KOMISI NASIONAL ANTI KEKER A SAN TERHA DAP PEREM PUA N
Tak Hanya di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang Catatan KtP Tahun 2009
CATATAN TAHUNAN TENTANG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Jakar ta, 7 Mar et 2010
Tim Penulis: .Asmaul Khusnaeny, Dahlia Madani, Diah Irawaty, Dwi Ayu Kartika, Iva Kasuma, Manna Nababan, Saherman, Soraya Ramli. Tim Data dan Riset: Atiyatun Khomisah, Betty Sitanggang, Dian Girsang, Heru Prasadja, Yustina Rostiawati, Nenny Ayuni, Siti Nurjannah, Sri Candra Wulaningsih. Tim Diskusi: Arimbi Heroepoetri, Andy Yentriani, Yustina Rostiawati, Yuniyanti Chuzaifah, Kunthi Tridewiyanti.
Tak Hanya di Rumah: Pengalaman Perempuan akan Kekerasan di Pusaran Relasi Kekuasaan yang Timpang RINGKASAN EKSEKUTIF
Catatan tahunan 2010 ini merupakan kompilasi catatan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam tahun 2009 (periode Januari sampai dengan Desember). Seperti biasanya, catatan tahunan ini merupakan kompilasi data dari lembaga mitra pengada layanan, berjumlah 269 lembaga yang memberikan responnya. Jumlah KTP yang tercatat ditangani lembaga pengada layanan meningkat setiap tahun (tahun 2001 – 2008). Tahun 2009 ini, peningkatan jumlah KTP mencapai 143.586 kasus atau naik 263% dari jumlah KTP tahun lalu (54.425). Seperti tahun lalu, peningkatan jumlah kasus ini pertama-tama dikarenakan kemudahan akses data Pengadilan Agama (PA) sebagai implementasi dari Keputusan Ketua MA No. 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di lingkungan Pengadilan. Selain itu ditengarai peningkatan ini berkaitan dengan sejumlah faktor lain yang mendorong korban lebih mudah ‘bicara’ atau membuka kasus kekerasan yang dialaminya, seperti belakangan ini banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dengan mudah dapat disimak lewat media massa (baik elektronik dan media cetak). Dan biasanya yang banyak mendapat sorotan adalah tokoh publik – dikenal oleh masyarakat secara luas (kalangan artis, pejabat, tokoh masyarakat dan tokoh lain yang cukup mudah dikenali). Pemberitaan ini sedikit banyak mendorong para perempuan lain untuk lebih ‘berani’ membuka kasus kekerasan yang dialaminya. Demikian pula, secara umum publik lebih peka terhadap kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, dan lebih mau menerima (tidak lagi tabu) ketika ada perempuan mengadukan/membuka pengalaman tindak kekerasan. Pola kekerasan yang cukup menonjol pada tahun ini adalah kekerasan psikis dan seksual terjadi di tiga ranah yaitu keluarga/relasi personal, komunitas dan negara. Korban KDRT/RP yang cukup menonjol tahun ini adalah kekerasan terhadap istri (96%). Dan usia korban cenderung lebih muda (dari kelompok usia 13 – 18 tahun, usia anak). Karakteristik usia pelaku sama dengan tahun sebelumnya, yaitu antara usia produktif: 25 – 40 tahun. Di tingkat kebijakan sejumlah terobosan sudah dilakukan pemerintah, yaitu amandemen UU Kesehatan yang mengakui adanya hak reproduksi perempuan, Peraturan Kapolri No. 8 Thun 2009 tentang penerapan standar HAM dalam pelaksanaan tugas kepolisian, MOU antara 5 lembaga negara dalam rangka perlindungan saksi korban. Pada tahun ini berdasarkan data dari lembaga pengada layanan juga diketahui semakin banyak lembaga yang menggunakan UU PKDRT dalam penanganan kasus, khususnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.
P E N G A N TA R
Setiap tahunnya, Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang terjadi sepanjang tahun itu. Untuk tahun 2009, seperti biasanya data didapat dari seluruh mitra Komnas Perempuan yang lebih menangani korban KtP, baik menangani secara langsung maupun menerima pengaduan kemudian merujuk ke lembaga mitra lain yang memiliki kapasitas penanganan kasus. Sejak tahun 2006, Komnas Perempuan telah memiliki standar formulir pengisian untuk pencatatan data. Data standar yang dipantau adalah tentang kondisi lembaga-lembaga pengada layanan, hambatan yang dihadapi dalam pencatatan, juga dalam penanganan kasus. Formulir pengisian ini setiap tahunnya akan dievaluasi dalam lokakarya bersama lembaga-lembaga mitra yang telah terbiasa mengisi formulir, maupun dengan lembaga pengada layanan yang belum menjadi mitra Komnas Perempuan. Tujuannya adalah, selain mendapat masukan atas format formulir, juga untuk meningkatkan kerja sama dan komunikasi antar lembaga. Untuk tahun 2009, lokakarya diadakan di dua wilayah: Bali, yang mencakup lembaga mitra di Bali, Jawa, Ambon, dan Papua, serta Palembang (mencakup mitra di wilayah Sumatera). Sepanjang tahun 2009, Komnas Perempuan menerima 166 kasus kekerasan terhadap perempuan yang pelakunya adalah pejabat publik/tokoh. Fenomena ini telah Komnas Perempuan amati sejak tahun 2006, di mana sebanyak 557 kasus dari 16.709 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dilakukan oleh pejabat publik dan aparat Negara. Di tahun 2007 sebanyak 552 kasus, sementara sepanjang tahun 2008 mencapai 784 kasus yang tersebar di seluruh Indonesia. Angka pelaporan kekerasan terhadap perempuan dengan pelaku pejabat publik/ tokoh masyarakat terus muncul setiap tahunnya. Komnas Perempuan meyakini bahwa masih banyak korban yang diam/ menutup mulut, karena penanganan korban, baik dari aspek hukum, sosial maupun kebijakan institusi untuk kasus seperti ini belumlah terbangun dengan baik. Ditemui pola pengingkaran, pengabaian dan pembungkaman atas tuntutan korban, yang bermuara pada reviktimisasi dan jauhnya penyelesaian kasus dari keadilan. Komnas Perempuan juga mengucapkan terima kasih kepada para individu di dalam lembaga tersebut di atas yang merelakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk melengkapi formulir isian yang telah dikirimkan. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada para pengolah data, penulis, tim diskusi, dan tim pendukung logistik yang bekerja sampai detik terakhir untuk memastikan laporan ini tersedia tepat waktu. Akhirnya, melalui pendataan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terus-menerus diharapkan dapat teridentifikasi besaran dan kompleksitas masalah kekerasan terhadap perempuan. Pada akhirnya, dapat menjadi rujukan bagi semua elemen bangsa untuk menilai capaian bangsa ini dalam menangani dan mengatasi pelanggaran HAM Perempuan.
METODOLOGI
Sumber data catatan tahunan Komnas Perempuan adalah kasus yang ditangani oleh lembaga mitra pengada layanan. Dari tahun ke tahun, Komnas Perempuan mengundang partisipasi dari lembaga pengada layanan dengan mengirimkan formulir pendataan dan lembaga layanan memberikan responnya dengan mengisi dan mengembalikan formulir lewat pos, fax, maupun email. Komnas Perempuan akan melakukan verifikasi data dengan menghubungi lembaga mitra dimaksud lewat telpon dan/atau email. Jadi, pada prinsipnya data yang dihimpun dalam catatan tahunan merupakan data penanganan lembaga mitra selama (dalam) tahun bersangkutan.
Penyebaran (distribusi) formulir dan tingkat respon pada tahun ini dilakukan terlambat, yaitu pada bulan Desember 2009 dan awal Januari 2010. Keterlambatan ini dikarena-kan masalah teknis Komnas Perempuan yang menjelang akhir tahun 2009 mempunyai acara nasional berkaitan dengan pertanggungjawaban publik dan serah terima komisioner sehubungan dengan selesainya masa tugas komisione periode 2007 – 2009. Selain itu, perlu penyesuaian pemanfaatn APBN (waktu pencairan APBN berbeda dengan waktu seharusnya formulir Catahu dikirim ke lembaga mitra). Akhirnya, formulir disebarkan ke sejumlah 1.173 lembaga mitra dan mendapat respon dari 269 lembaga (23%). Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, kendala utama memberikan respon berkaitan dengan keterbatasan SDM Penyebaran dan Penerimaan Formulir Menurut Wilayah (dalam hal jumlah dan kapasitas) serta Catahu 2009 sarana-prasarana yang dimiliki oleh lembaga dalam rangka melakukan pendataan. Alasan lain yang seringkali juga dikemukakan oleh lembaga mitra sehubungan dengan keterlambatan ini adalah sulitnya mengkonversi data yang dicatat lembaga ke dalam Sumate Kalima Sulawe formulir data Komnas Perempuan. Aceh Jawa Bali NTB NTT Maluku Papua
PENGIRIMAN/PENYEBARAN FORMULIR
ra
ntan
si
Sebar
65
278
456
100
26
30
37
125
28
28
Terima
6
49
123
29
8
10
9
21
7
7
Respon lembaga mitra di wilayah Kalimantan, Jawa, Maluku, Papua, dan NTT di atas 25%. Dan lembaga mitra di wilayah Sumatera, Sulawesi dan NAD di bawah 20%.
Jika melihat respon per wilayah, maka dapat diketahui respon lembaga mitra di NTB dan Bali (33% dan 31%). Penyebaran & Penerimaan Formulir Menurut Lembaga Catahu 2009
Tingkat respon menurut lembaga mitra dapat dilihat pada grafik di samping. Respon paling tinggi diperoleh dari P2TP2A (69%), dan Kej Keja UPP P2TP Pem Kej LSM MS terendah dari RPTC (0). Tahun ini ada N ti A 2A da lembaga yang tidak dikirimi formulir sebar 0 0 31 138 203 0 13 0 tetapi turut berpartisipasi, seperti: terima 1 3 1 24 53 1 9 2 kejaksaan, kejaksaan negeri, mahkamah syariah, pemda, pengadilan tinggi, dan pengadilan tinggi agama.
PA
PN
PT
PTA RS
RPT C
378 349
0
0
57
4
76
16
10
12
0
61
Sama dengan tahun yang lalu, pada tahun ini Komnas Perempuan mendapatkan kemudahan mengakses data pengadilan (agama dan negeri – PA dan PN) lewat situs web (website). Hal ini berkaitan dengan adanya Surat Keputusan Mahkamah Agung (MA) RI No. 144/KMA/SK/VIII/2007, tentang keterbukaan informasi di pengadilan. Berdasarkan SK ini, telah banyak Pengadilan membuka akses data lewat situsnya.
Sumber Data: Kasus KTP Catatan Lembaga Pengada Layanan Menurut data yang dilaporkan oleh lembaga mitra, kasus KTP diperoleh dari beragam sumber seperti dapat dilihat pada tabel berikut. Sumber yang paling banyak ditangani oleh lembaga adalah korban yang datang sendiri (6.953). Selain itu ada kasus rujukan dari lembaga lain mencapai (1.725), dari saksi/pelapor (635), lewat telpon (227), sumber lain (360) dan follow up dari media (85).
Ka te gori Lemba ga
Keja ks a a n Negeri Kepol i s i a n LSM P2TP2A Pemda Penga di l a n Aga ma Penga di l a n Negeri Penga di l a n Ti nggi Ruma h Sa ki t Tota l
Rujuka n La por l ewa t Fol l ow up l emba ga Tel epon dr medi a l a i n (n=1725) (n=227) (n=85) % % % 0,00 0,00 0,00 24,70 0,44 0,00 32,70 91,63 89,41 3,71 3,96 0,00 0,58 0,00 0,00 1,51 0,88 0,00 9,10 0,00 0,00 0,35 0,00 0,00 27,36 3,08 10,59 100,00 100,00 100,00
Sa ks i , Pel a por (n=635) % 0,31 31,97 41,57 1,42 0,00 17,17 1,73 4,41 1,42 100,00
Korba n Sumber s endi ri La i n (n=6953) (n=360) % % 0,04 0,00 4,20 1,1 28,71 91,7 0,16 7,2 0,00 0,00 65,58 0,00 0,20 0,00 0,00 0,00 1,11 0,00 100,00 100,0
Mencermati data di atas, dapat diperoleh informasi kemungkinan perkembangan kerja sama antar lembaga boleh dikatakan meningkat dibandingkan tahun lalu. Khusus mengenai rujukan ini jika ditelusuri data yang ada diperoleh informasi bahwa ada sejumlah lembaga yang menerima dan kemungkinan saling menerima serta merujukkan kasus, yaitu: kepolisian (UUPA), LSM, rumah sakit, dan pengadilan negeri. Seperti pada tahun lalu, data juga menunjukkan korban banyak datang sendiri ke Pengadilan Agama (66% dari seluruh korban yang datang ke semua kategori lembaga), dan ada 29% korban datang sendiri ke LSM. Setiap tahunnya, banyak korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan. Oleh karena itu, meskipun tidak mempunyai mandat pendampingan, Komnas Perempuan sejak tiga tahun yang lalu (tahun 2005) Komnas Perempuan mengembangkan Unit Pelayanan Rujukan (UPR) yang fungsinya menerima korban dan merujuk ke lembaga mitra. Pada tahun ini, korban yang datang mengadu ke Komnas Perempuan sejumlah 923 kasus dan di antara korban tersebut banyak kasus kekerasan yang tidak berbasis gender. Komnas Perempuan sedapat mungkin merujuk korban yang datang ke lembaga mitra dan/atau menindaklanjutinya dalam rangka memberikan dukungan korban dimana desakan kepada lembaga-lembaga terkait dimana perlu.
G A M B A R A N U M U M : DA TA K T P TA H U N 2 0 0 9
Kecenderungan Jumlah Korban (KTP) yang meningkat Jumlah Kasus KTP (tahun 2001 - 2009)
Jumlah korban kasus kekersan terhadap perempuan pada tahun ini mencapai 143.586 (orang). Angka ini meningkat sebesar 263% dibandingkan tahun lalu (54.425 korban).
143586
Jika melihat data korban (yang ditangani oleh lembaga mitra) dari 54425 tahun ke tahun mengalami kecenderungan meningkat cukup 20391 22512 25522 14020 tajam. Keadaan ini berkaitan 3169 5163 7787 dengan teknis pengumpulan data dan ditengarai ada sejumlah faktor Thn. 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 yang mendorong korban lebih mudah ‘bicara’ atau membuka kasus kekerasan yang dialaminya. Seperti dijelaskan terdahulu, secara teknis, data dari sejumlah lembaga lebih mudah diakses lewat situs web dan/atau cara lain sehingga berdampak pada lebih banyak kasus (korban) yang dapat dicatat. Beberapa tahun belakangan ini banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dengan mudah dapat disimak lewat media massa (baik elektronik dan media cetak). Dan biasanya yang banyak mendapat sorotan adalah tokoh publik – dikenal oleh masyarakat secara luas (kalangan artis, pejabat, tokoh masyarakat dan tokoh lain yang cukup mudah dikenali). Pemberitaan ini sedikit banyak mendorong para perempuan lain untuk lebih ‘berani’ membuka kasus kekerasan yang dialaminya. Demikian pula, secara umum publik lebih peka terhadap kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, dan lebih mau menerima (tidak lagi tabu) ketika ada perempuan mengadukan/membuka pengalaman tindak kekerasan. Grafik Jumlah Kasus KTP menurut Wilayah di bawah ini menunjukkan jumlah korban kekerasan terhadap perempuan terbanyak ada di wilayah Jawa (123.774) – Jawa Timur (88.836), DKI Jakarta (12.955), dan DIY (10.560). Jumlah korban kedua terbanyak di wilayah Sumatera (8.987), kemudian Kalimantan (4.632) dan Sulawesi (2.301). Berdeasarkan data yang Jumlah Kasus KTP Menurut WIlayah (CATAHU 2009)
Jumlah
NAD
Sumate Kalima Jawa ra ntan
Bali
NTB
NTT
280
8987 123774 4632
858
1172
954
Sulawe Maluku Papua si 2301
347
281
diterima dari tahun ke tahun memang jelas terlihat bahwa lembaga mitra paling banyak (dari segi sebaran maupun yang memberikan respon) berada di tiga wilayah ini (Jawa, Sumatera dan Kalimantan). Keberadaan lembaga pengada layanan ini memudahkan akses korban yang membutuhkan bantuan (dalam bentuk apa pun), seperti diungkapkan dalam data mengenai hambatan penanganan kasus. Dan bila mencermati data lebih lanjut, keberadaan lembaga pengada layanan menjadi signifikan: dari jumlah kasus rata-rata yang diterima oleh lembaga pengada layanan di wilayah Jawa, misalnya, yang mencapai 1000 kasus per lembaga dalam setahun dibandingkan dengan lembaga pengada layanan di wilayah Papua yang menerima kasus antara 40 – 45 kasus per tahun.
