KOMISI NASIONAL ANT I KE KE R A SAN TE R HA DAP PE R E M PUA N
KERENTANAN PEREMPUAN TERHADAP KEKERASAN EKONOMI & KEKERASAN SEKSUAL: Di Rumah, Institusi Pendidikan dan Lembaga Negara
Catatan KTP Tahun 2008
CATATAN TAHUNAN TENTANG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Jakar ta, 7 Mar et 2009
Daftar Isi
Daftar Isi Daftar Singkatan Ringkasan Eksekutif .............................................................................................................
4
Pengantar ................................................................................................................................
5
Metodologi .............................................................................................................................
6
Gambaran Umum: Pencatatan Data KTP ........................................................................ - Kecenderungan Data yang Meningkat ................................................................. - Kondisi Pendataan dan Kecenderungan Kenaikan Prosentase Jumlah KTP
8 8 8
Perempuan Rentan Kekerasan dan Butuh Perhatian .......................................................
9
Pola KTP Tahun 2008 : Kekerasan Ekonomi dan Seksual ............................................ 14 - KDRT/RP : Bentuk KTP yang selalu mendominasi ......................................... 14 - Kekerasan di Ranah Komunitas ............................................................................ 16 - Kekerasan oleh Aparat Negara .............................................................................. 17 Penanganan: Kapasitas Lembaga dan Implementasi Perangkat Hukum ...............
20
Kebijakan: Kemajuan dan Kemunduran ................................................................
20
Kesimpulan .............................................................................................................................
29
Rekomendasi .......................................................................................................................... 30 Ucapan Terima Kasih ...........................................................................................................
32
DAFTAR SINGKATAN
CATAHU DIY IRT KDP KDRT Kejati KJRI KMP KMS KOM KP KTAP KTI KTP MA MoU MS NEG OMS P2TP2A PA Permen PKDRT PN PNS Polda Polres Polsek PP PPM PRT RS SD SE SK SKB SLTA SLTP SP3 SPM
: Catatan Tahunan : Daerah Istimewa Yogyakarta : Ibu Rumah Tangga : Kekerasan Dalam Pacaran : Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Kejaksaan Tinggi : Konsulat Jenderal Republik Indonesia : Kekerasan yang dilakukan oleh Mantan Pacar : Kekerasan yang dilakukan oleh Mantan Suami : Komunitas : Komnas Perempuan : Kekerasan Terhadap Anak Perempuan : Kekerasan Terhadap Istri : Kekerasan Terhadap Perempuan : Mahkamah Agung : Memorandum of Understanding : Mahkamah Syar'iyah : Negara : Organisasi Masyarakat Sipil : Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak : Pengadilan Agama : Peraturan Menteri : Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga : Pengadilan Negeri : Pegawai Negeri Sipil : Kepolisian Daerah : Kepolisian Resort : Kepolisian Sektor : Peraturan Pemerintah : Perempuan Pekerja Migran : Pekerja Rumah Tangga : Rumah Sakit : Sekolah Dasar : Surat Edaran : Surat Keputusan : Surat Keputusan Bersama : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama : Surat Perintah Penghentian Penyelidikan : Standar Pelayanan Minimal
3
KERENTANAN PEREMPUAN TERHADAP KEKERASAN EKONOMI & KEKERASAN SEKSUAL: Di Rumah, Institusi Pendidikan dan Lembaga Negara
ringkasan eksekutif Catatan tahunan 2009 ini merupakan kompilasi catatan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam tahun 2008 (periode Januari sampai dengan Desember). Seperti biasanya, data catatan tahunan ini merupakan data dari lembaga mitra Komnas Perempuan yang telah menangani korban KTP, baik menangani secara langsung maupun menerima pengaduan kemudian merujuknya ke lembaga mitra lain yang mempunyai kapasitas memadai. Jumlah KTP yang tercatat ditangani lembaga pengada layanan meningkat setiap tahun (tahun 2001 – 2008). Tahun 2008 ini peningkatan jumlah KTP mencapai lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2007 (25.522 kasus KTP), yaitu 213% mencapai sejumlah 54.425 kasus KTP. Peningkatan jumlah kasus ini diperkirakan terjadi karena meningkatnya kemudahan akses ke data Pengadilan Agama (PA) sebagai implementasi dari Keputusan Ketua MA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di lingkungan Pengadilan. Kekerasan ekonomi yang terjadi di dalam rumah tangga dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan komunitas merupakan dua jenis kekerasan yang paling besar dialami oleh perempuan, jika disimak dari kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh lembaga-lembaga layanan, rumah sakit dan institusi penegak hukum. Kecenderungan ini berlaku secara konsisten dari tahun ke tahun, sejak tahun 2006 hingga 2008. Pada tahun 2008, mayoritas dari perempuan korban kekerasan ekonomi dalam rumah tangga adalah para istri, yaitu sebanyak 6800 orang (14,5% dari jumlah 46.882 kasus KTI), sedangkan, mayoritas korban kekerasan seksual di komunitas adalah perempuan di bawah umur, yaitu sebanyak 1870 orang (38,3% dari jumlah 4875 kasus KOM). Empat kategori perempuan korban kekerasan yang menuntut perhatian khusus pada tahun ini adalah perempuan minoritas agama, perempuan miskin, perempuan pekerja hiburan, dan perempuan pembela HAM; sementara, empat sosok pelaku kekerasan terhadap perempuan yang menuntut pemantauan lebih lanjut adalah pejabat publik, kepala daerah, anggota legislatif, dan pendidik. Lembaga yang menyatakan menggunakan UU Penghapusan KDRT dalam penanganan kasus bertambah di lingkungan lembaga pengadilan, khususnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan meningkatnya pengenalan hakim-hakim tentang UU ini. Tahun 2008 terdapat sejumlah kebijakan yang kondusif bagi pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan, khususnya di bidang diskriminasi ras dan etnis, perempuan migran, layanan bagi perempuan korban kekerasan, serta soal sita marital dalam perceraian. Namun demikian, Komnas Perempuan juga mencatat produk kebijakan yang menjauhkan perempuan dari pemenuhan hak-hak asasinya, khususnya dalam hal jaminan kebebasan berekspresi (UU Pornografi), akses perempuan pada keadilan (kasasi perkara jinayat dari Aceh), dan hak politik perempuan (putusan Mahkamah Konstitusi tentang penetapan caleg terpilih). Terkait pengaturan pekerja migran, hampir seluruh produk hukum yang dihasilkan pada tahun 2008 menimbulkan kebijakan yang saling kontradiktif dan cenderung memperlemah perlindungan pekerja migran.
4
pengantar Catatan tahunan 2009 ini merupakan kompilasi catatan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam tahun 2008 (periode Januari sampai dengan Desember). Seperti biasanya, data catatan tahunan ini merupakan data dari lembaga mitra Komnas Perempuan yang telah menangani korban KTP, baik menangani secara langsung maupun menerima pengaduan kemudian merujuknya ke lembaga mitra lain yang mempunyai kapasitas memadai. Sama dengan catatan tahunan sebelumnya, catatan tahunan kali ini memaparkan besaran kasus KTP di berbagai wilayah dan menurut data dari lembaga-lembaga mitra yang mengirimkan kembali formulir isian dari Komnas Perempuan. Catatan tahunan ini memberikan sorotan dan penekanan terhadap jenis kekerasan ekonomi yang banyak mewarnai kekerasan terhadap perempuan di ranah domestik (KDRT/RP) dan kekerasan seksual yang juga ditemukan mewarnai kekerasan terhadap perempuan di ranah publik (KTP Komunitas). Dalam catatan tahunan ini dipaparkan pula gambaran tentang kapasitas lembaga dalam penanganan, hambatan yang dihadapi lembaga khususnya dalam hal melakukan pendataan dan penanganan kasus serta kerja sama yang dikembangkan oleh lembaga mitra. Catatan pemantauan tentang kebijakan baru atau peraturan yang berkaitan dengan isu kekerasan terhadap perempuan yang efektif berlaku pada tahun lalu pun ditampilkan, termasuk peraturan daerah yang secara positif memberikan ruang kepada perempuan atau yang secara negatif justru merupakan ’alat’ legitimasi terjadinya kekerasan terhadap perempuan di berbagai daerah. Pada kesempatan ini, Komnas Perempuan ingin memberikan penghargaan setinggitingginya kepada lembaga mitra yang sudah berpartisipasi mengisi dan mengirimkan kembali formulir isian dan/atau mengirimkan data lembaga secara langsung kepada Komnas Perempuan. Untuk meningkatkan kerja sama dan partisipasi lembaga mitra, tahun 2008 yang lalu Komnas Perempuan menyelenggarakan lokakarya dalam rangka memberikan masukan terhadap formulir isian catatan tahunan di dua wilayah: Makassar (mencakup lembaga mitra di daerah Sulawesi) dan Medan (mencakup daerah Sumatera). Pertemuan/lokakarya semacam ini bermanfaat untuk meningkatkan komunikasi dan kerja sama antar lembaga. Akhirnya, diharapkan melalui pendataan kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) yang berkesinambungan dari tahun ke tahun, kita akan dapat terus memantau besaran dan kompleksitas masalah kekerasan terhadap perempuan sebagai persoalan bersama dan sekaligus menilai sejauhmana kita sebagai bangsa telah maju (atau mundur) dalam menangani dan mengatasi bentuk pelanggaran HAM perempuan yang meluas ini.
5
metodologi Sejak Komnas Perempuan mengeluarkan catatan tahunannya, sumber data utama adalah lembaga mitra pengada layanan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Dari tahun ke tahun lembaga mitra meningkatkan partisipasinya dengan secara aktif mengisi formulir pendataan yang dikirimkan dan/atau memberikan data berdasarkan yang ada di lembaga masing-masing. Jadi, pada prinsipnya data yang dihimpun dalam catatan tahunan merupakan data penanganan lembaga mitra selama (dalam) tahun bersangkutan.
Penyebaran (distribusi) formulir dan tingkat respon
PENGIRIMAN/PENYEBARAN FORMULIR pada tahun ini dilakukan pada bulan Novermber 2008 ke sejumlah 1188 lembaga mitra di seluruh wilayah di Indonesia (lihat grafik di samping). Separuh lebih formulir didistribusikan kepada lembaga mitra di wilayah Jawa dan Sumatera (564 lembaga). Tingkat respon lembaga mitra mencapai 21,55% (yaitu 256 lembaga mitra) dari jumlah seluruh formulir yang didistribusikan.
Jika dilihat per wilayah, lembaga mitra di Bali memberikan respon paling tinggi yaitu mencapai 45,95%. Lembaga mitra di wilayah lain memberikan respon kurang-lebih sama, kecuali Aceh. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, hambatan utama dalam pendataan dan berdampak pada tingkat respon adalah ketidaksiapan SDM serta sarana dan fasilitas yang dimiliki oleh lembaga mitra. Hal lain yang juga merupakan permsalahan bersama dalam rangka pendataan KTP adalah tidak ada sistem dan format data yang sama untuk semua jenis lembaga – masing-masing lembaga mengembangkan sistem pendataannya sendiri sesuai dengan kebutuhan.
6
Jika melihat TINGKAT RESPON menurut kategori lembaga mitra (lihat grafik di samping), Kejaksaan Tinggi (Kejati) menunjukkan respon paling tinggi (67,4%) dibandingkan lembaga lain. Jajaran pengadilan (Pengadilan Tinggi, Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri) memberikan respon antara 15 – 25%. UPPA (dahulu RPK), lembaga mitra yang setia memberikan datanya setiap tahun menunjukkan tingkat respon cukup tinggi (28,15%) demikian pula dengan RS (20,69%).
Pada tahun 2008 ini, Komnas Perempuan mendapatkan kemudahan mengakses data pengadilan (agama dan negeri – PA dan PN) lewat website. Hal ini berkaitan dengan adanya Surat Keputusan Mahkamah Agung (MA) RI No. 144/KMA/SK/VIII/2007, tentang keterbukaan informasi di pengadilan. Berdasarkan SK ini, telah banyak Pengadilan Agama yang membuka akses data lewat websitenya.
