SKRIPSI
CEMARAN Staphylococcus aureus PADA AYAM OLAHAN SIAP SAJI DAN SIMULASI REKONTAMINASI DARI UDARA
Oleh : QURROTUL AINI META PUSPITA SARI F24063385
2010 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
i
CEMARAN Staphylococcus aureus PADA AYAM OLAHAN SIAP SAJI DAN SIMULASI REKONTAMINASI DARI UDARA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : QURROTUL AINI META PUSPITA SARI F24063385
2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii
Judul Skripsi
:
CEMARAN
Staphylococcus
OLAHAN
SIAP
aureus
SAJI
DAN
PADA
AYAM
SIMULASI
REKONTAMINASI DARI UDARA Nama
: Qurrotul Aini Meta Puspita Sari
NIM
: F24063385
Menyetujui Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum NIP: 19640502.199303.2.004
Mengetahui: Ketua Departemen,
Dr. Ir. Dahrul Syah NIP: 19650814.199002.1.001
Tanggal Lulus: 20 April 2010
iii
Qurrotul Aini Meta Puspita Sari. F24063385. Cemaran Staphylococcus aureus pada Ayam Olahan Siap Saji dan Simulasi Rekontaminasi dari Udara. Di bawah bimbingan: Harsi D. Kusumaningrum. RINGKASAN Data yang dilaporkan oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular menunjukkan bahwa 30% dari kasus-kasus keracunan di Indonesia disebabkan oleh makanan siap saji yang dihasilkan oleh jasa katering. Kasus keracunan makanan akibat toksin dari Staphylococcus aureus pada pangan siap saji telah dilaporkan di berbagai negara. Namun di Indonesia belum banyak data yang melaporkan bahwa pangan siap saji yang dijual di pasaran terkontaminasi oleh bakteri ini. Mengingat kontaminasi mikroba ini biasanya terjadi melalui pekerja dengan keadaan sanitasi yang belum dijaga dengan baik, maka besar kemungkinan bakteri inilah yang bertanggung jawab atas berbagai kasus keracunan pada pangan siap saji. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kualitas mikrobiologi dan cemaran Staphylococcus aureus pada produk pangan siap saji khususnya produk ayam olahan di daerah lingkar kampus. Selain itu, penelitian ini juga ditujukan untuk mengevaluasi keberadaan Stphylococcus aureus pada pengolah dan konsumen pangan sebagai sumber kontaminasi, serta presentase transfer dari sumber kontaminasi utama ke produk ayam olahan. Penelitian yang dilakukan terdiri dari survei praktik penanganan bahan pangan dengan jumlah responden sebanyak 30 warung makan siap saji, uji keberadaan S. aureus yang dilakukan pada 20 ayam olahan siap saji, dan masingmasing 20 orang pengolah dan konsumen pangan yang terdiri dari tangan dan sistem pernapasan (mulut dan hidung). Kualitas mikrobiologi produk olahan yang diindikasikan dengan total mikroba, dianalisis dengan menggunakan media Standard Plate Count Agar (SPCA). Isolasi Staphylococcus aureus dilakukan dengan menggunakan media spesifik Baird Parker Agar (BPA) dengan Egg Yolk Tellurite (EYT), selanjutnya hasil isolasi diuji konfirmasi yang terdiri dari uji katalase, pewarnaan gram, fermentasi manitol secara anaerob, produksi koagulase, serta API® Staph. Selain itu juga dilakukan simulasi rekontaminasi S. aureus dari udara yang terdiri dari metode penyemprotan sejumlah S. aureus ke udara yaitu
iv
1 log CFU/m3, 5 log CFU/m3, dan 8 log CFU/m3 serta metode berbicara selama 30 menit oleh pembawa S. aureus. Praktik higiene dan penanganan bahan pangan pada warung makan siap saji di daerah lingkar kampus belum dapat dikatakan baik. Hal ini dapat dilihat dari lamanya penyimpanan pangan pada suhu ruang, yaitu 76% responden menyimpan pangan siap saji selama lebih dari 6 jam tanpa pemanasan ulang. Walaupun demikian, praktik penanganan makanan yang baik telah ditunjukkan oleh warung makan siap saji, yaitu 93% responden telah menggunakan sendok atau capit untuk mengambil makanan sehingga tangan pekerja tidak kontak langsung dengan makanan. Berdasarkan batas diterima (acceptable) untuk pangan siap saji yang telah ditetapkan oleh New South Wales Food Authority, terdapat 35% pangan siap saji termasuk dalam kategori unsatisfactory karena total mikroba yang melewati angka 105 CFU/g. Uji secara kualitatif menunjukkan bahwa 40% tangan, 31,71% sistem pernapasan pengolah dan konsumen pangan terkonfirmasi sebagai pembawa S. aureus dengan uji API® Staph. Sebanyak 35,56% ayam olahan siap saji dari 20 sampel positif mengandung Staphylococcus aureus sebesar 0,0-3,9 log CFU/g. Meskipun jumlah ini belum dapat menghasilkan toksin, namun menurut New South Wales Food Authority untuk rata-rata cemaran S. aureus tersebut sudah termasuk dalam kriteria unsatisfactory sehingga perlu adanya evaluasi terhadap higiene penanganan untuk mengurangi cemaran S. aureus. Transfer mikroba dari udara ke luasan tertentu untuk densitas awal 1 log CFU/m3 sebesar 11,41% atau berkisar antara 0,39 log CFU/100 cm2 jam. Sedangkan untuk 5 dan 8 log CFU/m3 memiliki presentase transfer yang sama yaitu sebesar 0,007%. Berbicara selama satu jam secara tidak langsung dapat menyebarkan S. aureus ke udara sebesar 5 log CFU/m3 yang dapat mengkontaminasi bahan pangan sebesar 0,87 log CFU/100 cm2 jam.
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis yang bernama lengkap Qurrotul Aini Meta Puspita Sari, dilahirkan pada tanggal 15 Agustus 1988 di Lamongan. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Muhammad Atim dan Rofa’ah Hasanah. Penulis memulai masa pendidikan formal sejak tahun 1992 di RA Muslimat NU Al Khoiriyah 1 Dalegan, Pangceng sampai tahun 1994. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di MI AlHikmah Masangan, Bungah pada tahun 2000, kemudian lulus dari pendidikan lanjutan pertama di SLTPN 1 Gresik pada tahun 2003. Pendidikan lanjutan atas diselesaikan oleh penulis di SMAN 1 Gresik pada tahun 2006, dan pada tahun yang sama penulis menjadi salah satu mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Setelah melewati tahun pertama di Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis memutuskan untuk melanjutkan ke Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis merupakan anggota dari Himpunan Mahasiswa Surabaya dan Sekitarnya (HIMASURYA PLUS) yang merupakan salah satu Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) yang ada di IPB. Sebagai tugas akhir dan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Cemaran Staphylococcus aureus pada Ayam Olahan Siap Saji dan Simulasi Rekontaminasi dari Udara”.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga skripsi dengan judul “Cemaran Staphylococcus aureus pada Ayam Olahan Siap Saji dan Simulasi Rekontaminasi dari Udara” terselesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan Juli 2009 hingga Februari 2010, dan berlokasi di Laboratorium Keamanan Pangan PAU, Seafast Center. Pada kesempatan kali ini dengan penuh hormat disampaikan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum sebagai Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. dan Dian Herawati, STP, M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberi pengarahan dan masukan kepada penulis. 3. Ayah, ibu, adik-adikku Naufal dan Firda, serta Helmy atas segala dukungan yang tidak ternilai harganya baik secara fisik dan moril, kasih sayang, cinta yang begitu besar, dan keceriaan. 4. Mbak Ari dan Ibu Sari, sebagai pegawai laboratorium yang telah memberikan arahan, bantuan dan atas rasa kekeluargaan serta kebersamaannya. 5. Seluruh dosen departemen ITP yang banyak memberikan ilmu dan nasehat berharga kepada penulis selama kuliah dan staf departemen yang banyak membantu penulis. 6. Teman satu perjuangan Prima, Ochy, kak Marcel, kak Olo, kak Chan, dan kak Reza, atas dukungan dan bantuannya selama pelaksanaan penelitian. 7. Teman satu kosan Litta, Ranti, Dina, Reuni, Yuni, Rini, dan Upik, yang telah menemani selama 3 tahun di pondok Xena. 8. Sahabat terbaik (Tsani, Ipit, Ovi, Deny, dan Dion), teman satu laboratorium (Mbak Nur, Mbak Fafa, Mas Reski, Mas Ari, dan Mas Achid) dan temanteman ITP 43 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuan dan kebersamaannya.
vii
9. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung ataupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini. Akhirnya semoga skripsi ini akan menjadi inspirasi bagi saya pribadi dan semua yang sempat membaca, guna menyempurnakan pengetahuan di bidang Teknologi Pangan.
Bogor, April 2010
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ……………………………………………………… vii DAFTAR ISI
………………………………………………………………. ix
DAFTAR TABEL
………………………………………………………… x
DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
……………………………………………………… xii ……………………………………………………. xiii
I. PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1 A. LATAR BELAKANG ……………………………………………
1
B. TUJUAN PENELITIAN
2
…………………………………………
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………. 3 A. KEAMANAN PANGAN ………………………………………… B. PANGAN SIAP SAJI DAN KEAMANANNYA
3
……………….. 4
C. Staphylococcus aureus ………………………………………………… 7 D. HIGIENE PEKERJA …………………………………………….. 21 III. METODE PENELITIAN ……………………………………………… 24 A. ALAT DAN BAHAN ……………………………………………. 24 B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ........................................ 24 C. METODE PENELITIAN ………………………………………... 25 D. PROSEDUR ANALISIS DAN PERHITUNGAN ………………. 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………………... 32 A. PRAKTIK PENANGANAN PANGAN …………………………… 32 B. TOTAL MIKROBA DAN CEMARAN Staphylococcus aureus PADA PANGAN SIAP SAJI ……………………………………… 38 C. Staphylococcus aureus PADA PENGOLAH DAN KONSUMEN MAKANAN ……………………………………………………… 46 D. Staphylococcus aureus TERKONFIRMASI ………………………. 48 E. SIMULASI REKONTAMINASI Staphylococcus aureus DENGAN METODE PENYEMPROTAN …………………………………… 50 F. SIMULASI REKONTAMINASI Staphylococcus aureus DENGAN METODE BERBICARA …………………………………………… 57
ix
V. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………….. 60 A. KESIMPULAN B. SARAN
……………………………………………………. 60
……………………………………………………………. 61
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 62 LAMPIRAN ……………………………………………………………….. 68
x
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Perbedaan karakteristik S.aureus dari jenis Staphylococci lain …... 9 Tabel 2. Berbagai Guideline Angka Lempeng Total (ALT) dan Staphylococcus aureus untuk pangan siap saji………..…………… 20 Tabel 3. Angka lempeng total dan cemaran Staphylococcus pada ayam goreng ….......................................................................................... 39 Tabel 4. Angka lempeng total dan cemaran Staphylococcus pada ayam kecap ……....................................................................................... 41 Tabel 5. Angka lempeng total dan cemaran Staphylococcus pada ayam opor ……......................................................................................... 42 Tabel 6. Angka lempeng total dan cemaran Staphylococcus pada ayam balado …......................................................................................... 44 Tabel 7. Cemaran Staphylococcus koagulase positif* pada ayam olahan….. 45 Tabel 8. Hasil kualitatif keberadaan Staphylococcus koagulase positif pada pengolah dan konsumen …………………………………… 47 Tabel 9. Staphylococcus aureus terkonfirmasi ……………………………. 49 Tabel 10. Rata-rata presentase transfer Staphylococcus aureus dari udara .... 55
xi
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.
Halaman Staphylococcus aureus pada media BPA+EYT ………………. 11
Gambar 2.
Staphylococcus aureus pada media SPCA…………………….. 11
Gambar 3.
Pewarnaan gram pada Staphylococcus aureus………………… 12
Gambar 4.
Uji fermentasi mannitol………………………………………... 14
Gambar 5.
Uji produksi koagulase ………………………………………... 15
Gambar 6.
Diagram alir proses penelitian ………………………………... 25
Gambar 7.
Presentase sebaran pengambilan sampel dari berbagai daerah lingkar kampus (n=30)................................................................. 32
Gambar 8.
Teknik pengolahan ayam goreng ................................................ 33
Gambar 9.
Lama penggorengan ayam goreng ............................................. 34
Gambar 10. Lama penyimpanan ayam goreng pada suhu ruang .................... 35 Gambar 11. Jeda pemanasan ulang setelah penyimpanan pada suhu ruang ... 36 Gambar 12. Kegiatan mencuci tangan ........................................................... 37 Gambar 13. Alat penanganan bahan pangan .................................................. 37 Gambar 14. Densitas total mikroba, Staphylococcus sp. dan Staphylococcus aureus di udara dalam ruang simulasi ........................................ 50 Gambar 15. Densitas total mikroba dan S. aureus di ruang simulasi setelah rekontaminasi dengan penyemprotan S. aureus dengan rata-rata koloni awal 1,33 log CFU/m3 ..................................................... 51 Gambar 16. Presentase transfer S. aureus dari udara yang direkontaminasi dengan rata-rata koloni S. aureus awal 1,33 log CFU/m3 .......... 52 Gambar 17. Densitas total mikroba dan S. aureus di ruang simulasi setelah rekontaminasi dengan penyemprotan S. aureus dengan rata-rata koloni awal 5,35 log CFU/m3 ..................................................... 53 Gambar 18. Presentase transfer S. aureus dari udara yang direkontaminasi dengan rata-rata koloni S. aureus awal 5,35 log CFU/m3 .......... 53 Gambar 19. Densitas total mikroba dan S. aureus di ruang simulasi setelah rekontaminasi dengan penyemprotan S. aureus dengan rata-rata koloni awal 8,33 log CFU/m3 ................................................... 54 Gambar 20. Presentase transfer S. aureus dari udara yang direkontaminasi dengan rata-rata koloni S. aureus awal 8,33 log CFU/m3 .......... 55 Gambar 21. Densitas total mikroba, Staphylococcus sp. dan Staphylococcus aureus setelah rekontaminasi simulasi berbicara selama 30 menit ..................................................................................... 58 Gambar 22. Cemaran Staphylococcus aureus hasil simulasi berbicara dan Simulasi penyemprotan .............................................................. 59 xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1.
Kuisioner evaluasi penanganan dan penyimpanan ayam goreng. 68
Lampiran 2.
Daftar responden survei praktik penanganan pangan pada warung makan siap saji ............................................................ 69
Lampiran 3.
Praktik pananganan pada warung makan siap saji..................... 71
Lampiran 4.
Angka lempeng total pada ayam goreng ................................. 72
Lampiran 5.
Staphylococcus sp. dan Staphylococcus aureus pada ayam goreng......................................................................................... 73
Lampiran 6.
Angka lempeng total pada ayam kecap ................................... 74
Lampiran 7.
Staphylococcus sp. dan Staphylococcus aureus pada ayam kecap ....................................................................................... 75
Lampiran 8.
Angka lempeng total pada ayam opor ..................................... 76
Lampiran 9.
Staphylococcus sp. dan Staphylococcus aureus pada ayam opor............................................................................................ 77
Lampiran 10. Angka lempeng total pada ayam balado .................................. 78 Lampiran 11. Staphylococcus sp. dan Staphylococcus aureus pada ayam balado ....................................................................................... 79 Lampiran 12. Uji kualitatif Staphylococcus sp., dan Staphylococcus aureus pada tangan, mulut dan hidung pengolah pangan .................... 80 Lampiran 13. Uji kualitatif Staphylococcus sp., dan Staphylococcus aureus pada tangan, mulut dan hidung konsumen .............................. 82 Lampiran 14. Hasil uji konfirmasi Staphylococcus aureus ............................ 84 Lampiran 15. Hasil uji konfirmasi Staphylococcus aureus dengan API Staph 87 Lampiran 16. Angka lempeng total, Staphylococcus sp. dan Staphylococcus aureus di udara terbuka setelah ruang distrerilisasi ................. 89 Lampiran 17. Simulasi rekontaminasi S. aureus metode penyemprotan dengan densitas awal 1 log cfu/m3............................................. 90 Lampiran 18. Simulasi rekontaminasi S. aureus metode penyemprotan dengan densitas awal 5 log cfu/m3 ............................................ 91 Lampiran 19. Simulasi rekontaminasi S. aureus metode penyemprotan dengan densitas awal 8 log cfu/m3 ........................................... 92 Lampiran 20. Simulasi rekontaminasi S. aureus dengan metode berbicara .... 93
xiii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Makanan merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Bahan pangan mengandung berbagai nutrisi yang dibutuhkan oleh manusia untuk tumbuh. Komponen makro (Karbohidrat, protein, lemak), vitamin, mineral, dan komponen mikro lainnya merupakan kandungan umum yang terdapat pada bahan pangan. Pangan dapat juga menjadi wahana bagi unsur pengganggu kesehatan manusia. Nutrisi yang terdapat dalam bahan pangan inilah yang menjadi daya tarik bagi mikroba untuk tumbuh. Secara umum bahaya yang timbul dari pangan sering disebut sebagai keracunan pangan. Timbulnya bahaya dapat terjadi melalui unsur biologis, kimia, dan fisik (BPOM, 2006). Penelitian yang telah dilakukan oleh BPOM (2005) menyebutkan bahwa pada tahun 2004, sebanyak 13,7% kasus keracunan pangan di Indonesia disebabkan oleh mikroba patogen, 8,5% disebabkan oleh bahan kimia, dan selebihnya yaitu 77,3% tidak dapat terdeteksi penyebabnya. Seringkali diberitakan peristiwa keracunan makanan yang terjadi di perusahaan maupun acara-acara resmi, diduga disebabkan oleh makanan katering yang disajikan. Peristiwa keracunan makanan siap santap atau siap saji memang seringkali terjadi, ketika makanan tersebut dimasak dalam skala besar untuk banyak orang. Di Indonesia, data yang dilaporkan oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular menunjukkan bahwa 30% dari kasus-kasus keracunan di Indonesia disebabkan oleh makanan siap santap yang dihasilkan oleh jasa katering (Dewanti, 2009). Telah dilaporkan sejumlah kasus keracunan pangan siap saji di berbagai negara disebabkan oleh Staphylococcus aureus, seperti yang terjadi di Vietnam (Huong, et al., 2010), Nigeria (Sokari, 1991), dan India (Nema, et al., 2007). Namun, belum terdapat cukup data kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Staphylococcus aureus merupakan salah satu mikroba patogen yang berpotensi menyebabkan keracunan makanan. Toksin yang dihasilkan dapat
1
menyebabkan penyakit apabila masuk ke dalam sistem pencernaan. Mengingat kontaminasi mikroba ini biasanya terjadi melalui pekerja dengan keadaan sanitasi yang belum dapat dijaga dengan baik, maka besar kemungkinannya bakteri inilah yang bertanggung jawab atas berbagai kasus keracunan pangan siap saji. Dengan demikian perlu dilakukan evaluasi terhadap praktik penanganan bahan pangan, cemaran mikroba khususnya kontaminasi Staphylococcus aureus pada pangan siap saji, serta menelusuri sumber kontaminasi bakteri ini.
B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini memiliki beberapa tujuan yang meliputi: 1. Mengevaluasi praktik penanganan produk pangan siap saji khususnya produk ayam olahan di daerah lingkar kampus. 2. Mengetahui kualitas mikrobiologi dan tingkat cemaran Staphylococcus aureus pada ayam olahan siap saji. 3. Mengetahui keberadaan Staphylococcus aureus pada pengolah dan konsumen pangan siap saji. 4. Mengetahui presentasi Staphylococcus aureus yang dapat berpindah dari sumber kontaminasi ke produk ayam olahan siap saji.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. KEAMANAN PANGAN Keamanan pangan menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1996 adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu, bahan pangan harus terbebas dari semua bahaya tersebut. BPOM (2006), menyatakan bahwa dengan memenuhi persyaratan keamanan pangan, maka suatu pangan dapat dikonsumsi dengan aman tanpa menimbulkan bahaya kesehatan bagi orang yang mengonsumsinya. Empat masalah utama keamanan pangan di Indonesia saat ini menurut BPOM (2002) adalah (1) pencemaran pangan oleh mikroba karena rendahnya praktik-praktik sanitasi dan higiene, (2) pencemaran pangan oleh bahan kimia berbahaya seperti residu pestisida, residu obat hewan, logam berat, mikotoksin, dan sebagainya, (3) salah penggunaan bahan berbahaya yang dilarang digunakan untuk pangan seperti formalin, boraks, rhodamin B, metanil yellow, dan (4) penggunaan melebihi batas maksimum yang diizinkan (abuse) dari bahan tambahan pangan yang sudah diatur penggunannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Sebanyak 90% masalah keamanan pangan ternyata disebabkan oleh kontaminasi mikroba, baik yang berasal dari air, tanah, udara, peralatan, bahan, dan badan manusia. Sisanya sekitar 10% disebabkan oleh bahan kimia seperti pestisida dan logam berat (Fardiaz, 1992b). Keamanan pangan biasa dikaitkan dengan keracunan pangan. BPOM (2005) melaporkan bahwa jumlah Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan pada bulan Januari hingga Desember 2004, adalah sebanyak 153 kejadian dalam 25 propinsi di Indonesia. Secara keseluruhan, kasus keracunan pangan yang dilaporkan berjumlah 7347 kasus termasuk 45 orang meninggal dunia. Keracunan pangan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, United State Food and Drug Administration (1999), juga telah melapokan bahwa terjadi 14 juta kasus keracunan di USA. Sedangkan WHO setiap
3
tahunnya menerima ratusan ribu laporan kasus keracunan pangan yang terkontaminasi dari seluruh dunia. Tingginya proporsi keracunan makanan yang diindikasikan dengan diare dan infeksi lainnya ini disebabkan oleh kurang pedulinya terhadap keamanan pangan. Patogen-patogen penyebab keracunan antara lain Salmonella, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, Camphylobacter sp., Shigella sp., Clostridium botulinum, dan Escherichia coli (USFDA, 1999). Patogen ini banyak terdapat pada bahan pangan, terutama yang mengandung protein seperti daging, ayam, susu, dan produk-produk olahannya. Masingmasing bakteri patogen memiliki cara untuk dapat menimbulkan penyakit dengan tingkat bahaya masing-masing. Menurut Steward et al. (2003), tingkat bahaya bakteri tersebut tergantung pada beberapa faktor antara lain: faktor lingkungan (komposisi makanan, suhu, pH, dll) dan faktor bakteri (galur, jenis toxin, dll). Patogen dapat berkembang dengan baik pada makanan karena kandungan gizi yang cukup untuk bertahan hidup dan melakukan metabolisme dengan toksin sebagai salah satu hasil metabolitnya. Kasus yang ditimbulkan dari makanan yang terkontaminasi digolongkan menjadi dua yaitu infeksi dan intoksikasi. Infeksi terjadi bila terdapat mikroba patogen pada makanan yang tertelan, sedangkan intoksikasi disebabkan oleh tertelannya racun yang dihasilkan oleh mikroba pada makanan. Contoh bakteri penghasil toksin adalah Clostridium botulinum, Clostridium perfringens, Bacillus cereus, dan Staphylococcus aureus (Brown, 1993). B. PANGAN SIAP SAJI DAN KEAMANANNYA Makanan siap saji sering dikenal dengan sebutan Ready to eat food. Istilah ini dimaksudkan untuk makanan yang dapat disiapkan dan dilayankan dengan cepat. Biasanya istilah ini merujuk pada makanan yang dijual di sebuah restoran atau toko dengan persiapan yang berkualitas rendah dan dilayankan kepada pelanggan dalam sebuah bentuk paket untuk dibawa pergi.
