Historia
of
A Short
History
Capitalism
Oleh: Aslama Nanda Rizal (Kepala Departemen Media UPI “Interdisipliner” UGM) Kapitalisme berasal dari capital yang berarti modal, alat produksi seperti tanah, uang dan lain sebagainya. Dan kata isme berarti suatu paham atau ajaran serta sistem. Jadi arti kapitalisme itu sendiri adalah suatu paham atau ajaran serta sistem tentang modal, dengan segala sesuatunya yang dihargai dan diukur dengan uang. Dalam kapitalisme, pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Dengan prinsip liberalnya yakni minimalnya peran negara, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama. Kapitalisme berazaskan atas pengembangan hak milik pribadi dan pemeliharaannya serta perluasan faham kebebasan. Sehingga dalam praktiknya membuat kesenjangnan sosial yang tinggi antara si kaya dan si miskin. Singkatnya, sejarah perkembangan kapitalisme dapat dibedakan menjadi beberapa periode: 1. Kapitalisme Awal (1500 – 1750). Pada periode tersebut, Kapitalisme mengacu pada kebutuhan pokok yang ditandai dengan hadirnya industri sandang di Inggris sejak abad XVI sampai abad XVIII. Kemudian berlanjut pada usaha perkapalan, pergudangan, bahan- bahan mentah, barang- barang jadi dan variasi bentuk kekayaan yang lain. Setelah itu menjadi perluasan kapasitas produksi. Menurut Russel, terdapat perbedaan antara kapitalisme di perkotaan dan desa di Eropa pada masa itu. Russel menjelaskan tiga faktor penghambat kapitalisme di pedesaan, yakni: a. Tanah yang ada hanya digunakan untuk bercocok tanam, sehingga hasil produksinya sangat terbatas. Russel mengusulkan untuk mengubah tanah menjadi sesuatu yang lebih menguntungkan (profitable). Atau dengan pengertian lain tanah bias diperjual belikan seperti barang lainnya. b. Para petani atau buruh tani yang masih terikat pada system ekonomi subsistensi, mereka
siap untuk dipekerjakan dengan upah tertentu. c. Hasil produksi yang diperoleh petani saat itu hanya sekedar digunakan untuk mencukupi kebutuhanpribadi. Menurutnya, produksi hasil petani harus ditawarkan ke pasar dan siap dikonsumsi oleh publik. 2. Kapitalisme Klasik (1750 – 1914). Periode ini merupakan pergeseran dari perdagangan publik ke bidang industry. Ditandai oleh Revolusi Industri di Inggris dengan banyaknya produksi mesin-mesin besar yang sangat menunjang industri. 3. Kapitalisme Lanjut (1914 – sekarang). Periode dengan sebutan Kapitalisme lanjut ini dimulai dengan sebuah momentum utama, yakni terjadinya Perang Dunia I. Hal tersebut sebab terjadi pergeseran dominasi modal dari Eropa ke Amerika. Kemudian bangkitnya kesadaran bangsa- bangsa di Asia dan Afrika sebagai ekses dari Kapitalisme klasik, yang kemudian memanifestasikan kesadaran itu dengan perlawanan. Pada awal abad ke 20, Marxisme menjadi sangat berpengaruh bagi kelompokkelompok yang melawan Kapitalisme. Sosialisme, sebagai bentuk perlawanan terhadap Kapitalisme bertujuan menciptakan keadilan sosial bagi rakyat di seluruh dunia. Komunisme menjadi lawan tangguh Kapitalisme sepanjang abad ke-20. Hingga akhirnya, pada awal 1990-an, negara-negara yang berazaskan Komunisme runtuh. Namun semangat melawan Kapitalisme masih tetap membara dari berbagai gerakan bawah tanah. Walaupun saat ini, kita telah hidup di alam Kapitalisme. Jogja, yang dulu menjadi Kota Budaya, kini pun telah menjadi incaran cengkeraman Kapitalisme dengan kuat. Untuk itu, kita perlu melawannya.Karena Kapitalisme adalah seburuk-buruknya sistem. Hidup Mahasiswa Indonesia! Merdeka!
