PANITIA DAN DOSEN PEMBIMBING EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL 2015/2016 DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FT UGM
Panitia Pelaksana
: Salahuddin Husein, S.T., M.Sc., Ph.D. Ir. Anastasia Dewi Titisari, M.T., Ph.D.
Dosen Pendamping : Dr. Ir. Agung Harijoko, M.Eng. Dr. Donatus Hendra Amijaya, S.T., M.Eng. Dr. Didit Hadi Barianto, S.T., M.Sc. Dr. Wahyu Wilopo, S.T., M.Eng. Moch. Indra Novian, S.T., M.Eng. Dr. Esti Handini, S.T., M.Eng. Asisten
: Yan Restu Freski, S.T. Peter Pratistha Utama
Panitia Mahasiswa Ketua
: Riko Susetia Yuda (40677/TK)
Sekretaris
: Khairani Alkatiri (40627/TK)
Nomer telepon penting: a. Salahuddin Husein, S.T., M.Sc., Ph.D.
- 0813.9214.8842
b. Ir. Anastasia Dewi Titisari, M.T., Ph.D.
- 0815.7870.3509
c. Yan Restu Freski, S.T.
- 0852.9138.8118
d. Peter Pratistha Utama
- 0857.2930.7038
e. Riko Susetia Yuda
- 0822.2525.8050
f. Khairani Alkatiri
- 0878.3836.5828
Panduan EGR 2015/2016
ii
PESERTA EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL 2015/2016
1 2 3 4
KELOMPOK 1 KHAIRANI ALKATIRI ARIF PRAYOGO MUHAMMAD RACHMAT FADHIL PRIANA RETNADI DHARMASAPUTRA
1 2 3 4 5 6
KELOMPOK 2 DINDA ANNISA NADIA SEKARLANGIT AGIN SETIAWAN ALDO FEBRIANSYAH PUTRA MUHAMMAD ILYASA SATYADHARMA RONI CAHYA CIPUTRA
1 2 3 4 5
KELOMPOK 3 AGNES SAPUTRI LAMA ANTON PRASETYO IGNATIUS DION ADI PRADANA TAUFIQ BAKHTIAR RAMADHAN ZULFIKAR FAUZI
1 2 3 4 5
KELOMPOK 4 AYU EVI OCTAVIANA MAISYARAH AHMAD MARDIANTO MUTHIULLAH IMAM DWI WICAKSONO MUHAMMAD ZICHO DEARZO
1 2 3 4 5
KELOMPOK 5 ANGELA PRITA RATIWI FRANSISKUS L B LA ODE AMRI RIZAL RIKO SUSETIA YUDA SIGIT DWI KURNIAWAN
1 2 3 4 5
KELOMPOK 6 DWI CHARISAH ANDRIYANI RIZKIA FADHILA FAISAL RAHMAN HABIB NUR HIDAYAT SUDARMADI KURNIANTO DWI SETYAWAN
1 2 3 4 5
KELOMPOK 7 IVY NUR ARINI CAHYO SEDEWO HARDIAN DWI LAKSTIANTO IBNU YUDI RIMAWAN WAHYUDIN BEMPAH
1 2 3 4 5
KELOMPOK 8 GHANESWARI YUGAMARIS NUR RAHMI AMALIA DETA AJI NUR HANIF MUHAMMAD RIVALDI ANWAR PUTRA NATHANNAEL KRESNA YUDHA
1 2 3 4 5
KELOMPOK 9 IKA MAY HARTATI RINI FAHMITA FADHIL HENING WIBOWO MUHAMMAD ARSA ISKAQ ICHSAN OKTAVIAN DWI HARDIYANTO
1 2 3 4 5
KELOMPOK 10 EKA DHAMAYANTI MAHWARTI NOVELLI PURBA ADNAN HENDRAWAN MUHAMMAD VIRGIAWAN AGUSTIN WISBA HAFIFAN
1 2 3 4
KELOMPOK 11 CHUSNUL TYAS PAMBUDI YUSTISIANA TIKA HAPSARI IRSYAM WIDIYOKO MUHAMMAD SIDQI
1 2 3 4
KELOMPOK 12 KESUMA WAHNI SIREGAR FAVIAN AL KINDI BAYUMURTI SATRIO WIDIANTO YUSUF BAGASKORO
1 2 3 4 5
KELOMPOK 13 MAHARDIKA DIAN MAULIDINA RIA NUR ANDINI BAGASKARA WIDI NUGROHO KUKUH GEMA BRAMASTYA RADIFAN TAMJIDI
1 2 3 4 5
KELOMPOK 14 GABRIELA N. R. BUNGA NAEN NURUL YULANDA SEPTIANTY APRILYANA ANDRIAS WICAKSONO GALIH WAHYU SANGAJI MUHAMMAD ARBA AZZAMAN
Panduan EGR 2015/2016
iii
1 2 3 4 5
KELOMPOK 15 ADELIDE ASRIATI SEKA SHERLY YUNITA TANGASA EKKY RENO PRIYAMBODO MUHAMMAD HASBI BOY SERULI EKA UTAMA
1 2 3 4 5
KELOMPOK 16 AMANDA AYUDHIA SAHRI SETIA PRIHATIN AHMAD FAIZAL AMIN RIDWAN BIMA ARYA ZAIN ANDRIAN NUR ASA
1 2 3 4 5
KELOMPOK 17 DWI PUTRI ALCRISTA GULTOM BENEDICTUS GILANG PRADANA NEVIO MUHAMMAD KAMEL RAMA TRI SAKSONO RIZKI RAMADANI
1 2 3 4 5
KELOMPOK 18 NI'MATUL AZIZAH RAHARJANTI YEFTAMIKHA DIANDRI FAKHRI ALDITRA GALIH F FITONO JORDAN ROMORA SIMARMATA
1 2 3 4
KELOMPOK 19 ISNAENI RAIS FARAHDILA HENDRA MAULANA IRVAN MICHAEL STEPHEN MUHAMMAD SYARGA
1 2 3 4 5
KELOMPOK 20 CLORINDA DONELLA OKTAMI KHARISMA ASPRILA DIAS RAHMAWAN PUTRA SASTIAWAN YOYOK HARTOYO
Panduan EGR 2015/2016
iv
JADWAL DAN JALUR EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL 2015/2016
Hari 1 (Senin, 25 Januari 2016) Jalur : Yogyakarta – Bayat – Gesi – Mondokan – Purwodadi Jam
Waktu Jarak (jam) (km)
STA
06.00 06.30 – 08.00
1,5
45
-
08.00 – 09.30
1,5
-
1
09.30 – 12.00
2,5
90
-
12.00 – 13.00
1
-
-
13.00 – 13.30
1
10
-
13.30 – 14.30
1
-
2
14.30 – 15.00
0,5
10
-
15.00 – 16.00
1
-
3
16.00 – 17.30
1,5
40
-
17.30 – 18.30
1
-
18.30 – 19.30 19.30 – 21.30 21.30
1 2
-
Kegiatan Peserta berkumpul di halaman parkir lapangan basket KPFT (koord: -7.766094, 110.373438) Perjalanan dari KPFT menuju STA 1 Gunung Gajah (Bayat). Pengamatan singkapan basement & batuan Paleogen cekungan Jawa Timur di Gunung Gajah, Bayat, Klaten. (koord: -7.766690, 110.674049) Perjalanan menuju Tangkil, Sragen Makan siang – Sholat (Masjid Al Ikhlas, Tangkil, Sragen, koord: -7.399789, 111.018153) Perjalanan menuju STA 2 Watutugel, Gesi Pengamatan endapan volcano-turbidite Formasi Banyak (Miosen Tengah) dan struktur kompresif Kendeng (koord: -7.346125, 111.003943) Perjalanan menuju STA 3 Mondokan Pengamatan transisi napal gampingan Formasi Kalibeng (Mio-Pliosen) ke batugamping Formasi Sonde (Pliosen) (koord: -7.319044, 111.942149) Perjalanan menuju Hotel Griya Laksana Purwodadi Check in di Hotel Griya Laksana, unpacking, mandi (Jl. R. Suprapto, Purwodadi koord: -7.094713, 110.913951) Makan malam di Hotel Griya Laksana Diskusi kelas di Hotel Griya Laksana Istirahat malam / acara bebas
Panduan EGR 2015/2016
v
Hari 2 (Selasa, 26 Januari 2016) Jalur : Purwodadi – Bleduk Kuwu – Polaman dan Braholo – Panohan – Rembang Jam
Waktu Jarak (jam) (km)
STA
07.00 07.00 – 08.00
1
30
-
08.00 – 09.00
1
-
4
09.00 – 11.00
2
60
-
11.00 – 12.00
1
-
-
12.00 – 12.30
0,5
2
-
12.30 – 13.30
1
-
5
13.30 – 14.30
1
-
6
14.30 – 15.30
1
30
-
15.30 – 16.30
1
-
7
16.30 – 17.30
1
30
-
17.30 – 18.30
1
-
18.30 – 19.30 19.30 – 21.30 21.30
1 2
-
Kegiatan Check out Berangkat menuju STA 4 Bleduk Kuwu Pengamatan mud volcano Bleduk Kuwu, morfologi dan deformasi (koord: -7.117240, 111.121470) Perjalanan menuju Polaman, Blora Makan siang – shalat (Masjid Istikmal Kecamatan Blora Kota, jalanraya Blora-Rembang, koord: -6.910445, 111.439284) Perjalanan menuju STA 5 Polaman dan STA 6 Braholo (waktu tempuh termasuk jalan kaki menuju Braholo) Pengamatan produk endapan laut dangkal – transisi dan pengukuran arah arus purba pada Formasi Ngrayong (Makam Tionghoa, Polaman, koord: -6.903869, 111.441899) Pengamatan perubahanfasies batuan Formasi Tuban hingga Formasi Ngrayong, deformasi pembentukan lipatan (Sungai Braholo, Sendangharjo, koord: -6.898272, 111.444699) Perjalanan menuju STA 7 Panohan Observasi konstruksi geoteknik Bendungan Panohan dan batuan dasarnya (Formasi Ledok) (koord: -6.820529, 111.434019) Perjalanan menuju Hotel Pantura, Rembang Check in di Hotel Pantura, unpacking, mandi (Jl. Gajah Mada, Rembang koord: -6.700358, 111.312086) Makan malam di Hotel Pantura Diskusi kelas di Hotel Pantura Istirahat malam / acara bebas
Panduan EGR 2015/2016
vi
Hari 3 (Rabu, 27 Januari 2016) Jalur : Rembang – Sluke – Banggi – Yogyakarta Jam
Waktu Jarak (jam) (km)
STA
07.00 07.00 – 08.00
1
30
-
08.00 – 09.00
1
-
8
09.00 – 10.00
1
20
-
10.00 – 11.00
1
-
9
11.00 – 18.00
7
230
-
18.00
-
Kegiatan Check out Berangkat menuju STA 8 Pantai Indah Pengamatan endapan fluvio-volkanik Lasem (Pantai Indah, jl. Sunan Bonang, Sluke, koord: -6.630922, 111.523500) Perjalanan menuju STA 9 Hutan Mangrove, Banggi Pengamatan lingkungan sedimentasi modern (rawa-pesisir-terumbu) (Hutan Mangrove Rembang, Banggi, koord: -6.699142, 111.388076) Perjalanan pulang menuju Kampus Biru UGM (makan siang dan shalat akan ditentukan di perjalanan) Kembali ke rumah/kost
Hari 4 (Kamis, 28 Januari 2016) : istirahat dan menyelesaikan tugas kelompok
Hari 5 (Jumat, 29 Januari 2016) : responsi (pukul 09.00 – 10.00; Ruang Kelas 3.1)
Panduan EGR 2015/2016
vii
8
Muria
Lasem
9
Rembang
Pati 7
Kudus Demak
5 6
ZO NA R EM BA NG Semarang
Blora
Purwodadi 4
Ungaran
Cepu ZO N A R A N D U B L A T U N G
ZO NA K EN D ENG
3 2
Salatiga Ngawi
Sragen
Merbabu Merapi
Lawu
Surakarta
ZO NA S O L O Klaten Madiun
Kampus UGM
1 Wonogiri Ponorogo
Bantul Wonosari
PEG U NU NG A N
SELATAN
Pacitan
25 km
Jalur Ekskursi Geologi Regional 2015/2016
Panduan EGR 2015/2016
viii
KATA PENGANTAR Ekskursi Geologi Regional (EGR) merupakan salah satu matakuliah wajib dalam program Sarjana strata-1 Departemen Teknik Geologi FT UGM. Pengalaman geologi, kemampuan mengembangkan nalar keilmuan, kemampuan untuk melakukan interpretasi dan deduksi ketika menempuh perjalanan yang melintasi beberapa cekungan sedimenter akan menjadi salah satu harapan kami dalam merancang pelaksanaan EGR kali ini. Secara individual, kemampuan minimal setiap peserta EGR dapat dikatakan tercapai bila mampu mengaitkan data-data geologi di setiap titik pengamatan dan di sepanjang lintasan menjadi sebuah sintesis komprehensif tentang geologi suatu cekungan. Lebih jauh, bila dia dapat mengembangkan sintesis tersebut untuk tujuan aplikasi, baik dalam eksplorasi sumberdaya alam, pengembangan wilayah, dan penilaian ancaman bencana geologi, maka peserta EGR telah menjangkau tujuan utama pembelajaran. Mengingat EGR merupakan proses pembelajaran di lapangan, maka kami menghimbau agar setiap peserta dapat memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan selama kegiatan. Terima kasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang membantu lancarnya kegiatan ini, termasuk kepada Ketua Departemen Teknik Geologi, Sekretaris Departemen Teknik Geologi, Ketua Program Studi S1 Teknik Geologi, Sekretaris Program Studi S1 Teknik Geologi, serta para dosen pemandu ekskursi. Semoga buku panduan ini dapat dimanfaatkan secara optimal oleh para peserta, baik dalam tahap persiapan maupun saat kegiatan, baik saat diskusi maupun saat pengamatan lapangan. Yogyakarta, 19 Januari 2016 Salahuddin Husein Anastasia Dewi Titisari
Panduan EGR 2014
ix
DAFTAR ISI
SAMPUL .................................................................................................................................
i
PANITIAN DAN DOSEN PEMBIMBING EGR .........................................................
ii
PESERTA EGR .....................................................................................................................
iii
JADWAL DAN JALUR EKSKURSI ................................................................................
v
KATA PENGANTAR ..........................................................................................................
ix
DAFTAR ISI ..........................................................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN ..............................................................................................
1
I.1. TUJUAN EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL ................................
1
I.2. CAKUPAN EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL............................
2
I.3. TAHAPAN EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL ...........................
2
I.4. PENILAIAN .............................................................................................
3
I.4. PERALATAN ..........................................................................................
3
I.5. PANDUAN K3L .....................................................................................
4
FISIOGRAFI........................................................................................................
6
II.1. ZONA PEGUNUNGAN SELATAN...................................................
6
II.2. ZONA SOLO ............................................................................................
8
II.3. ZONA PERBUKITAN KENDENG ...................................................
9
II.4. ZONA DEPRESI RANDUBLATUNG ..............................................
12
II.5. ZONA PERBUKITAN REMBANG ...................................................
13
II.6. ZONA PESISIR UTARA .....................................................................
14
BAB III STRATIGRAFI ...................................................................................................
17
III.1. STRATIGRAFI REGIONAL PEGUNUNGAN SELATAN .........
18
III.2. STRATIGRAFI REGIONAL PERBUKITAN KENDENG ..........
22
III.3. STRATIGRAFI REGIONAL PERBUKITAN REMBANG .........
25
BAB IV TEKTONIKDAN EVOLUSI CEKUNGAN .................................................
31
IV.1. PEGUNUNGAN SELATAN ................................................................
31
IV.2. ZONA SOLO ............................................................................................
33
IV.3. PERBUKITAN KENDENG .................................................................
34
BAB II
Panduan EGR 2015/2016
x
IV.4. ZONA RANDUBLATUNG ..................................................................
35
IV.5. PERBUKITAN REMBANG ................................................................
38
IV.6. GUNUNGAPI BELAKANG BUSUR .................................................
43
LOKASI PENGAMATAN ...............................................................................
45
V.1. GUNUNG GAJAH, BAYAT..................................................................
45
V.2. WATUTUGEL, GESI.............................................................................
47
V.3. KEDAWUNG, MONDOKAN ..............................................................
49
V.4. BLEDUG KUWU ....................................................................................
50
V.5. POLAMAN, SENDANGHARJO .........................................................
52
V.6. SUNGAI BRAHOLO, SENDANGHARJO ......................................
54
V.7. WADUK PANOHAN, GUNEM .........................................................
56
V.8. PANTAI INDAH, SLUKE ....................................................................
57
V.9. PANTAI INDAH, SLUKE ....................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................