Jumlah Korban KTP Menurut Bentuk Kekerasan Sama dengan catatan tahuntahun yang lalu, jumlah korban Jumlah KTP Menurut Bentuk Kekerasan kekerasan dalam rumah tangga (CATAHU 2009) dan relasi personal paling tinggi Komunitas; (95%) dibandingkan dengan Keluarga dan 6683 kedua bentuk KTP yang lain Relasi Personal 136849 (kekerasan di komunitas dan kekerasan berkaitan dengan peran negara). Kekerasan Peran Negara 54 terhadap perempuan di ranah komunitas tercatat hampir 5% pada tahun 2009 dan KTP yang berkaitan dengan peran negara tercatat kurang dari 1% (ada 54 korban). Apabila melihat sebaran KTP menurut wilayah dan bentuknya, maka dapat dibaca seperti pada tabel berikut. Data ini menunjukkan sebaran KTP menurut wilayah dan bentuknya: di Jawa paling banyak terdapat KTP di ranah rumah tangga/relasi personal (120.326) dan di komunitas (3.429). Jumlah KDRT/RP dan Komunitas kedua terbanyak dijumpai di Sumatera, serta ketiga terbanyak di Sulawesi. Sedangkan bentuk KTP berkaitan dengan peran negara lebih dari separuhnya (29 kasus dari 54) terjadi di NTB. Yang menarik, di NTT lebih banyak didata korban KTP di ranah Komunitas ketimbang di dalam rumah tangga/relasi personal. Pola KTP di masing-masing ranah dapat dicermati di bagian berikut. KDRT/RP KOM NEGARA NAD 228 50 2 Sumatera 7678 1305 4 Jawa 120326 3429 19 Kalimantan 4511 121 0 Bali 788 70 0 NTB 723 420 29 NTT 96 858 0 Sulawesi 1979 322 0 Maluku 248 99 0 Papua 272 9 0 136849 6683 54
P O L A K T P TA H U N 2 0 0 9 : K E K E R A S A N S E K S UA L DA N P S I K I S
KDRT/RP: Bentuk KTP yang selalu mendominasi
Jenis KDRT/RP (CATAHU 2009)
seksual; 48,68
psikis; 48,28
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, KDRT/RP merupakan bentuk KTP yang paling dominan di antara bentuk yang lain. Data KDRT/RP menunjukkan jumlah kekerasan terhadap istri (96% dari seluruh jumlah KDRT/RP) paling
banyak ditangani. Sisanya mencakup kekerasan dalam pacaran (KDP), kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami atau mantan pacar, dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Berbeda dengan pola kekerasan di ranah rumah tangga dan relasi personal yang didominasi kekerasan seksual dan ekonomi, tahun ini kekerasan seksual dan psikis seperti dapat dilihat pada diagram di samping. Kekerasan seksual dan psikis (masing-masing lebih dari 48%). Sedangkan kekerasan ekonomi (1,83%), dan kekerasan fisik (1,21%). KDRT/RP menurut Lembaga Jml % Kejaksaan Negeri 27 0.02 Kejaksaan Tinggi 97 0.07 Kepolisian 844 0.62 LSM 3830 2.80 P2TP2A 970 0.71 Pemda 66 0.05 Pengadilan Agama 41123 30.05 Pengadilan Negeri 810 0.59 Pengadilan Tinggi 104 0.08 Pengadilan Tinggi Agama 87837 64.19 RS 529 0.39 Rumah Sakit 612 0.45 Total 136849 100.00
Tabel di samping menunjukkan jumlah (dan prosentase) KTP dalam ranah rumah tangga dan relasi personal menurut lembaga pengada layanan. Seperti dijelaskan terdahulu, data KDRT/RP paling besar diperoleh dari Pengadilan Tinggi Agama (64%) dan Pengadilan Agama (30%). Korban KTP dalam ranah domestik dan relasi personal yang ditangani oleh LSM mencapai hampir 3%, sedangkan lembaga pengada layanan lainnya menangani korban KDRT/RP kurang dari 1%.
Kekerasan di Ranah Komunitas KTP Komunitas menurut Wilayah (CATAHU 2009)
Kalimantan 121 Bali 70 NTB 420
Jawa 3429 NTT 858 Sumatera 1305
Sulawesi 322
Aceh 50
Maluku Papua 99 9
Kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas paling banyak terjadi di wilayah Jawa (50%), Sumatera (20%) dan NTT (13%). Selebihnya, KTP di ranah komunitas ini juga dijumpai di berbagai wilayah lain: NTB, Sulawesi, Kalimantan, Papua, Bali, Aceh dan Maluku. Di masing-masing wilayah tersebut menangani KTP di ranah Komunitas tidak lebih dari 2%, kecuali
NTB (6%) dan Sulawesi (4%). Kekerasan di ranah komunitas ini mencakup sejumlah tindak kekerasan di antaranya: kekerasan seksual, eksploitasi seksual anak, kekerasan di tempat kerja, kekerasan yang terjadi terhadap pekerja migran dan trafiking. Jml % Tempat kejadian (lokus) KTP juga beragam, LSM 4111 61,51 seperti: di tempat kerja, di tempat Ruma h Sa ki t 779 11,66 penampungan (PJTKI), di dalam kendaraan P2TP2A 501 7,50 (bemo, mobil, perahu), di gedung puskesmas, Penga di l a n Negeri 492 7,36 Kepol i s i a n 403 6,03 di kafe, di kandang binantang, di pinggir Penga di l a n Ti nggi 166 2,48 jalan, lokalisasi, kantor camat/desa, di Keja ks a a n Ti nggi 74 1,11 kuburan, di ruang kelas, dan masih banyak Keja ks a a n 73 1,09 tempat lain. Pelaku kekerasan yang Penga di l a n Aga ma 66 0,99 teridentifikasi: majikan/atasan/bos, Pemda 10 0,15 kepala/aparat desa, PJTKI, calo, sopir Keja ks a a n Negeri 8 0,12 (keluarga), teman orang tua. Kasus KTP di Tota l 6683 100,00
ranah komunitas ini paling banyak ditangani oleh LSM (62%). Lembaga lain yang menangani kasus KTP di ranah komunitas dapat dilihat dalam tabel di atas. Grafik berikut menunjukkan karakteristik usia dan tingkat pendidikan korban dan pelaku KTP di ranah komunitas. Dari segi usia korban paling banyak dari kelompok usia 13 – 18 tahun (usia anak), dan kelompok usia 25 – 40 tahun, serta 19 – 24 tahun. Sedangkan pelaku, paling banyak di kelompok usia 25 – 40 tahun, kemudian usia di atas 40 tahun, dan ada pelaku usia anak (antara 13 – 18 tahun). Dari grafik juga dapat dilihat kelompok usia berapa pun ada korban dan pelaku – korban cenderung di kelompok usia lebih muda, sedangkan pelaku cenderung kelompok usia produktif dan tua (di atas 40 tahun). Usia Korban dan Pelaku KTP Komunitas (CATAHU 2009)
< 5 th
Tingkat Pendidikan Pelaku dan Korban KTP Komunitas (CATAHU 2009)
Tdk sek
< SD
SD
SLTP
SLTA
PT
lainnya
Korban
36
6 - 12 th 13 - 18 th 19 - 24 th 25 - 40 th > 40 th lainnya 155
510
286
360
95
21
Korban
48
52
178
388
443
75
72
Pelaku
6
14
139
219
362
191
75
Pelaku
28
39
119
190
412
108
34
Tingkat pendidikan pelaku dan korban dapat dilihat pada grafik di atas (kanan). Korban paling banyak dengan tingkat pendidikan SLTA, kemudian SLTP, dan SD. Untuk tingkat pendidikan ini juga dapat dilihat korban dan pelaku adalah orang dari tingkat pendidikan paling rendah (tidak sekolah) sampai tingkat pendidikan tinggi (perguruan tingi). Pekerjaan Korban i bu ruma h ta ngga pel a ja r/ma ha s i s wa da ga ng ta ni nel a ya n s wa s ta ka rya wa n buruh wi ra s wa s ta PNS pol i s i s a tpa m pens i un ti da k kerja l a i n-l a i n PRT pel a ya n ca fé PSK buruh mi gra n Tota l
Jumlah 131 320 6 14 0 189 4 50 47 10 1 0 0 118 60 35 27 14 10 1036
Korban paling banyak adalah mahasiswa, pegawai swasta, ibu rumah tangga, dan tidak bekerja. Sedangkan pelaku banyak dari pegawai swasta, tidak
Pekerjaan Pelaku i bu ruma h ta ngga pel a ja r/ma ha s i s wa da ga ng ta ni nel a ya n s wa s ta ka rya wa n buruh ba nguna n buruh wi ra s wa s ta PNS profes i ona l guru s upi r ojek ka des TNI pol i s i s a tpa m pens i un ti da k kerja l a i n-l a i n pemuka a ga ma s eni ma n s pons or muci ka ri PJTKI
Jumlah 5 89 30 37 7 230 35 3 58 53 29 3 9 9 24 6 2 12 3 1 84 39 1 1 18 2 12
bekerja, mahasiswa, pekerja, wiraswasta. Data lebih detil dapat dilihat pada kedua tabel di atas (dan samping).
Kekerasan yang berkaitan dengan Negara (atau dilakukan oleh aparat negara) Kekerasan terhadap perempuan yang berkaitan dengan negara maksudnya adalah KTP yang dilakukan oleh aparat negara, atau KTP yang terjadi karena kebijakan diskriminatif, atau pengabaian yang dilakukan oleh negara, dalam beragam bentuknya. KTP berkaitan dengan negara tercatat ditangani oleh lembaga Sumsel pengada layanan di sejumlah NTB 29 wilayah seperti terlihat pada grafik NAD di samping. Lembaga yang paling 2 banyak menangani KTP berkaitan Jatim 12 dengan negara ini adalah NTB (29 Jateng 6 atau 54% dari total jumlah 54 korban).Lembaga yang juga banyak DKI 1 menangani korban KTP berkaitan Babel 2 dengan negara ini adalah lembaga di wilayah Jawa Timur (12 = 22%), dan Jawa Tengah (6 = 11%). Lembaga di wilayah lain (Sumatera, NAD, DKI dan BangkaBelitung) menangani kasus kurang dari 4%. Dan wilayah lain yang tidak disebutkan dalam grafik di atas tidak mencatat penanganan kasus KTP berkaitan dengan negara. KTP berkaitan dengan Negara menurut Wilayah 2 (CATAHU 2009)
Ada 7 lembaga yang menangani kasus KTP negara, yaitu: Advokasi Pekerja Migran Indonesia, LBH APIK Aceh, PBHI Jakarta, Samitra Abhaya Kelompok Perempuan Pro Demokrasi, SP Palembang, SPEKHAM, dan UUPA Polda Bangka Belitung (Babel). Sedangkan tindak kekerasan yang dialami oleh korban mencakup: intimidasi, pengabaian (laporan KTP tidak ditanggapi), pengejaran PSK, perceraian sepihak dengan saksi palsu, pelarangan ikut ujian nasional (UNAS) karena hamil, pelecehan seksual yang dilakukan oleh aparat negara, penyiksaan dan penganiayaan (oleh aparat negara).Tempat terjadinya KTP negara yang diidentifikasi adalah: di dalam mobil, di kantor (Dinas Pendidikan), sekolah, di kantor kepolisian, di pengadilan agama/negeri. Pelaku yang didata termasuk: kasat reskrim/petugas piket UUPA, kepala dinas, kepala sekolah, majelis hakim, satpol PP, polisi. Usia Pelaku & Korban KTP Negara (Catahu 2009)
< 5 th
6 - 12 th
13 - 18 th 19 - 24 th 25 - 40 th
> 40 th
Korban
0
0
7
5
13
1
Pelaku
0
0
17
1
25
9
Karakteristik usia dan tingkat pendidikan pelaku dan korban KTP Negara dapat dilihat seperti pada grafik di atas. Berbeda dengan korban KTP Komunitas, usia korban KTP Negara kebanyakan di kelompok usia 25 – 40 tahun dan 13 – 18 tahun, serta ada korban usia di atas 40 tahun. Tidak ada korban di usia kurang dari 13 tahun. Pelaku pun demikian, kebanyakan pelaku berusia antara 25 – 40 tahun, 13 – 18 tahun dan kelompok usia 19 – 24 tahun.
Berkaitan dengan tingkat pendidikan, kebanyakan korban berpendidikan tingkat SLTA dan Perguruan Tinggi. Ada korban dengan tingkat pendidikan SD atau tidak tamat SD dalam jumlah kecil. Sedangkan pelaku mempunyai tingkat pendidikan antara SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Pekerjaan Korban ibu rumah tangga pelajar/mahasiswa dagang tani nelayan swasta PNS PSK polisi tidak kerja (lain-lain) PRT Total
Jml 0 8 0 0 0 3 2 6 2 1 0 2 24
Dua tabel di samping menunjukkan pekerjaan korban dan pelaku KTP Negara. Korban paling banyak adalah PSK, ada juga pegawai swasta, polisi, dan pekerja rumah tangga (PRT). Sedangkan pelau kebanyakan adalah PNS, PJTKI, dan ‘majikan’, ada pula yang masih berstatus mahasiswa. Pekerjaan Pelaku pelajar/mahasiswa PNS polisi (lain-lain) PJTKI majikan Total
Jml
1 11 1 2 5 4 24
P E N A N G A N A N : K A PA S I TA S L E M BA G A DA N I M P L E M E N TA S I P E R A N G K A T H U K U M
Kapasitas lembaga pengada layanan Kapasitas penanganan lembaga pengada layanan dilihat dari aspek ketersediaan SDM, sarana (fasilitas khusus pencatatan data dan penanganan kasus), serta fasilitas penunjang lain. Berkaitan dengan ketersediaan tenaga (SDM), pada umumnya lembaga pengadilan agama dan negeri mempunyai tenaga konselor, hakim/jaksa yang sensitif gender, tenaga khusus pencatat data dan yang menangani database di masing-masing lembaga. Kondisi ini berkaitan dengan sudah dibukanya akses informasi (data) lewat situs-situs web yang dikembangkan lembaga pengadilan. Demikian pula dengan fasilitas pendukung seperti mesin faks, line telpon, perangkat komputer dan printernya. Sebagian lembaga memberikan informasi tentang ketersediaan alat transportasi untuk penanganan kasus dan alokasi dana (rutin). Kapasitas yang kurang lebih sama kondisinya di rumah sakit. Selain tenaga medis (yang sensitif gender), rumah sakit juga mempunyai tenaga konselor beserta ruang konseling khusus. Rumah sakit juga mempunyai tenaga pencatan kasus sendiri serta petugas yang menangani database. Fasilitas penunjang seperti komputer dan printer dimiliki oleh sebagian besar rumah sakit. Namun demikian diakui hanya sedikit rumah sakit yang menyediakan alat transportasi untuk menangani korban KTP. Demikian pula halnya berkaitan dengan alokasi dana, hanya sedikit rumah sakit yang mengalokasikan dana (rutin) untuk menangani kasus KTP. Ternyata kondisi yang serupa juga dimiliki oleh LSM pengada layanan. Meskipun sebagian besar LSM mencatat mempunyai tenaga konseling tetapi hanya seperuh di antaranya yang memiliki ruang konseling. Namun demikian, ada LSM yang menyediakan tenaga medis beserta ruang pemeriksaan medis. Berkaitan dengan tenaga khusus pencatat kasus dan yang menangani database, sudah banyak LSM yang memilikinya. Fasilitas penunjang pun demikian, banyak di antara LSM tersebut mempunyai perangkat komputer dan printer, serta line telpon dan mesin fax dalam rangka penanganan kasus, serta lebih dari separuhnya mempunyai alokasi dana khusus untuk menangani KTP. Selain aspek-aspek kapasitas lembaga seperti dijelaskan di atas, lembaga mitra pengada layanan juga mengembangkan sistem rujukan dan kerja sama kelembagaan (MOU). Dari total 269
lembaga mitra yang berpartisipasi dalam catatan tahunan ini, sebanyak 92 lembaga menyatakan mempunyai MOU (kerja sama ) dengan lembaga lain. Lembaga-lembaga tersebut di antaranya adalah kepolisian (UPPA), LSM, P2TP2A, Pemda, dan Rumah sakit. Sedangkan sistem rujukan yang dikembangkan oleh lembaga mitra pengada layanan meliputi: advokasi, audiensi, jaringan kemitraan, koordinasi, rujukan dalam menangani kasus KTP, sosialisasi berkaitan dengan KTP dan penanganannya, serta pelimpahan berkas.