Sumber Data: Kasus KTP Catatan Lembaga Pengada Layanan Menurut data yang dilaporkan oleh lembaga mitra, kasus KTP diperoleh dari beragam sumber, yaitu korban sendiri (57%), saksi/pelapor (16%), telpon/ hotline (10%), media massa dan rujukan (masing-masing 6%), tatap muka, keluarga korban, outreach, masyarakat, dan lewat surat. Data tentang korban yang datang sendiri tercatat paling banyak diterima oleh PA, UPPA, dan OMS. Demikian pula dengan kasus yang 7
dilaporkan oleh saksi/pelapor, paling banyak mereka datang ke UPPA, kemudian ke PA dan OMS. Sedangkan pelaporan kasus lewat telpon/hotline paling banyak diterima oleh Komnas Perempuan dan OMS. Penanganan kasus yang ditindaklanjuti berdasarkan pemantauan media massa kebanyakan dilakukan oleh OMS. Lembaga pengada layanan ini (OMS) Jumlah Kasus KTP (tahun 2001 - 2008) bersama dengan UPPA juga melakukan 54425 outreach (mendatangi/ mencari kasus KTP). Kasus yang bersumber dari tatap muka ditangani oleh Komnas Perempuan – secara berkelompok korban mendatangi Komnas Perempuan mengadukan kasus KTP yang dialaminya. 25522 20391
GAMBARAN UMUM: pencatatan data ktp Kecenderungan data yang meningkat
22512
14020 3169
5163
7787
200
2004 2005 2006 2007 2008 2002 Mempelajari catatan data kasus KTP yang ditangani oleh lembaga pengada 2001 layanan dari tahun ke tahun sejak 2001 – 2008, ada kecenderungan jumlah (besaran) KTP yang meningkat. Tahun 2008 ini peningkatan jumlah KTP mencapai lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun 2007 lalu, yaitu lebih dari 213% atau sejumlah 54.425 kasus KTP. Peningkatan jumlah kasus ini diperkirakan terjadi karena adanya kemudahan akses ke data Pengadilan Agama (PA) seperti disebutkan terdahulu (lihat juga Diagram Jumlah Kasus KTP menurut Lembaga Mitra di halaman berikut)
Grafik Jumlah Kasus KTP menurut Wilayah di samping ini menunjukkan bahwa memang banyak data (77%) tercatat ditangani oleh PA (Pengadilan Agama), yaitu sejumlah 42.076 dari total jumlah 54.425 kasus. Dan seperti telah dijelaskan terdahulu, tahun ini Komnas Perempuan memperoleh kemudahan akses data PA lewat website. Sedangkan apabila melihat besaran KTP ini menurut wilayah, maka lebih dari separuh KTP tercatat ditangani oleh lembaga mitra di Pulau Jawa (38.007 kasus, 69,83%). Sisanya, ditangani oleh lembaga mitra di Sumatera (8.415 kasus, 15,46%), dan Kalimantan (5.036 kasus, 9,25%). KTP di wilayah Sulawesi mencapai lebih dari seribu kasus (yaitu 1.626 kasus, hampir 3%), sedangkan di wilayah lain tercatat KTP sejumlah antara 30 – 550 kasus (Aceh, Bali, NTT, NTB, Maluku dan Papua).
8
Kondisi Pendataan & Kecenderungan Kenaikan Prosentase Jumlah KTP Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, data catatan tahunan dikompilasi dan dianalisis dari seluruh data kasus (kuantitatif) yang diberikan oleh lembaga mitra dengan mengisi formulir yang didistribusikan, dan data (kualitatif) yang diperoleh Komnas Perempuan lewat divisidivisinya. Data kuantitatif memberikan gambaran besaran dan kompleksitas KTP serta penanganan yang dilakukan lembaga mitra. Sedangkan data kualitatif memberikan ilustrasi kasus KTP serta kebijakan/peraturan daerah yang berkembang pada tahun bersangkutan. sangat bergantung pada kapasitas masing-masing lembaga dalam rangka mendokumentasi kan dan mendata kasus KTP (di masing-masing wilayah kerja). Kondisi ini tentunya berpengaruh pula terhadap besaran KTP yang setiap tahun dimasukkan dalam catatan tahunan Komnas Perempuan (seperti dapat dilihat dari grafik berikut). KONDISI PENDATAAN
Kecenderungan (prosentase) kenaikan Jumlah KTP (Th 2001 - 2008) 250
213.25
200
162.92
150 100
180.04 150.82
145.44 110.40 113.37
100 50
Meskipun secara jumlah (besaran) KTP 0 th 2001 th 2002 th 2003 th 2004 th 2005 th 2006 th 2007 th 2008 terlihat cenderung meningkat, tetapi prosentase kenaikannya terjadi fluktuasi (tidak merupakan garis lurus naik). Dengan kondisi ini dapat dikatakan bahwa sesungguhnya peningkatan jumlah (besaran) KTP yang terjadi tidak semata-mata karena adanya peningkatan kasus, tetapi lebih berkaitan dengan adanya peningkatan (kondisi atau kapasitas) pendataan lembaga mitra. Kapasitas SDM dan fasilitas (sarana) pendataan yang selalu disebutkan lembaga sebagai kendala utama menegaskan bahwa kondisi serta kapasitas lembaga dalam kaitannya dengan melakukan pendataan memang seharusnya menjadi perhatian dalam rangka menghasilkan data KTP yang handal.
perempuan rentan kekerasan dan butuh perhatian Jika dinilai dari kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada tahun 2008, ada empat kategori perempuan yang rentan kekerasan dan butuh perhatian, yaitu perempuan minoritas agama, perempuan miskin, perempuan pekerja sektor hiburan, dan perempuan
9
pembela HAM.
Perempuan Minoritas Agama Pada bulan Mei 2008, Komnas Perempuan mempublikasikan hasil pemantauan mengenai kondisi perempuan Ahmadiyah. Dari hasil pemantauan tersebut, Komnas Perempuan menemukan perlakuan-perlakuan diskriminatif yang menghilangkan perlindungan hak-hak dasar mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Konflik berdasarkan agama ini juga membuat perempuan rentan mengalami kekerasan berbasis jender. Ancaman perkosaan dan pelecehan seksual pada saat penyerangan dan di pengungsian, bahkan di wilayah publik (pasar) juga rentan menimpa perempuan Ahmadiyah. Dan sampai sekarang, komunitas Ahmadiyah, terutama di NTB, masih tinggal di pengungsian, karena takut kembali ke desanya. Di tahun 2008, penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah tetap terjadi, yaitu pada bulan Januari di Majalengka dan bulan April di Parakan Salak, Sukabumi. Setara Institute melalui “Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008” melaporkan bahwa sepanjang tahun 2008 tercatat 265 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan, dimana peristiwa tertinggi terjadi pada bulan Juni (103 peristiwa). Peningkatan jumlah peristiwa di tahun 2008 disebabkan oleh dua hal, yaitu: pertama, menguatnya persekusi organisasi-organisasi Islam garis keras terhadap Ahmadiyah sebagai bentuk desakan agar pemerintah mengeluarkan Keppres tentang Pembubaran Ahmadiyah; dan kedua implikasi serius dari adanya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri No. 3 Tahun 2008, No. Ke-033/A/JA/6/2008 (SKB) yang dikeluarkan pada tanggal 9 Juni 2008. Peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di tahun 2008 umumnya berhubungan dengan Ahmadiyah (193 peristiwa). Dari 193 peristiwa tersebut, sejumlah 48 peristiwa terjadi sebelum SKB dikeluarkan dan 145 peristiwa terjadi setelah keluarnya SKB Pembatasan Ahmadiyah.1 Negara, melalui aparatusnya melakukan pelanggaran dalam bentuk pelarangan ibadah dan aktivitas keagamaan, pelarangan tersebut tercatat terjadi di Sukabumi, Tasikmalaya, Tangerang, Cianjur, dan Mataram (NTB).2 Bahkan di Mataram, Walikota Mataram H.M. Ruslan sempat menyatakan akan mengusir komunitas Ahmadiyah dari Mataram jika SKB 3 Menteri sudah ditetapkan.3 Ini membuat para pengungsi yang merupakan subjek pemantauan Komnas Perempuan di Mataram, NTB merasa resah. Walaupun ketika diklarifikasi, Walikota Mataram menyatakan bahwa ia tidak pernah mengatakan akan melakukan pengusiran tersebut.4 Tindakan kriminal yang dilakukan oleh masyarakat paska dikeluarkannya SKB adalah tindakan perusakan atau penyegelan rumah ibadah. Perusakan rumah ibadah terjadi di Riau dan setidaknya perusakan atau penyegelan 35 masjid terjadi di Jawa Barat. Tindakan pelanggaran terhadap hak beragama atau berkeyakinan sebelum dan setelah dikeluarkannya SKB cenderung meningkat, oleh karena adanya tekanan untuk membubarkan Ahmadiyah. Hal ini membuktikan besarnya implikasi SKB terhadap komunitas Ahmadiyah, dimana SKB menjadi alat legitimasi untuk menolak dan mendiskriminasikan komunitas Ahmadiyah.
