh pada sistem yang ada. Banyak sarana-sarana pendidikan di Indonesia yang diperuntukkan untuk anak-anak berkebutuhan khusus seperti Sekolah Luar Biasa (SLB) yang mengkhususkan anakanak berkebutuhan khusus maupun sekolah Inklusi dimana sekolah ini merupakan sekolah pada umumnya yang memperbolehkan anak berkebutuhan khusus mengenyam pendidikan di dalamnya. Meski sama-sama diperuntukkan untuk anak berkebutuhan khusus, namun pergaulan anak-anak yang bersekolah di SLB dan Sekolah Inklusi berbeda. Hal ini dikarenakan lingkungan dan teman yang berbeda, sehingga perasaan “berbeda” pada sekolah Inklusi tidak begitu besar.
3 Sama halnya dengan Perguruan Tinggi (PT), meski tidak semua PT membuka kesempatan belajar bagi penyandang difabel, yang juga berarti tidak semua PT menolak penyandang difabel. Hal ini seolah membuka kesempatan besar bagi siswa-siswi lulusan SMA yang memiliki kebutuhan khusus bisa melanjutkan pendidikan perguruan tinggi. Terbukanya kesempatan ini membuat calon mahasiswa dengan disabilitas memiliki hak yang sama dengan calon mahasiswa lain (normal). Tentunya hal ini juga disertai dengan adanya fasilitas yang dibutuhkan demi menunjang kenyamanan proses perkuliahan bagi penyandang difabel. Tak bisa dipungkiri bahwa calon mahasiswa baru penyandang disabilitas akan mendapat perhatian berlebih dari sejumlah orang karena mereka “berbeda”. Apabila keterbatasan-keterbatasan fisik seperti ketidakmampuan berjalan bisa ditanggulangi dengan penggunaan kursi roda, maka tidak begitu halnya dalam hal pergaulan. Terlebih lagi kemauan mereka untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi juga merupakan suatu kondisi yang tidak bisa dikatakan mudah. Akan tetapi, adanya kesempatan ini tidak membuat para calon mahasiswa penyandang difabel memutuskan untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi dengan banyak sebab, salah satunya adalah rasa minder yang muncul ketika bersama teman-teman non difabel (normal). Namun jika dia mampu menghadapinya dengan baik, maka bisa dikatakan bahwa dia telah beresilien dengan tidak menyerah pada keadaannya (bangkit dari kemalangan). Tuner (Yuniardi & Djudiyah, 2011) mengemukakan bahwa resiliensi adalah sebuah kapasitas mental untuk bangkit kembali dari sebuah kesengsaraan dan untuk terus melanjutkan kehidupan yang fungsional dengan sejahtera. Jadi dapat disederhanakan bahwa resiliensi adalah proses menemukan kembali hal positif di balik suatu kemalangan dan memanfaatkannya sebagai tenaga untuk memantul bangkit. Sedangkan Siebert (Yuniardi, 2009) menjelaskan bahwa resiliensi ini sangat penting karena orang yang resilien mengetahui bagaimana mengembalikan mental dari suatu kemalangan atau kesengsaraan dan membaliknya menjadi sesuatu yang lebih baik, bahkan dibandingkan keadaan sebelum kemalangan itu sendiri. Mereka maju dengan cepat dalam perubahan yang berlangsung terus menerus karena mereka fleksibel, cerdas, kreatif, secara cepat menyesuaikan diri, sinergik, dan belajar dari pengalaman. Mereka dapat mengendalikan kesulitan-kesulitan besar, dengan lebih baik meski mengalami berbagai macam kemunduran atau permasalahan, mereka tetap tidak mengeluh dengan kondisi hidupnya. Resiliensi merupakan suatu proses yang alamiah terjadi dalam diri individu. Hanya saja, seberapa waktu yang diperlukan oleh seseorang untuk melewati proses tersebut bersifat individual. Individu dengan resiliensi yang baik adalah individu yang optimis, yang percaya bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa individu dapat mengontrol arah kehidupannya. Optimis membuat fisik menjadi lebih sehat dan mengurangi kemungkinan menderita depresi. Resiliensi adalah kapasitas untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari. Resiliensi sebagai kemampuan untuk secara terus menerus mendefinisikan diri dan pengalaman, menjadi dasar untuk proses kehidupan yang menghubungkan antara sumber daya individu dan spiritual (Bronie, 2011).
