CARA PENYELESAIAN ACARA VERSTEK DAN PENYELESAIAN VERZET Oleh: H.Sarwohadi, S.H.,M.H.,(Hakim PTA Mataram). I. Pendahuluan : Judul tulisan ini bukan hal yang baru, sudah banyak ditulis oleh para pakar hukum serta sudah sering dibahas dalam forum diskusi maupun forum seminar, namun tetap saja masih terdapat perbedaan pemahaman terutama dalam praktek acara verstek di persidangan apakah perlu pembuktian atau tidak, begitu pula penyelesaian upaya hukum verzet terutama dalam menentukan masa
tenggang
mengajukan upaya hukum verzet dan tahapan-tahapan penyelesaian
dalam
persidangan, kemudian timbul tanda tanya bagaimana terjadi pebedaan?, apa yang melatarbelakangi perbedaan itu. Perbedaan pemahaman maupun perbedaan dalam praktek suatu hal yang wajar, hal itu dipengaruhi oleh perubahan waktu dan kondisional, karena ilmu hukum selalu berubah mengikuti perubahan masyarakatnya, masyarakat hukum sebagai pencari keadilan menghendaki hukum dapat memberikan keadilan sesuai logika nalar yang berlaku pada masanya. Hakim dianggap sebagai seorang yang mengetahui hukum (ius curi novit) wajib memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan padanya dan Hakim juga sebagai pembuat hukum (judge made law) tentunya dengan kearifannya dapat memahami bahwa hukum acara perdata berupa R.Bg. dan H.I.R.
merupakan
produk Pemerintahan Hindia Belanda yang dibuat beberapa puluh tahun yang lalu tentunya terdapat beberapa ketentuan pasal yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat saat ini, oleh karena itu Hakim dapat lebih memperluas pemahamannya dan tidak membuat penafsiran yang terhadap
pasal-pasal
dalam
R.Bg./H.I.R.
sepanjang
tidak
sempit
mengurangi/
menyimpangi substansi dari isi pasal-pasal dimaksud. Pendapat pertama, ada sebagian Hakim yang memutus perkara verstek (Tergugat tidak pernah hadir dalam persidangan) walaupun telah dipanggil secara sah dan patut, diputus tanpa pembuktian, Penggugat yang mendalilkan gugatannya tidak perlu dibebani pembuktian, dan seluruh isi gugatan penggugat oleh Hakim
dianggap benar, sedangkan Tergugat yang tidak menghadiri Hlm. 1 dari 14 hlm.
persidangan, menurutnya dianggap telah melepaskan hak-hak keperdataannya, dan dianggap mengakui atau membenarkan semua dalil gugatan Penggugat; Pendapat ini mempunyai argumentasi, hal ini untuk mendorong kepada masyarakat pencari keadilan yang berkedudukan sebagai Tergugat supaya mentaati panggilan Hakim dan memahami bahwa perkara tanpa hadirnya Tergugat pun dapat diputus, tentunya putusannya akan merugikan pihak Tergugat sendiri, hal ini sebagai hal yang logis, kerugian ditimpakan kepada Tergugat yang mengabaikan panggilan Hakim, pendapat ini berasumsi dan menggarisbawahi bahwa Tergugat pun masih mempunyai kesempatan mengajukan upaya hukum verzet, sehingga perkaranya dapat diperiksa kembali dari awal, dan pendapat ini mendasarkan pada ketentuan Pasal 149 ayat(1) R.Bg./Pasal 125 ayat (1) H.I.R. tanpa ada penafsian secara luas. Pendapat kedua, ada sebagian Hakim yang memutus perkara verstek (Tergugat tidak pernah hadir) walaupun telah dipanggil secara sah dan patut, diputus dengan pembuktian, yang demikian Hakim tidak serta merta dalil gugatan Penggugat dianggap benar dan dianggap telah diakui oleh Tergugat, Penggugat tetap
harus
dibebani
pembuktian,
pendapat
yang
demikian
mempunyai
argumentasi bahwa untuk menentukan apakah gugatan penggugat melawan hak dan beralasan hukum harus melalui pembuktian dan.mempunyai argumentasi bahwa panggilan yang disampaikan oleh Jurusita kepada Tergugat apa benarbenar sudah sah dan patut menurut hukum, apalagi jika panggilan itu disampaikan melalui Kepala Desa/Lurah, karena keengganan Kepala Desa/Lurah tidak menyampaikan panggilan kepada Tergugat belum ada sanksi yang mengaturnya, kemudian alasan yang lain,
jika
dalil gugatan Penggugat tidak dibebani
pembuktian, dalam perkara kebendaan, maka akan kesulitan dalam pelaksanaan putusan (eksekusi), apalagi dalam perkara perceraian yang mempunyai dampak lebih luas tidak saja bagi suami istri yang hendak bercerai, tetapi berdampak juga kepada anak-anaknya serta orang tua atau familinya. Dalam perkara perceraian diatur dalam Pasal 22 ayat (2) PP. No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU.No.1 Tahun1974 Tentang Perkawinan jo. Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang diubah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 intinya, untuk menjatuhkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat Hlm. 2 dari 14 hlm.