Implementasi UUPKDRT dan Perangkat Hukum Lain Berdasarkan data yang diberikan oleh lembaga mitra pengada layanan, sudah mulai banyak digunakan UUPKDRT (UU No. 23 Tahun 2004) dalam rangka litigasi. Di antara lembagalembaga tersebut adalah UUPA, LSM, P2TP2A, Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, Kejaksaan Tinggi dan Pemda. Selain itu, UU Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002) juga banyak digunakan dalam penanganan kasus lewat jalur hukum. Hal ini berkaitan dengan adanya korban usia anak seperti telah dijelaskan terdahulu. Lembaga-lembaga yang menggunakan UU Perlindungan Anak ini di antaranya adalah: UPPA, LSM, Pengadilan Negeri, P2TP2A, Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Agama, dan Pemda. Ada juga lembaga yang menggunakan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yaitu LSM dan Pengadilan Agama
I . B E N T U K DA N P O L A K E K E R A S A N T E R H A DA P P E R E M P UA N
I.1
Pengerdilan Hak Politik dan Kelembagaan Perempuan
I.1.1. Keputusan Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD Tahun 2009 adalah tahun penting bagi Bangsa Indonesia karena untuk kedua kalinya pemilihan umum (pemilu) langsung dilaksanakan. Pemilu dilaksanakan pada 9 April 2009 untuk memilih anggota legislatif dan pada Juli 2009 untuk memilih Presiden dan wakilnya. Dalam pelaksanaannya , terjadi pelanggaran hak konstitusional warga Negara untuk memilih terkait dengan kisruh pendataan pemilih (DPT- Daftar Pemilih Tetap), khususnya dalam pelaksanaan pemilihan legislatif di bulan April 2009. Terkait hal ini, Komnas HAM dalam catatan tahunan 2009 mencatat: a. Hilangnya hak konstitusional pemilih warga negara secara masif (25 - 40 persen warga yang kehilangan hak pilihnya) dan sistemik (kelemahan melekat dalam sistem pendataan penduduk serta kelembagaan pelaksana pemilu-KPU) di seluruh wilayah RI. Sementara itu pada tingkat Kabupaten dan Kota ditemukan pola yang bersifat masif dan sistematis. b. Hilangnya hak sipil warga negara dengan tidak dicatatkannya di dalam sistem administrasi kependudukan. c. Hilangnya hak politik warga negara dalam bentuk hilangnya hak memilih akibat tidak difasilitasinya pemenuhan hak konstitusional dari kelompok-kelompok rentan (khusus) seperti penyandang cacat, masyarakat adat terpencil, narapidana/tahanan dan lainnya, serta penghapusan Tempat Pemungutan Suara (TPS) Khusus di beberapa tempat seperti di rumah sakit dan tempat-tempat penahanan telah mengakibatkan mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Pemilu 2009 juga menjadi tonggak sejarah bagi pengerdilan akses perempuan dalam politik. Melalui perjuangan yang panjang, kelompok perempuan mampu memastikan keterlibatan perempuan dengan adanya perlakuan khusus (affirmative action) bagi perempuan melalui quota 30% (Pasal 52 (2) dan sistem zipper atau selang-seling yang tertuang gagasananya di dalam pasal 214, a,b,c,d, dan e UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPRD, dan DPD. Quota 30% adalah jumlah keterwakilan minimal bagi suatu kelompok agar sebuah kelompok dapat mempengaruhi proses kebijakan atau membuat aliansi-aliansi di antara berbagai kelompok1 dan sistem zipper adalah kelanjutan dari quota ini untuk dapat memastikan bahwa dari setiap 3 kandididat terpilih terdapat 1 perempuan. Kedua pasal tersebut di atas kemudian dimohonkan kepada sidang Mahkamah Konstitusi pada akhir tahun 2008 dengan alasan melanggar hak konstitusional warga negara laki-laki yang menjadi calon anggota legislatif. Dalam persidangan tersebut, dengan perkara No. 22/PUU-VI/2008 dan 24/PUUVI/2008, Makhamah Konstitusi menetapkan bahwa pasal 55 ayat (2) tidak bertentangan dengan konstitusi dan dinyatakan masih mengikat. Pasal 55 ayat (2) adalah pasal yang berkaitan dengan tindakan khusus sementara (affirmative action) yang kondusif untuk mewujudkan kesetaraan gender termasuk hak perempuan di bidang politik. Namun, Mahkamah Konstitusi juga menetapkan bahwa pasal 214 huruf a, b, c, d dan e, tidak mempunyai kekuatan hukum bahwa, dengan sistem proposional terbuka ”menusuk rasa keadilan dan melanggar kedaulatan rakyat dalam artinya yang substantif” karena seharusnya rakyat dapat bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, yaitu calon mereka yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak. Penting dicatat bahwa di dalam keputusan ini, salah seorang hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Pasal 214 huruf a,b,c,d, dan e, adalah tidak bertentangan dengan konstitusi karena menjadi satu kesatuan dengan pasal 52(2) dan 53 dalam mewujudkan tindakan affirmatif bagi keterwakilan perempuan: “… yang merupakan desain “dari hulu ke hilir”, dalam arti mengkombinasikan antara proteksi dalam mekanisme internal partai pencalonan dan penempatan dalam daftar calon), dan mekanisme eksternal partai berupa dukungan konstituen yang diraih calon anggota dewan (DPR dan DPRD) melalui perjuangan di daerah pemilihan yang bersangkutan; penetapan calon terpilih seperti diatur dalam Pasal 214 undang-undang a quo merupakan juga tindakan afirmatif dalam rangka memberikan peluang keterpilihan lebih besar bagi calon perempuan… Oleh karena itu, penetapan penggantian dengan “suara terbanyak” akan menimbulkan inkonsistensi terhadap tindakan afirmatif tersebut”2 KPU paska penetapan keputusan MK melontarkan wacana penetapan calon legislatif terpilih dengan mempertimbangkan tindakan khusus sementara dalam penetapan calon legislatif terpilih. KPU seperti dilansir media di akhir Januari 2009 berencana menetapkan
1
Kajian Cetro sebagaimana dikutip Kompas, 17 Juni 2002
2
Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008, diakses di
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_22-24-PUU-VI-2008.pdf. Penebalan kata sesuai naskah asli. Menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi, Komnas Perempuan pada 14 Januari 2009 berkirim surat kepada Presiden dan Komisi Pemilihan yang berisi rekomendasi untuk pembuatan langkah khusus guna memastikan penerapan yang konsisten dan efektif dari penetapan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut terkait tindakan affirmatif bagi keterwakilan perempuan di dalam politik.
zipper system dalam penetapan calon terpilih.3 Dalam sistem ini, jika satu parpol di satu dapil memperoleh 3 kursi, maka minimal satu kursi itu diberikan kepada caleg perempuan, meski dia kalah suara dari caleg laki-laki. Usulan ini ternyata mentah di pleno KPU bulan Maret 2009. Peraturan KPU no. 15 Tahun 2009 yang disahkan pada tanggal 16 Maret 2009 yang diharapkan mampu mengakomodir tindakan khusus sementara buat calon legislatif perempuan ternyata juga tidak mengakomodir zipper system untuk memastikan keterwakilan perempuan dalam parlemen. Tabel 1 Perbandingan Jumlah Perempuan Anggota DPR-RI Hasil Pemilu 2004 dan 2009
No
Kursi Partai
Kursi Perempuan
2004
2009
2004
2009
Jumlah Perempuan Dalam %
Partai Politik
2004
Persentase Dibanding Seluruh Perempuan Terpilih DPR RI
2009
2004
2009
1
Partai Golkar
128
107
18
17
14%
15,89%
29,03%
16,83 %
2
PDIP
109
95
12
19
11%
20,00%
19,35%
18,81 %
3
PPP
58
37
3
5
5,17%
13,51%
4,83%
4,95 %
4
Partai Demokrat
55
150
6
37
10,52 %
24,67%
9,67%
36,63 %
5
Partai Kebangkitan Bangsa
52
27
7
7
13,46 %
25,93
11,29%
6,93 %
6
Partai Amanat Nasional
53
43
7
6
13,46 %
13,95%
11,29%
5,94 %
7
Partai Keadilan Sejahtera
45
57
3
3
6,66%
5,26%
4,83%
2,97 %
8
Partai Bintang Reformasi
14
2
15,38 %
3,22%
9
Partai Bulan Bintang
11
0
0%
0%
10
Partai Damai Sejahtera
13
3
25%
4,83%
11
Partai Persatuan Demokrasi 4 Kebangsaan
0
0%
0%
12
Partai Karya Perduli Bangsa
2
0
0%
0%
13
Partai Pelopor
3
1
33%
1,61%
14
Partai Keadilan dan Persatuan 1 Indonesia
0
0%
0%
3
http://www.detiknews.com/read/2009/01/23/114449/1073299/700/tanpa-perpu-zipper-system-penetapan-caleg-terpilihrawan-gugatan. 23 Januari 2009
15
PNI Marhaenisme
1
0
0%
0%
16
Partai Penegak Demokrasi 1 Indonesia
0
0%
0%
17
Gerindra
26
4
15,38%
3,96 %
18
Hanura
18
3
16,67%
2,97 %
TOTAL
550
560
62
101
11,27 %
18,04%
100%
Data 2004 diolah dari catatan CETRO; untuk tahun 2009 adalah catatan CETRO dari rapat Pleno KPU , 24 Mei 2009. http://www.cetro.or.id/perempuan/JUMLAHDPRperempuan.pdf
Bila dibandingkan dengan pemilu 2004 jumlah perempuan yang berhasil duduk di parlemen memang menunjukkan kenaikkan. Pada pemilu 2004 jumlah perempuan yang menempati kursi di DPR, DPD dan MPR sebanyak 11% sementara laki-laki sebanyak 89% dari 16 partai politik peserta Pemilu. Pada Pemilu 2009 terjadi peningkatan sebesar 7% dimana perempuan berhasil memperoleh 101 kursi atau sekitar 18,04% kursi di DPR dari 9 Partai,4 sebagaimana ditunjukkan oleh tabel jumlah caleg perempuan terpilih hasil Pemilu 2004 dan 2009 di atas. Peningkatan ini tidaklah bisa dipandang sebagai buah implementasi Pasal 55 ayat 2. Bila dicermati pada Pemilu 2004 yang menerapkan kuota 30% dalam penetapan calon legislatif terpilih, tidak ada satupun partai yang memenuhi kuota 30% tersebut. Sementara di Pemilu 2009, faktor Partai Demokrat sebagai partai yang memenangi pemilu legislatif, yang menyumbang pada kenaikan signifikan jumlah caleg perempuan di DPR; 36,63% dari total 101 orang calon legislatif perempuan terpilih berasal dari partai ini. Di luar Partai Demokrat tidak ada partai lain yang berhasil memenuhi kuota 30%, bahkan jauh di bawah 30 %. Tantangan tidak hanya soal memenuhi kuota 30% perempuan dalam rangka meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen melainkan bagaimana untuk meningkatkan kualitas perempuan yang duduk di parlemen. I.1.2. Isu Pembubaran Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Peleburan Komnas Perempuan Di tahun 2009 Komnas Perempuan mencatat dua peristiwa penting terkait dengan dua lembaga negara yang memiliki wewenang mengenai perempuan dan penegakan dan pemenuhan hak asasi perempuan, lembaga tersebut adalah Kementerian Pemberdayaan perempuan (Meneg PP) dan Komnas Perempuan sendiri. Kedua lembaga ini berhadapan dengan isu penghapusan institusi. Usulan pembubaran Meneg PP disampaikan oleh salah seorang peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terkait dengan upaya perampingan kabinet. Usulan ini menuai kritik karena menunjukkan cara pandang tentang penyelenggaraan negara yang parsial dan tidak sensitif pada permasalahan ketimpangan relasi sosial yang telah berurat akar di dalam masyarakat. Dalam formasi Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, Meneg PP berubah nama menjadi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Perubahan ini juga menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masih mengadopsi ideologi negara tentang perempuan yang menjadi warisan Orde Baru, yaitu merekatkan peran perempuan dalam kapasitasnya sebagai ibu.
4
Sumber: Media Center KPU (15 Juli 2009) Sebelum Keputusan MK)
100%
Ketidaksempurnaan dalam memahami persoalan perempuan, khususnya perempuan sebagai warga negara dan sebagai manusia juga tampak dalam usulan untuk meleburkan Komnas Perempuan. Usulan ini, disamping 38 lembaga nonstruktural lainnya, dikemukakan oleh Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dalam rapat kerja antara Sekretariat Negara RI dengan Komisi II DPR RI.5 Posisi dan kinerja Komnas Perempuan sebagai mekanisme penegakan hak asasi manusia yang independen, khas, efektif dan penting bagi penyelenggaraan negara yang demokratis belum memperoleh perhatian yang proporsional di dalam studi awal yang menjadi dasar usulan tersebut. Pada saat bersamaan, Komnas Perempuan mendukung langkah awal Sekretariat Negara untuk mengkaji lembaga-lembaga negara dalam kerangka reformasi birokrasi. Untuk itu, Komnas Perempuan telah mengajak pihak Sekretariat Negara dan lembaga-lembaga pemerintahan terkait untuk melakukan bersama evaluasi independen terhadap Komnas Perempuan. I.2
Perempuan Pekerja Migran
Tahun 2009 diawali oleh situasi krisis global yang cukup berdampak bagi pekerja migran yang bekerja di luar negeri. Dalam situasi tersebut penempatan pekerja migran di luar negeri masih menjadi salah satu tulang punggung pendapatan Negara dalam bentuk devisa. Devisa yang dihasilkan berkontribusi sebagai penggerak ekonomi keluarga ditengah situasi lapangan kerja yang semakin sempit. Tak mengherankan setiap tahun penempatan pekerja migran terus bertambah. Data yang dikeluarkan oleh Kementerian tenaga kerja dan transmigrasi menyebutkan, hingga awal Februari 2010 jumlah pekerja migran mencapai 2.679.536 orang. Dari jumlah tersebut, rasio dari tahun ke tahun dari tahun 1995-2008, antara 70-80.3 % adalah perempuan yang bekerja di sektor informal, khususnya sebagai pekerja rumah tangga. Peningkatan jumlah pengiriman pekerja migran yang diikuti dengan peningkatan devisa Negara masih tidak sebanding dengan peningkatan perlindungan HAM pekerja migran. Jumlah kasus yang dialami masih cukup tinggi dan berbagai kebijakan pemerintah belum berorientasi perubahan sistemik. Hingga Oktober 2009 Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) mencatat penempatan pekerja migran mencapai 240.284 orang. Dengan persebaran di kawasan Timur Tengah dan Asia Pasifik, 161.963 (67.40%) pekerja sektor informal dan 78.321 (32,60 %) menempati sektor formal). Sedangkan devisa yang dihasilkan dari remitansi yang dikirimkan TKI sampai akhir tahun 2009 mencapai US$ 6.615.321.274 milyar. Gambar 1: Perbandingan jumlah Pekerja Migran di Sektor Informal dan Formal
33% sektor informal sektor formal
67%
5
Kompas, 3 Desember 2009
BNP2TKI sebagai salah satu lembaga negara yang bertanggung jawab mengatur lalu lintas penempatan pekerja migran dan menjamin perlindungan HAM pekerja migran, pada tahun 2009 menangani sekitar 7.709 kasus. Kasus terbesar berasal dari negara-negara Asia Pasifik sekitar 6.075 kasus. Dari jumlah itu, terdapat 5.403 kasus deportasi dari Malaysia, dan 644 kasus PHK sepihak yang terjadi di Aljazair sebagai akibat krisis global. Kasus di Timur Tengah jumlahnya 1.634 kasus. Dari 7.709 kasus, sekitar 1.335 kasus (17,3 persen) dalam proses penyelesaian6. Penurunan jumlah penempatan ternyata tidak mengurangi jumlah kasus yang dialami oleh pekerja migran. Bahkan data yang dirilis oleh LSM Migran Care melaporkan jumlah pekerja migran yang meninggal dunia saat bekerja di luar negeri pada tahun 2009 mencapai 1.018 orang, 67 % di antaranya meninggal dunia di Malaysia. Sedikitnya 2.878 pekerja migran mengalami kekerasan pada tahun yang sama. Jumlah ini meningkat dari data tahun sebelumnya sebanyak 554 orang pekerja migran meninggal dunia, data ini setidaknya berdasarkan data yang dimiliki LSM mitra Komnas Perempuan yang bekerja pada sektor pekerja migran. Tingginya data kematian ini merupakan potret terkelam dari pelanggaran HAM. Ironisnya dokumentasi pendataan kasus-kasus secara kuantitatf ini tidak cukup menjadi alat setrategis untuk mendesakkan kebijakan perlindungan Negara terhadap pekerja migran. Terbukti sudah 5 kali pergantian presiden, 30 tahun pengiriman pekerja migran, tetapi upaya perlindungan belum terlihat sistemik. Problem khas yang dialami pekerja migran perempuan sangat bertalian dengan politik tubuh, dimana identitas seksual menjadi target yang rentan eksploitasi dan diskriminasi. Kasus panjang kekerasan seksual, kehamilan akibat perkosaan, perkawinan semu7, sangat jelas terlihat polanya. Tetapi ada juga persoalan lain seperti pembatasan hak kebebasan untuk bergerak (freedom of movement), kontrol terhadap moral dan tubuh yang kerap tidak diperhitungkan dalam sistem dokumentasi pelanggaran HAM pekerja migran karena dianggap pelanggaran yang samar. Potret Kebijakan Pada tingkat kebijakan, pemastian perlindungan HAM pekerja migran dengan ratifikasi konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Pekerja migran dan anggota keluarganya masih menemui kendala. Pemerintah dalam hal ini Kementrian tenaga kerja dan transmigrasi masih menganggap bahwa Ratifikasi konvensi PBB 1990 belum menjadi hal yang strategis bagi perlindungan pekerja migran, padahal sebelumnya telah ditandatangi dan masuk dalam RAN HAM 2004-2009. Ada beberapa faktor mengapa hal tersebut terjadi, antara lain karena tidak ada kontinuitas program dari satu periode pemerintah ke periode berikutnya. Selain itu komitmen kepala Negara untuk melindungi pekerja migran belum sepenuhnya teraplikasi dalam kebijakan konkrit. Belum lagi koordinasi antar kementrian terkait yang masih belum sinergis. Argumentasi yang dikemukakan oleh Depnaker yang kemudian diiklankan di salah satu media nasional bahwa Ratifikasi konvensi PBB 1990 hanya akan menguntungkan pekerja asing yang ada di Indonesia dan menambah beban pemerintah. Hingga saat ini kementrian Tenaga Kerja hanya akan mengadopsi prinsip-prinsip yang terkandung dalam konvensi, menyiapkan kajian lebih lanjut mengenai manfaat langsung ratifikasi Konvensi dan aspek teknis yang terkait dengannya.
