Laporan tentang Sebuah Diskusi
Camkanlah: Indonesia adalah Sarang Toleransi BERTHOLD DAMSHÄUSER
Sudah berkali-berkali saya menulis esai berisi laporan tentang diskusi-diskusi pada jam mata kuliah bahasa Indonesia di Universitas Bonn tempat saya mengajar. Karena diskusi-diskusi itu bertemakan bahasa Indonesia, laporan-laporan singkat itu suka dimuat di kolom “bahasa” majalah Tempo.1 Oleh berbagai pihak kolom-kolom itu dianggap membingungkan. Beberapa bahkan meminta penjelasan pada saya: ini kolom, esai, atau laporan? Ini fakta atau fiksi? Saya tidak menjawab, dan ini bukan karena menulis jawaban tidak ada honornya. Bukan! Penyebabnya adalah, saya sendiri bingung mengurus kolom itu. Bingung karena tahu: Ada banyak fiksi pada tiap fakta, dan banyak fakta pada tiap fiksi; ada banyak argumentasi dalam obrolan dan banyak obrolan dalam argumentasi; ada banyak kesungguhan dalam main-main dan banyak main-main dalam kesungguhan. Maka saya heran, bahwa laporan-laporan itu dianggap pantas sebagai kolom sebuah majalah legendaris. Tapi, mengingat kenyataan bahwa sebagai dosen saya memang cerdas dan kaya ilmu, jauh dibanding para mahasiswa saya, sebagaimana terlihat dalam kolom-kolom saya di majalah Tempo dan akan juga terbukti pada tulisan ini, maka semua bisa saya pahami. Sebagai dosen berwawasan sangat luas, jangankan renungan atau kajian, laporan kegiatan kuliah sehari-hari pun tentu patut dimuat di mana saja. Tulisan di bawah ini juga merupakan laporan perkuliahan saya. Namun, kali ini bukan kuliah perihal bahasa yang dilaporkan, melainkan diskusi yang kebetulan cukup berkaitan dengan tema yang menjadi fokus Jurnal Sajak edisi ini: “Indonesia Tanpa Diskriminasi”. Sebagaimana dalam laporan perihal bahasa, dalam laporan ini pun pembaca dipersilahkan mengagumi kehebatan saya sebagai sang dosen sehingga kiranya dapat dijadikan suri tauladan dosen-dosen di Indonesia. Inilah laporannya:
1
66
Beberapa dari kolom-kolom membingungkan itu terkumpul di website berikut: http://rubrikbahasa.wordpress.com/category/menurut-penulis/BertholdDamshauser/
JurnalSajak No. 06, 2013
Semua ini terjadi pada bagian akhir sebuah jam mata kuliah bahasa Indonesia yang biasa. Sudah selama satu jam saya menyiksa murid-murid saya dengan latihan menerjemahkan teks dari koran Indonesia ke bahasa Jerman. Ini latihan rutin. Mereka tersiksa karena teks-teks tersebut ditulis dalam bahasa Indonesia yang buruk, penuh kesalahan tata bahasa dan mengabaikan logika. Kenyataan ini — disadari atau tidak di Indonesia— cukup lah biasa dan mudah ditemukan. Itu belum seberapa. Coba kalau yang saya jadikan bahan adalah bahasa lisan yang digunakan para tokoh atau pejabat di TV —padahal dalam forum resmi— baru lah mereka tahu apa arti sesungguhnya dari siksa dan derita. Adapun kebiasaan saya menyiksa mahasiwa dengan latihan penerjemahan bukanlah disebabkan karena saya seorang yang sadis. Tidak! Kalau mereka pusing, bingung, dan tersiksa, sepenuhnya bukanlah salah saya. Saya hanya mengambil teks bahasa Indonesia buatan bangsa Indonesia sendiri, bukan buatan saya. Kalau rakyat Indonesia mau memilih pemimpin-pemimpin dan menokohkan orang-orang yang buruk bahasa Indonesianya tentu itu urusan bangsa Indonesia. Bangsa lain tidak boleh melakukan intervensi. Bagaimana pun, harus diakui, pada hari itu barangkali siksaan sedikit melebihi ukuran baku, sehingga protes pun bermunculan. Tentu hal ini bisa saya pahami.