dengan suami istri, pendapat ini menegaskan bahwa baik perkara kebendaan maupun perkara perceraian dalam acara verstek Penggugat tetap dibebani pembuktian. Menurut SEMA No.3 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung RI, Tahun 2015 Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, Kamar Agama: Pemeriksaan secara verstek terhadap perkara perceraian harus melalui proses pembuktian Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sedangkan pemeriksaan perkara selain perceraian harus menunjukan adanya alas hak dan tidak melawan hukum
(Pasal 125 H.I.R/Pasal 149
R.Bg). Kamar Perdata: Putusan dapat
dijatuhkan secara verstek apabila para pihak telah dipanggil secara sah dan patut sesuai keentuan Pasal 125 ayat (1) H.I.R/Pasal 149 ayat (1) R.Bg. namun apabila gugatan dikabulkan maka harus didukung dengan bukti permulaan yang cukup, khusus perkara perceraian berlaku ketentuan Pasal 22 ayat (1) PP. No.9 Tahun 1975, dalam hal keluarga dijadikan saksi dapat disumpah sepanjang tidak ada bukti lain. Hasil Rumusan Pleno Kamar Agama sejalan dengan hasil Rumusan Pleno Kamar Perdata, khususnya tentang perkara perceraian, sedangkan perkara non perceraian, Kamar Agama menegaskan apabila gugatan mau dikabulkan Penggugat harus menunjukan adanya alas hak dan tidak melawan hukum, sedangkan Kamar Perdata, jika untuk mengabulkan gugatan, maka harus didukung dengan bukti permulaan yang cukup. Menurut pendapat Penulis, dalam perkara non perceraian Penggugat harus menunjukan alas hak, apa pengertian alas hak? adalah hubungan hukum antara dirinya sebagai subjek dengan objek hak yang ia kuasai, artinya alas hak harus dapat menjelaskan secara jelas, lugas dan tegas tentang bagaimana seseorang dapat menguasai suatu objek yang dimilikinya, tidak melawan hukum artinya perbuatan tidak bertentangan dengan orang lain. Perbedaan istilah pembuktian dengan kata menunjukan alas hak dan tidak melawan hukum sebagai berikut: Pembuktian harus memenuhi syarat formil, materiil dan batas minimal bukti, sedangkan menunjukan alas hak dan pernyataan tidak melawan hukum,
Hlm. 3 dari 14 hlm.
