Warta
Cendana
Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Forestry Research Institute of Kupang (Forist)
Edisi VIII No.2 November 2015
PENENTUAN SITE INDEX
Berdasarkan Tinggi Rata-rata (Mean Height) Tegakan www.herbalveda.co.uk
FOKUS Mengenal Anggrek Terestrial Calanthe Sp. di Pulau Timor Foto Latar: Kayu Putih, Ida Rachmawati
Potensi Kayu Putih Jenis Unggul untuk Mendukung Rehabilitasi dan Peningkatan Kesejahteraan
POTENSI ULES (Helicteres Isora) dan TARUM (Indigofera) SEBAGAI HHBK DI DESA BOSEN KAB. TIMOR TENGAH SELATAN
KAWASAN TANJUNG TORONG PADANG DI PULAU FLORES sebagai Habitat Berbagai Jenis Satwa Liar
| FOKUS |
SEKAPUR SIRIH Pembaca setia warta cendana, kali ini warta cendana edisi VIII No. 2 hadir dengan berbagai artikel menarik di antaranya memberikan informasi tentang cara menentukan site index berdasarkan tinggi rata-rata tegakan, potensi dan peluang kayu putih dalam mendukung rehabilitasi hutan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kita di ajak untuk mengetahui kehidupan satwa liar di kawasan tanjung torong padang di Pulau Flores selain itu redaksi juga mengajak pembaca untuk lebih mengenal jenis HHBK petensial seperti Ules, Tarum dan Anggrek. Semoga sajian informasi kali ini dapat menambah wawasan pembaca sekalian. Bila ingin berpartisipasi dalam media ini, dapat mengirimkan artikelnya ke dewan reaksi Warta Cendana. www.wikipedia.org
DAFTAR ISI | FOKUS |
Penentuan Site Index Berdasarkan Tinggi Rata-rata (Mean Height) Tegakan oleh: Hery Kurniawan
Kawasan Tanjung Torong Padang di Pulau Flores sebagai Habitat Berbagai Jenis Satwa Liar
h.1
Oleh : Kayat
Potensi Kayu Putih Jenis Unggul untuk Mendukung Rehabilitasi dan Peningkatan Kesehateraan
Potensi Ules (Helicteres isora) dan Tarum (Indigofera) sebagai HHBK di Desa Bosen Kab. Timor Tengah Selatan
Oleh : Sumardi
Oleh : Dani Pamungkas
h.6
h.11
Mengenal Anggrek Terestrial (Calanthe Sp.) di Pulau Timor
| GALERI PERISTIWA | h.24
Oleh : Oskar K. Oematan
| KILAS BERITA | h.27
h.21
Cover Photo : Kayu Putih oleh Ida Rachmawati
h.17 REDAKSI
PENERBIT
BALAI PENELITIAN KEHUTANAN KUPANG | FORESTRY RESEARCH INSTITUTE OH KUPANG
Penanggung Jawab Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang Dewan Redaksi merupakan majalah ilmiah poluler Balai Peneleitian Kehutanan Kupang yang diterbitkan 3 kali dalam satu tahun, berisikan tema rehabilitasi hutan dan lahan, konservasi, sosial ekonomi, ekowisata, lingkungan, HHBK, managemen, hukum kelembagaan, kebijakan publik dan lain-lain.
Imam Budiman, S.Hut, M.A . Hery Kurniawan, S.Hut, M.Sc. Eko Pujiono, S.Hut, M.Sc. Muhamad Hidayatullah, S.Hut, M.Si.
Redaksi Pelaksana Kepala Seksi Data, Informasi dan Sarana Penelitian Anggota Merry Mars Dethan, S.P. Feri A. Widhayanto,S.T.
Redaksi menerima sumbangan artikel sesuai tema terkait, Tim Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mngubah isi materi tulisan, Tulisan dapa dikirim melalui email ke
[email protected]
Balai Penelitian Kehutanan Kupang Jln Untung Suropati No 7 B. Kupang Telp (0380)823357 Fax (0380) 831086 Email :
[email protected]
PENENTUAN SITE INDEX Berdasarkan Tinggi Rata-rata (Mean Height) Tegakan oleh: Hery Kurniawan Pendahuluan Kualitas tapak (site quality) merupakan indikator atau sarana yang penting dalam pengelolaan suatu tegakan, dalam hubungannya dengan penguasaan pengetahuan terhadap dinamika tegakan. Penguasaan pengetahuan dinamika tegakan senantiasa diperlukan untuk dapatmenentukan tindakan yang paling tepat berkaitan dengan silviculture prescription dan management prescription.
Metode penentuan kualitas tapak pada dasarnya adalah menggunakan suatu indikator yang paling logis dan bisa menggambarkan kondisi tegakan secara langsung. Oleh karenanya, volume tegakan menjadi suatu indikator utama langsung yang dapat digunakan dalam menilai kualitas tapak. Namun, ternyata metode volume tegakan tidak selamanya bisa diterapkan pada setiap tegakan. Pengaruh sejarah pada tegakan menjadi sesuatu yang sangat dipertimbangkan sehingga metode
www.foristkupang.org
Edisi VIII No.2 November 2015
1
volume tegakan ini jarang digunakan. Adanya serangan penyakit, hama, kebakaran dan sebagainya yang dapat mengurangi volume tegakan membuat metode volume tegakan menjadi tidak dapat menggambarkan kualitas tapak yang sesungguhnya. Sehingga, berdasarkan kendala yang ada, muncul ide untuk menyusun site quality yang bisa diukur dengan suatu indikator yang relatif bebas dari pengaruh masa lalu. Metode yang selanjutnya ini dikenal dengan metode tak langsung (indirect method). Menurut Jones (1969), tiga pendekatan tak langsung untuk mengestimasi site quality adalah : tapak site index (indeks kualitas tapak), vegetation (tumbuhan), environment (lingkungan). Site Index Penggunaan volume tegakan untuk menentukan kualitas tempat tumbuh hanya mungkin apabila penjarangannya adalah ringan (sekitar 30%) (Assman, 1961). Sehingga dengan munculnya konsep penjarangan keras, volume menjadi tidak mampu memberikan taksiran site quality yang akurat. Dari semua metode pengukuran tak langsung yang telah diteliti, tingkat pertumbuhan tinggi pohon muncul sebagai parameter atau indikator yang paling praktis dan bermanfaat untuk penentuan kualitas tapak hutan (timber site quality). Tinggi pohon ini bukan merupakan sarana yang paling sempurna, namun merupakan yang standar dibandingkan metode lainnya (Davis dan Johnson, 1987). Menurut Brack dan Wood (1997) Hubungan tinggi pohon dengan umur disebut site index, site index digunakan secara luas dalam mengevaluasi tapak tegakan seumur (even-aged stands) atau tegakan yang komposisinya mendekati murni (Brack dan Wood,1997). Popularitas dari hubungan tinggi-umur sebagai indikator dari tapak adalah karena Tinggi dan umur mudah ditentukan Pertumbuhan tinggi secara luas tidak dipengaruhi oleh kerapatan tegakan. Site indeks memberikan
2
Edisi VIII No. 2 November 2015
ekspresi numerik bagi site quality (misal, SI 20) daripada deskripsi kualitatif (misal, SQ III). Namun, tinggi pohon mana yang digunakan sebagai indikator penentuan site quality yang paling baik? Mengingat tinggi pohon tegakan dapat didekati melalui rerata tinggi dominan (peninggi) dan tinggi rerata. Kapan kita harus menggunakan tinggi dominan? Dan kapan harus menggunakan tinggi rerata? Site index merupakan indeks kualitas tapak yang dinyatakan dengan tinggi pada umur dasar tertentu, atau klas index (I, II, III,….,dst.). Tinggi pohon dianggap dapat mewakili indikator kualitas tapak, karena tinggi pohon yang bebas dari persaingan (dominan) adalah sangat sensitif terhadap kondisi tapaknya. Pemilihan pohon yang digunakan sebagai site trees, juga sangat menentukan keakuratan prediksi kualitas tapaknya. Pada dasarnya, yang digunakan sebagai indikator adalah rerata tinggi dominan dalam satu unit luasan tertentu (100 pohon yang tersebar merata dalam 1 ha). Namun, tidak selamanya pula tinggi dominan (peninggi) ini dapat digunakan dalam pembuatan site index mengingat karakteristik tegakan yang tidak selalu sama. Peninggi akan cocok digunakan pada tegakan yang relatif mudah dalam membedakan pohon dominan, kodominan, dan strata yang lebih rendah lagi. Namun untuk tegakan alam yang relatif lebat atau untuk tegakan seumur yang seragam dalam strata tajuknya, maka konsep peninggi menjadi sulit diterapkan dan tidak praktis lagi. Konsep tinggi rerata muncul sebagai pengganti konsep peninggi, dengan pertimbangan kepraktisan dan kelogisan. Beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan kenapa dalam pembuatan site index digunakan tinggi rerata tegakan adalah: 1. Sumber data adalah temporary sample plot Data yang berasal dari temporary sample plot akan dimaknai berbeda dengan data yang berasal dari permanen sample plot. Data yang berasal dari temporary sample plot biasanya lebih menekankan