4
Penjualan makanan seperti ini bisa berupa kios yang mungkin tidak memiliki naungan atau tempat duduk. Restoran siap saji juga dikenal sebagai restoran layanan cepat. Biasanya menyajikan makanan yang sering dikonsumsi sehari-hari. Makanan yang diperjualbelikan telah dimasak sebelumnya dan disimpan sampai dibeli oleh konsumen. Sebagian besar restoran siap saji menyimpan makanannya pada suhu ruang dalam waktu yang lama, sehingga kemungkinan terpapar oleh mikroba sangat besar. Mengingat mikroba dapat berasal dari udara, pekerja, ataupun kontaminasi dari makanan lain yang tercemar. Penyimpanan yang lama, dapat merusak makanan dari segi organoleptik.
Pemanasan
ulang
sering
dilakukan
untuk
mengatasi
permasalahan ini. Namun pemanasan yang dilakukan terkadang kurang cukup untuk membunuh mikroba atau merusak toksin yang sudah terbentuk selama penyimpanan. Pemanasan yang dilakukan oleh restoran siap saji khususnya di Indonesia hanya ditujukan untuk menghangatkan makanan. Makanan yang biasa dijual sebagai pangan siap saji di Indonesia merupakan pangan tradisional Indonesia. Pangan tradisional merupakan pangan yang pekat dengan tradisi setempat dari mana kita dilahirkan dan dibesarkan (Winarno, 2004). Beras, santan, dan rempah-rempah mencirikan berbagai jenis makanan tradisional. Beras merupakan bahan pokok yang penting. Santan dan rempah-rempah merupakan komponen utama dalam memberikan kesedapan rasa makanan. Beberapa contoh pangan tradisional Indonesia adalah ayam goreng, ayam kecap, ayam opor, dan ayam balado. Ayam goreng merupakan produk pangan ayam yang dilumuri beranekaragam bumbu tergantung dari budaya setempat, kemudian diolah dengan cara penggorengan. Ayam goreng kuning merupakan jenis ayam goreng yang sering ditemui di warung makan siap saji tradisional Indonesia. Pembuatannya didahului dengan teknik ungkep ayam bersama bumbu-bumbu halus seperti kemiri, ketumbar, bawang putih, garam, lengkuas, dan jahe. Selanjutnya penggorengan dilakukan dengan minyak panas (Vania, 2006). Ayam
kecap
adalah
sejenis
makanan
tradisional
dengan
menggunakan bahan baku ayam dan kecap. Bahan pangan ini diolah dengan
5
teknik penumisan bersama dengan bumbu-bumbu khas. Selain digoreng, pemasakan juga bisa dilakukan dengan cara pengovenan menggunakan api atas (Anonim, 2008). Jenis ayam olahan ini, merupakan makanan yang sering disediakan di warung makan siap saji khususnya di Pulau Jawa. Kecap merupakan bumbu dapur atau penyedap makanan, berupa cairan berwarna hitam yang rasanya manis atau asin. Bahan dasar pembuatan kecap umumnya adalah kedelai kuning atau kedelai hitam. Opor ayam merupakan masakan yang sangat dikenal di Indonesia. Opor ayam diklaim berasal dari daerah berbudaya Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur sebelah barat (Anonim, 2009). Meskipun demikian, masakan ini juga telah dikenal luas di daerah lain. Opor ayam sebenarnya adalah ayam rebus yang diberi bumbu kental dari santan ditambah berbagai rempah seperti serai, kencur, dan sebagainya. Ayam balado, sejenis ayam goreng yang disajikan dengan bumbu tambahan. Makanan khas daerah Padang ini memiliki rasa pedas karena banyak menggunakan cabe merah dan cabe rawit yang juga berkontribusi terhadap warna merah masakan ini (Anonim, 2009). Keamanan makanan rumah tangga erat kaitannya dengan praktik higiene perorangan, keluarga dan masyarakat setempat, bahan, polusi, dan teknologi. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran baik oleh produsen dan konsumen menyebabkan jumlah keracunan akibat makanan ini semakin besar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusbangtepa-IPB, berturut-turut dengan FAO 1984 dan TNO-Netherland Belanda 1985 pada 200 makanan jajanan atau pangan siap saji di daerah Bogor, menunjukkkan bahwa sebagian besar pangan ini terkontaminasi oleh Salmonella, Shigella, Staphylococcus aureus, dan bakteri anaerobik. BPOM (2005) melaporkan bahwa pada tahun 2004 penyebab keracunan pangan adalah makanan yang berasal dari masakan rumah tangga (47,1%), industri jasa boga (22,2%), makanan olahan (15,0%), makanan jajanan (14,4%), dan 1,3% tidak dilaporkan. Berdasarkan data tersebut, sumber pangan penyebab keracunan pangan terbesar yaitu masakan rumah tangga dan industri jasa boga. Penanganan dan penyimpanan bahan pangan
6
selama proses pengolahan dan tingkat penjualan merupakan hal yang utama dalam menentukan keamanan dan mutu dari aspek mikrobiologi. Bakteri patogen dalam bahan pangan tidak dapat tumbuh di luar kisaran suhu antara 4o-60oC (Buckle, et al., 1987). Untuk itu, makanan sebaiknya tidak disimpan dalam kisaran suhu ini dalam jangka waktu yang lama. Menurut WHO (2004), untuk menghasilkan makanan yang aman dikonsumsi, terdapat lima kunci utama yang harus diperhatikan selama pengolahan pangan. Pertama, yaitu dengan menjaga kebersihan peralatan dan mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan setelah keluar dari toilet. Kedua, pemisahan antara bahan mentah dengan bahan pangan yang sudah matang untuk mencegah kontaminasi silang. Ketiga, pemasakan sempurna untuk membunuh miroba patogen. Keempat, menjaga pangan pada kisaran suhu aman yaitu dengan tidak meninggalkan makanan pada suhu ruang selama lebih dari 2 jam dan menjaga makanan berada pada suhu di bawah 5oC atau lebih dari 60oC. Kelima, menggunakan bahan baku dan air yang aman. C. Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan spesies dari genus Staphylococcus. Berdasarkan Bergey’s Manual, Staphylococcus aureus diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Bacteria
Phylum
: Firmicutes
Class
: Bacilli
Order
: Bacillales
Family
: Staphylococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Species
: Staphylococcus aureus
1. Karakteristik dan Kondisi Pertumbuhan Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif dengan ukuran diameter 0,8-1,0 µm dan berbentuk bulat atau coccus. Sel membentuk kelompok tidak beraturan, tunggal, atau berpasangan pada 7
media cair maupun padat (Minor dan Marth, 1976). Beberapa galur S. aureus dapat membentuk kapsul dan lapisan lendir. Komponen utama dari dinding sel S. aureus adalah peptidoglikan, asam teikoat, dan protein A (Minor dan Marth, 1976). Koloni pada media padat seperti Brain-Heart
Infusion
Agar,
Staphylococcus
aureus
membentuk
permukaan yang halus, bulat, utuh, cembung, dan koloni yang berkilauan dengan warna bervariasi dari krem hingga oranye sebagai hasil dari pigmentasi karotenoid pada membran sel. Koloni yang berwarna putih dan sedikit kekuningan akan menjadi lebih gelap setelah inkubasi selama beberapa hari pada suhu 30oC atau pada suhu ruang (Ash, 2000). Bakteri ini bersifat aerob dan pertumbuhannya melambat pada kondisi anaerob (Hayes, 1985). Menurut USFDA (1999), Staphylococcus aureus bersifat katalase positif, mempunyai enzim seperti superoksida dismutase yang dapat memecah radikal bebas, dan enzim katalase yang memecah H2O2 sehingga menghasilkan senyawa akhir yang tidak berbahaya bagi mikroba. Gaman dan Sherrington (1992), menyebutkan bahwa bakteri ini tidak dapat membentuk spora, tidak motil namun menghasilkan toksin yang dapat menimbulkan penyakit. Hanya 50% strain yang dapat memproduksi enterotoksin (Hayes, 1985). Toksin yang dihasilkan sangat tahan terhadap panas. Oleh karena itu, walaupun sel vegetatifnya sudah mati karena pemanasan pada suhu 66oC selama 10 menit, tetapi toksinnya dapat bertahan pada suhu 100oC selama 30 menit. Berbeda dengan Staphylococci lain, S. aureus bersifat koagulase positif dan mampu memfermentasi glukosa dan manitol pada pertumbuhan anaerobik. Dalam kondisi anaerob, hasil akhir dari fermentasi gula sebagian besar adalah asam laktat, asam asetat, dan sedikit CO2 yang berasal dari respirasi (Minor dan Marth, 1976). Perbedaan karakteristik S. aureus dengan Staphylococci yang lain, seperti yang terlihat pada Tabel 1.
8
Table 1. Perbedaan karakteristik S.aureus dari jenis Staphylococci lain*
Karakteristik Aktivitas katalase Produksi koagulase Produksi termonuklease Sensitivitas terhadap lysostaphin Fermentasi anaerobik dari Glukosa Mannitol
S. aureus
S. epidermidis
Micrococci
+ + + +
+ +
+ -
+ +
+ -
-
+, sebagian besar (90% atau lebih) galur positif; -, sebagian besar (90% atau lebih) galur negatif. *) BAM (2001). Staphylococcus aureus tergolong mesofilik, tumbuh pada suhu 6,7-47,8oC dan suhu optimumnya 37oC
(Amy et al., 2002).
Staphylococcus aureus pada makanan yang terbuat dari daging ayam, dapat bertahan hidup pada suhu 112oF (44,4oC) namun tidak dapat tumbuh di salad ham pada suhu yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan Staphylococcus aureus dipengaruhi oleh kondisi yang bervariasi, namun secara umum pertumbuhan terjadi pada suhu 7,0-47,8oC, dan enterotoksin diproduksi pada suhu antara 10oC dan 46oC dengan suhu optimum 40-45oC (Jay, 2005). Saat suhu 10oC terjadi fase lag yang panjang (>20 jam) dan pertumbuhan yang sangat lambat. Pertumbuhan pada suhu yang lebih rendah, dibatasi oleh penurunan aw atau pH. Staphylococcus aureus sangat tahan terhadap pembekuan dan thawing, bertahan dengan baik pada pangan yang disimpan pada suhu ≤-20oC. Viabilitas menurun selama penyimpanan beku suhu dengan suhu yang lebih tinggi (-10)-0oC. Demikian pula dengan enterotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus sangat stabil pada penyimpanan beku (ICMSF, 1996).
9
Kondisi pH yang optimum bagi pertumbuhan S. aureus adalah pH sekitar 7,0-7,5 namun pada kisaran pH 4,0-9,8 Staphylococcus aureus masih dapat tumbuh (Bergdoll, 1989). Bakteri ini dapat tumbuh pada konsentrasi NaCl 7-10%. Kondisi aw di mana S. aureus dapat tumbuh sangat berbeda dengan bakteri non halofilik yang lain. Tercatat bakteri ini hidup pada aw minimum 0,83 hingga lebih dari 0,99 (FDA, 2003). Staphylococcus aureus banyak terdapat di udara, tanah, debu, air, peralatan makanan, juga pada manusia khususnya pada saluran pernapasan, kerongkongan, serta kulit (Hertzberger, et al., 1982). Bahkan telah dilaporkan bahwa 30-50% dari populasi manusia sehat merupakan pembawa S. aureus (Loir, 2003). Staphylococcus aureus
biasanya dapat dimusnahkan dengan
perlakuan suhu pasteurisasi dan suhu pemasakan pangan. Ketahanan terhadap pemanasan meningkat pada pangan yang kering dan tinggi lemak. Enterotoksin sangat tahan terhadap panas dan dapat bertahan pada proses sterilisasi pangan berasam rendah. Setelah perlakuan panas, aktivitas toksik mungkin masih ada saat aktivitas serologi sudah tidak ada. Ketahanan panas sel Staphylococcus aureus dipengaruhi oleh kondisi pertumbuhan. Ketahanan meningkat pada suhu tinggi (>37oC), sedangkan pada suhu rendah (<20oC) ketahanan menurun (ICMSF, 1996). Staphylococcus aureus iradiasi
ionisasi
maupun
dapat dimusnahkan dengan perlakuan iradiasi
non-ionisasi.
Enterotoksin
Staphylococcus aureus sangat tahan terhadap iradiasi sinar gamma dan tidak akan rusak oleh sejumlah sinar gamma yang diaplikasikan pada pangan (ICMSF, 1996). 2. Isolasi dan Identifikasi Staphylococcus aureus Untuk mengisolasi Staphylococcus aureus digunakan media spesifik yaitu Baird Parker Agar (BPA) yang ditambah dengan Egg Yolk Tellurite Emulsion (EYT). Koloni S. aureus yang terbentuk akan berwarna hitam, bulat, timbul, dan licin yang dikelilingi oleh zona keruh. Kadang-kadang disertai juga dengan zona bening di luar zona keruh
10
seperti yang terdapat pada Gambar 1. Sedangkan pada pada media Sandard Plate Count Agar (SPCA) koloni S. aureus tampak berwarna kuning seperti pada Gambar 2.
Zona keruh
Koloni hitam Zona bening Gambar 1. Staphylococcus aureus pada media BPA+EYT
Gambar 2. Staphylococcus aureus pada media SPCA Warna kuning yang terbentuk pada media SPCA dikarenakan bakteri ini memiliki kemampuan untuk menghasilkan salah satu jenis pigmen karotenoid yaitu Staphyloxanthin (Clauditz, et al., 2006) Uji lanjut untuk konfirmasi kebenaran keberadaan S. aureus menurut BAM (2001) meliputi empat uji yaitu pewarnaan gram, fermentasi anaerob mannitol, uji produksi koagulase, dan katalase. Apabila sampel hasil isolasi positif untuk keempat uji, maka sampel tersebut dinyatakan positif terhadap S. aureus.
a. Pewarnaan Gram Pewarnaan gram, merupakan salah satu teknik pewarnaan yang paling penting dan paling luas digunakan untuk bakteri.
Olesan bakteri yang terfiksasi dikenai larutan-larutan secara berurutan yaitu ungu kristal, yodium, yodium, alkohol (bahan pemucat) dan
11
safranin. Bakteri yang diwarnai dengan metode gram ini terbagi menjadi dua kelompok. Salah satu diantaranya adalah bakteri gram positif, mempertahankan zat pewarna ungu kristal sehingga tampak berwarna ungu tua. Staphylococcus aureus (Gambar 3) merupakan
salah satu dari kelompok bakteri ini. Perbesaran 1000 X
Bentuk : bulat Warna : ungu tua Koloni bergerombol
Gambar 3. Pewarnaan gram pada Staphylococcus aureus Kelompok yang lain, bakteri gram negatif, kehilangan ungu kristal ketika dicuci dengan alkohol, dan ketika diberi pewarna tandingan dengan warna merah safranin, tampak berwarna merah. Teknik pewarnaan yang pertama kali diuraikan oleh Christian Gram pada tahun tahun 1884. Penjelasan yang paling mungkin mengenai pewarnaan gram didasarkan pada struktur dan komposisi dinding sel bakteri. Terdapat dua kemungkinan mekanisme yang bekerja (Pelczar dan Chan, 2006). Pertama, dinding bakteri gram negatif lebih tipis dan
mengandung lipid dalam persentase yang lebih tinggi (11-22%) dibandingkan dengan bakteri gram positif (1 (1--4%). Perlakuan dengan
etanol
(alkohol)
terhadap
bakteri
gram
negatif
menyebabkan terekstraksinya lipid sehingga memperbesar daya rembes atau permeabilitas permeabilitas dinding sel. Jadi kompleks ungu kristalyodium (UK-Y), yang telah memasuki dinding sel selama langkah awal dalam proses pewarnaan dapat terekstraksi. Kandungan lipid yang lebih rendah pada dinding sel bakteri gram positif menjadi terdehidrasi selama perlakuan perlakuan etanol. Ukuran pori-pori mengecil,
12
permeabilitasnya berkurang, dan kompleks UK-Y tidak dapat terekstraksi. Kedua, dinding sel bakteri gram negatif mengandung peptidoglikan jauh lebih sedikit, dan peptidoglikan ini mempunyai ikatan silang yang jauh kurang ekstensif dibandingkan dengan yang dijumpai pada dinding bakteri gram positif. Karenanya, pori-pori pada peptidoglikan bakteri gram negatif masih cukup besar meskipun
telah
diperlakukan
dengan
etanol
sehingga
memungkinkan ekstraksi kompleks UK-Y. Setelah perlakuan etanol, kompleks UK-Y terperangkap di dalam dinding bakteri gram
positif,
yang
mengurangi
diameter
pori-pori
pada
peptidoglikan dinding sel. b. Fermentasi Anaerobik Mannitol Fermentasi anaerob mannitol menggunakan media Mannitol Salt Agar (MSA). Media ini merupakan media selektif yang artinya hanya cocok untuk pertumbuhan satu jenis mikroba dan menghambat pertumbuhan jenis mikroba yang lain. MSA memiliki efek penghambat bakteri lain karena medium ini memiliki konsentrasi NaCl yang sangat tinggi yaitu 7,5% (Tami, 2008). Sebagian besar bakteri tidak dapat tumbuh pada kondisi garam yang cukup tinggi ini (kondisi hipertonik), tetapi genus Staphylococcus dapat beradaptasi dengan baik. Mannitol Salt Agar (MSA) juga dapat membedakan koloni yang dapat tumbuh pada media ini. Kandungan dye atau indikator inilah yang dapat mengidentifikasi tipe dari Staphylococcus yang memproduksi asam organik melalui proses fermentasi dengan mengonsumsi mannitol dalam kondisi anaerob. Asam organik akan merubah pH indikator MSA dari merah menjadi kuning seperti yang terlihat pada Gambar 4. Staphylococcus patogen seperti Staphylococcus
aureus
merupakan
bakteri
yang
dapat
memfermentasi mannitol.
13
positif negatif
Gambar 4. Uji fermentasi mannitol Sebagai perbandingan, Staphylococcus nonpatogen seperti Staphylococcus epidermidis yang merupakan flora normal pada kulit manusia tidak dapat memfermentasi mannitol dan tidak merubah warna MSA oranye-merah muda (Tami, 2008). c.
Uji Koagulase ICMSF
(1996)
menyatakan
bahwa
Staphylococcus
patogenik dapat memproduksi koagulase, bersifat proteolitik, lipolitik, dan betahemolitik. Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang bersifat koagulase yaitu dapat menggumpalkan plasma darah. Tes penggumpalan latex yang tersedia dalam bentuk kit test dapat menggantikan uji koagulase dengan hasil yang lebih cepat (BAM, 2001).
Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya
gumpalan darah pada lingkaran kartu bagian bawah dan tanpa adanya gumpalan pada lingkaran di bagian atas sebagai kontrol seperti pada Gambar 5.
14
Gambar 5. Uji produksi koagulase d.
Uji Katalase Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang bersifat aerob. Uji katalase untuk bakteri ini akan dihasilkan reaksi positif yang ditunjukkan dengan terbentuknya gelembung-gelembung gas. Setiap bakteri memiliki enzim golongan flavoprotein yang dapat bereaksi dengan oksigen membentuk senyawa beracun H2O2 dan radikal bebas O2* (Fardiaz, 1992a). Bakteri aerob memiliki pertahanan terhadap senyawa beracun ini, superoksida dismutase untuk memecah radikal bebas dan katalase untuk memecah H2O2.
