8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hemodialisa 2.1.1. Pengertian Hemodialisa Hemodialisa adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat toksis lainnya melalui membran semipermiabel sebagai pemisah antara darah dan cairan dialisat yang sengaja dibuat dalam dialiser. Membran semipermiabel adalah lembar tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran poripori membran memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea, keratin, dan asam urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui membran, tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel darah terlalu besar untuk melewati pori-pori membran(Wijaya, dkk., 2013). Hemodialisa adalah dialisis dengan menggunakan mesin dialiser yang berfungsi sebagai ginjal buatan. Pada hemodialisa, darah dipompa keluar dari tubuh, masuk kedalam mesin dialiser. Didalam mesin dialiser darah dibersihkan dari zat-zat racun melalui proses difusi dan ultrafiltrasi oleh dialisat (suatu cairan khusus untuk dialisis), lalu dialirkan kembali dalam tubuh. Proses hemodialisa dilakukan 1-3 kali seminggu dirumah sakit dan setiap kalinya membutuhkan waktu sekitar 2-4 jam (Mahdiana, 2011). 2.1.2. Tujuan Menurut Lumenta (2001), Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa mempunyai tujuan :
8
Universitas Sumatera Utara
9
1) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan asam urat. 2) Membuang kelebihan air. 3) Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh. 4) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh. 5) Memperbaiki status kesehatan penderita. 2.1.3. Indikasi Menurut Wijaya dkk, (2013) indikasi hemodialisa adalah sebagai berikut: a. Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk sementara sampai fungsi ginjalnya pulih (laju filtrasi glomerulus < 5ml). Pasien-pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi: Hiperkalemia (K+ darah > 6 mEq/l), asidosis, kegagalan terapi konservatif, kadar ureum/kreatinin tinggi dalam darah (Ureum > 200 mg%, Kreatinin serum > 6 mEq/l), kelebihan cairan, mual dan muntah hebat. b. Intoksikasi obat dan zat kimia c. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat d. Sindrom hepatorenal dengan kriteria : 1) K+ pH darah < 7,10 → asidosis 2) Oliguria/anuria > 5 hari 3) GFR < 5 ml/I pada GGK 4) Ureum darah > 200 mg/dl
Universitas Sumatera Utara
10
2.1.4. Kontra Indikasi Menurut Wijaya, dkk (2013) menyebutkan kontra indikasi pasien yang hemodialisa adalah sebagai berikut: a. Hipertensi berat (TD > 200/100 mmHg). b. Hipotensi (TD < 100 mmHg). c. Adanya perdarahan hebat. d. Demam tinggi. 2.1.5 Prinsip Hemodialisa Menurut Muttaqin (2011), prinsip hemodialisa pada dasarnya sama seperti pada ginjal, ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisia, yaitu: difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. 1. Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan kadar di dalam darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat 2. Proses ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat dan air karena perbedaan hidrostatik di dalam darah dan dialisat. Luas permukaan dan daya saring membran mempengaruhi jumlah zat dan air yang berpindah. Pada saat dialisis, pasien, dialiser, dan rendaman dialisat memerlukan pemantauan yang konstan untuk mendeteksi berbagai komplikasi yang dapat terjadi misal: emboli udara, ultrafiltrasi yang tidak adekuat atau berlebihan, hipotensi, kram, muntah, perembesan darah, kontaminasi dan komplikasi terbentuknya pirau atau fistula)
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.6. Penatalaksanaan Hemodialisa pada pasien Jika kondisi ginjal sudah tidak berfungsi diatas 75 % (gagal ginjal terminal atau tahap akhir), proses cuci darah atau hemodialisa merupakan hal yang sangat membantu penderita. Proses tersebut merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebagai upaya memperpanjang usia penderita. Hemodialisa tidak dapat menyembuhkan penyakit gagal ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisa dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal (Wijayakusuma, 2008). Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisa mengingat adanya efek uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum pasien dan bekerja sebagai racun dan toksin. Gejala yang terjadi akibat penumpukan tersebut secara kolektif dikenal sebagai gejala uremia dan akan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Diet rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala (Smeltzer & Bare, 2001). Penumpukan cairan juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif serta edema paru. Dengan demikian pembatasan cairan juga merupakan bagian dari resep diet untuk pasien. Dengan penggunaan hemodialisis yang efektif, asupan makanan pasien dapat diperbaiki meskipun biasanya memerlukan beberapa penyesuaian dan pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium dan cairan (Smeltzer & Bare, 2001).
Universitas Sumatera Utara
12
Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotik, antiaritmia dan antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar obat-obat ini dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik (Smeltzer & Bare, 2001). 2.1.7. Komplikasi MenurutSmeltzer & Bare (2002), Komplikasi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut: a.
Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan
b.
Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien
c.
Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh
d.
Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit
e.
Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral
dan
muncul
sebagai
serangan
kejang.
Komplikasi
ini
kemungkinan terjadi lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat f.
Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel
g.
Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi
Universitas Sumatera Utara
13
Komplikkasi atau dampak Hemodialisa terhadap fisik menjadikan klien lemah dan lelah dalam menjalani kehidupan sehari- hari terumtama setelah menjalani hemodialisis (Farida, 2010) 2.2. Konsep Stres
2.2.1 Pengertian Stres Stres merupakan suatu keadaan yang menekan diri individu yang disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan antara kemampuan yang dimiliki dengan tuntutan yang ada. Stres merupakan mekanisme yang kompleks dan menghasilkan respons yang saling terkait, baik fisiologis, psikologis, maupun perilaku pada individu yang mengalaminya. Mekanisme tersebut bersifat individual yang sifatnya berbeda antar individu yang satu dengan yang lain (Nasir & Muhith, 2011).
2.2.2 Penyebab Stres Stresor
adalah
faktor-faktor
dalam
kehidupan
manusia
yang
mengakibatkan terjadinya respon stres. Stresor dapat berasal dari berbagai sumber, baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial dan juga muncul pada situasi kerja, di rumah, dalam kehidupan sosial, dan lingkungan luar lainnya (Patel, 1996 dalam Nasir, 2011). Adapun sumber-sumber stres tersebut meliputi: a.