pada nilai parameter tegakan secara keseluruhan daripada permanen sample plot, karena biasanya jumlah plotnya adalah banyak dan tersebar merata. Namun, temporary sampel plot kurang mampu memberikan catatan detil masa lalu individu pohonnya. Pada permanen sample plot, data pertumbuhan setiap individu pohon tercatat secara periodik dan umumnya tidak untuk ditebang. 2. Strukturnya Relatif Seragam Seringkali dijumpai tegakan yang memiliki kondisi tajuk seragam dan tidak mudah untuk membedakan mana tajuk dominan, kodominan maupun strata bawah. Semakin sulit lagi bila kondisi tegakannya rapat atau sangat rapat. Sehingga pembedaan strata menjadi kurang efektif. Pada kondisi demikian, konsep tinggi rata-rata dapat digunakan sebagai indikator penentu kualitas tempat tumbuh, karena akan memiliki korelasi yang kuat dengan crop yield-nya. 3. Tinggi rerata memiliki korelasi yang kuat dengan umur dan volume tegakan Pada tegakan-tegakan yang baru dibangun, atau masih muda, maka seringkali dijumpai grafik pertumbuhan yang masih menaik. Artinya grafik riap belum bisa digunakan sebagai penentu kualitas tapak. Sifat tegakan yang masih muda juga belum menunjukkan hubungan diameter dan tinggi yang signifikan. Sehingga apabila digunakan peninggi atau riap sebagai penentu kualitas tapak, maka akan terjadi bias. 4. Metode Penjarangan tegakannya adalah sistematis Pada tegakan yang dilakukan metode penjarangan sistematis, maka desainnya adalah tidak untuk mendapatkan kondisi tegakan tertentu menurut status individu pohon dalam tegakan. Artinya, semua pohon dianggap memiliki karakteristik yang relatif sama. Sehingga pada tegakan demikian akan tidak match apabila digunakan konsep peninggi dalam penentuan kualitas tapaknya.
5. Kelangkaan data (basal area, volume) Beberapa negara telah melakukan pencatatan yang baik dalam penelitian growth and yield suatu atau beberapa pohon. Namun, tidak sedikit pula negara yang tidak memiliki catatan yang baik. Negara yang memiliki catatan yang baik umumnya adalah negara di daerah temperate dan bekas jajahan. Sedangkan yang memiliki catatan kurang baik umumnya adalah negara-negara berkembang dan terbelakang. Sehingga pendekatan yang digunakan dalam mempelajari growth and yield bagi negaranegara berkembang dan terbelakang adalah selalu mempertimbangkan kepraktisan dan kesederhanaan. Penyusunan Model Site Index Model site index pada dasarnya merupakan persamaan matematis yang menghubungkan indikator yang digunakan sebagai penentu kualitas tapak dengan umur tertentu. Sehingga, dengan umur yang diketahui dan suatu besaran dari indikator berdasar sampel, maka dapat ditentukan site index dari petak atau tegakan tersebut. Data yang digunakan merupakan sampling dari keragaman umur dan kondisi lapangan tegakan. Dengan demikian pada tiap umur tertentu akan didapatkan sebaran titik yang menyatakan variasi keadaan lapangannya. Secara umum pada umur muda belum begitu terlihat perbedaan antar site quality, namun semakin tua tegakan maka sebaran tersebut akan semakin melebar. Semakin lebar sebarannya, maka akan semakin banyak pula dalam penentuan site index-nya. Metode penentuan site index melalui grafik yang paling sederhana mungkin adalah yang dibuat oleh Frans von Baur (1881), yang dikenal dengan metode five bands, yakni dengan membuat batas atas dan bawah dari sebaran titik-titik tinggi ratarata tegakan untuk tiap umur dengan menarik garis yang merupakan batas atas dan bawah, selanjutnya dari daerah kurva yang dibuat tadi dibagi menjadi 5 bagian yang memiliki lebar sama. Tengah-tengah dari masing-masing bagian pita tadi kemudian
Edisi VIII No. 2 November 2015
3
ditarik garis yang ini merupakan kurva site indexsite index yang dipublikasikan telah diturunkan menggunakan prosedur statistical curve-fitting (penyusunan kurva secara statistik). Sebagian besarnya merupakan tiga metode umum dalam penyusunan persamaan sebagaimana dibahas oleh Clutter et al. (1983) dalam Brack dan Wood (1997). Model-model yang umum digunakan dalam metode The Chapman-Richards function H = n x [1 - EXP(-pA)](1 / (1 - m))
The von Bertalanffy model H = [n / p x (1 - EXP(-p x (1 - m) x A) )](1 / (1 - m)) Dimana, H = tinggi (m) A = age/umur (tahun) n, p, m = koefisien yang diestimasi oleh regresi nonlinear. Kedua persamaan ini dapat dibatasi sehingga tinggi predominannya harus menyamai nilai site index pada suatu umur tertentu. Sebagai contoh, membatasi model von Bertalanffy pada umur 20 tahun, menghasilkan : H=Sx
1 - EXP - p(1-m) A
(1 / (1 - m))
Dengan mentranspose persamaan ini dapat diprediksi site index secara langsung dari tinggi dan umur setelah koefisien p dan m diketahui : S=Hx
Kelas Produksi/ Site Index
Tinggi rerata maksimum (m)
I
27,2
II
23,0
III
18,8
IV
14,6
Tabel 1. Tinggi maksimum rata-rata untuk tiap site index
1 - EXP - p(1-m) 20
1 - EXP - p(1-m) A
Penerapan Metode Site Index dari Tinggi Rerata pada Cryptomeria japonica D. Don. Cryptomaria japonica merupakan fast growing species yang termasuk dalam family : Taxodiaceae. Merupakan tanaman conifer berukuran besar yang banyak terdapat di Jepang. Secara umum tumbuh pada ketinggian di atas 1000 meter dengan cuarah hujan tahunan lebih dari 3000 mm. Tanaman ini mampu mencapai tinggi 30-35m dan diameter 40-45m pada kondisi lahan rata-rata pada umur 50 tahun (Pandey, 1983). Di daerah tropis tanaman ini telah berhasil dikembangkan terutama di negara India dan Brazil yang mampu mencapai luasan hingga 40.000 ha. Untuk daerah Brazil tinggi rata-rata maksimum tegakannya pada umur 30 tahun dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah.Sedangkan grafik site index-nya dapat dilihat pada gambar 1.
(1 / (1 - m))
1 - EXP - p(1-m) 20
Ferguson (1979), menggunakan batasan model von Bertalanffy untuk menghasilkan kurvakurva site index bagi Pinus radiata. Solusi model olehnya menggunakan data dari plot permanen adalah : H = 1.736 x S x (1-EXP-0.066 x A )1.792
Untuk contoh persamaannya, dapat dilihat di bawah ini, yang merupakan persamaan site index dari tanaman Acacia mearnsii di Kenya (Pandey, 1983). Log SI = log Hm + 1,2325 x dimana : A = umur tegakan Hm = tinggi rerata 200 batang/ha SI = site index PENUTUP Site index menjadi penting dalam sebuah sistem manajemen pengusahaan hutan agar setiap
4
Edisi VIII No. 2 November 2015
Gambar 1. Kurva site index Cryptomeria japonica di Brazil
kegiatan perencanaan, prediksi hasil, dan segala tindakan manajemen yang ditujukan untuk kepentingan pengusahaan maupun lingkungan dapat dilakukan dengan tepat. Pemaksimalan hasil dapat diusahakan dari awal apabila perencanaan usahanya baik, dan salah satu teknik yang dapat membantu dalam membuat perencanaan yang baik adalah menggunakan sarana berupa site index. Daftar Pustaka Assman, E., 1961. Waldertragskunde. Translated by Sabine H. Gardiner with title The Principles of Forest Yield Study, 1970. Pergamon Press. English
Brack, C.. 1996. Stand Growth. www.anu.edu.au. di-download pada tanggal 10 Mei 2007. Brack, C. dan Wood. 1997. Quantifying Site. www.anu.edu.au. di-download pada tanggal 10 Mei 2007. Davis, L.S., dan K.N. Johnson. 1987. Forest Management. McGraw-Hill, Inc. New York. Pandey, D.. 1983. Growth and Yield of Plantation Species in The Tropics. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Roma. Santoso, H.B.. 2006. Studi Pembuatan Site Index (Kelas Bonita) Pada Tegakan Acacia mangium WILLD. di PT. Musi Hutan Persada. Tidak dipublikasikan. Yogyakarta.