2
Eureka
JOGJA ISTIMEWA: KOMERSIALISASI, KEBUDAYAAN, DAN FANTASI KEJAYAAN Oleh: Andi Triswoyo, Kepala Departemen Penalaran UPI INTERDISIPLINER Peluncuran slogan Jogja Istimewa yang dilaksanakan beberapa hari lalu, menimbulkan pertanyaan menarik bagi kita semua.Meskipun masih tergolong pendatang, saya merasakan atmosfer yang cukup semarak, baik rakyat Jogja maupun penduduk migran yang menghuni Kota Gudeg tersebut.Hal ini tak terlepas dari slogan Jogja sebagai Kota Istimewa tentunya. Jogja dengan segala gelombang modernisasi dan dinamika perubahannya mengindikasikan sebuah peralihan, dari kota kecil menjadi kota metropolitan. Hal ini dapat berimplikasi bahwa peluncuran slogan Jogja Istimewa telah direkayasa sedemikian rupa, agar Jogja dapat berdiri sejajar dengan kota metropolitannya lainnya dengan tidak meninggalkan aspek lokalitasnya. Sebagai kota peninggalan Mataram Islam, yang masih diakui legalitasnya secara formal, Yogyakarta (Jogja) tumbuh dengan arus modernisasi yang kuat. Dalam tempo yang relatif singkat, berbagai gedung, pusat perbelanjaan, hingga lokawisata bertebaran dimanamana.Perluasan berbagai izin terkait pendirian bangunan hingga usaha membuat ruang Jogja semakin sesak dengan berbagai beton dan atribut-atribut komersial yang menghiasnya. Lebih lanjut, saya ingin mengidentifikasi semboyan “ Jogja Istimewa “ dari tiga lensa, antara lain (1) Komersialisasi; (2) Kebudayaan; dan (3) Fantasi Kejayaan. Ketiga lensa ini diperlukan untuk menganalisis implikasi yang dimunculkan terkait peluncuran semboyan Jogja Istimewa tersebut. Komersialisasi Ruang Pertama, slogan Jogja Istimewa berkaitan dengan upaya lanjut dari proses komersialisasi. Jogja sendiri. Seperti kita ketahui bersama, bahwasanya fenomena komersialisasi 3
sebagian besar masyarakatnya. Kasus-kasus seperti pendirian bangunan, berupa hotel maupun apartemen mahasiswa di sekitaran Sleman, hingga isu pembangunan bandara baru di Kulon Progo mengindikasikan wilayah Jogja sudah menjadi sasaran utama bagi para investor atau pengembang untuk “menganak-pinakkan” modalnya. Pembangunan areal privat yang sedemikian massif menjadi pertanda bahwa Jogja telah bertransformasi menjadi kota metropolitan. Menurut pengalaman kota besar lain di Indonesia, seperti Surabaya atau Jakarta, proses transformasi kota metropolitan biasanya diawali dengan arus pemanfaatan atau komersialisasi ruang yang sedemikian luas. Dengan berbagai arena konsentrasi publik, seperti kampus, mall, hingga lokawisata, arus komersialisasi ruang telah menggurita di wilayah Jogja. Berbicara tentang komersialisasi ruang tak lepas dari fenomena pertentangan kepentingan yang cukup kuat.Komersialisasi ruang di Jogja dapat ditelusur dengan strategi yang sengaja dirancang untuk akumulasi kapital, yang mana Pemerintah dan Pengembang menjadi pihak yang diuntungkan. Sebaliknya, rakyat dan warga sipil lainnya seringkali menjadi pihak yang dirugikan (korban) dari fenomena tersebut.Slogan Jogja Istimewa disini dapat dirasionalisasikan sebagai upaya untuk mengenalkan sedemikian luas tentang peluang untuk melakukan komersialisasi lebih. Keberadaan slogan tak hanya untuk mendorong popularitas daerah, namun dapat juga dimanfaatkan sebagai upaya meningkatkan posisi tawar bagi pemerintah setempat, agar mendapat akumulasi nilai-lebih yang lebih besar.Dalam perspektif Marxian, slogan Jogja