JurnalSajak No. 06, 2013
“Pak, mohon hentikan siksaan ini. Kami tak tahan lagi”, seorang mahasiswa bermuka basah keringat memulai protesnya, “sisa jam kuliah ini mungkin dapat kita gunakan untuk diskusi yang Bapak janjikan kemarin.” Diskusi? Janji? Apa maksudnya? Saya memeriksa ingatan saya, namun terganggu oleh paduan suara antusias mereka: “Ya, Pak, ini ide bagus. Diskusi tentang tema yang sudah kita sepakati itu, yang berbentuk pertanyaaan: Masihkah ada tempat bagi toleransi di Indonesia? Untuk itu kami sudah mengumpulkan bahan, kami siap untuk membahasnya.” Sekarang saya ingat, tema diskusi itu pernah saya setujui. Padahal tema semacam itu jelas tidak penting. Tapi oke lah, sebagai dosen cerdas tema apa pun tak masalah. Saya siap. Untuk tema segampang itu saya sama sekali tidak memerlukan persiapan. Tinggal memasang wajah ilmiah. “Pak, boleh saya mulai?” terdengar suara dari arah kanan. Dengan anggun dan berwibawa saya anggukan ke-pala perlahan. “Bahan-bahan yang kami teliti”, suara itu melanjutkan, “khususnya berita di koran Indonesia, juga di koran internasional, mengarah pada kesimpulan bahwa semakin banyak manusia di Indonesia menderita karena didiskriminasi. Sepertinya, toleransi sebagai sikap dasar bangsa Indonesia sema-
67
kin menurun. Bagaimana pendapat Bapak?” Wah, betapa aus dan klise pertanyaan seperti itu. Namun, saya jawab dengan serius, ilmiah, dan tentu bertolak dari dasar-dasar yang senantiasa menentukan segala hal ihwal di dunia. “Saudara, sebagai calon ilmuwan, Anda wajib memilih sumber-sumber yang valid. Bukan berita pers, melainkan sumber dasariah. Dalam hal ini: Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Kalau itu yang menjadi sumber Saudara, pastilah Saudara tidak akan sangsi akan toleransi sebagai sikap dasar dan nyata tiap bangsa Indonesia. Karena dalam sumber-sumber tersebut terbaca hitam di atas putih: Manusia Indonesia adalah manusia berjiwa Pancasila. Dibekali semangat Pancasila, ia menjunjung prinsip kekeluargaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesamanya diperlakukan sebagai saudara. Seorang saudara pasti tidak didiskriminasi, seorang saudara jelas dicintai. Saya kira itu sangat masuk akal. Selain itu, sumber-sumber tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa di Indonesia berlaku prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Maknanya sudah sering saya terangkan kepada Saudara, dan seharusnya Saudara tidak pernah lupa. Berbedabeda tetapi tetap satu. Maka perbedaan dihargai, tentu juga ditolerir. Secara ilmiah dapat disimpulkan bahwa: Di Indonesia tak ada tempat 68
bagi diskriminasi. Buktinya, sang burung Garuda Pancasila dengan gagahnya mencengkram pita yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika.” Reaksi mahasiswi sangat memuaskan. Mereka terdiam, bisu. Terkesan mereka semua terpesona. Dan memang, jika fakta bicara, kebenaran akan menang dengan jaya! Di bibir saya muncul senyum manis. Tapi, keheningan tak bertahan lama, diinterupsi oleh sebuah suara yang tak simpatis. Pemiliknya adalah si mahasiwa sok cerdas yang suka jadi provokator. Dengan waspada saya dengarkan dia. “Pak, rasanya sikap toleransi tidak selalu ditemui di Indonesia. Bangsa ini sebenarnya masih sangat kolektivistis, kurang menghargai individualisme, apalagi individu yang berbeda dari kolektif, yang tidak hidup sesuai dengan norma-norma umum. Belakangan ini sifat tak toleran bahkan semakin kentara. Salah satu contoh adalah diskriminasi kaum gay.” Wah, justru tema demikian yang diangkatnya. Dasar provokator! Atau ..., saya meneliti roman mukanya …, jangan-jangan dia sendiri termasuk kaum aneh itu? Seketika itu juga sebuah perasaan tak toleran penuh peng- hinaan mulai mendesak dalam diri saya, siap diledakkan. Dengan susah-payah saya berhasil meredakan, lalu menenggelamkannya, tentu setelah mengerahkan segala daya kebijaksa-naan dan keilmuan yang
JurnalSajak No. 06, 2013
