DICETAK DI ATAS KERTAS DAUR ULANG
1
INTRODUKSI
CBFM & PERAN RAKY AT DALAM RAKYA PENGELOLAAN SUMBER DA YA DAY HUT AN HUTAN LAP. UTAMA
CBFM DI PROP PROP.. JAMBI, ANT ARA ANTARA PELUANG & ANCAMAN
NO : 7 / JULI 2004
AKTUAL
PT PT.. DIKAPURA KENCANA ANCAM KELEST ARIAN KELESTARIAN BUKIT 12 MATA HATI
AKU DAN ORANG RIMBA
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
2
Dari Redaksi Susunan Redaksi Penanggung Jawab Rudi Syaf Editor Musfarayani Pelaksana Tim KKI WARSI Distribusi Aswandi
H
arap-harap cemas. Begitulah ketika mencermati lima pasang Calon Presiden/ Calon Wakil Presiden yang bakal menjadi pemimpin di negeri ini. Siapa di antara mereka yang sesungguhnya concern terhadap isu ‘perampokan’ hutan, illegal logging, dan sejenisnya di tengah sejumlah isu lainnya yang juga menunggu pembenahan cepat? Mungkin kita masih ingat ‘cerita’ adanya seorang Presiden yang mengaku tahu persis keberadaan jaringan perampok hutan di negerinya- dimana gelondongan kayu besarbisa selonong boy (lolos begitu saja-red), dan pelakunya bisa bebas hilir mudik di depan hidungnya. Waktu itu Sang Presiden berkata, “Saya tahu persis jalurnya sampai ke tingkat pusat sekalipun. Kalau mereka saya tangkap semua karena penyelundupan, saya juga bingung sendiri, sebab yang ditangkap adalah aparat sendiri.” Anda mungkin lebih bingung, “Kok bisa yah Presiden kebingungan begitu padahal dia sudah tahu pelakunya.” Karena itu berharaplah agar Presiden yang terpilih kelak adalah Presiden yang ‘tidak bingung’ seperti dalam cerita tersebut, tapi seorang Presiden yang tahu yang hak itu hak dan yang bathil adalah bathil. Dan dia tidak pernah ragu (apalagi bingung) untuk menegakkannya. Terlebih jika kebathilan itu dilakukan oleh aparatnya sendiri.
Foto Cover: Aulia Erlangga / KKI WARSI Alam Sumatera adalah Buletin Intern yang dikelola oleh Komunitas Konservasi Indonesia WARSI Alamat : Jl. Kapten M. Daud no. 48 (Lorong Nangka Bhakti) RT 04 / RW 02, Kel. Payo Lebar Jambi 36135 PO BOX 117 Jbi Tel : (0741) 61927 Fax : (0741) 61859 E-mail :
[email protected] http:\\www.warsi.or.id desain dan cetak : Kejora, photo&graphics
[email protected]
Jika dikaitkan dengan Pemilu maka edisi Alam Sumatera yang anda pegang sekarang ini, tidak ada kaitannya sama sekali dengan pembahasan visi dan misi Capres/Cawapres. Tapi gambaran betapa buruknya komitmen aparat/instansi terkait terhadap isu-isu konservasi semacam ini -seperti dalam cerita itu - sesungguhnya memang benar nyata. Pada sejumlah artikel di buletin ini anda bisa melihat kenyataan itu dari sejumlah kasus yang tersaji dalam rubrik aktual dan Laput. Ketika aparat menutup mata dengan kegiatan pebalok dan perambah ilegal atas hutan adat Desa Batu Kerbau, para perempuan Batu Kerbau tanpa bingung, dengan tegas langsung mengambil tindakan yang nyata dalam mencegah “perampokan” tersebut. Di TNBD, kendati sudah ditemukan tumpukkan kayu illegal, sejumlah kendaraan berat penunjang pembalokan, tapi aparat/instansi terkait masih terlihat “enggan” untuk menindak tegas para pelakunya hingga tuntas. Edisi ini juga memperkenalkan bagaimana menggerakkan masyarakat dalam mengelola hutan di wilayahnya dengan nilai-nilai kearifan adat dan budaya yang baik, ditunjang dengan sejumlah kasus menarik lainnya dalam rubrik Laput, aktual dan box. Anda juga dibawa oleh pengalaman kawan kami menjadi Seorang Rimba di rubrik Mata Hati dan rubrik Spotlights yang menampilkan wajah-wajah ceria anak Rimba, sehingga anda tidak perlu berkerut dahi lagi dalam membaca. Kembali pada pemilihan Capres/Cawapres nanti, mudah-mudahan anda sudah memilih pemimpin yang tepat. Jika pun tidak memilih, tak apa. Semoga Tuhan menyelamatkan bangsa kita. Salam Rimba!
KONSEP 3
Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan
L
ebih dari 30 tahun ini sumber daya hutan kita masih dipandang hanya sebagai salah satu aset yang sengaja dieksploitasi untuk membiayai pembangunan. Dampaknya muncullah berbagai persoalan yang berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sumber daya hutan kita sendiri. Disadari atau tidak, sesungguhnya gaya pengelolaan hutan secara masif, seragam, sentralistik, nonpartisipasi rakyat, padat modal dan monopolistik seperti itu masih terjadi hingga kini. Padahal pengelolaan hutan seperti ini selain boros sumber daya, juga penuh dengan konflik serta tidak berkontribusi besar terhadap pendapatan negara dan masyarakat. Bahkan dampak secara langsung adalah hilangnya akses masyarakat adat dan lokal yang telah berabad lamanya tergantung dari hutan. Lebih parah dari itu mereka harus tersingkir dari hutan yang merupakan bagian terpenting dari kehidupan mereka. Pada masa pemerintahan Orde Baru secara sengaja memang telah mempersempit terminologi negara menjadi semata-mata sebagai pemerintah saja, bukan sebagai pemerintah dan rakyat. Konsekuensinya posisi rakyat menjadi tidak sejajar dengan pemerintah di dalam pengelolaan hutan, sehingga muncul asumsi pembangunan bahwa rakyat inferior dan pemerintah superior. Dalam pengelolaan hutan pemerintah ditempatkan sebagai sentral pembangunan kehutanan. Akhirnya menjadi suatu kewajaran apabila legenda yang muncul selama itu adalah pemerintah sebagai penguasa, pengusaha dan pengaman sumber daya hutan. Paradigma pengelolaan seperti ini, yang hanya mengedepankan posisi pemerintah tanpa dibarengi peningkatan peran serta rakyat di dalam pengelolaan dan kontrol atas sumber daya hutan pasti akan melahirkan berbagai peraturan kebijakan pembangunan kehutanan yang represif, kaku, sentralistik dan tidak akomodatif. Akibatnya muncullah konflik diberbagai wilayah akibat tersingkirnya hak-hak rakyat atas pengelolaan sumber daya hutan. Perubahan budaya yang mendadak dari hubungan yang erat antara masyarakat dengan hutan yang bagaikan Ibu dan anak kemudian berubah menjadi hubungan majikan dan buruh akibat bermunculannya hak konsesi pertambangan,
perkebunan besar swasta, HPH dan HTI yang justu semakin memporak-porandakan bentuk-bentuk pengelolaan tradisional mereka. Sebagai reaksi atas masih berlangsungnya penggunaan paradigma lama di dalam pengelolaan sumber daya hutan, sudah waktunya dibangun wacana dan paradigma baru yang lebih berorientasi pada kesejahteraan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan juga ekologinya. Negara harus melibatkan dan memasukan dimensi masyarakat lokal ke dalam kebijakan pengelolaan sumber daya hutan. Gagasan yang strategis ini tentu saja harus didukung dengan fakta-fakta lapangan, bahwa pengelolaan dan pengusahaan hutan yang tidak memberi akses, mengakomodasi dan melibatkan partisipasi rakyat terbukti tidak efektif dan efisisen. Serta membuktikan kalau komunitas-komunitas lokal memiliki kearifan tradisional yang bernuansa ekonomis, ekologis dan mampu menyelenggarakan pengelolaan sumber daya hutan secara lestari. Implementasi model pengelolaan yang berbasiskan rakyat menuntut perubahan-perubahan yang tidak hanya pada tatanan peraturan perundang-undangan, struktur kelembagaan, administrasi dan prosedur, tetapi juga perubahan metode, strategi, teknik-teknik partisipatif, termasuk perubahan sikap dan perilaku aktor-aktor yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya hutan. (Rakhmat Hidayat, Deputi Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi).
AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
4
INTRODUKSI
CBFM dan Peran Rakyat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan
P
ada awal tahun 90-an inisiatif pengelolaan hutan yang mengedepankan peran serta rakyat mulai digagas dan dibangun oleh beberapa Organisasi non pemerintah (Ornop) di Indonesia. Ini didasari atas keprihatinan terhadap pengelolaan hutan secara nasional yang belum menjamin kelestarian hutan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Sejak itu, secara aktif mulailah dipromosikan praktek-praktek pengelolaan hutan yang bertumpu pada pengetahuan masyarakat lokal atau adat. Istilah ini kemudian dikenal dengan Community base forest management (CBFM sistem hutan kerakyatan), yaitu sistem atau budaya pengelolaan sumber daya alam hutan dengan ciri utama kehutanan yang dikembangkan oleh masyarakat di lingkungannya bagi kesejahteraan mereka sendiri. Ada kata kunci yang khas dari inisiatif ini dibandingkan dengan istilah-istilah sejenis yang mengabaikan kelestarian lingkungan serta hak-hak rakyat (masyarakat lokal/adat) untuk memiliki, menguasai dan mengelola hutan. Kata kunci konsep ini adalah sistem pengelolaan sumber daya alam hutan. Sistem hutan merupakan gambaran bahwa hutan bukan sekedar tegakan pohon melainkan suatu sistem pengelolaan kawasan wilayah hukum adat yang elemennya terdiri dari hutan alam, hutan sekunder, sungai, danau, ladang, kebun, pemukiman, tanah keramat dan lainnya, tergantung komunitas dan sistem ekologinya. Sistem hutan berfungsi sebagai penopang kehidupan dan sumber-sumber pengembangan kebudayaan setempat yang akan memberikan syarat bagi berlangsungnya kehidupan. Misalnya sebagai penyedia air, menjaga kesuburan tanah, penyedia bahan makanan, papan, sandang, obat-obatan hingga religi. Sedangkan sebagai sumber budaya masyarakat lebih pada pengembangan pengetahuan, nilai-nilai, norma-norma kepercayaan dengan mengelola bidang-bidang hutan menjadi kebun hutan. Sehingga model pengelolaan di setiap lokasi ada kekhasan tersendiri. Hutan juga dianggap sebagai suatu kesatuan sistem seperti sungai, pekarangan, ladang, kebun, sesap, hutan sekunder, hutan adat dan lainnya.
AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
5
Kendati demikian, pengelolaan sumber daya hutan menjadi karakter dasar yang membedakan CBFM dari pola-pola pengelolaan sumber daya alam lainnya seperti yang bercirikan kelautan, misalnya. Sedangkan yang dikembangkan oleh masyarakat memberikan pengertian bahwa CBFM telah digali atau sekurangkurangnya telah diadaptasi oleh masyarakat di lingkungan hidupnya. Pola ini tidak harus asli dan introduktif, namun jelas bahwa masyarakat terlibat aktif di dalam pengelolaannnya. Sedangkan kemasyarakatan (community based) mencakup pengertian bahwa pola pengelolaan berakar pada masyarakat yang bersendikan adat istiadat ataupun norma-norma yang berlaku di masyarakat. Artinya penguasaan lahan, distribusi, pemanfaatan dan pengusahaannya tidak pernah terlepas dari adat dan kebiasaan setempat, bahkan dikontrol oleh pranata sosial dan budaya lokal. Istilah kunci lainnya adalah dikelola untuk kesejahteraan masyarakat. Maksudnya adalah pola ini bukan semata dikelola untuk tujuan ekonomi belaka, tetapi juga mencakup upaya pemenuhan kebutuhankebutuhan hidup yang lain seperti sosial, politik, budaya hingga religi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kenyataannya sistem ini tidak pernah dikembangkan untuk kepentingan ekonomi kapitalistik semata, akan tetapi lebih untuk menyandang fungsi sosial budaya di dalamnya. Ada
keyakinan bahwa inisiatif pengelolaan hutan yang bertumpu pada komunitas lokal akan mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan demokratis. Apalagi karakteristik CBFM jelas menempatkan masyarakat setempat yang menjadi aktor utama dalam pengelolaan hutan di wilayahnya baik dalam pembentukan lembaga pengelolaan, sosial kontrol hingga pelaksanaannya. Apalagi jika ditunjang dengan wilayah/terotori yang jelas dan memiliki kepastian hukum yang mendukungya dengan nilai-nilai kearifan yang ada dalam hukum adat dan hukum negara yang memperkuatnya. Penyertaan pengetahuan lokal juga penting dalam melandasi kebijakan dan tradisi CBFM, di sisi lain pengetahuan modern dapat memperkaya dan mengembangkan CBFM setelah melalui proses penyesuaian dengan situasi dan kondisi lokal dalam batas-batas yang dikuasai oleh masyarakat. Dalam sistem CBFM masalah skala produksi juga tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip-prinsip kelestarian dengan sistem ekonomi yang didasarkan atas kesejahteraan bersama. Harus diakui bahwa pola pengelolaan hutan yang telah dikembangkan oleh masyarakat dengan menggunakan karakteristik CBFM tadi telah teruji berdasarkan pengetahuan dan pengalaman mereka yang telah dilaksanakan sejak dahulu. Pola ini juga telah berhasil mensejahterakan masyarakat yang hidup di sekitar
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
INTRODUKSI
maupun di dalam hutan. Dari generasi ke generasi pola ini harusnya terus dikembangkan serta diadaptasikan dengan kondisi lokal dan memberikan berbagai manfaat ekologis, ekonomis, sosial maupun budaya. Kearifan Tradisional Bagi masyarakat di sekitar dan dalam hutan di Sumatera Bagian Selatan (Jambi, Bengkulu, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan), misalnya, sumber daya hutan merupakan faktor terpenting. Hutan dinilai mempunyai makna sosial, politik, budaya dan religius. Bagi mereka hubungan sinergis ini bukan hal yang baru, karena sejak dulu telah hidup berdampingan dengan hutan secara harmonis. Dari hubungan ini terciptalah suatu kearifan tradisional yang saling menguntungkan. Kearifan ini telah berakar, tumbuh dan berkembang serta dapat dibuktikan keberadaannya hingga kini. Konsep parak di Sumatera Barat, talang di Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan, hompongan yang dilakukan Orang Rimba, hutan adat, hutan lindung desa, lubuk dan lebung larangan merupakan bentuk konkritnya. Sebagai contoh di Desa Batu Kerbau, Guguk, Koto Malintang, masyarakat dengan kearifan tradisionalnya mampu mengelola sumber daya alam hutannya.
Masyarakat sendiri meyakini fungsi hutan sebagai sumber kekayaan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati, melindungi tanah dan air, menghasilkan produk hutan non kayu seperti getah, rotan, damar, buahbuahan, tanaman obat-obatan, madu, kayu bangunan, protein hewani, sumber mata air, dan mengatur iklim. Bagi mereka, hutan merupakan bagian dari kehidupan dan hutan bagaikan ibu yang menghidupi mereka. Untuk itu masyarakat yang telah turun temurun hidup disekitar dan di dalam hutan harus diberi kesempatan untuk membuktikan kemampuannya dalam mengelola sumberdaya alam agar berdampak nyata terhadap kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan. Apabila kesemuanya diaktualisasikan dengan kebijakan yang mengedepankan posisi masyarakat dan mengadopsi kearifan-kearifan tradisional yang ada maka partisipasi di sekitar dan di dalam hutan akan muncul dengan sendirinya. Otomatis masyarakat akan melibatkan diri dalam pengelolaan, pengawasan dan perlindungan sumber daya hutan, sehingga mereka dapat merasakan manfaat secara ekonomi dan ekologi dari sistim pengelolaan tersebut secara langsung. Selain itu juga demokratisasi dan penghormatan HAM di dalam pengelolan sumber daya hutan dan alam bukan hanya sebagai macan kertas dan pemanis mulut belaka lagi. (Rakhmat Hidayat, Deputi Direktur Komunitas Konservasi Indonesia KKI- Warsi).
LAPORAN UTAMA
Mempertegas Otonomi Komunitas Dalam Pengelolaan Hutan
T
arik-menarik kewenangan antara pusat dan daerah menjadi fenomena yang mengiringi proses Otonomi Daerah (Otoda), terutama kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal ini disebabkan karena adanya pemaknaan yang keliru dari Otoda. Otoda cenderung dimaknai sebatas kemampuan untuk menggali PAD (Pendapatan Asli Daerah) dengan mengeksploitasi segala potensi yang ada di daerah. Kepala daerah malah dianggap sukses menjalankan Otoda bilamana mampu mendongkrak PAD. Kewenangan komunitas (desa/nagari) sebagai konsekuensi logis dari otonomi yang dimiliki menjadi tenggelam di tengah perebutan kewenangan pusat dan daerah. Walaupun Undang-undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) menyebutkan kewenangann komunitas secara eksplisit, namun ia hanya diakui sebagai kewenangan sisa saja dan sangat ditentukan oleh kabupaten.
Melalui gerakan CBFM (Community Based Forest Management), telah dilakukan advokasi untuk menarik sebagian kewenangan yang ada di daerah dan pusat ke wilayah komunitas. Kewenangan tersebut menyangkut pengelolaan sumber daya alam hutan yang selama ini tersentralistik pada negara, sementara komunitas hanya dapat bencana dan tetap miskin. Kecenderungan Otoda dengan orientasi PAD seperti inilah dikhawatirkan akan semakin memperparah kondisi komunitas karena sumber daya hutan yang berada di wilayah mereka saban hari dijarahi untuk kepentingan PAD. Maka hendaknya penarikan kewenangan ini dilakukan dengan mendorong proses-proses pengukuhan dan penghormatan kawasan kelola rakyat dan kearifannya (teknologi lokal) dalam mengelola sumber daya hutan. Upaya pengakuan dan penghormatan tersebut telah dilakukan di Hutan Adat Desa Guguk, Imbo Desa Batang Kibul di Kabupaten Merangin dan Hutan Adat/ Hutan Lindung Desa Batu Kerbau Kabupaten
LAPORAN UTAMA 8 Bungo Jambi. Parak di Jorong Koto Malintang Nagari II Koto Kabupaten Agam Sumatera Barat, dan Petalangan, Hutan Adat Sarang Macan, Hutan Lindung Tik Gelung dan Semiep di Desa Ladang Palembang Kabupaten Lebong Bengkulu. Di tempattempat tersebut pengelolaan hutan sudah didasarkan pada kearifan-kearifan lokal dan adat-istiadat yang mereka anut secara turun temurun dan telah melembaga dalam kehidupan mereka. Di desa Ladang Palembang, Batu Kerbau, Desa Batang Kibul dan Desa Guguk misalnya, dikenal petuah adat “kaaiek babungo pasie, kadarek babungo kayu” (ke air berbunga pasir, ke darat berbunga kayu-red). Maksud dari petuah adat ini sebenarnya merupakan sebuah norma agar pemanfaatan hutan hanya untuk mengambil hasil hutan non kayu seperti ikan, rotan, manau, buah-buahan, tanaman obat, madu dan sebagainya dengan tidak merusak pohonnya. Kalaupun ada pemanfaatan kayu itu pun didasarkan untuk pembangunan sarana umum seperti mesjid, kantor desa dan madrasah.