dapat digolongkan sebagai umpan bagi elite penguasa untuk mendesak para kapitalis dalam berbagi sedikit keuntungan dalam proses pemanfaatan nilai ruang tersebut.Untuk itulah, bagi sebagian kalangan kritikus kebijakan dan gerakan, keberadaan slogan bukanlah sematamata instrumen netral.Slogan dimaksudkan untuk mendorong bagi para pengembang untuk berkompetisi menetapkan harga, selagi para elite penguasa memikirkan peluang pencarian rente. Kebudayaan Leluhur Kedua, slogan Jogja Istimewa dapat dianggap sebagai upaya para pemerhati kebudayaan untuk menjaga keberlangsungan peninggalan agung leluhurnya. Dalam aspek kebudayaan, sebuah peninggalan kota dengan berbagai institusi kelembagaan memiliki aspek historis yang tidak dijelaskan secara mudah. Untuk itulah, mereka melakukan kampanye sedemikian rupa, sehingga artefak ataupun peninggalan budaya lainnya dapat senantiasa lestari sepanjang waktu.Secara singkat, slogan Jogja Istimewa dimunculkan sebagai kampanye sosial penyelamatan peninggalan budaya leluhur, terutama Mataram Islam. Jogja Istimewa dengan demikian bukanlah sesuatu yang dapat dipertentangkan.Semua orang mungkin sepakat dengan pernyataan slogan terkait pelestarian kebudayaan.Keberadaan atribut keistimewaan itulah yang dapat menjaga masyarakat Jogja untuk senantiasa mengingat asal-usulnya.Mereka juga dapat mengenal tradisi agung yang seharusnya mereka pelihara di keseharian hidupnya. Atribut keistimewaan akan memunculkan aksi kolektif untuk bersama-sama menjaga keberlangsungan dan kelestarian budaya leluhur, singkatnya.
Fantasi Kejayaan Ketiga, fantasi kejayaan dapat menjadi variabel yang menarik bagi diluncurkannya slogan Jogja Istimewa. Pasca pemberlakuan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta ( UU tentang Keistimewaan Jogja), terdapat upaya yang mendesak untuk memunculkan brand lanjutan bagi keberlangsungan statuta hukum tersebut. Dengan berbagai keistimewaan Jogja untuk melakukan pengecualian tindakan politik dari pemerintah Jakarta, slogan Jogja Istimewa dapat digunakan untuk menjustifikasi berbagai tindakan yang dilakukan, terutama oleh elite Kraton. Selain itu, introduksi keistimewaan Jogja kepada khalayak umum dapat bermaksud untuk memunculkan ingatan sejarah, bahwa Jogja adalah sedikit wilayah yang dapat berdiri otonom di tengah republik yang cukup legitimate. Oleh karenanya, slogan Jogja Istimewa dianggap urgen untuk mengkonfirmasi anggapan massa bahwa Jogja sejatinya istimewa dan wajar ketika diperlakukan berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Pada akhirnya, Jogja Istimewa akan tetap berada di pusaran komersialisasi, kebudayaan dan fantasi kejayaan. Ketiga memoar ini setidaknya merepresentasikan opini-opini publik yang hadir dengan keluaran wacana Jogja Istimewa. Jogja Istimewa perlu diarahkan untuk membangun peradaban Jawa, khususnya Jogja yang selama ini dianggap rendah oleh daerah lain. Tanpa sebuah upaya serius untuk meng”istimewa”kan Jogja, peluncuran Jogja akan berimplikasi nihil. Kutipan “ Jogja akan senantiasa istimewa, bahkan tanpa atribut istimewa sekalipun “, akan menjadi seloroh umum, jika pemerintah setempat mampu mengarahkan potensi daerah demi kesejahteraan rakyatnya. 4
Eureka
Eureka
WASPADA PEMUKIMAN DEKAT HOTEL Studi Lingkungan Dampak Komersialisasi Lahan Wilayah Yogyakarta Oleh: Dessy Purbandari
5
Yogyakarta sebagai salah satu kota besar di Indonesia memiliki daya tarik yang tak kalah dibandingkan Jakarta sebagai ibu kota negara maupun Bali sebagai destinasi favorit turis lokal maupun mancanegara. Yogyakarta dengan slogan andalannya “Yogyakarta Berhati Nyaman” dikenal masih ‘getol’ dalam mempertahankan adat-istiadat daerahnya. Namun, apakah lahan-lahan di kota para raja ini juga mendapat perlakuan yang sama? Tidak dipungkiri, semakin tingginya daya tarik suatu kota, maka makin banyak pula wisatawan yang datang ke kota tersebut. Seperti halnya grafik demand and supply, maka tingginya jumlah wisatawan tentu harus dibarengi dengan