CATATAN PERJALAN MERINTIS PENDIRIAN INDONESIA AERONAUTICS ENGINEERING CENTER (IAEC)
OLEH HARI TJAHJONO PT WIKAN GLOBAL ENGINEERING
IAEC: Menguasai Ruh Industri Pesawat Terbang Rumpin, 26 Juli 2016. Semoga hari ini menjadi tonggak bagi bangkitnya (kembali) semangat kemandirian teknologi nasional, khususnya di bidang teknologi penerbangan. Hari ini dideklarasikan pembentukan IAEC (Indonesia Aeronautics Engineering Center) di Pusat Teknologi Penerbangan, Lapan, di Rumpin, Serpong. Penggagasnya adalah Pusat Teknologi Penerbangan Lapan, IAP (Ikatan Alumni Penerbangan) ITB, dan IASI (Ikatan Ahli dan Sarjana Indonesia - Jerman). Seperti yg disampaikan oleh pak Gunawan, Kepala Pestekbang Lapan, dalam pembukaan acra tersebut, IAEC adalah komunitas tempat berkumpulnya para penggiat teknologi penerbangan (aeronatical engineering) baik dari kalangan akademisi, peneliti, praktisi, maupun pelaku bisnis. Sebagai pemegang amanah UU untuk pengembangan teknologi penerbangan di tanah air, Pustekbang Lapan sengaja mengumpulkan mereka untuk membangkitkan (kembali) semangat kemandirian teknologi nasional di bidang teknologi penerbangan. Berbeda dengan event-envent bidang penerbangan yang biasanya melibatkan pemainpemain besar, kali ini acara IAEC hanya melibatkan perusahaan-perusahaan swasta kecil, walaupun ada beberapa perusahaan swasta yang cukup besar dan sudah mendunia. Mengapa demikian? 2
Karena kita mau mencoba pendekatan "baru" dalam menguasai teknologi penerbangan, untuk melengkapi pendekatan "mainstream" yang selama ini sudah dilakukan pemerintah. Kalau selama ini pendekatan yang dilakukan lebih banyak bersifat sentralistik dan top-down, sekarang kita ingin mendorong pendekatan partisipasipatif dengan mengajak kalangan grass root juga terlibat dalam penguasaan teknologi tinggi ini. Kita ingin pendekatan yang lebih bottom-up juga dilakukan, supaya pengembangan industri pesawat terbang bisa lebih sustainable dan memberikan dampak yg langsung dirasakan masyarakat. (Bersambung) Salam, Hari
3
IAEC: Mencoba Pendekatan Baru Sewaktu diminta pak Gunawan memberikan pengantar sebelum acara inti soft opening IAEC, terus terang saya bingung mesti ngomong apa untuk menjelaskan ide dasar IAEC ini? Bukan apa2, IAEC ini membawa misi besar dan kompleks yang tentu tidak mudah menjelaskannnya dengan bahasa yang sederhana. Apalagi ide dasar yang diusung IAEC ini berbeda sangat diametral dg apa yg sudah dilakukan di Indonesia selama puluhan tahun untuk membangun kemandirian bangsa di bidang teknologi pesawat terbang. Kalau tidak dijelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami, jangan-jangan malah membuat kita bingung sendiri tentang apa yang ingin kita capai dan bagaimana cara meraihnya. Akhirnya saya menggunakan analogi acara televisi "Empat Mata vs Bukan Empat Mata" yang fenomenal itu. Esensi kedua acara tersebut sama saja. Keduanya sama-sama menghibur, keduanya samasama disukai para penonton. Tetapi karena perubahan situasi, mereka berubah nama menjadi "Bukan Empat Mata" walaupun esensinya sama saja. Dengan analogi di atas, saya menggunakan istilah "Rudy Habibie vs Bukan Rudy Habibie" untuk gagasan IAEC ini. Kebetulan waktu liburan lebaran kemarin saya mengajak seluruh anggota keluarga saya menonton film yang sangat menginspirasi dan memotivasi ini. Film Rudy Habibie adalah semangat membangun kemandirian teknologi penerbangan 4
Indonesia oleh sang jenius, Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie. IAEC pun memiliki semangat yang sama yaitu membangun kemandirian teknologi penerbangan tanah air. Hanya karena zaman sudah berubah, pendekatan yang sentralistik dan top-down itu kita ubah dengan pendekatan yang partisipatif dan bottom-up. Akankah ini akan berhasil? Untuk melihat apakah upaya ini akan berhasil baik atau tidak, ayo sama-sama kita lakukan saja dengan langkah nyata, dan jangan hanya kita diskusikan saja. Setuju? (Bersambung) Salam, Hari