6
Sumber www.bnp2tki.go.id, diunduh 5 Maret 2010.
7
Menggunakan pola perkawinan untuk menghindari kewajiban membayar upah sebagai pekerja migran.
Komnas Perempuan dan Komnas HAM bersama dengan mitra-mitranya antara lain Serikat pekerja dan LSM yang bekerja untuk pekerja migran seperti ATKI, SBMI, Aspek, Solidaritas Perempuan, LBH Jakarta, LBH APIK, IWORK dan mitra-mitra dari daerah yang lain, mendorong agar pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi PBB 1990, dalam bentuk membuat naskah akademik RUU Ratifikasi konvensi 1990, untuk memasukkan dalam legislasi nasional yang dibahas pada periode sidang DPR RI tahun 2009-2010. Pada prosesnya usulan tersebut ternyata gagal masuk dalam daftar legislasi nasional karena secara politis perlindungan HAM pekerja migran melalui konvensi tersebut belum dianggap mendesak. Sedangkan amandemen Undang undang 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri, masuk dalam daftar Program Legislatif Nasional (Prolegnas) 2010 karena berbagai dorongan dari pihak-pihak yang berkepentingan, baik yang berorientasi ekonomis semata maupun yang mendorong perlindungan pekerja migran. Dalam rupa kebijakan yang lain, harus diakui terdapat upaya perbaikan yang dilakukan pemerintah terkait dengan kerjasama (bilateral agreement) dengan Negara-negara penerima pekerja migran. Dengan Malaysia, pemerintah Indonesia telah melakukan pembicaraan melalui gabungan kelompok kerja (Joint Working Group) ke-5 di Kuala Lumpur tahun 2009. Beberapa point penting yang sudah disepakati, antara lain : 1. Paspor dipegang oleh Penata Laksana Rumah tangga (PLRT), sebelumnya paspor dipegang oleh majikan sesuai dengan MoU 2004. 2. Pemberian libur 1 hari dalam seminggu. 3. Penentuan upah mulai dari RM 800. 4. Pemotongan gaji Pekerja Migran oleh pengguna jasa tidak boleh melebihi 50% dari gaji yang diterima oleh Pekerja Migran. Pihak Malaysia juga menyatakan pemotongan gaji ini akan dimasukkan kedalam perubahan UU perpekerjaan/peraturan perundangundangan mereka Pada tanggal 14 September 2009 pemerintah Indonesia melakukan moratorium pengiriman pekerja migran ke Kuwait, mengingat meluasnya kasus-kasus yang dialami pekerja migran yang bekerja disana. Pemerintah Indonesia telah menginisiasi pembicaraan ulang mengenai kesepakatan kedua negara berkait pekerja migran yang hingga saat ini belum ada perkembangan berarti. Begitupun kesepakatan dengan negara-negara penerima yang lain masih belum ada perubahan signifikan. Kebijakan pemerintah dalam rangka perlindungan pekerja migran yang sedang bekerja masih sebatas pada reformasi administrasi, belum menyentuh substansi perlindungan. Misalnya saja program citizen Services yang sudah dijalankan beberapa perwakilan pemerintah di negara penempatan, secara administrasif hal tersebut berkontribusi bagi penyederhanaan birokrasi. Sementara itu kebutuhan mendesak lainnya seperti penampungan (shelter), mekanisme penanganan kasus, pemulangan dan pemulihan hak korban belum optimal. Salah satu persoalan yang selama ini menjadi “momok” bagi pekerja migran adalah kehadiran terminal khusus pendataan dan pemulangan TKI. Pada akhir tahun ini, pemerintahan baru memunculkan wacana untuk memberikan pilihan kepada pekerja migran untuk melewati terminal khusus tersebut atau tidak. Hingga kini, belum ada kejelasan apakah wacana tersebut sudah disahkan menjadi sebuah kebijakan yang mengikat dan berlaku. Dengan rasio banyaknya jumlah pekerja migran perempuan, seharusnya semua kebijakan mengacu kepada pemenuhan hak-hak spesifik perempuan. Kebijakan yang ada cenderung netral gender, baik dari proses pemberangkatan, penempatan dan pemulangan. Misalnya saja shelter menjadi sangat urgent untuk para perempuan yang mengalami kasus.
Karena korban yang tidak berdokumen atau melarikan diri dari rumah majikan, sangat rentan menjadi korban perdagangan kalau tidak ada fasilitas shelter yang mudah terakses oleh mereka. Walaupun pada tahun 2009 pemerintahan baru hasil pemilu terbentuk, persoalan tumpang-tindih kebijakan dan wewenang antara Depnakertrans dan BNP2TKI masih belum dapat diselesaikan, 2 pintu penempatan dan pengiriman pekerja migran masih berjalan tumpang-tindih. Persoalan mendasar yang belum menjadi perhatian adalah perihal sistem pendataan. Sehingga untuk mendapatkan data yang resmi yang komprehensif dan terbarui secara berkala mengenai jumlah penempatan, kasus hingga pemulangan sangat sulit untuk didapatkan. I.3
Jaminan hukum Bagi Perempuan Pembela HAM
Komnas Perempuan mencatat sepanjang tahun 2009 ada 2 orang Perempuan pembela HAM yang mengalami kekerasan ketika ia melakukan advokasi HAM. Seorang perempuan pembela HAM dari Papua berinisial A mengadukan kasus pelecehan seksual yang diterimanya di tahanan Polres Yapen. Pelaku adalah polisi yang bertugas di Polres Yapen. A ditangkap pada 11 Juli 2009 di desa Mantebo bersama 10 orang lainnya, mereka ditangkap dengan tuduhan makar. A ditangkap bersama rekan-rekan yang lain karena A dianggap selalu hadir ketika ada pengibaran bendera bintang kejora terjadi di Desa Mantebo. Kasus pelecehan seksual yang dialami korban sempat diadukan oleh keluarga ke Polres Yapen, namun sampai korban mengadukan kasus-nya ke Komnas Perempuan, belum ada tindak lanjut terhadap pelaku pelecehan seksual tersebut. Perempuan pembela HAM yang kedua adalah perempuan pembela hak-hak pekerja migran berinisial EA dari NTB. EA dijadikan tersangka di Polres Mataram NTB dengan tuduhan penghinaan terhadap H. SM yang menjadi terdakwa dalam dalam kasus pekerja migran yang tengah didampingi lembaga EA bekerja. 1.4
Kasus Konflik Sumberdaya Alam
Komnas Perempuan menerima tiga pengaduan kasus konflik sumber daya alam yang melibatkan perempuan sebagai korban. Adapun ketiga kasus tersebut adalah (a) pengaduan warga Desa Polo dan Desa Linamnutu beserta pendamping, yaitu Walhi Eksekutif Nasional, mengenai kondisi perempuan akibat pembabatan hutan masyarakat adat Pubabu Besipae Desa Polo dan Desa Linamnutu untuk proyek Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) di Kabupaten Timor Tengah Selatan, (b) konflik lahan antara warga Dusun Suluk Bongkal, Desa Beringin dengan PT. Arara Abadi, pemegang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), dan (c) kasus warga Sukolilo, Pati, Jawa Tengah yang menolak rencana pembangunan pabrik Semen Gresik di wilayahnya, karena akan merusak sumber air. 1.4.1 Proyek GERHAN, Desa Polo dan Desa Linamnutu, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT Pihak yang berkonflik adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan dengan masyarakat dua desa yang menolak pembakaran hutan adat Pubabu Besipae untuk proyek Gerhan tersebut. Penolakan masyarakat didasari karena hutan tersebut adalah hutan adat mereka yang ditanami tumbuh-tumbuhan seperti pohon asam. Sehingga masyarakat dua desa merasa bahwa proyek Gerhan atau rehabilitasi lahan tidak diperlukan. Akibat yang ditimbulkan akibat pembakaran hutan adat seluas 6000 ha tersebut adalah:
-
masyarakat dari 2 desa sebelumnya memiliki 1 mata air, kemudian terjadilah kekeringan, sehingga mereka harus mengambilnya di tempat yang jauh beban mengambil air banyak dilakukan oleh perempuan dan anak kesulitan air berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan kekurangan air menyebabkan penyakit kulit dan muntaber mewabah perempuan kehilangan sumber pendapatan ekonomi karena pohon asam yang ada di hutan habis dibakar
1.4.2. Kasus Suluk Bongkal, Riau Januari 2009, Komnas Perempuan menerima pengaduan kasus penyerangan terhadap warga Dusun Suluk Bongkal, Desa Beringin oleh Kepolisian daerah Riau. Pasukan Brimob Polda Riau beserta 500-an pasukan Samapta serta pasukan dari kepolisian dari Polres Bengkalis yang memasuki kawasan Dusun Suluk Bongkal untuk melakukan pengusiran terhadap warga yang berdiam di dusun tersebut karena dianggap telah melakukan penyerobotan terhadap areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) PT. Arara Abadi. Sementara warga berpendapat bahwa dusun mereka adalah sah sebagai perkampungan berdasarkan peta administrasi wilayah Dusun Suluk Bongkal yang ditandatangani oleh Bupati Bengkalis pada 12 Maret 2007 seluas 4.856 ha (tertuang dalam lembaran Pemerintahan Kabupaten Bengkalis no. 0817-22 0817-31.0618-54 0616 63). Peristiwa penyerangan tersebut mengakibatkan: 1. Tewasnya 2 orang anak yaitu: seorang anak berumur 2,6 tahun bernama Putri dan seorang Bayi berumur 1,6 bulan yang tewas terbakar 2. 58 orang warga ditahan di Polres Bengkalis dalam status tersangka 3. Sekitar 50 warga bertahan di dalam kampung dengan kondisi psikologi yang tertekan 4. Serta ± 400 orang warga lainnya yang sempat mengungsi ke tengah hutan dalam kondisi berpencar. 5. Penahanan terhadap warga, dimana sekitar 70 orang perempuan dan anak di tempatkan di Kantor Kecamatan Pinggir 1.4.3. Kasus Semen Gresik, Pati Jawa Tengah Puncak sengketa antar warga dan pihak perusahaan Semen Gresik adalah insiden 22 Januari 2009, di mana warga desa diserang oleh aparat Brimob Pati. Pada penyerangan tersebut ada perempuan yang mengalami pelecehan seksual, ditarik-tarik sarung kainnya, perempuan juga mengalam kekerasan fisik yaitu didorong dan ditendang. Pada peristiwa tersebut, sembilan orang warga ditangkap di Polda Jateng yang sebelumnya ditahan di Polres Pati. Saat peristiwa penyerangan terjadi, 75 orang ibu-ibu menjadi korban penyekapan oleh aparat, 35 orang di rumah seorang warga bernama Kamrin di Puri Gedong, 25 orang di rumah Pak Suwono dan 15 orang di mushola. Mereka disekap polisi selama kurang lebih setengah jam. Ibu-ibu korban yang mengadu ke Komnas Perempuan juga mengkhawatirkan tahanan yang tidak diijinkan menemui keluarganya. I.5
Perkawinan yang tidak dicatatkan
Sepanjang tahun 2009, Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 49 kasus yang berhubungan dengan perkawinan yang tidak dicatatkan. Padahal pencatatan perkawinan penting dilakukan oleh pengantin sebagai jaminan hukum perkawinannya sebagaimana diamanatkan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kasus-kasus tersebut menggambarkan bahwa kasus perkawinan tidak dicatatkan karena berbagai alasan, yaitu:
a. Kebanyakan alasan menikah tanpa dicatatkan adalah ’kemudahan’ bagi suami untuk menikah kembali dengan perempuan lain, baik untuk istri kedua, ketiga dan seterusnya. b. Mengatasi pernikahan antar agama, misalnya suami beragama katolik akan menikah dengan perempuan muslim. c. Akibat dari perkawinan yang tidak dicatatkan, maka proses perceraian tidak dapat dilakukan melalui proses peradilan. Suami menceraikan istri berdalih agama, walaupun dari perkawinan itu lahir anak-anak ataupun menghasilkan aset secara bersama-sama. d. Perceraian terjadi karena suami tidak pulang ke rumah, dan sulit dihubungi. Kondisi ini membuat status hukum istri tidak jelas baik terkait dengan harta gono-gini, maupun hak pengurusan anak. Status hukum yang tidak jelas itu menyulitkan posisi (mantan) istri, yang ingin menikah lagi, karena tidak ada akta nikah atau cerai. I.6
Kebijakan daerah diskriminatif; Langkah Mundur Penegakan Konstitusi ”Dalam menegakkan Bhinneka Tunggal Ika; semua kebijakan/perundangundangan diskriminatif harus dibatalkan; penertiban Perda-perda berbasis agama yang terlalu jauh..”8
Kalimat di atas diucapkan Presiden SBY pada saat acara debat calon presiden di salah satu stasiun televisi swasta pada tanggal 02 Juli 2009, jika terpilih kembali maka hal tersebut menjadi program 100 harinya. Hal ini merupakan harapan baru bagi perwujudan Integritas hukum, dan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan bangsa terkait dengan kebijakan yang diskriminatif, yang dalam kurun waktu 10 tahun terus bermunculan di berbagai daerah di tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan, telah ada 30 produk kebijakan dimiliki Indonesia dalam 10 tahun terakhir9, yang menjadi titik pijak untuk menegaskan langkah pemerintah dalam pemajuan dan pemenuhan Hak-hak Konstitusional Perempuan di Indonesia di masa mendatang. Namun, pada saat bersamaan Komnas Perempuan mencatat pelembagaan diskriminasi melalui kebijakan-kebijakan lembaga negara baik di tingkat pusat maupun daerah tetap menjadi ”tren” nasional. Hingga penghujung tahun 2009 menjelang berakhirnya program 100 hari belum ada indikasi pembatalan atau bahkan peninjauan ulang atas perda-perda bermasalah tersebut, sebaliknya yang terjadi munculnya kembali 13 perda dan 11 ranperda yang sejenis dengan pemantauan Komnas Perempuan sebelumnya.10
8
Kompas, 3 Juli 2009
9
12 Kebijakan di tingkat nasional, 15 Kebijakan di daerah (15) dan 3 kebijakan di regional ASEAN
10 15 PERDA tersebut antara lain : 1. Qanun Aceh tahun tentang Kompilasi Hukum Jinayat, 2. Perda Kota Tasik Malaya tentang Perjudian, 2. Perda Kota Tasik Malaya tentang Syari’at Islam, 3. Perda Kota Tasik Malaya tentang Peradilan Syariat Islam, 4. Perda Kota Tasik Malaya tentang Hubungan tata kerja majelis permusyawaratan ulama (MPU) dengan eksekutif, legislatif dan instansi lainnya, 5. Perda Kota Tasik Malaya tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, 6. Perda tentang Penyakit Masyarakat Nomor 1 Tahun 2009, Perda Pelarangan Pelacuran kab Jombang, (terkait moralitas dan agama); 7. Perda Zakat kab Bekasi, 8. Perda Pendidikan al-Quran Prov Kalimantan Selatan, 9. Perda Pengelolaan Zakat Kab Batam, 10. Perda Pengelolaan Zakat kab Mamuju, 11. SK Walikota Palembang No. 177 Tahun 2009 tentang Kewajiban Membayar Zakat bagi PNS Kota Palembang, 12., 13. Qanun Aceh tentang Hukum Acara Jinayat Aceh. ---RANPERDA: 1. Ranperda Pemberantasan Pelacuran, Kabupaten Kudus, 2. Ranperda Syariat Islam kab Madura, 3. Ranperda zakat Provinsi Nusa Tenggara Barat., 4. Raperda zakat prov Sumatera Utara, 5. Raperda zakat Kota Balikpapan, 6. Raperda zakat Kaltim, 7. Raperda zakat Kab Konawe, Raperda pemberantasan pelacuran kab Kudus, 8. Raperda miras
Dalam grand design Rencana Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RJPMN) yang di rencanakan untuk tahun 2010-2014, Pemerintah mencantumkan “Program harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundangan di tingkat pusat maupun daerah hingga tercapai keselarasan arah dalam implementasi pembangunan, diantaranya penyelesaian kajian 12.000 peraturan daerah selambat-lambatnya 2011”.11 Namun dalam realisasi 100 hari kerja, berdasarkan hasil pemantauan Komnas Perempuan pada kementerian terkait hanya perda retribusi dan pajak yang dianggap bermasalah dan kemudian dibatalkan (sebanyak 714). Terkait 154 perda bermasalah yang direkomendasikan oleh Komnas Perempuan kepada Presiden sebagai prioritas agenda kerja 100 hari masih tetap menjadi lembaran-lembaran sah di setiap daerah. Sebagai negara pihak yang telah meratifikasi 6 konvensi internasional Indonesia terikat untuk menjalankan dan memiliki mekanisme nasional yang menjamin pemenuhan hak-hak bagi perempuan. Oleh karena itu, negara dalam fungsinya sesuai mandat konstitusi baik eksekutif, legislatif dan yudikatif wajib memainkan perananan dalam melindungi (protection) perempuan, memenuhi (fulfill) hak-hak perempuan, menjamin (garante) dari segala bentuk diskriminasi, dan membuat kebijakan yang menghapuskan diskriminasi pada perempuan. Unsur diskriminasi dalam suatu kebijakan dapat mengacu pada rumusan undang-undang, yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Sebagai negara hukum, pelaksanaan konstitusi dalam kehidupan bernegara, merupakan konsensus bangsa sebagai landasan bersama guna mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pengabaian terhadap konstitusi merupakan persoalan besar atas nasionalisme bangsa dan proses demokrasi yang telah dibangun selama ini. Kebijakan diskriminatif merupakan salah satu indikasi dari pengabaian terhadap konstitusi yaitu dengan diabaikan nilai-nilai yang menjadi acuan dalam perumusannya. Terjadinya pelanggaran hak-hak konstitusional warga oleh aparatur hukum, menyisakan trauma bagi korban, juga adanya ketidak kepastian hukum di dalam masyarakat karena tidak harmonisnya antara peraturan dan perundang-undangan yang menjadi dasar kebijakan nasional dan daerah, trauma yang mendalam bagi korban terutama kaum perempuan dan kelompok minoritas. Padahal komitmen penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia memiliki landasan konstitusional yang kuat yang didasari oleh UUD Tahun 194512 dan 13 UU dibawahnya.13 Jika kemudian masih muncul kebijakan diskriminatif, Berdasarkan pantauan
Kota Surakarta, 9. Raperda pewajiban jilbab kab Bangkalan, 10. Ranperda kab Aceh Barat (pelarangan perempuan memakai celana jeans); 11. Ranperda Kota Tasik Malaya tentang khalwat. 11
Buku 1 draft RPJMN 2010-2014
12 Indonesia berkomitmen untuk melindungi setiap warga negaranya dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu Pasal 281 (2). Dan untuk mendapatkan kemudahan dan perlakuan yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan (pasal 281 H (2))
13
UU No. 7 Tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UU No. 5 tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam. Tidak Manusiawi, atau Merendahkan, UU No. 29 Tahun 1999 tentang Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Rasial UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No.39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI diluar negeri, UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, UU No. 11 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, social dan budaya, UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan kovenan Internacional hak-hak sipil dan politik, UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan Korban, UU No.21 Tahun 2007 tentang Kewarganegaraan, UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Komnas Perempuan hal tersebut terjadi karena kelemahan fungsi koordinasi dan konsultasi para penyelenggara untuk menerapkannya dalam setiap kebijakan.