Menyikapi Otonomi Komunitas Upaya pengakuan dan penghormatan kawasan kelola rakyat melalui gerakan CBFM yang dikampanyekan dan dikomunikasikan KKI-Warsi bersama masyarakat telah memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Sebut saja dikukuhkannya Hutan Adat dan Hutan Lindung Desa Batu Kerbau seluas ± 2.000 hektar melalui Keputusan Bupati Bungo Nomor 1249 tahun 2002, dan Hutan Adat Desa Guguk seluas ± 690 hektar dengan Keputusan Bupati Merangin Nomor 287 tahun 2003. Sementara untuk kawasan-kawasan Salah satu panen yang dihasilkan dari Danau Maninjau, di Koto Malintang berupa pensi (kerang kecil).
Di tempat lain, dijadikannya Parak Koto Malintang Nagari II Koto dengan sistem kebun campurnya sebagai model atau konsep alternatif dalam pengelolaan hutan oleh Pemda Agam Sumbar karena terbukti lebih sustainable. Selain itu sistem tersebut menopang masyarakat secara ekonomi menjadi bukti yang lain dari keberhasilan gerakan CBFM ini. Namun untuk dapat pengakuan terhadap pengelolaan kawasan hutan oleh komunitas diperlukan proses panjang. Ini dialami oleh masyarakat Desa Batu Kerbau dan Desa Guguk yang harus berproses hampir 4-5 tahun (1998-2003). Ini disebabkan sulitnya mengubah paradigma pengelolaan hutan berbasiskan negara yang sudah mengakar pada pengambil kebijakan yang didukung oleh produk hukum negara yang tidak populis. Sebagai contoh, PP UU No. 5 tahun 1967 (UU Pokok Kehutanan), secara tegas menyatakan hak masyarakat hukum adat atas hasil hutan dapat dibekukan. Negara melalui peraturan pemerintah mengeluarkan izin AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
Kepentingan untuk mendirikan rumah pribadipun diambil di kawasan hutan adat dengan memenuhi sejumlah syarat, seperti tidak menebang pohon induk, pohon sedang berbunga dan tidak terlalu dekat dengan pinggiran sungai. Kegiatan untuk memperdagangkan kayu untuk tujuan-tujuan memperkaya diri sangat ditentang bahkan dicap sebagai pelanggaran berat dengan sanksi adat yang berat pula seperti memotong kerbau dan cuci kampung. Sejumlah norma tersebut telah mereka tuliskan dan sepakati ke dalam apa yang mereka sebut sebagai Piagam (di Ladang Palembang, Batu Kerbau dan Desa Guguk) atau Undang Adat (di Batang Kibul).
yang lain walaupun tidak ada pengakuan secara yuridis formal namun banyak proyek-proyek kehutanan yang dipadukan dengan kawasan kelola masyarakat tersebut. Misalnya pada proyek Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) dan pengkayaan hutan adat melalui dana reboisasi yang memadukan tanaman kehutanan dan tanaman pertanian.
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
9
ekploitasi hutan kepada pengusaha berupa HPH tanpa memikirkan keberlajutan hutan dan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Sebut saja HPH PT. Alas Kusuma, HPH Mugitriman dan RKI di Kabupaten Bungo, HPH PT. Injapsin Company dan HPH PT. Sarestra di Kabupaten Sarolangun Bangko yang beroperasi dalam rentang waktu (1990-1998), menjadi sejarah yang memilukan bagi masyarakat Desa Batu Kerbau, Batang Kibul dan Desa Guguk. Menurut penuturan masyarakat di desa tersebut, bahkan, buldoser pemegang izin HPH sampai ke belakang rumah mereka untuk mengambil kayu. Lahirnya UU No. 41 tahun 1999, tentang kehutanan tetap menimbulkan dan menggoreskan luka lama karena secara halus eksistensi hutan adat tidak diakui dan dijadikan bagian dari hutan negara, sehingga keberadaan hutan adat sangat ditentukan oleh kekuasaan negara. Ketika HPH mulai “berguguran”, musuh hutan baru muncul ketika kabupaten mulai mengeluarkan izin pemanfaatan kayu atas nama Otoda. Banyaknya IPHH (Industri Primer Hasil Hutan), IPK (Izin Pemanfaatan Kayu) dan sebagainya di Kabupaten Bungo dan Kabupaten Merangin menjadi bukti yang memperkuat tuduhan tersebut. Parahnya di Kabupaten Bungo praktek IPHH ini kadangkala berbatasan langsung dengan kawasan hutan yang dikelola masyarakat,
seperti baru-baru ini terungkap di Desa Batu Kerbau karena adanya penjarahan terhadap Hutan Adat mereka. Disamping menjamurnya illegal logging dan sawmill liar yang dibacking pemodal dan aparat menjadi catatan bagi sederetan kasus keterancaman eksistensi hak kelola masyarakat atas kawasan hutan dengan kearifan yang mereka miliki. Walaupun sudah mendapat pengakuan dari pemerintah atas wilayah kelola hutan mereka dengan memanfaatkan peluang yang diberikan UU. No.22/ 1999, maka desa/nagari dampingan KKI Warsi semakin memperkuat eksistensi mereka dengan membentuk Perdes/Perna yang ditujukan untuk melindungi dan mengatur secara lebih komprehensif pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka. Contoh, di Desa Guguk, pengelolaan kebun kas desa dan hutan adat menjadi pilihan utama. Hal sama dilakukan Desa Ladang Palembang juga memilih pengelolaan hutan adat/hutan lindung dan pengelolaan sumber daya air. Sementara Nagari II Koto mengatur tata cara penggunaan dan pengelolaan lahan. Walaupun Perdes/ Perna bukan satu-satunya instrumen pendukung otonomi komunitas, namun ia menjadi kebutuhan yang tidak dapat dinomorduakan. (Edra Satmaidi, Legal Officer program CBFM KKI-Warsi)
BOX LAPORAN UTAMA
DOK. KKI WARSI
10
Aksi perusakan jembatan akses menuju hutan adat oleh para perempuan Batu Kerbau dan Batang Kibul
Ketika Kesabaran Perempuan Telah Habis
S
iang itu, matahari tengah terik-teriknya. Sekitar 40-an perempuan setengah baya dibantu beberapa pemuda mendatangi sebuah Jembatan Sungai Sengak peninggalan CV Beringin Hijau pemegang izin HPH dari Kabupaten Bungo. Mereka tidak peduli dengan cuaca panas atau rasa letih setelah melakukan perjalanan selama sekitar tiga jam dari Desa Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo. Wajah mereka tegang, marah dan siap melakukan aksi merusak Jembatan Sungai Sengak yang selama ini digunakan para pebalok dan perambah untuk menggerogoti Hutan Adat milik masyarakat Desa Batu Kerbau. Para perempuan itu membawa parang, cangkul, dan bensin. Tidak berapa lama, terbakar hancur dan putus sudah jembatan Sengak yang selama ini menjadi akses pebalok menuju Hutan Adat milik warga desa Batu Kerbau itu. Mendengar adanya aksi heroik yang dilakukan para perempuan desa Batu Kerbau, membuat sekitar 20-an perempuan dari Desa Batang Kibul Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten Merangin, juga mulai berdatangan dan bergabung di lokasi. Mereka tidak hanya ingin menunjukkan rasa solidaritas tetapi juga karena Imbo Pasoko dan Imbo Parabokalo (Hutan Adat dan Hutan Lindung Desa) milik mereka juga terancam oleh perambah dan pelaku penebang kayu
haram itu. Melihat semakin banyaknya para perempuan yang bersatu mempertahankan Hutan Adatnya itu, membuat beberapa pebalok yang kebetulan tengah berada di sana, merasa gentar. Mereka pun akhirnya memilih angkat kaki tidak berani melawan para perempuan dari dua desa yang tengah mengamuk itu. Kami dengar ada aksi ibu-ibu dari perempuan Batu Kerbau untuk melawan pebalok, jadi kami pun langsung ikut dan akan berjuang untuk hutan yang akan kami wariskan kepada anak cucu kami, ungkap salah seorang perempuan yang terlibat dalam aksi itu. Sementara seorang ibu yang mengaku bernama Ernawati mengatakan bahwa dia sudah tidak tahan lagi mendengar raungan chainsaw yang merobek hutan mereka. Rasanya hati ini pedih dan sakit, tandasnya kepada ibu-ibu lainnya di mana Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi juga ada di sana. Jadilah tanggal 28 Maret 2004 tersebut menjadi aksi perempuanperempuan pemberani dari Desa Hulu Sungai Pelepat (Batu Kerbau-red) dan Batang Kibul. Kendati mereka berasal dari Kabupaten yang berbeda, tetapi keprihatinan mereka terhadap kelestarian hutan adatnya patut diacungi dua jempol. Kebetulan desa-desa mereka memang berbatasan langsung dengan Taman
A
Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Tentu saja bagi perambah dan pebalok tidak pernah menyangka akan diamuk para perempuan dari dua desa itu sekaligus. Aksi para perempuan ini ternyata tidak cukup sampai di sana saja. Mereka ingin penyelesaian formal yang aktif dari aparat dalam menangani perampokan atas hutan adat. Karena mereka sadar aksi menghancurkan jembatan itu hanya bisa menghentikan kegiatan perambahan dan pebalok sementara saja. Cepat atau lambat akan ada jembatan baru lagi yang dibangun untuk mengakses hutan mereka lagi.
DOK. KKI WARSI
Karena itu para perempuan dari dua desa itu - khususnya dari Batu Kerbau - bersama masyarakat desa menuntut Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bungo untuk meneruskan upaya yang telah mereka lakukan. Yakni, tidak hanya menutup jalan dan menghancurkan beberapa jembatan lagi yang bisa mengakses hutan adat mereka, tetapi juga meminta Pemkab membentuk tim pengamanan hutan adat dengan serius. Kalau ini tidak dilakukan maka para perempuan dan masyarakat Desa Batu Kerbau yakin hutan adat tersebut akan terus digerogoti oleh pelaku penebangan haram. Jika hal ini yang terjadi maka masyarakat batu kerbau sepakat untuk mengembalikan SK Bupati tentang pengukuhan hutan adat, sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap pemerintah.
Penyerobotan Hutan Adat Desa Batang Kibul dan Batu Kerbau oleh CV. Beringin Hijau. Biarlah kami mengamankan dan menjaga hutan ini menurut cara dan kemampuan kami. Sebab pemerintah hanya melindungi para toke dan cukong kayu. Mereka hanya kampanye ke sana ke sini dan berkata telah mengukuhkan hutan adat. Tetapi sesungguhnya mereka tidak pernah serius menjaga memelihara dan mengelolanya, geram para perempuan itu lagi. Hutan Desa Batu Kerbau memang berhasil dikukuhkan menjadi Hutan Adat oleh SK Bupati Bungo No.1249 tahun 2002. Untuk mendapatkan SK saja, masyarakat harus berjuang sejak tahun
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
1996. Bagi mereka, hutan adat merupakan bagian penting dari jati diri mereka. Mereka menilai bahwa hutan adalah harapan yang akan diwarisi bagi anak cucu mereka kelak. Karena sebelumnya sebagian besar hutan yang mereka miliki sempat dikuras dan dieksploitasi oleh perusahaan HPH yang beroperasi di wilayah mereka hampir 20 tahun, tanpa mereka dapat apa-apa kecuali kerusakan alam. Perjuangan untuk melegitimasi hutan mereka menjadi hutan adat melalui SK Bupati itu jelas sangat berarti bagi masyarakat Desa Batu Kerbau. Maka ketika hutan adat mereka mulai ada yang menjarah lagi, masyarakat di sana dengan berbagai cara berusaha menghentikannya. Berbagai upaya formal dan informal telah dilakukan oleh para tokoh adat, pemerintah desa, pengelola hutan maupun pemuda untuk mencegah terjadinya penebangan Hutan Adat Desa Batu Kerbau. Dari menemui langsung para pelaku, beradu argumen, mendenda secara adat, menyita kayu, hingga nyaris adu fisik. Pendekatan hukum pun dilakukan, misalnya dengan melaporkan kasus penebangan kepada bupati dan Dinas Kehutanan di Kabupaten Bungo. Tapi upaya itu tidak di respon dengan baik. Pada akhir Maret 2004, tidak kurang dari 10 tokoh adat dan pemuda pengurus kelompok pengelola serta pemerintahan desa menemui Kepala Dinas Kehutanan. Tetapi hanya kekecewaan yang diterima oleh mereka. Kepala Dinas Kehutanan hanya melemparkan persoalan tersebut kepada Kasubdin Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) yang tidak mengerti persoalan, karena baru dilantik. Padahal yang diinginkan masyarakat adalah dibentuknya tim terpadu oleh dinas untuk melihat kondisi hutan adat, serta menindak tegas para pelaku. Sepertinya usaha masyarakat Desa Batu Kerbau menemui jalan buntu. Hanya beradu fisiklah yang akan terjadi jika upaya yang dilakukan masyarakat Batu Kerbau terhambat tanpa kejelasan karena masalah birokrasi. Terakhir ini sangat dihindari oleh para tokoh Batu Kerbau. Sebab pelaku penebangan adalah warga dari desa-desa yang suka dilalui oleh masyarakat apabila akan ke kantor kecamatan atau kabupaten. Di tengah kegalauan dan kekecewaan yang tengah dihadapi oleh para tokoh Batu Kerbau tersebut, terjadilah aksi spontan yang dilakukan para perempuan di dua desa pada 28 Maret 2004 lalu itu. Karena sudah habis masa kesabaran mereka terhadap masalah yang selama ini seperti sengaja dibiarkan menggantung oleh aparat dan instansi terkait. Kasus ini seharusnya menjadi perhatian serius aparat atau instansi terkait untuk segera menanganinya. Aspirasi masyarakat yang begitu peduli terhadap kelestarian hutannya hendaknya direspon sebagaimana seharusnya. Jangan sampai masyarakat harus mengatasi masalahnya dengan caranya sendiri yang kelak justru tidak menjadi strategis bagi citra Kabupaten Bungo sendiri, tentunya. (Riya Dharma, Koordinator Daerah Jambi,
program CBFM KKI Warsi).
11
LAPORAN UTAMA 12
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
SumBar, Dilema Otonomi Berkepanjangan
eal penggunaan lain (lihat tabel pemafaatan ruang Provinsi Sumbar-red). Dengan topografi yang berbukitbukit itu jelas menjadikan wilayah Sumbar diperuntukkan bagi kepentingan konservasi. Karena di sana ada hulu-hulu sungai yang mengalir dan berdampak langsung ke wilayah Provinsi Riau dan Jambi.
ndang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang identik dengan Otonomi Daerah (Otoda) merupakan suatu perubahan penting dalam sruktur hukum dan sistem pemerintahan di Indonesia. Bergulirnya reformasi yang berdampak luas pada perbaikan sistem ini merupakan suatu peluang yang harus segera di manfaatkan, walau didalamnya masih terdapat segudang ancaman yang mesti diantisipasi. Desentralisasi yang telah bergaung dimana-mana ini ternyata tidak dapat dikatakan sebagai sebuah perubahan struktural yang sangat mendasar. Hal ini dibuktikan dengan mentalitas birokrat yang masih ingin mempertahankan status quo. Kondisi ini tentunya berdampak langsung terhadap pengelolaan sumber daya alam. Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) sendiri dengan segala potensinya bisa memanfaatkan momentum tersebut.
U
Apalagi Sumbar juga mempunyai dua Taman Nasional yang jadi areal proteksi yakni Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang meliputi tiga kabupaten (Solok, Pesisir Selatan dan Sawah Lunto/Sijunjung) dan Taman Nasional Siberut (TNS) di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Sekarang tengah berkembang pula wacana untuk meningkatkan status beberapa kawasan konservasi (membentang dari Suaka Alam Barisan I, Cagar Alam Lembah Anai, Taman Wisata Alam Mega Mendung sampai dengan Suaka Alam Singgalang Tandikek) untuk dijadikan Taman Nasional Lembah Anai yang meliputi areal seluas 85.182,50 ha.
Secara topografi bentang alam Sumatera sebagian besar berbukit-bukit itu (mencapai 79,72% dari 4.229.730 ha luas total propinsi). Panjang batas luarnya saja Provinsi Sumbar mencapai 7.162 kilometer (km) yang di dalamnya ada batas fungsi kawasan hutan sepanjang 3.436 km. Tentu saja ini termasuk potensi penting bagi sumber daya alam Sumbar. Berkaitan dengan yang terakhir ini perlu dicermati terutama dalam hal penetapan pemanfaatan ruang yang diatur untuk keperluan perlindungan, produksi, konversi serta ar-
Kendati sebagian besar wilayahnya telah dikategorikan sebagai wilayah konservasi namun ancaman terhadap hutan tidaklah berkurang. Bahkan semakin hari persoalan kehutanan menjadi sangat rumit dengan maraknya pembalakan haram di beberapa wilayah kabupaten seperti Pesisir Selatan, Solok dan Sawahlunto/Sijunjung. Kondisi ini tentunya ditunjang dengan beroperasinya sawmill (baik legal maupun illegal) dan tuntutan bahan baku kayu untuk keperluan industri lainnya.
Lihat Tabel Pemanfaatan ruang propinsi Sumatera Barat berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan dan Pemadu Serasian. (bawah) Terancam
AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
13
Panen padi di salah satu wilayah Sumatera Barat.
Penegakan hukum yang lemah menjadi salah satu penyebab berlanjutnya kegiatan ini disamping banyaknya oknum aparat yang terlibat baik secara aktif maupun pasif. Perangkat hukum dan kebijakan yang dibuat ternyata tidak efektif untuk menjerat para mafia kayu ini. Di sisi lain, otonomi daerah banyak diartikan sebagai ajang balas dendam bagi pemerintah daerah untuk meraup pendapatan asli daerah (PAD) yang selama ini tersedot ke Jakarta (pusat). Pembalakan haram sebagai suatu wilayah pengelolaan yang open access memperlihatkan gejala yang semakin memburuk. Bencana alam longsor dan banjir terjadi di Sumbar ditengarai sebagai akibat dari aktifitas ini. Di penghujung tahun 2000 sudah terjadi banjir besar dalam sejarah Sumbar. Tapi Banyaknya kayu di Sumbar yang ditebang, ternyata tidak membantu perkembangan perjalanan industri kayunya. Rata-rata sebelas industri kayu untuk ekspor di daerah ini hanya beroperasi sekitar 50 % saja. Kekurangan bahan baku itu telah menimbulkan kerugian dan pengangguran. Kebutuhan bahan baku untuk industri kayu di daerah ini adalah sekitar 4.000 sampai 5.000 kubik/bulan. Ini mengindikasikan, kayu Sumbar sesungguhnya dijual ke luar daerah. Penjualan kayu ke luar daerah didukung juga dengan harga jual yang lebih mahal. Sumber lain mengatakan bahwa sindikat penjual kayu Sumbar ini telah bergabung dengan sindikat penjual kayu Sumatera yang diekspor ke Malaysia melalui
Tanjung Balai. Di Sumatera Utara (Sumut), kayu-kayu ini dibawa melalui Kiliran Jao, Sijunjung, kemudian melalui Pekan Baru, lalu ke Tanjung Balai. Memang sampai saat ini belum ada angka yang pasti, tentang pencurian kayu tersebut. Tetapi ada pula sumber lain yang menyebutkan sekitar 60 truk setiap hari, kayu dari Sumbar di bawa keluar daerah. Di pesisir dan laut, eksploitasi ikan dan terumbu karang dilakukan secara serampangan dengan beroperasinya sistim penangkapan menggunakan bom, racun sianida dan pukat cincin. Kondisi ini semakin diperparah dengan mulai terdegradasinya hutan manggrove yang diyakini sebagai benteng terakhir pertahanan ekosistem pesisir dan laut dari maraknya aktifitas di daratan. Eskalasi konflik meningkat sejak tiga sampai dua tahun terakhir akibat kehadiran kapalkapal penangkap ikan dari Natal dan Sibolga yang memakai alat-alat tangkap yang tidak mengindahkan keberlanjutan sumber daya perikanan. Kapal penangkap ikan dari Sibolga dan Natal tersebut menggunakan alat tangkap pukat harimau, pukat cincin dan mini trawl yang sama sekali tidak ramah lingkungan. Dilema Otoda bagi Sumbar Mengapa berbagai persoalan itu terjadi? Seperti telah diuraikan tadi bahwa kebijakan di daerah sangat tidak mendukung untuk pengelolaan sumber daya alam yang
LAPORAN UTAMA menguasai negara (pemerintah) sehingga menafikan kedaulatan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negeri ini.
AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
Dalam upaya revitalisasi kearifan lokal, ada baiknya kelembagaan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat, termasuk juga dewan daerah sumber daya air. Hal ini dimaksudkan supaya ruang publik lebih terbuka dalam menetukan nasib dan kehidupannya sendiri khususnya yang berkaitan dengan kepentingan pengelolaan sumber daya air.
Karamba ikan masyarakat Koto Malintang.
adil dan lestari. Demam Otoda telah membuat sistem penguasaan aset sumber daya alam bergeser ke daerah. Pemda dengan alasan peningkatan kesejahteraan dan (tentunya) peningkatan PAD melakukan berbagai praktek pengelolaan yang jauh dari prinsip kelestarian dan kesejahteraan itu sendiri. Maraknya pembahasan Perda yang terkait dengan retribusi membuat pengelola sumber daya alam merasa terancam. Bahkan dalam dua tahun terakhir, di tingkat provinsi telah dilakukan pembahasan Perda tentang pengelolaan sumber daya air dan peraturan daerah tentang pemanfaatan tanah ulayat. Rancangan Perda tentang pengelolaan sumber daya air pada tahun 2002 memiliki beberapa kelemahan. Pertama, Kecenderungan yang tidak memihak rakyat. Masyarakat adat dijadikan sebagai alat justifikasi, sementaa adat dan kearifan lokal sama sekali dinafikan keberadaanya. Selain itu paradigma sektoral masih sangat kental mewarnai Ranperda tersebut dimana sumberdaya alam dikotak-kotakkan menurut kepentingan masing-masing sektor. Kedua, kuatnya hak
Sedangkan Ranperda provinsi Sumbar tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat hingga awal april 2003 telah memasuki arena dengar pendapat. Namun sampai akhir april ini rancangan itu masih berbau arogansi dan hak menguasai pengambil kebijakan yang teramat besar. Penghormatan terhadap masyarakat adat yang memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya telah dikangkangi dengan lahirnya aturan ini. Selain itu adanya penyeragaman aturan. Adat salingka nagari yang merupakan bentuk otonomi real ditingkat masyarakat dan mencirikan kekhasan aturan adat minagkabau selama ini tidak dihiraukan sama sekali. Ranperda itu juga membuka peluang kepemilikan individu terhadap tanah ulayat, sementara tanah ulayat merupakan tanah komunal yang dimiliki dan dikelola bersama oleh masyarakat Minangkabau. Termasuk pembunuhan karakter perempuan Minangkabau. Budaya matrilineal yang berlaku di Minangkabau selama ini sudah mulai digeser dan digantikan oleh budaya patrilineal yang sama sekali tidak dikenal oleh masyarakat Minang. Posisi perempuan sebagai pemilik sah ulayat menurut adat telah digeser oleh penguasaan kaum laki-laki dan banyak kerugian lainnya. Belajar dari dua peraturan di atas maka seharusnya Pemda (legislatif dan eksekutif ) beserta seluruh lapisan masyarakat harus secepatnya melakukan reorientasi pembangunan daerah ke depan. Jika memang kita serius melaksanakan Otoda, maka poin penting yang harus tetap diingat adalah bahwa otonomi merupakan milik masyarakat. Kalau mau serius memberantas akar persoalan kolusi, korupsi dan nepotisme maka pengambil kebijakan harusnya mengedepankan fungsi masyarakat dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi kebijakan-kebijakannya. (Syarizaldi, Koordinator Daerah Sumbar, Program CBFM KKI Warsi).
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
Jika dilihat lebih jauh dengan ke-Minangkabau-annya, maka sistem yang digunakan ini dapat dilihat sebagai sistem pemerintahan adat/kelarasan Koto Piliang (Bajanjang naiak, batanggo turun). Bajanjang naiak batanggo turun maksudnya adalah ada urutan serta struktur yang jelas dan tidak bisa dibantah keberadaannya (seperti Pamunak adat, kepala suku dan bagian-bagian lain ke bawahnya), sehingga seluruh anggota yang ada di dalamnya akan mengikuti seluruh aturan yang telah ditetapkan tersebut. Sehingga ada sistem dan klasifikasi yang jelas dalam hal peran yang harus dimainkan oleh setiap tokoh pemegang peran.
Koto Malintang yang Benar-benar Malintang
I
ngin tahu kenapa Koto Malintang disebut Malintang? Fasilitator KKI warsi dari Program CBFM, Rama Hendra, mencoba menjawabnya dengan menemukan kelintangan dari Kota Malintang dari penyusuran sejarah suku-suku yang berdiam di sana. Dia juga mencoba membandingkannya dengan sistem kesukuan yang diterapkan di Koto Gadang. Konon, ada empat suku besar yang membentuk pola pemukiman yang ada di Koto Malintang, yaitu Pili, Sikumbang, Tanjung dan Koto. Suku-suku besar ini akhirnya mendiami beberapa tempat, seperti Suku Sikumbang di Kampung Pauh atau Kampung Sikumbang, Kampung Taruko oleh Koto, Suku Pili di Kampung Rambai, Suku Koto di Tanjung Alai, Muko-Muko dan Kabun Bungo serta Suku Tanjung di Kampung Ambacang. Kini sudah ada campuran tempat tinggal berdasarkan suku tersebut. Ini disebabkan adanya proses jual beli tanah pusaka rendah, seperti yang ada di Kampung Ambacang dan beberapa tempat lainnya.
Pola pemukiman tersebut pada dasarnya memperlihatkan struktur sosial yang jelas dalam memberikan kesempatan untuk mengontrol orang lain yang masih satu kerabat (clan) dengan lebih tegas. Ketika seorang mamak melihat suatu hal yang tidak seharusnya (non ideal) dilakukan oleh seorang kemenakan, maka ia akan langsung bisa mengontrolnya, atau bahkan sebaliknya. Jadi, ketika bicara lingkup payuang (dalam suku-red), ada kontrol yang jelas di sana. Begitu juga dalam lingkup suku atau bahkan nagari. Sementara dalam lingkup interaksi antar payuang maka yang akan muncul adalah payuang sentris. Sedang dalam lingkup antar suku (bisa saja nagari) maka yang akan muncul adalah suku sentris, begitu juga dalam interaksi antar nagari. Sehingga akan ada ego-ego sentris yang akan muncul secara tidak sengaja dengan pola pemukiman demikian.
Dalam sistem ini juga memastikan adanya tokoh sentral yang memegang peran dominan. Tokoh ini bisa menjadi poros penggerak anggotanya. Konsekuensi positif dari keadaan ini adalah apapun kesepakatan yang telah dibuat akan bisa berjalan dengan cepat, tetapi konsekuensi negatif dari keadaan ini adalah akan muncul ego seperti yang telah dijelaskan di atas tadi, juga akan ada ego individual yang cukup tinggi, payuang, suku bahkan sampai di tingkat nagari ketika interaksinya adalah antar nagari. Jadi mungkin banyak hal yang dapat dianalisa berkaitan dengan rumitnya sistem suku-suku yang ada di Koto Malintang ini. Misalnya saja kenapa begitu sulit mengumpulkan tokoh-tokoh yang ada di Koto Malintang (tokoh) dan kenapa saat ini tidak ada tokoh (sentral) yang mempunyai peran sentral, walaupun telah ada pemuncak adat. Ketika pamuncak adat tidak dapat memainkan peran-peran yang seharusnya dilakukan sesuai dengan fungsinya, maka elemen lain seperti penghulu, ninik mamak dan lain-lain (empat jinih) serta masyarakat juga akan tidak dapat memainkan peran yang seharusnya. Ketika pamuncak adat tidak lagi dipercaya, maka sebenarnya telah ada pergeseran yang cukup nyata dari peran elemen-elemen lain yang ada di Koto Malintang. Kondisi-kondisi inilah sebenarnya sering disebut orang bahwa Koto Malintang orangnya Benar-benar Malintang, (Keras Napas), susah diatur dan tingggi tingkat kecurigaannya. Koto Gadang Sementara pada sistem pemerintahan adat Koto Gadang pada dasarnya menggunakan sistem Bodi-Caniago (Duduak samo randah, tagak samo tinggi). Maksudnya, ada beberapa hal sifat demokratis yang dijalankan dalam sistem itu tetapi belum tentu hasil akhirnya akan jadi demokratis. Sistem pemerintahan adat Bodi-Caniago ini bisa dianalisa juga dengan teori struktural-fungsional, dimana setiap orang juga mempunyai peran yang jelas berdasarkan status sosialnya. Namun ada forum-forum yang membuat mereka (anggota masyarakat yang mempunyai status sebagai masyarakat biasa) akhirnya hanya bisa menyampaikan aspirasi kepada elemen lain (yang mempunyai
LAPORAN UTAMA 16
status lebih tinggi). Seper ti adanya per temuan payuang, pertemuan harian adat dan lain-lain. Konsekuensi nyata dari keadaan ini adalah banyaknya forum-forum yang ada dalam masyarakat, tetapi goal dari pertemuan itu akan berjalan lambat. Selain itu ada ketidakjelasan siapa yang harus diberikan mandat dalam pelaksanaannya. Akhirnya banyak persoalaan hanya tetap menjadi wacana saja tanpa ada solusi. Kendati demikian bukan berarti tidak ada aspek positif dari sistem ini. Sebut saja peran partisipatif dimana setiap orang mempunyai kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya dan berperan aktif
dalam setiap pengambilan keputusan di tingkat payuang, suku bahkan sampai nagari. Dan sesungguhnya hal ini telah menjadi modal sosial yang dapat dimanfaatkan untuk usaha-usaha pengembangan komunitas (Community Development). Perbandingan keduanya Untuk dapat melihat secara jelas perbedaan dan persamaan antara Koto Gadang dengan Koto Malintang dalam sistem pemerintahan adat dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
(Rama Hendra /Fasilitator Desa CBFM KKI War si)
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
17 kedua UU itu, tapi paling tidak sudah ada sedikit peluang yang dapat dipergunakan pemerintahan di tingkat daerah untuk memulai peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat daerahnya.
AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
Di Sumatera Barat (Sumbar) kondisi ini coba dimanfaatkan sebagai peluang untuk kembali merevitalisasi kelembagaan lokal yang telah tercabut dari akarnya dengan memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Nagari. Namun ada pengecualian dalam pemberlakukan Perda ini, yaitu di Kabupaten Kepulauan Mentawai karena struktur dan sistem adat yang sangat jauh berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Sumbar. Sehingga Kabupaten Kepulauan Mentawai akan diatur lewat peraturan tersendiri pula.
A
Relevansi dengan semangat kembali ke nagari dan demam Otoda inilah di Minang ada suatu sistem menarik yang dikenal sebagai ‘Kacio Nagari’. Dari segi bahasa Kacio Nagari bisa diartikan sama dengan tabungan atau simpanan bersama dari sebuah komunitas masyarakat yang hidup dalam satu wilayah hukum adat bernama nagari. Kacio Nagari dapat pula diartikan sebagai sebuah konsep pembiayaan atau pendanaan untuk keperluankeperluan nagari di masa mendatang yang sesuai dengan prinsip keotonomian, bersifat partisipatif yang dilaksanakan dan dipantau serta diperuntukkan bagi semua lapisan masyarakat yang berada (hidup dan berketetapan/berdomisili) dalam sebuah nagari. Sementara komunitas masyarakat dapat diartikan sebagai suatu kumpulan individu yang hidup dalam suatu wilayah tertentu yang menjunjung tinggi sistem pemerintahan lokal di daerah tersebut. Sistem pemerintahan lokal tersebut adalah nagari.
Kedua UU ini kemudian menjadi pijakan dasar atas kemandirian dan keotonomian daerah seantero Indonesia. Walau masih terus dilakukan perbaikan terhadap
Hal pertama yang mesti dipahami dalam kacio nagari adalah kata kuncinya, yaitu: Tabungan yang bisa pula berarti simpanan. Artinya segala sesuatu yang dapat disimpan dan dapat dipergunakan di masa yang akan datang. Ibarat anggaran belanja, maka tabungan ini adalah anggaran yang dapat digunakan sewaktu-waktu jika diperlukan. Tabungan ini tidak dapat
‘Kacio Nagari’ Mimpi yang Dinanti da api semangat yang kini tengah berkobarkobar di Ranah Minang untuk kembali ke nagari. Semangat yang tidak bisa dilepaskan dengan demam Otonomi Daerah (Otoda), terutama setelah diberlakukannya Undang Undang (UU) No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
LAPORAN UTAMA 18 dimanfaatkan serta-merta karena harus ada sistem yang dapat mengatur pemanfaatannya. Tabungan ini ditetapkan lewat suatu keputusan kolektif (bersama) yang disepakati secara kolektif pula. Singkatnya, bisa dikatakan bahwa membangun kemandirian dan keotonomian merupakan alasan utama dalam pengembangan Kacio Nagari di Ranah Minang tersebut.. Antisipasi Krisis Sumber Pendapatan Nagari
AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
Sebagaimana diketahui bersama bahwa kehidupan manusia di dunia tidak ada yang dapat memastikannya, apakah akan berlangsung terus menerus atau malah terhenti dalam satu detik kemudian. Oleh karenanya perlu dipersiapkan bekal hidup baik untuk manusia yang ada saat ini maupun bagi generasi mendatang. Kacio nagari digagas sebagai upaya antisipasi krisis sumber pendapatan nagari di masa depan. Prosesnya dapat dibangun dari sekarang, yaitu dengan mulai mempersiapkan segenap perangkat dan mekanisme pengaturannya. Pengembangan Kacio Nagari harusnya diatur dalam rambu-rambu yang jelas dan memerlukan prinsip dasar
Parak dan Aset Nagari
D
i Koto Malintang tidak terdapat hutan primer. Hutan primer berada jauh dari pemukiman, di daerah yang bertopografi sangat curam. Hutan primer membentang dari arah barat daya hingga barat laut Koto Malintang, merupakan hutan alam yang statusnya Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW). HSAW merupakan kawasan lindung yang pengelolaan dan pengawasannya berada di bawah komando Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat. Status kawasan ini dimulai berlaku sejak zaman penjajahan Belanda. Secara hukum pengambilan kayu, rotan dan hasil hutan lainnya di HSAW Maninjau Utara Selatan tanpa izin dilarang pemerintah. Kondisi hutan hujan tropis di sana yang merupakan vegetasi alami menutupi 30-79% keseluruhan areal lahan mulai dari ketinggian 900 meter dari permukaan laut sampai ke punggung perbukitan
tidak terusik sama sekali. Tumbuhan liar dan pohon ficus dengan sistem perakaran yang banyak berfungsi sebagai stabilisator tanah. Kondisi ini cukup baik bagi hutan alam untuk mencegah longsor sebagai akibat seringnya terjadi hujan yang lebat disertai angin yang kencang. Pada daerah-daerah dengan lereng terjal, formasi hutan diganti oleh semak-semak dari jenis pandanus, pakis dan herba. Karena itulah di sana juga dibuatkan sistem agroforestri yang utama terdiri dari kebun campuran yang dikenal dengan nama parak yang terletak di lereng-lereng, antara perkampungan dan HSAW. Wilayah parak melebihi dari separuh dari lahan pertanian. Kebun ini mempunyai ciri keanekaragaman spesies dan kerapatan hutan yang tinggi, serta struktur vertikal yang kompleks dan bertingkat-tingkat. Parak menghasilkan hasil hutan yang khas, baik untuk dijual maupun untuk kebutuhan harian, termasuk kayu bangunan, kayu bakar beserta hasil hutan ikutan seperti buah hutan liar dan sayuran, bahan obat dan lain-lain. Di dalam parak juga ditanami pohon-pohon jenis usaha tani seperti durian, kayu manis, pala, kopi dan tanaman buah budi daya serta tanaman berumur pendek seperti cabai, tanaman berumbi, kacangkacangan. Pola produksi dan perkembangan spesies mirip dengan
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
19 yang harus dipegang teguh. Prinsip dasar itu yaitu transparan dan pertanggungan gugat. Dua hal ini merupakan kunci keberhasilan Kacio Nagari, karena dalam pengelolaannya Kacio Nagari melibatkan banyak pihak dengan pemikiran yang berbeda. Proses demokratisasi mestilah dimulai dari prinsip-prinsip seperti ini, sehingga ke depan diharapkan pelaksanaan Kacio Nagari akan mempercepat laju demokratisasi di berbagai nagari.
Seperti telah diungkapkan bahwa Kacio Nagari merupakan suatu tawaran model pembiayaan nagari dimasa depan, maka pelaksanaannya mestilah dilakukan oleh seluruh anak nagari, tua-muda, pria-wanita. Hal ini mengisyaratkan bahwa seluruh anak nagari bertanggung jawab dalam pelaksanaannya. Implementasi dari konsep ini dapat saja dirumuskan dalam sebuah peraturan nagari. Misalnya dengan menetapkan bahwa:
AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
Transparansi pengelolaan bukan saja menyangkut pada hal yang bersifat finansial, tapi juga menyentuh berbagai hal dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Pihak pengelola harusnya mengkonsultasikan segala aktivitas pengelolaan dari perencanaan hingga evaluasi tersebut. Hal lain yang tidak dapat dipisahkan dengan keterbukaan adalah pertanggungan gugat. Berbeda dengan tanggung jawab, istilah tanggung gugat secara implisit mengisyaratkan bahwa ada sanksi secara hukum yang akan dilaksanakan apabila terjadi penyelewengan dalam
pengelolaan Kacio Nagari. Sanksi dapat saja berupa sanksi adat maupun sanksi yang berasal dari hukum positif negara.