LANDASAN TEORI A. Cerebral Palsy (CP) 1. Definisi Cerebral Palsy (CP) Hinchcliffe mendefinisikan CP sebagai Cerebral yang berarti yang berhubungan dengan otak, sedangkan palsy yang berarti kelumpuhan atau tidak mampu bergerak. Maka, CP berarti sejenis kelumpuhan yang dihasilkan dari kerusakan pada otak (Mangunsong, 2011). Istilah Cerebral Palsy diperkenalkan pertama kali oleh Winthrop Phelp pada 1957. Phelp menyatakan Cerebral Palsy adalah suatu gangguan pada gerak tubuh yang ada hubungannya dengan kerusakan otak yang
4 menetap, akibatnya otak tidak berkembang. Menurut Phelp, Cerebral Palsy bukanlah suatu penyakit yang progresif, sehingga tidak mengenal istilah sembuh untuk gangguan ini (Munir, 2012). United Cerebral Palsy Associations merumuskan Cerebral Palsy sebagai suatu kumpulan keadaan, biasanya pada masa kanak-kanak, yang ditandai dnegan kelumpuhan, kelemahan, tidak adanya koordinasi atau penyimpangan fungsi motorik yang disebabkan gangguan pada pusat kontrol motor di otak (Munir, 2012). Sedangkan menurut Kuban, pada anak-anak hubungan antara lesi pada sistem saraf pusat dan gangguan fungsi dapat berubah. Abnormalitas pada tonus motorik atau gerakan yang terjadi pada beberapa minggu atau beberapa bulan pertama kelahiran, secara teratur akan meningkat selama tahun pertama kehidupan. Namun setelah anak berusia lebih dari satu tahun, tonus motorik menjadi berkurang, dimana kondisi ini terus berlanjut hingga akhirnya ia didiagnosa menderita CP (Mardiani, 2006). 2. Penyebab terjadinya Cerebral Palsy (CP) Menurut Soetjiningsih (Mardiani, 2006) Cerebral palsy dapat disebabkan faktor genetik maupun faktor lainnya. Apabila ditemukan lebih dari satu anak yang menderita kelainan ini dalam suatu keluarga, maka kemungkinan besar disebabkan faktor genetik. Waktu terjadinya kerusakan otak secara garis besar dapat dibagi pada masa pranatal, perinatal dan postnatal.
a. 1) 2) 3) 4) 5) b.
3. Klasifikasi Cerebral Palsy (CP) Berdasarkan keterlibatan alat gerak atau ekstremitas (Mangunsong, 2011), yaitu: Monoplegia, hanya satu anggota tubuh saja yang terserang (ini jarang terjadi). Hemiplegia, yang terserang adalah tangan dan kaki, tetapi hanya satu sisi (bagian kiri atau kanan). Triplegia, dimana menyerang lengan pada kedua sisi tubuh dan salah satu kaki pada salah salah satu sisi tubuh Diplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang tetapi lebih besar pada bagian di bawah pinggang. Quadriplegia, keempat anggota gerak tubuh terserang semuanya. Berdasarkan karakteristik disfungsi neurologic (Mardiani, 2006), yaitu: 1) Spastik Spasik merupakan bentukan terbanyak (70-80%), otot mengalami kekakuan dan secra permanen akan menjadi kontraktur. Jika tungkai mengalami spastisitas, pada saat seseorang berjalan, kedua tungkai tampak bergerak kaku dan lurus. 2) Athetonik Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal. Karakteristik yang ditampakkan adalah gerakan - gerakan yang involunter dengan ayunan yang melebar. Athetosis terbagi menjadi: a) Distonik Gerakan distonia tidak seperti kondisi yang ditunjukkan oleh distonia lainnya. Umumnya menyerang otot kaki dan lengan sebelah proximal. Gerakan yang dihasilkan lambat dan berulang-ulang, terutama pada leher dan kepala. b) Diskinetik Didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan–gerakan involunter, tidak terkontrol, berulang - ulang dan kadangkala melakukan gerakan stereotype. 3) Ataksia Kondisi ini melibatkan cerebelum dan yang berhubungan dengannya. CP tipe ini mengalami abnormalitas bentuk postur tubuh dan / atau disertai dengan abnormalitas gerakan. 4) Campuran Cerebral palsy campuran menunjukkan manifestasi spastik dan bektra piramidal, seringkali ditemukan adanya komponen ataksia.
