Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2
Strategi dan Hambatan Penerapan Qanun Khalwat dalam Pencegahan Prilaku Khalwat Remaja Kota Banda Aceh The Strategies and Barriers of the Implementation Qanun Khalwat to Prevent Misbehaviorous of Banda Aceh Adolescent By Abubakar* dan Anwar** Abstrac Although the Syariat Islam has taken place more then ten years, fenomenally the adolescence’s behavior during this time do not change according to Syariat Islam, even its indication to be worry, such as same adolescence’s case which was found latly starting from narkoba till freesex, those case have been able to be catagorized as juveneli deliquence, similarly the report of Dinas Syariat Islam Aceh Province in 2009 showe that it has occured the increasing of khalwat violation significanly. There were 132 cases (42 heavy cases, 96 light cases). In 2006 there were 149 cases (47 heavy cases, 102 light cases), in 2007 there were 103 cases ( 22 heavy cases, 77 light cases), in 2008 there were 91 cases (21 heavy cases, 70 light cases) in 2009 and the last one there were three cases of 2006 there were 132 cases (42 heavy cases, 96 light cases), in 2007 there were 149 cases (47 heavy cases, 102 light cases) in 2008 there were 103 cases (22 heavy cases, 77 light cases) in 2009 there were and the last one there were 3 cases of heavy khalwat untill Pebruary 2010, of the whole cases wich was found most of the actors were the adolescence. The result of data processing was found that there were more violation of khalwat done by the adolesencence as level as university students, this event is very worry, for example SMA students of Banda Aceh have done freesex 6,42%, while students of university 12,02%. This indication show that the adulesecence in Banda Aceh have conducted the heavy violation of Qanun Khalwat/Meusum. This cases is suited to Dinas Kesehatan dan Unicef finding that 10% of PSK in Aceh were university students. There are several strategies could be covered to optimalize the implimentation of Qanun Khalwat, among athers : the development of a village structure proportionally, the village structure which has been existed during this time having five Kaur, namely Kaur Pemerintahan, Kaur Pembangunan, Kaur Keuangan and Kaur umun and Kesra. It is necessary to add one more kaur that is Kaur Syariat Islam, That kaur should be leaded by its figure arising from each village which posses various criterian suited to characteristic of their duties, the addition of Kaur Syariat Islam could be concentrated especially to the village that has done more violations, it is also necessary to make a working contract with owners of the hostles, renting houses, hotels, guest houses, cafetarias, barber shops/saloon, warnet, warmang and others concerning their consistence of implementing and keeping Syariat Islam in their regions, As it was implied in Qanun No. 5 Syariat Islam and Qanun No. 14 about Khalwat especially section 6 and 7 a long with section 25, verses a and b. It is essential to exist a good team work with various elements in the community, it is important to guid them especially to the adolesence either to the adolesence as level as senior high shcool or university, because 70% of the adolesecences at the stage of educational institution mentioned have done misbehaviour. The responsibility of the related institution during this time is only as a sugesstion provider, for the next time, this could be formed to be more light or binding and posses sanction for the leader if he makes violations, even, it begins from administrative sanction to taking out of a legalization letter. The sanction given during this time is not serious, the comporation of giving sunction do not refer to violation of Qanun Khalwat and Syariat Islam but it is more tendency to the comporation of economics, so, the implimentation of Syariat Islam at the institution always become a problem. There were not a legalization of Qanun Jinayat, actually WH do not have exsisted a formal legalization in making succesful the implementation of Syariat Islam, therefore, it is important to privide a law umbrella that more adequate to impliment Syariat Islam completly, begining from catching, BAP, till to the Court, most of the part of the cases have been provided in Rancangan Qanun Jinayat Syariat Islam in 2009, that written in 22 chapter and 253 sections, neverthelees untill now, it is not legalized by Aceh Governor without real reasons. Key words : Qanun Khalwat, misbehaviorous and adolescenct
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2
Meskipun Syariat Islam telah berlangsung lebih 10 (sepuluh) tahun, secara fenomenalogy prilaku remaja selama ini tidak mengalami perubahan, bahkan menunjukkan indikasi yang mengkhawatirkan dan peningkatan persentase penyimpangan, baik ketika mereka berada di lembaga, bahkan lebih parah ketika mereka berada di luar, seperti beberapa kasus remaja yang ditemukan akhir-akhir ini, dari narkoba sampai free sex (Abubakar dan Anwar Thn. 2007), sudah dapat dikatagorikan sebagai juvenile delinguency atau remaja berprilaku menyimpang yang mengandung resiko tinggi (Kartono 1986 : 8-9). Hal ini terjadi karena nilai-nilai Islam yang diberlakukan di Aceh belum bisa masuk menjadi nilai-nilai struktural formal, dalam berbagai kehidupan masyarakat termasuk program pendidikan, sehingga prilaku-prilaku tersebut dengan mudah berkembang. seperti beberapa kasus remaja yang ditemukan akhir-akhir ini, dari narkoba sampai free sex (Abubakar dan Anwar Thn. 2007), marak terjadi sudah dapat dikatagorikan sebagai juvenile delinguency atau remaja berprilaku menyimpang yang mengandung resiko tinggi (Kartono 1986 : 8-9). Demikian juga halnya dengan Laporan Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2009, Di Banda Aceh sejak tahun 2006 terdapat 132 kasus (42 kasus berat, 90 kasus ringan), tahun 2007 terdapat 149 kasus (47 kasus berat, 102 kasus ringan), tahun 2008 terdapat 103 kasus (22 kasus berat, 77 kasus ringan), tahun 2009 terdapat 91 kasus (21 kasus berat, 70 kasus ringan) dan sampai dengan Februari 2010 terdapat 6 kasus khalwat berat. Dari keseluruhan jumlah kasus yang ditemukan, sebagian besar pelakunya adalah remaja, hal ini cukup sejalan dengan studi/survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan (Depkes) RI dan the United Nations Children’s Fund (Unicef), tercatat bahwa dari jumlah Pekerja Seks Komersil (PSK) yang beroperasi di Aceh, 10 persen di antaranya tergolong berpendidikan tinggi atau berstatus mahasiswi. Dari berbagai prilaku menyimpang dan khalwat yang terjadi selama ini 90% terjadi pada remaja (Dinas Syariat Islam 2009). 70% lebih berada pada kelompok remaja, yang berumur 15 tahun ke atas, ini berarti pada umumnya, usia ini mereka sedang duduk di Sekolah Menengah Atas (SMU) dan perguruan tinggi, di bawah dan di atas usia peruguruan tinggi kejahatannya menurun (Kartini Kartono 1996 : 8-9). Menurut Qanun No. 14 Tahun 2003, khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Bentuk larangan terhadap khalwat adalah segala bentuk kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina, sehingga qanun ini kemudian ditetapkan dengan tujuan menegakkan Syariat Islam dan adat, melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan, mencegah anggota masyarakat melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina, meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum, serta dan menutup peluang terjadinya kerusakan moral. Untuk memakasimal Qanun Khalwat tersebut dituntut keterlibatan semua pihak sesuai dengan fungsinya, dan perlu dirumuskan format keterlibatan yang jelas, penelitian ini kiranya dapat ditemukan bagaimana strategi pengimplimentasian qanun khalwat tersebut dalam pencegahan prilaku khalwat pada remaja Kota Banda Aceh dapat efektif, dengan rumusan tujuan antara lain sebagai berikut : a. Untuk menggali sejauhmana pelanggaran Qanun No. 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat oleh para remaja Kota Banda Aceh, b. Untuk menggali bagaimana strategi penerapan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat pada remaja Kota Banda Aceh supaya berjalan dengan efektif, c. Untuk menemukan bagaimana peran dan fungsi instansi terkait dalam penerapan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat pada masyarakat Kota Banda Aceh, d. Serta menemukan kendala – kendala apa saja yang dihadapi oleh pihak-pihak terkait dalam penerapan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat pada masyarakat Kota Banda Aceh. TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi dan fungsi Qanun Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Pasal 31 (1) dinyatakan bahwa “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah,” sedang pada ayat (2) dinyatakan bahwa “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Aceh Darussalam.” Sedang pengertian Qanun, dalam Pasal 1 angka 8 dinyatakan “Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus”. Dari ketentuan ini terlihat bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (untuk selanjutnya di singkat qanun ) adalah peraturan untuk melaksanakan otonomi khusus dalam hal yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Dengan demikian walaupun dari satu segi qanun adalah peraturan daerah, tetapi dari segi lain qanun tidak tunduk kepada peraturan pemerintah karena qanun berada langsung di bawah undang-undang termasuk kedudukan qanun dalam hubungan dengan pelaksanaan Syari’at Islam sebagai salah satu otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh. Qanun memiliki fungsi antara lain sebagai berikut : 1. Menyelenggarakan peraturan hal-hal yang belum jelas yang oleh undang-undang otonomi khusus diminta (diserahkan) kepada qanun untuk mengaturnya. 2. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-undang 3. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang belum diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-undang. B.
Remaja dan Perkembangannya. Remaja merupakan masa transisi, suatu masa di mana periode anak-anak sudah terlewati dan di satu sisi belum dikatakan dewasa. Lazimnya masa remaja di mulai saat anak-anak secara seksual menjadi matang. Masa remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun dan terbagi menjadi masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun. Tahap perkembangan masa remaja dibagi menjadi tiga tahap yaitu : 1. Masa Remaja Awal (12-15 tahun), dengan ciri khas antara lain lebih dekat dengan teman sebaya, ingin bebas dan lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak. 2. Masa Remaja Tengah (15-18 tahun), dengan ciri khas antara lain : mencari identitas diri, timbulnya keinginan untuk kencan, mempunyai rasa cinta yang mendalam, mengembangkan kemampuan berpikir abstrak, berkhayal tentang aktifitas seks. 3. Masa Remaja Akhir (18-21 tahun), dengan ciri khas antara lain : pengungkapan identitas diri, lebih selektif dalam mencari teman sebaya, mempunyai citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan rasa cinta, mampu berpikir abstrak. Remaja sudah dapat berpikir secara abstrak dan hipotesis. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal, remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa rencana atau suatu bayangan. Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya. Namun, tidak semua remaja berpikir secara operasional formal sepenuhnya. C.
Tahap Perkembangan Karakteristik Prilaku Remaja Prilaku merupakan bentuk karakter yang diperankan oleh setiap individu yang di pilih, tidak muncul kebetulan untuk memperoleh, (Lee J Cronbach 1970:7 ), Setiap prilaku yang diperankan oleh setiap individu adalah perwujudan dan akumulasi dari pengetahuan, norma, nilai dari lingkungannya. Pada karakter ini remaja seringkali memposisikan dirinya sebagai bagian dari kelompoknya baik dalam bergaul, belajar dan dalam berbagai kecendrungan berprilaku akibat pengaruh external.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Prilaku yang mereka lakukan merupakan bentuk dari karakternya sebagai remaja yang biasanya disebabkan oleh kecenderungan-kecenderungan sesuai dengan masing-masing karakternya. Menurut Lee J. Cronbach 1970 : 578) menggambar ada lima karakter manusia yaitu; 1. The amoral The amoral merupakan bentuk karakter manusia yang paling dasar misalnya pada anak kecil belum memiliki konsep tentang baik dan buruk, setiap tindakannya hanya dimotivasi oleh keinginan phisiknya. Keinginan berbuat dan memiliki merupakan ekspresi dari emosionalnya berhubungan dengan sejauh mana yang diketahui dan diamati. Setiap tindakan – tindakan yang lahir dari karakter anak-anak tersebut tidak membawa,konsekwensiyangberartibagioranglaindannilai-nilai agamanya, karena semua orang menganggap prilaku anak-anak pada karakter ini adalah sesuatu yang tidak perlu dipermasalahkan. 2. The Self – Centered Level Merupakan bentuk prilaku yang mengacu kepada harapannya pada orang lain, di mana prilaku yang terjadi pada seseorang disadari oleh orang lain, dia akan bahagia dengan berprilaku demikian karena prilakunya mendapat respon. Prilaku yang dilakukan terutama sering kali hanya untuk kepuasan dirinya. 3. The Conventional Level Prilaku conventional sering disebut juga dengan prilaku conforming yang dipelajari dari pergaulannya. Mereka sering kali melakukan prilaku yang biasanya dilakukan walaupun prilaku itu tidak sesuai dengan kebiasaannya dahulu, karena menurut pertimbangannya adalah normal dalam kelompoknya. Prilaku konvensional adalah prilaku realistis di mana seseorang melakukan suatu tindakan berdasarkan Out of expediency bukan berdasarkan pemikiran baik atau salah. Prilaku yang dia lakukan lebih banyak untuk memperoleh pengakuan sosialnya dari pada keuntungan yang akan diperolehnya. 4. The Irrational-Conscientious Level Pada tingkat ini prilaku yang dilakukan oleh seseorang melalui suatu proses kritilisasi diri (self-criticism) sehingga membentuk seseorang dalam berprilaku, seluruh tindakannya untuk mencapai tujuan yang di inginkan. Sesuai pula dengan Freud, ada dua tipe penilaian diri oleh setiap manusia yaitu ego dan superego. Ego merupakan mekanisasi pemikiran yang menjaga seseorang terhadap dunia luar dan membantunya untuk mencapai tujuan luarnya (realistically). Sedangkan superego adalah sesuatu yang menjaga seseorang dari suatu tindakan artinya superego berhubungan conscience atau suatu nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat (the conscience or system of values or norms of society). Remaja pada usia pubertied kecendrungan prilakunya irrational karena lebih banyak dilakukan untuk memperoleh keinginannya tanpa memperhatikan nilai kontrolnya (superego) sesuai atau tidak dengan norma. Dalam bentuk ini muncullah istilah-istilah remaja “gaul” dan ”tidak gaul”, Trend, maco dll, digambarkan dengan menunjukkan prilaku-prilaku sesuai dengan dirinya dan kelompok-kelompoknya meskipun sudah menyimpang dari nilai dan masa depan dirinya. 5. The Rational Conscientious Level Merupakan tingkatan prilaku dewasa yang didasari pada nilai-nilai serta konsekwensi-konsekwensi terhadap tindakan-tindakan yang akan dilakukan. Pada tahap ini para remaja penuh pertimbangan dalam berprilaku apakah keuntungan-keuntungan yang diperoleh atau kerugian-kerugian yang akan di deritanya. Dari lima kelompok prilaku tersebut yang paling rawan menjadi prilaku menyimpang adalah The Irrational-Consentious Level. Karena pada tingkat ini usia mereka berkisar antara 15 sampai dengan 19 tahun, pada usia ini menurut para ahli tingkat perkembangan emosional remaja memasuki tahap paling tinggi (Beihler dalam Sunarto 1999 : 181). Dan 70% prilaku menyimpang remaja terjadi pada usia tersebut (Kartini Kartono
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 1986 : 8). Serta tidak kurang dari 38 prilaku remaja menyimpang di sekolah berada padausiatersebut baik yang berisiko tinggi maupun tidak (dalam Zulkifli M. Serambi Indonesia 29 Agustus 2003). Pada tahap ini titik paling rawan terhadap pengaruh-pengaruh existensi prilakunya, di mana mereka berada baik di rumah, dalam lingkungan permainan atau di sekolah, dan masalah yang paling banyak yang menjadi problematik remaja adalah masalah yang berhubungan dengan moral dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya (Monk 1984 : 25-20). G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prilaku Menyimpang Sebelum membahas lebih lanjut tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpangan prilaku remaja, ada baiknya terlebih dahulu dijelaskan apan yang dimaksud dengan prilaku menyimpang tersebut. Dengan mengacu pada beberapa literatur maka prilaku menyimpang yang dimaksud adalah suatu prilaku yang dipraktekkan ramaja di luar ketentuan-ketentuan baik norma-norma masyarakat (agama) maupun disiplin yang ditetapkan yang biasanya dijadikan pedoman umum dalam bertindak. Prilaku menyimpang tersebut seperti sex pranikah, prilaku sex yang terlalu menonjol, minumas keras, narkoba, vcd porno dan pelanggaran disiplin lainnya yang dapat merugikan dirinya serta lingkungannya adalah kejahatan, bentuk-bentuk kejahatan tersebut sudah barang tentu tidak muncul dengan sendirinya, tetapi merupakan produk dari suatu kondisi dan masyarakat dengan segala pergolakan sosial didalamnya (James Coleman dan Donald Cressy 1986 : 409), semua prilaku remaja itu sering juga disebut dengan penyakit sosial (Kartini Kartono 1986 : 4). Prilaku tersebut merupakan bahagian dari penyimpangan dan di luar ketentuan yang telah digariskan baik sekolah maupun agama. prilaku-prilaku tersebut adalah biang merosotnya pribadi, prestasi dan moral remaja kejurang yang sangat menyeramkan di kemudian hari. Apabila tanpa kontrol dari atau super egonya sebagaimana penjelasan Freud, secara emosional mereka sering kali berprilaku demikian yang dianggap sebagai suatu kemajuan dan modern, padahal hal sesungguhnya itu adalah gejala sakit sosial (social pathologis). Hal ini terjadi disebabkan oleh suatu bentuk penguasaan nilainilai yang lemah dan faktor-faktor lainnya sehingga berkembang menjadi prilaku menyimpang. Mayoritas prilaku kondisi tersebut terjadi pada usia di bawah umur 21 tahun, sedangkan angka tertinggi terjadi pada usia 15 – 19 tahun, dan akan menurun kembali ketika remaja telah berusia lebih dari 22 tahun (Kartini Kartono 1996 : 89). Dari beberapa pengkajian tentang remaja maka ditemukan beberapa faktor penyebab terjadi prilaku menyimpang antara lain: 1). Faktor keluarga Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang memberikan pondasi dasar bagi perkembangan kepribadian anak. Sedangkan prilaku menyimpang merupakan produk dari kontitusi defektif mental orang disekitarnya, apakah orang tua, anggota keluarga atau tetangga terdekatnya, semua itu merupakan faktor yang dapat mempengaruhi mental dan perkembangan perasaan para remaja yang belum matang dan labil, dan di kemudian hari proses ini menjadi bentuk mental defektif sebagai akibat dari proses internalisasi nilai-nilai lingkungan tadi yang buruk dan jahat. Karena itu, baik buruknya struktur suatu keluarga dan lingkungan terdekatnya dapat memberikan pengaruh baik dan buruk pula pada perkembangan kepribadian remaja. Apabila kualitas keluarga dan tetangga dekatnya baik, maka kemungkinan prilaku menyimpang remaja tidak terjadi. Di samping itu bentuk status suatu keluarga juga memberikan andil yang besar terhadap remaja, dalam banyak penelitian ditemukan status keluarga yang miskin dan struktur keluarga yang dipimpin oleh singgle parent banyak ditemukan krimalitas remaja (Coleman dan Cressy 1994 : 414-415), bahkan Kartini Kartono (1990 : 26) mengatakan lebih kurang 90% anak yang melakukan prilaku menyimpang berasal dari keluarga broken home. Oleh sebab itu semakin buruk kualitas keluarga maka semakin besar kemungkinan terjadinya penyimpangan, karena:
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 a. Kurangnya perhatian, kasih sayang, tuntunan bimbingan dari orang dekatnya. b. Kebutuhan fisik dan psikisnya yang kurang terpenuhi sehingga mereka mencari dengan jalan-jalan yang tidak benar. c. Kurang disiplin hidup keluarga terhadap nilai-nilai agama, sehingga tidak mampu mengontrol diri ketika tidak ada yang memantaunya. d. Pengawasan dengan nilai-nilai keislaman dalam keluarga sangat lemah e. Kurangnya kepaswadaan orang tua terhadap sistem pergaulan anak. f. Terlalau sayang yang tidak pada tempatnya. 2). Status Sosial Angka statistik menunjukkan semakin rendah status sosial, maka semakin besar kemungkinan terjadinya prilaku menyimpang (Marvin Wolfgang 1990 : 402) hal ini mungkin saja terjadi di mana lingkungan pergaulan remaja dalam status ekonomi yang memadai, sedangkan dia sendiri merasa kurang, mungkin saja hal ini menimbulkan prilaku-prilaku menyimpang seperti suka mencuri, menipu teman dan sebagainya. Namun beberapa peneliti lainnya membantah hal itu, bahwa prilaku menyimpang bisa saja terjadi pada semua tingkat status sosial keluarga, namun tekanan kejahatan lebih besar terjadi pada remaja dalam keluarga yang memiliki status social ekonomi keluarganya yang buruk. 3). Lemahnya Dasar Iman Benteng utama untuk mencegah prilaku menyimpang yang paling kuat sebenarnya bersumber pada remaja itu sendiri, dengan memperkuat keimanannya terhadap hal-hal yang dilarang oleh agama. benteng itu wajib di bangun sejak kecil dengan hal-hal yang lebih sederhana dahulu secara intensif. Inilah yang menjadi benteng paling kuat sehingga tidak mudah terpengaruh walaupun lingkungannya jahat. Untuk itu melalui PP. NAD No. 5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan Syariat Islam telah di susun pedoman dasar sebagai upaya berkembangnya Syariat Islam dalam segala aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, sebagaimana tertuang dalam Bab IV Pasal 5 ayat (1) berikut: Untuk mewujudkan keistimewaan Aceh di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama, setiap orang atau badan hukum yang berdomisili di Daerah Aceh, berkewajiban menjunjung tinggi pelaksanaan Syariat Islam dalam kehidupannya, demikian juga dengan qanunqanun lainnya termasuk qanun khakwat. Dasar PP daerah tersebut dan dalam berbagai pasal lainnyan merupakan salah satu bentuk pengontrolan terhadap berbagai prilaku termasuk prilaku remaja, yang dalam hal ini kiranya perlu di bangun suatu konsep aplikatifnya sesuai dengan bingkai Syariat Islam yang sedang digalakkan dalam upaya mengelola prilaku remaja yang cukup marak dengan penyimpangan-penyimpangan. Oleh sebab itu dasar iman perlu di tanam di setiap rumah tangga secara dini, misalnya dengan memilih sekolah dasar dan menengah yang pembelajaran nilai-nilai keislaman lebih berimbang dengan ilmu lainnya, atau dengan berbagai pengajaran dan pendidikan lainnya yang memungkinkan keimanan si anak menjadi kuat. 4). Lingkungan Pergaulan Remaja dalam bergaul biasanya berkelompok-kelompok, apakah itu menurut kelompok umur, sekolah dan kelas atau memilih teman yang sepaham dengannya. Dari kelompok berkembanglah suatu prilaku, namun hal ini bisa juga sebaliknya mareka berkelompok karena suatu kesesuaian terhadap suatu simbul-simbol. (Coleman dan Donald Cressy 1984 : 411). Model-model menjadi populer dikalangan kelompoknya, untuk itu sering kita lihat simbol –simbol: ”anak gaul” , kampungan, udik, kono dan sebagainya. Mereka akan menolok label-label yang bagi mereka tidak modern dan ketinggalan zaman, apabila seorang anak memilih teman dengan konsep tadi maka anak tersebutpun akan cenderung berprilaku sesuai dengan anggota kelompok tersebut, hal ini disebabkan karena : a. Untuk mendapatkan perasaan termasuk dan diterima (groups acceptable) sebagai bagian suatu kelompok.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 b. Untuk membuktikan bahwa dia termasuk anak berani bukan ingusan lagi dan tidak perlu diatur-atur lagi. Sehingga mengurangi haknya untuk memperoleh pengalaman baru dan menyenangkan. c. Untuk sebuah pengakuan bahwa remaja berbeda zamannya dengan kelompok tua, sehingga sering melahirkan kata-kata, ah.. Bapak kayak tidak pernah muda saja, zaman bapak berbeda dengan zaman kami. 5). Jenis Kelamin Di tinjau dari jenis kelamin maka angka menyimpang lebih tinggi terjadi pada remaja pria dari pada wanita. Bahkan Sutherland dan Cressey (1984) membanding angka penyimpang remaja pria dan wanita dengan 15 : 1. artinya dalam lima belas kasus prilaku menyimpang yang ditemukan, hanya satu yang terjadi pada prilaku remaja wanita. Hal itu dapat kita lihat dalam pernyataan mereka berikut: Males dominate the world of crime …. The crime rate for men greatly in excess of the rate for women in all nations, all communities a nations..in Canada for example the ratio of male to fameles convicted of serius offenses is about 15:1. the difference is even greater in traditional societie. Angka perbedaannya akan lebih besar lagi apabila di lihat pada negara-negara tradisional dan tertinggal. 6). Struktur Sosial Prilaku manusia/individu pada umumnya gambaran dari struktur sosialnya, struktur social adalah satu kesatuan yang memiliki keterkaitan dengan kebudayaan, yang didalamnya mengandung pengetahuan, nilai dan norma. Bagaimana bentuk system kebudayaan akan memberikan nuansa kepada model prilaku setiap individu sehingga terwujud dalam bentuk personalitinya. Seluruh prilaku dan peran-peran setiap personality adalah bentuk dari tekan-tekanan yang secara empati terinternalisasi dalam diri seseorang (personality). oleh sebab itu personality setiap individupun adalah cerminan dari struktur sosialnya yang pada umumnya dapat diprediksikan. Sebagaimana terungkap dalam ungkapan para ahli sosiologi berikut : Social structure is the ordering of everyday behavior and social relationships in a relatively predictable way (Beth B. Hess Dkk 1985 : 89). Oleh sebab itu, apabila suatu lingkungan yang kurang baik membingkai si anak, dan tanpa pengawasan yang memadai maka dapat diprediksikan anak tersebut kemungkinan besar akan berprilaku kurang baik pula mengikuti struktur sosialnya. H.
Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam Setiap aspek kehidupan dalam Syariat Islam pelaksanaannya tidak hanya sebatas memerintah, melarang, menghalalkan dan mengharamkan tanpa punya maksud dan tujuan-tujuan tertentu, seluruh hukum-hukumnya memiliki ‘illat (sebab) yang dapat dipahami atau dijangkau oleh rasio/pikiran manusia serta mempunyai maksud dan latar belakangnya, kecuali sebahagiannya yang bersifat ta’abbudi dan yang hikmahnya tidak masuk akal (ma’qul) yaitu ada rincian rahasia di balik pensyari’ataanya itu (Yusuf Qardhawi 1991). Allah SWT. menjadikan Al-Quran sebagai syifa (obat) huda (petunjuk) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan yang mengikutinya sebagaimana firmannya : “Wahai segenap manusia, telah datang kepadamu ma’izhah (pengajaran) dari RABBMU dan Syifa (obat) bagi apa yang di dalam hatimu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Qs. Yunus ayat : 57). Namun barang siapa tidak mentaati seluruh ajaran Allah dan mengabaikannya tidak akan berpengaruh kepada kekuasaan Allah di langit dan dibumi, dan segala maksiat dan kekufuran mereka tidak akan mencelakakan Allah tapi justru segala itu akan kembali si pelakunya. Oleh sebab itu tujuan pelaksanaan Syariat Islam terutama sekali untuk kebaikan manusia itu sendiri. a. Tujuan yang bersifat Dharuriyyaat (primer) Tujuan ini berfungsi sebagai penegak berbagai kemaslahatan dunia termasuk membentuk akhlakul karimah, jika hal ini tidak ada, maka kemaslahatan dan kebaikan dunia tidak akan tercapai, bahkan akan mendapat kerugian dan kecelakaan sehingga hidupnya sia-sia tanpa masa depan. Untuk memelihara hal ini diperlukan dua hal: 1). Menegakkan tiang-tiang dan sendi-sendi keagamaan dalam setiap kehidupan manusia.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 2).