1 Berpihak dan Bertindak Intoleran : Intoleransi Masyarakat dan Restriksi Negara dalam Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2008, Setara Institute, Jakarta, Januari 2009, halaman 19-20 2
Ibid, hlmn 28-29
3
www.lombokfiles.com, SKB 3 Menteri Keluar, Warga Ahmadiyah Resah, 10 Juni 2008
4
www.lombokfiles.com, Jelang SKB 3 Menteri Pengungsi Ahmadiyah Mataram Pasrah, 10 Juni 2008
10
Salah satu peristiwa yang paling menonjol di tahun 2008 terkait dengan Ahmadiyah sebelum dikeluarkannya SKB adalah peristiwa 1 Juni 2008, ketika AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) melakukan longmarch, mereka diserang oleh orang-orang berseragam dan beratribut FPI, yang mengakibatkan sedikitnya 29 orang terluka dan empat orang lainnya harus menjalani rawat inap di dua rumah sakit, yakni di RSPAD Gatot Subroto dan RS Tebet. Di tingkat kebijakan daerah, SKB juga mendorong pemerintah daerah setempat untuk mengeluarkan kebijakan pelarangan Ahmadiyah, seperti contohnya surat keputusan Gubernur Sumatera Selatan nomor 563/KPT/BAN.KESBANGPOL dan LINMAS/2008 yang melarang aliran Ahmadiyah, dan aktivitas penganut dan atau anggota pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia dalam wilayah Sumatera Selatan yang mengatasnamakan Islam dan bertentangan dengan ajaran agama Islam.5 Seluruh rangkaian peristiwa yang berkaitan dengan komunitas Ahmadiyah, Insiden Monas dan peristiwa di persidangan Insiden Monas menggambarkan bahwa di tahun 2008 ada kecenderungan peningkatan kekerasan dan intoleransi masyarakat berkaitan dengan kepercayaan yang berbeda, serta lemahnya pemerintah dalam mencegah terulangnya kembali peristiwa kekerasan. Peristiwa kekerasan tersebut sekali lagi menempatkan perempuan sebagai pihak yang rentan menjadi korban. Hasil pemantauan Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa dalam konflik Ahmadiyah, perempuan dan anak Ahmadiyah menjadi korban diskriminasi berlapis, baik karena posisinya sebagai perempuan dan posisinya sebagai bagian dari kelompok minoritas agama. Dalam konflik tersebut, perempuan juga rentan mengalami kekerasan berbasis jender seperti ancaman perkosaan dan kekerasan seksual. Berbagai pelanggaran HAM juga dialami oleh kelompok minoritas agama ini, seperti pelanggaran terhadap hak untuk mendapatkan peradilan yang adil, hak persamaan di depan hukum, hak untuk berkumpul secara damai, hak kelompok minoritas, hak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama, hak untuk mencari nafkah, hak atas pendidikan, hak berkeluarga, hak reproduksi, hak atas rasa aman, diskriminasi terhadap perempuan, serta pemulihan korban yang belum memadai.6
Perempuan Miskin Tahun 2008 ditandai dengan fenomena maraknya ibu membunuh anak atau kasus ibu membunuh anak, kemudian bunuh diri setelahnya. Kasus ibu membunuh anak dan bunuh diri bersama tersebut tercatat, antara lain terjadi di Pekalongan, Bekasi, Medan, Malang, Bandung, Tangerang, dan Magetan. Penyebab kasus-kasus tersebut 90 persen adalah karena tekanan dan desakan ekonomi, dimana para korban merasa tidak mampu memenuhi kebutuhan anaknya di masa yang akan datang oleh karena keterbatasan ekonomi. Peristiwa lain yang cukup menonjol adalah kematian seorang ibu dan 2 orang anaknya di Makassar (salah satunya masih dalam kandungan). Kematian ibu dan anak tersebut memang menjadi perdebatan apakah disebabkan kelaparan atau karena diare akut yang mereka derita. Namun sudah jelas bahwa salah seorang anak ibu tersebut yang selamat, positif menderita gizi
5
Kejaksaan Evaluasi SK Gubernur Soal Ahmadiyah, diambil dari http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2008/09/03/brk,20080903133595,id.html, Rabu 3 Sptember 2008 6
laporan pemantau an ham komnas per empu an, pere mpuan dan anak ahmadiyah : korban disk riminasi berlapis ,
hlmn 21.24, me i 2008
11
buruk.7 Pada bulan September 2008, kita juga dikejutkan oleh berita meninggalnya 21 orang perempuan, kebanyakan berusia lanjut, ketika mengantri pembagian zakat di Pasuruan. Peristiwa tersebut terjadi sebulan setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidato kenegaraan di depan Rapat Paripurna DPR pada tanggal 15 Agustus 2008, menyatakan bahwa angka kemiskinan di tahun 2008 mengalami penurunan. Walaupun pemerintah menyatakan telah menurunkan angka kemiskinan pada tahun 2008, namun pada kenyataannya, seluruh kejadian di atas membuktikan keadaan yang sebaliknya. Salah satu faktor yang memperparah kemiskinan di tahun 2008 adalah keputusan pemerintah menaikkan BBM di bulan Juni 2008, dengan dalih untuk mengurangi subsidi. Walau disertai dengan skema bantuan langsung tunal (BLT), kebijakan tersebut ternyata menimbulkan ketidakadilan pada rakyat miskin pada umumnya, dan perempuan pada khususnya. Kenaikan harga BBM hampir selalu pasti diikuti dengan efek domino, yaitu melambungnya harga kebutuhan bahan-bahan pokok. Dalam kasus Indonesia, akibat kenaikan harga BBM 2008, kemiskinan pun meningkat: per 1 Oktober 2005 dalam data Program Pembangunan PBB (UNDP) diperkirakan mencapai 65 juta orang. Dari kelompok penduduk miskin itu, 60 persen adalah perempuan yang bekerja di sektor domestik atau publik, sebagai buruh, petani penggarap, di sektor informal, hingga ibu rumah tangga. (Kompas, 26 Mei 2008) Maka bila dicermati dari rangkaian peristiwa yang terjadi di tahun 2008, seluruh proses pemiskinan ternyata menjadikan perempuan sebagai pihak yang rentan menjadi korban. Oleh karena 60% pengelola struktur pengeluaran rumah tangga adalah perempuan, maka keterbatasan ekonomi langsung dirasakan oleh perempuan. Kelompok perempuan sebagai pengelola rumah tangga, dituntut untuk menerapkan ragam strategi dalam mengatasi keterbatasan ekonomi. Beragam cara diterapkan perempuan untuk mensiasati keterbatasan ekonomi, salah satunya dengan menjadi buruh migran di luar negeri. Hasil temuan awal Komnas Perempuan dalam pemetaan kekerasan terhadap perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam mengungkapkan beberapa strategi penyelamatan perempuan, di antaranya adalah dengan jalan menikah, pergundikan, berhutang, alih profesi, alih konsumsi, dan spiritual (adat, berdoa, pasrah). Dari peristiwa Zakat Pasuruan, misalnya walaupun harus mengorbankan nyawa, cara mengantri zakat tersebut adalah salah satu strategi perempuan untuk menjaga kelangsungan hidup diri dan keluarganya. Keputusan perempuan meninggalkan keluarganya untuk bekerja di luar negeri tidak dapat dipisahkan dari kemiskinan struktural yang erat melingkupinya. Minimnya kesempatan kerja yang layak dari pemerintah, sulitnya mendapatkan pekerjaan akibat rendahnya pendidikan, hingga keinginan untuk meningkatkan perekonomian dan status sosial keluarganya menyebabkan perempuan-perempuan muda produktif meninggalkan desanya guna mencari rezeki di negara lain. Selain gagal menyediakan lapangan pekerjaan yang dibutuhkan, negara juga gagal menyediakan perlindungan bagi perempuan yang berusaha mencari nafkah di luar negeri. Upaya perempuan untuk keluar dari kemiskinan dengan bekerja sebagai pekerja migran belum mendapat perlindungan yang memadai dari negara. Sebaliknya, perempuan pekerja migran mengalami kekerasan dan diskriminasi berganda sejak tahap pra-pemberangkatan, masa bekerja, hingga purna waktu. Tampaknya kebijakankebijakan terkait pekerja migran yang dikeluarkan pemerintah hingga saat ini belum dapat menyentuh akar permasalahan, yaitu kemiskinan. Selama pemerintah belum dapat mengatasi
7
Hamil, Mati Kelaparan diunduh dari http://www.surya.co.id/web/Headline/Hamil_Mati_Kelaparan.html, 2 Maret 2008
12
akar permasalahan dan menyediakan solusi dan perlindungan yang tepat, pelanggaran hak dan kekerasan masih akan terus dialami oleh perempuan pekerja migran. Terkait dengan kekerasan spesifik perempuan, Komnas Perempuan menerima sebuah pengaduan tentang seorang perempuan pekerja migran yang hamil akibat diyakini diperkosa oleh majikan laki-lakinya di Arab Saudi. Ia tidak mengetahui kehamilannya sampai ia tiba di Indonesia dan memeriksakan kondisinya setelah empat (4) bulan tidak mendapat menstruasi. Kasus ini hanyalah satu dari banyak kasus serupa yang dialami oleh perempuan pekerja migran. Akan tetapi, kasus semacam ini sulit penanganannya, khususnya dari segi pembuktian, terlebih korban telah berada di Indonesia. Penanganan dari segi hukum membutuhkan korban/penuntut berada di negara tempat kejadian agar proses hukum dapat berjalan. Hal ini menyebabkan perempuan pekerja migran yang menjadi korban tidak hanya sulit mencari keadilan bagi dirinya sendiri, tetapi juga sulit menuntut pemenuhan hak-hak anak yang dikandungnya akibat pemerkosaan. Bahkan, tak jarang proses hukum bukannya menegakkan keadilan bagi korban, tetapi menjadikan korban mengalami reviktimisasi.
Perempuan Pembela HAM Komnas Perempuan mengidentifikasi kasus yang dialami oleh Perempuan Pembela HAM. ND adalah salah satu penggagas Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), yang memperjuangkan dan membela pluralisme di Indonesia. AKKBB adalah aliansi yang dibentuk oleh beberapa lembaga yang peduli terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, untuk melakukan kampanye anti kekerasan atas nama agama, dan melakukan advokasi terhadap kelompok-kelompok yang ditindas atas nama perbedaan keyakinan dan agama. Dalam menjalankan aktivitasnya, ia sering mengalami teror, seperti ancaman melalui surat kaleng, stigmatisasi seksual, intimidasi, pembunuhan karakter, serangan pada posisi dan perannya sebagai ibu dan istri, serta pengucilan. Peristiwa yang dialami adalah di tengah proses persidangan Insiden Monas, pada bulan September, ia mengalami pelecehan seksual. Sementara dalam konteks konflik sumber daya alam, Komnas Perempuan menengarai terjadinya kriminalisasi perempuan pembela HAMyang sedang berjuang untuk mempertahankan hak hidup mereka. Komnas Perempuan menerima pengaduan dari korban sengketa lahan seluas 86 ha antara penduduk desa Titi Satu Korarih dengan PT Sri Rahayu Agung (SRA) yang berlangsung semenjak tahun 1984. Konflik terus berlanjut dengan gugatan masyarakat ke Pengadilan Lubuk Pakam, sementara proses pengadilan tengah berlangsung, PT SRA terus melakukan pengrusakan tanaman petani di atas lahan sengketa tersebut. Sayangnya, berkas putusan pengadilan di tahun 2003 sampai di tahun 2007 belum pernah sampai ke tangan masyarakat. Ketika masyarakat melalui kuasa hukumnya menanyakan lagi tentang keberadaan berkas putusan pengadilan tersebut pada tahun 2008, tanggapan yang diperoleh adalah bahwa berkas keputusan tersebut masih dalam tahap pencarian. Puncaknya pada tanggal 4 Februari 2008, Mandor Kebun bersama dengan preman serta aparat kepolisian berjumlah kurang lebih 60 orang mendatangi lahan tersebut dengan membawa traktor. Dalam bentrok tersebut, seorang ibu (MU) yang mencoba menghalangi traktor tersebut mengalami kekerasan berupa penghalauan, dia diseret dan dilemparkan ke parit sedalam 2 meter yang ada di lahan tersebut, begitu pula ibu-ibu lain yang coba membantu menghalau traktor mendapat perlakuan yang sama.
13
Ketika ibu-ibu melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Kotarih, pengaduan mereka tidak ditanggapi oleh Polsek, namun pada tanggal 26 Februari 2008, datang surat panggilan dari Polres Serdang Bedagai untuk Ibu MU dan Ibu Tg sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang di muka umum. Tindakan polisi itu berdasarkan laporan yang diajukan pihak PT SRA.
Perempuan Pekerja Sektor Hiburan Di tengah maraknya perdebatan mengenai UU Pornografi pada tahun 2008, upaya pelarangan artis-artis dangdut, terutama yang dianggap berpenampilan seronok ketika manggung, marak dilakukan oleh para pejabat publik di berbagai daerah di Indonesia. Pada bulan April 2008, tercatat artis Dewi Persik dilarang manggung di berbagai kabupaten/kota di Jawa Barat, antara lain di Sukabumi, Tangerang dan Kota Bandung. Artis lain yang mengalami pencekalan adalah Julia Perez, yaitu di Balikpapan dan Sumatera Selatan. Di Sumatera Selatan, larangan dan imbauan tersebut dituangkan dalam surat MUI Sumsel No. B-30/MUI-SS-IV/2008 tanggal 28 April 2008. Namun surat himbauan MUI Sumsel tersebut tidak hanya mencekal Julia Perez, begitu juga dengan 7 artis lainnya, yaitu Dewi Persik, Annisa Bahar, Inul Daratista, Uut Permatasari, Trio Macan, Ira Swara dan Nita Thalia, dengan alasan meresahkan masyarakat dan berpotensi merusak moral generasi muda. Di Balikpapan, artis yang mengalami pencekalan adalah Dewi Persik, Julia Perez dan Trio Macan. Julia Perez juga dicekal albumnya, karena ia menyelipkan kondom dalam album yang berjudul “Kamasutra” tersebut. Komnas Perempuan berpendapat bahwa langkah-langkah ini merupakan pembatasan terhadap hak berekspresi dan hak ekonomi para pekerja sektor hiburan. Alasan pencekalan yang dikemukakan para pejabat publik di daerah tersebut, antara lain untuk menjaga situasi kondusif bagi pemerintah daerah setempat untuk mewujudkan visi misinya dalam membentuk masyarakat berakhlakul karimah (Sukabumi); menentang penampilan erotis dan bergoyang erotis yang dinilai tidak sesuai dengan norma agama dan tindakan kesusilaan (Tangerang) mengatasi hal-hal yang meresahkan masyarakat dan merusak moral generasi muda (Sumatera Selatan); mencegah maraknya pornografi dan pornoaksi (Balikpapan); maupun untuk memenuhi aspirasi masyarakat dan sejalan dengan visi misi kota yang agamis (Bandung).
Pola KTP tahun 2008: kekerasan ekonomi & seksual KDRT/RP: Bentuk KTP yang selalu mendominasi Jika melihat pencatatan data penanganan dari lembaga-lembaga mitra, KDRT/RP merupakan bentuk KTP yang selalu mendominasi. Artinya, dari tahun ke tahun data penanganan kasus KDRT/RP selalu paling banyak dan lebih dari 50%. Diagram Jumlah Kasus menurut Lembaga Mitra di samping menunjukkan kasus KDRT/RP mencapai 91% dari semua bentuk KTP yang terdata oleh lembaga. Memang pada tahun 2008 ini, kemudahan akses data PA menyumbang catatan kasus paling besar, dan kasus KTP yang tercatat oleh PA kebanyakan digolongkan dalam KDRT/RP.