penyediaan transportasi umum dan akomodasi yang memadai.Karena itulah tak heran jika pembangunan hotel belakangan marak di Yogyakarta.Mulai dari tipe biasa hingga executive class bisa didapatkan di sini, hanya tinggal menyesuaikan isi dompet saja. Berdasarkan data dari Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, ada 70 hotel baru yang sudah diterbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).Dari Jumlah itu, sudah ada sebanyak 30 hotel baru di Yogyakarta yang kini mulai melakukan aksi bangun atau pekerjaan fisik. Sejak penerbitan Peraturan Walikota (Perwal) Nomor 77 Tahun 2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel, terdapat 104 izin baru untuk pendirian hotel (krjogja.com, 28/8/14). Menurut data dari Kepala Bidang Pelayanan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, Setiono, pada tahun 2014 terdapat 19 unit pengajuan pendirian hotel baru di wilayah Kecamatan Gedongtengen. Sisanya tersebar di kecamatan lain. Padahal, pemberian izin pendirian hotel secara masif tanpa mengindahkan aspek-aspek kelestarian lingkungan dapat menimbulkan dampak negatif di kemudian hari. Dampak pembangunan hotel secara besar-besaran telah memberikan efek negative bagi warga Yogyakarta, khususnya yang bermukim di area sekitar hotel.Contoh nyata yang telah dirasakan masyarakat setempat ialah fenomena mengeringnya air sumur.Realitas inilah yang selanjutnya menuai protes kepada walikota Yogyakarta.Beberapa aksi telah dilakukan oleh masyarakat dalam menyikapi fenomena ini. Salah satunya yaitu pada aksi simpatik Jogja Asat (Jogja Kekeringan), di Jembatan Kewek/Kleringan, pada bulan Oktober 2014 lalu. Aksi ini digagas oleh Komunitas Warga Berdaya untuk menyuarakan kegelisahan akibat kekeringan air sumur sebagai dampak pembangunan hotel maupun mall di Yogyakarta (tribunjogja.com, 3/10/14). Fenomena mengeringnya air sumur telah secara nyata dirasakan oleh warga daerah Miliran yang tinggal berdampingan dengan Fave Hotel. Menurut kesaksian salah satu warga, semenjak kemunculan Fave Hotel di daerah tersebut, banyak sumur-sumur warga yang asat (kering). Padahal sebelumnya sumur-sumur tersebut tidak pernah kering bahkan saat musim kemarau sekalipun. Tidak hanya Miliran, hal serupa juga pernah dialami oleh warga Gowongan khususnya wilayah RT 14 dan RT 15 akibat pendirian Hotel 101 di daerahnya. Setelah diadakan pumping test, terbukti Hotel 101 mengambil air sumur warga.Begitupun dengan Fave Hotel yang terbukti belum memiliki izin pengambilan air tanah sejak dua tahun yang lalu. Berdasarkan realitas-realitas yang telah dipaparkan di atas, terbukti bahwa banyak sekali pendirian hotel yang menyalahi izin pembangunan. Beragam kasus kekeringan yang dialami warga juga memberikan indikasi bahwa Yogyakarta tengah dalam ancaman kekurangan sumber air bersih ke depan. Padahal, masalah air ialah masalah yang sangat krusial dan harus ada tindakan tegas terhadap para pelanggarnya.Selama ini, pasokan air tanah di kawasan Yogyakarta hanya mengandalkan air hujan.Kurangnya kepedulian terhadap keberadaan sumur resapan juga menjadi salah satu faktor semakin berkurangnya pasokan air. Bangunan-bangunan besar yang semakin menjamur di lahan-lahan Yogyakarta sangat berpotensi mengurangi air tanah.Apalagi, sebagian besar dari bangunan ini mengambil air tanah dangkal milik warga.Hal ini tentu sangat merugikan warga yang tinggal di wilayah tersebut.Belajar dari kasuskasus yang lalu, pemerintah memang cenderung lebih memberi peluang bagi para pengusaha hotel. Jika belum ada keluhan dari masyarakat, pemerintah juga hanya diam. Kalau terus dibiarkan, maka ancaman Yogyakarta kering bukan hanya isapan jempol semata.