Mencegah hal-hal yang dapat merusak sendi-sendi keagamaan manusia baik yang terjadi maupun yang akan terjadi.
b. Tujuan yang bersifat Al-hajiyat (sekunder) Sebagai suatu usaha rangka menghilangkan kesempitan yang dapat mendatangkan kepayahan dan kesusahan, dan kalaupun tujuan ini tidak tercapai hambanya tidak sampai menjadi binasa sebagaimana pada tujuan pertama tadi. Tujuan Tahsinat (bersifat penghias dan pelengkap) Tujuan syariat yang ke tiga ini adalah suatu usaha untuk mengambil hal-hal yang baik yang ada dalam adat kebiasaan dalam suatu masyarakat dan meninggalkan hal-hal yang buruk, hal-hal yang baik itu di sebut dengan “akhlakul karimah”. Secara formal tujuan pelaksanaan Syariat Islam dapat kita lihat dari kerangka dasar pertimbangan penerapan Syariat Islam di Nad, dapat kita simpulkan sebagai berikut : 1). Bahwa dalam kehidupan rakyat Aceh yang religius dan menjungjung tinggi Syariat Islam, merupakan modal dalam meningkatkan peran serta masyarakat dalam mewujudkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan serta memantapkan kemampuan daerah dalam mengahdapi tantangan global. 2).Untuk menindaklanjuti UUD Nomor 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dapat diterapkan secara lebih luas khususnya dalam pelaksanaan Syariat Islam, sesuai dengan Qanun Nomor 5 tahun 2000 tentang Syariat Islam serta UU PA Nomor 11 tahun 2006. 3). Agama Islam adalah Rahmatan lilalamin sebagai rahmat bagi seluruh alam dan telah menjadi kenyakinan masyarakat Aceh sejak dahulu kala, maka diperlukan penjabaran nilai-nilai kenyakinan tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, dalam berbangsa dan bernegara di Daerah Istimewa Aceh. c.
METODA PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini bersifat lintas instansi, sesuai dengan temanya, maka akan difokuskan pada remaja dan istansi terkait dalam Kota Banda Aceh bersifat deskriptif ekspolarif. Yang dimaksudkan dengan remaja dalam penelitian ini adalah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan siswa tingkat SMA dalam wilayah Kota Banda Aceh, B.
Responden Penelitian Data penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer di peroleh melalui wawancara, kuesioner dan observasi. Sedangkan data sekunder di peroleh melalui studi dokumentas dan kepustakaan. Populasi penelitian ini adalah seluruh remaja dari berbagai perguruan negeri/ swasta, dan seluruh siswa SMA negeri Kota Banda Aceh, serta beberapa orang responden dari beberapa instansi terkait seperti MPU, WH, Tokoh Masyarakat dan Dinas Syariat Islam. C. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data akan dilakukan sesuai dengan kelompok sampel yang telah ditentukan, maka dalam pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut:
1). Angket Yaitu dengan cara menyebarkan sejumlah pertanyaan sesuai dengan tujuan penelitian kepada responden yang telah ditentukan. 2). Wawancara
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Wawancara digunakan untuk memperdalam serta menemukan jawaban-jawaban yang lebih terperinci yang tidak mungkin terjawab tuntas dan mendetil melalui angket. Wawanacara hanya akan dilakukan terutama kepada sumber data dari bebagai sumber yang telah disebutkan dan unsur lain yang pandang kompeten dan terkait dengan permasalahan yang diteliti. D). Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data yang terkumpul diolah dengan pendekatan “Trianggulasi’. Yaitu lebih dari satu metoda, dengan mengawinkan metoda kuantitatif dan metoda kualitatif. Data yang terkumpul melalui angket diolah dengan bantuan statistik deskriptif, disajikan dalam bentuk narasi, Data yang terkumpul melalui wawancara, observasi dan seminar di olah dengan pendekatan deskriptif kualitatif, tujuannya untuk menggambarkan katagori-katagori yang relevan dengan tujuan yang ingin di capai dalam penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelanggaran Qanun Khalwat oleh Remaja Kota Banda Aceh 1. Tingkat Pelanggaran Khalwat/Meusum Remaja Kota Banda Aceh Hasil penelitian sebelumnya menggambarkan bahwa semua bentuk-bentuk prilaku menyimpang yang beresiko tinggi masih terjadi pada siswa SMA, seperti Ektasi, ganja, shabu-shabu, minuman keras, bahkan dari 6,42% remaja SMA Kota Banda Aceh pernah melakukan free sex, factor penyebabnya bermacam-macam salah satu yang paling mendasar adalah belum ada suatu konsep pendekatan yang khusus melalui suatu usaha yang terpadu antara lembaga pendidikan, WH dalam pencahagan prilaku tersebut. Untuk itu kiranya tindak lanjut dari hasil penelitian tersebut perlu di rumuskan suatu konsep sinergis dengan pola-pola remaja atau melibatkan remaja sendiri sebagai salah unsur pengawasnya. Memang penelitian tersebut tidak difokuskan khususnya pada tingkat SMA saja melainkan termasuk mahasiswa, karena kedua kelompok remaja ini terindikasi pelanggaran khalwat paling tinggi di Aceh dan memiliki karakteristik yang bersamaan. Dari hasil pengolahan data ditemukan pelanggaran khalwat oleh remaja menunjukkan data yang mengkhawatirkan, misalnya pada kalangan remaja SMA Kota Banda Aceh, free sex 6,42% sedangkan pada remaja mahasiswa free sex mencapai 12,02%, dan 1,82% remaja SMA Kota Banda Aceh pernah melakukan tidur bersama, dan 14.72% pernah melakukan pelukan dan ciuman bibir, indikasi ini menunjukkan bahwa remaja Kota Banda Aceh telah melakukan pelanggaran berat qanun khalwat/meusum. Sebagaimana yang pernah disebutkan yang tercatat sesuai dengan Laporan Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2009, terjadi peningkatan pelanggaran khalwat yang cukup signifikan. Misalnya pada tahun 2005 terdapat 8 kasus khalwat, pada tahun 2006 terjadi peningkatam menjadi 21 kasus khalwat, tahun 2007 terdapat 127 kasus khalwat dan tahun 2008 terdapat 491 kasus khalwat. Di Banda Aceh sejak tahun 2006 terdapat 132 kasus (42 kasus berat, 90 kasus ringan), tahun 2007 terdapat 149 kasus (47 kasus berat, 102 kasus ringan), tahun 2008 terdapat 103 kasus (22 kasus berat, 77 kasus ringan), tahun 2009 terdapat 91 kasus (21 kasus berat, 70 kasus ringan) dan sampai dengan Februari 2010 terdapat 6 kasus khalwat berat. 1.
Pelanggaran Amanat Qanun dan Ajaran Islam Pendiskripsian beberapa lokasi dan bentuk pelanggaran di atas hanya untuk memudahkan peneliti menemukan bagaimana konsep penerapan qanun tersebut secara sempurna baik melalui peningkatan peran unsurunsur terkait secara langsung, maupun menemukan format-format keterlibatan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Bab IV pasal 8 ayat 1 dan 2 dengan konkrit, sehingga pelanggaran qanun tersebut dapat di tekan secara siknifikan. Menjawab permasalahan itu kiranya perlu dicermati terlebih dahulu secara teoritis, berdasarkan perspektif sosiologis, bahwa pelanggaran setiap qanun sebenarnya dapat diklasifikasikan dalam tiga bentuk pelanggaran.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Perlanggaran pertama adalah, pelanggaran yang diakibatkan karena mengabaikan perintah dan kewajiban yang tersirat pada setiap pasal dan ayat-ayat yang terkandung dalam qanun, misalnya pada qanun khalwat pasal 5 menyatakan, bahwa setiap orang di larang melakukan khalwat/meusum, dalam pasal ini jelas bahwa setiap orang yang melanggar pasal ini adalah akan mendapat sanksi, sebagaimana tertuang dalam ketentuan ‘uqubat berupa cambuk paling tinggi 9 (Sembilan) kali dan minimal 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000 dan paling rendah Rp. 2.500.000, pemahaman seperti ini cukup jelas, karena sasarannya juga jelas, yaitu pelaku khalwat/meusum. Untuk mencegah hal tersebut perlu system pengelolaan agar setiap orang tidak melanggar atau tidak tersedia kesempatan melanggar, qanun itu juga mengatur dan memberi peluang kepada setiap orang tidak terjadi pelanggaran di lingkungannya, bahkan wajib baginya sebagaimana dimaksudkan dalam qanun-qanun Syariat Islam lainnya seperti Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan sejenisnya peran masyarakat tertuang dalam bab IV pasal 10 ayat 1 dan 2, Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentan Perjudian dalam bab IV pasal 9 ayat 1 dan 2, serta Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentan Khalwat/Meusum peran serta masyarakat dituangkan pada pasal 8 ayat 1 dan 2 sebagai berikut : 1. Masyarakat berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan khalwat/meusum, 2. Masyarakat wajib melapor baik secara lisan maupun tulisan apabila mengetahui adanya pelanggaran terhadap larangan khalwat/meusum. Pada ayat pertama tersurat bahwa masyarakat memiliki peluang dalam berpartisipasi dan memiliki peluang kepada semua pihak dalam pencegahan dan pemberantasan khalwat/meusum di lingkungannya. Dengan demikian apabila masyarakat tidak berperan melapor dan sebagainya sebagaimana yang diamanatkan tadi (memiliki kekuatan hukum pasal 10), berarti tidak turut serta dan berpartisipasi, sebenarnya dapat juga dipahami sebagai pelanggaran meskipun tidak melakukan khalwat/mesuem. Dari perspektif pelanggaran kedua ini sebenarnya juga jelas, misalnya memberi fasilitas atau mendorong terjadinya pelanggaran khalwat, seperti pemilik usaha, Warnet, Warmang, Salon, Hotel bahkan lembaga pendidikan sekalipun, sebagaimana yang di singgung di atas dapat dimasukkan dalam kelompok ini. Di lain pihak wewenang dan hukum yang mengatur peran masyarakat pada hakekatnya sudah tersirat dan tersurat dalam ajaran Islam misalnya dalam Surah Ali Imran 110, Allah SWT berfirman yang artinya : ‘Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan unuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan berimanlah kepada Allah….(Ali Imran 3 : 110), disamping itu dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslem juga memperjelas peran serta masyarakat dalam mencegah pelanggaran ajaran Islam yang artinya : “Imam Muslem meriwayatkan dari Abu Said Al-khudry ra, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda : ‘Barang siapa dari kalian yang mendengar kemungkaran hendaklah ia menyingkirkan dengan tangannya, jika tidak mampu, hendaklah dengan lisannya, jika masih tidak mampu, hendaklah dengan hatinya. Akan tetapi merubah dengan hatinya itu merupakan serendah-rendahnya iman”. Dari hasil interview dengan beberapa ulama dan tokoh masyarakat, umat Islam harus memahami hadis tersebut dan Al’quran sebagai kewajiban semua pihak dalam pencegahan kemungkaran, masyarakat Aceh dan umat Islam lainnya dewasa ini sudah menganggap cuek saja dengan kewajiban tersebut, hal ini akibat peniruan budaya asing yang cenderung individualis terhadap pelanggaran nilai agamanya. Sehingga kewajiban dan makna mencegah kemungkaran dalam pesan tersebut ditafsirkan dari dasar hukum yang paling lemah yaitu dengan hati saja. Pemahaman peran seperti itu sebenarnya sudah termasuk pelanggaran yang ke tiga, karena banyak di antara kita yang memiliki berbagai kekuatan untuk mencegah itu, namun tidak mau bersusah-susah sehingga selalu merujuk pada hukum yang paling lemah tadi dan menyerah tugas tersebut pada WH saja. Adalah suatu kemustahilan qanun khalwat/Syariat Islam akan terlaksana secara sempurna apabila semua pihak tidak bersama-sama dengan penuh keberanian sesuai dengan amanat Al-quran dan Hadist tersebut diwujudkan dalam aksi yang nyata, sangat naïf apabila semua kita menyerahkan tugas itu semua pada WH saja, dan membiarkan pelanggaran di sekitarnya, dan tidak menganggapnya sebagai dosa karena selalu merujuk pada dasar hukum islam yang sangat lemah, yaitu dengan “hati saja”.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 B.
Strategi penerapan Qanun Khalwat dalam Pencegahan Prilaku Khalwat Pada Remaja Kota Banda Aceh
Dalam pelaksanaan Syariat merupakan tanggungjawab semua pihak dan seluruh komponen masyarakat, sebgaimana tertuang dalam dalam Qanun Nad Nomor 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan Syariat Islam. Bab IV Pasal 5 ayat (1) berikut: Untuk mewujudkan keistimewaan Aceh di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama, setiap orang atau badan hukum yang berdomisili di Daerah Aceh, berkewajiban menjunjung tinggi pelaksanaan Syariat Islam dalam kehidupannya. Mengacu kepada hal tersebut Dinas Syariat Islam sampai saat ini belum membuat adanya pemilihan berbagai konsep remaja, dewasa dan sebagainya. Namun semua yang telah dilakukan merupakan suatu konsep integral bagi terwujudnya prilaku yang islami secara kaffah di Kota Banda Aceh termasuk pada remaja pada tingkat SMA dan mahasiswa. Belum juga adanya kerja sama yang lebih memadai sampai ke sekolah-sekolah dan gampong-gampong sebagai perwujudan tanggungjawab bersama tadi dengan tindakan sbb. (1). Gerakan Gampong Siaga (GAMSIA). Gampong adalah organisasi masyarakat terkecil dalam struktur organisasi kepemerintahan dalam satu wilayah, atau tempat pemukiman penduduk dalam suatu wilayah tertentu yang berada di bawah koordinasi kecamatan, perjalanan masyarakat dari sautu tempat ketempat lain melewati berbagai desa, peran dan fungsi gampong sebagai wadah peyiaran, pengawasan dan pencegahan Syariat Islam adalah elemen penting dalam membentuk prilaku yang Islami secara efektif pada semua kelompok masyarakat. Meskipun kita sadari pada umumnya semua masyarakat Aceh mendukung pelaksanaan syariat di Aceh dan desanya khususnya, namun di zaman yang serba cepat dan sibuk dengan berbagai aktifitas ekonominya masyarakat tidak perduli karena menganggap bukan urusannya, dan merasa malas jangan-jangan mendapat respon yang bukan-bukan pada dirinya. Dan sering dilabrak oleh tersangka dengan kata-kata “apa urusan saudara”, dan berbagai umpatan lainnya. (Serambi Indonesia, 26 Juni 2007) Namun menurut beberapa sumber, lain halnya apabila adanya suatu pengesahan bahwa unsur perangkat desa tersebut atau seseorang atau kelompok dijadikan perpanjangan tangan dari WH dengan fungsi, peran dan tugasnya yang jelas sesuai dengan peraturan yang berlaku dan sesuai pula dengan kaedah-kaedah Syariat Islam, sehingga unsur tersebut selalu siaga di setiap desanya masing-masing, dengan demikian setiap desa akan menjadi Gampong Siaga Syariat Islam (GAMSIA). Salah satu dasar hukum pembentukan WH ditingkat Gampong adalah Qanun Nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat Islam Pasal 14 ayat (2), qanun nomor 14 tahun 2002 tentang khalwat bab IV. (2). Perlu adanya kontrak kerja dengan pemilik rumah kost, rumah sewa, hotel, wisma, Café, Kafetaria, Wisma pangkas, Salon, Warnet dan lain-lain tentang konsistensi mereka melaksanakan dan menjaga syariat ditempatnya sebagaimana tersirat dalam Qanun Nonor 5 Syariat Islam dan Qanun Nomor 14 tentang khalwat, khususnya pasal 6 dan 7 serta pasal 25 ayat a, dan b sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Dengan demikian akan terjadi kontrak social dengan pemilik tempat tersebut sehingga kemungkinan akan terjadi prilaku menyimpang ditempattempat tersebut dapat dieliminir secara dini. Dari berbagai sumber yang dikumpulkan terutama dari pihak sekolah, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadi prilaku menyimpang di Kota Banda Aceh yaitu ; 1. Masih terbukanya kesempatan melakukan pelanggaran di berbagai tempat, karena kebanyakan di antara kita merasa tidak berkepentingan untuk mencegah penyimpangan tersebut. 2. Belum adanya keterlibatan dan peran aktif masyarakat sekitar dalam memantau berbagai prilaku menyimpang dan penerapan Syariat Islam. 3. Pemilik Warung/Restoran, Warnet dll, memberikan kesempatan selebar- lebarnya kepada tamunya sebagai salah satu cara menarik pelanggan 4. Pengontrolan orang tua terhadap anaknya sangat lemah, baik dalam berpakaian, berteman, bahkan kemana mereka pergi. 5. Payung hukum untuk WH dalam melaksanakan tugas belum jelas, karena WH hanya berhak memeriksa pelanggaran tetapi tidak berhak menahan pelanggarnya, sering sekali mareka yang telah terindikasi bersalah melarikan diri karena harus dilepas oleh WH
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 (3). Perlu adanya mekanisme kerja yang nyata dengan seluruh pimpinan instansi yang ada dalam Kota Banda Aceh sehingga setiap pimpinan adalah pengawas, Pembina dan pengontrol terjadinya pelanggaran khalwat di instansinya masing-masing. Menurut para WH Kota konsep ini adalah sangat efektif karena bisa terpantau secara menyeluruh di seluruh instansi dalam Kota Banda Aceh, konsep ini disebut Top Down Syariah Controller, dan apabila terjadi pelanggaran maka pihak atasan dari setiap organisasi tersebut harus bertanggung jawab. (4). Perlu adanya kontrak social dengan berbagai pemilik tempat rekreasi, panggung hiburan dan upacaraupacara, baik upacara keagamaan, pesta perkawinan. Pelanggaran prilaku menyimpang oleh kelompok remaja secara kuantitatif juga banyak terjadi di wilayah-wilayah tersebut terutama sekali tempat-tempat rekreasi seperti pantai dan tempat-tempat hiburan. Tempat – tempat pelanggaran Syariat Islam Remaja Kota Banda Aceh yang rawan terjadi pada beberapa titik, tempat pelnggaran-pelanggaran tersebut biasanya terkait sekali dengan jenis-jenis pelanggarannya. a. Tepi Kali Tepi kali adalah suatu kawasan di pusat Kota Banda Aceh, prilaku menyimpang yang sering terjadi, beberapa tahun sebelum Tsunami yang paling menonjol adalah minuman keras, kasus-kasus yang sering terindentifikasi dalam wilayah ini pada umumnya prilaku menyimpang oleh kelompok dewasa hanya sebagian kecil kasus yang terjadi pada remaja di sekitar ini, di samping itu di sekitar kawasan ini juga sering dijadikan sebagai tempat khalwat/mesum dan transaksi sex oleh kelompok remaja dan dewasa. Golongan kelompok social yang sering terindentifikasi sebagai pelanggar syariat adalah kelompok social yang tergolong memiliki status ekonomi tingkat bawah. Beberapa penggrebekan dan penangkapan pernah dilakukan di sekitar ini, namun beberapa saat kemudian terjadi kembali kasus yang sama, bahkan oleh pelaku-pelaku yang sama. b. Blang Padang Blang Padang adalah suatu lapangan yang sangat strategis yang berada di tengah pekotaan Kota Banda Aceh, lapangan tersebut sering digunakan oleh Pemda sebagai sarana seremonial hari-hari besar nasional, juga digunakan sebagai pusat kebugaran masyarakat Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Pelanggaran qanun-qanun syariat juga banyak terjadi di lokasi ini di pagi hari, sebagai sarana umum warga kota, dengan dalih olah raga sering kali pelanggaran Syariat kita temukan di lapangan ini pagi hari dan sore hari terutama dalam hal berbusa, bahkan warga non-muslem sama sekali tidak menghargai warga kota yang sedang bersyariat, dengan berbusana super minim dengan santainya berlari-lari mengelilingi lapangan tersebut, sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi, karena ada hukum menyesuaikan diri dan hukum penundakan diri sebagaimana yang di bahas pada sub bahasan kelompok masyarakat minoritas yang akan datang.
c. Pantai Ada beberapa lokasi pantai yang paling banyak dikunjungi oleh para remaja terutama pada hari-hari libur yaitu pantai Ujong Batee, Pantai Ulee Lhue, dan Pantai Lhok Nga, Pantai Ladong, Pantai Lam Pu uk, Tibang. Lebih dari setengah remaja Kota Banda Aceh sering kali menggunakan pantai sebagai lokasi yang sering dikunjungi pada hari-hari libur sekolah, dan berbagai kesempatan lain, budaya ke pantai seringkali dilakukan dengan pasangannya. Dari beberapa pantai tersebut yang paling banyak terindentifikasi prilaku menyimpang para remaja Kota Banda Aceh adalah Ulee Lheu, meskipun demikian pantai-pantai lain dinyakini tidak jauh berbeda dengan berbagai fenomena yang ditemukan di pantai Ulee Lheue, karena pantai tersebut di dukung oleh kondisi wilayah yang terdiri pergunungan, pohon-pohon besar dan sepi dari rumah penduduk, bahkan prilaku sex bebas para remaja sering terjadi di bebera lokasi tersebut terutama sekali sebelum Gempa bumi dan Tsunami melanda Aceh, prilaku menyimpang yang sering ditemukan dari para remaja di pantai adalah mandi bersama, ciuman, pelukan
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 dan berbagai perbuatan lainya yang dapat tergolong dalam khalwat sesuai dengan qanun khalwat. Beberapa lokasi pantai yang riskan khalwat adalah Ulee Lheu, Tibang, Krueng Cut dan beberapa bibir pantai lainnya. d. Pusat-Pusat Perbelanjaan, KFC, Pizza Hut, Praktek dokter, Es Teller 77, Pizza House, Kafe-kafe dan beberapa pusat Perbelajaan lainnya. Remaja adalah suatu kelompok social yang pada umumnya memiliki pola prilaku hidonisme yang lebih tinggi, dibandingkan dengan kelompok-kelompok social lainnya, memiliki nilai kekompokan sesama anggota kelompok yang tinggi, memiliki kecendrungan prilaku sesuai dengan kelompokkan, 40,65% mereka memilih teman yang sepaham, 49,34% mereka memilih teman yang saling mengerti, Prilaku menyimpang seperti narkoba 36,45% factor penyebabnya karena diajak teman. Sebagaimana sifatnya yang sering berkelompok dan berafiliasi setia terhadap kelompok, terutama sekali remaja setingkat SMA atau SMP yang sering disebut dengan ABG. Meskipun dari hasil identifikasi prilaku menyimpang yang terjadi pada tempat-tempat yang tersebut di atas pada umumnya adalah berbeda-beda, misalnya pada tempat praktek dokter prilaku yang paling menonjol adalah pelanggaran busana oleh kelompok yang lebih dewasa, sedangkan pada bidang yang lain seperti pusat perbelanjaan, KFC, Kafe-kafe, water boom dan lain-lain pelanggaran yang dominan terjadi ketika berada pada tempat-tempat tersebut adalah pelanggaran Pasal 23 Qanun Nomor 11 tahun 2002 yaitu tidak berbusana Islami. sebagian besar (62, 34%) Remaja Kota Banda Aceh berbusana muslem belum menjadi kewajiban yang akan berdosa kalau ditinggalkan, tetapi berbusana muslim adalah hanya takut terpantau WH, Pemberian sanksi lebih besar wewenang Pemda bukan WH, pertimbangan pencabutan izin usaha oleh Pemda lebih diutamakan dengan pertimbangan ekonomi masyarakat bukan pertimbangan qanun-qanun Syariat Islam sehingga sering kali laporan WH terhadap salah satu usaha karena melanggar qanun tidak mendapat tanggapan yang serius dari Pemda (Danton WH Kota B. Aceh 2010). e. Rumah Kost Dari berbagai informasi yang terkumpul usaha yang paling sulit melakukan pencegahan prilaku khalwat yang terjadi di rumah kost atau rumah-rumah kontrakan yang tidak diawasi langsung oleh pemiliknya, baik yang ditempati oleh remaja putri atau remaja putra, prilaku khalwat yang pada umumnya mulai banyak terjadi ketika mereka sudah mempunyai pacar, 42,28% remaja kelas 2 dan 3 SMA Kota Banda Aceh punya pacar, prilaku menyimpang yang sering terjadi adalah khalwat seperti cium tangan, cium pipi dan kening, belaian, pelukan, cium bibir, tidur bersama sampai mesum seperti free sex (Abubakar dan Anwar 2005). Pelanggaran terbesar pada rumah kost adalah remaja tingkat mahasiswa. Wilayah rumah kost yang paling sering terjadi pelanggaran khalwat adalah Rukoh, Kampung Laksana dan Keramat, serta komplek mahasiswa sekitar kampus Sektor Barat, Sektor Selatan dan beberapa kost mahasiswa lainnya di berbagai tempat, angka pelanggaran khalwat remaja Kota Banda Aceh ini sudah cukup mengkhawatir sebagai daerah yang bersyariat yang memiliki berbagai qanun, free sex remaja mahasiswa mencapai 12,02%, angka ini mendakai angka free sex remaja Kota Medan yaitu mencapai 15% lebih. Ini salah satu masalah serius dalam menerapkan Syariat Islam dan penerapan qanun kahalwat. f. Media Elektronik/Warnet Perkembangan teknologi informasi dapat menghapus kendala waktu dan ruang, di mana berita yang terjadi berbagai belahan dunia dengan sangat mudah diakses dalam waktu yang sama di berbagai wilayah lain, keberadaan internet dewasa ini dengan menjangkau dunia lain, yang dapat dapat diakses baik ditempat-tempat khusus seperti warnet, note book bahkan melalui handphone yang telah menyediakan fasilitas untuk itu. Kecanggihan teknologi dapat membawa dampak yang cukup besar, baik dampak dalam menguasai informasi dalam waktu yang singkat, memudahkan komunikasi dengan pihak tertentu dengan cepat, namun dampak lain yang tak kalah penting adalah terhadap perkembangan mentalitas para remaja apabila kecanggihan tersebut disalahgunakan untuk hal-hal yang keliru, ini termasuk hal yang paling sulit untuk di cegah, apa yang dulunya tabu dan di larang dapat berada setiap saat dalam genggaman seseorang dan dapat di akses kapan saja
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 oleh siapa saja yang memungkinkan bagi seseorang memiliki fasilitas tersebut, dengan demikian semakin tinggi kemampuan ekonomi seseorang untuk memiliki teknologi, maka semakin tinggi pula bagi orang tersebut kepada hal-hal yang haram menurut Syariat Islam seperti porno grafi. 26,72% pornograpi di kalangan remaja SMA Kota Banda Aceh telah ditonton oleh remaja pria maupun wanita melalui HP khususnya yang menyediakan fasilitasfasilitas untuk itu. sebagaimana telah disinggung di muka bahwa salah satu cirri khas remaja adalah berkelompok, apabila salah satu saja di antara mereka yang memiliki kecanggihan teknologi informasi HP yang mampu mengakses gambar-gambar terlarang, maka dapastikan seluruh anggota kelompoknya akan terlibat dengan prilaku melanggar tersebut. Wadah lainnya yang riskan terhadap prilaku tersebut adalah warnet, kerena menyediakan fasilitas tempat yang memungkinkan seseorang mengakses berbagai macam gambar dan berita tanpa bisa di pantau oleh orang lain yang ada di sekelilingnya, tidak tertutup kemungkinan dengan situasi yang terkondisikan demikian seseorang tidak akan terdorong untuk mengakses gambar-gambar yang di larang karena tersedia kesempatannya, sehingga tidak heran lebih dari 86 remaja dan anak – anak pengunjung warnet di Kota Banda Aceh bertujuan mengakses pornografi, hal ini disebabkan rasa ingin tau kelompok remaja lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lain, 24,08% terjadi prilaku menyimpang pada reamaja Kota Banda Aceh disebabkan karena adanya rasa ingin tau, dan 75,12% karena ada kesempatan dan fasilitas. Di lain pihak seharusnya setiap orang tua mewaspadai dan membatasi pemanfatan internet bagi anaknya untuk kepentingan tertentu saja, dan menemaninya sedemikian rupa dalam memanfaatkan fasilitas tersebut, dalam pengertian pemanfaatan internet bagi anak-anak akan lebih selektif. f. Tempat-Tempat Penginapan Gempa bumi dan Tsunami tahun 2004 yang memporat-porandakan Aceh, membuat Provinsi Nad ini mau tidak mau harus membuka diri terhadap berbagai bangsa lain untuk masuk ke Aceh, baik untuk melihat-melihat kedasyatan musibah tersebut, sebagai turis atau sebagai relawan untuk membantu mempercepat rehabilitasi dan rekonstruksi dan memudahkan masuknya berbagai bantuan yang sangat dibutuhkan korban. Banyaknya pendatang yang mendiami berbagai wilayah di Aceh akan membawa konsekwensi logis bagi hadirnya investor-investor sector perhotelan, konstruksi, barang dan jasa. Dengan demikian akan membawa konsekwensi logis pula berupa maraknya berbagai tempat penginapan baik yang berskala kecil dan skala internasional serta home stay di sekitar perumahan milik warga Kota Banda Aceh. Untuk itu kerja sama semua pihak adalah salah satu factor penting sebagai suatu konsep yang terpadu melalui kegiatan-kegiatan sosialisasi melalui prilaku pengelolan tempat-tempat penginapan, namun sepanjang pengamatan yang dilakukan tidak ditemukan satupun tempat-tempat penginapan seperti hotel-hotel yang turut mensosialisasikan Syariat Islam, misalnya dengan memasang spanduk himbauan atau anjuran mematuhi Syariat Islam dalam mencegah khalwat dan dapat mengarah pada zina. g.