Edisi VIII No. 2 November 2015
5
| FOKUS |
untuk Mendukung Rehabilitasi dan Peningkatan Kesejahteraan Oleh : Sumardi Pendahuluan Kerusakan hutan dan lahan di wilayah NTT salah satunya disebabkan oleh aktifitas di atas lahan pada skala besar maupun kecil. Aktifitas skala besar, bisa berupa kegiatan perusahaan atau pemerintah untuk tujuan kepentingan tertentu, sementara pada skala kecil bisa berbentuk aktifitas masyarakat. Aktifitas skala kecil jika dilakukan secara berulangulang tanpa memperhatikan aspek kelestarian akan berpengaruh besar dalam proses penurunan kualitas lahan. Kebiasaan aktifitas sebagian masyarakat NTT di dalam maupun di luar kawasan hutan seperti penebangan liar untuk memenuhi
6
Edisi VIII No. 2 November 2015
kebutuhan kayu bakar, pembakaran lahan untuk penyiapan lahan garapan pertanian, penggembalaan liar dan pertanian berpindah merupakan aktifitas yang dapat mempercepat penurunan kualitas lahan. Penurunan kualitas lahan juga sangat dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk yang berkorelasi positif dengan kebutuhan lahan, hal ini juga merupakan salah satu penyebab peningkatan lahan kritis di NTT. Luas lahan kritis di NTT menurut Laporan penyusunan data spasial lahan kritis BPDAS Benain-Noelmina Propinsi NTT tahun 2004 adalah seluas 3.242.591 ha, yang terdiri atas 966.680 ha berada pada
www.alltheplants4.blogspot.com
POTENSI KAYU PUTIH JENIS UNGGUL
kawasan hutan lindung, 1.083.703 pada kawasan budidaya dan 1.192.208 pada kawasan lindung. Total luas lahan kritis tersebut menunjukkan luasan yang relatif besar jika dibandingkan dengan total luas daratan NTT seluas 4.735.000 ha (Anonimous, 2005). Bencana banjir dan tanah longsor yang semakin sering terjadi di NTT akhir-akhir ini, merupakan salah satu indikasi peningkatan kerusakan kawasan hutan dan lahan. Upaya rehabilitasi hutan dan lahan yang pernah dan sedang dilakukan di wilayah NTT belum banyak menunjukkan keberhasilan, yang disebabkan oleh beberapa faktor lingkungan, kondisi sosial budaya masyarakat dan minimnya daya dukung informasi dan teknologi rehabilitasi hutan dan lahan. Kondisi Biofisik Nusa Tenggara Timur Wilayah NTT memiliki iklim semiarid, dengan curah hujan yang relatif rendah, dan tipe curah hujan bervariasi dari mulai B sampai F (Schmidt & Ferguson, 1951). Secara umum wilayah NTT memiliki suhu maksimum rata-rata 31,60C dan suhu minimum 21,50C dengan intensitas curah hujan tinggi namun berlangsung dalam waktu singkat dan tidak merata. Berdasarkan data dari Departemen Pekerjaan Umum rata-rata curah hujan tertinggi antara tahun 1994 sampai dengan 2003 pada Kabupaten Manggarai Barat sebesar 2155 mm per tahun dengan rata-rata hari hujan sebanyak 115 hari per tahun. Sedangkan rata-rata curah hujan terendah di Kabupaten Lembata yaitu sebesar 906 mm per tahun dengan rata-rata hari hujan sebanyak 76 hari (Anonimous, 2005). Wilayah NTT terdiri dari 9 (sembilan) jenis tanah. Jenis tanah di wilayah NTT terdiri dari 9 jenis antara lain adalah jenis tanah aluvial, regosol, renzina, podsolik kambisol, andosol, grumusol, latosol dan mediteran, didominasi oleh jenis tanah kambisol dan renzina (Anonimous, 2005). Kedua jenis tanah tersebut memiliki tekstur lempung liat berpasir, strukturnya gumpal, dengan daya infiltrasi agak besar sehingga air lebih mudah meresap ke
dalam tanah. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat NTT Jumlah penduduk di NTT menurut statistik sosial dan kependudukan NTT sampai dengan tahun 2004 (BPS, 2005) adalah sebanyak 4.133.268 jiwa, dengan komposisi berjenis kelamin laki-laki sebanyak 20.049.933 jiwa dan perempuan sebanyak 2.089.273 jiwa, sehingga kepadatan penduduk di wilayah NTT adalah sebesar 87 jiwa per km2. Kepadatan jumlah penduduk terbesar terjadi di Kota Kupang dengan kepadatan jumlah penduduk sebesar 1.452 jiwa per km2. Tingkat pendidikan penduduk di NTT menurut data Badan Pusat Statistik Propinsi NTT sampai dengan tahun 2004 (BPS, 2005) adalah tidak atau belum pernah sekolah sebanyak 350.479 jiwa, tidak atau belum tamat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 924.449 jiwa, tamat SD sebanyak 1.029.500 jiwa, tamat Sekolah Menengah Lanjutan Pertama (SLTP) sebanyak 361.043 jiwa, tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebanyak 350.588 jiwa dan tamat Perguruan Tinggi (PT) sebanyak 74.428 jiwa. Dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat memiliki mata pencaharian sebagai petani. Untuk menjaga ketahanan pangan masyarakat mengenal sistem tumpangsari, yakni memanfaatkan lahan untuk menanam tanaman pangan bersama-sama dengan tanaman perkebunan dan atau tanaman keras lainnya. Dengan demikian, masyarakat mendapatkan hasil tanaman pangan sebagai hasil jangka pendek, sedangkan tanaman perkebunanan dan atau tanaman keras lainnya sebagai hasil jangka menengah dan panjang. Permasalahan di Nusa Tenggara Timur Wilayah NTT dikenal sebagai daerah semiarid tropik, yang disebabkan oleh angin musim basah dan kering yang menentukan permulaan dan waktu musim hujan pendek dan musim kemarau yang panjang. Ketebalan solum yang tipis, miskin
Edisi VIII No. 2 November 2015
7
hara dan tanah berbatu termasuk dalam karakteristik kondisi alam di NTT. Kondisi tersebut sebenarnya bukan merupakan satu-satunya faktor penghambat keberhasilan rehabilitasi yang telah dan sedang dilaksanakan. Aspek masyarakat sebagai aset penting sebagai penunjang keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan belum dimanfaatkan secara optimal, disamping itu permasalahan teknis di lapangan seringkali masih terjadi dalam usaha rehabilitasi di NTT. Permasalahan teknis yang dimaksud, dibatasi pada pengertian kemampuan dan keahlian teknis rehabilitasi dan pemeliharaan tanaman rehabilitasi yang diusahakan. Masyarakat sebagai aset penting dalam menunjang keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan belum dilibatkan secara optimal. Hal ini terindikasi dengan belum optimalnya usaha menumbuhkan kesadaran untuk melakukan rehabilitasi. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan peranan masyarakat dalam rehabilitasi perlu diciptakan enbaling condition sehingga kemauan dan kesadaran akan tumbuh dengan sendirinya dari masyarakat. Usaha tersebut dilakukan karena rehabilitasi hutan dan lahan kritis tidak dapat dilakukan hanya mengandalkan dana anggaran pemerintah. Untuk mendukung terciptanya enbaling condition bagi masyarakat harus disiapkan beberapa alternatif pengelolaan dan usaha rehabilitasi yang tepat pada daerah tertentu dengan mempertimbangkan kondisi alam masing-masing daerah Kayu Putih Sebagai Alternatif Rehabilitasi Usaha penanaman dan budidaya kayu putih (Melaleuca cajuputi) sepertinya merupakan salah satu alternatif untuk menunjang keberhasilan rehabilitasi di NTT. Hal ini karena kayu putih selain dapat dijadikan sebagai salah satu jenis tanaman rehabilitasi, daunnya dapat dimanfaatkan untuk industri penyulingan minyak kayu putih. Tujuan pemerintah untuk melakukan rehabilitasi dengan menggunakan jenis tertentu dapat tercapai,
8
Edisi VIII No. 2 November 2015