5 c. Tingkat kerusakan Cerebral Palsy (CP) Menurut Mangunsong (2011), tingkat kerusakan atau berat ringannya kerusakan CP bisa dibagi menjadi: 1) Tingkat ringan, dengan gejala: a) Anak dapat berjalan dan berbicara b) Anak dapat menjalankan fungsi-fungsi tubuh dalam aktivitas sehari-hari c) Gangguan gerakan yang dialami anak tidak banyak 2) Tingkat sedang, dengan ciri-ciri: a) Anak memerlukan pengobatan untuk gangguan bicara, memerlukan latihan gerak motorik, dan latihan perawatan diri sendiri b) Biasanya mempergunakan alat bantu gerak (brace atau tongkat) 3) Tingkat berat, dengan karakteristik: a) Anak memerlukan pengobatan dan perawatan dalam alat gerak motoriknya b) Anak kurang mampu menjalankan aktivitas sehari-hari c) Anak tidak mampu berjalan dan berbicara (kelumpuhan) d) Prognosanya buruk
B. Mahasiswa 1. Definisi Mahasiswa UU No Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi sendiri memberi pengertian bahwa mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang Pendidikan Tinggi. Sedangkan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab VI bagian ke empat pasal 19 mengemukakan bahwasanya “mahasiswa” itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa/murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan Santoso (2012) mengartikan mahasiswa sebagai orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi. Definisi lain tentang mahasiswa menurut kamus lengkap bahasa Indonesia (Kamisa, 1997), bahwa mahasiswa merupakan individu yang belajar di perguruan tinggi. Djojodibroto (Sumarno, 2011) mempunyai definisi lain, mahasiswa merupakan suatu golongan dari masyarakat yang mempunyai dua sifat, yaitu manusia muda dan calon intelektual, dan sebagai calon intelektual mahasiswa harus mampu berpikir kritis terhadap kenyataan sosial, sedangkan sebagai manusia muda, mahasiswa seringkali tidak mengukur resiko yang akan menimpa dirinya. Lebih jauh, menurut Ganda (2004), mahasiswa adalah individu yang belajar dan menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana didalam menjalani seragkaian kuliah itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya diantara mahasiswa ada yang sudah bekerja atau disibukkan oleh kegiatan organisasi kemahasiswaan. 2. Mahasiswa Baru Istilah mahasiswa baru (freshman) menurut Kamus Oxford (Hornby, 1995) adalah pada masa tahun pertama di universitas, sehingga pada penelitian ini mahasiswa baru selanjutnya disebut sebagai mahasiswa tahun pertama. Mahasiswa tahun pertama yang tidak berhasil beradaptasi dengan lingkungan baru tersebut dapat mengalami berbagai masalah, termasuk masalah dalam membina hubungan dengan orang lain (Sari, Retno Puspito, Tri Rejeki A dan Achmad Mujab M, 2006).