5
IAEC: Stratetegic Partnership Analogi "Rudy Habibie vs Bukan Rudy Habibie" saya pakai untuk menjelaskan visi IAEC sebagai berikut: "Menjadi Partner Global Bidang Rekayasa Industri Pesawat Terbang". Kata kunci dari visi ini adalah "global partner" dan "aircraft engineering". Artinya, bermitra dengan industri pesawat terbang dunia adalah jalan yang akan ditempuh untuk menguasai aspek engineering yang merupakan ruh dari industri pesawat terbang ini. Visi ini kami tawarkan supaya penguasaan teknologi terbaru pesawat terbang tetap bisa dilakukan walaupun Indonesia tidak mempunyai program nasional pengembangan pesawat terbang sendiri. Tidak benar anggapan bahwa satu-satunya cara untuk menguasai teknologi pesawat terbang adalah membuat pesawat terbang sendiri, yang biaya pengembangannya luar biasa besar dan resikonya pun luar biasa tinggi. Ada cara lain yang bisa dilakukan, yang tidak memerlukan biaya yang besar, dan resikonya pun sangat tidak signifikan. Itulah yang dilakukan India dengan menjadi global partner dari Airbus Industri di bidang rekayasa pesawat terbang. Dengan cara seperti ini, tiba-tiba saja India kini memiliki ribuan insinyur rekayasa pesawat terbang yang menguasai teknologi terbaru. Alih-alih menggunakan strategi "I will beat you", India memilih strategi "I will support you" kepada industri pesawat terbang dunia. Dan ini India 6
lakukan secara konsisten tidak hanya di bidang pesawat terbang, tapi juga di bidang-bidang yang lain, khususnya bidang dengan kandungan engineering sangat tinggi. Untuk menguasai teknologi dan pada saat yang sama menghidupkan industri dalam negerinya, India getol mengkampanyekan slogan "Make in India". Ya, make in, bukan made in, karena India tidak hanya terlibat dalam aspek produksi saja, tapi juga dalam aspek design dan engineering yang merupakan ruh dari sebuah industri. Dengan pendekatan tersebut, Airbus membuka Airbus Engineering Center di India yang efeknya ratusan perusahaan India bermunculan untuk mengerjakan pekerjaan subcon dari Airbus. Itulah mengapa sekarang ada ribuan insinyur India yang menguasai teknologi pesawat terbang terbaru. Kini, Airbus pun tidak ragu-ragu lagi membuat program “Airbus Make In India”. Bagaimana dengan kita? (Bersambung) Salam, Hari
7
IAEC: Menangkap Peluang Acara inti soft launcing IAEC dibawakan oleh pak Johny Wowor, seorang Diaspora Penerbangan alumni PT IPTN yang sekarang tinggal di Jerman. Dengan puluhan tahun bekerja di industri pesawat terbang baik di PT IPTN maupun sebagai diaspora di Eropa, pak Johny tahu persis bagaimana peta industri pesawat terbang dunia dan bagaimana India dalam waktu singkat bisa menjelma sebagai kekuatan baru yang justru menjadi andalan Airbus untuk mengerjakan paket-paket pekerjaan engineering. Bahkan Airbus sekarang begitu tergantung pada keberadaan perusahaan2 engineering dari India ini. Kok bisa? Airbus adalah perusahaan yang sangat konservatif dalam memanage resiko. Sangat tipikal perusahaan-perusahaan Eropa. Alhasil, untuk pekerjaan yang non-core, mereka banyak mensubcon pekerjaannya kepada third party vendor. Sehingga ketika demand sedang turun, mereka tidak perlu me-lay off karyawan. Situasi ini yang dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaa India dengan sangat agresif. Awalnya mereka menawarkan jasa subcon dengan harga sangat kompetitif dengan kualitas yang masih acceptable. Awalnya mereka menawarkan jasa ini kepada perusahaan-perusahaan Eropa yang menjadi supplier Airbus. Perusahaan India masuk bisnis ini melalui jalan tikus. 8
