CEMAS: NORMAL ATAU TIDAK NORMAL Dra.JOSETTA MARIA REMILA TUPATTINAJA Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Bila dicermati lebih jauh, dapat dikatakan bahwa sejak tahun 1998 kehidupan kita sebagai masyarakat di negeri Indonesia tercinta ini sering di warnai situasi yang tidak nyaman. Beberapa kali terjadi perubahan dan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok maupun kebutuhan pendukung lainnya. Belum lagi kerusuhan yang melanda di beberapa kota yang meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan sehari-hari yang biasa dijalani dan menimbulkan trauma pada sebagian besar anggota masyarakat, baik anak-anak maupun orang dewasa lainnya. Demonstrasi dari berbagai kelompok masyarakat juga semakin marak. Jika dulu, di tahun 1980-an, kegiatan demonstrasi merupakan hal yang unik dan menjadi tontonan walaupun mendebarkan, sekarang justru relatif tidak mendapat perhatian masyarakat lagi. Terlalu seringnya melihat atau mendengar kata demonstrasi membuat masyarakat tidak gentar lagi dan bersembunyi di rumah. Mereka tetap menjalani rutinitas kehidupan sehari-hari sebagaimana biasanya, asalkan tetap berhati-hati dan menghindari daerah-daerah sasaran demonstrasi di gelar. Ternyata serangkaian kejadian atau perubahan yang terjadi selama beberapa tahun belakangan ini belum juga tuntas. Di awal tahun 2003, kembali masyarakat Indonesia harus berhadapan dengan perubahan tarif dasar listrik, peningkatan biaya telepon dan air serta harga BBM – yang tentu saja akan diikuti dengan serangkaian perubahan harga-harga kebutuhan dasar pokok, yang tidak mau atau tidak dapat ketinggalan, terpaksa harus ‘melonjak’. Kondisi ini tidak hanya berpengaruh pada para pengusaha yang harus tetap menjaga ritme produksi agar bisa terus memperoduksi, tetapi juga berpengaruh pada rakyat kecil yang bertanya-tanya mengapa mereka juga harus menanggung kesulitan ini. Ketidak-mampuan seseorang dalam menghadapi perubahan yang demikian cepat dan dirasakan semakin bertambah berat dapat menimbulkan perasaan cemas karena ketidak-mampuan atau ketidak-berdaya untuk apa-apa selain mengikuti saja alur keputusan yang ada dan berupaya melewati hari demi hari sebagaimana adanya. Kecemasan, yang menurut kamus lengkap psikologi disebut sebagai anxiety ini, oleh Neale (2001) digambarkan sebagai suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan. Sebagaimana diketahui, perasaan manusia ada yang positif, seperti bahagia, gembira, senang – tetapi ada juga yang negatif, seperti kecewa, bingung, khawatir dan sebagainya. Tidak ada satupun dari kita yang memilih untuk mengembangkan perasaan negatif. Tetapi seringkali kita tidak punya pilihan lain, selain menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan dan harus masuk kedalam perasaan yang negatif.
© 2003 Digitized by USU digital library
1
Ilustrasi cerita yang disampaikan Acocella dkk (1996) tentang Richard Benson adalah salah satu contoh individu yang mengalami anxiety. Pria berusia 37 tahun ini sering kelihatan seperti sedang mendapat serangan jantung secara tiba-tiba; dia mengalami kesakitan di bagian dada dan jantung yang berdebar-debar, mati rasa dan nafas yang pendek-pendek. Masa kecilnya memang pernah mengalami infeksi pada kandung kemih dan ginjal tetapi sudah sembuh sejak usia 11 tahun. Namun pengalamannya saat kecil membuat ia yakin dan memastikan dirinya belum sembuh sehingga ia mudah panik dengan nafas yang pendek dan cepat jika berada di suatu lokasi yang tidak dikenal sementara ia tidak menemukan kamar kecil saat ia merasa butuh buang air kecil. Hal ini berkepanjangan hingga ia dewasa, ia tidak dapat bertahan lama untuk melakukan pekerjaannya, apalagi yang menuntutnya untuk pergi ke kantor lain yang sulit baginya untuk dapat segera menemukan kamar mandi. Kasus lain yang juga mencerminkan gejala anxiety adalah adanya rasa takut yang berlebihan terhadap suatu objek atau situasi tertentu. Jika objek tersebut adalah ular misalnya, maka kecemasan yang muncul dalam diri seseorang dapat dikatakan sebagai suatu perasaan yang wajar dan memang sudah semestinya demikian. Tetapi jika ternyata yang ditakutinya adalah terowongan, ruangan tertutup, kerumunan orang atau berada di dalam lift, elevator dan sejenisnya maka hal ini dapat menjadi eksklusif. Maksudnya adalah hanya dialami oleh beberapa orang saja sementara sebagian besar orang lain umumnya tidak mengalami kecemasan. Sebenarnya masih banyak contoh kasus yang menceminkan adanya anxiety dan perlu ditangani secara profesional sehubungan dengan pikiran atau perasaan maupun tindakan mereka yang tidak lazim atau tidak umum dialami oleh kebanyakan orang. Masyarakat melihat normal-tidaknya suatu perilaku seseorang terpulang pada dua pertanyaan dalam mendefinisikan istilah tidak-normal (abnormal), yang oleh Acocella dkk (1996) di uraikan sebagai pertama, bagaimana masyarakat meletakkan batasan antara perilaku yang dapat diterima (acceptable behavior) dan perilaku yang tidak dapat diterima (unacceptable behavior). Kedua, masyarakat melihat perilaku yang tidak dapat diterima (unacceptable behavior) sebagai gangguan (disorder) daripada sekedar perilaku yang tidak diinginkan (undesirable). Dengan gambaran seperti tersebut maka dapatkah dikatakan bahwa perasaan cemas atau kecemasan atau anxiety menghadapi perubahan dan kesulitan hidup yang beruntut merupakan suatu fenomena yang menggambarkan atau yang mengarah ke perilaku yang normal, ataukah tidak-normal (abnormal) ?. Sementara kita tahu bahwa setiap individu dalam menjalani kehidupan ini bisa saja secara sadar atau tidak sadar, suka atau tidak suka harus masuk kedalam suatu situasi yang bisa menimbulkan perasaan cemas.