3. Sumber Cemaran S. aureus dan Penyebaran dalam Bahan Pangan Staphylococcus aureus terdapat luas di alam dan pada bahan baku pangan sehingga penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan resiko keracunan pangan (Robinson et al., 2000). Penanganan pangan dengan tangan atau tidak menggunakan peralatan memadai merupakan cara penyebaran yang paling umum, terutama jika pengelola mengalami infeksi atau luka. Batuk, bersin, dan jatuhnya rambut juga merupakan cara bakteri ini mengontaminasi pangan (Gaman dan Sherington, 1992). Oleh karena itu, keberadaan S. aureus dalam bahan pangan erat hubungannya dengan sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan (Stewart et al., 2002). USFDA (1999) juga menyatakan keberadaan S. aureus dalam pangan dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti proses pengolahan 15
pangan yang tidak tepat dari segi suhu dan waktu, suhu penyimpanan pangan yang salah yaitu kurang panas (60oC atau 140oF) atau kurang dingin (7,2oC atau 45oF), dan adanya kontaminasi silang dari bahan baku mentah ataupun pekerja. Pangan yang dilaporkan dalam berbagai kejadian
luar
biasa
(outbreak)
keracunan
oleh
Staphylococcus
Enterotoksin umumnya diolah dengan proses pemotongan, pemarutan, dan penggilingan yang melibatkan pekerja yang terkontaminasi. Ash (2000), menyatakan bahwa pangan yang mempunyai resiko tinggi terhadap bahaya keracunan akibat Staphylococcus adalah pangan yang telah tereduksi mikroba awalnya akibat proses pengolahan (misalnya daging yang telah dimasak) atau dihambat pertumbuhannya (misalnya ikan asin dengan konsentrasi garam yang tinggi). Hal ini berkaitan dengan sifat S. aureus yang merupakan kompetitor lemah dalam ekosistem mikrobial yang komplek sehingga adanya bakteri patogen dan pembusuk lain dapat menghambat pertumbuhannya. Selain itu pada proses fermentasi, bakteri asam laktat dapat memproduksi beberapa senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan S. aureus seperti asam laktat, hidrogenperoksida, dan bakteriosin. Keberadaan
S.
aureus
pada
pangan
olahan
biasanya
mengindikasikan adanya kontaminasi dari kulit, mulut, atau hidung oleh pekerja. Kontaminasi ini mungkin terjadi saat tangan kontak langsung dengan makanan atau saat batuk dan bersin. Kontaminasi saat pengolahan makanan juga dapat terjadi melalui permukaan peralatan yang sebelumnya kontak dengan makanan yang telah terekontaminasi. Sedangkan pada bahan pangan mentah, terutama produk hewani, keberadaan S. aureus tidak selalu terkait dengan rekontaminasi oleh manusia. Kontaminasi dapat terjadi melalui kulit atau bulu hewan ternak (Tatini, et al., 1984). Masyarakat Indonesia terbiasa mengolah makanan dengan waktu pemanasan yang lama, menyajikannnya dalam suhu ruang selama berjam-jam, dan mengonsumsi makanan sisa yang dipanaskan kembali (re-heating). Praktik di atas menyebabkan banyak kasus keracunan
16
pangan di Indonesia. Di beberapa negara maju kasus yang dilaporkan semakin menurun akibat penerapan sistem pengendalian keamanan pangan yang semakin terjamin (Robinson et al., 2000). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan S. aureus dalam bahan pangan sangat erat kaitannya dengan kebiasaan pengolahan dan konsumsi pangan di negara setempat (Hayes, 1985). Apabila S. aureus mengontaminasi bahan pangan bernutrisi yang menunjang bagi pertumbuhannya, maka jumlah S. aureus akan bertambah dengan laju pertumbuhan yang cepat. Bahan pangan yang menyediakan nutrisi untuk pertumbuhan S. aureus adalah bahan pangan dengan kadar protein tinggi seperti daging dan produk olahannya, unggas dan produk olahannya, telur dan produk olahannya, salad yang mengandung telur, tuna, kentang, makaroni, produk bakeri, serta susu dan produk olahannya (USFDA, 1999). Hal ini disebabkan adanya sebelas asam amino, yaitu falin, leusin, treonin, fenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin, dan arginin pada produk-produk berprotein tinggi yang mendukung optimasi pertumbuhan S. aureus (Supardi dan Sukamto, 1999). Pangan dengan konsentrasi garam tinggi atau konsentrasi gula tinggi tidak terlepas dari bahaya kontaminasi S. aureus. Hal ini berkaitan dengan sifat S. aureus yang tahan terhadap kadar gula (20%) dan garam yang tinggi (Jay, 2000). Menurut Hayes (1985), cara yang dianjurkan untuk mengontrol atau mencegah adanya S. aureus pada pangan yang sudah diolah adalah mendinginkannya hingga suhu 20oC, melarang orang sakit untuk menangani makanan, menggunakan sarung tangan disposable dalam proses pengolahan, dan melakukan refrigrasi atau pendinginan pada makanan
hingga
<10oC.
Selain
itu,
meminimalkan
terjadinya
kontaminasi silang dari bahan mentah ke makanan matang ataupun dari lingkungan kerja yang kotor serta peralatan yang kotor ke makanan yang matang.
17
4. Keracunan Pangan akibat Staphylococcus aureus Keracunan
disebabkan
oleh
tertelannya
Staphylococcus
Enterotoksin (SE) yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus selama mengontaminasi makanan. Selanjutnya, SE akan masuk ke dalam saluran pencernaan dan mencapai usus halus. Toksin akan merusak dinding usus dan menimbulkan sekresi jaringan usus dengan cepat. Gejala yang ditimbulkan muncul dalam waktu 1-7 jam (biasanya 2-4 jam) setelah mengonsumsi makanan yang mengandung enterotoksin (ICMSF, 1996). Masa inkubasi tidak hanya bergantung pada konsentrasi toksin yang tertelan, tetapi juga dipengaruhi oleh daya tahan tubuh individu (Ash, 2000). Penderita mengalami mual dan muntah tanpa disertai diare atau kram perut, atau diare tanpa muntah-muntah pada kasus ringan (Ash, 2000). Dalam beberapa kasus, darah dan lendir tampak pada feses dan muntahan. Namun pada kasus yang parah, penderita mengalami sakit kepala berlebih dengan terus mengeluarkan keringat, sehingga merasakan demam dan tekanan darah menjadi rendah. Secara umum, gangguan kesehatan yang ditimbulkan adalah perasaan letih, mual, muntah-muntah, kram perut, diare, kejang-kejang hingga pingsan, bahkan inflamasi usus (ICMSF, 1996). Pemulihan menurut Ash (2000), biasanya terjadi antara satu hingga tiga hari dan umumnya tidak ada perawatan yang diberikan. Walaupun
sebagian
menganggap
keracunan
pangan
akibat
Staphylococcus aureus tidak tergolong fatal, namun beberapa kasus keracunan pada golongan khusus, yaitu bayi, anak-anak, dan orang usia lanjut pernah dilaporkan sangat fatal. Menurut Bucle, et al. (1987) dan Jay, et al. (2005), menyatakan bahwa jumlah sel yang dibutuhkan oleh Staphylococcus aureus untuk dapat menghasilkan racun enterotoksin yang cukup sehingga bersifat meracuni adalah 106 CFU/g. Enterotoksin pada umumnya diproduksi oleh S. aureus di dalam makanan basah yang sudah pernah dimasak atau dipanaskan. Terdapat enam macam Staphylococcus Enterotoksin (SE) yang dihasilkan oleh
18
bakteri S. aureus yaitu Enterotoksin A (SEA), Enterotoksin B (SEB), Enterotoksin C1 (SEC1), Enterotoksin C2 (SEC2), Enterotoksin D (SED), dan Enterotoksin E (SEE). Penggolongan ini ditentukan oleh reaksi spesifik antara antigen dan antibodi. Enterotoksin ini tahan panas, sebagai contoh nilai D110 dari SEB pada media Beef Broth sebesar 60 menit (Jay, et al., 2005). Jumlah bakteri S. aureus yang tinggi tidak berarti enterotoksin sudah terbentuk, karena banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan enterotoksin ini. Faktor-faktor tersebut antara lain pH, suhu, ketersediaan oksigen, dan adanya organisme lain yang menghambat pertumbuhan S. aureus (Hayes, 1985). Saat pH di bawah 5, di luar suhu optimum 37oC dan kondisi anaerobik, jumlah SE yang dihasilkan relatif sedikit. Menurut USFDA (1999), bila jumlah bakteri S. aureus telah mencapai 1,0x105 CFU/g akan dihasilkan toksin sebanyak 1 µg. Adapun batas aman toksin tidak menimbulkan penyakit adalah sebesar 1 µg. Standar mutu mikrobiologi untuk pangan siap saji tidak dapat ditemui pada standar yang telah ditetapkan oleh berbagai negara atau wilayah regional untuk menjamin keamanannya. Namun, untuk menjamin keamanan pangan jenis ini, beberapa negara menetapkan Guideline atau pedoman. Wilayah regional EU merekomendasikan untuk mengikuti Guideline yang dibuat oleh United Kingdom, untuk pangan siap saji. Food Standards Australia New Zealand (FSANZ) juga tidak menetapkan standar untuk jenis produk pangan ini. Oleh karena sebagai pedoman kualitas mikrobiologi produk pangan ini, New South Wales Food Authority menetapkan Guideline yang mengacu pada Guideline yang dikeluarkan oleh Health Protection Agency dan FSANZ. Guideline dari beberapa negara untuk Angka Lempeng Total (ALT) dan cemaran Staphylococcus aureus terangkum dalam Tabel 2. Angka lempeng total atau total mikroba pada bahan pangan siap saji khususnya ayam olahan siap saji yang diterima sama untuk ketiga Guideline (Tabel 2) yaitu kurang dari 105 CFU/g. Batas terima untuk cemaran Staphylococcus aureus berbeda-beda untuk masing-masing
19
Guideline, 102 CFU/g untuk Hongkong, 103 CFU/g untuk wilayah Australia-New Zealand, dan 104 CFU/g untuk United Kingdom. Tabel 2. Berbagai Guideline Angka Lempeng Total (ALT) dan Staphylococcus aureus untuk pangan siap saji Kualitas mikrobiologi (CFU/g)
Parameter ALT* S. aureus & Staphylokoki koagulase positif yang lain
Satisfactory <103
Borderline 103 - <105
Unsatisfactory ≥105
a
< 20
20 - ≤104
>104
a
<105
Unsatisfactory ≥105
Potentially hazardous N/A
b
<102
102 - <103
103 - <104
≥104
b
Satisfactory
Acceptable
< 104
104 - < 105
Unsatisfactory ≥ 105
< 20
20-<100
100-<104
Good
Acceptable
ALT*
<104
Staphylokoki koagulase positif
ALT (Meat, Poultry) S. aureus
Sumber
Unacceptable N/A
c
≥ 104
c
*) Foods
cooked immediately prior to sale or consumption ) Health Protection Agency, United Kingdom (2009) b ) NSW Food Authority (2009) c ) Food and Environmental Hygiene Department, Hongkong (2007) a
Menurut Wulandari (2008), penyebab terbanyak terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan adalah Staphylococcus aureus pada nasi bungkus. Staphylococcus aureus adalah bakteri yang hidup pada kulit dan organ luar manusia seperti hidung dan tangan. Jadi kebersihan adalah hal paling utama yang harus diperhatikan agar tidak terjadi kontaminasi pada makanan. Kasus-kasus keracunan karena SE banyak terjadi karena konsumsi sandwich isi daging olahan pada acara
20
piknik, dimana daging olahan diiris-iris, ditangani, dan dipersiapkan beberapa jam sebelum dikonsumsi (Dewanti, 2005). Beberapa kasus keracunan oleh S. aureus dilaporkan oleh WHO terjadi di berbagai negara seperti Jepang, Taiwan, Perancis, dan Amerika Serikat. Keracunan makanan akibat S. aureus terjadi di sebuah hotel di Jepang pada bulan Agustus 2005. Penderita mengalami diare, muntahmuntah, serta sakit pada bagian abdominal 7 jam setelah mengonsumsi makan malam sashimi, kepiting, dan radish (Watanabe, 2006). Itpin (2006), menyebutkan bahwa pada tahun 2000 terjadi keracunan susu dan produk berbasis susu yang dialami oleh 15 000 penduduk Jepang terutama bagian barat. Setelah diselidiki masalah tersebut tenyata berasal dari S. aureus yang menempel pada katup mesin produksi susu rendah lemak di Osaka. Keracunan Staphylococcus merupakan gejala intoksikasi yang paling banyak dilaporkan di Amerika Serikat, dimana setiap tahunnya meliputi 20% sampai 50% dari seluruh keracunan yang disebabkan oleh makanan (Zaenab, 2008). Telah dilaporkan sejumlah kasus lain yang terjadi pada makanan siap santap oleh Staphylococcus aureus, seperti yang terjadi di Vietnam, Nigeria, dan India (Huong, et al., 2010; Sokari, 1991; Normanno, et al., 2005; Nema, et al,. 2007). Di Indonesia sendiri, terdapat ratusan ribu kasus yang disebabkan oleh S. aureus hingga saat ini. Perbandingannya, jika 120 orang dengan flu burung, 80 persennya berakhir dengan kematian. Maka, dalam kasus infeksi oleh Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA), 50% berakhir pada kematian (Triyono, 2009). D. HIGIENE PEKERJA Pengendalian Staphylococcal Food Poisoning yang paling penting dapat dilakukan dengan sanitasi atau higiene pekerja yang baik. Higiene adalah kebiasaan seseorang untuk menjaga kebersihan diri sebagai salah satu upaya pencegahan terjadinya penyakit baik pada dirinya atau orang lain (Triller, 1983). Diperkirakan bahwa 30-50% populasi manusia membawa
21
bakteri Staphylococcus aureus dan kemungkinan dapat berpindah ke dalam produk makanan matang (Schumitt et al., 1990). Departement of Health (2005) juga telah menyatakan bahwa 20% populasi manusia merupakan pembawa tetap S. aureus, 60% populasi bukan pembawa tetap dan 20% yang lain tidak pernah membawa. Menurut Mariot (1985), higiene pekerja harus dijaga karena bagianbagian tubuh seperti tangan, rambut, hidung, dan mulut merupakan jalan masuk mikroba untuk mencemari pangan selama proses penyiapan, pengolahan, sampai penyajian melalui sentuhan, pernapasan, batuk, dan bersin. Kebiasaan tangan (Hand habits) dari pekerja pengelola makanan mempunyai andil yang besar dalam peluang melakukan perpindahan kontaminasi dari manusia ke makanan. Kebiasaan tangan ini dikaitkan dengan gerakan-gerakan tangan yang tidak disadari seperti menggaruk kulit, menggosok hidung, merapikan rambut, menyentuh dan meraba pakaian, serta hal-hal yang serupa (Buckle, et al., 1987). Penerapan higiene pekerja yang baik diharapkan dapat memutuskan rantai infeksi terhadap makanan. Bakteri pada tangan dapat berasal dari debu, pangan terkontaminasi, baju, atau daerah badan. Pekerja sebaiknya menggunakan sanitizer untuk mengurangi kontaminasi. Sarung tangan plastik dapat digunakan sebagai solusi bagi industri untuk membantu mencegah perpindahan bakteri patogen dari jari tangan ke makanan (Norman, 1999). Mencuci tangan juga terbukti mengurangi kontaminasi mikroba pada pangan. Pencucian tangan yang benar menurut WHO (2004) adalah dengan menggunakan sabun pada kedua permukaan tangan sebanyak 2-3 kali dan dibilas dengan air bersih yang cukup banyak. Mencuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum dan sesering mungkin selama menangani bahan pangan. Menjaga agar kuku jari tangan tetap pendek juga merupakan salah satu anjuran dari WHO. Rantai kontaminasi dari pekerja dapat diminimalisasi dengan adanya penerapan
higiene
pekerja
seperti
mencuci
tangan
dengan
benar,
menggunakan masker, dan tutup kepala. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 715/Menkes/SK/V/2002, menyarankan perilaku pekerja yang bergerak dalam bidang jasa boga selama bekerja adalah: tidak merokok, tidak
22
makan atau mengunyah, tidak memakai perhiasan kecuali cincin kawin yang tidak berhias, selalu mencuci tangan sebelum bekerja dan setelah keluar dari kamar kecil, pakaian kerja dan pelindung dipakai dalam keadaan bersih, serta tidak memakai pakaian kerja di ruang pengolahan. Staphylococcus aureus adalah bakteri yang hidup pada kulit dan organ luar manusia seperti hidung dan tangan. Sumber utama penyebaran bakteri ini pada pangan adalah pekerja yang mengolah pangan tersebut. Tangan atau bagian tubuh pekerja yang menjadi sumber terjadinya kontaminasi tidak dapat disterilkan sehingga diperlukan suatu tindakan pencegahan untuk mengurangi terjadinya pencemaran yaitu menerapkan standar perilaku higiene pekerja yang baik. Tangan merupakan bagian tubuh yang paling sering kontak dengan pangan. Hal ini mengindikasikan bahwa tangan merupakan sumber kontaminan utama, sehingga pengujian higiene pekerja sering dilakukan dengan uji kebersihan tangan.
23
III.
METODE PENELITIAN
A. ALAT DAN BAHAN 1. Media Media yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah Standard Plate Count Agar (SPCA), Baird Parker Agar (BPA), Egg yolk Tellurite Emulsion (EYT), Tryptone Soy Agar (TSA), Brain Heart Infussion Broth (BHIB), Staphylase Test Kit Oxoid, Mannitol Salt Agar (MSA), dan API® Staph. 2. Bahan Kimia Bahan-bahan kimia yang digunakan yaitu Butterfield’s phosphate buffered (BPB) yang terbuat dari KH2PO4 sebagai larutan pengencer fisiologis, alkohol 70% sebagai desinfektan, alkohol 96%, akuades untuk melarutkan berbagai macam media, peroksida 0,5%, parafin, spiritus, minyak imersi, NIT 1, NIT 2, ZYM A, ZYM B, VP 1, VP 2, dan bahan pewarna gram seperti kristal violet, safranin, dan iodium. 3. Alat Peralatan yang digunakan selama penelitian adalah inkubator 35±2oC, hot plate, otoklaf 121oC, ruang simulasi, vortex, mikropipet, tips, pipet tetes, penyemprot, botol pijit, pembakar bunsen, refrigerator, plastik tahan panas, peralatan gelas (cawan petri, erlenmeyer, gelas piala, labu takar, gelas pengaduk, hokey stick, tabung reaksi, dan tabung reaksi ulir), neraca analitik, pinset, ose, dan ose lurus. 4. Makanan Siap Saji Pangan siap saji yang digunakan dalam penelitian ini adalah ayam goreng, ayam opor, ayam kecap, dan ayam balado yang telah disimpan pada suhu ruang (25-35oC) selama 2-3 jam. Semua sampel ini dibeli dari warung makan siap saji yang berada di daerah sekitar lingkar kampus Darmaga Institut Pertanian Bogor (IPB). B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan 2 Seafast Center untuk analisis mikrobiologi, sedangkan pengambilan
24
sampel dilakukan di daerah lingkar kampus IPB, Dramaga yang meliputi Babakan Raya, Babakan Tengah, Babakan Lio, Babakan Lebak, dan Kampus. Penelitian berlangsung selama 8 bulan, yaitu dari Bulan Juli 2009 hingga Februari 2010.
C. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan terdiri dari survei praktik pengolahan dan penanganan warung makan siap saji, uji keberadaan S. aureus pada pangan siap saji, tangan dan sistem pernapasan (mulut dan hidung) pengolah dan konsumen makanan, dan simulasi rekontaminasi S. aureus dari udara. Alur penelitian ini dapat dilihat pada diagram alir di bawah ini: Survei praktik pengolahan pangan di warung makan siap saji Isolasi dan identifikasi S. aureus pada pangan siap saji
Isolasi dan identifikasi S. aureus pada tangan pengolah dan konsumen pangan
Isolasi dan identifikasi S. aureus pada sistem pernapasan pengolah dan konsumen pangan
Uji konfirmasi S. aureus
Persiapan kultur
Simulasi rekontaminasi dengan metode penyemprotan
Simulasi rekontaminasi dengan metode berbicara Gambar 6. Diagram alir proses penelitian
25
1. Survei Praktik Penanganan Pangan di Warung Makan Siap Saji Survei praktik penanganan pangan dilakukan terhadap 30 warung makan siap saji yang terdapat di daerah lingkar kampus Darmaga IPB. Tujuan dari survei ini adalah untuk mengetahui praktik pengolahan dan penanganan pangan siap saji. Pengambilan sampel warung terbagi menjadi 5 wilayah yaitu: kantin kampus IPB, Desa Babakan Raya, Babakan Tengah, Babakan Lio, dan Babakan Lebak. Pelaksanaan survei dilakukan dengan teknik wawancara langsung dengan daftar pertanyaan yang telah disediakan (Lampiran 1). 2. Isolasi dan Identifikasi Staphylococcus aureus pada Pangan Siap Saji Pangan siap saji yang dijadikan sebagai sampel adalah berbagai produk pangan ayam olahan yang biasa diperjualbelikan di warung makan siap saji, sekitar lingkar kampus IPB. Isolasi dilakukan pada 20 sampel yang terdiri dari masing-masing 5 sampel ayam goreng, ayam kecap, ayam opor, dan ayam balado yang telah disimpan pada suhu ruang (2530oC) selama 2-3 jam sesuai metode BAM (2001) yaitu dengan menggunakan media BPA+EYT. Ayam goreng diambil dari warung makan siap saji 6, 17, 14, 26 dan 10 masing-masing satu sampel. Ayam kecap dari warung 10, 6, 9, 1 dan 22. Ayam opor dari warung 15, 22, 27, 6 dan 5. Ayam balado diambil dari warung makan 4, 11, 16, 21, dan 28. Daftar responden terlihat pada Lampiran 2. Ruang penyajian pada warung makan siap saji yang dipilih berbentuk balok dan terbuka pada satu sisi saja. Selain dilakukan isolasi dan identifikasi, juga dilakukan perhitungan terhadap total mikroba pada sampel dengan menggunakan media SPCA.
