cepat, pucat dan rasa takut tampak jelas pada wajah ini, la menatap tajam kearah belakang sipemuda: „Kau bohong..... Kau bohong...... Pia-lie Sian-cu telah mengaku..... Kau bohong..... Kau takut kepada 4 jago Ngo-bie-pay itu...." To It Peng tidak henti2nya bicara. Gerakan Teng Sam aneh, cepat ia membalikkan badan, dibedal kereta semakin keras, setelah itu, ia memutuskan tali hubungan kuda dan kereta, badannya melesat maju, jatuh pada punggung kuda, maka kuda tersebutpun lari meninggalkan kereta, gerakan2 ini hanya terjadi didalam waktu yang singkat. Disaat To It Pang tersadar apa yang Teng Sam telah lakukan, kuda jago nomor satu dari Liauw-Tong itu telah lenyap dibalik tikungan, kereta masih menggelinding perlahan dan akhirnya berhenti. „Paman Teng Sam, kemana kau pergi ?" teriak To It Peng. Kereta telah tidak bergerak, kereta ini ditinggalkan oleh Teng Sam secara mendadak sekali. Apa yang telah menyebabkan jago nomor satu dari deerah Liauw-tong itu mangambil langkah mendadak? To It Peng tidak tahu. Salju turun dari langit, mambasahi kepala sipemuda. Jago nomor satu dari daerah Liauw-tong Teng Sam telah melenyapkan diri mendadak. Ditinggalkan kereta begitu saja, terlantar dengan pemuda To It Peng.
To It Peng tidak habis mengerti, diketahui Teng Sam ingin membawanya bertemu dengan sinenek. Mengapa ditinggalkan begitu saja ? Keadaan mulai gelap, ia memandang kesekitarnya. Seseorang, bagaikan
hantu gentayangan telah berada dibelakangnya, entah kapan kedatangan orang ini. To It Peng mingucek-ucek matanya, salju masih turun hebat, mangapa orang ini dapat datang mendadak? Betul. Dihadapannya telah berdiri seorang wanita tua, rambutnya telah putih, ia mengenakan pakaian hitam, maka terlihat jelas pada salju yang putih meletak. “Kau ... Kau siapa?" To It Peng membuka suara. „Kau yang dikatakan sebagai putra To Tong Sin?" Nenek tua itu tidak memberi jawaban. Tetapi balik bertanya. Teng Sam pernah menjanjikannya untuk membawa ie bartamu dengan sang nenek ? Mungkinkah telah tlba ? “Betul. Namaku bernama To It Peng." Maka sipemuda memberi jawaban. Wanita tua itu menatapnya kian kemari, dipandang sekujur badan To It Peng, setelah puas, baru bartanya : ”Kemana kini kau ingin pergi ? Orang yang belum lama melarikan diri itu bukankah Teng Sam, sikunyil?" „Betul" To It Peng heran, mengapa nenek tua ini menyebut Paman Teng Sam sijago nomor satu dari daerah Liauw-tong dengan sebutan seperti itu. Maka mangertilah, mangapa Teng Sam melarikan diri mendadak, ternyata ia membelakangi kereta, berarti tidak melihat kedatangan wanita tua ini, tetapi Teng Sam melihat, ada suatu yang ditakuti, maka melarikan diri. Dari sini To It Peng mengerti, nenek tua ini bukanlah neneknya.
„Kau tentu bukan nenekku." To It Peng segara berkata.
Senyum nenek tua itu semakin menarik. „Ternyata kau pergi untuk menjumpai nenekmu?" la bertanya. „Eh, mengapa kau tahu?" To It Pang sungguh heran. “Aku tidak memberi tahu kepadamu, dari sapa kau tahu!" To It Peng agak tolol, tetapi orang tidak semua sepertinya, mana mungkin tidak dapat menduga. Pertanyaan sipemuda yang pertama telah membocorkan rahasia. Nenek tua itu menggapaikan tangan dan memanggil: „Kemarilah. Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu." To It Peng tidak mempunyai arah tujuan, mendapat tawaran tadi, sagera ia menyanggupinya, ia belum tahu akan nama dan alamat orang. „Dimana kau tinggal?" Tanyanya. “Nah.... Tidak jauh dari sini." Sinenek bicara, tangannya menarik sipemuda, dengan mengunakan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat, ia malayang cepat. Terasa salju2 yang menyambari mukanya, baru To It Pang mengetahui bahwa nenek ini berkepandaian tinggi. Mata sipemuda dipicingkan, sukar untuk membedakan arah tujuan, salju2 memukul keras kewajahnya, lebih baik ia meramkan mata. Beberapa lama kemudian To It Peng dapat merasakn, tubuhnya telah berhenti, ternyata mereka telah tiba ditempat tujuan, dibuka kedua matanya, maka tampak mereka telah berada pada sebuah rumah yang terbuat dari batu. Nenek itu membawa sipemuda masuk kedalan rumah batu, disitu
hanya terdapat beberapa buah bangku yang terbuat dari batu, dan segala perabot sederhana yang terbuat dari batu semua.
Pada dua bangku batu duduk dua orang, To It Peng yang meperhatikan dua orang itu terkejut. Ia segera mengenali bahwa mereka adalah anak muridnya T iang-pek Sian-ong, sepasang muda mudi yang menyembunyikan diri didalam goa dekat Ban-kee-chung. Sipemuda Lim Cu Jin duduk dikanan, dan sipemudi yang baik hati Kang Yauw duduk dikirinya. Mereka melihat kedatangan T o It Peng dan menunjukan senyum getir. „Nona Kang, mengapa kau berada ditempat ini?" tanya To It Peng. „Bukahkah kau katakan ingin kembali ke Koan-gwa?” Kang Yauw tidak menyahut, ia hanya mengerlap-ngerlipkan matanya, entah apa yang diisyaratkan olehnya. To It Peng tidak mengerti. Nenek tua yang membawa sipemuda kerumah batu berkata : „Duduklah." Dan iapun memilih sebuah kursi batu dan duduk ditempat itu, sikapnya sangat tenang. To It Peng tidak mempunyai kesan buruk, ia duduk ditempat yang tersedia untuknya. Setelah nenek tua itu duduk, ia menggerakkan tanganya, terdengar ser.. ser... dua kali, maka Lim Cu Jin dan Kang Yauw dapat bernapas lagi dengan lega. „Oooo... Kalian ditotok olehnya?" To It Peng membelalakkan mata. „Semua ini gara2mu." Lim Cu Jin melototkan mata dan membentak kearah To It Peng. „Bila tiada urusanmu, tak nanti kita tersiksa." To It Peng memandang Kang Yauw dan bertanya : „Nona Kang, apa yang telah terjadi dengan kalian?"
Kang Yauw menghela napas panjang, ia menutup mulut tidak bicara.
Nenek tua itu memandang tiga muda-mudi dihadapannya, dengan keras ia membentak : „kalian dua murid Tiang-pek Sian-ong mencarimu, mereka menyerahkan sesuatu kepadamu, bukan?" Kang Yauw mengerlap-ngerlipkan mata, tetapi To It Peng tidak dapat melihat, maka sipemuda memberikan jawaban terus terang : „Betul.” „Bagus! Serahkanlah benda itu kepadaku." kata sinenek itu menyodorkan tangan. Kang Yauw dan Lim Cu Jin pernah menyerahkan sebuah kotak batu pualam kepada sipemuda, dan dikatakan kepada mereka bahwa benda itu mengandung arti penuh, bila membawa benda ini kelembah Cang-cu-kok digunung es, maka ia akan diterima. Terhadap benda pusaka, To It Peng tidak mempunyai angan-angan muluk, tetapi benda ini adalah benda peninggalan ayahnya, tidak mau ia menyerahkan kepada orang lain. „Benda ini sebagai tanda mata ayahku. Tak dapat kuserahkan kepadamu." la menolak permintaan sinenek tua. Wajah nenek itu berubah, lenyaplah wajah ramah tamah. Lim Cu Jin tiba2 turut bicara : „Cianpwee, benda itu berada padanya. Bila ia tidak bersedia menyerahkan, berilah sedikit hajaran, tentunya ia akan tunduk kepada kekerasan." Terhadap sikap Lim Cu Jin seperti ini, Kang Yauw tidak puas, serta merta ia mancela : „Suko, apa arti kata2 mu ini?" „Bukan urusan kalian." Nenek tua itu membentak. Dihadapi T o It Peng dan berkata ramah. „Betul. Barang itu adalah barang peninggalan ayahmu, tetapi tahukah kau, bahwa ayahmu binasa gara2 benda tersebut?" Disaat ayahnya binasa, umur To It Peng terlalu kecil, ia tidak
mempunyai-kesan terhadap ayahnya itu, ingin sekali mengetahui kejadian yang sebenarnya. la membekap peti batu pualan disaku baju dan bertanya : „Ayahku binasa karena ini?"
„Betul. Serahkanlah kepadaku." „Tidak." To It Peng manggoyangkan kepala. „Kau tidak mau menyerahkannya?" Wajah nenek tua itu berubah jahat lagi. Tiba2 Kang Yauw berteriak, wajahnya menunjukkan rasa takut luar biasa: „Saudara To, serahkanlah kepadanya." ”Tidak." To It Peng menggoyangkan kepala. Terdengar suara geraman nenek tua itu, tiba-tiba tangannya bergerak cepat. To It Peng merasa sambaran angin yang hebat dibarengi oleh suara gemuruh. la mamejamkan matanya sebentar dan dikala membuka kembali matanya, tampak bangku batu disebelahnya telah hancur berkeping-keping. „Telah kau saksikan kehebatan tanganku?" kata nenek tua itu dingin. „Serahkanlah peti batu pualam itu kepadaku." To It Peng kesima atas ilmu kepandaian dipertontonkan sinenek tua itu, ia memandang bangku batu yang telah hancur berkepingkeping, tak terdengar apa yang sinenek katakan. Tentu saja tidak memberi jawaban. la sedang berpikir, pada suatu hari, setelah ilmu kepandaiannya dapat seperti apa yang disaksikan, maka ia tidak perlu takut kepada empat jago Ngo-bie-pay. Tapi, mungkinkah ia meyakinkan ilmu kepandaian seperti itu? la goyangkan kepala tanda putus asa. Tak mungkin. Pada saat itulah sinenek bertanya,
dilihat sipemuda menggoyangkan kepala. Dianggapnya tidak mau menyarahkan barang yang diminta, hal ini sungguh mengherankan. Tentu saja, betapa pandai sinenek, tak mungkin dapat menyelami hati orang. Sungguh ia tidak mengerti, mengapa pemuda dungu ini berkepala batu? Lim Cu Jin dan Kang Yauw turut menyaksikan, mereka mengira sipemuda dapat menyerahkan benda yang diminta, atau kepalanya akan menjadi hancur berkeping-keping seperti bangku batu itu.