(Draft) Qanun tentang Hukum Jinayat dan Hukum Acara Jinayat di Aceh
Sejak awal tahun 2005 Komnas Perempuan bersama mitra-mitra di Aceh telah melakukan berbagai aktivitas dan pengkajian implementasi penerapan syari’at Islam di Aceh termasuk implikasinya pada tindak kekerasan terhadap perempuan, yaitu terutama terkait dengan terbitnya 4 peraturan daerah (qanun), yaitu qanun terkait penyelenggaraan Syariat Islam yang mengatur pula tentang busana, qanun tentang Khamar/minuman beralkohol, Maisir/judi ,Khalwat/bersunyi-sunyian antar laki-laki dan perempuan yang bukan keluarga ataupun terikat perkawinan). Komnas Perempuan mencatat persoalan-persoalan yang muncul terkait dengan pemberlakuan qanun-qanun tersebut, yang diproduksi oleh otoritas legislasi selain tidak memiliki landasan materil dari peraturan yang lebih tinggi, juga mengalami kontradiksi dengan produk undang-undang lainnya, artinya conflicting norm antar undang-undang tidak dapat dihindari.14 Selain itu qanun-qanun ini telah mengubah anatomi penegak hukum yang selama ini diatur dalam hukum nasional, namun kemudian muncul dalam bentuknya seperti Mahkamah Syar’iyah (MS) berwenang mengadili perkara pidana, Wilayatul Hisbah (WH) lembaga yang bertugas membina, mengawasi dan melakukan advokasi pelaksanaan qanun tentang penegakan syariat Islam, dan Dinas Syariat Islam organ eksekutif yang mewakili pemerintah dalam upaya penegakan syariat Islam. Pengesahan qanun tentang hukum Jinayat dan Hukum acara Jinayat oleh DPRA dilakukan tanpa mempertimbangkan keberatan pemerintah Aceh. Qanun ini ditujukan sebagai bentuk kompilasi dari tiga qanun sebelumnya dan penambahan berbagai bentuk tindakan yang dianggap sebagai tindak pidana. Akibatnya, pengulangan kontroversi dan permasalahan seperti tahun-tahun sebelumnya masih tetap muncul. Apalagi ditambah dengan memperkenalkan bentuk penghukuman rajam, disamping cambuk, yang bertentangan UUD 1945 Bab XA Pasal 18A -28J, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,dan UU RI No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Melawan Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang lain, tidak Manusiawi atau Hukuman yang Merendahkan. Kemunculan qanun tentang Jinayat dalam kerangka kebijakan Indonesia adalah juga bukti kegagalan jajaran pemerintah nasional yang mengemban kewajiban dan kewenangan untuk mengkaji dan mencegah adanya kebijakan-kebijakan daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional dan UUD RI Tahun 1945. Keistimewaan Aceh dan segala bentuk kekhasan daerah yang tercakup dalam peraturan perundang-undangan nasional tidak bisa dijadikan landasan untuk membenarkan dan melembagakan diskrminasi dan perlakuan tidak manusiawi terhadap warga negara Indonesia di mana pun mereka berada.15
14
Kertas Kebijakan Materi Dialog Kebijakan Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, 10 Oktober 2005, Komnas Perempuan.
15 Siaran Pers Komnas Perempuan; Pengesahan Qanun Jinayat, Pemerintah Nasional Gagal menegakkan Konstituai, 15 September 2000
Lima Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya
Tepatnya pada bulan November 2009, DPRD Tasikmalaya mengesahkan lima perda diantaranya Hubungan tata kerja Majelis Permusyawaratan (MPU) dengan eksekutif, legislatif dan instansi lainnya. Perda tentang Maisir (Perjudian), Tentang Peradilan syariat Islam, Perda tentang Minuman Khamar dan sejenisnya, Perda Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam. Dari segi muatan, kecuali untuk sanksi yang diatur, adalah jiplakan dari aturan serupa yang ada di Aceh. Perda-perda baru ini menambah jumlah perda diskriminatif yang telah dimiliki oleh Tasikmayala, yaitu sebanyak 7 buah perda di tingkat Kabupaten Tasikmalaya.16 Sementara peninjauan terhadap ketujuh perda tersebut belum dilakukan, kelima perda baru ini turut melembagakan diskriminasi di dalam tatanan negarabangsa Indonesia.
Perda No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang: Kasus salah tangkap
Lilis Lindawati Mahmudah adalah ibu rumah tangga yang bekerja di sebuah restoran di Cengkareng.Ia menjadi korban salah tangkap pada operasi penertiban pekerja seks komersial yang digelar oleh petugas Tantrib Kota Tangerang pada tanggal 26 Februari 2006 bersamasama dengan 27 orang perempuan lainnya. Para tantrib pada saat itu sedang melaksanakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang, yang menyebutkan larangan bagi: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapanganlapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di daerah kelihatan oleh umum.”
Pada malam yang sama, Lilis dan perempuan-perempuan lainnya langsung ditahan. Padahal, menurut hukum acara pidana, hanya tersangka dengan ancaman hukuman lima tahun ke atas yang dapat ditahan. Keesokan harinya, para perempuan yang terjaring operasi Tramtib itu diadili dengan acara sidang Tindak Pidana Ringan atau Tipiring. Hakim tunggal Barmen Sinurat menghukum Lilis Lindawati dengan denda sebesar Rp 300 ribu. Lilis yang bersuamikan seorang guru sekolah dasar menolak membayar denda tersebut karena “Istilahnya, kalo saya bayar, dianggapnya saya pelacur, dong! Itu, denda segitu, nggak mau saya… Akhirnya terpaksa dibawa ke LP, ditahan,” ujarnya. (www.detik.com) Beberapa hari setelah penahanan tersebut, Ibu Lilis sudah bisa menghirup udara bebas. Tapi trauma penangkapan dan pemenjaraan yang dialaminya belum juga hilang. Karena mengalami kerugian materi dan moril akibat salah tangkap itu, Lilis mengajukan gugatan perdata atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan aparat Kota Tangerang dengan gugatan senilai Rp 500 juta kepada Walikota Tangerang, selain permintaan maaf di depan umum.
16 Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia, Komnas Perempuan, 2009
Usaha hukum Lilis tidak membuahkan hasil, gugatan tersebut akhirnya ditolak oleh Hakim Mahmakah Agung RI. Apalagi karena putusan MA menyatakan bahwa pembentukan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Tangerang tidak bertentangan dengan peraturan UndangUndang (UU) dilihat dari aspek prosedural. Hal ini di sampaikan oleh juru bicara MA Djoko Sarwoko. Perkara ini sendiri ditangani oleh tiga hakim agung Achmad Sukarja (Ketua Majelis), Imam Soebechi, dan Marina Sidabutar, dan diputus pada 1 Maret 2007. Selain itu, dalam putusannya majelis hakim di tingkat MA menilai, Perda tersebut merupakan implementasi politik dari Pemerintah Kota Tangerang, yang tentunya tidak termasuk materi yang dapat diujimateriilkan. Saat ini tepat 3 tahun putusan MA terhadap JR Perda Tangerang itu di keluarkan, namun demikian sampai dengan saat ini, pihak penggugat maupun pengacaranya belum pernah mendapatkan salinan keputusan MA tersebut. Ibu Lilis Lindawati Mahmudah sendiri saat ini sudah meninggal dunia. Kabar ini diterima oleh Komnas Perempuan pada bulan Oktober 2009. Salah seorang anak Ibu Lilis menyatakan bahwa semenjak kejadian salah tangkap tersebut, Lilis dan keluarganya telah berpindah tempat tinggal sebanyak 4 kali karena cap sebagai PSK yang didapat oleh Lilis akibat salah tangkap menjadikan ibunya mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari para tetangganya. Suami Ibu Lilis pun terpaksa harus berhenti dari tempat mengajarnya karena pihak sekolah tidak ingin sekolahnya mendapatkan cap buruk dari masyarakat karena salah satu pengajarnya memiliki istri seorang PSK. Akibat perlakuan tersebut, Llis mengalami tekanan psikologis dan sakit-sakitan, sampai pada akhir ia meninggal dunia pada bulan Agustus tahun 2008.
Kebijakan Operasional Satpol PP
Berdasarkan pengamatan tentang pelaksanaan kebijakan daerah diskriminatif, Komnas Perempuan sejak awal tahun 2009 telah mengedepankan perlunya evaluasi dan reformasi terhadap fungsi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) terkait laporan kekerasan, pemerasan dan diskriminasi dalam pelaksanaan tugas. Satpol PP yang menjadi salah satu ujung tombak pelaksanaan perda memiliki kewenangan untuk menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, serta melakukan tindakan represif non yustisia terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas perda dan keputusan kepala daerah. Namun, kerangka kebijakan operasional Satpol PP diantaranya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2005 tentang Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2005 tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Satuan Polisi, tidak mencakup perspektif penghormatan dan perlindungan HAM. Hal ini memberikan peluang pada terus berulangnya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat satpol PP di lapangan. Komnas Perempuan mencatat berulangnya peristiwa kekerasan tersebut seperti pada kasus-kasus yang terjadi dilapangan, diantaranya; ∗ Kasus Vivi meninggal karena tercebur di kali Vivi Ariyani warga kampung Telagasari kelurahan Mekarsari kecamatan neglasari Tangerang menyebur ke Sungai Cisadane pada saat Satpol PP Kota Tangerang melakukan penertiban pada pekerja seks di Pintu Air Sepuluh Tangerang pada 18 Mei 2009. Karena tidak bisa
berenang dan tidak ada yang menolong akhirnya Vivi hanyut dan tenggelam di Sungai Cisadane hingga meninggal dunia. ∗ Peristiwa balita perempuan meninggal tersiram kuah bakso Siti Khoiyaroh (4 Tahun) anak dari Ibu Sumariyah Warga dan Bapak Mat Naki desa Batoporah kecamatan kedungdung, kabupaten Sampang Madura Jawatimur akhirnya meninggal setelah dirawat 7 hari karena mengalami luka bakar 67 persen (18 Mei 2009). Ia tersiram kuah panas pada saat penertiban Pedangang Kaki Lima (PKL) di Jl. Boulevard Surabaya oleh Satpol PP Pemerintah Kota Surabaya pada tanggal 11 Mei 2009. Sudah ada tindakan hukum pada aparat satpol PP terkait kelalaian tersebut. I.7
Akses Perempuan terhadap keadilan, layanan kesehatan dan pendidikan
1.7.1.. Kasus Prita dan Nenek Minah: Perempuan berhadapan dengan Hukum Salah satu peristiwa penting di tahun 2009 berkaitan dengan perempuan ketika berhadapan dengan hukum adalah kasus Nenek Minah. PN Banyumas memvonis Nenek Minah, seorang perempuan belasan cucu , bersalah karena mencuri tiga buah coklat (kakao) milik PT Rumpun Sari Antan. Perusahaan perkebunan pemilik 200 hektare tanaman kakao di Desa Darmak Radenan, Banyumas, Jawa Tengah menuduh Nenek Minah telah mencuri biji kakao sejumlah tiga kilo gram seharga 30 ribu rupiah. Mereka menuntut nenek Minah di Pengadilan Negeri Purwokerto dengan alasan untuk memberikan efek jera. Padahal, nenek Minah mencuri kakao untuk membuat benih.17 Nenek Minah ditenggarai melanggar Pasal 21 dan Pasal 47 Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan yang menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh merusak kebun maupun menggunakan lahan kebun hingga mengganggu produksi usaha perkebunan. Nenek Minah salah satu warga desa yang tidak bisa membaca alias buta huruf. Ketika peristiwa pencurian terjadi dan ia tertangkap oleh mandor perkebunan dengan polos ia mengatakan kalau ia tidak tahu dan meminta maaf dengan sangat atas apa yang telah ia lakukan. Ia mempersilahkan kepada Nono untuk membawa kakao itu. Namun persoalan ini ternyata tidak serta merta selesai. Di akhir Agustus 2009, Nenek Minah dipanggil pihak Kepolisian Sektor Ajibarang berkaitan dengan pemetikan tiga buah kakao. Pada pertengah Oktober berkas perkaranya dilimpahkan ke Kejari Purwokerto. Di pengadilan, Nenek Minah menjalani proses peradilan tanpa didampingi pengacara. Akhirnya, pada Kamis, 19 September 2009, Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto memberikan hukuman satu bulan dengan masa percobaan tiga bulan tanpa harus menjalani kurungan tahanan.Keputusan pengadilan dianggap tidak memenuhi rasa keadilan, bukan hanya bagi Nenek Minah tetapi juga masyarkat pada umumnya, mengingat pemiskinan yang terus berlangsung dan masih banyaknya kasus-kasus korupsi dalam jumlah besar yang tidak tersentuh oleh hukum.
17(http://berita.liputan6.com/hukrim/200911/251837/Kisah.Nenek.Minah.Belum.Selesai.dan http://berita.liputan6.com/hukrim/200911/251681/Curi.Tiga.Buah.Kakao.Nenek.Divonis.Satu.Bulan).
