CEMARAN Staphylococcus aureus PADA DAGING AYAM YANG DIJUAL DI PASAR-PASAR DI TANGERANG SELATAN
DIAN PERMANA PUTRA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Tangerang Selatan adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2012 Dian Permana Putra B04080084
ABSTRACT DIAN PERMANA PUTRA. Contamination of Staphylococcus aureus in Chicken Meat Sold in Markets in South Tangerang. Under direction of DENNY WIDAYA LUKMAN. The aim of this study was to observe the total of Staphylococcus aureus in chicken meat sold in markets in South Tangerang City. This study was conducted using survey method by interviewing the vendors of chicken meat as respondents and observation the condition of marketplaces using questionnaires and sampling the chicken meat for laboratory examination. Total of 24 chicken meat samples was obtained purposively from 3 traditional markets, i.e., Pasar Modern, Pasar Bukit, and Pasar Jombang, and was examined with the spread plate method (the plate count method). The result of observation showed that Pasar Modern had the best criteria of general hygienic practices. Nevertheless, the laboratory result found that the chicken meat samples from Pasar Modern showed the highest amount of S. aureus (1116.0 + 1461.0 cfu/gram) and it was followed by Pasar Bukit (618.2 + 1045.8 cfu/gram) and Pasar Jombang (433.3 + 665.8 cfu/gram), with the mean of 802.5 + 1194.2 cfu/gram. Compared to the maximum limit of microbial contamination according to the Indonesia National Standard (SNI 7688:2009), 80% of chicken samples from Pasar Modern were higher than the standard (maximum limit = 100 cfu/gram), and then 66.7% of samples from Pasar Jombang and 54.5% of samples from Pasar Bukit were higher than the standard. The high number of S. aureus contamination in chicken meat was supposed in relation with inadequate personal hygiene practices and lack of cold chain from poultry processing plant until marketplace. This condition should be considered as a risk of food intoxication for the consumers since the presence of S. aureus in food in high number could produce the toxin which is heat-stable. Keywords: Staphylococcus aureus, chicken meat, markets in South Tangerang City
RINGKASAN DIAN PERMANA PUTRA. Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Tangerang Selatan. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN. Daging ayam adalah pangan asal hewan yang banyak dikonsumsi masyarakat. Permintaan konsumen terhadap daging ayam dan produk olahannya semakin tinggi karena harganya yang terjangkau, kandungan lemak yang rendah, serta tidak membutuhkan waktu yang panjang untuk pengolahannya. Pangan asal hewan segar termasuk kategori pangan yang mudah rusak dan dikenal sebagai pangan yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan konsumen (potentially hazardous food). Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa sekitar 50% penyebab dan media penular wabah foodborne disease yang berhasil ditelusuri adalah pangan asal hewan. Keberadaan S. aureus penghasil enterotoksin dalam makanan merupakan ancaman terhadap kesehatan masyarakat karena kemampuan bakteri tersebut untuk menimbulkan gejala klinis. S. aureus penghasil enterotoksin biasanya ditemukan pada daging, daging unggas dan produknya. Laporan tahun 1988 menunjukkan bahwa terdapat 175 wabah intoksikasi makanan yang disebabkan oleh S. aureus, 9% diantaranya terkait dengan daging kalkun dan 8% terkait dengan hidangan dari daging ayam (chicken dishes). Setiap tahun di Amerika Serikat tercatat sebanyak 400000 pasien rumah sakit keracunan oleh S. aureus. S. aureus adalah bakteri yang bersifat gram positif dan tidak motil, hidup di kulit dan membran mukosa dari hewan berdarah panas. Manusia adalah salah satu pembawa utama bakteri ini, yang memiliki habitat di membran hidung karena hangat dan basah. S. aureus sering ditemukan pula di ayam hidup dan kalkun. Hanya sekitar 30% dari galur S. aureus dapat menghasilkan enterotoksin, yang dilepaskan ke makanan sehingga berisiko menyebabkan keracunan makanan (food intoxication) pada konsumen. Enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus memiliki sifat resisten terhadap panas (heat resistant). Jumlah S. aureus penghasil enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan diduga jika melebihi 1 juta per gram, yang diperkirakan menghasilkan enterotoksin sebanyak 1 µg. Jumlah tersebut cukup untuk menyebabkan gejala klinis pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak cukup dibutuhkan 0.2 µg. Makanan yang terkontaminasi oleh S. aureus akan menimbulkan gejala klinis dalam rentang waktu 1 sampai 6 jam atau rata-rata sekitar 3 jam pada saluran pencernaan. Gejala klinis utamanya adalah muntah yang didahului oleh rasa mual. Frekuensi muntah dapat meningkat sesuai dengan rasa mual yang muncul. Gejala klinis lain yang muncul biasanya adalah kram perut dan diare. Penelitian ini bertujuan untuk mengobservasi keberadaan dan jumlah S. aureus pada daging ayam yang dijual di pasar-pasar tradisional di Tangerang Selatan. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai kondisi higiene penjualan daging ayam dan cemaran S. aureus pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional di Tangerang Selatan sebagai masukan dalam rangka pembinaan dan pengawasan pangan asal hewan.
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode survei dengan wawancara kepada pedagang daging ayam sebagai responden dan observasi kondisi tempat penjualan daging ayam menggunakan kuesioner, serta pengambilan sampel daging ayam. Sebanyak 24 sampel daging ayam diambil secara purposif dari tiga pasar tradisional (Pasar Modern, Pasar Bukit, dan Pasar Jombang) dan diuji terhadap jumlah S. aureus dengan metode hitungan cawan (plate count method) dengan cara sebar (spread plate method) menggunakan agar Baird-Parker yang ditambah egg yolk tellurite berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 2897 Tahun 2008. Berdasarkan observasi, pasar yang mempunyai kriteria yang paling baik dari aspek higiene adalah Pasar Modern. Hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwa jumlah S. aureus pada daging ayam berturut-turut dari yang tertinggi adalah Pasar Modern 1116.0 + 1461.0 cfu/gram, Pasar Bukit 618.2 + 1045.8 cfu/gram dan Pasar Jombang 433.3 + 665.8 cfu/gram, dengan rataan yaitu 802.5 + 1194.2 cfu/gram. Dibandingkan dengan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) yang ditetapkan dalam SNI Nomor 7388 Tahun 2009, maka sampel daging ayam yang tidak memenuhi BMCM paling tinggi diperoleh dari Pasar Modern (80.0%), kemudian diikuti Pasar Bukit (54.5%) dan Pasar Jombang (66.7%). Tingginya jumlah S. aureus ini berkaitan dengan praktik higiene personal dan tidak adanya penerapan rantai dingin dari rumah potong unggas sampai di pasar. Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat keberadaan S. aureus pada daging ayam yang dapat menghasilkan toksin yang tahan panas dapat berisiko menyebabkan keracunan makanan pada konsumen. Kata kunci: Staphylococcus aureus, daging ayam, pasar di Kota Tangerang Selatan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
CEMARAN Staphylococcus aureus PADA DAGING AYAM YANG DIJUAL DI PASAR-PASAR DI TANGERANG SELATAN
DIAN PERMANA PUTRA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi : Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Tangerang Selatan Nama : Dian Permana Putra NIM : B04080084
Disetujui
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi. Ketua
Diketahui
drh. H. Agus Setiyono, MS., PhD., APVet. Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan berupa kekuatan lahir batin sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian yang diambil adalah Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Tangerang Selatan. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah tanpa lelah dan penuh kesabaran membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan baik. Tidak lupa juga penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak drh Suparno, M.Si. sebagai Kepala Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP) Bogor yang telah memberikan ijin dan dukungannya dalam penelitian ini. Kepada Bapak drh. Imron Suandy, MVPH, Bapak drh. Eko, Ibu Tuti, Ibu drh. Eri, Ibu drh. Ika, serta seluruh staf dan laboran di BPMPP yang telah banyak membantu kelancaran penelitian ini disampaikan ucapan terima kasih. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Papa, Mama, dan adik tersayang (Iswandi, Eva Lindra, dan Gina Permata Sari), dan Om, Tante, kakak, dan adik (Yulizar, Harnelli Hevi, Kemala Meilinda Putri, dan Deka Permana Putra), serta keluarga besar atas doa, semangat, dan cinta yang selalu diberikan. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan selama penelitian dan skripsi (Meriza dan Kiki). Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada teman-teman seangkatan Avenzoar 45, serta keluarga besar Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang (IPMM) Bogor dan teman-teman Ikatan Keluarga Mahasiswa Payakumbuh (IKMP) yang sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2012 Dian Permana Putra
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 28 November 1989 dari ayah Iswandi dan ibu Eva Lindra. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD 01 Tanjung Jati, Kabupaten Lima Puluh Kota dan lulus pada tahun 2002, yang kemudian dilanjutkan ke MTsN Padang Japang, Kabupaten 50 Kota dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMA N 1 Suliki, Kabupaten 50 Kota dan lulus pada tahun 2008, kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor.
Mayor yang dipilih penulis adalah kedokteran hewan di Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang (IPMM) Bogor, Ikatan Keluarga Mahasiswa Payakumbuh (IKMP), Komunitas Seni STERIL FKH IPB, serta Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA) FKH IPB. Penulis juga aktif sebagai Asisten Praktikum Anatomi Veteriner 1 pada Tahun Akademik 2009-2010.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ………………………………………...………...........
xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................
xiii
PENDAHULUAN ……………………………………………………...... Latar Belakang …………………………………...……………....... Tujuan ……………………………………………...…………......... Manfaat …………………………………………………………......
1 1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………........ Karakteristik Staphylococcus aureus ................................................ Pencemaran dan Intoksikasi Makanan oleh Staphylococcus aureus Pengujian Jumlah Staphylococcus aureus pada Makanan ................
4 4 6 9
BAHAN DAN METODE ………………………………….......……....... Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………........ Desain Penelitian ............................................................................... Pengambilan dan Besaran Sampel ………………………………..... Bahan dan Alat …………………………………………………...... Pengujian Staphylococcus aureus ...................................................... Analisis Data ……………………………………………………......
15 15 15 15 15 16 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………......... Karakteristik Tempat Penjualan Ayam .............................................. Kondisi Higiene Sanitasi Tempat Penjualan Daging Ayam .............. Jumlah Staphylococcus aureus pada Daging Ayam .......................... Peran Kesmavet dalam Keamanan Pangan Asal Hewan ...................
18 18 21 24 28
SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………....... Simpulan ............................................................................................ Saran ..................................................................................................
31 31 31
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………..……......
33
LAMPIRAN ...............................................................................................
39
x
DAFTAR TABEL Halaman 1
Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan produksi enterotoksin .........
6
2
Prevalensi Staphylococcus aureus pada makanan di beberapa negara
10
3
Prevalensi Staphylococcus aureus pada berbagai makanan ................
10
4
Prevalensi Staphylococcus aureus pada berbagai makanan di Alberta, Kanada dari tahun 2007 sampai 2010 ..................................................
11
5
Prevalensi Staphylococcus aureus pada daging mentah di Pasar Cina
11
6
Selektivitas dan sistem diagnosa yang digunakan untuk mengisolasi Staphylococcus aureus .........................................................................
13
Penampakan Staphylococcus aureus pada beberapa jenis media isolasi ...................................................................................................
13
Karakteristik tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden di Kota Tangerang Selatan .................................................
18
Kondisi higiene sanitasi tempat penjualan daging ayam (kios) yang diambil sebagai responden di Kota Tangerang Selatan .......................
22
10 Jumlah rataan Staphylococcus aureus dan persentase yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba pada daging ayam yang dijual di pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan ................................................
25
7 8 9
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Skema pengujian jumlah S. aureus pada daging ayam yang dijual di pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan ................................................
17
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2
Jumlah Staphylococcus aureus pada sampel daging ayam di pasarpasar di Kota Tangerang Selatan .........................................................
40
Kuesioner tentang karakteristik pedagang dan tempat penjualan daging ayam (kios) di pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan ............