KOMERSIALISASI YOGYAKARTA Oleh: Wiganda Vebrian (Ketua UPI “Interdisipliner” UGM) Komersialisasi Jogja merupakan hal yang sangat riskan untuk dibicarakan, hal ini karena banyaknya faktor kepentingan anatara pemerintah, pelaku usaha (swasta), masyarakat dan pihak-pihak lain yang saling berhubungan.Sehingga perlu adanya keterbukaan dari masing-masing instansi yang terkait. Marak berdirinya hotel-hotel di Jogja menimbulkan bermacam-macam masalah dan persoalan seperti kesehatan lingkungan, kemacetan , faktor ekonomi serta ketimpangan antar masyarakat dan golongan. Kita sebagai mahasiswa bukanya tidak peka dengan perubahan yang terjadi khususnya di jantung kota Jogja. Banyak aliansi atau LSM baik itu yang berasal dari mahasiswa ataupun dari masyarakat umum yang mengecam dan menolak tentang adanya komersialisasi Jogja. Kita ambil kasus dari seorang wartawan yang mengambil gambar mengenai perubahan yang terjadi seperti maraknya Mall, mini market dan Hotel yang dibangun dengan menghiraukan aspek lingkungan serta aspek budaya, bahkan pada kawasan yang disakralkan sebagai jalur poros keraton-merapi yang ditembus Hotel contoh di jalan Mangkubumi. Hal ini menyebabkan banyak pertanyaan kemanakah Jogja yang dulu sebagai tempat destinasi yang nyaman dan sejuk, dengan bertebarnya hutan beton dijatung kota. Berdasar data dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY yang disampaikan Ketua DIY istijab M Danunegoro, hotel dikawasan situs budaya dan pelajar sampai akhir 2013 sebanyak 1.160 hotel, 60 hotel diantaranya merupakan hotel kelas bintang dengan jumlah kamar per hotel sekitar 6000-an kamar lebih. Dari contoh diatas apakah kita hanya mau diam dan menunggu gedung-gedung, Mall dan hotel tersebut dibangun tanpa berbuat apa-apa. Katakan tidak karena hak kota Jogja merupakan hak semua masyarakat bukan hanya dari orang-orang yang berdompet tebal serta mempunyai kekuasaan saja. Yang jadi pertanyaan kita sebagai masyarakat dalam kontek mahasiswa harus berbuat apa? Menurut Syamsudin Nurseha Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) , problem yang dihadapi saat ini adalah implementasi peraturan yang dilakukan permerintah sudah tidak konsisten. Oleh karena itu ia menyarankan kepada warganya untuk bersikap ofensif bukan lagi difensif, “ Masyarakat harus melakukan tindakan,” kata dia. Jadi sudah jelas peran Masyarakat dan Mahasiswa sangat dibutuhkan untuk menekan percepatan pembangunan yang salah dan tidak terkendali dijogja, karena hak jogja adalah hak semua masyarakat.