3. Isolasi dan Identifikasi Staphylococcus aureus pada Tangan Pengolah dan Konsumen Pangan Sampel yang diuji sebanyak 20 orang pengolah pangan dari 20 warung makan yang ditelah disurvei sebelumnya, serta 20 orang konsumen yang diambil secara acak. Pengujian secara kualitatif pada tangan dilakukan dengan menempelkan tiga jari tangan selama tiga detik
26
ke cawan yang telah berisi media BPA+EYT. Persentase keberadaan S. aureus disajikan dalam bentuk Tabel.
4. Isolasi dan Identifikasi Staphylococcus aureus Pernapasan Pengolah dan Konsumen Pangan
pada
Sistem
Isolasi S. aureus pada saluran pernapasan dilakukan dengan menghembuskan nafas melalui mulut dan hidung sebanyak tiga kali ke cawan yang telah berisi media BPA+EYT dengan jarak 10 cm dari cawan. Sampel yang digunakan sama dengan isolasi pada tangan yaitu sebanyak 20 orang pengolah pangan dan 20 orang konsumen. Persentase keberadaan S. aureus disajikan dalam bentuk tabel.
5. Persiapan Kultur Staphylococcus aureus Kultur dipersiapkan dari S. aureus hasil isolasi dan identifikasi. Koloni tunggal dari media BPA+EYT digores pada media TSA dan diinkubasi pada suhu 35-37oC selama 24 jam. Setelah diuji lanjut, kultur disegarkan kembali ke agar miring TSA. Kultur segar dengan usia 24 jam, selanjutnya diinokulasikan satu ose penuh pada media BHIB dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Hasilnya adalah kultur kerja yang
akan
digunakan
untuk
simulasi
rekontaminasi
dengan
penyemprotan. Perhitungan jumlah koloni pada kultur kerja ini dilakukan dengan menghitung total mikroba dengan media SPCA. Densitas koloni untuk penyemprotan dilakukan dengan membagi hasil perhitungan total mikroba kultur dengan volume ruangan simulasi.
6. Simulasi Rekontaminasi S. aureus dengan Metode Penyemprotan Kontrol dibutuhkan untuk mengetahui adanya Staphylococcus aureus yang terdapat di udara ruang simulasi. Kontrol diperoleh dengan meletakkan cawan yang berisi media BPA+EYT (duplo) dan SPCA (duplo) selama 30 menit di dalam ruang simulasi setengah terbuka pada satu sisi. Simulasi dengan penyemprotan ke udara dilakukan dengan meletakkan cawan bermedia BPA+EYT (duplo) dan SPCA (duplo) pada
27
ruang simulasi tertutup bervolume sekitar 1 m3 yang telah dikontaminasi dengan 1 log CFU/m3, 5 log CFU/m3, dan 8 log CFU/m3 S. aureus. Penyebaran S. aureus dilakukan dengan penyemprotan 10 ml kultur kerja dengan botol semprot di seluruh ruangan simulasi yang sebelumnya telah di sterilkan dengan alkohol 70%. Perlakuan ini ditujukan untuk mengetahui kemampuan S. aureus mengkontaminasi bahan pangan dari udara dan persentase rekontamonasinya. Simulasi dilakukan sebanyak 10 kali ulangan untuk masing-masing densitas awal penyemprotan. Data pengukuran densitas S. aureus di udara disajikan dengan diagram titik.
7. Simulasi Rekontaminasi dengan Metode Berbicara Simulasi rekontaminasi dengan metode berbicara langsung dilakukan
untuk
mengetahui
jumlah
S.
aureus
yang
dapat
mengkontaminasi apabila berbicara di depan makanan dengan kecepatan 110 kata/menit selama 30 menit. Simulasi sebanyak 10 kali dilakukan dengan meletakkan cawan ke dalam ruang simulasi terbuka dengan volume sekitar 1 m3 pada suhu ruang (25-30oC) yang telah dibebaskan dari mikroba. Selama 30 menit, carier S. aureus berbicara langsung di depan ruang simulasi pada jarak 50 cm dari cawan. Untuk perhitungan jumlah mikroba digunakan media BPA+EYT dan diuji lanjut untuk S. aureus dan SPCA untuk total mikroba. Data densitas S. aureus di udara disajikan dengan diagram batang.
D. PROSEDUR ANALISIS DAN PERHITUNGAN 1. Uji Staphylococcus aureus (BAM, 2001) Dua puluh lima gram sampel diencerkan dengan 225 ml larutan BPB (Butterfield’s Phosphate Buffered), kemudian dihomogenkan selama dua menit (pengenceran 10-1). Pengujian dilakukan dengan mengambil 1 ml suspensi dan diinokulasikan pada tiga cawan dengan media BPA+EYT masing-masing 0,4 ml, 0,3 ml, dan 0,3 ml. Suspensi kemudian diratakan di atas permukaan media agar dengan menggunakan hockey stick steril yang terbuat dari kaca. Setelah sudah tidak terlihat suspensi mikroba di
28
permukaan media (terserap sempurna), semua cawan diinkubasi dalam posisi terbalik pada suhu 35oC selama 24-48 jam. Koloni S. aureus pada media BPA+EYT mempunyai ciri khas bundar, licin dan halus, cembung, diameter 2-3 mm, berwarna abu-abu sampai hitam pekat, dan dikelilingi zona opaque dengan zona luar yang terang (clear zone). Konsentrasi koloni S. aureus seperti mentega atau lemak jika disentuh dengan ose. 2. Uji Konfirmasi (BAM, 2001) Uji konfirmasi dilakukan untuk mengetahui bahwa hasil isolasi dari sampel merupakan positif Staphylococcus koagulase positif yang diduga merupakan Staphylococcus aureus. Uji konfirmasi yang dilakukan adalah (a) uji produksi koagulase, (b) uji katalase, (c) uji fermentasi anaerobik manitol, dan (d) pewarnaan gram. a. Prosedur uji produksi koagulase Uji koagulase dilakukan dengan menggunakan Staphylase test kit yang mengandung fibrinogen kelinci dan sel darah merah domba. Uji dilakukan dengan mengambil satu ose koloni dari media TSA miring dan mensuspensikannya pada lingkaran sampel dan satu ose pada lingkaran kontrol di test card yang telah ditetesi dengan air steril. Kemudian dilakukan penetesan reagen staphylase pada lingkaran sampel, reagen kontrol pada lingkaran kontrol, dan disuspensikan dengan menggunakan ose. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya gumpalan-gumpalan kecil pada lingkaran sampel dan tidak terbentuk gumpalan pada lingkaran kontrol. Dengan menggunakan tes kit ini uji koagulasi dapat dilakukan dalam waktu yang lebih singkat. b. Prosedur uji katalase Uji katalase dilakukan dengan meneteskan cairan peroksida 0,5% ke atas koloni mikroba. Kemudian diamati terjadinya reaksi setelah
dilakukan
penetesan,
apabila
terbentuk
gelembung-
gelembung gas maka mikroba tersebut merupakan katalase positif.
29
c. Prosedur uji fermentasi anaerobik mannitol (BAM, 2001) Uji fermentasi mannitol dilakukan dengan menusukkan kultur bakteri dari media TSA ke media Mannitol Salt Agar dalam tabung dengan ose lurus hingga menyentuh dasar tabung. Untuk membentuk suasana anaerob maka diatas media dilapisi dengan parafin sampai ketinggian 2-2,5 cm. Selanjutnya dilakukan inkubasi pada suhu 35°C selama 5 hari. Hasil positif ditunjukkan oleh perubahan warna media dari merah menjadi kuning cerah. d. Pewarnaan gram Pewarnaan gram dilakukan untuk membedakan bakteri gram positif dan gram negatif. Hasil positif untuk bakteri gram positif yaitu jika sel yang teramati di bawah mikroskop berwarna biru dan akan berwarna merah jika sel gram negatif. Urutan pewarnaan gram adalah sebagai berikut: 1. Kultur dioles diatas gelas objek, kemudian difiksasi. 2. Kultur ditetesi dengan violet kristal selama 1 menit. 3. Dibilas dengan air. 4. Kultur ditetesi dengan larutan iodium selama 1 menit. 5. Kultur di atas gelas objek dicelupkan di alkohol 96% selama beberapa detik. 6. Kultur ditetesi dengan safranin selama 20 detik. 7. Kultur diamati di bawah mikroskop perbesaran 1 000 kali. 3. Uji Konfirmasi dengan API® Staph Pengujian dilakukan terhadap sampel yang telah positif pada uji konfirmasi dengan metode BAM (2001). Sampel yang dianalisis meliputi 9 sampel ayam olahan siap saji, 9 sampel tangan pengolah/konsumen pangan dan 3 sampel sistem pernapasan pengolah/konsumen pangan siap saji. Kultur sampel usia 24 jam pada agar miring TSA dinokulasikan satu ose penuh ke dalam Staph media yang tersedia bersamaan dengan kit. Selanjutnya microtube dalam kit diisi dengan suspensi mikroba dan diinkubasi pada suhu 36±2oC selama 18-24 jam.
30
4. Hitungan Cawan (BAM, 2001) Koloni S. aureus pada media BPA dapat dihitung dengan rumus Standard Plate Count, koloni yang dihitung adalah koloni yang berjumlah antara 20-200 dari 3 cawan yang telah diinokulasikan masingmasing 0,4 ml, 0,3 ml dan 0,3 ml: Dimana
∑C 1 x n1 0.1 x n2 x d
N
= jumlah koloni per ml atau per gram produk.
∑C
= jumlah semua koloni yang dihitung dari 3 cawan.
n1
= jumlah cawan pada pengenceran pertama.
n2
= jumlah cawan pada pengenceran kedua.
d
= pengenceran pertama yang dihitung.
5. Densitas Mikroba Densitas mikroba di udara diukur dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: Dimana
100 cm 1 jam x L 100 cm 0,5 jam
C
= rata-rata koloni.
L
= luas cawan (cm2)
Densitas total mikroba dihitung dengan menggunakan media SPCA, sedangkan untuk Staphylococcus aureus digunakan media BPA+EYT. 6. Perhitungan Presentase Perpindahan Presentase tranfer mikroba dihitung dengan mengasumsikan makanan yang terekontaminasi memiliki luas permukaan yang terpapar sebesar cawan petri berdiameter 9 cm. Presentase perpindahan per cawan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: %
perpindahan Np x 100% 2 100 cm jam N0
Dimana Np = densitas mikroba setelah perlakuan penyemprortan. N0 = densitas jumlah koloni awal.
31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PRAKTIK PENANGANAN PANGAN Evaluasi praktik pengolahan dan penyimpanan pangan diperlukan untuk mengetahui keadaan hygiene warung makan yang terletak di daerah lingkar kampus Institut Pertanian Bogor (IPB). Di Lingkungan kampus IPB
terdapat banyak warung makan dan tenda kaki lima, tetapi untuk penelitian ini, warung makan yang dipilih adalah warung yang tergolong dalam warung makan siap saji yang menjual ayam olahan tradisional. Jumlah warung makan siap siap saji yang terletak di lingkar kampus IPB
terdapat sekitar 52 sampel yang menyajikan ayam olahan tradisional dalam menunya. Hasil survei praktik penanganan bahan pangan terangkum dalam Lampiran 2 dan Lampiran 3. Penelitian ini menggunakan 30 warung makan yang terletak di lingkar kampus IPB, atau sekitar 57% dari jumlah warung makan siap saji tradisional. Pengambilan sampel survei meliputi wilayah
Desa Babakan Tengah, Desa Babakan Raya, Desa Babakan Lio, Kampus IPB, dan Desa Babakan Lebak seperti pada Gambar 7. Kampus 20%
Babakan Tengah 27%
Babakan Lio 17%
Babakan Lebak 13%
Babakan Raya 23%
Gambar 7. Presentase sebaran pengambilan sampel dari berbagai daerah lingkar kampus (n=30) Persentase banyaknya sampel didasarkan pada banyaknya warung makan siap saji yang menjual ayam olahan tradisional sehingga data dari sampel yang didapatkan mampu merepresentasikan keadaan lapang yang
sebenarnya.
32
Survei
praktik
penanganan
selanjutnya
dikhususkan
untuk
penyimpanan ayam goreng yang diperkirakan mudah terekontaminasi oleh pekerja melalui kontak langsung dengan tangan. Kebiasaan tangan (hand
habits) dari pekerja pengelola makanan mempunyai andil yang besar dalam peluang melakukan perpindahan kontaminasi dari manusia ke makanan
(Buckle, et al., 1987). Oleh karena itu, survei dilakukan terhadap pengolahan, penyimpanan, dan praktik penanganan selama penjualan. Pengolahan dengan panas penting untuk memastikan terdestruksinya semua mikroba awal yang terdapat pada bahan mentah. Sedangkan penyimpanan dan praktik penanganan selama penjualan mempengaruhi tingkat rekontaminasi. rekontaminasi. Pengolahan ayam goreng sebagian besar menggunakan metode perebusan ayam yang telah diberi bumbu atau yang biasa dikenal dengan
teknik ungkep. Proses ini bertujuan untuk meresapkan bumbu pada ayam dan untuk melunakkan daging. Gambar 8 menunjukkan beberapa teknik pengolahan dan banyaknya responden yang mengaplikasikannya. Terdapat
80% sampel yang melakukan metode pengolahan teknik ungkep, sisanya pemasakan dilakukan dengan penggorengan ayam berbumbu secara langsung atau dengan alat masak bertekanan bertekanan yang biasa dikenal dengan presto. 7% 3% 10%
Bumbu Bumbu-goreng Bumbu-rebusgoreng (ungkep)
80%
Dirahasiakan
Lain-lain
Gambar 8. Teknik pengolahan ayam goreng Menggoreng ayam dilakukan di dalam minyak panas. Gambar 9 menunjukkan bahwa sebanyak sebanyak 64% sampel warung makan menggoreng ayam selama 15 menit, mengingat daging ayam telah lunak setelah proses perebusan. Hanya terdapat sebagian kecil yang menggoreng ayam kurang dari
33
15 menit atau lebih dari 15 menit. Ayam yang digoreng lebih dari 15 menit biasanya adalah ayam yang diolah tanpa proses perebusan terlebih dahulu.
% Responden
80 60 40 20 0 ≤5
10
15
20
≥ 30
Waktu (menit)
Gambar 9. Lama penggorengan ayam goreng Minyak pada saat penggorengan biasanya mencapai suhu 162-196oC
(Orthoefer, et al., al., 2004). Menurut USFDA (2008), dalam memasak ayam olahan sebaiknya dipastikan agar suhu pada bagian tengah mencapai 165oF atau sekitar 74oC. Hal ini juga sesuai kunci keamanan pangan siap saji ketiga dari WHO (2004) yaitu dalam memasak bahan pangan diusahakan sampai matang dengan sempurna. Dengan waktu penggorengan penggorengan selama 15 menit, kemungkinan suhu tersebut sudah tercapai dan semua bakteri sudah terdestruksi, terutama bakteri mesofilik seperti Staphylococcus aureus yang tumbuh pada suhu 6,7-47,8oC dan suhu optimumnya 37oC (Amy et al., 2002). Kontaminasi awal pada bahan baku ayam goreng sudah dihilangkan selama proses pengolahan. Jika produk ayam olahan kemudian mgeandung mikroba, maka rekontaminasi selama proses penyimpanan merupakan faktor utama penyebab keberadaan mikroba pada bahan pangan. Ayam goreng merupakan salah satu makanan yang seharusnya disimpan pada suhu lebih
dari 60oC untuk menjaga keamanannya dari kontaminasi mikroba. Berdasarkan hasil survei survei terhadap praktik penyimpanan (Gambar 10), hanya sedikit yang memenuhi 5 kunci keamanan pangan yang dikeluarkan oleh
WHO (2004), yaitu dengan tidak membiarkan makanan pada zona bahaya (5-60oC) tidak lebih dari dua jam.
34
% Responden
35 30 25 20 15 10 5 0
≤2
3-5
6-8
9-11
≥ 12
Lama penyimpanan (jam)
Gambar 10. Lama penyimpanan ayam goreng pada suhu ruang
Dari 30 responden hanya terdapat satu (3%) warung makan siap saji yang memenuhi kriteria ini. Sisanya ayam goreng disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama, dan bahkan sebagian besar disimpan dalam jangka
waktu 6-11 jam (66% responden). Praktik penyimpanan yang buruk ini, memungkinkan terjadinya rekontaminasi baik dari udara maupun dari
manusia. Staphylococcus aureus kemungkinan besar terdapat pada bahan pangan ini mengingat bakteri ini banyak terdapat bada bahan pangan yang jumlah mikroba awalnya telah terdestruksi oleh proses pengolahan (Ash,
2000). Hal ini membuktikan bahwa keamanan pangan khususnya ayam goreng di daerah lingkar kampus IPB belum terjamin karena tidak sesuai dengan rekomendasi WHO (2004) untuk tidak menyimpan bahan pangan lebih dari 2 jam pada suhu ruang. Pemanasan ulang atau re-heating merupakan suatu metode pemanasan pangan yang dilakukan untuk memperpanjang umur simpan dan sering kali dilakukan untuk meningkatkan cita rasa makanan yang seharusnya dikonsumsi dalam keadaan hangat (Anonim, 2006). Menurut Jay, et al. (2005), pemanasan dapat menginaktivasi berbagai jenis mikroorganisme yang ada pada bahan pangan. WHO mengharuskan pemanasan ulang dilakukan dalam waktu yang singkat dengan suhu yang tinggi (di atas 70 °C) untuk menghentikan pertumbuhan mikroba serta menghindarkan bahan pangan terlalu lama berada dalam zona suhu kritis. Gambar 11 merupakan hasil survei terhadap adanya pemanasan ulang pada produk ayam goreng.
35
5-6 jam 7%
> 6 jam 3%
Tanpa Pemanasan 90%
Gambar 11. Jeda pemanasan ulang setelah penyimpanan pada suhu ruang Ayam goreng yang telah disimpan pada suhu ruang selama dua jam sebaiknya dilakukan pemanasan ulang untuk membunuh mikroba yang tumbuh pada bahan pangan. Hanya terdapat satu responden yang menyimpan dalam jangka waktu kurang dari dua jam. Oleh karena itu seharusnya sisa
responden melakukan pemanasan ulang pada produknya untuk menjamin keamanan secara mikrobiologi. Namun praktik di lapangan menunjukkan bahwa 90% sampel warung makan tidak melakukan pemanasan ulang, meskipun ayam goreng telah disimpan pada suhu ruang selama berjam-jam. Hasil sampling menunjukkan bahwa hanya 10% warung makan melakukan pemanasan ulang. Pemanasan ulang dilakukan pada saat penyimpanan lebih dari dua jam. Presentase warung makan yang melakukan pemanasan ulang pada jam penyimpanan ke-5 sampai ke-6 sebesar 7% dan sisanya dilakukan
setelah jam ke-6. Kondisi ini tidak cukup untuk menjamin keamanan ayam goreng untuk dikonsumsi karena enterotoksin mungkin telah dihasilkan oleh beberapa mikroba sebelum pemanasan ulang. Padahal sebagian besar toksin
sangat resisten terhadap pemanasan. Kegiatan mencuci tangan merupakan hal yang harus dilakukan
pengolah sebelum menangani bahan pangan. Bakteri pada tangan dapat berasal dari debu, kontaminasi pangan, baju, atau daerah badan. Pengolah
pangan sebaiknya menggunakan sanitizer untuk mengurangi kontaminasi. Mencuci tangan juga terbukti mengurangi kontaminasi mikroba pada pangan. Evaluasi terhadap sanitasi pekerja dilakukan dengan mengetahui kebiasaan
mencuci tangan dengan hasil yang terlihat pada Gambar 12.
36
Setiap akan memegang makanan Setiap kotor
30% 70%
Gambar 12. Kegiatan mencuci tangan
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kebiasaan mencuci tangan sebelum mengolah atau menangani makanan belum diterapkan dengan baik. Terdapat 70% 70% sampel yang mencuci tangan hanya apabila tangan
terlihat kotor dan hanya terdapat 20% sampel pekerja warung makan yang menerapkan kunci keamanan pangan pangan nomor 1 dari WHO (2004) dengan mencuci tangan setiap sebelum menangani bahan pangan. Penyebaran Staphylococcus aureus yang utama adalah melalui kontak langsung dengan tangan. Namun sebagian sebagian besar warung makan di daerah lingkar kampus ini, sudah menggunakan alat bantu untuk menangani bahan pangan dalam proses penjualan. Presentase cara responden untuk menangani bahan pangan dapat dilihat pada Gambar 13. Sendok 20%
Tangan 7%
Capit 73%
Gambar 13. Alat penanganan bahan pangan
Hanya terdapat 7% 7% warung makan yang masih menggunakan tangan untuk kontak langsung dengan bahan pangan. pangan. Sedangkan sebagian besar
sudah menggunakan capit (73%) dan sendok (20%) (20%) untuk menangani bahan pangan. Sehingga jika terjadi kontaminasi maka maka kemungkinan rekontaminasi
37
terutama oleh S. aureus tidak berasal dari kulit tangan, tetapi dari udara atau peralatan yang telah terkontaminasi.