41
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai penduduk terbesar keempat di dunia (Hutapea 2011). Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia yaitu sebesar 237.6 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2011 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memperkirakan bahwa jumlah penduduk Indonesia bertambah menjadi 241 juta jiwa lebih (Alimoeso 2011).
Hal tersebut
menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan pangan, terutama pangan asal hewan. Jumlah kebutuhan pangan asal hewan terutama daging sangat tinggi, namun jumlah yang dapat diproduksi tiap tahunnya masih rendah. Oleh karena itu, pada tahun 2014 pemerintah mencanangkan program swasembada daging untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri. Daging ayam adalah produk dari peternakan unggas yang sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan pangan.
Permintaan konsumen terhadap daging
ayam dan juga produk olahan semakin tinggi karena harganya yang terjangkau, kandungan lemak yang rendah, serta tidak membutuhkan waktu yang panjang untuk pengolahannya (Álvarez-Astorga et al. 2002).
Kondisi tersebut sesuai
dengan laporan dari Pemerintah Kabupaten Tangerang bahwa populasi ayam ras pada tahun 2000 berjumlah 3020500 ekor, sedangkan produksi daging ayam petelur berjumlah 953.18 ton. Sementara itu, pada tahun 2002 produksi daging ayam meningkat menjadi 1140.98 ton, sedangkan untuk produksi ayam ras pedaging pada tahun 2001 berjumlah 12199.27 ton. Pada tahun 2002 terjadi kenaikan produksi daging ayam menjadi 15421.65 ton (Anonim 2008). Pangan dapat berfungsi sebagai media pembawa agen patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada konsumen (foodborne disease). Pangan asal hewan segar termasuk kategori pangan yang mudah rusak dan dikenal sebagai pangan yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan konsumen (potentially hazardous food) (Lukman 2009). Selain itu, kebanyakan kasus foodborne disease terkait dengan konsumsi pangan asal hewan yang mentah atau tidak dimasak dengan baik. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa sekitar
2 50% penyebab dan media penular wabah foodborne disease yang berhasil ditelusuri adalah pangan asal hewan (Beier dan Pillai 2007). Tingginya produksi daging ayam harus diikuti dengan peningkatan kualitas daging ayam. Keberadaan mikroorganisme pada daging ayam biasanya berasal dari rumah potong atau tempat pemotongan, tempat pengolahan (proses), penyimpanan, dan pendistribusian.
Secara umum, faktor-faktor yang dapat
menyebabkan kontaminasi adalah higiene personal, peralatan yang digunakan, cara penjualan, serta lingkungan sekitar.
Mikroorganisme yang umum
mengontaminasi daging ayam antara lain Salmonella, Staphylococcus aureus, dan Campylobacter (Bhunia 2008). Staphylococcus aureus yang menghasilkan enterotoksin berperan sebagai mikroorganisme penyebab intoksikasi makanan (Atanassova et al. 2001; Bhunia 2008). Keberadaan S. aureus enterotoksigenik dalam pangan merupakan masalah (ancaman) dalam kesehatan masyarakat karena terkait dengan kemampuan bakteri tersebut untuk menimbulkan gejala klinis pada konsumen.
S. aureus
menghasilkan toksin jika populasinya telah melebihi 105 cfu/gram (Gorman et al. 2002).
Keberadaan S. aureus penghasil enterotoksin biasanya dihubungkan
dengan daging, daging unggas, dan produknya (Wieneke et al. 1993). Walaupun sumber utama S. aureus adalah manusia, produk unggas telah banyak terlibat dalam wabah intoksikasi makanan (Cunningham 1988).
Bryan (1988)
menunjukkan bahwa dari 175 wabah intoksikasi makanan yang disebabkan oleh S. aureus, 9% diantaranya terkait dengan daging kalkun dan 8% terkait dengan hidangan dari daging ayam. Setiap tahun di Amerika Serikat tercatat sebanyak 400000 pasien rumah sakit keracunan oleh S. aureus (Cook dan Cook 2006). Pada kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh S. aureus tidak ditemukan infeksi di tubuh konsumen secara menyeluruh dan orang yang mengonsumsi bakteri S. aureus hidup tidak harus menimbulkan gejala klinis atau sakit. Dengan demikian, pemanasan makanan tidak mampu mencegah intoksikasi makanan oleh S. aureus karena toksinnya tahan terhadap panas atau heat stable (Cook dan Cook 2006). Melihat banyaknya penyakit yang ditimbulkan akibat pencemaran mikroorganisme patogen, khususnya S. aureus, maka perlu dilakukan penelitian
3 mengenai S. aureus pada daging ayam di Tangerang Selatan melalui pemeriksaan sampel daging secara acak dari pasar-pasar tradisional yang tersebar di Tangerang Selatan.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengobservasi keberadaan dan jumlah S. aureus pada daging ayam yang dijual di pasar-pasar tradisional Tangerang Selatan.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai kondisi higiene penjualan daging ayam dan cemaran S. aureus pada daging ayam yang dijual di pasar di Tangerang Selatan sebagai masukan dalam rangka pembinaan dan pengawasan pangan asal hewan.
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Staphylococcus aureus Bakteri berkebangsaan
Staphylococcus Skotlandia
pertama kali
sebagai
akibat
ditemukan
oleh
ahli
banyaknya
infeksi
bedah
piogenik
(terbentuknya pus) pada manusia (Martin dan Landolo 1999; Adams dan Moss 2008). Staphylococcus aureus adalah salah satu spesies dari 32 spesies dalam genus Staphylococcus.
Spesies yang lain pada umumya tidak menginfeksi
manusia tetapi hanya ditemukan di mamalia.
Nama Staphylococcus sendiri
berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata “staphyle” dan “kokkos”, yang berarti seperti kelompok anggur dan berbentuk kokus atau bulat (Martin dan Landolo 1999); sedangkan nama aureus berasal dari bahasa Latin yaitu “gold” yang berarti bakteri ini tumbuh dalam koloni besar yang berwarna kuning (Cook dan Cook 2006; Bhunia 2008). Staphylococcus aureus adalah bakteri yang bersifat Gram positif dan tidak motil (Holt 1994 yang dikutip oleh Soriano et al. 2002; Bhunia 2008). S. aureus hidup di kulit (Meggitt 2003) dan membran mukosa dari hewan berdarah panas. Manusia adalah salah satu pembawa utama bakteri ini, yang memiliki habitat di membran hidung karena hangat dan basah (Genigeorgis 1989, Jablonski dan Bohach 1997 yang dikutip oleh Soriano et al. 2002 ). S. aureus dapat ditemukan di hidung pada 10-40% manusia dewasa (Meggitt 2003). Selain itu S. aureus juga ditemukan pada habitat lain, seperti di dalam air, bahan yang busuk, dan di berbagai permukaaan (Cook dan Cook 2006). Bakteri S. aureus sering juga ditemukan di ayam hidup dan kalkun. Bakteri ini masuk ke kulit atau lubang hidung berbagai burung dan sesudah itu dapat ditemukan pada seluruh bagian tubuh dengan jumlah yang sedikit (Mead 1989; ICMSF 1998). S. aureus bersifat aerob atau anaerob fakultatif serta memiliki metabolisme melalui respirasi atau fermentasi. S. aureus memiliki sifat katalase positif dan mampu memecah sebagian besar karbohidrat (Harvey dan Gilmour 2000). Bakteri S. aureus tumbuh optimum pada suhu sekitar 37 °C dan mampu bertahan pada suhu rendah di bawah 8 °C, sehingga digolongkan menjadi bakteri
5 mesofilik. Derajat keasaman (pH) yang memungkinkan bakteri ini tumbuh adalah pada interval antara 4.5 dan 9.3, dengan pH optimum antara 7.0 dan 7.5 (Martin dan Landolo 1999). S. aureus adalah bakteri yang dapat tumbuh dengan aktivitas air (a w ) yang rendah, yaitu minimum 0.86 (ICMSF 1980; Reichart dan Fung 1976 yang dikutip oleh Forsythe dan Hayes 1998). Selain itu, S. aureus dapat tumbuh pada konsentrasi garam yang tinggi sehingga disebut osmotoleran (Anonim 2011). Hanya sekitar 30% dari galur S. aureus dapat menghasilkan enterotoksin, yang dilepaskan ke makanan sehingga berisiko menyebabkan keracunan makanan (food intoxication) pada konsumen (Halpin-Dohnalek dan Marth 1989 yang dikutip oleh Forsythe dan Hayes 1998). Keenam enterotoksin tersebut adalah A, B, C1, C2, D, dan E (SEA, SEB, dan lain-lain), yang mana tipe A dan D banyak ditemukan di makanan. Enterotoksin S. aureus berbentuk protein rantai tunggal yang bersifat antigenik dengan berat molekul 26-29 kDa (Normanno et al. 2005). Enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus memiliki sifat resisten terhadap panas atau heat resistant (Meggitt 2003). Kebanyakan enterotoksin tersebut mampu bertahan pada suhu didih dalam makanan sampai 30 menit dan enterotoksin tipe B menunjukkan stabilitas paling tinggi. Enterotoksin tipe B akan kehilangan 6070% aktivitasnya dalam beberapa menit pada suhu di atas 80 °C. Pengaktifan kembali dapat terjadi selama penyimpanan yang lama pada suhu kamar atau pemanasan pada suhu lebih tinggi (Forsythe dan Hayes 1998). Toksin ini bersifat neutral-base protein dengan titik isoelektrik 7.0-8.6. Toksin ini sangat resisten terhadap enzim proteolitik seperti tripsin, kimotripsin, renin, dan papain (Bergdoll dan Wong 2006).
Secara rinci, pertumbuhan S. aureus dan produksi
enterotoksinnya dapat dilihat pada Tabel 1. Keberadaan sejumlah besar S. aureus dalam makanan tidak berarti bahwa enterotoksin dihasilkan.
Banyak faktor
yang mempengaruhi produksi
enterotoksin, antara lain jenis makanan, nilai pH (enterotoksin sedikit dihasilkan pada pH di bawah 5.0), suhu (suhu optimum produksi enterotoksin 37 °C, namun rentang suhu cukup lebar), keberadaan oksigen (produksi enterotoksin buruk pada kondisi anaerob) dan keberadaan mikroorganisme lain yang dapat menghambat pertumbuhan S. aureus (Forsythe dan Hayes 1998).
6 Tabel 1
Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan produksi enterotoksin (Pawsey 2002)
Karakteristik
Suhu °C
pH
Aktivitas air (a w )
Atmosfer
37
6-7
0.98
Aerobik
Rentang (range) pertumbuhan (di bawah kondisi optimum)
7-48
4-10
0.83 - >0.99 (aerobik)
Anaerobikaerobik
Optimum untuk produksi toksin
40-45
7-8
0.98
Aerobik (5-20% dissolved oxygen)
Rentang produksi toksin (di bawah kondisi optimum)
10-48
4.5-9.6 (aerobik)
0.87 - >0.99 (aerobik)
Anaerobikaerobik
Optimum untuk pertumbuhan
0.90 - >0.99 (anaerobik)
0.92 - >0.99 (anaerobik)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian keracunan makanan oleh enterotoksin S. aureus adalah: (1) galur S. aureus penghasil enterotoksin berada pada makanan selama produksi, pengolahan, atau penyiapan makanan; (2) bakteri dipindahkan dari sumber ke makanan; (3) makanan harus tercemar dengan jumlah ribuan S. aureus per gram atau biasanya lebih dan makanan sudah dipanaskan sebelum tercemar S. aureus, atau makanan mengandung banyak garam atau gula; (4) bakteri harus dapat bertahan hidup di makanan, tidak tumbuh berlebihan atau dihambat oleh mikroorganisme lain, atau dimatikan oleh pemanasan, pH rendah, atau kondisi yang tidak buruk sebelum S. aureus menghasilkan enterotoksin; (5) makanan, setelah tercemar oleh S. aureus, kondisi makanan mendukung pertumbuhan bakteri tersebut; (6) makanan yang tercemar disimpan pada rentang suhu yang sesuai untuk pertumbuhan dan perbanyakan S. aureus sampai menghasilkan cukup enterotoksin; (7) jumlah enterotoksin dalam makanan yang dikonsumsi harus melebihi ambang batas individu sehingga menghasilkan keracunan makanan (Forsythe dan Hayes 1998).