Salah satu hasil Parak masyarakat Sumbar. yang terjadi pada ekosistem hutan alami. Campur tangan manusia hanya terbatas pada pemetikan hasil dan aktifitas hasil dan penanaman beberapa spesies saja. Dalam parak masyarakat juga menanam jenis kayu-kayuan yang bisa digunakan untuk membangun rumah atau membuat perabotan. Kayu-kayu itu antara lain; kayu surian untuk membuat pintu dan perabotan, kayu bayur untuk papan rumah, kayu maja untuk paran, kayu madang untuk loteng, kayu rikia untuk tonggak rumah, kayu kalek untuk untuk tonggak, kayu surantiah untuk papan lantai. Walaupun kayu-kayu itu tidak laku di pasaran tapi mempunyai ketahanan yang lama, seperti kayu kalek bisa digunakan untuk membangun rumah tiga kali (bongkar pasang tetap memakai kayu yang sama) masih tetap tahan. Jenis tanaman yang berguna untuk obat-obatan yang terdapat dalam parak antara lain: daun pohon bintungan yang digunakan untuk obat panas dengan cara merendam daunnya dengan air dan diminum, ada juga obat untuk tanaman padi yang daunnya merah-merah yaitu daun sicerek, daun lagundi dan daun surian ditumbuk dan disiramkan ke tanaman padi dapat menghijaukan tanaman padi kembali. Campuran antara rumput ciik babi, daun taruno dan cendawan galeme dapat digunakan untuk obat tamakan (terkena racun). Tanaman jenis pisang-pisangan juga mengisi parak di Kotomalintang, yaitu: pisang batu, pisang rajo tinulun, pisang sipuluik, pisang lidi, pisang rajo sarai, pisang buai, pisang gadang, pisang ambun, pisang masak semalam. Pisang-pisang itu selain untuk konsumsi sendiri juga untuk dijual ke pasar.
LAPORAN UTAMA 20 Setiap orang mempunyai kewajiban menanam dan memelihara dua batang pohon, satu pohon merupakan Kacio Nagari sementara yang satunya lagi merupakan tabungan orang tersebut dimasa datang. Setiap pasangan suami-isteri yang baru menikah diwajibkan menanam dan memelihara lima batang pohon, dua batang pohon setelah cukup usianya akan diserahkan ke nagari sementara tiga batang lagi dapat digunakan pasangan trersebut sesuai dengan kebutuhannya. Setiap anak yang berusia tujuh tahun sampai 18 tahun diwajibkan menanam dan memelihara dua batang pohon, satu digunakan untuk kepentingan nagari dan satunya lagi dapat digunakan oleh yang bersangkutan bagi keperluannya dimasa mendatang. Setiap anak yang baru lahir sampai usia tujuh tahun diwajibkan kepada orang tuanya untuk menanam dan memelihara dua batang pohon, satu untuk kepentingan nagari dan satunya lagi dapat digunakan oleh anak tersebut ketika dia telah dewasa.
tanah ulayat nagari atau ulayat kaum atau halaman rumah atau dapat pula ditanam di lokasi-lokasi yang ditetapkan dalam rapat nagari seperti halaman masjid, pinggir jalan, parak dan sebagainya. Aturan ini dapat juga dibuat secara berkelanjutan sebanding lurus dengan perjalan waktu. Misalnya saja aturan tersebut berlaku setiap tahun, artinya dalam setiap tahunnya peremajaan terhadap pepohonan yang ditanam terus dilakukan sehingga ketersediaannya dimasa datang dapat dipertahankan. Pelaksanaan pengelolaan Kacio Nagari tidak dapat dilepaskan dari pengawasan langsung yang dilakukan oleh masyarakat. Setiap anggota masyarakat berhak melaklukan pengawasan terhadap pengelolaan Kacio Nagari. Ini merupakan sebuah tawaran untuk meningkatkan partisipasi publik dalam lingkup geografis yang lebih sempit, sehingga diharapkan masyarakat sudah mulai melakukan praktek-praktek pengawasan dalam skala yang lebih kecil dari sebuah negara. Hal ini merupakan pendidikan politik yang sangat praktis yang dapat diterapkan. Sehingga Kacio Nagari tidak lagi menjadi hanya sebuah mimpi yang dinanti tetapi sudah menjadi semangat seluruh nagari di Ranah Minang. (Syafrizaldi, Koordinator Daerah Sumbar, program CBFM KKI Warsi).
Aturan-aturan seperti ini sifatnya mengikat seluruh anak nagari termasuk para pendatang yang berdomisili di kanagarian tersebut. Aturan ini dapat pula berlaku bagi para perantau. Penanaman dapat dilakukan di
Koto Malintang mempunyai lima aset yang suatu waktu dapat digunakan sebagai sumber pendapatan ataupun tabungan nagari. Kelima aset tersebut adalah: 1. Tanah di Banio, yang mempunyai luas 200 ha, ditanami kayu manis dan kopi, terletak di Dusun Muko-Muko. 2. Karambia Kongsi, merupakan sebidang tanah seluas 2 ha yang terletak dipinggiran sungai di Dusun Muko-Muko. Untuk saat ini, Karambia Kongsi dikontrakkan untuk kolam ikan kepada masyarakat yang uang hasil kontraknya digunakan untuk pembangunan. 3. Gunung Belek, terletak dibarat laut Kotomalintang yang masih berisikan kayu-kayu alam. 4. Pulau, terletak di danau Maninjau dan saat ini banyak digunakan sebagai tempat untuk rekreasi. 5. Tanah Data, terletak di sebelah tenggara, luasnya 100 ha dan saat ini masih berupa hutan alam, sebagian dari data juga telah ditanami dengan berbagai jenis tanaman keras oleh masyarakat.
Sementara pulau berada di dekat bangunan in take PLTA Maninjau. Sampai saat ini masih ada kesimpangsiuran mengenai kepemilikan pulau. Dulu telah ada masyarakat yang melakukan usaha budi daya pertanian namun telah lama ditinggalkan. Sekarang pulau hanya dijadikan sebagai tempat rekreasi karena letaknya yang strategis dan mudah diakses. Pengelolaan aset nagari membutuhkan biaya, tenaga dan pikiran. Untuk itu telah dibentuk Badan Pengelola Aset Nagari (BPAN) Koto Malintang pada pertengahan Agustus tahun 2001. Badan ini bertugas sebagai ad hoc atas mekanisme dan protokol pengelolaan aset nagari Kotomalintang. Sementara untuk pengelolaan, badan ini bersifat permanen dan otonom. Secara struktural BPAN berada di bawah pamuncak adat dan bertanggung jawab kepadanya, baik dari pelaksaan program maupun pertanggungjawaban keuangan. Keanggotaan BPAN dipilih dari perwakilan masyarakat yang representatif sebagai wakil suku-suku dan berbagai elemen kemasyarakatan yang ada di Kotomalintang. (Syafrizaldi,
Korda Sumbar Program CBFM KKI Warsi).
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
21
LAPORAN UTAMA
CBFM di Provinsi Jambi antara Peluang dan Ancaman
H
utan adat untuk sebagian beberapa desa di Provinsi Jambi mempunyai peran penting bagi kehidupan dan citra diri masyarakatnya. Mereka juga mengelolanya sesuai dengan nilai-nilai kearifan adat yang berlaku demi berlangsungnya kelestarian hutan dengan mengedepankan keharmonian alam. Di kawasan tertentu masyarakat menetapkan beberapa lokasi hutan menjadi hutan adat yang dijaga dan dipelihara, baik sebagai sumber pengairan, tanaman obat maupun sumber bahan ramuan rumah yang diatur menurut ketentuan adat. Sedangkan untuk konservasi dan perlindungan ikan, masyarakat telah lama mengenal Lubuk Larangan yang dijadikan sebagai pusat penangkaran ikan yang dipanen melalui upacara dan ketentuan adat.
Namun sejak kehadiran perusahan HPH PT Alas Kusuma dan Rimba Karya Indah di Desa Batu Kerbau, HPH PT Injapsin di Desa Guguk dan PT Mungitriman di Desa Batang Kibul, membuat pengelolaan hutan lestari tersebut mulai tergusur. Hutan-hutan di sekitar wilayah desa tersebut diumpamakan roti yang dibagi, dipotong, dan dibelah sekehendak hati dan sesuai selera yang menguasai. Masyarakat sekitar hutan tidak memperoleh apa-apa. Jangankan ikut mencicipi nikmatnya roti, mencium aroma manisnya pun tidak. Akibatnya, fungsi hutan sebagai sumber kekayaan plasma nuftah dan keanekaragaman hayati, sebagai perlindungan tanah dan air, penyumbang kebutuhan ekonomis (menghasilkan produk hutan non kayu seperti getah jelutung, rotan, manau, damar, buah jernang, gaharu, madu, kayu bahan bangunan), menjadi hancur dan mulai terlupakan oleh generasi muda.
LAPORAN UTAMA
AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
22
Otoda yang diharapkan dapat membawa perubahan terhadap sisi pengelolaan hutan karena dianggap lebih memahami kepentingan daerah dan masyarakat adat, ternyata setelah dilaksanakan hampir lima tahun tidak memberikan perubahan yang berarti bagi masyarakat adat di sana. Dengan keotonomiannya dan alasan demi peningkatan PAD, Pemkab secara serampangan mengeluarkan berbagai izin untuk eksploitasi sumber daya hutan. Sebagai contoh hutan adat Desa Batu Kerbau yang telah dikukuhkan lewat SK Bupati Bungo No.1249 tahun 2002, hingga kini masih dijarah pelaku illegal logging. Pemkab setempat dengan mudahnya mengeluarkan izin IPHH kepada CV Beringin Hijau yang beroperasi dan membuka jalan disepanjang sisi hutan adat. Walaupun berbagai upaya penolakan telah dilakukan masyarakat, tetapi izin tetap keluar. Dari contoh ini jelas sekali bahwa kepentingan ekonomi dan pengusahalah yang diutamakan sedangkan aspirasi masyarakat yang ingin mempertahankan dan mengelola hutan menurut ketentuan adat yang sudah dilegalkan pun terabaikan. Di tengah kondisi seperti itulah suatu gagasan tentang gerakan Community Base Forest Management (CBFM Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) dilakukan di tiga desa di Jambi. Tiga desa yang menjadi lokasi aktifitas itu memiliki berbagai persoalan menyangkut
pengelolaan sumber daya alamnya. Di Desa Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat Ulu, Kabupaten Bungo, persoalan mendasar adalah adanya pengurasan hutan mereka oleh perusahaan HPH. Ini membuat masyarakat setempat mencoba mempertahankan beberapa kawasan untuk dijadikan hutan adat dan diharapkan dapat memperoleh pengakuan, penghormatan dari berbagai pihak. Hal yang sama juga dialami Desa Guguk di Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin. Aktifitas CBFM Upaya untuk mendapatkan hak pengelolaan hutan adat oleh masyarakat setempat dengan berbasis pengelolaan hutan oleh masyarakat di desa-desa tersebut memang terus dilakukan, meski dengan proses panjang. Didampingi staf CBFM KKI Warsi, maka dibuatlah peta kawasan yang bisa dikelola rakyat. Peta itulah yang kemudian dijadikan sebagai alat untuk negosiasi dan memperoleh legalisasi oleh Pemkab. Bahkan dalam perencanaan kampung juga telah berhasil menyusun berbagai produk aturan tentang sistem pengelolaan kawasan. Khusus di Desa Guguk, justru berhasil melahirkan dua Perdes yang menyangkut pengelolaan kebun kas desa
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
23 serta Perdes tentang pengelolaan hutan adat (lihat : Awas Hutan Adat ini Milik Desa Guguk! -red). Sedangkan perencanaan penggunaan kawasan dan tata ruang mikro, kegiatan ini baru secara nyata berhasil dilaksanakan di Desa Batu Kerbau yaitu dengan selesai dibuatkannya peta penggunaan lahan desa yang dibuat tim fasilitasi bersama masyarakat. (Pada 6 Juni lalu masyarakat Desa Batu Kerbau mendapat penghargaan Kalpataru tingkat nasional dengan kategori penyelamat lingkungan. Sementara masyarakat Desa Guguk mendapat Kalpataru tingkat provinsi-red). Sementara pendampingan terhadap masyarakat Desa Batang Kibul difokuskan pada pendidikan hukum secara kritis dan pengelolaan sumber daya alam yang sesuai untuk dikembangkan. Hasil yang terlihat -salah satunya- belum lama ini, telah terjadi perlawanan hebat dari perempuan-perempuan di desa ini terhadap para perambah dan pebalok di hutan adat mereka. Masyarakat di sana juga sudah mulai berani melakukan perundingan dengan berbagai pihak yang ingin mengakses sumber daya alam mereka.
Di Batang Kibul izin yang dikeluarkan oleh Pemkab setempat terhadap HPH milik PT Mugitriman dan Rimba Karya Indah menyebabkan beberapa sumber air persawahan masyarakat kering. Belum selesai persoalan tersebut, malah muncul lagi dengan dibukanya lahan seluas 2.000 ha hutan menjadi lahan transmigrasi. Terakhir ini, warga Batang Kibul terpaksa melepas lahan guna membuka akses jalan
Mendulang emas di Batang Pelepat Desa Batu Kerbau.
Perlu juga dipahami bahwa pengukuhan atau legalisasi hutan adat sebenarnya bertujuan untuk lebih memperkuat hukum adat yang telah disepakati oleh masyarakat. Dari pengalaman, ternyata hukum adat hanya berlaku untuk ke dalam komunitas mereka saja. Sementara pelanggar/pelaku di luar komunitas mereka tidak bisa diterapkan. Sehingga desa-desa pendampingan program CBFM KKI Warsi, merasa perlu memperkuat hukum adat mereka melalui hukum formal seperti SK Bupati maupun Perda. Sehingga ada rasa aman dan kepastian hukum yang lebih jelas dalam menjaring pelaku. Dari sini kita melihat benang merahnya, bahwa hasil akhir yang diharapkan adalah tercapainya kedaulatan rakyat atas hutan dan sumber daya alamnya. Artinya, rakyatlah yang memegang Otonomi termasuk mengatur dan mengelola sumber daya alam menurut tatanan yang sudah berkembang di komunitasnya. Kemandirian rakyat seperti inilah, harusnya didukung oleh kebijakan pemerintah yang menghormati, menghargai dan melindungi keotonomian rakyat tersebut. (Riya Dharma, Korda Jambi, program CBFM KKI Warsi). AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
Partisipatif dan peran perempuan di Batu Kerbau pun cukup besar dalam penyusunan aturan pengelolaan serta pemetaan. Mereka juga berada di barisan paling depan ketika mengusir para pebalok haram di hutan adatnya (lihat artikel Ketika Kesabaran Perempuan telah Habi-reds). Sayangnya aparat/instansi setempat sangat tidak respon terhadap aspirasi mereka. Belakangan, kebijakan Pemkab Bungo mengeluarkan izin HPH dilokasi yang berdampingan dengan hutan adat milik Batu Kerbau. Tentu saja ini semakin menambah kekecewaan masyarakat.
ke desa mereka yang selama ini terisolir. Tapi nyatanya harapan agar ada suatu jalan yang bisa diakses kendaraan ke desa mereka, pupus lagi. Karena hingga kini sangat sulit mencapai desa itu meski dengann mobil. Jalan yang dilalui sangat terjal dan tidak bisa dilewati kendaraan terutama di musim hujan. Di banyak tempat bahaya longsor justru mengancam.
BOX LAPORAN UTAMA 24
ser ta mer ta masyarakat Desa Guguk langsung mempunyai kepedulian tinggi terhadap hutan adatnya. Perlu proses panjang sehingga mereka punya kesadaran tinggi terhadap masalah tersebut. Awal Kesadaran
DOK. KKI WARSI
Tahun 1999, ketika itu hutan mereka di kawasan Bukit Tapanggang, dieksploitasi PT Injapsin Company yang mempunyai izin HPH hingga tahun 2006, tidak memberikan konstribusi apapun kepada masyarakat Marga Pembarap. Selain Desa Guguk, yang termasuk Marga Pembarap yaitu Desa Parit Ujung Tanjung, Air Batu, dan Merkeh. Secara administrasi, sesungguhnya hutan yang dilanggar PT Injapsin masuk wilayah Desa Guguk dan Desa Parit Ujung Tanjung. Total luas hutan yang dieksploitasi 1.500 hektar. Dari pemetaan BPN Merangin diketahui total hutan yang masuk wilayah dua desa itu hanya 800,53 hektar, sedangkan yang masuk Desa Guguk seluas 690 hektar.
Awas, Hutan Adat ini Milik Desa Guguk!
Melihat hal ini, maka masyarakat Desa Guguk melalui tokoh masyarakat Desa Guguk (yang terdiri dari Kepala Desa Guguk, Mahmud, dan tokoh adat Desa Guguk, H. Abubakar) mulai mengirimkan surat permohonan pengukuhan Hutan Adat Guguk sebanyak dua kali ke Pemkab Merangin. Tapi baru tahun 2003 kemudian, SK Bupati No.287 baru muncul dan menegaskan bahwa status hutan adat tersebut milik masyarakat Desa Guguk. Penyerahan pengelolaan hutan ke masyarakat dipandang cukup efektif, terutama dalam salah satu upaya mencegah kerusakan alam melalui pelibatan masyarakat secara langsung. Karena aturan adat masyarakat sendirilah yang menetapkan sanksi-sanksi khusus demi melindungi hutannya.
K
ini, tidak boleh ada yang seenaknya masuk dan mengambil kekayaan alam yang berada di Hutan Adat Desa Guguk, Marga Pembarap, Kecamatan Sungaimanau, Kabupaten Merangin. Karena belum lama ini masyarakat Desa Guguk telah menguatkan status hutan adatnya dalam Peraturan Desa (Perdes) melalui proses rembug desa.
Supaya jangan ada kesalahpahaman di antara masyarakat, maka tokoh masyarakat dan pemerintahan desa mengundang warganya untuk memusyawarahkan hal tersebut. Maka lahirlah Perdes yang khusus mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat itu guna menghindari eksploitasi yang berlebihan. Tentu saja tidak
DOK. KKI WARSI
Masyarakat Guguk merasa belum puas hanya mengantongi Keputusan Bupati Merangin No.287 tahun 2003 untuk mengelola dan melindungi kelestarian hutan adat seluas 690 hektar tersebut. Karena jauh sebelum SK Bupati dan Perdes ini muncul, masyarakat Desa Guguk hanya menggunakan aturan-aturan pengelolaan dan pemanfaatan hutan adat dalam bentuk piagam kesepakatan masyarakat. Hal itu malah menimbulkan peluang eksploitasi hutan adat mereka secara serampangan akibat penafsiran-penafsiran yang berbeda di antara masyarakat. Misalnya soal pengambilan bungo kayu (pembayaran sejumlah uang adat atas pengambilan kayu-red) yang dalam kesepakatan tidak menyebutkan secara jelas ukuran yang diizinkan untuk diambil. Piagam itu juga dinilai tidak jelas dalam mengatur mekanisme pemberian izin pemanfaatan hutan adat mereka.
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
25
Aturan itu antara lain bagi penebang kayu untuk berhuma atau berkebun dikenai denda Rp 3 juta, begitu juga bagi yang menjual kayu hasil tebangan liarnya. Uang itu bisa dirinci dengan menyerahkan seekor kerbau, 100 gantang beras, dan 100 butir kelapa. Ada juga denda satu ekor kambing dan 20 gantang beras bagi masyarakat Desa Guguk atau orang luar yang mengambil buah-buahan dengan menebang/merusak pohonnya. Sanksi itu diberlakukan juga bagi yang mengambil ikan di kawasan sungai Hutan Adat Desa Guguk.