saya miliki. Dan sangguplah saya bertanya dengan dingin: “Apa Saudara memiliki fakta?” “Tentu saja,” jawab si provokator, “media melaporkan bahwa polisi mencabut izin sebuah konferensi kaum gay yang hendak diadakan di Surabaya pada bulan Maret, yakni atas desakan kelompok tertentu. Berarti minoritas ini tak berhak berkumpul. Ini jelas membuktikan kian meluasnya sifat tak toleran.” “Mengenai itu saya tidak tahu,” jawab saya singkat, “dan sekali lagi saya tekankan: Gunakanlah sumber yang valid. Media massa jelas tak termasuk di situ. Kita ini ilmuwan!” “Maaf, Pak,” ternyata si provakator dapat dukungan rekannya. “Di perpustakaan kami saya menemukan sebuah jurnal sastra, namanya Jurnal Sajak. Saya anggap jurnal ini sebagai sumber yang valid, karena nama Bapak dicantumkan sebagai salah seorang redaktur. Di situ, saya menemukan puisi panjang yang mengangkat masalah diskriminisasi. Sangat menarik. Dan si penulis, namanya Denny J.A., pernah juga menulis puisi berjudul “Cinta Terlarang Batman dan Robin”. Puisi itu mengenai diskriminasi yang dialami orang gay. Sepertinya di Indonesia ada orang yang prihatin dengan nasib kaum gay. Jelas ini bukti bahwa memang ada masalah diskriminasi.” Hmm..., sebagai sumber Jurnal Sajak jelas lah valid, mengingat saya salah seorang redakturnya. Saya mere-
JurnalSajak No. 06, 2013
nung, lama. Akhirnya muncul jawaban saya yang sungguh matang: “Pertama, sumber yang Saudara sebutkan sangat valid. Kedua, kerikil masalah bisa ada di tempat mana pun. Ketiga, jangan kita kurang toleran terhadap mereka yang mempercayai kodrat. Kodrat laki-laki, dan kodrat perempuan.” Sambil menjawab, saya menatap si provokator dengan tajam. Sialnya, ia membalas dengan senyuman, sebuah senyuman provokatif. Saya pun berhenti menatap dan mengalihkan pandangan, memilih memandang wajah seorang mahaswi yang cantik dan lembut sayu. Baru saja mata saya menatapnya, si cantik langsung angkat berbicara: “Pak, masalah diskriminasi atau sifat tak toleran, saya kira, lebih jelas kelihatan lagi, kalau kita mengamati kehidupan beragama di Indonesia. Kita semua tahu bahwa belakangan ini, tepatnya setelah runtuhnya Orde Baru dan mulai zaman reformasi, minoritas agama semakin sulit kehidupannya. Ada ketegangan antara Muslim dengan Nasrani, ada juga ketegangan antara sesama Muslim. Ingat kasus Ahmadiyah atau kasus Syiah. Minoritas semakin merasa terancam, mengalami kekerasan, penganiayaan, dsb. Bahkan ada korban mati. Kiranya, itu perlu dikaitkan dengan semakin menurunnya toleransi dan meningkatnya sikap diskriminatif. Saya punya bahan yang cukup informatif, yakni hasil angket ilmiah dari 69
Yayasan Indonesia Tanpa Diskriminasi. Di situ disebutkan, antara lain, bahwa lebih dari 40% dari orang yang ditanya tidak bersedia menerima orang Ahmadiyah atau Syiah sebagai tetangga mereka. Dan 25% menyatakan bahwa mereka setuju jika kaidahkaidah agama dibela dengan menggunakan kekerasan. Nah, apakah citra bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sangat toleran cuma sebuah mitos?” “Mitos yang hidup,” jawab saya dengan santai, tak bersedia mengurus angka-angka sebuah angket. Angka jelas cuma angka. Lebih baik saya sampaikan sebuah pikiran yang gemilang, yang secara mutlak membuktikan bahwa orang Indonesia sangat menghargai sikap individualitis, sangat toleran terhadap dia yang berbeda dari kolektif atau mayoritas. Dengan berpose bak penyair Indonesia yang sering saya lihat pada setiap pembacaan puisi, saya bacakan sebuah teks puisi legendaris, dengan hebat , dramatis, dan penuh patos. Suara saya menggelegar, cetar membahana: “Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang.” Lima alias panca kali —seakan tiap kalimat bagaikan sila— saya teriakkan kata-kata ini. Wajah-wajah mahasiswa tercekat. Mereka terpana dan terpesona. Untuk mencegah timbulnya kekaguman mereka yang berlebihan terhadap saya, saya pun dengan arif bijaksana menerangkan: “Ini larik awal puisi Chairil Anwar, penyair Indonesia legendaris dan sangat individualistis. T iap orang Indonesia mencintai dan memahami 70