Penggugat menerangkan bagaimana ia dapat menguasai suatu objek yang tidak bertentangan dengan orang lain. Contoh : Dalam perkara waris Penggugat
harus dapat menunjukan
surat
kematian Pewaris, Silsilah keluarga dari Pewaris. Selanjutnya Penulis akan membahas judul tulisan ini dengan mendasarkan pada pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang didukung dengan pendapat atau pemikiran para pakar hukum yang terkini, dalam tulisan ini Penulis membatasi pembahasan dalam hal Tergugat tidak hadir dalam persidangan, walau telah dpanggil secara sah dan patut. II Pembahasan A. Acara Verstek : Sebagaimana telah kita sampaikan di atas bahwa yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah acara verstek dalam persidangan yang tanpa hadirnya Tergugat, sedangkan ketidak hadiran Tergugat, telah dipanggil secara sah dan patut; 1. Dasar hukum Putusan Verstek : Pasal 149 R.Bg./125 H.I.R. 1) Apabila pada hari yang telah ditentukan, Tergugat tidak hadir dan pula ia tidak menyuruh orang lain untuk hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil dengan patut maka gugatan itu diterima dengan putusan tak hadir (verstek), kecuali kalau ternyata bagi Pengadilan Agama bahwa gugatan tersebut melawan hak atau tidak beralasan; 2) Tetapi jika Tergugat dalam surat jawabannya yang tersebut dalam ayat (2) Pasal 145 R.Bg./121 H.I.R.mengajukan tangkisan (eksepsi) bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak hadir, Pengadilan wajib memberi
putusan
atas
tangkisan
itu
tidak
dibenarkan
maka
Pengadilan baru akan memutus mengenai pokok perkara; 3) Jika gugatan diterima, maka atas perintah Ketua diberitahukan putusan itu kepada pihak yang dikalahkan, serta diterangkan kepadanya, bahwa ia berhak mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan tak hadir itu kepada Pengadilan Agama itu, dalam
Hlm. 4 dari 14 hlm.
tempo dan dengan cara seperti yang ditentukan dalam Pasal 153 R.Bg./129 H.I.R. 4) Panitera mencatatkan di bawah putusan tak hadir itu siapa yang diperintahkan untuk menjalankan pekerjaan itu, baik dengan surat maupun dengan lisan. Dari pasal tersebut di atas akan diuraikan ayat demi ayat
sebagai
berikut: ayat (1) : Apabila Tergugat/Kuasanya tidak hadir, dan telah dipanggil secara sah dan patut maka gugatan diterima; Arti gugatan diterima, mempunyai arti bahwa gugatan itu diputus oleh Hakim dengan putusan positif, maksud putusan positif
bisa
gugatan dikabulkan atau ditolak, untuk menentukan gugatan dikabulkan atau ditolak Penggugat harus menunjukan alas hak, dan apakah gugatan Penggugat beralasan?, menunjukan alas hak dan
jika gugatannya bisa
beralasan, maka gugatan dikabulkan
dengan verstek dan jika tidak dapat menunjukan alas hak dan tidak beralasan, maka gugatan ditolak dengan verstek; Apabila gugatan Penggugat melawan hak dan atau tidak beralasan hukum, maka gugatan tidak diterima; Arti gugatan tidak diterima adalah perkara itu diputus oleh Hakim dengan putusan negative, artinya gugatan Penggugat itu melawan hak dan atau tidak beralasan hukum, dan
jika Penggugat tidak
mempunyai hak keperdataan/legal standing untuk mengajukan gugatan, maka gugatan dinyatakan
tidak
diterima/N.O.(Niet
ontvankeLijke verklaard) dengan verstek; Ayat (2) : Tetapi jika Tergugat dalam surat jawabannya yang tersebut dalam ayat (2) Pasal 145 R.Bg./121 H.I.R. mengajukan tangkisan (eksepsi)
bahwa
Pengadilan
tidak
berwenang
mengadili
perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak hadir, Pengadilan wajib memberi putusan atas tangkisan itu tidak dibenarkan maka Pengadilan baru akan memutus mengenai pokok perkara; Hlm. 5 dari 14 hlm.