“KAMI MERINDUKAN JOGJA YANG DULU” Oleh: Tety Widyaningrum (Kepala Departemen PSDM UPI “Interdisipliner” UGM) (Suara Rakyat Kecil) Jogjakarta. Sebagian besar orang mengenalnya sebagai Kota Pelajar dan Kota Budaya.Tanah yang asri, rumput – rumput hijau bertebaran, dan sepeda onthel yang berlalu – lalang.Tua, muda, balita.Guru, pedagang maupun petani.Semua bersepeda. Keindahan jogja sangat dirasakan sehingga ia pantas disebut “istimewa”. Tapi itu dulu... Sekarang Jogja telah berubah. Berubah menjadi kota elite, kota metropolitan. Ketradisionalan Kota Jogja dengan sekejap disulap menjadi Kota yang penuh dengan gedung-gedung pencakar langit.Mall, Apartemen, Hotel, dan teman-temannya. Seandainya Pemerintah tahu, bahwa kami merasa kurang nyaman dengan banyaknya keberadaan mereka. Air sumur yang surut, suara yang bising, udara yang panas, jalanan yang macet. Bisakah kami menegur, meminta untuk dikembalikan hak kenyamanan kami? Dan seandainya Pemerintah (mau) mengerti, betapa kami hanya bisa memandangi gedung – gedung itu, tanpa bisa menjamahnya, apalagi masuk, atau bahkan mungkin menyapa makhluk-makhluk yang berada di dalamnya. Tidak Mungkin. Satu hal yang kami inginkan, Kembalikan Jogja kami.Jogja yang khas dengan sepeda onthelnya.Jogja yang khas dengan kental budayanya. Bukan dengan Mall, Apartemen, maupun antek-anteknya . 6
Warta
Warta
UPI “INTERDISIPLINER” UGM GOES TO MAKASSAR Oleh: Meilinda Adharini (Kepala Departemen Hubungan Masyarakat UPI “Interdisipliner” UGM) Ikatan Lembaga Penalaran dan Penelitian Mahasiswa Indonesia yang disingkat ILP2MI dinyatakan berdiri sesuai kongres yang dilaksanakan pada tanggal 30 April - 1 Mei 2010 di Makassar oleh 17 UKM Penalaran dan Penelitian dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia di Hotel Lamacca UNM Kota Makassar. Latar belakang berdirinya ILP2MI ini yaitu adanya keterbatasan komunikasi dan informasi antar sesama komunitas ilmiah se-Indonesia yang mengakibatkan informasi mengenai berbagai macam lomba penelitian, hasilhasil penelitian serta informasi lainnya di bidang penelitian tidak tersebar secara merata. UPI Interdisipliner UGM periode 2015 diundang oleh ILP2MI untuk mengirimkan delegasi dalam rangka Diklat Nasional. Awal mulanya, UPI Interdisipliner UGM mengalami permasalahan terkait dana pemberangkatan dan penentuan delegasi. Dari rapat Pengurus Harian keluarlah nama Kepala Departemen Hubungan Masyarakat UPI Interdisipliner UGM (Meilinda, JPP 2013) yang akan menjadi delegasi. Banyak sekali pengalaman berharga yang didapat oleh Meilinda sepulang dari Makassar. Mulai dari pengetahuan tentang ILP2MI, berbagai informasi tentang UKM Penalaran / Penelitian tiap perguruan tinggi, serta kevacuman UPI Interdisipliner di tahun-tahun sebelumnya. Salah satu pengalaman yang paling berharga bagi Meilinda yaitu bisa bertemu dengan berbagai mahasiswa dari UKM Penalaran / Penelitian se-Indonesia dan bisa mengenalkan UPI Interdisipliner UGM ke kancah Nasional. Harapan setalah mengikuti acara Diklat Nasional di Makassar adalah senantiasa menjalin & menjaga komunikasi dengan baik kepada ILP2MI & seluruh UKM Penalaran dan Penelitian se-Indonesia. Komunikasi tersebut dapat dijalin dan dijaga dengan cara rajin mengikuti seluruh acara yang diadakan oleh ILP2MI dan acara yang diselenggarakan oleh berbagai UKM Penalaran / Penelitian. Hal ini juga akan meningkatkan networking bagi UPI Interdisipliner UGM, serta dapat meningkatkan eksistensi UPI diranah Nasional