© 2003 Digitized by USU digital library
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II. 1. Batasan Perilaku Normal dan Tidak Normal (abnormal) Acocella dkk (1996) memberikan beberapa kriteria dalam upaya memahami apakah suatu perilaku dapat dikatakan normal atau tidak normal (abnormal), walaupun mungkin yang paling umum adalah norma-norma yang ada dalam satu masyarakat. Adapun kriteria tersebut adalah: 1. Norm Violation: Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah mahluk sosial sehingga ia selalu berada bersama-sama dengan manusia lain dalam satu komunitas. Di setiap komunitas ada tata-cara atau norma-norma yang mengatur perilaku dari setiap manusia yang di dalamnya saling berinteraksi satu dengan lainnya. Tata cara atau norma ini merupakan aturan main yang bisa saja berlaku sama pada dua atau beberapa komunitas, tetapi juga bisa berbeda. Oleh sebab itu, satu perilaku yang diterima sebagai perilaku yang ‘benar’ bisa saja menjadi perilaku yang ‘salah’ jika kita berada pada komunitas lain. “Every human groups lives by a set of norms – rules that tell us what it it ‘right’ and ‘wrong’ to do, and when and where and with, whom.” Jika lingkungan komunitas dimana seseorang itu berada termasuk kecil dan terintegrasi dengan baik maka ketidak setujuan terhadap norma yang berlaku juga semakin kecil. Sebaliknya, jika ternyata lingkungan komunitasnya besar dan merupakan masyarakat yang kompleks lebih mungkin menimbulkan ketidak-setujuan mengenai mana perilaku yang diterima dan mana yang tidak. 2.
Statistical Rarity: Kriteria ini berdasaran sudut pandang statistik yang menyatakan bahwa suatu perilaku itu normal atau tidak normal (abnormal) tergantung pada dimana perilaku tersebut muncul. Suatu perilaku dinyatakan abnormal jika berada pada titik deviasi dari penyebaran rata-rata, baik itu rata-rata atas maupun rata-rata bawah dari kurve normal. “abnormality is any substantial deviation from a statistically calculated average. Those who fall within the ‘golden mean’ – those, in short, who do what most other people do – are normal, while those behavior differs from what of the majority are abnormal.”
3.
Personal Discomfort: Penetapan suatu perilaku apakah normal atau tidak normal (abnormal) tergantung pada penghayatan masing-masing individu atas pengalaman atau aktivitas kehidupannya sehari-hari. Kriteria ini lebih liberal karena tidak ditetapkan oleh pihak di luar dirinya sebagaimana dua kriteria sebelumnya, melainkan ditentukan oleh normalitas keadaan diri mereka sendiri. Memang kelemahan dari kriteria ini adalah karena tidak adanya standar untuk mengevaluasi perilaku itu sendiri, tetapi banyak digunakan dalam sesi psikoterapi dimana penetapan perilaku seseorang bukan dari orang lain tetapi oleh diri mereka sendiri yang menetapkan apakah mereka merasa tidak bahagia (unhappy) dengan beberapa aspek dalam kehidupannya. “If people are content with their lives, then their lives are of no concern to the mental health establishment. If, on the other hand,
© 2003 Digitized by USU digital library
3
they are distressed over their thoughts or behavior, then they require treatment” 4.
Maladaptive Behavior: Kriteria ini bisa tumpang-tindih dengan kriteria pertama (norm violation) karena perilaku normal atau tidak normal (abnormal) menurut kriteria ini berkaitan dengan adaptif-tidaknya suatu perilaku. Jika seseorang menampilkan perilaku yang sesuai dengan tuntutan lingkungan sekitar maka perilakunya termasuk kategori normal. Sebaliknya, jika ternyata perilaku yang ditampilkan tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan sekitar maka perilakunya adalah perilaku yang tidak-normal (abnormal). “Many norms are rules for adapting our behavior to our own and our society’s requirements”
5.
Deviation from an Ideal: Yang menjadi tolok ukur dalam menetapkan tidak normalnya (abnormal) suatu perilaku adalah segala penyimpangan dari ideally well adjusted personality. Hal ini berkaitan dengan teori-teori psikologis yang pada akhirnya membuat individu mengatakan bahwa dirinya tidak normal atau minimal membutuhkan penanganan psikologis, sekalipun tidak ada simptom-simptom yang nyata. “Several psychological theories describes an ideally well-adjusted personality, any deviation from which is interpreted as abnormal, to a greater or lesser degree.”
6.
A Combined Standard: Psikolog saat ini lebih melihat suatu perilaku tidak hanya berdasarkan faktafakta ilmu atau sekedar nilai-nilai sosial tetapi merupakan penggabungan dari fakta dan nilai yang berlaku, sebagaimana yang dikombinasikan pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM). “The definition of mental disorder must rest on both facts and values.”
Maher dkk (dalam Acocella, 1996) mengemukan 4 kategori dasar dari suatu perilaku sebagai indikasi dari gangguan mental, yaitu: 1. Tingkah laku yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain tanpa memperhatikan minat dirinya. 2. Kontak realitas yang rendah. 3. Reaksi emosi yang tidak tepat terhadap situasi interaksi. 4. Tingkah laku yang erratic, yang tidak dapat diprediksikan. Upaya memahami perilaku yang tidak normal (abnormal) juga disampaikan oleh Neale dkk (2001). Kriteria yang diajukan hampir sama dengan yang diajukan oleh Acocella dkk, yaitu yang berkaitan dengan statistical frequency dan violation of norms, juga adanya personal distress yang relatif sama dengan kriteria ke-3 yaitu personal discomfort. Tetapi selain ketiga hal tersebut, ia juga mengajukan kriteria disability or dysfunction dan unexpectedness. Disability or dysfunction berkaitan dengan terkendalanya individu dalam menjalani kegiatan di beberapa area kehidupannya, seperti pekerjaan atau dalam menjalin hubungan personal karena keabnormalannya. Distress dan disability dianggap abnormal ketika hal tersebut merupakan respon yang tidak diharapkan terhadap stresor lingkungan.