Pencemaran dan Intoksikasi Makanan oleh Staphylococcus aureus Mikroorganisme patogen yang sering menimbulkan wabah foodborne disease tidak menyebabkan perubahan fisik pada pangan, sehingga tidak mudah
7 dikenali secara sensoris, melainkan memerlukan pengujian laboratorium. Mikroorganisme patogen itu dapat menyebabkan infeksi pangan (food infection), toksiko-infeksi pangan (food-toxico infection), dan intoksikasi pangan (food intoxication) (Lukman 2009). S. aureus merupakan penyebab foodborne illness terpenting ketiga di dunia.
Beberapa dekade sebelumnya, S. aureus sebagai
penyebab 25% wabah foodborne illness di Amerika Serikat, namun pada tahun 1988 sampai 1992 persentase peran bakteri tersebut dalam wabah foodborne illness menurun, yaitu 1.8% (1988), 2.8% (1989), 2.4% (1990), 1.7% (1991) dan 1.5% (1992). Selama periode 5 tahun tersebut, S. aureus menyebabkan 5.1% wabah keracunan makanan di Eropa dan di Italia menyebabkan 4 dari 233 wabah yang dilaporkan (Normanno et al. 2005). Kontaminasi S. aureus pada makanan mentah, khususnya yang berasal dari hewan, biasanya tidak berhubungan dengan kontaminasi dari manusia. Kontaminasi S. aureus pada karkas/daging berasal dari kulit hewan, bulu, dan kulit yang berasal dari lesio atau kerusakan jaringan. Kontaminasi S. aureus dari kulit pada karkas sering tidak dapat dihindarkan (Lancette dan Bennet 2001). Sejumlah besar S. aureus pada makanan dibutuhkan untuk menyebabkan kejadian keracunan makanan agar menghasilkan jumlah enterotoksin yang cukup, namun jumlahnya tidak pasti.
Jumlah S. aureus penghasil enterotoksin yang dapat
menyebabkan keracunan makanan diduga jika melebihi 1 juta per gram, yang diperkirakan menghasilkan enterotoksin sebanyak 1 µg. Jumlah 1 µg enterotoksin cukup untuk menyebabkan gejala klinis pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak cukup dibutuhkan 0.2 µg (Forsythe dan Hayes 1998). Masalah utama dalam mengidentifikasi enterotoksin pada makanan adalah kadar enterotoksin pada makanan yang sangat kecil.
Enterotoksin dapat
teridentifikasi di dalam makanan apabila jumlah Staphylococcus >106 sel/g (Lancette dan Bennet 2001), sedangkan menurut Bremer et al. (2004) yang dikutip oleh Malheiros et al. (2010), jumlah S. aureus harus sudah mencapai minimum 1000 cfu/g atau ml untuk menyebabkan keracunan pada manusia. Makanan yang terkontaminasi oleh toksin S. aureus akan menimbulkan gejala klinis pada orang yang mengonsumsi makanan tersebut dalam rentang waktu antara 1 dan 6 jam atau rata-rata sekitar 3 jam (Meggitt 2003). Gejala
8 klinis utamanya adalah muntah yang didahului oleh rasa mual. Frekuensi muntah dapat meningkat sesuai dengan rasa mual yang muncul. Gejala klinis lain yang muncul biasanya adalah kram perut dan diare (Forsythe dan Hayes 1998; Meggitt 2003). Respon muntah terjadi karena adanya enterotoksin dari S. aureus yang sering dikategorikan ke dalam neurotoksin berbahaya.
Enterotoksin tersebut
dapat menimbulkan respon muntah karena dapat mengaktifkan reseptor yang ada di usus yang akan menstimulasi pusat muntah di otak melalui nervus vagus dan simpatis (Adams dan Moss 2008). Pada manusia S. aureus menyebabkan berbagai infeksi yang sebagian besarnya terdapat di kulit, namun tidak menyebabkan kematian.
Bakteri ini
membuat lesio di permukaan kulit, seperti infeksi pada folikel rambut, jerawat, sties atau peradangan kelenjar di kelopak mata, serta menyebabkan abses di kulit dan di dasar jaringan. Pada kondisi lain, S. aureus juga dapat menimbulkan penyakit swimmer’s ear, infeksi di bagian tengah telinga, dan gangguan di saluran kemih.
S. aureus juga dapat mengakibatkan peradangan yang serius, seperti
pneumonia. Selain itu, bakteri ini dapat menyebabkan meningitis (peradangan pada meningen dan medulla spinalis), artritis, osteomielitis, dan endokarditis (Cook dan Cook 2006). Keberadaan S. aureus dalam makanan harus diinterpretasikan secara hatihati. Adanya bakteri tersebut dalam jumlah besar di makanan tidak cukup untuk menjadikan makanan tersebut sebagai wahana keracunan makanan karena tidak semua galur S. aureus memproduksi enterotoksin. Potensi intoksikasi oleh S. aureus tidak dapat dipastikan tanpa pengujian enterotoksigenisitas dari isolat S. aureus atau membuktikan keberadaan enterotoksin S. aureus dalam makanan. Ketidak-beradaan S. aureus dan/atau jumlah S. aureus yang sedikit menjamin makanan aman (Lancette dan Bennet 2001). S. aureus merupakan agen foodborne disease yang diisolasi dari rumah potong unggas (RPU), yang juga penyebab masalah penyakit yang signifikan pada ayam dan kalkun, walaupun galur yang terlibat biasanya berbeda (Capita et al. 2002). Dalam survei pada 8 RPU yang mengambil sekitar 2500 sampel hati diperoleh 22 dari 35 galur S. aureus koagulase-positif dan 2 dari 122 galur S. aureus koagulase-negatif yang merupakan phagetype manusia. Dari 14 galur S.
9 aureus koagulasi-positif, 7 galur bersifat enterotoksigenik.
Hanya 1.6% dari
sampel hati unggas mengandung galur S. aureus koagulase-negatif (Genigeorgis dan Sadler 1966 yang dikutip oleh Cunningham 1988). Penelitian Aydin et al. (2011) di Turki mendapatkan bahwa dari 1070 sampel makanan ditemukan 147 galur (13.8%) S. aureus, yang mana 92 galur (62.6%) diisolasi dari daging (13/13), produk olahan daging (6/6), susu segar (31/63), perusahaan susu (36/54), perusahaan roti (5/9), dan makanan siap saji (1/2). Galur ini diisolasi dari sampel yang diambil dari Istanbul (n=42), Edirne (n=15), Balikesir (n=13), Tekirdag (n=7), Kirklareli (n=7), Bursa (n=6), dan Canakkale (n=2). Penelitian Crago et al. (2012) di Alberta, Kanada dari tahun 2007 sampai 2010 mendapatkan bahwa dari 693 sampel makanan ditemukan 73 sampel (10.5%) yang positif terkontaminasi S. aureus, yang mana (29/73) sampel berasal dari daging (dimasak atau tidak dimasak; daging unggas n=9, daging sapi n=7, daging babi n=6, dan tidak diketahui 5), (20/73) sampel dari makanan yang mengandung daging (daging sapi n=8, daging unggas n=4, seafood n=3, daging babi n=1, dan tidak diketahui 4), (11/73) diisolasi dari makanan yang tidak mengandung daging, (10/73) diisolasi dari perusahaan susu (susu n=8, keju n=1, es krim n=1), dan tiga makanan olahan. Pada penelitian ini ditemukan 81% (59/73) sampel positif terkontaminasi S. aureus yang mana berasal dari daging, makanan yang berasal dari daging, dan perusahaan susu. Prevalensi S. aureus pada makanan di beberapa negara dan pada beberapa makanan dapat dilihat pada Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5.
Pengujian Jumlah Staphylococcus aureus pada Makanan Metode yang digunakan untuk mendeteksi dan menghitung S. aureus tergantung dari tujuan pengujian.
Makanan yang diduga sebagai penyebab
keracunan S. aureus biasanya mengandung jumlah S. aureus yang sangat tinggi,
10 Tabel 2
Prevalensi Staphylococcus aureus pada makanan di beberapa negara
Tempat León, Barat Daya Spanyol
Jenis sampel
Prevalensi
Pustaka
Potongan ayam (kaki, sayap, giblet); n = 30
Sayap dan giblet 60% (jumlah ratarata log 10 2.47 cfu/g atau log 10 1.65 cfu/cm2)
Álvarez-Astorga et al. (2002)
Kaki 40% (jumlah rata-rata log 10 3.48 cfu/g atau log 10 2.66 cfu/cm2) Central Anatolia, Turki
Sampel makanan, n = 413
Diisolasi sebanyak 138 galur dan 83 (60.1%) galur menghasilkan satu atau dua enterotoksin.
Guven et al. (2010)
Portugal
Bermacam sampel makanan, n = 148
Diobservasi sebanyak 101 (68.2%)
Pereira et al. (2009)
Tidak diketahui
Hati kalkun, n = 360
Sebelum dicuci berjumlah 62 (17%); setelah dicuci berjumlah 3 (<1%)
Salzer et al. (1964)
Tidak diketahui
Karkas kalkun mentah, n = 24
Ditemukan 20%
Bryan dan McKinley (1974)
Yordania
Daging merah, n = 286
Ditemukan sebanyak 231 (80.8%), jumlah rata-rata 5.3 x 102 sampai 4.3 x 104 cfu/g
Al-Tarazi et al. (2009)
Italia
Susu dan produk olahan daging
Diisolasi sebanyak 59.8%
Normanno et al. (2007)
Nigeria barat
Daging, ikan dan sayur
Diisolasi sebanyak 48%
Sokari (1991)
Ankara, di supermarket
Potongan ayam (giblets dan karkas) n = 60
Giblets diisolasi sebanyak 9 sampel; karkas diisolasi sebanyak 17 sampel
Gundogan et al. (2005)
Tabel 3
Prevalensi Staphylococcus aureus pada berbagai makanan (Seo dan Bohach 2010)
Jumlah sampel
Jumlah sampel terkontaminasi (%)
Jumlah dari S. aureus cfu/g
% positif terhadap SE
Daging babi mentah
135
57.7
TD
34.6
Daging mentah
139
2.8
TD
7.8
Susu mentah
714
7.9
TD
31.8
Daging sapi
1090
30
<100
TD
Daging kalkun
50
6
>10
TD
Udang beku
46
23.9
>3
26
1155
28.7
<10
TD
Produk
Karkas daging sapi
SE = Staphylococcal enterotoxin TD = tidak dapat ditentukan
11 Tabel 4
Prevalensi Staphylococcus aureus pada berbagai makanan di Alberta, Kanada dari tahun 2007 sampai 2010 (Crago et al. 2012) Produk
2007
2008
2009
2010
Total
Makanan berisi daging
6
6
3
5
20
Makanan tidak berisi daging
6
1
1
3
11
Daging
8
6
8
7
29
Perusahaan susu
2
1
6
1
10
Makanan olahan
0
1
2
0
3
Total
22
15
19
17
73
Tabel 5
Prevalensi Staphylococcus aureus pada daging mentah di pasar Cina (Wang et al. 2012) Jumlah sampel
Jumlah sampel terkontaminasi (%)
Beijing
144
28 (19.4)
Provinsi Henan
144
20 (13.9)
Provinsi Shaanxi
144
57 (39.6)
Provinsi Sichuan
144
38 (26.4)
Provinsi Guangxi
144
19 (13.2)
Provinsi Guangdong
144
38 (26.4)
Provinsi Fujian
144
45 (31.3)
Shanghai
144
34 (23.6)
Total
1152
279 (24.2)
Provinsi/Ibukota
sehingga tidak dibutuhkan pengujian dengan sensitifitas tinggi.