14
Besaran KDRT / Relasi Personal (RP) menurut Lembaga Mitra (CATAHU 2008)
PN 292 1%
PA 42076 85%
OMS 2926 6%
P2TP2A 154 0%
PT 93 0% UPPA 2050 4% Kejati RS KP 508 662 776 1% 1% 2%
Grafik di samping memaparkan besaran KDRT/RP yang ditangani oleh masing-masing lembaga mitra. Pengadilan Agama paling banyak menangani kasus KDRT/RP (yaitu sejumlah 42.076). OMS dan UPPA menangani kasus KDRT/RP masing-masing sejumlah 2.926 dan 2.050. Lembaga pengada layanan lainnya menangani kasus di bawah seribu kasus: KP (776), RS (662), Kejati (508), PN (292), P2TP2A (154), dan PT (93).
Sedangkan jika dilihat menurut wilayah lembaga pengada layanan yang ada di Jawa paling banyak menangani kasus KDRT/RP, yaitu: 35.398 kasus, dan dari jumlah ini hampir separuhnya ditangani lembaga pengada layanan di Jawa Tengah (15. 669 kasus). Selebihnya berturut-turut lembaga pengada layanan di Jawa Barat (8.323 kasus) dan Jawa Timur (6.706 kasus). Jumlah kasus KDRT/RP yang ditangani lembaga pengada layanan di wilayah lain di bawah sepuluh ribu kasus: Sumatera (6.978), Kalimantan (4.892), Sulawesi (1.310), NTB (323), Bali (194), NTT (154), Maluku (126), dan Papua (22). Jika dilihat berdasarkan relasi antara korban dan pelaku, KDRT/RP yang terjadi mencakup tujuh (7) bentuk tindak kekerasan, yaitu KTI (kekerasan terhadap istri, 46.884 kasus atau 95%), RP (relasi personal, 970 atau 2%), KDP (kekerasan dalam pacaran, 912 atau 2%), KTAP (kekerasan terhadap anak perempuan, 623 kasus), PRT (pekerja rumah tangga, 89), KMS (kekerasan matan suami, 49), dan KMP (kekerasan mantan pacar, 10). KTI yang merupakan bentuk KDRT/RP paling dominan (95%) dari semua bentuk yang ditangani oleh lembaga pengada layanan. KTI ini banyak dicatat oleh PA dan jenis kekerasannya mencakup kekerasan fisik, psikis (termasuk dalam kategori ini: perselingkuhan, poligami dan gangguan pihak ketiga), kekerasan seksual, kekerasan ekonomi. 15
Diagram di samping menunjukkan Jenis KDRT/RP: kekerasan ekonomi (52%), kekerasan psikis (22%)m kekerasan fisik (17%) dan kekerasan seksual (9%). Data tentang kekerasan ekonomi banyak dilaporkan oleh Pengadilan Agama (hampir mencapai 84%) yang menjadi alasan gugatan cerai. Sebagian alasan gugatan cerai lain yang tercatat juga adalah kekerasan psikis dan fisik. Kekerasan seksual mencapai 9% dari seluruh jenis KDRT/RP pada tahun ini. Dan dari jumlah ini, lembaga pengada layanan di wilayah DKI Jakarta, Lampung, Sumatera Barat dan Kalimantan Barat banyak menangani kasus KDRT/RP jenis kekerasan seksual (antara 100 – 300 kasus). Kasus kekerasan seksual ini juga ditangani oleh lembaga pengada layanan di wilayah lain dalam jumlah lebih sedikit (kurang dari 100 kasus). Kekerasan di Ranah Komunitas
Kekerasan di ranah Komunitas tercatat banyak ditangani oleh OMS (29%), UPPA (24%), Kejati (20%), dan RS (14%). Lembaga pengada layanan lainnya yang juga mencatat menangani kekerasan di ranah komunitas ini, tetapi dalam jumlah lebih sedikit (antara 1 – 7%) adalah PA, PT, P2TP2A, dan KP. Jika melihat wilayah lembaga pengada layanan yang mencatat penanganan kekerasan di ranah komunitas, maka akan diperoleh catatan seperti terlihat dari diagram di sebelah kanan. Lembaga paling banyak mencatat penanganan kekerasan komunitas adalah lembaga pengada layanan di wilayah Jawa (51%). Lembaga lain juga mencatat penanganan kekerasan komunitas ini, yaitu di wilayah Sumatera (26%), Sulawesi (6%) dan NTB (4%), lainnya mencatat dalam jumlah lebih sedikit (antara 1 – 3%).
Jenis kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas dapat dilihat dari diagram di samping ini. Kekerasan seksual (79%) merupakan jenis kekerasan paling banyak tercatat
16
ditangani oleh lembaga pengada layanan. Jenis KTP di ranah komunitas lainnya kekerasan fisik (10%), psikis (9%) dan kekerasan ekonomi (2%).
Menengok catatan tahunan dari tahun-tahun yang lalu, ternyata ada pola kecenderungan yang konsisten berkaitan dengan kedua jenis kekerasan ini. Pertama, jenis kekerasan ekonomi secara konsisten tinggi (paling banyak) di ranah domestik (KDRT/RP) sejak tahun 2006. Dan kedua, pada kurun waktu yang sama (dari tahun 2006), jenis kekerasan seksual paling banyak dijumpai dalam ranah kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di komunitas. Kekerasan oleh aparat negara
Kekerasan negara dicatat oleh KP dan OMS (di Aceh), mencakup pembatasan kebebasan, penangkapan sewenang-wenang, stigmatisasi, penembakan, penghinaan. Jumlah kekerasan negara ini seperti disebutkan terdahulu sebanyk 13 kasus.
Pelaku Menyimak kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang mencuat ke permukaan pada tahun 2008, Komnas Perempuan mencatat empat jenis pelaku yang penting mendapatkan perhatian, yaitu pejabat publik, kepala daerah, anggota legislatif, dan pendidik. Pejabat Publik Selama tahun 2008, jumlah pelaporan yang diterima Komnas Perempuan atas kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh figur publik, pejabat publik dan pendidik mencapai sejumlah 784 kasus. Mereka terdiri dari anggota PNS, anggota DPR, TNI, Polri, anggota Kejaksaan, Bappeda, Kehakiman, Bupati dan pendidik. Korbannya adalah pacar, istri dan pekerja rumah tangga. Kasus ini tersebar hampir di seluruh Indonesia. Kepala Daerah Terdapat dua kasus yang dilaporkan secara langsung kepada Komnas Perempuan, yakni kasus yang terjadi di Lampung (September) dan Jeneponto – Sulawesi Selatan (Oktober). 17
Menurut pengaduan ini, pelakunya adalah kepala daerah dan korbannya adalah pekerja rumah tangga. Kasus ini semakin kontroversial pada saat kedua kepala daerah tersebut mengikuti pemilihan kembali sebagai pejabat publik. Untuk kasus di Lampung, korban (DE) adalah pekerja rumah tangga yang bekerja di lingkup rumah tangga pelaku (AS). Walaupun peristiwa kekerasan seksual terjadi di tahun 2007, korban baru bisa melaporkan kepada polisi pada bulan Juni 2008, ketika ia berhasil melarikan diri dari rumah pelaku. Korban meminta perlindungan kepada kepolisian, dimana kemudian Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung segera menerbitkan Surat Perintah Perlindungan. Korban merasa perlu meminta perlindungan polisi, karena ia mengalami kekerasan dari istri dan anak-anak pelaku. Sampai sekarang kasus ini masih diproses di tingkat kejaksaan. Dalam kasus Jeneponto, walaupun peristiwa kekerasan seksual terjadi di tahun 2006, namun proses penyelesaian hukumnya belum selesai sampai tahun 2008. Pihak kepolisian kemudian menghentikan kasus tersebut (diSP3kan), karena polisi menilai saksi-saksi yang diajukan tidak ada yang memberatkan dan sudah tidak ditemukan kembali bukti baru. Korban tetap menuntut agar kasusnya diselidiki, karena menurutnya akibat kekerasan seksual yang dialaminya, korban melahirkan seorang anak perempuan. Korban telah melaporkan perbuatan pelaku ke kepolisian daerah Sulawesi Selatan pada bulan Pebruari 2007. Polisi meminta korban dan pelaku untuk melakukan tes DNA, dan dilakukan di tempat yang berbeda. Anggota Legislatif Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang anggota DPR-RI, dari Fraksi PDI – P, atas nama MM (pelaku) terhadap asistennya, yang bernama DF (korban) menjadi kasus yang paling sensasional sepanjang tahun 2008, meskipun peristiwa pelecehan seksual sudah dialami korban sejak tahun 2005. Kasus ini menggambarkan bahwa pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja, termasuk di lembaga pemerintahan dan oleh siapa saja, karena pelakunya adalah oknum pejabat publik. Peristiwa ini mematahkan mitos yang menganggap bahwa kekerasan seksual hanya dilakukan oleh orang yang kurang dan atau tidak berpendidikan, selain itu kasus ini juga menggambarkan sulit dan rumitnya perjalanan korban kekerasan seksual untuk mengungkap kebenaran terhadap kasus yang dialaminya. Pada tanggal 5 Juni tahun 2008, Badan Kehormatan DPR-RI menyimpulkan adanya indikasi kekerasan. Para anggota Badan Kehormatan mengakui sulitnya mendapatkan saksi (selain saksi korban) atau bukti yang kuat. Hal ini merupakan gejala yang umum terjadi dalam kasus-kasus pelecehan seksual di mana pelaku adalah seseorang yang berada dalam posisi berkuasa dan korban adalah bawahannya. Pendidik Pada tahun 2008, Komnas Perempuan mencatat fenomena dimana pelaku kekerasan terhadap perempuan adalah pendidik di lingkungan lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal. Institusi Pendidikan Nonformal Komnas Perempuan menerima 4 kasus kekerasan dalam institusi pendidikan nonformal. Pelakunya adalah seorang guru mengaji dan 3 (tiga) orang kyai dalam pesantren. Dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren, korbannya setidaknya 25 orang dan mereka ratarata adalah para murid yang masih dibawah umur. Salah satu kasus kekerasan seksual terjadi 18
di pesantren Yayasan Ya-Ibad Surabaya. Tindak kekerasan dialami oleh para murid perempuan yang masih di bawah umur dan kasus ini telah disidangkan di PN Surabaya. Sementara kasus lain dilakukan oleh seorang pemimpin pesantren yang melakukan kekerasan seksual terhadap salah seorang santrinya dengan dalil nikah mut’ah. Relasi kuasa yang timpang antara korban sebagai seorang santri putri dengan pelaku sebagai pemimpin dan orang yang berkuasa membuat kasus-kasus seperti ini sangat sulit dilaporkan, apalagi ditangani. Institusi Pendidikan Formal Pada tahun 2008, mahasiswi mulai melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya di lingkungan perguruan tinggi. Kasus yang mencuat di media massa adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah seorang staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dosen tersebut dilaporkan ke polisi atas dugaan perkosaan dan pelecehan seksual. Peristiwa ini awalnya dilaporkan oleh seorang mahasiswi, namun akhirnya beberapa orang mahasiswi lainnya yang juga menjadi korban ikut melaporkan tindakan yang sama ke polisi, sehingga jumlah korban menjadi 12. Oleh universitas, dosen tersebut kemudian dinonaktifkan dari kegiatan belajar-mengajar sampai kasusnya mendapat putusan yang tetap. Catatan data penanganan kasus KDRT memberikan gambaran karakteristik pelaku dan korban KDRT seperti grafik di samping. Korban dan pelaku paling banyak berusia antara 25 – 40 tahun (masing-masing 1.362 dan 1.256 kasus). Data juga menunjukkan pelaku juga banyak yang berusia lebih dari 40 tahun (701 kasus). Sedangkan korban banyak juga yang berusia di bawah 5 tahun, antara 612 tahun dan antara 13 – 18 tahun (usia anak), masing-masing: 49 kasus, 167 kasus, dan 609 kasus. Sedangkan jenis KTP yang terjadi di ranah komunitas yang paling banyak adalah kekerasan seksual (79%). Lembaga pengada layanan yang banyak pencatat penanganan jenis KTP di ranah komunitas ini adalah UPPA (830) dan OMS (726). Yang menarik dari catatan data karakteristik korban dan pelaku dari aspek usia adalah banyaknya korban di usia anak-anak, antara 6-12 tahun dan antara 13-18 tahun. Sebaliknya, pelaku paling banyak tercatat berusia antara 2540 tahun. Dari data ini dapat dikatakan bahwa banyak korban kekerasan seksual di ranah komunitas adalah anak-anak (di bawah usia 18 tahun). Grafik di samping menunjukkan gambaran tingkat pendidikan korban dan pelaku. Korban KDRT/RP paling banyak tercatat berpendidikan tingkat SLTA (2.158 kasus). Demikian pula 19
dengan tingkat pendidikan pelaku, sejumlah 4.227 kasus. Namun demikian, data menunjukkan baik korban maupun pelaku ada atau dari tingkat pendidikan paling rendah (tidak tamat SD) dampai tingkat pendidikan tinggi (PT).
penanganan: kapasitas lembaga dan implementasi perangkat hukum Implementasi UUPKDRT dan Perangkat Hukum Lainnya
Melihat banyaknya catatan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dalam penanganan PA khususnya, catatan data tentang implementasi UUPKDRT dalam proses penanganan litigasi kasus KTP perlu mendapat perhatian dengan lebih seksama.