© 2003 Digitized by USU digital library
4
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa suatu perasaan cemas atau kecemasan atau anxiety dapat dikatakan normal jika : 1. Hampir seluruh atau sebagian besar orang lain juga mengalami kecemasan. 2. Individu itu sendiri tidak merasa terganggu secara emosional akan perasaan cemasnya. Maksudnya, ia tahu bahwa ia cemas hanya saja hal tersebut tidak membuatnya terkendala dalam menjalani aktivitas sehari-harinya, baik yang berkaitan dengan aktivitas belajar, pekerjaannya maupun dalam kehidupan sosial sehari-hari/bergaul. Ia bisa tetap berkarya serta memahami dan mentaati peraturan atau norma sosial yang berlaku. Jika ternyata individu mengalami hal yang justru sebaliknya, maka dapat dikatakan bahwa anxiety yang dialami tidak-normal. II. 2.Gambaran tentang Anxiety Neale dkk (2001) mengatakan bahwa anxiety sebagai perasaan takut yang tidak menyenangkan dan apprehension, dapat menimbulkan beberapa keadaan psikopatologis sehingga mengalami apa yang disebut gangguan kecemasan atau anxiety disorder. Walaupun sebagai orang normal, diakui atau tidak, kita bisa saja mengalami anxiety, namun anxiety pada orang normal berlangsung dalam intensitas atau durasi yang tidak berkepanjangan sehingga individu dapat tetap memberikan respon yang adaptif. Untuk memahami anxiety yang mempengaruhi beberapa area dari fungsifungsi individu, Acocella dkk (1996) mengatakan bahwa anxiety seharusnya melibatkan atau memiliki 3 komponen dasar, yaitu : 1. Adanya ungkapan yang subjektif (subjective reports) mengenai ketegangan, ketakutan dan tidak adanya harapan untuk dapat mengatasinya. 2. Respon-respon perilaku (behavioral responses), seperti menghindari situasi yang ditakuti, kerusakan pada fungsi bicara dan motorik, dan kerusakan tampilan untuk tugas-tugas kognitif yang kompleks. 3. Respon-respon fisiologis (physiological responses), termasuk ketegangan otot, peningkatan detak jantung dan tekanan darah, nafas yang cepat, mulut yang kering, nausea, diare dan dizziness. Akhirnya, anxiety menjadi gangguan dan diagnosa anxiety disorder dapat ditegakkan ketika individu menyatakan bahwa ada perasaan cemas yang secara nyata dialami secara subjektif dan hal ini mengganggu aktivitas sehari-hari serta menimbulkan beberapa respon fisiologis yang tidak nyaman. Anxiety dapat dialami dalam beberapa cara yang variatif. II.2.a. Jenis-jenis anxiety disorder Untuk dapat memahami anxiety disorder secara menyeluruh maka menurut Neale dkk (2001) ada 6 kategori utama yang termasuk di dalamnya, yaitu terdiri dari: 1. Panic Disorder, yang umumnya diawali dengan panic attacks atau serangan panik berulang yang ditandai dengan adanya gejala fisiologis, seperti pusing, detak jantung yang cepat, gemetar, perasaan tercekik dan ketakutan ‘menjadi gila’ atau ‘mau mati’. 2. Generalized Anxiety Disorder dikarateristikan dengan kekhawatiran yang tidak dapat dikuasai dan menetap, biasanya terhadap hal-hal yang sepele/tidak utama. 3. Phobia yaitu perasan takut dan menghindar terhadap objek atau situasi yang realitanya atau kenyataannya tidak berbahaya.
© 2003 Digitized by USU digital library
5
4. Obssessive-compulsive disorder ditandai dengan adanya ide-ide dalam pikiran yang muncul secara berulang-ulang dan tidak terkendali, serta menimbulkan perilaku yang berulang atau adanya tindakan mental. 5. Posttraumatic stress disorder merupakan akibat dari pengalaman traumatik dari suatu kejadian disertai gejala peningkatan arousal dan dorongan kuat untuk menghindari stimulus yang berhubungan dengan trauma tersebut. 6. Acute stress disorder, gejalanya sama dengan posttraumatic stress disorder yang terjadi secara langsung dan bertahan selama 4 minggu atau kurang. Sedangkan yang diajukan oleh Acocella dkk (1996) adalah adanya 3 pola dasar dalam memahami gejala-gejala anxiety disorder yang dialami oleh seseorang, yaitu yang berkaitan dengan panic disorder dan generalized anxiety disorder, phobias serta obsessive compulsive disorder. Secara umum dikatakan bahwa kecemasan pada penderita panic disorder dan generalized anxiety disorder tidak terfoukus : “..either it is with the person continually or it seems to descend ‘out of nowhere’, unconnected to any special stimulus.” Pada phobia, ketakutan muncul/ditimbulkan oleh suatu objek atau situasi yang di identifikasikan sebagai hal yang menakutkan, walaupun sebenarnya baik objek maupun situasi itu sendiri tidaklah menakutkan. Sementara pada penderita obsessive compulsive disorder, kecemasan muncul ketika ia tidak mampu memutuskan kaitan antara munculnya pemikiran-pemikiran secara intens dengan/atau tidak diikuti dengan memunculkan perilaku-perilaku tertentu yang sulit untuk dikontrol. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (1994) memberikan gambaran yang lebih rinci mengenai gangguan-gangguan tersebut diatas. Namun perlu diingat bahwa ada beberapa gejala yang muncul pada satu gangguan dapat juga muncul pada gangguan lain. Hal ini disebut sebagai cormobidity (Neale dkk, 2001) : “Often someone with one anxiety disorder meets the diagnostic criteria for another disorder as well” Oleh sebab itu, kita perlu memahami dengan jelas dan pasti persamaan dan perbedaan yang esensi dari masing-masing gangguan agar tidak terjadi kekeliruan dalam menegakkan diagnosa. Sehubungan dengan situasi negara kita yang belum stabil yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman/ketegangan yang juga berdampak pada kelancaran pelaksanaan kegiatan rutinitas sehari-hari maka pembahasan mengenai anxiety disorder akan dibatasi pada panic disorder dan generalized anxiety disorder. Berikut ini akan disampaikan ciri-ciri diagnostik dari panic disorder dan generalized anxiety disorder sebagaimana yang di paparkan pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (1994). II.2.a.1. Panic disorder Sesuai dengan DSM IV, Acocella dkk (1996) mengatakan bahwa individu disebut mengalami panic disorder jika ia secara berulang-ulang mengalami serangan
© 2003 Digitized by USU digital library
6
panik (panic attacks) yang tidak diharapkan, dan keadaan ini menimbulkan masalah secara psikologis ataupun perilaku : “A person has panic disorder when she or he has had recurrent unexpected panic attacks, followed by psychological or behavioral problems – that is implications or consequences of the attack, or significant changes in behavior (e.g., staying home from work) as a result of the attacks.” Ciri-ciri diagnostik dari panic attacks oleh DSM IV (1994) digambarkan secara terpisah karena keadaan ini terjadi dalam beberapa konteks yang berbeda pada anxiety disorder. Adapun ciri-ciri dari keadaan panic attacks adalah : 1. Munculnya rasa takut yang sangat kuat atau ketidak-nyamanan yang disertai paling sedikit 4 dari 13 gejala somatis atau kognitif berikut ini : - Jantung berdebar-debar. - Berkeringat. - Gemetar. - Perasaan nafas semakin sulit atau sesak atau tercekik. - Perasaan susah menelan. - Sakit di dada atau perasaan ‘tidak enak’. - Mual atau gangguan pada perut. - Pusing. - Perasaan takut kehilangan kendali atau ‘menjadi gila’. - Perasaan takut mati. - Paresthesias. - Perasaan dingin atau panas. - Depersonalisasi atau derealisasi Neale dkk (2001) menggambarkan depersonalisasi sebagai : “a feeling of being outside one’s body.” Sedangkan derealisasi digambarkan sebagai : “a feeling of the world’s not being real, as well as fears of losing control, of going crazy, or even of dying may beset and overhelm the patient.” 2. Pemunculannya ini secara tiba-tiba dan memuncak secara cepat, biasanya dalam waktu 10 menit atau lebih disertai adanya perasaan bahwa bahaya akan terjadi sehingga timbul dorongan untuk melarikan diri. Ada 3 jenis karakteristik dari panic attack dengan hubungan yang berbeda antara serangan dari attack dan ada-tidaknya pemicu situasi : 1. Unexpected panic, yaitu serangan dari panic attack tidak ada hubungannya dengan pemicu situasi panik. Hal ini biasa muncul pada individu yang mengalami panic disorder - dengan atau tanpa agoraphobia. Yang dimaksud dengan agoraphobia adalah keadaan cemas yang terjadi pada situasi dimana melarikan diri mungkin akan sulit atau terhambat, atau tidak adanya pertolongan yang bisa diharapkan saat terjadi panic attack. 2. Situational bound (cued) panic attack yaitu munculnya panic attack secara tibatiba dalam waktu yang bervariasi, atau merupakan antisipasi dari isyarat/pemicu situasi. Hal ini biasanya muncul pada social phobia atau social anxiety disorder
© 2003 Digitized by USU digital library
7
maupun pada spesific phobia. Yang dimaksud dengan social phobia atau social anxiety disorder adalah ketakutan yang menetap terhadap satu atau lebih situasi sosial, yang diakui oleh individu sebagai perasaan yang berlebihan dan tidak beralasan sehingga menimbulkan perasaan sensitif terhadap kritikan, evaluasi negatif atau penolakan serta menimbulkan perasaan harga diri yang rendah. Contoh sederhana dari social phobia adalah adanya sikap menghindar makan di pinggir jalan misalnya sehubungan dengan adanya perasan khawatir akan penilaian negatif dari orang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan spesific phobia adalah ketakutan yang menetap, yang tidak beralasan dan berlebihan sebagai akibat dari kehadiran atau antisipasi terhadap objek atau situasi tertentu. Perasaan takut ini disadari oleh yang bersangkutan tetapi tidak dapat dikendalikan dan akan menjadi gangguan jika sudah sampai mengganggu rutinitas sehari-hari. Contohnya, individu tidak mau makan di kantor hanya karena ia khawatir akan tercekik. 