Uji dengan
sensitifitas tinggi diperlukan untuk menguji proses yang tidak bersih atau kontaminasi setelah proses pengolahan, mengingat jumlah S. aureus dalam keadaan tersebut sangat kecil. Biasanya S. aureus bukan merupakan spesies di dalam makanan sehingga dalam isolasi dan penghitungan S. aureus secara umum menggunakan media penghambat (Lancette dan Bennet 2001). Isolasi dengan pengayaan (enrichment) dan pemupukan langsung pada cawan petri (direct plating) merupakan metode yang paling umum digunakan
12 untuk deteksi dan penghitungan S. aureus pada makanan. Prosedur pengayaan dapat bersifat selektif atau non-selektif. Pengayaan non-selektif bermanfaat untuk memulihkan sel-sel yang rusak (injured cells), yang mana pertumbuhan sel-sel tersebut dihambat oleh bahan-bahan toksik dalam media pengaya selektif (selective enrichment media). Penghitungan dengan cara enrichment isolation atau selective enrichment isolation dapat dilakukan melalui penentuan jumlah atau most probable number (MPN). Prosedur MPN dapat menggunakan tiga tabung atau lima tabung untuk setiap pengenceran (Lancette dan Bennet 2001). Dalam penghitungan menggunakan prosedur direct plating, sampel dipupuk pada suatu media selektif dengan dua cara, yatu cara sebar permukaan (surface spreading) dan penuangan (pour plates). Metode cara sebar permukaan memiliki keuntungan bahwa bentuk dan tampak koloni pada permukaan media lebih jelas dibandingkan dengan koloni dalam media pada pengujian cara pour plate. Sedangkan keuntungan cara pour plate dapat menggunakan volume sampel lebih banyak (Lancette dan Bennet 2001). Parbandingan media-media yang dipakai dalam penghitungan S. aureus dapat dilihat pada Tabel 6. Media selektif yang berhasil dan biasa digunakan untuk menghitung S. aureus
dibuat
oleh
Baird
Parker
pada
awal
tahun
1960-an,
yang
mengombinasikan media selektif terbaik dengan karakteristik reaksi diagnostik dan kemampuan untuk memperbaiki sel yang stres, yang dikenal sebagai Baird Parker agar (BPA). BPA mengandung potassium tellurite dan litium klorida yang berperan sebagai bahan selektif. Selain itu, BPA mengandung kuning telur yang membantu perbaikan sel bakteri yang rusak (injured). Reduksi potassium tellurite oleh S. aureus memberikan karakteristik berkilau, koloni berwarna hitam, dan dikelilingi oleh zona berwarna terang (clear) yang dihasilkan oleh protein kuning telur lipovitellenin.
Koloni tersebut sering juga memperlihatkan tepi bagian
dalamnya berwarna putih yang disebabkan oleh presipitasi asam lemak (Adam dan Moss 2008). Karakteristik koloni S. aureus pada beberapa media isolasi dapat dilihat pada Tabel 7.
13 Tabel 6
Selektivitas dan sistem diagnosa yang digunakan untuk mengisolasi Staphylococcus aureus (Rosamund dan Lee 1995)
Media cawan petri
Selektivitas sistem
Sistem diagnosa
Mannitol salt agar (MSA)
Sodium klorida
Mannitol-phenol red
Lipovitellin salt mannitol agar (LSMA)
Sodium klorida
Mannitol-phenol red kuning telur
Vogel Johnson agar (VJA)
Potassium tellurite, litium klorida, glisin
Potassium tellurite manitolphenol red
Modified Vogel Johnson (PCVJ) dengan phosphatidyl choline
Potassium tellurite, litium klorida, glisin
Potassium tellurite manitolphenol red, DNA
Baird-Parker agar (BPA)
Potassium tellurite, litium klorida, glisin
Potassium tellurite , kuning telur
Baird-Parker with pig plasma (BPP)
Potassium tellurite, litium klorida, glisin
Potassium tellurite, pig plasma
Baird-Parker with fibrinogen (BPF)
Potassium tellurite, lithium klorida, glisin
Potassium tellurite , pig plasma, bovine fibrinogen
Tabel 7
Penampakan Staphylococcus aureus pada beberapa jenis media isolasi (Rosamund dan Lee 1995)
Media pemupukan pada cawan petri
Penampakan koloni
Baird Parker agar (BPA)
Hitam, berkilau, konveks berukuran 1.0-1.5 mm dengan tepi putih dan dikelilingi zona luar yang jelas dengan luas 2-5 mm ke media opaque.
Mannitol salt agar (MSA)
Koloni dikelilingi zona kuning cerah
Vogel Johnson agar (VJA)
Hitam, konveks, berkilau dan dikelilingi zona berwarna kuning
Modified Vogel Johnson (PCVJ) dengan phospatidyl choline
Hitam, konveks, berkilau dengan zona berwarna kuning yang jelas
Media agar selain mengandung bahan selektif, juga ditambahkan bahan lain untuk meningkatkan produktivitas.
Piruvat dan katalase ditambahkan untuk
memperbaiki sel bakteri yang stres pada kedua media isolasi baik padat maupun cair. Piruvat dan katalase mencegah kematian sel dari akumulasi H 2 O 2 selama pertumbuhan aerobik dan perbaikan diri (Baird dan Parker 1962 yang dikutip oleh Rosamund dan Lee 1995).
Beberapa substansi untuk penggunaan diagnostik
14 diantaranya manitol, egg yolk, DNA (Andrew dan Martin 1978 yang dikutip oleh Rosamund dan Lee 1995), dan plasma babi (Stadhouders et al. 1976 yang dikutip oleh Rosamund dan Lee 1995), serta fibrinogen (hauschild) digunakan untuk melapisi media. Baird dan van Doorne (1982) yang dikutip oleh Rosamund dan Lee (1995) membandingkan tingkat perbaikan sel bakteri dari sampel makanan yang terkontaminasi secara alami dengan menggunakan teknik pelapisan langsung ke dalam BPA dan agar VJA, serta teknik enrichment yaitu triptone soya broth (TSB) dan liquid Baird Parker (LBP) diikuti dengan pelapisan ke dalam BPA. Hasil terbaik diperlihatkan oleh kombinasi LBP (liquid Baird Parker) untuk enrichment dan BPA untuk pemupukan pada cawan petri (plating).
LBP
digunakan untuk perbaikan sel stres (stress cell) dalam jumlah yang sedikit. Hasil percobaan dengan menggunakan media isolasi yang berbeda menunjukkan bahwa enrichment selektif di LBP diikuti subkultur pada BPA memberikan tingkat perbaikan sel (cell recovery) yang sangat tinggi. Banyak studi komparatif yang telah dilakukan pada beberapa macam media yang digunakan untuk identifikasi dan penghitungan S. aureus (Terplan et al. 1982 yang dikutip oleh Rosamund dan Lee 1995). Hasil perbandingan tingkat perbaikan (recovery) dari sel bakteri yang stres pada empat media selektif yaitu BPA dan plasma BPA (pig plasma) ternyata lebih baik dibandingkan dengan potassium thiosianat actidione sodium azide egg yolk pyruvate agar (KRANEP) (Sinell dan Baumgart 1967 yang dikutip oleh Rosamund dan Lee 1995) dan modified Vogel Johnson agar (PCVJ) (Andrews dan Martin 1978 yang dikutip oleh Rosamund dan Lee 1995).
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2011 sampai dengan Agustus 2011. Sampel daging ayam diambil di tiga pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan, yaitu Pasar Modern, Pasar Bukit, dan Pasar Jombang.
Pengujian presumtif
Staphylococcus aureus dilakukan di Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP), Bogor.
Desain Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dengan cara wawancara dan observasi praktik higiene sanitasi tempat penjualan menggunakan kuesioner kepada pedagang daging ayam di pasar sebagai responden dan pengambilan sampel daging ayam yang dijualnya untuk pengujian di laboratorium. Data yang dijaring oleh kuesioner mencakup keterangan responden, kondisi umum tempat penjualan, sarana/fasilitas, penjualan produk, kebersihan, dan higiene personal. Pertanyaan selain keterangan responden dirancang dengan menggunakan pertanyaan tertutup.
Pengambilan dan Besaran Sampel Jumlah sampel ditentukan secara purposif di pasar-pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan, dengan jumlah kesuluruhan sampel yang diperiksa sebanyak 24 sampel daging ayam. Sampel daging ayam yang diambil adalah setengah karkas (bagian dada). Setiap sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik steril, kemudian kantong plastik diberi label dan disimpan dalam cool box berisi es. Sampel diuji maksimum 24 jam setelah pengambilan.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging ayam, BairdParker agar/BPA (Oxoid CM 0275), egg yolk tellurite emulsion (Oxoid SR0054 C), buffered pepton water (BPW) 0.1%, nutrient agar (DIFCO 213000), dan uji koagulase Staphaurex® (Remel Europe).
16 Alat yang digunakan adalah cawan petri (Normax, diameter 10 cm); tabung reaksi (Iwaki Pyrex volume 15 ml) dan sumbat tabung reaksi; pipet ukuran 1 ml, 2 ml, 5 ml, dan 10 ml (Iwaki Pyrex); bulb karet (Marienfeld Germany); botol media (Schott Duran GL 45, volume 1000 ml); batang gelas bengkok (hockey stick), gunting, pinset, jarum inokulasi (ose); ice box (Igloo); stomacher (Pbi International Anno 2000 043557); plastik; pembakar bunsen; pH meter (Thermo Orion); timbangan analitik (Lucky scale FEH series); magnetic stirer; tube shaker (Vortex mixer VM-1000); inkubator (Memmert INB 500); penangas air (DSB1000D); autoklaf (Alfa ANNO200); lemari steril (clean bench); refrigerator (Sharp superior 00491) dan freezer (Sansio Tropicalized Model 411-407-10 K).
Pengujian Staphylococcus aureus Metode yang digunakan adalah dengan cara hitung cawan secara sebar pada permukaan media berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 2897 Tahun 2008 tentang Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur, dan Susu, serta Hasil Olahannya. Pengujian selalu disertai dengan menggunakan kontrol positif. Untuk mendapatkan pengenceran 10-1 dipindahkan 1 ml contoh dari 100 ke dalam larutan 9 ml BPW dan selanjutnya dengan cara yang sama dibuat pengenceran 10-2, dan 10-3.
Sebelumnya disiapkan media agar dalam
cawan petri, yaitu BPA (15-20 ml) yang ditambahkan dengan egg yolk tellurite (5 ml dalam 95 ml BPA). Untuk pengujian, sebanyak 1 ml darí setiap pengenceran 10-1, 10-2, dan 10-3 dipipet dan diinokulasikan pada 4 cawan petri berisi media BPA+egg yolk tellurite, masing-masing sebanyak 0.25 ml (Gambar 1). Suspensi contoh diratakan di atas permukaan media agar dengan menggunakan hockey stick dan biarkan sampai suspensi terserap. Kemudian diinkubasikan pada suhu 35 ºC selama 45 jam sampai dengan 48 jam pada posisi terbalik. Cawan petri yang mengandung jumlah koloni 20 sampai dengan 200 dipilih untuk dimasukkan ke dalam hitungan. Apabila cawan petri pada pengenceran terendah berisi <20 koloni dan atau >200 koloni, maka penghitungan koloni
17
Gambar 1 Skema pengujian jumlah S. aureus pada daging ayam yang dijual di pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan. dilanjutkan pada cawan petri dengan pengenceran yang lebih tinggi. Koloni S. aureus mempunyai ciri khas bundar, licin dan halus, cembung, diameter 2 mm sampai dengan 3 mm, berwarna abu-abu sampai hitam pekat, dikelilingi zona opak, dengan atau tanpa zona luar yang terang (clear zone), tepi koloni putih dan dikelilingi daerah yang terang. Konsistensi koloni seperti mentega atau lemak jika disentuh oleh ose. Galur non-lipolitik memiliki sifat koloni sama seperti di atas, tetapi tidak dikelilingi zona opak dan zona luar yang terang. Koloni yang mempunyai ciri seperti di atas dicatat dan diambil satu atau lebih koloni dari masing-masing bentuk yang tumbuh dan dilakukan uji identifikasi dengan pewarnaan Gram dan uji koagulase (coagulase test).