Perusahaan Eropa yg menjadi supplier Airbus tertarik dengan tawaran jasa subcon yang murah meriah ini. Karena mereka juga ingin me-manage resiko bisnis, mereka berbondong-bondong memanfaatkan jasa perusahaan India ini. Lama-lama mereka kecanduan juga dengan model bisnis yang menjanjikan margin yang menarik dengan resiko yg minimal ini. Situasi semakin matang ketika pemerintah India mengkampanyekan slogan Make In India. Kesiapan SDM di tingkatan grass-root itu menemukan momentumnya ketika pemerintah India juga bergerak dengan slogan Make In India nya. Entah siapa yang memulai duluan, yang jelas geliat yang terjadi di akar rumput ini bertemu dg dukungan yang sangat masif dari pemerintah. Pendekatan bottom-up di akar rumput bertemu dengan pendekatan top-down dari pemerintah, dengan tujuan yang sama. Gerakan "Rudy Habibie" bertemu dengan gerakan "Bukan Rudy Habibie" dengan sangat harmonisnya... Ah, sangat indahnya... Kini, India adalah raja bisnis aircraft engineering services di Eropa. Perusahaan India menjadi salah satu dari hanya 10 perusahaan tier-1 engineering supplier dari Airbus Industry. Sementara yang lain adalah perusahaan-perusahaan dari Perancis, Jerman, Inggris dan Spanyol. Dan jangan salah, ke 9 perusahaan tier 1 non India itu banyak yang men-subcon pekerjaannya lagi ke berbagai
9
perusahaan dari India! Jadi secara total para insinyur India lah juaranya... Situasi seperti itu selayaknya membuat kita tidak ragu-ragu lagi bahwa pendekatan "Bukan Rudy Habibie" patut untuk segera dicoba. Peluangnya ada, peta bisnisnya sudah jelas, sementara resiko bisnisnya pun tidak terlalu besar. Apalagi kalau didukung oleh negara. Pertanyaannya, dari mana kita memulainya dan bagaimana caranya? (Bersambung) Salam, Hari
10
IAEC: Jalan Mendaki Dalam presentasinya, pak Johny Wowor juga menyampaikan 2 alternatif roadmap utk menguasai teknologi pesawat terbang. Roadmap #1 sama dengan pendekatan "Rudy Habibie" yang sudah saya jelaskan sebelumnya, sedangkan Roadmap #2 adalah sama dengan pendekatan "Bukan Rudy Habibie" yang juga sudah saya jelaskan sebelumnya. Pak Johny juga sepakat bahwa keduanya bisa berjalan beriringan dan saling melengkapi. Hanya karena tema IAEC memang ingin membangun komunitas yang bergerak dari akar rumput, maka dalam presentasi kali ini pak Johny lebih fokus menjelaskan Roadmap #2. Menurut pak Johny, untuk Roadmap #2 pun perlu dilakukan pendekatan top-down dari pemerintah dan pendekatan bottom-up dari pelaku bisnis. Sama seperti yang terjadi di India, pendekatan bottom-up yang saat ini sedang difasilitasi oleh Pustekbang Lapan ini perlu terus didorong supaya perusahaan engineering services di bidang pesawat terbang ini bisa bermunculan. Sehingga ketika saatnya pemerintah sudah siap bergerak dengan pendekatan top-down, maka keduanya sudah bisa bersinergi dan saling melengkapi. Pertanyaannya, apakah kita siap dengan pendekatan bottom-up ini? Ada berapa banyak 11
perusahaan engineering di Indonesia saat ini? Apakah ada yg fokus di bidang aircraft engineering? Apakah mereka siap berkompetisi seperti perusahaan India itu yang nekad bertarung di pasar global? Seberapa tangguh mereka dan seberapa siap bertarung di pasar yang sangat brutal? Sejujurnya kondisi di Indonesia saat ini tidak terlalu favorable kalau berbicara engineering company bidang pesawat terbang ini. Apalagi kita bicara perusahaan swasta. Hampir tidak ada perusahaan engineering swasta yang fokus di pesawat terbang. Terlebih yang siap menerima paket pekerjaan engineering sekelas Airbus. Dengan situasi seperti ini, terus terang