Lingkungan Kampus Lingkungan kampus termasuk suatu kawasan pelanggaran khalwat paling subur, beberapa kasus yang pernah terjadi seperti mesum di Musalla Kampus IAIn, Kantor Pema IAIN dan Gedung G Universitas Serambi Mekkah merupakan hanya contoh kecil yang terungkap pelanggaran khalwat di kalangan remaja mahasiswa, bahkan lebih jauh lagi dari studi ini menunjukkan 12,02% remaja tingkat mahasiswa telah melakukan freesex dengan berbagai alasan, hal ini cukup sejalan dengan studi/survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan (Depkes) RI dan the United Nations Children’s Fund (Unicef), tercatat bahwa dari jumlah Pekerja Seks Komersil (PSK) yang beroperasi di Aceh, 10 persen di antaranya tergolong berpendidikan tinggi atau berstatus mahasiswi. h.
Sepanjang Jalan T. Nyak Arief Hasil pemantauan dan berbagai informasi yang dikumpulkan dari berbagai pihak terkait, sepanjang Jalan T. Nyak Arief merupakan pelanggaran khalwat dan pelanggaraan Syariat Islam yang terbuka dilakukan oleh remaja Kota Banda Aceh, yaitu di Kios-kios roti bakar dan burger, di mana biasanya mereka buka sejak sore sampai
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 larut malam, tempat – tempat inilah yang menjadi tempat mangkal pasangan-pasangan remaja sampai larut malam, bahkan mereka tetap tidak beranjak walaupun azan magrib menggema, tetap saja berduaan, sehingga mereka melanggar Syariat Islam sesuai dengan Qanun Nomor 5 Tahun 2000 tentang Syariat Islam dan melanggar Khalwat sesuai dengan qanun khalwat Nomor 14 tahun 2003, karena berduan dalam suasana remangremang dapat dianggap perbuatan bersunyi-sunyi meskipun disepanjang yang pada lalulintasnya. Beberapa upaya yang dilakukan oleh WH menemui jalan buntu, masalahnya karena sudah jelas pelanggaran khalwat paling banyak terjadi di lokasi ini, dan tidak mungkin di cegah melalui pengawasan secara terus menerus, salah satunya cara adalah dengan melarang penjualan makanan dan sejenisnya di malam hari, hal ini tidak mendapat tanggapan yang positif dari pihak terkait (Pemda), bahkan penutupan kios-kios tersebut dipahami dapat menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat dan dapat mempengaruhi kesuksesan tahun kunjungan Banda Aceh 2011 (Danton WH Kota Banda Aceh 2010). Dengan pemahaman seperti ini mengindikasikan bahwa perhatian pemerintah terhadap keberhasilan Syariat Islam akan terabaikan dan lebih mengutakan kepentingan ekonomi dan pariwisata, seharusnya keduanya harus berjalan seimbang, bahkan Kota Banda Aceh seharusnya harus dikembangkan menjadi Kota Wisata Islami karena sejalan dengan struktur dan kultur budaya. i. Lokasi Terminal Keudah Lokasi terminal Keudah terletak di Jalan Tentara Pelajar Taman Siswa Kota Banda Aceh, lokasi ini sering kali dijadikan sebagai tempat mangkal waria di setiap malamnya, namun di antara kelompok-kelompok tersebut juga diketahui bergabung para remaja dan PSK, sering kali ini tempat ini dijadikan sebagai lokasi transaksi dan pertemuan dengan pria-pria hidung belang, aktivitas ini biasanya mulai muncul malam hari, di samping lokasi tersebut, lokasi transaksi sangat sulit di tebak, karena system komunikasi sangat memudahkan untuk membuat pertemuan dan transaksinya, bahkan mereka sering langsung di jemput di ujung perumahan kostnya, kasus-kasus seperti ini sering terjadi pada PSK seperti mahasiswa yang ternyata dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan, dari survei ini di peroleh gambaran bahwa 12,02% remaja kelompok mahasiswa telah melakukan freesex, hal ini sejalan dengan suatu survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan (Depkes) RI dan the United Nations Children’s Fund (Unicef), tercatat bahwa dari jumlah pekerja seks komersil (PSK) yang beroperasi di Aceh, 10 persen di antaranya tergolong berpendidikan tinggi atau berstatus mahasiswi.
i, Tempat Hiburan/Fun land Water Boom dll. Salah satu wilayah lain yang perlu mendapat perhatian adalah tempat-tempat hiburan dan permainan seperti Funland yang selama ini sudah banyak tumbuh dibeberapa sudut Kota Banda Aceh, pelanggaran yang terjadi di tempat ini sangat beragam, 82.32% pengunjung tempat ini baik remaja maupun dewasa melanggar Syariat Islam terutama sekali dalam berbusana, di samping itu pelanggaran Khalwat yang paling dominan terjadi adalah di kalangan remaja, bahkan secara terbuka mereka berani menunjukkan kemesraan dengan berpelukan dan bergandeng tangan di antara berbagai pengunjung lainnya yang kebanyakan pula anak-anak. Penampilan yang cukup mencolok adalah pengunjung non-muslem baik dalam berpakaian maupun dalam berprilaku sex dengan lawan jenisnya di tempat-tempat tersebut. Tempat yang paling menonjol pelanggaran syariat dan khalwat adalah water boom, pada tempat yang disebutkan ini syariat islam nampaknya sama sekali tidak berlaku. j. Makanan Penerapan Syariat Islam adalah tidak secara parsial dan setengah-setengah, tapi secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan kepada seluruh kelompok masyarakat secara kaffah, termasuk pada makanan yang bersih dan suci, pada umumnya warga dan remaja Kota Banda Aceh, tidak memilih makanan dan sumbernya yang suci berdasarkan Syariat Islam, misalnya membeli berbagai makanan yang diragukan kehalalannya meskipun
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 makanan tersebut dipastikan bersih, seperti Bakso, Esteller, Mie Tio dan berbagai minuman yang di jual oleh non-muslin, karena makanan yang di proses oleh non-muslim diragukan kesuciannya karena prosesnya dipastikan mereka tidak akan memisahkan atau tidak akan menambahkan bahan-bahan lain yang diharamkan oleh agama Islam seperti daging babi atau lemak babi, anjing, tikus, kucing dan sebagainya sebagai upaya pelezat rasa untuk menarik pelanggannya, Pada umumnya para remaja dan warga Kota Banda Aceh tidak melihat dan mencermati proses tersebut ketika menkonsumsi berbagai jenis makanan kesukaannya, sehingga apa yang dikonsumsikan adalah haram sebenarnya. Oleh sebab itu, untuk kepentingan yang essensial perlu adanya suatu keputusan hukum yang lebih berani, melalui fatwa atau atauran tertentu bagi umat Islam menkomsumsi makanan-makanan basah dari non-muslem, tentunya dengan perspektif Syariat Islam bukan perspektif ekonomi kerakyatan, karena kedua perspektif ini kadang –kadang saling bertentangan, dan sering kali pula perspektif ekonomi yang lebih kuat, karena dampaknya langsung dirasakan, sedang perspektif agama dampaknya akan dirasakan dalam waktu yang tidak dipastikan dan akhirat nanti. 2. Konsep penerapan Qanun pada remaja Kota Banda Aceh supaya berjalan dengan efektif Berbicara Qanun khalwat tidak terlepas dari pembicaraan Qanun Syariat Islam secara keseluruhan, karena Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat merupakan salah satu bahagian penting dalam penerapan Syariat Islam di Provinsi Aceh dan Kota Banda Aceh khususnya. Yang dimaksudkan dengan konsep penerapan Qanun Khalwat pada remaja Kota Banda Aceh dalam uraian ini adalah tata cara pelaksanaan Syariat Islam dan tata cara penerapan qanun-qanun yang berhubungan dengan khalwat oleh semua unsure yang di pandang efektif dapat mencegah prilaku menyimpang secara umum maupun prilaku menyimpang remaja khususnya, baik WH sebagai pengawas formal, keluarga, masyarakat maupun unsur-unsur terkait seperti sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Pembicaraan penerapan Syariat Islam yang banyak dibicarakan dewasa ini lebih bersifat teoritis, tidak banyak yang langsung menyentuh tatanan praktik pada masyarakat sasaran, misalnya berbicara peran serta masyarakat, semua qanun Syariat Islam termasuk Qanun Khalwat menjamin dan menghendaki adanya peran serta masyarakat, namun dari setiap qanun belum memiliki kerangka dan format yang jelas, bagaimana peran masyarakat yang dimaksudkan. Berdasarkan hasil kajian dapat disimpulkan beberapa hal yang di pandang efektif dalam sistem pelaksanaan Syariat Islam khususnya menyangkut dengan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 pada remaja Kota Banda Aceh antara lain : 1.
Pendekatan Khusus pada Remaja. Perlu adanya suatu konsep dan system yang memusatkan pencegahan penyimpangan Syariat Islam pada remaja, pada semua lembaga pendidikan, terutama pada tinggkat pendidikan menengah dan tinggi. selama ini belum pernah ada system khusus yang mengarah kepada remaja. Ini penting karena remaja memiliki prilakuprilaku yang seragam, dari berbagai kajian prilaku menyimpang 70% terjadi pada kelompok remaja terutama masa tingkat SMA. 2.
Kerja Sama Semua Unsur Setiap konsep yang telah dirumuskan diperlukan pola kerja masing-masing elemen yang terlibat, sehinggga masing kelompok mengetahui fungsi dan rugas-tugasnya, dengan demikian secara tidak langsung mereka untuk selalu waspada di sekitar tempatnya. Ini merupakan suatu pilar yang paling kokoh dalam membangun keterlibatan masyarakat sebagai system pencegahan prilaku menyimpang. Hukum Acara Berbagai qanun Syariat Islam perlu didampingi dengan hukum acara jinayat, sehingga masing-masing unsur memiliki peran dan fungsinya secara penuh tanpa harus melalui unsur lain dengan berbagai birokrasi tententu, sehingga prosesnya berjalan sangat lamban sebagaimana kelihatannya selama ini.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2
3.
Pembuatan POS Pengamanan WH Ada wacana memang tentang perlunya pendirian pos-pos WH pada kawasan – kawasan yang menonjol prilaku khalwat dan penyimpangan, bahkan wacana ini sudah disampaikan sendiri oleh Danton WH kepada unsur terkait, namun akhirnya WH menyadari juga dengan jumlah anggota yang terbatas bagaimana mendistribusi pada pos-pos yang akan di bangun nanti, dan setiap pos minimal lebih dari 2 orang, dan perlu didampingi oleh kepolisian, karena sering kali pelanggar khalwat yang dijumpai dan diambil tindakan, ternyata ”anggota”, meskipun demikian pendirian pos-pos ini sendiri belum ditanggapi serius oleh pihak terkait. 4.
Pengembangan Struktur Organisasi Desa Peran serta masyarakat sebagaimana yang tertuang dalam Bab IV pasal 8, di pandang oleh banyak pihak sangat sulit untuk diwujudkan, karena tidak memiliki format yang jelas, pesan yang terkandung dalam pasal tersebut lebih terkesan sebagai himbauan, pertanyaan yang muncul adalah, peran serta yang bagaimana yang diharapkan dari masyarakat, karena secara formal masyarakat sendiri tidak memiliki wewenang untuk itu, masyarakat yang disebutkan juga tidak memiliki batasan oprasional. Selama ini peran masyarakat sangat sulit diwujudkan, karena tidak memiliki ruang yang legal dan tidak memiliki wewenang formal yang dapat dipertanggung jawabkan, peran serta yang ada hanya sebatas sebagai suatu bagian yang diharapkan menaruh perhatian terhadap Syariat Islam dan pelanggarnya, misalnya mau melaporkan kalau di sekitar wilayah diketahui ada pelanggaran, namun cara berfikir masyarakat perkotan telah mengalami banyak pergeseran lebih mendekati pada pemikiran yang pragmatis, sering kali apa yang dipahami peran dirinya sebagai masyarakat, serang kali patah lagi dengan anggapan bahwa masyarakat itu sangat banyak, sehingga peran itu apabila tidak dia dilakukan masih banyak orang lain yang harus berperan juga, dan sering kali peran yang dimaksudkan harus dikaitkan dengan imbalan yang harus dia terima. Di pihak lain peran yang dipahami oleh sebagian besar orang adalah tanpa batas, sehingga sering kali secara beramai-ramai dengan mengatasnamakan hukum adat melegalkan berbagai tindakan, dan akhirnya tindakan tersebut di pandang dapat melagar HAM, masyarakat itu sendiri dapat di jerat dengan berbagai pasal, makna peran juga menimbulkan kebingungan dan kekhatiran, akhirnya sering kali mesyarakat memposisikan dirinya sebagai kelompok pencegah pelanggaran yang paling lemah saja, tidak terlibat. Salah satu format keterlibatan masyarakat secara legal adalah dengan memasukkan keterlibatannya dalam struktur desa, Setiap desa selama ini memiliki lima kelompok bidang pengelolaan, yaitu Kaur Pemerintah, Kaur Pembangunan, Kaur Keuangan, Kaur Umum serta Kaur Kesra belum ada kaur khusus Syariat Islam, untuk menjawab permasalahan, pelanggaran, monitoring dan pelaporan di setiap wilayah perlu dilibatkan masyarakat dalam wilayah itu sendiri, dengan cara menambahkan satu kaur baru di setiap desa seperti “Kaur Syariat Islam”. Pemimpin kaur ini haruslah seorang tokoh masyarakat yang disegani di setiap desa, disegani karena ilmu agamanya, juga disegani karena pengaruh dan kharismanya, dan di beri honorarium sebagaimana kaur-kaur lainnya selama ini, dengan demikian pengawasan pelanggaran khalwat sebagaimana yang diinginkan oleh qanun khalwat berjalan secara intensif, karena masyarakat tersebut telah diberikan wewenang formal melalui orang tertentu yang memenuhi syarat, dan setiap saat bereda di desanya. Berbeda halnya dengan pengawasan dan monitoring WH yang dilakukan pada waktu tertentu dan tidak berada selalu di setiap desa, karena juga bertanggungjawab untuk seluruh desa dalam wilayah kerjanya. Bisa saja kaur Syariat Islam bertanggung jawab langsung kepada Geuchik dan WH atau berada di bawah koordinasi WH bukan kepada Camat. Insentif untuk kaur Syariat Islam ini sama dengan kaur-kaur lainnya. Untuk mengurangi beban anggaran daerah karena penambahan kaur ini, kiranya perlu di tempuh kebijakan yang lebih selektif, misalnya, kaur Syariat Islam di bentuk hanya pada desa-desa yang di pandang memiliki kasus khalwat dan pelanggaraan syariat yang menonjol saja. Tentu saja upaya pengembangan struktur desa ini perlu dukungan semua pihak, termasuk DPR dari berbagai tingkat dan memerlukan pembahasan-pembahasan secara lebih rinci serta komprehensif.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 5.
Pengesahan Qanun Jinayat Sebagaimana yang telah disinggung di muka, bahwa selama ini perenan WH sebagai polisi syariah, sangat banyak mengandung kelemahan, mulai dari sistem penggerebekan sampai dengan proses pengadilan dan penetapan keputusan pengadilan, di dalam berbagai peraturan selama ini wewenang WH belum merujuk pada hukum acara, sehingga wewenang penegakan Syariat Islam sebenarnya wewenang polisi juga, kebanyakan wewenang WH pengawasan pada tempat-tempat terbuka saja (Danton WH Kota 2010). Oleh sebab itu perlu disediakan payung hukum yang sempurna dalam menuntaskan Syariat Islam mulai dari penangkapan, BAP sampai kepada pengajuan kepada kejaksaan untuk dipengadilankan, hal ini sebagian besar telah tersedia dalam Rancangan Qanun Jinayat Syariat Islam Tahun 2009 yang tertuang dalam 22 bab dan 253 pasal, Meskipun Rancangan Qanun Jinayat telah di paripurnakan di DPR dan merupakan harapan semua pihak dalam menegakkan Syariat Islam, namun sampai saat ini belum dapat digunakan sebagai qanun karena belum disahkan oleh Gubernur Aceh tanpa alasan yang jelas, ini membuktikan bahwa pelaksanaan Syariat Islam dan berbagai qanun lainnya belum sepenuhnya mendapat dukungan semua pihak, termasuk dipihak pemerintah daerah sendiri (MPU 2010), sehingga di masyarakat sendiri saat ini muncul berbagai spekulasi, ada yang berangkapan macetnya Rancangan Qanun menjadi qanun Aceh ini karena ada berbagai kepentingan elit politik di tingkat provinsi, dalam membina hubungan politik luar negerinya, akan terjadi berbagai pelanggaraan HAM sehingga Amerika tidak akan memberikan atensi yang lebih terhadap pembangunan di Aceh sebagaimana ketika penyelesaian konflik sebelumnya, pemahaman seperti ini termasuk paham dari interpretasi orang yang tidak memahami hukum Islam dan rancanan qanun yang telah di bahas. Salah satu jalan yang terbaik dalam penerapan qanun-qanun Syariat Islam supaya berjalan secara kaffah, yang pertama sekali harus tersedia payung hukumnya yang jelas yang memberikan legalitas formal yang cukup bagi perangkat-perangkatnya, untuk itu pengesahan rancangan qanun menjadi qanun merupakan opsi yang tidak dapat di tawar lagi sebagai langkah membangun masyarakat yang beradap sesuai dengan budayanya. SIMPULAN DAN SARAN Dari berbagai hasil uraian di atas perlu kiranya ditarik beberapa kesimpulan antara lain sebagai berikut : 1. Tingkat pelanggaran khalwat pada remaja Kota Banda Aceh sudah mencapai angka yang mengkhawatirkan, yaitu 2,64% pada remaja SMA dan 12,02% remaja tingkat mahasiswa Kota Banda Aceh telah melakukan Free sex. serta 85% remaja pengunjung Warnet termasuk anak-anak mengakses situs pornografi, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor antara lain : lemahnya pengawasan orang tua, tersedianya berbagai tempat yang mendorong untuk melakukan freesex, seperti salon, café dengan lampu remang-remang (warmang), Warnet yang bersekatsekat sebagai pusat pornografi, rumah kost yang hanya didiami oleh mahasiswa atau mahasiswi tanpa penjaga, sebagai rasa saya pada pacarnya, karena kebutuhan ekonomi, peranan masyarakat masih lemah, peranan lembaga formal sangat terbatas, tidak berperannya lembaga pendidikan dalam pencegahan khalwat pada peserta didiknya, tidak ada sosialisasi qanun khalwat pada kelompok-kelompok sasaran serta semakin lemahnya pengetahuan ilmu agama remaja Kota Banda Aceh. 2. Berdasarkan kesimpulan di atas maka salah satu jalan yang harus di tempuh dalam pencegahan khalwat pada remaja tersebut adalah dengan penerapan qanun khalwat secara optimal, yang dapat ditempuh melalui beberapa cara, antara lain: a. Pengembangan struktur desa secara proporsional, untuk memaksimalkan masyarakat maka di setiap desa seharusnya perlu penambahan Kaur Syariat Islam yang di pimpin oleh tokohnya yang bersumber dari masingmasing desa, untuk efisiensi, maka penambahan kaur Syariat Islam ini dapat difokuskan pada desa-desa yang pelanggaran syariatnya menonjol saja, seperti : Desa Ulee Lheue, Desa Rukoh, Kp. Laksana, Taman siswa, sekitar krueng cut, Sektor Barat atau atau desa-desa lainya yang di pandang urgen, bisa saja Kota Banda Aceh ini dijadikan sebagai pilot projek terlebih dahulu. b. Pembangunan Pos-pos WH pada daerah yang dipandang rawan pelanggaran khawat, di mana setiap pos di monitoring oleh setiap WH secara maksimal dengan suatu system yang professional, pada pos-pos tertentu perlu
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 didampingi oleh pihak kepolisian, hal ini dapat di tempuh melalui berbagai kerja sama dengan pihak kepolisian, baik pada tingkat Polsek sampai dengan Polda. c. Perlu adanya kontrak kerja dengan pemilik rumah kost, rumah sewa, hotel, wisma, Café, Kafetaria, Wisma pangkas, Salon, Warnet, warmang dan lain-lain tentang konsistensi mereka melaksanakan dan menjaga syariat ditempatnya sebagaimana tersirat dalam Qanun Nonor 5 Syariat Islam dan Qanun Nomor 14 tentang khalwat, khususnya pasal 6 dan 7 serta pasal 25 ayat a, dan b sebagaimana yang telah disebutkan di atas. d. Perlu adanya kerja sama yang inten dan sungguh-sungguh dengan berbagai pihak tempat terpusatnya remaja, terutama remaja setingkat SMA dan Perguruan tinggi, karena 70% remaja pada tingkat lembaga pendidikan tersebut berprilaku menyimpang beresiko tinggi (juveneli deliquence). e. Pemberian sanksi hukum yang tegas, selama ini memang sangat dilematis bagi WH, karena WH tidak memiliki wewenang apapun dalam pemberian sanksi, misalnya pencabutan izin usaha. Sering kali dari temuan pelanggaran sudah berulang-ulang terjadi, dan perlu pemberian sanksi administratif sesuai qanun khalwat Bab VII pasal 25 point a dan b,. Namun ketika dikoordinasikan dengan Pemda sebagai instansi yang memiliki wewenang penuh untuk itu, pertimbangan pemberian sanksi tidak lagi mengacu kepada pelanggaran qanun-qanun Syariat Islam dan khalwat/meusum, tetapi lebih kepada pertimbangan ekonomi kota. f. Pengesahan Qanun Jinayah. Peranan WH sebagai polisi syariah sangat banyak mengandung kelemahan, mulai dari sistem penggerebekan sampai dengan proses pengadilan dan penetapan keputusan pengadilan, WH sebenarnya tidak memiliki legalitas formal yang jelas dalam menuntaskan pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah, sehingga perlu disediakan payung hukum yang lebih memadai dalam menuntaskan Syariat Islam mulai dari penangkapan, BAP sampai kepada pengajuan kepada kejaksaan untuk dipengadilankan, dengan jalan percepatan rancangan Qanun Jinayat menjadi Qanun Jinayat. 1. Saran – Saran a. Perlu adanya partisipasi masyarakat seluruh desa Kota Banda Aceh dengan membentuk Gerakan Gampong Siaga Syariat (GAMSIA). Sehingga peran dan fungsi gampong sebagai wadah peyiaran, pengawasan dan pencegahan prilaku menyimpang/khlwat menjadi efektif pada semua kelompok masyarakat. b. Struktur desa perlu pengembagan dan penambahan secara proporsional, struktur desa yang ada selam ini di pandang tidak mampu lagi dalam menyelesaikan masalah dinamika social yang semakin komplek, oleh sebab itu perlu panambahan kaur baru (Kaur Syariat Islam), penanganan permasalahan Syariat Islam selama ini tidak jelas dan sering kali penangannya case by case dan tidak ada format khusus, sehingga sering menimbulakan masalah baru, seperti pelanggaran HAM, main hakim sendiri dengan dalih hukom adat, dan sebagainya. Untuk memaksimalkan peran masyarakat, maka di setiap desa seharusnya juga memiliki tokohnya yang menangani Syariat Islam, tokoh inilah yang mewakili masyarakat dan memimpin Kaur Syariat Islam. c. Perlu adanya kerja sama dengan semua pihak sekolah dan perguruan tinggi, baik melalui Osis/Pema dan Bimpen sehingga semua elemen tersebut merupakan WH di masing-masing sekolah yang dapat memantau, mengawasi pelaksanaan Syariat Islam pada masing-masing sekolahnya, dari beberapa qanun yang telah ada terbuka peluang untuk itu. d. Perlu adanya kontrak sosial dengan berbagai pihak, seperti Pusat Perbelanjaan, Cafetaria, Hotel, Praktek Dosen, Restoran, Pengelola tempat rekreasi, pemilik rumah kost dan kontrakan, warnet, warmang dsb, yang memuat komitmen dalam mendukung pelaksanaan Syariat Islam di tempat masing-masing melalui sistem-sistem tertentu yang di pandang efektif dalam pencegahan prilaku menyimpang atau pelanggaran khalwat. e. Perlu adanya sosialisasi kepada kelompok Non-muslem sehingga mereka menghargai dan menghormati masyarakat dalam melaksanakan Syariat dengan menyesuaikan diri dalam berpakaian, prilaku, makanan dan sebagainya yang sesuai dengan hukum penundukan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang PA Nomor 11 tahun2006 dan Qanun-qanun yang terkait.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 f. Qanun jinayat yang telah di bahas oleh DPR dan merupakan keinginan seluruh elemen masyarakat Aceh dengan gagah berani perlu disahkan sesegera mungkin, tanpa merasa takut dengan intervensi negara lain, karena memang membangun masyarakat harus sesuai dengan budayanya, karena kebudayaan itu tidak dapat di tukar dengan apapun. Dengan disahkan rancangan qanun tersebut WH dan perangkat hukum lainya akan memiliki payung hukum yang jelas dan kuat dalam penyelesaian kasus-kasus syariat. g. Pemerintah Kota perlu mengambil langkah berani agar seluruh warung internet (Warnet) dan warung remang-remang (Warmang) dengan membuat aturan yang lebih jelas dan sesuai dengan syariat. Bukankah menyediakan fasilitas seperti itu termasuk pelanggaran berat Qanun Khalwat Nomor 14 tahun 2003 sebagai tercantung dalam Bab VII Ketentuan ’Uqubat, pasal 24, 25, dan 26, yaitu sampai pencabutan izinnya. UCAPAN TERIMA KASIH Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah membantu terselenggarakannya penelitian ini antara lain : a. Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat DIKTI Kemendiknas RI yang telah mendanai penelitian ini dengan sempurna sehingga selesai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. b. Terima kasih kepada seluruh unsur Dinas Syariat Islam Provinsi, terutama sekali Bidang Pembinaan Hukum Islam, serta Bapak DR. H. Sukri Yusuf, Lc, MA, Staf Dinas Syariat Islam, berkat kerja sama yang baik penelitian ini tidak mengalami hambatan yang berarti, sehingga penelitian yang telah kita lakukan ini dapat bermanfaat bagi Dinas Syariat Islam dalam mengambil berbagai keputusan, terutama menyangkut dengan pelanggaran Khalwat. c. Seluruh anggota tim, WH dan Satpol PP Kota Banda Aceh, MUI Provinsi, dan seluruh tokoh masyarakat yang pernah dimintai keterangan, terima kasih atas segala dukungan untuk kebaikan kita semua, sehingga sumbangsih tersebut diberikan pahala oleh Allah yang setimpal di hari kelak, amin… DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2004. Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi dan Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam. Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh. Abubukar dan Anwar. 2005. Prilaku-Prilaku Menyimpang Remaja SMA Negeri Kota Banda Aceh. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat USM. Banda Aceh Abubakar. 2009. Konsep Penerapan Syariat Islam dalam Pencegahan Prilaku Menyimpang pada Remaja SMA Kota Banda Aceh, Jurnal Terakreditasi Asy-Shyra, UIY. Yogyakarta Alasuutari, Pertti. 1996. Reseaching Culture, Qualitative Method and Cultural Studies. Sage Publications. London, Thousand Oaks, New Delhi Ali Muhammad, Rusjdi. 2003. Revitalisasi Syariat Islam di Aceh Problem Solusi dan Implimentasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, IAIA Ar-Raniry Banda Aceh Abubakar, Al Yasa’ Sekilas Syariat Islam di Aceh, Dinas Syariat Islam Prov. NAD ------------ (2007) Banyak Isi Kanun Syariat Harus Direvisi. Harian Serambi Indonesia, Tanggal 7 Juli 2007 ……………. (2009) Wilayatul Hisbah : Polisi Pamong Praja dan Kewenangan Khusus di Aceh. Penerbit Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Beth, Hess, B. Dkk. 1982. Sociology, Second Edition, Macmillan Publishing Company, Inc: New York Daradjat, Zakiah. 1975. Pendidikan Agama dalam pembinaan Mental. Bulan Bintang. Jakrta --------------. 1975. Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia. Bulan Bintang. Jakarta Ibrahim, Muslem, (2007). Qanun Syariat Tidak untuk Non-Muslem, Harian Serambi Indonesia Tanggal 6 Juli 2007 James Coleman and Donald Cressey. 1987. Social Problems. Second Edition. Harper & Row Publisher, Inc: USA Kartini Kartono 1986. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Penerbit CV. Rajawali: Jakarta Lee Cronbach, J. 1984. Educational Psycology, Harcourt, Brace and Company Inc: USA Nurita, Susi, 2010. Prilaku Sex dan Kesehatan Reproduksi Remaja Mahasiswa Kota Banda Aceh. Seri Thesis. Unibraw. 2010 Syahrizal Abbas, 2009. Syariat Islam di Aceh, Ancangan Metodologis dan Penerapannya. Penerbit Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh Yusuf Qardhawi. 1991. Bagaimana Memahami Syariat Islam (Alih Bahasa oleh Nabhani Idris) Penerbit Islamna Press: Jakarta Marzuki,Drs, H dan Marzuki, S.Ag. 2010. Profil Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Aceh, Penerbit : Satpol PP dan WH Provinsi Aceh Syamsul Rizal, (Editor) 2009. Syariat Islam Di Aceh, Problematika Implimentasi Syariah. Penerbit, Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2
STRATEGI GURU DALAM MEMBINA SISWA YANG BERTINGKAH LAKU MENYIMPANG Akhyar* Abstrak Tingkah laku menyimpang merupakan suatu masalah yang dapat mengakibatkan kesukarankesukaran atau kelainan-kelainan terhadap perkembangan kepribadian seseorang dan dapat menimbulkan keluhan bagi orang tua, sekolah serta masyarakat dalam mengatasinya. Dalam kehidupan sehari-hari penyimpangan tingkah laku yang dilakukan siswa di sekolah berupa melanggar peraturan sekolah atau norma-norma yang ada di sekolah. Penyimpangan tingkahlaku juga dilakukan dengan memakai minuman dan makanan terlarang seperti memakai nakoba dan perilakuku sek yang menyimpang. Guru dalam membina siswa yang berkelakuan menyimpang dengan cara prepentif dan koratif. Kata Kunci : Strategi, Guru, Membina dan Tingkah Laku Menyimpang Setiap manusia selalu mempunyai bermacam kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan merupakan keharusan bagi kelangsungan hidup individu itu sendiri. Jika individu berhasil memenuhi kebutuhannya, maka akan merasa puas dan sebaliknya merasa kegagalan dalam memenuhi kebutuhan akan banyak menimbulkan masalah bagi dirinya dan lingkungannya. Tidak jarang pula ditemukan tingkah laku yang tidak wajar yang dinampakkan sebagai akibat dari kegagalan dalam memenuhi kebutuhan, tingkah laku tersebut dapat digolongkan kepada tingkah laku yang menyimpang. Tingkah laku menyimpang merupakan suatu masalah yang dapat mengakibatkan kesukarankesukaran atau kelainan-kelainan terhadap perkembangan kepribadian seseorang dan dapat menimbulkan keluhan bagi orang tua, sekolah serta masyarakat dalam mengatasinya.