UPI “Interdisipliner” UGM Mengikuti Kegiatan Seminar Nasional Technopreneurship dan Temu Wilayah (Temwil) MITI Klaster Mahasiswa Jateng DIY 2015 MITI Klaster Mahasiswa dengan Laboratorium Mahasiswa (LABMA UII) mengadakan acara Seminar Nasional dan Temu Wilayah Jateng DIY tahun 2015. Acara Temu Wilayah merupakan acara rutin tahunan MITI Klaster Mahasiswa. Acara tersebut berlangsung selama tiga hari (10-12 April 2015), bertempat di Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Delegasi UPI “Interdisipliner” UGM yang mengikuti acara tersebut antara lain Andi Triswoyo (Kepala Departemen Penalaran), Tety Widyaningrum (Kepala Departemen PSDM), Syahrul Mubaroq (Wakil Kepala Departemen Penalaran), dan Ahmad Sony Alfa Thany (Wakil Kepala Departemen Kompetisi dan Prestasi). Terdapat beberapa kelompok studi universitas yang mengikuti acara tersebut, diantaranya UPI “Interdisipliner” UGM, Gama Cendikia UGM, Klinik Agromina Bahari (KAB) UGM, Agritech Study Club (ASC) UGM, SIM UNS, LSP UNS, RIPTEK UNNES, UKM Penelitian UNY, UKM Penelitian UNNES, KRETA AMIKOM, UKMPR UNSOED, RnB UNDIP, LABMA UII, FKIST UIN SUKA, Perwakilan Kelompok Studi UMY, UNISSULA, dan IAIN Surakarta. Pada hari pertama, acara ini diawali dengan kegiatan Welcome Party, yang meliputi sambutan, pembukaan Temwil, perkenalan serta penampilan company profile dari masing-masing Kelompok Studi Ilmiah. Pada hari kedua, beberapa kegiatan yang dilakukan oleh para peserta yaitu field trip ke museum UII, Talkshow Motivation “KPK” (Kompeten Profesional Kontributif), Kelas Paralel Riset, Workshop Beasiswa, dan Forum Group Discussion (FGD). Sedangkan hari terakhir diadakan Seminar Nasional Technopreneurship & Grand Launching LABMA sebagai Kelompok Studi Ilmiah Universitas di UII. Selanjunya dilakukan sosialisasi MITI KM + Go Pangan Lokal (GPL), dan diakhiri dengan Penandatangan MoU dari tiap-tiap Kelompok Studi Ilmiah Universitas sebagai wujud kesediaan bermitra dengan MITI KM Mahasiswa 7
Kunjungan FDI Universitas Muhammadiyah Malang
Kunjungan Miti Km Korwil Jateng-Diy
Serombongan kontingen Forum Diskusi Ilmiah Universitas Muhammadiyah Malang mengadakan studi banding ke UKM UPI Interdisipliner UGM. Bertempat di Ruang Sidang III Gelanggang UGM, kedua Kelompok Studi Ilmiah tersebut saling bertukar pikiran mengenai kelompok studi masing – masing. Diawali dengan sambutan dari masing – masing ketua yang memberikan gambaran mengenai UKM masing – masing. Dan agenda yang tak kalah pentingnya adalah mengenai pemaparan setiap departemen dari kedua Unit Kegiatan Mahasiswa, mulai dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, Hubungan Masyarakat, Penalaran, Pengembangan Sumber Daya Masyarakat, Media, serta Departemen Kompetisi dan Prestasi. Setiap perwakilan, khususnya Kepala Departemen menyampaikan apa saja yang menjadi program kerja departemen mereka, saling berbagi pengalaman, serta saling memberi inspirasi satu sama lain. Kegiatan ini tentunya menjadi kegiatan yang sangat dinantikan, karena selain dapat menambah ilmu dan wawasan baru, kegiatan semacam ini juga mampu menambah jaringan, khususnya jaringan di tingkat nasional.
Bertempat di Teater Gadjah Mada, Gelanggang Mahasiswa UGM (21/2), UPI “Interdisipliner” UGM kedatangan tamu dari LSM Masyarakat Ilmuwan & Teknolog Indonesia Klaster Mahasiswa (MITI KM) Korwil Jawa Tengah & DIY. Kunjungan ini bertujuan selain untuk memperkenalkan MITI kepada para anggota UPI “Interdisipliner”, juga untuk saling berdiskusi mengenai penelitian, penalaran, karya tulis ilmiah, dan PKM.Kunjungan tersebut dimulai sejak pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 18.00 WIB. Sesi pertama yaitu perkenalan antara dua lembaga. Kemudian berlanjut ke sesi tanya jawab dan diskusi dimana baik UPI “Interdisipliner” UGM maupun MITI KM Korwil Jawa Tengah DIY saling bertukar pikiran. Sebelum kunjungan tersebut diakhiri, MITI KM Korwil Jawa Tengah & DIY mengadakan kuis ringan berupa pertanyaan-pertanyaan seputar penjelasan yang telah diberikan pada sesi pertama dan mendapat buah tangah berupa pin dari MITI. Kunjungan tersebut diakhiri dengan sesi foto bersama antara UPI Interdisipliner UGM dengan MITI KM Korwil Jawa Tengah & DIY.