Inisiasi masyarakat Desa Guguk untuk menguatkan status hutan adatnya dalam bentuk Perdes jelas sangat menarik. Sebab saat ini, sangat jarang ditemukan suatu masyarakat desa yang berpikir dan merasa perlu untuk melindungi kelestarian hutan di desanya sendiri dalam legitimasi hukum yang kuat. Bahkan saat proses Rembug Desa pada 24 April lalu, masyarakat Desa Guguk menunjukkan kritisasi yang tinggi terhadap draft Perdes tanpa intervensi dari para undangan yang terdiri dari Kepala Dinas Kehutanan, Takat Himawan, sejumlah staf Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, para tetua dan tokoh adat setempat dan dari desa-desa tetangga dan sejumlah staf Pemkab. Masyarakat Desa Guguk juga tidak lagi memperdebatkan soal redaksional atau berdebat kusir yang tidak perlu saat membahas hutan adat di forum itu. Mereka langsung fokus pada masalah substansial yang berhubungan dengan upaya keberlanjutan hutan adat. Misalnya, soal memperdebatkan syarat-syarat pemanfaat hutan adat yang harusnya tidak boleh diperjualbelikan, kuota tebangan dalam satu tahun, soal diameter minimal kayu yang boleh ditebang, bungo kayu, hingga soal penggantian lima batang pohon untuk pengambilan satu batang pohon yang ditebang. Termasuk membahas persoalan ekosistem yang berhubungan langsung dengan hutan adat. Seperti menebang kayu dari jarak 25 meter sisi sungai kecil dan 50 meter dari sisi sungai besar. Mereka juga menyoroti persoalan penegakkan hukum (negara) atas pelanggaran ketentuan pemanfaatan hutan adat. Karena sudah ada indikasi hukum adat dikesampingkan oleh si pelanggar/ pelaku, mengingat hukum adat memang selama ini kurang efektif dalam menindak pelaku di luar komunitas Desa Guguk. Ini disebabkan hukum adat memang tidak punya alat pemaksa bagi si pelanggar/pelaku jika tidak dikuatkan lagi oleh hukum negara. Artinya jika hukum adat tidak mempan maka diharapkan Pemkab Merangin bisa menindaklanjuti melalui mekanisme hukum negara untuk menghukum si pelanggar/pelaku. Sementara berkaitan dengan lubuk larangan (semacam cekungan air yang memanjang di Sungai Batang Merangin yang tidak boleh diambil ikannya kecuali dengan upacara adat dalam waktu yang ditentukan, biasanya satu tahun untuk kepentingan desa-red) masyarakat Desa Guguk juga meminta agar menjadi satu kesatuan
DOK. KKI WARSI
Rembug Desa
Upacara pengukuhan Hutan Adat Desa Guguk. dari hutan adat. Karena seringkali orang luar dengan seenaknya mengambil berbagai macam ikan yang ada di sana dengan berbagai cara (termasuk meracun). Setidaknya jika ini dituangkan dalam Perdes maka masyarakat Desa Guguk juga bisa melindunginya. Hanya yang terakhir ini adalah masalah yang penting tersendiri maka mereka memutuskan untuk membuat Perdes khusus yang mengatur tentang pemanfaatan lubuk larangan. Dengan demikian sesungguhnya insiasi masyarakat Desa Guguk atas hutan adat menjadi bukti bahwa pendekatan alternatif dalam pengelolaan sumber daya hutan Indonesia lewat peran serta masyarakat secara aktif itu lebih tepat dalam menjaga kelestarian hutan. Tanpa keterlibatan mereka maka sesungguhnya upaya pengelolaan hutan secara lestari tak akan tercapai. (Yuzamrir, Fasilitator Desa Guguk, /Edra Satmaidi, Legal Officer CBFM KKI Warsi).
LAPORAN UTAMA
AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
26
Perempuan dalam Lingkaran Politik Desa dan Sumber Daya Air Studi Kasus Perempuan Ladang Palembang
M
eski tinggal di desa yang harus ditempuh sejauh 160 km dari Provinsi Bengkulu, dan setelah itu harus menelusuri liku-liku jalan pegunungan, para perempuan Ladang Palembang termasuk komunitas yang tidak ketinggalan dalam mengikuti perkembangan politik (lihat box : Rumpian ala Perempuan Ladang Palembang-red). Setidaknya dalam ruang lingkup politik di desa mereka. Tapi sebelum memahami bagaimana para perempuan ini begitu akrab dengan “dunia politik” desa serta bagaimana mereka mempengaruhinya guna menyelamatkan sumber daya air di desa mereka, ada baiknya melihat karakteristik dan penyebaran perempuan di Ladang Palembang, baik secara geografis dan etnis mereka. Berdasarkan etnis, perempuan Ladang Palembang terbagi dalam dua etnis besar yaitu Suku Sunda dan Suku Rejang. Berdasarkan letak geografis mereka terpisah dalam empat kelompok besar. Pertama, kelompok Bik Juhana. Komunitas Bik Juhana mendominasi pada pemukiman yang berada di pusat
desa dan merupakan etnis Sunda yang didatangkan oleh Kolonial Belanda sekitar tahun 1865-an. Keseharian perempuan pusat Desa Ladang Palembang menghabiskan waktu untuk bertani dengan pertanian sawah irigasi. Perkerumunan Bik Juhanah merupakan perempuan yang harus berpisah dengan para suami mereka yang berada di lokasi pertambangan emas di luar kabupaten Lebong. Mereka terpisah akibat warisan budaya yang memaksa kalum laki-laki pusat Desa Ladang Palembang hanya memiliki keterampilan bekerja di tambang emas. Kedua, kelompok, Wakmak Sanah. Komunitas Wakmak Sanah mendiami kawasan petalangan air Tik Gelung, lokasi area Tik Gelung berjarak lebih kurang 1,5 Km dari pusat desa. Komunitas Wakmak Sanah merupakan etnis Suku Rejang dengan mata pencarian pokok bertani dan berkebun. Wakmak Sanah dan teman-temannya lebih banyak menghabiskan waktu di talang tersebut. Sesekali saja, saat hari-hari besar atau ada agenda keluarga, komunitas, Wakmak Sanah pulang ke rumah ke desa tempat asal mereka.
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
27 Ketiga, komunitas yang berada di area Bukit Sarang Macan. Bik Mal, merupakan sosok perempuan yang dituakan pada perkerumunan perempuan yang mengitari area Petalangan Bukit Sarang Macan yang berjarak kurang lebih 2 km dari pusat desa. Komunitas Bik Mal juga dari etnis Rejang. Kebanyakan perempuan di sekitar Bukit Sarang Macan merupakan ibu-ibu muda dan rata-rata baru memiliki satu orang anak. Kesehariannya komunitas Bik Mal melakukan aktivitas di perladangan bersama anak dan suami. Keempat, komunitas Bik mak-Ilung yang tersebar dalam kelompok-kelompok kecil yang terletak di Air Bambu, Pall 5 dan Air Seniep. Untuk menuju lokasi tersebut harus berjalan dengan jarak tempuh 3 km dari pusat desa. Seperti juga halnya dengan komunitas Wakmak Sanah dan Bik Mal, komunitas yang berada di Air bambu, Pal 5 dan Air Seniep merupakan perempuan etnis Rejang. Komunitas Suku Rejang biasa hidup mengelompok di area petalangan yang dihuni antara 10 KK - 25 KK dan ini merupakan kebiasaan yang telah turunmenurun pada komunitas suku Rejang. Lahan yang dikelola merupakan lahan warisan dari tetua nenek moyang mereka. Sudah hampir dipastikan, lewat sistem bertalang seperti itu mendorong terbentuknya sebuah komunitas yang dipenuhi rasa solidaritas dan semangat kekerabatan yang cukup erat. Perempuan talang juga terbiasa berinteraksi dengan hutan di sekitar mereka guna mencari sumber obat-obatan dan pangan. Terutama sayur mayur atau buah-buahan. Kegiatan itu jelas membuat mereka memahami siklus vegetasi tanaman-tanaman hutan. Di lihat dari sisi geografis, perempuan Rejang mendiami daerah ketinggian di wilayah Desa Ladang Palembang. Dimensi mitologi Rejang, menempatkan daerah ketinggian atau pengunungan memiliki unsur magis. Misalnya Bukit Sayang Macan diyakini hingga kini sebagai tempat bertemunya beberapa harimau penunggu. Konon cerita, harimau itu adalah sebagai bagian dari asal usul orang setempat yang pernah menghilang tanpa diketahui kemana raibnya. Mitologi tersebut justru telah menjaga sumber-sumber air yang memberikan kesuburan pada area itu. Hal ini juga bisa dilihat dari keseragaman jenis tanaman yang bisa bertahan hidup dalam waktu yang lama. Di seputar Bukit Sarang Macan banyak pula dijumpai batang durian, cempedak, enau, buah manggis, batang meranti, durian dan batang-batang kayu karet yang telah berumur.
Sumber Daya Air Ladang Palembang Namun kondisi kawasan hutan Ladang Palembang terganggu ketika dibuka untuk perkebunan skala besar, PT Bumi Agrindo pada tahun 1985. Akibatnya, saat musim kemarau panjang tahun 1997, warga desa harus berjuang melewati jarak ratusan meter ke dataran yang lebih rendah untuk mendapatkan sumber air bersih sebagai kebutuhan aktivitas keseharian rumah tangga. Pengalaman jebolnya bendungan pada pertengahan tahun 1987 dan kekeringan tahun 1997 itulah menjadi pembelajaran mahal bagi masyarakat terutama perempuan Ladang Palembang tentang arti pentingnya persoalan air bersih. Kondisi di atas telah menggugah kesadaran komunitas untuk mulai menata kembali kawasan hutan yang telah terbuka. Kini, dalam kawasan Ladang Palembang terdapat beberapa titik sumber air bagi pemukiman dan keperluan kolam atau persawahan yaitu, kawasan hutan Tik Gelung, kawasan Bukit Sarang Macan atau lebih dikenal dengan sebutan Air Udik, Air Sarangan, Air Kuto, Air Bambu, Air Culau Nago dan Air Seniep. Bila ditelusuri, aliran sumber air yang berada di Desa Ladang Palembang, tidak hanya digunakan oleh warga Ladang Palembang. Sumber-sumber air tersebut juga dipergunakan oleh desa tetangga yaitu Desa Tunggang dan Lebong Tambang. Kebanyakan perumahan dalam wilayah desa Ladang Palembang telah menikmati air hingga masuk kedalam pekarangan rumah. Misalnya; pada komunitas pusat desa, air telah mengalir ke 55 rumah dari 89 rumah. Dengan mengambil air bersumber dari kawasan Lindung Tik Gelung. Pada Komunitas Pemukiman Bukit Sarang Macan 24 rumah telah dialiri air PAM sederhana. Tidak kurang dari 50 rumah pada pemukiman yang berada di sepanjang Pall 5 menikmati air yang bersumber dari Air Udik dan Air Kuto. Sedangkan pada Pemukiman di Air Bambu dan Seniep mengambil air bersih dari Air Culau Nago dan Air Seniep itu sendiri. Air yang telah mengalir ke halaman rumah telah menjadi social capital, terutama untuk mempermudah proses membangun hubungan emosional antara sumber daya alam dengan manusia di sekitar Desa Ladang Palembang. Pemahaman bersama secara sosiologi dan filosofi di atas telah menjadi panduan bagi proses legislasi kesepakatan sosial untuk perlindungan sumber daya air ditingkat masyarakat. Budaya lama Suku Rejang memang telah memandu
LAPORAN UTAMA 28 dan memberi dukungan hubungan yang kuat antara perempuan Rejang dengan sumber daya air. Misalnya; Budaya Rejang “Embien Munen” yang adalah sebuah prosesi memperkenalkan si bayi yang baru berumur kurang lebih 15 hari pada sumber daya air. Dengan menggunakan perlengkapan adat (tebu hitam, babu, uang logam, kayu yang terbakar, dan seterusnya) sidukun menggendong bayi menuju sungai untuk dimandikan. Inti dari prosesi tersebut, memperkenalkan si bayi dengan sumber daya alam terutama air, termasuk memperkenalkan manusia baru atas roh-roh yang juga berada di sumber daya air itu. Sehingga posisi perempuan dalam struktur politik desa dan potensi sumber daya yang telah ada menjadi sangat penting. Ada dua hal penting yang berkaitan dengan partisipasi yang dilakukan komunitas perempuan petalangan Ladang Palembang dalam pemulihan sumber daya alam dan airnya. Pertama, setelah kawasan Ladang Palembang terbuka oleh proyek transmigrasi pada tahun 2001 maka perempuan petalanganlah yang paling banyak menghabiskan waktu untuk melakukan pegelolaan tanah dan pemuliaan tanaman. Pegelolaan tanah dan pemuliaan tanaman tersebut telah menghijaukan kawasan yang telah terbuka dengan jenis tanaman palawija, durian, karet, kakau, kopi dan nilam. Kedua, Pada penghujung tahun 2002, perempuan Ladang Palembang melakukan pengusiran terhadap dua kelompok pencari ikan yang menggunakan alat tangkap setrum. Pengusiran ini dilakukan setelah mereka mengetahui bahwa alat setrum itu membunuh bukan hanya ikan besar tetapi juga anak-anak ikan yang masih kecil. Bagi komunitas petalangan, sungai juga menjadi sumber protein-ikan bagi kebutuhan gizi mereka. Sangat jelas sungai yang berada di sekitar petalangan memiliki hubungan emosional dengan mereka. Protes dan aksi pemulihan lahan yang dilakukan perempuan petalangan, seperti yang tergambar di atas merupakan bentuk interaksi dan hubungan ketergantungan antara sumber daya alam dengan manusia setempat. Hubungan ketergantungan yang setara antara sumber daya alam dan manusia petalangan Ladang Palembang telah melahirkan pluralisme bagi model pengelolaan sumber daya alam yang berbasis komunitas setempat. Hal ini harus dimaknai; Pertama, sebagai sebuah proses memandirikan sebuah kelembagan dan komunitas desa yang bertanggung jawab. Kedua, keterlibatan perempuan pada perencanaan dan kontrol atas sumber daya alam air telah merekatkan proses demokrasi desa. Ketiga, mempercayakan atau mengakui cara-cara rakyat “perempuan dan laki-laki” untuk melakukan upaya-upaya konservasi. Keempat, mengembalikan kedaulatan (keadilan, akses dan kontrol) rakyat dalam pengelolaan sumber daya alam di sekitar lingkungan komunitas setempat. (Nurkholis Sastro, Korda Bengkulu, Program CBFM KKI Warsi)
Rumpian Ala Perempuan Ladang Palembang
A
da rumpian seru ketika para perempuan Ladang Palembang, Kecamatan Lebong Utara, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu berkumpul. Tapi jangan salah sangka, ternyata mereka bukan ngerumpiin soal baju, atau rumah tangga orang, melainkan soal UU No. 29 tahun 2003, tentang Pemekaran Kabupaten Kepahiang dan Lebong. Jelas ini bukan materi yang lazim untuk dijadikan sekadar rumpian oleh ibu-ibu rumah tangga. Tapi jika anda orang sana rumpian semacam itu bukanlah sesuatu yang aneh. Karena ada cerita tersendiri berkaitan dengan kebiasaan ini. Cerita ini jelas bukanlah rumpian. Begini ceritanya
. Coai si lok itei nak piyo miling awai kecek tun laein/ keme naknyo, kenamen keme pelueng ngesok sudoo moi kebun/ uyo gou kupi coa bego, barang-barang lunyen kenek bekenek. (Tidak pantas kita perempuan ditalang bicara soal politik/ kita di sini, mulai pagi bangun masak terus ke kebun/ sekarang buah kopi tidak ada harga, tatapi harga-harga barang terus melonjak-red). Keluhan ini sering terlontar dalam obrolan para perempuan di petalangan yang jauh dari akses informasi dan hingar bingar kota. Tetapi sesungguhnya ungkapan itu telah membawa mereka pada makna kata politik. Artinya, perempuan nan jauh berada di petalangan sempat mengartikan politik itu hanya milik kaum laki-laki yang pintar dan berada di pusat kekuasaan. Masalah ini pula yang kemudian menjadi landasan kuat bagi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi untuk melakukan pencerahan terhadap pemaknaan kata politik dan pendidikan politik bagi perempuan di petalangan. Dengan membuka hubungan realitas keseharian yang menyangkut soal harga kopi yang terus turun, mereka kemudian didampingi untuk membawa masalah mereka ke lembaga politik Desa Ladang Palembang. Tanpa diduga topik memperjuangkan masalah mereka ke lembaga itu justru yang menjadi obrolan keseharian paling mengasyikkan di komunitas perempuan desa itu. Ketika era Otoda memberikan peluang membentuk Badan Perwakilan Desa (BPD), para perempuan di sana tidak mau membuang kesempatan untuk mulai belajar dan masuk ke struktur politik desa. Saat desa memberi kesempatan pada warga setempat untuk ikut pencalonan BPD, maka topik itu sudah menjadi rumpian paling hangat di kalangan perempuan sana. Mereka bahkan berpikir untuk menyertakan diri ikut dalam kancah politik desa tersebut.
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
Pada kelompok pengajian ada Ibu Zaitun (50 th). Beliau yang selalu menyemangati kelompok pengajian perempuan untuk berkumpul setiap minggunya. Sedangkan Bik Niswati, terbiasa mengelola pertemuan atau rapat-rapat yang diselenggarakan oleh desa terutama yang menyangkut urusan dengan kelompok perempuan. Dengan demikian sangat jelas partisipasi perempuan Ladang Palembang telah diterima dalam struktur dan kelembagaan desa. Tapi itu saja tidak cukup, harus ada pembuktian dan pengakuan secara politik terhadap hasil kerja kelompok perempuan. Secara implisit, telah ada pengakuan terhadap kerja-kerja yang telah dilakukan Bik Juhana baik secara pembukuan dan jalannya proses transparansi. Ini menjadi suatu nilai lebih yang dimiliki oleh perkumpulan perempuan Ladang Palembang. AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
Dari sudut pandang politik, perlu diciptakan ruang tersendiri bagi perempuan untuk menuangkan ide dan menyusun dokumen politik desa misalnya seperti Peraturan Desa (Perdes). Pertengahan Februari 2004, kelompok perempuan di pusat desa dan di beberapa petalangan mulai rembug dusun untuk mengevaluasi dan mencari alasan-alasan mendasar bagi penyusunan Ranperdes pengelolaan sumber daya air.
Tentu saja kesadaran berpolitik di kalangan perempuan Ladang Palembang tidak serta muncul begitu saja. Awalnya topik BPD tidak begitu terlalu menarik minat Bik Enih dan kawan-kawannya. Perlu proses panjang bagi fasilitator KKI Warsi dalam memberikan penyadaran politik kepada perempuan di sana. Harus ada pendekatan, wacana yang membuka pikiran serta penjelasan panjang, sehingga para perempuan di Ladang Palembang bisa sampai pada tahap tidak sekadar paham tapi juga ingin berpartisipasi dalam kancah politik desa yang sebenarnya. Terutama jika dikaitkan bersaing dalam pencalonan BPD. Hasilnya, tiga orang perempuan berani mengikuti proses seleksi dan pemilihan BPD. Padahal untuk maju ke kancah politik desa seperti itu jelas diperlukan keberanian politik yang tinggi, karena sudah dipastikan akan ada respon miring dari kelompok laki-laki di sana. Tapi dengan mental yang kuat ditambah dukungan kuat dari sesama perempuan di sana terutama dalam setiap rumpian mereka itu, akhirnya mereka bisa menempatkan Yusmaini (22 th) dalam keanggotaan BPD. Ibu dari tiga orang anak ini mengambil posisi sebagai sekretaris BPD. Sedangkan Cek Karyati dan Suhani menjabat sebagai Kaur Pemerintahan dan Bendahara Desa Ladang Palembang, juga empat orang perempuan lainnya yang berada dalam struktur kelembagaan desa. Sedangkan di pusat Desa Ladang Palembang ada tiga perempuan penggerak relasi sosial budaya. Bik Juhana, disela kesibukan mengurusi empat orang anak, juga mengkoordinir segala macam iuran PAM desa. Setiap bulan Bik Juhana berjalan mengelilingi pemukiman desa untuk memungut iuran sebesar Rp. 3.000 ke setiap keluarga yang menggunakan aliran PAM desa. Dia juga harus bersabar menerima kenyataan banyaknya tunggakkan iuran PAM tersebut.
Akhirnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa memang diperlukan penataan yang lebih baik tentang manajemen tata kelola PAM Desa, perlindungan yang lebih baik terhadap prasarana dan sumber air yang ada, serta membangun kesadaran komunitas di masing-masing lokasi di Desa Ladang Palembang. Apalagi mereka merupakan bagian dari mata rantai ekosistem. Tanpa hutan dan air yang mengalir maka kehidupan komunitas Ladang Palembang pasti terganggu. Termasuk membangun mekanisme yang lebih adil dalam menikmati sumber daya air. Pandangan tersebut sebenarnya bisa menjadi konsideran bagi Ranperdes yang mereka gagas. Dari sini para perempuan Ladang Palembang sesunguhnya telah melalui proses pembentukan Ranperdes Pengelolaan sumber Daya air dengan sangat baik. Mereka harus mengikuti beberapa kali pertemuan dengan serius dan fokus, dan itu tidak membuat mereka jenuh sama sekali. Terbukti daftar absen hadir yang tidak pernah kosong. Uniknya mereka kemudian mengganti Istilah rembugan menjadi belajar bersama. Istilah ini memiliki makna yang cukup luas. Setidaknya bisa dimaknai sebagai upaya peningkatan kapasitas perempuan desa pada proses legislasi formal kelembagaan desa. Pada taraf tersebut, menggambarkan keterukuran yang jelas terhadap sebuah upaya penguatan kapasitas perempuan. Jadi, siapa bilang ngerumpi itu tidak ada manfaatnya. (Nurkholis Sastro, Korda Bengkulu, Pro-
gram CBFM KKI Warsi).
29
WAWANCARA
AULIA ERLANGGA / KKI WARSI
30
Kepala Dinas Kehutanan Merangin, Ir Takat Himawan
Hutan Adat, Wujud Desentralisasi Kehutanan
D
i Kabupaten Merangin ada kecenderungan masyarakat desa untuk mengukuhkan kawasan hutannya menjadi hutan adat. Hal ini diakui oleh Kepala Dinas Kabupaten Merangin, Ir Takat Himawan. Setidaknya telah ada pengukuhan tiga kawasan hutan adat yang diperkuat dengan SK Bupati Merangin, yaitu Desa Guguk (2003) dan Desa Baru Pangkalan Jambu (2002), di Kecamatan Sungai Manau, serta Desa Pulau Tengah (2002), Kecamatan Jangkat. Dalam waktu dekat ini pula Hutan Adat Desa Batang Kibul akan diresmikan dan kini tengah dalam penantian proses pembuatan SK Bupati.
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
31 Kecenderungan ini semakin terlihat setelah Desa Guguk berhasil mengukuhkan hutannya menjadi hutan ada, banyak desa tetangga mereka yang menginginkan hutan adatnya bisa diresmikan dengan SK Bupati, atau berusaha menginisiasi kawasan hutannya menjadi hutan adat, sehingga mereka bisa menjaga kelestarian dan memanfaatkannya sesuai dengan nilai-nilai kearifan adat mereka.
Diakui jika keberadaan hutan adat tanpa dipayungi Perda, akan sangat lemah posisinya. Terutama jika kelak dieksploitasi pihak luar. Contoh aktual seperti yang terjadi pada Hutan Adat Desa Batang Kibul, dimana hutan adatnya dijarah CV Beringin Hijau. Ketentuan hutan adat yang telah berlaku ternyata tidak bisa menyentuh para pelaku apalagi untuk dihukum.
“Mereka melihat warga Guguk bisa memanfaatkan hutan adatnya untuk kebutuhan hidup. Selain itu hutan bagi mereka adalah identitas, hubungannya erat untuk kehidupan mereka ke depan. Saya pikir ini merupakan indikasi yang bagus. Apalagi hutan adat itu dimaksudkan untuk mengatur keharmonian alam yang ada di wilayahnya dan bukan untuk sebaliknya,” jelas Takat yang belum lama ini mampir ke kantor KKI Warsi.
“Persoalan semacam ini harus dicari jalan keluarnya sehingga keadilan hukum masyarakat dapat terpenuhi. Hal yang mungkin dilakukan adalah menciptakan hubungan yang sinergis antara hukum adat dengan hukum positif. Hukum positif inilah yang mengayomi hukum adat. Dalam konteks otonomi daerah, Perda adalah jalan pintas untuk mengatasi hal itu. Saat ini Desa Batang Kibul tengah dalam proses mendapat pengukuhan secara hukum positif,” jelas Takat yang hobi berkebun ini.
“Ada kesadaran tinggi dari masyarakat setempat untuk menjaga dan melestarikan hutan di wilayahnya. Mereka memahami jika hutan rusak karena eksploitasi yang berlebihan maka mereka akan menuai bencana sendiri. Tentu saja ini disadari mereka sebagai hal yang tidak baik untuk masa depan desa dan anak cucu mereka sendiri,” jelas Himawan yang hampir tiga tahun ini menjadi orang nomor satu di Dinas Kehutanan Merangin itu.
Sesungguhnya masyarakat Kabupaten Merangin sudah lama ingin mempunyai hutan adat. Tapi era HPH yang didukung kuat oleh pemerintah yang waktu itu bersifat sentralistik membuat mereka tidak berdaya. Ketika era Otoda mewabah maka timbullah konflik lahan antara masyarakat setempat dengan HPH. Lahan yang dalam sejarah adat adalah milik warga setempat dan pernah dirampas HPH kini oleh masyarakat diminta lagi.
Menurutnya, selama permintaan akan hutan adat areanya masih di lahan APL (Areal Penggunaan Lain) tidak akan menjadi masalah kecuali jika permintaan masyarakat mengarah ke lahan hutan produksi. “Kalau mereka minta di daerah hutan produksi, mungkin kita harus hati-hati. Mereka sebenarnya mau jaga hutan atau malah mau mengekspolitasinya,” tambah Takat yang juga lulusan Kehutanan UGM tahun 1985 ini.
“Biasanya kami menjadi mediator sehingga baik HPH dan masyarakat bisa menyelesaikan masalahnya dengan musyawarah. Akhirnya HPH mau menyerahkan sebagian lahan untuk marga adat,” tandasnya.
Karena itu pihaknya akan menggunakan ‘payung’ (peraturan) tentang hutan yang telah diresmikan menjadi hutan adat sehingga tidak bisa disalahgunakan. Namun sejauh ini, menurutnya, kecenderungan masyarakat masih murni ingin menjaga kelestarian alam desanya dengan melestarikan hutan adatnya. Jika masyarakat ingin hutan adatnya diperkuat dengan Perda maka pihaknya akan mendukung hal itu. “Berarti itu aspirasi dari bawah. Tapi kita juga menilai apakah mereka ingin mempertahankan hutan adatnya itu dengan baik atau sebaliknya. Dari Perda inilah hal itu di atur,” jelas ayah tiga anak ini.
Sejauh ini, aku Takat, persoalan konflik lahan dapat diselesaikan dengan baik. Namun yang jelas semakin banyak masyarakat desa di Merangin ingin menginisiasi kehadiran hutan adat di desanya kemudian mengukuhkan dan memperkuatnya dengan Perda, akan semakin memudahkan pekerjan Dishut Merangin dalam menyadarkan masyarakat tentang arti pentingnya hutan. Termasuk, setidaknya meminimalisir masalah illegal logging. (Fay/Edra)
AKTUAL
GNRHL di TNBD, Terjebak Pada Birokrasinya Sendiri
G
erakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang telah dicanangkan Presiden di Gunung Kidul, Yogyakarta, (2003), sepintas seperti solusi “sakti” dalam mengatasi perusakan hutan yang terjadi selama ini. Terlebih memakai prinsip pendekatan yang strategik, komprehensif, operasional sesuai dengan spesifikasi lokal ekosistem. Termasuk melibatkan seluruh stakeholder, memberdayakan masyarakat dengan prinsip ekonomi kerakyatan, menjamin keseimbangan lingkungan dan hidrologi DAS serta menciptakan sistem akuntabilitas terhadap kepentingan publik.
Topografi TNBD yang begitu landai/datar ini memang semakin menggiurkan bagi siapapun eksploitir kayu untuk secepat dan serakus mungkin mengeksploitasinya. Dari hasil interpretasi citra landsat tahun 2002 dapat dilihat begitu dahsyatnya deforestasi yang terjadi di kawasan ini. Padahal tahun 1989 (Dari sampel luasan area studi TNBD dan sekitarnya yakni 167.896, 44 ha) masih didominasi hutan yang kerapatannya sedang, seluas 98.159,69 ha (58,46% dari total). Namun luasan ini berkurang menjadi 67.014,81 ha (39,91%). Dari data tersebut juga diketahui bahwa penutupan hutan dari tahun 1989 sampai tahun 2002 pada area itu telah terjadi deforestasi sebesar 31.144,88 ha (31,73% dari luas hutan yang berkerapatan sedang, sementara area yang tadinya tidak berhutan masih tetap tidak berhutan). Sehingga total luasan yang tidak berhutan sebesar
Jika pendekatan itu dilakukan secara konsisten, maka kekhawatiran akan adanya ‘project oriented’ yang tidak mempertimbangkan keberlangsungan tujuan utama dari gerakan itu sendiri, dapat lebih diminimalisir. Dan ketika itu dikaitkan dengan sebuah gerakan, maka idealnya adalah suatu tindakan terencana, sistematis, dan kontinyu yang pada akhirnya dapat saja berkembang menjadi bagian dari budaya dari obyek gerakan tersebut. Tapi apakah kenyataannya memang demikian? GNRHL di Kawasan TNBD Sebagai gerakan nasional maka GNRHL meliputi hampir seluruh Indonesia. Terutama di DAS-DAS (Daerah Aliran Sungai) prioritas. Provinsi Jambi termasuk yang mendapat “jatah” tersebut. Pada tahun 2003 saja, sekitar 2.500 ha hutan dan lahan di Jambi mendapat jatah rehabilitasi. Kemudian pada tahun 2004 meningkat menjadi 14.000 ha dimana sekitar 500 ha-nya ada di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). TNBD merupakan TN yang sebagian besar kawasannya bekas areal HPH. Artinya sebagian besar kawasan itu telah dieksploitasi secara sistematis dalam skala besar. Ditambah lagi adanya aksi-aksi ‘saparatis’ para pebalok (logger) kampung yang dicukongi oleh pemodal tanggung, terutama sejak era penegakan hukum yang semakin lemah ini. Akibat over eksploitasi tersebut, TNBD kini lebih mirip persiapan setengah jadi areal perkebunan sawit.
DOK. KKI WARSI
32
33 Harus Melibatkan Orang Rimba Ada dua hal prinsip yang diajukan KKI Warsi berkaitan dengan GNRHL di TNBD. Pertama, hendaknya proyek ini melibatkan secara aktif komunitas asli TNBD yaitu Orang Rimba. Termasuk pelibatan mereka dalam pelaksanaan GNRHL yang bersifat swa-kelola dan padat karya, misalnya dalam hal pengadaan bibit, perencanaan, pelaksanaan maupun monitoringevaluasi. Jika Orang Rimba dilibatkan sejak awal maka mereka merasa memiliki dan bisa melihat manfaat proyek ini untuk komunitasnya. Bukankah banyak proyek gagal karena tidak adanya rasa memiliki dan manfaat yang jelas-tepat buat kelompok sasaran, karena memang sejak awal tak adanya pelibatan aktif mereka? Kedua, adalah transparansi anggaran selama proses kegiatan, guna mengantisipasi korupsi yang justru bisa menghambat suksesnya kegiatan ini. DOK. KKI WARSI
Dua saran ini langsung disetujui BKSDA. Selain Warsi, BKSDA juga melibatkan Universitas Jambi (Unja) untuk pengawasan dan evaluasinya. Tapi ketika mulai Kegiatan penandaan batas hutan
100.881,63 ha (60,09%). Ini artinya, bahwa selalu ada pembukaan baru di area TNBD dan sekitarnya seluas 7.760,13 ha setiap tahunnya. Luas area yang mesti segera direhabilitasi dalam kawasan TNBD inilah, menurut pertimbangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi, harus jadi prioritas, mengingat waktu dan anggaran dana yang disediakan pemerintah untuk merehabnya dirasakan terbatas. Rencana ini baru terealisir dilaksanakan pada tahun 2004 ini dan dijalankan serempak dengan rencana dan anggaran rehabilitasi tahun 2004. Itu berarti penggunaan anggaraannya tidak perlu detil terutama pada alokasi dana operasional dan prosesnya BKSDA dengan serius memulainya dengan meminta masukan sejumlah pihak terkait termasuk Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi yang dianggap lebih memahami karakter TNBD dan komunitas Orang Rimba yang ada di dalamnya. Ajakan itu langsung disambut baik karena menyangkut masa depan pengelolaan TNBD yang selama ini diperjuangkan. Setelah sekian lama, baru kali ini ada kesepahaman yang nyambung antara Warsi dan BKSDA.
Membahas penyediaan bibit, muncullah hambatan berupa Juklak dan Peraturan yang dikeluarkan Menhut bahwa BP DAS-lah yang mempunyai kewenangan menunjuk pihak ketiga dalam penyediaan bibit. Padahal telah disepakati sejak awal gerakan ini harus melibatkan komunitas Orang Rimba dimana mereka juga-lah yang menyediakan bibit. Akhirnya BP DAS menyepakatinya namun dengan syarat bibit yang disediakan harus memenuhi kriteria layak secara ekologis, ekonomis, dan secara administrasi (tentu saja), sehingga mereka tidak dianggap menyalahi aturan yang sudah ada. Sebenarnya ada enam keuntungan jika bibit disediakan dari Orang Rimba langsung dari TNBD. Pertama, sudah terjamin kelayakan ekologis dan ekonomis. Kedua, menghemat biaya pengangkutan jika bibit mesti didatangkan dari luar lokasi. Ketiga, meminimalisir jumlah bibit yang rusak atau mati selama proses pengangkutan dari lokasi pembibitan ke TPS, TPA maupun lokasi penanaman. Sebab tahun lalu, saat proyek pemeliharaan batas di lokasi TNBD, hanya 50 - 60% bibit yang berhasil ditanam (barangkali yang hidup bisa jauh lebih rendah dari itu mengingat pelibatan komunitas Orang Rimba hanya sebatas buruh angkut atau guide teknis dan bibit yang digunakan adalah bibit unggul bukan asli setempat).
AKTUAL
DOK. KKI WARSI
34
Keempat, sudah teruji kemampuan/daya hidupnya di lingkungan calon lokasi penanaman. Bibit yang akan digunakan adalah bibit hasil cabutan/bedolan anakan dari pohon induk yang tumbuh di dalam TNBD, sehingga memperbesar peluang hidup dalam jangka yang lebih panjang dibanding bibit unggul sekalipun. Kelima, menambah pendapatan bagi komunitas Orang Rimba dengan adanya kerja pencarian/pengadaan bibit. Hal ini juga sangat membantu bagi Orang Rimba yang sudah jarang menikmati hasil hutan non kayunya, sementara belum banyak produktif sumber pendapatan mereka. Keenam, karena melibatkan bibit lokal-endemik, normatif dan ekonomis sesuai calon lokasi tumbuhnya, sehingga meminimalisir goncangan ekologis buat ekosistem TNBD. Bahkan dapat memperkuat sistem pengamanan TNBD secara alami yakni dengan adanya pohon-pohon normatif yang secara adat - diakui baik oleh Orang Rimba maupun orang desa - tidak boleh ditebang. Misalkan saja jenisjenis pohon sialang. Usulan ini memang disetujui meski masih dengan sejumlah syarat dimana pihak ketiga yang ditunjuk dalam pengadaan bibit (sebagai rekanan) harus membeli bibit yang disediakan oleh Orang Rimba guna menyelesaikan masalah administratif. Jika masih ada kekurangan bibit yang telah diusahakan oleh Orang Rimba, maka pihak rekanan akan mengusahakan sisanya dari sekitar 32.500 bibit dari luar. Hanya saja dalam penentuan syarat jual-beli bibit tersebut, diharapkan bisa fleksibel. Mengingat Orang Rimba tidak begitu paham dan awam dengan masalah prosedur proyek ini. Sayangnya perhitungan untung rugi gaya pebisnis pihak rekanan yang ditunjuk BP
DAS ini membayangi masalah ini. Meski akhirnya (sementara) persoalan bibit dapat diatasi bersama secara win-win benefit. Lokasi GNRHL di TNBD Berkaitan dengan lokasi yang akan jadi prioritas kegiatan, KKI Warsi menyarankan agar dipilih zona utara TNBD (yakni zona perluasan Cagar Biosfer, bekas HPH). Alasannya : Pertama, zona inilah yang telah dan sedang mengalami degradasi lahan dan deforestasi yang sangat dahsyat. Zona ini dulunya memang ‘nyaris’ sempurna dieksploitasi oleh HPH Intan Petra Dharma maupun HPH Alas Kusuma, kemudian dilanjutnya oleh separatis pebalok (logger) yang dicukongi oleh elitelit desa dan warga keturunan Jambi. Sebut saja seorang konglomerat warga keturunan di Jambi (inisial AH dengan mesin perusahaan DPK-nya), yang saat ini tengah mengeruk habis kayu-kayu di zona utara TNBD itu. Kedua, di zona ini masih belum ada kegiatan yang signifikan dari pemangku kawasan (BKSDA), sehingga banyak pebalok yang dengan sengaja melihat bahwa zona ini tidak bertuan, meski sesungguhnya mereka sadar bahwa perbuatannya adalah illegal. BKSDA harusnya intens melakukan kegiatan di zona ini sebagai bentuk legitimasi dan kewenangannya. Hal ini jelas penting, jika dikaitkan tata batas TNBD yang belum temu gelang (perkiraan sekitar 9 - 13 km). Sejak hampir dua tahun yang lalu rencana pengelolaan TNBD secara lebih utuh menjadi terhambat. Ini jelas melemahkan pihak BKSDA dalam memulai langkah-
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
35
langkah pengelolaannya, juga menimbulkan peluang bagi pihak yang dengan sadar mencoba mengutak-atik lagi kesepakatan yang telah dibuat dulu, baik secara legal hukum (peraturan daerah) maupun secara illegal dengan mengeksploitasi langsung sumber daya kayunya. Usul ini pun disepakati dengan memilih zona selatan TNBD mengingat aksesnya lebih mudah termasuk dalam pengawasannya. Selain itu resistensi masyarakat di utara juga masih terlalu keras dibandingkan dengan selatan. Akhirnya jalan tengahnya adalah sebagian besar dari luas lahan proyek 65 ha, berada di zona utara, sisanya baru di zona selatan TNBD.
jelutung, meranti dan duku. Namun sampai awal bulan Juni ini belum ada tanda-tandanya proyek segera dilaksanakan. Ada saja berbagai alasan yang dikemukakan, yang memastikan ketidakpastian jalannya proyek ini.