dan disisi lain masyarakat dapat memanfaatkan daunnya untuk meningkatkan kesejahtraan mereka. Pemilihan kayu putih sebagai salah satu alternatif jenis tanaman rehabilitasi di NTT, karena daerah NTT merupakan salah satu tempat tumbuh asli kayu putih. Ditinjau dari jenis tanah, iklim dan lingkungan lainnya tentunya jenis tanaman ini sesuai dikembangkan di NTT. Berdasarkan hasil studi telah dilaporkan bahwa sebaran alami M. Cajuputi subsp. cajuputi berkisar 12o Lintang Utara sampai dengan 18o Lintang Selatan dengan sebaran alami di Kepulauan Maluku, Pulau Timor dan Australia bagian utara dan barat daya (Doran, et al, 1998). Jenis tersebut tumbuh pada ketinggian 5 – 400 m dari permukaan laut, tetapi berdasarkan hasil eksplorasi oleh Susanto, et al. (1998) jenis tersebut juga tumbuh pada daerah-daerah pegunungan maupun dataran rendah yang berbatasan dengan pantai. Jenis ini tumbuh pada zona iklim hot humid, rata-rata suhu maksimum pada bulan kering antara 30 -37oC dan rata-rata suhu Minimum pada bulan basah 25 – 28oC, rata-rata curah hujan setiap tahun antara 1300 – 3400 mm namun sebagian kecil tumbuh pada curah hujan setiap tahun antara 540 – 4000 mm (Doran, et al, 1998). Tanaman kayu putih tidak memerlukan kondisi tanah yang khusus, jenis ini mampu tumbuh pada tanah liat, berpasir bahkan pada tanah berkapur. Pada tanah yang sering tergenang air jenis ini mampu bertahan hidup, namun demikian jenis ini tidak tahan terhadap tanah yang berkadar asam tinggi (Sunanto, 2003). Sehingga untuk memberikan kondisi lingkungan tanah yang optimal untuk pertumbuhan M. cajuputi, dilakukan dengan pemilihan lokasi tanah dengan pH dengan kadar asam yang tidak tinggi. Namun demikian di Mekong Delta Vietnam, M. cajuputi mampu bertahan pada pH tanah dan air 2,5 – 4,5 selama bulan Mei sampai dengan Juli (Doran, et al, 1998). Berdasarkan hasil penelitian di lokasi penelitian kayu putih jenis unggul di Kefamenanu persen hidup tanaman kayu putih sampai dengan
umur 1 tahun 11 bulan di lapangan sebesar 92,8 persen (Gambar 1). Tanaman tersebut di tanam pada jenis tanah renzina, berdasarkan hasil analisa Laboratorium Tanah Universitas Nusa Cendana Tahun 2005 memiliki pH tanah (H2O) 8,2 pada lapisan atas dan 7,1 pada lapisan bawah, sedangkan pH tanah (KCl) sebesar 8,0 pada lapisan atas dan 7,0 pada lapisan bawah (lapisan bawah diambil pada kedalaman 60 cm). Alternatif Model Pengelolaan Kayu Putih Jenis Unggul Dengan menciptakan enbaling condition bagi masyarakat untuk menunjang keberhasilan rehabilitasi, maka masyarakat dengan sendirinya akan berusaha untuk melakukan atau memelihara jenis tanaman rehabilitasi. Hal ini dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab pentingnya program rehabilitasi oleh pemerintah, selain kepentingan masyarakat untuk mendapatkan tambahan penghasilan dari pemanfaatan jenis tanaman rehabilitasi. Untuk mempertahankan enbaling condition tersebut, selain jenis tanaman kayu putih pada lahan yang sama dilakukan penanaman jenis tanaman tumpangsari berupa tanaman pangan untuk menjaga ketahanan pangan bagi masyarakat. Model rehabilitasi yang coba ditawarkan disini adalah rehabilitasi lahan dengan menggunakan jenis tanaman kayu putih (M. cajuputi subsp. cajuputi) dengan menggunakan tanaman campuran tumpangsari berupa tanaman p a n g a n . Ta n a m a n p a n g a n y a n g d a p a t ditumpangsarikan berupa tanaman kacangkacangan, jagung dan ketela pohon. Penanaman jenis kayu putih dilakukan dengan jarak tanam 3 x 1 meter, hal ini dimaksudkan untuk memberikan ruang yang cukup bagi penanaman jenis tanaman tumpang sari seperti kacang tanah, jagung dan ketela pohon. Kayu putih sebagai tanaman utama untuk tujuan rehabilitasi, daunnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bahan baku industri penyulingan minyak kayu putih.
Pemanenan daun kayu putih jadikan sebagai hasil jangka menengah dan jangka panjang. Pemanenan kacang tanah, jagung dan ketela pohon dimanfaatkan masyarakat sebagai hasil antara untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat sebelum masyarakat dapat memanen daun kayu putih. Pemilihan jenis tanaman tumpangsari dengan kacang-kacangan dan jagung dilakukan dengan mempertimbangkan, bahwa tanaman ketela pohon dan jagung yang ditanam selangseling dengan kacang-kacangan akan meningkat hasilnya, karena terjadinya peningkatan N tersedia di dalam tanah. Selain itu ditinjau dari persyaratan tempat tumbuh dari segi pH tanah, ketiga jenis tanaman pangan yang digunakan sebagai tanaman tumpangsari tersebut memiliki persyaratan tumbuh yang dapat digunakan sebagai lahan pengembangan dan penanaman kayu putih. Jagung dan ketela pohon akan tumbuh optimal pada pH 5,5 – 7,5 dan kacang tanah pada pH 5,0 – 7,5. Data tersebut di atas menunjukasn adanya kesesuaian antara lokasi tempat tumbuh di wilayah NTT untuk penanaman kayu putih. Dengan mengakomodasi beberapa persyaratan tempat tumbuh jenis tanaman tersebut maka hendaknya jenis tanaman kayu putih dijadikan sebagai salah satu alternatif jenis tanaman untuk tujuan rehabilitasi hutan dan lahan kritis di wilayah NTT disamping untuk tujuan ekonomis. Penutup Berdasarkan kondisi alam di NTT yang didasarkan pada faktor iklim yang meliputi data curah hujan sepuluh tahun terakhir yaitu antara tahun 1994 sampai dengan 2003, jenis tanah dan kelerengan, hampir seluruh wilayah di NTT sesuai untuk penanaman jenis tanaman kayu putih, dengan berbagai persyaratan tempat tumbuhnya. Dengan demikian jenis tanaman kayu putih dapat dijadikan sebagai salah satu jenis tanaman untuk tujuan rehabilitasi hutan dan lahan kritis di wilayah NTT, karena disamping fungsinya sebagai tanaman
Edisi VIII No. 2 November 2015
9
| FOKUS | rehabilitasi, daunnya dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan baku penyulingan minyak kayu putih sebagai sumber tambahan penghasilan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2004. Laporan Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis Wilayah BPDAS Benain Noelmina Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2004. Kerjasama BPDAS Benain Noelmina & Lembaga Penelitian Universitas Cendana. Kupang. Anonimous. 2005. Data Base dan Informasi DAS di Wilayah BPDAS Benain Noelmina Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2005. Kerjasama BPDAS Benain Noelmina & Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Cendana. Kupang. Doran, J.C., Rimbawanto, A., Gunn B.V. and Nirsatmanto, A. 1998. Breeding Plan for Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi in Indonesia. CSIRO Forestry and Forest Products, Australian Tree Seed Centre and
10
Edisi VIII No. 2 November 2015
Forest Tree Improvement Research and Development Institute, Indonesia. Hardjowigeno, S.. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta. BPS. 2005. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Kupang. Schmidt, F.H. & J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall types based on wet and dry period ratio for Indonesia ith Western New Guinea. Ve r h a n d . N o . 4 2 . K e m e n t r i a n Perhubungan, Djawatan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Sunanto, H. 2003. Budidaya dan Penyulingan Kayu Putih. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Susanto M., Tambunan P., Mulyanto. 1998. Laporan Ekplorasi Benih Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi di Kepulauan Maluku. Balai Litbang Pemuliaan Benih Tanaman Hutan Yogyakarta kerjasama dengan CSIRO Forestry and Forest Products. Wibowo, S. 2006. Rehabilitasi Lahan Pasca Operasi Illegal Logging. Wana Aksara. Banten.
www.kids.nationalgeographic.com
Gambar 1. Uji coba kayu putih di Kefamenanu dengan keberhasilan tumbuh 92,8%.