Dalam kehidupan sehari-hari penyimpangan tingkah laku yang dilakukan siswa di sekolah berupa melanggar peraturan sekolah atau normanorma yang ada di sekolah. Zakiah Darajat (1985 : 10) dalam bukunya Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia mengatakan bahwa : Belakangan ini banyak terdengar keluhan-keluhan orang tua, ahli pendidik dan orang-orang yang berkecimpung dalam bidang agama dan sosial, kebingungan dalam menghadapi anak-anak yang sedang berumur belasan tahun dan mulai remaja, mereka sukar untuk dikendalikan, nakal, keras kepala, berbuat keonaran, maksiat dan hal-hal yang mengganggu ketentraman umum. Penyimpangan tingkah laku yang ditunjukkan oleh siswa bisa relative berat ataupun ringan, adapula yang bisa menimbulkan kesukaran daya pikir dan bisa mempengaruhi keadaan jiwanya, gangguan gairah atau modivikasi, gerak gerik serta ucapan. Djumhur dan Mohd Surya
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 (1975 : 22) menyebutkan beberapa gejala dari kelainan tingkah laku sering dinampakkan siswa di sekolah adalah :”sikap agresif, rasa rendah diri, bersifat bandel, menentang guru, mengacau dalam kelas, menyendiri, menarik perhatian, mencuri dan membolos. Untuk memecahkan masalah penyimpangan tingkah laku yang dilakukan siswa sesuai dengan tingkatan berat atau ringan penyimpangan tersebut, maka guru atau konselor maupun orang tua mempunyai tugas untuk mengusahakan cara tertentu untuk mencegah dan menanggulanginya serta membina kearah yang lebih baik. Hakekat Strategi Strategi adalah metode yang digunakan dalam melakukan sesuatu. Menurut Apriani Fitri (2004 : 63) bahwa strategi adalah cara yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan hasil yan telah ditetapkan. Menurut Harli Dawi (2008 : 84) bahwa strategi adalah usaha yang dilakukan seseorang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Jadi strategi adalah tenik, metode, cara dan pendekatan yang digunakan dalam melakukan kegitan untuk mecapai sesuatu yang diinginkan, dicita-citakan. Hakekat Guru Menurut Uzer Usman (1990:1) guru adalah : Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang tanpa memiliki keahlian sebagai guru. Menurut Ateng (1987:89) bahwa guru merupakan seseorang yang memiliki syaratsyarat khusus sebagai guru yang profesional yang harus menguasai seluk beluk pendidikan dengan berbagai pengetahuan yang perlu dikembangakan melalu masa pendidikan tertentu. Guru merupakan orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan bidang keguruan terutama dalam bidang mendidik, mengajar dan melatih. Guru orang yang memiliki profesional keguruan yang diperoleh melalui masa tertentu dalam pendidikan keguruan. Guru merupakan suatu profesi yang artinya suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru, maka
tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. Tugas guru dalam bidang kemanusiaan meliputi bahwa guru di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Guru harus mampu menarik simpati sehingga guru menjadi idola para siswa. Pelajaran yang diberikan hendaknya dapat menjadi motivasi bagi siswa dalam belajar. Keberadaan guru bagi suatu bangsa amatlah penting, terutama bagi bangsa yang sedang membangun, terlebih-lebih bagi keberlangsungan hidup bangsa ditengah-tengah lintasan zaman dengan teknologi yang kian canggih dan segala perubahan yang dapat membawa manusia kearah yang lebih baik sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Hakekat Membina Menurut Arifin (1982:108) bahwa “Membina adalah usaha, tindakan yang dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik”. Membina adalah serangkaian tindakan atau usaha yang sengaja dilakukan oleh seseorang untuk mencapai hasil yang lebih baik dari sebelumnya. Membina adalah proses kegiatan atau tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam rangka mengembangkan membimbing dan menyempurnakan kemampuan anak yang belum dewasa sehingga pada akhirnya anak tersebut memiliki baik fisik maupun mental secara sempurna, sehingga mampu bertanggung jawab baik terhadap dirinya maupun kepada keluarga, masayarakat, bangsa dan negara serta agama. Hakekat Tingkah Laku Menyimpang Tingkah laku menyimpang adalah tingkah laku yang dinilai menyimpang dari aturan-aturan normatif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu. Tingkah laku menyimpang dapat pula didefinisikan sebagai keluhan atau keadaan pada umumnya tidak dapat diterima oleh masayarakat.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Dalam penyimpangan tingkah laku, di sekolah sering terjadi hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan atau peraturan di sekolah, siswa dalam kehidupannya di sekolah selalu melakukan berbagai aktivitas yang mengarah kepada perubahan tingkah laku baik dalam belajar, bergaul sesama teman, penyusuaian dirinya dengan keadaan sekolah dan dalam melakukan aktivitas-aktivitas belajar. Namun demikian siswa dalam bertingkah laku tidak selalu mengarah kepada apa yang diinginkan oleh sekolah, melainkan adanya penyimpangan tingkah laku, baik penyimpangan terhadap ketentuan sekolah maupun dalam penyusaian diri dengan diri sendiri. Untuk lebih jelas tantang pengertian tingkah laku menyimpang dapat dilihat dari defenisi yang dikemukakan oleh para ahli. Cohen (Saparinah Sadli, 1997:16) mengemukakan pengertian tingkah laku menyimpang adalah : a. Tingkah laku yang menyimpang dari aturanaturan normatif atau dari pengharapan masyarakat. b. Tingkah laku yang secara statistik abnormal. c. Tingkah laku yang secara sosial dinilai tidak baik. Selain itu Saparinah Sadli (1977:35) mengatakan bahwa : “Tingkah laku menyimpang adalah sebagai kelakuan atau keadaan pada umumnya tidak diinginkan seperti gangguan mental, cacat fisik, dipandang rendah dalam kelompok, kriminalitas”. Dari kedua pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tingkah laku menyimpang adalah suatu tingkah laku atau sikap hidup yang tidak diterima oleh masyarakat. Dalam masyarakat selalu ada norma-norma sosial atau aturan normatif. Tingkah laku menyimpang juga dikatakan dengan tingkah laku yang abnormal, dalam hal ini Kartini Kartono (1981:16) mengatakan bahwa : “Tingkah laku abnormal atau tingkah laku menyimpang dengan gangguan internal dan mengganggu kepribadian seseorang”. Becker (Saparinah Sadli, 1977:52) mengatakan bahwa : Tingkah laku menyimpang bukanlah kwalitas tindakan yang dilakukan oleh
seseorang, tetapi konsekwensi dari diterapkannya aturan-aturan atau sangsi terhadap mereka yang diberi label sebagai pelanggar atauran-aturan normatif yang berlaku. Setelah melihat beberapa pendapat para ahli tentang pengertian tingkah laku menyimpang, dapat diambil kesimpulan bahwa tingkah laku menyimpang adalah tingkah laku yang dinilai menyimpang dari aturan-aturan normatif yang berlaku. Aturan-aturan normatif selalu menetapkan bagi individu yang bersangkutan tentang apa yang harus dilakukan, apa yang diharapkan, apa yang baik dan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Kriteria Tingkah Laku Menyimpang Untuk mengetahui menyimpang tidaknya tingkah laku seseorang dapat didasarkan pada kriteria-kriteria. Norman Cameron (1972:10) mengatakan kriteria tingkah laku menyimpang yang digunakan adalah : a. Kriteria tingkah laku menyimpang secara statistik adalah untuk menemukan sesuatu patokan tentang normal tidaknya tingkah laku yang dilakukan seseorang. Tingkah laku yang dilakukan oleh banyak orang atau umumnya disebut tingkah normal, sedangkan tingkah laku abnormal atau tingkah laku menyimpang. b. Berdasarkan kriteria kenormalan dengan keseimbangan pribadi yang dirasakan seseorang. Seseorang merasa tertekan, tidak bahagia, tidak memiliki perasaan aman, tidak mampu menciptakan hubungan yang erat dan lama, tidak bahagia dan bingung atau diganggu oleh ketidakmampuannya mengontrol pikiran disebut abnormal atau menyimpang. Seseorang merasa dirinya aman, mampu menciptakan hubungan yang erat dan lama, merasa bahagia dan mampu mengontrol pikiran disebut normal. c. Berdasarkan kriteria social conformity adalah masyarakat mengharapkan manusia tumbuh dan berkembang serta bertingkah laku sesuai dengan norma-norma dan harapan masyarakat. Seseorang disebut normal bila perilakunya sesuai dengan norma-norma atau harapan masyarakat dan bila tidak sesuai dengan
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 norma-norma atau harapan masyarakat disebut menyimpang. d. Dalam pendekatan normal pengertian normasisasi adalah adanya kesesuaian dari bermacam-macam elemen-elemen pada mental dan fungsi emosi, apabila tidak terdapat keharmonisan pada beberapa mental dan fungsi emosi disebut abnormal atau menyimpang. Kartini Kartono (1981:3-4) menyebutkan kriteria abnormal adalah : a. Abnormal dipandang dari segi pathologis b. Abnormal dipandang dari segi statistik c. Abnormal dipandang dari segi kulturil/kebudayaan. Dari kutipan di atas jelaslah bahwa untuk melihat menyimpang tidaknya tingkah laku seseorang haruslah didasarkan pada beberapa kriteria yang menjadi batasan atau patokan daripada tingkah laku menyimpang. Jenis-jenis Tingkah Laku Menyimpang A. Psikhosa ialah suatu bentuk kekalutan mental yang dicirikan dengan adanya desintegresi kepribadian dan terputusnya hubungan diri dengan ralitas hidup. Adapun ciri-ciri dari pada psikhosa menurut Kartini Kartono (1983:76) adalah : a. Tingkah laku dan hubungan sosial selalu asosial, selalu menentang lingkungan kebudayaan serta norma moral. b. Sering berbuat kasar, sikapnya tidak menyenangkan orang lain. c. Pergi tanpa tujuan. d. Tidak mampu memahami arti kebaikan dan kesusilaan. e. Ada disorientasi terhadap lingkungannya. f. Tidak pernah bersikap loyal terhadap seseorang. g. Emosi tidak matang, tidak bisa bertanggung jawab. h. Penyimpangan seksual. Selanjutnya Kartini Kartono (1981:116) membagi pskhosa dalam dua kelompok yaitu : e. Psikhosa Organik, disebabkan oleh faktor fisik dan intern serta mengalami gangguan mental, maladjustment secara sosial dan tidak mampu bertanggung jawab.
f. Psikhosa Fungsionil, disebabkan oleh faktor non organik sifatnya, sehingga terjadi kepecahan kepribadian dan maldjusment. Terdapat pula gangguan pada karakter dan fungsi intelektuil. Lebih lanjut Kartini Kartono (1981 : 118) kedua sifat tersebut memiliki ciri : 1. Neurosa yaitu gangguan jiwa. a. Neurasthenia. b. Hysteria. c. Psychastenia. d. Ngomol e. Kepribadian psychopathy. f. Keabnormalan seksuil. 2. Psychosa yaitu sakit jiwa a. Schizophrenia. b. Paranoid. c. Manic-despressive. B. Jenis tingkah laku menyimpang yang diteliti, yang ditunjukkan siswa di sekolah adalah : a. Mencuri Mencuri adalah suatu bentuk tingkah laku yang tidak dapat diinginkan ataupun tingkah laku yang bersifat nakal dan tidak terpuji. Apabila sudah sering dilakukan individu akan membawa akibat buruk terhadap perkembangan kepribadiannya. b. Berbohong Siswa yang melakukan kebohongan biasanya hidup dalam suasana lingkungan yang tidak mempunyai sikap jujur baik dalam perkataan ataupun dalam perbuatan tidak ada batas kebenaran. c. Membolos Siswa yang tidak menemukan hal-hal yang bisa memuaskan keinginan di sekolah akan dicarikan di luar lingkungan sekolah. Siswa membolos karena tidak menguasai materi pelajaran, siswa merasa bosan berada terlalu lama di dalam kelas. d. Negativisme Negativisme adalah suatu bentuk tingkah laku menentang guru, melanggar tata tertib
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 sekolah, mengganggu teman serta membuat keributan dalam kelas. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Tingkah Laku Menyimpang Tingkah laku terbaik akibat adanya pengaruh dari dalam dan dari luar. Dari kedua pengaruh baik pengaruh dari luar ataupun dari dalam tersebut dapat berpadu menjadi tingkah laku yang selaras dengan lingkungan, apabila tingkah laku yang terbentuk dapat diterima oleh lingkungan masyarakat. Sebaliknya tingkah laku yang terbentuk adalah tingkah laku yang menyimpang. Faktor-faktor penyebab timbulnya tingkah laku menyimpang dapat dikelompokkan atas faktor intern dan faktor ekstern. 1. Faktor Intern adalah dalam diri individu, yang terdiri dari dua gologngan : a. b. c. d. e.
- Faktor Psikologis. Intelegensi Bakat Minat Motivasi Perasaan dan sikap
-. Faktor Fisiologis yaitu cacat jasmani. Cacat jasmani pada diri individu yang bersangkutan pada umumnya tidak mampu menjaga dirinya. Itelegensinya menjadi sangat tidak bisa berkembang, individu tersebut tidak mengerti dan tidak diajari. Individu yang mempunyai cacat jasmani selalu diliput rasa malu, perasaan harga diri rendah. Mengenai cacat jasmani Kartini Kartono (1983:61) mengatakan bahwa individu yang mempunyai cacat jasmani merasa malu dan sangat menderita batinnya. Hari depan mereka terasa gelap, dipenuhi rasa malu, ketakutan dan raguragu. Kondisi sarafnya selalu dalam keadaan tegang individu merasa selalu gagal dalam segala hal karena menyangka orang lain melakukannya. Dari pengertian tersebut di atas bahwa individu yang mempunyai cacat jasmani tidak memiliki semua dalam mencapai prestasi. Hilang keberanian untuk melanjutkan perjalanan hidup karena dibayangi oleh perasaan diri tidak mampu dan rasa rendah diri.
3.
Faktor Ekstern adalah faktor diluar diri individu yang termasuk dalam faktor ekstern adalah :
a.
Faktor Lingkungan Keluarga Keluarga merupakan tempat yang pertamatama individu belajar dan menyatakan dirinya sebagai makhluk sosial dalam hubungannya dengan kelompok keluarga. Keluarga dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap sikap dan tingkah laku seseorang dikemudian hari. Sikap dan tingkah laku individu dalam pergaulannya dalam masyarakat mencerminkan berbagai kehidupan keluarganya. Keluarga yang baik adalah merupakan tempat pendidikan yang baik pula bagi individu, sebaliknya individu yang hidup dalam satu keluarga yang tidak harmonis akan membawa pengaruh buruk terhadap perkembangan sikap dan tingkah laku individu sehari-hari. Romli Atmasasmita (1983:55) mengatakan bahwa : Keluarga sangat memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian si anak, maka tingkah laku dan pergaulan serta harmonisasi atau kerukunan orang tuanya selain menjadi perhatian dan teladan bagi anak. Dengan adanya kerukunan orang tua, anak merasa adanya keamanan dalam kehidupan. b. Faktor Lingkungan Sekolah Kedaan sekolah yang tidak memenuhi persyaratan akan menimbulkan konflik bagi siswa, adapula guru-guru yang datangnya tidak teratur serta bersikap masa bodoh terhadap siswa, sehingga siswa banyak mengalami kesulitan atau frustasi dengan demikian hubungan yang baik antara guru dengan siswa dapat membekali siswa dengan norma-norma yang baik pula. Sedangkan adanya salah didik dari pihak guru akan membawa siswa kepada penyimpangan tingkah laku yang berbentuk siswa mulai membenci kepada guru dan tidak menyukai sekolah, tidak menyukai disiplin dan membangkang perintah guru. B. Simandjuntak (1981:120) mengatakan bahwa : Kondisi sekolah, sistim pengajaran disekolah tidak menguntungkan akan menjurus siswa kepada tingkah laku yang tidak baik. Siswa
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 tidak mendapat kepuasan di sekolah, siswa merasa bosan akan pelajaran sehingga tidak mencapai hasil yang baik. Pelajaran tidak sesuai dengan kesanggupan dan minat siswa dan tidak mendapat bimbingan tentang pelajaran yang efektif. Ketidakpuasan tersebut mengakibatkan siswa sering meninggalkan sekolah. Perbuatan membolos akan mengarah kepada perbuatan tidak baik, sering pula tingkah laku yang dinampakkan bertentangan dengan harapan sekolah, sehingga sekolah sebagai lingkungan kedua dari siswa, mengalami kegagalan dalam membentuk kepribadian yang baik sebagaimana yang diharapkan oleh keluarga serta masyarakat. Siti Rahayu (Safiyuddin Sastrawijaya, 1977:31) menemukan berupa kemungkinan timbulnya tingkah laku menyimpang adalah : a. Akibat dari pada frustasi yang bertumpuktumpuk. b. Untuk memenuhi kebutuhan atau dalam mengatasi masalah. c. Sebagai akibat dari pada adanya tekanan batin. Guru dalam Membina Siswa yang Bertingkah Laku Menyimpang Guru dalam membina dan pencegahan terhadap tingkah laku menyimpang yang dilakukan siswa adalah dilakukan oleh pendidik yaitu guru, dan guru pembimbing sekolah. Karena mereka yang memegang peranan penting dalam membentuk kepribadian yang wajar dengan mental yang sehat. Usaha pendidik ini diarahkan kepada siswa dengan mengamati, memberikan perhatian dan mengawasi setiap gejala penyimpangan tingkah laku siswa di sekolah. Adapun usaha yang dilakukan wali kelas dalam membina, mencegah dan mengulangi siswa yang melakukan tingkah laku meyimpang ada dua cara yaitu usaha preventif dan usaha kuratif. 1. Usaha Preventif Usaha preventif yaitu usaha mencegah terjadinya pengaruh buruk yang dapat menimbulkan kesulitan bagi siswa, memelihara situasi yang baik dan menjaga situasi tersebut tetap baik dan terpelihara.