59
BAB V
Panduan EGR 2015/2016
xi
BAB I PENDAHULUAN
Mata kuliah Ekskursi Geologi Regional/EGR (TKG 3122) merupakan mata kuliah wajib bagi mahasiswa program strata satu (S1) di Departemen Teknik Geologi FT UGM. Mata kuliah ini bersifat kegiatan lapangan, dengan bertujuan untuk mengenal zonasi fisiografi, urutan stratigrafi, pola struktur, kaitannya terhadap sejarah geologi regional, potensi sumber daya geologi, dan aspek bencana geologi. Pada tahun ajaran 2015/2016 EGR dilaksanakan pada tanggal 25 – 27 Januari 2016. Adapun jalur yang dipilih dalam EGR 2014 selama tiga hari berturutturut adalah : Hari 1 (Senin, 25 Januari 2016)
: Yogyakarta – Bayat – Gesi – Mondokan – Purwodadi
Hari 2 (Selasa, 26 Januari 2016)
: Purwodadi – Bleduk Kuwu – Polaman dan Braholo – Panohan – Rembang
Hari 3 (Rabu, 27 Januari 2016)
: Rembang – Sluke – Banggi – Yogyakarta
Bagi seorang geologiwan, lapangan merupakan sarana pembelajaran terbaik karena
menggambarkan
secara
nyata
kondisi
yang
dihadapi
dalam
mengaplikasikan ilmunya. Dalam ekskursi kali ini pemahaman geologi secara regional digunakan untuk mempertajam pendekatan yang digunakan pada saat mengeksplorasi kondisi geologi suatu daerah dengan baik. Pada saat ini hampir seluruh kegiatan yang berkaitan dengan bumi seperti pembangunan fisik, eksplorasi dan eksploitasi sumber daya geologi, serta mitigasi bencana geologi membutuhkan data geologi dan pemahaman konsep geologi yang saling terintegrasi.
I.1. TUJUAN EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL Tujuan umum dari dilaksanakannya EGR 2015/2016 ini adalah agar peserta EGR dapat mengenal, mengamati, merekam, dan memahami fenomena geologi di lapangan. Adapun tujuan khusus dari acara EGR ini adalah agar peserta mampu: Panduan EGR 2015/2016
1
1) Memahami perbedaan fisiografi, urutan stratigrafi, dan pola struktur geologi regional pada beberapa cekungan yang berbeda. 2) Memahami kondisi geologi regional suatu cekungan yang
disebabkan oleh
tatanan tektonik khas cekungan tersebut. 3) Memahami cara menyusun sejarah geologi suatu daerah dari data lapangan kemudian mengintegrasikannya sehingga dapat ditentukan potensi sumberdaya geologi maupun potensi bencana geologi.
I.2. CAKUPAN EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL 1) Melewati enam zona fisiografi, yaitu Zona Pegunungan Selatan, Zona Solo, Zona Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang, dan Zona Pesisir Utara Jawa. 2) Melewati tiga cekungan sedimenter Tersier, yaitu Cekungan Pegunungan Selatan, Cekungan Kendeng dan Cekungan Rembang (dua cekungan terakhir seringpula disatukan sebagai Cekungan Jawa Timur Utara). 3) Observasi fisiografi secara umum di sepanjang lintasan ekskursi. 4) Pengamatan singkapan geologi di titik-titik tertentu, mencakup aspek geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi. 5) Mengaitkan aspek geologi dasar dengan aspek geologi terapan seperti eksplorasi sumberdaya geologi, hidrogeologi, geologi teknik, geologi lingkungan, dan geologi pengembangan wilayah. I.3. TAHAPAN EKSKURSI GEOLOGI REGIONAL 1) Tahap persiapan Mempersiapkan diri dengan membaca buku panduan Ekskursi Geologi Regional dan materi geologi regional daerah lintasan yang akan dilalui. 2) Tahap lapangan Pada saat di lapangan aktivitas yang dilakukan peserta mencakup : Mendengarkan, memperhatikan, dan memahami penjelasan dari dosen pembimbing berkaitan dengan fenomena geologi di lapangan. Mencatat, merekam, dan mendeskripsikan hal-hal penting hasil pengamatan di lapangan. Mendiskusikan hasil pengamatan dengan dosen pembimbing. Panduan EGR 2015/2016
2
Mengikuti diskusi kelas yang dijadwalkan oleh panitia EGR. Mengikuti tes sebagai bahan evaluasi untuk mengukur tingkat pemahaman mahasiswa selama pelaksanaan EGR 2015/2016. Bertanggung jawab terhadap seluruh peralatan lapangan yang dibawa. Membuat catatan lapangan setiap hari. I.4. PENILAIAN Penilaian EGR berdasarkan pada dua parameter, yaitu: a. Tes responsi (bobot 40%), dilaksanakan pada hari Jumat, 29 Januari 2016; pukul 09:00 - 10:00; mencakup pemahaman dan hasil observasi. b. Tugas laporan kelompok (bobot 60%), berupa sintesis pengamatan di setiap STA dan integrasinya dalam mencapai tujuan EGR. Tugas laporan kelompok ini dikumpulkan pada saat tes responsi (29 Januari 2016), dalam bentuk tulisan tangan dan sketsa (foto tidak diperbolehkan). Laporan yang baik akan mencakup: -
Sketsa fisiografi di sepanjang lintasan dan interpretasi model geologi regionalnya.
-
Pengamatan geologi (deskripsi dan sketsa) di titik singkapan, mencakup morfologi, petrologi, dan struktur geologi. Penambahan kolom stratigrafi singkapan disertai deskripsinya akan sangat dihargai.
-
Deduksi dan interpretasi terhadap aspek sumberdaya geologi serta bencana geologi di sepanjang lintasan dan di titik pengamatan.
I.5. PERALATAN LAPANGAN a. Peralatan pribadi, mencakup: 1. Keperluan pribadi untuk dua hari 2. Sepatu lapangan 3. Topi 4. Tas lapangan 5. Obat-obatan pribadi 6. Buku catatan lapangan 7. Clipboard Panduan EGR 2015/2016
3
8. Kertas HVS secukupnya 9. Alat tulis lengkap b. Peralatan kelompok, yaitu: 1. Lup 2. Kompas geologi 3. Palu geologi 4. HCl 0,1 M 5. GPS c. Peralatan umum, disediakan di setiap bus, yaitu: -
Plastik kantong sampah
I.6. PANDUAN KESELAMATAN, KEAMANAN, DAN KESEHATAN (K3) KERJA LAPANGAN 1) Sebelum keberangkatan: Pastikan penggunaan sepatu lapangan yang aman dan nyaman. Pastikan topi untuk perlindungan terhadap sinar matahari. Bawalah persediaan minum yang cukup. Bawalah obat-obatan pribadi yang sekiranya diperlukan. Bawalah mantel / jas hujan. Masukkan semua barang bawaan di dalam tas yang aman, kuat, dan nyaman. Pisahkan dokumen (peta, buku, dll) dalam tempat tersendiri yang aman. Berilah identitas pada setiap barang secara jelas. 2) Selama dalam kendaraan: Letakkan barang bawaan di dalam bagasi atau di bawah tempat duduk secara rapi. Ingatkan sopir apabila mengendarai secara serampangan/ugal-ugalan. Dilarang
bersikap/berbicara
yang
mengakibatkan
terganggunya
kenyamanan kru kendaraan dalam menjalankan tugasnya dengan baik. Dilarang mengeluarkan anggota tubuh dari dalam kendaraan. Periksalah letak alat pemecah kaca darurat dan gunakan sewaktu diperlukan (kecelakaan, kebakaran, dll) dengan hati-hati.
Panduan EGR 2015/2016
4
Pada
kondisi
kendaraan
tidak
stabil
(kendaraaan
oleng/terbalik)
bersikaplah menunduk dan gunakan kedua tangan untuk berpegangan secara kuat pada bahu kursi di depan anda. Dilarang membuang sesuatu apapun keluar kendaraan selama perjalanan. Pada saat anda merasa akan buang air kecil maupun besar segera beritahukan kepada kru kendaraan agar dicarikan tempat pemberhentian. Ingatlah teman yang duduk di depan anda dan pastikan tidak tertinggal sebelum kendaraan menuju lokasi yang baru, dan segera beritahu panitia apabila ada yang tertinggal. 3) Selama di lapangan Apabila mengamati singkapan di pinggir jalan, pastikan posisi aman dari kendaraan yang melaju, setidaknya 2 meter dari bahu jalan. Perhatikan kemungkinan jatuhnya tebing di lokasi pengamatan. Cari lokasi yang terlindung dan tidak licin. Pada saat mengambil contoh batuan pastikan teman-teman anda pada jarak yang aman terhadap kemungkinan terkena pecahan batuan atau terlepasnya palu (setidaknya berjarak 2 meter) dan pada saat menggunakan palu pastikan tidak ada teman di belakang anda. Selama di lapangan pastikan minum yang cukup untuk menghindari dehidrasi. Apabila menjumpai kasus darurat segera ditangani dan berikan pertolongan pertama, namun apabila kasus berat segera beitahukan kepada panitia agar segera dibawa ke rumah sakit terdekat. Apabila anda tertinggal oleh rombongan segera hubungi panitia dan sebutkan lokasi anda secara jelas. Pastikan tidak ada peralatan yang tertinggal sebelum meninggalkan lokasi pengamatan.
Panduan EGR 2015/2016
5
BAB II FISIOGRAFI
Ekskursi Geologi Regional 2015/2016 kali ini akan melalui beberapa zona fisiografi regional yang mengacu pada publikasi Pannekoek (1949) dan Van Bemmelen (1949). Fisiografi regional yang akan dilalui adalah Zona Solo, Zona Pegunungan Kendeng, Zona Depresi Randublatung, Zona Pegunungan Rembang, dan Zona Pesisir Utara Jawa. Setiap zona memiliki karakteristik geomorfologi, stratigrafi, dan tektonik tersendiri. Penjelasan mengenai tiap-tiap zona tersebut akan diuraikan pada beberapa sub-bab di bawah ini.
Dataran Pesisir Utara Zona Rembang Zona Kendeng
Zona Randublatung
Zona Solo Zona Pegunungan Selatan
5o km
Gambar 2.1. Zonasi fisiografi Pulau Jawa bagian tengah dan timur (pembagian mengikuti Pannekoek, 1949; van Bemmelen, 1949).
II.1. ZONA PEGUNUNGAN SELATAN (JAWA TIMUR) Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur merupakan rangkaian pegunungan yang berada di sisi selatan Pulau Jawa di bagian timur dan memanjang relatif berarah timur-tenggara - barat-baratlaut (TTg - BBL), mulai dari Parangtritis hingga Ujung Purwo dengan lebar yang tidak selalu sama. Berdasarkan pada derajat kekasaran permukaan atau tingkat keterbikuan (dissection) morfologi Pegunungan Selatan dapat dipisahkan menjadi dua tipe, yaitu relief halus dengan derajat Panduan EGR 2015/2016
6
keterbikuan rendah dan relief kasar dengan derajat keterbikuan tinggi (Gambar 2.2). Permukaan dengan relief kasar dibentuk oleh batuan volkanik Tersier yang mengalami erosi dalam jangka waktu sangat lama, semenjak Miosen Tengah. Karena pengaruh penyesaran bongkah, sebagian kompleks volkanik Tersier tersebut mengalami penurunan dan tertutupi oleh batugamping Neogen, yang kemudian menjadikan permukaan daerah tersebut berelief halus. G. Merapi
Solo G. Lawu
Madiun
Klaten
Jiwo Hills
Yogyakarta
Igir Plopoh
Igir Baturagung
Wonogiri
Igir Kambengan
S. Oyo
G. Wilis Ponorogo
Masif Wonosari Panggung Plato Wonosari Trenggalek
Topografi kars Gunung Sewu
Tulungagung Pacitan
25 km
Gambar 2.2. Fisiografi Pegunungan Selatan Jawa Timur. Perhatikan perbedaan derajat kekasaran permukaan morfologi Pegunungan Selatan antara sebelah barat Pacitan (Gunung Sewu) dan sebelah timurnya.
Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat oleh van Bemmelen (1949) dibagi lagi menjadi tiga satuan geomorfologi (Gambar 2.2). Paling selatan yang tersusun oleh perbukitan karst yang didominasi oleh kerucut karst (conical hills) dan langsung berbatasan dengan Samudera Hindia disebut sebagai Perbukitan Sewu. Sedangkan daerah yang berada di sebelah utaranya yang berupa dataran tinggi (plato) disebut sebagai Dataran Tinggi Wonosari (Plato Wonosari). Daerah paling utara dari Pegunungan Selatan yang tersusun oleh batuan vulkanik dengan kelerengan terjal hingga sedang disebut sebagai Igir Baturagung. Bagian utara dari Igir Baturagung berbatasan dengan Zona Solo. Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat merupakan suatu cekungan sedimenter gunungapi berumur Eosen Miosen Tengah yang ditutupi oleh berbagai fasies batugamping berumur Miosen Tengah - Pliosen, yang kemudian mengalami pengangkatan dan penyesaran
Panduan EGR 2015/2016
7
bongkah hingga kedudukannya relatif termiringkan ke arah selatan (Husein & Srijono, 2007). Sungai-sungai yang mengerosi Pegunungan Selatan umumnya mengalir ke selatan dan bermuara di Samudera Hindia. Igir-igir utara Pegunungan Selatan umumnya dierosi oleh sungai-sungai yang mengalir ke arah Zona Solo. Pengecualian terjadi di Pegunungan Selatan bagian barat, dimana sungai-sungai permukaan yang berhulu di Igir Baturagung dan mengalir ke selatan melalui Plato Wonosari kemudian melanjutkan perjalanannya di bawah permukaan kawasan kars Gunung Sewu sebagai jaringan sungai-sungai bawah tanah (sub-terranean drainage system). Kondisi pola penyaluran Pegunungan Selatan secara umum masih mengalir ke selatan demikian tidak mendukung hipotesis Lehmann (1936) yang menduga Pegunungan Selatan mengalami pengangkatan lebih kuat di bagian selatan (differential uplift) sehingga menyebabkan pembalikan arah aliran sungai permukaan menjadi ke arah utara, dengan contoh kasus Lembah Bengawan Solo Purba
di
daerah
Sadeng
-
Giritontro.
Husein
dan
Srijono
(2007)
menginterpretasikan bahwa Lembah Bengawan Solo Purba tersebut terbentuk akibat perompakan aliran (stream piracy) akibat penyesaran bongkah pada tepi selatan Depresi Baturetno (Husein & Srijono, 2007).
II.2. ZONA SOLO Zona Solo (sensu latto - secara luas) merupakan suatu depresi (cekungan antara dua lajur pegunungan) memanjang di bagian tengah (median) Pulau Jawa, berarah TTg-BBL, terhampar dari Solo hingga Banyuwangi. Zona Solo (sensu latto) dapat dibagi menjadi tiga subzona (van Bemmelen, 1949), mulai dari paling utara hingga selatan (Gambar 2.3), yaitu : 1) Subzona Ngawi, merupakan lajur depresi yang ada di antara Perbukitan Kendeng dan busur gunungapi sekarang. Zona Ngawi ini terbentuk sebagai dataran banjir sungai-sungai Bengawan Solo, Bengawan Madiun, dan Brantas. 2) Subzona Solo (sensu stricto), merupakan lajur depresi di antara deretan gunung api sekarang (intermontane plains).
Panduan EGR 2015/2016
8
3) Subzona Blitar, merupakan lajur depresi yang berada di antara deretan gunungapi
sekarang
hingga
berbatasan
dengan
Pegunungan
Selatan.
Pembentukan Zona Blitar ini dipengaruhi oleh tektonik Pegunungan Selatan, dimana penyesaran bongkah Pegunungan Selatan di Tulungagung - Blitar terbentuk cukup jauh dari posisi kemunculan busur gunungapi modern (G. Kelud - G. Kawi), sehingga terbentuk depresi struktural yang kemudian diisi dataran banjir S. Brantas. Zona Kendeng Ngawi
G. Merbabu
Zona Ngawi
Solo
G. Merapi Klaten
Sidoarjo
G. Pandan
Nganjuk
Zona Solo
Madiun
G. Lawu
G. Arjuna Wonogiri
G. Wilis
Kediri
Ponorogo
G. Kelud
Wonosari
Zona Pegunungan Selatan Pacitan
Trenggalek
Malang G. Kawi
Zona Blitar
Tulungagung
Blitar
40 km
Gambar 2.3. Fisiografi Zona Solo, yang terbagi menjadi 3 sub-zona. Perhatikan Zona Blitar hanya berkembang di bagian selatan G. Kelud.
Saat ini, Zona Solo merupakan cekungan sedimenter aktif dengan sistem fluvial yang menerima pasokan sedimen dari busur gunungapi, Zona Pegunungan Selatan, dan Zona Perbukitan Kendeng. Beberapa sungai besar mengalir melalui Zona Solo dan mengendapkan sedimennya di zona ini, antara lain: Sungai Bengawan Solo, Sungai Bengawan Madiun (yang kemudian bergabung dengan Bengawan Solo di Kota Ngawi), dan Sungai Brantas. Di ujung perjalanannya, sungaisungai tersebut membentuk delta-delta besar di pesisir Surabaya dan Gresik.
II.3. ZONA PERBUKITAN KENDENG Zona Kendeng meliputi deretan pegunungan dengan arah memanjang timur - barat
(T-B) yang terletak langsung di sebelah utara Subzona Ngawi.
Pegunungan ini tersusun oleh batuan sedimen laut yang telah mengalami deformasi Panduan EGR 2015/2016
9
secara intensif membentuk suatu antiklinorium (rangkaian perbukitan antiklin kecil yang tersusun secara paralel dan membentuk struktur antiklin lebih besar). Pegunungan ini mempunyai panjang 250 km dan lebar maksimum 40 km (de Genevraye & Samuel, 1972) membentang dari Gunungapi Ungaran di bagian barat ke timur melalui Ngawi hingga daerah Mojokerto (Gambar 2.4). Di bawah permukaan, kelanjutan zona ini masih dapat diikuti hingga di Selat Madura. Blora
Semarang Purwodadi
S. Lusi
G. Ungaran
Cepu
Bojonegoro
Lamongan
Gresik
Kendeng Barat Surabaya
Kendeng Timur
G. Telomoyo
G. Merapi
Solo
Mojokerto
Ngawi
Sragen
G. Merbabu
G. Pandan Nganjuk G. Lawu
Sidoarjo
Jombang 50 km
Madiun
Gambar 2.4. Fisiografi Zona Kendeng, yang terbagi menjadi 3 sub-zona, mengikuti van Bemmelen (1949). Semakin ke arah barat derajat deformasi semakin besar.