Grafik di atas menunjukkan kecendungan penggunaan UUPKDRT oleh lembaga pengada layanan dalam proses litigasi (dari tahun 2006 – 2008). Secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan UUPKDRT oleh lembaga di jajaran pengadilan (PA, PN, PT dan Kejati) boleh dikatakan cenderung meningkat. Sebaliknya penggunaannya oleh UUPA, P2TP2A, dan OMS cenderung menurun atau kurang/tidak konsisten. Perangkat hukum lain yang tercatat digunakan oleh berbagai lembaga pengada layanan dalam proses litigasi adalah KUHP (142 lembaga – paling banyak UUPA), UU Perlindungan Anak No. 39 Tahun 2004 (111 lembaga – paling banyak UUPA), UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 (36 lembaga – paling banyak PA), UU Perlindungan Saksi-Korban No 13 Tahun 2006 (10 lembaga – paling banyak P2TP2A), dan UU Perdata berkaitan dengan Penanganan KTP ( 10 lembaga – paling banyak P2TP2A).
KEBIJAKAN: kemajuan dan kemunduran Tahun 2008 ditandai terdapat terobosan kebijakan yang kondusif bagi pemenuhan hakhak perempuan korban kekerasan, khususnya di bidang diskriminasi ras dan etnis, 20
perempuan migran, layanan bagi perempuan korban kekerasan, serta soal sita marital. Namun demikian, Komnas Perempuan juga mencatat produk kebijakan yang menjauhkan perempuan dari pemenuhan hak-hak asasinya, khususnya dalam hal jaminan kebebasan berekspresi, akses perempuan pada keadilan, dan hak politik perempuan. Terkait pengaturan pekerja migran, hampir seluruh produk hukum yang dihasilkan pada tahun 2008 menimbulkan kebijakan yang saling kontradiktif dan cenderung memperlemah perlindungan pekerja migran.
Kemajuan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Sepuluh tahun setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1965), melalui UU No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965,-. pada tahun 2008 ini, pemerintah Indonesia membuat sebuah langkah maju Dengan mengesahkan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis pada tanggal 10 November 2008. Dalam UU ini diatur beberapa hal, yakni mengenai : 1. pemberian perlindungan kepada warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis; 2. penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, serta seluruh warga negara; 3. pengawasan terhadap segala bentuk upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis oleh Komnas HAM; 4. hak warga negara untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam mendapatkan hakhak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; 5. kewajiban dan peran serta warga negara dalam upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis; 6. gugatan ganti kerugian atas tindakan diskriminasi ras dan etnis; dan 7. pemidanaan terhadap setiap orang yang melakukan tindakan berupa: a. memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; dan b. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu. Putusan Pengadilan Agama tentang Sita Marital (marital beslag) Pada tanggal 23 September 2008, Pengadilan Agama Jakarta Pusat memenuhi permohonan sita marital yang diajukan Halimah Agustina Kamil terhadap harta bersama hasil pernikahannya dengan Bambang Tri Hatmodjo yang telah dinikahinya sejak tahun 1981.
21
Baik pihak Halimah dalam alasan permohonannya maupun Majelis Hakim dalam pengambilan keputusannya bersandar pada Kompilasi Hukum Islam pasal 95 ayat 1 yang menyatakan ”dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat 2 huruf c peraturan pemerintah no 9 tahun 1975 pasal 136 ayat 2, suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya”. Dalam pasal tersebut, dimungkinkan bagi kedua belah pihak yang terikat dalam sebuah perkawinan untuk melakukan sita marital kepada pengadilan jika terdapat tiga indikasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu judi, mabuk, dan boros. Dalam proses permohonannya, Halimah dapat membuktikan terjadinya boros yang dilakukan oleh suami karena adanya pihak ketiga. sehingga jika tidak disita oleh Majelis Hakim, dikhawatirkan terjadinya pengurangan, penyusutan, atau adanya perpindahan harta bersama mereka kepada pihak lain sebelum terjadi keputusan hukum tetap perceraian. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat tersebut di atas kami anggap sebagai terobosan hukum, karena walaupun dimungkinkan dalam hukum acara, namun jarang dipergunakan. Majelis hakim berpendapat bahwa penggunaan Pasal 95 Kompilasi Hukum Islam memberikan hak yang sama kepada isteri maupun suami untuk mengajukan sita harta bersama yang juga disebut sita jaminan (conservatoir beslag) terhadap harta bersama atau dapat juga disebut dengan Sita Marital (Marital Beslag). 8 Harapan ke depan, keputusan sejenis dapat diberikan oleh hakim-hakim lain kepada pihak isteri yang mengajukan sita marital tanpa melihat status sosial (posisi dan kedudukan) isteri dan suami. Kebijakan Standar Pelayanan Minimum dalam penanganan korban kekerasan Pada bulan November 2008, Departemen Sosial RI mengeluarkan Peraturan Menteri Sosial RI Nomor : 129/HUK/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Sebelumnya pada bulan Februari 2008, Departemen Kesehatan RI juga mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 129/Menkes/SK/II/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Lahirnya Standar Layanan Minimal bidang sosial dan Rumah sakit tersebut merupakan tindaklanjut dari Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. SPM Rumah Sakit memberikan Standar Pelayanan Minimal (SPM) tentang jenis dan mutu pelayanan dasar9 yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal. Sementara SPM bidang sosial, jenis pelayanan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah : 1. pelaksanaan program/kegiatan bidang sosial; pemberian bantuan sosial, pelaksanaan kegiatan pelayanan dan rehabilitasi sosial (panti sosial) 2. penyediaan sarana prasaran sosial ; penyediaan sarana prasarana panti sosial, penyediaan sarana prasarana luar panti 8
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat, hal. 106.
9
Pelayanan dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan pemerintahan – Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 tahun 2005 BAB I ayat 8.
22
3. penanggulangan korban bencana ; bantuan sosial, evakuasi korban 4. Pelaksanaan dan pengembangan jaminan sosial bagi penyandang cacat fisik dan mental, serta lanjut usia tidak potensial terlantar yang berasal dari masyarakat rentan dan tidak mampu ; pelaksanaan jaminan sosial Hadirnya SPM dari Departemen Sosial dan Departemen Kesehatan membuka peluang keluarga miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan sosial yang lebih luas, namun oleh karena pelayanan tersebut diberikan oleh pemerintah daerah, sehingga mengakibatkan kualitas pelayanannya berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Terobosan kebijakan lainnya tentang layanan bagi perempuan korban kekerasan yang lahir di tahun 2008, adalah:
Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Keputusan Bupati Maluku Tengah No. 463-142 Tahun 2008 tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Kabupaten Maluku Tengah
Keputusan Bupati Buru No. 463-116 Tahun 2008 tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Kabupaten Buru
Keputusan Walikota Ambon No. 390 Tahun 2008 tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Kota Ambon
Peraturan Kepolisian Negara RI No. 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan dan/atau Korban Tindak Pidana.
Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 26 tentang Perempuan Pekerja Migran Dalam Sesinya yang ke-42 (Oktober-November 2008), Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan PBB (Komite CEDAW), mengeluarkan Rekomendasi Umum No. 26 tentang Perempuan Pekerja Migran. Menyikapi rendahnya kesediaan negaranegara, khususnya negara tujuan, dalam meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990), Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 dapat menjadi standar baru bagi perlindungan hakhak perempuan pekerja migran. Mengingat hampir semua negara di dunia telah menjadi Negara Pihak Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Konvensi CEDAW 1979), implementasi Rekomendasi Umum tersebut jelas merupakan kewajiban Negara Pihak, termasuk Indonesia dan negara-negara tujuan perempuan pekerja migran Indonesia, seperti Malaysia, Arab Saudi, Korea Selatan, dan sebagainya. Dalam rekomendasi tersebut, Komite CEDAW menegaskan kewajiban Negara Pihak Kovensi CEDAW, baik sebagai negara asal, negara transit maupun negara tujuan perempuan pekerja migran, untuk menghapuskan diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh perempuan pekerja migran. Paragraf 23 Rekomendasi Umum No. 26 menggarisbawahi tanggung jawab bersama negara asal dan negara tujuan, yang meliputi kebijakan migrasi komprehensif yang sensitif jender dan berbasis hak dengan merujuk pada Konvensi CEDAW, pelibatan aktif perempuan pekerja migran dan masyarakat sipil dalam penyusunan kebijakan, maupun penelitian, pengumpulan data dan analisis kuantitatif dan kualitatif tentang permasalahan yang dihadapi perempuan pekerja migran sebagai bahan penyusunan kebijakan. Negara Pihak diharapkan untuk melakukan kerja sama bilateral, regional maupun
23
ratifikasi perjanjian HAM internasional terkait, seperti Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990). Secara spesifik, negara penerima harus menghargai, melindungi dan memenuhi HAM warga negaranya yang perempuan yang bermigrasi untuk bekerja, antara lain melalui menghilangkan larangan/pembatasan migrasi, termasuk syarat izin suami/wali laki-laki untuk mendapatkan paspor/berpergian, mengembangkan materi/program pendidikan, peningkatan kesadaran dan pelatihan, mengadopsi sistem peraturan dan pemantauan terhadap agen rekrutmen, menyediakan layanan kesehatan, pendampingan hukum dan administratif, penyaluran remitensi yang aman, memfasilitasi kepulangan dan reintegrasi, serta melatih dan mengawasi layanan diplomatik dan konsulernya agar sungguh melindungi hak-hak perempuan pekerja migran di luar negeri.10 Negara transit juga memiliki tanggung jawab untuk melatih, memantau dan mengawasi polisi dan petugas imigrasi di perbatasan agar sensitif jender dan tidak diskriminatif dalam berhadapan dengan perempuan pekerja migran, dan berpartisipasi aktif dalam mencegah terjadinya pelanggaran HAM terkait migrasi, serta mengadili dan menghukum pelakunya.11 Negara tujuan berkewajiban untuk memastikan perlakuan non-diskriminatif bagi perempuan pekerja migran yang bekerja di negaranya.12 Negara tujuan, antara lain, harus mencabut larangan/pembatasan bagi perempuan pekerja migran, termasuk larangan untuk menikah dengan warga negaranya, hamil ataupun mendapatkan akomodasi yang aman dan independen, memberikan perlindungan hukum, akses terhadap remedy, berupa penyelesaian masalah secara hukum dan penyediaan tempat perlindungan sementara (shelter), penyediaan perlindungan hukum bagi kebebasan bergerak, skema reunifikasi keluarga, mengadopsi sistem pemantauan terhadap agen rekrutmen dan majikan, menjamin hak-hak perempuan pekerja migran yang berada dalam tahanan, dan menjamin perlindungan HAM perempuan pekerja migran yang tak berdokumen. Piagam ASEAN Pada 15 Desember 2008 Piagam ASEAN telah berlaku resmi setelah diratifikasi oleh Negara – negara anggota. Hal tersebut menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah ASEAN karena tidak hanya ASEAN meletakkan pondasi yang lebih kuat bagi bangunan organisasi regional ini, tetapi juga karena ASEAN secara resmi mengakui nilai-nilai HAM rakyatnya. Meski secara tidak eksplisit menyebutkan hak-hak mereka yang berimigrasi ke negara lain, namun pengakuan tentang prinsip-prinsip HAM berimplikasi pada hak-hak pekerja migran termasuk rakyatnya yang berimigrasi ke negara lain sebagai bagian yang tidak terpisah dari HAM menjadi lebih terjamin. Pasal 2 Piagam ASEAN memuat prinsip-prinsip yang sebaiknya dipegang oleh ASEAN dan Negara Anggotanya, dimana salah satunya adalah “menghormati kebebasan fundamental, pemajuan dan perlindungan HAM, dan pemajuan keadilan sosial.”13 Secara spesifik, Piagam ASEAN memandatkan pembentukan sebuah badan HAM ASEAN14, yang pelaksanaannya berdasar pada Acuan Kerja (Terms of Reference/TOR) yang disusun oleh Pertemuan Tingkat Menteri Luar Negeri ASEAN. 10
Rekomendasi Umum CEDAW No. 26 tentang Perempuan Pekerja Migran, paragraf 24.