Usaha guru yang bersifat preventif dapat ditempuh dengan usaha pembinaan yang terarah akan mengembangkan diri akan tercapai dan tercipta suatu hubungan yang serasi antara aspek rasio dan aspek emosi. Pikiran yang sehat akan mengarahkan siswa kepada perbuatan yang wajar, sopan dan bertanggung jawab. Usaha preventif yang dilakukan konselor yang berupa bimbingan terhadap siswa yang melakukan tingkah laku menyimpang dengan tujuan untuk menambah pengertian mengenai : d. Pengenalan diri sendiri yaitu menilai diri sendiri dalam hubungan dengan orang lain. e. Penyesuaian diri yaitu mengenali dan menerima tuntutan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut. f. Mengarahkan kepribadian siswa ke arah pembatas antara pribadi dan sikap sosial dengan penekanan pada penyadaran nilai-nilai sosial, normal dan etik. 2. Usaha Kuratif Usaha kuratif yang merupakan usaha wali kelas dalam penyembuhan, pembentukan terhadap siswa yang melakukan tingkah laku menyimpang dan merupakan suatu proses perubahan pada diri siswa, baik dalam bentuk pandangan, sikap agar dapat menerima dirinya sendiri secara optimal. Dalam usaha kuratif konselor ikut serta aktif dalam kegiatan bimbingan yang bertujuan untuk membantu siswa agar tercapai suatu kehidupan pribadi yang memuaskan dan secara sosial memuaskan. Usaha kuratif dapat ditempuh dengan : a. Pemahaman individu, yaitu konselor harus dapat memahami siswa bermasalah serta motif bertingkah laku. b. Pengembangan diri, yaitu mengembangkan serta menumbuhkan cara berfikir dan bertingkah laku secara sehat dengan kemungkinan yang ada pada diri siswa serta lingkungan. c. Membantu siswa menyempurnakan cara-cara penyesuaiannya dan memberikan bimbingan serta bantuan kepada siswa untuk mengadakan pilihan, penyesuaian yang bijaksana dan mampu memecahkan masalah sendiri.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 B. Simanjuntak (1984:144) menyebutkan usaha untuk menanggulangi dan usaha bimbingan terhadap siswa yang melakukan tingkah laku menyimpang adalah : a. Usaha pencegahan adalah : - Usaha Pemerintah. - Usaha Swasta. b. Usaha bimbingan yang merupakan suatu usaha untuk menemukan, menganalisa dan mencegah kesulitan atau masalah yang dihadapi individu dengan cara : - Dapat mengerti pribadi individu dan minatnya. - Mencari hasil sebaik-baiknya dalam kehidupan sendiri. - Memberikan cinta kasih sepenuhnya. - Menanamkan nilai spiritual dan agama. - Membantu orang lain. B. Simanjutak (1984:151) mengatakan bahwa : “Bimbingan adalah proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri dan pengarahan diri untuk melakukan penyelesaian diri secara maksimal kepada keluarga, sekolah dan masyarakat”. Adapun usaha bimbingan dan penyuluhan di sekolah oleh Koestoer Partowisastro (1985:82) antara lain : d. Usaha preventif yaitu pencegahan sebelum terjadinya atau timbulnya masalah-masalah dari anak didik. e. Usaha-usaha preventif yaitu memeliharan situasi yang baik dan menjaga supaya situasi tersebut tetap baik. f. Usaha kuratif yaitu berusaha atau penyembuhan dan pembetulan dalam mengatasi masalah-masalah. g. Usaha rehabilitasi yaitu berusaha mengembalikan anak didik ke dalam situasi yang baik pula. Berdasarkan kutipan di atas jelaslah bahwa usaha pencegahan dan usaha bimbingan di sekolah memegang peranan penting dalam usaha mengatasi kesulitan siswa. Karena bimbingan adalah suatu bantuan yang diberikan kepada siswa secara terus menerus supaya siswa dapat memahami diri sendiri. Sanggup mengarahkan diri dan bertingkah laku wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
PENUTUP Guru dalam membina anak yang bertingkah laku menyimpang dilakukan dengan cara menasehati anak agar jangan berbuat perbuatan yang tidak baik. Membimbing ke arah yang baik bagi siswa yang bertingkah laku menyimpang. Menegur siswa yang bertingkah laku menyimpang, sehingga anak tidak akan melakukan perbuatan yang menyimpang. Bekerjasama dengan guru yang lain dan dengan orang tua dalam membina siswa yang bertingkah laku menyimpang di sekolah. Dalam membina anak yang melakukan perbuatan yang menyimpang dilakukan dengan penuh tanggungjawab. Lebih jelas bahwa dalam usaha bimbingan dan penyuluhan di sekolah ada empat usaha yaitu preventif, usaha presertatif, usaha kuratif dan usaha rehabilitas. DAFTAR KEPUSTAKAAN Afriani Fitri (2004). Strategi Guru Dalam Memotivasi Siswa Meningkatkan Prestasi Belajar. FKIP Universitas Abulyatama Aceh Besar Arikunto, Suharsimi, (1986). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta : Bina Aksara. Ametembun, N. N, (1973). Guru dalam Administrasi Sekolah Pembangunan, IKIP : Bandung. Depdikbud, (1976). Kurikulum SPG Untuk Kelas I, II, III, Jakarta. Djumhur, I Moh. Surya, (1975). Bimbingan dan Penyuluhan Sekolah, CV. Ilmu Bandung. Hamalik, Oemar, (1983). Metode Belajar dan Kesulitan-kesulitan Belajar, Bandung : Tarsito. Harli
Dawi (2008). Strategi Bidan dalam Memotivasi Ibu-Ibu membawa Anaknya Ke
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Posyandu Akademi Kebidanan Nadhirah Banda Aceh
Rostiyah, N.K, (1982). Masalah-masalah Ilmu Keguruan, Jakarta : Bina Aksara.
Hidayat, S. (1978). Pembinaan Generasi Muda, Surabaya : Studi.
Soelaiman, Darwis A. (1979). Pengantar Kepada Teori dan Praktek Pengajaran, IKIP Semarang Press.
Natawijaya, Rachman, (1978). Penyuluhan di Sekolah, Bandung : Surabaya. , (1979). Ilmu Keguruan dan Pengembangan Alat Peraga dan Komunikasi Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Soemanto. Wasty, (1983). Psikologi Pendidikan, Malang : Bina Aksara. Surachmad, Winarno, (1984). Pengantar Interaksi Mengajar Belajar Dasar dan Teknik Metodologi Mengajar, Bandung : Tarsito.
Nasution, S. (1973). Beberapa Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung : Jemmar. Nurhadi, A. Mulyani, (1982). Administrasi Pendidikan di Sekolah, Yogyakarta : Offeed.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2
PERANAN KEPEMIMPINAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP LEMBAGA PENDIDIKAN Oleh : A. Jabar * ABSTRAK Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks NKRI adalah merupakan Misi pembaharuan Sistem Pendidikan Nasional. Untuk itu setiap komponen bangsa wajib mencerdasakan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan Negara Indonesia. Pengelolaan sebuah lembaga pendidikan diperlukan seorang pemimpin yang berdedikasi tinggi, beriman, berbudi pekerti, pola pikir ilmiah, berwibawa, jujur, berjiwa besar, tegas dan bertanggung jawab, dan selalu berorientasi kepada norma-norma, kaedah-kaedah sesuai dengan nilai-nilai falsafah negara. Seorang pemimpin yang sukses perlu diintegrasikan ke dalam status formal, 1. Berperan sebagai Interpersonal Roles, 2. Berperan sebagai Informational Roles, 3. Berperan sebagai Decisional Roles. Jadi fungsi kepemimpinan ini sangat penting sebab disamping berperan sebagai penggerak juga berperan untuk melakukan kontrol dalam segala aktivitas baik terhadap staf pengajar, peserta didik, dan sekaligus untuk meneliti persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat di lingkungan lembaga pendidikan itu sendiri. Kata Kunci : Kepemimpinan, Partisipasi, dan Lembaga Pendidikan.
Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan diakui oleh masyarakat luas. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyatakan “bahwa setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat (3) menegaskan “bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Untuk itu seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan Negara Indonesia. Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen pendidikan. Selain itu, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berkembang pesat dan memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. “Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah”. Dengan Visi pendidikan tersebut maka pendidikan nasional mempunyai “Misi” sebagai berikut : 1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 2. Membantu dan menfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar. 3. Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan kepribadian pembentukan kepribadian yang bermoral. 4. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pemberdayaan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan standar nasional dan global. 5. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. (UU. RI. Nomor 20 Tahun 2003). Lembaga pendidikan formal adalah merupakan sebuah lembaga organisasi yang kompleks dan unik, sehingga memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. Oleh karena itu seorang pemimpin perlu memahami kelembagaan organisasi formal yang bermanfaat untuk menggambarkan (depict) hubungan kerja sama antara struktur dan hasil (outcomes) bagi sebuah lembaga pendidikan. Esensi kepemimpinan adalah kepengikutan kemauan orang lain untuk mengikuti keinginan pemimpin. Dalam sebuah lembaga pendidikan seorang pemimpin harus mampu : (1). Menimbulkan kemauan yang kuat dengan penuh semangat dan percaya diri para bawahan dalam melaksanakan tugas masing-masing, (2). Memberikan bimbingan dan mengarahkan para bawahan serta memberi dorongan, memacu dan berdiri di depan demi kemajuan dan memberikan inspirasi dalam mencapai tujuan. Lebih lanjut, apabila seorang pemimpin ingin berhasil menggerakkan bawahan, maka seorang pimpinan harus : (1). Menghindarkan diri dari sikap dan perbuatan yang bersifat memaksa atau bertindak keras, (2). Mampu melakukan tindakan koreksi yang melahirkan kemauan untuk bekerja dengan semangat dan percaya diri, (3). Mampu mengajak bawahan sehingga para bawahan merasa yakin
bahwa apa yang dilakukan itu adalah benar (induce). Selain itu, bagi seorang pimpinan harus selalu dapat menjaga memelihara keseimbangan antara staf pengajar dan peserta didik di satu pihak dan kepentingan lembaga serta kepentingan masyarakat di pihak lain, sehingga tercipta suasana keseimbangan, keserasian antara kehidupan lembaga pendidikan dengan masyarakat (equilibrium). Oleh karena itu kepemimpinan suatu lembaga pendidikan sebagai salah satu pelaksana kepemimpinan nasional yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa perlu memiliki watak dan berbudi luhur yang dilandasi pada : 1. Pola pikir, berorientasi jauh ke depan, pola piker ilmiah, efisiensi dan efektif, dan keterbukaan. 2. Azas, kebersamaan dan integralistik, kekeluargaan dan gotong royong, persatruan dan kesatuan dalam kebinekaan, selaras, serasi dan seimbang. 3. Watak dan kepribadian yang utuh. a. Triologi kepemimpinan pancasila ; − Ing ngarsa sung tulodo, − Ing media mangun karso, − Tut wuri handayani. b. Ciri-ciri kepribadian universal ; berwibawa, jujur, bijaksana, mengayomi, beriman, mawas diri, mampu melihat ke depan, berani menghadapi kesulitan, wajar, tegas dan bertanggung jawab, sederhana, penuh pengabdian, berjiwa besar, sifat ingin tahu, dan solidaritas. 4. Sikap dan perilaku yang konsisten dan selalu berorientasi kepada norma-norma, kaedah-kaedah, dan nilai-nilai sesuai dengan falsafah negara. Dengan demikian peranan sebagai pemimpin mencerminkan tanggung jawab untuk menggerakkan seluruh sumber daya yang ada, sehingga lahir etos kerja dan produktivitas kerja yang tinggi dalam mencapai tujuan pendidikan. Fungsi kepemimpinan ini sangat penting sebab disamping berperan sebagai penggerak juga berperan untuk melakukan kontrol dalam segala aktivitas baik terhadap staf pengajar, peserta didik, dan sekaligus untuk meneliti persoalanpersoalan yang timbul dalam masyarakat di lingkungan lembaga pendidikan itu sendiri.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2
B. 1.
PEMBAHASAN
Fungsi Dan Jenjang Lembaga Pendidikan Keberadaan sebuah lembaga pendidikan adalah merupakan sebagai sebuah lembaga organisasi memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh organisasi lain pada umumnya. Pada sebuah lembaga organisasi pendidikan bersifat kompleks, karena didalamnya terdapat beberapa unsur yang pelik, rumit, sulit dan saling berkaitan. Didalamnya juga bergabung berbagai macam manusia yang mempunyai latar belakang berbeda-beda, terjadi interaksi antar manusia secara perseorangan maupun kelompok yang complicated. Oleh karena itu perlu adanya aturan baku seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP. Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar Menengah, Keputusan Menteri Pendidikan RI Nomor 0293/E/1993 tentang BP3, Keputusan Menteri Pendidikan RI Nomor 085/K/1994 tentang Pengangkatan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah di Lingkungan Departemen Pendidikan, Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005, PP. RI. Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, Permendiknas Nomor 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran Yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk digunakan dalam Proses Pembelajaran, dan berbagai ketentuan lainnya untuk dapat memperlancar proses pendidikan. Lebih lanjut, kelembagaan jenjang pendidikan formal di Indonesia terdiri atas Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi. Dalam UU. RI. Nomor 20 Tahun 2003 pasal 15 disebutkan bahwa “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejujuran, akademik, vokasi, keagamaan, dan khusus”. Pengertian dari pasal 15 tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : • Pendidikan Umum merupakan pendidikan dasar dan menengah yang mengutamakan perluasan pengetahuan yang diperlukan oleh peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
• Pendidikan Kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. • Pendidikan Akademik merupakan pendidikan tinggi program pasca sarjana dan pasca sarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu. • Pendidikan Profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. • Pendidikan Vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana. • Pendidikan Keagamaan merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama. • Pendidikan Khusus merupakan penyelenggara pendidikan untuk peserta didik yang berlainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan yang luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Perlu diperhatikan bahwa karena lembaga pendidikan merupakan bagian dari pada suatu sistem baik secara nasional maupun pada tingkat yang lebih sempit, maka keberadaan lembaga pendidikan dalam masyarakat bangsa akan bertumpu dan terikat oleh tatanan kehidupan sosial, atau tata kehidupan sistem nilai yang berlaku. Pada akhirnya perlu diingat bahwa dalam melaksanakan pembangunan nasional, pendidikan mempunyai tiga fungsi yang sangat mendasar yaitu : (1). Mencerdaskan kehidupan bangsa, (2). Memprogramkan tenaga kerja dalam berbagai ketrampilan dan industrialisasi, (3). Menanamkan penguasaan IPTEK menjelang era teknologi. 2.
Partisipasi Aktif Masyarakat Dalam Pendidikan Pengaruh masyarakat terhadap pendidikan sebagai lembaga sosial terasa amat kuat, dan berpengaruh pula terhadap individu-individu yang ada di lingkungan lembaga pendidikan itu sendiri,
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 karena lingkungan masayarakat bersifat kompleks yang terdiri dari kelompok masyarakat Upper Class, Middle Class, dan Lower Class tentu saling melengkapi dan bersifat unik sebagai akibat latar belakang dimensi budaya yang beraneka ragam. Adapun tujuan pokok pengembangan hubungan dan partisipasi aktif antara lembaga pendidikan dengan masyarakat setempat, adalah untuk memungkinkan orang tua dan warga wilayah berpartisipasi aktif dan penuh arti di dalam kegiatan pendidikan. Program efektif tentang hubungan kerja sama antara lembaga pendidikan dengan masyarakat untuk mendorong orang tua terlibat ke dalam proses pendidikan melalui kerja sama dengan pimpinan dan staf termasuk dewan guru di dalam perencanaan program pendidikan individual dari anak-anak mereka. Berdasarkan laporan hasil studi menunjukkan bahwa betapa pentingnya keberhasilan pendidikan. Dan pertumbuhan perkembangan Cognitif bagi peserta didik itu sangat ditentukan oleh : 1. Pengaruh yang sangat kuat dari dorongan keluarga dan masyarakat. 2. Sikap dan kehidupan rumah tangga dan keluarga. 3. Sikap positif dari peserta didik terhadap keluarga dan rumah tangga, serta perasaan senang dengan gurunya. 4. Peranan orang tua yang berdampak positif terhadap perkembangan lembaga pendidikan, serta kepedulian dan perasaan tertarik dalam setiap mata pelajaran yang berbasis kurikulum. Dalam upaya untuk mewujudkan satu perubahan penting bagi lembaga pendidikan tentu sangat diperlukan dukungan dan partisipasi aktif masyarakat dimana lembaga pendidikan itu berada. Dukungan yang diperlukan meliputi antara lain : (1). Personil, seperti : tenaga ahli, konsultan, staf pengajar, orang tua, pengawas dan sebagainya, (2). Sumber dana yang diperlukan untuk mendukung tersedianya fasilitas seperti gedung, perlengkapan kantor, kepustakaan, dan perlengkapan bahan-bahan pengajaran lainnya, (3). Dukungan berupa informasi dari berbagai media, lembaga instansi terkait, dan berbagai sumber lainnya guna mendukung kelancaran
proses pendidikan, (4). Perlu adanya dukungan dari Dewan Pendidikan (Majelis Pendidikan) sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis. Lebih lanjut, dalam UU. RI. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan pada pasal 55 ayat (1). Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat, ayat (2). Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan, ayat (3). Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, ayat (4). Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil secara merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Akhirnya, perlu ditelusuri bahwa dukungan perbaikan dan partisipasi aktif dari masyarakat dapat diperoleh apabila saluran komunikasi dua arah dapat ditegakkan dan dipelihara yaitu : Pertama, kerja sama perlu dibangun, dan kedua konflik latin serta konflik yang terjadi dapat diatasi. Hanya dengan dilaksanakan komunikasi dua arah memungkinkan terwujudnya usaha kerja sama untuk melaksanakan perubahan besar bagi sebuah lembaga pendidikan. Namun disisi lain yang tidak bisa diabaikan adalah harus mampu menciptakan hubungan kerja yang harmonis, baik bersifat internal maupun eksternal yang menjadi harapan publik dalam pengembangan sebuah lembaga pendidikan. 3.
Kepemimpinan Pendidikan
Dalam
Lembaga
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Bagi setiap lembaga organisasi kepemimpinan yang efektif adalah merupakan kunci keberhasilan. Menurut Wahjosumijo (2003 : 83) dalam praktek organisasi kata memimpin mengandung konotasi : “Menggerakkan, mengarahkan, membina, melindungi, memberi teladan, memberikan dorongan, memberikan bantuan dan sebagainya”. Dari kata tersebut dapat dirumuskan memimpin mengandung makna yang luas yaitu “Kemampuan
Formal Authority and Status Interpersonal Roles : Figurehead, Leader, Liasion
untuk menggerakkan segala sumber daya yang ada sehingga dapat didayagunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan”. Menurut pengamatan penulis, ada tiga macam peranan pemimpin yang perlu dilakukan pada sebuah kelembagaan pendidikan terlihat dari otoritas dan status formal seorang pemimpin. Lihat diagram berikut ini.
Decisional Roles : Informational Roles : Monitor, Dissamisator, Spokesman
Enterpreneur, Disturbance handler, Resourcesallo cator, Negotiator Gambar – 1
Ketiga peranan tersebut apabila dikaitkan atau diintegrasikan ke dalam status formal kepemimpinan dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Peranan Hubungan Antar Perseorangan (Interpersonal Roles). Peranan ini timbul akibat otoritas formal dari seorang pimpinan meliputi : a.
Figurehead Figurehead berarti lambang. Dalam pengertian lambang seorang pimpinan mempunyai kedudukan yang selalu melekat dengan kelembagaannya. Maka dalam segala aktivitas ia berperan atas nama kelembagaan yang dipimpin dan selalu harus menjaga nama baik untuk kesuksesan. b.
Leadership Peranan sebagai pemimpin harus bertanggung jawab penuh dan mampu menggerakkan segala sumberdaya yang ada pada kelembagaan, sehingga melahirkan etos kerja dan produktivitas
kerja yang tinggi sekaligus menyelesaikan segala persoalan yang timbul untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. c.
Liasion (Penghubung) Dalam fungsi ini seorang pimpinan dapat menjadi penghubung dan berperan dalam menyelesaikan segala macam problematik yang timbul baik internal maupun eksternal.
2.
Peranan Informasional (Informational Roles). Ada tiga peranan informasional yang perlu ditindak lanjuti oleh seorang pimpinan : a. Sebagai Monitor Pimpinan perlu selalu mengadakan pengamatan terhadap segala kemungkinan informasi yang dapat berpengaruh terhadap kelembagaan pendidikan seperti, gosip, dan berita-berita yang tidak menyenangkan serta
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 membahayakan bagi kelangsungan proses pendidikan. b. Sebagai Dissamisator Pimpinan perlu menyebar luaskan segala informasi yang dapat menguntungkan bagi kelembagaan pendidikan, dan meredam serta menyelesaikan bila adanya konflik. c. Spokesman Dalam hal ini pimpinan dapat bertindak sebagai wakil resmi untuk menyebarkan (transmits) kepada lingkungan segala informasi yang dianggap perlu. 3. Sebagai Pengambil Keputusan (Decisional Roles) Ada empat macam peranan pimpinan dalam mengambil keputusan, yaitu : a.
Enterpreneur Pimpinan berusaha dengan segala kesungguhannya untuk memikirkan supaya adanya pembaharuan yang lebih meningkat terhadap kelembagaan pendidikan yang dipimpinnya. b. Orang Yang Memperhatikan Gangguan (Disturbancehandler) Seorang pimpinan perlu mengantisipasi segala situasi yang timbul dan pengambilan keputusan yang tepat. c. Orang Yang Menyediakan Segala Sumber (A Resource Allocater) Seorang pimpinan bertanggung jawab dengan segala sumber penerimaan dan pengeluaran, baik dengan alokasi dana, peralatan kekayaan kelembagaan, sumberdaya manusia (tenaga kerja atau karyawan)dan perlu meneliti sumber-sumber tersebut sehingga tidak menghilangkan nama baik kelembagaan pendidikan. d.
A Negotiator Roles Dalam hal ini peranan seorang pimpinan mampu mengadakan musyawarah dan bekerja sama dengan pihak-pihak luar dan dunia usaha. Kerja sama ini meliputi penempatan lulusan, kurikulum, praktek tenaga pengajar, termasuk perlengkapan fasilitas ruang, perabotan kantor,
kepustakaan, tingkat kesejahteraan karyawan, dan sebagainya. Ketiga macam peranan kepemimpinan tersebut dilihat dari otoritas dan status formal perlu diintegrasikan serta dilakukan dengan baik dan benar, diharapkan akan memberi dampak positif dalam upaya pengembangan sebuah lembaga pendidikan. D.
PENUTUP Ilmu pengetahuan dan teknologi kian berkembang dengan pesat telah memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan manusia. Maka lembaga pendidikan sebagai pusat pemberdayaan ilmu pengetahuan, ketrampilan, dan pembentukan sikap, perlu mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral. Merujuk pada UU.RI. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 14 bahwa “Kelembagaan jenjang pendidikan formal yang terdiri atas Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Tinggi”. Maka untuk keberlangsungan bagi setiap jenjang kelembagaan tersebut perlu ditata dengan baik dengan kurikulum berbasis kompetensi. Disisi lain perlu diingat bahwa dalam melaksanakan pembangunan nasional, pendidikan mempunyai tiga fungsi yang sangatmendasar: Pertama, mencerdaskan kehidupan bangsa, Kedua, memprogramkan tenaga kerja dalam berbagai ketrampilan dan industrialisasi, Ketiga, menanamkan penguasaan IPTEK menjelang era teknologi. Dalam upaya untuk mewujudkan perubahan penting bagi lembaga pendidikan tentu sangat diperlukan dukungan dan partisipasi aktif masyarakat dimana lembaga itu berada. Peranan pimpinan harus mampu menggerakkan segala sumberdaya dan potensi yang ada secara maksimal untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Akhirnya, perlu ditelusuri bahwa dukungan dan partisipasi aktif dari masyarakat dapat terwujud , apabila saluran komunikasi dapat ditegakkan, serta menciptakan hubungan kerja yang harmonis, baik yang bersifat internal maupun eksternal yang menjadi harapan publik bagi sebuah lembaga pendidikan.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 DAFTAR KEPUSTAKAAN Allen, Louis, A, 1994. The Profesional Management. Penerbit PT. Pembangunan Jakarta.
Don Hellriegel, et, al, 1992. Management, Third Edition. By Addison Wesley Publishing Company.
Bintoro Tjokroamidjoyo, 1994. Pengantar Administrasi Pembangunan. LP3ES, Jakarta.
Lipham, James M, et, al, 1995. The Principalship Concepts, Compentencies and Cases. Longman, Inc. London.
Cribbin, James, J, 1998. Effectife Managerial Leadership. American Management Assosiation, Inc.
Undang-Undang RI, Nomor 14 Tahun 2005. Tentang Undang-Undang Guru dan Dosen. Penerbit Sinar Grafika Jakarta.
Darywanto, 2001. Evaluasi Pendidikan. PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Siagian SP, 1995. Peranan Staf Dalam Management. PT. Gunung Agung Jakarta.
Depdiknas RI, 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wahjisumijo, 2003. Kiat Kepemimpinan Dalam Teori dan Praktek. PT. Harapan Masa, jkt
KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU BIOLOGI YANG TELAH LULUS SERTIFIKASI DI SMA NEGERI KOTA BANDA ACEH
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Oleh Hasanuddin* dan Cut Nurmaliah** ABSTRAK Kompetensi pedagogic merupakan kemampuan mengelola pembelajaran, mencakup konsep kesiapan mengajar yang ditunjukkan oleh penguasaan pengetahuan dan ketrampilan mengajar. Kompetensi ini harus dimiliki setiap guru agar tercapai keberhasilan dalam proses belajar dan mengajar. Penelitian bertujuan mengetahui kompetensi pedagogik guru biologi yang telah lulus sertifikasi di SMA Negeri Kota Banda Aceh telah dilakukan bulan Maret 2010. Subyek penelitian adalah guru biologi yang telah lulus sertifikasi. Pengumpulan data menggunakan teknik angket. Pengamatan di kelas dilakukan dengan menggunakan instrumen penilaian RPP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru biologi yang telah lulus sertifikasi di SMA Negeri kota Banda Aceh memiliki: kompetensi pedagogik sudah baik, terutama pada aspek-aspek: pemahaman terhadap peserta didik (88,3%), rencana pelaksanaan pembelajaran (89,2%), evaluasi hasil belajar (83,3%), dan pengembangan peserta didik (76,7%). Khusus pada aspek pemanfaatan teknologi pembelajaran masih kurang baik (45%). Hasil pengamatan di kelas terhadap aspek-aspek yang diamati secara umum sudah baik. Namun, yang masih kurang adalah pemanfaatan media dalam proses pembelajaran. Hal lain yang juga perlu ditingkatkan adalah penggunaan strategi mengajar yang berlandaskan pada pembelajaran konstruktivisme. Kata kunci: Kompetensi Pedagogik, sertifikasi, Guru Biologi Pendidikan mempunyai tanggung jawab besar dalam menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu oleh pendidik profesional. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Oleh karena itu, guru sebagai pendidik profesional mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis. Sebagai tenaga profesional, guru dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik S-I (strata satu) atau D-4 (diploma empat) dalam bidang yang terkait dengan mata pelajaran yang ditekuninya dan menguasai kompetensikompetensi sebagai agen pembelajaran. Pemenuhan persyaratan kualifikasi akademik SI/D-4 dibuktikan dengan ijazah yang diperoleh di lembaga pendidikan tinggi. Persyaratan relevansi dibuktikan dengan kesesuaian antara bidang pendidikan dengan mata pelajaran yang ditekuni. Sementara itu, persyaratan penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran dibuktikan dengan sertifikat pendidik (Mulyasa, 2007: 39).