C. Resiliensi 1. Definisi Resiliensi Resiliensi didefinisikan oleh Luthar (Kalil, 2003) sebagai sebuah proses dinamis yang mencakup adaptasi positif dalam konteks situasi yang sulit, mengandung bahaya maupun hambatan yang signifikan. Sedangkan menurut Vaillant & Mills (Yuniardi, 2009) mengemukakan bahwa resiliensi merupakan kapasitas mental untuk bangkit kembali dari sebuah kesengsaraan dan untuk terus melanjutkan kehidupan yang fungsional dengan sejahtera. Menurut Desmita (2010), resiliensi
6 adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Resiliensi merupakan kemampuan individu dalam mengatasi, melalui, dan kembali pada kondisi semula setelah mengalami kesulitan. Asumsi dasar dari resiliensi adalah bahwa dalam menghadapi suatu kesulitan atau tantangan, ada individu yang berhasil mengatasinya dengan baik (kembali) dan ada juga yang tidak berhasil (Reivich & Shatte, 2002). Ong dkk (Rinaldi, 2010) mengemukakan bahwa resiliensi adalah keberhasilan menyesuaikan diri terhadap tekanan yang terjadi. Menurut Reivich & Shatte (Wielia & Wirawan, 2005) ciri-ciri orang yang resilient adalah resiliensi mampu mengendalikan emosi dan bersikap tenang walaupun berada di bawah tekanan, mampu mengontrol dorongannya dan membangkitkan pemikiran yang mengarah pada pengendalian emosi, bersifat optimis mengenai masa depan cerah, mampu mengidentifikasi penyebab dari masalah mereka secara akurat, memiliki empati, memiliki keyakinan diri, memiliki kompetensi untuk mencapai sesuatu. Parton dan Wattam (Sisca & M, Clara, 2008) mengungkapkan bahwa resiliensi dapat terjadi pada masa dewasa dimana seseorang memiliki banyak kesempatan, sumbersumber, dan perubahan-perubahan sosial. 2. Sumber Pembentukan Resiliensi Grothberg (1995) mengemukakan ada tiga kemampuan atau tiga faktor yang membentuk resiliensi. Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah I Have. Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah I Am, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah I Can. a. I Have Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi. Sumbersumbernya adalah adalah sebagai berikut : 1) Trusting Relationships (Mempercayai Hubungan) 2) Structure and rules at home (Struktur dan Aturan di Rumah) 3) Role models (Model-model Peran) 4) Encouragement to be Autonomous(Dorongan agar Menjadi Otonom) 5) Access to Health, Education, Welfare, and Security Services (Akses pada Kesehatan) b. I Am I Am merupakan sumber kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Ada beberapa bagianbagian dari faktor dari I Am yaitu : 1) Lovable and My Temperament is Appealing (Perasaan Dicintai dan Perilaku yang Menarik) 2) Loving, Empathic, and Altruistic (Mencintai, Empati, dan Altruistik) 3) Proud Of Myself (Bangga pada Diri Sendiri) 4) Autonomous and Responsible (Otonomi dan Tanggung jawab) 5) Filled with Hope, Faith, and Trust (Harapan, Keyakinan, dan Kepercayaan) c. I Can I Can adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat membutuhkannya. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi faktor I can yaitu : 1) Communicate (Berkomunikasi) 2) Problem Solve (Pemecahan Masalah) 3) Manage My Feelings and Impulses (Mengelola Berbagai Perasaan dan Rangsangan) 4) Gauge The Temperament Of Myself and Others (Mengukur Temperamen Diri Sendiri dan Orang Lain) 5) Gauge the temperament of myself and others (Mencari Hubungan yang Dapat Dipercaya)
7 3. Faktor-faktor Pembentuk Resiliensi Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut: a. Emotion Regulation Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan. b. Impulse Control Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. c. Optimism Individu yang resilien adalah individu yang optimis, optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang. Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. d. Causal Analysis Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab daripermasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama. e. Empathy Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain. f. Self-efficacy Self-efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Self-efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan. Self-efficacy merupakan hal yang sangat penting untuk mencapi resiliensi. g. Reaching out Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi juga merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa. 4. Fungsi Resiliensi Penelitian tentang resiliensi hanya mencakup bidang yang kecil dan digunakan oleh beberapa profesional seperti psikolog, psikiater, dan sosiolog.Penelitian mereka berfokus pada anak-anak, dan mengungkapkan kepada kita tentang karakteristik orang dewasa yang resilien. Sebuah penelitian telah menyatakan bahwa manusia dapat menggunakan resiliensi untuk hal-hal berikut ini (Reivich & Shatte, 2002): a. Overcoming b. Steering through c. Bouncing back d. Reaching out
METODE Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Pendekatan studi kasus merupakan pendekatan yang menggunakan metode analisis data kualitatif yang menekankan pada kasus-kasus khusus yang terjadi pada obyek analisis. Creswel (1998), menyatakan bahwa studi kasus (case study) adalah suatu model yang menekankan pada eksplorasi dari suatu “sistem yang terbatas” (bounded system) pada satu kasus atau beberapa
8 kasus secara mendetail. Disertai dengan penggalian data secara mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi yang kaya akan konteks. Adapun subjek yang terlibat dalam penelitian ini adalah seorang mahasiswa baru penyandang cerebral palsy (CP). Data dalam penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi, serta data artefak yang diperoleh dari facebook dan twitter subyek penelitian.