Analisis Data Data dari kuesioner dan pengujian laboratorium terhadap S. aureus dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tempat Penjualan Ayam Sampel daging ayam diperoleh dari tiga pasar di Kota Tangerang Selatan, yaitu Pasar Bukit, Pasar Jombang, dan Pasar Modern. Sebagian besar pedagang daging ayam yang menjadi responden berjenis kelamin laki-laki (66.7%). Seluruh responden (100%) menjual karkas utuh dan hampir semua (95.8%) responden menjual karkas potongan, namun tidak ada responden yang menjual jeroan ayam. Sebagian besar responden memperoleh karkas ayam dari pemotongan sendiri (66.7%), sedangkan beberapa responden (29.1%) memperoleh karkas dari tempat potong unggas (TPU) atau rumah potong unggas (RPU) dan 4.2% responden memperoleh karkas dari TPU/RPU dan pemotongan sendiri. Karakteristik tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8
Karakteristik tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden di Kota Tangerang Selatan
Karakteristik Tempat Penjualan Daging Ayam
Pasar Modern (n=10)
Pasar Bukit (n=11)
Pasar Jombang (n=3)
Total (n=24)
Laki-laki
8 (80.0%)
5 (45.4%)
3 (100%)
16 (66.7%)
Perempuan
2 (20.0%)
6 (54.5%)
0
8 (33.3%)
Karkas utuh
10 (100%)
11 (100%)
3 (100%)
24 (100%)
Karkas potongan
10 (100%)
10 (90.9%)
3 (100%)
23 (95.8%)
0
0
0
0
Potong sendiri
3 (30.0%)
11 (100%)
2 (66.7%)
16 (66.7%)
Tempat pemotongan unggas/rumah potong unggas
6 (60.0%)
0
1 (33.3%)
7 (29.1%)
Jenis kelamin pedagang
Produk yang dijual
Jeroan Asal karkas
Potong sendiri dan tempat pemotongan unggas/rumah potong unggas Pedagang perantara
1 (10%) 0
1 (4.2%) 0
0
0
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelanggaraan Pasar Sehat, definisi pasar sehat adalah
19 kondisi pasar yang bersih, aman, nyaman, dan sehat yang terwujud melalui kerja sama seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) terkait dalam penyediaan bahan pangan yang aman dan bergizi bagi masyarakat, sedangkan pasar tradisional adalah pasar yang berlokasi permanen, ada pengelola, sebagian besar barang yang diperjual-belikan adalah kebutuhan dasar sehari-hari dengan praktik perdagangan dan fasilitas infrastruktur yang sederhana, serta ada interaksi langsung antara penjual dan pembeli. Persyaratan kesehatan lingkungan pasar menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelanggaraan Pasar Sehat, tempat penjualan daging, karkas unggas, ikan harus berlokasi (ditempatkan) di tempat khusus yang didasarkan pada penataan ruang dagang. Selain itu, jarak tempat penampungan dan pemotongan unggas dengan bangunan pasar utama minimal 10 m atau dibatasi tembok pembatas dengan ketinggian minimal 1.5 m. Selanjutnya dalam Keputusan Menteri tersebut, tempat penjualan bahan pangan basah mempunyai kriteria sebagai berikut: 1.
Mempunyai meja tempat penjualan dengan permukaan yang rata dengan kemiringan yang cukup sehingga tidak menimbulkan genangan air dan tersedia lubang pembuangan air, setiap sisi memiliki sekat pembatas dan mudah dibersihkan, dengan tinggi minimal 60 cm dari lantai dan terbuat dari bahan tahan karat bukan dari kayu.
2.
Penyajian karkas harus digantung.
3.
Alas pemotong (talenan) tidak terbuat dari bahan kayu, tidak mengandung bahan beracun, kedap air, dan mudah dibersihkan.
4.
Pisau untuk memotong bahan mentah harus berbeda dan tidak berkarat.
5.
Tersedia tempat penyimpanan bahan pangan, seperti: ikan dan daging menggunakan rantai dingin (cold chain) atau bersuhu rendah (4-10 °C).
6.
Tersedia tempat untuk pencucian bahan pangan dan peralatan.
7.
Tersedia tempat cuci tangan yang dilengkapi dengan sabun dan air yang mengalir.
8.
Saluran pembuangan limbah tertutup, dengan kemiringan sesuai ketentuan yang berlaku sehingga memudahkan aliran limbah, serta tidak melewati area penjualan.
20 9.
Tersedia tempat sampah basah dan kering, kedap air, tertutup dan mudah diangkat.
10.
Tempat penjualan bebas vektor penular penyakit dan tempat perindukannya, seperti: lalat, kecoa, tikus, dan nyamuk. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/SK/VI/2008 tentang
Pedoman Penyelanggaran Pasar Sehat juga memberikan pedoman tentang pencahayaan, yaitu intensitas pencahayaan setiap ruangan harus cukup untuk melakukan pekerjaan pengelolaan bahan makanan secara efektif dan kegiatan pembersihan makanan, serta pencahayaan cukup terang dan dapat melihat barang dagangan dengan jelas minimal 100 luks. Selanjutnya menurut pedoman tersebut, sanitasi juga harus diperhatikan. Ketersediaan air bersih dengan jumlah yang cukup setiap hari secara berkesinambungan, minimal 40 liter/pedagang. Kualitas air bersih yang tersedia memenuhi persyaratan. Jarak sumber air bersih dengan pembuangan limbah minimal 10 meter. Selain itu, pengelolaan sampah juga sangat penting. Setiap kios/los/lorong tersedia tempat sampah basah dan kering, yang terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah berkarat, kuat, tertutup dan mudah dibersihkan. Pasar juga harus memiliki tempat pembuangan sampah sementara (TPS) dengan persyaratan antara lain harus kedap air, kuat, mudah dibersihkan dan mudah dijangkau petugas pengangkut sampah. Sementara itu TPS tidak menjadi tempat perindukan insekta penular penyakit (vektor). Pasar memiliki posisi yang sangat penting untuk menyediakan pangan yang aman. Pasar sangat dipengaruhi oleh keberadaan produsen hulu (penyedia bahan segar), pemasok, penjual, konsumen, manajer pasar, petugas yang berhubungan dengan kesehatan, dan tokoh masyarakat. Bangunan tempat penjualan daging ayam dapat berupa los yang merupakan suatu bangunan yang panjang terbuka dan tidak berdinding. Selain itu, tempat penjualan daging ayam dapat berupa suatu bangunan kecil-kecil berbentuk kamar yang tertutup dan dapat dan dapat dikunci yang dikenal dengan sebutan kios, serta dapat berupa bangunan khusus tempat penjualan daging (Hernady 1988 yang dikutip oleh Ristanti 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pada pasal 61 ayat (1a), rumah potong adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan beserta peralatannya dengan
21 desain yang memenuhi persyaratan sebagai tempat menyembelih hewan, antara lain, sapi, kerbau, kambing, domba, babi, dan unggas bagi konsumsi masyarakat.
Kondisi Higiene Sanitasi Tempat Penjualan Daging Ayam Secara umum tempat penjualan daging ayam berbentuk kios permanen (95.8%) dan keseluruhannya memiliki atap yang dapat melindungi dari hujan dan panas. Sebagian dari tempat penjualan daging ayam (kios) bercampur dengan komoditas lain (58.3%) dan seluruh tempat penjualan daging ayam memiliki penerangan yang cukup. Dilihat dari segi sarana atau fasilitas, pada umumnya (79.2%) setiap kios memiliki permukaan yang kontak dengan daging terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah karat, dan mudah dibersihkan.
Seluruh kios
menggunakan kayu sebagai talenan dan sebagian besar kios (58.3%) tidak menggunakan pisau yang terbuat dari bahan antikarat.
Semua kios tempat
penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden tidak memiliki fasilitas pembeku (freezer), fasilitas pendingin (refrigerator/chiller), dan fasilitas cuci tangan. Sedangkan untuk fasilitas pencuci peralatan (bak air, wastafel, atau yang lain), hampir sebagian besar (45.8%) kios tidak memilikinya (Tabel 7). Produk yang dijual pada tempat penjualan daging ayam, karkas yang dijajakan umumnya (95.8%) tidak terlindung atau dapat disentuh pembeli. Seluruh kios menjual karkas terpisah dari jeroan, namun ada juga sebagian kecil kios (16.7%) yang mencampur ayam hidup bersamaan dengan karkas. Apabila diperhatikan dari aspek kebersihan, maka hanya sebagian kecil kios (20.8%) yang bebas dari serangga, rodensia, dan hewan lain. Lebih dari sebagian kios (58.3%) yang kebersihannya tidak terjaga atau ada genangan air dan sampah yang bertebaran, serta lebih dari sebagian kios (62.5%) tidak memiliki tempat sampah basah atau kering (Tabel 7). Higiene personal pedagang daging ayam di kios yang diambil sebagai responden sangat memprihatinkan, karena hanya sebagian kecil (25%) pedagang ayam yang memakai apron, serta tidak satupun pedagang yang memakai penutup kepala, masker, dan sarung tangan. Kondisi higiene sanitasi tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden dapat dilihat pada Tabel 9.
22 Tabel 9
Kondisi higiene sanitasi tempat penjualan daging ayam (kios) yang diambil sebagai responden di Kota Tangerang Selatan Persentase (%)
Karakteristik higiene sanitasi
Pasar Modern (n=10)
Pasar Bukit (n=11)
Pasar Jombang (n=3)
Total (n=24)
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tida k
Kios permanen
100
0
90.9
9.1
100
0
95.8
4.2
Tempat memiliki atap yang dapat melindungi dari hujan dan panas
100
0
100
0
100
0
100
0
Tempat penjualan bercampur dengan komoditas lain
0
100
100
0
100
0
58.3
41.7
Penerangan mencukupi (dapat mengetahui perubahan warna pada daging)
100
0
100
0
100
0
100
0
Permukaan yang kontak dengan daging terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah karat, dan mudah dibersihkan
100
0
72.7
27.3
33.3
66.7
79.2
20.8
Talenan berbahan kayu
100
0
100
0
100
0
100
0
Pisau yang digunakan terbuat dari bahan yang antikarat
100
0
0
100
0
100
41.7
58.3
Jumlah pisau lebih dari satu
50.0
50.0
18.2
81.8
33.3
66.7
33.3
66.7
Mempunyai fasilitas pembeku (freezer)
0
100
0
100
0
100
0
100
Mempunyai fasilitas pendingin (refrigerator/chiller)
0
100
0
100
0
100
0
100
Tersedia fasilitas pencuci peralatan (bak air, westafel, atau yang lain)
100
0
9.1
90.9
0
100
45.8
54.2
Tersedia fasilitas cuci tangan
0
100
0
100
0
100
0
100
Karkas tidak terlindung (dapat disentuh pembeli)
100
0
90.9
9.1
100
0
95.8
4.2
Karkas terpisah dari jeroan
100
0
100
0
100
0
100
0
0
100
27.3
72.7
33.3
66.7
16.7
83.3
Bebas dari serangga, rodensia, dan hewan lain
50.0
50.0
0
100
0
100
20.8
79.2
Kebersihan tempat penjualan /kios terjaga (tidak ada genangan air dan sampah yang bertebaran)
90.0
10.0
9.1
90.9
0
100
41.7
58.3
Tersedia tempat sampah basah atau kering
80
20
9.1
90.9
0
100
37.5
62.5
Kondisi umum
Sarana/fasilitas
Penjualan produk
Ayam hidup bersamaan dengan karkas Kebersihan
Higiene Personal 50.0
50.0
9.1
90.9
0
100
25
75.0
Memakai penutup kepala
Memakai apron
0
100
0
100
0
100
0
100
Memakai masker
0
100
0
100
0
100
0
100
Memakai sarung tangan
0
100
0
100
0
100
0
100
23 Kontaminasi berarti keberadaan sesuatu yang berbahaya atau tidak diharapkan dalam makanan atau minuman yang akan berisiko menimbulkan penyakit atau perasaan tidak nyaman atau kerusakan makanan.