Guru sebagai tenaga profesional mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menegaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Untuk mewujudkan fungsi, peran, dan kedudukan tersebut, guru perlu memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik yang sesuai dengan standar pendidik. Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru, yang telah memenuhi standar profesional guru. Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik pendidikan yang berkualitas. Sertifikat pendidik adalah sebuah sertifikat yang ditandatangani oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 formal pengakuan profesionalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.Tujuan utama Sertifikasi adalah untuk: 1) Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional; 2). Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan; 3) Meningkatkan martabat guru; dan 4). Meningkatkan profesionalitas guru Program sertifikasi guru dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, Undangundang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan peraturan pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) pada Pasal 8 dinyatakan: guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kemudian pada Pasal 11, ayat (1) disebutkan bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi guru merupakan pemenuhan kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi.. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008, Kompetensi Guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensiprofesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi Guru sebagaimana dimaksud tesebut bersifat holistik. Bagian kesatu, pasal 3 ayat (4) bahwa kompetensi pedagogik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kemampuan Guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang kurangnya meliputi: a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; b). pemahaman terhadap peserta didik; c. pengembangan kurikulum atau silabus; d). perancangan pembelajaran; e). pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; f) pemanfaatan teknologi pembelajaran; g). evaluasi hasil belajar; dan h). pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Sertifikasi guru merupakan kegiatan bersama antara Dirjen PMPTK/Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota sebagai pengelola guru dan Ditjen Dikti/Perguruan tinggi sebagai penyelenggara sertifikasi. Sebagai pengelola guru, Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) sebagai jajaran PMPTK bertugas menyiapkan guru agar siap mengikuti sertifikasi, termasuk mengatur urutan, jika pesertanya melebihi kapasitas yang ditetapkan. Beberapa pertimbangan yang digunakan untuk menyusun urutan daftar calon peserta sertifikasi guru antara lain: (1) Penguasaan terhadap kompetensi. (2) Prestasi yang dicapai, misalnya guru teladan, dan guru berprestasi, (3) Daftar urut kepangkatan. (4) Masa kerja. (5) Usia. Bagi guru yang lulus dalam sertifikasi akan diberikan sertifikat pendidik dan berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok, sedangkan bagi guru yang tidak lulus, disarankan mengikuti pelatihan atau pembinaan melalui LPMP, MGMP/KKG atau lembaga lainnya, agar lebih siap untuk mengikuti tes ulang berikutnya (Muslich, 2007: 5). Selain aspek kompetensi pedagogik, untuk dapat menjadi seorang guru yang profesional, maka diharuskan memiliki kemampuan untuk mengembangkan aspek kompetensi yang ada pada dirinya, seperti kompetensi pribadi, kompetensi profesional, serta kompetensi sosial. Apabila guru mampu mengembangkan aspek-aspek kompetensi tersebut dengan baik, maka guru tersebut tidak hanya memperoleh keberhasilan, tetapi juga memperoleh kepuasan atas profesi yang dipilihnya. Tetapi apakah aspek-aspek kompetensi tersebut terutama pedagogik telah dimiliki oleh tiap-tiap guru yang telah lulus sertifikasi. Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang kompetensi pedagogik guru yang telah lulus sertifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kompetensi pedagogik guru biologi yang telah lulus sertifikasi di SMA Negeri Kota Banda Aceh. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada guru Biologi SMA Negeri di Kota Banda Aceh yang berjumlah
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 13 SMA. Pengambilan data dilakukan bulan Maret 2010. Jenis penelitian kualitatif dengan metode survei. 1.
Sumber data dalam penelitian ini adalah guru Biologi yang telah lulus sertifikasi sampai bulan Maret 2010 di SMA Negeri Banda Aceh yang berjumlah 30 orang.
Sumber Data Tabel 1. Nama Sekolah dan Jumlah Guru Biologi yang Belum dan Telah Lulus Sertifikasi Di SMA Negeri Banda Aceh Jumlah Guru Biologi yang belum Lulus sertifikasi
Jumlah Guru Biologi yang telah Lulus Sertifikasi
No
Nama Sekolah
1.
SMA Negeri 1 Banda Aceh
4 orang
-
2.
SMA Negeri 2 Banda Aceh
2 orang
4 orang
3.
SMA Negeri 3 Banda Aceh
3 orang
6 orang
4.
SMA Negeri 4 Banda Aceh
5 orang
7 orang
5.
SMA Negeri 5 Banda Aceh
4 orang
3 orang
6.
SMA Negeri 6 Banda Aceh
4 orang
1 orang
7.
SMA Negeri 7 Banda Aceh
4 orang
2 orang
8.
SMA Negeri 8 Banda Aceh
3 orang
3 orang
9.
SMA Negeri 9 Banda Aceh
3 orang
2 orang
10.
SMA Negeri Banda Aceh
10
4 orang
-
11.
SMA Negeri Banda Aceh
11
4 orang
1 orang
12.
SMA Negeri Banda Aceh
12
3 orang
1 orang
13.
SMA Negeri Banda Aceh
13
4 orang
-
Jumlah 47 orang Sumber: SMA Negeri Banda Aceh. Maret 2010.
30 orang
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 menggunakan instrumen penilaian RPP. Instrumen pengamatan terdiri dari langkahlangkah guru dalam pembelajaran seperti pemilihan materi, perumusan indikator, penentuan alokasi waktu, pengembangan materi pembelajaran, pendekatan dan metode pembelajaran, serta langkah-langkah kegiatan pembelajaran.
2.
Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan adalah: angket dan instumen penilaian RPP. a. Angket Angket berjumlah 12 pertanyaan dengan tiga alternatif jawaban. Isi angket disusun untuk mengungkapkan kompetensi pedagogik guru yang meliputi: pemahaman terhadap peserta didik, rencana pelaksanaan pembelajaran, pemanfaatan teknologi pembelajaran, evaluasi hasil belajar, serta pengembangan peserta didik.
4. 1. 2. 3. 4. 5.
b. Instrumen Penilaian RPP Instrumen penilaian rencana pelaksanaan pembelajaran berjumlah 23 butir pengamatan dengan empat alternatif jawaban, berguna untuk mengetahui kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran berupa langkah-langkah guru dalam kegiatan pembelajaran.
Parameter penelitian Parameter pada penelitian ini yaitu: Pemahaman terhadap peserta didik Rencana pelaksanaan pembelajaran Pemanfaatan teknologi pembelajaran Evaluasi hasil belajar Pengembangan peserta didik.
Analisis Data Data yang diperoleh dari angket dan hasil observasi kelas selanjutnya dihitung persentase untuk setiap parameter dan kategori jawaban. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data yang diperoleh dengan angket dan observasi kelas, dapat diketahui persentase jawaban yang diberikan guru biologi yang telah lulus sertifikasi. Untuk nilai rata-rata persentase aspek-aspek kompetensi pedagogik disajikan pada tabel 2 berikut.
3.
Teknik Pengumpulan Data Angket dibagikan pada guru Biologi yang telah lulus sertifikasi di SMA Negeri Banda Aceh. Observasi dilakukan untuk mengamati kegiatan guru selama mengajar mata pelajaran biologi di kelas. Pengamatan dilakukan di kelas dengan
Tabel 2. Persentase Nilai Rata-rata Aspek-aspek Kompetensi Pedagogik Guru Biologi yang Telah Lulus Sertifikasi di SMA Negeri Banda Aceh N Parameter o 1 Pemahaman terhadap peserta didik . 2 Rencana pelaksanaan pembelajaran . 3 Pemanfaatan teknologi pembelajaran . 4 Evaluasi hasil belajar . 5 Pengembangan peserta didik . Sumber: SMA Negeri Banda Aceh (Data diolah) 2010.
Alternatif Jawaban A B 88,35 11,65 % % 89,2 % 10,8 % 45 %
55 %
83,3 %
16,7 %
76,7 %
23,3 %
C -
Total 100 % 100 % 100 % 100 % 100 %
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Keterangan: A = Sering/Baik B = Kadang-kadang/kurang baik C = Tidak pernah/tidak baik Berdasarkan tabel tersebut, as[ek-aspek kompetensi pedagogik guru biologi yang telah lulus sertifikasi di SMA Negeri Banda Aceh, telah mencapai kategori baik (> 75 %). Hanya satu aspek yang masih kurang, yaitu pemanfaatan teknologi pembelajaran (45%). Pengamatan (observasi) pelaksanaan di kelas, dilakukan terhadap 23 guru SMA Negeri Banda Aceh yang telah lulus sertifikasi dari jumlah 30
guru. Jadi ada 7 guru yang tidak sempat dioservasi. Hal ini disebabkan karena sudah mendekati ujian akhir nasional, sehingga guru lebih fokus mengadakan kegiatan tambahan, seperti membahas soal dan mengulang materi pelajaran yang masih kurang dipahami peserta didik. Hasil Pengamatan Kelas Terhadap Guru disajikan pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Persentase Penilaian Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) di SMA Negeri Banda Aceh. Jumlah (%) N Indikator dan Alternatif o Jawaban A B C D 1
2
3
4
5
1 .
Pemilihan materi sesuai KD
23 (100)
-
-
-
2 .
Perumusan dengan KD
17 (73,8)
6 (26,2)
-
-
3 .
Penentuan alokasi waktu
19 (82,5)
4 (17,5)
-
-
4 .
Pengembangan pembelajaran
18 (78,7)
5 (21,3)
-
-
5 .
Pendekatan pembelajaran
-
20 (86,4)
3 (13,6)
-
6 .
Kegiatan pendahuluan Menarik perhatian siswa
16 (69,9)
7 (30,1)
-
-
7 .
Membangkitkan motivasi
-
23 (100)
-
-
19 (82,5)
4 (17,5)
-
-
14(60,2)
9 (39,8)
-
-
8 . 9 .
indikator
sesuai
materi dan
Kegiatan inti Teknik penyajian pembelajaran Keterampilan menjelaskan
metode
materi
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 1 0 .
Penggunaan bahasa
23 (100)
-
-
-
1 1 .
Keterampilan mengelola kelas
17 (73,8)
6 (26,2)
-
-
-
23 (100)
-
-
1 2 .
Membuat kaitan
1 3 .
Pemberian ilustrasi
-
23 (100)
-
-
1 4 .
Penggunaan media pembelajaran
-
6 (26,2)
-
17 (73,8)
1 5 .
Keterampilan bertanya
-
23 (100)
-
-
1 6 .
Keterampilan pertanyaan
-
19 (82,5)
4 (17,5)
-
1 7 .
Kegiatan penutup Simpulan hasil belajar
-
18 (78,7)
5 (21,3)
-
1 8 .
Keterampilan penguatan
-
23 (100)
-
-
1 9 .
Penentuan sumber belajar
19 (82,5)
4 (17,5)
-
-
2 0 .
Pelaksanaan evaluasi
-
23 (100)
-
-
2 1 .
Penentuan teknik penilaian
-
20 (86,4)
3 (13,6)
-
menjawab
memberikan
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 2 2 .
Penentuan bentuk instrumen sesuai dengan teknik penilaian
-
23 (100)
-
-
2 3 .
Contoh instrumen sesuai dengan bentuk instrumen dan indikator
-
23 (100)
-
-
Sumber: SMA Negeri Banda Aceh (Data diolah) 2010. Keterangan: A B C D
= = = =
Baik sekali Baik Cukup Kurang baik
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa, semua proses sesuai dengan RPP secara umum telah dilaksanakan oleh guru secata baik.Beberapa hal yang masih perlu perbaikan adalah: penggunaan metode pembelajaran yang bervariasi (multistrategi), ketrampilan menjawab pertanyaan, dan penentuan teknik penilaian (evaluasi). PEMBAHASAN Sertifikasi merupakan sarana atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Perlu ada kesadaran dan pemahaman dari semua fihak bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Kesadaran dan pemahaman ini akan melahirkan aktivitas yang benar, bahwa apapun yang dilakukan adalah untuk mencapai kualitas. Demikian pula kalau guru mengikuti sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kompetensi guru. Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi sertifikasi. Berdasarkan hal tersebut, maka sertifikasi akan membawa dampak positif, yaitu meningkatnya kualitas guru.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru yang profesional akan menghasilkan proses dan hasil pendidikan yang bermutu dalam rangka mewujudkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak. .berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Berdasarkan hasil angket dari 30 guru biologi yang telah lulus sertifikasi di SMA Negeri kota Banda Aceh, diperoleh bahwa sebanyak 86,7% guru menyatakan sangat memahami peserta didik melalui karakteristik peserta didik yang berkaitan dengan aspek intelektual, emosional, moral dan latar belakang peserta didik, hal ini bertujuan agar proses interaksi antara peserta didik dengan guru terjadi, sehingga tujuan pembelajaran tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru juga mengidentifikasi pengetahuan awal peserta didik, kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal yang telah dimiliki peserta didik, baik mengenai materi yang telah diajarkan maupun yang akan diajarkan, hal ini dilakukan dengan memberikan kegiatan pendahuluan seperti
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 apersepsi dan motivasi. sebanyak 90% guru menyatakan sering mengidentifikasi pengetahuan awal peserta didik seperti apersepsi dan motivasi. Hal ini didukung oleh hasil observasi yang telah dilakukan, bahwa guru biologi yang telah lulus sertifikasi di Banda Aceh, sudah melakukan apersepsi dan motivasi dengan berbagai upaya dalam membangkitkan motivasi belajar biologi di dalam kelas. Usaha tersebut antara lain: memperjelas tujuan yang ingin dicapai sebelum proses pembelajaran, membangkitkan minat peserta didik, menciptakan suasana menyenangkan dalam belajar biologi, memberi penilaian secepatnya secara objektif, menciptakan persaingan dan kerja sama serta selalu meningkatkan partisipasi peserta didik dalam belajar biologi. Menurut Azzet (2011) Guru yang mampu membangun semangat peserta didiknya adalah yang bisa menjelaskan tujuan belajar dari materi yang akan dan sedang dipelajari. Dengan mengetahui tujuan belajarnya, peserta didik akan terbangun kesadarannya untuk bersemangat dalam belajar. Selain itu, setiap usaha yang dilakukan peserta didik harus diapresiasi oleh guru. Guru dalam meningkatkan proses pembelajaran juga menerapkan berbagai pendekatan, seperti memilih dan menggunakan strategi dan metode pembelajaran yang kreatif, hal ini bertujuan untuk memungkinkan peserta didik dapat memahami dan mempraktikan apa yang dipelajarinya, karena di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), guru dituntut untuk menggunakan banyak metode. Sebanyak 76,7% guru menyatakan sering menerapkan berbagai metode, dan teknik pembelajaran yang kreatif dalam proses pembelajaran. Metode yang digunakan antara lain: ceramah, diskusi, tanya jawab, penugasan terbimbing, observasi, diskusi informasi, studi lapangan, serta studi membaca. Namun, jika dilihat dari jenisnya, maka metode yang digunakan belum mengarah kepada pembelajaran kooperatif. Sudah saatnya guru mengarahkan pembelajarannya ke paradigma baru yaitu menjadi student centered. Pembelajaran kooperatif sangat sesuai untuk pendekatan penguasaan pengetahuan dan keterampilan dasar. Pembelajaran kolaboratif memiliki ciri berikut: 1)
menggunakan kelompok; 2) memberikan tugas yang spesifik; 3) saling berbagi di antara kelompok; dan 4) membandingkan prosedur dan kesimpulan dalam kelompok pleno (seluruh kelas). Mencermati upaya reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan di Indonesia, para guru hendaknya terus belajar untuk memahami berbagai model pembelajaran yang merujuk pada proses (beserta konsep dan teori) pembelajaran. Dengan demikian, guru diharapkan dapat secara kreatif mencobakan dan mengembangkan model pembelajaran tersendiri yang khas, sesuai dengan kondisi nyata di tempat kerja masing-masing, sehingga pada gilirannya akan muncul modelmodel pembelajaran versi guru yang bersangkutan, yang tentunya semakin memperkaya khazanah model pembelajaran yang telah ada. Selain itu, dalam pelaksanaan pembelajaran, guru juga berpedoman pada kurikulum yang berlaku, yaitu KTSP. Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masingmasing satuan pendidikan. KTSP dikembangkan oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah. Tidak hanya kurikulum, guru juga membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) sebelum proses mengajar dimulai, persiapan dapat diartikan sebagai persiapan tertulis maupun persiapan mental seperti, situasi emosional yang ingin dibangun, lingkungan belajar yang produktif, serta meyakinkan peserta didik untuk terlibat secara keseluruhan, dan 93,3% guru menyatakan sering menyusun RPP untuk kegiatan di dalam kelas, selain itu guru juga mengembangkan komponen-komponen rancangan pembelajaran tersebut dengan baik, hal ini dapat dilihat dari pengembangan langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran yang terdapat dalam rencana pelaksanaan pembelajaran seperti pemilihan materi sesuai dengan kompetensi dasar, perumusan indikator sesuai dengan kompetensi dasar dan pengembangan materi pokok pembelajaran. Media pembelajaran merupakan penunjang di dalam proses pembelajaran. Hasil penelitian
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 para guru biologi yang telah lulus sertifikasi di Banda Aceh banyak yang tidak menggunakan media, khususnya media Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi seperti komputer, LCD proyektor, kaset, dan video.. Sebanyak 43,3% guru menyatakan sering menggunakan media untuk mendukung kelancaran pembelajaran, dan sebanyak 73,8% guru dari hasil observasi tidak menggunakan media dalam mendukung kelancaran pembelajaran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa banyak guru biologi di SMA Negeri Banda Aceh yang tidak menggunakan media dalam proses pembelajaran. Hal tersebut disebabkan karena media Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi di dalam menunjang pembelajaran di kelas belum lengkap. Guru belum terampil dalam menggunakan media-media pembelajaran tersebut, sehingga pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi belum dapat digunakan secara maksimal. Media pembelajaran merupakan segala sesuatu yang dapat di gunakan untuk menyalurkan pesan (materi pembelajaran), meragsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan siswa, sehingga dapat mendorong proses pembelajaran (Ibrahim, 2007: 78). Kemampuan menggunakan teknologi pada media pembelajaran sangat diharapkan dalam KTSP, tetapi dalam kenyataan di lapangan banyak guru yang tidak menggunakan media pembelajaran, khususnya media Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT). Untuk mewujudkan sekolah dengan berbasis ICT tentunya diperlukan sarana prasarana yang menunjang. Tanpa sarana dan prasarana yang baik maka pembelajaran tidak akan sulit berjalan dengan sempurna. Sarana prasarana sekolah berbasis ICT adalah seperti Laboratorium bahasa yang lengkap, komputer, LCD, dan koneksi internet. Pemerintah secara bertahap telah membantu sekolah-sekolah dengan memberikan perangkat hardware komputer sebagai alat peraktek dan ditunjang dengan diberikannya BOM (Bantuan Operasional Manajemen). Dana BOM ini salah satunya harus dibelanjakan untuk membeli software komputer untuk menunjang
pembelajaran Teknologi Informasi (TI) dan penguasaan materi pelajaran umum dengan bantuan TI. Dengan demikian jelas bahwa kebutuhan bahan pembelajaran berbasis ICT sebagai alat untuk membantu siswa menguasai TI dan materi pelajaran umum lainnya dengan lebih cepat, menyenangkan dan meningkatkan hasil belajar, menjadi kebutuhan yang mendesak untuk tercapainya kualitas pembelajaran yang diharapkan. Selain sebagai sarana untuk meningkatkan motivasi belajar siswa, pembelajaran berbasis ICT juga dapat mempermudah guru dalam menyampaikan materi pembelajaran, membiasakan guru untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman yang semakin pesat saat ini. Sudah saatnya guru sedikit demi sedikit membiasakan diri mengajar menggunakan media berbasis ICT, tidak hanya mengandalkan buku yang sudah berbagai generasi redaksinya hanya itu-itu saja sehingga sudah sangat hapal diluar kepala. Jika sekolah telah memiliki perangkat pembelajaran berbasis ICT, maka yang harus dipikirkan sekarang adalah bagaimana membiasakan guru berkreasi tidak hanya sebagai pemakai jasa Media berbasis ICT tetapi juga sebagai kreator yang membuat dan mengembangkan media-media tersebut sesuai dengan keadaan sekolah masing-masing. Namun jika belum, maka ini menjadi tugas penting jajaran pendidikan untuk memikirkan bagaimana caranya agar sekolah bisa merasakan nilai positif dari perkembangan ilmu dan teknologi sekarang ini. Menutup pelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk mengakhiri kegiatan pembelajaran. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang apa yang telah dipelajari oleh peserta didik, mengetahui tingkat pencapaian peserta didik, dan tingkat keberhasilan guru dalam proses pembelajaran. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, kemampuan guru dalam menutup pembelajaran sudah baik. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan guru dalam meninjau kembali penguasaan materi pokok dengan merangkum dan menyimpulkan hasil pembelajaran serta melakukan evaluasi.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Menurut Alma, B. dkk. (2009) menutup pelajaran juga menuntut keterampilan tersendiri. Hal ini agar pertemuan tatap muka dalam kegiatan belajar mengajar menhasilkan kesan sosial psikologis yang positif bagi siswa. Hal yang dapat dilakukan guru antara lain: memberikan penekanan kembali pentingnya bahan yang diberikan, secara ringkas; penguatan untuk tetap mempertahankan kondisi belajar, dan ekspektasi. Keterampilan bertanya dan menjawab guruguru biologi yang telah lulus sertifikasi sudah baik. Namun keterampilan tersebut harus ditingkatkan. Keterampilan bertanya sangat penting dikuasai guru untuk memancing jawaban, komentar, dan pemahaman dari peserta didik. menjawab pertanyaan masih perlu ditingkatkan. Ada tiga hal penting dalam keterampilan bertanya, yaitu: pausing (memberi jeda), prompting (mendorong), dan probing (menyelidik/menuntun). Pausing bertujuan untuk: memberikan kesempatan berfikir mencari jawaban. Prompting dilakukan guru jika pertanyaan yang diajukan dirasakan “sulit” oleh siswa. Jadi guru perlu melakukan prompting dengan cara memberikan informasi tambahan agar siswa dapat menjawab atau mengubah pertanyaan dalam bentuk lain. Probing dilakukan karena belum memperoleh jawaban yang memuaskan. Selain itu, menurutAlma B. dkk. (2009) ada tiga aspek di dalam ketrampilan bertanya, yaitu: 1) clear and brief, clarity and brevity (jelas dan singkat); 2) directing or distributing questions (pertanyaan harus diarahkan ke seluruh kelas); 3) redirecting the question (menjawab satu per satu). Ketrampilan pemberian penguatan yang dilakukan guru biologi yang telah lulus sertifikasi di SMA Banda Aceh sudah baik (100 %). Namun perlu peningkatan. Pemberian penguatan (reinforcement) terhadap karya yang dilakukan siswa sangat diperlukan dalam proses pembelajaran. Tujuannya adalah untuk meningkatkan perhatian siswa, membangkitkan dan mempertahankan motivasi, dan mengarahkan kepada cara berpikir yang baik dan inisiatif pribadi. Komponen ketrampilan reinforcement dapat berupa: verbal reinforcement (pujian dalam bentuk kata-kata), gestural reinforcement (pujian
melalui senyum, tepuk tangan, atau anggukan), proximity reinforcement (misal berjalan mendekati), contact reinforcement (missal tepuk bahu, jabat tangan), activity reinforcement (memimpin permainan, membagi bahan), dan token reinforcemet (pemberian hadiah). Pada pelaksanaan evaluasi, sebanyak 83,3% guru menyatakan sering melaksanakan evaluasi dengan berbagai cara (teknik). bentuk evaluasi yang dilakukan guru antara lain mendemonstrasikan keterampilan, mengeksplorasi pendapat peserta didik sendiri, serta memberikan soal-soal, baik dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tulisan. Selain itu guru juga menganalisis hasil evaluasi tersebut. Hal ini bertujuan agar guru bisa menentukan tingkat ketuntasan belajar yang telah dicapai peserta didik dalam proses pembelajaran. Selain itu guru juga melakukan penilaian kelas pada peserta didik. Penilaian ini bertujuan untuk memperbaiki kekurangan peserta didik dalam pembelajaran. Penilaian Berbasis Kelas (PBK) merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian berkelanjutan, otentik, akurat, dan konsisten dalam kegiatan pembelajaran di bawah kewenangan guru di kelas. PBK mengidentifikasi pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan. Bila selama dekade terakhir ini keberhasilan belajar siswa hanya ditentukan oleh nilai ujian akhir, maka dengan diberlakukannya PBK hal itu tidak terjadi lagi. Naik atau tidak naik dan lulus atau tidak lulus siswa sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru (sekolah) berdasarkan kemajuan proses dan hasil belajar siswa di sekolah bersangkutan. Dalam hal ini kewenangan guru menjadi sangat luas dan menentukan. Karenanya, peningkatan kemampuan profesional dan integritas moral guru dalam PBK merupakan suatu keniscayaan, agar terhindar dari upaya manipulasi nilai siswa. PBK menggunakan arti penilaian sebagai “assessment”, yaitu kegiatan
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 yang dilakukan untuk memperoleh dan mengefektifkan informasi tentang hasil belajar siswa pada tingkat kelas selama dan setelah kegiatan pembelajaran. Data atau informasi dari penilaian di kelas ini merupakan salah satu bukti yang digunakan untuk mengukur keberhasilan suatu program pendidikan. PBK merupakan bagian dari evaluasi pendidikan karena lingkup evaluasi pendidikan secara umum jauh lebih luas dibandingkan PBK.. Sebanyak 86,7% guru menyatakan sering mengadakan penilaian kelas pada peserta didik, penilaian dilaksanakan melalui berbagai cara, seperti tes tertulis, penilaian hasil kerja melalui kumpulan lembar kerja siswa (LKS), karya peserta didik (makalah/paper) serta penilaian unjuk kerja (tampilan) peserta didik. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, bahwa pelaksanaan evaluasi hasil belajar yang dilakukan guru biologi yang telah lulus sertifikasi di SMA Negeri Banda Aceh sudah baik, baik sebelum memulai proses pembelajaran maupun pada akhir pembelajaran. Perlu diketahui, jika guru melakukan PBK dapat dilakukan dalam keadaan resmi maupun tidak resmi, di dalam atau di luar kelas, menggunakan waktu khusus atau tidak. Misalnya untuk penilaian aspek sikap/nilai dengan tes atau non tes atau terintegrasi dalam seluruh kegiatan pembelajaran (di awal, tengah, dan akhir). Di sekolah sering digunakan istilah tes untuk kegiatan PBK dengan alasan kepraktisan, karena tes sebagai alat ukur sangat praktis digunakan untuk melihat prestasi siswa dalam kaitannya dengan tujuan yang telah ditentukan, terutama aspek kognitif. Dengan dilaksanakannya PBK diharapkan dapat: a).Memberikan umpan balik bagi siswa mengenai kemampuan dan kekurangannya, sehingga menumbuhkan motivasi untuk memperbaiki prestasi belajar pada waktu berikutnya; b).Memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan belajar siswa, sehingga memungkinkan dilakukannya pengayaan dan remediasi untuk memenuhi kebutuhan siswa sesuai dengan perkembangan, kemajuan dan kemampuannya; c).Memberikan masukan kepada guru untuk memperbaiki program pembelajarannya di kelas apabila terjadi hambatan
dalam proses pembelajaran; d).Memungkinkan siswa mencapai kompetensi yang telah ditentukan, walaupun dengan kecepatan belajar yang berbedabeda antara masing-masing individu; e) Memberikan informasi yang lebih komunikatif kepada masyarakat tentang efektivitas pendanaan, sehingga mereka dapat meningkatkan partisipasinya di bidang pendidikan secara serius dan konsekwen. Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, guru juga selalu membimbing peserta didik dalam kegiatan pembelajaran, seperti, les, dan pratikum. Hal ini dapat dilihat dari persentase guru sebanyak 76,7% menyatakan sering membimbing peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini bertujuan untuk mendorong peserta didik mencapai prestasi secara optimal. Dalam membimbing dan memberikan bantuan terhadap masalah pelajaran, seorang guru tidak harus menunggu anak didik untuk bertanya. Hasil penelitian menyatakan bahwa kompetensi pedagogik guru biologi yang telah lulus sertifikasi di SMA Negeri di Banda Aceh pada umumnya sudah baik. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek pedagogik yang telah dilakukan seperti pemahaman terhadap peserta didik 88.3%, rencana pelaksanaan pembelajaran 89,2%, evaluasi hasil belajar 83,3%, dan pengembangan peserta didik 76,7%. Namun, diantara aspek-aspek kompetensi pedagogik tersebut, terdapat satu aspek yang dinilai masih relatif kurang baik dalam pelaksanaannya yaitu pemanfaatan teknologi pembelajaran 45%, yakni penggunaan media, khususnya media pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, hal tersebut disebabkan karena media pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi di dalam menunjang pembelajaran di kelas belum lengkap, guru belum terampil dalam menggunakan media-media pembelajaran tersebut, sehingga pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi belum dapat digunakan secara optimal. Terkait dengan rendahnya aspek pemanfatan teknologi pembelajaran yang baru mencapai 45 %, maka, pemerintah harus terus memperbaiki, terutama melengkapi laboratorium
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 ICT sekolah, sehingga proses belajar mengajar menjadi lebih baik. Menurut Kepmendikbud No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM), sekolah harus memiliki persyaratan minimal untuk menyelenggarakan pendidikan dengan serba lengkap dan cukup seperti, luas lahan, perabot lengkap, peralatan/laboratorium/media, infrastruktur, sarana olahraga, dan buku rasio 1:2. Kehadiran Kepmendiknas itu dirasakan sangat tepat karena dengan keputusan ini diharapkan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak “kebablasan cepat” atau “keterlaluan tertinggal” di bawah persyaratan minimal sehingga kualitas pendidikan menjadi semakin terpuruk. Selanjutnya, UU Sisdiknas No. 20/2003 pasal 45 ayat (1) berbunyi, setiap satuan pendidikan menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.