KAWASAN TANJUNG TORONG PADANG DI PULAU FLORES sebagai Habitat Berbagai Jenis Satwa Liar Oleh : Kayat Pendahuluan Satwa liar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Oleh karena itu, habitat suatu jenis satwa liar belum tentu sesuai untuk jenis lain. Habitat suatu jenis satwa liar mengandung suatu sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik. Sistem tersebut dapat mengendalikan kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya (Alikodra, 2002). Habitat satwa liar harus memiliki beberapa komponen yang diperlukan oleh satwa liar, yaitu : pakan, air, pelindung, dan ruang. Shaw (1985) menjelaskan bahwa komponen habitat yang
mengendalikan kehidupan satwa liar terbagi dalam 4 hal sebagai berikut : (1) Pakan (food), Pakan merupakan komponen habitat yang paling nyata. Ketersediaan pakan berhubungan erat dengan perubahan musim. Tiap jenis satwa mempunyai kesukaan untuk memilih pakannya yang berhubungan dengan palatabilitas dan selera; (2) Air (water), Air dibutuhkan dalam proses metabolisme tubuh satwa. Kebutuhan satwa akan air bervariasi sesuai dengan jenis satwa itu sendiri; (3) Pelindung (cover), Pelindung diartikan sebagai segala tempat dalam habitat yang mampu memberikan perlindungan dari cuaca, predator atau kondisi yang lebih baik dan menguntungkan;
Edisi VIII No. 2 November 2015
11
12
(4) Ruang (space), Individu-individu satwa membutuhkan variasi ruang untuk mendapatkan cukup pakan, pelindung, air, dan tempat untuk kawin. Kawasan Tanjung Torong Padang bisa menjadi habitat berbagai jenis satwa liar jika menyediakan beberapa komponen tersebut di atas yaitu pakan, air, pelindung, dan ruang.
Pada periode pertama camera trap dipasang selama satu minggu, setelah satu minggu camera trap dicek apakah ada satwa liar yang terekam atau tidak. Kemudian camera trap dipasang kembali selama satu minggu untuk periode kedua. Setelah satu minggu periode kedua, camera trap dicek lagi. Hasil penelitian ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Lokasi dan Metode Penelitian Lokasi penelitian h di kawasan Tanjung Torong Padang yang secara administrasi berada di wilayah Desa Sambinasi Kecamatan Riung Kabupaten Ngada Propinsi Nusa Tenggara Timur (Gambar 1). Secara pengelolaan berdasarkan versi BBKSDA NTT sebagian berada pada kawasan Cagar Alam Riung (bagian tengah ke arah timur), sedangkan berdasarkan pengakuan masyarakat merupakan wilayah tanah ulayat Suku Baar. Metode yang digunakan untuk melihatkawasan Tanjung Torong Padang sebagai habitat satwa liar dan melihat keragaman jenis satwa liar yang ada di dalam kawasan tersebut adalah metode observasi dan konsentrasi dengan bantuan camera trap (O'Connell et all., 2011). Camera trap dipasang dan ditempatkan pada lokasi yang diduga sebagai tempat berkumpulnya semua jenis satwa liar yang ada di kawasan Tanjung Torong Padang, yaitu sumber mata air Wae Nepong. Mata air Wae Nepong merupakan satu-satunya sumber air minum yang ada di kawasan Tanjung Torong Padang dan dimanfaatkan oleh semua jenis satwa liar yang ada di kawasan tersebut. Vcamera trap dipasang pada batang pohon yang berdekatan dengan sumber mata air, kira-kira setinggi 50 cm di atas permukaan tanah. Ada dua buah camera trap yang dipasang, hal ini untuk menjaga kemungkinan salah satu camera trap kehabisan baterai. Kedua camera trap diarahkan menghadap ke sumber mata air, sehingga satwa liar jenis apapun yang melintas atau beraktivitas di sekitar mata air akan terekam atau terpotret.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil observasi habitat satwa liar di kawasan Tanjung Torong Padang menunjukkan kawasan ini terdiri dari dua tipe vegetasi yaitu vegetasi hutan musim yang berada di lembahlembah dan tipe hutan savana yang berada di perbukitan. Namun secara keseluruhan habitat satwa liar di kawasan Tanjung Torong Padang digolongkan sebagai ekosistem savana. Sebagaimana menurut Ewusie (1980), ekosistem savana dicirikan dengan pepohonan yang jarang, daerah tertutup hanya ditemukan pada daerah yang kandungan air tanahnya cukup tinggi seperti di dekat batang air atau lekukan atau lembah. Morrison et al (2006) mengatakan bahwa semua satwa dapat hidup di suatu area jika kebutuhan dasar seperti makanan, air dan cover tersedia dan satwa tersebut telah beradaptasi dengan cara yang memungkinkan mereka mengatasi iklim ekstrim dan pesaing serta predator yang mereka hadapi. Hasil observasi di kawasan Tanjung Torong Padang, menunjukkan bahwa beberapa satwa liar seperti rusa timor dan landak memanfaatkan kawasan savana di perbukitan sebagai tempat mencari pakan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya jejak makan, seperti rusa timor bisa dilihat dari adanya bekas pagutan di rumput atau semak dan bekas makan landak bisa dilihat pada akar dari semak-semak yang ada di savana. Sedangkan jenis satwa liar lain memanfaatkan kawasan lembah sebagai tempat mencari pakan. Satwa liar yang ada di kawasan Tanjung Torong Padang memenuhi kebutuhan air minumnya dari sumber mata air yang ada di salah
Edisi VIII No. 2 November 2015
Mata Air Wae Neppong
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Tanjung Torong Padang
satu lembah yaitu mata air Wae Nepong. Kawasan lembah Wae Nepong ini akan terendam air pada saat musim hujan sekitar bulan Januari sampai dengan Juni, dan akan mulai berkurang debitnya sekitar bulan Juli sampai dengan Desember. Selama musim kemarau mata air Wae Nepong tidak pernah mengalami kekeringan dan merupakan satu-satunya sumber air minum untuk semua jenis satwa liar yang ada di kawasan Tanjung Torong Padang. Menurut Shaw (1985), air dibutuhkan dalam proses metabolisme tubuh satwa. Kebutuhan satwa akan air bervariasi, ada yang tergantung air dan ada yang tidak. Ketersediaan air akan mengubah kondisi habitat sehingga langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan satwa. Hasil rekaman yang terdapat pada camera trap, ada beberapa jenis satwa liar yang terlihat (Tabel 1 dan Lampiran 1). Berbagai jenis satwa liar di kawasan Tanjung Torong Padang memiliki keunikan dalam pembagian waktu minum. Secara
rutin setiap hari terjadi pergantian waktu minum antara berbagai jenis satwa liar yang datang ke sumber mata air Wae Nepong. Walaupun semua satwa liar memanfaatkan tempat minum yang sama, tapi tidak ada persaingan dalam memperoleh air minum. Setiap jenis satwa liar memberikan ruang dan waktu kepada jenis satwa lainnya. Masing-masing jenis satwa liar baraktivitas pada waktu yang berbeda. Rusa timor lebih banyak beraktivitas pada malam hari (noc turnal), begitu pula dengan babi hutan, dan landak. Sedangkan satwa liar yang beraktivitas pada siang hari (diurnal) adalah hampir semua jenis burung, komodo, babi hutan, dan monyet ekor panjang. Beberapa jenis burung seperti merpati hutan, tekukur dan ayam hutan mulai minum sekitar pukul 06 pagi. Monyet ekor panjang mulai melakukan aktivitas minum sejak pukul 11 siang, dan mulai datang secara bergerombol pada pukul 14 sampai dengan pukul 15, setelah itu jumlahnya mulai berkurang. Kalau waktu sudah memasuki malam maka