3. Situationally predisposed panic attack terjadi jika panic atttack terjadi justru disaat individu mengendalikan diri atau sewaktu individu mengalami anxiety setelah pengendalian diri berlangsung selama setengah jam. Karena khawatir terhadap panic attacks dan implikasinya, banyak individu yang akhirnya melaporkan adanya perasaan anxiety yang menetap atau sebentar tanpa terkait pada suatu situasi atau peristiwa yang khusus. Hal ini kemudian akan berkembang menjadi gangguan panik (panic disorder). Untuk dapat menegakkan diagnosa adanya panic disorder, perhatikan ciri-ciri diagnostik utama sebagaimana yang digambarkan pada DSM IV (1994), yaitu sebagai berikut: A. Pemunculan kembali panic attacks yang tidak diharapkan secara berulang-ulang yang diikuti 1 bulan atau lebih salah satu/lebih hal-hal berikut ini: - Bersifat menetap tentang adanya attacks. - Khawatir terhadap implikasi dari attacks. - Perubahan pada perilaku tertentu sehubungan dengan attacks. B. Tidak adanya agoraphobia. C. Panic attacks tidak berhubungan langsung dengan efek fisiologis dari pengaruh zat kimia ataupun kondisi umum medis. D. Panic attacks tidak dapat memberikan penjelasan yang lebih baik dari gangguan mental lainnya, seprti social phobia, spesific phobia, obsessive compulsive disorder, posttraumatic stress disorder ataupun separation anxiety disorder. Pada DSM IV (1994), panic disorder juga di diagnosa dengan atau tanpa agographobia. Hal ini juga diungkapkan oleh Neale dkk (2001) sebagai berikut : “In DSM IV, panic disorder is diagnosed as with or without agofraphobia. Agoraphobia (from the Greek agora, meaning ‘marketplace’) is a cluster of fears centering on public places and being unable to escape or find help should one become incapacitated.” Jadi, individu yang mengalami panic disorder with or without agoraphobia ditandai dengan ada-tidaknya perilaku menghindar (avoidant behavior). Penghindaran ini diasosiasikan dengan ketakutan akan mengalami panic attacks mengenai tempat atau situasi dimana sulit untuk melarikan diri atau tidak mungkin mendapat bantuan. II.2.a.2. Generalized Anxiety Disorder Individu dengan gangguan generalized anxiety akan terus-menerus merasa khawatir tentang hal-hal yang kecil/sepele tetapi kekhawatiran ini berlebihan, tidak
© 2003 Digitized by USU digital library
8
dapat dikontrol dan menyangkut beberapa aspek kehidupan. Acocella dkk (1996) mengatakan bahwa : “As the name suggest, the main feature of generalized anxiety disorder is a chronic state of diffuse anxiety. DSM IV defines the syndrome as exessive worry, over a period of at least six months, about several life circumstances. The most common areas of worry are family, money, work, and health (Rapee & Barlow,1993).” Beberapa individu yang normal bisa saja cemas terhadap berbagai hal, tetapi jika berlebihan dan tidak mampu dikendalikan maka inilah yang akhirnya menjadi gangguan. Individu dengan generalized anxiety disorder seoleh-olah menunggu ‘sesuatu yang buruk’ akan terjadi pada diri mereka sehingga merasa merasa gelisah, mudah terpengaruh dan sulit konsentrasi. DSM IV (1994) menggambarkan ciri-ciri diagnostik dari gangguan ini agar dapat ditegakkannya diagnosa yang tepat. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut: A. Adanya kecemasan dan keresahan yang berlebihan (apprehensive expectation) yang terjadi sehari-hari sampai minimal 6 bulan, mengenai sejumlah kegiatan atau kejadian seperti pekerjaan, sekolah). B. Individu sulit mengkontrol keresahannya. C. Kecemasan dan keresahan diasosiasikan dengan 3 atau lebih gejala berikut ini (beberapa gejala hadir dalam beberapa hari sampai sedikitnya 6 bulan) : - Kurang istirahat atau merasa terkurung/terkunci. - Mudah lelah atau kelelahan yang berlebihan. - Sulit konsentrasi atau pikiran kosong. - Mudah tersinggung. - Ketegangan otot. - Gangguan tidur (sulit tidur atau semakin banyak tidur ataupun tidur tidak puas). D. Kecemasan, keresahan atau gejala fisik yang disebabkan distress klinis atau kelemahan pada sosial, pekerjaan atau area penting lainnya. E. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari substansi (pengobatan) ataupun kondisi umum medis. Disamping generalized anxiety disorder, gangguan kecemasan juga bisa muncul sebagai akibat dari kondisi umum medis (anxiety disorder due to general medical condition) ataupun yang merupakan efek langsung dari pemakaian substansi-substansi tertentu (substance-induce anxiety disorder). Dua kondisi ini di diagnosa terpisah dari general anxiety disorder karena mereka memiliki ciri-ciri diagnostik tersendiri. Yang termasuk dalam anxiety disorder due to ... (indicated the general medical condition) dikarakteristikan sebagai berikut : 1. Kecemasan yang menonjol (prominent anxiety), panic attacks atau obsessive compulsive yang dominan pada gambar klinis. 2. Adanya keterangan bahwa gangguan adalah akibat langsung fisiologis terhadap kondisi umum medis. 3. Gangguan tersebut tidak menyebabkan gangguan mental lainnya. 4. Diagnosa tidak dibuat jika gejaka kecemasan terjadi hanya dalam keadaan delirium, seperti dalam keadaan koma atau penurunan kesadaran. 5. Gejala kecemasan membuat terkendalanya aktivitas kerja, jalinan hubungan sosial atau daerah fungsi penting lainnya.