Sumber Stres dari Individu. Salah satu yang dapat menimbulkan stres dari pribadi sendiri adalah melalui penyakit yang diderita oleh seseorang. Menjadi sakit menempatkan demands pada sistem biologis dan psikologis, dan tingkatan stres yang
Universitas Sumatera Utara
14
dihasilkan oleh demands tersebut bergantung pada keseriusan penyakit dan usia orang tersebut. Hal lain yang dapat menimbulkan stres individu sendiri adalah melalui penilaian dari dorongan motivasi yang bertentangan, ketika terjadi konflik dalam diri seseorang dan biasanya orang tersebut berada dalam suatu kondisi dimana dia harus menentukan pilihan, dan pilihan tersebut sama pentingnya b.
Sumber Stres dalam Keluarga. Perilaku, kebutuhan, dan kepribadian dari tiap anggota keluarga yang mempunyai pengaruh dan berinteraksi dengan anggota keluarga lainnya, kadang menimbulkan gesekan.
c.
Sumber Stres dalam Komunitas dan Lingkungan. Jika kita terlepas dari stres akibat pekerjaan, sangatlah penting untuk mengevaluasi gaya bekerja. Kepuasaan kerja dan kecocokan dengan atasan dan bawahan, serta organisasi. Hubungan yang dibuat seseorang diluar lingkungan keluarganya dapat menghasilkan banyak sumber stres. Salah satunya adalah bahwa hampir semua orang pada suatu saat dalam kehidupannya mengalami stres yang berhubungan dengan pekerjaannya.
2.2.3 Respon Stres Hans Selye (1946 dalam Nasir, 2011) telah melakukan riset terhadap dua respons fisiologis tubuh terhadap stres, yaitu Local Adaptation Syndrome (LAS) dan General Adaptation Syndrome (GAS). 1.
Local Adaptation Syndrome (LAS)
Universitas Sumatera Utara
15
Tubuh menghasilkan banyak respons setempat terhadap stres. Respons setempat ini termasuk pembuluh darah dan penyembuhan luk, akomodasi mata terhadap cahaya, dan sebagainya. Responsnya berjangka pendek. Berikut ini adalah karakteristik LAS.
2.
a.
Respons yang terjadi hanya setempat dan tidak melibatkan semua sistem.
b.
Respons bersifat adaptif; diperlukan stresor untuk menstimulasikannnya.
c.
Respons bersifat jangka pendek dan tidak terus-menerus.
d.
Respons bersifat restoratif.
General Adaptation Syndrom (GAS) Merupakan respons fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres. Respons yang terlibat di dalamnya adalah sistem saraf otonom dan sistem endokrin. Pada beberapa buku teks GAS sering disamakan dengan sistem neuroendokrin. GAS terbagi menjadi tiga tahap berikut ini. a. Fase alarm (waspada) Melibatkan pengarahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stresor. Tanda fisik: curah jantung meningkat, peredaran darah cepat, serta darah di perifer dan gastrointestinal mengalir ke kepala dan ekstremitas. Banyak organ tubuh terpengaruh, gejala stres memengaruhi denyut nadi, ketegangan otot, dan daya tahan tubuh menurun. Fase alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan tubuh seperti pengaktifan hormon yang berakibat pada meningkatnya volume darah, yang
pada akhirnya
menyiapkan individu untuk beraksi.
Universitas Sumatera Utara
16
Teraktivasinya epinefrin dan norefinefrin mengakibatkan denyut jantung meningkat dan terjadi peningkatan aliran darah ke otot. Selain itu, juga terjadi peningkatan ambilan O2 dan meningkatnya kewaspadaan mental. Aktivitas hormonal yang luas ini menyiapkan individu untuk melakukan “respon melawan atau menghindar”. Respon ini bisa berlangsung dari menit sampai jam. Bila stressor masih menetap, maka individu akan masuk ke dalam fase resistensi. b. Fase Resistance (resistensi/ melawan) Individu mencoba berbagai macam mekanisme penangggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi. Tubuh berusaha menyeimbangkan kondisi fisiologis sebelumnya pada keadaan normal, dan tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stres. Bila teratasi, gejala stres akan menurun dan tubuh kembali stabil, termasuk hormon, denyut jantung, tekanan darah, dan curah jantung. Hal tersebut terjadi karena individu tersebut berupaya beradapatasi terhadap stresor, jika ini berhasil tubuh akan memperbaiki sel-sel yang rusak. Bila gagal, maka individu tersebut akan jatuh pada tahapan terakhir dari GAS, yaitu fase kehabisan tenaga. c. Fase Exhaustion (kelelahan) Merupakan fase perpanjangan stres yang belum dapat tertanggulangi pada fase sebelumnya. Energi untuk penyesuaian telah terkuras. Akibatnya, timbul gejala penyesuaian diri terhadap lingkungan seperti
Universitas Sumatera Utara
17
sakit kepala, gangguan mental, penyakit arteri koroner, dan sebagainya. Bila usaha melawan tidak dapat lagi diusahakan, maka kelelahan dapat mengakibatkan kematian. Pada tahap ini cadangan energi telah menipis atau habis, akibatnya tubuh tidak mampu lagi menghadapi stres. Ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap stresor inilah yang akan berdampak pada kematian individu tersebut.
2.2.4 Tingkatan Stres Menurut Potter &Perry (2005) adapun tingkatan stres adalah sebagai berikut: a.
Stres Ringan Stressor yang dihadapi setiap orang secara teratur, seperti terlalu banyak tidur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari atasan. Situasi seperti ini biasanya berlangsung beberapa menit atau jam. Bagi mereka sendiri, stressor ini bukan risiko signifikan untuk timbulnya gejala. Namun, demikian, stressor ringan yang banyak dalam waktu singkat meningkatkan risiko penyakit.
b.
Stres Sedang Berlangsung lebih lama, dari beberapa jam sampai beberapa hari. Misalnya, perselisihan yang tidak terselesaikan dengan rekan kerja, anak yang sakit, atau ketidakhadiran yang lama dari anggota keluarga merupakan situasi stres sedang.
c.