Edisi VIII No. 2 November 2015
13
A
C
E
F.2
G.2
B
Edisi VIII No. 2 November 2015
Nama Daerah/Indonesia
Nama Latin
Lokasi Perjumpaan
Kelimpahan
Waktu Aktivitas
1
Mbau/Komodo
Varanus komodoensis
Lembah/Camera trap
Sedikit
Siang hari
2
Rusa timor
Rusa timorensis Blainville 1822
Lembah dan Bukit/Savana/Camera trap
Sedang
Malam dan Siang hari
3
Wean/Monyet ekor panjang
Macaca fascicularis
Lembah dan Bukit/Savana/Camera trap
Banyak
Siang hari
4
Babi hutan
Sus scrofa
Lembah dan Bukit/Savana/Camera trap
Banyak
Malam dan Siang hari
5
Rutung/Landak Jawa
Hystrix javanica (F. Cuvier, 1823)
Lembah dan Bukit/Savana/Camera trap
Sedang
Malam hari
6
Musang
Paradoxurus hermaphroditus
Lembah/Camera trap
Sedikit
Malam hari
7
Ayam hutan hijau
Gallus varius
Lembah/Camera trap
Sedikit
Siang hari
8
Burung Srigunting wallacea
Dicrurus densus
Lembah/Camera trap
Sedang
Siang hari
9
Burung Merpati Hutan
Columba vitiensis
Lembah/Camera trap
Sedang
Siang hari
10
Burung Perkutut
Geopelia striata
Lembah/Camera trap
Banyak
Siang hari
11
Elang Bondol
Haliastur indus
Bukit/Savana
Sedikit
Siang hari
12
Burung Elang laut
Haliaeetus leucogaster
Bukit/Savana
Sedikit
Siang hari
13
Burung Branjangan
Mirafra javanica
Bukit/Savana
Banyak
Siang hari
14
Burung Apung Tanah
Anthus novaeseelandiae
Bukit/Savana
Banyak
Siang hari
15
Burung Raja Udang biru
Alcedo coerulescens
Lembah dan Bukut/Savana
Banyak
Siang hari
16
Burung Gosong Kaki Merah
Megapodius reinwardt
Lembah/Camera trap
Sedikit
Siang hari
17
Perkutut Loreng
Geopelia maugei
Lembah/Camera trap
Sedang
Siang hari
18
Tekukur
Streptopelia chinensis
Lembah/Camera trap
Sedang
Siang hari
D
F.1
G.1
Gambar A,B,C,D E secara berurutan : Komodo (Varanus komodoensis) ,Babi hutan (Sus scrofa) , Kera ekor panjang (Macaca fascicularis) , Rusa timor (Rusa timorensis) , Tekukur (Streptopelia chinensis) Gambar F dan G : Ayam hutan hijau (Gallus varius) , Srigunting wallacea (Dicrurus densus) , Merpati hutan (Columba vitiensis) , Gosong kaki merah (Megapodius reinwardt)
14
No
Tabel 1. Berbagai Jenis Satwa Liar yang Tertangkap Camera Trap di Wae Nepong dan yang Dijumpai di Kawasan Tanjung Torong Padang Keterangan : Banyak: Diperkirakan Populasi > 100 ekor Sedang : Diperkirakan 50 ekor < Populasi < 100 ekor Sedikit : Diperkirakan Populasi < 50 ekor
Edisi VIII No. 2 November 2015
15
PENUTUP Kawasan Tanjung Torong Padang merupakan habitat berbagai jenis satwa liar yang cukup ideal karena semua komponen habitat seperti pakan, air, pelindung (cover) dan ruang cukup tersedia sepanjang tahun. Keanekaragaman jenis satwa liar yang ada membuktikan bahwa kawasan Tanjung Torong Padang cocok sebagai habitat satwa liar.
16
Edisi VIII No. 2 November 2015
| FOKUS |
Untuk melindungi berbagai jenis satwa liar yang ada dikawasan Tanjung Torong Padang, pihak pemerintah bekerjasama dengan masyarakat setempat untuk berpartisipasi menjaga dan melestarian kawasan Tanjung Torong Padang. Penetapan aturan adat oleh masyarakat Suku Baar di kawasan Tanjung Torong Padang sebagai “tana pirong” atau tanah larangan merupakan langkah positif dalam melindungi kawasan Tanjung Torong Padang dan flora-fauna yang ada di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra, S. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal P e n d i d i k a n Ti n g g i P u s a t A n t a r Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Ewusie, J.Y. 1980. Pengantar : Ekologi Tropika; terjemahan Usman Tanuwidjaja. Penerbit ITB. Bandung. Morrison, M.L., B.G. Marcot, and R.W. Mannan. 2006. Wildlife-Habitat Relationships, Concepts and Applications. Third Edition. Island Press. Washington. Covelo. London. O'Connell, A.F., J.D. Nichols, and K.U. Karanth. 2011. Camera Traps in Animal Ecology. Methods and Analyses. Springer. Shaw, J. 1985. Introduction to Wildlife Management. Chicago : R.R. Donnelley and Sons.
www.wikipedia.org
yang mulai melakukan aktivitas minum adalah babi hutan. Aktivitas minum babi hutan pada saat mulai gelap sampai pagi pukul 05.30an. Rusa timor mulai melakukan aktivitas minum pada pukul 19.40an semakin malam beberapa individu rusa timor saling bergantian minum, sampai pukul 3 dini hari. Landak mulai datang ke tempat air minum pada pukul 20.30an sampai pukul 23an. Hasil pantauan dari rekaman kamera trap menunjukkan bahwa jenis satwa liar yang memiliki populasi paling melimpah adalah babi hutan dan kera ekor panjang. Menurut Shaw (1985), besarnya ruang tergantung ukuran populasi. Ukuran populasi tergantung besarnya satwa, jenis pakan, produktivitas, dan keragaman habitat. Kawasan Tanjung Torong Padang memiliki ruang yang cukup luas. Hasil pengukuran menunjukkan kawasan Tanjung Torong Padang secara keseluruhan memiliki luas 849,6 hektar. Kawasan Tanjung Torong Padang yang merupakan sebaran feeding ground bagi satwa herbivora seperti rusa timor memiliki luas bukit savana seluruhnya 549,6 ha; dan luas lembah keseluruhan 300,0 ha yang berpotensi sebagai habitat berbagai satwa liar yang menyukai kawasan lembah.
POTENSI ULES (Helicteres Isora) dan TARUM (Indigofera) SEBAGAI HHBK DI DESA BOSEN KAB. TIMOR TENGAH SELATAN Oleh : Dani Pamungkas Pendahuluan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) termasuk buah-buahan, karet dan getah, rotan dan tanaman obat memiliki nilai kegunaan produktif yang besar. Produk bukan kayu ini, yang secara salah disebut sebagai hasil hutan minor,kenyataannya memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan bahkan dapat menandingi nilai kayu (Indrawan, 2007). Ules (Helicteres isora) dan tarum (Indigofera) merupakan salah satu HHBK yang dapat dijumpai di Desa Bosen, Kab. Timor Tengah Selatan (TTS). Ules dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku obat tradisional, sedangkan tarum oleh masyarakat sekitar dimanfaatkan sebagai bahan baku pewarnaan alami dalam pembuatan kain tenun ikat tradisional. Apabila dikelola dengan baik, kedua jenis ini memiliki peluang untuk memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar. Balai Penelitian Kehutanan Kupang (BPK Kupang) bersama dengan ICRAF melakukan kerjasama untuk peningkatan produktivitas
tanaman yang terdapat disekitar masyarakat yang berfokus pada jenis Ules dan Tarum. Deskripsi Jenis a. Ules (Helicteres isora) Ules (Helicteres isora) atau usak ne'o dalam bahasa lokal Desa Bosen Kab Timor Tengah Selatan NTT merupakan tumbuhan yang banyak tumbuh di perkebunan masyarakat. Berdasarkan penuturan beberapa masyarakat, tanaman ini sangat mudah tumbuh dan meskipun dilakukan pembersihan tanaman ini tidak mudah mati. Secara botanis tanaman ini dapat diklasifikasikan pada Angiospermae (divisio), Eudicots (class), Malvales (order), Malvaceae/Sterculiaceae (family), Helicteroidae (subfamily), Helicteres (genus) dan Helicteres isora (species) (Wikipedia). Di Desa Bosen, tumbuhan ini banyak dijumpai didaerah pegunungan yang memiliki ketinggian tempat ± 691 m diatas permukaan laut
Edisi VIII No. 2 November 2015
17
A
A
B
B
C C
Gambar 2. A. Kenampakan tumbuhan tarum. B. Kenampakan buah tarum. C. Kenampakan bunga tarum (Sumber gambar c : http://oyinayashi.blogspot.com/).