Artinya: sekalipun Tergugat/kuasanya tidak hadir di persidangan, tetapi ia dapat mengirimkan jawaban tertulis kepada Pengadilan Agama berupa eksepsi yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili perkaranya, maka Pengadilan Agama terlebih dahulu memeriksa eksepsi Tergugat tentang berwenang atau tidaknya terhadap perkara tersebut, dan jika ternyata perkara tersebut bukan menjadi kewenangan Pengadilan Agama, maka Hakim akan menjatuhkan putusan mengabulkan eksepsi Tergugat dan menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang, dan putusan yang demikian menjadi putusan akhir, tetapi jika eksepsi Tergugat ditolak, maka Hakim akan menjatuhkan putusan sela menolak eksepsi
Tergugat
dan
memerintahkan
kedua
belah
pihak
melanjutkan perkaranya; Ayat (3): Jika gugatan diterima, maka atas perintah Ketua diberitahukan putusan itu kepada pihak yang dikalahkan, serta diterangkan kepadanya, bahwa ia berhak mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan tak hadir itu kepada Pengadilan Agama itu, dalam tempo dan dengan cara seperti yang ditentukan dalam Pasal 153 R.Bg./129 H.I.R. Artinya:
Jika
gugatan
Penggugat
diterima
dan
dikabulkan
gugatannya, maka Tergugat sebagai pihak yang kalah dapat mengajukan upaya hukum verzet (perlawanan), dalam tenggang waktu 14 hari sejak diberitahukan putusan verstek itu atau ditambah 8 hari jika pemberitahuan itu diterima melalui Desa/kelurahan sejak adanya aan maning. Ayat (4): Panitera mencatatkan di bawah putusan tak hadir itu siapa yang diperintahkan untuk menjalankan pekerjaan itu, baik dengan surat maupun dengan lisan. Artiya: Di bawah putusan lembar terakhir diberikan catatan nama Jurusita yang menyampaikan isi putusan verstek kepada Tergugat, hal ini sangat penting untuk memantau Jurusita dan untuk mengetahui Hlm. 6 dari 14 hlm.
apakah pemberitahuan itu telah disampaikan kepada Tergugat langsung/melalui Kepala Desa/Lurah, mengingat putusan ini tidak dihadiri pihak Tergugat. 2. Pelaksanaan Acara verstek dalam praktek persidangan: Para Hakim di samping harus mendasarkan pada Pasal 149 ayat (1) R.Bg. /Pasal 125 ayat (1) H.I.R. hendaknya
mempedomani hasil rumusan rapat
pleno Kamar Agama dan Kamar Perdata Mahkamah Agung RI. tanggal 11 Desember 2015, sebagaimana telah disampaikan di muka tadi, bahwa perkara perceraian tetap harus melalui proses pembuktian, sedangkan perkara
non perceraian harus menunjukan adanya alas hak dan tidak
melawan hukum. Dari rumusan hasil rapat pleno Kamar Mahkamah Agung tersebut, Mahkamah Agung memberikan petunjuk lebih jelas antara lain terhadap penyelesaian acara verstek sebagaimana tercantum dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2015 tanggal 29 Desember 2015, maka Penulis menggarisbawahi sebagai berikut: a) Dalam perkara perceraian, Penggugat
dibebani
bukti
tetap harus melalui proses pembuktian, terhadap
dalil
gugatannya
dengan
menghadirkan saksi-saksi sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yakni Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo. Pasal 76
Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009; b) Dalam perkara non perceraian, Penggugat tidak perlu pembuktian, tetapi wajib menunjukan alas hak terhadap sesuatu yang ia kuasai/miliki dan tidak melawan hukum; Mengapa dalam acara verstek perkara non perceraian tidak perlu pembuktian? Menurut pendapat penulis : Jika Penggugat harus dibebani pembuktian sedangkan alat bukti berada di pihak Tergugat, dan sementara pihak Tergugat karena menguasai alat bukti atas
harta yang disengketakan,
ia akan
menghindar hadir di Hlm. 7 dari 14 hlm.
persidangan, jika Penggugat yang tidak menguasai alat bukti dituntut harus pembuktian, maka pihak Penggugat tertutup untuk memperoleh keadilan, selanjutnya mengapa Penggugat cukup dapat menunjukan alas hak atas harta yang dikuasainya?, seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa alas hak adalah hubungan hukum antara dirinya sebagai subjek dengan objek hak yang ia kuasai, artinya alas hak harus dapat menjelaskan secara jelas, lugas dan tegas tentang bagaimana seseorang dapat menguasai suatu objek yang dimilikinya, contohnya bukti sertipikat tanah berada di pihak Tergugat, maka Penggugat dapat menunjukan surat tanah berupa” leter D “atau surat tanah “seporadis”, yang demikian cukup Hakim mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek. Kalau ternyata dengan putusan verstek tersebut Tergugat keberatan, maka ia dapat mengajukan upaya hukum verzet, di dalam persidangan (acara verzet) kedua belah pihak dapat menyampaikan pembuktian, dengan cara yang demikian maka kedua belah pihak mendapatkan kesempatan yang sama untuk memenangkan perkaranya. Bagaimana sikap Hakim dalam perkara kebendaan (acara verstek), atas keinginan Penggugat sendiri mengajukan alat bukti, apakah Hakim melaksanakan acara pembuktian atau tidak ?. Menurut Penulis, pertama Hakim menjelaskan bahwa Penggugat cukup menunjukan surat yang dianggap sebagai alas hak, namun demikian jika Penggugat memohon diberi kesempatan untuk menyampaikan pembuktian, maka proses pembuktian dapat dilaksanakan. Menurut rumusan hasil pleno Kamar Perdata Mahkamah Agung tanggal 11 Desember 2015 sebagai berikut “ Putusan yang dijatuhkan secara verstek sesuai ketentuan Pasal 125 ayat (1) H.I.R. dengan melakukan pembuktian secara sepihak tidak batal demi hukum.” bahkan menurut penulis nantinya akan memudahkan ketika pelaksanaan eksekusi. Pernyataan bahwa “pembuktian secara sepihak tidak batal demi hukum” artinya Mahkamah Agung merekomendasikan dalam acara verstek (perkara non perceraian)
tidak perlu pembuktian cukup Penggugat
menunjukan alas hak saja. Hakim dalam penyelesaian acara verstek ada 2(dua) macam:
Hlm. 8 dari 14 hlm.