Stres Berat
Universitas Sumatera Utara
18
Situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa tahun, seperti perselisihan perkawinan terus menerus, kesulitan finansial yang berkepanjangan, dan penyakit fisik jangka panjang. Makin sering dan makin lama situasi stres, makin tinggi risiko kesehatan yang ditimbulkan. 2.2.5. Tahapan Stres Gambaran stres biasanya timbul secara lamban, tidak jelas kapan mulainya dan seringkali tidak disadari. Namun meskipun demikian dari pengalaman praktek kesehatan jiwa, para ahli mencoba membagi stres tersebut dalam enam tahapan. Setiap tahapan memperlihatkan sejumlah gejala-gejala yang dirasakan oleh yang bersangkutan, hal mana yang berguna bagi seseorang dalam rangka mengenali gejala stres sebelum memeriksakannya ke tenaga pelayanan kesehatan. Menurut Hawari (2008), bahwa tahapan stres adalah sebagai berikut: 1. Stres tahap pertama (paling ringan): Tahapan ini merupakan tingkat stres yang paling ringan dan biasanya disertai dengan perasaan perasaan sebagai berikut; Semangat bekerja besar, penglihatan tajam, tidak sebagaimana biasanya, energi dan gugup berlebihan, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya. Tahapan ini biasanya menyenangkan dan orang bertambah semangat tanpa disadari bahwa cadangan energinya sedang menipis. 2. Stres tahap kedua: Dalam tahapan ini dampak stres yang menyenangkan mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan dikarenakan cadangan tidak
lagi
cukup
sepanjang hari.
Keluhan-keluhan
yang sering
Universitas Sumatera Utara
19
dikemukakan adalah sebagai berikut; Merasa letih sewaktu bangun pagi, merasa lelah setelah makan siang, merasa lelah menjelang sore hari, terkadang mengalami gangguan pada saluran cerna (gangguan usus, perut kembang), kadang-kadang jantung berdebar-debar, perasaan tegang pada otot-otot punggung dan tengkuk (belakang leher). perasaan tidak bisa santai. 3. Stres pada tahap ketiga: Pada tahapan ini keluhan-keluhan keletihan semakin nampak disertai gejala-gejala; gangguan usus lebih terasa (sakit perut, mulas, sering ingin ke belakang), otot-otot terasa lebih tegang, perasaan tegang yang semakin meningkat, gangguan tidur (susah tidur, sering terbangun malam dan sukar tidur kembali, atau bangun terlalu pagi), badan terasa loyo, rasa-rasa mau pingsan (tidak sampai jatuh pingsan). 4. Stres tahap Keempat: Tahapan ini sudah menunjukkan keadaan yang lebih buruk yang ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut; untuk bisa bertahan sepanjang hari terasa sangat sulit, kegiatan-kegiatan yang semula menyenangkan
kini
terasa
sulit,
kehilangan
kemampuan
untuk
menganggapi situasi, pergaulan sosial dan kegiatan-kegiatan rutin lainnya terasa berat, tidur semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan dan seringkali terbangun dini hari, perasaan negativistik, kemampuan berkonsentrasi menurun tajam, perasaan takut yang tidak bisa dijelaskan. 5. Stres tahap Kelima: Tahapan ini merupakan tahapan yang lebih mendalam dari tahap 4 di atas, yaitu; keletihan yang mendalam (physical and
Universitas Sumatera Utara
20
psychological exhaustionI), untuk pekerjaan-pekerjaan yang sederhana saja terasa kurang mampu, gangguan sistem pencernaan (sakit maag dan usus) lebih sering, sukar buang air besar atau sebaliknya feses encer dan sering ke belakang, perasaan takut dan semakin menjadi, mirip panik. 6. Stres tahap Keenam (paling berat): Tahapan ini merupakan tahapan puncak yang merupakan keadaan gawat darurat. Gejala-gejala pada tahap ini cukup mengerikan, yaitu; debaran jantung terasa amat keras, hal ini disebabkan zat adrenalin yang dikeluarkan, karena stres tersebut cukup tinggi dalam peredaran darah, napas sesak dan megap-megap, badan gemetar, tubuh dingin, keringat bercucuran, tenaga untuk hal-hal yang ringan sekalipun tidak kuasa lagi, pingsan.
2.2.6. Manajemen Stres Ada beberapa tips untuk mengelola stres yang efektif menutu Hans Selye (1946) yang dikutip oleh Sumiati, dkk (2010), adalah sebagai berikut: 1. Lakukan sesuatu yang membutuhkan kekuatan fisik yang dapat menimbulkan suatu semangat yang positif, misalnya melakukan suatu semangat yang positif, melakukan aktivitas untuk menyalurkan hobi, membuat artikel, bercocok tanam, beternak dan sebagainya. 2. Lakukan aktivitas yang disenangi, seperti: pergi menikmati hiburan, melaksanakan kegiatan yang disukai. Kegiatan ini dapat mengurangi dampak negatif dari stres. 3. Melakukan sesuatu yang sesuai dengan minat dan kemampuan.
Universitas Sumatera Utara
21
4. Keluarkan perasaan secara supportif: Apabila dalam kondisi tekanan yang menyebabkan stres, bisa membicarakan perasaan pada orang yang dapat dipercaya. Jika tidak ada orang lain yang sekiranya dapat dipercaya, dapat mengeksplorasi perasaan melalui tulisan dalam buku harian atau kertas apapun sampai perasaan tenang kembali. 5. Beri batas waktu untuk bersedih: Kesedihan yang berlarut –larut akan mengganggu kesehatan mental, oleh karena itu kesedihan perlu dibatasi. Lakukanlah aktivitas ini, Menangis apabila memang ingin menangis sepuasnya. Berteriak dan menjerit di alam terbuka, seperti: pantai, gunung dan lain-lain. 6. Meditasi dan berbicara pada diri sendiri: Meditasi dapat menyingkirkan stres yang dirasakan dengan memfokuskan pikiran pada sesuatu yang tidak menimbulkan stres, tetapi pada gagasan yang mendatangkan ilham dan doa. Visualisasikan suatu adegan yang anda rasakan indah, gunakan musik untuk mengukuhkan efeknya dalam terapi stres yang efektif. 7. Mengendalikan
kondisi
yang
menyebabkan
stres
dengan
jalan:
Kemampuan menyadari, kemampuan untuk menerima, kemampuan untuk menghadapi, dan kemampuan untuk bertindak. 8. Mengembangkan pergaulan yang sehat. Sebagai pribadi individu memerlukan orang lain untuk dapat berbagi pikiran dan perasaan dengan seseorang yang dapat dipercaya, perbanyak bergaul dan jangan menarik diri. Bila tidak ada orang yang dipercaya, dapat berbicara dengan ahli di bidang ini, misalnya psikiater, psikolog atau konselor.