pilihan jalan bottom-up ini adalah pilihan jalan yang sangat mendaki. Mesti ada orang-orang nekad yang berani memulai. Mesti ada orang-orang yang berani bertarung di pasar yang tidak mudah ditaklukkan ini. Mesti ada pelopor yang berani membuka jalan, supaya jalan yang telah dirintis nantinya bisa digunakan oleh para pendaki bisnis aircraft engineering services yang lain. Tetapi kalau tantangan itu kita taklukkan bersama, mestinya beban itu akan lebih ringan. Apalagi kita punya network seperti pak Johny Wowor dkk yang tinggal di Jerman dan siap membantu membukakan jalan bagi kita. Dan karena business model-nya sudah diketahui, pasarnya sudah dipetakan, dan peluangnya juga sudah terlihat jelas didepan mata, mestinya masalahnya tinggal keberanian untuk memulai saja. 12
Tentu saja kreativitas, kecerdikan dan kerja keras tetap diperlukan kalau kita ingin menjadi bagian dari sang pelopor ini. Semoga. (Bersambung) Salam, Hari
13
IAEC: Menyiapkan Ekosistem Sebelum peluncuran IAEC ini, kami dari IAP dan IASI sudah pernah roadshow di depan para petinggi negara dan direktur utama beberapa BUMN yang berkaitan dg masalah penerbangan ini. Tanpa kenal lelah, konsep yang awalnya ditawarkan IASI ini kami perkenalkan kepada beliau-beliau itu untuk membuka cakrawala bahwa ada pendekatan lain untuk menguasai teknologi pesawat terbang selain dengan membuat pesawat terbang sendiri. Tahun lalu kami sudah hampir presentasi ide ini di depan Presiden, tapi batal karena keburu reshuffle kabinet. Ketika batal presentasi di depan Presiden, terus terang ada rasa kecewa yang mendalam karena batal memaparkan ide yang sangat bagus bagi penguasaan teknologi pesawat terbang langsung di depan pemimpin tertinggi negara. Saya kecewa karena harapan saya terlalu melambung berharap Presiden RI mau datang langsung ke Airbus seperti yang dilakukan PM India Modi, yang membuat Airbus mau membuka Airbus Engineering Center di India dan membuat program Airbus Make in India. Tetapi belakangan saya sadar bahwa pembatalan itu malah jadi blessing in disguise bagi inisiatif ini. Betapa tidak, kalau waktu itu Presiden menerima saja ide kami dan langsung mendatangi Airbus, apakah kita siap dg tindak lanjutnya? Siapa yang akan follow up? Bagaimana caranya? 14
Saya memang penganut ideologi bonek tulen. Tanpa bondo nekad (modal nekad), sulit bagi kita melakukan perubahan yang dramatis menuju perbaikan. Tapi sebelum nekad melangkah, saya selalu berhitung peluangnya dan bagaimana mitigasinya. Sekecil apapun peluangnya, biasanya saya masih berani bertindak selama mitigasinya sudah saya pikirkan. Kalau langkah mitigasinya pun belum ada, itu namanya bukan bonek tapi bunuh diri. Setelah pembatalan itu, kami mulai berpikir pendekatan bottom-up. Pendekatan bottom-up untuk mengkondisikan pelaku bisnis di level grass-root harus dilakukan. Mereka lah pihak yang akan bertarung di level detil untuk mengamankan inisiatif ini. Tanpa mereka, bagaimana Airbus percaya bahwa kita punya sumber daya manusia yang bisa diandalkan untuk mengerjakan paket engineering yang mereka berikan? Apa justifikasi mereka untuk membuka Airbus Engineering Center di Indonesia? Bukankah mereka lembaga bisnis yang harus berhitung sangat detil tentang resiko yang bakal mereka hadapi? Beruntung saya bertemu pak Gunawan setelah batalnya presentasi di depan Presiden itu. Sebagai Kepala Pustekbang Lapan, pak Gunawan memberikan lebih dari apa yang saya pikirkan sebelumnya. Sebagai pemegang amanah Undang Undang Penerbangan untuk memajukan teknologi penerbangan di Indonesia, pak Gunawan langsung menindaklanjuti ide kami gak pakai lama. Beliau dan 15