Tapi sangat disayangkan ketika pengecekan soal lokasi dan calon petani, di lapangan pada 21-22 April lalu, pihak rekanan tidak besedia ikut. Mereka beralasan belum berani memberikan ‘jatah’ bibit yang dapat diadakan oleh Orang Rimba. Terlebih belum adanya surat Penunjukkan Langsung (PL) oleh Menhut. Kepergian tim pun lebih ditekankan mengenai calon lokasi dan petaninya saja, tanpa ada pembicaraan pengadaan bibit. Namun kekecewaan kembali timbul ketika ketika BKSDA justru memutuskan hanya ingin melakukan survei di zona selatan saja dengan alasan anggaran dan waktu yang terbatas. Sementara dana untuk lokasi di zona utara baru dipastikan pada September tahun ini. Padahal sebelumnya diberitahu bahwa dana ini bersifat given, sehingga tidak ada perincian detil sesuai dengan seluk beluk calon lokasi proyek. Sementara masalah bibit baru diidentifikasi tentang jenis dan perkiraan kuantitasnya secara kasar saja. Jenis-jenis tersebut antara lain, jenis durian daun, kempas, rotan manau, rotan seni, rotan cacing, pulai,
Panitia tata batas harus segera duduk kembali mendiskusikan masalah batas itu, dengan jaminan tidak adanya manipulasi fakta dan desakan kepentingan sesaat, terutama mengenai sumber daya kayu yang masih dapat dieksploitasi dibeberapa titik dalam TNBD. Semua pihak sebaiknya sadar dan memahami bahwa ini bukan sebatas kepentingan hutan semata, tetapi dapat dilihat lebih luas daripada itu. Biaya yang mesti dikeluarkan akibat banjir besar yang melanda Jambi tahun 2003, masih jauh lebih besar dibandingkan PAD Rp 6 milyar tahun 2002 yang berasal dari penebangan kayu di TNBD. Lalu mau bukti apa lagi? Tak perlu tunggu sampai kiamat bukan? (Nurdin Hasan, Asisten Manajemen Kawasan, KKI Warsi)
Tapi apa mau dikata, seperti inilah proyek itu harus berjalan. Warsi sendiri sebagai fasilitator hanya berpegang pada komitmen tetap akan mendukung konservasi hutan yang masih tersisa dengan memberdayakan masyarakat setempat secara lebih efektif. Keputusan masih tetap di tangan BKSDA. Tetapi kejadian itu jelas harus menjadi evaluasi tersendiri.
AKTUAL 36
Budaya Kematian, Simbol Eksistensi Masyarakat Asli “Ketika dimandikan dari tubuh mayat mengepul ‘asap’, itu menandakan adanya dosa pada si mati. Penghulu (dukun) harus mengusahakan agar kepulan ‘asap’ itu menghilang. Dengan campur tangan penghulu pula diharapkan sukma si mati itu bisa langsung ke Mandala Hyang (surga. Apabila dosa si mati tidak dibersihkan terlebih dahulu, maka sukmanya akan terseret masuk ke Buana Larang atau Buana Peteng (neraka)”.
D
emikian sekilas kosmologi mengenai tradisi kematian yang melekat pada kepercayaan masyarakat asli (kelompok indigenous people) Baduy yang mendiami daerah Selatan Banten, tepatnya di Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak, tentang konsep kematian yang dianutnya. Bila ada salah seorang anggota kelompoknya yang meninggal, maka orang Baduy dituntut oleh adat-istiadat mereka untuk mampu mengendalikan emosinya, dilarang tertawa terbahakbahak atau menangis histeris. Tradisi hanya memberi kesempatan bagi keluarga si mati untuk sekedar tersenyum dan menitikkan air mata (ceurik panglayuan), karena menurut kepercayaan mereka, rasa suka dan duka hanyalah sebagai penghias kehidupan yang tak perlu diekspresikan berlebihan. Peristiwa kematian seperti ini dalam budaya Baduy lazim disebut dengan Kaparupuhan.
asli yang mendiami Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Provinsi Jambi. Pada budaya Orang Rimba, peristiwa kematian selalu identik dengan budaya Melangun, yaitu ketika salah seorang anggota kelompok (rombong)-nya meninggal, maka anggota rombong itu seluruhnya akan pergi meninggalkan tempat tinggal serta ladang mereka dan mencari tempat baru untuk rumah (genah) mereka. Biasanya selalu diiringi tangisan histeris rombong tersebut sambil meratap menyebut orang yang sudah mati itu. Namun sebelum mereka pergi mencari tempat baru, beberapa laki-laki (jenton) dari rombong tersebut, terlebih dahulu membuatkan Genah Pasaron (pondok tempat menyimpan mayat) di suatu tempat di hutan yang tersembunyi dan jarang dilewati orang. Di dekat si mayat ditaruh beberapa peralatan yang biasa digunakan olehnya semasa hidup, seperti parang, periuk, kain, ataupun kujur (tombak). Alat-alat itu dimaksudkan sebagai bekal di dunianya yang baru sehingga dia dapat membuat rumah dengan parang, memasak nasi dengan periuk agar tidak kelaparan, kain untuk pakaiannya, serta kujur untuk berburu. Dengan begitu dia diharapkan dapat hidup layak di halam (alam) yang baru itu. Almarhum Wakil Tumenggung Mlahir
Namun, berbeda masyarakat, maka akan berbeda pula budaya dan adat-istiadatnya, terutama pada masyarakat asli yang masih kental memelihara tradisi serta tata cara khusus yang harus dijalani berkaitan dengan konsep kematian. Hal itu menjadi wajar, karena peristiwa kematian selalu dianggap sebagai siklus kehidupan manusia yang sakral sehingga harus dilewati dengan berbagai prosesi upacara adat untuk menyempurnakan arwah si mati. Bila pada masyarakat Baduy, kosmologi kematian identik dengan pengendalian emosi pada diri individu atau keluarga yang ditinggalkan, maka berbeda dengan konsep kematian yang terinternalized dalam kepercayaan Orang Rimba (Kubu) sebagai masyarakat
Dari dua masyarakat asli ini, jelas terlihat ada perilaku sosial yang berbeda dalam mengkonsepsi peristiwa kematian. Bila pada masyarakat Baduy tradisi kematian dianggap sebagai cerminan siklus hidup manusia yang harus disikapi dengan wajar pula tanpa ekspresi emosional yang berlebihan. Pada Orang Rimba, kematian merupakan peristiwa luar biasa yang mampu menguras emosi setiap orang yang ditinggal mati sebagai sebuah bentuk perilaku sosial yang menjadi ciri budaya Orang Rimba. Mungkin perbedaan ini juga tidak lepas dari karakteristik masyarakat Jawa yang terkenal dengan sifat ‘nrimo’ dan Melayu secara umum yang cenderung berwatak keras. Namun, perbedaan
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
37 ini justru menjadi ciri khas dari kedua masyarakat asli ini terutama berkaitan dengan tradisi kematian. Sarana Capital Sosial Melangun sendiri bagi Orang Rimba juga merupakan sarana capital social untuk tetap mempertahankan adatistiadat mereka yang telah diwariskan secara turuntemurun sebagai kelompok masyarakat asli yang hidupnya nomaden. Melangun juga dapat dijadikan sebagai capital social bagi sebagian orang dari rombong itu untuk memisahkan diri dari rombongnya. Alasan yang biasa melatarbelakangi itu antara lain karena terlalu banyaknya jumlah orang dalam rombong itu sehingga sulit untuk mendapatkan sumber daya secara maksimal atau adanya konflik antar individu, serta kesempatan untuk melepaskan diri dari rasa tertekan akan aturan-aturan yang terdapat dalam rombong tersebut. Sebagai contoh paling nyata dan belum lama terjadi adalah kasus melangun pada Rombong Celitai di Kejasung Besar. Keberadaan sebuah perusahaan kayu di TNBD secara tidak langsung telah menyebabkan kematian tokoh adat rombong tersebut, Wakil Tumenggung Mlahir. Kematian yang tidak wajar karena kecelakaan yang diakibatkan terjatuh dari wheel loader (alat berat pengangkut kayu) serta diindikasikan kepalanya telah membentur tiang besi alat berat itu, meski pada malam kejadian yang membawa loader itu adalah Becayo yang juga Orang Rimba satu rombongnya. Tapi kejadian itu telah membuat kepanikan serta histeria luar biasa pada rombong tersebut sehingga memutuskan untuk segera melangun dan mencampakkan mayatnya begitu saja di tepi sungai. Meski agak sedikit di luar kebiasaan, karena si mati tidak dibuatkan genah pasaron, namun adat melangun tetap merupakan tradisi yang tidak ‘termakan’ modernisasi. Tradisi ini jelas menggambarkan budaya Orang Rimba secara utuh sebagai masyarakat nomaden. Tradisi ini masih belum lengkang meskipun sedikit demi sedikit pada beberapa sisi kehidupan mereka telah tersentuh pengaruh kebudayaan modern bahkan yang mengarah pada masyarakat perkotaan secara langsung atau tidak langsung yang telah mengimbas pada pola hidup Orang Rimba, khususnya generasi mudanya. Keberanian Becayo, misalnya, yang mengendarai loader itu meski belum mahir, tidak menyurutkannya untuk terus mencari tahu tentang bagaimana cara kerja
kendaraan itu bisa berjalan. Bila dikaji sesungguhnya sangat manusiawi ketika aspek lahiriah manusia berusaha memenuhi rasa ingin tahunya terhadap sesuatu yang dianggapnya tidak lazim. Apalagi dia dan beberapa Orang Rimba lainnya belum pernah melihat dan mengendarai alat tersebut. Rasa ingin tahunya yang besar membuatnya berani mengendarai loader itu tanpa memikirkan resikonya. Pada akhirnya hal itu telah memberikan pelajaran yang berharga - setidaknya untuk masa sekarang - sekaligus menandai adanya gegar budaya serta proses akulturasi pada Orang Rimba, khususnya rombong Celitai yang semakin kentara dampaknya dengan orang desa yang berada di sekitar TNBD. Begitu pula jika kita melihat eksistensi budaya dan masyarakat Baduy yang telah terakulturasi dengan masyarakat desa sekitarnya. Ini ditandai dengan adanya masyarakat Baduy Dalam dan Luar, dimana masyarakat Baduy Luar adalah mereka yang lebih memilih hidup dan tinggal seperti orang kebanyakan dengan budaya dan aturan-aturan yang longgar dalam mengatur ritme hidupnya. Namun, Kaparupuhan sebagai budaya kematian tetap eksis sebagai bagian dari budaya mereka, baik itu dilakukan oleh masyarakat Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Bila dilihat secara holistic, eksistensi kedua masyarakat asli itu dengan konsep budaya kematiannya di atas setidaknya secara empiris-teoritis sampai saat ini telah mampu menjawab sikap skeptis dari masyarakat modern pada umumnya yang berpikiran bahwa masyarakat asli dengan segala budayanya akan musnah secara alami. Namun realitanya, Orang Baduy dan Orang Rimba dengan segala keterbatasannya masih mampu mempertahankan eksistensi budayanya dengan melaksanakan segala adat istiadat yang tercermin melalui implementasi nilai dan norma yang tetap menjadi pedoman mereka dalam menjalani kehidupannya di tengah gencarnya modernitas dan pembangunan dalam berbagai bidang. Begitu pula pada Orang Rimba khususnya. Tradisi melangun, meski terlihat seperti menjalani livin la vida loca (life in crazy live) karena pergi berpindah dengan peralatan dan bekal makanan seadanya serta meninggalkan rumah dan ladang mereka bahkan terkadang sampai kelaparan di jalan, namun keberadaannya sebagai sebuah pranata sosial tetap ‘berdiri’ kokoh diantara arus modernisasi pada berbagai sisi kehidupan manusia. (Erna Anjarwati, Antropolog KKI Warsi)
AKTUAL
ALAIN COMPOST / KKI WARSI
38
PT Dikapura Kencana Ancam Kelestarian TN Bukit Duabelas
T
opografi Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, yang relatif landai/datar, menjadi daya tarik tersendiri. Bagaimana tidak, karena TNBD seluas 60.500 ha yang dikukuhkan dalam SK Menhutbun No.258/KPTS-II/2000 mempunyai kekhasan adanya komunitas masyarakat asli di dalamnya, yaitu Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) (1.300 jiwa). Hal itu jelas telah mendapatkan pengakuan melalui SK Menhutbun. Selain itu potensi sumber daya hutan kayu dan non kayu di TNBD, juga masih relatif melimpah jika dibandingkan dengan kawasan hutan dataran rendah lainnya di Jambi. Dengan keunggulan tersebut , TNBD jelas menjadi incaran pihak-pihak yang berkepentingan atas sumber daya alamnya. Dan mereka berusaha mengeksploitasinya dengan berbagai cara. Para pengusaha kayu berusaha mendapatkan izin secara legal dari pemerintah/instansi yang berwenang. Di sisi lain, di era Otoda kini Pemerintah Daerah (Pemda) juga membutuhkan tambahan pemasukan dari sektor ini guna peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Perda yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam untuk mendukung kegiatan tersebut juga dibuat, namun tidak jarang malah bertentangan dengan aturan di atasnya. Misal; pencabutan Perda-perda pengelolaan sumber daya hutan di beberapa kabupaten di Provinsi Jambi melalui SK Mendagri bulan November 2003 lalu. Melalui jalan legal inilah selanjutnya PT Dika Purakencana mendapatkan izin pemanfaatan kayu dengan lokasi di Desa Batu Sawar, Kecamatan Maro Seboulu. Kegiatan ini juga didukung oleh beberapa warga yang pada awal tentang masuknya PT itu, masyarakat dijanjikan kebun sawit dengan luas izin yang diberikan 500 ha. Sebelumnya (tahun 2000) pada lahan yang sama diberikan izin kepada CV Rahmaturiddo seluas 600 ha. Secara peruntukan lahan, status izin tersebut sebenarnya berada di Areal Peruntukkan Lain (APL), tapi juga tumpang tindih dengan lahan konsesi PT Limbah Kayu Utama (LKU) yang berstatus hutan produksi.
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
39
Kenyataan di lapangan, perusahaan ini justru lebih banyak beraktivitas di dalam kawasan TNBD. Hal ini ditandai dengan dibukanya jalan logging sepanjang 22 km dari tepi sungai Tabir atau logpond perusahaan menuju ke dalam TNBD, dan sudah memasuki TNBD sepanjang lebih dari 6,1 km. Lebar jalan logging sekitar 8 -12 meter sehingga dua truk tronton dan satu mobil hiline dapat melintasi jalan secara serempak. Dari aktivitas pembangunan infrastuktur jalan dan sarana yang lain saja, mereka telah berhasil mengirim kayu dalam jumlah yang besar yakni sekitar 400 batang (1000 M3) ke sawmill. Sekarang ini telah terkumpul di logpond mereka sejumlah 500 batang log ukuran 12 meter diameter rata-rata 50 cm ke atas. Jika hal ini dibiarkan, dalam hitungan sehari saja, mereka meraih sekitar enam batang per tronton (ada lima tronton) dan tiga kali trip perjalanan, sehingga dikalibrasi dalam jumlah kubik sekitar 15 M3 x 5 x 3 = 225 M3 perhari. Dalam sebulan 6.750 M 3. Kegiatan ini juga terdukung oleh beberapa alat berat yang terdiri dari lima tronton, satu dozer, loader, eskavator, mobil hiline pick up dan satu lagi mobil jeep. Mereka juga dilengkapi dengan seperangkat alat komunikasi berupa HP satelit. Tewasnya Orang Rimba Karena aktifitas dan keberadaan alat berat perusahaan (loader) di TNBD inilah, seorang Wakil Tumenggung Mlahir dari salah satu rombong Orang Rimba di TNBD tewas mengenaskan, pada 18 Mei 2004. Sebenarnya kasus kematian Orang Rimba yang berkaitan dengan aktivitas eksploitasi kayu di TNBD telah terjadi beberapa kali yaitu pada akhir tahun 1997 dimana dua Orang Rimba tewas. Lalu akhir tahun 2001 dialami satu Orang Rimba. Semua kasus kematian sebelumnya ini berakhir tanpa ada penyelesaian hukum positif. Harapannya kasus yang baru terjadi dapat diproses sesuai aturan yang berlaku tentunya. Kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan tersebut jelas menjadi ancaman nyata bagi kelestarian TNBD. TN yang sudah lama dan sudah pernah
ALAIN COMPOST / KKI WARSI
Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat tahun 2002, lokasi tersebut, yang masih dianggap bervegetasi sedang sampai rapat kurang lebih 33% itupun lebih banyak di wilayah PT LKU. Sehingga secara ekonomis, kecil kemungkinannya usaha ini tidak menguntungkan, belum lagi keberadaan kebun karet masyarakat yang juga berada di lokasi ini.
Kegiatan illegal logging di TNBD
dieksploitasi sebelumnya dihampir tiap ruang, sekarang ditambah lagi dieksploitasi oleh perusahaan dengan dukungan modal cukup dan peralatan yang memadai. Semua kegiatan eksploitasi ini tentunya membuktikan bahwa resiko dan kerugian terbesar selalu akan dialami oleh Orang Rimba karena dalam TN inilah mereka hidup dan tempat sumber daya mereka baik yang bersifat jangka pendek maupun panjang. Dari kejadian ini, kebutuhannya adalah komitmen dari semua pihak terutama pihak-pihak yang yang mempunyai kewenangan dalam mengelola sumber daya hutan, baik yang berstatus hutan produksi maupun konservasi, agar dalam pengelolaannya memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Penegakan hukum terhadap pelanggaran dan upaya pengrusakan harus dilakukan secara tegas. Saatnya bagi kita bersama untuk menyelamatkan hutan yang masih tersisa di Jambi ini, demi keseimbangan kehidupan manusia dan alam yang lebih luas. Kalau tidak sekarang, kapan lagi !! (Budi Retno Minulya, Koordinator Fasilitator Unit Desa, KKI Warsi).
ALAIN COMPOST / KKI WARSI
40
AKTUAL
Sudah saatnya Orang Rimba Mandiri?
D
ahi-dahi mengkerut dan mata kadang saling bersitatap, serius. Satu sama lainnya mencoba mencerna apa yang tengah dibicarakan. Mereka duduk lesehan dengan baju lusuh. Kadang mengangguk-angguk bersamaan sambil berujar, “Au-au,” (mengerti, mengerti -red). Di tengah keseriusan sesekali terselip canda dan berderailah tawa yang kemudian cair bersama kepulan asap rokok Harum Manis yang buyar di udara. Demikianlah suasana pertemuan antara 15 Orang Rimba yang terdiri dari penghulu dan anak mudanya dengan Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA), Maraden Purba serta beberapa stafnya pada 22 April 2004 di kantor Komunitas Konservasi Indonesia (KKI), Jambi. Para tokoh dan anak muda Rimba ini adalah yang tinggal di daerah Sungai Makekal dalam hutan Taman Nasional Bukit Dubelas (TNBD). Meski ada kendala dalam perbedaan bahasa, tapi pertemuan berlangsung komunikatif karena dibantu penterjemah dari Antropolog Warsi yang selama ini memang mendampingi mereka dan paham bahasa mereka. Bisa dikatakan pertemuan dengan menyertakan para tokoh Orang Rimba adalah hal yang sangat langka. Karena bukan kebiasaan adat mereka untuk meninggalkan keluarganya di rimba dalam waktu lama. Apalagi untuk membicarakan sesuatu yang tidak hanya sekadar pertemuan silaturahmi saja tapi juga yang lebih serius dari itu. Mereka datang untuk dua agenda yaitu ; pertama, membahas rencana pembentukan Lembaga Mandiri. Kedua, merajut kesepahaman peran dan kerjasama dengan pemerintah (dalam hal ini BKSDA sebagai pengelola TN) dengan masyarakat Orang Rimba yang berada di sekitar TNBD. Lembaga Mandiri Meski rencana pembentukan lembaga mandiri yang akan dibentuk dan dikelola oleh Orang Rimba itu masih sebatas wacana, tapi tetap dianggap sebagai harapan untuk masa depan mereka. Apalagi lembaga itu tujuannya untuk mengamankan lahan dan tata niaga karet yang mereka miliki. Lebih dari tujuh tahun ini Orang Rimba telah mengembangkan agroforest yang berbasis karet (hompongan) dengan kombinasi tanaman lain seperti rotan, durian, petai, duku, sebagai tanaman sela.