Gambar 1. A. Kenampakan batang tumbuhan ules. B. Kenampakan bunga dan daun ules. C. Kenampakan buah dan biji ules.
yang memiliki lokasi lahan miring yang cukup curam di lokasi tersebut, ules dapat dijumpai dengan sangat mudah dan menyebar merata serta tidak terputus. Secara umum, pertumbuhan ules mengikuti kontur lahan yang miring seperti nampak pada gambar 1a. Ules terdiri dari banyak batang yang menggerombol menjadi satu individu tanaman, jumlah batang dalam satu rumpun memiliki variasi jumlah batang yang cukup besar yaitu antara 2-14 batang. Sedangkan panjang batang dapat mencapai 3-5 meter. Daun ules termasuk berdaun tunggal dengan duduk daun berseling dengan tepi daun bergerigi kecil, jika daun diraba akan memberikan kesan memiliki bulu yang halus. Buah yang masih muda berwarna hijau sedangkan jika telah matang berwarna coklat tua. Bentuk buah spiral, bila diurai akan diperoleh 4 untaian buah yang tergabung dalam satu tandan buah. Selain itu buah ules memiliki ukuran yang sangat kecil, diperkirakan memiliki ukuran yang hampir sama dengan biji wijen.
18
Edisi VIII No. 2 November 2015
b. Tarum (Indigofera) Tarum (indigofera) atau ta'um dalam bahasa lokal, merupakan salah satu tumbuhan yang mudah dijumpai di Desa Bosen. Secara botanis tumbuhan ini diklasifikasikan kedalam Magnoliophyta (divisio), Magnoliopsida (class), Rosidae (subclass), Fabales (order), Fabaceae (family), Indigofera (genus) (Plantamor). Tumbuhan tarum yang tersebar di Desa Bosen dapat dijumpai pada ketinggian ± 709 m diatas permukaan laut dengan kondisi tapak tempat tumbuh yang datar. Jenis tarus yang dijumpai memiliki dua jenis jika diperhatikan dari buah yang dihasilkan, salah satunya memiliki buah dengan bentuk lurus sedangkan lainnya meiliki bentuk yang melengkung, namun demikian kedua jenis tarum ini dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan baku pewarna alami. Secara umum, tarum tumbuh secara bergerombol dengan luasan tertentu, kemudian dijumpai lagi gerombolan lainnya yang terpisah.
Tarum merupakan tumbuhan berdaun majemuk dengan duduk daun berhadapan dengan jumlah daun 11 – 15 helaian daun, dengan tinggi tanaman yang dijumpai dilokasi berkisar antara 56 – 300 cm. Menurut Lemmens (1999) indigofera memiliki perawakan perdu besar dengan tinggi antara 2,5 – 3 m dengan bunga panjangnya 5 mm dan buah polong dengan panjang 2 – 2,5 cm dengan isi biji 4 – 8 biji. Potensi Pemanfaatan A. Ules Berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber menunjukkan bahwa tumbuhan ules memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Bagian – bagian tumbuhan yang dimanfaatkan berupa organ generatif seperti buah dan organ vegetatif seperti kulit batang dan akar. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kandungan fitokimia tanaman ules yang memiliki potensi obat herbal terletak
pada ekstrak buah ules (Basniwal et al, 2009) dan kulit batang (Kumar, 2008) yang memiliki aktivitas antioksidan yang kuat. B. Tarum Jenis-jenis indigofera dimanfaatkan secara luas sebagai sumber pewarna biru, tarum, di seluruh wilayah tropika. Jenis – jenis ini juga dianjurkan untuk ditanam sebagai tanaman penutup tanah dan sebagai pupuk hijau, khususnya di perkebunan – perkebunan teh, kopi, dan karet. Daun digunakan dalam pengobatan tradisional untuk menyembuhkan penyakit ayan dan gangguan syaraf, juga untuk luka dan borok (Lemmens, 1999). Proses terbentuknya warna biru setelah tanaman ini direndam didalam air, proses hidrolisis oleh enzim akan mengubah indikan menjadi indoksil (tarum-putih) dan glukosa. Indoksil dapat dioksidasi menjadi tarum-biru (Lemmens, 1999). Lemmens (1999) menambahkan bahwa daun tumbuhan indigifera memiliki kandungan N
Edisi VIII No. 2 November 2015
19
| FOKUS | www.youtube.com
5,11%; P2O2 0,78%; K2O 1,67%; CaO 5,35% yang menurut bobot keringnya. Penutup Hingga saat ini, jenis tumbuhan ules belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, bahkan banyak yang tidak mengetahui manfaatnya. Tumbuhan ini memiliki potensi sebagai HHBK karena keberadaannya cukup melimpah di Desa Bosen. Apabila jenis tersebut dapat dikelola dengan baik dan benar, bukan tidak mungkin akan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Daftar Pustaka Basniwal, P.K., Suthar, M., Rathore, G. S., Gupta,R., Kumar, V., Pareek, A. and Jain, D. 2009. In-vitro antioxidant activity of hot aqueos extract of Helicteres isora Linn. Fruits. Natural Product Radiance. Vol. 8(5), 2009, pp.438-487. Galingging, R. Y. 2006. Potensi Plasma Nutfah Tanaman Obat Sebagai Sumber Biofarmaka Di Kalimantan Tengah. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol. 10 No. 1, Juni 2006 : 76-83.