2.
3.
Guru diharapkan berperan aktif dalam meningkatkan pengetahuan dan kompetensi mengajar, sehingga kemampuan guru dalam proses pembelajaran dapat terus ditingkatkan. Guru harus selalu bekerja dengan tekun dan selalu berusaha meningkatkan pengetahuan, wawasan, ketrampilannya untuk mendukung latar belakang pendidikan.
DAFTAR RUJUKAN Ahmad, R. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Alma, B.. Hari M., Girang R., dan Lena N.S., 2009. Guru Profesional (Menguasai Metode dan Terampil Mengajar). Alfabeta, Bandung. Anonymous. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1. Kompetensi pedagogik guru biologi yang telah lulus sertifikasi di SMA Negeri Banda Aceh pada umumnya sudah baik, terutama pada aspek-aspek pedagogik seperti pemahaman terhadap peserta didik (88,3%), rencana pelaksanaan pembelajaran (89,2%), evaluasi hasil belajar (83,3%), dan pengembangan peserta didik (76,7%). 2. Pada aspek pemanfaatan teknologi pembelajaran (45%) dinilai masih kurang baik, hal ini disebabkan karena sebagian besar guru tidak mampu menggunakan dan mengoprasikan media khususnya media berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
___________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
SARAN Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan, maka saran yang ingin disampaikan yaitu: 1. Guru hendaknya dilatih tentang pemanfaatan teknologi pembelajaran (ICT)
Azzet, A.M. 2011. Menjadi Guru Favorit. AeRuzz Media, Yogyakarta.
___________ Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru . 2009. Teknik Penilaian Di Dalam Proses Pembelajaran, (Online) http://id.wikipedia.org/wiki/TaksonomiBlo om/2008/12/Evaluasi-Belajar.jpg, diakses 11 April 2010. . 2010. Pengembangan Potensi Peserta Didik Di Sekolah. (Online) http://deean126.Blogspot.com/2010/1/7.a rchive.html, diakses 11 april 2010.
BSNP. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
Soyomukti, N 2010. Perdidikan Berperspektit Globalisasi. Ar-Ruzz Media, Yokyakarta.
Kunandar. 2009. Guru Profesional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sudjana, N. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Mulyasa, E. 2009. Menjadi Guru Profesional. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sukmadinata, S. N. 2005. Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah. Bandung: PT. Refika Aditama.
Mulyasa, E. 2007. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Supriadi, D. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yoggyakarta: Adicita Karya Nusantara.
Muslich, M. 2007. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Tilaar, H.A.R. 2009. Membenahi Pendidikan Nasional (edisi 2). Rineka Cipta, Jakarta.
Nasir, U. 2007. Manajemen Peningkatan Kinerja Guru. Bandung: Mutiara Ilmu.
Usman, M.U. 2010. Menjadi Guru Profesional. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Sagala, Sy. 2009. Konsep dan Makna Pembelajaran. Alfabeta, Bandung.
PELAKSANAAN PERKULIAHAN BIOLOGI SEL MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN COOPERATIVE CONSTRUKTIVISTIK Jailani* Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar mahasiswa dengan penerapan pembelajaran cooperative construktivistik dalam perkuliahan biologi sel pada semester ganjil tahun akademik 2010/2011, menentukan kualitas proses perkuliahan, dan mendeskripsikan respon mahasiswa terhadap penerapan model belajar cooperative construktivistik. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Sebagai subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Jurusan
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Pendidikan MIPA Program Studi Pendidikan Biologi FKIP USM Banda Aceh semester ganjil 2010/2011, yang mengikuti kuliah biologi sel, sebanyak 50 orang mahasiswa. Penelitian tindakan ini dilakukan dalam dua siklus, selama 12 kali pertemuan. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik tes, observasi, angket, dan wawancara. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil belajar mahasiswa dari siklus pertama ke siklus kedua, ditandai dari nilai rata-rata 66,40 pada UTS-I menjadi 78,50 pada UTSII. Berdasarkan hasil evaluasi dari kegiatan belajar mahasiswa, maka terdapat 6,00 % mahasiswa bernilai A; 46,00 % bernilai B; 38,00% bernilai C; 8,00% bernilai D dan 2,00% bernilai E. Proses perkuliahan biologi sel berlangsung secara optimal, yang dicirikan dengan terjadinya interaksi yang kondusif baik antara mahasiswa dengan dosen maupun dengan materi pelajaran, dan mahasiswa tampak aktif berdiskusi baik diskusi kelompok, maupun diskusi kelas. Hasil deskripsi menunjukkan bahwa mahasiswa merespon secara positif terhadap penerapan model belajar cooperative construktivistik dalam perkuliahan biologi sel. Kata kunci: Cooperative construktivistik, hasil belajar. Mata kuliah biologi sel merupakan salah satu mata kuliah di Jurusan Pendidikan MIPA Program Studi Pendidikan Biologi yang diprogramkan oleh mahasiswa pada pelaksaan semester ganjil tahun akademik 2010/2011. Mata kuliah ini memiliki bobot 3 sks dan mahasiswa yang memprogramkan mata kuliah ini diharuskan telah pernah mengikuti kuliah biologi dasar, biokimia, dan anatomi. Matakuliah ini juga merupakan matakuliah pra syarat untuk memahami materi perkuliahan fisiologi, microbiologi, dan biomolekul lainnya, maka perlu dipikirkan suatu pola perkuliahan melalui suatu strategi yang mampu memberikan proses dan hasil yang optimal. Adapun mode perkuliahan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yang lebih banyak menekankan aspek-aspek kolaboratif di ruang kelas. Model perkuliahan yang memiliki aspek kolaborasi relatif tinggi adalah pembelajaran cooperative construktivistik melalui cooperative problem solving (Slavin, 1995). Perkuliahan dengan menerapkan model cooperative construktivistik yang mengacu pada pembelajaran problem solving yang lebih banyak menekankan aspek kolaborasi untuk menghasilkan sinergi optimal dalam pembelajarannya belum banyak diterapkan di Jurusan Pendidikan MIPA Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh. Model pembelajaran cooperative merupakan model pembelajaran yang akhir-akhir ini sangat popular, termasuk dalam bidang studi biologi.
Beberapa ahli mengatakan bahwa model pembelajaran cooperative tidak hanya unggul dalam membantu mahasiswa memahami konsepkonsep biologi yang sulit tetapi sangat membantu mahasiswa menumbuhkan kemampuan kerja sama, berfikir kritis, kemampuan membantu teman kelompok dan sebagainya, (Waston, S.B. 1999). Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka diajukan rumusan masalah, yang diupayakan pemecahannya dalam penelitian ini, adalah: 1. Apakah penerapan pembelajaran cooperative construktivistik dalam perkuliahan biologi sel pada semester ganjil tahun akademik 2010/2011 dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa ? 2. Apakah penerapan pembelajaran cooperative construktivistik dalam perkuliahan biologi sel pada semester ganjil tahun akademik 2010/2011 dapat meningkatkan aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran ? 3. Bagaimana respon mahasiswa terhadap penerapan pembelajaran cooperative construktivistik dalam perkuliahan biologi sel pada semester ganjil tahun akademik 2010/2011 ? Beranjak dari rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar mahasiswa dengan penerapan pembelajaran cooperative construktivistik dalam perkuliahan biologi sel pada semester ganjil tahun akademik 2010/2011.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 2. Untuk mengetahui sejauhmana peningkatan aktifitas pembelajaran mahasiswa dengan penerapan pembelajaran cooperative construktivistik dalam perkuliahan biologi sel pada semester ganjil tahun akademik 2010/2011. 3. Untuk mengetahui respon mahasiswa terhadap penerapan pembelajaran cooperative construktivistik dalam perkuliahan biologi sel pada semester ganjil tahun akademik 2010/2011. LANDASAN TEORI Pembelajaran cooperative merupakan ide lama semenjak abad pertama setelah Masehi, para filosof telah mengemukakan bahwa: “Agar seseorang belajar, dia harus memiliki teman belajar.” Menurut teori ini, dalam pembelajaran cooperative siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit dalam mendiskusikan masalah-masalah tersebut dengan temannya (Slavin, 1995). Dalam kehidupan sehari-hari orang selalu menjumpai masalah masalah. Untuk menyelesaikan masalah-masalah itu perlu mengadakan pendekatan yang tepat dengan mengatur arus pikiran diri sendiri. Pendekatan ini dilakukan dengan cara mengadakan analisa terhadap masalah, melalui analisa itu sampailah kepada suatu pemecahan. Di dalam kelas cooperative mahasiswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang siswa yang sederajat tetapi hiterogen seperti campuran siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan rendah, jenis kelamin dan ras serta saling membantu satu sama lain (Jailani, 2001). Selama belajar secara cooperative siswa tetap tinggal dalam kelompoknya selama beberapa kali pertemuan. Mereka diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya. Seperti menjadi pendengar yang baik, memberi penjelasan kepada temannya sekelompok dengan baik, berdiskusi dan sebagainya. Agar terlaksana dengan baik siswa diberikan latihan-latihan yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang diajarkan dosen dan saling membantu
diantara teman sekelompok untuk mencapai ketuntasannya. Model pembelajaran cooperative memiliki kaitan yang sangan erat dengan model belajar construktivistik. Pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran cooperative bertolak dari suatu asumsi bahwa mahasiswa akan lebih mudah mengkonstruksi pengetahuannya, lebih mudah menemukan dan memahami pemecahan konsepkonsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah yang dihadapinya dengan temannya (Nur, 1996). Dalam pembelajaran cooperative, tujuan dibentuknya kelompok kecil adalah untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk terlibat secara aktif dalam proses berfikir dan kegiatan belajar. Beberapa ciri dari pembelajaran cooperative adalah: a. Setiap anggota memiliki peran. b. Terjadi hubungan interaksi langsung diantara para siswa. c. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya. d. Dosen membantu para siswa untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok. e. Dosen hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan. Metode pembelajaran cooperative memanfaatkan kecenderungan mahasiswa untuk berinteraksi dan memiliki dampak positif terhadap mahasiswa yang rendah hasil belajarnya (Nur, 1996). Selanjutnya Slavin (1995) menyatakan bahwa penerapan model belajar cooperative construktivistik dapat menghasilkan pemikiran dan tantangan pengubahan miskonsepsi mahasiswa. Menurut Piaget (dalam Arend, 2007) perkembangan sebagian besar bergantung pada seberapa jauh pebelajar aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Dalam pandangan Piaget, pengetahuan berasal dari tindakan. Sedangkan adaptasi lingkungan dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Dalam pembelajaran cooperative, dimana upaya-upaya berorietasi tujuan, tiap individu
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 menyumbang pencapaian tujuan individu lain. Mahasiswa yakin bahwa tujuan mereka tercapai jika dan hanya jika mahasiswa lain mencapai tujuan tersebut. Pembelajaran kooperative ini mengharapkan munculnya aktivitas kolaboratif yang dicirikan oleh munculnya positive interdependence untuk mewujudkan individual accountability dan face to face interaction. Oleh sebab itu, pembelajaran cooperative mewujudkan keterampilan kolaboratif termasuk di dalamnya positive interdependence, individual accountability, dan face to face interaction secara berturut-turut melalui teknik-teknik cooperative gole, cooperative incentive, dan cooperative task. Model pembelajaran cooperative dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan pembelajran nyang penting, yakni prestasi akademik, penerimaan akan kenekaragaman dan pengembangan keterampilan sosial (Arends, 2007). a. Prestasi Akademik Meskipun pembelajaran cooperative mencakup berbagai tujuan sosial, namun pembelajaran cooperative dapat juga digunakan untuk meningkatkan prestasi akademik. Para pengembang pembelajaran cooperative telah menunjukkan bahwa struktur cooperative dapat meningkatkan nilai yang diperoleh mahasiswa dan mengubah norma-norma yang sesuai dengan prestasi tersebut. b. Penerimaan akan keanekaragaman Tujuan lain dari model pembelajaran cooperative adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan dan ketidakmampuan. Pembelajaran cooperative memberikan peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling tergantung dengan tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan cooperative akan belajar saling menghargai satu sama lain. c. Pengembangan keterampilan sosial Tujuan ketiga dari pembelajaran cooperative adalah mengajarkan kepada siswa keterampilanketerampilan bekerjasama.
METODE PENELITIAN Subjek penelitian ini berjumlah 50 orang mahasiswa Jurusan PMIPA Program Studi Pendidikan Biologi, yang memprogramkan mata kuliah biologi sel pada semester ganjil tahun akademik 2010/2011. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan yang dilakukan selama 6 minggu efektif yang dijalankan menjadi dua siklus. Tiap siklus terdiri dari 4 tahapan, yaitu tahapan perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan evaluasi, dan tahapan refleksi. Pada siklus pertama diajarkan konsep struktur dan fungsi organella sel yang memerlukan tatap muka enam kali pertemuan. Pada tahap perencanaan, langkah-langkah yang dilakukan adalah: a. menyusun materi ajar biologi sel yang berkaitan dengan struktur dan fungsi organella sel, b. peneliti menyiapkan paket latihan soal, materi kuis, materi post-test, angket respon mahasiswa, dan lembaran observasi aktivitas belajar mahasiswa, c. menyiapkan rancangan pembelajaran dan lembaran kerja mahasiswa sebagai model cooperative construktivistik problem solving, dan d. menyiapkan alternatif kunci jawaban untuk semua jenis tes dalam rangka memberikan feedback atau umpan balik secara sistematis kepada mahasiswa yang dijadikan subjek penelitian. Pelaksanaan tindakan ini dilakukan melalui langkah-langkah: a membuat kelompok mahasiswa yang terdiri atas 4-5 orang perkelompok, b. membagi materi ajar kepada mahasiswa sebelum pelaksanaan perkuliahan, c. Menyampaikan kepada mahasiswa tentang isi materi ajar dan teknik pembelajarannya, d. melaksanakan program pembelajaran struktur dan fungsi organella sel dengan metode cooperative construktivistik serta membagikan lembaran kerja mahasiswa, e. pada setiap akhir pembelajaran, kepada mahasiswa diberikan tugas-tugas latihan soal, dan memberikan kuis, dan g. hasil pekerjaan latihan soal dan kuis setelah dikoreksi, dikembalikan lagi kepada mahasiswa. Selanjut nya pada setiap tapan pembelajaran dilakukan observasi. Observasi dilakukan untuk memperoleh data aktivitas mahasiswa dalam bekerjasama memecahkan masalah belajar
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 dengan menggunakan indikator-indikator, yaitu: 1. interaksi mahasiswa dengan dosen, 2. interaksi mahasiswa dengan materi pelajaran, 3. interaksi antar mahasiswa, 4. kualitas pertanyaan, dan kualitas jawaban dari mahasiswa. Pada tahap berikutnya dilakukan evaluasi pada setiap kali pemberian materi pembelajaran. Evaluasi dilakukan untuk mendapatkan data hasil belajar mahasiswa baik pada kuis maupun pada latihan mengerjakan soal setelah penerapan pembelajaran. Pada akhir siklus dilakukan refleksi terhadap semua kegiatan pembelajaran yang telah diobservasi, maupun yang telah dievaluasi. Refleksi dilakukan atas dasar hasil tes, hasil observasi, dan hasil interviu terhadap kesulitankesulitan yang dialami mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan pada tahap pertama. Selanjutnya didasarkan pada hasil refleksi tahap pertama maka dilakukan perencanaan dan pelaksanaan tindakan pada siklus kedua dari penelitian ini. Pada siklus kedua, diajarkan konsep pembelahan sel dan proses sintesis protein yang juga memerlukan tatap muka sebanyak enam kali pertemuan sesuai dengan silabus. Rincian kegiatan meliputi perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, observasi dan refleksi. Secara umum masing-masing tahap penelitian pada siklus kedua ini, hampir sama dengan kegiatan pada siklus pertama penelitian. Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian tindakan ini dilakukan dengan cara: 1. tes untuk
Hasil Tes Kuis ke-1 Kuis ke-2 UTS-I
mengumpulkan data hasil belajar setiap unit dan setiap siklus pelajaran, 2. observasi untuk mengumpulkan data aktivitas mahasiswa, dan 3. angket untuk mengumpulkan data respon mahasiswa terhadap model pembelajaran yang digunakan. Analisis Data Adapun data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Aktivitas perkuliahan berpusat pada mahasiswa selama memecahkan masalah secara cooperative dengan interaksi belajar secara multiarah dan dinamis dijadikan dasar untuk menganalisis tingkat keberhasilan proses perkuliahan. Keberhasilan belajar mahasiswa didasarkan pada persentase mahasiswa yang memperoleh nilai A dan nilai B lebih besar daripada persentase mahasiswa yang memperoleh nilai C, nilai D, dan nilai E. Selanjutnya kriteria kelayakan pelaksanaan pembelajaran diacu pada persentase jumlah mahasiswa yang memiliki respon positif lebih besar dibandingkan dengan persentase jumlah mahasiswa yang memiliki respon negatif terhadap model pembelajaran yang diterapkan dalam penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tindakan Siklus Pertama Hasil analisis deskriptif data hasil belajar mahasiswa pada siklus pertama yang meliputi hasil kuis dan tes akhir siklus pertama (ujian tengah semester/UTS-I) disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Belajar Mahasiswa pada Siklus Pertama Nilai RataPersentase Jumlah Nilai Mahasiswa rata A B C D 51,50 0,00 18,00 40,00 22,00 63,20 2,00 18,00 38,00 24,00 66,40 2,00 24,00 42,00 20,00
Berdasarkan data dari tabel 1 bahwa nilai rata-rata kuis pertama dan kedua adalah 51,50 dan 63,20; keduanya berada pada kategori cukup dan persentase mahasiswa yang berprestasi
E 20,00 16,00 12,00
rendah dengan memperoleh nilai C, D, dan E adalah 82,00% pada kuis pertama dan 78,00% pada kuis kedua yang berarti kriteria keberhasilan belajar mahasiswa masih menunjukkan belum
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 pertemuan pertama sanpai pertemuan ketiga, terlihat bahwa kualitas kolaborasi, baik dengan dosen maupun sesama mahasiswa masih rendah, mahasiswa lebih terfokus pada interaksinya dengan materi pelajaran, mahasiswa yang mengajukan pertanyaan dan menjawab permasalahan belum kelihatan. Selanjutnya pada pertemuan keempat, peneliti menganjurkan mahasiswa melakukan persiapan yang lebih terfokus untuk melakukan diskusi berikutnya yang lebih efektif, peneliti juga menjelaskan metode pembelajaran yang dimaksud. Pada pertemuan ke empat dan seterusnya, telah terlihat aktivitas mahasiswa yang meningkat ditandai dengan munculnya interaksi yang lebih kondusif antar sesama mahasiswa maupun dengan dosen. Pengamatan pada pertemuan kelima dan keenam, aktivitas mahasiswa lebih meningkat lagi. Hal ini ditandai dari banyaknya jumlah mahasiswa mengajukan pertanyaan dalam diskusi sesama mahasiswa dan jawaban-jawaban mahasiswa yang lebih berkualitas dalam memecahkan masalah, maupun pertanyaan yang diajukan kepada dosen. Dari pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa aktivitas mahasiswa secara kondusif telah mulai tampak pada pertemuan-pertemuan keempat, dan seterusnya pada siklus pertama. Namun, aktivitas kolaboratif mereka masih kurang dan diharapkan lebih meningkat pada siklus kedua.
tercapai (lebih banyak mahasiswa bernilai rendah). Pada pertemuan berikutnya terjadi peningkatan proses pembelajaran dan meningkatnya kadar aktivitas belajar mahasiswa. Peningkatan proses pembelajaran ini terjadi pula peningkatan hasil belajar walaupun belum signifikan. Hasil tes akhir siklus pertama (UTS-I) tampak terjadi peningkatan walaupun masih berkategori cukup, dengan nilai rata-rata 66,40. Selanjutnya persentase jumlah mahasiswa memperoleh nilai A dan B sebesar 26,00% yang berarti masih berada di bawah kriteria keberhasilan, dan nilai C,D,E sebesar 74,00%. Hasil pengamatan pada awal-awal siklus pertama ini, mahasiswa menyatakan kurang bisa mengikuti pembelajaran cooperative problem solving, namun setelah pertemuan-pertemuan ketiga, dan berikut-berikutnya, tampak bahwa mahasiswa mulai menunjukkan respon yang positif tentang pembelajaran ini. Mereka mulai merasakan makna belajar yang sesungguhnya dan mahasiswa merasa termotivasi untuk menyiapkan diri untuk berdiskusi secara kondusif selama pembelajaran. Observasi terhadap aktivitas mahasiswa meliputi 4 indikator, yaitu interaksi individu dengan dosen, interaksi individu dengan materi pelajaran, interaksi antar individu, serta kualitas pertanyaan, dan kualitas jawaban mahasiswa. Berdasarkan pengamatan terhadap aktivitas mahasiswa pada siklus pertama khususnya pada
Hasil Tindakan Siklus Kedua Analisis deskriptif data hasil belajar mahasiswa pada siklus kedua yang meliputi hasil kuis dan tes akhir tindakan disajikan pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Hasil Belajar Mahasiswa pada Siklus Kedua Hasil Tes
Nilai rata-rata
Kuis ke-3 Kuis ke-4
70,50 74,20
A 2,00 4,00
UTS-II
78,70
6,00
Berdasarkan data tabel 2 menunjukkan rata-rata hasil belajar yang dicapai oleh
Persentase Jumlah Nilai Mahasiswa B C D 30,00 38,00 20,00 32,00 16,00 40,00 46,00 38,00 8,00
E 10,00 8,00 2,00
mahasiswa pada kuis ketiga 70,50 dengan kategori baik dan pada kuis keempat adalah 74,20
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 juga dengan kategori baik. Jumlah mahasiswa yang memperoleh nilai A dan B pada kuis ketiga dan kuis keempat pada siklus kedua ini berada pada kriteria cukup. Nilai rata-rata tes akhir siklus (UTS-II) adalah sebesar 78,70 dengan kategori baik dan persentase jumlah mahasiswa yang memperoleh nilai A dan B pada UTS-II ini adalah 52%, jauh lebih meningkat dibandingkan nilai UTS-I pada siklus pertama yaitu 26 %. Fokus utama tindakan pada siklus kedua ini adalah mewujudkan keterampilan kolaboratif mahasiswa. Hasil observasi pada sisklus kedua tampak secara berangsur-angsur muncul keterampilan-keterampilan mahasiswa dalam memecahkan masalah secara kolaboratif. Proses pembelajaran semacam itu tentunya akan bermuara pada hasil belajar yang optimal. Peranan dosen sebagai teman kolaborasi mahasiswa utamanya dalam melayani interaksi mereka, baik secara individual maupun secara kelompok masih tetap diperlukan dalam pembelajaran ini. Berdasarkan respon yang diberikan mahasiswa terhadap pembelajaran cooperative construktivistik ini adalah sebahagian besar mahasiswa merasa senang dan suka terhadap model pembelajaran tersebut. Pernyataan senang mahasiswa dinyatakan sebagaiberikut: 1. Terdorong untuk mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum mengikuti perkuliahan, serta merasa ditantang untuk belajar dengan penuh tanggung jawab. 2. Merasakan interaksi dengan orang lain sangat berguna dalam kehidupan 3. Belajar menjadi lebih ringan sebagai akibat kolaborasi, tanpa terasa masalah dapat terselesaikan secara cepat 4. Mermotivasi menjadi meningkat, terdorong berlatih meningkatkan penguasaan konsep, pemahaman materi menjadi lebih terfokus, dan terasa santai dalam proses pembelajaran di kelas.
KESIMPULAN DAN SARAN
Penerapan model pembelajaran cooperative construktivistik dalam perkuliahan biologi sel di Jurusan Pendidikan MIPA Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Serambi Mekkah pada semester ganjil tahun akademik 2010/2011 dapat mengoptimalkan hasil belajar mahasiswa. Terdapat peningkatan aktivitas mahasiswa yang cukup baik dalam pembelajaran biologi sel dengan penerapan model pembelajaran cooperative construktivistik. Dengan demikian dapat mengoptimalkan proses perkuliahan biologi sel pada semester ganjil tahun akademik 2010/2011. Respon yang diberikan mahasiswa sangat positif terhadap model pembelajaran cooperative construktivistik yang diterapkan dalam perkuliahan biologi sel di Jurusan Pendidikan MIPA Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Serambi Mekkah pada semester ganjil tahun akademik 2010/2011. Saran-Saran Dalam penerapan model pembelajaran cooperative construktivistik hendaknya disusun perencanaan, terutama berkaitan dengan lembar kerja mahasiswa agar dapat disusun secara komprehensif. Tingkat efektifitan pembelajaran masih memerlukan kehadiran dosen sebagai fasilitator, dan pembimbing, oleh karenanya hendaknya menjadi perhatian dosen yang mengajar. DAFTAR RUJUKAN Anderson, R.P. 1988. Collaborative Learning in Biology Debating Ethicsof Recombinant DNA Technology. The Americant Biology Teacher. 53 (7): 203-205. Arend. 2007. Strategi-Strategi Belajar. Surabaya. University Press. Asmawi Zainul dan Noehi Nasution. 1993. Penilaian Hasil Belajar. Ditjen Dikti. Depdikbud, Jakarta.