1.7.2. Kasus Prita Mulyasari ”Jangan sampai kejadian saya ini menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International.” Demikian kutipan surat elektronik yang dibuat Prita yang ditujukan langsung kepada RS. Omni Internasional di
[email protected]. Surat bertajuk ”RS OMNI Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif” mengeluhkan pelayanan rumah sakit ketika ia dirawat di rumah sakit tersebut. Surat ini bermuara di pengadilan ketika pihak rumah sakit Omni Internasional merasa dicemarkan nama baiknya 18 Pihak rumah sakit menggugat Prita secara perdata dan pidana. Hasil putusan perdata pada 11 Mei 2009 lalu di Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan gugatan RS Omni. Prita terbukti melakukan perbuatan hukum yang merugikan RS Omni. Hakim memutuskan, Prita untuk membayar kerugian materil sebesar 161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional, "dan 100 juta untuk kerugian imateril." Dalam tingkat banding denda dikukuhkan menjadi Rp. 204 juta. Untuk perkara pidana Ketua Majelis Hakim Arthur Hangewa di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten menyatakan “Dengan ini, Prita divonis bebas dari tuduhan pencemaran nama baik terhadap RS Omni Internasional”19 Pihak Jaksa Penuntut Umum menanggapi keputusan ini dengan berkata “Saya akan pikir-pikir selama 14 hari terhadap putusan ini. Biar Mahkamah Agung yang menilai Prita bebas secara murni atau tidak.”. Menurutnya, dukungan masyarakat dan kalangan elite politik yang begitu tinggi kepada Prita menimbulkan anggapan putusan hakim tidak bersifat objektif. Sejak menjadi sorotan publik, polisi dan kejaksaan saling tuding soal siapa yang bertanggung jawab memuat Pasal 27 Ayat 3 sebagai dakwaan primer dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam perkara pidana dengan terdakwa Prita Mulyasari (32). Pemuatan pasal dengan ancaman penjara enam tahun itu mengakibatkan Prita ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang, Banten, sejak 13 Mei hingga 3 Juni 2009. Penahanan itu memancing reaksi keras dari pejabat tinggi negara hingga masyarakat luas. Mabes Polri memanggil tim penyidik kasus Prita dari Polda Metro Jaya. Kejaksaan Agung juga mengambil langkah serupa terhadap aparat dari kejaksaan yang menangani kasus Prita. 1.7.3. Kasus Devi Perempuan Korban Kekerasan Komnas Perempuan mengamati pemberitaan di media terkait dengan kasus korban perkosaan yang meninggal disebabkan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai pasca terjadinya kekerasan terhadap dirinya. Kisah bermula pada Senin 26 Februari 2009. Wanita berusia 20-an tahun, itu ditemukan warga Gang Delima 1, Pamulang Timur,
18 19
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2009/06/02/brk,20090602-179467,id.html
http://www.detiknews.com/read/2009/12/29/162435/1267957/10/hakim-nilai-email-prita-bukan-pencemaran-namabaik, Selasa, 29/12/2009 16:24 WIB, ”Hakim Nilai Email Prita Bukan Pencemaran Nama Baik”
Kabupaten Tangerang, dalam kondisi mengenaskan. Ia diduga menjadi korban pemerkosaan. Selama sepekan ia hanya dirawat warga di pos ronda setempat lantaran polisi tak menggubris laporan warga. Setelah media memberitakannya, barulah polisi datang dan membawanya ke RS Bhakti Husada Tangerang pada Sabtu 21 Februari. Ia dirawat di sana sebelum dirujuk ke RSU Tangerang pada Senin 23 Februari sekitar pukul 04.00. Tiga jam kemudian, Devi meninggal. 20 Kenyataan bahwa warga yang bertindak dalam memberikan perawatan terhadap korban dengan merawat korban di pos ronda selama sepekan dikarenakan polisi tidak menggubris laporan warga membuktikan minimnya perhatian pihak terkait terhadap perempuan korban kekerasan. Di Kabupaten Tangerang sendiri yang adalah bagian dari Provinsi Banten, Pusat Pelayanan terpadu dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Banten Nomor 463/KEP-144-HUK/2007. Sejauh ini keberadaan P2TP2A di Provinsi Banten sudah tersebar di Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Serang dan Kabupaten Lebak.21 Namun adanya hukum, perangkat dan lembaga juga belum cukup untuk bisa meningkatkan upaya perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan, diperlukan langkah lebih lanjut seperti sosialisasi kepada masyarakat dan aparat penegak hukum lainnya untuk bisa meningkatkan kerjasama yang sinergis demi perlindungan perempuan korban kekerasan. Bila keberadaan dan fungsi layanan terpadu sudah tersosialiasi kepada masyarakat dan aparat penegak hukum lainnya, mungkin tidak perlu ada Devi-Devi lain yang harus merenggang nyawa karena kasus-nya tidak segera ditangani. 1.8. Akses perempuan terhadap hak atas pendidikan dan hak reproduksi 1.8.1. Larangan untuk siswi hamil mengikuti UAN Pada bulan April 2009, Komnas Perempuan menerima surat dari LSM Samitra Abhaya Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (SA-KPPD) yang meminta dukungan Komnas Perempuan atas kasus dikeluarkannya PCM seorang siswi di SMKN 8 Surabaya. Korban dikeluarkan dari sekolah dan dilarang mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) oleh pihak sekolah karena telah hamil 7 bulan. Korban dianggap telah melanggar norma pendidikan serta tata tertib sekolah yang berlaku di SMKN 8 Surabaya. Pihak sekolah menyarankan korban untuk mengikuti kejar paket C, dimana korban menolak menerima rekomendasi tersebut. Kasus siswi hamil dalam masa sekolah bukanlah hal baru di Indonesia dan tindakan yang diambil oleh pihak sekolah hampir seragam, mengeluarkan siswi bersangkutan dari sekolah mereka dengan alasan melanggar tata tertib sekolah. Pelarangan siswi hamil untuk tetap bersekolah dan mengikuti ujian adalah melanggar hak asasi manusia (HAM) untuk memperoleh pendidikan dan untuk tidak didiskriminasi, termasuk atas alasan moralitas. Selain melanggar konstitusi, scara khusus tindakan pihak sekolah melanggar Konvensi Hak Anak yang teah diratifikasi dan telah diundangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No.23 tahun 2002. Selain itu perlakuan diskriminatif dan pelanggaran hak anak ini sesuangguhnya juga melanggar Convention on The Elimination of All form of Discrimination Against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
20
http://metro.vivanews.com/news/read/33590-inilah_kronologis_kisah_pilu_devi, ”Korban Perkosaan Meregang Nyawa di Pos Ronda, Inilah Kronologi Kisah Pilu Devi ,Selama sepekan Devi meregang nyawa di pos ronda Pamulang Timur.”
21
http://radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=49854, Program TeSA 129 Diluncurkan By redaksi Selasa, 15-Desember-2009, 07:49:22
I.9.
Kekerasan oleh Pejabat Publik dan Tokoh Masyarakat
Sepanjang tahun 2009, Komnas Perempuan menerima pengaduan sejumlah 166 kasus kekerasan yang pelakunya adalah pejabat publik/tokoh.22 166 kasus tersebut dengan rincian PNS 66 kasus, guru 5 kasus, tokoh agama 6 kasus, anggota DPR 6 kasus, dan TNI/Polri 83 kasus. Fenomena ini telah Komnas Perempuan amati sejak tahun 2006, dimana sebanyak 557 kasus dari 16.709 kasus Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sepanjang 2006, dilakukan oleh pejabat publik dan aparat Negara. Pejabat dan aparat negara yang melakukan kekerasan itu, seperti, pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 391 kasus KDRT, guru 53 kasus, anggota DPR/DPRD tujuh kasus, dan TNI/Polri 106 kasus. Sedangkan di tahun2007 kasus kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh pejabat dan aparat Negara adalah sebanyak 552 kasus, dengan rincian pegawai Negeri Sipil 354 kasus guru 35 kasus, tokoh agama 1 kasus, anggota DPR 6 kasus, TNI/Polri 156 kasus. Sementara sepanjang tahun 2008, jumlah pelaporan yang diterima Komnas Perempuan atas kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh figur publik, pejabat publik dan pendidik mencapai sejumlah 784 kasus yang tersebar di seluruh Indonesia. Para pelaku tersebut terdiri dari anggota PNS, anggota DPR, TNI, Polri, Kejaksaan, Bappeda, Kehakiman, Bupati dan pendidik.23
Kasus Kekerasan oleh Pejabat 784
800 600
557
552
400 200
166
0 2006
2007
2008
2009
Tahun
Angka pelaporan kekerasan terhadap perempuan dengan pelaku pejabat publik/tokoh masyarakat terus muncul setiap tahunnya. Komnas Perempuan meyakini bahwa masih banyak korban yang diam/menutup mulut, karena penanganan korban untuk kasus seperti ini belumlah terbangun dengan baik sehingga korban memilih untuk bungkam. Sementara di pihak pelaku, dan atau institusi di mana pelaku bekerja, termasuk juga reaksi masyarakat ditemui pola pengingkaran, pengabaian dan pembungkaman atas tuntutan korban, yang bermuara pada reviktimisasi dan jauhnya penyelesaian kasus dari keadilan. I.10
Kekerasan Media : Reality show tentang Konflik dalam Hubungan Intim
Komnas Perempuan memandang perlu untuk memasukkan analisa terhadap acara reality show, seperti acara “Termehek Mehek” yang disiarkan Trans TV dan “Masihkah Kau Mencintaiku” yang disiarkan RCTI dalam catatan tahunan 2009. Di antara alasannya adalah, 22
166 kasus hanyalah jumlah pengaduan yang langsung ke Komnas Perempuan
23 Catatan Tahunan KTP 2008, “Kerentanan Perempuan terhadap Kekerasan Ekonomi dan Kekerasan Seksual : Di Rumah, Institusi Pendidikan dan Lembaga Negara”. Komnas Perempuan
pertama, Termehek Mehek dan Masihkah Kau Mencintaiku menjadi pionir program reality show di televisi Indonesia. Keduanya juga menjadi program televisi yang mengawali booming acara televisi yang menampilkan persoalan yang terjadi dalam relasi intim dan hubungan keluarga, tidak terkecuali yang melibatkan perempuan. Maraknya tayangan reality show yang menampilkan konflik dalam hubungan intim, di satu sisi, bisa dilihat sebagai salah satu bentuk keberhasilan upaya gerakan perempuan di Indonesia dalam mengadvokasi persoalan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Keberadaan UU No. 23/2004 tentang Penghapusan KDRT membuat masyarakat melek terhadap persoalan ini. Masyarakat mulai memandang bahwa membicarakan persoalan kekerasan dalam hubungan intim seperti KDRT bukanlah tabu dan terlarang. Dalam kasus reality show tersebut, perkembangan dalam masyarakat ini lebih ditangkap sebagai lahan bisnis baru dalam industri pertelevisian. Karena tujuan bisnis ini lebih menonjol, reality show seperti Termehek Mehek lebih sering menampilkan eksploitasi terhadap konflikkonflik yang terjadi dalam relasi intim itu. Termehek Mehek dan Masihkah Kau Mencintaiku lebih banyak memunculkan sisi bombastis seperti recok atau adu mulut, lelehan deras air mata, suara emosional penuh dendam dan kebencian, amarah meluap yang cenderung agresif, dan lain-lain. Dalam analisa Komnas Perempuan, baik Termehek Mehek maupun Masihkah Kau Mencintaiku belum banyak menonjolkan sisi kemanusiaan, edukasi dan advokasi dalam penyelesaian masalah hubungan intim atau hubungan keluarga. Dalam kondisi ini, penyelesaian masalah tidak menyentuh persoalan hak-hak yang terlanggar pada pihak yang dikorbankan dan butuh upaya pemenuhan. Dalam konteks hubungan gender, dalam acara reality show tersebut perempuan sering menjadi pihak yang dipersalahkan. Dalam beberapa tayangan Termehek Mehek dan Masihkah Kau Mencintaiku, banyak penggambaran tentang perempuan sebagai penggoda, perebut pasangan orang lain, dan stereotype sejenis. Dalam posisi yang dipersalahkan, perempuan sering tidak mempunyai ruang yang sama luas dengan laki-laki dalam memberikan pembelaan Bahkan, pihak perempuan berulang kali diingatkan pada idealisasi masyarakat tentang perempuan yang sarat nilai patriarkis, yaitu semestinya lemah lembut, penuh cinta, setia dan patuh pada suami. Dalam upaya penyelesaian konflik ,reality show justru menonjolkan unsur kekerasan berbasis gender yang mengabaikan hak-hak korban, termasuk dalam bentuk menyalahkan korban (blaming the victim). Karena format reality show atau tayangan berdasarkan kenyataan, seoalh-olah menyuguhkan kisah nyata maka muatan tayangan seperti Termehek Mehek dan Masikah Kau Mencintaiku akan menjadi media yang efektif dalam mempengaruhi kesadaran dan pandangan masyarakat, termasuk terkait pandangan tentang ketimpangan gender dan hak-hak perempuan dalam hubungan intim dan hubungan keluarga sebagi hal yang lumrah. Mengingat komitmen negara dan bangsa Indonesia untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, maka Komnas Permepuan mendorong Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk ikut mengawasi muatan tayangan dengan menggunakan lensa keadilan jender. Media juga perlu memenuhi tanggungjawab sosialnya untuk melakukan pendidikan dan perubahan sosial menuju tatanan masyuarakat yang demokratis dan menjunjung hak asasi manusia bagi semua dengan tidak menampilkan tayangan yang mengerdilkan posisi dan peran perempuan, apalagi mempersalahkan perempuan korban kekerasan.
I I . T E RO B O S A N K E B I JA K A N
II.1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Setelah lebih kurang delapan tahun memperjuangkannya, sejak disahkan tanggal 13 Oktober 2009 dan mulai berlaku pada tanggal 30 Oktober 2009, UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 secara resmi menggantikan Undang-undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992. UU Kesehatan No. 36/2009 dinilai lebih progresif karena sejumalh hal, seperti (1) mengadopsi paradigma sehat, yaitu pendekatan promotif dan preventif; (2) Memberi pengakuan terhadap isu-isu kesehatan reproduksi, yakni ada di Bagian ke Enam Pasal 71 sampai Pasal 77; (3) Memperluas legalisasi aborsi untuk korban perkosaan, yakni dibolehkannya aborsi dan dilakukan oleh tenaga ahli dan berbasis konseling (Pasal 75 ayat 2 dan 3); (4) menata pembiayaan kesehatan yakni 5 % APBN, 10 % APBD dimana 2/3 untuk kegiatan preventif dan promotif (Pasal 171) sehingga persoalan kesehatan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; (5) mendukung pemberian ASI eksklusif, dimana pemerintah dan masyarakat harus mendukung hal ini dengan menyediakan fasilitas dan kebutuhan guna mendukungnya (Pasal 128), bahkan jika tidak maka ada ketentuan pidana penjara dan denda bagi pelanggaran pelaksanaan sumber daya kesehatan dan upaya kesehatan (Pasal 200); (6) memperhatikan kesehatan remaja dan lanjut usia; serta (7) menjamin hak mendapatkan informasi dan perlindungan kesehatan (Bab XIV). Diakomodirnya isu kesehatan reproduksi, aborsi yang diperluas, serta hak mendapatkan informasi dan perlindungan kesehatan merupakan bagian penting diterimanya perspektif perempuan dalam UU Kesehatan ini. Walau demikian, UU Kesehatan No. 36/2009 tidak sepenuhnya mengakomodir kebutuhan khusus perempuan. Pertama, UU ini masih diskriminatif dengan menempatkan perempuan pada pihak yang tidak otonom pada tubuhnya secara penuh, misalnya aborsi harus dengan persetujuan suami, bagi yang telah menikah (Pasal 75 ayat 3). Kedua, hilangnya jaminan kepastian hukum untuk semua orang dan risiko memunculkan pengabaian karena mendiskriminasikan hak atas kesehatan seseorang yang seharusnya bersifat individual telah direduksi atas dasar status perkawinannya Hal ini tersirat dalam Pasal 72a dimana dinyakatakan bahwa setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah; Ketiga, persoalan kesehatan reproduksi yang dilaksanakan melalui pendekatan upaya kesehatan ibu, kesehatan anak, keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan infeksi saluran seksual termasuk HIV/AIDS serta kesehatan reproduksi lanjut usia, ternyata tidak mengakomodir kesehatan reproduksi bagi perempuan dewasa lajang sebagai satu kategori yang berhak mendapatkan layanan kesehatan reproduksi. Hal ini karena dalam prakteknya, papsmear mensyaratkan harus sudah menikah. Keempat, potensi kriminalisasi dan hilangnya hak atas kepastian hukum dan keadilan bagi perempuan korban perkosaan yang trauma bila kehamilan dilanjutkan hadir dalam pasal tentang ketentuan pidana. Misalnya ketentuan pidana Pasal 194 ’Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pada bagian ini, UU Kesehatan No. 23/1992 ketentuan pidana hanya berlaku pada para medis yang melakukan aborsi. Sedangkan dalam UU No. 36/2009 ketentuan pidana ini berlaku pada semua pihak, termasuk perempuan karena UU ini hanya mengecualikan aborsi untuk (1) kondisi kedaruratan medis dan (2) korban perkosaan yang mengalami trauma, dengan masing-masing mensyaratkan pada usia kehamilan harus masih dibawah 6 (minggu).