Ciri morfologi Zona Kendeng berupa rangkaian perbukitan rendah dengan morfologi bergelombang, dengan ketinggian berkisar antara 50 hingga 200 meter. Morfologi perbukitan yang berarah barat-timur ini mencerminkan adanya perlipatan dan sesar naik yang berarah barat-timur pula. Intensitas perlipatan dan anjakan yang mengikutinya mempunyai intensitas yang sangat besar
di
bagian barat dan berangsur melemah di bagian timur. Akibat adanya anjakan tersebut, batas dari satuan batuan yang bersebelahan sering merupakan batas sesar. Lipatan dan anjakan yang disebabkan oleh gaya kompresi juga berakibat terbentuknya retakan, sesar dan zona lemah lainnya pada arah tenggara baratlaut (Tg-BL), barat daya-timur laut (BD-TL) dan utara- selatan (U-S). Di bagian tengah Zona Kendeng, yaitu di baratlaut Nganjuk, sabuk Antiklinorium Kendeng diterobos oleh tubuh Gunungapi Pandan yang berumur Pleistosen Awal (Lunt et al., 1998). Meski demikian, pola struktur perlipatan Kendeng di sekitar Gunung Pandan yang mengalami pembelokan relatif simetris terhadap tubuh gunungapi tersebut mengindikasikan bila volkanismenya terjadi bersamaan dengan proses pengangkatan tektonis Kendeng (Pliosen Akhir). Ditinjau dari jarak relatif terhadap deretan busur gunungapi dan palung subduksi, Gunungapi Pandan berada satu deretan dengan Gunungapi Ungaran, yaitu Panduan EGR 2015/2016
10
menempati posisi volkanisme belakang busur dekat (near back-arc). Gunungapi Ungaran juga mulai aktif pada waktu bersamaan dengan Gunungapi Pandan, yaitu Pleistosen Awal (Van Bemmelen, 1949). Proses eksogenik yang berupa pelapukan dan erosi pada daerah ini berjalan sangat intensif, selain karena iklim tropis juga karena sebagian besar litologi penyusun Zona Kendeng adalah batulempung-napal-batupasir yang mempunyai kompaksitas rendah, misalnya pada Formasi Pelang, Formasi Kerek dan Formasi Kalibeng yang total ketebalan ketiganya mencapai lebih dari 2000 meter. Proses eksogenik yang intensif juga mampu membalik topografi struktural yang ada (inversed topography), misalkan bukit antiklin menjadi lembah antiklin dan lembah sinklin menjadi bukit sinklin. Karena proses pengangkatan tektonik yang terus berjalan mulai dari akhir zaman Tersier hingga sekarang (Husein dkk., 2008a), banyak dijumpai teras-teras sungai di Zona Kendeng yang menunjukkan adanya perubahan temporary base level. Sungai utama yang mengalir melalui Zona Kendeng adalah Bengawan Solo yang sebelumnya mengaliri Subzona Ngawi dengan arah aliran barat - timur. Di Kota Ngawi Bengawan Solo berbelok ke utara, memotong sabuk antiklinorium Kendeng yang lebarnya 15 km seraya tetap mempertahankan arah alirannya. Fenomena bertahannya Bengawan Solo terhadap proses pengangkatan tektonik Kendeng menyebabkannya dapat dikelompokkan sebagai sungai anteseden. Hubungan antara Zona Kendeng dengan Zona Solo pun menarik untuk diperhatikan lebih lanjut. Ciri khas fisiografi Jawa Timur adalah berkembangnya dataran aluvium berarah relatif timur-barat diantara tubuh busur gunungapi modern dengan Perbukitan Kendeng, yang dikenal sebagai Zona Ngawi. Pola fisiografi demikian hanya berkembang hingga bagian utara G. Lawu (Gambar 2.4). Ke arah barat dimana deretan G. Merapi – G. Ungaran memanjang berarah baratlaut-tenggara pola ini tidak terlihat, dimana perbukitan lipatan Kendeng muncul di kaki timur mereka tanpa adanya gap dataran aluvium. Berdasarkan perbedaan fisiografis tersebut, diusulkan agar delineasi batas barat Zona Kendeng ditarik berdasarkan pelamparan Zona Ngawi, yaitu pada lembah Gemolong – Purwodadi yang merupakan bagian dari cekungan DAS Serang. Ke arah barat dari lembah tersebut, zona perbukitan lipatan dan sesar anjak yang berkembang di kaki Panduan EGR 2015/2016
11
G. Merapi – G. Ungaran dapat dianggap sebagai bagian dari Zona Serayu Utara. Secara tektonis memang terdapat perbedaan dalam hubungan antara gunungapi modern dengan sabuk lipatan-anjak pada Zona Kendeng dan Zona Serayu Utara. Proses deformasi sabuk lipatan-anjak Zona Serayu Utara sangat dipengaruhi oleh pembebanan tubuh gunungapi modern (van Bemmelen, 1949; Husein dkk., 2013), sedangkan pembentukan sabuk lipatan-anjak Zona Kendeng lebih disebabkan pemendekan cekungan secara regional akibat adanya rotasi Sundaland (Husein & Nukman, 2015).
II.4. ZONA DEPRESI RANDUBLATUNG Zona Randublatung merupakan suatu depresi atau lembah memanjang yang berada di antara Perbukitan Kendeng dan Perbukitan Rembang. Zona ini mencakup daerah Purwodadi, Cepu, Bojonegoro, Lamongan, Gresik, dan Surabaya. Van Bemmelen (1949) menduga Depresi Randublatung terbentuk sebagai daerah amblesan (subsidence), bagian dari kesetimbangan isostasi regional ketika Perbukitan Rembang dan Perbukitan Kendeng mengalami pengangkatan tektonis di akhir Tersier. Hipotesis van Bemmelen tersebut tampaknya hanya berlaku untuk Zona Randublatung bagian barat saja, yang membentang dari Purwodadi hingga Randublatung, yang secara fisiografis memang membentuk depresi sempit terapit dua lajur perbukitan (Gambar 2.5). Adapun fisiografi Zona Randublatung bagian timur yang membentang dari Randublatung hingga pesisir Gresik dan Surabaya, ditandai dengan kemunculan banyak antiklin terisolir, seperti Dander, Pegat, Ngimbang, Sekarkorong, dan Lidah. Secara struktur, pola perlipatan antiklinantiklin tersebut masih mengikuti pola lipatan Zona Kendeng. Hal ini menunjukkan proses isostasi negatif bukanlah faktor utama dalam pembentukan Zona Randublatung, dan terdapat pula faktor tektonik kompresif dalam pembentukan zona tersebut, sebagaimana yang terjadi di Zona Kendeng. Sebagai sebuah depresi tektonis, sedimentasi Zona Randublatung terus aktif semenjak akhir Tersier hingga sekarang, dengan menerima pasokan sedimen dari Perbukitan Kendeng maupun Perbukitan Rembang. Sistem pengaliran permukaan (drainage system) di zona ini terbagi dua, yaitu Sistem Lusi di bagian barat dan Panduan EGR 2015/2016
12
Sistem Bengawan Solo di bagian timur. Di bagian barat, sedimentasi dilakukan oleh Sungai Lusi, yang kemudian bergabung dengan Sungai Serang, membentuk Delta Serang yang dengan cepat menjadikan pesisir utara Pulau Jawa sebagai pantai maju. Demikian juga di bagian timur, di mana Sungai Bengawan Solo terus mengalir ke arah timur dan bergabung dengan pesisir utara Pulau Jawa sebagai delta di Ujung Pangkah. Kudus
Ujung Pangkah
G. Butak
Zona Randublatung
Antiklinorium Rembang Utara
Tuban
Blora Antiklinorium
Semarang Purwodadi
S. Lusi
G. Ungaran
Rembang Selatan
Cepu Antiklin Randublatung Dander
ZONA KENDENG
Bojonegoro Antiklin Ngimbang
Lamongan Antiklin Antiklin Sekarkorong Pegat Gresik Antiklin Lidah
50 km
Surabaya
Gambar 2.5. Fisiografi Zona Randublatung dan Zona Rembang. Bagian timur Zona Randublatung ditandai munculnya beberapa perbukitan antiklin terisolasi.
II.5. ZONA PERBUKITAN REMBANG Perbukitan Rembang merupakan suatu perbukitan antiklinorium yang memanjang dengan arah timur-barat (T-B) di sisi utara Pulau Jawa. Zona ini membentang dari bagian utara Purwodadi hingga ke Pulau Madura. Lipatan-lipatan dengan sumbu memanjang berarah timur-barat, dengan panjang dari beberapa kilometer hingga mencapai 100 km (Antiklin Dokoro di utara Grobogan). Zona Rembang terbagi menjadi dua, yaitu Antiklinorium Rembang Utara dan Antiklinorium Rembang Selatan (Van Bemmelen, 1949). Antiklinorium Rembang Selatan juga dikenal sebagai Antiklinorium Cepu. Kedua zona antiklinorium tersebut dipisahkan oleh lembah aliran Sungai Lusi di bagian barat, dan lembah aliran Sungai Kening (anak sungai Bengawan Solo) di bagian timur (Gambar 2.5). Perbukitan lipatan di Zona Rembang umumnya tersusun secara en-echelon ke arah kiri (left-stepping), mengindikasikan kontrol patahan batuan alas (basement faults) geser sinistral berarah timur-timurlaut - barat-baratdaya (TTL-BBD) yang membentuk antiklinorium Rembang tersebut (Husein et al., 2015). Pola ini dapat diamati pada rangkaian perbukitan deretan Antiklin Dokoro hingga Antiklin Lodan (baratlaut Tuban) di Zona Rembang bagian utara, dan rangkaian perbukitan
Panduan EGR 2015/2016
13
deretan Antiklin Gabus (baratlaut Randublatung) hingga Antiklin Ledok (utara Cepu). Sebagaimana Zona Kendeng, Perbukitan Rembang juga diterobos oleh sebuah gunungapi tua berumur Pleistosen Bawah (Lunt et al., 1998), yaitu Gunung Butak (tenggara Rembang). Gunungapi Butak muncul tepat pada kelurusan sumbu Antiklin Brama yang menyingkapkan Formasi Ngrayong berusia Miosen Tengah. Namun berbeda dengan Gunungapi Pandan di Zona Kendeng yang diduga muncul bersamaan dengan aktifitas tektonisme pengangkatan Kendeng dan mempengaruhi pembentukan struktur perlipatan, Gunungapi Butak diduga muncul setelah proses tektonisme pengangkatan Rembang dan tidak mempengaruhi pembentukan Antiklinorium Rembang. Hal ini dapat dilihat dari pola perlipatan di sekitar gunungapi tersebut yang tidak mengalami pembelokan atau perubahan dari sumbu antiklin regionalnya. Vulkanisme Butak diinterpretasikan bersamaan dan berhubungan dengan vulkanisme Lasem, dimana keduanya berada dalam satu kelurusan utara-selatan (U-S). Proses erosi permukaan tidak seintensif Zona Kendeng, sehingga pembalikan topografi tidak lazim dijumpai di zona ini. Hal ini disebabkan oleh litologi penyusun Zona Rembang didominasi batugamping yang bersifat lebih resisten terhadap erosi. Proses pengelupasan (denudasi) di Zona Rembang hanya dilakukan oleh sungai-sungai kecil yang bermuara langsung ke pesisir utara Pulau Jawa, sehingga tidak terbentuk delta-delta yang cukup signifikan di kawasan tersebut.
II.6. ZONA PESISIR UTARA Zona Pesisir Utara di bagian barat Jawa Timur memiliki karakter fisiografi yang unik, ditandai dengan kehadiran gunungapi Muria dan Lasem, yang diduga merupakan gunungapi belakang busur (back-arc volcanism). Dataran pesisir ini dibentuk terutama oleh sedimentasi Sungai Serang dan Sungai Tuntang (Gambar 2.6). Sungai Serang mengerosi perbukitan Zona Kendeng hingga menjulur jauh hulunya ke lereng timur G. Merbabu. Sungai Serang juga menerima pasokan sedimen dari Sungai Lusi - keduanya bertemu di sebelah barat Purwodadi - yang Panduan EGR 2015/2016
14
selain mengerosi Perbukitan Kendeng turut pula membiku Perbukitan Rembang. Sungai Tuntang memiliki luasan cekungan pengaliran yang lebih kecil dibandingkan Serang, ianya menggerus bebatuan Perbukitan Kendeng bagian barat dan berhulu di Rawa Pening, sebuah genangan alamiah yang mengumpulkan air dari G. Telomoyo. Kedua sungai tersebut tercatat menutup selat laut yang besar, yang dikenal sebagai Selat Muria. Selat Muria ini memisahkan Pulau Muria, sebagai sebuah pulau gunungapi, dengan daratan utama Jawa. Berdasarkan dugaan atas catatan sejarah (Soekmono, 1967), garis pantai pesisir utara Jawa Tengah dahulu pada abad ke-8 masih menjorok ke arah Purwodadi, dimana pusat Kerajaan Medang Kamulan berada. Selanjutnya pada abad ke-16 di era keemasan Kesultanan Demak, garis pantai diduga telah bergeser ke kota Demak saat ini (Gambar 2.7). Sehingga, pergerakan majunya garis pantai sejauh 30 km terjadi dalam kurun waktu sekitar 800 tahun, dengan kecepatan sedimentasi rerata 40 m/tahun. Hingga saat ini muara kedua sungai tersebut masih aktif dalam sedimentasi yang mendorong maju garis pesisir antara Jepara dan Semarang, dicirikan tipe morfologi delta bird's foot. Di sisi lain, jejak Selat Muria yang mendangkal dan berubah menjadi daratan aluvial tersebut juga membentuk aliran Sungai Juwana, yang mengalir ke arah timurlaut melintasi Pati dan membentuk delta tipe cuspate di sebelah barat Rembang.
G. Genuk
G. Muria Jepara
20 km
G. Patiayam
Pati
Rembang
G. Lasem
Kudus Demak
ZONA REMBANG Semarang
S. Lusi
Gambar 2.6. Fisiografi Zona Pesisir Utara Jawa Timur bagian barat, ditandai dengan kehadiran dua gunungapi belakang busur, G. Muria dan G. Lasem. Panduan EGR 2015/2016
15
Gambar 2.7. Perubahan morfologi pesisir utara Jawa Timur bagian barat, akibat laju sedimentasi Delta Serang dan Delta Tuntang.
Panduan EGR 2015/2016
16
BAB III STRATIGRAFI Pada bagian ini akan dibahas mengenai stratigrafi dari masing-masing zona fisiografi, yaitu Pegunungan Selatan, Kendeng, dan Rembang (Gambar 3.1). Adapun Zona Solo dan Zona Randublatung sebagai zona depresi umumnya mengacu pada zona perbukitan atau pegunungan di dekatnya. Stratigrafi Zona Solo umumnya didekati dari stratigrafi Zona Kendeng. Stratigrafi Zona Randublatung didekati dari stratigrafi Zona Rembang.
Gambar 3.1. Kolom stratigrafi komposit Jawa Timur.
Panduan EGR 2015/2016
17
III.1. STRATIGRAFI REGIONAL PEGUNUNGAN SELATAN Menurut beberapa peneliti terdahulu (van Bemmelen, 1949; Sumosusastro, 1956; Surono dkk, 1992; Jurusan Teknik Geologi FT UGM, 1994; Novian drr., in prep.;) urutan stratigrafi daerah ini dari yang paling tua hingga yang paling muda adalah sebagai berikut: 1) Batuan malihan Batuan tertua yang tersingkap di daerah ini adalah batuan malihan yang diduga berumur Kapur-Paleosen Awal. Satuan ini terdiri dari filit, sekis mika, sekis calc-silicate, dan pualam. Di bagian barat Perbukitan Jiwo dijumpai singkapan sekis epidote-glaucophane berdekatan dengan serpentinit. Beberapa batuan karbonat terubah menjadi batuan metamorfik kontak berupa garnet-wollastonite skarn disebabkan adanya intrusi diabas. 2) Formasi Wungkal-Gamping Di atas batuan malihan diendapkan secara tidak selaras Formasi Wungkal - Gamping yang tersusun Anggota Wungkal dan Anggota Gamping. Anggota Wungkal tersusun oleh konglomerat kuarsa, breksi polimik, batupasir kuarsa, batupasir karbonatan, batulanau karbonatan dan sisipan batugamping nummulites berumur Eosen Awal-Tengah. Di bagian atas diendapkan secara menjari Anggota Gamping berupa sandy Numulitic limestone dengan Nummulitic rudstone – floatstone pada bagian bawah, kemudian pada bagian atas tersusun oleh perselingan micritic sandstone dengan quartz arenite dan Nummulitic rudstone–floatstone. Asosiasi foraminifera besar tersebut menunjukkan umur Eosen Tengah – Eosen Akhir. Lingkungan pengendapan anggota ini berada pada daerah fore reef hingga fore slope pada paparan karbonat. 3) Formasi Kebo-Butak Formasi Wungkal – Gamping berubah secara gradasional menjadi Formasi Kebo-Butak. Bagian bawah Formasi Kebo-Butak terdiri dari perselingan batupasir dengan batupasir kerikilan, dengan sisipan batulanau, batulempung, tuf dan serpih (Surono, 2008). Bagian tengah formasi ini
Panduan EGR 2015/2016
18
terdiri dari batupasir kerikilan. Sedangkan bagian atasnya terdiri dari perselingan
breksi
polimik
dengan
batupasir,
batupasir
kerikilan,
batulempung, dan batulanau / serpih. Breksi polimik memiliki ukuran fragmen dari kerikil – bongkah, berupa andesit, basal, batuan sedimen karbonan dan kuarsa serta beberapa fragmen yang telah mengalami alterasi berubah menjadi klorit berwarna hijau. Lava basalt berstruktul bantal dijumpai menyisip di beberapa tempat pada bagian bawah formasi ini (Husein & Sari, 2011). Selain itu dijumpai intrusi batuan beku berupa diorit, dolerit, andesit porfir dan basalt di daerah Perbukitan Jiwo yang bertarikh Oligosen Akhir (Surono drr, 2006). 4) Formasi Semilir Selaras (setempat menjari) di atas Formasi Kebo-Butak terendapkan Formasi Semilir yang berumur Oligosen Akhir - Miosen Awal. Formasi ini terdiri dari lapili tuf, batupasir tufan, breksi autoklastik dan breksi polimik semakin keatas muncul perlapisan batupasir tufan karbonatan. Pada bagian bawah Formasi Semilir juga dijumpai sisipan lava andesit yang tersingkap di sekitar Wukirharjo, Prambanan. Pada jalur Kali Ngalang Formasi Semilir secara selaras berubah menjadi Anggota Buyutan yang berumur Miosen Awal (Novian drr., 2012). Bagian bawah Anggota Buyutan tersusun atas perselingan batupasir tufan dengan batulanau dan batubara serta dibeberapa bagian disisipi oleh breksi vulkanik. Pada bagian atas Anggota Buyutan terdiri dari perselingan batupasir tufan dengan konglomerat serta terdapat sisipan batulanau yang kaya akan karbon. Beberapa peneliti menunjukkan umur dan stratigrafi yang berbeda dari Formasi Semilir (Surono, 2008). Foraminifera pada bagian tengah menunjukkan umur Oligosen Akhir – Miosen Awal (Rahardjo dkk., 1995) Miosen Awal hingga Miosen Tengah (Sumarso dan Ismoyowati, 1975; van Gorsel et al., 1989; Samodra dkk., 1992). Smyth (2005) dengan menggunakan metode U-Pb mendapatkan umur 20 juta tahun yang lalu atau sekitar Miosen Awal. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah lingkungan darat – laut.