BILIK PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA Apa itu PSDM? Departemen PSDM merupakan salah satu departemen di Unit Penalaran Ilmiah “Interdisipliner” UGM yang fokus pada pengembangan sumberdaya pengurus UPI “Interdsisipliner”. Departemen PSDM memiliki fungsi open recruitment, penjagaan, pengkaryaan, pendataan, upgrading, kontroling, dan evaluasi. Program kerja UPI “Interdisipliner” diantaranya open recruitment, diklat, upgrading, staffing, kunjungan tokoh, monitoring kegiatan, kegiatan kultural, agenda tahunan (ulang tahun UPI, musyawarah besar), dan pembuatan Kartu Tanda Anggota UPI “Interdisipliner”. Diklat UPI “Interdsipliner” merupakan kegiatan awal kaderisasi yang berisi materi dasar mengenai ke-UPIan.Sedangkan Upgrading dilakukan secara bertahap sebagai alur kaderisasi setelah pelaksanaan diklat untuk meningkatkan kapasitas kader. Materi upgrading meliputi pembelajaran kaderisasi dan kepemimpinan, pengembangan jaringan di bidang sosial, langkah-langkah penelitian, dan tata cara kepenulisan. Melalui kegiatan kaderisasi yang berjenjang ini diharapkan akan mampu menciptakan kader-kader peneliti yang mampu berpikir secara kritis, inovatif, dan sistematis. Salam Peneliti Muda Semangat Berkarya ! 8
Dialektika Membahas mengenai “Kasus KPK vs Polri” bersama dengan Mas Faris, Peneliti PUKAT (Pusat Kajian Anti Korupsi) UGM. Salah satu kesimpulan yang menjadi poin penting dari diskusi ini yaitu mengenai peran kita sebagai mahasiswa. Beliau mengajak kepada mahasiswa untuk memperbanyak forum-forum diskusi , dan yang utama adalah menjaga integritasnya untuk tidak melakukan tindakan kecurangan atau “tindakan korupsi kecil” yang (mungkin) dilakukan oleh sebagian mahasiswa. (contohnya : titip absen). So, Jadilah mahasiswa yang jujur sob. Karena kejujuran dan menjaga integritas itu bukan hal yang bisa diwujudkan dalam satu dua hari saja. Tapi, perlu waktu yang lama, yang pada akhirnya bisa menjadi kebiasaan dan mengakar menjadi prinsip dalam hidup kita.
HASIL DISKUSI UPI “INTERDISIPLINER” UGM
KPK vs POLRI
HASIL DISKUSI UPI “INTERDISIPLINER” UGM
PENELAAH ENVIRONMENT PEMBUKAAN LAHAN KELAPA SAWIT
9
Banyak permasalahan timbul akibat pembukaan lahan kelapa sawit, yang banyak dijumpai di Sumatera. Indonesia merupakan penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Outputnya berupa minyak kelapa sawit mentah kemudian diolah menjadi sabun, lilin, industri kosmetik, dan bahan baku minyak alcohol. Hal tersebut menyebabkan banyak pihak menghalalkan segala cara untuk membuka lahan kelapa sawit tanpa melihat kondisi dan dampak yang akan timbul. Beberapa poin yang perlu diperhatikan mengenai pembukaan lahan kelapa sawit besar-besaran yakni mengenai kebijakan pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pusat, pengelolaan tata ruang, penerbitan izin, dan aspek kelestarian.Menurut penelitian, tidak mudah mengembalikan lahan kelapa sawit untuk menjadi kawasan hutan kembali.Satusatunya jalan adalah menutup peluang penambahan pembukaan lahan kelapa sawit baru. Hal tersebut membutuhkan tindakan tegas dari pemerintah