B. TOTAL MIKROBA DAN CEMARAN Staphylococcus aureus PADA PANGAN SIAP SAJI Hasil survei penanganan bahan pangan menunjukkan bahwa sebagian besar warung makan siap saji sudah tidak menggunakan tangan untuk kontak langsung yang merupakan sumber utama kontaminasi bakteri Staphylococcus aureus dalam menangani bahan pangan (Gambar 13). Isolasi dan identifikasi Staphylococcus aureus dilakukan untuk mendeteksi cemaran bakteri ini pada bahan pangan. Ayam goreng telah mengalami proses penggorengan, sehingga jumlah mikroba awal telah terdestruksi. Staphylococcus aureus sudah dipastikan mati karena pada pemanasan 66oC, bakteri ini hanya bertahan selama 10 menit. Selama penyimpanan diduga terdapat rekontaminasi dari lingkungan. Penyimpanan ayam goreng pada suhu ruang dalam jangka waktu yang lama dengan keadaan higiene kurang memadai akan memperbesar jumlah mikroba yang terdapat pada bahan pangan. Uji keberadaan S. aureus pada ayam goreng menunjukkan bahwa setelah penyimpanan selama 2-3 jam, terjadi rekontaminasi oleh mikroba ini. Lima sampel yang diambil dari lima warung makan siap saji tradisional dinyatakan tercemar Staphylococcus koagulase positif. Tabel 3 menunjukkan hasil dari perhitungan total mikroba, Staphylococcus sp. dan Staphylococcus koagulase positif yang diduga merupakan Staphylococcus aureus pada ayam goreng. Perhitungan Staphylococcus sp. selain Staphylococcus koagulase positif dilakukan dengan menghitung koloni pada BPA+EYT yang berwarna hitam tetapi tidak membentuk zona keruh di sekeliling koloni. Dugaan koloni positif yang terdapat pada kelima sampel tersebut telah diuji lanjut dan menghasilkan hasil positif untuk semua uji, sehingga dapat dipastikan koloni tersebut merupakan Staphylococcus koagulase positif. Hasil uji lanjut dapat dilihat pada Lampiran 14. Sedangkan untuk Staphylococcus sp. tidak dilakukan uji lanjut.
38
Tabel 3. Angka lempeng total dan cemaran Staphylococcus pada ayam goreng Staphylococcus Angka Staphylococcus koagulase positif** Sampel lempeng total sp.* (CFU/g) (CFU/g) (CFU/g) Ayam goreng 1 7,3x103 2,0x102 <2,0x102 (5,0x101) Ayam goreng 2 2,7x103 4,2x102 3,4x102 Ayam goreng 3 Ayam goreng 4 Ayam goreng 5 Rata-rata
<2,5x103 (1,8x103) >2,5x106 (1,4x107) >2,5x106 (1,2x107)
7,0x102
3,2x102
2,0x103
1,4x103
7,5x102
2,1x103
9,1x104
6,2x102
4,4x102
*) Selain Staphylococcus koagulase positif **) Katalase +, Gram +, Fermentasi mannitol anaerob+, dan Koagulase + Angka lempeng total (ALT) dari sampel ayam goreng ini ternyata sudah cukup tinggi dengan rata-rata sebesar 9,1x104 CFU/g. ALT pada ayam goreng di daerah lingkar kampus ini berada pada kisaran 1,8x103 CFU/g hingga 1,4x107 CFU/g. Jumlah ini sudah cukup besar mengingat jumlah angka lempeng total yang layak untuk dikonsumsi pada pangan siap saji adalah 105 CFU/g berdasarkan Food and
Environmental Hygiene
Department, Hongkong (2007) dan NSW Food Authority (2009). Antimikroba alami yang terdapat pada bumbu ayam goreng seperti bawang putih yang mengandung alisin efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureus dan gram negatif (Ankri dan Morelman, 1999). Bahan antimikroba alami pada bumbu ayam goreng ini, diperkirakan sudah tidak mampu lagi untuk menghambat pertumbuhan mikroba dalam ayam goreng, sehingga jumlah angka lempeng total sudah besar. Rusaknya bahan antimikroba alami ini dikarenakan oleh panas yang tinggi selama proses penggorengan yaitu antara suhu 162oC sampai 196oC (Orthoefer, et al., 2004). Selain untuk meningkatkan kualitas makan, proses penggorengan juga berperan untuk mengawetkan dari
39
mikroorganisme dan aktivitas enzim, serta mengurangi aw pada permukaan produk pangan (Fellow, 1992). Jumlah terbesar Staphylococcus sp. pada sampel ayam goreng yaitu 2,0x103 CFU/g, jumlah terkecil sebesar 2,0x102 CFU/g sehingga rata-ratanya sebesar 6,2x102 CFU/g. Rata-rata kontaminasi Staphylococcus koagulase positif yang diduga merupakan Staphylococcus aureus pada ayam goreng sebesar 4,4x102 CFU/g. Nilai ini belum melampaui jumlah maksimal cemaran Staphylococcus koagulase positif yang diterima untuk dikonsumsi yaitu sebesar <103 CFU/g (NSW Food Authority, 2009). Kelima sampel ayam goreng telah terkontaminasi Staphylococcus koagulase positif yang diduga merupakan Staphylococcus aureus, padahal pada penanganan bahan pangan berdasarkan survei (Lampiran 3), 93% pengolah pangan sudah menggunakan alat bantu berupa sendok atau capit untuk menangani bahan pangan. Oleh karena itu diperkirakan salah satu sumber cemaran S. aureus yang merekontaminasi berasal dari udara yaitu khususnya dari sistem pernapasan manusia. Mulut dan hidung merupakan sumber utama selain tangan manusia yang dapat menyebarkan S. aureus pada bahan pangan (Hertzberger, et al., 1982). Ayam kecap sebagai sampel pangan siap saji tradisional diambil dari dari 5 warung makan siap saji di daerah sekitar lingkar kampus (Lampiran 6). Angka lempeng total dari ayam kecap ini tidak jauh berbeda dari ayam goreng seperti pada Tabel 4. Jumlah total mikroba atau ALT terbesar yaitu 2,4x105 CFU/g dan terkecil 1,5x102 CFU/g. Jumlah rata-rata angka lempeng total yang lebih kecil ini (5,9x103 CFU/g) mungkin disebabkan oleh kandungan gula, garam, dan asam yang terdapat pada kecap. Menurut Judoamidjojo, et al. (1984), pada kecap terdapat beberapa asam yang diproduksi selama proses fermantasi, seperti asam laktat yang mendominasi, asam suksinat, pyroglutamat, dan asam butirat. Staphylococcus sp. pada ayam kecap berada antara <1,0x101 (0,0x101) CFU/g dan 4,1x103 CFU/g dengan rata-rata sebesar 1,6x102 CFU/g. Penanganan pangan yang baik dilakukan dengan tidak menggunakan tangan untuk kontak langsung dengan pangan tetapi menggunakan sarung tangan
40
plastik untuk mencegah perpindahan bakteri patogen (Norman, 1999). Prinsip ini telah diterapkan oleh kelima warung makan yang dijadikan sampel. Penanganan ayam kecap dilakukan dengan menggunakan sendok atau capit. Hasil analisis terhadap keberadaan Staphylococcus koagulase positif yang diduga merupakan S. aureus pada bahan pangan ini menunjukkan bahwa 4 dari 5 sampel positif. Setelah diuji lanjut, hanya 3 yang positif tercemar Staphylococcus koagulase positif. Dugaan koloni pada media Baird Parker Agar (BPA) pada ayam kecap 3, setelah diuji lanjut menunjukkan bahwa hasil negatif pada uji fermentasi mannitol dan koagulase yang dapat dilihat pada Lampiran 10. Tabel 4. Angka lempeng total dan cemaran Staphylococcus pada ayam kecap Angka Staphylococcus Staphylococcus Sampel lempeng total koagulase positif** sp.* (CFU/g) (CFU/g) (CFU/g) 5 3 Ayam kecap 1 2,4x10 4,1x10 >2,0x103 (2,2x103) 4 3 Ayam kecap 2 1,5x10 1,1x10 1,1x103 Ayam kecap 3
3,4x103
Ayam kecap 4
<2,5x103 (1,5x102) 4,0x103
Ayam kecap 5 Rata-rata
5,9x103
<2,0x102 (2,0x101) <1,0x101 (0,0x101) >2,0x103 (2,1x103)
<1,0x101*** (0,0x101) <1,0x101 (0,0x101) >2,0x103 (2,0x103)
1,6x102
1,6x103
*) Selain Staphylococcus koagulase positif **) Katalase +, Gram +, Fermentasi mannitol anaerob +, dan Koagulase + ***) Hasil negatif pada uji konfirmasi Kadar gula dan garam yang tinggi pada kecap diperkirakan kurang mempengaruhi pertumbuhan Staphylococcus aureus. Bakteri ini mampu bertahan pada kadar garam 10% dan gula 20% (Jay, 2000). Secara keseluruhan jumlah Staphylococcus koagulase positif pada ayam kecap dengan rata-rata sebesar 1,6x103 CFU/g lebih besar dari ayam goreng. Jumlah ini di atas batas maksimal Staphylococcus koagulase positif pada pangan siap saji yang layak untuk dikonsumsi yaitu <103 CFU/g, tetapi belum melebihi
41
batas yang berbahaya menimbulkan resiko penyakit yaitu 104 CFU/g (NSW Food Authority, 2009). Kemungkinan rekontaminasi dari tangan ke ayam kecap lebih kecil. Aktivitas air (aw) atau bumbu yang berair menyebabkan bakteri yang berasal dari udara lebih mudah melekat pada bahan pangan ini. Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada aw mulai dari 0,86 (Jay, et al., 2005). Dengan demikian rekontaminasi dari udara mungkin merupakan salh satu faktor utama adanya keberadaan bakteri ini. Bahan baku utama ayam dan santan dari opor ayam merupakan nutrisi yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Protein dan lemak pada ayam opor dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroba. Hal ini dibuktikan dengan angka lempeng total pada Tabel 5. Tabel 5. Angka lempeng total dan cemaran Staphylococcus pada ayam opor Angka Staphylococcus Staphylococcus Sampel lempeng total koagulase positif** sp.* (CFU/g) (CFU/g) (CFU/g) 5 3 Ayam opor 1 2,3x10 2,1x10 2,2x102 Ayam opor 2
1,2x104
2,2x102
2,9x103
Ayam opor 3
<2,5x103 (4,5x102) <2,5x105 (5,0x104) 2,6x103
<1,0x101 (0,0x101) 6,6x103
<1,0x101 (0,0x101) 8,3x103
>2,0x104 (2,1x104)
5,4x103
1,1x104
2,8x103
2,3x103
Ayam opor 4 Ayam opor 5 Rata-rata
*) Selain Staphylococcus koagulase positif **) Katalase +, Gram +, Fermentasi mannitol anaerob +, dan Koagulase + Jumlah terkecil Angka lempeng total yaitu 4,5x102 CFU/g pada ayam opor 3. Opor ini dalam penanganannya dijaga agar tetap hangat sehingga jumlah total mikrobanya kecil. Sedangkan sampel lain menunjukkan hasil yang tidak sama. Jumlah total mikroba terbesar adalah pada ayam opor 1 (2,3x105 CFU/g). Sehingga rata-rata total mikroba pada opor ayam sebesar
42
1,1x104 CFU/g, nilai ini masih lebih kecil dari batas maksimal yang diizinkan yaitu sebesar 105 CFU/g, sehingga masih layak untuk dikonsumsi. Staphylococcus sp. pada ayam opor berada antara 0,0x101 CFU/g dan 2,1x104 CFU/g dengan rata-rata sebesar 2,8x103 CFU/g. Kandungan Staphylococcus koagulase positif yang diduga adalah Staphylococcus aureus pada ayam opor tidak jauh berbeda dengan ayam kecap. Lima sampel yang dianalisis, 4 sampel mengandung Staphylococcus koagulase positif yang keempatnya positif setelah diuji lanjut. Rata-rata Staphylococcus koagulase positif yang terdapat pada ayam kecap ini sebesar 2,3x103 CFU/g. Rata-rata ini menunjukkan bahwa perlu dilakukan evaluasi terhadap praktik higiene untuk mengurangi camaran mikroba karena sudah tergolong dalam kategori unsatisfied (NSW Food Authority, 2009). Sama seperti ayam kecap, kemungkinan rekontaminasi berasal dari udara atau peralatan yang terkontaminasi
karena
penanganan
bahan
pangan
ini
sudah
tidak
menggunakan tangan. Ayam balado merupakan makanan khas kota Padang, terbuat dari ayam yang telah digoreng dan dilumuri dengan bumbu cabe yang telah dimasak. Total mikroba dan cemaran Staphylococcus pada sampel diambil dari 5 warung makan yaitu dapat dilihat pada Tabel 6. Angka lempeng total dari ayam balado ini cukup tinggi, 3 sampel mengandung 5 log CFU/g yang telah melebihi batas maksimal cemaran untuk diterima. Jumlah terkecil terdapat pada ayam balado 1 sebesar 7,5x102 CFU/g dengan rata-rata sebesar 1,8x104 CFU/g. Kandungan total mikroba yang cukup tinggi ini, menunjukkan bahwa bahan antimikroba alami pada cabe yaitu kapcaisin (Sylvia, et al., 1996) sudah tidak mampu untuk menurunkan jumlah mikroba. Jumlah Staphylococcus sp. pada ayam balado berkisar antara 0,0x101 CFU/g dan 6,1x103 CFU/g dengan rata-rata sebesar 3,1x103 CFU/g. Staphylococcus aureus yang merupakan kompetitor lemah (Ash, 2000), ternyata masih terdapat pada ayam balado. Sebanyak 5 sampel yang di analisis, 1 diantaranya menunjukkan hasil negatif terhadap Staphylococcus koagulase positif saat dilakukan uji lanjut yaitu ayam balado 2. Beberapa sampel menampakkan jumlah Staphylococcus koagulase positif yang hampir
43
sama dengan jumlah berkisar 1,0x101 CFU/g hingga 8,7x102 CFU/g. Ratarata Staphylococcus koagulase positif pada ayam balado ini (2,3x102 CFU/g) belum melebihi batas diterima untuk masih lebih besar dari batas maksimal cemaran yang diterima untuk dikonsumsi yaitu <103 CFU/g. Tabel 6. Angka lempeng total dan cemaran Staphylococcus pada ayam balado Angka Staphylococcus Staphylococcus Sampel lempeng total koagulase positif** sp.* (CFU/g) (CFU/g) (CFU/g) 3 1 Ayam balado 1 <2,5x10 <1,0x10 <2,0x102 (7,5x102) (0,0x101) (1,0x101) 3 3 Ayam balado 2 6,9x10 <2,0x10 <1,0x101*** (6,1x103) (0,0x101) 5 3 Ayam balado 3 1,0x10 4,2x10 4,3x102 Ayam balado 4
1,0x105
3,0x103
8,7x102
Ayam balado 5
1,4x105
2,2x103
7,3x102
Rata-rata
1,8x104
3,1x103
2,3x102
*) Selain Staphylococcus koagulase positif **) Katalase +, Gram +, Fermentasi mannitol anaerob +, dan Koagulase + ***) Hasil negatif pada uji konfirmasi Secara singkat analisis keberadaan Staphylococcus koagulase positif yang diduga merupakan Staphylococcus aureus pada pangan siap saji tradisional terangkum dalam Tabel 7. Berdasarkan hasil analisis terdapat sejumlah Staphylococcus koagulase positif pada ayam goreng dan produk ayam olahan yang lain. Tangan yang diduga sebagai sumber utama kontaminasi ternyata sudah tidak kontak langsung dengan bahan pangan di sebagian besar warung makan. Kontaminasi silang Staphylococcus aureus banyak terjadi karena kurang baiknya sanitasi dan penanganan makanan. Selain oleh pekerja, S. aureus juga banyak terdapat di peralatan (Rodríguez, et al., 2007 dan Malheiros, et al. 2010) dan udara yang berasal dari saluran pernapasan manusia
pembawa (Gehanno,
2009). Oleh karena itu,
kemungkinan sumber utama rekontaminasi berasal dari mulut dan hidung pekerja. Hal ini didukung oleh adanya S. aureus pada produk ayam olahan lain yang penanganannya tidak kontak langsung dengan tangan.
44
Tabel 7. Cemaran Staphylococcus koagulase positif* pada ayam olahan Sampel
Jumlah sampel
Ayam goreng
5
Ayam kecap
5
Ayam opor
5
Ayam balado
5
Jumlah Jumlah sampel minimum positif (CFU/g) 5 <2,0x102 (5,0x101) 3 <1,0x101 (0,0x101) 4 <1,0x101 (0,0x101) 4 <1,0x101 (0,0x101)
Jumlah maksimum (CFU/g) 2,1x103
Ratarata (CFU/g) 4,4x102
>2,0x103 (2,2x103) 8,3x103
1,6x103 2,3x103
8,7x102
6,4x102 1,0x103
Rata-rata *)BAM (2001)
Tabel 7 menunjukkan bahwa 80% pangan siap saji dinyatakan positif tercemar
Staphylococcus
koagulase
positif
yang
diduga
adalah
Staphylococcus aureus , jumlahnya antara 1 log CFU/g sampai 3 log CFU/g dan rata-ratanya mencapai 1,0x103 CFU/g. Baik menurut NSW Food Authority (2009) maupun Food and Enveronmental Hygiene Department, Hongkong (2007) ayam olahan siap saji yang telah disimpan selama 2-3 jam ini, secara keseluruhan tergolong dalam kategori unsatisfactory. Demikian juga menurut Health Protection Agency, UK (2009) cemaran Staphylococcus aureus dan Staphylococcus koagulase positif yang lain digolongkan dalam Borederline. Evaluasi terhadap higiene pengolahan dan penanganan bahan pangan diperlukan untuk mengurangi cemaran hingga mencapai batas aman yang diterima yaitu <103 CFU/g (NSW Food Authority, 2009). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa terdapat 60% sampel ayam olahan siap saji yang masih diterima untuk dikonsumsi. Rata-rata cemaran Staphylococcus aureus pada ayam olahan siap saji tidak lebih dari 104 CFU/g yang merupakan batas untuk menimbulkan potensi bahaya untuk dikonsumsi (Food and Environmental Hygiene Department Hongkong, 2007; NSW Food Authority, 2009; Health Protection Agency, UK 2009). Selain itu jumlah ini belum mencapai batas minimum untuk menghasilkan enterotoksin yaitu 5 log CFU/g (Buckle, et al., 1987; USFDA, 1999; dan Jay, 2000), namun pada penyimpanan yang lebih lama lagi, tanpa
45
pemanasan ulang akan memperbesar kemungkinan bertambahnya mikroba ini dan dapat menghasilkan enterotoksin. Pengukuran cemaran S. aureus juga dilakukan pada salad di Brazil dengan jumlah mencapai 3 log CFU/g (Hanashiro, et al., 2005). Chomvarin, et al.(2006) juga menganalisis cemaran S. aureus pada pangan siap saji di Thailand termasuk ayam olahan dengan rata-rata keseluruhan sebesar 5x102 CFU/g. Kejadian Luar Biasa (KLB) kasus keracunan pada pangan siap saji berbasis kentang di India dan Norway pernah dilaporkan oleh Nema, et al.(2007) dan Jørgensen et al. (2005) dengan jumlah S. aureus mencapai 108 CFU/g. Sampel ayam siap saji pada penelitian ini memiliki jumlah total mikroba yang cukup besar khususnya pada ayam goreng yang sudah melebihi 105 CFU/g yang merupakan batas dapat diterima yang ditetapkan (NSW Food Authority, 2009). Terdapat 35% sampel makanan siap saji yang sudah tidak diterima untuk dikonsumsi dilihat dari total mikroba yang terdapat dalam bahan pangan. Pemanasan ulang sebaiknya dilakukan untuk bahan pangan yang telah berada pada suhu ruang selama 2 jam sesuai anjuran dari WHO (2001). Pemanasan dapat dilakukan dengan cara konvensional yaitu mengunakan kompor atau yang lebih modern menggunakan oven microwave. Pemanasan menggunakan oven microwave diketahui dapat menginaktivasi bakteri seperti Escherichia coli, Streptococcus faecalis, Staphylococcus aureus, spora Bacillus subtilis, Salmonella spp., Lactobacillus plantarum, Listeria spp., Saccharomyces cerevisiae, dan Clostridium perfringens (Gedikli et al., 2008). Keefektifannya dalam mereduksi jumlah S. aureus sampai 100% pada beberapa pangan tradisional dibuktikan oleh Rawendra (2008) yang dilakukan selama 60 detik dengan oven microwave 700 Watt, full power.
C. Staphylococcus MAKANAN
aureus
PADA
PENGOLAH
DAN
KONSUMEN
Staphylococcus aureus merupakan mikroba normal yang terdapat pada kulit, rambut, dan organ yang berselaput lendir pada manusia sehat.
46
Isolasi dan identifikasi dilakukan pada tangan dan sistem pernapasan manusia seperti hidung dan mulut manusia. Tangan akan merekontaminasi bahan pangan apabila kontak langsung dengan bahan pangan. Sedangkan sistem pernapasan dapat mencemari dengan batuk atau bersin (Gaman dan Sherington, 1992). Analisis dilakukan secara kualitatif pada pekerja dan konsumen (Tabel 8) yang berinteraksi dengan bahan pangan. Presentase manusia yang membawa Staphylococcus koagulase positif yang diduga merupakan Staphylococcus aureus dapat diketahui dengan menghitung jumlah manusia yang
terbukti
positif
membawa
Staphylococcus
koagulase
positif
dibandingkan dengan jumlah manusia yang disampling. Tabel 8. Hasil kualitatif keberadaan Staphylococcus koagulase positif pada pengolah dan konsumen Positif Positif Staphylococcus Jumlah Sampel Staphylococcus koagulase positif** sampel sp.* (%) (%) Tangan pengolah 20 65 90 Mulut-hidung 20 30 45 pengolah Tangan konsumen 20 45 90 Mulut-hidung 20 15 15 konsumen *) Selain Staphylococcus koagulase positif **) Katalase +, Gram +, Fermentasi mannitol anaerob +, dan Koagulase + Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 65% tangan pengolah positif membawa Staphylococcus sp. dan 90% membawa Staphylococcus koagulase positif. Tidak jauh berbeda dengan tangan konsumen, 45% positif membawa Staphylococcus sp. dan 90% membawa Staphylococcus koagulase positif. Jadi 55% sampel tangan manusia positif membawa Staphylococcus sp. dan 90% tangan yang positif terhadap Staphylococcus koagulase positif. Mulut dan hidung dari pengolah dan konsumen yang terdiri dari masing-masing 20 orang, dinyatakan 22,5% dari sampel positif terhadap Staphylococcus sp. yang terdiri dari 30% pengolah dan 15% konsumen, serta terdapat 30% positif Staphylococcus koagulase positif dari seluruh sampel (45% pengolah dan 15% konsumen).