11
Ibid., paragraf 25.
12
Ibid., paragraf 26.
13
Pasal 2 Piagam ASEAN.
14
Pasal 14 Piagam ASEAN.
24
Kemunduran UU Pornografi Pada tanggal 26 November 2008, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ditandatangi oleh Presiden Susilo Bambang ditengah kontroversi pro dan kontra yang datang hampir dari semua kalangan: akademisi, aktivis, budayawan, cendekiawan, maupun kalangan pemerintahan. Dengan alasan perlindungan terhadap perempuan, anak dan generasi muda dari bahaya pornografi, undang-undang ini malah berpotensi mengkriminalkan perempuan dan membatasi kebebasan berekspresi warga negara. Dalam konteks ini, UU Pornografi mengancam jaminan-jaminan konstitusional, seperti: Pasal 28 B (2) berhak atas perlindungan dan diskriminasi, Pasal 28 D (1) jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, Pasal 28 E (2) kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai hati nuraninya, Pasal 28 F kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungannya, Pasal 28 H (2) kemudahan dan perlakukan khusus, persamaan dan keadilan di depan hukum, Pasal 28 I (2) bebas dari perlakukan diskriminatif dan perlindungan dari perlakukan tersebu. Keberadaan UU ini didukung kuat oleh kalangan pemerintah sehingga mempercepat pengesahannya. Hal ini dapat dilihat dari terbitnya peraturan bersama antara Menteri Pemberdayaan Perempuan, Menteri Pemuda dan Olah Raga, Menteri Komunikasi dan Informasi, Menteri Agama, dan Kepolisian RI nomor 78/Men.PP/Dep.II/IV/2008 Nomor 0105, Nomor 73/Kep./M.Kominfo/4/2008 nomor 2 tahun 2008 tentang rencana aksi nasional mewujudkan keluarga bersih pornografi. Keputusan bersama ini ditandatangani pada tanggal 4 April 2008. Secara umum rencana nasional ini berisikan rencana aksi tahun 2008 – 2011, yang dimulai pada tingkat individu sampai negara/pemerintah guna menerapkan norma-norma, sosialisasi tentang peraturan tentang pornografi, bahaya dan dampak pornografi, serta upaya pencegahan pornografi yang dapat dilakukan oleh semua kalangan sebagai bagian dari kontrol sosial dalam masyarakat guna mencegah penyebaran pornografi. Pasal-pasal yang multi tafsir dalam UU Pornografi juga menimbulkan ketidakpastian hukum. Tak lama setelah UU Pornografi disahkan oleh DPR, aparat kepolisian Taman Sari Jakarta Barat segera melakukan razia di kawasan Lokasari terhadap pekerja sektor hiburan sebagai upaya pelaksanaan UU ini. Sebanyak 10 orang penari ditahan, dimana tujuh diantara mereka sedang menunggu giliran menari.15 Hingga saat ini Pemerintah belum mengeluarkan aturan pelaksanaan dari UU ini. Putusan MA-RI No. 01K/AG/JN/2008 tentang Perkara Kasasi Jinayat (pidana) Peradilan Agama Pada tanggal 23 Mei 2008, Mahkamah Agung RI memberikan putusannya bernomor 01K/AG/JN/2008 tentang Perkara Kasasi Jinayat Peradilan Agama, menolak permohonan kasasi yang diajukan salah satu terdakwa, atas hukum cambuk yang diterimanya berdasarkan Peraturan Daerah NAD atau Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). Dalam Kasus Jinayat (pidana) laki-laki dan perempuan (bersuami) telah melakukan perbuatan mesum, mereka dituntut dengan pasal 5 jo pasal 22 ayat (1) bahwa apabila bukan muhrim 15
10 penari terjerat UU Pornografi, Koran Seputar Indonesia, 3 November 2008.
25
(mahram) berdua-duaan di tempat gelap di dalam sebuah kamar rumah yang patut diketahui, mereka telah melakukan perbuatan mesum/khalwat maka haram hukumnya dan akan memperoleh hukuman cambuk. Kasus tersebut telah mendapat putusan Pengadilan Syari’ah No 01/JN/2007/Msy-LSK tanggal 9 Juli 2007 keduanya dihukum cambuk biaya perkara. Terdakwa mengajukan banding dan telah mendapat Putusan Mahkamah Syar’iyah No 09/JN/2007/Msy-Prof tanggal 25 September 2007 dengan hukuman yang sama. Terdakwa laki-laki mengajukan di dalam memori kasasi pemohon menjelaskan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar. Dengan demikian, putusan kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut telah mengukuhkan putusan qanun yang memperkenalkan satu jenis hukuman pidana yang tidak diatur dalam hukum positif nasional kita, yaitu hukuman cambuk. Mahkamah Agung tidak mempersoalkan bahwa hukum cambuk tidak ada dalam sistem hukum nasional. Sementara itu, sesungguhnya, sesuai UU No. 14 tahun 1985 yang diubah menjadi UU No. 5 Tahun 2004 pasal 30 (1) huruf b, Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi berwenang membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Dalam hal ini, Mahkamah Agung terbatas memperlakukan putusan Mahkamah Syar’iyah Lhoksokun NAD tanpa menyentuh substansi qanun. Putusan Mahkamah Konstitusi terkait hak politik perempuan Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24/PUU-VI/2008 tertanggal 19 Desember 2008 menentukan bahwa pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undangundang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keputusan tersebut didasarkan pada penilaian hukum bahwa, dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, yaitu calon mereka yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak. Keputusan Mahkamah Konstitusi ini menghilangkan langkah affirmative action untuk menjamin keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga legislatif. Langkah ini dianggap penting karena keberadaan wakil-wakil rakyat yang berjenis kelamin perempuan di lembaga-lembaga legislatif masih jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki. Fakta menunjukkan bahwa selama tiga periode yakni sejak 1992 sampai 2004 jumlah perempuan di parlemen mengalami penurunan dari 12,15% menjadi 8,80% 16. Hasil pemilu 2004 17 menunjukkan jumlah perempuan yang menempati kursi di DPR, DPD dan MPR sebanyak 11% sementara laki-laki sebanyak 89% dari 16 partai politik peserta pemilu. Dari data perbandingan prosentase perempuan dan laki-laki di tubuh parlemen dari tahun ke tahun, menunjukkan keterlibatan perempuan dalam dunia politik sangat rendah bukan disebabkan sekedar oleh keengganan perempuan untuk masuk di ranah politik, tetapi sebagai dampak dari konstruksi sosial yang bias jender tentang peran perempuan dalam masyarakat. Surat Edaran Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hong Kong No. 0356/IA/II/2008 perihal Mekanisme dan Persyaratan Perpanjangan Kontrak dan Kontrak Lanjutan bagi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong 16
Sumber: Sekjen, MPR RI (Indikator Sosial Wanita Indonesia, 1999,BPS)
17
Sumber: Komisi Pemilihan Umum (2004)
26
Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong mengeluarkan Surat Edaran No. 0356/IA/II/2008 perihal Mekanisme dan Persyaratan Perpanjangan Kontrak dan Kontrak Lanjutan bagi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong. Surat Edaran ini lahir sebagai koreksi dari Surat Edaran Konsulat Jenderal Republik Indonesia Hong Kong No. 2258/IA/XII/2007 perihal Tata Cara Perpindahan Agency bagi Nakerwan. Surat Edaran No. 2258/IA/XII/2007 mendapat tentangan keras dari berbagai pihak khususnya organisasi pekerja migran yang berbasis di Hong Kong, karena dinilai sangat merugikan pekerja migran. Berdasarkan Surat Edaran tersebut, memberi penekanan dan kewajiban khusus semata kepada perempuan pekerja migran yang akan berpindah agen wajib memberitahukan kepada KJRI Hong Kong namun tidak kepada pihak lain yang terkait dengan proses migrasi dan penempatan. Desakan dari berbagai pihak, termasuk Komnas Perempuan, membuahkan hasil lahirnya Surat Edaran No. 0356/IA/II/2008 yang menyebutkan antara lain bahwa ketika tenaga kerja Indonesia (tidak hanya perempuan pekerja migran Indonesia saja) akan berpindah agen, mereka tidak perlu lagi menyampaian alasan pindah agen kepada KJRI Hong Kong, dan ketika agen memperpanjang kontrak kerja, mereka harus menyertakan surat pernyataan jaminan bahwa tidak memungut lebih dari 10% gaji pekerja migran. Surat Keputusan Dirjen Binapenta Depnakertrans No. 186 Tahun 2008 Pada pertengahan tahun 2008, kali ini calon pekerja migran ke Hong Kong yang bekerja sebagai penata laksana rumah tangga, perawat bayi, dan perawat orang tua/jompo mendapat kejutan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Dirjen Binapenta Depnakertrans No. 186 Tahun 2008, yang menetapkan bahwa jumlah biaya yang harus ditanggung oleh calon pekerja migran Indonesia adalah sebesar Rp 15.550.000, ditambah USD 15. Sebelumnya, hanya sebesar Rp. 9.132.000,- berdasarkan SK Binapenta No. 653 Tahun 2004. Bagi calon pekerja migran yang hampir semua berasal dari kalangan masyarakat berperekonomian rendah, jumlah tersebut sangatlah besar. Hingga saat ini, Surat Keputusan tersebut masih diberlakukan. Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi 22/MEN/XII/2008, dan Permen Tenaga Kerja dan Transmigrasi 23/MEN/XII/2008
No. No.