Panduan EGR 2015/2016
19
5) Formasi Nglanggran Di bagian barat Kali Ngalang Formasi Semilir tertindih selaras oleh Formasi Nglanggran. Di beberapa tempat Formasi Semilir dan Nglanggran ini berhubungan menjari. Formasi Nglanggran terdiri dari konglomerat polimik, batupasir kerikilan, batupasir tufan, breksi andesit dengan sisipan tuf dan lava andesit basalt. Dijumpai juga intrusi mikrodiorit/andesit yang memotong Formasi Nglanggeran pada daerah Wediombo. Umur Formasi Nglanggran dan intrusi mikrodiorit/ andesit adalah Miosen Awal. 6) Formasi Sambipitu Selaras menindih di atas Formasi Nglanggran diendapkan Formasi Sambipitu. Formasi Sambipitu tersusun atas perselingan batupasir karbonatan dengan batulanau, dan perulangan batupasir karbonatan pada bagian atas yang berumur. Di daerah Ngalang Formasi Sambipitu tersusun oleh micritic tuff dengan tuffaceous mudrocks serta pada beberapa bagian terdapat sisipan allochemic conglomerate, muddy allochemic limestone, rudstone dan tuff. Kemudian semakin ke atas keberadaan sisipan batugamping semakin banyak. Formasi ini berumur tengah Miosen Awal – awal Miosen Tengah. 7) Formasi Oyo Di atas formasi ini secara menjari diendapkan Formasi Oyo berumur Miosen Tengah yang terdiri dari perselingan muddy allochem limestone dengan sisipan tuffaceous sandstone pada bagian bawah. Kemudian pada bagian atas dijumpai perselingan foraminiferal lime packstone, algal foraminiferal lime packstone, dan foraminiferal lime wackestone. Berdasarkan data biofacies menurut Hidayat (2005), paleobatimetri formasi ini pada bathyal atas – bawah. 8) Formasi Wonosari Bagian atas Formasi Oyo menjari dengan Formasi Wonosari. Formasi Wonosari terdiri dari perselingan batugamping dengan batugamping pasiran, batugamping berlapis, batugamping dengan sisipan batupasir karbonatan, perselingan batugamping dengan batupasir karbonatan, serta batugamping silangsiur yang berumur Miosen Tengah awal Pliosen.
Panduan EGR 2015/2016
20
Di Perbukitan Jiwo, Formasi Wonosari tersusun atas perselingan packstone-wackestone dengan napal pada bagian bawah ke arah atas berubah menjadi perselingan packstone dengan sisipan rudstone dan tuf dengan umur Miosen Tengah – Akhir. Berdasarkan data foraminifera besar tersebut maka umur formasi ini berkisar antara Akhir Miosen Bawah hingga Awal Miosen Tengah (Fadhilestari, 2011). Kemudian lingkungan pengendapan Formasi ini berada pada reef platform margin antara back reef hingga reef front. 9) Formasi Kepek Bagian atas Formasi
Wonosari menjemari dengan Formasi Kepek.
Formasi Kepek pada bagian bawah tersusun oleh perselingan tuf dengan batulempung dengan tebal 1,5 m kemudian batupasir tufan dengan ketebalan sekitar 1 m, ke atas diendapkan perulangan bindstone yang berseling dengan bafflestone serta framestone dengan tebal 15 – 20 m, kemudian di bagian tengah formasi ini tersusun oleh perselingan wackestone dengan floatstone yang secara perlahan berubah menjadi perselingan packstone dengan rudstone pada bagian atas, setempat ditemukan sisipan sandy micrite dan muddy micrite kemudian bagian paling atas dari formasi ini tersusun oleh perselingan packstone dan grainstone. Fosil foraminifera kecil yang terdapat dalam formasi ini adalah Orbulina unuversa, sedangkan foraminifera besarnya
antara
lain
Lepidocyclina,
Operculina,
dan
Amphistegina,
berdasarkan keberadaan fosil tersebut umur formasi ini berkisar antara N9 – N17. Kemudian foraminifera bentonik yang terkandung dalam formasi ini antara lain Bulimina striata dan Sphaerodinella bulloides yang menunjukkan paleobatimetri batial tengah. 10) Endapan Kuarter Produk fluvio-vulkanik endapan Merapi Muda mengisi Graben Yogyakarta dan dataran di sekitarnya. Dataran di bagian utara Gunung Baturagung telah terisi oleh material fluvio-vulkanik yang dihasilkan sejak Pleistosen hingga saat ini.
Panduan EGR 2015/2016
21
III.2. STRATIGRAFI REGIONAL PERBUKITAN KENDENG Acuan utama dalam menyusun stratigrafi Kendeng adalah publikasi de Genevraye & Samuel (1972) dan Pringgoprawiro (1983). Stratigrafi penyusun Zona Kendeng merupakan endapan laut dalam di bagian bawah yang semakin ke atas berubah menjadi endapan laut dangkal dan akhirnya menjadi endapan nonlaut. Endapan di Zona Kendeng merupakan endapan turbidit klastik, karbonat dan vulkaniklastik. 1) Formasi Pelang Formasi ini dianggap sebagai formasi tertua yang tersingkap di Mandala Kendeng. Formasi ini tersingkap di Desa Pelang, Selatan Juwangi. Tidak jelas keberadaan bagian atas maupun bawah dari formasi ini karena singkapannya pada daerah upthrust, berbatasan langsung dengan formasi Kerek yang lebih muda. Dari bagian yang tersingkap tebal terukurnya berkisar antara 85 meter hingga 125 meter. Litologi utama penyusunnya adalah napal,
napal
lempungan dengan lensa kalkarenit bioklastik yang banyak
mengandung fosil foraminifera besar. 2) Formasi Kerek Formasi
Kerek
memiliki
kekhasan
dalam
litologinya
berupa
perulangan perselang-selingan batulempung, napal, batupasir tuf gampingan dan batupasir tufan. Perulangan ini menunjukkan struktur sedimen yang khas yaitu perlapisan bersusun (graded bedding). Lokasi tipenya berada di Desa Kerek, tepi sungai Bengawan Solo, ± 8 km ke utara Ngawi. Di daerah sekitar lokasi tipe formasi ini terbagi menjadi tiga anggota, dari tua ke muda masing-masing: a. Anggota Banyuurip Anggota
Banyuurip
tersusun
oleh
perselingan
antara
napal
lempungan, lempung dengan batupasir tuf gampingan dan batupasir tufaan dengan total ketebalan 270 meter. Di bagian tengahnya dijumpai sisipan batupasir gampingan dan tufaan setebal 5 meter, sedangkan bagian atasnya ditandai dengan adanya perlapisan kalkarenit pasiran setebal 5 meter dengan sisipan tuf halus. Anggota ini berumur N10 – N15 (Miosen tengah Panduan EGR 2015/2016
22
bagian atas). b. Anggota Sentul Anggota Sentul tersusun atas perulangan yang hampir sama dengan anggota Banyuurip, tetapi lapisan yang bertuf menjadi lebih tebal. Ketebalan anggota Sentul mencapai 500 meter. Anggota Sentul berumur N16 (Miosen atas bagian bawah). c. Anggota Batugamping Kerek Merupakan anggota teratas dari formasi Kerek, tersusun oleh perselingan antara batugamping tufaan dengan perlapisan lempung dan tuf. Ketebalan anggota ini mencapai 150 meter. Umur batugamping kerek ini adalah N17 (Miosen atas bagian tengah). 3) Formasi Banyak Formasi Banyak hanya dijumpai di Zona Kendeng bagian barat, paling tebal di sekitar Ungaran. Formasi ini terdiri dari perselingan antara tuf, batupasir tuf, breksi tuf gampingan, breksi volkanik, dan napal tufan yang kaya akan globigerina, sedangkan komposisi batuan volkaniknya adalah andesitan (van Bemmelen, 1949). Struktur sedimen berupa lapisan bersusun (graded bedding) dan laminasi paralel, yang menunjukkan adanya arus turbid. Hubungannya dengan Formasi Kerek di bawahnya adalah selaras, dan berhubungan melidah atau menyilang jari dengan Formasi Kalibeng. Sering pula dikenal sebagai anggota dalam Formasi Kalibeng (de Genevraye & Samuel, 1972). Van Bemmelen (1949) menetapkan umur Miosen Atas untuk Formasi Banyak berdasarkan keterdapatan Lepidocyclina. Pringgoprawiro memberikan umur N17-N18 (Miosen Atas) berdasarkan kandungan foraminifera plankton, dengan lingkungan sedimentasi neritik luar. 4) Formasi Kalibeng Formasi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian bawah dan bagian atas. a. Formasi Kalibeng bagian bawah Bagian bawah formasi Kalibeng tersusun oleh napal tak berlapis setebal 600 meter, berwarna putih kekuning-kuningan sampai abu-abu kebiruPanduan EGR 2015/2016
23
biruan, kaya akan kandungan foraminifera plangtonik. Ke arah timur di sekitar Gunung Pandan, bagian atas formasi ini berkembang sebagai endapan vulkanik laut yang menunjukkan struktur turbidit, disebut sebagai Anggota Atasangin. b. Formasi Kalibeng bagian atas Bagian atas dari formasi ini kadang disebut pula sebagai Formasi Sonde, berumur Pliosen (N19 – N21), yang tersusun mula-mula oleh Anggota Klitik yaitu kalkarenit putih kekuning-kuningan, lunak, mengandung foraminifera plangtonik maupun besar, moluska, koral, algae dan bersifat napalan atau pasiran dengan berlapis baik. Bagian paling atas tersusun atas breksi dengan fragmen gamping berukuran kerikil dan semen karbonat. Kemudian disusul endapan napal pasiran, semakin keatas napalnya bersifat semakin bersifat lempungan. Bagian teratas ditempati oleh lempung berwarna hijau kebiru-biruan. Formasi Sonde ini ditemukan sepanjang sayap lipatan bagian selatan antiklinorium Kendeng dengan ketebalan berkisar 27 – 589 meter dan 5) Formasi Pucangan Formasi Pucangan ini mempunyai penyebaran yang cukup luas. Di daerah Sangiran, Formasi Pucangan berkembang sebagai fasies vulkanik dan fasies lempung hitam. Fasies vulkaniknya berkembang sebagai endapan lahar yang menumpang diatas Formasi Kalibeng. Fasies lempung hitamnya berkembang dari fasies laut, air payau hingga air tawar. Di bagian bawah dari lempung hitam ini sering dijumpai adanya fosil diatomae dengan sisipan lapisan tipis yang mengandung foraminifera bentonik penciri laut dangkal. Semakin ke atas akan menunjukkan kondisi pengendapan air tawar yang dicirikan dengan adanya fosil moluska penciri air tawar. 6) Formasi Kabuh Formasi ini mempunyai lokasi tipe di Desa Kabuh, Kec. Kabuh, Jombang. Formasi ini tersusun oleh batupasir dengan material non vulkanik antara lain kuarsa, berstruktur silang siur dengan sisipan konglomerat, mengandung moluska air tawar dan fosil-fosil vertebrata. Di daerah Kendeng barat formasi Panduan EGR 2015/2016
24
ini tersingkap di kubah Sangiran sebagai batupasir silang siur dengan sisipan konglomerat dan tuf setebal 100 meter. Batuan ini diendapkan fluvial dimana terdapat struktur silang siur, maupun merupakan endapan danau karena terdapat moluska air tawar seperti yang dijumpai di Trinil. 7) Formasi Notopuro Formasi ini mempunyai lokasi tipe di Desa Notopuro, timurlaut Saradan, Madiun yang saat ini telah dijadikan waduk. Formasi ini terdiri atas batuan tuf berselingan dengan batupasir tufaan, breksi lahar dan konglomerat vulkanik. Makin keatas sisipan batupasir tufaan semakin banyak. Sisipan atau lensa-lensa breksi volkanik dengan fragmen kerakal terdiri dari andesit dan batuapung juga ditemukan yang merupakan cirri formasi Notopuro. Formasi ini terendapkan secara selaras diatas formasi Kabuh, tersebar sepanjang Pegunungan Kendeng dengan ketebalan lebih dari 240 meter. Umur dari formasi ini adalah Plistosen Akhir dan merupakan endapan lahar di daratan. 8) Endapan Undak Bengawan Solo Endapan ini terdiri dari konglomerat polimik dengan fragmen napal dan andesit disamping endapan batupasir yang mengandung fosil-fosil vertebrata. di daerah Brangkal dan Sangiran, endapan undak tersingkap baik sebagai konglomerat dan batupasir andesit yang agak terkonsolidasi dan menumpang di atas bidang erosi pada Formasi Kabuh maupun Notopuro.
III.3. STRATIGRAFI REGIONAL PERBUKITAN REMBANG Stratigrafi
zona
Rembang
mengikuti
skema
yang
disusun
oleh
Pringgoprawiro (1983). Berdasarkan data bawah permukaan dari eksplorasi hidrokarbon di kawasan ini, satuan stratigrafi yang tertua di atas batuan dasar adalah Formasi Ngimbang. Namun formasi ini tidak tersingkap di permukaan. 1) Formasi Kujung Formasi Kujung merupakan satuan stratigrafi tertua yang tersingkap, terutama tersusun oleh batulempung dengan sisipan batugamping dan
Panduan EGR 2015/2016
25
batupasir, terutama di bagian bawah. Batugamping di bagian bawah ini sering disebut sebagai Batugamping Kranji. Formasi ini diendapkan lingkungan paparan tengah hingga paparan luar. 2) Formasi Prupuh Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Prupuh, Kecamatan Paciran, dengan stratotipe berupa batugamping bioklastik berlapis tebal, keras, kaya akan fosil Orbitoid, yang berlapis dengan batugamping kapuran berwarna putih kotor. Pada bagian bawah formasi ini ditemukan Globigerina ciperoensis, Globigerina tripartita, Globorotalia kugleri, dan Globigerinita dissimilis, sedangkan pada bagian atasnya muncul Globigerinoides immatures. Umur Formasi Prupuh adalah N3-N5 (Oligosen Atas hingga Miosen Bawah). Pada batugamping bioklastika dijumpai Spiroclypeus orbitoides, Lepidocyclina verrucosa, dan Lepidocyclina sumatrensis. Lingkungan sedimentasinya adalah neritik luar pada laut terbuka, dengan indikasi adanya gerakan massa gravitasi lereng dasar laut. Formasi ini selaras terhadap Formasi Kujung di bawahnya, juga terhadap Formasi Tuban yang ada di atasnya. 3) Formasi Tuban Formasi Tuban terdiri atas perlapisan batulempung yang bersifat monoton dengan beberapa sisipan batugamping. Formasi ini ini secara umum tersusun oleh klastika karbonat dalam bentuk packstone-wackestone, yang mengandung fosil foraminifera besar disertai dengan fragmen koral dan algae. Kandungan
fosil
Globigerinoides
primordius,
Globortalia
peripheronda,
Globigerinoides sicanus yang menunjukkan bahwa umur Miosen Awal dan lingkungan laut dalam. 4) Formasi Tawun Secara umum Formasi ini
tersusun
oleh
perselingan
antara
batulempung pasiran dengan batupasir dan batugamping yang kaya akan foraminifera golongan orbitoid (Lepidocyclina, Cycloclypeus). Batulempung pasiran berwarna abu-abu hingga abu-abu kecoklatan, semakin ke atas cenderung berubah menjadi batulanau dengan konkresi oksida besi.