47
Rekontaminasi Staphylococcus aureus pada ayam olahan oleh manusia dapat terjadi melalui tangan yang kontak langsung atau melalui udara. Berdasarkan hasil survey menunjukkan bahwa dari 30 warung makan yang disampling hanya 2 warung makan atau sekitar 6,67% yang masih menangani makanan dengan tangan. Jadi kemungkinan besar rekontaminasi berasal dari udara.
D. Staphylococcus aureus TERKONFIRMASI Sampel yang telah terkonfirmasi positif dengan metode BAM (2001), kemudian dilakukan uji konfirmasi lanjutan menggunakan API® Staph. Hasil yang positif dari uji konfirmasi dengan metode BAM, menunjukkan bahwa mikroba hasil isolasi merupakan Staphylococcus koagulase positif. Dengan demikian bakteri ini diperkirakan adalah Staphylococcus aureus. Uji konfirmasi dengan API® Staph akan lebih meyakinkan bahwa mikroba yang diisolasi dari berbagai sumber adalah Staphylococcus aureus. API® Staph merupakan alat yang digunakan untuk mengidentifikasi genus Staphylococcus, Micrococcus, dan Kocuria. Kit ini merupakan miniatur dari tes biokimia, terdiri dari 20 tabung yang mengandung substrat yang sudah terdehidrasi. Selama inkubasi metabolisme mikroba akan menimbulkan perubahan warna pada media (Biomérieux, 2009). Perbedaan reaksi biokimia inilah yang menjadi dasar identifikasi. Metode ini mampu mengidentifikasi 92,49% strain Staphylococcus. Hasil konfirmasi lebih lanjut menunjukkan bahwa terdapat S. aureus pada berbagai sumber isolasi yang meluputi ayam olahan siap saji maupun dan sumber rekontaminasi yaitu dari tangan dan saluran pernapasan manusia (mulut dan hidung). Tabel 9 menunjukkan hasil dari uji konfirmasi lebih lanjut dengan menggunakan API® Staph. Analisis cemaran Staphylococcus aureus pada bahan pangan ayam olahan siap saji menunjukkan bahwa terdapat 35,56% sampel dinyatakan positif. Nilai ini mengoreksi uji konfirmasi sebelumnya yaitu mengacu pada metode BAM (2001) yang menunjukkan bahwa 80% pangan siap saji terkontaminasi
oleh
bakteri
Staphylococcus
koagulase
positif
yang
48
diperkirakan adalah S. aureus. Prevalensi cemaran S. aureus pada pangan siap saji di daerah lingkar kampus ini tampak lebih besar dibandingkan dengan prevalensi cemaran di Korea yang telah diteliti oleh Oh, et al. (2007) yaitu sebesar 8,6% dan di Thailand oleh Chomvarin, et al. (2006) sebesar 10,8%. Cemaran pada pangan siap saji yang lainnya juga telah dilakukan oleh Sokari (1991) yang menyatakan bahwa di Nigeria terdapat 62% sampel pangan siap saji yang berbasis daging, ikan dan sayuran yang terkontaminasi oleh Staphylococcus aureus. Tabel 9. Staphylococcus aureus terkonfirmasi Positif Jumlah Jumlah Sampel BAM Sampel Sampel (2001) API Staph Ayam olahan 20 16 9 siap saji Tangan 40 36 9 manusia Mulut-hidung 41 13 3 manusia
Positif API Staph 4
% Positif S. aureus 35,56
4
40,00
3
31,71
Demikian juga dengan isolasi dari sumber rekontaminasi yaitu dari tangan dan mulut-hidung manusia. Terdapat koreksi terhadap hasil prevalensi yang semula sebesar 90% tangan manusia dinyatakan positif membawa Staphylococcus koagulase positif, menjadi 40% yang teridentifikasi membawa Staphylococcus aureus. Nilai ini tampak hampir sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Loir (2003), bahwa terdapat 30-50% manusia sehat merupakan pembawa Staphylococcus aureus. Acco, et al.(2003), menyebutkan hasil penelitiannya bahwa terdapat 30% sistem pernapasan pengolah bahan pangan di Brazil yang mengandung Staphylococcus aureus. Setelah konfirmasi lebih lanjut pada penelitian ini juga menunjukkan bahwa 31,71% mulut dan hidung (sistem pernapasan) manusia sehat merupakan pembawa S. aureus. Terlihat bahwa hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya. Uji API® Staph yang dilakukan menunjukkan bahwa selain teridentifikasi sebagai Staphylococcus aureus, juga terdapat Staphylococcus xylosus (38,10%), dan Staphylococcus lentus (4,76%) dengan kombinasi hasil reaksi biokimia seperti pada Lampiran 15. Perbedaan hasil antara identifikasi
49
dengan metode BAM dan API® Staph mungkin disebabkan oleh waktu pengamatan yang terlalu lama lama pada uji koagulase dengan menggunakan Staphylase test kit. kit. Menurut Biotech (2009), pengamatan produksi koagulase seharusnya dilakukan pada 30 detik pertama setelah penetesan reagen.
E. SIMULASI REKONTAMINASI METODE PENYEMPROTAN
Staphylococcus
aureus
DENGAN
Rekontaminasi S. aureus dari udara diduga menjadi sumber utama
rekontaminasi S. aureus pada sampel bahan pangan selain dari peralatan. Mikroorganisme yang terdapat di udara biasanya melekat pada bahan padat, misalnya debu, atau terdapat dalam droplet air (Gobel dan Risco, 2008).
log CFU/100 cm2 jam
Isolasi S. aureus dari udara dalam ruang simulasi terlihat pada Gambar 14. 1.0 0.8 0.6
ALT
0.4
Staphylococcus sp.
0.2
S. aureus
0.0 1
2
3
4
Kontrol Gambar 14. Densitas total mikroba, Staphylococcus sp. dan Staphylococcus aureus di udara dalam ruang simulasi Hasil isolasi dan identifikasi mikroba di udara bebas dalam ruang simulasi sebelumnya tidak menunjukkan adanya S. aureus maupun
Staphylococcus lain. Perlakuan pada ruangan terbuka menaikkan densitas mikroba udara menjadi 0,75 log CFU/100 cm2 jam atau berkisar antara 0,500,90 log CFU/100 cm2 jam. Data ini dapat digunakan sebagai kontrol, yaitu pada simulasi rekontaminasi S. aureus dari udara, bahwa S. aureus yang mengkontaminasi ruang simulasi hanya berasal dari perlakuan simulasi. Bersin dan batuk merupakan mekanisme penyebaran Staphylococcus
aureus melalui udara (Gaman dan Sherington, 1992). Kemungkinan makanan terpapar oleh pengolah atau konsumen yang batuk sangat kecil, namun dari
50
hasil isolasi menunjukkan bahwa sebagian besar makanan mengandung S. aureus. Oleh karena itu dilakukan simulasi rekontaminasi dengan metode penyemprotan. Simulasi ini untuk mengetahui apakah Staphylococcus aureus yang terdapat pada udara dapat mengontaminasi bahan pangan. Selain itu, untuk mengetahui presentase transfer perpindahan jumlah mikroba dari udara ke pangan dengan luasan tertentu. Persentase rekontaminasi dihitung dengan asumsi luasan bahan pangan yang terkontaminasi seluas 100 cm2 dan ruang penyajian sebesar 1 m3. 1. Simulasi Penyemprotan dengan 1 log CFU/m3 Simulasi rekontaminasi dengan penyemprotan rata-rata densitas awal sebesar 1,33 log CFU/m3, merepresentasikan tempat yang sangat bersih. Kebersihan udara terbaik adalah kebersihan udara di rumah sakit, berdasarkan penelitian di udara ruang pasien terdapat Staphylococcus aureus sekitar 1-78 CFU/m3 udara(Gehanno, et al., 2009). Hasil simulasi menunjukkan bahwa densitas Staphylococcus aureus yang terukur dengan menggunakan media BPA+EYT antara 0,00-0,67 log CFU/100 cm2 jam dan rata-ratanya sebesar 0,39 log
log CFU/100 cm2 jam
CFU/100 cm2 jam seperti yang terlihat pada Gambar 15. 2.0 1.5 1.0 S. aureus 0.5
ALT
0.0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Simulasi rekontaminasi
Gambar 15. Densitas total mikroba dan S. aureus di ruang simulasi setelah rekontaminasi dengan penyemprotan S. aureus dengan rata-rata koloni awal 1,33 log CFU/m3 Total mikroba atau angka lempeng total (ALT) yang terukur dengan SPCA secara keseluruhan lebih besar yaitu antara 0,80-1,37 log
51
CFU/100 cm2 jam dan rata-rata sebesar 1,01 log CFU/100 cm2 jam. Pertumbuhan pada media SPCA ini tampak didominasi oleh koloni spesifik yang berwarna kuning. Hal ini mengindikasikan bahwa mikroba tersebut adalah S. aureus yang memiliki pigmen Staphyloxanthin
(Clauditz, et al., 2006). Selebihnya terdapat sejumlah kecil kapang yang berasal dari spora yang berada di udara.
% transfer
25 20 15 10 5 0
1 Gambar
16.
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Simulasi rekontaminasi Presentase transfer S. aureus dari udara yang direkontaminasi dengan rata-rata koloni S. aureus awal 1,33 log CFU/m3
Presentase transfer mikroba (Gambar 16) bervariasi dari 0,00% pada simulasi 4 dan simulasi 8, sampai 21,45% pada simulasi 1, dengan
rata-rata sebesar 11,41%. Tampak bahwa hasil simulasi memiliki variasi yang besar. Ini disebabkan oleh terlalu kecilnya jumlah mikroba di udara dengan volume ruangan yang cukup besar sehingga sehingga kemungkinan mikroba merekontaminasi menjadi sangat acak.
2. Simulasi Penyemprotan dengan 5 log CFU/m3 Simulasi pada pada jumlah mikroba ini, merepresentasikan jumlah mikroba secara umum di udara. Macher dan Girman (1990), menyebutkan bahwa jumlah miroba pada ruangan indor dan outdor tidak berbeda, hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah mikroba bervariasi
yaitu 102-104 CFU/m3, sedangkan jumlah kapang 102 - ≥103 CFU/m3. Dengan demikian untuk keadaan keadaan udara normal, dipilih densitas udara
105 CFU/m3 untuk simulasi.
52
Koloni atau densitas Staphylococcus aureus awal yang disebarkan dalam ruang simulasi adalah sebesar 5,35 log CFU/m3. Hasil simulasi pada Gambar 17, menunjukkan bahwa densitas yang terukur rata-rata sebesar 1,52 log CFU/100cm2 jam pada media PCA untuk total mikroba dan 1,02 log CFU/100cm2 jam pada media BPA+EYT untuk Staphylococcus aureus. Densitas S. aureus ini berada pada kisaran 0,001,91 log CFU/100cm2 jam. Simulasi 9, menunjukkan bahwa meskipun total mikroba yang terukur mencapai 1,5 log CFU/100 cm2 jam, namun tidak terdapat sejumlah S. aureus yang terukur. Hal ini mungkin
Log CFU/100 cm2 jam
diakibatkan oleh mikroba lain yang masuk ke dalam ruang simulasi.
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
S. aureus ALT 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Simulasi rekontaminasi
Gambar 17. Densitas total mikroba dan S. aureus di ruang simulasi setelah rekontaminasi dengan penyemprotan S. aureus dengan rata-rata koloni awal 5,35 log CFU/m3
0.030
% transfer
0.025 0.020 0.015 0.010 0.005 0.000
1 Gambar
18.
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Simulasi rekontaminasi Presentase transfer S. aureus dari udara yang direkontaminasi dengan rata-rata koloni S. aureus awal 5,35 log CFU/m3 53
Presentase perpindahan Staphylococcus aureus ternyata lebih kecil yaitu berkisar 0,00% hingga 0,026%, jadi rata-rata presentase transfer rekontaminasi dari udara sebesar 0.007% (Gambar 18). Dengan demikian dapat digambarkan apabila terdapat 105 koloni S. aureus dalam 1 m3, maka kemungkinan dalam bahan pangan dengan luas permukaan 100 cm2 akan terkontaminasi sebanyak 7 koloni. 3. Simulasi Penyemprotan dengan 8 log/m3 Simulasi penyemprotan pada jumlah S. aureus 8 log CFU/m3 menunjukkan adanya kontaminasi yang parah. Kontaminasi yang parah ini seperti pada rumah penyembelihan ayam dan di daerah sekitarnya. Hasil penelitian
yang
dilakukan
oleh
Baykov
dan
Stoyanov
(1999),
menunjukkan bahwa di dalam rumah penyembelihan ayam terdapat total mikroba sebesar 109-1013 CFU/m3. Selain itu, mikroba dari tempat penyembelihan ini, dapat menyebar melalui aliran udara hingga 3000 m dari lokasi penyembelihan. Mengingat Staphylococcus aureus juga banyak terdapat pada kulit hewan (Jay, et al., 2005), maka diperkirakan daerah yang letaknya berdekatan dengan rumah potong hewan akan memiliki
log CFU/100 cm2 jam
jumlah S. aureus yang besar pula. 5.0 4.0 3.0 S. aureus
2.0
ALT 1.0 0.0 0
1
2
3 4 5 6 7 8 9 10 11 Simulasi rekontaminasi
Gambar 19. Densitas total mikroba dan S. aureus di ruang simulasi setelah rekontaminasi dengan penyemprotan S. aureus dengan rata-rata koloni awal 8,33 log CFU/m3 Hasil simulasi dengan rata-rata densitas awal Staphylococcus aureus sebesar 8,33 log CFU/m3 menunjukkan bahwa perhitungan densitas
54
kontaminasi dengan S. aureus dan total mikroba yang tidak jauh berbeda. Secara lengkap, densitas yang terukur terlihat pada Gambar 19.
0.012
% transfer
0.01 0.008 0.006 0.004 0.002
0 1
2
3
4 5 6 7 8 Simulasi rekontaminasi
9
10
Gambar 20. Presentase transfer S. aureus dari udara yang direkontaminasi dengan rata-rata koloni S. aureus awal 8,33 log CFU/m3 Rata-rata densitas sebesar 4.14 log CFU/100 cm2 jam untuk total mikroba dan 4,05 log CFU/100 cm2 jam untuk S. aureus. Jumlah S.
aureus terbesar sebanyak 4,44 log CFU/m2 jam pada simulasi 1 dan 3,59 log CFU/cm2 jam pada simulasi 5 untuk nilai terkecil. Dengan demikian, presentase transfer (Gambar 20) S. aureus/100 cm2 antara 0,002% hingga 0,011% dengan rata-rata 0,007%. Tampak bahwa pada konsentrasi awal S. aureus 5 log CFU/m3 dan
8 log CFU/m3 hampir sama yaitu sebesar 0,007% (Tabel 10). Densitas S. aureus hasil penyemprotan dapat dilihat Gambar 16 dan Gambar 18. Pada penyemprotan 5 log CFU/m3, densitas yang terukur turun 4 log menjadi
1 log CFU/100 cm2 jam. Demikian juga dengan penyemprotan pada 8 log CFU/m3, densitasnya menjadi 4 log CFU/100 cm2 jam. Tabel 10. Rata-rata presentase transfer Staphylococcus aureus dari udara Densitas awal 1 log CFU/m3 5 log CFU/m3 8 log CFU/m3
% transfer/100 cm2 jam 11,408 0,007 0,007
55
Hasil simulasi dengan metode penyemprotan ini menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus di udara (Tabel 10) dapat berpindah pada makanan baik dengan densitas mikroba yang kecil (1 log CFU/m3) maupun yang besar (8 log CFU/m3). Hal ini mendukung pernyataan sebelumnya bahwa bahan pangan siap saji yang telah ditangani tanpa menggunakan tangan dapat mengalami rekontaminasi S. aureus melalui udara. Tabel 10 memperlihatkan seolah-olah dengan densitas yang lebih kecil, yaitu 1 log CFU/m3 memiliki presentase transfer yang lebih besar. Kerancuan ini diakibatkan oleh kecilnya densitas awal mikroba, misalnya dengan hanya terdapat 10 CFU dalam 1 m3, apabila yang tertransfer dalam bahan pangan sebesar 1 CFU/100 cm2 jam , maka presentase transfernya sudah sebesar 10%. Presentase transfer mikroba ke bahan pangan melalui sarung tangan plastik juga telah diteliti oleh Montville et al. (2000). Mikroba yang digunakan adalah Enterobacter aerogenes. Selama pemotongan Lettuce sebanyak 25 g terjadi transfer antara 0,0003% hingga 0,0545%. Lidwell, et al. (1974) melakukan studi lain yang dilakukan di rumah sakit London, yaitu efektivitas transfer S. aureus oleh pasien pembawa pada sistem pernapasan ke jari tangan dan baju tidur sebesar 5,6%, sedangkan pasien pembawa pada jari tangan sebesar
1,6%.
Hal
ini
memperlihatkan
bahwa,
efektifitas
transfer
Staphylococcus aureus melalui sistem pernapasan lebih besar, kemungkinan transfer juga berasal dari udara sistem pernapasan. Selain dari lingkungan ke bahan pangan, Staphylococcus aureus juga dapat berpindah dari bahan pangan ke peralatan seperti stainless steel dan polietilen. Jumlah S. aureus sebesar 7 log CFU/g pada daging unggas akan berpindah ke permukaan peralatan sebesar 4 log CFU/m2 dengan waktu kontak selama 10 detik atau 10 menit (Malheiros, et al., 2010). Lap untuk mengeringkan tangan, juga dapat terkontaminasi oleh S. aureus. Hanya sebanyak 75 CFU yang dapat berpindah ke tangan apabila pada lap terdapat 8 log CFU pada lap (Oller dan Mitchell, 2009). Apabila transfer perpindahan S. aureus dari peralatan dan lap ke bahan pangan diasumsikan sama dengan referensi diatas, maka transfer dari udara lebih besar yaitu dengan penurunan sebesar 4 log CFU/100 cm2 jam.
56
F. SIMULASI REKONTAMINASI METODE BERBICARA
Staphylococcus
aureus
DENGAN
Menurut Irianto di dalam Ali (2008), jumlah mikroorganisme yang mencemari udara juga ditentukan oleh sumber pencemaran di dalam lingkungan, misalnya dari saluran pernapasan manusia yang disemprotkan melalui batuk dan bersin, dan partikel-partikel debu, yang terkandung dalam tetes-tetes cairan berukuran besar dan tersuspensikan, dan dalam “inti tetesan” yang terbentuk bila titik-titik cairan berukuran kecil menguap. Organisme yang memasuki udara dapat terangkut sejauh beberapa meter atau beberapa kilometer; sebagian segera mati dalam beberapa detik, sedangkan yang lain dapat bertahan hidup selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan lebih lama lagi. Nasib mikroorganisme yang berasal dari udara tergantung dari kondisi lingkungan (termasuk keadaan atmosfer, kelembaban, cahaya matahari dan suhu), ukuran partikel yang membawa mikroorganisme, serta ciri-ciri mikroorganisme terutama kerentanannya terhadap keadaan fisik di atmosfer. Staphylococcus aureus ternyata tidak terdapat pada udara yang memasuki ruang simulasi tanpa adanya aktivitas manusia seperti dicantumkan pada
Gambar 14.
Belum terdapat kajian khusus apakah hanya dengan
berbicara pada saat transaksi jual beli dapat mengakibatkan terjadinya rekontaminasi oleh bakteri ini. Sementara berdasarkan hasil penelitian terdapat sejumlah S. aureus pada pangan yang tidak ditangani dengan tangan sebagai sumber utama S. aureus. Simulasi berbicara dilakukan dengan kecepatan 110 kata/menit akan merepresentasikan kecepatan dua orang berbicara saat transaksi jual beli yang terus berlangsung selama satu jam. Hasil simulasi fluktuatif, tidak menunjukkan data yang relatif konstan yang dapat terlihat pada Gambar 21. Total mikroba atau Angka Lempeng Total (ALT) pada diagram batang merepresentasikan jumlah yang lebih besar dari total S. aureus. Ini berarti selain menyebarkan Staphylococci, manusia juga menyebarkan sejumlah mikroba lain. Mikroba yang terdapat di udara didominasi oleh kapang atau bakteri kelompok bacilli. Staphylococcus yang terdapat di udara
57
berasal dari sistem pernapasan manusia yang dibuktikan dengan simulasi ini. Simulasi menunjukkan hasil yang cukup signifikan antara control tanpa perlakuan dengan simulasi metode berbicara.
log CFU/100 cm2 jam
2.5 2 1.5
ALT Staphylococcus sp.