Kontaminasi
silang adalah perpindahan bakteri berbahaya atau pembusuk dari suatu makanan atau tempat ke makanan.
Bakteri dapat dipindahkan baik dari makanan ke
makanan atau tangan ke makanan. Kontaminasi silang merupakan salah satu penyebab keracunan makanan.
Hal tersebut terjadi ketika mikroorganisme
patogen berpindah diantara makanan, permukaan atau lingkungan.
Sumber-
sumber dari mikroorganisme yang dapat mengontaminasi makanan adalah makanan mentah, insekta dan rodensia, manusia, debu, kotoran, udara, sisa makanan, dan hewan peliharaan. Kontaminasi bakteri terhadap makanan dapat terjadi melalui tangan, talenan, pisau, dan alat masak lainnya, serta lingkungan. Kontaminasi makanan dapat juga disebabkan oleh kontak antara makanan dengan permukaan, pakaian, dan handuk (Meggitt 2003). Kontaminasi bakteri terhadap makanan dapat terjadi melalui tangan, talenan, pisau, dan alat masak lainnya, serta lingkungan. Selain itu, kontaminasi makanan dapat disebabkan juga oleh kontak antara makanan dengan permukaan, pakaian, dan handuk.
Kontaminasi silang sering terjadi ketika makanan mentah
bersentuhan dengan makanan yang mempunyai risiko tinggi (kontaminasi langsung), cairan atau jus dari makanan mentah yang kontak dengan makanan yang mempunyai risiko tinggi atau kontaminasi tidak langsung, bakteri yang terbawa oleh tangan atau peralatan dari makanan mentah ke makanan yang mempunyai risiko tinggi atau kontaminasi tidak langsung (Meggitt 2003). Menurut EFNRA (1992), peralatan harus mudah dibersihkan yang berarti semua permukaan yang kontak dengan makanan harus dapat dibersihkan dengan cara biasa. Selain itu, semua bahan yang kontak dengan permukaan makanan tidak boleh bersifat toksik dan termasuk warna yang tidak signifikan, bau, atau rasa dari makanan. Bahan-bahan tersebut harus terbuat dari bahan kedap air, antikarat, stabil, sehingga tidak bereaksi dengan produk makanan serta mudah dibersihkan. Talenan yang terbuat dari bahan kayu dihindarkan karena sangat mudah menjadi sumber kontaminasi. Kayu bisa menjadi tempat hidupnya bakteri karena adanya bekas sayatan-sayatan dan pori-pori.
24 Pekerja dapat menularkan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit. Kenyataannya manusia merupakan sumber utama pencemaran pangan. Tangan, nafas, rambut, dan keringat dapat mencemari pangan. Kebiasaan pekerja seperti batuk dan bersin yang tidak ditutup dapat memindahkan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit. Karyawan yang sakit tidak diperkenankan kontak dengan pangan, peralatan, dan fasilitas.
Kata higiene digunakan untuk
menggambarkan penerapan prinsip-prinsip kebersihan untuk perlindungan kesehatan manusia.
Higiene personal mengacu kepada kebersihan tubuh
perseorangan. Manusia merupakan sumber potensial mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia (Marriott 1999). Fasilitas cuci tangan merupakan parameter yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan S. aureus. Mencuci tangan bertujuan untuk menghilangkan kotoran
dan
mikroorganisme.
Dengan
mencuci
tangan,
penyebaran
mikroorganisme melalui tangan dapat dikurangi atau bahkan diputus, oleh karena itu metode mencuci tangan sangat penting agar cuci tangan tidak menjadi sia-sia. Waktu
yang
digunakan
untuk
mencuci
tangan
mempengaruhi
jumlah
mikroorganisme yang dihilangkan. Waktu lima detik pada aktifitas penggosokan sabun pada tangan mempunyai pengaruh yang kecil dalam menurunkan jumlah mikroorganisme pada tangan (Marriott 1999). Dalam Minnesota Department of Health Fact Sheet (2010), mencuci tangan terdiri dari enam tahap, yaitu: (1) membasahi tangan, (2) memberi sabun, (3) menggosokkan busa ke seluruh bagian tangan dan sela-sela jari, (4) menyikat minimal 20 detik, (5) membilas dengan air yang mengalir, dan (6) pengeringan.
Jumlah Staphylococcus aureus pada Daging Ayam Dari hasil pengujian diperoleh bahwa sebagian besar sampel (66.7%) daging ayam yang diambil dari pasar-pasar di Tangerang Selatan tercemar oleh S. aureus yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) yang ditetapkan dalam SNI Nomor 7388 Tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan.
Sampel daging ayam yang tidak memenuhi BMCM tersebut
paling tinggi diperoleh dari Pasar Modern (80.0%), kemudian diikuti Pasar Jombang (66.7%) dan Pasar Bukit (54.5%). Jumlah rata-rata S. aureus dari ketiga
25 pasar adalah 802.5 + 1194.2 cfu/gram, sedangkan berdasarkan lokasi pasar, maka jumlah rata-rata tertinggi sampai terendah berturut-turut adalah Pasar Modern (1116.0 + 1461.0 cfu/gram), Pasar Bukit (618.2 + 1045.8 cfu/gram), dan Pasar Jombang (433.3 + 665.8 cfu/gram). Jumlah rataan S. aureus dan persentase yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba pada sampel daging ayam dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10
Jumlah rataan Staphylococcus aureus dan persentase yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba pada daging ayam yang dijual di pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan Rataan + simpangan baku (cfu/gram)
Jumlah sampel yang melebihi BMCM
Pasar Modern (n=10)
1116.0 + 1461.0
8 (80.0%)
Pasar Bukit (n=11)
618.2 + 1045.8
6 (54.5%)
Pasar Jombang (n=3)
433.3 + 665.8
2 (66.7%)
Total (n=24)
802.5 + 1194.2
16 (66.7%)
Pasar
BMCM = batas maksimum cemaran mikroba menurut SNI Nomor 7388 Tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan BMCM Staphylococcus aureus daging ayam segar = 100 koloni/gram
Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa jumlah cemaran S. aureus dan persentase sampel daging yang melebihi BMCM tertinggi ditemukan pada sampel daging ayam dari Pasar Modern. Secara umum, hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya (60%) karkas yang dijual di Pasar Modern dipasok dari RPU, yang mana karkas dipotong pada pukul 04.00 pagi sehingga umur karkas ayam sudah sekitar 5 jam pada saat pengambilan sampel. Pada umumnya karkas yang dijual di Pasar Bukit (100%) dan Pasar Jombang (66.7%) dipotong di tempat (di kios) sehingga waktu antara pemotongan dan pengambilan sampel relatif pendek. Selain itu, tidak adanya penerapan rantai dingin dari RPU sampai ke pasar, sehingga bakteri yang mencemari karkas dapat berkembang-biak relatif lebih banyak dibandingkan dengan karkas yang berasal dari kedua pasar lain. Tingginya jumlah S. aureus pada sampel daging mengindikasikan buruknya pelaksanaan higiene personal. Menurut Adams dan Moss (2008) S. aureus termasuk ke dalam golongan mesofilik dengan interval suhu pertumbuhan antara 7 dan 48 °C dan tumbuh
26 optimum pada suhu 37 °C, serta mampu bertahan pada suhu rendah. Umumya bakteri mesofilik mempunyai waktu generasi (generation time) 20 menit atau kurang pada medium yang disukai serta pada suhu optimum. Oleh karena itu, sel bakteri dapat memperbanyak diri lebih dari 16 juta selama 8 jam, serta hampir mencapi 70 juta setelah 12 jam (Forsythe dan Hayes 1998). Menurut Gill (1986) yang dikutip dalam Mead (2005), penurunan suhu di bawah suhu optimum dapat meningkatkan waktu generasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membelah diri. Bersamaan dengan itu, bakteri akan tumbuh dua kali lipat setiap peningkatan suhu sebesar 10 °C. Menurut Herbert (1989) yang dikutip oleh Walker et al. (2000) pengaruh penurunan suhu adalah penurunan risiko kerusakan pada pangan. Metode ini bukan hanya untuk mengurangi perubahan kimiawi atau biologis, akan tetapi juga mengurangi aktivitas dari mikroorganisme. Pada ruangan yang bersuhu rendah, periode lag phase (waktu sebelum meningkatnya jumlah mikroorganisme) menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan. Dari aspek selular, pengaruh suhu terhadap pertumbuhan merupakan hal yang kompleks yang melibatkan struktur membran, pengambilan substrat, respirasi, dan aktivitas enzim. Pengujian jumlah mikroorganisme pada bahan pangan merupakan salah satu pengujian yang umum dan rutin diterapkan dalam rangka pengawasan dan pengendalian mutu dan keamanan bahan pangan. Jumlah mikroorganisme atau jumlah total mikroorganisme selalu dimasukkan dalam suatu standar atau spesifikasi suatu produk bahan pangan.
Pengujian jumlah mikroorganisme
tersebut bertujuan untuk: (1) mengetahui kualitas mikrobiologik bahan baku (bahan mentah) dan produk akhir, (2) mengetahui kondisi higiene selama proses produksi, (3) menentukan apakah bahan pangan ditangani atau disimpan pada suhu yang tidak sesuai selama proses produksi, transportasi dan penyimpanan, (4) menentukan masa simpan produk, (5) menentukan apakah produk telah sesuai dengan kriteria, spesifikasi atau standar produk, (6) menentukan tingkat pencemaran lingkungan produksi (Lukman 2005). Jumlah mikroorganisme pada contoh bahan pangan yang diperoleh dengan metode hitungan cawan merupakan gambaran populasi mikrorganisme yang terdapat pada contoh tersebut. Tidak semua mikroorganisme dapat tumbuh dalam
27 media agar dan kondisi inkubasi yang diterapkan, karena setiap mikroorganisme membutuhkan kondisi hidup atau pertumbuhan yang berberbeda.
Jumlah
mikroorganisme yang tumbuh (membentuk koloni) hanya berasal dari mikroorganisme yang dapat tumbuh pada kondisi yang ditetapkan (misalnya jenis media, ketersediaan oksigen, suhu dan lama inkubasi), karena mikroorganisme lain yang terdapat pada contoh tidak dapat tumbuh atau bahkan menjadi mati. Selain itu, sebuah koloni yang nampak pada biakan tidak selalu berasal dari satu sel mikroorganisme saja, tetapi dapat berasal dari sekelompok mikroorganisme (mikroorganisme yang terdapat pada bahan pangan sering membentuk kelompok atau clump). Oleh sebab itu, jumlah mikroorganisme yang diperoleh dengan metode ini hanya merupakan jumlah prakiraan (estimasi) saja dan terdapat kemungkinan bahwa jumlah mikroorganisme yang diperoleh lebih banyak dibandingkan dengan mikroorganisme sesungguhnya. Dengan demikian, hasil pemeriksaan perlu diinterpretasi secara hati-hati. Namun metode ini merupakan metode yang sangat berguna dan dianjurkan dalam pemeriksaan rutin (Lukman 2005). Jumlah koloni yang diperoleh dinyatakan dengan colony forming unit (cfu) per gram atau per ml atau per cm2 (luasan tertentu dari contoh). Ketepatan (accurancy) metode ini dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: (1) media dan kondisi inkubasi (ketersediaan oksigen, suhu dan waktu inkubasi), (2) kondisi sel mikroorganisme (cedera atau injured cell), (3) adanya zat penghambat pada peralatan atau media yang dipakai, atau yang diproduksi oleh mikroorganisme lainnya, (4) kemampuan pemeriksa untuk mengenal koloni, (5) lelah (fatigue), (6) peralatan, pelarut dan media yang kurang steril, ruang kerja atau bench yang tercemar, (7) pengocokan pada saat pengenceran yang kurang sempurna, (8) adanya artifak yang sulit dibedakan dengan koloni, (9) kesalahan menghitung koloni dan penghitungan yang kurang tepat terhadap koloni yang menyebar atau yang sangat kecil (Lukman 2005). Penanganan makanan oleh manusia sangat berkaitan dengan terjadinya peningkatan kasus keracunan makanan (Greig et al. 2007 yang dikutip oleh Ansari-Lari et al. 2010). Tangan dari pekerja yang terlibat dalam pengolahan makanan mungkin dapat menyebabkan terjadinya penyebaran penyakit karena
28 hanya sedikit pekerja yang menerapkan higiene personal sehingga terjadinya kontaminasi silang (Ehiri dan Morris 1996 yang dikutip oleh Baş et al. 2006). Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pekerja yang menangani makanan berkontribusi terhadap terjadinya 97% dari foodborne illness pada usaha jasa boga dan rumah (Howes et al. 1996 yang dikutip oleh Ansari-Lari et al. 2010). Keracunan makanan terjadi akibat ingesti mikroorganisme yang telah ada pada makanan yang terkontaminasi, yang dapat disebabkan oleh teknik pengawetan pangan yang tidak memadai atau praktik penanganan makanan yang tidak aman, atau akibat kontaminasi silang dari permukaan, peralatan, atau orang yang membawa Staphylococcus yang bersifat enterotoksigenik pada hidung atau kulitnya (Jay et al. 1999 yang dikutip oleh Baş et al. 2006). Penelitian de Boer et al. (2009) pada perdagangan ritel di Belanda terhadap keberadaan S. aureus yang resisten terhadap metisilin (methicillin-resistant Staphylococcus aureus/MRSA) pada daging sapi, babi, sapi muda, domba/domba muda, ayam, kalkun, unggas air, dan unggas liar mendapatkan MRSA 264 (11.9%) dari 2217 sampel dan persentase tertinggi ditemukan pada daging ayam (16.0%). Kitai et al. (2005) mendapatkan hanya 2 galur (0.5%) MRSA dari 444 sampel daging ayam yang dijual di supermarket di Jepang.