puisi ini, dan kagum akan individualisme Chairil. Penyair itu dihormati di seluruh Indonesia, dan di Jakarta bahkan ada Taman Chairil Anwar dengan patung idola bangsa Indonesia itu. Hari lahir penyair besar ini juga dijadikan Hari Puisi Indonesia. Bahwa puisi itu dan penciptanya demikian dihormati merupakan bukti tak terbantahkan bahwa seorang outsider di Indonesia diperlakukan dengan penuh toleransi!” Reaksi para mahasiswa jauh dari harapan saya. Dengan mata kosong mereka memandang saya. Apakah mereka tidak menyadari hebatnya argumentasi saya? Entah. Tapi saya tidak menyerah, saya bombardir mereka dengan argumentasi tambahan. “Kalau Anda belum yakin, maka pengalaman pribadi yang mesti bicara. Pengalaman itu adalah bahan paling valid, fakta paling obyektif. Descartes pernah mengatakan bahwa ‘aku berpikir, maka aku ada’. Saya mau melangkah lebih jauh lagi. Bukan hanya berpikir, tapi sekaligus mengalami!” Saya tatap mereka satu persatu, lalu dengan halus tapi mantap menggaris-bawahi: “Di Indonesia, saya tak pernah mengalami diskriminasi. Hampir seluruh Indonesia telah saya kelilingi, dan yang saya temukan hanya keramahan. Misalnya, setelah seminar, saya selalu diundang ke restoran bagus dan dijamu makanan enak. Dalam jamuan semacam itu, saya selalu menjadi satu-satunya orang yang pesan bir. Berarti jelas saya minoritas. Tapi saya
JurnalSajak No. 06, 2013
ditolerir. Saya tidak pernah didiskriminasi. Pengalaman nyata ini berkali-kali saya alami. Kesimpulannya jelas dan tidak terbantahkan: Indonesia adalah sarang toleransi. Camkanlah: Indonesia adalah sarang toleransi!” Kini bukan hanya si provokator yang tersenyum, tapi mereka semua, bahkan ada yang terkekeh-kekeh. Barangkali contoh bir mereka anggap lucu. Padahal, cerita tentang bir ini sarat makna. Cuma, sebutan bir itu menjadikan suasana menjadi kurang ilmiah. Maka saya senang, ketika ada lagi suara, suara merdu simpatis si mahasiswi cantik: “Pak, ada satu hal lagi yang ingin saya tanyakan. Apakah di Indonesia terdapat juga sifat toleran terhadap ateis”. Wah, pertanyaan ini pertanyaan apa? Dan mengapa justru mahasiswi favorit saya ini yang bertanya. Bukankah ia seorang pengunjung gereja yang taat? Tapi baiklah, pertanyaan ini pun bersedia saya jawab: “Bangsa Indonesia telah sepakat mendirikan negara berdasarkan Pancasila. Sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka, susah sekali untuk menerima ateisme. Di Eropa dulu juga begitu. Dan, Pancasila akan tetap merupakan amanat bagi seluruh bangsa Indonesia.” “Jadi Bapak berpendapat bahwa ateisme terlarang atau mesti dilarang di Indonesia? Bapak tidak membaca artikel di jurnal Orientierungen yang Bapak pimpin? Dalam edisi terbaru ada artikel berjudul “Kebebasan Beragama
JurnalSajak No. 06, 2013
di Demokrasi Pancasila Indonesia” 2 yang ditulis Wolfgang Brehm, seorang pakar hukum Jerman yang hidup di Jakarta. Di sana disampaikan analisis tajam terhahap Pancasila dan UUD 45 dengan kesimpulan bahwa ateisme di Indonesia adalah sah dan sesuai dengan hukum.” Wah, kembali saya diserang dengan bersenjatakan jurnal saya sendiri. Sebagai pemimpin redaksi, artikel itu tentu saya baca, tapi cuma sepintas, juga kurang saya pahami. Logika para ahli hukum bagi saya kelewat logis, kurang ilmiah. Saya pun berkomentar dengan hati-hati karena menyangkut jurnal saya sendiri. “Tulisan Wolfgang Brehm itu sangat menarik, tapi ya, kalau ateisme..., mungkin toleransi mesti berhenti di situ, dan... saya bisa memahami mayoritas bangsa Indonesia.” “O begitu ya, Pak,” ini lagi suara si provokator, “menurut Bapak yang penganut kodrat, kodrat Tuhan kirakira bagaimana kalau kita kaitkan dengan ateisme? Tuhan lebih mencintai siapa: si ateis baik budi yang bermanfaat bagi sesama, atau si saleh yang keji dan jahat pada sesama?” Muka saya memucat. Ini provokasi keterlaluan. Saya berdiri. Mencari lonceng. Saya membunyikannya. Bisu, meninggalkan ruangan.[] 2
“Religionsfreiheit in Indonesias PancasilaDemoktarie (Teil 1: Gründerjahre)”, Kubin, W./ Damshäuser, B. (editors): Orientierungen Zeitschrift zur Kultur Asiens, 2/2012, hal. 117136. Wolfgang Brehm berencana mempublikasikan terjemahan Indonesia artikel itu di Indonesia.
71