© 2003 Digitized by USU digital library
9
Sedangkan diagnosa subtance-induced anxiety disorder ditegakkan jika memiliki ciri-ciri diagnostik yang relatif sama dengan digambarkan pada anxiety disorder due to ... (indicated the general medical condition), hanya saja perlu adanya keterangan dari sejarah atau pemeriksaan fisik atau laboratorium bahwa gambaran klinis berlangsung dalam satu bulan berkaitan dengan subtance intoxication atau withdrawal sehingga dapat dikatakan bahwa pemakaian obat-obatan merupakan penyebab yang berhubungan langsung dengan gangguan. Jika ternyata individu menampilkan gejala adanya kecemasan yang menonjol (prominent anxiety) atau phobic avoidance yang kriteria lainnya tidak ditemukan pada gangguan kecemasan lainnya, atau berkaitan dengan gangguan penyesuaian diri (adjustment disorder with anxiety) maka ia dapat di diagnosa mengalami anxiety disorder not otherwise specified. Jadi, ahli klinis harus menyimpulkan ada tampilan anxiety disorder tetapi tidak dapat ditentukan apakah hal itu primer, atau karena general medical disorder, atau substance induce. II.2.b. Etiologi Anxiety Disorder Upaya untuk menjelaskan penyebab dari munculnya anxiety disorder, Accocella dkk (1976) memaparkannya dari beberapa sudut pandang teori. Menurut para ahli psikodinamika, anxiety disorder bersumber pada neurosis, bukan dipengaruhi oleh ancaman eksternal tetapi lebih dipengaruhi oleh keadaan internal individu : “Psychodynamic theorists view the anxiety disorder as neuroses resulting from uncounscious conflicts between id impulses and ego actions.” Sebagaimana diketahui, Sigmund Freud sebagai bapak dari pendekatan psikodinamika mengatakan bahwa jiwa individu diibaratkan sebagai gunung es. Bagian yang muncul dipermukaan dari gunung es itu, bagian yang terkecil dari kejiwaan yagn disebut sebagai bagian kesadaran (uncounsciousness). Agak di bawah permukaan air adalah bagian yang disebut pra-kesadaran (subcounsciousness atau pre-counsciousness), dan bagian yang terbesar dari gunung es itu ada di bawah sekali dari permukaan air, dan ini merupakan alam ketidak-sadaran (uncounsciousness). Ketidak-sadaran ini berisi id, yaitu dorongan-dorongan primitif, belum dipengaruhi oleh kebudayaan atau peraturan-peraturan yang ada di lingkungan. Dorongan-dorongan ini ingin muncul ke permukaan/ke kesadaran, sedangkan tempat di atas sangat terbatas. Ego, yang menjadi pusat dari kesadaran, harus mengatur dorongan-dorongan mana yang boleh muncul dan mana yang tetap tinggal di ketidak-sadaran karena ketidak-sesuaiannya dengan superego, yaitu salah satu unit pribadi yang berisi norma-norma sosial atau peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan sekitar. Jika ternyata ego menjadi tidak cukup kuat menahan desakan atau dorongan ini maka terjadilah kelainan-kelainan atau gangguangangguan kejiwaan. Neurosis adalah salah satu gangguan kejiwaan yang muncul sebagai akibat dari ketidak-mampuan ego menahan dorongan id. Acocella dkk (1996) menggambarkannya sebagai berikut : “The neurotic individual experiences conscious anxiety over these conflicts or keeps the anxiety at bay through rigid defense menchanism.”
© 2003 Digitized by USU digital library
10
Jadi, individu yang mengalami anxiety disorder, menurut pendekatan psikodinamika, berakar dari ketidak-mampuan egonya untuk mengatasi dorongan-dorongan yang muncul dari dalam dirinya sehingga ia akan mengembangkan mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri ini sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan dorongan dalam dirinya dan bisa tetap berhadapan dengan lingkungan. Tetapi jika mekanisme pertahanan diri ini dipergunakan secara secara kaku, terusmenerus dan berkepanjangan maka hal ini dapat menimbulkan perilaku yang tidak adaptif dan tidak realistis. Ada beberapa mekanisme pertahanan diri yang bisa dipergunakan individu, antara lain : 1. Represi (repression), yaitu upaya ego untuk menekan pengalaman yang tidak menyenangkan dan dirasakan mengancam ego masuk ke ketidak-sadaran dan disimpan disana agar tidak mengganggu ego lagi. Tetapi sebenarnya pengalaman yang sudah disimpan itu masih punya pengaruh tidak langsung terhadap tingkah laku si individu. 2. Rasionalisasi (rasionalisation), yaitu upaya ego untuk melakukan penalaran sedemikian rupa terhadap dorongan-dorongan dalam diri yang dilarang tampil oleh superego, sehingga seolah-olah perilakunya dapat dibenarkan. 3. Kompensasi (compensation), yaitu upaya ego untuk menutupi kelemahan yang ada di salah satu sisi kehidupan dengan membuat prestasi atau memberikan kesan sebaliknya pada sisi lain. Dengan demikian, ego terhindar dari ejekan atau rasa rendah diri. 4. Penempatan yang keliru (displacement), yaitu upaya ego untuk melampiaskan suatu perasaan tertentu ke pihak lain atau hal lain karena tidak bisa melampiaskan secara langsung perasaannya ke sumber masalah. 5. Regresi (regression), yaitu upaya ego untuk menghindari kegagalankegagalan atau ancaman terhadap ego dengan menampilkan pikiran atau perilaku yang mundur kembali ke taraf perkembangan yang lebih rendah. Para ahli dari aliran humanistik-eksistensial mengatakan bahwa konsep anxiety bukan hanya sekedar masalah yang bersifat individual, tetapi juga merupakan hasil konflik antara individu dengan masyarakat atau lingkungan sosialnya. Acocella dkk (1996) menjabarkannya sebagai berikut : “... they see anxiety not just as an individual problem but as the outcome of conflicts between the person’s self concept and society’s ideal.” Jika individu melihat perbedaan yang sangat luas antara pandangannya tentang dirinya sendiri dengan yang diinginkannya maka akan muncul perasaan inadekuat dalam menghadapi tantangan di kehidupan ini, dan hal ini menghasilkan kecemasan atau anxiety. Jadi, menurut pandangan humanist-eksistensialis, pusat kecemasan adalah konsep diri; yang terjadi sehubungan dengan adanya gap antara konsep diri yang sesungguhnya (real sefl) dengan diri yang diinginkan (ideal self). Hal ini muncul sehubungan dengan tidak adanya kesempatan bagi individu untuk mengaktualisasikan dirinya sehingga perkembangannya menjadi terhalang. Akibatnya, dalam menghadapi tantangan atau kendala dalam menjalani hari-hari dikehidupan selanjutnya, ia akan mengalami kesulitan untuk membentuk konsep diri yang positif. Setiap kita sebenarnya perlu mengembangkan suatu upaya untuk menjadi diri sendiri (authenticity), sedangkan individu yang neurotis atau yang mengalam anxiety disorder adalah individu yang gagal menjadi diri sendiri (inauthenticity) karena mereka mengembangkan konsep diri yang keliru/palsu (false self).