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
41 Hompongan inilah yang menjadi “pagar” tradisional untuk melindungi TNBD dan perburuan lahan yang berbahaya bagi kelangsungan hidup Orang Rimba sendiri. Saat ini sudah 200-300 ha kebun agroforest yang telah tersedia bagi 300 lebih rumah tangga Orang Rimba yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Makekal, DAS Air Hitam, Das Kejasung Besar, dan DAS Terab. Walaupun kecil (rata-rata 1 ha/rumah tangga) luasan ini bukanlah gambaran luas kebun Orang Rimba sesungguhnya. Dua dekade terakhir sebagian Orang Rimba yang berada di DAS Makekal dan DAS Air Hitam telah menanam karet pada kebun mereka, kendati dalam luas lahan yang minim dan kurang terawat. Hompongan karet inilah yang sesungguhnya diharapkan bisa mendukung pemenuhan kebutuhan Orang Rimba saat ini dan di masa mendatang. Dan melalui Lembaga Mandiri diharapkan tata niaga karet bagi Orang Rimba bisa dikelola dengan baik. Sehingga distribusi hasil karet mereka tidak lagi melalui toke-toke lokal yang sering memanfaatkan ketidaktahuan Orang Rimba tentang tata niaga karet. Selama ini Orang Rimba sering menjadi sasaran empuk para toke karet yang ingin mencari untung dengan memanfaatkan ketidaktahuan mereka atas tata niaga karet. Mereka sering menjual karet yang disadap dengan harga miring hingga 50% dari harga pasar lelang kepada tengkulak. Ini disebabkan keterbatasan pengetahuan mereka terhadap harga yang berlaku di pasar saat ini, sehingga posisi tawar jadi sangat rendah. Selain itu, seringkali para toke menggunakan alasan kualitas karet yang dihasilkan Orang Rimba kurang baik. Meski sesungguhnya karet yang dihasilkan kebanyakan Orang Rimba sesungguhnya cukup baik, yakni tidak mengandung tatal (kotoran) dan kadar air. Harusnya dengan kualitas baik seperti itu Orang Rimba mendapatkan harga yang lebih tinggi. Jika Orang Rimba sudah bisa mengorganisir diri terhadap lahan ekonomi yang dimiliki secara berkelompok dengan baik, maka mereka tidak perlu bergantung lagi dengan para toke atau jenang yang selama ini sangat mengikat mereka. Berkaitan dengan hal ini diakui semua pihak, terutama Orang Rimba bahwa terbentuknya Lembaga Mandiri pada pelaksanaannya kelak tidak semudah yang dibayangkan. Betangkai, Mirak misalnya, merasa ragu bisa melepaskan diri dari jenang mereka selama ini. Karena mereka sudah seringkali “diikat” oleh para jenang yang sering membantu mereka hingga urusan pribadi seperti hutang. Karena itu dia agak gamang
untuk bertoke ke orang lain meski secara ekonomis sangat menjanjikan. “Kita takut ko pada kutuk sebab lah ado pengaturon (Kita takut pada kutuk sebab telah ada pengaturan - soal penjualan karet- sejak lama-red),” tandas Mirak. Bahkan Betangkai mengatakan bahwa Orang Rimba yang ada di hilir terutama rombongannya, belum bisa memutus hubungannya dengan para jenangnya yang ada di Tana Garo. Karena mereka percaya, sejak nenek moyang mereka dahulu para Jenang di Tana Garo sudah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan mereka. Karena itu baik Mirak, Ngandun Mudo, Betangkai, lebih memilih untuk membicarakan rencana ini kepada rombongan mereka di dalam rimba termasuk kepada jenang/waris mereka yang ada di Tana Garo. Tapi mereka mengakui bahwa selama ini mereka memang sering dirugikan oleh para jenang itu. Hal ini diakui sendiri oleh Temenggung Grip. Selama ini kalau menjual karet kepada jenang atau waris yang berperan menjadi toke mereka, sering dikurangi timbangannya, misalnya dari dua kilo menjadi satu kilo. Sementara Ngandun Tua merasa tidak punya masalah untuk berganti toke, terpenting dipastikan mereka mendapatkan bayarannya. Sedangkan anak-anak muda Orang Rimba memberikan apresiasi yang baik terhadap rencana ini. Posisi mereka jelas mendapat peran penting di masa depan. Tenaga dan kemampuan baca, tulis, hitung, yang mereka pelajari melalui pendidikan alternatif selama ini diharapkan bisa membantu orang tua mereka dalam transaksi jual beli hasil-hasil hutan Orang Rimba, agar mereka tidak lagi menjadi objek hisapan para toke desa. Meski kemudian diskusi tentang rencana Lembaga Mandiri hasilnya agak sedikit “mengambang” dan akan dibahas secara tersendiri dengan rombong mereka di rimba, namun para tokoh Orang Rimba ini menyepakati satu hal, yaitu “Perubahan.” Satu hal itulah yang mereka pahami dengan pasti, bahwa sesungguhnya mereka tidak bisa menghindari perubahan yang mulai mendekati mereka. Dan ketika hari itu (perubahan-red) datang sudah siapkah Orang Rimba mandiri dalam arti sebenarnya? (Marahalim/ Antropolog KKI Warsi)
MATA HATI 42
Penulis (dua dari kanan) bersama keluarga Orang Rimba.
Aku dan Orang Rimba
H
ampir tiga tahun ini aku bergumul dengan kehidupan Orang Rimba. Makan dan tidur di alam terbuka seperti mereka, berbicara Rimba, dan kadang memakai cawat pula. Aku juga pernah ikut berburu bersama mereka. Jelas, mereka tidak seperti dalam bayanganku sebelumnya, yakni, sekumpulan masyarakat yang tertutup dan penuh kekuatan magic (ilmu hitam). Mereka sesungguhnya sama dengan kita yang merasa telah hidup “beradab”, punya keluarga, ada canda, dan ada cinta. Adalah Ngembar sosok orang tua rimba yang banyak mengenalkan aku pada kehidupan rimba. Dia termasuk Orang Rimba yang sangat percaya dengan kemampuan diri dan keagungan adatnya. Dia pula yang mengajariku Bahasa Rimba dan menceritakan banyak hal tentang adat dan budaya masyarakatnya. Dia sangat menentang kata “Kubu” untuk menyebut Orang Rimba. Karena kata kubu itu selalu diidentikkan dengan kekotoran, bau, dan punya ilmu sihir. Dia lebih tidak suka lagi jika Orang Rimba disebut sebagai masyarakat liar dan tidak beradat. “Kami nio Orang Rimba bukan Kubu, sebab mengkanya rimba karena kami hidup di delom rimba,” (Kami ini Orang Rimba bukan Kubu, disebut rimba karena kami hidup di dalam rimba), tegasnya memulai cerita tentang sejarah asal-usul mereka kepadaku, waktu itu.
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
43 Yah, bisa dikatakan hubunganku dengan Ngembar sangat dekat. Setidaknya itu yang kurasakan. Karena dia bersama sejumlah keluarganya yang terkumpul dalam satu kelompok itu, selalu saja menyambut kedatangan dan kepergianku dengan berbagai pantun. Apo guna berambut panjang /Esuk mandi mengurai jugo/ Apa guno bekasi sayang, esuk mati bercerai jugo. (Pantun ini disampaikan jika mereka melepas kepergianku). La lamo idak ke talang /La ba buwo kacang parang /La lamo idak bepandang /La berubah kasih sayang / Kalo ndak nengok belungkang Jambi /Tengok belungkang Sungai Tabir / Kalau ndak tengok tunggang kami, tengok kepado air hilir. (Pantun ini disampaikan jika mereka melihat kedatanganku). Ngembar tidak habis-habisnya melantunkan segala kemahirannya dalam berpantun, karena baginya berpantun akan menghibur dan melepaskan semua beban hidup yang ada di hatinya. Ikut Berburu Suatu hari aku pernah ikut bersama kelompoknya pergi berburu mencari kura-kura (sibodoh) dan ikan di sungai yang ada di dusun pinggir hutan (Dusun Lubukjering). Dengan membawa tombak panjang dan bercawat, kami berjalan keluar hutan menuju dusun. Setiba di pinggir hutan ada sebagian dari kami menggantikan cawat dengan celana pendek. Sekilas penampilan mereka tidak ubahnya seperti orang dusun. Tapi wajah dan ekspresi khas Orang Rimba masih jelas terlihat. Terlebih dengan penampilan rambut sedikit gondrong yang tidak pernah disisir, lusuh. Mereka juga lebih suka jalan berbaris. Mungkin karena di hutan jalannya hanya setapak (sempit, dibatasi pohon-pohon), mereka jadi lebih terbiasa jalan berbaris meski sudah keluar hutan dan jalanan lebar sekalipun. Ketika kami mulai memasuki dusun penduduk, sepanjang jalan rombongan kami menjadi perhatian banyak orang. Maklumlah, mereka tidak setiap hari melihat Orang Rimba keluar dari hutan. Apalagi sebagian dari kami berjalan dengan memakai tombaktombak panjang yang tersandang di bahu serta bercawat pula. Jelas, kami menjadi tontonan menarik bagi sejumlah penduduk dusun dan anak-anak sekolah dasar yang kebetulan saat itu sedang istirahat dan bermain. Bagi Ngembar dan Orang Rimba dewasa lainnya, “ditonton” seperti itu setiap kali turun ke dusun adalah
Orang Rimba berburu.
biasa. Tapi tidak biasa bagi anak-anak Rimba yang memang terkenal sangat pemalu itu. Ngeretek, Gemambun, Nyerto, dan Sipintak misalnya, mereka kikuk sehingga memperlambat langkahnya serta memilih berjalan paling belakang. Apalagi ketika melewati sebuah Sekolah Dasar, anak-anak sekolah itu berhamburan dan berkerumun di pagar sekolah untuk menyaksikan kami yang melintas. Tidak ubahnya sebuah pertunjukkan Badut, semua mata memandang rombongan kami. Aku sendiri yang tengah bersama Rombongan Ngembar merasa risih, gerah dan geram dipandang seperti itu di sepanjang jalan. Ingin rasanya aku berteriak kepada mereka dan berseru, “Bubar kalian! Jangan pandangi kami seperti itu, kami juga manusia seperti kalian!!” Kutahan emosi sambil mengingatkan diri bahwa aku ini Antropolog yang tengah menyatu dengan kehidupan Orang Rimba. Mungkin seperti ini rasanya menjadi Orang Rimba ketika keluar dari hutan. Aku
M. RAFI’I RANGKUTI / DOK. KKI WARSI
MATA HATI 44
Keceriaan anak rimba
melirik Ngembar dan lainnya, mereka tampak cuek. Mereka terus melangkah (berbaris), dan tidak menghiraukan orang-orang disekelilingnya. Aku tidak tahu, apakah mereka mempunyai perasaan yang sama seperti aku saat itu. Entahlah... Tiba di pinggir sungai, airnya kelihatan sangat hitam, bau busuk menyengat hidung. Ngembar ternyata kalah cepat dengan orang dusun, sungai telah di tuba orang dusun. Musim kemarau tahun ini mengundang semua orang untuk mencari ikan di sungai, apapun caranya. Tapi perut yang keroncongan berbicara lain, sungai yang berbau busuk itu tetap diselami. Satu-persatu anggota kelompok Ngembar turun ke dalam sungai. Besemen, Bepingkai, Njalo, Nyingkap, Mulung bahkan Ngembar pun ikut turun. Mereka berenang sambil menghujamkan tombaknya ke dalam, membuat sungai yang hitam itu menjadi lebih keruh. Sekejap bangkai-bangkai ikan terlihat mengapung ke permukaan. Dari atas tebing aku hanya melihat kepala Ngembar dan kawan-kawannya yang muncul di permukaan air. Ngembar yang sudah tua mencoba berenang dengan bertumpu pada tangkai tombaknya yang kelihatan hanya satu jengkal dari permukaan air sungai. Bisa dibayangkan dalamnya sungai itu, mampu menenggelamkan tombak mereka yang panjangnya 34 meter. Lama menelusuri sungai tidak satupun yang diperoleh kecuali bau busuk yang terus menyengat. Wajah keputusasaan mulai telihat. Kura-kura (sibodoh) yang biasanya mudah diperoleh di sungai, kini tidak satupun tersangkut di tombak mereka. Hari semakin siang,
dengan wajah lelah Ngembar mengajakku pulang “Bepak beiknya kita belik, ngoli hari lah tinggi, sehari nio kita sial piado boleh louk”, (Bapak sebaiknya kita pulang, sebab hari sudah siang, hari ini kita kurang beruntung untuk dapatkan lauk), kata Ngembar kepadaku. Sementara Bebayang yang kelihatan lemas dan lapar mengumpuli ikan-ikan busuk yang terapung diatas sungai untuk pengganjal perut anak bininya di rumah. Pengalaman berburu bersama mereka ini adalah sekian dari banyak hal yang pernah aku lakukan bersama Orang Rimba lainnya. Jelas, setiap bersama mereka, aku sesungguhnya diajarkan banyak hal, mereka mengajarkan rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan hidup sederhana. Ah.., begini rasanya jadi Orang Rimba. (M. Rafi’i Rangkuti, Antroplog KKI Warsi)
Menurutnya, Desa Batu Kerbau memang pantas mendapatkan penghargaan Kalpataru. KKI Warsi sendiri yang selama ini melakukan pendampingan di Desa Batu Kerbau melihat sendiri bagaimana perjuangan masyarakatnya yang mempunyai kesadaran tinggi dalam mengelola dan memelihara hutan adatnya, meski dengan segala keterbatasannya.
Staf OD RFN Ikut Pendidikan Rimba
D
ua staf OD (Operasjon Dagsverk) yaitu Eva Klove, Bjarne Kristoffersen, dan seorang staf RFN (Rainforest Foundation Norway), Kim Loraas mengikuti penelusuran hutan di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) pada 30 April - 2 Mei 2004. Mereka difasilitasi oleh dua Antropolog Warsi, Erna Anjarwati dan M. RafiI Rangkuti, ke daerah Kedundung Mudo, Makekal Hulu, TNBD, lalu kemudian mengikuti kegiatan pendidikan Orang Rimba yang saat itu difasilitasi oleh staf pengajar/ pendidikan Anak Rimba dari KKI Warsi, Agustina dan Oceu Aprista Wijaya. Kedatangan staf RNF dan OD sesungguhnya bukan kali pertamanya. Mereka ingin mengetahui hasil perkembangan program pendidikan yang selama ini difasilitasi oleh para staf lapangan Warsi ini. Percakapan hangat antara staf dengan para orang tua dan anak-anak rimba juga cukup komunikatif meski diterjemahkan oleh para fasilitasi KKI Warsi. Mereka juga terkagum-kagum ketika melihat melihat gambar hasil karya para anak rimba.
Desa Dampingan Warsi dapat Kalpataru
Ini bisa dikatakan sebagai kemenangan teknologi lokal dalam pengelolaan hutan. Kesadaran untuk menjaga dan memelihara hutan adatnya justru datang dari masyarakat sendiri. Sulit sekali sekarang ini mencari masyarakat desa di Jambi yang mempunyai kesadaran akan konservasi dan lingkungan seperti dimiliki masyarakat Desa Batu Kerbau itu, tandas Rakhmat yang juga Koordinator Program Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat KKI Warsi ini.
Sang Kemare Di Kabupaten Merangin ada kecenderungan masyarakat untuk berinisiasi membentuk dan mengukuhkan hutan adatnya secara resmi dengan maksud bisa dikelola dengan nilai-nilai kearifan adat. Siapa yang menyusul
Berantas Illegal Looging, Lestarikan Hutan dan Lingkungan, Demikian komentar Gubernur Jambi dalam Aksi Seribu Tandatangan di Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Mari Pak kita dukung memberantas cukongnya dulu yang cuma segelintir orang.
D
esa Batu Kerbau, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, untuk kali pertama memperoleh penghargaan Kalpataru tingkat nasional, setelah lama berjuang sejak 1995 dalam mempertahankan dan melestarikan hutan adatnya dari gempuran HPH (Hak Pengusahaan Hutan), perambah dan pebalok. Hutan Adat mereka baru kemudian dikukuhkan lewat SK Bupati No.1249 tahun 2002. Menurut Deputy Direktur KKI Warsi, Rakhmat Hidayat, SK pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau merupakan preseden ke depan dalam memberikan peluang kepada masyarakat yang kehidupannya sangat tergantung terhadap kawasan konservasi, agar mampu mengelola kawasannya secara berkelanjutan.
Akademi Presiden Indonesia
45
SPOTLIGHTS 46
Dunia Kecil Anak-anak menyerap perilaku, sikap dan bahasa setiap saat dalam hidup mereka (Steven W. Fannoy, 1999)
S
etiap anak rimba sejak menghirup nafas kehidupan, telah memasuki ‘sekolah luar biasa.” Ibu menjadi guru kelas, sedang ayah menjadi kepala sekolah. Di luar sekolah, sungai dan hutan menjadi kelas selanjutnya. Tidak ada baris kata yang harus dihapal, angka-angka yang harus dijumlah. Menjerat babi, tupai, tikus serta menangkap kodok dan ikan menjadi praktikum sehari-hari. Setiap anak tidak perlu bingung menukar seragam usai bel pulang sekolah. Tidak harus dijemput karena para orang tua cemas akan keselamatan. Berlari setengah telanjang serta berkejaran dengan ambung di pundak, lusuh dan sesekali mempermainkan mengkarung, si kadal kecil yang imut, cukup membuat gelak tawa riang lepas dari bibir-bibir mungil yang kering. Panas terik matahari sumbing dan dinginnya rinai hujan malam, selalu menjadi episode-episode yang tidak berakhir. Sekolah yang hijau dan penuh sinar matahari serta merdunya kicau burung, mengajarkan langsung bagaimana seorang manusia bertahan hidup. Dan sebuah syair kerap membisik usik telinga…calla…eee…calla..eee…umm..ma..bahelo (Eva Tobing/ Antropolog KKI Warsi)
EVA TOBING / DOK. KKI WARSI
Fotografer : Eva Tobing (fasilitator Orang Rimba) dan Alain Commpost
EVA TOBING / DOK. KKI WARSI
EVA TOBING / DOK. KKI WARSI
A
L
A
M
S
U
M
A T
E
R
A
47
ALAIN COMPOST / DOK. KKI WARSI
ALAIN COMPOST / DOK. KKI WARSI
EVA TOBING / DOK. KKI WARSI
EVA TOBING / DOK. KKI WARSI
EVA TOBING / DOK. KKI WARSI
48