HASIL Resiliensi pada mahasiswa baru penyandang cerebral palsy (CP) adalah kemampuan mahasiswa baru penyandang CP untuk bertahan serta tidak menyerah pada situasi sulit dan tidak menyenangkan yang terjadi dalam hidupnya terkait dengan kondisinya yang mengalami gangguan motorik dengan usahanya untuk belajar dan beradaptasi dengan situasi, kondisi, serta keadaannya kemudian bangkit dan menjadi lebih baik sampai akhirnya memutuskan untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Grotberg (1995) mengemukakan ada tiga kemampuan atau tiga faktor yang membentuk resiliensi. Untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya digunakan istilah I Have, untuk kekuatan individu dalam diri pribadi digunakan istilah I Am, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah I Can. Secara keseluruhan, hasil penelitian dapat dilihat dari tabel dibawah ini. Tabel. 1 Sumber Pembentukan Resiliensi pada Subyek Sumber
Aspek
Wawancara
Observasi
I Have (IH)
Trusting relationships (Mempercayai hubungan) Structure and rules at home (Struktur dan aturan-aturan rumah) Role models (Model-model peran) Encouragement to be autonomous (Dorongan agar menjadi otonom/mandiri) Access to health, education, welfare, and security services (Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan) Lovable and my temperament is appealing (Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik) Loving, empathic, and altruistic (Mencintai, Empati, dan Altruistik) Proud of myself (Bangga pada diri sendiri) Autonomous and responsible (Otonomi/Mandiri dan tanggungjawab) Filled with hope, faith, and trust (Harapan, Keyakinan, dan Kepercayaan) Communicate (Berkomunikasi) Problem solve (Pemecahan Masalah) Manage my feelings and impulses (Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan) Gauge the temperament of myself and others (Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain) Seek trusting relationships (Mencari hubungan yang dapat dipercaya)
√
√
Data Artefak (Facebook&Twitter) √
√
√
-
√ √
√
√ √
√
√
-
√
√
-
√
-
√
√ √
-
√ √
√
√
√
√ √ √
√ -
√ √ √
√
√
√
√
√
√
I Am (IA)
I Can (IC)
9 Faktor I Have merupakan dukungan eksternal baik dari keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Sebelum seseorang menyadari akan siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dia lakukan (I Can), dibutuhkan dukungan eksternal baik berupa dukungan moral maupun berupa sarana prasarana untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan yang merupakan sumber pembentukan resiliensi. Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi (Grotberg, 1995). Berdasarkan data-data yang telah diperoleh (tabel 1.), bisa ditarik kesimpulan bahwa subyek memiliki sumber pembentukan resiliensi I Have. Hal ini bisa dilihat dari terpenuhinya kelima aspek dalam I Have pada diri subyek, yaitu subyek memiliki hubungan yang dapat dipercaya baik dengan orangtua, keluarga lain, maupun dengan sahabatnya. Subyek memiliki struktur aturan rumah yang jelas, sehingga membuat subyek dapat mengerti batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan, yang harus dan tidak harus dilakukan, hal tersebut dimaksudkan untuk kebaikan diri subyek. Model-model peran yang membantunya mengenali diri dan mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya seperti ayah, kakek ataupun bibi subyek. Beberapa tokoh besar pun subyek anggap perlu untuk dijadikan panutan. Keluarga maupun orang-orang sekitar subyek memberikan dukungan berupa dorongan agar subyek mampu bersikap mandiri, meski bukan secara fisik tetapi secara pemikiran ataupun keputusan. Dukungan dari orang-orang terdekat pun mampu membuat subyek berjuang dan menentukan pilihannya sendiri untuk mengejar cita-citanya. subyek memiliki akses yang mudah untuk mendapatkan layanan pendidikan, kesehatan, maupun refrensi hiburan. Sumber pembentukan resiliensi I Have yang muncul dari hasil ketiga proses penelitian dan memiliki konsistensi adalah Trusting Relationship (Mempercayai