II.2 Lahirnya Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang penerapan standarstandar Hak Asasi Manusia dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian. Upaya memastikan terciptanya situasi kondusif bagi perempuan korban atas hak kebenaran, keadilan, dan pemulihan, membutuhkan kerjasama lintas institusi penegak hukum. Kerjasama ini telah berhasil mendorong lahirnya Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia’, yang telah disahkan pada tanggal 22 Juni 2009. Dua hal yang mengemuka di dalam Perkap No. 8/2009 yang terkait dengan kerentanan khusus perempuan terhadap kekerasan adalah: 1. Ketentuan dari Bab II tentang Instrumen Perlindungan HAM, pasal 5 (1) point v mengenai ‘hak untuk tidak disiksa’ dan pasal 6 point e mengenai ‘hak khusus perempuan’; 2. Ketentuan dari Bab III tentang Standar Perilaku Petugas/Anggota Polri dalam Penegakan Hukum, pasal 11 (1) point c mengenai ‘pelecehan atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat dalam kejahatan’; pasal 13 (1) point a mengenai ‘Polri/anggota Polri dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan dilarang untuk melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan; pasal 20 point a mengenai ‘sedapat mungkin diperiksa oleh petugas perempuan atau petugas yang berperspektif jender’; pasal 20 point d mengenai ‘hal mendapat perlakuan khusus; dan, ketentuan dari pasal 29 mengenai ‘kewajiban dari petugas kepolisian dalam melakukan pemeriksaan terhadap perempuan, seperti: (a) diperiksa di ruang khusus; (b) perlindungan hak privasi untuk tidak dipublikasikan; (c) hak didampingi oleh pekerja sosial atau ahli selain penasihat hukum; (d) penerapan prosedur khusus untuk perlindungan bagi perempuan. II.3
MoU LBH APIK Jakarta dengan Kejagung
Salah satu terobosan dalam Program Penguatan Penegak Hukum tersebut adalah adanya MoU antara LBH APIK Jakarta dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia, yakni No. 001/MoU/LBH Apik Jkt/2009, tentang “Program Pelatihan Penanganan Perkara Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak”. MoU tersebut ditandatangani oleh Jaksa Agung Hendarman Supanji dan Estu Rahmi Fanani Direktur LBH APIK Jakarta pada Jum’at, 30 Januari 2009. Adapun tujuan utama dari penandatangan MoU ini adalah agar adanya keberlangsungan program penguatan hukum yang berperspektif gender di kalangan para penegak hukum. Selain itu juga agar penanganan terhadap kasus-kasus Kekerasan terhadap Perempuan (termasuk anak) dapat menjadi prioritas daripada kasus-kasus kekerasan lainnya. Meskipun jangka waktu kerjasamanya hanya terbatas 1 (satu) tahun, tetapi para pihak sepakat akan memperpanjang MoU sesuai dengan kebutuhan. II.4 MoU 6 lembaga termasuk Komnas Perempuan dengan LPSK soal perlindungan saksi korban Pada tanggal 3 Desember 2009 Komnas Perempuan menandatangani nota kesepahaman antara 5 lembaga negara (Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) tentang Perlindungan Keamanan Bagi Saksi dan Korban. Nota kesepahaman tersebut ditujukan bagi penyelenggaraan kerjasama perlindungan keamanan bagi saksi dan korban, diantaranya menciptakan mekanisme layanan perlindungan, tersedianya fasilitas, saran adan prasarana
untuk meningkatkan daya tanggap dan kemampuan perlindungan bagi saksi dan korban serta terwujudnya kinerja perlindungan keamanan bagi saksi dan korban. Adanya nota kesepahaman 5 lembaga ini adalah salah satu terobosan upaya perlindungan bagi saksi dan korban terutama perempuan korban kekerasan, ditandatanganinya nota kesepahaman ini adalah bukti komitmen awal 5 lembaga terkait untuk mewujudkan perlindungan bagi saksi dan korban. Jangka waktu nota kesepahaman yang disepakati selama tiga tahun adalah tepat sebagai langkah merumuskan kerjasama yang sinergis dan merumuskan bangunan mekanisme layanan, fasilitas sarana dan prasarana serta kerjasama antar lembaga ke depannya. Tantangan ke depan paska penandatanganan nota kesepahaman adalah bagaimana mengawal pengimplementasian nota kesepahaman ini ke depan bagi perwujudan langkah konkrit perlindungan bagi saksi dan korban II.5
Inisiatif daerah
II.5.1 Keputusan Bupati Cianjur No. 182/Kep.124-Ks/2009 soal Pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijakan ini lahir sebagai terobosan pemerintah daerah kabupaten Cianjur sebagai upaya mencegah dan menangani permasalahan tindak pidana perdagangan orang, dengan dibentuknya Gugus Tugas pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang. Komas Perempuan mencatat bahwa dasar pertimbangan hukum memenuhi aspek materil, artinya kebijakan patuh terhadap hierarki perudangan, antara lain dengan memasukan undang-undang yang memenuhi unsur nondiskriminasi. Dalam tahapan operasionalnya kebijakan ini memasukkan pemenuhan dan pelayanan, hak korban, serta perlindungan terhadap saksi/korban dan penghukuman terhadap pelaku. Terobosan ini menjadi penting untuk dilaksanakan pada tahap implementasinya, sehingga kebijakan yang mendukung hakhak konstitusional warga negara mempunyai daya manfaat terhadap masyarakat. II.6
MoU RI – MALAYSIA: 1. Joint Working Group ke-5 telah dilaksanakan di Kuala Lumpur pada tahun 2009, beberapa point penting yang telah disepakati yaitu : a. Paspor dipegang oleh PLRT (sebelumnya paspor dipegang oleh majikan sesuai dengan MoU 2004). b. Pemberian libur 1 hari dalam seminggu c. Penentuan starting point gaji mulai dari RM 800 (catatan : hingga saat ini angka belum disepakati)
3. Dalam Joint Working Group juga disepakati bahwa pemotongan gaji Pekerja Migran oleh employer/ majikan tidak boleh melebihi 50% dari gaji yang diterima oleh Pekerja Migran. Pihak Malaysia juga menyatakan tentang pemotongan ini akan dimasukkan kedalam perubahan UU perpekerjaan/peraturan perundang-undangan mereka. I I I . P E N A N G A N A N : P E N G UA TA N L AYA NA N B A G I P E R E M P UA N K O R B A N K E K E R A S A N
Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak-hak perempuan korban adalah bagian tak terpisahkan dari tanggung jawab negara atas penegakan hak asasi manusia. Keberadaan lembaga layanan yang terus bermunculan dari waktu ke waktu baik yang digagas oleh masyarakat maupun oleh pemerintah tidak berbanding lurus dengan ketersediaan dan penyiapan perangkat pendukung, baik dari sisi infrastruktur maupun
sumberdaya manusianya termasuk anggaran. Situasi ini yang tertangkap dalam pengamatan Komnas Perempuqan dari tahun ke tahun dan di sebagian besar wilayah di Indonesia. Saat ini tercatat ada 20 unit Women Crisis Centre (WCC), 20 Pusat Krisi Terpadu (PKT) di Rumah Sakit Umum Daerah, 43 Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) di RS Bhayangkara yang tersebar di beberapa wilayah, 305 Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), 131 unit Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan 29 Unit RPTC di 23 propinsi. Selain berhadapan dengan persoalan jumlah pusat layanan yang belum sebanding dengan jumlah kasus yang ditangani, pusat layanan juga berhadapan dengan persoalan kapasitas. Fungsi-fungsinya belum berjalan dengan baik sehingga cita-cita untuk memberikan pelayanan terbaik bagi semua korban belum sepenuhnya terwujud. Bahkan, sebagian dari layanan-layanan tersebut justru mengalami kevakuman. Beberapa alasan yang mengemuka antara lain adalah kurangnya dukungan dari pemerintah daerah seperti anggaran pelaksanaan dan sumberdaya yang terbatas dalam pengelolaannya, seperti di P2TP2A Kab. Asahan (Sumut) dan Kota Sabang (NAD) yang dibentuk tahun 2007 oleh Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan24. Akhir tahun 2009, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah merampungkan Standard Pelayanan Minimum (SPM) bagi perempuan dan anak korban kekerasan dan disahkan melalui Peraturan Menteri PP dan PA Nomor 01 Tahun 2010, dan sudah dapat digunakan tahun 2010 oleh seluruh lembaga layanan yang ada. Di tingkat implementasi, standar ini akan berhadapan dengan kendala ketersediaan tenaga pendukung, seperti psikolog dan advokat di sebagian besar layanan. Belum lagi, sosialisasi terhadap keberadaan layanan-layanan tersebut secara luas masih kurang sehingga korban dapat mengakses layanan yang tersedia.25 Sejumlah kebijakan baru di tingkat lokal membuka peluang baru untuk memaksimalkan sumber daya yang tersedia. Di tahun 2009 lahir beberapa kebijakan di tingkat daerah tentang penanganan perempuan korban kekerasan, seperti Keputusan Walikota Manado tentang Pembentukan P2TP2A, Keputusan Bupati Cianjur tentang Pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Hanya saja, kebijakan-kebijakan tersebut lebih pada akses bagi korban KDRT dan trafiking. Padahal, layanan juga dibutuhkan oleh perempuan korban kekerasan yang terjadi tidak dalam konteks Kekerasan dalam Rumah Tangga maupun trafiking. Saat ini, baik di tingkat daerah maupun nasional, belum ada pula kebijakan yang memberikan pemuylihan mendesak kepada perempuan korban kekerasan di dalam konteks konflik ataupun pertikaian politik lainnya. Catatan penting dalam hal penanganan kasus tahun 2009 adalah temuan tentang best practice dari pelaksanaan layanan adalah keberadaan P2TP2A di Kabupaten Sikka NTT. Di bawah panduan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Pemerintah Daerah setempat, P2TP2A memainkan fungsi-fungsi koordinasi yang cukup baik dalam penyelenggaraan layanan dengan memaksimalkan lembaga-lembaga layanan lokal yang sudah ada dengan mendukung perangkat-perangkat pendukung pelaksanaannya seperti infrastruktur dan anggaran lewat SK Bupati yang diterbitkan setiap tahun mengikuti tahun anggaran daerah. Komnas Perempuan berharap peran positif ini akan diadopsi sebagai petunjuk pelaksanaan P2TP2A dalam rangka mendorong upaya pemenuhan hak perempuan korban.
24
Data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2010
25
Akses Perempuan Korban Kekerasan terhadap Layanan Terpadu, Komnas Perempuan 2009.
KESIMPULAN
1. Peningkatan data kuantitatif kekerasan terhadap perempuan (KtP) dari tahun sebelumnya disebabkan oleh aksesibilitas pelayanan publik dari KtP lebih mudah, seperti akses website dari berbagai mitra (Negara dan non Negara), kerjasama pelayanan terpadu bagi korban KtP, kesadaran dan keberanian korban untuk melaporkan KtP yang dialami dan menyelesaikan kasus KtP melalui proses hukum atau non hukum. Akan tetapi Indonesia masih belum mempunyai data kuantitatif atas KtP secara nasional. 2. Terkait dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Negara dan hukum (seperti Polisi, TNI, Kepala Desa); tokoh publik dan agama/spiritual; serta tokoh di kalangan akademisi. Kekerasan psikis, psikis, seksual dan administrasi yang dilakukan oleh pelaku KtP tersebut didasarkan pada relasi kuasa. Pola pengingkaran, pengabaian, pembungkaman terhadap korban terjadi untuk kasus-kasus seperti ini, dimana harus menjadi catatan khusus ketika Negara belum membangun sistem hukum yang mengakomodir kepentingan korban termasuk kekerasan terhadap perempuan di kalangan akademisi. Pelecehan seksual, larangan siswi hamil untuk melanjutkan sekolah dan ikut ujian nasional, membuat mereka menjadi korban untuk memperoleh hak reproduksi dan hak pendidikannya. 3. Negara mulai melakukan pembenahan penegakan hukum bagi korban kekerasan terhadap perempuan baik di tingkat peraturan perundang-undangan (seperti UU PKDRT, PP No.4/2006) dan kebijakan (MoU Apik-Kejagung, SPM KPP & PA, MoU 6 lembaga, Perkapolri soal HAM). Namun tidak berarti bahwa keadilan terhadap perempuan terutama korban KtP itu sudah terpenuhi, karena masih terkendala dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti KUHP, KUHAP, dan UU Pengadilan HAM; akses terhadap keadilan yang diselesaikan oleh non Negara dan budaya hukum Aparat Penegak Hukum dan masyarakat yang masih bias gender. 4. Negara belum menghapuskan dan mencegah lahirnya Perda-perda diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi, terutama yang terkait dengan isu moralitas, termasuk draft qanun jinayat di Aceh. Ada kecenderugan beberapa Pemerintah Daerah di dalam proses penyusunan perda-perda diskriminatif masih terkesan melakukan duplikasi dengan perda-perda serupa di daerah lain. 5. Negara belum membuat langkah-langkah yang sistemik dalam perlindungan pekerja migran, terlihat masih belum ada sinkronisasi di antara pembuat kebijakan dalam penanganan korban pekerja migran, penyelesaian masih kasuitis dan masih belum mengakomodasi data kuantitatif dari tingginya kasus-kasus pelanggaran hak asasi pekerja migran terutama perempuan. 6. Negara belum optimal mengupayakan pemulihan hak korban pekerja migran yang bermasalah khususnya pekerja migran yang mengalami kekerasan seksual seperti perkosaan, penghamilan, dan kekerasan psikis, cacat permanen, karena upaya pemulihan yang ada saat ini cenderung menangani persoalan perpekerjaan. 7. Negara masih belum berkomitmen atas pelaksanaan amanat tindakan khusus sementara (affirmative action) bagi partisipasi perempuan dalam politik dan kelembagaan yang menangani perlindungan perempuan dan hak asasi perempuan terlihat masih rentannya isu penghapusan dan peleburan kelembagaan, seperti Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Komnas Perempuan; belum optimalnya kebijakan dan anggaran yang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan pemajuan hak asasi perempuan.
8. Negara belum memberikan jaminan hukum bagi pembela HAM khususnya perempuan, sehingga masih terjadi kerentanannya atas kekerasan fisik, psikis, dan status hukumnya.
R E KO M E N DA S I
Secara umum, Negara harus mewujudkan komitmennya untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan (KtP) berbasis komunitas dan negara secara sistematis dengan perspektif HAP dan perlindungan korban terutama perempuan. Secara khusus direkomendasikan agar: 1. Negara melakukan pendokumentasian KtP secara nasional yang dapat diakses oleh semua pihak dan harus menjadi dasar kebijakan nasional. 2. Negara mensikronisasikan berbagai peraturan untuk penghapusan KtP dengan perspektif HAP dan perlindungan korban, seperti revisi KUHP, KUHAP, UU Pengadilan HAM dan membuat RUU Bantuan Hukum; dan membangun budaya hukum Aparat Penegak Hukum dan masyarakat yang masih bias gender. 3. Negara mewujudkan amanat tindakan khusus sementara (affirmative action) bagi partisipasi perempuan dalam politik dan kelembagaan yang menangani perlindungan perempuan dan hak asasi perempuan baik sebagai isu strategis nasional dan kemapanan kelembagaannya. 4. Negara menghapuskan dan mencegah lahirnya Perda-perda diskriminatif, terutama yang terkait dengan isu moralitas dan seksualitas. 5. Lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif, serta mekanisme penegakan demokrasi lainnya, membangun mekanisme yang menjamin akses bagi warga negara yang rentan diskriminasi untuk menyuarakan dan memperjuangkan hak mereka sesuai dengan jaminan-jaminan konstitusional dan aturan-aturan hukum nasional. 6. Negara membuat langkah-langkah yang sistemik dalam perlindungan pekerja migran dengan melakukan sinkronisasi di antara pembuat kebijakan dalam penanganan dan pemulihan korban pekerja migran, penyelesaian yang sistematis dan mengakomodasi data kuantitatif dari tingginya kasus-kasus pelanggaran hak asasi pekerja migran terutama perempuan. 7. Negara memberikan jaminan hukum bagi pembela HAM dengan memperhatikan kerentanan khusus pembela HAM Perempuan atas kekerasan fisik, psikis dan status hukumnya, antara lain dengan merevisi Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan/atau membuat Undang-Undang Pembela Hak Asasi Manusia. 8. Mendorong agar pekerja media/televisi dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk membangun kesadaran gender (gender awareness) dan sensitivitas terhadap persoalan kekerasan terhadap perempuan
TERIMA KASIH Komnas Perempuan mengucapkan terima kasih kepada lembaga yang tercantum di bawah ini, atas kerja sama yang diberikan dalam penyusunan Catatan Tahunan tentang Kekerasaan Terhadap Perempuan tahun 2009
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46.