Daging segar dapat
mengandung MRSA akibat pencemaran selama proses pemotongan. Walaupun bakteri tersebut memiliki tempat utama untuk koloni pada saluran hidung, S. aureus terdapat juga dalam saluran pencernaan (Bhalla et al. 2007). Selama proses pemotongan, karkas ayam dapat tercemar S. aureus dari saluran pencernaan, lingkungan pemotongan, atau bahkan dari pekerja yang terinfeksi (de Boer et al. 2009).
Peran Kesmavet dalam Keamanan Pangan Asal Hewan Menurut WHO (2011), kesmavet berperan dalam usaha-usaha global untuk meningkatkan pengawasan dan respon terhadap semua penyakit infeksius yang mungkin akan mengancam kesehatan masyarakat. Program kesmavet di WHO adalah menjalin kerjasama dengan berbagai organisasi seperti Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) dan World Organization for Animal Health (OIE) untuk keamanan pangan dan berbagai aspek dari
29 kesehatan masyarakat yang diakibatkan oleh perdagangan hewan dan produk yang berasal dari hewan. Kesehatan masyarakat veteriner didefinisikan sebagai seluruh kontribusi dari fisik, mental dan sosial yang akan membawa pada pengertian dan pengaplikasian ilmu kedokteran hewan (WHO 2011); sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kesehatan manusia. Istilah kesehatan masyarakat veteriner sudah diperbincangkan setelah Perang Dunia Kedua oleh administrator kesehatan masyarakat pada pelayanan kesehatan masyarakat di Amerika Serikat untuk memilih bidang yang dapat dikerjakan oleh dokter hewan (Schwabe 1984 yang dikutip oleh Steele 2008). WHO (2011) menggambarkan kesehatan masyarakat veteriner sebagai bagian dari aktivitas kesehatan masyarakat yang berdedikasi untuk menerapkan kemampuan kedokteran hewan, pengetahuan dan pelayanan untuk melindungi serta meningkatkan kesehatan manusia. Kesehatan masyarakat veteriner adalah bentuk tanggung jawab dari dokter hewan yang mana aktivitas tersebut tidak hanya terbatas untuk dokter hewan. Akan tetapi kesehatan masyarakat veteriner juga berlaku untuk disiplin ilmu yang lain (psikolog, perawat, ahli sanitasi, dan lainlain) untuk bekerja bersama dalam menangani masalah tentang issue kesehatan manusia dan hewan (WHO 2011). Keamanan pangan adalah suatu bagian dari kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan pertanian dan sektor produksi pangan lainnya. Pada abad ini, perkembangan produksi pangan dan sistem pengawasan baru berkontribusi dalam mendukung keberhasilan sistem keamanan pangan di negara berkembang untuk mencegah foodborne disease (Schlundt 2002). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
dalam
Pasal
56,
kesehatan
masyarakat
penyelenggaraan kesehatan hewan dalam bentuk:
veteriner
merupakan
30 1.
Pengendalian dan penanggulangan zoonosis.
2.
penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan.
3.
Penjaminan higiene dan sanitasi
4.
Pengembangan kedokteran perbandingan; dan
5.
Penanganan. Pemantauan (monitoring) penyakit menggambarkan usaha-usaha yang
sedang dilaksanakan sesuai dengan penilaian kesehatan dan status penyakit dari sebuah populasi.
Pengambilan sampel individu dari sebuah populasi untuk
penilaian penyakit atau status kesehatan yang mungkin sedang berlangsung atau terjadi berulang. Monitoring penyakit ditujukan untuk penyakit infeksius yang spesifik, sesuatu yang spesifik yang menimbulkan penyakit atau kesehatan pada umumnya. Populasi mungkin bisa ditentukan berdasarkan negara, daerah, atau daerah yang rawan (Salman 2003). Menurut Winarno (2004), pemantauan (monitoring) dalam keamanan pangan adalah salah satu bentuk tindakan untuk melakukan pengecekan bahwa proses pengolahan dan cara-cara penanganan pada critical control points (CCP) telah diterapkan secara baik dan semestinya. Adapun lima jenis monitoring yang utama adalah observasi visual, evaluasi indera, pengukuran secara fisik, tes kimia, dan pemeriksaan mikrobiologi. Kegiatan surveilans adalah pengumpulan data penyakit berdasarkan pengambilan sampel atau spesimen di lapangan dalam rangka mengamati penyebaran atau perluasan dan keganasan penyakit. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasal 40 ayat (1), untuk melaksanakan kegiatan surveilans dan penyidikan ini diperlukan pengidentifikasian hewan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Berdasarkan kuesioner didapatkan hasil bahwa pasar yang mempunyai kriteria paling baik adalah Pasar Modern.
2.
Dari hasil pengujian laboratorium ditemukan S. aureus di setiap pasar dengan jumlah berturut-turut dari yang tertinggi adalah Pasar Modern 1116.0 + 1461.0 cfu/gram, kemudian diikuti Pasar Bukit 618.2 + 1045.8 cfu/gram dan Pasar Jombang 433.3 + 665.8 cfu/gram, dengan rataan yaitu 802.5 + 1194.2 cfu/gram. Tingginya cemaran S. aureus terkait dengan praktik higiene personal yang kurang baik, khususnya yang menangani unggas.
3.
Berdasarkan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia Nomor 7388 Tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan, sampel daging ayam yang tidak memenuhi BMCM paling tinggi diperoleh dari Pasar Modern (80.0%), kemudian diikuti Pasar Bukit (54.5%) dan Pasar Jombang (66.7%). Tingginya cemaran S. aureus pada karkas di Pasar Modern terkait dengan rentang waktu pemotongan dengan pengambilan sampel dan tidak adanya penerapan rantai dingin.
Saran 1. Diharapkan Dinas Peternakan dan Perikanan Kota Tangerang Selatan melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pedagang-pedagang tentang pentingnya menerapkan higiene sanitasi pada tempat pejualan, peralatan, dan pekerja. 2. Diharapkan Program Monitoring dan Surveilans Residu dan Cemaran Mikroba (PMSR) merencanakan besaran sampel yang memadai dan mengembangkan kuesioner untuk mengidentifikasi faktor-faktor resiko. 3. Perlu dilakukan studi pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan praktik (practices) atau studi KAP tentang higiene dan keamanan pangan pada
32 pedagang daging ayam untuk dapat dirancang program pembinaan dalam rangka mewujudkan produk hewan aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH).
DAFTAR PUSTAKA Adams MR, Moss MO. 2008. Food Microbiology 3rd Edition. Cambridge: RSC Pub. Alimoeso S. 2011. Prediksi BKKBN: 2011, penduduk Indonesia 241 juta jiwa. [terhubung berkala]. http://m. republika.co.id/berita/nasional/ umum/11/07/05. [5 Juli 2011]. Álvarez-Astorga M, Capita R, Alonso-Calleja J, Moreno B, García-Fernández MC. 2002. Microbiological quality of retail chicken by-products in Spain. Meat Sci 62: 45-50. Al-Tarazi YH, Albetar MA, Alaboudi AR. 2009. Biotyping and enterotoxigenicity of staphylococci isolated from fresh and frozen meat marketed in Jordan. Food Res Int 42: 374-379. [Anonim]. 2008. Ayam Ras. [terhubung berkala]. http://www.tangerangkab. go.id/?pilih=hal&id=45. [11 November 2011]. Ansari-Lari M, Soodbakhsh S, Lakzadeh L. 2010. Knowledge, attitudes and practices of workers on food hygienic practices plants in Fars, Iran. Food Control 21: 260-263. Arambulo III P. 2008. International programs and veterinary public health in the Americas - success, challenges, and possibilities. Prev Vet Med 86: 208215. Atanassova V, Meindl A, Ring C. 2001. Prevalence of Staphylococcus aureus and staphylococcal enterotoxins in raw pork and uncooked smoked ham a comparison of classical culturing detection and RFLP-PCR. Int J Food Microbiol 68:105-103. Aydin A, Sudagidan M, Muratoglu K. 2011. Prevalence of staphylococcal enterotoxins, toxin genes and genetic-relatedness of foodborne Staphylococcus aureus strains isolated in the Marmara Region of Turkey. Int J Food Microbiol. Doi: 10.1016/j.ijfoodmicro.2011.05.007. Baş M, Ersun AS, Kivanç G. 2006. The evaluation of food hygiene knowledge, attitudes, and practices of food handlers in food business in Turkey. Food Control 17: 317-322. Beier RC, Pillai SD. 2007. Future Directions in Food Safety. Dalam Simjee S, editor, Foodborne Disease. New Jersey: Humana Pr. Bergdoll MS, Wong CL. 2006. Staphylococcal Intoxication. Dalam Riemann HP, Cliver DO, editor, Foodborne Infections and Intoxications. San Diego: Elsevier.
34 Bhalla A, Aron DC, Donskey CJ. 2007. Staphylococcus aureus intestinal colonization is associated with increased frequency of S. aureus on skin of hospitalized patients. BMC Infect Dis 7:105. Bhunia AK. 2008. Foodborne Microbial Pathogens: Mechanisms and Pathogenesis. New York: Springer. Bryan FL, McKinley TW. 1974. Prevention of foodborne illness by timetemperature control of thawing, cooking, chilling, and reheating turkeys in school lunch kitchens. J Milk Food Technol 37:420-429. Bryan FL. 1988. Risks associated with vehicles of foodborne pathogens and toxins. J Food Prot 51:498–508. Capita R, Alonso-Calleja C, Garcia-Fernandez MC, Moreno B. 2002. Characterization of Staphylococcus aureus isolated from poultry meat in Spain. Poultry Sci 81:414-421. Cook LF, Cook KF. 2006. Deadly Disease and Epidemics Staphylococcus aureus Infection. Philadelphia: Chelsea House Pub. Cox NA, Richardson LJ, Bailey JS, Cosby DE, Cason JA, Musgrove MT. 2005. Bacterial Contamination of Poultry as a Risk to Human Health. Dalam Mead GC, editor, Food Safety Control in the Poultry Industry. New York: CRC Pr. Crago B, Ferrato C, Drews SJ, Svenson LW, Tyrrel G, Louie M. 2012. Prevalence of Staphylococcus aureus and methicillin-resistant S. aureus (MRSA) in food samples associated with foodborne illness in Alberta, Canada from 2007 to 2010. Food Microbiol :1-4. doi:10.1016/j.fm.2012.04.012 Cunningham FE. 1988. Types of Microorganisms Associated with Poultry Carcasses. Dalam Cunningham FE, Cox NA, editor, The Microbiology of Poultry Meat Products. San Diego: Academic Pr. de Boer E, Zwartkruis-Nahuis JTM, Wit B, Huijsdens XW, de Neeling AJ, Bosch T, van Oosteromb RAA, Vila A, Heuvelink AE. 2009. Prevalence of methicillin-resistant Staphylococcus aureus in meat. Int J Food Microbiol 134:52–56. [EFNRA] The Educational Foundation of the National Restaurant Association. 1992. Foodservice Sanitation - a Certification Coursebook. Chicago, Illinois: EFNRA. Forsythe SJ, Hayes PR. 1998. Food Hygiene, Microbiology and HACCP Third Edition. Gaithersburg: Aspen Pub. Gorman R, Bloomfield S, Adley CC. 2002. A study of cross-contamination of foodborne pathogens in the domestic kitchen in the Republic of Ireland. Int J Food Microbiol 76:143-150.