Universitas Sumatera Utara
22
9. Mendekatkan diri kepada Tuhan. Usahakan sediakan waktu untuk mencari ketenangan melalui berdoa dan sholat sesuai dengan keyakinan yang dimiliki. Beragama sebaiknya tidak hanya ritual, tetapi perlu penghayatan dan pengalaman, sehingga meningkatkan keyakinan/keimanan. 2.3. KonsepAnsietas 2.3.1 PengertianAnsietas
Ansietas (cemas) merupakanresponemosionaldanpenilaianindividu yang subjektifdandipengaruhiolehalambawahsadardanbelumdiketahuisecarakhususfakt or penyebabnya.Ansietas merupakan pengalaman emosi dan subjektif tanpa ada objek yang spesifik sehingga orang merasakan suatu perasaan was-was (khawatir) seolah-olah ada sesuatu yang buruk akan terjadi dan pada umumnya disertai gejala-gejala otonomik yang berlangsung beberapa waktu.Kecemasan merupakan keadaan perasaan efektif yang tidak menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang. Keadaaan yang tidak menyenangkan itu sering kabur dan sulit menunjukkan dengan tepat, tetapi kecemasan itu sendiri selalu dirasakan (Lestari, 2015) 2.3.2 Tanda dan Gejala Ansietas
Menurut Hawari (2008), keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh orang yang mengalami ansietas antara lain: a. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah tersinggung. b. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah dan mudah terkejut.
Universitas Sumatera Utara
23
Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang.
c. Gangguan pola tidur dan mimpi-mimpi yang menegangkan. d. Gangguan kosentrasi dan daya ingat. e. Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran
berdengung,
berdebar-debar,
sesak
nafas,
gangguan
pencernaan, gangguan perkemihan dan sakit kepala. 2.3.3 Tingkatan Ansietas
Menurut Pieter, dkk (2011) yang menjadi tingkatan ansietas adalah sebagai berikut : a. Ansietas Ringan Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan peristiwa kehidupan sehari hari. Lapangan persepsi melebar dan orang akan bersikap hati-hati dan waspada. Orang yang mengalami ansietas ringan akan terdorong untuk menghasilkan kreativitas. Respons fisiologis orang yang mengalami ansietas ringan adalah sesekali mengalami napas pendek, naiknya tekanan darah dan nadi, muka berkerut, bibir bergetar, dan mengalami gejala pada lambung. Respon kognitif biasanya lapang persepsi melebar, dapat menerima ransangan yang kompleks, konsentrasi pada masalah dan dapat menjelaskan masalah secara efektif. Adapun respons perilaku dan emosi adalah tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan, suara kadang-kadang meninggi. b. Ansietas Sedang Ansietas sedang tingkat lapangan persepsi pada lingkungan menurun dan memfokuskan diri pada hal-hal penting saat itu juga dan menyampingkan hal-hal
Universitas Sumatera Utara
24
lain. Respons fisiologis dari orang yang mengalami ansietas sedang adalah sering napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, mulut kering, anoreksia, diare, konstipasi, dan gelisah. Respons kognitif biasanya lapang persepsi yang menyempit, ransangan luar sulit diterima, berfokus terhadap apa yang menjadi perhatian. Adapun respons perilaku dan emosi adalah gerakan yang tersentaksentak, meremas tangan, sulit tidur, dan perasaan tidak aman. c. Ansietas Berat Pada Ansietas berat tingkat lapangan persepsinya menjadi sangat sempit, individu cenderung memikirkan hal-hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal lain. Individu sulit berpikir realistis dan membutuhkan banyak pengarahan untuk memusatkan perhatian pada area lain. Respons fisiologis ansietas berat adalah napas pendek, nadi dan tekanan darah naik, banyak berkeringat, rasa sakit kepala. penglihatan kabur, dan mengalami ketegangan. Respons kognitif biasanya lapangan persepsi yang sangat sempit dan tidak mampu untuk menyelesaikan masalah. Adapun respons perilaku dan emosi terlihat dari perasaan tidak aman, verbalisasi yang cepat, blocking. d. Panik Pada tingkatan panik lapangan persepsi seseorang sudah sangat sempit dan sudah mengalami gangguan sehingga tidak bisa mengendalikan diri lagi dan sulit melakukan apapun walaupun dia sudah diberikan pengarahan. Respons fisiologis panik adalah napas pendek, rasa tercekit, sakit dada, pucat, hipotensi, dan koordinasi motorik yang sangat rendah. Sementara respons kognitif panik adalah
Universitas Sumatera Utara
25
lapangan persepsi yang sangat sempit sekali dan tidak mampu berpikir logis. Adapun respons perilaku dan emosi terlihat agitasi, mengamuk dan marah-marah, ketakutan, berteriak-teriak, blocking, kehilangan kontrol diri dan memiliki persepsi yang kacau. 2.3.4
Faktor yang Mempengaruhi Ansietas.