Advokasi Pekerja Migran Indonesia (ABMI), Nusa Tenggara Barat Aliansi Peduli Perempuan Sukowati, Jawa Tengah Aliansi Perempuan Merangin, Jambi Arus Pelangi, DKI Jakarta Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Semarang, Jawa Tengah Cahaya Perempuan WCC, Sumatera Barat Damar Perempuan, Lampung Divisi Perempuan Truk F, Nusa Tenggara Timur Forum Komunikasi Pekerja Migran Sepakat (FOKBURAS), Nusa Tenggara Barat Forum Peduli Anak Atambua (FPPA), Nusa Tenggara Timur Forum Pemerhati Masalah Perempuan Sulawesi Selatan (FPMPSS), Sulawesi Selatan HAPSARI, Sumatera Utara Jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat Penanggulangan Pekerja Anak Indonesia (JARAK) Kejaksaan Negeri Cilegon, Banten Kejaksaan Negeri Rangkas Bitung, Banten Kejaksaan Negeri Serang, Banten Kejaksaan Tinggi Jakarta, DKI Jakarta Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Barat Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara, Sulawesi Utara Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan, Sumatera Selatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), DKI Jakarta LAPPAN, Maluku LBH APIK Aceh, Banda Aceh LBH APIK Jakarta, DKI Jakarta LBH APIK Medan, Sumatera Barat LBH APIK NTB, Nusa Tenggara Barat LBH Jakarta, DKI Jakarta LBH P21 Makasar, Sulawesi Selatan Lembaga Kajian Untuk Transformasi Sosial (LKTS), Jawa Tengah Lembaga Perlindungan Hak Perempuan dan Anak (LPHP-A), Jawa Timur LKBH PEKA, DKI Jakarta LRC KJ HAM, Jawa Tengah LSM Sirih Besar, Kepulauan Riau Mahkamah Syariah Sigli, Banda Aceh P2TP2A DKI Jakarta, DKI Jakarta P2TP2A Kabupaten Karangasem, Bali P2TP2A Luhak Nan Tuo Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat P2TP2A Nias, Sumatera Utara P2TP2A Propinsi Jambi, Jambi P3A Sidoarjo, Jawa Timur PBHI Jakarta, DKI Jakarta Pemerhati BMI Kecamatan Plampang “Niat Suci” Jaringan LBH APIK NTB, Nusa Tenggara Barat Pengadilan Agama Ambarawa, Jawa Tengah Pengadilan Agama Atambua, Nusa Tenggara Timur Pengadilan Agama Bajawa, Nusa Tenggara Timur Pengadilan Agama Balige, Sumatera Barat
47. Pengadilan Agama Balikpapan, Kalimantan Timur 48. Pengadilan Agama Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 49. Pengadilan Agama Batang, Jawa Tengah 50. Pengadilan Agama Baturaja, Sumatera Selatan 51. Pengadilan Agama Bengkayang, Kalimantan Barat 52. Pengadilan Agama Binjai, Sumatera Utara 53. Pengadilan Agama Blitar, Jawa Timur 54. Pengadilan Agama Bogor, Jawa Barat 55. Pengadilan Agama Bungku, Sulawesi Tengah 56. Pengadilan Agama Buntok, Kalimantan Tengah 57. Pengadilan Agama Ciamis, Jawa Barat 58. Pengadilan Agama Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 59. Pengadilan Agama Demak, Jawa Tengah 60. Pengadilan Agama Ende, Nusa Tenggara Timur 61. Pengadilan Agama Gresik, Jawa Timur 62. Pengadilan Agama Jakarta Pusat, DKI Jakarta 63. Pengadilan Agama Jakarta Timur, DKI Jakarta 64. Pengadilan Agama Jakarta Utara, DKI Jakarta 65. Pengadilan Agama Janeponto, Sulawesi Selatan 66. Pengadilan Agama Kandangan, Kalimantan Selatan 67. Pengadilan Agama Kangean, Jawa Timur 68. Pengadilan Agama Kebumen, Jawa Tengah 69. Pengadilan Agama Kelas IA Karawang, Jawa Barat 70. Pengadilan Agama Kelas IA Palembang, Sumatera Selatan 71. Pengadilan Agama Kelas IA Pontianak, Kalimantan Barat 72. Pengadilan Agama Kelas IB Curup, Bengkulu 73. Pengadilan Agama Kelas IB Kajen, Jawa Tengah 74. Pengadilan Agama Kelas IB Stabat, Sumatera Utara 75. Pengadilan Agama Ketapang, Kalimantan Barat 76. Pengadilan Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan 77. Pengadilan Agama Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah 78. Pengadilan Agama Kudus, Jawa Tengah 79. Pengadilan Agama Lahat, Sumatera Selatan 80. Pengadilan Agama Lamongan, Jawa Timur 81. Pengadilan Agama Lubuk Basung, Sumatera Barat 82. Pengadilan Agama Lubuk Linggau, Sumatera Selatan 83. Pengadilan Agama Lumajang, Jawa Timur 84. Pengadilan Agama Majalengka, Jawa Barat 85. Pengadilan Agama Malang, Jawa Timur 86. Pengadilan Agama Marabahan, Kalimantan Selatan 87. Pengadilan Agama Masohi, Maluku 88. Pengadilan Agama Mataram, Nusa Tenggara Barat 89. Pengadilan Agama Medan, Sumatera Utara 90. Pengadilan Agama Menado, Sulawesi Utara 91. Pengadilan Agama Merauke, Papua 92. Pengadilan Agama Mimika, Papua 93. Pengadilan Agama Muara Bulian, Jambi 94. Pengadilan Agama Muara Enim, Sumatera Selatan 95. Pengadilan Agama Muara Teweh, Kalimantan Tengah 96. Pengadilan Agama Natuna, Kepulauan Riau 97. Pengadilan Agama Negara, Bali 98. Pengadilan Agama Pacitan, Jawa Timur 99. Pengadilan Agama Padang Sidempuan, Sumatera Utara 100. Pengadilan Agama Painan, Sumatera Barat 101. Pengadilan Agama Palangkaraya, Kalimantan Barat 102. Pengadilan Agama Palembang, Sumatera Selatan
103. Pengadilan Agama Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah 104. Pengadilan Agama Purwodadi, Jawa Tengah 105. Pengadilan Agama Purwokerto, Jawa Tengah 106. Pengadilan Agama Rantau, Kalimantan Selatan 107. Pengadilan Agama Rengat, Kepulauan Riau 108. Pengadilan Agama Samarinda, Kalimantan Timur 109. Pengadilan Agama Sampit, Kalimantan Tengah 110. Pengadilan Agama Sangau, Kalimantan Barat 111. Pengadilan Agama Sekayu, Sumatera Selatan 112. Pengadilan Agama Sentani, Papua 113. Pengadilan Agama Serang, Banten 114. Pengadilan Agama Serui, Irian Jaya 115. Pengadilan Agama Sidikalang, Sumatera Utara 116. Pengadilan Agama Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 117. Pengadilan Agama Soa Sia, Maluku Utara 118. Pengadilan Agama Solok, Sumatera Barat 119. Pengadilan Agama Sukabumi, Jawa Barat 120. Pengadilan Agama Sungai Penuh, Jambi 121. Pengadilan Agama Surabaya, Jawa Timur 122. Pengadilan Agama Tahuna, Sulawesi Utara 123. Pengadilan Agama Tanggamus, Lampung 124. Pengadilan Agama Tanjung Redeb, Kalimantan Timur 125. Pengadilan Agama Tanjung Selor, Kalimantan Timur 126. Pengadilan Agama Tanjung, Kalimantan Selatan 127. Pengadilan Agama Tasikmalaya, Jawa Barat 128. Pengadilan Agama Tegal, Jawa Tengah 129. Pengadilan Agama Tondano, Sulawesi Utara 130. Pengadilan Agama Tual, Maluku 131. Pengadilan Agama Wamena, Papua 132. Pengadilan Agama Wates, Daerah Istimewa Yogyakarta 133. Pengadilan Agama Wonosobo, Jawa Tengah 134. Pengadilan Agama Yogjakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 135. Pengadilan Negeri Arga Makmur, Bengkulu 136. Pengadilan Negeri Bangkalan, Jawa Timur 137. Pengadilan Negeri Banjarnegara, Jawa Tengah 138. Pengadilan Negeri Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 139. Pengadilan Negeri Banyumas , Jawa Tengah 140. Pengadilan Negeri Batang, Jawa Tengah 141. Pengadilan Negeri Bekasi, Jawa Barat 142. Pengadilan Negeri Bojonegoro, Jawa Timur 143. Pengadilan Negeri Brebes, Jawa Tengah 144. Pengadilan Negeri Bukit Tinggi, Sumatera Barat 145. Pengadilan Negeri Ciamis, Jawa Barat 146. Pengadilan Negeri Cilacap, Jawa Tengah 147. Pengadilan Negeri Curup, Bengkulu 148. Pengadilan Negeri Dompu, Nusa Tenggara Barat 149. Pengadilan Negeri Ende, Nusa Tenggara Timur 150. Pengadilan Negeri Garut, Jawa Barat 151. Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Lampung 152. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, DKI Jakarta 153. Pengadilan Negeri Jombang, Jawa Timur 154. Pengadilan Negeri Kalimantan Selatan, Kalimantan Selatan 155. Pengadilan Negeri Kelas IB Binjai, Sumatera Utara 156. Pengadilan Negeri Kelas IB Cirebon, Jawa Barat 157. Pengadilan Negeri Kelas IB Curup, Bengkulu 158. Pengadilan Negeri Kelas IB Indramayu, Jawa Barat
159. 160. 161. 162. 163. 164. 165. 166. 167. 168. 169. 170. 171. 172. 173. 174. 175. 176. 177. 178. 179. 180. 181. 182. 183. 184. 185. 186. 187. 188. 189. 190. 191. 192. 193. 194. 195. 196. 197. 198. 199. 200. 201. 202. 203. 204. 205. 206. 207. 208. 209. 210. 211. 212. 213. 214.
Pengadilan Negeri Kelas IB Kabupaten Kediri, Jawa Timur Pengadilan Negeri Kelas IB Klaten, Jawa Tengah Pengadilan Negeri Kelas IB Makale, Sulawesi Selatan Pengadilan Negeri Kelas IB Purwokerto, Jawa Tengah Pengadilan Negeri Kelas IB Raba Bima, Nusa Tenggara Barat Pengadilan Negeri Kelas IB Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Pengadilan Negeri Kelas IB Sumber, Jawa Barat Pengadilan Negeri Kotabaru, Kalimantan Selatan Pengadilan Negeri Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah Pengadilan Negeri Kuala Simpang, Banda Aceh Pengadilan Negeri Lahat, Sumatera Selatan Pengadilan Negeri Larantuka, Nusa Tenggara Timur Pengadilan Negeri Lubuk Sikaping, Sumatera Barat Pengadilan Negeri Majalengka, Jawa Barat Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi Utara Pengadilan Negeri Mempawah, Kalimantan Barat Pengadilan Negeri Ngawi, Jawa Timur Pengadilan Negeri Palangkaraya, Kalimantan Tengah Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten Pengadilan Negeri Pangkajene, Sulawesi Selatan Pengadilan Negeri Pare-Pare, Sulawesi Selatan Pengadilan Negeri Pasuruan, Jawa Timur Pengadilan Negeri Pati, Jawa Tengah Pengadilan Negeri Pelaihari, Kalimantan Selatan Pengadilan Negeri Pontianak, Kalimantan Barat Pengadilan Negeri Praya, Nusa Tenggara Barat Pengadilan Negeri Purbalingga, Jawa Tengah Pengadilan Negeri Purworejo, Jawa Tengah Pengadilan Negeri Rantau, Kalimantan Selatan Pengadilan Negeri Sawahlunto, Sumatera Barat Pengadilan Negeri Selayar, Sulawesi Selatan Pengadilan Negeri Sibolga, Sumatera Utara Pengadilan Negeri Sinjai, Sulawesi Selatan Pengadilan Negeri Sorong, Papua Pengadilan Negeri Sukoharjo, Jawa Tengah Pengadilan Negeri Tabanan, Bali Pengadilan Negeri Tanjung Pati, Sumatera Barat Pengadilan Negeri Tanjung, Kalimantan Selatan Pengadilan Negeri Tegal, Jawa Tengah Pengadilan Negeri Temanggung, Jawa Tengah Pengadilan Negeri Toli-toli, Sulawesi Tengah Pengadilan Negeri Waingapu, Nusa Tenggara Timur Pengadilan Negeri Watansoppeng, Sulawesi Selatan Pengadilan Negeri Wonosobo, Jawa Tengah Pengadilan Tinggi Agama Ambon, Maluku Pengadilan Tinggi Agama Bandung, Jawa Barat Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu, Bengkulu Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, DKI Jakarta Pengadilan Tinggi Agama Kupang, Pengadilan Tinggi Agama Palembang, Sumatera Selatan Pengadilan Tinggi Agama Palu, Sulawesi Tengah Pengadilan Tinggi Agama Pontianak, Kalimantan Barat Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, Jawa Timur Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta Pengadilan Tinggi Ambon, Maluku Pengadilan Tinggi Bandung, Jawa Barat
215. 216. 217. 218. 219. 220. 221. 222. 223. 224. 225. 226. 227. 228. 229. 230.
Pengadilan Tinggi Banten, Banten Pengadilan Tinggi Bengkulu, Bengkulu Pengadilan Tinggi Gorontalo, Gorontalo Pengadilan Tinggi Jayapura, Papua Pengadilan Tinggi Kalimanatan Selatan, Kalimantan Selatan Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat, Kalimantan Barat Pengadilan Tinggi Kalimantan Timur, Kalimantan Timur Pengadilan Tinggi Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah Pengadilan Tinggi Makasar, Sulawesi Selatan Pengadilan Tinggi Palu, Sulawesi Tengah Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tenggara Pengadilan Tinggi Sumatera Barat, Sumatera Barat Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta PPT PKPA “Larasati” Kota Kedal, Jawa Tengah PULIH, DKI Jakarta Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Lamban Indoman Putri Propinsi Lampung, Lampung 231. Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TPA) Rekso Dyah Utami, Daerah Istimewa Yogyakarta 232. Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Propinsi (P2TPA) Maluku, Maluku 233. Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (PPT P2A) Kota Surabaya, Jawa Timur 234. Puspita Puan Amal Hayati, Jawa Barat 235. Relawan Perempuan Untuk Kemanusiaan (RPUK), Banda Aceh 236. Rifka Annisa, Daerah Istimewa Yogyakarta 237. Rumah Sakit Angkatan Laut dr. Mintoharjo Yayasan PKT Melati, DKI Jakarta 238. Rumah Sakit Bayangkara Kediri, Jawa Timur 239. Rumah Sakit Bhayangkara Bali, Bali 240. Rumah Sakit Bhayangkara Moestadjab Nganjuk, Jawa Timur 241. Rumah Sakit Bhayangkara Palangkaraya, Kalimantan Tengah 242. Rumah Sakit Bhayangkara Sartika Asih, Jawa Barat 243. Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat II Medan, Sumatera Utara 244. Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo PKT, DKI Jakarta 245. Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek , Unit Terpadu Perempuan Korban Tindak Kekerasan, Bandar Lampung 246. Rumah Sakit Umum Daerah dr. M. Yunus Bengkulu, Bengkulu 247. Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati, Daerah Istimewa Yogyakarta 248. Rumah Sakit Umum Daerah Wates Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta 249. Rumah Sakit Umum Pemerintah Dr. Sardjito, Daerah Istimewa Yogyakarta 250. Sahabat Perempuan, Jawa Tengah 251. Samitra Abhaya Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (SAKPPD), Jawa Timur 252. Sapa Institut, Jawa Barat 253. Savy Amira WCC, Jawa Timur 254. Setara Kita Batam, Kepulauan Riau 255. Solidaritas Perempuan Palembang, Sumatera Selatan 256. SPEK HAM, Jawa Tengah 257. SPI Labuhan Batu Inti, Sumatera Utara 258. UPPA Polda Aceh, Banda Aceh 259. UPPA Polda Bali, Bali 260. UPPA Polda Bangka Belitung, Kepulauan Bangka Belitung 261. UPPA Polda Sulawesi Selatan, Sulawesi Selatan 262. UPPA Polda Sumatera Utara, Sumatera Utara 263. UPPA Polda Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 264. UPPA Polres Ciamis, Jawa Barat 265. UPPA Polres Gresik, Jawa Timur 266. UPPA Polres Kediri, Jawa Timur
267. 268. 269. 270. 271. 272. 273. 274. 275. 276. 277. 278. 279. 280. 281. 282. 283. 284. 285. 286. 287. 288. 289. 290. 291. 292. 293. 294. 295. 296. 297. 298. 299. 300.
UPPA Polres Klungkung, Bali UPPA Polres Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta UPPA Polres Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur UPPA Polres Merangin, Jambi UPPA Polres Ngawi, Jawa Timur UPPA Polres Pasaman, Sumatera Barat UPPA Polres Rembang, Jawa Tengah UPPA Polres Sambas, Kalimantan Selatan UPPA Polres SIKKA, Nusa Tenggara Timur UPPA Polres Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta UPPA Polres Sukohardjo, Jawa Tengah UPPA Polres Tabanan, Bali UPPA Polres Tegal, Jawa Tengah UPPA Polres Trenggalek, Jawa Timur UPPA Polres Tulungagung, Jawa Timur UPPA Polres Wonosobo, Jawa Tengah WCC Bengkulu, Bengkulu WCC Cahaya Melati, Jawa Tengah WCC Cahaya Perempuan, Sumatera Barat WCC Jombang, Jawa Timur WCC Lentera Perempuan, Jawa Tengah WCC Mawar Balgis, Jawa Barat WCC Mitra Perempuan, DKI Jakarta WCC Nurani Perempuan, Sumatera Barat WCC Palembang, Sumatera Selatan WCC Suara Nurani Perempuan LPSM Yabinkas, Daerah Istimewa Yogyakarta YAKKUM, DKI Jakarta Yayasan Arikal Mahina, Maluku Yayasan Atma, Jawa Tengah Yayasan Bungoeng Jeumpa, Banda Aceh Yayasan Lambu Ina, Sulawesi Tenggara Yayasan Pancakarsa, Nusa Tenggara Barat Yayasan Puspa Indonesia, Sumatera Selatan YLBHI LBH Bali, Bali