1
S. aureus
0.5 0 1
2
3 4 5 6 7 8 9 10 Simulasi rekontaminasi
Gambar 21. Densitas total mikroba, Staphylococcus sp. dan Staphylococcus aureus setelah rekontaminasi dengan simulasi berbicara selama 30 menit Berbicara selama satu jam, meningkatkan jumlah Staphylococcus sp. hingga 0,5 log CFU/100 cm2 jam pada simulasi 6, simulasi 8, dan simulasi 10. Berbeda dengan Staphylococcus aureus yang meningkat jumlahnya di hampir semua simulasi, kecuali pada simulasi 8 dan 10. Pada kedua simulasi ini, peningkatan jumlah mikroba didominasi oleh Staphylococci yang lain. Staphylococcus aureus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah total mikroba, namun tidak sepenuhnya sebanding. Total mikroba meningkat hingga 2,34 log CFU/100 cm2 jam dengan rata-rata sebesar 1,80 log CFU/100
cm2 jam. Artinya, dengan berbicara akan menambah densitas total mikroba sebesar 1,05 log CFU/100 cm2 jam. Peningkatan jumlah mikroba ini masih didominasi oleh peningkatan jumlah S. aureus di udara. Transfer mikroba dari sistem pernapasan ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti keadaan carier (kesehatan dan suhu tubuh) yang mempengaruhi jumlah mikroba awal. Suhu tubuh normal 37oC, sesuai dengan suhu optimum pertumbuhan S. aureus (Amy, et al., 2002). Simulasi yang dilakukan 10 kali menunjukkan rekontaminasi S. aureus berada pada kisaran
0,00-1,64 log CFU/100 cm2 jam. Rata-rata kontaminasi Staphylococcus
58
aureus sebesar 0,87 log CFU/100 cm2 jam. Meskipun rata-rata densitas S. aureus yang dapat mengkontaminasi melalui berbicara kecil, namun hasil perhitungan cemaran bakteri ini pada ayam olahan siap saji 2-3 jam di ruang penyajian sudah cukup besar dengan rata-rata 3 log CFU/g. Jadi simulasi ini menunjukkan bahwa perlu adanya evaluasi terhadap praktik penjualan yang masih melakukan transaksi jual beli dengan percakapan di depan makanan. Penyimpanan selama lebih dari 2 jam akan berbahaya bila mencapai angka 5 log CFU/g yang dapat menghasilkan enterotoksin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rekontaminasi S. aureus dapat terjadi hanya dengan berbicara di depan makanan yang telah dibuktikan dengan perubahan densitas mikroba. Masih banyak terdapat faktor yang mempengaruhi proses rekontaminasi, seperti kecepatan berbicara, suhu ruang, kondisi kesehatan carier, dan adanya kontaminasi dari jenis mikroba yang
log CFU/100 cm2 jam
lain. 4 3 simulasi berbicara 2 1 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
simulasi penyemprotan 5 log CFU/m3
Simulasi Gambar 22. Cemaran Staphylococcus aureus dengan simulasi berbicara dan simulasi penyemprotan Secara garis besar sesuai dengan Gambar 22, jumlah S. aureus menunjukkan penyebaran dan trend yang sama antara simulasi penyemprotan dengan koloni awal 5 log CFU/100 cm3 dengan simulasi dengan berbicara. Dengan demikian, secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa rekontaminasi dengan metode berbicara dapat menyebarkan S. aureus ke udara sebesar 5 log CFU/m3.
59
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Praktik sanitasi dan cara penanganan bahan pangan pada warung makan siap saji di daerah lingkar kampus belum dapat dikatakan baik karena penyimpanan yang lama pada suhu ruang (25-30oC) dengan rata-rata penyimpanan antara 6-11 jam tanpa pemanasan ulang. Penanganan pangan sudah dilakukan dengan baik yang diindikasikan dengan 93% dari warung makan ini sudah menggunakan alat bantu (sendok atau capit) untuk menangani makanan. Isolasi dan identifikasi pada 20 ayam olahan siap saji yang terdiri dari masing-masing 5 sampel ayam goreng, ayam kecap, ayam opor, dan ayam balado menunjukkan bahwa 35,56% ayam olahan siap saji positif terkontaminasi oleh S. aureus dengan rata-rata sebesar 1x103 CFU/g. Selain itu 35% ayam olahan siap saji sudah tidak layak atau tidak diterima untuk dikonsumsi karena jumlah total mikroba yang melewati batas yang ditetapkan. Uji secara kualitatif menunjukkan bahwa 40% tangan pengolah dan konsumen pangan positif terdapat S. aureus. Adapun pada sistem pernapasan terdapat 31,71% pengolah dan konsumen pangan yang terkonfirmasi positif sebagai pembawa. Staphylococcus aureus yang mencemari bahan pangan kemungkinan besar berasal dari sistem pernapasan manusia melalui udara. Perpindahan mikroba dari udara ke luasan sebesar 100 cm2 adalah 0,007% untuk densitas awal 5 log CFU/m3 dan 8 log CFU/m3. Berbicara selama satu jam dapat menyebarkan S. aureus ke udara sebesar 5 log CFU/m3 yang dapat mencemari bahan pangan sebesar 0,87 log CFU/100 cm2 jam.
B. SARAN Analisis keberadaan Staphylococcus aureus di udara sebaiknya tidak hanya dilakukan dengan simulasi, juga dilakukan di ruang penyajian bahan pangan siap saji. Simulasi yang dilakukan dalam penelitian ini, masih perlu dikaji lebih jauh lagi, dengan menggunakan densitas mikroba yang lebih
60
bervariasi sehingga didapatkan data yang lebih akurat untuk mengetahui trend transfer pada makanan. Selain itu perlu dikaji ulang untuk menggunakan bahan pangan secara langsung dalam simulasi, karena tiap-tiap bahan pangan memiliki zat gizi yang berbeda. Penyemprotan sebaiknya tidak hanya menggunakan satu mikroba, tetapi juga dikombinasikan dengan mikroba lain yang biasa terdapat di udara, mengingat S. aureus merupakan kompetitor lemah.
61
DAFTAR PUSTAKA Acco M., Ferreira, F. S., Henriques, J. A. P., dan Tondo, E. C. 2003. Identification of multiple strain of Staphylococcus aureus colonizing nasal mucosa of food handlers. Food Microbiology 20(5): 489-493. Ali, I. 2008. Mikroba di Udara. http://iqbalali.com [11 Februari 2010]. Ankri S. dan Morelman D. 1997. Antimicrobial properties of allicin from garlic. Microbe Infect 1(2):125-129. Anonim.
2006. Defrosting and Reheating Food. http://www.environmentalhealthownsville.com.au. [12 November 2009].
Anonim. 2008. Ayam Kecap. http://www.keseharian.com. [21 November 2009]. Anonim. 2009. Opor Ayam. http://id.wikipedia.org. [21 November 2009]. Anonim. 2009. Resep Ayam Balado. http://inforesep.com. [21 November 2009]. Amy C. L.W., dan Merlin S. B. 2002. Staphylococcal food poisoning. Di dalam: Dean, O. C. dan Hans P.R (Eds.). Foodborn Diseases. Academic Press, Amsterdam. Pp 231-248. Ash, M. 2000. Staphylococcus aureus and staphylococcal enterotoksin. Di dalam: Hocking, A.D., Glenda A. Ian J., Ken N., dan Peter S. Foodborne Microorganisms of Public Health Significance. AISFT Food Microbiology Group, New South Wales. [BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2001. BAM: Staphylococcus aureus. http://www.cfsan.fda.gov [5 April 2009]. Bayko, B. dan Stoyanov, M. 1999. Microbial air pollution caused by intensive broiler chicken breeding. FEM S Microbiology Ecology 28(4): 389-392 Bergdoll, M.S. 1989. Staphylococcus aureus. Di dalam: M.P. Doyle (ed.), Foodborne Bacterial Pathogens. Marcell Dekker, Inc., New York. Biomérieux. 2009. API Staph. bioMerieux SA, France. Biotech. 2009. Ani S. aureus Test for Rapid Identification of S. aureus. Ani Biotech Oy, Finland. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2002. Panduan Pengolahan Pangan yang Baik bagi Industri Rumah Tangga, Amankan dan Bebaskan Produk dari Bahan Berbahaya. Direktorat Survailan dan Penyulihan Keamanan Pangan, Jakarta.
62
______. 2005. Food Watch Sistem Keamanan Terpadu Kejadian Luer Biasa Keracunan Makanan. Sekretariat Jendral Jejaring Intelijen Pangan, Jakarta. ______. 2006. Bahaya Keamanan Pangan. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Jakarta. Brown, M., Hazard identification. Di dalam: Brown, M. dan Stringer, M. (eds.). Microbiological Risk Assessment in Food Processing. Woodhead Publishing Limited, England. Buckle, K.A., Edward, R.A., Fleet, G.H., dan Wotton, M. 1987. Food Science. Penerjemah: Purnomo, H dan Adiono. UI press, Jakarta. 365p. Chomvarin, C., Chantarasuk, Y., Srigulbutr, S., Chareonsudjai, S. dan Chaicumpar, K. 2006. Enteropathogenic bacteria and enterotoxinproducing Staphylococcus aureus isolated from ready-to-eat foods in Khon Kaen, Thailand. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 37: 983–990. Clauditz A, Resch A, Wieland KP, Peschel A, Götz F. 2006. Staphyloxanthin plays a role in the fitness of Staphylococcus aureus and its ability to cope with oxidative stress. Infection and Immunity 74 (8): 4950–4953. Departement of Health, 2005. Staphylococcus aureus including MethicillinResistant. Dewanti, R. 2005. Keracunan Pangan Tidak Hanya ”Diare”. http://web.ipb.ac.id. [29 Mei 2009]. _______. 2009. Mencegah Keracunan Makanan Siap Santap. http://web.ipb.ac. Id. [11 Mei 2009] Fardiaz, S. 1992a. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. _______. 1992b. Mikrobiologi Pangan Lanjut. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fellow, P.J. 1992. Food Processing Technology : Principles and Practice. Ellis Horwood, New York. Food and Environmental Hygiene Department. 2007. Microbiological Guidelines for Ready-to-eat Food, Hong Kong. [FDA] Food Drug Administration. 2003. Handbook of Foodborne Pathogens. Marcell Dekker Inc., New York. Gaman, P. M. dan Sherrington K. B. 1992. Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi Edisi kedua. Gajah Maada University Press, Yogyakarta.
63
Gedikli, S., Tabak, O., Cabuk, A. 2008. Effect of microwave on some Gram negative and Gram positive bacteria. J. Appl. Biological Sci. 2(1): 67-71 Gehanno, J.F., A. Louvel, M., Nouvellon, J. F., Caillard, M., Pestel, C. 2009. Aerial dispersal of meticillin-resistant Staphylococcus aureus in hospital rooms by infected or colonised patients. Journal of Hospital Infection, 71(3): 256-262. Gobel, B., dan Risco. 2008. Mikrobiologi Umum dalam Praktek. Universitas Hasanuddin, Makasar. Hanashiro, A., Morita, M., Matté G. R., Matté M. H., dan Torres E. A. F. S. 2005. Microbiological quality of selected street foods from a restricted area of São Paulo city, Brazil. Food Control 16 : 439-444. Hayes, P.R. 1985. Food Microbiology and Hygiene. Elsevier Applied Science Publisher, London and New York. Health Protection Agency. 2009. Guidelines for Assessing the Microbiological Safety of Ready-to Eat Foods Placed on the Market, London. Hertzberger, S.A.B., Mossel D.A.A., dan Bijker P. G. H. 1982. Quantitative and identification of Staphylococcus aureus. Di dalam: Corry J.E.L., Roberts D., dan Skinner F.A.(eds.), Isolation and Identification Methods for Food Poisoning Organisms. Academic Press, Inc, London. Pp 165-171. Huong, B. T., Zahid, H. M., Sucharit, B. N., Afework, K., Nguyen, V. N., Alizadeh, M., Masayuki, Y., Fusao O., Nguyen T. L., Ha T.A.D., Nguyen C. K. 2010. Toxigenicity and genetic diversity of Staphylococcus aureus isolated from Vietnamese ready-to-eat foods. Food Control, 21(2): 166-171. [ICMSF] International Commision on Microbiology Specification for Food. 1996. Staphylococcus aureus. Di dalam: Roberts, T. A., Parker, B. A. C., dan Tompkin, R. B. (eds.), Microorganism in Foods 5: Characteristics of Microbial Pathogen. Blackie Academic & Professional, London. Pp 299333. Itpin. 2006. Bencana Snow Bran. http://www.itpin.com/ [29 Mei 2009]. Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology. Chapman and Hall, New York. Jay, J. M., Loessner, M. J., dan Golden, D.A. 2005. Modern Food Microbiology 7th Edition. Springer Science+Business Media, LLC, USA. Jørgensen, H. J., Tone, M., Astrid, L., Katsuhiko, O., Kristina, S. Q. and Semir L. 2005. An outbreak of staphylococcal food poisoning caused by enterotoxin H in mashed potato made with raw milk FEMS Microbiology Letters 252(2): 267-272.
64
Judoamidjojo, R. M., Takatoshi, I., Atsunobu, T., Koji, K. dan Matsuyama. 1997. The analitical study of Kecap-an Indonesian Soy Sauce. Di dalam: Fardiaz, S., Ratih, D. (Eds.). Kumpulan Abstrak Hasil Kajian Makanan Tradisional, Institut Pertanian Bogor. Pusat Kajian Makanan Tradisional PKMT IPB, Bogor Lidwell, O. M., Towers, A. G., Ballard, J., dan Gladstone, B. 1974. Transfer of microorganisms between nurses and patients in a clean air environment. J. Appl. Bact 37: 649-656. Loir, L.Y., Baron, F., dan Gautier, M. 2003. Staphylococcus aureus and Food Poisoning. Genet. Mol. Res. 2:63-76. Malheiros, P. S., Cátia, T. P., Letícia, S. C., Leandro S., Eduardo C. T. 2010. Evaluation of growth and transfer of Staphylococcus aureus from poultry meat to surfaces of stainless steel and polyethylene and their disinfection. Food Control, 21(3): 298-301. Macher, J. M. dan Girman, J. R. 1990. Multiplication of microorganisms in an evaporate air cooler and posible indoor air contamination. Environment International, Vol 16(3): 203-211. Marriot dan G. Norman. 1985. Principles of Food Sanitation. Van Nostrand Reinhold, New York. Minor, T.E. dan Marth, E.H. 1976. Staphylococci and Either Significance in Food. Elvesier Scientific Publishing Company, New York. 297p. Nema, V., Ranu, A., Dev, V. K., Ajay, K. G. dan Lokendra, S. 2007. Isolation and characterization of heat resistant enterotoxigenic Staphylococcus aureus from a food poisoning outbreak in Indian subcontinent. International Journal of Food Microbiology, 117(1): 29-35. [NSW Food Authority] New South Wales Food Authority. 2009. Microbiological Quality Guide for Ready-to-Eat Foods, a Guide to Interpreting Microbiological Results, New South Wales. Norman G. M. 1999. Prinsiples of Food Sanitation 2nd edition. Wayne State University D. Van Nostrand Company, Maryland. Normanno, G., Salandra, L. G., Dambrosio, A., Quaglia, N.C., Corrente, M., Parisi, A., Santagada, G., Firinu, A., Crisetti, E. dan Celano, G.V. 2007. Occurrence, characterization and antimicrobial resistance of enterotoxigenic Staphylococcus aureus isolated from meat and dairy products. International Journal of Food Microbiology 115 : 290-296.
65
Oh, S. K., Lee, N., Cho, Y. S., Shin, D. B., Choi, S. Y. dan Koo, M. 2007. Occurrence of toxigenic taphylococcus aureus in ready-to-eat food in Korea. Journal of Food Protection, 70: 1153–1158. Oller, A. R. dan Mitchell, A. Staphylococcus aureus recovery from cotton towels. 2009. J Infect Developing Countries, 3(3): 224-228. Orthoefer, F. T., Cooper, D. S. 2004. Initial quality of frying oil. Di dalam: Perkins, E.G., Erickson, M. D. (Eds.). Deep Frying Chemistry, Nutrition and Practical Application. AOCS Press, Champaign: pp 29-42. Pelczar, M. J. dan Chan E. C. S. 2006. Dasar-dasar Mikrobiologi 1. UI-press, Jakarta. Rawendra, R. 2008. Pengaruh praktik penyimpanan dan pemanasan ulang dengan oven microwave terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus dalam beberapa pangan tradisional Indonesia. Skipsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Robinson, R. K., C. A. Batt, D. P. Pradip. 2000. Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press, New York. Rodríguez, F. P., Valero, A., Todd, E.C.D., Carrasco E., García-Gimeno, R.M., Zurera, G.. 2007. Modeling transfer of Escherichia coli O157:H7 and Staphylococcus aureus during slicing of a cooked meat product. Meat Science, 76(4): 692-699. Schumit, M., Schuler-schmid, U., Scmidt-lorenz, W. 1990. Temperature llimts of growth TNase, and enterotoxin production of Staphylococcus aureus strains isolated from foods. Int J Food Microbiol 11:1-19. Shapton, D. A., dan Shapton, N.F.. 1993. Principles and Practices for the Safe Peocessing of Food. Butterwort-Heineman LKtd. Oxford, Great Britain. Sokari, T. 1991. Distribution of enterotoxigenic Staphylococcus aureus in readyto-eat foods in eastern Nigeria. International Journal of Food Microbiology, 12 (2-3): 275-279. Stewart C. M., Cole, M. B., Legaan, J. D., Slade, L., Vdaneven, M. H., dan Schaffner, D. W.. 2002. Staphylococcus aureus growth boundaries: moving towaards mechanistic predictive models based on solute-specific effects. Appl. Enveron. Microbial, 68: 1864-1871. Stewart C. M., Cole, M. B., dan Scahaffner, D.W.. 2003. Managing the risk of Stapylococcal food poisoning from cram-fillet baked goods to meet a food safety objectiva. J. Food Prot, 66(7): 1310-1325.
66
Supardi, I. dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Penerbit Alumni, Bandung. Sylvia, Soetarno S., Sukarsono, dan Yulinah. 1996. Telaah fitokimia ekstrak etanol buah cabe dan uji aktivitasnya sebagai antimikroba. Skripsi. Sekolah Tinggi Farmasi. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Tami, P. 2008. Mannitol Salt Agar (MSA) Bacterial Growth Media Differential and Selective Medium to Grow Staphylococcus Bacteia. http://suite 101.com. [28 Mei 2009]. Tatini, R. S., Dallas, G. H., dan Victor, R. F. L. 1984. Methode for the isolation and numeration of Staphylococcus aureus. Di dalam : Marvin S.(Ed.). Compendium of Methods for The Microbiological Examination of Foods Cecond edition. American Public Health association, Washington D. C. Triller, J. A. 1983. Sanitation in Food Processing. Academic Press, New York. Triyono, H. 2009. Kasus infeksi Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus. Di dalam : Koran Tempo 19 Januari 2009. http://www.korantempo.com/. [29 Mei 2009] [USDA] United State Department of Agriculture. 2008. Kitchen Companion. Food Safety and Inspection Service, USA. [USFDA] United State Food and Drug Administration. 1999. Bad Bug Book: Foodborne Pathogenic Microorganism and Natural Toxin Handbook. Factors Affecting the Growth of Some Foodborne Pathogens: centre of Food Safety and Applied Nutrition (CFSAN). http://vw.cfsan.fda.gov/mow/intro.html. [5 April 2009]. Vania. 2006. Ayam Goreng Kuning. http://v-recipes.com. [23 November 2009] Watanabe. 2006. Food poisoning Attributable Staphylococcus aureus Deficient in All of the Staphylococcal Enterotoxin Gene So Far Reported. http://www.nih.go.jp. [23 November 2009] Winarno, F. G. 2004. Keamanan Pangan. M-BRIO press, Bogor. [WHO] World Health Organization. 2004. First Adapt, then Act! A Booklet to Promote Safer Food in Diverse Settings. World Health Organization, New Delhi. Wulandari. 2008. Awas Keracunan Pangan!. http://www.kr.co.id. [28 Mei 2009]. Zaenab. 2008. Kasus Keracunan Makanan. http://keslingmks.wordpress.com. [28 Mei 2009].
67
Lampiran 1. Kuisioner evaluasi praktik penanganan dan penyimpanan ayam goreng
Rekontaminasi dan Pengaruh Waktu Simpan terhadap Cemaran Staphylococcus aureus oleh Pekerja pada Ayam Goreng
Kuisioner Evaluasi Pemasakan dan Penyimpanan Ayam Goreng
1. Nama Warung
:
Nama Pemilik
:
Lokasi warung
:
2. Bagaimana cara pemasakan dan berapa lama waktu penggorengan? 3. Bagaimana perlakuan setelah pemasakan (suhu penyimpanan)? 4. Apakah ada pemanasan ulang? Jika ada, berapa lama jeda pemanasannya? 5. Berapa lama ayam goreng disimpan (waktu penyajian)? 6. Berapa lama jeda waktu cuci tangan? 7. Bagaimana cara menangani (memegang) makanan?
68
Lampiran 2. Daftar responden survei praktik penanganan pangan pada warung makan siap saji No.
Nama warung
Lokasi
Nama pemilik
1
Dahlia
Babakan Tengah
Lia
2
Café De Cat
Babakan Tengah
Sukarsih
3
Pondok Selera (Bang Ucok)
Babakan Tengah
Matnur
4
Warung Makan Sederhana
Babakan Tengah
Waningsih
5
Askil
Babakan Tengah
Siska
6
Yunani
Babakan Tengah
Sri
7
Hot Crispy
Babakan Tengah
Dani
8
Soto Bateng
Babakan Tengah
Ica
9
Barokah
Babakan Raya
Ari
10
Warung Nasi Febi
Babakan Raya
Yanti
11
Ibu Mamih
Babakan Raya
Mamih
12
Barokah Bara 4
Babakan Raya
-
13
Sawargi
Babakan Raya
Siti
14
Ibu Oon
Babakan Raya
Oon
15
Selera
Babakan Lio
Ijah
16
Sinar Family
Babakan Lebak
Ipa
17
RM. Jogja
Babakan Lebak
Ani
18
RM. Jogja
Babakan Lebak
Ani
19
RM. Jogja cabang
Babakan Lio
Anita
20
Citra Islami
Babakan Lio
Nunung
69
Lampiran 2 (lanjutan). Daftar responden survei praktik penanganan pangan pada warung makan siap saji No.