Panduan EGR 2015/2016
26
Batupasirnya biasanya cukup keras berwarna kemerahan, sebagian bersifat gampingan dan sebagian tidak. Batugampingnya berwarna coklat muda hingga abu-abu muda, berbutir halus sampai sedang. Penyusun utamanya adalah fosil foraminifera besar dengan sedikit pencampur batupasir kuarsa. Ketebalan batugamping ini mencapai
30 m. Formasi Tawun diendapkan pada Awal
hingga Miosen Tengah, pada lingkungan lingkungan paparan yang agak dalam (outer shelf) dari suatu laut terbuka. 5) Formasi Ngrayong Satuan stratigrafi ini kadang berstatus sebagai anggota pada Formasi Tawun. Bagian bawah yang tersusun oleh batugamping Orbitoid (Cycloclypeus) dan batulempung, sedangkan bagian atas tersusun oleh batupasir dengan sisipan batugamping orbitoid. Diantara perlapisan batulempung dijumpai struktur sedimen yang khas yaitu gelembur (ripple mark) dan keping-keping gipsum. Batupasirnya berwarna merah kekuningan, sering menunjukkan struktur soft sediment deformation, disertai fosil jejak berupa lubang vertikal (memotong perlapisan) dari kelompok Ophiomorpha. Dari kenampakan tersebut dapat ditafsirkan bahwa bagian bawah dari satuan ini pada awalnya diendapkan pada dataran pasang-surut (intertidal area) yang kemudian mengalami transgresi menjadi gosong lepas pantai (offshore bar) atau shoreface yang tercirikan oleh batupasir merah, yang selanjutnya semakin mendalam menjadi lingkungan paparan tengah hingga paparan luar (middle to outer shelf) yang menghasilkan batugamping yang kaya akan Cycloclypeus. Kenampakan stratigrafi tersebut dapat dilihat di daerah Polaman. Batupasir Ngrayong merupakan reservoir utama pada lapangan-lapangan minyak di daerah sekitar Cepu. Ketebalan ratarata mencapai 300 m tetapi menipis ke arah selatan dan juga ke arah timur, karena terjadi perubahan fasies menjadi batulempung. 6) Formasi Bulu Formasi Bulu terletak di atas batupasir Ngrayong, mempunyai penyebaran yang luas di Antiklinorium Rembang Utara. Formasi ini tersusun oleh kalkarenit berlempeng (platty sandstones) dengan sisipan napal pasiran. Panduan EGR 2015/2016
27
Di beberapa tempat dijumpai kumpulan Cycloclypeus (Katacycloclypeus) annulatus yang sangat melimpah. Kalkarenitnya tersusun oleh litoklas karbonat, foraminifera kecil maupun besar, serta butir-butir kuarsa, feldspar dan glaukonit. Ke arah barat, formasi ini menjadi semakin tebal. Di bagian timur ketebalan hanya 80 m tetapi ke arah barat ketebalannya mencapai 300 m. Formasi ini diendapkan pada kala Miosen Tengah pada lingkungan laut dangkal yang berhubungan dengan laut terbuka. 7) Formasi Wonocolo Formasi Wonocolo tersusun oleh napal dan batulempung tidak berlapis. Bagian bawahnya tersusun oleh batugamping pasiran dan batupasir gampingan, yang secara umum menunjukkan gejala pengendapan transgresif. Total ketebalan dari formasi ini lebih kurang 500 m, menunjukkan peningkatan ketebalan ke arah selatan. Pengendapannya terjadi pada Miosen Tengah – Atas, pada lingkungan paparan luar. 8) Formasi Ledok Formasi Ledok mempunyai lokasi tipe di kawasan antiklin Ledok, 10 km di utara kota Cepu. Penyusun utamanya terdiri atas perselang-selingan antara batupasir glaukonitik dengan kalkarenit yang berlempeng-lempeng, dengan beberapa sisipan napal. Batupasirnya berwarna kehijauan hingga kecoklatan, berbutir halus hingga sedang, dengan komposisi mineral kuarsa, fragmen kalsit serta glaukonit yang secara keseluruhan terpilah sedang. Ketebalan setiap perlapisan berkisar antara 10 hingga 60 cm. Bagian bawah berbutir lebih halus dari bagian atas. Ketebalan Formasi Ledok secara keseluruhan mencapai 230 m di lokasi tipenya. Ke arah utara, Formasi ini berangsur-angsur berubah menjadi Formasi Paciran. 9) Formasi Mundu Formasi Mundu memiliki ciri litologi yang khas, tersusun oleh napal masif berwarna abu-abu muda hingga putih kekuning-kuningan, dengan kandungan foraminifera plangtonik yang sangat melimpah. Disamping itu juga didapatkan kandungan glaukonit tetapi hanya dalam jumlah sedikit.
Panduan EGR 2015/2016
Di
28
beberapa tempat, bagian atas dari formasi ini secara berangsur berubah menjadi batugamping pasiran. Ketebalan dari formasi ini cenderung bertambah ke arah selatan hingga mencapai 700 m. Formasi Mundu terbentuk sebagai hasil pengendapan laut dalam yang terjadi pada zona N17 – N20 (Miosen Akhir – Pleiosen). 10)Formasi Selorejo Satuan ini tersusun oleh perselang-selingan antara foraminiferal grainstone / packstone yang sebagian bersifat glaukonitan dengan batugamping napalan hingga batugamping pasiran, dengan lokasi tipe di desa Selorejo dekat Cepu. Ketebalan satuan ini mencapai 100 m. Selorejo kadang dianggap sebagai anggota dari Formasi Mundu, dan merupakan reservoir gas yang terdapat tepat di bawah kota Cepu (Balun reservoir). Lingkungan sedimentasi diduga terjadi di laut dalam, dimana mekanisme arus turbid dengan penampian oleh arus dasar (bottom current) yang membuat pemilahan test foraminiferanya teronggok dengan tanpa matriks dalam bentuk grainstone dan packestones, dengan porositas bisa mencapai 50%, baik dalam bentuk vugs, inter maupun intra particles. 11)Formasi Lidah Formasi ini tersusun oleh batulempung yang berwarna kebiruan dan napal berlapis yang diselingi oleh batupasir dan lensa-lensa fossiliferous grainstone/rudstone (coquina). Pada bagian bawah masih merupakan endapan laut, tercirikan akan kandungan Pseudorotalia sp. dan Asterorotalia sp. yang melimpah. Kumpulan fosil ini mencirikan pengendapan di dasar laut pada paparan tengah hingga luar. Di atas satuan ini batuannya menunjukkan produk pengendapan dari lingkungan yang semakin mendangkal. Akhirnya bagian teratas berupa lempung hasil pengendapan air tawar. 12) Formasi Paciran Formasi Paciran tersusun oleh batugamping masif, umumnya merupakan batugamping terumbu yang lapuk dan membentuk permukaan yang khas akibat pelarutan (karren surface). Gejala permukaan menunjukkan
Panduan EGR 2015/2016
29
bahwa batuan penyusunnya telah berubah menjadi kapur (chalky limestone). Formasi ini tersebar terutama di bagian utara dari Zona Rembang, dengan masa pembentukan dari Pliosen hingga Awal Pleistosen. Di beberapa tempat batuan ini telah terbentuk pada umur yang lebih tua, semasa dengan pembentukan Formasi Ledok dan Wonocolo di bagian utara, serta semasa dengan Formasi Mundu dan Lidah di selatan.
Panduan EGR 2015/2016
30
BAB IV TEKTONIK DAN EVOLUSI CEKUNGAN Peristiwa tektonik Jawa Timur dan pengaruhnya terhadap cekungancekungan sedimenter serta fisiografi yang ada disusun ulang berdasarkan pada konsep tektonik busur gunungapi (Husein, 2013). Resume diberikan dalam Gambar 4.1 di bawah ini, serta dalam kerangka tektonostratigrafi cekungan pada Gambar 4.2. Perkembangan tektonik yang terjadi di suatu daerah akan terekam dalam wujud perkembangan stratigrafi batuan penyusun serta jenis deformasi yang dialami oleh batuan penyusun tersebut. Setiap mandala fisiografi penyusun Jawa Timur memiliki jenis dan pola struktur geologi yang unik, yang mencerminkan perkembangan tektonik yang telah terjadi.
Gambar 4.1. Unsur-unsur tektonik Jawa Timur (Husein, 2015).
IV.1. PEGUNUNGAN SELATAN Zona Pegunungan Selatan dibentuk terutama oleh tektonika penyesaran bongkah (Husein, 2013). Sebagai sebuah tinggian busur gunungapi Oligo-Miosen yang berkembang diatas kerak benua dan berhadapan langsung dengan zona subduksi (Smyth et al., 2007; Satyana, 2014; Husein & Nukman, 2015), Pegunungan Selatan Jawa Timur lebih mudah mengalami tektonika regangan yang menyebabkan Panduan EGR 2015/2016
31
intensifnya penyesaran bongkah. Sesar-sesar normal dengan jurus relatif ESEWNW banyak berkembang di tepian utara yang berbatasan dengan Zona Solo, sehingga membuat van Bemmelen (1949) menarik hipotesis adanya fase runtuhan Pegunungan
Selatan
sebagai
bagian
geantiklin
Jawa.
Husein
(2013)
menginterpretasikan bahwa terangkatnya Pegunungan Selatan lebih disebabkan akibat keseimbangan isostatik oleh penurunan Cekungan Kendeng pada awal Pliosen. Di sisi selatan pun, gejala penyesaran bongkah berkembang baik hingga ke cekungan depan busur (Nugraha & Hall, 2013).
Gambar 4.2. Tektonostratigrafi Jawa Timur.
Sesar-sesar geser turut berkembang di Pegunungan Selatan, terutama berjurus NE-SW sebagai sesar geser sinistral. Salah satu sesar geser utama yang berperan dalam fisiografi Pegunungan Selatan adalah Sesar Opak dan Sesar Oyo yang menjadi batas barat Pegunungan Selatan. Secara tektonik, sistem sesar OpakOyo tersebut masih aktif hingga kini, ditandai dengan kejadian gempabumi 2006 (Husein, 2007; Sunantyo drr., 2014). Sesar-sesar naik dan anjak juga berkembang di Pegunungan Selatan, terutama di bagian tengah pada Igir Baturagung, dengan jurus berarah relatif ESEPanduan EGR 2015/2016
32
WNW. Clements et al. (2009) menafsirkan sesar-sesar anjak tersebut berkembang akibat adanya pemendekan (shortening) Pulau Jawa secara frontal akibat bergesernya Pegunungan Selatan ke arah utara yang dikontrol oleh gaya tektonik kompresif dari zona subduksi. Interpretasi lain yang diajukan adalah adanya gaya luncuran gravitasional ke arah utara pada pembentukan Plato Wonosari yang mendesak Igir Baturagung (Husein drr., 2008; Husein, 2013). Rekaman tektonostratigrafi Pegunungan Selatan menunjukkan sejarah geologinya dimulai ketika terbentuk sebagai cekungan peregangan (rift-basin), kemungkinan bagian dari cekungan depan busur suatu lempeng mikro benua pada awal Eosen (Gambar 4.2). Sedimentasi paparan laut pada Formasi WungkalGamping dilanjutkan dengan volkanisme Andesit Tua yang dimulai sejak Eosen Akhir hingga Miosen Awal, menghasilkan formasi-formasi Kebo-Butak, Semilir, dan Nglanggran. Pada akhir Miosen Awal, sedimentasi karbonat mendominasi dengan pengendapan formasi-formasi Sambipitu, Oyo, Wonosari, dan Kepek, hingga di awal Pliosen Pegunungan Selatan mulai terangkat dan terinversi sebagai daratan.
IV.2. ZONA SOLO Zona Solo saat ini merupakan cekungan sedimentasi aktif, dimana hampir seluruh permukaannya tertutup oleh endapan aluvium, sehingga sulit untuk mencari jejak struktur geologi di permukaanya. Meski demikian, kelurusan kemunculan busur gunungapi modern di zona ini, yang berarah relatif ESE-WNW mengindikasikan adanya patahan besar dengan arah serupa yang memotong kerak (deep-seated faults) sebagai jalur naiknya magma ke permukaan. Gunungapigunungapi tersebut juga berkembang pada kompleksnya dengan arah yang relatif tegaklurus pada ESE-WNW deep-seated faults, misal kompleks G. Lawu, G. KawiG.Arjuna, G.Semeru-G.Bromo. Kondisi ini mengindikasikan keberadaan retakan tegak-lurus sesar utama, yang biasa lazim terjadi pada kondisi tektonik ekstensional.
Panduan EGR 2015/2016
33
IV.3. PERBUKITAN KENDENG Struktur geologi yang berkembang di Perbukitan Kendeng didominasi oleh serangkaian perlipatan asimetris bersumbu timur-barat yang membentuk antiklinorium, dan berbagai patahan. Intensitas lipatan dan patahan berkurang ke arah timur. Sayap utara seringkali bersudut besar hingga terbalik (sungkup), yang terpotong oleh sesar anjak yang bergerak ke arah utara. Sesar anjak biasanya bersifat menerus tidak terlalu dalam (thin-skinned). Namun beberapa sesar naik bersudut besar dengan pergeseran yang signifikan juga terjadi, yang menurut data gaya berat mungkin berasal dari batuan alas (thick-skinned) (de Genevraye & Samuel, 1972). Lipatan-lipatan tersebut juga seringkali bersudut kecil dan disharmonis, mengindikasikan pengaruh karakter batuan sedimen laut berbutir halus berumur Mio-Pliosen yang bersifat plastis serta tidak kompeten. Struktur lipatan asimetri menunjukkan adanya pemendekan di sayap utara, dan hal ini menjelaskan adanya gaya kompresi lateral dari arah selatan ke utara. De Genevraye & Samuel (1972) meniadakan kemungkinan luncuran gravitasional saat sedimentasi, karena di dasar Zona Kendeng batuan alasnya berada pada posisi miring ke arah selatan. Mereka mengusulkan gaya kompresi tersebut berasal dari pengangkatan regional Jawa pada Plio-Pleistosen, bertepatan dengan puncak aktivitas volkanisme busur gunungapi modern. Husein & Nukman (2015) mengusulkan rekonstruksi Jawa Timur berdasarkan data-data kemagnetan purba dan tomografi, menduga Zona Kendeng adalah potongan kerak samudera yang pernah tersubduksi dibawah Pegunungan Selatan, yang kemudian mengalami pemendekan (shortening) cekungan saat rotasi Sundaland hingga membentuk sabuk lipatan dan sesar anjak. Selain sesar-sesar anjak yang sejajar dengan sumbu antiklnorium, Perbukitan Rembang juga dipotong oleh berbagai sesar geser yang memotong sumbu antiklinorium dengan panjang hingga puluhan kilometer dalam zona patahan yang kompleks, diduga merupakan sesar dalam (deep-seated fault) yang berasal dari batuan alas. De Genevraye & Samuel (1972) menduga lembah Sungai Serang dan lembah Bengawan Solo terbentuk oleh sesar-sesar geser dalam tersebut, termasuk pula yang dilalui oleh volkanisme G. Pandan. Panduan EGR 2015/2016
34
Pada tanggal 25 Juni 2015 terjadi gempabumi di sebelah baratdaya G. Pandan, mengindikasikan bahwa tektonik Zona Kendeng masih aktif. Gempabumi tersebut berasal dari patahan yang melewati G. Pandan, yaitu Sesar Pacul yang bersifat sinistral. Pola perlipatan Kendeng di sekitar G. Pandan tampak khas, di mana terdapat defleksi di sisi timur dan barat gunungapi tersebut (Gambar 4.3). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh deviasi stress kompresi yang datang dari arah selatan secara lokal akibat kehadiran dapur magma G. Pandan yang bersifat ductile. Sehingga dapat diduga bila proses perlipatan dan pengangkatan Kendeng terjadi relatif bersamaan dengan volkanisme G. Pandan. Cekungan Kendeng diperkirakan mulai mengalami pengangkatan pada saat awal deposisi batugamping Klitik, di awal Pliosen (Gambar 4.2).
Gambar 4.3. Tektonik Kendeng di sekitar G. Pandan, menunjukkan pengaruh magma pada proses perlipatan Kendeng.