Menurut Lestari (2015), faktor-faktor yang mempengaruhi ansietas adalah sebagai berikut: a. Umur Bahwa umur yang lebih muda lebih mudah menderita cemas daripada umur tua. b. Keadaan fisik Penyakit adalah salah satu faktor yang menyebabkan ansietas. Seseorang yang sedang menderita penyakit akan lebih mudah mengalami ansietas dibandingkan dengan orang yang tidak sedang menderita penyakit. c. Sosial budaya Cara hidup orang dimasyarakat juga sangat memungkinkan timbulnya ansietas. Individu yang mempunyai cara hidup teratur akan mempunyai filsafat hidup yang jelas sehingga umumnya lebih sukar mengalami ansietas. Demikian juga seorang yang keyakinan agamanya rendah. d. Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh dalam memberikan respon terhadap sesuatu yang datang baik dari dalam maupun dari luar. Orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih
Universitas Sumatera Utara
26
rasional dibandingkan mereka yang bependidikan lebih rendah atau mereka yang tidak mempunyai pendidikan. e. Tingkat pengetahuan Pengetahuan yang rendah mengakibatkan seseorang mudah mengalami ansietas. Ketidaktahuan terhadap suatu hal dianggap sebagai tekanan yang dapat mengakibatkan krisis dan dapat menimbulkan ansietas. Ansietas dapat terjadi pada individu dengan tingkat pengetahuan yang rendah, disebabkan karena kurangnya informasi yang diperoleh. 2.3.5. Faktor-Faktor Penyebab Ansietas Faktor-faktor penyebab ansietas adalah adanya perasaan takut tidak diterima dalam lingkungan tertentu, adanya pengalaman traumatis, seperti trauma perpisahan, kehilangan atau bencana alam, adanya frustasi akibat kegagalan dalam mencapai tujuan, adanya ancaman pada integritas diri, yakni meliputi kegagalan memenuhi kebutuhan fisiologis (kebutuhan dasar) dan adanya ancaman pada konsep diri. 2.3.6. Penatalaksanaan Ansietas Menurut Hawari (2008) mengatakan bahwa penatalaksanaan ansietas pada tahap pencegahan dan terapi memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat holistik, yang mencakup fisik (somatik), psikologik atau psikiatrik, psikososial dan psikoreligius. Selengkapnya sebagai berikut: a. Upaya meningkatkan kekebalan terhadap stres dengan cara: 1) Makan makanan yang begizi dan seimbang.
Universitas Sumatera Utara
27
2) Tidur yang cukup. 3) Cukup olahraga. 4) Tidak merokok. 5) Tidak meminum minuman keras. b. Terapi psikofarmaka Terapi psikofarmaka merupakan pengobatan untuk ansietas dengan memakai obat-obatan yang berkhasiat memulihkan fungsi gangguan neuro-transmitter (sinyal penghantar saraf) disusunan saraf pusat otak (limbic system). Terapi psikofarmaka yang sering dipakai adalah obat anti ansietas (anxiolytic), yaitu seperti diazepam, clobazam, bromazepam, lorazepam, buspirone HCl, meprobamate dan alprazolam. c. Terapi somatik Gejala atau keluhan fisik (somatik) sering dijumpai sebagai gejala ikutan atau akibat dari ansietas yang berkepajangan. Untuk menghilangkan keluhan-keluhan somatik (fisik) itu dapat diberikan obat-obatan yang ditujukan pada organ tubuh yang bersangkutan. d. Psikoterapi Psikoterapi diberikan tergantung dari kebutuhan individu, antara lain: 1) Pskioterapi suportif, untuk memberikan motivasi, semangat dan dorongan agar pasien yang bersangkutan tidak merasa putus asa dan diberikan keyakian serta percaya diri. 2) Pskioterapi re-edukatif, memberikan pendidikan ulang dan koreksi bila dinilai bahwa ketidakmampuan mengatasi anisetas.
Universitas Sumatera Utara
28
3) Psikoterapi re-konstruktif, untuk dimaksudkan memperbaiki kembali (re-konstruksi) kepribadian yang telah mengalami goncangan akibat stressor. 4) Psikoterapi kognitif, untuk memulihkan fungsi kognitif pasien, yaitu kemampuan untuk berpikir secara rasional, kosentrasi dan daya ingat. 5) psikoterapi psiko-dinamik, untuk menganalisa dan menguraikan proses dinamika kejiwaan yang dapat menjelaskan mengapa seseorang tidak mampu menghadapi stressor psikososial sehingga mengalami ansietas. 6) Psikoterapi keluarga, untuk memperbaiki hubungan kekeluargaan, agar faktor keluarga tidak lagi menjadi faktor penyebab dan faktor keluarga dapat dijadikan sebagai faktor pendukung. e. Terapi psikoreligius Untuk menigkatkan keimanan seseorang yang erat hubungannya dengan kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stresor psikososial. 2.4 Konsep Depresi 2.4.1. Pengertian Depresi Depresi adalah gangguan alam perasaan yang disertai oleh komponen psikologis dan komponen somati yang terjadi akibat kesedihan yang panjang (Prabowo, 2014). Sedangkan menurut Lestari (2015) mengatakan bahwa depresi timbul akibat adanya dorongan negatif dari super ego yang direpresi dan lambat laun akan tertimbun di alam bawah sadar. Sehingga depresi seperti penderitaan emosional.