a. Hakim memeriksa perkara tanpa menunda persidangan dan langsung menjatuhkan putusan; Dimulai dari pemeriksaan relaas panggilan, apakah panggilan telah dilaksanakan oleh Jurusita dengan sah dan patut, Hakim menilai keabsahan dan kepatutan panggilan, apakah Jurusita ketika menyampaikan panggilan kepada Tergugat bertemu langsung/ melalui Kepala Desa/ Lurah, apabila bertemu langsung ketidak hadiran Tergugat dapat dinilai mengabaikan panggilan Hakim, sehingga Hakim pantas untuk melakukan pemeriksaan sidang tanpa harus menunda sidang dan tanpa harus memanggil Tergugat sekali lagi; Pembacaan gugatan yang diajukan oleh Penggugat: Hakim sebelum membacakan gugatan Penggugat, terlebih dahulu menasihati Penggugat berpikir secara matang agar mencabut perkaranya dan diselesaikan secara damai atau diselesaikan di luar Pengadilan; Pembuktian (dalam perkara perceraian): Bagi penggugat yang telah siap dengan bukti-bukti, Hakim dapat melanjutkan tahapan pembuktian, dalam perkara non perceraian Penggugat diperintahkan menunjukan alas hak yang dimilikinya. Kesimpulan; Hakim menanyakan kepada Penggugat, apa tetap pada gugatannya atau ingin mencabutnya; Musyawarah majelis, sekaligus membacakan putusan; b. Hakim memeriksa perkara dengan menunda persidangan. (Pasal 150 R.Bg./126 H.I.R) Sikap Hakim menunda persidangan ini ada berbagai macam alasan, antara lain : Memberi kesempatan memanggil Tergugat sekali lagi; Memberi kesempatan Penggugat untuk mengajukan pembuktian (perkara perceraian) atau alas hak perkara non perceraian, ketika sidang pertama belum siap dengan bukti/alas hak, yang demikian setiap penundaan persidangan harus memanggil Tergugat dan memerintahkan Penggugat hadir di persidangan tanpa dipanggil Hlm. 9 dari 14 hlm.