IV.4. ZONA RANDUBLATUNG Zona Randublatung adalah salah satu zona fisiografis Cekungan Jawa Timur Utara yang paling sedikit dipelajari. Meskipun secara fisiografis zona ini dianggap sebagai zona transisi antara zona sabuk lipatan dan sesar anjak Kendeng dan zona
Panduan EGR 2015/2016
35
perbukitan antiklinorium Rembang, tidak banyak peneliti yang mengkaji aspek stratigrafi dan tektonikanya. Geomorfologi Zona Randublatung dicirikan oleh dataran bergelombang dengan beberapa perbukitan lipatan lemah bersumbu timur-barat mencuat diantaranya, seperti Perbukitan Dander dan Perbukitan Ngimbang (van Bemmelen, 1949). Para geologiwan menempatkan stratigrafi Randublatung dengan melihat klasifikasi Zona Rembang, dan beberapa lapangan migas berhasil dikembangkan di zona ini. Meski demikian, tektonik Randublatung tidak bisa didekati dengan model Zona Rembang, karena kemiripannya pola sumbu perlipatannya lebih mendekati Zona Kendeng. Di Perbukitan Dander, Kabupaten Bojonegoro, dijumpai Formasi Dander yang tersusun atas perlapisan batugamping dan napal. Formasi ini berumur Pliosen Akhir, sebagai bagian awal dari Formasi Lidah yang diendapkan di lingkungan laut dangkal yang mengakhiri proses sedimentasinya pada Pleistosen Tengah, sekaligus menempatkannya sebagai endapan sedimen laut terakhir sebelum kawasan ini terangkat menjadi daratan. Dan di hulu Kali Tidu yang mengiris Perbukitan Dander bagian barat, terdapat singkapan geologi menarik dari Formasi Dander, dimana perselingan batugamping dan napal terkena deformasi kompresif sebelum dierosi oleh endapan fluviatil rombakan pengangkatan Kendeng (Kendeng Molasse) (Gambar 4.4). Bila dilihat sepintas, Formasi Dander tampaknya tidak menunjukkan gejala deformasi yang kuat. Dengan struktur sedimen silang-siur mangkok berukuran besar (low angle mega trough-cross beds), perlapisan batuannya seolah-olah berada pada posisi relatif horisontal atau initial (sedimentary) dip, tanpa ada pengaruh tektonik yang jelas. Namun terdapat serangkaian sesar anjak terimbrikasi pada lapisan grainstone, memotong lapisan tersebut menjadi fragmen-fragmen berukuran bongkah dan menyusunnya secara en-echelon, menunjukkan adanya tenaga tektonik kompresif berarah relatif NNE-SSW. Di bagian lain, sebuah sesar anjak memotong beberapa lapisan sekaligus, meninggalkan offset hingga 1 m, serta bukti striasi dari stress kompresif berarah NE-SW. Analisis struktur di atas semakin menegaskan bila tektonik Zona Randublatung lebih dipengaruhi oleh proses deformasi Kendeng. Hal ini dapat Panduan EGR 2015/2016
36
dipahami karena kedekatan kedua zona tersebut, selain ketiadaan bukti reaktivasi patahan basement berarah ENE-WSW seperti yang lazim hadir mempengaruhi konfigurasi fisiografi Zona Rembang.
Gambar 4.4. Singkapan Formasi Dander di lembah Sungai Tidu, Bojonegoro, dan implikasi tektonis dan stratigrafisnya.
Panduan EGR 2015/2016
37
Menarik pula mencermati kehadiran Kendeng Molasse di Perbukitan Dander yang menunjukkan sumber (provenance) dari Formasi Pucangan di Zona Kendeng atau bahkan dari terobosan Gunungapi Pandan di selatannya. Hal ini memberikan informasi tambahan, bahwa stratigrafi Randublatung tidak hanya dibangun oleh Zona Rembang, namun juga mendapat pengaruh dari Zona Kendeng, setidaknya saat Kendeng mulai terangkat semenjak pertengahan Pliosen. Tidak menutup kemungkinan bila pengaruh serupa juga telah dialami oleh Randublatung semenjak dahulu.
IV.5. PERBUKITAN REMBANG Zona Rembang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Timur Utara (Northeast Java Basin), yang berkembang di ujung tenggara Sundaland. Sundaland merupakan massa daratan yang terbentuk oleh gabungan berbagai mikrokontinen melalui sejarah subduksi dan kolisi yang panjang semenjak Mesozoikum (Hall & Morley, 2004). Cekungan Jawa Timur Utara diduga terbentuk pada salah satu lempeng mikrokontinen, yaitu Lempeng Argo, yang menyusun Jawa Timur hingga Sulawesi Barat (Hall, 2012; Husein & Nukman, 2015). Cekungan ini terbentuk pada Kala Eosen, sebagai cekungan belakang busur (back-arc basin) pada tataan tepian benua aktif (active margin) (Hall & Morley, 2004), meskipun Husein & Nukman (2015) menginterpretasikan bila pembentukan cekungan ini lebih kepada tipe tepian benua pasif (passive margin). Sedimen awal pengisi cekungan adalah bersumber dari daratan (terrigenous sediments) pada saat peregangan cekungan (basin rifting), sebelum kemudian berubah menjadi lingkungan laut pada akhir Eosen. Struktur pengontrol peregangan berarah timurlaut-baratdaya, yang mencerminkan pola struktur batuan dasar (Hamilton, 1979) dan pola regangan Selat Makassar (Hall, 2002). Novian dkk. (2014) mengusulkan hipotesis bahwa evolusi Cekungan Jawa Timur Utara sangat dipengaruhi oleh dinamika subduksi Lempeng Samudera Hindia. Inisiasi penunjaman Kenozoikum di selatan Sundaland dianggap memicu pembentukan Cekungan Jawa Timur Utara. Di akhir Miosen Awal, patahnya slab lempeng samudera berumur Albian-Turonian dan masuknya slab berumur Oxfordian-Albian mampu menjungkitkan Pulau Jawa, termasuk menghasilkan Panduan EGR 2015/2016
38
peristiwa orogenesa Tuban (Tuban Event) di Cekungan Jawa Timur Utara. Berkembangnya volkanisme Jawa Modern dari subduksi slab Oxfordian-Albian serta gaya shearing akibat tarikan slab tersebut di sepanjang Palung Jawa, mampu menyebabkan inversi Cekungan Jawa Timur Utara dalam peristiwa Rembang (Rembang Event) pada Pliosen Tengah. Antiklinorium Rembang dicirikan oleh berbagai antiklin yang bertumpangtindih (superimposed), mengindikasikan kompleksitas deformasi yang dialami oleh daerah tersebut. Arah umum sumbu antiklin bervariasi dari timur – barat hingga utara-baratlaut – selatan-tenggara. Demikian pula dengan arah sesar naiknya, yang menerus hingga ke batuan dasar, mengindikasikan tipe struktural thick-skinned tectonic (Musliki & Suratman, 1996). Data stratigrafi regional mengindikasikan adanya 2 fase ketidakselarasan, pertama terjadi setelah Pliosen, dan yang kedua terjadi pada akhir Pleistosen. Setiap ketidakselarasan diikuti oleh deformasi struktural, dimana fase pertama membentuk perlipatan berarah baratlaut-tenggara dan timur-barat, sedangkan fase kedua hanya membentuk antiklinorium berarah timur-barat saja (Soetantri et al., 1973). Soeparyono & Lennox (1989) mengusulkan dua jenis mekanisme struktural pembentuk lipatan yang berkembang di Zona Rembang, yaitu penyesaran geser (wrench faulting) dan penyesaran anjak (thrust faulting). Usulan mereka sejalan dengan beberapa model tektonik yang pernah diterapkan pada Cekungan Jawa Timur Utara, antara lain sistem penyesaran geser (Situmorang et al., 1976), intrusi lempung diapirik (Soetarso & Suyitno, 1976), dan sesar anjak pada bidang pengelupasan (Lowell, 1979). Dalam melakukan analisis pembentukan lipatan, Soeparyono & Lennox (1989) membagi Zona Rembang ke dalam 3 blok. Pembagian tersebut berdasarkan pada orientasi lipatan dan sesar yang berkembang. Blok pertama disebut sebagai Blok Plantungan, menempati Antiklinorium Rembang Utara, dimana batuan yang lebih tua dapat terangkat ke permukaan, mengindikasikan adanya pengangkatan batuan dasar. Blok kedua disebut sebagai Blok Nglobo-Semanggi, meliputi Antiklinorium Rembang Selatan bagian barat, dengan ciri sumbu lipatan berarah relatif timur-barat, dengan mekanisme pembentukannya dikontrol oleh penyesaran geser sinistral pada batuan dasar yang berarah timurlaut-baratdaya. Blok ketiga dinamakan Blok Kawengan, yang mencakup Antiklinorium Rembang Selatan bagian Panduan EGR 2015/2016
39
timur, dimana sebaran lipatannya memanjang dengan sumbu berarah relatif baratlaut-tenggara, dengan mekanisme pembentukannya dikendalikan oleh sesar anjak yang memanjang searah sumbu lipatan. Blok Nglobo-Semanggi dan Blok Kawengan dibatasi oleh sesar geser sinistral berarah timurlaut-baratdaya, yang juga dianggap sebagai pembatas jenis hidrokarbon yang berkembang di kawasan tersebut (Soeparyono & Lennox, 1989). Hampir semua antiklin di Zona Rembang memiliki sayap asimetris yang relatif landai, dan penunjaman sumbu (plunge) yang juga landai (Soetantri et al., 1973). Sebagian antiklin dibatasi oleh sesar yang sejajar (longitudinal) dengan sumbu lipatan, yang kadang merupakan jenis sesar anjak dan naik. Sesar naik dapat diidentifikasi di bawah permukaan dengan pengeboran dan sesimik, dimana mereka akan menghilang di kedalaman tertentu, umumnya pada Formasi Tawun sebagai bidang pengelupasan. Sesar anjak sekunder kadang berkembang di bawah permukaan, namun hanya menjadi blind faults yang tidak sampai memotong permukaan, Di permukaan, sesar naik hanya diduga berdasarkan sayap lipatan yang bersudut besar saja. Bila ada sesar yang memotong sumbu lipatan, umumnya adalah sesar normal, yang hanya berkembang di bagian atas lipatan. Husein dkk. (2015) melakukan interpretasi model elevasi digital serta pengukuran kedudukan batuan di lembah Sungai Braholo, Blora, mengindikasikan perkembangan lipatan konikal (non-silindris, dimana sumbu lipatannya tidak linear dan ujung dari sumbu lipatannya akan menunjam) Antiklin Braholo yang menunjam ke arah WSW (Gambar 4.5). Formasi Tawun tersingkap sebagai inti lipatan, yang memanjang berarah E-W hingga ke Desa Plantungan, dimana Lapangan Plantungan berada. Kemiringan perlapisan batugamping Tawun relatif landai, disebabkan posisinya yang menempati bagian inti antiklin. Di bagian tengah lipatan, sumbu antiklin membelok ke arah WSW, sebelum kemudian menunjam ke arah barat di ujung baratnya (Gambar 4.5). Formasi Ngrayong tersebar mengikuti orientasi sumbu perlipatan. Formasi Ngrayong menempati kemiringan yang relatif besar di bagian sayap antiklin, rerata 25o baik ke sayap utara maupun sayap selatan. Meski demikian, kemiringan perlapisan hingga >35o juga dapat terjadi di bagian sayap lipatan, terutama pada perlapisan batupasir dan batugamping yang menyusun fasies batupasir-grainstone. Nilai kemiringan perlapisan yang berbeda-beda tersebut mengindikasikan Panduan EGR 2015/2016
40
perlipatan terbentuk sebagai lipatan kelas 3 di dalam klasifikasi Ramsay (Ramsay, 1967). Hal ini lazim terjadi bila beberapa lapisan yang kompeten (batupasir dan batugamping) diselingi oleh lapisan yang tidak kompeten (batulempung) mengalami perlipatan aktif (buckling), dimana lapisan yang kompeten akan lebih rapat di bagian sayap dan rengang di bagian puncak, yang selanjutnya memicu lapisan tidak kompeten untuk berkumpul di bagian puncak antiklin (Price & Cosgrove, 1990).
Wonocolo
N
Tawun
Ngrayong Wonocolo
Ledok
Legenda: : batas sebaran unit formasi
: sumbu antiklin
1,5 km
: sesar geser sinistral
Gambar 4.5. Peta struktur geologi, orientasi sumbu Antiklin Braholo mengalami pelengkungan (bending) yang diakomodir oleh sesar geser sinistral berarah timurlaut-baratdaya.
Husein dkk. (2015) melakukan 745 pengukuran pada struktur rapuh (brittle) pada Antiklin Braholo, mencakup struktur kekar dan patahan. Populasi data tersebut kemudian dipisahkan secara iterasi dan dikelompokkan menjadi dua, kelompok pertama memberikan hasil gaya tektonik transtensional dengan kompresi dari arah NW-SE dan regangan ke arah NE-SW, sedangkan kelompok kedua memberikan hasil gaya tektonik ekstensional dengan regangan ke arah NWSE (Gambar 4.6). Dengan dipandu oleh adanya data perpotongan dua striasi pada satu bidang sesar, didapatkan bila gaya kompresi NW-SE bekerja terlebih dahulu dan gaya regangan NW-SE terjadi setelahnya. Melihat hubungan spasial kedua gaya tersebut, diinterpretasikan bila gaya kompresi NW-SE merupakan gaya pembentuk lipatan Braholo, sedangkan gaya regangan NW-SE merupakan gaya rilis pasca kompresi.
Panduan EGR 2015/2016
41
(a)
(b)
(c)
Gambar 4.6. (a) Hasil analisis paleostress fase tektonik pertama, dengan jumlah data 310 pengukuran. (b) Analisis paleostress fase tektonik kedua, dengan jumlah data 435 data. (c) Reaktifasi sesar di puncak Antiklin Braholo, terekam sebagai superimposed slickenlines pada grainstone Tawun. Kedudukan bidang sesar adalah N320oE/74. Pergeseran pertama diindikasikan oleh striasi berwarna hijau dengan rake 33oNW, berupa patahan normal sinistral yang dipicu oleh gaya kompresi tektonis berarah WNW-ESE. Pergeseran kedua diindikasikan oleh striasi berwarna merah dengan rake 59oSE, merupakan patahan normal dekstral yang disebabkan oleh gaya regangan berarah NW-SE.
Kedua gaya tersebut di atas diduga bekerja setelah sedimentasi Formasi Selorejo, yaitu pada akhir Pliosen saat sedimentasi Formasi Lidah. Indikasi ini didukung oleh litostratigrafi Formasi Lidah yang menunjukkan telah adanya pengangkatan seiring sedimentasi formasi tersebut (syn-sedimentary tectonic) (Gambar 4.2) (Susilohadi, 1995). Dari analisis regional pada model elevasi digital, diketahui pula bahwa lipatan-lipatan yang berkembang di Zona Rembang memiliki orientasi en echelon berarah ENE-WSW (Gambar 4.7). Terhadap gaya tektonik regional Pulau Jawa yang relatif berarah utara-selatan, orientasi antiklinorium Rembang membentuk sudut (α) yang besar, sekitar 70o. Kondisi ini mengindikasikan bila Antiklinorium Rembang tersebut berkembang pada sesar batuan dasar (basement fault) berarah ENE-WSW dengan pergeseran horisontal yang relatif kecil (< 5 km) (Cramez & Letouzey, 2001). Lipatan konikal yang berkembang akibat sesar geser pada batuan dasar umumnya tidak memiliki orientasi sumbu yang tegaklurus terhadap gaya tektonik σ1 regional, karena kecenderungan lipatan konikal untuk mengorientasikan sumbunya sejajar dengan patahan (Cramez & Letouzey, 2001). Akibatnya gaya tektonik σ1 lokal akan mengalami modifikasi arah, berupaya tegak lurus terhadap sesar basement. Kondisi ini terekam di Antiklin Braholo, dimana gaya kompresi pembentuk lipatan yang berarah NW-SE memiliki orientasi relatif tegak lurus terhadap sesar basement (Gambar 4.7). Panduan EGR 2015/2016
42
s3
s1
Jepara Rembang
Basement faults (?)
Pati
Tuban
Demak Blora
Purwodadi
s1
s3
Lamongan Gresik Cepu
Bojonegoro
Randublatung Surabaya
Sragen
Ngawi
s1
regional
Mojokerto
Gambar 4.7. [kiri] Distribusi lipatan di Zona Rembang (garis berwarna merah) dan hubungannya dengan patahan basement. [kanan] Model orientasi gaya tektonik, dimana gaya kompresi σ1 regional mengalami reorientasi dari arah relatif utara-selatan menjadi berarah relatif baratlaut-tenggara akibat kedudukan patahan yang menyudut besar terhadap gaya tektonik utama.
Karena lipatan konikal memiliki kecenderungan untuk sejajar dengan patahan basement, maka lazim pula berkembang sesar geser pada tubuh lipatan yang orientasinya menyudut lancip terhadap patahan (Cramez & Letouzey, 2001), dimana sesar geser tersebut berfungsi untuk mengakomodasi perpanjangan yang dialami oleh lipatan ke arah gaya tektonik σ3 regional. Pada Antiklinorium Rembang banyak berkembang sesar-sesar geser sinistral NE-SW yang memotong lipatan seperti demikian, termasuk yang melewati Sungai Braholo (Gambar 4.5). Secara regional, umumnya pembentukan Antiklinorium Rembang ini dikaitkan dengan aktifitas sesar regional Rembang-Madura-Kangean-Sakala (RMKS) yang merupakan sesar sinistral (Satyana et al., 2004). Namun Husein dkk. (2015) menunjukkan hal yang berbeda, dimana patahan-patahan basement ENEWSW yang paling berperan, yang cenderung bersifat lokal, hanya berada di Zona Rembang saja, karena pola perlipatan en echelon tidak berkembang ke arah timur. Pola perlipatan di Pulau Madura hingga Sakala lebih cenderung menyerupai Antiklinorium Kendeng, yaitu relatif paralel tanpa ada susunan en echelon.