Kekecewaan
ataupun
ketidakpuasan
secara
emosional
yang
Universitas Sumatera Utara
29
direpresikan tidak secara otomatis akan hilang, melainkan sewaktu waktu akan muncul. 2.4.2. Gejala-gejala Depresi Menurut Pieter, dkk (2011) adapaun yang menjadi gejala-gejala depresi adalah sebagai berikut : a. Gejala Fisik. Pada gejala fisik dari orang yang mengalami depresi akan terjadi keluhan fisik (somatic), seperti sakit kepala atau pusing, rasa nyeri lambung, dan mual bahkan muntah-muntah, nyeri dada, dan sesak napas, gangguan tidur (sulit tidur), penurunan libido dan agitasi, jantung berdebar-debar, retardasi psikomotor, tidak nafsu makan atau makan berlebihan, diare, lesu dan kurang bergairah, gerakan lambat dan berat badan turun, dan terjadinya gangguan menstruasi, atau impotensi dan tidak respons pada hubungan seks. b. Gejala Psikis. Gejala-gejala
gangguan
kognitif
pada
klien
depresi
terlihat
dari
ketidakmampuan berpikir logis, berkurangnya konsentrasi, hilangnya daya ingat, dan disorientasi. Adapun gejala-gejala gangguan afektif meliputi mudah marah dan gampang tersinggung, malu, cemas, bersalah disertai dengan perasaan terbebani, hilangnnya percaya diri, karena mereka selalu menilai dari sisi pribadinya, seperti menilai orang lain sukses, kaya, dan pandai, sementara diri saya tidak ada apa-apa (merasa tidak berguna) dan merasa diri terasing
Universitas Sumatera Utara
30
dalam lingkungan dan putus asa. Gejala-gejala gangguan perilaku pada klien depresi terlihat dari rasa kecemasan yang berlebihan dan tidak dapat mengontrol tingkah laku, seperti berjalan mondar-mandir tanpa tujuan, bingung karena tidak bisa mengambil keputusan dan melakukan aktivitas, sedih yang mendalam, wajah tampak murung, pandangan mata kosong(melamun), merasa tidak ada lagi orang lain yang mau menyayanginya atau mempedulikan sehingga ada pemikiran untuk bunuh diri. Hal ini disertai halusinasi yang mengatakan dirinya tidak berguna dan tidak ada perhatian pada kebersihan diri. c. Gejala Sosial. Gejala-gejala gangguan sosial pada klien depresi terlihat dari keinginan untuk menyendiri dan tak mau bergaul, merasa malu dan bersalah apabila berkomunikasi dengan orang yang dianggap lebih berhasil, sukses, cantik, dan pandai. Klien merasa minder, kurang percaya diri untuk membina relasi sosial sekalipun pada anggota keluarganya dan tidak memedulikan pada situasi. 2.4.3. Faktor-faktor Penyebab Depresi Pada umumnya, depresi dicetuskan oleh peristiwa hidup tertentu meskipun pada kenyataan peristiwa hidup itu tidak selalu menyebabkan depresi. Sangat jarang sekali jika depresi diakibatkan oleh satu faktor saja, tetapi bersifat multifaktor sehingga dapat menciptakan suatu kondisi yang berpengaruh terhadap tinggi atau rendahnya frekuensi depresi. a. Faktor Internal
Universitas Sumatera Utara
31
1. Stres Stres adalah kondisi atau peristiwa yang memiliki persamaan dengan pengalaman traumatik pada seseorang pada masa lalu. Pengalaman traumatik masa lalu dianggap sangat bertanggung jawab kuat terhadap sikap-sikap negatif. Kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan stres antar lain: a) situasi yang menurunkan harga diri (gagal cinta, gagal ujian, dipecat dari pekerjaan), b) situasi yang menghambat tujuan penting atau menghadapi dilema yang sulit dipecahkan, seperti cita-cita ingin jadi tentara tatapi orang tua mengharuskannya masuk sekolah teknik, c) penyakit atau gangguan fisik atau abnormalitas yang menyebabkan adanya ide-ide negatif pada kemunduran fisiknya, misalnya seorang wanita yang didiagnosis dokter mengalami sakit kanker nasopharin, dia merasa tidak ada lagi harapan untuk hidup dan merasa dia menjadi beban bagi orang lain dan d) rangkaian stres yang bertubi-tubi sehingga mematahkan toleransi terhadap stres (Beck, 1985 dalam Pieter, dkk, 2011) 2. Faktor Usia dan Jenis Kelamin. Berdasarkan laporan penelitian menunjukkan orang-orang muda, yakni remaja dan orang dewasa (usia 18-44 tahun) cenderung lebih mudah terserang depresi. Perempuan pada umumnya lebih banyak memiliki risiko terkena depresi daripada laki-laki. Data dari World Bank mengatakan bahwa sekitar 30% perempuan mengalami depresi dan 12,6% pria mengalami depresi. Tingkat perbedaan terserang depresi antara pria dan
Universitas Sumatera Utara
32
wanita ditentukan oleh: (a) faktor biologi, seperti perubahan hormonal dan reproduksi dan (b) faktor lingkungan, seperti perubahan peran sosial yang menimbulkan konflik dan kondisi yang menimbulkan stres (Klerman dan Weissman, 1989 dalam Pieter,dkk, 2011). 3. Kepribadian. Aspek-aspek kepribadian sangat berperan dalam penentuan tinggi rendahnya dan kerentanan pada depresi seseorang. Bagi individu yang rentan terkena depresi adalah individu yang memiliki konsep diri dan pola pikir yang negatif, pesimis, dan kepribadian introvert. Sementara Beck (1985 dalam Pieter,dkk, 2011) menambahkan bahwa penyebab depresi adalah cara berpikir seseorang yang suka menyalahkan diri sendiri, mengevaluasi diri secara negatif dan menginterpretasikan hal-hal yang terjadi pada dirinya secara negatif. 4. Faktor Biologis. Selama orang mengalami depresi, maka dia memiliki ketidakseimbangan dalam pelepasan neurotransmiter serotin mayor, norepinefrin, dopamin, asetilkolin, dan asam gama aminobutrik. Selama tahap depresi seseorang akan
mengalami
defisiensi
dalam
neurotransmiter
dasar
yang
memengaruhi enzim yang mengatur dan memproduksi bahan-bahan kimia. Selain itu, juga aksis hipotalamus hipofisis adrenalin yang mengatur pelepasan kortisol tidak berfungsi dengan baik. 5. Faktor Psikologis.
Universitas Sumatera Utara
33
Penyebab depresi adalah perasaan bersalah dan dukacita yang mendalam, berkepanjangan, mengingkari, hubungan ambivalen, perasaan tidak aman, perasaan negatif atas diri sendiri, perasaan tidak mampu memikul tanggung jawab, hubungan pribadi yang sangat terbatas, kesulitan bergaul, kondisi emosional yang labil, dan merasa tidak berdaya (putus asa). b. Faktor Eksternal. Faktor-faktor eksternal yang menyebabkan depresi antara lain: 1. Faktor keluarga, meliputi kedekatan, interaksi, dan komunikasi antar anggota keluarga, dukungan emosional dari pasangan, dan suasana rumah tangga. 2. Faktor lingkungan, meliputi relasi, peran sosial, dukungan sosial, status sosioekonomi, dan latar belakang pendidikan. 3. Faktor tekanan hidup, yakni berbagai peristiwa hidup yang dapat menyebabkan stres dan trauma bagi seseorang. 2.4.4. Episode Depresi Menurut DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual Disorders, 5th ed. Washington, American Psychiatric Assocoation, 2013), diagnosis depresi dapat ditegakkan sebagai berikut: A. Lima ( atau lebih) gejala berikut telah hadir dalam satu periode selama 2 minggu dan merupakan perubahan dari fungsi sebelumnya: setidaknya satu
Universitas Sumatera Utara
34
gejala dari dua gejala berikut ini yaitu (1) Mood depresi atau (2) Kehilangan minat atau kesenangan. 1.