lagi (Pasal 55 UU.No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan UU. No.3Tahun 2006 dan perubahan terakhir dengan UU.No.50 Tahun 2009 jo.Pasal 26 ayat (1) PP.No.9 Tahun 1975 Tentang Petunjuk Pelaksanaan UU.No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Menurut Yahya Harahap ( Hukum Acara Perdata : hal 396): “Sekiranya Hakim ragu-ragu atas kebenaran dalil gugatan, sehingga diperlukan pemeriksaan saksi-saksi atau alat bukti lain, tindakan yang dapat dilakukan : 1) Mengundurkan persidangan sekaligus memanggil Tergugat, sehingga
dapat
direalisasikan
proses
dan
pemeiksaan
kontradiktor (op tegenspraak), atau 2) Menjatuhkan putusan vrestek, yang berisi diktum: menyatakan gugatan tidak dapat diterima atas alasan dalil gugatan bertentangan
dengan
hukum
atau
dalil
gugatan
tidak
mempunyai dasar hukum”. B. Penyelesaian upaya hukum verzet: 1. Dasar hukum verzet adalah Pasal 153 R.Bg/ 129 HIR: 1) Tergugat yang dikalahkan dengan putusan verstek dan tidak menerima putusan, dapat mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan itu; 2) Jika putusan itu diberitahukan kepada Tergugat sendiri, maka perlawanan
(verzet)
dapat
diterima
dalam
14
hari
sesudah
pemberitahuan. Jika putusan itu tidak diberitahukan kepada Tergugat sendiri, maka perlawanan (verzet) masih diterima sampai pada hari ke8 sesudah peneguran seperti yang tersebut dalam pasal 207 R.Bg/196 HIR atau dalam hal tidak hadir sesudah dipanggil dengan patut, sampai pada hari –ke 14 (R.Bg). – ke -8 (H.I.R) sesudah dijalankan surat perintah seperti tersebut dalam pasal 208 R.Bg./197 H.I.R 3) Perlawanan (verzet) terhadap verstek diajukan dan diperiksa putusan dengan cara biasa sama halnya dengan gugatan perkara perdata. 4) Ketika perlawanan telah diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama maka tertundalah pekerjaan menjalankan putusan verstek, kecuali kalau telah diperintahkan bahwa putusan itu dapat dijalankan walaupun ada perlawanan. Hlm. 10 dari 14 hlm.
5) Jika telah dijatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya, maka perlawana selanjutnya yang diajuan oleh Tergugat tidak dapat diterima 2. Masa Tenggang waktu mengajukan verzet: Tenggang waktu mengajukan verzet berdasar pada Pasal 153 ayat (2) R.Bg/ Pasal 129 ayat (2) H.I.R. yakni “Jika putusan itu diberitahukan kepada Tergugat sendiri, maka perlawanan (verzet) dapat diterima dalam 14 hari sesudah pemberitahuan. Jika putusan itu tidak diberitahukan kepada Tergugat sendiri, maka perlawanan (verzet) masih diterima sampai pada hari ke-8 sesudah peneguran seperti yang tersebut dalam pasal 207 R.Bg/196 HIR atau dalam hal tidak hadir sesudah dipanggil dengan patut, sampai pada hari –ke 14 (R.Bg). – ke -8 (H.I.R) sesudah dijalankan surat perintah seperti tersebut dalam pasal 208 R.Bg./197 H.I.R. Masa Tenggang waktu mengajukan verzet menurut Buku II sebagai berikut: a) 14 (empat belas) hari, jika pemberitahuan isi putusan disampaikan kepada pribadi Tergugat, dan dapat disampaikan kepada kuasanya, asal dalam surat kuasa tercantum kewenangan menerima pemberitahuan, terhitung dari tanggal pemberitahuan putusan verstek disampaikan; b) Sampai hari ke-8 sesudah peringatan (aan maning) adalah sampai batas akhir peringatan, Jika pemberitahuan putusan tidak langsung kepada diri pribadi Tergugat; c) Sampai hari ke-8 sesudah dijalankan eksekusi sesuai Pasal 197 H.I.R./2008 R.Bg. Misalnya eksekusi dilaksanakan tanggal 1 Agustus 2008, Tergugat dapat mengajukan perlawanan sampai hari ke-8 sesudah eksekusi dijalankan yakni tanggal 8 Agustus 2008. Perlu contoh konkrit agar mudah dipahami sebagai berikut : - Tanggal 1 januari 2016 Jurusita PA menyampaikan pemberitahuan putusan verstek kepada Tergugat melalui Kepala Desa; - Sampai dengan tanggal 15 Januari 2016 Terggat belum mengajukan verzet; - Tanggal 16 Januari 2016 Penggugat mengajukan eksekusi ke PA; - Tanggal 20 Januari 2016 Ketua PA mengadakan sidang insidentil untuk aan maning dengan memanggil Tergugat agar Tergugat melaksanakan
Hlm. 11 dari 14 hlm.
isi putusan verstek, tetapi Tergugat tetap tidak melaksanakan putusan dengan menyatakan akan mengajukan verzet; -
Dengan demikian masa verzet Tergugat adalah dihitung dari tanggal 1 Januari sampai tanggal 28 Januari 2016 Tergugat masih dapat mengajukan verzet.