Goyangan kepala To It Peng telah disalah artikan, wajah mereka berubah pucat. Diluar dugaan, nenek tua tidak marah, ia mengeluarkah suara dingin : „Sikapmu ini mirip dengan ayahmu yang mati itu." „Kau.... kau... kenal dengan ayahku?" To It Peng bertanya. „Lebih dari kenal.” Tetapi sinenek tidak meneruskan pembicaraannya. „Bila ayahmu mau menyerahkan peti batu pualam itu, tentunya ia tidak akan binasa." “Orang yang meminta peti pualam itu bukankah 4 jago dari Ngobie-pay" „Yang penting, mau atau tidak kau menyerahkan peti batu pualam itu kepadaku." Bentak sinenek keras. Diketahui bahwa peti itu berada padanya, ilmu kepandaian sinenek hebat sakali, ia bukan tandingannya, mengapa ia tidak
merebutnya? .... Mengapa harus membentak-bentak meminta padanya?.... To It Peng tidak habis mengerti. „peti ini adalah warisan ayaku, tidak mungkin dapat kuserahkan kepadamu." To It Peng membandel. Wajah sinenek berubah, semakin kejam.... dan..... semakin kejam. Lim Cu Jin bangkit dari tempat duduknya, ia angkat bicara: „Cianpwe, apa yang kau perlu tahu telah kami beri tahu kapada mu. Bolehkah kami m inta diri?" Sinenek tua menolehkan pandangannya, kata2 Lim Cu Jin telah menimbulkan ilham baik, segera ya berkata. „Tentunya kau tidak betah tinggal disini. Baiklah. Kau bolah pergi bila dapat manjalankan parintahku." „Boanpwae akan berusaha." „Coba kau ambil peti batu pualam dari badan sibocah bandel ini dan serahkanlah padaku." kata nenek.
„Baik" Lim Cu Jin segera menghampiri To It Peng. Ia siap merebut peti batu pualam itu dari s ipemuda. Kang Yauw menghadang, ia menggoyangkan kepala berkata : „Suko, kau lupa bahwa peti batu pualan itu telah diserahkan kepadanya. Mana boleh direbut kembali?" „Kau mempunyai cara untuk meninggalkan tempat ini?" Lim Cu Jin mamandang sumoay itu. Kang Yauw menggoyangkan kepala. „Itulah. Setelah kuserahkan batu itu kepadanya. Kita akan bebas, bukan ?". „Aku tak setuju dengan tindakanmu." Masih Kang Yauw menggoyangkan kepala. Lim Cu Jin mendorong tubuh sumoaynya, hampir Kang Yauw terjatuh. Sungguh tak pernah terbayang pada ingatannya, suko ini
dapat berlaku kasar kepada dirinya. „Lupakah kau kepada pesan suhu, segala sesuatu harus tunduk kepadaku, tahu?" Berkata Lin Cu Jin marah. „Beliau tak tahu akan s ifat2mu yang hanya tahu kepentingan diri sendiri." Kang Yauw mengadakan bantahan. To It Peng dapat manyaksikan kejadian itu, ia mempunyai kesan baik pada Kang Yauw, bukan sekali ini sigadis membela dirinya. la barlaku baik, tidak seharusnya aku membuat kesusahan. Demikian To It Peng membuat putusan. Dikeluarkannya peti batu pualam yang segera diletakkan pada media batu, ia berkata kapada Kang Yauw : „Nona Kang, terima kasih atas perhatianmu. Tetapi kalian tak dapat pergi bila tidak menyerahkan batu pualam ini. Ambillah dan serahkan kepadanya." Bayangan sang ayah mungkin dapat terkenang bila mengingat batu Pualam peninggalannya. Tetapi untuk menolong orang, To It Peng rela menyarahkannya. Di letakan diatas meja batu.
Kim Cu Jin menyerahkan peti batu pualam itu ke pada sinenek, selesai menunaikan tugasnya, ia menarik tangan Kang Yauw yang segera meninggalkan rumah itu. „Cianpwee, kami meminta diri." Katanya. Sinenek membiarkan kedua muda-mudi itu meninggalkan ruangan batunya, la tertawa puas sambil membolak-balik peti batu pulam yang baru diterima. Kang Yauw sampai diluar pintu, mulutnya berteriak : „Saudara To, kami berterima kasih atas kerelaanmu yang menyerahkan peti batu pualam itu. Tetapi tak mungkin kau dapat pergi kelembah Cang-cu-kok digunung es tanpa benda tersebut." Nenek tua tertawa berkakakan, luar biasa puasnya atas hasil yang telah dicapai. „Ha, ha, ha, ha.... Benda ini telah jatuh kedaIam tanganku.
Thian-sim Siang-jin, Siu-jin Mo-say, Biauw-kiang Pat-koay, Thongthian Siang mo..... apa yang kalian dapat lakukan?. ... Ha, ha, ha, ha.......” Nama2 yang keluar dari mulut nenek itu tentunya nama2 dari para tokoh silat kenamaan. To It Peng tidak kenal dengan mereka, tetapi dapat dibayangkan peti batu pualamnya mengandug arti yang luar biasa. Tiba2 terdengar suara 'Prak’ yang keras, ternyata sinenek manekan peti batu pualam pada meja, maka peti itu terpendam didalam meja batu. „Akan kulihat, siapa yang dapat merebutnya lagi?..... Siapa yang dapat merebutnya lagi?" Demikian nenek itu mengoceh. la tertawa, hanya sakejap mata. Tampak wajahnya berubah. „Tak mungkin.....Tak mungkin....." Katanya seorang diri. Tangan yang telah berkeriput diketukkan diatas meja batu, maka timbul pula peti pualam itu, lompat naik sedikit, disambutnya
dengan tangan, mukanya celingukan2 kian kemari, takut ada orang yang melihatnya. Agak bingung ia menyimpan peti batu pualam itu. Menyaksikan segala itu, To It Peng agak geli, tak sanggup ia menahannya didalam hati, maka mentertawakannya : „Makan dan masukanlah kedalam mulutmu. Tentu tidak ada orang yang tahu." Nenek itu sedang terpengaruh ia meletakkan peti pualam kearah mulutnya, ingin dimakannya, tetapi tidak berhasil masuk kedalam. Segera ia tersadar akan kesalahannya. T ak mungkin menelan batu pualam itu ke dalam perut. To It Peng tertawa geli. “Ha, ha, ha, ha....... „Apa yang kau tartawakan?" Bentak sinenek. ,Masih kau tidak mau enyah?" „Akupun sedang mamikirkan untuk pergi dari rumah batumu ini." Berkata To It Peng yang segera barjaIan keluar.
Hujan salju mulai mereda, keadaan diluar rumah batu dan didalam sungguh mempunyai perbedaan yang kontras. To It Peng menggigil dingin. Suatu waktu, nenek tua itu dapat bersikap ramah, tetapi lain saat, sikapnya manjadi galak dan ganas, sukar untuk berkawan dengan manusia sepertinya. Mengingat hal ini, To It Peng membatalkan niatnya yang ingin balik kembali kerumah batu. la menerjang salju meninggalkannya. Baberapa lama ia berjalan, tiba2 terdengar suara2 teriakan aneh yang melengking panjang, itulah suara sinenek dirumah batu tadi. Tentunya ada sesuatu yang terjadi, To It Peng membalikkan badan, ingin diketahui apa yang menyebabkan nenek tersebut mangeluarkan suara yang dapat membangunkan bulu roma itu. Terlihat sebuah gumpalan awan hitam yang bergulung.gulung datang, sebentar saja bayangan ini, telah tiba, terasa badannya menjadi ringan, ternyata bayangan hitam yang bergulung-gulung
datang itu ialah bayangan sinenek tua, tangannya telah mencengkeram To It Peng yang segera dilemparkan keatas udara. To It Peng mangeluarkan suara jeritan kaget, disaat iru tubuhnya telah terapung tinggi, ia membuka kedua matanya, tampak sebutir titik hitam meletak pada saIju putih, itulah sinenek tua yang melemparkan dirinya. Hebat sekali tenaga nenek tersebut, ia terlempar luar biasa tingginya. „Celaka, matilah aku." Kembali sipemuda menutup rapat kedua mata, tidak mau ia me!ihat kebawah, tergetar jantungnya memukul keras, kepala dirasakan tujuh keliling. Disaat tubuh To It Peng hampir menyentuh tanah, terasa ada sasuatu puku!an yang memukul lambung dirinya, tulang2 dirasakan hampir patah, luar biasa sakitnya. T etapi karena datangnya tenaga ini, terhindarlah dirinya dari maut yang mengintai.
la jatuh ditanah bersalju, tertatih-tatih meringis sakit, ia berusaha bangun berdiri. „Bagus, berani kau mempermainkan diriku?" Terdengar bentakannya nenek galak itu. „Permainan apa yang telah kulakukan?" tanya To It Pang menyengir. la manyusut saIju yang menutupi muka dan sekujur badannya. „Bagus, sungguh kau seorang anak bajingan. Dimana kau simpan isi yang tersimpan didalam kotak pualam ini?" Sinenek melemparkan kotak batu pualam kehadapannya. Tampak ukiran2 pemandangan alam yang indah terukir pada isi kotak pualam itu. „Isi apa?" To It Peng menolak tuduhan yang dijatuhkan kepadanya. „Bila kau tidak sudi, biar kuambil kembali. Kotak ini adalah peninggalan ayahku almarhum." Sipemuda mangulurkan tangan siap mengambil kotak pualam itu. Tetapi sinenek lebih cepat, hanya satu kali sawut, kotak batu pualam terjatuh kedelam tangannya yang keriput.
„Lekas katakan, dimana kau simpan isi kotak ini?" Sinenek masih mendesak. „Sudah kukatakan, aku tidak tahu. Orang yang mengambil isi kotak adalah bajingan, bangsat dan binatang. Manusia yang akan dikutuk seumur hidupnya." Sinenek menatap wajah To It Peng yang bersungguh-sungguh, maka iapun percaya akan keterangannya. „Siapa yang memberi kotak ini kepadamu?" Bertanya sinenek lagi. „Saudara Lim Cu Jin dan Kong Yauw tadi." „Salah satu tentunya, bukan? Siapa diantara dua orang itu?" To It Peng telah melupakan hal lama, tak teringat siapa yang memberi kotak batu pualam itu kepadanya, entah Lim Cu Jin, entah
Kang Yauw. la lupa, maka tidak dapat memberi jawaban. „Aku lupa." Katanya. „Hem..... Manusia tak guna, lekas kejar mereka." To It Peng bangun berdiri, tetapi rasa sakit masih menyelubungi sekujur tubuhnya, ia terjatuh kembali. „Kau sendirilah yang mengejar mereka." memandang nenek tua. „Aku tak kuasa bergerak." Sinenek melesatkan diri, ia mengejar Lim Cu Jin dan Kang Y auw. Sepasang muda mudi itu yang dituduh menyembunyikan isi dari kotak batu pualam yang mengandung arti istimewa. ---oo0dw0oo---
BAGIAN 9 TO IT PENG SI JAGO NOMOR SATU ?