Mood depresi hampir sepanjang hari , hampir setiap hari, dikeluhkan (misalnya, merasa sedih, kosong, putus asa) atau pengamatan yang dibuat oleh orang lain ( misalnya, muncul menangis).
2.
Berkurangnya minat atau kesenangan secara nyata dalam semua hal sepanjang hari, hampir setiap hari.
3.
Penurunan berat badan yang signifikan ketika tidak diet ( misalnya, perubahan lebih dari 5 % dari berat badan dalam satu bulan), atau penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari.
4.
Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
5.
Agitasi psikomotor atau retardasi hampir setiap hari (diamati oleh orang lain, tidak hanya perasaan subjektif dari kegelisahan atau sedang melambat).
6.
Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari.
7.
Perasaan tidak berharga atau bersalah yang berlebihan atau tidak pantas (yang mungkin delusi) hampir setiap hari (tidak hanya menyalahkan diri sendiri atau rasa bersalah tentang menjadi sakit).
8.
Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsetrasi, atau keraguan, hampir setiap hari.
9.
Pikiran berulang tentang kematian ( tidak hanya takut mati), keinginan bunuh diri berulang tanpa rencana spesifik, atau usaha bunuh diri atau rencana spesifik untuk melakukan bunuh diri.
Universitas Sumatera Utara
35
B. Gejala menyebabkan distres klinis yang signifikan atau penurunan pada kehidupan sosial, pekerjaan, atau bidang-bidang penting lainnya yang berfungsi. C. Episode tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat atau kondisi medis yang lain. D. Terjadinya episode depresi mayor tidak lebih baik di jelaskan oleh gangguang schizoaffective, Skizofrenia, gangguan delusi, atau
spesifikasi lainnya
spektrum skizofrenia atau yang tidak terspesifikasi dan gangguan psikotik lainnya. E. Tidak pernah terjadi episode manik atau episode hypomanik. Keparahan didasarkan pada sejumlah gejala kriteria, tingkat keparahan gejalagejala, dan derajat kecacatan fungsional. Ringan
: Sedikit, jika ada, gejala lebih dari yang dibutuhkan untuk membuat diagnosis, intensitas gejala yang menyulitkan tetapi dapat dikelola, dan gejala yang mengakibatkan gangguan kecil dalam fungsi sosial atau pekerjaan.
Sedang
: Jumlah gejala, intensitas gejala, dan/ atau gangguan fungsional adalah antara mereka ditetapkan untuk “ringan” dan “berat.”
Berat
: Jumlah gejala secara substansial lebih dari yang diperlukan untuk membuat diagnosis, intensitas gejala yang serius menyulitkan dan tidak terkendali, dan gejala nyata menggangu fungsi sosial dan pekerjaan.
Universitas Sumatera Utara
36
1. Dengan ciri psikotik : adanya Delusi dan/ atau halusinasi 2. Dengan ciri psikotik mood-kongruen: isi semua delusi dan halusinasi konsisten dengan tema tipikal depresif pada kekurangan pribadi, rasa bersalah, penyakit, kematian, nihilisme atau hukuman yang layak. 3. Dengan ciri psikotik mood-inkongruen: isi dari delusi atau halusinasi tidak melibatkan tema tipikal depresif pada kekurangan pribadi, rasa bersalah, penyakit, kematian, nihilisme atau hukuman yang layak atau konten campuran mood-kongruen dan tema mood- komgruen. 4. Dengan remisi sebagian : gejala episode mayor sebelumnya hadir segera, tetapi kriteria penuh tidak tepenuhi, atau ada periode yang berlangsung kurang dari 2 bulan tanpa gejala yang signifikan dari episode depresi mayor yang diikuti sampai akhir episode tersebut. 5. Dengan remisi penuh : selama 2 bulan terakhir tidak ada tanda-tanda gejala yang signifikan dari gangguan yang hadir.
2.4.5. Terapi Pada Depresi. Menurut Pieter, dkk, (2011) terapi pada depresi adalah sebagai berikut : a. Terapi Individu. Terapi individu yaitu dengan mengeksplorasi perasaan yang menyebabkan depresi akibat kehilangan orang-orang yang dicintai klien. Mendiskusikan perilaku pengalahan diri, harapan yang tidak realistis, dan kemungkinan distorsi dari realita. Mendorong klien untuk mengungkapkan rasa frustasi, marah, dan
Universitas Sumatera Utara
37
putus asa. Mengupayakan klien agar dapat mengubah pola berpikir negatif otomatif tentang diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan masa depan. Memberikan kesempatan pada klien untuk menyelesaikan masalah-masalah interpersonal. b. Terapi Keluarga Meminta informasi dari masing-masing anggota keluarga tentang situasi keluarga saat ini. Terapis bekerja sama dengan keluarga dalam menelusuri bagaimana konflik-konflik atau krisis yang ditangani dan mengevaluasi tentang dukungan anggota keluarga pada penyembuhan klien. Kaji tentang ketertutupan dan ketidakpedulian dari setiap anggota keluarga. Ajarkan kepada keluarga klien tentang keterampilan komunikasi yang persuasif, penyelesaian masalah, pengelolaan (manajemen) stres, dan ekspresi perasaan yang konstruktif. Mengajarkan keluarga klien dalam mengatasi secara efektif segala aspek yang mengancam diri klien. Mengkaji perasaan bersalah dan menyalahkan diri akibat pandangan yang tidak realistis pada situasi krisis.