Di sisi lain, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 22/MEN/XII/2008 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 23/MEN/XII/2008 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia. Berbeda dengan Permen yang lalu (Permen No. 18/MEN/IX/2007), Permen kali ini telah memuat klausul yang lebih komprehensif mengenai perlindungan bagi pekerja migran Indonesia. Pengaturan yang ada mencakup perlindungan sejak masa pra-penempatan, selama penempatan, hingga purna penempatan, dengan mencakup juga elemen perlindungan di tahap penempatan bagi tenaga kerja Indonesia yang mengalami tindak kekerasan dan pelecehan seksual (Pasal 44). Akan tetapi, ada beberapa kelemahan dari Permen tersebut. Pertama, perlindungan yang dimaksud pada tahapan pra keberangkatan hanya terbatas pada pengawasan berbagai dokumen pekerja migran. Sementara terkait dengan perlindungan
27
tindak kekerasan seksual hanya disebutkan dalam perlindungan berupa penyelesaian perselisihan dengan pengguna/pihak lain selama penempatan. Advokasi dan pendampingan yang dimaksudkan dalam perlindungan di tahapan ini juga terbatas pada advokasi dan pendampingan hak-hak pekerja migran sebagai pekerja, bukan sebagai orang yang terlanggar hak asasinya. Rehabilitasi fisik dan psikologi baru diberikan ketika pekerja migran kembali ke Indonesia. Kelemahan lain Permen No. 22 Tahun 2008 adalah masih adanya pembatasan hak-hak perempuan pekerja migran, seperti persyaratan surat izin suami/istri/orang tua/wali (Pasal 10). Permen No. 23 Tahun 2008 mensyaratkan bahwa TKI harus diikutsertakan dalam program asuransi yang meliputi pra-penempatan hingga purna penempatan, dengan total biaya asuransi sebesar Rp. 400.000,-. Terobosan yang diberikan oleh Permen ini adalah salah satu resiko yang tercakup di dalam program asuransi tersebut adalah resiko tindak kekerasan fisik dan pemerkosaan (Pasal 4). Setelah dibentuknya BNP2TKI pada awal tahun lalu, tahun ini Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi kembali mengaktifkan peran departemennya dalam hal penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, khususnya melalui Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja. Penguatan posisi Depnaker tersebut terlihat pula pada Permen No. 22 dan 23 Tahun 2008. Selama tahun 2008, perdebatan antara BNP2TKI dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi cukup menonjol, terutama dipicu dengan tidak jelasnya batas kewajiban dan kewenangan masing-masing institusi dalam hal penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia. BNP2TKI mendapat mandat untuk melakukan koordinasi dalam hal penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia. Akan tetapi, BNP2TKI tidak diberi kewenangan penuh dalam melakukan tugas tersebut. Keputusan tetap berada di dalam kewenangan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; BNP2TKI hanya mendapat kewenangan memberi masukan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Pengaktifan kembali dirjen tersebut tanpa ada penyelesaian terhadap konflik kelembagaan terkait kejelasan kewenangan antara kedua lembaga tersebut diprediksi akan menambah keruwetan penyelesaian masalah-masalah komprehensif yang dialami oleh pekerja migran. Seperti juga halnya kebijakan, penanganan kasus pekerja migran yang dilakukan hingga saat ini oleh pemerintah masih bersifat reaktif. Belum ada mekanisme penanganan kasus yang komprehensif dan peka terhadap kebutuhan korban. Penanganan kasus juga masih bersifat parsial, belum terkoordinasi dengan baik. Masing-masing institusi memiliki mekanisme sendiri, sesuai dengan lingkup kerjanya masing-masing. Karakter penanganan kasus yang cukup menonjol adalah pemilahan antara korban yang merupakan pekerja migran berdokumen dengan yang tidak berdokumen. Padahal, penanganan kasus seharusnya diberikan kepada semua pekerja migran, tanpa membedakan statusnya. Selain itu, mekanisme penanganan yang ada masih belum responsif terhadap perempuan korban, khususnya korban kekerasan seksual. Bukti nyata adalah tidak adanya upaya negara menangani fenomena anak bermuka Arab di Cianjur, Karawang dan Lombok, yang sebagian besar merupakan anak hasil pemerkosaan yang dilakukan majikan perempuan pekerja migran di Arab Saudi. Hal tersebut tidak saja terjadi di tingkat nasioal, tapi dalam hubungan antara nasional dengan daerah dan di tingkat antar daerah. Adanya Permen No. 22 Tahun 2008 juga memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada Daerah (Dinas yang membidangi ketenagakerjaan di Provinsi dan Kabupaten/Kota). Apabila hal ini tidak diimbangi penguatan kapasitas Dinas Ketenagakerjaan di Daerah,
28
koordinasi antara Dinas Ketenagakerjaan dengan Pemerintah Daerah setempat, maka implementasinya dikhawatirkan tidak maksimal dan menimbulkan berbagai kesulitan baru dalam berkoordinasi. Peraturan Daerah Kabupaten Blitar No. 16 Tahun 2008 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Kabupaten Blitar di Luar Negeri Pemerintah Daerah Kabupaten Blitar mengeluarkan Perda Kabupaten Blitar No. 16 Tahun 2008 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Kabupaten Blitar (TKKB) di Luar Negeri. Akan tetapi, Perda ini masih memiliki beberapa kelemahan, antara lain masih kuatnya elemen penempatan, walaupun judulnya hanyalah memuat elemen perlindungan, beberapa peraturan yang dijadikan konsideran telah tidak berlaku, tenaga kerja yang dimaksud hanyalah mereka “yang berangkat secara sah” (Pasal 1), adanya syarat buku nikah dan surat izin dari suami atau istri sebagai dokumen ketenagakerjaan yang dibutuhkan (Pasal 8). Di lain pihak, terobosan yang perlu dicatat dari Perda ini adalah ketentuan untuk membentuk Komisi Perlindungan TKKB, yang keanggotaannya terdiri dari LSM, tokoh masyarakat dan profesional yang kompeten. Komisi ini dimandatkan antara lain untuk menerima pengaduan terkait pelanggaran prosedur dan peraturan perekrutan dan penempatan TKKB, membuat peraturan mengenai mekanisme pengaduan dan mediasi, mengelola rumah aman, dan lainlain. Selain itu, Perda memandatkan Pemerintah Daerah untuk menyediakan dana perlindungan bagi TKKB. Akan tetapi, bagaimana implementasi kedua terobosan ini masih perlu dilihat kemudian.
KESIMPULAN Pola kekerasan 1. Kekerasan ekonomi yang terjadi di dalam rumah tangga dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan komunitas merupakan dua jenis kekerasan yang paling besar dialami oleh perempuan, jika disimak dari kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh lembaga-lembaga layanan, rumah sakit dan institusi penegak hukum. Kecenderungan ini berlaku secara konsisten dari tahun ke tahun, sejak tahun 2006 hingga 2008. 2. Pada tahun 2008, mayoritas dari perempuan korban kekerasan ekonomi dalam rumah tangga adalah para istri, yaitu sebanyak 6.800 kasus ( dari jumlah 46.884 kasus KTI), sedangkan, mayoritas korban kekerasan seksual di komunitas adalah perempuan di bawah umur, yaitu sebanyak 469 kasus (dari jumlah 1.870 kasus). 3. Empat kategori perempuan korban kekerasan yang menuntut perhatian khusus pada tahun ini adalah perempuan minoritas agama, perempuan miskin, perempuan pekerja hiburan, dan perempuan pembela HAM; sementara, empat sosok pelaku kekerasan terhadap perempuan yang menuntut pemantauan lebih lanjut adalah pejabat publik, kepala daerah, anggota legislatif, dan pendidik.
Penanganan 4. Lembaga yang menyatakan menggunakan UU Penghapusan KDRT dalam penanganan kasus bertambah di lingkungan lembaga pengadilan, khususnya 29
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan meningkatnya pengenalan hakim-hakim tentang UU ini. 5. Penggunaan UU Penghapusan KDRT justru mulai berkurang di lingkungan lembagalembaga layanan di kepolisian dan masyarakat pada tahun 2008 ini, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Belum ada penjelasan yang pasti tentang alasan kecenderungan ini, tetapi ada kemungkinan terkait dengan keluhan dari polisi tentang banyaknya perempuan korban KDRT yang menarik kembali pengaduan sebelum proses hukum dimulai. Dalam konteks lembaga layanan yang dikelola organisasi masyarakat sipil (OMS), penurunan ini mungkin disebabkan semakin sering digunakan pendekatan non-litigasi dalam menangani kasus-kasus KDRT.
Kebijakan 6. Tahun 2008 terdapat sejumlah kebijakan yang kondusif bagi pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan, khususnya di bidang diskriminasi ras dan etnis, perempuan migran, layanan bagi perempuan korban kekerasan, serta soal sita marital dalam perceraian. Namun demikian, Komnas Perempuan juga mencatat produk kebijakan yang menjauhkan perempuan dari pemenuhan hak-hak asasinya, khususnya dalam hal jaminan kebebasan berekspresi (UU Pornografi), akses perempuan pada keadilan (kasasi perkara jinayat dari Aceh), dan hak politik perempuan (putusan Mahkamah Konstitusi tentang penetapan caleg terpilih). 7. Terkait pengaturan pekerja migran, hampir seluruh produk hukum yang dihasilkan pada tahun 2008 menimbulkan kebijakan yang saling kontradiktif dan cenderung memperlemah perlindungan pekerja migran.
REKOMENDASI 1. Karena jenis KDRT yang paling tinggi adalah kekerasan ekonomi, maka Pemerintah dan para pendamping korban KDRT perlu membuat upaya khusus untuk meningkatkan kemandirian ekonomi bagi para korban, selain memfasilitasi pemulihan psiko-sosial dan medisnya. 2. Pemerintah perlu mengembangkan pendekatan yang tepat untuk mendukung pemulihan perempuan di bawah umur yang telah menjadi korban kekerasan seksual dalam komunitas. 3. Organisasi-organisasi perempuan perlu segera mengembangkan konsep kebijakan yang komprehensif tentang kekerasan dan pelecehan seksual, termasuk soal perlindungan hukum dan pemulihan bagi korban. 4. Pemerintah perlu segera mencabut semua kebijakan yang diskriminatif terhadap komunitas minoritas agama untuk mencegah semakin bertambahnya korban, dan lembaga penegak hukum perlu menindak tegas segala bentuk bentuk aksi kekerasan dan tindak kriminal terhadap komunitas minoritas.
30
5. Mengantisipasi dampak krisis ekonomi global di Indonesia, Pemerintah perlu mengembangkan inisiatif khusus untuk memahami kebutuhan-kebutuhan perempuan miskin di perkotaan dan pedesaan serta mendukung pemenuhannya. 6. Pemerintah perlu segera menciptakan perangkat hukum yang komprehensif untuk melindungi pembela HAM, termasuk perempuan pembela HAM yang mempunyai kerentanan-kerentanan khusus karena keperempuanannya atau karena isu keadilan jender yang diperjuangkannya. 7. Masyarakat perlu meningkatkan pemantauan terhadap perilaku pejabat publik dan pendidik terhadap perempuan yang berada di bawah kewenangannya, khususnya terkait tindak pelecehan dan kekerasan seksual. 8. Lembaga-lembaga negara dan institusi-institusi pendidikan, baik formal dan nonformal, perlu mengembangkan mekanisme penegakan kode etik, termasuk penerapan sistem sanksi, yang tanggap terhadap kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungannya sendiri. 9. Lembaga-lembaga penegak hukum perlu terus meningkatkan pengarusutamaan pengetahuan tentang UU Penghapusan KDRT dalam konteks hak-hak asasi perempuan di seluruh jajarannya, termasuk dalam kurikulum pendidikan yang berlaku. 10. Masyarakat dan Pemerintah perlu membangun pengetahuan empiris dan komprehensif tentang pola-pola penanganan kekerasan terhadap perempuan yang hidup di tengah masyarakat serta mengkaji efektifitasnya bagi pemenuhan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. 11. Pemerintah dan lembaga legislatif perlu segera mengambil langkah nyata guna melakukan harmonisasi antar peraturan-perundangan serta memperbaiki/mencabut peraturan-perundangan yang bertentangan dengan UUD Negara RI 1945. 12. Pemerintah perlu membuat terobosan nyata untuk meningkatkan efektifitas mekanisme perlindungan bagi pekerja migran perempuan serta meningkatkan akses para korban eksploitasi dan kekerasan terhadap keadilan dan pemulihan.
31
TERIMA KASIH Komnas Perempuan menyampaikan terima kasih kepada lembaga-lembaga yang tercantum di bawah ini, atas kerja sama yang diberikan dalam penyusunan Catatan Tahunan tentang Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2008. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41.