SALJU masih turun dengan hebat, tak henti2nya To It Peng menyusut salju yang menutupi wajahnya. Sebentar seja, bayangan hitam dari nenek tua itu telah lenyap, ia mengejar Lim Cu Jin dan Kang Yauw. To It Peng menarik napas panjang. Tiba2 sebuah bayangan hitam balik kembali, cepat sekali, nenek tua itu telah berada dihadapannya, ia menarik tangan To It Peng dan membentak: „Lekas ikut aku. " „Kemana ?" To It Peng bertanya. „Lembah Ceng-cu-kok digunung es” „Me .... mengapa ?" Sinenek melemparkan tubuh sipemuda, terdengar 'ser' 'ser' beberapa kali, ia menggerakkan tangan menotok beberapa jalan darah si-pemuda dungu ini. Sebelumnya, To It Peng me-ringis2 karena menanggung sakit, tetapi setelah manerima beberapa totokan tadi, lenyaplah semua
rasa sakit itu, ia jatuh ditanah salju dengan keadaan segar. „Coba kau totok bebarapa kali lagi." To It Peng ketagihan. Sinenek mengeluarkan suara dingin : „K ini! kau tahu kelihayanku heh !?. Dengarlah perintahku baik2. Tentu bukan sedikit yang akan kau dapat." „Dapatkah aku berkepandaien tinggi seperti dirimu?" To It Peng bertanya penuh harapan. „Mengapa tidak?" Nenek itu mengetahui kedunguan To It Peng. Maka ia memberi jawaban yang sebenarnya. To It Peng me-lompat2 kegirangan. Sedianya Teng Sam ingin mengajak kelembah Cang-cu-kok digunung Es menemui neneknya. Tetapi jago nomor satu dari daerah Liauw-tong itu melarikan diri, ngiprit pergi, setelah melihat kehadiran nenek tua ini. Mudah dibayangkan, betapa tinggi ilmu sinenek. Kini dikatakan ia dapat
memiliki ilmu seperti apa yang dipunyai, mana mungkin tak gembira ? Apa lagi mengingat ia tak tahu jalan. Ada sinenek ingin mengajak kelembah Cang-cu-kok digunug Es. Sejalan satu tujuan. Tak perlu ia manyusahkan diri lagi. “Baik. Kini berilah pelajaran bagaimana memecahkkan bangku batu seperti apa yang telah kau lakukan itu." To it Peng memohon dengan rasa bengga sekali, Mendengar ucapan To It Peng seperti itu sinenek tertegun. Sungguh diluar dugaan. Tetapi hanya sakejap mata. Tidak lama, iapun tertawa. “Oh, mudah." Katanya. „Mari kau ikut padaku." To It Peng mengikuti dibelakang orang tua itu. Sinenek telah tiba pada sebuah pohon besar, disana ia menepuk.... nepuk sekujur badan sipemuda. Maka To It Peng dapat merasakan tenaga2 besar yang masuk kedalam tubuhnya. Ia menjerit-jerit dan berteriak-teriak.
Selesa i menepuk-nepuk, terdengar sinenek berkata: „Pukullah pohon itu." „Memukul pohon yang berukuran tiga kali badanku?" To It Peng tercengang. „Pukul pohon itu! Inilah perintahku." Bentak sinenek. Benar, To It Peng segera membayangkan ia dapat memukul hancur pohon yang ditunjuk. Seperti sinenek memukul hancur bangku batu yang dibuat berkeping-keping. Dengan gerakan kaku, ia muiai mendorongkan tangan memukul pohon. Terdengarlah suara dentuman yang hebat, pohon tersebut berhasil ditumbangkan. „Bagaimana ?" Tanya sinenek tersenyum. “Aku...... Aku yang merobohkan pohon?" Suaranya agak gemetar, saking girang menyaksikan hasil yang dicapainya.
„Tentu saja. Aku telah membuka semua jalan2 darahmu yang tersumbat, telah kuperlebar otot2 kekuatan. Maka mulai hari ini, kau adalah seorang jago kelas satu." Dikampung Ban-kee-chung, berhari-hari bahkan sampai berbulan-bulan To It Peng melatih diri, hasilnya hanya seperseribu dari apa yang kini disaksikan, memang hebat ilmu kepandaian nenek ini. „Suhu, terimalah sembahku." la memberi hormat. Sinenek menggoyangkan tangan, ia mencegah : “Aku bukan gurumu." To It Peng membelalakan mata memandang, ia bingung tidak mengerti.
„Ilmu kepandaianmu telah berimbang denganku, mana mungkin dapat menjadi muridku?" Sinenek tertawa. To It Peng melowekkan mulut, ia tertawa lebar, puas dan bangga. „Biar kucoba sekali lagi." la berkata. Tangannya dikedepankan, ia siap memukul lain pohon. Pada anggapan dirinya, kata2 sinenek itu tak mungkin salah lagi, ia te lah diciptakan sebagai jago nomor satu. Maka wajib mendemontrasikan kehebatannya. Manakala To It Peng mengerahkan tenaga, cepat sinenek mencegah. „Jangan." Katanya. „Kau telah menjadi salah satu jago nomor satu. Tak boleh sembarang mengerahkan, tenaga. Kecuali didalam keadaan terpaksa, tahu?" To It Peng batal meneruskan usahanya, ia menganggukkan kepala sampai berulang kali. la sangat patuh dan taat pada nenek hebat itu.
Maka diingat-nya baik2 pesan sinenek : „Kau telah menjadi salah satu jago nomor satu. Tak boleh sembarangan mengerahkan tenaga, kecuali dalam keadaan, terpaksa." Untuk menciptakan seorang berbakat menjadi seorang jago nomor satu bukanlah tak mungkin sama sekali. Akan tetapi waktu yang diperlukan untuk itu cukup lama, tidaklah ada kemungkinan hanya dengan menepuk-nepuk badan beberapa kali lalu sudah menjadi seorang jago tanpa tandingan. Bagaimana To It Peng dapat memukul tumbang pohon besar dihadapannya, hal tersebut karena sinenek telah menyimpan tenaga2-nya melalui tepukan2 tangan. Maka tersimpanlah tenaga hebat dan kuat, terasa segar dan sehat, T o It Peng -mengerahkan tenaga itu memukul pohon, tentu saja pohon segera tumbang tak
dapat ditawar. Tetapi setelah tenaga simpanan keluar, kembali ia menjadi manusia biasa. Maka sinenek mencegah sidungu memukul untuk kedua kalinya. Tenaga yang tersimpan hanya dapat dikerahkan sekali, tak mungkin dua kali. To It Peng percaya bahwa ilmu kependaiannya telah setaraf denagan tokoh2 kenamaan seperti sinenek, ia telah menjadi seorang jago kelas satu. Luar biasa dan tak terlukiskan rasa girangnya, maka semua orang telah dianggap berada dibawah dirinya, dengan membusungkan dada ia berkata kepada nenek itu : „Maukah kau menjadi kawanku?" „tentu, aku berumur lebih tua darimu, maukah kau memanggilku sabagai popo?" Sinsnek tua berkata. Yang diartikan dengan po-po ialah nenek tua. „Tentu. Hian-u Po-po kan baik sekali." To It Peng memanggil 'Hian-u Po-po’ yang berarti nenek tua berbaju hitam. “Kau ada niatan untuk berkunjung kelembah Cangcu-kok digunung Es, bukan?" Bertanya Hian-u Po-po. “Bukan niatanku. Tetapi paman Teng Sam yang ingin mengajak bertemu dengan nenek tuaku "
„Nenek tuamu? Siapakah nenek tuamu itu?" „Aku tidak tahu. Semua keterangan paman Teng Sebelum dapat kubuktikan." „Siapa ibumu?" Hian-u Po-po bertanya lagi. „Kau katakan kenal baik dengan ayahku. Mengapa tidak kenal ibu? Sudah lama ibuku meninggal dunia. Beliau ialah adik perempuan ketua Ban-kee-chung Ban Kim Sen." Wajah sinenek berubah. „Jadi.... nenek tua yang ingin kau temui itu adalah ibunya Ban Kim Sen” tanyanya. „Eh....Eh....
Kau kenal dengan beliau?'' Hian-u Po-po manggoyangkan kepala dan berkata : „Nenekmu itu aku sendiri tidak kenal dengannya. Bagaimana aku bisa kenal?" „Oooooh....." „Jadi, bukan maksud tujuanmu kelembah Cang-cu-kok digunung Es, bukan?" „Aku tidak bertempat tinggal lagi. Kemanapun boleh” To It Peng memberi jawaban. „Kini bersediakah kau pergi kelembah Cang-cu-kok denganku ?" To It Peng menganggukkan kepala. „Tetapi tidak me lakukan perjalanan bersama. Kau memilih jalanmu dan aku memilih jalanku. Kita berkumpul dimulut lembah Cang-cu-kok." Berkata nenek tua berpakaian hitam itu. „Mengapa?" To-It Peng memandang bingung. „Aku tidak kenal jalan." „Mengadakan perjalanan terpisah bukan berarti meninggalkanmu. Setiap waktu aku dapat memberi petunjuk. Hanya tidak terus menerus denganmu tahu?”
Sungguh. T o It Peng tidak mengerti, baik2 melakukan perjalanan bersama, mengapa harus terpisah, siapakah yang ditakutinya? Ilmu kepandaian sinenek tinggi, iapun telah diciptakan sebagai 'jaqo nomor satu', apa yang harus ditakuti? „Baiklah." lapun menyanggupi. la te lah berjanji untuk mendengar kata perintahnya. Maka tiada banyak bertanya. „Nah, terimelah kembali petimu ini." Hian-u Po-po melemparkan peti batu pualam yang dianggap sebagai pusaka dunia itu.