c. Terapi Kelompok Meningkatkan harga diri dan mengakui kekuatan dari setiap anggota kelompok. Mengajarkan klien tentang cara membentuk dan mempertahankan hubungan interpersonal, terutama setelah klien mengalami kehilangan. Membantu klien untuk mengembangkan strategi untuk memperoleh dukungan sosial, mengurangi rasa kesepian, mendapatkan umpan balik dari orang lain, dan
Universitas Sumatera Utara
38
mengatasi stresor. Mengajarkan klien untuk memperoleh dukungan dan bantuan teman sebaya dan mengajarkan dia untuk menurunkan dan menghilangkan distorsi kognitifnya. d. Terapi Obat-obatan Memberikan obat-obatan yang disesuaikan dengan tingkat dan gejalagejala depresi. Dalam fase akut, gejalanya ditangani denganmemberikan obat pada dosis tertentu yang disesuaikan untuk mencegah efek samping yang merugikan klien. Akan tetapi, pada fase ringan atau tidak memiliki risiko tinggi, maka sebaiknya penanganan depresi dilakukan dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan psikologis. Adapun jenis-jenis obat yang digunakan untuk mengatasi depresi adalah selective serotonin reuptake inhibitors (SSRis), antipsikotik (depresi berat), dan benzodiazepin (untuk gangguan tidur). 2.5. Hubungan stres, ansietas dan depresi terhadap hemodialisa yang dijalani pasien gagal ginjal kronik. Respon atau reaksi seseorang terhadap stressor psikososial yang dialaminya berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang menunjukkan gejalagejala stres, ada juga yang menunjukkan gejala-gejala kecemasan dan atau depresi. Tidak jarang ketiga gejala tersebut juga saling tumpang tindih, sebab dalam pengalaman klinis jarang ditemukan ketiga gejala tersebut masing-masing berdiri sendiri. Pada gejala stres, gejala yang dikeluhkan penderita didominasi oleh keluhan-keluhan somatik (fisik) tetapi dapat pula disertai keluhan-keluhan psikis. Pada gejala ansietas, gejala yang dikeluhkan penderita didominasi oleh
Universitas Sumatera Utara
39
keluhan-keluhan psikis (ketakutan dan kekhawatiran), tetapi dapat pula disertai keluhan-keluhan somatik (fisik). Pada depresi, gejala yang dikeluhkan penderita didominasi oleh keluhan psikis (kemurungan dan kesedihan), tetapi dapat pula disertai keluhan-keluhan somatik (Hawari, 2013). Apabila sistem perkemihan tidak dapat berfungsi dengan baik, maka semua organ pada dasarnya akan berpengaruh. Pasien yang mengalami perubahan eliminasi urin juga dapat menderita secara emosional akibat perubahan citra tubuhnya (Potter & Perry, 2006). Pada saat stres hipotalamus memberi sinyal kepada kelenjar adrenalin untuk memproduksi lebih banyak hormon adrenalin dan kortisol untuk dilepas kedalam pembuluh darah. Hormon ini meningkatkan kerja jantung, nafas cepat, tekanan darah dan metabolisme dan pada saat stres sekresi renin akan meningkat ke ginjal yang menyebabkan ginjal harus bekerja lebih berat. Hemodialisis adalah suatu prosedur yang menyokong hidup untuk pengobatan pada pasien penyakit ginjal kronik. Terapi dialisis jangka panjang, bagaimanapun membutuhkan waktu yang banyak, mahal, dan membutuhkan kepatuhan terhadap regimen terapi, seperti pembatasan cairan dan makanan. Hal ini juga berpengaruh terhadap hilangnya kebebasan, ketergantungan pada pengasuh, mengganggu hubungan perkawinan, keluarga dan kehidupan sosial, mengurangi atau kehilangan pendapatan (Lai KN, 2009). Pasien hemodialisis tidak hanya menghadapi stresor yang berhubungan dengan pengobatan, tetapi juga harus bisa mengubah konsep atas diri dan
Universitas Sumatera Utara
40
kepercayaan diri, perubahan aturan dalam keluarga dan kehilangan martabat. Ansietas adalah salah satu respons emosi terhadap kondisi yang dialami ini(Bayhakki, 2012). Mesin hemodialisis adalah penting pada pasien yang menjalani terapi hemodialisis. Pasien merasa bahwa mereka tidak bisa bepergian kemana-mana untuk waktu yang lama, karena mereka harus ke rumah sakit atau pusat hemodialisis untuk pengobatan (Bayhakki, 2012). Depresi merupakan kondisi gangguan kejiwaan yang paling banyak ditemukan pada populasi pasien gagal ginjal kronik. Prevalensi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa sekitar 20%-30% bahkan bisa mencapai 59% (Battistella, 2012). Depresi merupakan kondisi yang umum pada pasien yang menjalani hemodialisis, depresi dapat berdampak pada emosional, kesehatan mental, fungsi sosial yang dapat memperburuk kondisi kesehatan pasien (Cruz, Fleck &Polanczyk, 2010). Kondisi depresi dapat mempengaruhi motivasi pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari sehingga berdampak pada penurunan kesehatan fisik dan mental yang akan memperberat penyakit dan meningkatkan kematian (hedayati, et al, 2008) Cichocki (2009) juga mengatakan bahwa keadaan depresi akan membuat pasien pesimis akan masa depan, memandang dirinya tidak berharga, tidak berguna, cenderung mengurung diri dan tidak ingin bergaul dengan orang lain, hal ini akan mempengaruhi secara keseluruhan aspek-aspek dalam kehidupan pasien.
Universitas Sumatera Utara
41
Peneliti kurella, et al (2005) juga mengatakan bahwa pasien gagal ginjal tahap akhir kehilangan kemampuan fisik dan kognitif yang akhirnya membawa pasien pada kesedihan dan keputusasaan sehingga menyebabkan pemutusan dialisis, perilaku ini dianggap sebagai pemikiran bunuh diri, bunuh diri dipacu akibat kegagalan mengatasi stres dialisis. Oleh karena itu dipandang perlu untuk pasien hemodialisa harus berada dibawah evaluasi dari psikiatri (Keskin & Engin, 2011).
Universitas Sumatera Utara