© 2003 Digitized by USU digital library
11
Sementara para ahli dari pendekatan behavioristik mengatakan bahwa kecemasan muncul karena terjadi kesalahan dalam belajar, bukan hasil dari konflik intrapsikis/unconsciousness conflict; individu belajar menjadi cemas. Hal ini digambarkan oleh Acocella dkk (1996) sebagai berikut : “... people may also learn to associate a neutral stimulus with the anxiety-producing stimulus and then be conditioned to habitually avoid that stimulus.” Ada 2 tahapan belajar yang berlangsung dalam diri individu, yang menghasilkan kecemasan, yaitu : 1. Dalam pengalaman individu, beberapa stimulus netral, tidak berbahaya atau tidak menimbulkan kecemasan, dihubungan dengan stimulus yang menyakitkan (aversive) akan menimbulkan kecemasan (melalui respondent conditioning). 2. Individu yang menghindar dari stimulus yang sudah terkondisi, dan sejak penghindaran ini menghasilkan pembebasan/terlepas dari rasa cemas, maka respon menghindar ini akan menjadi kebiasaan (melalui operant conditioning). Dari sudut pandang kognitif, anxiety disorder terjadi karena adanya kesalahan dalam mempersepsikan hal-hal yang menakutkan, yang oleh Acocella dkk (1996) dijabarkan sebagai berikut : “... people with anxiety disorder misperceive or misinterpret internal and external stimuli. Events and sensations that are not really threatening are interpreted as threatening, and anxiety result.” Berdasarkan dari teori kognitif, masalah yang terjadi pada individu yang mengalami anxiety disorder adalah terjadinya kesalahan persepsi atau kesalahan interpretasi terhadap stimulus internal ataupun eksternal. Individu yang mengalami anxiety disorder akan melihat suatu hal yang tidak benar-benar mengancam sebagai sesuatu yang mengancam. Jika individu mengalami pengalaman sensasi dalam tubuh yang tidk biasa, lalu menginterpretasikannya sebagai sensasi yang bersifat catastropic, yaitu suatu gejala bahwa ia sedang mengalami sesuatu hal seperti serangan jantung, maka akan timbul rasa panik. Kegiatan interpretasi negatif terhadap sensasi tubuh dapat menghasilkan panic attack yang kemudian dapat berkembang menjadi panic disorder. II.2.c. Penanganan terhadap Anxiety Disorder Upaya menangani anxiety disorder juga dapat dijelaskan melalui pendekatan psikodinamika, humanistik-eksistensialis atau pendekatan behavioristik maupun kogntitif. Menurut para ahli psikodinamika, karena gangguan ini berakar pada keadaan internal individu sehubungan dengan adanya konflik intrapsikis yang dialami individu sehingga ia mengembangkan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri, maka upaya menanganinya juga terarah pada pemberian kesempatan bagi individu untuk mengeluarkan seluruh isi pikiran atau perasaan yang muncul dalam dirinya. Asumsinya adalah jika individu bisa menghadapi dan memahami konflik yang dialami, ego akan lebih bebas dan tidak harus terus berlindung di balik mekanisme
© 2003 Digitized by USU digital library
12
pertahanan diri yang dikembangkannya. digambarkan sebagai berikut :
Hal ini oleh Acocella dkk (1996)
“The goal of psychodynamic therapy is to remedy this situation by exposing and neutralizing the material that the ego is wasting its energy trying to repress” Tehnik dasar yang digunakan disebut free association; individu diminta untuk menjelaskan secara sederhana tentang hal-hal yang ada dalam pikirannya, tanpa melihat apakah itu logis atau tidak, tepat atau tidak, ataupun pantas atau tidak. Halhal dari alam bawah sadar atau tidak sadar yang diungkapkan akan dicatat oleh terapis untuk diinterpretasikan. Tehnik ini juga bisa dimanfaatkan saat menggunakan tehnik dream interpretation; individu diminta untuk menceritakan mimpinya secara detail dan tepat. Masing-masing tehnik ini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dalam melaksanakan tehnik-tehnik tersebut di atas, ada dua hal yang biasanya muncul, yaitu apa yang disebut dengan resistance (yaitu individu bertahan atau beradu argumen dengan terapis saat terapis mulai sampai pada bagian yang sensitif), dan transference (yaitu individu mengalihkan perasaannya pada terapis dan menjadi bergantung. Sementara para ahli dari pendekatan humanistik-eksistensial yang melihat kecemasan sebagai hasil konflik diri yang terkait dengan keadaan sosial dimana pengembangan diri menjadi terhambat, maka mereka lebih menyarankan untuk membangun kembali diri yang rusak (damaged self). Tehniknya sering disebut sebagai client centered therapy yang berpendapat bahwa setiap individu memiliki kemampuan yang positif yang dapat dikembangkan sehingga ia membutuhkan situasi yang kondusif untuk mengeksplorasi dirinya semaksimal mungkin. Acocella dkk (1996) menggambarkan pendapat Carl Rogers, yang mendesain client centered therapy ini sebagai berikut : “...psychological troubleed people need is not to be analyzed or advised but simply to be ‘heard’ – that is to be trully understood and respected by another human being.” Setiap permasalahan yang dialami oleh setiap individu sebenarnya hanya dirinyalah yang paling mengerti tentang apa yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, individu itu sendirilah yang paling berperan dalam menyelesaikan permasalahan yang mengganggu dirinya. Karena para ahli melihat kecemasan sebagai hasil dari belajar (belajar menjadi cemas) maka untuk menanganinya perlu dilakukan pembelajaran ulang agar terbentuk pola perilaku baru, yaitu pola perilaku yang tidak cemas. Oleh Acocella dkk (1996) digambarkan sebagai berikut : “For the anxiety disorders behaviorists have evolved a set of related techniques aimed at reducing anxiety through graduated exposure to the feared stimulus.” Tehnik yang digunakan untuk mengurangi kecemasan adalah systematic desentisitization, yaitu megnurangi kecemasan dengan menggunakan konsep hirarkhi ketakutan, menghilangkan ketakutan secara perlahan-lahan mulai dari ketakutan yang sederhana sampai ke hal yang lebih kompleks. Pemberian reinforcement (penguat) juga dapat digunakan dengan secara tepat memberikan variasi yang tepat antara pemberian reward – jika ia memperlihatkan perilaku yang mengarah keperubahan ataupun punishment – jika tidak ada perubahan perilaku