To It Peng menyambutnya. „Kau mengembalikan padaku?" Benda peninggalan sang ayah wajib dipelihara, tentu sipemuda gembira. „Tentu saja harus dikembalikan kepadamu. Peti itu adalah barang kepunyaanmu, bukan ?" „Mengapa kau berusaha merebutnya?" „Tadi aku hanya memperolok-olokmu saja." „Nah mari kita mulai.” To It Peng menyimpan peti batu pualam dan menggerakkan langkahnya. hati sipemuda sedang senang, maka terasa langkah tersebut sengat enteng sekali, dikiranya hasil pemberian sinenek yang menciptakan dirinya sebagai 'jago nomor satu'. „Mengembil jalan lurus." Hian-u Po-po memberi perintah. To it Peng mengambil jalan lurus, diketahui nenek tua malu berjalan ber-sama2 dirinya, tentunya berada dibelakang memberi petunjuk2 , bila mana perlu. Maka iapun berjalan dengan lenggang. Beberapa saat ia berjalan, tidak terdengar suara langkah derap kaki dibelakangnya, ia menoleh dan tak tampak nenek berpakaian hitam itu. „Hian-u Po-po..... Kau dimana?" la berteriak. Suaranya berkumandang ditanah salju yang putih.
„Tolol!" bentak satu suara. „Bila tidak ada perintahku. Jalanlah lurus kedepan." Inilah suara sinenek berpakaian hitam. To It Peng mendengar suara orang, tetapi tak tampak bayangan2 nenek tersebut. Memang hebat dan aneh sifat2 nenek yang kurang jelas asal usulnya i tu. To It Peng masih tetap menempuh perjalanan ditanah salju , semakin jauh kearah utara, semakin dingin keadaan hawanya. Perjalanan belasan lie lagi, tampak pada permukaan salju ada
titik2 hitam yang bergerak, semakin dekat semakin jelas terlihat, ternyata seorang wanita dengan membokong sesuatu sedang dikejar oleh kereta yang ditarik oleh beberapa anjing ajak. Suara anjing melolong dan menggonggong terdengar santer, To It Peng dapat menyaksikan bahwa wanita itu telah berada didalam keadaan terluka. ”Tangkap wanita jalang......" „Tangkap wanita itu " Demikian terdengar teriakan2 dari kereta yang ditarik oleh anjing ajak itu. Wanita yang sedang dikejar ternyata menggendong bayi, dilemparkan bayi itu kearah To It Peng sambil berteriak : „Tayhiap...... kau..... lekas melarikan diri .... dengan anak itu dan....... dan barang yang ada padanya boleh kau terima sebagai tanda jasa." To It Peng gugup menyambuti bayi yang masih kecil itu, terdengar tangisnya yang memilukam. la gugup, entah bagaimana harus mendiamkannya. Tetapi sang bayi pandai membawa diri, entah mengapa, tangisnya hanya sekejap mata, setelah ditimangtimang oleh To It Peng, iapun terdiam. “Tayhiap Tolonglah kuserahkan kepadamu." Berkata lagi wanita itu memohon.
Dua kali To It deng dipanggil 'tayhiap’ yang berarti 'pendekar besar', sungguh bangga hatinya, hal ini tentunya diketahui ia berkepandaian tinggi, diketahui ia telah menjadi satu jago nomor istimewa, maka keluarlah sebutan itu. Demikian pikirnya didalam hati. „Mereka mau menangkapmu?" tanya To It Peng kepada wanita yang telah penuh luka pada sekujur badannya. Wanita itu mempunyai potongan badan yang menarik, raut wajah yang cantik,
sayang bukan sedikit luka yang diderita. Setelah menyerahkan bayinya ia menyembunyikan diri dibelakang To It Peng. To It Peng membusungkan dada, ia menghadapi para pengejar siwanita muda. Apa guna ia berkepandaian 'jago nomor satu, bila tidak dapat membela keadilan dan kebenaran, menumpas kejahatan dan kedurjanaan, menegakkan hukum yang mulai di pijak2 ? Dua lelaki tegap dengan pakaian kulit rase yang bagus telah lompat turun dari kereta salju, umur mereka diperkirakan berkisar diantara 30-40 an. Mereka melihat kehadiran To It Peng, maka memberi hormat berkata : “Bolehkah kawan ini menyingkir, agar tidak mengganggu urusan kami ?" Ilmu kependaian To It Peng hanya berupa ilmu kepandaian silat kampungan, belum pernah ia melakukan sesuatu yang dapat membela diri sendiri, apa lagi membela orang lain. Hari untuk pertama kalinya ia mau menegakan keadilan dan kebenaran, entah bagaimana ia harus menghadapi dua lelaki itu. „Apa yang kalian mau lakukan?" Hanya kata2 ini yang dapat keluar dari mulutnya. „Wanita jahat ini mencuri sesuatu dari kampung kami” Salah satu dari dua lelaki tersebut menunjuk kearah wanita yang menyembunyikan diri dibelakang To It Peng berkata. „Kami diperintahkan oleh chungcu untuk menangkapnya. Kuminta lebih baik saudara tidak ikut campur didalam urusan ini." Bila bukan To It Peng sidungu yang menghadapi kejadian ini, tentunya ditanyakan dahulu sebab musabab perselisihan, tetapi To
It Peng tidak demikian. Dianggap dirinya telah berkepandaian tinggi, telah diciptakan menjadi seorang jago nomor satu. Tidak seharusnya mereka tidak mamandang mata, wajiblah rasanya untuk menjunjung tinggi dirinya. „Hm ......" Jago nomor satu kita mengeluarkan suara dari hidung.
„Mengapa kalian tahu ia mencuri? Dari kampung mana kalian ?" Dua lelaki itu saling pandang. Salah satu sebaqai wakil memberi jawaban : “Disekitar tempat ini, kecuali Seng-po-chung, mungkinkah ada lain kampung?" To It Peng mengkerutkan alisnya, belum pernah didengar nama kampung Seng-po-chung. “Pernah dengar nama Seng-po-chung ?" tanya lain lelaki yang berada disebelah kiri. „Belum." To It Peng menggoyangkan kepala. „Bagaimanakah sebutan saudara yang mulia?" tanya dua orang hampir berbareng. “Aku adalah jago golongan kelas satu, tak mungkin kalian dapat melawanku. Kembalilah kekampung kalian dan katakan kepada ketua kampung, jangan sekali-kali manghina kaum wanita, apa lagi mengingat wanita ini mempunyai seorang bayi." To It Peng mulai pasang aksi. „Terus terang kukatakan," kata salah satu dari dua lelaki itu, „wanita ini adalah putri wanita Lembah Beracun Kat Sam Nio." Pengetahuan umum To It Peng sangat minim sekali, kecuali pamannya dan beberapa tokoh silat yang pernah dijumpai, tak ada ingatan untuk mencatat para jago2 kenamaan dari luar daerahnya. la, tidak tahu siapa yang diartikan dangan Wanita Lembah Baracun Kat-Sam Nio. Tetapi dari lagu kata, wanita itu seperti seorang yang tidak baik dan disegani. To It Peng menggoyangkan kepala.
„Aku tidak kenal dengan siapa Wanita Lembah Beracun Kat Sam Nio." Katanya. „Tetapi dapat kuketahui anak dari seorang jahat belum tentu jahat. Mengapa kalian mendakwanya jahat ?" To It Peng menunjuk kearah wanita yang telah bermandikan luka dibelakang dirinya.
Dua lelaki setengah umur itu telah bertindak maju, kaki mereka bergerak tegap. Agaknya siap menyergap sipemuda. “Jangan bergerak." Tiba2 To It Peng membentak, suaranya menggelugur. Seperti siap mengajak bertempur. la memasang kuda2, mengambil posisi diarah kanan, Dua orang dari kampung Seng-po-chung saling pandang, melihat pasangan style bertempur orang, tentunya tidak berkepandaian tinggi, mengapa berani menghadang dan bentrok dengan kampung mereka? Tentunya ada sesuatu dibalik keanehan ini. Melihat dua lawannya dapat digertak, semakin tebal kepercayaannya terhadap diri sendiri, terlalu cepat To It Peng mangkultus indiv idukan diri sendiri. “Ilmu kepandaianku sangat tinggi. Tetapi tak akan sembarang menyerang Orang." To It Pang membual diluar pengetahuan diri sendiri. „Maka janganlah kalian memaksakan aku turun tangan. Wanita ini telah terluka, apa guna kalian berlaku kejam padanya?" “Dia terluka?" “Mengapa tidak? „Lihatlah. Darah yang membasahi pekaian dan sekujur badannya itu darah siapa?" Berkata dua orang Seng-po-chung dingin. To It Peng membalikkan kepala dan memperhatikan wanita muda itu, dan betul saja, darah2 itu bukan keluar dari kulit s iwanita muda. Entah dari mana keluarnya, wanita yang disangka luka parah itu ternyata tidak ada tanda2 bekas bacokan atau tusukan pedang. „Itulah darah2 orang kampung kami” Dua orang tadi memberi keterangan.
Wanita yang mereka katakan sebagai anak si Wanita Lebah Beracun Kat Sam Nio itu mendekati To It Peng tiba2 ia merebut anak bayi didalam tangan sipemuda, dengan lain tangan telah mengeluarkan senjatanya yang berupa pedang berduri. Dua orang kampung Seng-po-chung yang siap mendesak termundur kembali, setelah dilihat senjata yang berupa pedang berduri itu. To It Peng tidak tahu bahwa pedang berduri yang dinamakan Tok-hong ji, sangat jahat karena racunnya. Bila golongan pandekar sejati, tak mau menggunakan senjata dengan racun. Maka seharusnya dapat diketahui bahwa wanita muda ini bukan dari golongan pendekat sejati. Ketegangan belum mereda, tiba2 terdengar suara lain, suara ini berupa suara siulan panjang yang seperti orang memberi aba2. Wajah wanita muda itu berubah. “Tayhiap, tolonglah bantu kami ibu dan anak. Setelah orang itu datang, tak mungkin kami dapat melarikan diri." la mulai memohon pada To It Peng. To It Peng membalikkan telapak tangan, maka didorongkan kuat, maksudnya mendesak dua lelaki kekar dari kampung Seng-pochung. Mana tahu, jago nomor satu kita hanya jago gelaran dimulut, terlihat dua orang yang diserang mangeluarkan senjata mereka. Tak terasa ada angin pukulan yang menyerang. Maka terbukalah kedok sipemuda yang tidak berkepandaian. Dua lelaki kekar itu menyerang siwanita muda dan membiarkan To It Peng yang masih bingung karena tak melihat hasil dari ilmu pukulan golongan kelas satunya. „Tayhiap, masih kau tidak mau turun tangan?" Wanita muda itu semakin gugup, ia harus melawan dua orang kuat. Dan masih ada seorang yang lebih kuat lagi akan menyusul tiba.