Hubungan), sehingga bisa dikatakan bahwa subyek memiliki kepercayaan dalam sebuah hubungan yang dijalin baik dengan keluarga dan teman-teman sekitar. Seorang anak mungkin mempunyai kepercaaan diri yang baik (I Am), tapi bila dia tidak tahu cara berkomunikasi dengan orang lain atau dalam penyelesaian masalah (I Can) dan juga tidak memiliki seorangpun yang dapat membantunya (I Have), anak tersebut tidak bisa dikatakan resilien. I Am merupakan sumber kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Anak dapat mengenali siapa dirinya dan bagaimana dirinya dimata orang lain. Sumber ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri anak (Grotberg, 1995). Tabel 1. juga menunjukkan bahwa subyek memiliki sumber pembentukan resiliensi I Am meski aspek-aspek pada sumber I Am tidak selalu muncul dari hasil ketiga proses penelitian. Hal ini bisa dilihat dari terpenuhinya kelima aspek dalam I Am pada diri subyek, dimana subyek merasa bahwa ia dicintai dan mencintai orang di sekitarnya terutama keluarga serta teman-teman terdekatnya. Subyek pun mampu menunjukkan kasih sayangnya kepada orang-orang disekitarnya dengan banyak cara, tidak hanya kata-kata tapi juga sikap. Bersikap empati terhadap apa yang dialami orang lain serta menunjukkan sikap altrusitik pada hal-hal yang terjadi disekitarnya. Rasa bangga terhadap dirinya dengan usaha dan kegigihan yang selama ini subyek rasakan telah dilakukan. Subyek mampu bertanggungjawab terhadap apapun pilihan yang diambil dengan segala resikonya. Subyek juga mempercayai bahwa ada harapan dan keyakinan bahwa citacitanya bisa terwujud dengan usaha keras yang ia lakukan. Sumber pembentukan resiliensi I Am yang muncul dari hasil ketiga proses penelitian adalah Lovable and My Temperament is Appealing (Perasaan Dicintai dan Perilaku yang Menarik) dan Autonomous and Responsible (Otonomi dan Tanggung jawab). 03217221888 I can adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat membutuhkannya. Seorang anak mungkin dapat berbicara dengan baik (I Can), tetapi bila dia tidak memiliki empati (I Am) atau tidak belajar melalui model-model peran (I Have), maka tidak akan ada resilien (Grotberg, 1995). Sumber pembentukan resiliensi I Can meski tidak semua muncul dari hasil ketiga proses penelitian, akan tetapi secara keseluruhan cukup bisa mewakili aspek I Can. Hal ini bisa dilihat dari terpenuhinya kelima aspek dalam I Can pada diri subyek sehingga dapat melakukan hubungan sosial dan interpersonal dengan baik. Subyek dapat berkomunikasi dengan baik seperti menyampaikan maupun menangkap informasi yang ada dengan tepat. Mampu mencari penyebab suatu permasalahan dan mencari solusinya dengan berbagai cara, baik dengan caranya
10 sendiri maupun dengan berdiskusi dengan orang lain. Subyek dapat mengelola berbagai perasaan atau rangsangan yang ada dalam dirinya untuk membantunya menentukan pilihan yang tepat dalam bersikap dan berperilaku. Subyek juga memiliki kemampuan untuk mengenali temperamennya sendiri dan temperamen orang lain sehingga mampu menentukan sikap pada saat-saat tertentu, seperti ketika temannya terlihat marah, subyek akan menunggunya untuk sedikit mereda sebelum menanyakan keadaan temannya. Sumber pembentukan resiliensi I Can yang muncul dari hasil ketiga proses penelitian adalah Communicate (Berkomunikasi), Gauge The Temperament Of Myself and Others (Mengukur Temperamen Diri Sendiri dan Orang Lain), serta Gauge the temperament of myself and others (Mencari Hubungan yang Dapat Dipercaya). Tabel 2. Faktor-faktor Pembentuk Resiliensi pada Subyek No
Faktor
Wawancara
Observasi
1 2 3 4 5 6 7
Emotion Regulation (Regulasi Emosi) Impulse Control (Kontrol pada impuls / dorongan) Optimism (Optimis) Causal Analysis (Analisa Penyebab) Empathy (Empati) Self Efficacy (Efikasi Diri) Reaching Out
√ √ √ √ √ √ √
√ -
Data Artefak (Facebook&Twitter) √ √ √ √ √ √
Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang membentuk resiliensi, yaitu (1) Emotion Regulation (Regulasi Emosi) adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan, (2) Impulse Control (Pengendalian Impuls) adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri, (3) Optimism berarti individu yang resilien adalah individu yang optimis, optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang, (4) Causal Analysis yang merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi, (5) Empathy yang sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain, (6) Self-efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil, self-efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan. (7) Reaching out yang menunjukkan bahwa resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi juga merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002). Setiap orang sebenarnya memiliki faktor-faktor pembentuk resiliensi dalam dirinya, hanya saja tidak semua orang mampu mempergunakan faktor-faktor tersebut secara optimal. Subyek dalam hal ini terlihat mampu mengoptimalkan faktor-faktor pembentuk resiliensi yang ada pada dirinya. Hal ini terlihat dari kemampuannya mengontrol emosi, mengidentifikasi permasalahan, rasa empati, efikasi diri serta meraih lebih dari apa yang ia harapkan sebelumnya, yang berarti subyek tidak hanya mampu bangkit dari permasalahan yang ada namun juga menjadi lebih berkembang. Tabel 2. menunjukkan bahwa dari ketujuh faktor-faktor pembentuk resiliensi terdapat konsistensi kemunculan dari hasil penelitian yang meliputi proses wawancara, observasi dan data artefak pada satu faktor, yaitu self efficacy. Hal ini menunjukkan, subyek memiliki faktor-faktor pembentuk resiliensi dalam dirinya dengan faktor self efficacy sebagai faktor yang mendominasi. Berdasarkan hasil yang terlihat pada tabel 2. dapat diketahui bahwa meskipun subyek pernah mengalami masa-masa sulit atau baru saja menghadapi suatu permasalahan, subyek tetap berusaha untuk dapat menemukan hikmah yang bisa ia ambil, yaitu berguna untuk orang lain. Ini menunjukkan bahwa subyek tak lagi terpuruk oleh masalah-masalah yang ia hadapi namun sudah mulai memikirkan orang lain dengan menjadi berguna untuk orang lain. Status dan twit subyek berisi seputar Cerebral Palsy, bagaimana perasaannya saat menghadapi masalah, dan tentang
11 keyakinannya bahwa Allah telah mengatur semua untuknya, sehingga apapun yang dialami oleh subyek, ia senantiasa dapat mengambil hikmah dari setiap kejadian yang ada. Resiliensi mampu membuat subyek untuk merespon perasaan tertekan atau putus asa itu dengan kegiatan yang lebih positif dan produktif. Secara keseluruhan, HM memiliki ketiga sumber pembentukan resiliensi yaitu I Have, I Am, dan I Can beserta kelima masing-masing aspeknya meskipun aspek-aspek tersebut tidak selalu muncul dalam proses wawancara, observasi, maupun data artefak. Begitu pula halnya dengan ketujuh faktor-faktor pembentuk resiliensi. Tidak semua dari tujuh faktor itu terlihat selama proses wawancara, observasi, maupun data artefak. Akan tetapi, bila dilihat secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa subyek memiliki ketujuh faktor pembentuk resiliensi.
DISKUSI Penelitian ini memiliki beberapa hal yang perlu untuk didiskusikan lebih lanjut yang nantinya dapat berguna bagi penelitian selanjutnya yang pertama adalah pelaksanaan observasi dilakukan secara terjadwal, sehingga ada baiknya observasi juga dilakukan saat pelaksanaan proses wawancara dengan subyek atau setiap kali peneliti melakukan pertemuan dengan. Kedua, penentuan subjek penelitian, dalam penelitian ini karakteristik subyek penelitian hanya terwakilkan untuk cerebral palsy (CP) dengan tipe diplegia, jika memungkinkan bisa digunakan sampel untuk masing-masing tipe monoplegia, hemiplegia, triplegia, serta quadriplegia. Sebab, meskipun sama-sata tergolong dalam CP, perbedaan tipe kondisi CP dapat memunculkan hasil yang berbeda pula, terutama dalam mengoptimalkan sumber pembentukan resiliensi maupun faktor-faktor pembentuk resiliensi.