20
Edisi VIII No. 2 November 2015
Indrawan, M., Primack, R. B. dan Supriatna, J. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Conservation International Indonesia, Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI), Yayasan WWF Indonesia, Uni Eropa dan Yayasan Bina Sains Hayati Indonesia. Jakarta. Kumar, G., Banu, G. S. and Murugesan, A. G. 2008. Effect of Helicteres isora bark extracts on heart antioxidant status and lipid peroxidation in streptozotocin diabetic rats. Journal of Applied Biomedicine. 6: 89-95. ISSN 1214-0287. Lemmens, R. H. M. J. dan Soetjipto, N. W. 1999. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara, PT. Balai Pustaka (Persero), Jakarta bekerjasama dengan PROSEA Indonesia Bogor. P l a n t a m o r. h t t p : / / w w w. p l a n t a m o r. c o m / index.php?plant=706. [akses : 7-05-2015] Wikipedia. http://en.wikipedia.org/wiki/Helicteres_isora. [akses : 7-05-2015]
Mengenal Anggrek Terestrial Calanthe Sp. DI PULAU TIMOR Oleh : Oskar K. Oematan Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuhan pemanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan manusia. Ahli ekologi mengungkapkan bahwa hutan sebagai suatu masyarakat tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan berbeda dengan keadaan di luarnya. Fungsi hutan untuk menjaga mutu dan keseimbangan lingkungan hidup terutama untuk kepentingan umat manusia (Arifin, 2001). Kebanyakan penggemar dan pemerhati
anggrek menaruh perhatian pada jenis-jenis epifit, sedangkan anggrek terestrial kurang diminati. Hal ini karena anggrek epifit memiliki daya tarik pada bunga yang indah dan berukuran besar, sedangkan anggrek terestrial umumnya berbunga kecil dengan warna kurang menarik. Data mengenai jenis anggrek terestrial dan persebarannya di Pulau Timor sampai saat ini belum ada. Menurut Petocz (1987) anggrek dapat dijumpai hampir di semua habitat mulai dari pantai sampai pegunungan, tetapi paling banyak dijumpai pada hutan dataran rendah dan berawa, perawakan
Edisi VIII No. 2 November 2015
21
A
anggrek sangat bervariasi baik bentuk, tipe, maupun ukuran sehingga menarik perhatian dan banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias dan lain-lain bahkan masuk bursa perdagangan nasional maupun internasional. Anggrek adalah nama umum untuk menyebut semua famili Orchidaceae (keluarga anggrek-anggrekan) dan suku ini merupakan salah satu grup terbanyak di antara tumbuh-tumbuhan bunga lainnya (Agromedia, 2006). Penggolongan anggrek menurut Darmono (2007) berdasarkan tempat tumbuhnya di alam di golongkan menjadi 5 bagian yaitu: Anggrek epifit Anggrek teresterial Anggrek Saprofit Anggrek litofit Anggrek Aquatik 1. Anggrek teresterial yaitu anggrek yang hidup di tanah, umumnya memiliki daun yang relatif tipis dan daunnya berwarna hijau. Memiliki kemampuan mengambil CO2 dari udara dan mengambil zat-zat organik dari dalam tanah. 2. Anggrek terestrial mempunyai rambut akar yang panjang dan rapat sehingga memungkinkan tanaman mengambil air dan zat anorganik dari tanah. 3. Contoh marga yang tergolong anggrek terestrial adalah: Calanthe, Arachnis, Renanthera, Cymbidium, Coelogine, Corymborkis, Vr y d a g z y n e a , H a b e n a r i a , P e r y s t y l l u s , Spathoglottis, Plantanthera, dan Nervilea. Sebagai Salah Satu Anggrek teresterial, anggrek Calanthe di klasifikasikan kedalam : (Millar (1978) ) Dunia : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotiledonae Bangsa : Orchidales Suku : Orchidaceae Marga : Calanthe Deskripsi jenis anggrek terestrial Calanthe sp
22
Edisi VIII No. 2 November 2015
B
yang dalam nama lokal Dawan Timor disebut Haemese adalah sebagai berikut: Perawakan: herba, berumpun, diameter 0.5-0.6 cm, tinggi 25 cm, batang silindris dan beruas dengan ukuran 3.6-5.2 cm, tiap batang memiliki 1 umbi semu, bentuk bulat berwarna putih mirip bawang dan akar panjang 2.1-5.5 cm, lebar 0,4 cm Daun: tunggal, kedudukan melingkar, bentuk linear, berwarna hijau mengkilap, berukuran panjang 16.1-18.5 cm, lebar 2.7-3.1 cm, ujung meruncing, tepi rata, pangkal runcing, memiliki upih daun berukuran panjang 4.3-5.3 cm, lebar 0.6 cm, daun terpuntir.
C
Bunga: bulir, muncul dari samping buah semu, tangkai bentuk bulat, berwarna hijau, panjang tangkai bunga 21 cm, lebar 0.6 cm, panjang bunga 4.7 cm, lebar bunga 3.3 cm, memiliki daun pelindung pada tangkai. Buah: tidak ditemukan Biji: tidak ditemukan Kemiripan: marga Nervilia yang memiliki umbi semu sehingga kadang orang mengelompokkan sebagai anggota famili Araceae dan kadang pula disebut dengan nama bawang. Jenis ini untuk daerah seperti Nusa Tenggara Timur dapat dijumpai pada musim hujan dan saat musim panas atau kemarau umbi bersemi dan menguncup sampai musim hujan, sedangkan untuk Papua New Guinea anggrek ini akan nampak sepanjang tahun karena musim hujan dan kemarau tidak jelas atau selalu hujan, sehingga mudah untuk diamati atau dibutuhkan kapan saja. Ekologi : Jenis Calanthe sp. tumbuh pada pekarangan atau kebun, dan di kawasan hutan baik primer maupun sekunder, sangat cocok pada tanah aluvial, berkapur, berbatu dan berkarang, terdapat pada hutan dataran rendah mulai dari pantai sampai ketinggian 100 m dpl.
D
Gambar Calanthe sp. A,B Perawakan Calanthe sp. di Kampung Muke, Kabupaten Timor Tengah Selatan, C. Bunga, D. Umbi semu.
Penyebaran jenis anggrek Calanthe sp. : berdasarkan pengamatan jenis anggrek ini tumbuh luas di kampung Muke, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Malaka, bahkan ditemukan di Kepulauan Papua New Guinei, Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Kegunaan: sebagai tanaman hias dan tanaman obat di kampung Muke, Kabupaten Timor Tengah Selatan, untuk mengobati bayi yang belum merangkak atau jalan, bagian yang diambil adalah umbi semu sebanyak 1-2 buah kemudian dihaluskan lalu di tempelkan pada lutut dan di urut berulang-ulang sampai bayi dapat berjalan sempurna. Asosiasi: jenis ini di pekarangan berasosiasi dengan suf muti/ bunga putih (Ageratum conyzoides), nilam (Pogostemon) sp., jotang kuda (Synedrella sp.), alang-alang (Imperata cylindrical), jarak
kepyar (Ricinus gossipifolia), dan rumputrumputan (famili Poaceae) lain.
Daftar Pustaka Agromedia. 2006. Cara Tepat Merawat Anggrek. PT. Agro Media Pustaka. Jakarta. Arobaya, A,Y,S., J.D. Niugroho, 2004. Records Of Orchidaceae From Waigeo island Of Raja Ampat Archipelago Of Papua: Notes On Distribution & Morphological Characters. Beccariana 6 (2) : 48-64. Darmono, D.W. 2007. Permasalahan Anggrek Dan Solusinya. Penebar Swadaya. Jakarta. Millar, A. 1978. Orchid Of Papua New Guinea an Introduction. Australia National University Press. Canbera Petocz, R.G. 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan di Papua. PT. Temprint Jakarta. Jakarta.
Edisi VIII No. 2 November 2015
23
| GALERI PERISTIWA | 24
Gelar Teknologi HHBK di Kabupaten Malaka— 3 September 2015
Gelar Teknologi HHBK di Kabupaten Malaka— 3 September 2015
Gelar Teknologi HHBK di Kabupaten Malaka— 3 September 2015
Gelar Teknologi HHBK di Kabupaten Malaka— 3 September 2015
Edisi VIII No. 2 November 2015
Edisi VIII No. 2 November 2015
25
| KILAS BERITA |
Selamat pada peneliti muda berprestasi Bapak Oki Hidayat yang dalam kegiatan INAFOR di Bogor , pada tanggal 22—23 Oktober 2015 mendapat penghargaan antara lain ? Peneliti LHK terbaik ? Penerima Alison sudrajat 3 dari 450 orang, ? Penerima beasiswa Australia award dengan nilai grand penelitian 25.000 dolar Australia Terus berkarya sebagai peneliti terbaik terutama untuk Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2015 SEMINAR NASIONAL 2015 Balai Penelitian Kehutanan Kupang akan menyelenggarakan Seminar Nasional Pada Tanggal 24 Nopember 2015 bertempat di Hotel Swiss Bellin Hotel—Kupang NTT . Thema : Biodiversitas Savana Nusa Tenggara
Tanggal 18—23 Oktober 2015, Balai Penelitian Kehutanan Kupang bergabung dalam berbagai even yang diadakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan , antara lain gelar teknologi , pameran pekan wisata ilmiah dan pameran INAFOR
Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2015
26
Edisi VIII No. 2 November 2015
Edisi VIII No. 2 November 2015
27
Ketapang Beach sunset, Timor Island, Nusa Tenggara Timur source : ametsignjourney.wordpress.com
PETUNJUK BAGI
PENULIS BAHASA Naskah artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia, memuat tulisan bersifat popular/semi ilmiah dan bersifat informatif.
FORMAT Naskah diketik diatas kertas kuarto putih pada satu permukaan dengan 2 spasi. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong minimal 3,5 cm.
JUDUL Judul dibuat tidak lebih dari 2 baris dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama penulis dicantum-kan dibawah tulisan.
FOTO Foto harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi judul dan keterangan pada gambar.
GAMBAR GARIS Grafik atau ilustrasi lain yang berupa gambar diberi garis harus kontas dan dibuat dengan tinta hitam. Setiap gambar garsi harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Daftar Pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantum-kan tahun penerbitan, sebagai berikut : Allan, J.E. 1961. The Determination of Copper by atomic Absorbstion of spectrophotometry. Spec-tophotometrim Acta (17), 459-466. 28
Edisi VIII No. 2 November 2015