Berulang-ulang To It Peng mengerahkan tanaganya, memukul dan mendorong, tetapi tiada guna. Tak dimengerti, mengapa tenaganya 'Ienyap'. mendadak. Wanita muda dengan bayi ditangan siap menerjang kepungan, tetapi ia tidak berdaya, dua lelaki kekar telah menutup jalan larinya. Dari jauh terlihat gulungan hijau yang bergumpal menggelinding, cepat sekali bayangan ini bargerak, tiba dihadapan mereka seorang tua dengan pakaian hijau, ia mengeluarkan suara bentakan keras: „Tahan." Wanita muda, dan lelaki dari Seng-po-chung serta To It Peng memandangnya, “Liok Tianglo, mengapa kau turut mengajar?" Terdengar suara wanita muda itu yang melengking dengan jeritan panjang. Orang tua berpakaian hijau itu membungkukkan badan memberi hormat. „Liok Tianglo memberi hormat kepada nyonya ketua." Katanya tidak kurang ajar. „Cis ......" Wanita muda itu meludah. „Setelah aku meninggalkan kampung Seng-po-chung. Dengan sendirinya bukan orang kampung kalian lagi. Tak guna kau manggunakan sebutan 'nyonya ketua' itu." Mendengar percakapan mereka, To It Peng bingung, ia tidak mengerti, dilihat dari keadaan ini, wanita muda itu adalah nyonya ketua dari kampung Seng-po-chung. Mengapa dikejar-kejar oleh orang2nya ? „Kau ingin manangkap diriku bukan?" kata sinyonya muda, „Mengapa belum bergerak?" Kakek berpakaian warna hijau Liok Tianglo tidak mengeluarkan senjata, dengan sabar ia berkata : „Mana berani? Kami hanya ditugaskan untuk meminta nyonya ketua kembali"'
„Liok Tianglo, dia telah mambunuh-bunuhi banyak kawan kita." kata dua lelaki yang menunggang kereta salju. „Hus!, perintah ketua hanya menugaskan kalian untuk mengajak pulang, bukan? Mengapa menempurnya?" Perbedaan yang sangat menyolok mata. Menghadapi wanita muda itu, Liok Tianglo berlaku hormat dan rendah, tetapi kepada dua orang lelaki kekar, ia berwibawa dan membentak-bentaknya. „Bila aku tidak mau kembali kekampung, bagaimana?" Siwanita muda menantang. „Perintah cungcu ialah mengajak nyonya ketua kembali, tetapi bila kukuh tidak mau " “Kau ingin menggunakan kekerasan menangkapku ?" Potong nyonya ketua yang meninggallwn kampung itu. “Bukan." Kata berpakaian hijau Liok Tianglo menggoyangkan kepala. „Chungcu hanya mengharapkan nyonya ketua dapat mengembalikan benda yang dibawa lari itu." „Menyerahkan barang yang kubawa lari ini?" Wanita muda itu tidak setuju. “Kau tahu, apa maksudku menyerahkan diri kepada ketuamu yang sudah tua itu? Bukankah hanya benda ini? Aku lebih rela mati bersama-sama dengan benda yang kurebut. Bila ia tidak mau kehilangan darah dagingnya, tidak memaksaku membunuh anaknya. Menyingkirlah kalian semua." Disimpan senjata berduri, dari samping bayi yang di gendong dikeluarkan pedang tua, dengan pedang ini si wanita muda mengancam bayi yang dibawa olehnya. Lagi2 kejadian yang sukar dimengerti oleh To It Peng. Bayi itu sungguh lucu, ia memutar-mutarkan bola matanya memandang pedang yang diarahkan kepada dirinya, dan diketahui bahwa yang mengarah itu adalah ibu kandungnya. Maka ia tidak takut.
„Masih kalian tidak membiarkan aku pergi ?" Bentak wanita muda kepada Liok T ianglo sekalian. „Eh.....Eh ....." T o It Peng sidungu berteriak. „Mengapa kau mau manikam anak sendiri?" „Bila mereka tidak menakuti dibelakangku. Tentu aku tidak akan membunuhnya. Percayalah padaku, tiga bulan kemudian, setelah aku tiba ditempat yang akan. Anak ini akan kukirim kembali kekampung Seng-po-chung" Kata aanita muda itu. „Dan bagaimana dengan...... dengan itu pedang Hui ie?" tanya Liok T ianglo. „Diusut pulang pergi. Maksud tuyuanku ialah pedang ini. Janganlah menyebutnya lagi." Wanita muda itu berkata sedih. Kakek berpakaian warna hijau Liok Tianglo menghela napas, ia berkata: „Nyonya ketua,.... kuharap kau dapat memegang janji." „Legakanlah hatimu" jawab siwanita muda. „Anaknya adalah anakku juga. Bila kalian terlalu mendesak, mungkinkah aku mancelakakan anak sendiri?" „Tentu saja tidak." Tiba2 To It Peng turut campur perkara. „Liok Tianglo, percayalah kepada keterangannya." Liok T ianglok tidak melayani T o It Peng. la menatap wanita muda itu berkata : „Siapa yang akan ditugaskan mengirim pulang anak ketua?" „Nah, disinilah orangnya." Wanita muda itu menunjuk kearah To It Peng. „Aku?" Sipemuda 'menunjuk kehidung sendiri. la bingung. Tidak mengerti apa yang menyebabkan mereka menunjuk dirinya. „Tayhiap," kata wanita muda itu halus. „Hal ini tidak terlalu sulit. Aku percaya, kau dapat melakukan dan bersedia menerimanya."
„Oh .... Tentu ....Oh .....Tentu ....." To It Peng menjadi lunak bila mendengar panggilan sura 'tayhiap' yang berarti ‘pendekar besar'. Maka lupalah segala-galanya. „Akan kujamin anak itu pulang kekampung Seng-po-chung." Liok T ianglo memandang To It Peng bertanya : „Siapa saudara ? Dari golongan mana dan siapa yang manjadi guru saudara ?" „Namaku To It Peng. Tak diketahui aku harus masuk kegolongan apa. Tetapi aku mempunyai seorang kawan, seorang nenek tua berpakaian hitam Hian-u Po-po." Wajah sikakek hijau Liok Tianglo barubah sebentar. Tetapi ia segera memberi jawaban : „Baiklah, Tetapi ingat, anak ini adalah putra tunggal dari ketua kampung kami. Kuharap kau dapat melakukan tugas dengan baik. Ketua kami tentu tidak akan melupakan budimu." „Tentu saja. Hal ini sudah kujanjikan, bukan?" Liok Tianglo mamandang kearah dua lelaki kekar, ia memberi perintah untuk pulang. Dua lelaki itu penasaran, tetapi mereka tidak berani me lawan Tianglo, mereka menuju keareh kereta dengan ogah2an, maksudnya ingin pulang. „Tunggu dulu." terdengar suara teriakan2 siwanita muda. „Tinggalkan kereta salju itu, aku membutuhkan untuk perjalanan jauh." Liok Tianglo tidak banyak debat, ia melulusi permintaannya. Maka dengan mengajak dua orang kampung Seng-po-chung. Liok Tianglo meninggalkan T o It Peng dan sinyonya ketua. ---oo0dw0oo---
BAGIAN 10 SINYONYA MUDA KAT SIAUW HOAN
SALJU belum berhenti, hawa agak dingin. Wanita muda itu membungkus anak bayinya, ia menunjuk kereta salju dan naik keatas kereta tersebut. la menggapekan tangan kepada T o It Peng dan berkata: „Mari." „Aku....." Maksud kata2 To It Peng ialah 'Aku tidak dapat turut denganmu. Aku ingin pergi kelembah cang-cu-kok'. Tetapi ia tidak menolak ajakan itu, maka tidak meneruskan ucapannya. Bagai kena hypnotis. T o It Peng mendekati kereta salju. Tiba2 ia terkejut, terasa ada sesuatu yang menyentuh tangannya. Ternyata tangan wanita muda itu telah memegangnya. „Lekas naik." Suara itu sungguh merdu. Seumur hidupnya, baru pertama kali ini ia ditarik oleh tangan yang halus. Hatinya memukul keras, berdebar2 atas apa yang belum lama dirasakan. Terdengar suara tertawa cekikikan wanita muda itu. To It Peng telah ditarik naik keatas kereta salju. „Oh.... Oh..... tanganmu ini sungguh cantik sekali." Mulut To It Peng mengoceh. Wanita muda menarik kembali tangannya, ia melepas kan pegangan berkata : „Kendarailah kereta salju ini." To It Peng tersadar. la menarik les kereta, maka anjing2 ajak bergerak, lurus maju kedepan. Luar biasa kecepatan mereka. Maka, dikala hari mulai menjelang malam. Mereka telah melakukan perjalanan lebih dari 70 lie. „Hentikan..... hentikan......" Wanita muda itu memberi perintah. To It Peng menarik tali les keras. Maka kereta salju terhenti. la memandang siwanita muda, entah apa yang diinginkan. „Jangan kau memandangku." Berkata wanita muda itu dengan wajah memerah. "Anak ini sudah waktunya makan."
„Makan ?..... Oh..... ya..... Aku lupa." Berkata T o It Peng gugup.
„Anak bayi harus minum ........." To It Peng menunjuk dada orang, kelakuan ini sungguh ceriwis sekali. Segera teringat tidak patut ia menunjuk-nunjuk seperti tadi. Tangannya ditarik cepat. Wajahnya merah malu, dan untuk menghilangkan rasa canggunya ini, ia memukul tangan yang kurang ajar tadi. To It Peng memalingkan arah mukanya ketempat Iain. Beberapa saat kemudian, baru terdangar suara siwanita muda yang memanggil: „To Tayhiap, kau boleh membalikkan badan." To It Peng memandang wanita muda itu, bayi telah selasai disusuinya, dan dibungkusnya dengan kain lagi. „To tayhiap, aku berterima kasih atas pertolonganmu." kata wanita itu. „Aku .....aku hanya melakukan sesuatu yang wajib. Sebenarnya aku telah digolongkan kedalam para jago nomor satu, tetapi entah mengapa tenagaku tak dapat digunakan." Wanita muda tersenyum, ia tidak membongkar rahasia. „Namaku Kat Siauw Hoan." la memperkenalkan diri. „Nona Kat......." „Beruntung aku menjumpaimu." Kat Siauw Hoan mengeluarkan pedang pusaka yang dimain-mainkan olehnya. „To tayhlap, kau seorang jujur, bukan?" „Apa maksudmu ?" „Aku percaya kepadamu. Aku ingin meminta pertolonganmu." „Untuk kepentinganmu. Aku siap ingin melakukan. „Baik Kini akan kuserahkan anak kepadamu” „A..... Anak ? ...... Aku tak dapat memelihara anak." Berkata To It Peng gugup.