© 2003 Digitized by USU digital library
13
atau justru menampilkan perilaku yang bertolak belakang dengan rencana perubahan perilaku. Adanya model yang secara nyata dapat dilihat dan menjadi contoh langsung kepada individu juga efektif dalam upaya melawan pikiran-pikiran yang mencemaskan. Pendekatan kognitif yang melihat anxiety disorders sebagai hasil dari kesalahan dalam mempersepsi ancaman (misperception of threat) menawarkan upaya mengatasinya dengan mengajak individu berpikir dan mendesain suatu pola kognitif baru. David Clark dkk (dalam Acocella dkk, 1996) mengembangkan desain kognitif yang melibatkan 3 bagian yaitu : 1. Identifikasi interpretasi negatif yang dikembangkan individu tentang sensasi tubuhnya. 2. Tentukan dugaan atau asumsi dan arahkan alternatif interpretasi, yang noncatastrophic. 3. Bantu individu menguji validitas penjelasan dari alternatif-alternatif tersebut. Dengan kata lain, para ahli dari pendekatan kognitif ini menyatakan bahwa tujuan dari terapi sebagai upaya menangani anxiety disorders adalah membantu individu melakukan interpretasi sensasi tubuh dalam cara yang non-catastrophic. Dalam beberapa hal, penanganan terhadap penderita anxiety disorders tidak selalu hanya berpegang pada satu tehnik saja, atau hanya mengikuti pendapat salah seorang ahli dari suatu pendekatan saja. Terapi yang diberikan dapat sekaligus dengan menggunakan lebih dari satu pendekatan atau lebih dari satu tehnik, asalkan tujuannya jelas dan tahapan-tahapannya juga terinci dengan jelas terarah pada tujuan terapi. BAB III CEMAS : NORMAL ATAU TIDAK NORMAL Melihat uraian di atas dapat dikatakan bahwa situasi-kondisi negara kita yang sedang tidak tentu arahnya ini dapat menjadi pencetus munculnya perasaan cemas. Setiap orang berpeluang untuk menjadi cemas. Dalam batasan tertentu, cemas dapat ditolerir sebagai perilaku yang normal – dalam pengertian tidak menghambat aktivitas rutin sehari-hari, dalam belajar, bekerja dan bergaul, ataupun tidak ada gangguan fisiologis ataupun perilaku. Tetapi jika individu sudah mulai terkendala dalam melaksanakan aktivitas rutin sehari-harinya atau adanya gangguan fisik atau sensasi tubuh yang sulit dikenali atau dikendali lagi maka hal ini perlu mendapat perhatian. Merujuk pada uraian tentang batasan antara normal dan tidak –normalnya suatu perilaku maka dapat dikatakan jika hampir sebagian besar masyarakat kita mengalami kecemasan, dan hanya kita saja yang tidak mengalami kecemasan maka dapat dikatakan bahwa justru kitalah yang mengalami keadaan tidak-normal. Tetapi tentu saja penegakan diagnosa mengenai normal-tidaknya suatu perilaku, tidak semata-mata ditentukan oleh jumlah populasi yang mengalaminya atau tidak, tetapi juga terkait dengan sisi-sisi kehidupan lainnya. Pengungkapan diri yang subjektif sifatnya dari individu yang mengalami kecemasan dapat dijadikan indikator ia mengalami kecemasan, sekalipun orang lain di sekitarnya tidak merasakan atau mengalami hal itu. Apalagi jika keluhannya ini diikuti dengan adanya respon-respon fisiologis seperti ketegangan otot, peningkatan detak jantung dan tekanan darah, nafas yang cepat dsb. Adanya respon-respon perilaku, seperti kerusakan fungsi
© 2003 Digitized by USU digital library
14
bicara, motorik ataupun tampilan tugas kognitif juga bisa menjadi indikator bahwa kecemasan yang di alami seseorang sudah masuk dalam kategori kecemasan yang tidak-normal.
BAB IV KESIMPULAN 1. Perasaan cemas bisa saja hinggap pada setiap individu. Takut, bingung, tidak bahagia adalah perasaan umum yang bisa dialami setiap dari kita. 2. Manifestasi dari rasa cemas ini bisa berbeda-beda dari satu individu ke individu yang lain. 3. Ada individu yang mengalami kecemasan tetapi bisa tetap menjalankan aktivitas sehari-hari secara rutin, dan tidak melaporkan atau mengungkapkan adanya gangguan pada perilaku atau penurunan fungsi kognitif maupun gangguan pada respon fisiologisnya. 4. Ada individu yang mengalami kecemasan dan sudah terganggu dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Sulit belajar, tidak produktif dalam bekerja ataupun menarik diri dari pergaulan/lingkungan sosialnya. Hal ini dapat di katakan bahwa individu tersebut mengalami kecemasan yang sudah mengarah pada gangguan, yang disebut sebagai anxiety disorders. 5. Untuk menegakkan diagnosa akan ada-tidaknya anxiety disorders, perlu memperhatikan ciri-ciri diagnostik yang dijabarkan pada DSM IV (1994). 6. Apapun latar belakang munculnya anxiety disorders, namun secara umum ada berbagai tehnik yang bisa dimanfaatkan untuk mengurangi atau menangani gangguan ini.
DAFTAR PUSTAKA Acocella, J. Alloy, LB., Bootzin, RR. (1996). Abnormal Psychology : Current Perspectives. New York : Mc Graw Hill, Inc. American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (4th edition). Washington DC : APA Atkinson, RL. Atkinson, RC. Smith, EE. Bem, DJ. (2002). Hilgard’s Introduction to Psychology (13th edition). New York : Harcourt College Publishers. Chaplin, J.P. (1997). Kamus Lengkap Psikologi (Terjemahan Dr.Kartini Kartono). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Neale, JM. Davidson, GC. (2001). Abnormal Psychology. New York : John Wiley & Sons, Inc.
© 2003 Digitized by USU digital library
15