Nama warung
Lokasi
Nama pemilik
21
Plasma 1
Babakan Lio
Yani
22
Indra Jaya S
Babakan Lio
Rofirik
23
Kantin Ayu
Kampus
Ayu
24
Jaya
Kampus
Iroh
25
Geulis
Kampus
Susi
26
Warteg
Babakan Raya
Lina
27
Kantin sapta
Kampus
Erni
28
Warung padang
Kampus
Itoh
28
Warteg sapta
Kampus
Euis
30
Tanpa nama
Babakan Lebak
Tri
70
Lampiran 3. Praktik penanganan pada warung makan siap saji
1. Tempat pengambilan sampel • Babakan Tengah • Babakan Raya • Babakan Lio • Kampus • Babakan Lebak
27% 23% 17% 20% 13%
2. Teknik pengolahan ayam goreng • Bumbui, rebus, goreng 80% • Bumbui, goreng 10% • Dirahasiakan 7% • Lain-lain 3% 3. Lama penggorengan ayam goreng • ≤5 menit 11% • 10 menit 7% • 15 menit 46% • 20 menit 11% • ≥30 menit 7% 4. Lama penyimpanan • ≤2 jam • 3-5 jam • 6-8 jam • 9-11 jam • ≥12 jam
3% 20% 33% 33% 10%
5. Suhu penyimpanan • 25-30oC
100%
6. Jeda pemanasan ulang • Tanpa pemanasan ulang • Setelah 5-6 jam • > 6 jam 7. Kegiatan mencuci tangan • Setiap kotor • Setiap akan memegang makanan
90% 7% 3%
70% 30%
8. Alat penanganan bahan pangan • Capit 73% • Sendok 20% • Tangan 7%
71
Lampiran 4. Angka lempeng total pada ayam goreng Angka Lempeng Total Sampel
CFU/g produk
log CFU/g produk
Ayam goreng 1
7,3E+03
3,87
Ayam goreng 2
2,7E+03
3,43
Ayam goreng 3
<2.5E+03 (1,8E+03)
<3,40 (3,26)
Ayam goreng 4
>2.5E+06 (1.4E+07)
>6,40 (7,15)
Ayam goreng 5
>2.5E+06 (1,2E+7)
>6,40 (7,08)
Rata-rata Log CFU/g produk
4,96
72
Lampiran 5. Staphylococcus sp. dan Staphylococcus aureus pada ayam goreng Staphylococcus sp. Sampel
CFU/g produk
log CFU/g produk
Ayam goreng 1
2,0E+02
Ayam goreng 2
Staphylococcus aureus Rata-rata Log CFU/g produk
CFU/g produk
log CFU/g produk
2,30
<2.0E+02 (5,0E+01)
<2,30 (1,70)
4,2E+02
2,62
3,4E+02
2,53
Ayam goreng 3
7,0E+02
2,85
3,2E+02
2,51
Ayam goreng 4
2,0E+03
3,30
1,4E+03
3,14
Ayam goreng 5
7,5E+02
2,87
2,1E+03
3,32
2,79
Rata-rata Log CFU/g produk
2,64
73
Lampiran 6. Angka lempeng total pada ayam kecap Angka Lempeng Total Sampel
CFU/g produk
log CFU/g produk
2,4E+05
5,37
1,5E+04
4,17
3,40E+03
3,53
Ayam kecap 4
<2.5E+03 (1,5E+2)
< 3,40 (2,18)
Ayam kecap 5
4,00E+03
3,60
Ayam kecap 1
Ayam kecap 2
Ayam kecap 3
Rata-rata Log CFU/g produk
3,77
74
Lampiran 7. Staphylococcus sp. dan Staphylococcus aureus pada ayam kecap Staphylococcus sp. Sampel
CFU/g produk
log CFU/g produk
Ayam kecap 1
4,1E+03
Ayam kecap 2
Staphylococcus aureus Rata-rata Log CFU/g produk
CFU/g produk
log CFU/g produk
3,61
>2.0E+03 (2.2E+03)
>3,30 (3,34)
1,1E+03
3,04
1,1E+03
3,02
Ayam kecap 3
<2.0E+02 (2,0E+01)
<2,30 (1,03)
<1.0E+01 (0,0E+01)
<1,00 (0.00)
Ayam kecap 4
<1.0E+01 (0,0E+01)
<1,0 (0,00)
<1.0E+01 (0,0E+01)
<1,00 (0.00)
Ayam kecap 5
>2.0E+03 (2,1E+03)
>3,30 (3,32)
>2.0E+03 (2.0E+03)
>3,30 (3,31)
2,20
Rata-rata Log CFU/g produk
3,22
Keterangan: = negatif saat isolasi = negatif setelah uji konfirmasi
75
Lampiran 8. Angka lempeng total pada ayam opor Angka Lempeng Total Sampel
CFU/g produk
log CFU/g produk
Ayam opor 1
2,3E+05
5,36
Ayam opor 2
1,2E+04
4,08
Ayam opor 3
<2.5E+03 (4,5E+2)
<3,40 (2,65)
Ayam opor 4
<2,5E+05 (5,0E+4)
<5,4 (4,7)
Ayam opor 5
2,6E+03
3,41
Rata-rata Log CFU/g produk
4,04
76
Lampiran 9. Staphylococcus sp. dan Staphylococcus aureus pada ayam opor Staphylococcus sp. Sampel
CFU/g produk
log CFU/g produk
Ayam opor 1
2,1E+03
Ayam opor 2
Staphylococcus aureus Rata-rata Log CFU/g produk
CFU/g produk
log CFU/g produk
3,32
2,2E+02
2,34
2,2E+02
2,34
2,9E+03
3,46
Ayam opor 3
<1.0E+01 (0,0E+01)
<1,00 (0,00)
<1.0E+01 (0,0E+01)
<1,00 (0.00)
Ayam opor 4
6,6E+03
3,82
8,3E+03
3,92
Ayam opor 5
>2.0E+04 (2,1E+04)
>4,30 (4,32)
5,4E+03
3,73
3,45
Rata-rata Log CFU/g produk
3,36
Keterangan: = negatif saat isolasi
77
Lampiran 10. Angka lempeng total pada ayam balado Angka Lempeng Total Sampel
CFU/g produk
log CFU/g produk
<2.5E+03 (7,5E+02)
<3,4 (2,88)
6,9E+03
3,84
1,0E+05
5,02
Ayam balado 4
1,0E+05
5,01
Ayam balado 5
1,4E+05
5,14
Ayam balado 1
Ayam balado 2
Ayam balado 3
Rata-rata Log CFU/g produk
4,26
78
Lampiran 11. Staphylococcus sp. dan Staphylococcus aureus pada ayam balado Staphylococcus sp. Sampel
Rata-rata Log CFU/g produk
Staphylococcus aureus Rata-rata CFU/g log CFU/g Log CFU/g produk produk produk
CFU/g produk
log CFU/g produk
Ayam balado 1
<1.0E+01 (0,0E+01)
<1,00 (0,00)
<2.0E+02 (1,0E+01)
<2,30 (1.00)
Ayam balado 2
>2.0E+03 (6,1E+03)
>3,30 (3,79)
<1.0E+01 (0,0E+01)
<1,00 (0.00)
Ayam balado 3
4,2E+03
3,62
4,3E+02
2,63
Ayam balado 4
3,0E+03
3,48
8,7E+02
2,94
Ayam balado 5
2,2E+03
3,34
7,3E+02
2,86
3,49
2,36
Keterangan: = negatif setelah uji konfirmasi
79
Lampiran 12. Uji kualitatif Staphylococcus sp., dan Staphylococcus aureus pada tangan, mulut dan hidung pengolah pangan
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Sampel A B C D E F G H I J K L M N O P Q R
Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Staphylococcus sp. Mulut dan Tangan Hidung + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + -
Staphylococcus aureus Mulut dan Tangan Hidung + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + -
80
Lampiran 12 (lanjutan). Uji kualitatif Staphylococcus sp., dan Staphylococcus aureus pada tangan, mulut dan hidung pengolah pangan
No.
Sampel
Ulangan
37 1 S 38 2 39 1 T 40 2 Jumlah sampel positif
Staphylococcus sp. Mulut dan Tangan Hidung 13 6
Staphylococcus aureus Mulut dan Tangan Hidung + + + + + 18 9
Keterangan :
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T
= negatif setelah uji konfirmasi Warung Nasi Febi Soto Bateng Yunani Selera Indra Jaya S RM. X RM Jogja Warteg Bara Oon Kantin Ayu Opor Fateta Warung Padang Fateta Warung Tegal Fateta Soto PAU Kantin Fateta Ayam Goreng PAU Ayam Goreng Fateta Fateta Soto Fateta Warteg PAU
81
Lampiran 13. Uji kualitatif Staphylococcus sp., dan Staphylococcus aureus pada tangan, mulut dan hidung konsumen
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Staphylococcus sp. Mulut dan Tangan Hidung + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + -
Staphylococcus aureus Mulut dan Tangan Hidung + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + -
82
Lampiran 13 (lanjutan). Uji kualitatif Staphylococcus sp., dan Staphylococcus aureus pada tangan, mulut dan hidung konsumen
No.
Sampel
Ulangan
37 1 19 38 2 39 1 20 40 2 Jumlah sampel positif
Staphylococcus sp. Mulut dan Tangan Hidung 9 3
Staphylococcus aureus Mulut dan Tangan Hidung + + + + + 18 3
Keterangan :
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
= negatif setelah di uji lanjut Nisa Ike Dani Lidya Ari Teti Fafa Akhis Ayu Manik Tika Henny Sadek Arum Hamka Tatang Tsani Febi Eri Bernand
83
Lampiran 14. Hasil uji konfirmasi Staphylococcus aureus Sampel Ayam goreng 1 Ayam goreng 2 Ayam goreng 3 Ayam goreng 4 Ayam goreng 5 Ayam kecap 1 Ayam kecap 2 Ayam kecap 3 Ayam kecap 5 Ayam opor 1 Ayam opor 2 Ayam opor 4 Ayam opor 5 Ayam balado 2 Ayam balado 3 Ayam balado 4 Ayam balado 5 Tangan A Tangan C Tangan D Tangan E Tangan F Tangan G Tangan H Tangan I Tangan J Tangan K Tangan L Tangan M Tangan N Tangan O Tangan P Tangan Q Tangan R Tangan S Tangan T Mulut A Mulut B Mulut C Mulut E
Gram + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
MSA + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + ± (sedikit)
STK + + + ± (sedikit) + + + ± (++) ± (sedikit) ± (sedikit) ± (++) ± (++) ± (++) ± (++) ± (++) + + ± (sedikit) + ± (sedikit) + + + + + ± (sedikit) + + + ± (++) + ± (sedikit) ± (++) ± (++) ± (sedikit) ± (sedikit) + ± (sedikit)
H2O2 + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
Kesimpulan + + + ± + + + ± ± ± ± ± ± ± ± + + ± + ± + + + + + + + + + + + + + + ± ± + ±
84
Lampiran 14 (lanjutan). Hasil uji konfirmasi Staphylococcus aureus Sampel Mulut L Mulut N Mulut P Mulut Q Mulut R Mulut T Tangan 1 Tangan 2 Tangan 3 Tangan 4 Tangan 5 Tangan 6 Tangan 7 Tangan 8 Tangan 9 Tangan 10 Tangan 11 Tangan 12 Tangan 13 Tangan 14 Tangan 15 Tangan 16 Tangan 17 Tangan 18 Tangan 19 Tangan 20 Mulut 1 Mulut 2 Mulut 8 Mulut 10 Mulut 15 Mulut 19 Mulut 20 Simulasi 1 Simulasi 2 Simulasi 3 Simulasi 4 Simulasi 5 Simulasi 6 Simulasi 7
Gram + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
MSA + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + ± (sedikit) + + + + + + + + + +
STK ± (sedikit) + + + ± (++) + + + ± (++) ± (++) + ± (++) + ± (++) ± (++) ± (sedikit) + + + ± (++) + + + + + + + + + + + +
H2O2 + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
Kesimpulan + + + + + ± + + + ± ± + ± + + + + + + + + + + ± + + + + + + + + +
85
Lampiran 14 (lanjutan). Hasil uji konfirmasi Staphylococcus aureus Sampel Simulasi 8 Simulasi 9 Simulasi 10 Udara 3
Keterangan:
Gram + + + +
Gram MSA STK H2O2
MSA ± (sedikit) + +
STK + -
H2O2 + + + +
Kesimpulan + -
: Pewarnaan Gram : Fermentasi Manitol : Koagulase : Katalase
86
Lampiran 15. Hasil uji konfirmasi Staphylococcus aureus dengan API® Staph Sampel Ayam goreng 1 Ayam goreng 5 Ayam opor 2 Ayam opor 5 Ayam kecap 1 Ayam kecap 2 Ayam balado 3 Ayam balado 4 Ayam balado 5 Tangan D Tangan M Tangan O Tangan Q Tangan S Tangan 11 Tangan 15 Tangan 17 Tangan 19 Mulut N Mulut 20 Sim 4
Kesimpulan Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus Staphylococcus xylosus Staphylococcus xylosus Staphylococcus xylosus Kocuria varians/rosea Staphylococcus xylosus Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus Staphylococcus xylosus Staphylococcus xylosus Staphylococcus aureus Staphylococcus xylosus Staphylococcus lentus Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus Staphylococcus xylosus Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus
% Ketepatan
Keterangan
97,8
-
97,8
-
99,8
-
99,8
Lac 85%, Mel 9%, Nit 82%, Xyl 82%
99,8
-
66,0
Mne 8%, Nit 75%, Lstr 95%
99,8 73,7 54,4
Lac 85%, Mel 9%, Nit 82%, Xyl 82% Nit 83%, Adh 80%, Coagulase + Lac 88%, Nit 83%, Adh 80%, Coagulase +
70,1
Nit 82%, Xyl 82%
99,4
Mel 9%, Xyl 82%, Sac 82%, Mdg 10%
77,7
Adh 80%, Coagulase +
94,7
Mel 9%, Raf 11%, Xyl 82%
53,7
Pal 21%, Ure 1%
77,7
Adh 80%, Coagulase +
97,8
-
97,8
-
97,1 64,7
Mel 9%, Nit 82%, Raf 11%, Nag 82% Lac 85%, Adh 80%, Coagulase +
90,0
Man 80%, Ure 80%
97,8
-
87
Lampiran 15 (Lanjutan). Hasil uji konfirmasi Staphylococcus aureus dengan API® Staph Sampel Ayam olahan siap saji Tangan manusia Mulut-hidung manusia Keterangan:
N
Positif BAM (2001)
n
Positif API® Staph
% Positif S. aureus
20
16
9
4
35,56
40
36
9
4
40,00
41
13
3
3
31,71
N = Jumlah sampel n = Jumlah sampel yang dianalisis dengan API® Staph
Cara Perhitungan: % *+,-.-/ 0. 1231,
*+,-.-/ 4*5 *+,-.-/ 748 100% 6
88
Lampiran 16. Angka lempeng total, Staphylococcus sp. dan Staphylococcus aureus di udara dalam ruang simulasi setelah ruang distrerilisasi Angka Lempeng Total koloni/100 cm2 log kol/100 cm2 jam jam
Sampel
Staphylococcus sp. koloni/100 cm2 log kol/100 cm2 jam jam
Staphylococcus aureus koloni/100 cm2 log kol/100 cm2 jam jam
Udara 1
7,9E+00
0,90
0,0E+00
0,00
0,0E+00
0,00
Udara 2
6,3E+00
0,80
0,0E+00
0,00
0,0E+00
0,00
Udara 3
3,1E+00
0,50
0,0E+00
0,00
0,0E+00
0,00
Udara 4
6,3E+00
0,80
0,0E+00
0,00
0,0E+00
0,00
Rata-rata
0.75
0.00
0.00
Keterangan: = negatif setelah uji konfirmasi
89
Lampiran 17. Simulasi rekontaminasi S. aureus metode penyemprotan dengan densitas awal 1 log cfu/m3 Angka Lempeng Total CFU/100 cm2 log CFU/100 jam cm2 jam
Sampel
CFU/100 cm2 jam
Staphylococcus aureus log CFU/100 CFU awal/m3 cm2 jam
log CFU awal/m3
%tranfer
Simulasi 1
6,3E+00
0,80
4,7E+00
0,67
2,2E+01
1,34
21,45
Simulasi 2
1,6E+01
1,20
3,2E+00
0,50
2,1E+01
1,32
14,98
Simulasi 3
7,9E+00
0,90
3,2E+00
0,50
1,9E+01
1,28
16,56
Simulasi 4
9,4E+00
0,97
0,00E+00
0,00
1,6E+01
1,20
0,00
Simulasi 5
2,4E+01
1,37
4,7E+00
0,67
3,2E+01
1,51
14,74
Simulasi 6
6,3E+00
0,80
3,2E+00
0,50
2,2E+01
1,34
14,30
Simulasi 7
1,6E+01
1,20
1,6E+00
0,20
2,1E+01
1,32
7,49
Simulasi 8
6,3E+00
0,80
0,0E+00
0,00
1,9E+01
1,28
0,00
Simulasi 9
6,3E+00
0,80
1,6E+00
0,20
1,6E+01
1,20
9,83
Simulasi 10
1,9E+01
1,28
4,7E+00
0,67
3,2E+01
1,51
14,74
1,33
11,41
Rata-rata
1,01
0,39
90
Lampiran 18. Simulasi rekontaminasi S. aureus metode penyemprotan dengan densitas awal 5 log cfu/m3 Angka Lempeng Total CFU/100 cm2 log CFU/100 jam cm2 jam
Sampel
CFU/100 cm2 jam
Staphylococcus aureus log CFU/100 CFU awal/m3 cm2 jam
Simulasi 1
1,2E+02
2,09
2,5E+01
1,40
3,2E+05
Simulasi 2
1,3E+02
2,11
8,2E+01
1,91
3,2E+05
Simulasi 3
4,4E+01
1,64
2,2E+01
1,34
2,2E+05
Simulasi 4
1,4E+01
1,15
3,2E+00
0,50
2,1E+05
Simulasi 5
1,7E+01
1,24
1,4E+01
1,15
1,9E+05
Simulasi 6
1,7E+01
1,24
6,3E+00
0,80
1,6E+05
Simulasi 7
3,8E+01
1,58
2,5E+01
1,40
3,2E+05
Simulasi 8
1,9E+01
1,28
1,6E+01
1,20
2,2E+05
Simulasi 9
3,2E+01
1,50
0,0E+00
0,00
2,1E+05
Simulasi 10
2,5E+01
1,40
3,2E+00
0,50
1,6E+05
Rata-rata
1,52
1,02
log CFU awal/m3 5,51
%tranfer 0,008
5,51
0,026
5,34
0,010
5,32
0,001
5,28
0,007
5,20
0,004
5,51
0,008
5,34
0,007
5,32
0,000
5,20
0,002
5,35
0,007
91
Lampiran 19. Simulasi rekontaminasi S. aureus metode penyemprotan dengan densitas awal 8 log cfu/m3 Angka Lempeng Total CFU/100 cm2 log CFU/100 jam cm2 jam
Sampel
CFU/100 cm2 jam
Staphylococcus aureus log CFU/100 CFU awal/m3 cm2 jam
log CFU awal/m3
%tranfer
Simulasi 1
2,5E+04
4,40
2,7E+04
4,44
3,2E+08
8,51
0,009
Simulasi 2
8,7E+03
3,94
1,0E+04
3,00
2,2E+08
8,34
0,005
Simulasi 3
2,2E+04
4,35
2,3E+04
4,36
2,1E+08
8,32
0,011
Simulasi 4
1,7E+04
4,23
1,3E+04
4,12
1,9E+08
8,28
0,007
Simulasi 5
3,4E+03
3,52
3,9E+03
3,59
1,6E+08
8,20
0,002
Simulasi 6
2,7E+04
4,43
2,1E+04
4,32
3,2E+08
8,51
0,006
Simulasi 7
1,3E+04
4,10
1,6E+04
4,19
2,2E+08
8,34
0,007
Simulasi 8
1,8E+04
4,26
1,8E+04
4,24
2,1E+08
8,32
0,008
Simulasi 9
1,7E+04
4,24
1,7E+04
4,24
1,9E+08
8,28
0,009
Simulasi 10
7,8E+03
3,89
1,0E+04
4,01
1,6E+08
8,20
0,006
8,33
0,007
Rata-rata
4,14
4,05
92
Lampiran 20. Simulasi rekontaminasi S. aureus dengan metode berbicara Sampel
Angka Lempeng Total koloni/100 cm2 log kol/100 cm2 jam jam
Staphylococcus sp. koloni/100 cm2 log kol/100 cm2 jam jam
Staphylococcus aureus koloni/100 cm2 log kol/100 cm2 jam jam
Simulasi 1
6,6E+01
1,82
0,0E+00
0,00
3,1E+00
0,50
Simulasi 2
4,2E+01
1,63
1,6E+00
0,20
9,4E+00
0,97
Simulasi 3
6,4E+01
1,81
0,0E+00
0,00
1,1E+01
1,04
Simulasi 4
5,2E+01
1,72
0,0E+00
0,00
2,8E+01
1,45
Simulasi 5
7,9E+01
1,90
0,0E+00
0,00
4,4E+01
1,64
Simulasi 6
2,2E+02
2,34
3,1E+00
0,50
3,6E+01
1,56
Simulasi 7
6,1E+01
1,79
0,0E+00
0,00
7,9E+00
0,90
Simulasi 8
4,2E+01
1,63
3,1E+00
0,50
0,0E+00
0,00
Simulasi 9
4,2E+01
1,63
0,0E+00
0,00
4,7E+00
0,67
93
Lampiran 20 (lanjutan). Simulasi rekontaminasi S. aureus dengan metode berbicara Angka Lempeng Total koloni/100 cm2 log kol/100 cm2 jam jam
Sampel Simulasi 10
4,9E+01 Rata-rata
1,69 1,80
Staphylococcus sp. koloni/100 cm2 log kol/100 cm2 jam jam 3,1E+00
0,50 0,17
Staphylococcus aureus koloni/100 cm2 log kol/100 jam cm2 jam 0,0E+00
0,00 0,87
Keterangan: = negatif setelah diuji lanjut
94