DAFTAR PUSTAKA Akatsuki. (2011). Askep Klien dengan Cerebral Palsi. (Diambil ners.blogspot.com/2011/02/askep-klien-dengan-cerebral-palsy.html November 2011)
dari http://akatsukidiakses pada 29
Bronie. (2011). Resiliensi Manusia (Diambil dari http://broniee.blogspot.com/ 2011/12/resiliensimanusia.html pada tanggal 17 Desember 2011) Creswell, J. W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design Choosing Among Five Traditions. Thousand Oaks, California: Sage Desmita. (2010). Psikologi Perkembangan Peserta Didik, Bandung: Remaja Rosdakarya Ganda, Y. (2004). Petunjuk Praktis Cara Mahasiswa Belajar di Perguruan (Diambil dari http:// pamuncar.blogspot.com/2012/06/definisi-peran-dan-fungsi-mahasiswa.html diakses pada 6 Juni 2012) Grothberg, E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening the Human Spirit. The Series Early Childhood Development: Practice and Reflections. Number 8. The Hague : Benard van Leer Voundation. Hidayat. (2010). Cerebral Palsy (Diambil dari http://hidayat2.wordpress.com/2010/11/07/cerebralpalsy/ diakses pada 7 November 2010)
12 Hornby, A.S. (1995). Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Great Britain: Oxford University Press Kalil A. (2003). Family Resilience and Good Child Outcomes. A Review of a Literature. Wellington: Centre for Social Research and Evaluation. Kamisa. (1997). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika Mangunsong. (2011). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid Kedua. Depok: LPSP3 UI Mardiani, E. (2006). Faktor – Faktor Risiko Prenatal Dan Perinatal Kejadian Cerebral Palsy. Skripsi. Semarang: Undip. Munir, F. (2012). Mari Mengenal Anak Cerebral Palsy (Diambil dari http://fatinah munir.blogspot.com/2012/12/mari-mengenal-anak-cerebral-palsy.html diakses pada tanggal 21 Desember 2012) Nurhidayat, N. (2012). Sejarah Hak Asasi Manusia. (Diambil dari http://jenguii. blogspot.com/ 2012/06/sejarah-hak-asasi-manusia.html diakses pada Minggu, 17 Juni 2012) Reivich, K & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills for Overcoming Life’s Inevitable Obstacles. New York: Broadway Books Rinaldi. (2010). Resiliensi pada Masyarakat Kota Padang Ditinjau dari Jenis Kelamin. Jurnal Psikologi Volume 3, No. 2. Saharso, D. (2006). Cerebral Palsy Diagnosis dan Tatalaksana. Makalah disampaikan dalam Kuliah Ilmu Kesehatan Anak XXXVI Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI. Surabaya: 29-30. Santoso, M. B. (2012). Definisi Peran dan Fungsi Mahasiswa. (Diambil dari http:// pamuncar. blogspot.com/2012/06/definisi-peran-dan-fungsi-mahasiswa.html diakses pada 6 Juni 2012) Saputro, L. A. (2010). Penatalaksanaan Terapi Latihan dengan Pendekatan Metode Neuro Development Treatment pada Cerebral Palsy Spastik Diplegia di YPAC Surakarta. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Sari, Retno Puspito, Tri Rejeki A dan Achmad Mujab M. (2006). Pengungkapan Diri Mahasiswa Tahun Pertama Universitas Diponegoro Ditinjau dari Jenis Kelamin dan Harga Diri. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro Vol.3 No. 2. Sisca, Hyu & Clara Moningka. (2008). Resiliensi Perempuan Dewasa Muda yang Pernah Mengalami Kekerasan Seksual di Masa Kanak-kanak. Jurnal Psikologi Volume 2, No. 1, Desember 2008. Sumarno, Alim. (2011). Perilaku dalam kegiatan Pembelajaran. (Diambil dari http://blog.elearning. unesa.ac.id/alim-sumarno/perilaku-dalam-kegiatan-pembelajaran diakses pada Rabu, 20 Juli 2011) Wielia & Wirawan, Henny E. (2005). Gambaran Resiliency pada Individu yang Pernah Hidup di Jalanan. Jurnal Sosial & Humaniora Vol. 02, No. 01 hlm 69-97.
13 Yuniardi, M. Salis. (2009). Analisis Potensi Resiliensi Korban Lumpur Panas Lapindo: Tinjauan pada tiap tahap perkembangan.Jurnal Psikologia, Volume 4, Nomor 2. Yuniardi, M. Salis & Djudiyah. (2011). “Support Group Therapy” Untuk Mengembangkan Potensi Resiliensi Remaja Dari Keluarga “Single Parent” di Kota Malang. Jurnal Psikobuana Vol. 3, No. 2, 135–140.