IV.6. GUNUNGAPI BELAKANG BUSUR (G. LASEM) Gunung Lasem merupakan sebuah gunungapi strato berdiameter sekitar 13 km dan dengan ketinggian 806 m dari permukaan laut. Di selatan G. Lasem terdapat gunungapi yang berukuran lebih kecil dengan diameter kurang dari 2 km, yaitu G. Senjong; keduanya dipisahkan oleh singkapan Formasi Mundu – Formasi Wonocolo Panduan EGR 2015/2016
43
di lembah Sungai Bagoran selebar 300 m yang berarah relatif timur-barat. Ke arah selatan 10 km dari G. Senjong, terdapat pula gunungapi yang berukuran relatif sama, yaitu G. Butak. Kedua gunungapi kecil tersebut, G. Senjong maupun G. Butak, menerobos bagian sumbu perlipatan yang relatif memanjang berarah timur-barat yang tersusun oleh Formasi Bulu dan Formasi Ngrayong (Situmorang dkk., 1992). Kelurusan ketiga gunungapi tersebut, Lasem – Senjong – Butak, mengindikasikan adanya patahan dalam (deep-seated fault) berarah relatif utara-selatan yang menjadi jalan naiknya magma. Zaim (1989) menduga usia volkanisme Lasem terjadi pada rentang Pliosen Akhir - Plistosen (2 - 0,5 jtl). Berdasarkan data mineralogi hasil analisis geokimia batuan volkanik, Zaim (1989) mendeskripsikan penyusun Gunungapi Lasem terdiri dari abrasokit (batuan basal alkalin dengan proporsi seimbang antara olivin, augit, labradorit, dan sanidin), sosonitik (batuan basal tersusun atas fenokris olivin dan augit dalam massa dasar labradorite), tefrit (batuan basal tersusun oleh plagioklas-Ca, augit, dan nefelin/leusit) ultrapotasik, dan trakiandesit (bertekstur afanitik tersusun oleh feldspar alkali dan plagioklas bersama mineral mafik) alkalin potasik. Batuanbatuan seri sosonitik ultrapotasik demikian cenderung terbentuk pada busur gunungapi dengan zona subduksi dalam dan sudut penunjaman yang besar (Morrison, 1980). Setijadji (2010) mengelompokkan Gunungapi Lasem dan Gunungapi Muria sebagai volkanisme belakang busur (back-arc volcanism), dengan posisi slab lempeng Samudera Indo-Australia pada kedalaman 330 km di bawah permukaan (bahkan hingga 370 km, menurut Handley et al., 2011), dan sudut penunjaman sekitar 59o (Claproth, 1989). Untuk magmatisme Gunungapi Muria sendiri, Edwards et al. (1991) berdasarkan analisis unsur jejak dan isotop menduga berasal dari dua sumber: magma kaya potassium yang berasal dari sumber intra-lempeng (within-plate) akibat adanya penipisan kerak benua dan magma kalk-alkali yang berasosiasi dengan proses subduksi lempeng kerak samudera.
Panduan EGR 2015/2016
44
BAB V LOKASI PENGAMATAN V.1. GUNUNG GAJAH, BAYAT Stopsite pertama berada di Desa Gunung Gajah, Bayat, Klaten. Lokasi ini di dalam peta geologi regional lembar Surakarta-Giritontro (Surono dkk., 1992) dimasukkan di dalam Kompleks Batuan Malihan (KTm) yang dilalui oleh patahan berarah ENE-WSW. Di lokasi ini dijumpai singkapan hasil bukaan tanah untuk lahan perkebunan, berupa tebing setinggi 1 m hingga 3 m. Singkapan ini menjadi menarik karena dijumpai kontak batuan Paleogen di atas batuan basement berupa filit. Filit ini tersingkap hanya sedikit di tebing sisi barat. Di atas filit ini diendapkan breksi dan di atasnya terendapkan perselang-selingan batupasir karbonatan dan batulanau karbonatan. Pada breksi ini terbentuk inisial dip yang menunjukkan bahwa filit tersebut merupakan alas dari pengendapan breksi tersebut, bukan hanya sekedar blok batuan yang lebih tua masuk ke dalam batuan yang lebih muda seperti pada endapan mélange sedimenter di Karangsambung. Basement ini merupakan alas dari batuan-batuan yang menyusun Pegunungan Selatan. Pada tebing sisi utara yang tersusun oleh batupasir karbonatan terdapat bidang sesar yang berarah relatif barat laut-tenggara. Sedangkan di tebing sisi timur tersusun oleh perselang-selingan batupasir dan batulempung setebal 6 m dan di atasnya terbentuk perulangan batupasir gradasi normal. Pada susunan batuan tersebut terdapat dua sill. Dari pengamatan petrografi dapat diidentifikasi bahwa batuan beku tersebut berupa diabas (Setiawati, 2013). Hal yang harus diperhatikan : Perhatikan kontak antara filit dan batugamping di atasnya, lihat orientasi batugamping yang ada tepat di atas filit. Amati jenis batuan beku yang ada di bukaan sisi timur, lihat pula hubungannya dengan batuan sedimen di sekitarnya. Pikirkan bagaimana hubungan antara batuan yang berada di ketiga tebing (bukaan) sisi barat, utara, dan timur.
Panduan EGR 2015/2016
45
Tugas untuk dikerjakan : Ukur strike dan dip batuan di sekitar filit. Tentukan fasies yang berkembang pada batuan sedimen yang ada. Tentukan bagaimana hubungan antara urutan batuan di tebing barat dan tebing timur.
Batugamping Nummulites Diabas
Filit-grafit Batupasir halus - batulanau
(a)
(b)
Gambar 5.1. (a) Kontak non-conformity antara filit grafit dan batugamping nummulites. (b) Kontak intrusi sill diabas terhadap perselingan batupasir-batulanau yang tersesarkan.
Gambar 5.2. Diagram singkapan tebing barat dan timur.
Panduan EGR 2015/2016
46
V.2. WATUTUGEL, GESI Stopsite kedua terletak di G. Watutugel, Gesi, Sragen. Di dalam peta geologi lembar Ngawi (Datun dkk., 1996) termasuk ke dalam Formasi Kerek dan dipotong oleh sesar geser sinistral berarah NNE-SSW. Singkapan ini terletak pada tebing bukit setinggi 20 meter yang terbuka oleh aktifitas penambangan bahan galian golongan C, untuk kepentingan konstruksi. Hingga saat pelaksanaan EGR 2016 ini, aktifitas penambangan masih berjalan, sehingga diharapkan kehati-hatian para peserta saat di lokasi. Singkapan Watutugel memperlihatkan seri batuan volkanik, dari yang berbutir pasir sedang karbonatan, berbutir pasir halus dan lanau, hingga berukuran bongkah. Secara ringkas, terdapat dua unit litologi, yaitu (1) perselingan batupasir tufan dan tuf, dengan sisipan batupasir tufan karbonatan; dan (2) breksi andesit. Unit breksi andesit mengerosi unit batupasir tufan – tuf, dimana terdapat satu blok besar tubuh unit batupasir tufan – tuf yang masuk kedalam unit breksi andesit sebagai mega-klastika, dengan posisi sudah terbalik kedudukan perlapisannya. Unit perselingan batupasir tufan – tuf dapat dianggap sebagai endapan transportasi massal (MTD – mass transport deposits) yang dikontrol oleh gaya gravitasi pada lingkungan laut dalam, dengan banyaknya kehadiran endapan debris serta sebagian kecil endapan turbidit. Karena seluruh material merupakan produk volkanik, dapat dikatakan bahwa singkapan Watutugel ini mencerminkan contoh sedimentasi gaya berat pada material erupsi gunungapi yang masuk ke lingkungan lereng dasar laut. Hasil analisis arah arus purba (paleocurrent) menunjukkan arah sedimentasi berasal dari utara. Tampaknya gunungapi tersebut berada di atau dekat dengan daratan, diindikasikan temuan laminasi material organik pada bidang-bidang perlapisan batupasir tufan karbonatan. Berdasarkan karakteristik litologinya yang didominasi batuan volkanik hingga berukuran breksi, singkapan Watutugel dapat dimasukkan ke dalam Formasi Banyak (Pringgoprawiro, 1983), yang sering pula dianggap sebagai anggota dari Formasi Kalibeng bagian bawah. Struktur geologi yang dijumpai di singkapan ini adalah keberadaan Sesar Sinistral Watutugel yang berarah NNE-SSW. Panduan EGR 2015/2016
47
Hal yang harus diperhatikan : Perhatikan kedudukan unit perlapisan batupasir tufan – tuf, serta struktur sedimennya. Kontak antara unit breksi andesit dan unit perlapisan batupasir tufan - tuf. Perkembangan struktur di zona Sesar Watutugel. Tugas untuk dikerjakan : Tentukan mekanisme sedimentasi pada kedua unit batuan. Kumpulkan bukti-bukti pergerakan Sesar Watutugel. Rekonstruksi proses erosional yang terjadi saat awal sedimentasi unit breksi andesit.
Gambar 5.3. (a) Kontak erosional antara breksi andesit dan perselingan batupasir tufan – tuf; sesar geser sinistral berjurus NNE-SSW memotong singkapan. (b) Endapan transportasi massal (MTD – mass transport deposits) akibat gaya berat pada batuan volkanik laut dalam (unit perselingan batupasir tufan – tuf), dimana endapan turbidit fasies distal kadang hadir diantara endapan debris berbutir halus.
Gambar 5.4. Diagram singkapan tebing timur Watutugel. Panduan EGR 2015/2016
48
V.3. KEDAWUNG, MONDOKAN Stopsite ketiga terletak di Kedawung, Mondokan, Sragen. Di dalam peta geologi lembar Salatiga (Sukardi & Budhitrisna, 1992) termasuk ke dalam Formasi Kalibeng dan Anggota Klitik. Singkapan berada di tebing sungai yang mengalir relatif ke arah timur. Pada lokasi ini tersingkap transisi antara napal Formasi Kalibeng yang secara gradual berubah menjadi batugamping Klitik. Tampaknya batugamping Klitik diendapkan pada lingkungan paparan landai, yang seringkali mengalami ekspose ke permukaan, sehingga terbentuk banyak lapisan tanah purba (paleosol). Bagian atas tebing sungai umumnya tersusun atas endapan sungai purba yang membentuk teras. Melihat endapan teras tersebut tersusun atas bongkah-bongkah batuan yang berukuran besar, tampaknya pengendapan sungai purba Kedawung berada pada lingkungan sungai teranyam (braided channel) yang membawa endapan-endapan orogenik (molasse) perbukitan Kendeng di sekitarnya. Saat ini tipe Sungai Kedawung adalah kelok-toreh (incised meandering channel) yang menunjukkan sifat superimposed terhadap struktur perlapisan batuan selama erosi vertikalnya.
Gambar 5.5. (a) Kontak gradasi antara napal dan batugamping. (b) Kehadiran beberapa lapisan tanah purba (paleosol), ada yang tua, ditemukan diantara batugamping; dan ada yang muda menutupi batugamping.
Panduan EGR 2015/2016
49
V.4. BLEDUG KUWU Stopsite keempat terletak di Kuwu, Kradenan, Grobogan. Yang dikunjungi adalah fenomena semburan lumpur alamiah, yaitu Bledug Kuwu, yang termasuk dalam Kradenan Mud Volcano Complex (KMVK). KMVK secara fisiografis terletak di Dataran Randublatung (Novian dkk., 2012). Lokasi ini merupakan satu dari beberapa gunung lumpur yang ada di Zona Kendeng dan Zona Rembang. Gunung lumpur di Bledug Kuwu masih aktif hingga saat ini, hal itu dibuktikan dengan masih adanya semburan lumpur dan material lainnya yang dikeluarkan secara periodik. Material yang dikeluarkan berupa lumpur, air, gas, dan batuan. Batuan yang terbawa lumpur di lokasi ini beraneka macam, atara lain batuan metamorf, batugamping, batupasir, dan batulanau. Gas yang muncul di sini sagat bervariasi, mulai dari gas biogenik, gas asosiasi minyak, sampai dengan gas kondensat kering (Burhannudinnur dkk., 2012). Gunung lumpur di lokasi ini membentuk morfologi khas berupa pie, salsa kecil, dan pool (Burhannudinnur dkk., 2012), dimana Bledug Kuwu merupakan suatu pie besar dengan diameter 60 m. Di dalam pie utama tersebut terdapat pie-pie kecil yang membentuk suatu kelurusan. Selain itu di Kuwu juga nampak beberapa gryphon dengan pool diantaranya. Hal itu dimungkinkan karena pie-pie kecil tersebut muncul mengikuti pola rekahan yang ada. Dari hasil analisa kimia yang dilakukan Burhannudinnur dkk. (2012) diperoleh data bahwa pH air di Bleduk Kuwu adalah 6,5 – 7 dengan suhu mencapai 30° C - 32°C. Gunung lumpur di kompleks ini mempunyai kandungan Na, Cl, dan Mg yang lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa gunung lumpur yang berada di selatan dari kompleks ini. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan material sumber dari gunung lumpurnya. Komposisi mineral penyusun gunung lumpur ini terdiri dari smektit, kaolinit, kuarsa, dan feldspar (Burhannudinnur, dkk., 2012). Berdasarkan analisis foraminifera kecil dan foraminifera besar yang dilakukan Novian dkk (2012) diketahui bahwa sumber material lumpur tertua berada pada umur N7 – N9 (Miosen Awal – Miosen Tengah). Dari data tersebut diperoleh kesimpulan bahwa sumber lumpur berasal dari bagian atas Formasi Tuban. Material dari formasi ini dapat muncul ke permukaan disebabkan oleh dua faktor, yang pertama yaitu dikarenakan tekanan dari tubuh lumpur itu sendiri yang Panduan EGR 2015/2016
50
muncul karena tekanan pembebanan sedimentasi (overburden pressure) yang didapat saat pengendapan dan tekanan yang diakibatkan oleh sesar – sesar naik yang memotong daerah ini setelah mengalami inversi. Hal itulah yang menjelaskan mengapa batuan metamorf dapat terbawa oleh semburan gunung lumpur di sini. Hal yang harus diperhatikan : Posisi mud volcano Bledug Kuwu secara fisiografis terhadap geomorfologi sekitarnya. Fluida yang dikeluarkan bersama lumpur. Orientasi titik semburan baru yang muncul di sekitar titik semburan utama. Tugas yang harus dikerjakan di stopsite : Tentukan karakter fisik dari mud volcano Bleduk Kuwu. Perhatikan dan tentukan pola kelurusan gyphon yang ada. Amati karakter dari material yang dihasilkan oleh mud volcano.
Gambar 5.6. (a) Area mud volcano Bledug Kuwu pada saat tenang (kamera menghadap barat); walaupun tenang namun masih dapat diamati adanya uap air yang muncul di atas lokasi semburan lumpur. (b) Gryphon dan pond yang mulai mengering membentuk mud crack.
Panduan EGR 2015/2016
51
V.5. POLAMAN, SENDANGHARJO Stopsite kelima terletak di Polaman, Sendangharjo, Blora. Singkapan berupa Formasi Ngrayong dengan bagian bawah singkapan tersusun oleh batulempung yang berubah ke arah atas menjadi batulempung berseling dengan batupasir dan shale. Batupasir pada perselingan menunjukkan penurunan ketebalan ke arah atas. Batulempung mempunyai warna abu-abu kehijauan. Makin ke atas batulempung berubah menjadi batupasir dan dijumpai gastropoda dan pelecypoda dengan orientasi yang tidak jelas yang diinterpretasikan fosil tersebut in situ (biocoenose). Amber dan batubara sering dijumpai pada batulempung dan batupasir. Ke arah atas secara gradasional batuan berubah menjadi batugamping Cycloclypeus. Perubahan batuan pada Formasi Ngrayong ini menunjukkan perubahan lingkungan dari daerah transisi menuju laut dangkal yang terbuka. Batupasir mempunyai porositas yang bagus sehingga baik untuk batuan reservoar. Shale dapat bertindak sebagai source rock sementara batugamping Cycloclypeus dapat bertindak sebagai seal. Hal yang harus diperhatikan : Perubahan litologi dari batupasir menjadi batugamping. Jenis gelembur yang ada, gelembur arus ataukah gelembur gelombang. Keterdapatan gipsum dan implikasi pada kondisi sedimentasinya.
Gambar 5.7. (a) Singkapan pada bekas bukaan tambang di Polaman (kamera menghadap timur), tebing utara tersusun atas batulempung heterolitik, lantai bukaan tambang tersusun atas batupasir kuarsa, dan tebing selatan tersusun oleh batugamping rudstones. (b) Singkapan struktur gelembur gelombang (ripple marks) pada batulempung heterolitik, panah menunjukkan arah arus purba (paleocurrent) bolak-balik yang ada di lingkungan pasang-surut.
Panduan EGR 2015/2016
52
Gambar 5.8. Diagram singkapan Polaman.
Tugas yang harus dikerjakan di stopsite : Tentukan berapa siklus perubahan dalam – dangkal yang terjadi di lokasi ini. Tentukan paleoccurrent yang ada berdasarkan data asymetric ripple yang ada. Rekonstruksikan lingkungan pengendapan untuk singkapan Polaman.
Panduan EGR 2015/2016
53
V.6. SUNGAI BRAHOLO, SENDANGHARJO Stopsite keenam terletak di lembah Sungai Braholo, Sendangharjo, Blora. Di stopsite ini dijumpain singkapan batuan setebal kurang lebih 31 m, dari bawah ke atas tersusun oleh perselang-selingan rudstone, kemudian berubah menjadi batupasir yang tidak karbonatan, semakin ke atas batupasir. Dijumpai singkapan pada bagian hulu sungai dengan urutan batuan yang tersingkap setebal 7 m berupa foraminiferal rudstone yang berubah menjadi batupasir, batulanau dan ditutup oleh batupasir kembali. Singkapan ini diperkirakan masuk ke dalam Formasi Tawun. Di atas Formasi Tawun secara gradasional terendapkan Formasi Ngrayong yang didominasi oleh batupasir kuarsa. Akibat lingkungan pengendapan yang sangat dangkal maka pada batas Formasi Tawun-Ngrayong ini diduga pernah mengalami fase darat sehingga terjadi diagenesis pada batuan-batuan di batas antara kedua formasi ini. Diagenesis terlihat jelas pada batuan karbonat yang menghasilkan batuan karbonat berpori bagus dan yang mengalami sementasi. Beberapa sesar juga dijumpai memotong singkapan batuan pada daerah ini. Petroleum system yang bisa diamati berupa batuan induk, reservoir, seal, dan jalur migrasi. Hal yang harus diperhatikan : Perubahan litologi yang ada, baik secara vertikal maupun lateral. Kemenerusan lapisan batuan secara lateral. Asosiasi struktur geologi berupa lipatan, sesar, dan kekar yang berkembang di lokasi pengamatan. Tugas yang harus dikerjakan di stopsite : Tentukan jenis struktur geologi yang berkembang sepanjang lokasi pengamatan. Tentukan hubungan antara Formasi Tawun dan Formasi Ngrayong dari data di lokasi pengamatan. Tentukan mekanisme pengendapan Formasi Tawun dan Formasi Ngrayong.