tim terbang ke Jerman untuk berdiskusi langsung dengan temen-temen IASI sebagai pihak yang menginisiasi ide ini. Pak Gunawan juga berkunjung ke kantor Airbus untuk me-lihat2 keadaan sebelum merumuskan langkah yang strategis. Dan kalau sekarang kita semua bisa berkumpul di IAEC ini, itu semua adalah langkah nyata yang diambil pak Gunawan beserta tim di Pustekbang Lapan untuk mewujudkan mimpi bersama kita untuk membangun kedaulatan teknologi di bidang pesawat terbang. Memang langkah kita masih panjang. Tapi langkah pertama ini sangat menentukan apakah kita kelak berhasil mencapai garis finish atau tidak. (Bersambung) Salam, Hari
16
IAEC: Butuh Dukungan Pemerintah Melihat keberhasilan India yang dalam waktu singkat bisa merajai pasar aircraft engineering, membuat saya mempunyai harapan bahwa suatu saat Indonesia akan mencapai titik yang sama. Bukankah Indonesia dan India ini memiliki banyak kesamaan? Misalnya, kita ini sama2 "dodol" nya, yang sebetulnya tidak begitu klop dengan kultur engineering. Indonesia dan India sama-sama memiliki "I am in a Hurry" mentality. Kalau lagi di jalan atau lagi dalam antrian, orang Indonesia dan India sama-sama nyebelinnya, karena selalu berlagak jadi orang yang selalu terburu-buru. Padahal kalau janjian sukanya telat juga...huh... Tapi mengapa mereka bisa sukses di dunia aircraft engineering? Mengapa dalam waktu kurang dari 15 tahun mereka bisa menjadi raja bisnis aircraft engineering services? Kalau India saja bisa, harusnya Indonesia juga bisa dong? Kan kita sama-sama suka terburu-buru kalau di jalan...hihihi... Keberhasilan India harusnya menjadi bahan introspeksi pelaku bisnis dan pemerintah di Indonesia. Sikap pantang menyerahnya perusahaan India dalam memasuki pasar engineering internasional harus menjadi pelajaran bagi pelaku bisnis tanah air, untuk berani mencoba hal baru dan berani bertarung di pasar yang juga baru.
17
Yang sangat mengagumkan dari perusahaanperusahaan India adalah mentalitas untuk "menunda kenikmatan". Mereka siap berdarah-darah di awal untuk menjadi penguasa pasar di kemudian hari. Seharusnya perusahaan Indonesia bisa melakukan hal yang sama, karena kita pun memiliki peribahasa berrakit-rakit ke hulu, berrenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Tapi kendala terbesar kita adalah mayoritas karyawan Indonesia sudah lupa dengan peribahasa ini, lebih suka dengan budaya instan yang ingin segera bersenang-senang dan tidak mau bersakit-sakit terlebih dahulu. Ini tantangan terbesar perusahaan Indonesia kalau ingin beesaing dengan perusahaan India karena mentalitas karyawan yang sangat beebeda. Dari sisi pemerintah, apa yang dilakukan pemerintah India harusnya menjadi pelajaran berharga. Pemerintah harus berdiri di baris terdepan untuk membangun kedaulatan teknologi. Pemerintah harus cerdas memanfaatkan bargaining position Indonesia sebagai pasar yang besar, untuk menguasai aspek engineering yang nerupakan ruh dari sebuah industri. Pemerintah harus berani mengambil jalan yang sulit dalam bernegosiasi dengan pemain raksasa seperti Airbus agar mereka mau melakukan transfer teknologi. Pemerintah harus bisa memanfaatkan mekanisme off-set untuk menguasai teknologi tinggi ini, dan tidak mengambil jalan mudah memanfaatkan off-set hanya untuk mendapatkan diskon pembelian saja. Belajarlah juga dari India yang habis-habisan 18
mendukung sektor swasta dalam penguasaan teknologi tinggi ini, karena mereka punya potensi yang sangat besar untuk diberdayakan. Kalau pemerintah dan sektor swasta bisa berjalan beriringan dan bahu membahu dalam upaya menguasai teknologi tinggi ini, insya Allah mimpi besar kita untuk menguasai teknologi pesawat terbang bisa kita wujudkan. Semoga. (Selesai)
Salam, Hari
19