Jadi yang menjadi patokan masa tenggang verzet adalah 8 hari sesudah Ketua PA mengadakan sidang insidentil untuk aan maning, dan perlu diketahui ini hanya berlaku terhadap perkara kebendaan saja, tidak berlaku bagi perkara perceraian karena perceraian tidak ada aan maning/eksekusi Untuk masa tenggang verzet dalam perkara perceraian adalah 14 hari terhitung
putusan
verstek
diberitahukan
kepada
Tergugat
tanpa
membedakan apakah pemberitahuan itu disampaikan kepada Tergugat secara langsung ataupun melalui Kepala Desa/lurah. 3. Hal-hal yang perlu diketahui tentang upaya hukum verzet : a. Perlawanan (verzet) diajukan kepada PA yang memutus verstek; b. Perlawanan diajuan oleh Tergugat atau kuasanya; c. Diajukan dalam tenggang waktu; d. Perlawanan bukan perkara baru; e. Pemeriksaan dengan acara biasa; f. Tergugat sebagai Pelawan dan Penggugat sebagai Terlawan; g. Membacakan putusan verstek; h. Beban pembuktian dibebankan kepada Terlawan (Penggugat); i.
Pelawan dibebani wajib bukti untuk membuktikan dalil bantahannya dalam kedudukannya sebagai Tergugat;
j.
Surat pelawanan sebagai jawaban Tergugat terhadap dalil gugatan;
k. Dalam surat perlawanan dapat dilakukan eksepsi; l.
Terlawan berhak mengajukan replik, dan Pelawan berhak mengajukan duplik;
m. Membuka tahap proses pembuktian; 4. Proses pemeriksaan verzet dalam persidangan : a. Upaya perdamaian, Hakim wajib mendamaikan kedua belah pihak sesuai Pasal 154 R.Bg./130 H.I.R. jika tidak berhasil, maka Hakim memerintahkan kedua belah pihak untuk mengikuti proses mediasi yang dipimpin oleh mediator sesuai Pasal 4 ayat (1) Perma No.1 Tahun 2016). Hlm. 12 dari 14 hlm.
b. Jika mediasi gagal, maka pemeriksaan dilanjutkan diawali dengan memeriksa relaas pemberitahuan putusan verstek kepada Pelawan/ Tergugat; c. Membacakan putusan verstek, yang kedudukannya sama dengan membacakan gugatan Penggugat; d. Membacakan
perlawanan
Pelawan,
yang
kedudukannya
adalah
sebagai jawaban Tergugat, dan dapat mengajukan eksepsi maupun gugat rekonvensi; e. Memberi kesempatan Terlawan/Penggugat untuk mengajukan Replik sekaligus jawaban atas gugatan Rekonvensi; f. Memberi kesempatan kepada Pelawan/Tergugat mengajukan duplik sekaligus replik atas gugatan rekonvensi; g. Memberi kesempatan rereplik/reduplik kepada kedua belah pihak bila diperlukan; h. Memberikan
beban
bukti
kepada
Terlawan/Penggugat
untuk
membuktikan dalil gugatannya, dengan maksud bahwa bukti-bukti yang telah diajukan dalam putusan verstek, Berita Acaranya dibacakan agar mendapatkan tanggapan dari Pelawan/Tergugat, jika dikehendaki bukti baik berupa surat maupun saksi-saksi dapat dihadirkan kembali dalam persidangan; i.
Memberi kesempatan kepada Pelawan/Tergugat untuk mengajukan bukti guna meneguhkan dalil bantahannya;
j.
Kesimpulan dari kedua belah pihak sebaiknya diserahkan secara bersama-sama;
k. Musyawarah Majelis Hakim dan selanjutnya membacakan putusan. 5. Bentuk amar putusan verzet : a. Amar putusan tidak dapat diterima (melampaui masa tenggat): .Apabila
permohonan verzet telah melampaui tenggat waktu verzet;
dalam hal demikian amar putusan sebagai berikut: -
Menyatakan perlawanan Pelawan tidak dapat diterima;
-
Menyatakan Pelawan sebagai Pelawan tidak benar;
-
Menguatkan putusan verstek Nomor……………tanggal…………;
-
Menghukum Pelawan membayar biaya perkara sejumlah……….;
b. Amar putusan Mengabulkan perlawanan Pelawan: Hlm. 13 dari 14 hlm.