„Bukan menyuruh mu memelihara sendiri." Kat Siauw Hoan berkata. „Pada bungkusan sianak tersedia bekalan emas yang
cukup. Bila kau menuju kearah barat 10 Lie lagi disana terdapat sebuah desa, dengan uang bekalan yang tersedia, kau boleh membeli rumah dan memelihara seorang. pangasuh. Tiga bulan kemudian, kau boleh bawa anak ini kekampung Seng-po-khung." „Dimanakah letak Seng-po-khung?" „Pada tempat pertemuan kita tadi, berjalan tidak lebih dari 7 Lie, kau akan bertemu orang, meraka akan memberi tahu dimana letak Seng-po-khung." Kat Siauw Hoang menyerahkan anak bayinya kepada sipemuda. To It Peng manya.nbuti dengan ragu2, baru pertarna kali ini ia menggendong seorang anek bayi, sangat ber-hat,2 ia ms•nimang2nya. „Dan . . . . Dan kau ingin kemana?" To It Peng bertanya. Kat Siauw Hoan tidak memberi jawaban. Tiba2 saja ia memeluk tubuh dan merangkulnya, dikecupnya perlahan dan melesat pergi, meninggalkan T o It Peng, meninggalkan anak bayinya. Kejadian berlangsung hanya beberapa detik, bagi T o It Peng, tak akan dilupakan untuk seumur hidupnya. Lama sekali ia terpatung ditanah salju. Disaat sipemuda tersadar, tak terlihat bayangan2 Kat Siauw Hoan. Hanya kenangan mesra yang ditinggal kan olehnya. Pada tangan To It Peng masih tergendong anak bayi Kat Siauw Hoan. Menurut petunjuk2nya, ia naik kereta salju dan melanjutkan perjalanan sehingga tiba didesa yang dimaksud. la turun dari keretanya, memperhatikan anak didalam gendongannya, anak ini telah tersadar, ia tartawa manis.
To It Peng menundukkan kepala, ia terbayang kepada wajah Kat Siauw Hoan, wajah itu terbayang kembali kepada anak yang berada padanya, ia mencium.
Mencium seorang anak kecil adalah hal yang sangat lumrah, tetapi karena a lam pikiran sipemuda penuh khayalan2 muluk, disaat mulutnya mengenai kepala kecil s ianak bay i, hampir hatinya lompat keluar. Anak yang Kat Siauw Hoan tinggalkan disertai uang emas yang cukup, hanya dengan uang, manusia dapat bekerja bebas. To It Peng tak dapat mengurus seseorang bayi, tetapi uang dapat mewakilinya, ia membeli rumah, memanggil pengasuh untuk membesarkan anak bayi peninggalan wanita yang pernah memberi ciuman kepada dirinya. Hari berganti hari, bulan ketemu bulan Tiga bulan kemudian. Anak bayi peninggalan Kat Siauw Hoan telah membesar. cukup waktu untuk To It Peng mengembalikan anak ini kepada ayahnya. Setiap hari, To It Peng melamun, mengharapkan kedatangan Kat Siauw Hoan, karena la mengerti bahwa wanita muda itu tahu mereka menetap didesa Ini, seharusnya datang menjenguk anak yang ditinggalkan. Tetapi To It Peng kecewa, Kat Siauw Hoan pergi, bagaikan tertiup angin lewat, tak pernah memunculkan dirinya kembali. Hari ini, telah genap tiga bulan. Dangan mangajak sipengasuh dan anak bayi itu, To It Peng menyewa kereta untuk menuju perkampungan Seng-po-khung. Musim telah berganti, tak terlihat tanda2 salju lagi, bunga2 bersemi, burung2 berkicauan girang menyambut kedatangan jaman bahagia mereka. Kereta To It Peng meninggalkan tempat dimana mereka
menetap. Maka beban berat ini akan segera lewat. Pada saat ini to It Peng teringat akan perjanjiannya dengan s inenek berpakaian hitam Hianu Po-po, tentunya ia telah menunggu lama dilembah cang-cu-kok. Marahkah bila tidak menemui dirinya berada ditempat itu?
To It Peng melakukan perjalanan dengan tidak mengenal waktunya, maka jarak 200 lie telah dapot di lewatkan. Pada hari berikutnya, ia telah mulai memasuki daerah perkampungan Sengpo-khung. Jalan kereta mulai diperlambat, tiba2 terdengar suara derap kaki kuda yang manyusul dari belakang. Tiga penunggang kuda yang terdiri dari laki2 berbadan kekar telah berhasil melewati kereta To It Peng. Mereka menghentikan kuda dan menghadang kereta. Kereta terhenti, To It Peng segera sadar akan bahaya. Tetapi ia tidak takut, dikatakan oleh Hian-u Po po bahwa ia telah diciptakan sebagai jago nomor satu, apa yang harus ditakuti? Tiga lelaki berbadan kekar lompat turun dari kuda masing2, mereka memberi hormat. „To tayhiapkah yang datang?" Mereka bertanya. To It Peng mengkerutkan dahi, mengapa ketiga orang yang tidak dikenal ini dapat menyebut dirinya? Tetapi segera ia memberi jawaban yang dianggapnya sangat masuk akal, diketahui bahwa dirinya telah menjadi jago nomor satu, tentunya telah terkenal dan termasyhur, gambarnya teringat oleh mereka, maka tidak terlalu sukar dikenal. Sudah selayaknya seorang jago nomor satu dijunjung orang. „Betul. Aku To It Peng." Katanya. „Ada urusankah kaIian?" „Kami bertiga adalah orang utusan Seng-po-khung, telah lama menunggu kedatangan To Tayhiap. Didalam kereta tentunya turut serta anak ketua kami, bukan?" „Betul."
„Nah, rasanya To Tayhiap tak perlu manyusahkan diri lagi. Serahkanlah kepada kami disini. To It Peng tak pernah membayangkan segala rangkaian kejadian yang akan dihadapi, seharusnya ia menyerahkan anak ketua Sengpo-khung itu kepada tiga lelaki yang minta. Tetapi didalam hal ini tersangkut Kat Siauw Hoan yang parnah memberi sesuatu kepadanya. Mengapa ia menggoyangkaa kepala.
„Tidak, anak ini akan langsung kuserahkan kepada ayahnya.... Demikian ia berkata: „ya." Berkata tiga orang tadi hormat. „Bolehkah kami melihat anak itu?" „Tentu saja." To It Peng segera memberi perintah kepada sipengasuh untuk membawa anak itu keluar dari kereta. Sipengasuh adalah seorang wanita setengah umur dengan badan kekar, digendongnya anak Kat Siauw Hoan keluar dari kereta. Tiga lelaki berbadan kekar depat menyaksikan wajah sianak yang sedikit banyak membawa wajah ke tua mereka, luar biasa sekali girangnya. Satu yang berada dimuka berkata : „To tayhiap, kau hebat. Ketua kami tentunya akan gembira menerima anak ini." To It Peng bukanlah seorang yang kemaruk denqan harta, ia menjalankan tugas itu hanya karena wajah Kat Siauw Hoan iang cantik menarik. Sebenarnya, ingin sekali dapat bertemu kembali, sayang Kat Siauw Hoan tidak pernah menemui anaknya, berikut juga dirinya. Kini anak ini akan diberikan kepada ayah kandung yang berhak, maka lenyaplah semua harapan untuk bertemu dengan Kat Siauw Hoan. la menarik napas panyang. „Biar kami bertiga mengiring ke Seng-po-khung." Barkata satu dari tiga lelaki berbadan kekar itu. „Maka bila sampai terjadi sesuatu apa dijalan, kami dapat membantu."
„Eh, mungkinkah ada orang yang berniat mengganggu?" To It Peng heran. „Siapa tahu kejadian berikutnya." „Baiklah. Kalian bertiga boleh turut serta." Maka To It Peng dan ketiga orang tadi melanjutkan perjalanan. Tiga orang itu sebagai orang2 Seng-po-khung, tentu mengerti jalan, tak perlu To It Peng menyusahkan hati bertanya-tanya lagi.
Hanya beberapa saat, didepan mereka tampak gulungan hijau yang mendatang cepat. Tiba dihadapan mereka, ternyata seorang tua dengan pakaian hijau, inilah Liok Tianglo dari Seng-po-khung. To It Peng tak dapat dikatakan pintar, tetapi ia tahu belum tentu ketiga orang yang berjalan dengannya itu orang dari Seng-pokhung. Kedatangan Liok Tiang-lo segera melenyapkan keraguraguannya. „Nah, Liok T ianglo telah tiba." Tiga orang itu berseru girang. Liok T ianglo memberi hormat kepada To It Peng dan berkata : „To tayhiap sungguh memegang janji. Tentunya dengan anak ketua kami." „Betul." To It Peng membalas hormat orang. „Anak ketua kalian berada didalam kereta." „Setelah mengalami perjalanan jauh, tentunya To tayhiap capai dan Ielah. Ketua kami sangat kangen dengan anaknya itu. Perpisahan tiga bulan semakin merindukannya. Biar kubawa dahulu anak tersebut, dan kalian berjalan per-lahan2," „Ng...... Ng..... Kurasa tidak tepat." Tolak To It Peng. Nyonya ketua kalian memberi perintah agar menyerahkan anaknya langsung kepada ketua kampung. „Ha, ha...... To tayhiap hebat." Liok T ianglo tertawa. „Aku adalah salah satu dari lima tianglo dari lima warna dari Seng-po-khung. Mungkinkah tidak percaya?"
Masih To It Peng menggoyangkan kepala. „Tak depat kuserahkan kepaka kalian." Ketanya. „Baiklah." Agaknya Liok Tianglo seperti mengalah. „Tetapi bolehkah kulihat sebentar?" Liok Tianglo memandang kepada lelaki berbadan kekar, la memberi isyarat mata kepada mareka. Tanpa menunggu jewaban lagi, Liok Tianglo membuka kereta, diseretnya sipengasuh, maka
terdengar suara jeritannya yang mangerikan. Liok Tionglo Tidak perduli, ia merebut sianak dari tangan pengasuh dan menentanq wanita apes itu. Setelah mana, dengan membawa anak Kat Siauw Hoan, Liok T ianglo melarikan diri. Gerakan ini diusul olah tiga lelaki berbadan kekar yang ternyata satu komplotan dengan tianglo berpakaian hijau itu. Manakala Liok Tianglo me longok kereta, To It Peng menyangka hanya bersifat melihat anak ketuanya. Tidak tahu terjadi perubahan yang cepat. Disaat ia tersadar. Wanita pengasuhnya telah ditendang kaluar dari kereta dan tewas disaat itu juga, Liok Tianglo telah melarikan anak Kat Siauw Hoan, disertai oleh tiga lelaki Sang-po-t yhung. „Hei, ...." To It Peng berteriak. „jangan kalian larikan." Liok Tianglo dan tiga kawannya tidak memberi sahutan, mereka melarikan diri cepat, sebentar saja hanya tinggal 4 buah titik bayangan, dan tidak lama, bayangan2 itupun lenyap. To It Peng mengejar. „Hai, kalian orang2 dari Seng-po-khung mangapa tidak tahu aturan ?" la masih berteriak-teriak. To It Peng tidak berhasil mengejar. Maka anak Kat Siauw Hoan yang diserahkan kepadanya turut lenyap, la berdiri bingung, diketahui bahwa Liok Tiang-lo itu orang dari Seng-po-khung. Mengapa harus meIarikan anak ketuanya?"