35 Gundogan N, Citak S, Yucel N, Devren A. 2005. A note on the incidence and antibiotic resistence of Staphylococcus aureus isolated from meat and chicken samples. Meat Sci 69: 807-810. Guthertz LS, Fruin JT, Okuluk RL, Fowler JL. 1977. Microbial quality of frozen comminuted turkey meat. J Food Sci 42:1344-1347. Guven K, Mutlu BM, Gulbandilar A, Cakir P. 2010. Occurance and characterization of Staphylococcus aureus isolated from meat and dairy products consumed in Turkey. J Food Safety 30:196-212. Harvey J, Gilmour A. 2000. Staphylococcus aureus. Dalam Robinson RK, editor, Encyclopedia of Food Microbiology. San Diego: Academic Pr. Hutapea RI. 2011. Penduduk dunia mencapai 7 miliar tahun ini, Indonesia Urutan keempat. [terhubung berkala]. http//us.detiknews.com/read/2011/ 08/18/114558/1705811/1148/. [10 September 2011]. [ICMSF] The International Commission on Microbiological Specifications for Foods. 1980. Microbial Ecology of Foods 1. Factors Affecting Life and Death of Microorganisms. New York: Academic Pr. [ICMSF] International Committee on Microbiological Specifications for Food. 1998. Microorganisms in Foods 6: Microbial Ecology of Food Commodities. London: Blackie Academic. James SJ. 2005. Refrigeration and the Safety of Poultry Meat. Dalam Mead GC, editor, Food Safety Control in the Poultry Industry. New York: CRC Pr. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pasar Sehat. Kitai S, Shimizu A, Kawano J, Sato E, Nakano C, Uji T, Kitagawa H. 2005. Characterization of methicillin-resistant Staphylococcus aureus isolated from retail raw chicken meat in Japan. J Vet Med 67:107–110. Lancette GA, Bennet RW. 2001. Staphylococcus aureus and Staphylococcal Enterotoxins. Dalam Downes FP, Ito K, editor, Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Foods. Ed ke-4. Washington: American Public Health Association. Lukman DW. 2005. Pengujian Jumlah Bakteri pada Bahan Pangan Asal Hewan. Bahan Kuliah. [tidak dipublikasi]. Bogor: Bagian Kesmavet FKH IPB. Lukman DW. 2009. Ancaman patogen pada pangan asal hewan. Food Review 4 (5):42-47. Malheiros PS, Passos CT, Caserin LS, Serraglio L, Tondo FC. 2010. Evaluation of growth and transfer of Staphylococcus aureus from poultry meat to surfaces of stainless steel and polyethylene and their disinfection. Food Control 21:298-301. Marriott NG. 1999. Principles of Food Sanitation. Gaithersburg: Aspen.
36 Martin SE, Landolo JJ. 1999. Staphylococcus . Dalam Robinson RK, editor, Encyclopedia of Food Microbiology. San Diego: Academic Pr. Mead GC. 1989. Hygiene Problems and Control of Process Contamination. Dalam Mead GC, editor, Processing of Poultry. London: Chapman and Hall. Meggitt C. 2003. Food Hygiene and Safety. Oxford: Heinemann Educational Pub. Minnesota Department of Health Fact Sheet. 2010. Handwashing in food service. [terhubung berkala]. http://www.health.state.mn.us/ divs/eh/food/fs/handwash.pdf [6 Juli 2011]. Moon JS, Lee AR, Jee SH, Kang HM, Joo YS, Park YH, Kim MN, Koo HC. 2007. Comparison of antibiogram, staphylococcal enterotoxin productivity, and coagulase genotypes among Staphylococcus aureus isolated from animal and vegetable sources in Korea. J Food Prot 70:2541-2548. Normanno G, Firinu A, Virgilio S, Mula G, Dambrosio A, Poggiu A, Decastelli L, Mioni R, Scuota S, Bolzoni G, Di Giannatale E, Salinetti AP, La Salandra G, Bartoli M, Zuccon F, Pirino T, Sias S, Parisi A, Quaglia NC, Celano GV. 2005. Coagulase-positive staphylococci and Staphylococcus aureus in food products marketed in Italy. Int J Food Microbiol 98:73–79. Normanno G, La Salandra G, Dambrosio A, Quaglia NC, Corrente M, Parisi Am Santagada G, Firinu A, Crisetti E, Celano GV. 2007. Occurance, characterization and antimicrobial resistance of enterotoxigenic Staphylococcus aureus isolated from meat and dairy products. Int J Food Microbiol 115:290-296. Pawsey RK. 2002. Case Studies in Food Microbiology for Food Safety and Quality. Cambridge: RSC Pub. Pereira V, Lopes C, Castro A, Silva J, Gibbs P, Teixeira P. 2009. Characterization for enterotoxin production, virulence factors, and antibiotic susceptibility of Staphylococcus aureus isolates from various foods in Portugal. Food Microbiol 26:278-282. Phillips D, Jordan D, Morris S, Jenson I, dan Sumner J. 2006. A national survey of the microbiological quality of beef carcasses and frozen boneless beef in Australia. J Food Prot 69: 1113-1117. Ristanti WN. 2009. Penerapan biosekuriti dan higiene di tempat penjualan daging ayam di Jakarta Barat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Rosamund MB, Lee WH. 1995. Media Used in The Detection and Enumeration of Staphylococcus aureus. Dalam Corry JEL, Curtis GDW, Baird RM, editor, Culture Media for Food Microbiology. Amsterdam: Elsevier.
37 Salman MD. 2003. Surveeillance and Monitoring Systems for Animal Health Programs and Disease Survey. Dalam Salman MD, editor, Animal Disease Surveillance and Survey Systems. Iowa: Blackwell Pub. Salzer RH, Kraft AA, Ayres JC. 1964. Bacteria associated with giblets of commercially processed turkeys. Poultry Sci 43:934-938. Sanjeev S, Gopalakrishna Iyer TS, Varma PR, Pand Rao CC, Mahadeva Iyer K. 1987. Carriage of enterotoxigenic staphylococci in workers of fish processing factories. Indian J Med Res 85:262-265. Schlundt J. 2002. New directions in foodborne disease prevention. Int J Food Microbiol 78: 3-17. Seo KS, Bohach GA. 2010. Staphylococcal Food Poisoning. Dalam Juneja VK, Sofos JN, editor, Pathogens and Toxins in Foods: Challanges and Interventions. Washington, DC: ASM Pr. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2008. Metode pengujian cemaran mikroba dalam daging, telur, dan susu, serta hasil olahannya. SNI 2897:2008. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. SNI 7388:2009. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Sokari T. 1991. Distribution of enterotoxigenic Staphylococcus aureus in readyto-eat foods in eastern Nigeria. Int J Food Microbiol 12:275-279. Soriano JM, Font G, Moltó JC, dan Manes J. 2002. Enterotoxigenic Staphylococci and their toxin in restaurant food. Trends in Food Sci Technol 13: 60-67. Steele JH. 2008. Veterinary public health: past success, new opportunities. Prev Vet Med 86:224–243 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. [USDA] United States Department of Agriculture. 1996. Nationwide Federal Plant Raw Ground Beef Microbiological Survey. Washington, DC: U.S Department of Agriculture. Walker SJ, Betts G. 2000. Chilled Foods Microbiology. Dalam Stringer M, Dennis C, editor, Chilled Foods a Comprehensive Guide. New York: CRC Pr. Wang X, Tao X, Xia X, Yang B, Xi M, Meng J, Zhang J, Xu B. 2012. Staphylococcus aureus and methicillin-resistant Staphylococcus aureus in retail raw chicken in China. Food Control 29:103-106. Wieneke AA, Robert D, Gilbert RJ. 1993. Staphylococcal food poisoning in the United Kingdom, 1969-90. Epidemiol Infect 110:529-531.
38 Winarno FG. 2004. Keamanan Pangan Jilid 1. Bogor: M-Brio Pr. [WHO] World Health Organization. 2011. Veterinary public health. [terhubung berkala]. http://www.who.int/zoonoses/vph/en/. [29 Juni 2011].
LAMPIRAN
40 Lampiran 1
Jumlah Staphylococcus aureus pada sampel daging ayam di pasarpasar di Kota Tangerang Selatan Nomor Sampel
Jumlah S. aureus (cfu/gram)
Pasar Modern
1
300
Pasar Modern
2
600
Pasar Modern
3
3300
Pasar Modern
4
1300
Pasar Modern
5
4200
Pasar Modern
12
0
Pasar Modern
13
900
Pasar Modern
16
130
Pasar Modern
17
20
Pasar Modern
18
410
Pasar Bukit
6
0
Pasar Bukit
7
0
Pasar Bukit
8
0
Pasar Bukit
9
600
Pasar Bukit
10
0
Pasar Bukit
14
0
Pasar Bukit
15
400
Pasar Bukit
19
900
Pasar Bukit
20
600
Pasar Bukit
21
700
Pasar Bukit
22
3600
Pasar Jombang
11
1200
Pasar Jombang
23
0
Pasar Jombang
24
100
Pasar
41 Lampiran 2
Kuesioner tentang karakteristik pedagang dan tempat penjualan daging ayam (kios) di pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan
Nama pedagang
:
Jenis kelamin
:
Alamat
:
Tempat pengambilan sampel
:
Jenis sampel
:
Jumlah sampel
:
Waktu pengambilan sampel
:
Produk yang dijual
:
Laki-laki
Perempuan
Tanggal Jam Karkas utuh Karkas potongan Jeroan Potong sendiri
Asal karkas ayam
TPU/RPU Pedagang perantara Jika memotong sendiri
:
Jumlah rata-rata pemotongan per hari. Waktu pemotongan (jam) Jumlah pekerja
Parameter Kondisi umum tempat penjualan Kios permanen Tempat memiliki atap yang dapat melindungi dari hujan dan panas Tempat penjualan bercampur dengan komoditas lain Penerangan mencukupi (dapat mengetahui perubahan warna pada daging)
Ya
Tidak
Keterangan
42 Sarana/fasilitas Permukaan yang kontak dengan daging terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah karat, dan mudah dibersihkan Talenan berbahan kayu Pisau yang digunakan terbuat dari bahan yang antikarat Jumlah pisau lebih dari satu Mempunyai fasilitas pembeku (freezer) Mempunyai fasilitas pendingin (refrigerator/chiller) Tersedia fasilitas pencuci peralatan (bak air, wastafel, atau yang lain) Tersedia fasilitas cuci tangan Penjualan Produk Karkas tidak terlindung (dapat disentuh pembeli) Karkas terpisah dari jeroan Ayam hidup bersamaan dengan karkas Kebersihan Bebas dari serangga, rodentia dan hewan lain Kebersihan tempat penjualan/kios terjaga (tidak ada genangan air dan sampah yang bertebaran) Tersedia tempat sampah basah atau kering Higiene personal Memakai apron Memakai penutup kepala Memakai masker Memakai sarung tangan Pedagang makan, minum dan merokok saat bekerja