-
Menyatakan perlawanan Pelawan secara formil dapat diterima;
-
Menyatakan Pelawan sebagai Pelawan yang benar;
-
Mengabulkan perlawanan Pelawan;
-
Membatalkan putusan verstek Nomor..…………tanggal……………….;
-
Menolak gugatan Penggugat/Terlawan seluruhnya;
-
Menghukum/membebankan
biaya
perkara
kepada
Terlawan/
Penggugat sejumlah……………………….; c. Amar putusan menolak verzet atau perlawanan: -
Menyatakan perlawanan Pelawan secara formil dapat diterima;
-
Menyatakan Pelawan sebagai Pelawan tidak benar;
-
Menolak perlawanan Pelawan;
-
Menguatkan putusan verstek Nomor………….Tanggal……………..;
-
Menghukum/ membebankan biaya perkara sejumlah………kepada Pelawan / Tergugat.
d. Amar putusan verstek yang kedua kali: -
Menyatakan Pelawan/ Tergugat yang telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir dipersidangan;
-
Menyatakan
Pelawan/Tergugat
adalah
Pelawan/Tergugat
yang
benar; -
Menjatuhkan
putusan
verstek
atas
putusan
verstek
Nomor
……………Tanggal……………….; -
Menguatkan putusan verstek Nomor ……………..tanggal…………..;
-
Menghukum/membebankan
Pelawan/Tergugat
membayar
biaya
perkara sejumlah………….; e. Amar putusan verzet yang membatalkan putusan verstek dan menyatakan gugatan Penggugat/Terlawan tidak dapat diterima: -
Menyatakan perlawanan Pelawan dapat diterima;
-
Menyatakan perlawanan Pelawan adalah Pelawan yang benar;
-
Membatalkan putusan verstek Nomor……………tanggal…………….;
-
Menyatakan gugatan Penggugat/Terlawan tidak dapat diterima;
-
Menghukum/membebankan
biaya
perkara
kepada
Terlawan/
Penggugat sejumlah……………………..; f. Amar putusan membatalkan putusan verstek dan menolak gugatan Penggugat/Terlawan: Hlm. 14 dari 14 hlm.
-
Menyatakan Perlawanan Pelawan dapat diterima;
-
Menyatakan Pelawan adalah sebagai Pelawan yang benar;
-
Membatalkan putusan verstek nomor…………..tanggal……………;
-
Menolak gugatanPenggugat/Terlawan seluruhnya;
-
Menghukum
Penggugat/
Terlawan
membayar
biaya
perkara
sejumlah…………..; II. Kesimpulan : A. Penyelesaian acara verstek dalam perkara perceraian Penggugat tetap harus melalui proses pembuktian (Pasal 22 ayat (1) PP No.9 Tahun 1975, sedangkan selain perceraian Penggugat cukup menunjukan alas hak (tanpa proses pembuktian) atas gugatannya, dan tidak melawan hukum. B. Masa Tenggang verzet untuk perkara perceraian adalah 14 hari terhitung sejak disampaikan
pemberitahuan
putusan
verstek
kepada
Tergugat
tanpa
membedakan apakah pemberitahuan itu diterima langsung Tergugat/melalui Kepala Desa/Lurah, sedangkan perkara kebendaan masa tenggang upaya hukum verzet 14 hari ditambah 8 hari terhitung sejak adanya aan maning. C. Pembuktian dalam verzet, alat bukti Penggugat/Terlawan yang telah disampaikan dalam acara verstek tidak perlu diulang lagi, tetapi cukup dibacakan Berita Acara Sidangnya saja sedangkan Tergugat/Pelawan diminta untuk menanggapinya bahkan Tergugat/Pelawan dapat meminta Majelis Hakim untuk menghadirkan kembali bukti-bukti dari Penggugat/Terlawan.
Demikian semoga tulisan ini bermanfaat.
Mataram, Februari 2016, Wasalam,
H. Sarwohadi, S.H.,M.H.
Hlm. 15 dari 14 hlm.
Hlm. 16 dari 14 hlm.