Aliansi Peduli Perempuan Sukowati, Kab. Sragen Aliansi Perempuan Merangin, Jambi Arus Pelangi, DKI Jakarta Cahaya Perempuan WCC Bengkulu, Bengkulu Flower, Nangroe Aceh Darussalam Forum Komunikasi Buruh Migran Sepakat (Fokburs), NTB Forum Peduli Perempuan dan Anak, NTT Forum PK2PA, DI Yogyakarta Gender Focal Point, DKI Jakarta JARI Aceh, Nangroe Aceh Darussalam Kejaksaan Negeri Cilegon, Cilegon Kejaksaan Negeri Pandeglang, Pandeglang Kejaksaan Negeri Rangkas Bitung, Rangkas Bitung Kejaksaan Negeri Serang, Serang Kejaksaan Negeri Tangerang, Banten Kejati Aceh, Nangroe Aceh Darussalam Kejati Bali, Bali Kejati Bangka, Bangka Belitung Kejati Banten, Banten Kejati Gorontalo, Gorontalo Kejati Jambi, Jambi Kejati Jawa Barat, Jawa Barat Kejati Jawa Tengah, Jawa Tengah Kejati Kalimantan Barat, Kalimantan Barat Kejati Kalimantan Selatan, Kalimantan Selatan Kejati Kalimantan Timur, Kalimantan Timur Kejati Kep. Bangka Belitung, Bangka Belitung Kejati Lampung, Lampung Kejati Maluku, Maluku Kejati Nusa Tenggara Barat, NTB Kejati Nusa Tenggara Timur, NTT Kejati Papua, Papua Kejati Riau, Riau Kejati Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan Kejati Sulawesi Utara, Sulawesi Utara Kejati Sumatera Barat, Sumatera Barat Kejati Sumatera Selatan, Sumatera Selatan KPBH ATMA, Jawa Tengah KPPA Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tenggara Lada Damar, Lampung LBH APIK Jakarta, DKI Jakarta 32
42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87.
LBH APIK NTB, NTB LBH APIK Semarang, Jawa Tengah LBH APIK Makassar, Sulawesi Selatan LBHP2I Makassar, Sulawesi Selatan LBH Bali, Bali LBH Jakarta, DKI Jakarta Lentera Perempuan WCC, LKBH PEKKA, DKI Jakarta LRC KJHAM, Jawa Tengah Mitra Perempuan, DKI Jakarta P2TP2A Bandar Lampung, Lampung P2TP2A Bandung, Jawa Barat P2TP2A Jakarta, DKI Jakarta P2TP2A Maluku, Maluku P2TP2A Maluku Utara, Maluku P2TP2A Rekso Dyah Utami, DI Yogyakarta P2TP2A Tanah Datar, Sumatera Barat PA Ambarawa, Jawa Tengah PA Atambua, NTT PA Balige, Sumatera Utara PA Balikpapan, Kalimantan Timur PA Bandung, Jawa Barat PA Bangil, Jawa Tengah PA Bangkalan, Madura PA Bangko, Jambi PA Bangli, Bali PA Banyuwangi, Jawa Timur PA Batu Raja, Sumatera Selatan PA Bawean, Jawa Timur PA Binjai, Sumatera Utara PA Blitar, Jawa Tengah PA Blora, Jawa Tengah PA Boyolali, Jawa Tengah PA Brebes, Jawa Tengah PA Cilacap, Jawa Tengah PA Garut, Jawa Barat PA Gunung Sitoli, Sumatera Utara PA Jakarta Barat, DKI Jakarta PA Jakarta Pusat, DKI Jakarta PA Jakarta Timur, DKI Jakarta PA Jakarta Selatan, DKI Jakarta PA Jepara, Jawa Tengah PA Jombang, Jawa Timur PA Karawang, Jawa Barat PA Kandangan, Kalimantan Selatan PA Kayu Agung, Sumatera Selatan
33
88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102. 103. 104. 105. 106. 107. 108. 109. 110. 111. 112. 113. 114. 115. 116. 117. 118. 119. 120. 121. 122. 123. 124. 125. 126. 127. 128. 129. 130. 131. 132. 133.
PA Kebumen, Jawa Tengah PA Kefamenanu, NTT PA Kendal, Jawa Tengah PA Ketapang, Jawa Timur PA Kelas I Batang, Jawa Tengah PA Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah PA Lahat, Sumatera Selatan PA Labuha, Maluku Utara PA Lubuk Linggau, Sumatera Selatan PA Lubuk Pakam, Sumatera PA Malang, Jawa Timur PA Manokwari, Papua PA Marabahan, Kalimantan Selatan PA Mataram, NTB PA Maumere, NTT PA Mempawah, Kalimantan Barat PA Muara Enim, Sumatera Selatan PA Nganjuk, Jawa Timur PA Ngawi, Jawa Timur PA Pacitan, Jawa Timur PA Painan, Sumatera Barat PA Palembang, Sumatera Selatan PA Pamekasan, Madura PA Pangkal Pinang, Riau PA Pati, Jawa Tengah PA Pemalang, Jawa Tengah PA Polewali, Sulawesi Selatan PA Poso, Sulawesi Tengah PA Probolinggo, Jawa Timur PA Purwodadi, Jawa tengah PA Purwokerto, Jawa tengah PA Rangkas Bitung, Banten PA Rengat, Riau PA Salatiga, Jawa Tengah PA Samarinda, Kalimantan Timur PA Sampit, Kalimantan Tengah PA Sekayu, Ulawesi Selatan PA Selat Panjang, Riau PA Serang, Banten PA Serui, Papua PA Simalungun, Sumatera Utara PA Sintang, Kalimantan Barat PA Situbondo, Jawa Timur PA Sleman, DI Yogyakarta PA Soasio, Sumatera Selatan PA Solok, Sumatera Barat
34
134. 135. 136. 137. 138. 139. 140. 141. 142. 143. 144. 145. 146. 147. 148. 149. 150. 151. 152. 153. 154. 155. 156. 157. 158. 159. 160. 161. 162. 163. 164. 165. 166. 167. 168. 169. 170. 171. 172. 173. 174. 175. 176. 177. 178. 179.
PA Sragen, Jawa Tengah PA Sukabumi, Jawa Timur PA Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat PA Sumber, Jawa Barat PA Sungai Liat, Bangka Belitung PA Surabaya, Jawa Timur PA Tanjung Balai Karimun, Riau PA Tanjung Pandan, Bangka Belitung PA Tanjung Redeb, Kalimantan Timur PA Tanjung Balai, Riau PA Tebing Tinggi, Sumatera Utara PA Tolitoli, Sulawesi Tengah PA Trenggalek, Jawa Timur PA Tual, Maluku PA Waingapu, NTT PA Wates, DI Yogyakarta PA Wonosari, Jawa Tengah PA Wonosobo, Jawa Tengah PKPA, Sumatera Utara PKT Melati RSAL Dr. Mintohardjo, DKI Jakarta PN Jawa Tengah, Jawa Tengah PN Bangil, Jawa Timur PN Bangli, Bali PN Banjarnegara, Jawa Tengah PN Bantul, DI Yogyakarta PN Banyumas, Jawa Tengah PN Batang, Jawa Tengah PN Batu Sangkar, Sumatera Barat PN Bengkalis, Riau PN Brebes, Jawa Tengah PN Bukit Tinggi, Sumatera Barat PN Ciamis, Jawa Barat PN Dumai, Riau PN Gorontalo, Gorontalo PN Idi, Nangroe Aceh Darussalam PN Jeneponto, Sulawesi Selatan PN Jepara, Jawa Tengah PN Kab. Kediri, Jawa Timur PN Kab. Madiun, Jawa Timur PN Kelas IB Bangko, Jambi PN Kelas IB Cirebon, Jawa Barat PN Kelas IB Purwokerto, Jawa Tengah PN Kelas IB Raba Bima, NTB PN Kelas IB Selong, NTB PN Koto Baru, Sumatera Barat PN Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah
35
180. 181. 182. 183. 184. 185. 186. 187. 188. 189. 190. 191. 192. 193. 194. 195. 196. 197. 198. 199. 200. 201. 202. 203. 204. 205. 206. 207. 208. 209. 210. 211. 212. 213. 214. 215. 216. 217. 218. 219. 220. 221. 222. 223. 224. 225.
PN Kuningan, Jawa Barat PN Lahat, Sumatera Selatan PN Lubuk Sikaping, Sumatera Barat PN Madiun, Jawa Timur PN Magelang, Jawa Tengah PN Magetan, Jawa Timur PN Mamuju, Sulawesi Selatan PN Metro, Lampung PN Selayar, Sulawesi Selatan PN Soe, NTT PN Sorong, Papua PN Subang, Jawa Barat PN Sungai Liat, Bangka Belitung PN Tabanan, Bali PN Tanjung Pandan, Bangka Belitung PN Tanjung Pati, Sumatera PN Temanggung, Jawa Tengah PN Tolitoli, Sulawesi Tengah PN Watansoppeng, Sulawesi Selatan PN Wonosari, DI Yogyakarta PN Wonosobo, Jawa Tengah PP Puan Amal Sakienah, Jawa Barat PPAH Cipasung, Jawa Barat PPT RS POLRI Sukanto, DKI Jakarta PT Bandung, Jawa Barat PT Banten, Banten PT Kalimantan Timur, Kalimantan Timur PT Semarang, Jawa Tengah PT Sumatera Barat, Sumatera Barat Rifka Annisa, DI Yogyakarta RS Bhayangkara Medan, Sumatera Utara RS Bhayangkara Semarang, Jawa Tengah RS Bethesda, DI Yogyakarta RS Bhayangkara Kalimantan Tengah, Kalimantan Tengah RS Bhayangkara Kediri, Jawa Timur RS Bhayangkara Nganjuk, Jawa Timur RS Dr. Sardjito, DI Yogyakarta RS Kota Jogja, DI Yogyakarta RSUD M. Yunus, Bengkulu RSUD Panembahan Senopati, DI Yogyakarta RSUP Fatmawati, DKI Jakarta Rumah Kita, DKI Jakarta Sahabat Perempuan, Jawa Tengah Sapa Institute, Jawa Barat Savy Amira, Jawa Timur SBMI Jadebotabek, DKI Jakarta
36
226. 227. 228. 229. 230. 231. 232. 233. 234. 235. 236. 237. 238. 239. 240. 241. 242. 243. 244. 245. 246. 247. 248. 249. 250. 251. 252. 253. 254. 255. 256. 257. 258. 259. 260. 261. 262. 263. 264. 265. 266. 267. 268. 269. 270. 271.
SPEK HAM, Jawa Tengah SPI Labuhan Batu, Sumatera Utara Suara Nurani Perempuan, DI Yogyakarta UPPA KPP Tj. Priuk, DKI Jakarta UPPA Polda Bali, Bali UPPA Polda Jogja, DI Yogyakarta UPPA Polda Kediri, Jawa Timur UPPA Polda Lampung, Lampung UPPA Polda Metro Jaya, DKI Jakarta UPPA Polda NTB, NTB UPPA Polda Sulawesi Tengah, Sulawesi Tengah UPPA Polda Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tenggara UPPA Polres Ponorogo, Jawa Timur UPPA Polres Asahan, Sumatera Utara UPPA polres Bangli, Bali UPPA Polres Bantul, DI Yogyakarta UPPA Polres Batu, Jawa Timur UPPA Polres Ciamis, Jawa Barat UPPA Polres Deli Serdang, Sumatera Utara UPPA Polres Gianyar, Bali UPPA Polres Kalimantan Selatan, Kalimantan Selatan UPPA Polres Karang Asem, Bali UPPA Polres Karawang, Jawa Barat UPPA Polres Klungkung, Bali UPPA Polres Kulon Progo, DI Yogyakarta UPPA Polres Labuhan Batu, Sumatera Utara UPPA Polres Lampung Selatan, Lampung UPPA Polres Malang, Jawa Timur UPPA Polres Merangin, Jambi UPPA Polres Ngawi, Jawa Timur UPPA Polres Nusa Tenggara Barat, NTB UPPA Polres Pasaman, Sumatera Barat UPPA Polres Rembang, Jawa Tengah UPPA Polres Sikka, NTT UPPA Polres Sukoharjo, Jawa Tengah UPPA Polres Tabanan, Bali UPPA Polres Trenggalek, Jawa Timur UPPA Polres Tuban, Jawa Timur UPPA Polres Tulungagung, Jawa Timur UPPA Polresta Cirebon, Jawa Barat UPPA Polresta Malang, Jawa Timur UPPA Poltabes Bandar Lampung, Lampung UPPA Polwiltabes Madiun, Jawa Timur UPPA Polwiltabes Makassar, Sulawesi Selatan WCC Jombang, Jawa Timur WCC Palembang, Sumatera Selatan
37
272. 273.
Yayasan Arikal Mahina, Maluku Yayasan Lambu Ina, Sulawesi Tenggara
38