Bahkan membunuh mati sipengasuh anak yanq susah payah membesarkannya? To It Peng berdiri menjublak, apa artinya langkah Liok tianglo? Dua ekor kuda lari manyusulnya, sebentar mereka tiba dihadapan To It Peng. Kuda dihentikan mendadak, menimbulkan debu yang mengulak naik, beberapa batu memukul T o It Peng, sehingga terasa sangat sakit sekali.
„Saudara To It Peng kah?" tanya dua penunggang kuda yang segera lompat turun dari kuda tunggangannya. Mereka terdiri dari dua kakek yang msenggunakan pakaian hitam dan kuning. „Benar." To It Peng tidak puas atas sikap mereka yang menyebut dirinya 'saudara' dan tidak menggunakan istilah 'tayhiap' lagi, ternyata bahasa itu telah turut lenyap juga. „Dimanakah anak ketua kami?" tanya sikakek baju hitam. To It Peng segera tahu, lagi2 orang Seng-po-khung yang kurang ajar. „Hmm...., kalian sungguh kurang ajar." Berkata To It Peng. „Kalian kurang ajar." Orang tua yang berpakaian kuning mengulurkan tangan, maka tercengkeramlah pundak To It Peng. „Aduh" jerit To It Peng kesakitan. „Lekas, katakan, dimana anak ketua kami?" Bentak orang itu keras. „Aduh. Lepaskanlah tanganmu." To It Peng tidak berdaya untuk menghadapi orang ini. Id lupa bahwa dirinya telah menjadi jago nomor satu yang tak seharusnya dikalahkan orang secara mudah. „Aku segera melepaskan dirimu, setelah kau membawa anak ketua kami." „Kalian kurang ajar. Belum lama telah menyuruh orang merebutnya. Kini masih membentak bentak lagi."
Wajah dua orang tua itu berubah. „Siapa yang merebut anak ketua kami dari tanganmu?" suara orang ini agak gemetar. "Orang kalian. Liok Tianglo." To It Peng memberi keterangan. „Lepaskan tanganmu." „Kemana larinya?"
„Tuh" „Dua orang itu saling pandang. Maka tangan yang memegang To It Peng terlepas. cepat sekali mereka lompat naik keatas kuda tunggangannya, les ditarik dan kuda2 itu lari menuju kearah yang To It Peng tunjuk. „Gila.... Gila...." To It Peng jatuh terduduk. „Aku menemukan orang2 yang sudah mulai gila." Disaat ini ia tengkurep, maka menengadahkan kepalanya, ia membuka kedua mata yang tertutup, takut kena abu. Disaat membuka kembali, berdiri dihadapannya seseorang yang berpakaian putih, orang ini telah berumur lebih dari 40 tahun, sikapnya dingin dan kaku, dengan pakaiannya yang serba putih, tak beda dengan seorang mayat yang baru bangun dari kuburan. „Kau.... kau.... bila berada dihadapanku?" Bertanya To It Peng gugup. Orang tua berpakaian serba putih itu menyeringai, „Kau To It Peng, bukan?" ia bertanya singkat. Tak ada tanda2 yang menyatakan manusia biasa. „Betul." kata To It Peng. „semua orang telah kenal denganku." „Mungkinkah telah terjadi sesuatu dengan anak ke, tua kami?" tanya lagi orang tua berpakaian putih itu dengan kaku. „Ouw.... Kau juga dari Seng-po-khung?" To It Peng tidak takut lagi. „Hal yang sangat lumrah. Anak ketua kalian dibawa oleh Liok Tianglo."
Orang tua berpakaian serba putih itu seperti telah mengetahui sesuatu apa ia tidak ter-gesa2. „Sayang Liok Tianglo itu terburu nafsu." kata laqi To It Peng. Hatinya pun tidak baik. Bukan saja telah me larikan anak ketua kalian, lapun membunuh sipangasuh yang tidak berdosa." Orang tua itu menganggukkan kepala.
„Kau melihat tiga penunggang kuda?" Tanyanya. „Betul. Orang2 itu turut sarta Liok Tianglo." „Dan dua penungganq kuda lainnya, salah satu dari dua orang ini berpakaian lurik ." „Dua orang yang belakangan mengejar Liok T ianglo sekaIian. " „Ng......" Orang tua berpakaian serba putih ini ternyata mempunyai kesabaran yang luar biasa. „Baiklah. Kini kau boleh turut ke Seng-po-khung." „Bagus. Aku ingin berjumpa dengan ketua kalian." To It Peng berseru. „Akan kutanyakan kepadanya, mangapa mangutus manusia yang sebangsa Liok T ianglo? Siapakah namamu?" „Kau panggil saja Pek Tianglo." „Oooo.... ternyata derajatmu sama dengan Liok Tianglo. Salah satu dari lima T ianglo dari Seng-po-khung?" „Kau memang pintar." Pek Tianglo memuji. Belum pernah To It Peng dipuji orang 'pintar', sungguh enak didengar kata2 pujian Pek Tianglo tadi. Bagaikan menunggang awan, kenangannya melayang layang tenang. „Pek Tianglo," Panggilnya. „Aku....... aku ingin menanyakan sesuatu." „Silahkan:' Berkata Pek Tianglo. „Nyonya ketua kalian....... setelah meninggalkan Seng-po-khunq, pernah kembali lagi ?" Wajah Pek Tianglo yang dingin adem semakin menakutkan.
„Tak pernah." la memberi jawaban singkat. „Tahukah kau...... Di mana ia menetap?" Sidungu tidak tahu malu. „Tidak tahu." Wajah Pek Tianglo semakin tak enak diIihat. „Sekiranya.......”
Belum selesai To It Peng mengajukan pertanyaan, tangan Pek Tianglo telah bergerak, sebelum sipemuda tahu apa yang terjadi, ia jatuh tengkurap, badannya mengaku, ternyata Pek Tianglo telah menotok dirinya. Selesa i merobohkan sibawel, Pek Tiarglo me lesat, ia m=ngejar dua kawannya. Ternyata Liok Tianglo telah berhianat, dan Oey Tianglo serta Hek Tianglo sedang membikin pengejaran, ia harus cepat2 membantu. To It Peng tak mengerti apa yaig terjadi, jalan darahnya telah ditotok, tak dapat ia bicara. To It Pang mengeluh didalam hati. Tetapi tldak berdaya. Apa long dapat dilakukan olehnya? Kcec'dali tarbaring dongan tengkurep. la terbaring untuk waktu yanq cukup lama. Suatu waktu terdengar derap Iangkeh seseorang. Orang ini menuju ketempat dtmana to It Peng terbaring. Sipemuda segera mengambil putusan, tak perduli s iapa, bila jalan darahnya telah mendapat kebebasan, ia akan memukulnya. Manakala ia berpikir seperti itu, terdengar suara orang terkejut „Aaaa....." maka jalan darah terasa mendapat getaran dan To It Peng dapat bebas. la lompat cepat, 'Hait' memukul dengan sekuat tenaga. Didalam pernilaiannya, tenaqa yang dikeluarkan penuh ini tentu dapat menggempur sang Iawan, karena la jago nomor satu. Orang itu menyingkir, maka To It Peng ngusruk hampir jatuh. cepat dibenarkan posisi kedudukannya, segera ia membentak :
„Siapa kau?" Seorang gadis kecil yang berumur 13 tahun atau 14 tahun berdiri dihadapannya denqan wajah terheran2. „Eh, kau juqa dari Seng-po-khunq?" Bertanya To It Peng heran. Gadis kecil itu tidak membari jawaban. Sebaliknya bertanya:
„Kau yang bernama To It Peng? cicie Kat Siauw Hoan pernah mengatakan tentang dirimu. Dikatakan bahwa kau seorong yang baik hati. Mengapa memukulku setelah kubebaskan totokan yang mengekang dirimu?" „Ooooo ... Ooooo .... Nona Kat yang menyuruh menjumpaiku?" Bertanya To It Pang cepat. Sudah la na ia rindu kepada nyonya muda itu. „Betul. Mengapa kau ingin memukulku ?" tanya sigadis kecil. „Maafkanlah kesalahanku. Dimanakah nona Kat berada?" tanya To It Peng lagi. „Mari kau ikut aku." kata gadis kecil tersebut. la membalikkan badan dan melesat cepat. To It Peng pernah merasakan sesuatu, Kat Siauw Hoan sangat berkesan didalam lubuk hatinya. Segara ia menyusul dibelakang gadis kecil yang mengajak dirinya. Berjalan sekian lama, belum juga mereka tiba, To It Peng hilang sabar. „E, dimanakah nona Kat berada?" tanya To ItPeng. „Tak jauh lagi." Berjalan beberapa lie lagi, hari telah menjadi ma lam. Mangikuti sigayis kecil, To It Peng telah tiba pada sebuah tempat yang ditumbuhi banyak pepohonai. Lewat dari pohon2 itu, mereka tiba disuatu tempat yang berbentuk huruf T, pada kedua tepinya berupa tebing tinggi, hanya tengah2 tebing itu yang berupa d yalan.
Sigadis kecil berjalan setengah bagian, setelah itu, tiba2 ia menarik oyot2 pohon merambat dan naik keatas tebing. Luar biasa cepatnya. Untuk kepandaiaFl lainnya, mungkin To It Peng tidak becus, betapi didalam kepandaian msrambat pohon atau tebing tinggi,
karena sering ia melakukan pekerjaan semacam ini, tak kalah cepatnya, ia mangikuti dibelakang sigadis itu. Mereka tiba dipuncak tebing menjelang hampir tengah malam. Keadaan ditempat ini ternyata cukup luas dan lebar. Pada penataran diatas tebing itu terdapet sebuah rumah. Sigadis kecil mangajak To It Peng masuk kedalam rumah tersebut. „cicie Kat, eku teleh membawa orang yang lngin kau temui." kata sigadis kecil kedalam rumah. Hati To It Peng memukul keras, berdebar-debar dan tak dapat ditenangkan. „To tayhiap.... kau.... kau telah datang?" Terdengar satu suara yang sudah lama dikenang. To It Peng cepat2 masuk: „Betul, aku telah datang." Katanya. Suara Kat Siauw Hoan telah membuat getaran jiwa yang hebat. „To tayhiap, datanglah kemari." Terdengar suara Kat Siauw Hoan lagi. Mengikuti arah datangnya suara, To It Peng dapat melihat sesosok tubuh yang terbaring dipembaringan. Disana hanya terdapat sebuah penerangan kecil, sinarnya sangat suram, sukar untuk menyaksikan keadaan yang sebenarnya. To It Peng menghampiri pembaringan. la terkejut, seorang wanita cantik terbarinq dengan lemah, keadaannya mengenaskan, ia sangat kurus, inilah Kat Siauw Hoan, hampir sukar dikenali, perubahan selama tiga bulan sungguh hebat luar biasa. „Nona Kat, kau sakit?" tenya To It Peng.