Panduan EGR 2015/2016
54
Gambar 5.9. (a) Singkapan di Kali Braholo yang menunjukkan perubahan dari batugamping menjadi batuan silisiklastik dan menjadi batuan mix-silisiklastik sampai batugamping di bagian atasnya (kamera menghadap barat daya). (b) Sumbu antiklin berarah relatif barat – timur di Kali Braholo (kamera menghadap barat).
Gambar 5.10. Diagram singkapan Braholo.
Panduan EGR 2015/2016
55
V.7. WADOK PANOHAN, GUNEM Waduk Panohan terletak di selatan Rembang, dibangun pada morfologi hogback sayap utara Antiklin Brama, yang tersusun atas batugamping Formasi Bulu. Tipe bendungan yang dibangun adalah urugan batu dengan inti tegak, setinggi 17 m dari permukaan sungai, dan panjang 150 m, dengan volume timbunan mencapai 65.965 m3. Waduk Ponahan adalah bendungan fungsi tunggal, yaitu hanya untuk irigasi saja. Sungai yang dibendung adalah Sungai Grubugan yang berada pada zona curah hujan 1500-2000 mm per tahun, sehingga diperkirakan dapat menampung sebanyak 1,206,000 m3 air untuk irigasi seluas 530 Ha.
Gambar 5.11. Letak Waduk Panohan pada peta geologi Lembar Rembang (Kadar & Sudijono, 1993).
Gambar 5.12. Tubuh Waduk Panohan.
Panduan EGR 2015/2016
56
V.8. PANTAI INDAH, SLUKE Stopsite kedelapan adalah tebing Pantai Indah, Sluke, Rembang. Di sini tersingkap endapan fluvio-volkanik Gunungapi Lasem. Pada bagian bawah tebing, tersusun batupasir kerakalan dengan fragmen batuan beku yang sudah membola, sebagai produk dari sungai teranyam (braided channel). Di atasnya secara erosional diendapkan breksi hasil sedimentasi lahar. Pada tubuh batupasir berkembang struktur liesegang dengan baik.
Gambar 5.13. (a) Endapan fluvial yang ditutupi oleh endapan lahar. (b) Struktur liesegang yang terjadi akibat pengendapan unsur-unsur besi secara diagenetik oleh air tanah.
V.9. HUTAN MANGROVE BANGGI, REMBANG Stopsite terakhir dalam EGR 2016 ini adalah Hutang Mangrove Banggi, Rembang. Di lokasi ini para peserta EGR dapat mengamati model lingkungan sedimentasi modern pesisir utara Jawa saat ini, sebagai analog bagi rekaman stratigrafi di Cekungan Rembang, terutama pada Formasi Ngrayong. Lingkungan estuarina dengan model sedimentasi paparan lumpur (mud flat) berada dalam jarak yang dekat dengan lingkungan delta untuk model sedimentasi batupasir. Tidak berapa jauh di lepas garis pantai (~800 m) terdapat terumbu karang sebagai model sedimentasi karbonat. Sekuen batuan sebagaimana Formasi Ngrayong di singkapan Polaman dapat diandaikan terbentuk bila ketiga lingkungan sedimentasi tersebut (mud flat, delta, terumbu) berada dalam sistem transgresif, dimana muka air laut mengalami kenaikan dan menggeser lingkungan-lingkungan sedimentasi tersebut secara lateral dan gradual.
Panduan EGR 2015/2016
57
Gambar 5.14. Citra Google yang menunjukkan distribusi terumbu karang di perairan Rembang. Lingkaran putih bergaris merah adalah lokasi stopsite 9. Garis persegi-empat berwarna oranye adalah letak zoom-in Gambar 5.14.
Gambar 5.15. Citra Google yang menunjukkan sebaran lingkungan sedimentasi modern pesisir Banggi, Rembang.
Panduan EGR 2015/2016
58
DAFTAR PUSTAKA
Burhannudinnur, M., D. Noeradi, B. Sapiie, dan D. Abdassah (2012) Karakter Mud Volcano di Jawa Timur, Proceedings the 41st IAGI Annual Convention and Exhibition, Yogyakarta, EG-49, p. 300 – 304. Claproth, R. (1989) Petrography and Geochemistry of Volcanic Rocks from Ungaran, Central Java, Indonesia. Ph.D. Thesis, Department of Geology, University of Wollongong, 500 p. Clements, B., R. Hall, H.R. Smyth, and M.A. Cottam (2009) Thrusting of a volcanic arc: a new structural model for Java. Petroleum Geoscience, 15, pp. 159–174 Cramez, C., and J. Letouzey (2001) Basic Principles in Tectonics. Universidade Fernando Pessoa, Portugal. Datun, M., Sukandarrumidi, B. Hermanto, dan N. Suwarna (1996) Peta Geologi Lembar Ngawi, Jawa. Edisi ke-2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. De Genevraye, P. and L. Samuel (1972) Geology of The Kendeng Zone (Central & East Java). Proceedings of the Indonesian Petroleum Association 1st Annual Convention and Exhibition, p. 17 – 30. Edwards, C., M. Menzies, and M. Thirlwall (1991) Evidence from Muriah, Indonesia, for the Interplay of Supra-Subduction Zone and Intraplate Processes in the Genesis of Potassic Alkaline Magmas. Journal of Petrology, 32(3), pp. 555592. Fadhilestari, I. (2011) Rekonstruksi Lingkungan Pengendapan dan Penentuan Umur Berdasarkan Foraminifera Besar pada Formasi Wonosari, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, 148 p. Hall, R. (2012) Late Jurassic - Cenozoic reconstruction of the Indonesian region and the Indian Ocean. Tectonophysics, 570-571, pp. 1-41. Hall, R., and C.K. Morley (2004). Sundaland Basins. In P. Clift, P. Wang, W. Kuhnt, & H. (eds.) Continent-Ocean Interactions within the East Asian Marginal Seas. Geophysical Monograph, American Geophysical Union, 149, pp. 55-85. Hamilton, W. (1979) Tectonics of the Indonesian Region, USGS Professional Paper, vol. 1078, 345 p. Handley, H.K., S.P. Turner, C.G. Macpherson, R. Gertisser, and J.P. Davidson (2011) Hf-Nd isotope and trace element constraints on subduction inputs at island arcs : limitations of Hf anomalies as sediment input indicators, Earth and planetary science letters, 304 (1-2). pp. 212-223.
Panduan EGR 2015/2016
59
Hidayat, M.I. (2005) Biostratigrafi Foraminifera Plangtonik dan Penentuan Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Foraminifera Bentonik Kecil pada Formasi Oyo, Jalur Kali Widoro – Kali Oyo – Kali Grinsing, Desa Bunder, Playen, DIY; Skripsi, Jurusan Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta. Husein, S. (2007). Tinjauan Aspek Kegempaan Pegunungan Selatan. Prosiding Seminar Potensi Geologi Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah, Pusat Survei Geologi, Yogyakarta, 8 pp. Husein, S. (2013) Perkembangan Tektonik Pegunungan Selatan Yogyakarta: dari busur volkanik hingga patahan bongkah, sebuah kontribusi pemikiran. Presentasi pada Seminar Nasional memperingati 30 tahun Stasiun Lapangan Geologi 'Prof. R. Soeroso Notohadiprawiro' Bayat, Jurusan Teknik Geologi FT UGM. Husein, S. (2015) Petroleum and Regional Geology of Northeast Java Basin, Indonesia - Excursion Guide Book for Universiti Teknologi Petronas Malaysia. Department of Geological Engineering Universitas Gadjah Mada, 21 p. Husein, S., K. Kakda, dan H.F.N. Aditya (2015) Mekanisme Perlipatan En-Echelon di Antiklinorium Rembang Utara, Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-8 Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, GEO41, pp 224-234 Husein, S., A. Mustofa, A. Matikayuda, dan I. Sudarno (2008a). Kompleks Lipatan Alaskobong: laboratorium alam geologi struktur. Prosiding Seminar Nasional “Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam Pembangunan Nasional”, Jurusan Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta, 12 hal. ISBN 978-979-17549-03. Husein, S., A. Mustofa, I. Sudarno, and B. Toha (2008b). Tegalrejo Thrust Fault as an Indication of Compressive Tectonics in Baturagung Range, Bayat, Central Java. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 37, Bandung, pp. 258-268. Husein, S. and M. Nukman (2015) Rekonstruksi Tektonik Mikrokontinen Pegunungan Selatan Jawa Timur: sebuah hipotesis berdasarkan analisis kemagnetan purba. Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-8 Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, GEO42, p 235-248. Husein, S., J. Jyalita, dan M.A.Q. Nursecha (2013) Kendali Stratigrafi dan Struktur Gravitasi pada Rembesan Hidrokarbon Sijenggung, Cekungan Serayu Utara. Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6 Jurusan Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, S03, pp. 474-489. Husein, S. dan R. Sari (2011) Sedimentasi Terpicu Gaya Berat di Bagian Bawah Formasi Kebo, Mojosari, Bayat, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Ilmu Kebumian ke-4 dan Pelepasan Purna Tugas Dosen Teknik Geologi FT UGM, pp. 119-140. ISBN 978-979-17549-9-6.
Panduan EGR 2015/2016
60
Husein, S. and Srijono (2007). Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa Tengah: telaah peran faktor endogenik dan eksogenik dalam proses pembentukan pegunungan. Prosiding Seminar Potensi Geologi Pegunungan Selatan dalam Pengembangan Wilayah, Pusat Survei Geologi, Yogyakarta, 10 pp. Kadar, D. dan Sudijono (1993) Peta Geologi Lembar Rembang, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Jurusan Teknik Geologi FT UGM (1994) Geologi Daerah Pegunungan Selatan: Suatu Kontribusi. Kumpulan Makalah Seminar Geologi dan Geotektonik Pulau Jawa, Sejak Akhir Mesozoik hingga Kuater. Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 23 hal (extended abstract). Lehmann, H. (1936) Morphologische Studien auf Java: Geographische Abhandlungen, Series 3, no. 9, pp. 1–114. Lowell, J.D. (1980) Wrench versus compressional structures with application to Southeast Asia. Southeast Asia Petroleum Exploration Society Proceedings, 5, pp. 63-70. Lunt, P., R. Netherwood, and O.F. Huffman (1998) Guide Book of IPA Field Trip to Central Java. Indonesian Petroleum Association, Jakarta, 65 pp. Musliki, S., and Suratman (1996) A Late Pliocene Shallowing Upward Carbonate Sequence and Its Reservoir Potential, Northeast Java Basin. Proceeding of 25th Annual Convention and Exhibition of Indonesian Petroleum Association, pp. 43-54. Pannekoek, A.J. (1949) Outline of the Geomorphology of Java. Reprint from Tijdschriftvan Het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, vol. LXVI part 3, E.J. Brill, Leiden, pp. 270-325. Pringgoprawiro, H. (1983) Biostratigrafi dan Paleogeografi Cekungan Jawa Timur Utara, Suatu Pendekatan Baru. Desertasi Doktor, Institut Teknologi Bandung. Morrison, G. (1980) Characteristics and tectonic settings of shoshonite rock association, Lithos, 13, pp. 97-108. Novian, M.I., D.H. Barianto, S. Husein, dan Akmaluddin (in preparation) Peta Geologi Lembar Wonosari dan Semanu, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pusat Survei Geologi, Bandung. Novian, M.I., P.P. Utama, dan S. Husein (2013) Penentuan Batuan Sumber Gununglumpur di Sekitar Purwodadi Berdasarkan Kandungan Fosil Foraminifera. Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6, Jurusan Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta, pp. 519-534. Novian, M.I., P.K.D. Setiawan, S. Husein, dan W. Rahardjo (2012) Stratigrafi Formasi Semilir bagian atas di Dusun Boyo, Desa Ngalang, Kecamatan Gedang Sari, Kabupaten Gunung Kidul, DIY: Pertimbangan untuk penamaan Anggota Buyutan. Geologi Pegunungan Selatan Bagian Timur, Publikasi Khusus Pusat Survei Geologi, pp. 27-37. Panduan EGR 2015/2016
61
Novian, M.I., S. Husein, R.N. Saputra (2014) Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional 2014, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, 54 hal. Nugraha, S., A.M., and R. Hall (2013) Cenozoic Stratigraphy of the East Java Forearc. Berita Sedimentologi, 26, p.5-17. Price, N.J., and J.W. Cosgrove (1990) Analysis of Geological Structures. Cambridge University Press., 246 p. Rahardjo, W. Sukandarrumidi, dan H.M.D. Rosidi (1995) Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Ramsay, J. G. (1967) Folding and Fracturing of Rocks. New York: McGraw-Hill Samodra, H., S. Gafoer, and S. Tjokrosapoetro (1992) Peta Geologi Lembar Pacitan, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Satyana, A.H. (2014) New Consideration on The Cretaceous Subduction Zone of Ciletuh-Luk Ulo-Bayat-Meratus: Implications for Southeast Sundaland Petroleum Geology. Proceedings of 38th Annual Convention and Exhibition of Indonesian Petroleum Association, IPA14-G-129, 41 p. Satyana, A.H., E. Erwanto, dan C. Prasetyadi (2004) Rembang-Madura-KangeanSakala (RMKS) Fault Zone, East Java Basin : the origin and nature of a geologic border. Proceeding the 33rd Annual Convention & Exhibition of Indonesian Association of Geologist. Setiawati, Y. (2013) Studi Fasies Formasi Wungkal – Gamping Jalur Gunung Gajah, Desa Gunung Gajah, Kecamatan Bayat, kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Tugas Akhir Tipe Skripsi, Jurusan Teknik Geologi UGM, Yogyakarta. (tidak dipublikasikan). Setijadji, L.D. (2010) Segmented Volcanic Arc and its Association with Geothermal Fields in Java Island, Indonesia. Proceedings World Geothermal Congress 2010, Bali, 12 p. Situmorang, B., T.E. Siswoyo, and F. Paltrinieri (1976) Wrench fault tectonics and aspects of hydrocarbon accumulation in Java. Proceeding of 5th Annual Convention and Exhibition of Indonesian Petroleum Association, pp. 53-61. Situmorang, R.I., R. Smit, dan E.J. van Vessem (1992) Peta Geologi Lembar Jatirogo, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Smyth, H. (2005) Eocene to Miocene Basin History and Volcanic Activity in East Java, Indonesia. PhD Thesis, University of London, 470 p. Smyth, H.R., P.J. Hamilton, R. Hall, and P.D. Kinny (2007) The deep crust beneath island arcs: Inherited zircons reveal a Gondwana continental fragment beneath East Java, Indonesia. Earth and Planetary Science Letters, 258, p. 269–282
Panduan EGR 2015/2016
62
Soekmono, R. (1967) A Geographical Reconstruction of Northeastern Central Java and the Location of Medang. Indonesia, no. 4, Southeast Asia Program Publications at Cornell University, pp. 1-7. Soetantri, B., L. Samuel, dan G.A.S. Nayoan (1973) The Geology of the Oilfields in North East Java. Proceeding of 2nd Annual Convention and Exhibition of Indonesian Petroleum Association, pp. 149-175. Soetarso, B., and P. Suyitno (1976) The diapiric structure and relation on the occurrence of hydrocarbon in northeast Java basin. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia ke-19. Sukardi dan T. Budhitrisna (1992) Peta Geologi Lembar Salatiga. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Sunantyo, T.A., S. Pramumijoyo, dan S. Husein (2014) Pengukuran Jaring Pemantau Tahun 2013 dan Pemetaan Geologi di Kawasan Sekitar Sesar Opak, Propinsi DIY. Proceeding Annual Engineering Seminar 2014 Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ISBN 978-602-98726-3-7, pp. 41-50. Sumarso dan T. Ismoyowati (1975) Contribution to The Stratigraphy of The Jiwo Hills and Their Southern Surroundings (Central Java). Proceedings of Indonesian Petroelum Association 4th Annual Convention and Exhibition, p. 19 – 26. Sumosusastro, S. (1956) A Contribution to The Geology of Eastern Djiwo Hills and The Southern Range in Central Java. Department of Geology, Faculty of Science, University of Indonesia. Surono (2008) Litostratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak di Pegunungan Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan. Jurnal Geologi Indonesia, 3/4, pp. 183-193. Surono, U. Hartono, dan S. Permanadewi (2006) Posisi stratigrafi dan petrogenesis intrusi Pendul, Perbukitan Jiwo, Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Jurnal Sumber Daya Geologi, XVI/5, pp. 302-311. Surono, B. Toha, dan Ign. Sudarno (1992) Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Van Bemmelen, R.W. (1949) The Geology of Indonesia, vol. I.A. General Geology. Martinus Nyhoff, The Hague. Van Gorsel, J.T, D. Kadar, and P.H. Mey (1989) Geological Fieldtrip Central Java. Indonesian Petroleum Association, 70 p. Zaim, Y. (1989) Les formations “Volcano-sedimentaires” Quaternaires de la region de Patiayam (Central Java, Indonesia). Theses Doktorat L’Institut de Paleontologie Humaine, Perancis, tidak dipublikasikan, 264 h.
Panduan EGR 2015/2016
63