Kat Siouw Hoan mengulurkan tangan, maka dipegangnya tangan To It Peng keras. „To tayhiap, bagaimana dangan keadaan anak. Baik2 sajakah dia?" Ucapan pertama yalah menanyakan kesalamatan anaknya.
„Baik” To It Peng memberi jawaban. „le berada didalam keadaan segar." „Tentunya telah kau antar pulang ke Seng-po-cung?" Kei Siauw Hoan bertanya lagi. „ya ...... To It Peng Ingin memberi keerangan tentang Liok Tianglo yang merebut anak itu. Tetapi ia batal bicara. Diketahui Liok Tianglo edalah orang Song po-khunq. Same saja menyerahkan kepeda Seng-po-khunq. Agaknya tak mungkin terjadi sesuatu. Apa lagi mengingat keadaan Kat Siauw Hoan yang berada didalam penyakitan, tak baik melukai hati seorag yang lagi berada didalam keadaan sakit. „Sukurlah” Kat Siauw Hoan mengeluarkan suara keluhan napas lega. „Bagaimana dengan keadaanmu?" To It Peng bertanya. „Kau seperti sedang menderita sakit. Hebatkah penyakitmu?" „Tak mengapa." Barkata Kat Siauw Hoan. „Setalah melihatmu. Maka aku seperti telah melewatkan waktu selama tiga bulan seperti mengimpi. To It Peng marasakan kehangatan long tak tarhingqa. la mambiarkan tangannya berada didalarn pegangan tangan Kat Siauw Hoan. „To tayhiap" Panggil. Kat Siauw Hoan. „Aku ingin mangajukan suatu permintaan kepadamu. Dapatkah kau melulusi ?" „Nona Kat, aku bersedia melulusi segela permintaanmu." kata To It Peng gembira. Kat Siaw Hoan memandang lama, dengan perlehan i-i berkata:
„Permintaanku ini tak mudah dilaksanakan. la harus memakan waktu lama." "Berapa lama permintaanmu akan kululusi." jawaban To It Peng sangat tegas.
„Kau akan diganggu selama belasan tahun: Permintaan yang harus memakan waktu belasan tahun? Permintaan apakah yang memakan waktu selama ini? ---oo0oo---
BAGIAN 11 PERMINTAAN YANG MEMAKAN WAKTU
TO IT PENG bengong terlongong. Tak pernah terpikir didalam otaknya, permintaan apa yang Kat Siauw Hoan akan ajukan. „Kau…... kau tak bersedia?" tanya Kat Siauw Hoan putus harapan. Melihat sikap sipemuda yang ke ragu2an, tahulah ia apa yanq sedang dipikirkan. „Bersedia……. Bersedia…." Tukas To It Peng cepat. Pada wajah Kat Siauw Hoan yang kurus pucat itu tampak rasa girang. „Aku tahu, kau pasti dapat meluluskannya." Wanita muda itu berkata. „Katakanlah. Apa permintaanmu itu" „Tolong kau tutup pintu." Kat Siauw Hoan meminta. Sigadis kecil telah pergi entah kemana, To It Pang menutup pintu. Maka didalam kanar tarsebut hanya tinggal dirinya dengan Kat Siauw Hoan berdua, ia menghampiri pambaringan dan memandang tajam. „Duduklah disisiku." Kata Siauw Hoan meminta „Banyak sekali kata2 yang ingin kusampaikan kepadamu."
To It Peng ragu2, hatinya memukul kembali, luar biasa kerasnya, berdebar-debar dan hampir ia tak tahan godaan.
Kat Siauw Hoan menarik napas „Kau tidak ingin menggembirakanku?" ia bertanya lemah. To It Pang belum berani bergerak. „Mungkin karena aku sakit, maka wajahku manjayi menakutkanmu, bukan ?" tanya wanita muda yang sangat cantik itu. „Kau tidak mau dekat denganku?” To It Peng menggoyangkan kepala barkata : „Bukan, kau cantik,…..Kau masih tetap menarik." „Mengapa kau tidak bersedia duduk disisiku?" To It Peng duduk dipambaringan Kat Siauw Hoan. „To tayhiap kau saorang baik. Tetapi aku wanita jahat, wanita busuk yang telah melarikan diri dari suamiku."Kat Siauov Hoan berkeluh kesah. Tentunya kau mammdang rendah padaku bukan?" „Siapa yang memandang rendah?" To It Peng membantah. „Kau tahu. Aku adalah isteri pelarian Seng-po-khung."
„ya. Tetapi aku tidak memandang rendah dirimu. Kau melarikan diri dari Seng-po-khung, tentunya ketua Seng-po-khung yang bangsat." „Ketua Sang-po-khung bukannya seorang bangsat." kata Kat Siauw Hoan lemah. la memandang api lilin yang memain, kadang2 bersinar terang, kadang2 suram. Suatu perbandingan dengan hidup dirinya. „Kau……" To It Peng memandang wajah wanita itu, ia heran. „Aku menyesal atas seqala apa yang telah kulakukan. Sayang telah terlambat." kata Kat Siauw Hoan. „Eh, betulkah kau bersedia membantuku?" „Tentu." To It Pang hampir berteriak. „Mengapa tidak meu membantuku? Aku bersumpah, bila aku, To It Peng tidak berniat membantumu, maka….."
,.Sudahlah. Aku tidak membutuhkan sumpahmu. Tenteng anakku itu …….. jinakkah ia kepadamu ?" „la baik sekali." kata To It Peng. „Menurut dan menyenangkan." „Setelah; kau antar ke Seng-po-khung, tentunya merasa sepi bukan?" „Aku….." Seharusnya T o It Peng ingin menceritakan bahwa anak itu belum tentu berada di Seng-po-khung, tetapi ia batal memberi tahu. Berat rasanya untuk bercerita tentang hal ini. Kat Siauw Hoan tak tahu apa yang sipemuda pikirkan; ia meneruskan kata2nya : „Permintaanku yalah agar kau dapat menyusul dan mengawaninya di Seng-po-khung." „Aku ke Sang-pokhung? Apa kerjaku disana?" „Kau telah memulangkan anak itu kepada ayahnya, sang anakpun berkesan baik kapadamu .... Ketua Seng-po-khung tentunya berterima kasih. Bila kau mengajukan permintaan untuk menetap di Seng-po-khung, tentunya ia tidak keberatan. Maka kau
dapat melihat bagaimana ia dibesarkan." To It Peng belum mengerti, apa guna ia diminta untuk melihat seorang anak dibesarkan! „jangan kau tinggalkan anak itu." kata Kat Siauw Hoan. „Kau kutunjuk sebagai wali anak itu. T olong tilik dirinya. Bila tiba saatnya ia berumur 20 tahun. Serahkanlah pedang ini kepadanya." Dari balik pembaringan, Kat Siauw Hoan mengeluarkan sebuah pedang. Itulah pedang Hu-ie yang pernah dilihat To It Peng, pada saat Liok T ianglo mengejar Kat Siauw Hoan dulu. To It Peng menyambuti pedang Hu-ie yang diserahkan kepadanya. „To tayhiap….." kata Kata Siauw Hoan. „Pedang Hu-ie ini berhasil kudapat dari pertaruhan jiwa. Baik2lah kau menyimpannya. jangan kau perlihatkan kapada siapapun. Maka setelah anakku berumur
genap 20 tahun, berikanlah kepadanya dan katakan bahwa hadiah peninggalan ibunya yalah hanya berupa pedang Hu-ie ini….." Air mata Kat Siauw Hoan telah bercucuran, maka kata2-nya dikeluarkan dengan kurang lancar. „Eh, jangan kau menangis." To It Peng menghibur. „janganlah kau manangis." „To tayhiap, hanya ini permintaanku kepadamu." Kat Siauw Hoan menyusut air matanya. Ia sangat sedih bila memikirkan tak dapat berkumpul dengan anaknya yang tercinta. „Tak dapat kumemberi sesuatu kepadamu. Kuharapkan saja dilain dunia, kita dapat berkumpul kembali. Maka aku akan menyerahkan diri kepadamu." To It Peng menyusut keringat yang membasahi dirinya, melihat keadaan itu, ia kurang mangerti. „Eh, mungkinkah kau sudah tiada harapan hidup lagi ?" la menduga bahwa wanita muda itu sudah hampir mendekati ajalnya. „Mati yang kau maksudkan?" Kat Siauw Hoan tertawa sedih.
„Kurasa belum waktunya." „Mengapa kau membayangkan kehidupan dilain dunia?" Berkata To It Ping. „Mengapa.., kau .., mengatakan bersedia menyerahkan diri kepadaku?" Daging2 To It Peng berkerinyut. „Terlambat, kata Kat Siauw Hoan. „Saudara terlambat” „Masih belum terlambat. Mengapa kau tidak bersedia menyerahkan diri kepedaku dimasa in! ?" Hati To It Peng memukul keras. la memberanikan diri mengucapkan kata2 ini. Disaat selesai ia bicara, iapun menyesal. Wajah Kat Siauw Hoan yang kurus pucat bersemu dadu, semakin terlihat kecantikannya. „Aku sudah tidak pantas menyerahkan diri." Katanya. „Tetapi bila kau mau, akupun bersedia…..” "
Perlahan sekali kata2 Kat Siauw Hoan. Inipun sudah cukup manggiranqkan To It Peng, darahnya bergelora cepat, panas membara, bagaikan menungqang awan yang melayang-layang, bagaikan menaiki kuda yang beringasan, ia memeluk tubuh Kat Siauw Hoan. Wanita muda itu tidak berusaha melepaskan diri, seperti apa yang telah dikatakan, ia membiarkan sipemuda malakukan apa yang dikehendakinya. Bagi To It Peng, malam itu penuh kenangan, kenanan mesra yanq tak dapat dilupakan untuk seumur hidupnya. Diantara sadar dan tidak, To It Peng telah melakukan sesuatu. Setelah mana ia lelah dan tidur disamping Kat Siauw Hoan. Me