Kesimpulan
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Bennett, B. 1999. Cooperative learning: Where, what, meet and mind. New York: Holt Rinehart & Winstone. Degeng, I Nyoman Sudana. 1997. Strategi pembelajaran mengorganisasi isi dengan model elaborasi, Malang: IKIP Malang & IPTPI.
Putnam, W.J. 1995,. Cooperative learning and strategies for conclusion: Celeberating diversity in classroom, New York: Holt Rinehart & Winstone. Slavin. R.E. 1995. Cooperative learning, 2nd edition, Boston: Alyn & Bacon.
Degeng, I Nyoman Sudana. 2000. Paradigma baru pendidikan memasuki era demokrasi belajar. Makalah. Disajikan dalam Seminar dan Diskusi Panel Nasional Teknologi Pembelajaran V, 7 Oktober 2000, di Universitas Negeri Malang.
Wahyu Widada. 1998. Aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika SMU yang berorientasi model pembelajaran cooperative tipe Jigsaw. Makalah komprehensif Program Pascasarjana IKIP Surabaya.
Hadi, S. 2004. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi.
Wasto, S.B. and Marshal, J.E.1991. Cooperative Incentive and Group Education modules. Effect on Cognitive Achievement of High School Biology student. Journal of Reaserch in Science teaching. 28 (2); 141-146.
Jailani. 2001. Pengaruh Strategi belajar dengan Peta Konsep Melalui Kerja kelompok Terhadap hasil Belajar biologi Pada SMU Diponegoro Tumpang Malang. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Nur, M. 1996. Pembelajaran cooperative dalam kelas IPA (terjemahan dari Linda Loungren 1994: cooperative learning in the science classroom) Makalah. Disampaikan dalam penyegaran dan pelatihan penelitian bagi guru-guru Pembina KIR SMU, 26 Agustus s.d 7 September 1996, di IKIP Surabaya.
Wijastuti, Asri (2000), Model Pembelajaran Diskusi Kelas Strategi Think-Pair-Share, Unesa Wiyanto, Asul (2000), Seri Terampil Diskusi, Penerbit PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia. Yamin, M. 2007. Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pembelajaran. Jakarta: Gaung Parsada Press.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2
PENINGKATAN PEMBELAJARAN MENULIS DONGENG-DENGAN MENGGUNAKAN IRINGAN MUSIK PADASMP NEGERI I BANDA ACEH oleh Azwani*
Abstrak Dalam kurikulum standar kompetensi (2004), pembelajaran menulis di kelas VIII, standar kompetensi yang diharapkan adalah siswa mampu mengekspresikan berbagai pikiran, gagasan, pendapat, dan perasaan dalam berbagai tulisan. Namun, pada kenyataannya siswa enggan untuk menulis. Umumnya mereka lebih senang membaca tulisan orang lain seperti cerita pendek, cerbung, cergam bahkan dongeng daripada tulisan mereka sendiri. Untuk meningkatkan pembelajaran menulis siswa, maka perlu diciptakan suasana yang mendukung proses pembelajaran. Penggunaan musik akan sangat membantu dan dapat meningkatkan efektivitas, efesiensi hasil pembelajaran menulis. Untuk itu peneliti merumuskan masalah”Bagaimanakah meningkatkan pembelajaran menulis dongeng pada tahap pramenulis, tahap menulis, dan tahap pascamenulis di kelas VIII-1 SMP Negeri I Banda Aceh?” untuk menjawab pertanyaan di atas, peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan iringan musik klasik agar siswa merasa rileks, gembira, dan dapat menulis dongeng tanpa ada paksaan. Proses pelaksanaannya dimulai dengan: (1) menyusun program pembelajaran,(2) menyajikan materi pembelajran, dan (3) menilai proses hasil pembelajaran.Yang menjadi subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII-1 SMP Negeri I
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Banda Aceh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran menulis dongeng dapat lebih meningkat dengan menggunakan iringan musik. Hal tersebut dapat dilihat pada proses dan hasil pembelajaran yang telah dilakukan. Pada penilaian proses pembelajaran, umumnya motivasi siswa baik, kerjasama siswa dalam kelompok aktif, dan respon siswa sangat positif. Begitu juga pada penilaian hasil yang dilakukan terhadap siswa secara kelompok telah menunjukkan hasil yang sangat memuaskan. Semua kelompok telah mencapai nilai 75 ke atas. Kelompok 1 mencapai skor 85, kelompok 2 mencapai skor 90, kelompok 3 mencapai skor 83, kelompok 4 mencapai skor 91, kelompok 5 mencapai skor 85, dan kelompok 6 mencapai skor 84. Bertitik tolak dari temuan penelitian, disaranlan kepada guru Bahasa Indonesia, khususnya guru SMP untuk menggunakan musik sebagai salah satu alternatif tindakan dalam meningkatkan pembelajaran menulis, khususnya menulis dongeng. Kata kunci : Menulis dongeng, iringan musik Menulis dapat didefinisikan sebagai suatu penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat dan medianya. Pesan adalah isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan. Tulisan merupakan sebuah simbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat atau disepakati pemakainya (Suparni, 2002). Menulis merupakan suatu proses menuangkan gagasan pikiran dalam bentuk tertulis. Menurut Moore (1999), proses berpikir memiliki sejumlah esensi, yakni mengingat, menghubungkan, memprediksi, mengorganisasikan, memonitor, mereviu, mengevaluasi, dan menerapkan. Melalui proses berpikir, gagasan yang dituangkan dalam kalimat/paragraf dapat dianalisis kelogisannya. Sebagai proses berpikir, menulis berkaitan erat dengan membaca. Hal ini dapat: (1) dilihat dari segi sebelum menulis diperlukan dari berbagai pengetahuan awal dan informasi yang berkaitan dengan topik yang digarap. Untuk memperoleh dari berbagai informasi yang dibutuhkan tersebut, membaca merupakan sarana yang paling tepat. (2) dilihat dari segi saat setelah menulis, membaca merupakan kegiatan yang tak terpisahkan dengan kegiatan pada tahap perbaikan, penyuntingan, dan publikasi. Dalam kurikulum Standar Kompetensi (2003), pembelajaran menulis kelas VIII standar kompetensi yang diharapakan adalah mampu mengekspresikan berbagai pikiran, gagasan, pendapat, dan perasaan dalam berbagai ragam tulisan. Indikatornya adalah mampu menyunting
karangan sendiri atau orang lain dengan memperhatikan ketepatan ejaan, tanda baca, pilihan kata, keefektifan kalimat, dan keterpaduan paragraf. Dalam hal ini berati, pembelajaran keterampilan menulis memberi kesempatan kepada siswa untuk berkreatif melalui bimbingan dan tuntutan dari guru. Sehingga dengan bimbingan dan tuntunan yang diberikan guru siswa akan terampil menulis sesuai dengan yang diharapkan. Namun, pada kenyataannya siswa enggan untuk menulis. Umumnya, mereka lebih senang membaca tulisan orang lain (cerita atau dongeng) daripada menulis. Hal ini deperkuat dengan pendapat Graves (dalam Suparno, 2002), yang menyatakan seorang enggan untuk menulis karena tidak tahu bagaimana harus menulis, karena tidak tahu untuk apa dia menulis, pendapat ini sejalan dengan penjelasan Badadu (1998), yang menyatakan bahwa rendahnya keterampilan menulis siswa ditandai oleh: (1) frekuensi kegiatan menulis yang dilakukan oleh siswa sangat rendah, (2) kualitas/mutu karya tulis siswa sangat buruk, (3) rendahnya antuasiasme siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia pada umumnya, dan pembelajaran menulis pada khususnya, dan (4) rendahnya kreativitas siswa pada siswa pada saat kegiatan belajar mengajar menulis sedang berlangsung. Dari hasil pengamatan peneliti terungkap bahwa selama ini siswa kurang berminat dalam menulis, mereka lebih senang membaca tulisan orang lain seperti cerita novel, cerpen, cerbung,
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 bahkan cerita dongeng. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk membimbing dan meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis, khususnya menulis dongeng. Dongeng merupakan cerita singkatan mengenai suatu hal yang tidak pernah terjadi, cerita dongeng lahir dari khayalan pengarang semata, tidak diangkat dari suatu kenyataan yang benar-benar terjadi. Biasanya dongeng menceritakan tentang kehidupan makhluk halus, kesaktian dan kekuatan luar biasa, binatang yang pandai berbicara, asal mula terjadinya suatu tempat keramat dengan bermacam-macam peristiwa yang tidak mungkin terjadi, dan sebagainya. Agar pembelajaran menulis dongeng dapat optimal dan menyenangkan maka perlu dicoba suatu pembelajaran yang menggunakan iringan musik sebagai alat bantu proses pembelajaran tersebut. Sebab belajar dengan menggunakan musik yang tepat akan sangat membantu siswa dalam meningkatkan daya ingat. Saat siswa berusaha menulis suatu cerita atau mempelajari suatu materi, siswa secara aktif menggunakan otak kirinya. Sedangkan otak kanannya menganggur, maka biasanya otak kanan ini akan mulai bosan dan mulai mengganggu kosentrasi siswa. Oleh sebab itu, perlu diperdengarkan musik untuk menemani siswa dalam belajar. Otak kanan siswa akan menerima musik itu sehingga pikiran siswa tidak menerawang kemana-mana. Stimulasi yang bersamaan antara otak kiri dan otak kanan inilah yang dikenal dengan istilah whole-brain learning atau belajar dengan seluruh otak (Gunawan, 2004). Konsep pendekatan menulis yang digunakan adalah konsep Graves (dalam Tompkins, 19994:8), yakni: (1) pramenulis, (2) komposisi (penulisan), dan (3) pascamenulis. Pada pramenulis, Penulis memilih topik dan mengumpulkan gagasan untuk penulisan, tahap komposisi berupa kegiatan menuangkan gagasan, dan pada tahap pascamenulis, mereka menunjuk tulisannya (publikasi). Selain itu, untuk dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis, musik secara fenomenal membantu pembelajaran dan untuk
belajar. Musik mampu mengalirkan energi kreatif yang membuat pendengarnya terkejut sekaligus gembira. “musik merupakan suatu aspek penting dalam hidup manusia dan respons kita terhadap musik, tampaknya, sudah terukir dalam otak kita sejak kita lahir” (Gunawan 2004). Menurut peneliti Siegel ahli perkembangan otak (dalam Arini, 2001) mengatakan bahwa musik dapat berperan dalam proses pematangan hemisfer kanan otak, walaupun dapat berpengaruh ke hemisfer sebelah kiri. Efek atau suasana perasaan dan emosi baik persepsi, ekspresi, maupun kesadaran pengalaman emosional, secara predominan diperantai oleh hemisfer otak kanan. Perhatikan gambar otak di bawah ini
Gambar 1. Belahan otak kiri dan kanan (dalam DePorter & Hernacki, 2001) DePoter & Hernacki, (2001) menyimpulkan sebagai berikut:Cara berpikir otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan caracara untuk mengetahui yang bersifat nonverbal, seperti perasaan, dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaan (merasakan kehadiran suatu benda atau orang), kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi. Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional. Sisi ini sangat teratur. Walaupun berdasarkan realitas, ia mampu melakukan penafsiran abtraks dan simbolis. Proses pendengaran musik merupakan salah satu bentuk komunikasi efektif dan memberikan pengalaman emasional. Emosi yang
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 merupakan suatu pengalaman subjektif yang inherent terdapat pada setiap manusia. Untuk dapat merasakan dan menghayati serta mengevaluasi makna dari interaksi dengan lingkungan, ternyata dapat dirangsang dan dioptimalkan perkembangannya melalui musik sejak masa dini (Arini, 2001). Tujuan Penulisan Tujuan penulisan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan pembelajaran menulis dongeng dengan menggunakan musik pada tahap pramenulis, tahap menulis, dan tahap pasca menulis.
Manfaat Penulisan Hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi guru, siswa serta peneliti sendiri. Bagi guru: 1. Dapat digunakan untuk memperbaiki pembelajaran menulis. 2. Dapat meningkatkan pemahaman tentang musik sebagai alat bantu proses pembelajaran. 3. Dapat membantu kreativitas siswa. 4. Dapat membangkitkan semangat siswa dalam belajar. 5. Dapat membuat perubahan mood dan suasana dikelas. Bagi siswa: 1. Merangsang kreativitas dan kemampuan berpikir. 2. Membuat rileks dan mengurangi stres. 3. Membuat kreativitas dan membawa otak pada gelombang tertentu. 4. Merangsang minat belajar, keterampilan motorik dan pembendaharaan kata. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilakukan untuk meningkatkan pembelajaran menulis dongeng dengan menggunakan iringan musik di kelas VIII-1 SMP Negeri I Banda Aceh. Proses pelaksanaannya bersifat kolaboratif partisipatoris yaitu kerjasama antara peneliti dengan praktisi di lapangan. Dalam
hal ini peneliti terlibat langsung dalam (1) menyusun perencanaan, (2) melaksanakan tindakan, (3) observasi, dan (4) refleksi. A. 1.
Data dan Sumber Data Data Penelitian Data penelitian berupa hasil tes, pengamatan, wawancara, catatan lapangan, dan evaluasi. Data ini meliputi data perencanaan, pelaksanaan, dan data hasil. 2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian tindakan kelas ini adalah siswa kelas VIII-1 SMP Negeri I Banda Aceh yang berjumlah 30 orang siswa yang dibagi dalam 6 kelompok. masing-masing kelompok terdiri dari 5 orang siswa.
B.
Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan observasi, wawancara secara terbuka, pencatatan lapangan, dan tes. Observasi dilakukan saat peneliti meneliti dan sekaligus berpatisipasi dalam latar kelas. Peneliti mengamati apa yang terjadi dalam proses pembelajaran dengan berpedoman pada lembar observasi. Wawancara dilaksanakan dengan subjek penelitian pada akhir tindakan. Dari hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dialami siswa ketika proses belajar mengajar sedang berlangsung. Catatan lapangan bertujuan untuk melengkapi data hasil wawancara dan observasi. Catatan ini memuat interaksi siswa dan guru selama pembelajaran sedang berlangsung. Sedangkan tes dilakukan terhadap siswa baik sebelum maupun setelah pembelajaran dilaksanankan.
C.
Pengecekan Keabsahan Data Untuk mengecek keabsahan data dalam penelitian ini, akan dilakukan dengan 3 cara yakni: (1) ketekunan pengamatan, maksudnya
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur yang relevan dengan persoalan yang sedang dicari, dan dilakukan sejak awal pengamatan sampai akhir penelitian; (2) triangulasi, dalam hal ini adalah triangulasi sumber, yaitu dengan membandingkan data hasil tes, observasi, wawancara, dan catatan lapangan; dan (3) diskusi secara intensif dengan guru bidang studi Bahasa Indonesia dan teman sejawat selama sampai akhir pengumpulan data.
D.
Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan model kualitatif dengan langkah-langkah (a) reduksi data; (b) penyajian data; dan (c) penyimpulan data.
HASIL PENELITIAN Tabel 1 Kualifikasi Hasil Menulis Siswa pada Siklus 1 Taha Kriteria Ind Deskriptor p i ka tor
Pra Men ulis
Penentua n Judul
Penulisa n Daftar pertanya an
Men u lis
Pasca Men u lis
Hasil pengemBangan topik
Hasil penyunting
Len gkap Dan Ses uai
sesu ai
Len gKap
Ket e Pata n
-
Tema Minat Pengetahuan Topik
-
Isi cerita Pelaku cerita Latar alur
sesuai tema sesuai topik pengenbangan topik sesuai kehidupan pemakaian tanda baca penulisan huruf kapital penulisan kata keterkaitan antar kalimat
K e lo m p o k 1 2 3 5 5 6
S B
Kualifikasi B C
K
√ √ √ √ √ √
1 2 3 4 5 6
√
1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
√ √
√ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Hasil penentuan judul karangan siswa saat pramenulis, semua kelompok siswa mencapai kualifikasi B (Baik). Hasil penulisan daftar pertanyaan, kelompok 1, 3, 5 dan 6 mencapai kualifikasi B (Baik). Sedangkan kelompok 2 dan 4 hanya mencapai kualifikasi C (Cukup). Hasil pengembangan topik saat menulis, kelompok 1, 2,
dan 4 mencapai kualifikasi B (Baik), sedang kelompok 3, 5, dan 6, mencapai kualifikasi C (Cukup). Hasil penyuntingan siswa pada saat pascamenulis, semua kelompok mencapai kualifikasi C (Cukup).
Tabel 2. Hasil Pensekoran Tes menulis Siswa pada Siklus 1 Skor Kelompok Maks 1 2 3 4 i mun 1. Pengemb. 30 22 23 21 23 Tpk 20 16 16 17 18 30 16 16 16 17 2. Organisasi 3. Tatabahasa 10 6 7 6 7 4. Kosa kata 10 7 7 6 6 5. Ejaan/tanda baca Jumlah 100 67 69 66 71 Tingkat Belu Belu Belu Belu Keberhasilan m m m m Berhs Berhs Berhs Berhs l l l l Komponen
N o 1
2 3
5
6
21 16 16 6 6
22 16 17 7 6
65 Belu m Berhs l
68 Belu m Berhs l
Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil tes menulis siswa belum menunjukkan keberhasilan. Semua kelompok belum ada yang mencapai nilai 75 ke atas. Kelompok 1 mencapai skor 67, kelompok 2 mencapai skor 69, kelompok 3 mencapi skor 66, kelompok 4 mencapai skor 71, kelompok 5 mencapai skor 65, dan kelompok 6 mencapai skor 68. Berarti semua kelompok belum menunjukkan keberhasilan.
Tahap
Pra Menulis
HASIL SIKLUS 2 Tabel 3 Kualifikasi Hasil Menulis Siswa pada Siklus 2 Kriteria Indika Deskriptor Ke Kualifikasi tor lom S B pok B Penentuan Leng- Tema 1 √ Judul kap - Minat 2 √ Dan - Pengethuan 3 √ Ses - Topik 5 √ uai 5 √
C
K
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2
Penulisan Daftar pertanya an
Menulis
Hasil pengemBangan topik
sesuai
LengKap
-
Isi cerita Pelaku cerita Latar alur
-
sesuai tema sesuai topik pengenbangan topik sesuai kehidupan pemakaian tanda baca penulisan huruf kapital penulisan kata keterkaitan antar kalimat
Pasca Menulis
Hasil penyunting
Kete Pata n
-
Hasil penentuan judul karangan siswa saat pramenulis, semua kelompok siswa telah mencapai kualifikasi SB (Sangat Baik) karena keempat deskriptor telah jelas pada tulisan mereka. Hasil penulisan daftar pertanyaan, kelompok 2, dan 4 mencapai kualifikasi SB (Sangat Baik) karena 3 deskriptor yang muncul. Sedangkan kelompok 1, 3, 5, dan 6 hanya 3 deskriptor yang mucul mencapai kualifikasi B ( Baik).
N o 1
2 3
6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Hasil pengembangan topik saat menulis, banyak kelompok 2 yang menunjukkan 4 deskriptor yang muncul, mencapai kualifikasi SB (Sangat Baik), sedang kelompok 1, 3, 4, 5, dan 6 hanya 3 deskriptor yang muncul, mencapai kualifikasi B (Baik). Hasil penyuntingan siswa pada saat pascamenulis, kelompok 2 dan 4 mencapai kualifikasi SB (Sangat Baik) karena semua deskriptor muncul, sedang kelompok 1, 3, 5, dan 6 mencapai kualifikasi B (baik).
Tabel 4 Hasil Pensekoran Tes Menulis Siswa pada Siklus 2 Skor Kelompok Maksi 1 2 3 4 mum 6. Pengemb. Tpk 30 27 28 27 28 7. Organisasi 20 18 18 17 18 8. Tatabahasa 30 25 26 25 27 9. Kosa kata 10 8 9 7 9 10. Ejaan/tanda 10 7 9 7 9 baca Jumlah 10 85 90 83 91 0 Tingkat Berhs Berhs Berhs Berhs Keberhasilan l l l l
Komponen
5
6
27 18 26 7 7
27 17 25 7 8
85
84
Berhs l
Berhs l
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil tes menulis siswa telah menunjukkan keberhasilan. Semua kelompok telah mencapai nilai 75 ke atas. Kelompok 1 mencapai skor 85, kelompok 2 mencapai skor 90, kelompok 3 mencapi skor 83, kelompok 4 mencapai skor 91, kelompok 5 mencapai skor 85, dan kelompok 6 mencapai skor 84. Berarti semua kelompok telah menunjukkan tingkat keberhasilan yang sangat memuaskan.
PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan di depan, dalam bab ini dikemukan simpulan dan saransaran yang berkaitan dengan pembelajaran menulis dongeng dengan menggunakan iringan musik di kelas VIII-1 SMP Negeri I Banda Aceh. A.
Simpulan Cara meningkatkan pembelajaran menulis dongeng dengan menggunakan iringan music pada tahap pramenulis disimpulkan sebagai berikut. Pertama, untuk menentukan judul dongeng siswa berdiskusi dengan teman kelompoknya masing-masing. Kedua, dalam menyusun daftar pertanyaan (5W + 1H), guru bertanya jawab dengan siswa tentang pertanyaan yang akan dibuat siswa, kemudian guru memperdengarkan music kepada siswa dengan volume yang agak keras agar semua siswa berbicara dengan suara yang keras pula. Cara meningkatkan pembelajaran menulis dongeng dengan menggunakan iringan musik pada tahap menulis adalah sebagai berikut. Siswa mengembangkan karangan ke dalam kalimatkalimat dan paragraph sesuai dengan jawaban pertanyaan yang telah dibuatnya. Guru memperdengarkan musick Mozart dengan tujuan agar kedua belahan otak siswa sama-sama berfungsi dan siswa merasa lebih nyaman, rileks dan dapat belajar dengan lebih baik. Cara meningkatkan pembelajaran menulis dongeng dengan menggunakan iringan musik pada tahap pascamenulis adalah sebagai beriku. Pertama, siswa menukarkan hasilkaryanya
dengan teman kelompok lain sambil mendengar musik. Kedua, siswa memeriksa pekerjaan teman kelompok lain sambil mendengar musik agar siswa merasa rileks sehingga dapat merangsang kreativitas dan kemampuan berpikirnya. Ketiga, siswa memperbaiki tulisannya sebagai perbaikan final. B. 1.
Saran Saran kepada guru Bahasa Indonesia Disarankan agar penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran menulis dongeng di SMP. Dalam melaksanakan pembelajaran keterampilan menulis, kepada guru pendidikan Bahasa Indonesia hendaknya dapat memperhatikan beberapa hal, yakni (a) membiasakan siswa belajar dalam kelompok agar siswa dapat bekerja sama, saling berkomunikasi untuk menyatukan ide-ide mereka, (b) menghidupkan musik sebagai latar belakang saat siswa melakukan diskusi, (c) membimbing siswa yang mengalami kesulitan dalam menulis dengan menggunakan teknik dialog, (d) mengarahkan siswa dalam mengoreksi pekerjaan temannya. 2.
Saran kepada Guru lain Disarankan kepada guru yang lain agar dapat mengaplikasi manfaat praktis dari penelitian ini, dan mencoba menggunakan music sebagai salah satu alternative untuk meningkatkan kreativitas siswa dalam belajar. DAFTAR PUSTAKA Arini,
Sri Hermawati Dwi. 2001. Musik Merupakan Stimulasi Terhadap Keseimbangan Aspek Kognitif dan Kecerdasan Emosi. (online), (http://www.depdiknas.go.id/jurnal/30, diakes 9 Juni 2006)
Badadu, J.S. 1998. Pengajaran Bahasa Indonesia Di SLTP. Jakarta: Balai Pustaka. DePorter Bobbi & Hernacki Mike. 2001. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Gunawan, Adi W. 2004. Genius Learning Strategy. Jakarta: PT Gramedia. Henono. 2004. Quantum Writing. Bandung: MLC. Kurikulum 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Pappas, C. K. Kiefer, Z. Barbara, Levstik, S. Linda. 1996. Integrated language Approach in the Elementary School. New York: Longman Publishers.
Suparno dan Yunus. 2002. Keterampilan Dasar Menulis. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka Januari 2002. Syafe’ie, Imam. 1998. Retorika dalam Menulis. Depdikbud Direktorat Pendidikan Tinggi. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Tompkins, G. E. 1994. Teaching Writing Balancing Process and Product. New York: Macmullan College Publishing Company.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2
Video in Listening Comprehension Test : Is It Valid, Reliable And Practical Enough ? by Muhammad Aulia Abstract Karya ilmiah ini mengulas tentang penggunaan video (media visual) dalam tes pemahaman mendengar. Masih banyak perdebatan terhadap medium ini meskipun semua pihak mempercayai dengan kuat bahwa membawa komunikasi kehidupan nyata dalam pendidikan bahasa adalah sebuah indikator kesuksesan untuk memperlancar perkembangan positif dari pembelajar bahasa. Metode yang digunakan adalah “Test Usefulness” (Daya Uji Tes) yang merupakan sebuah kerangka konseptual sintesis untuk menentukan validitas, reliabilitas, kepraktisan, keaslian, etika dan profesionalitas yang berhubungan terhadap tes tersebut. Tiada jawaban akhir dihasilkan dari tulisan ini untuk memutuskan apakah multimedia ini adalah cara yang terbaik untuk menyajikan fitur – fitur bahasa dan untuk menilai kemampuan peserta uji dengan baik. Meskipun begitu, paling tidak, karya ini menguji media tersebut dan mengangkat beberapa aspek yang harus dipertimbangkan demi perbaikan metode pengujian dan penilaian pendidikan bahasa di masa depan. Key words : Listening Comprehension Test, Valid, Reliable
Language testing and assessment has been growing as an influential field to the advancement of language learning and teaching activities through innumerable scientific studies. It is believed as a determinant field for the improvement of language learning and teaching theoretically, methodologically and technologically (Bachman, Modern language testing at turn of the century: Assuring that what we count counts, 2000). For example, in theoretical viewpoint, the shift from traditional language skills and methodologies to contemporary ones - such as communicative competence – affects the use of integrative points rather than discrete points of assessment approach. Similarly, in methodological standpoint, the use of performance test is preferable in light of the shift of language model theory. Similarly, it is noticeable that a gradual change from norm reference to criterion reference that never intends to compare one language learner to others, but to achieve criteria that are already set as indicators or learning objectives. Next, another implication is the acceptability of qualitative method assessment such as discourse analysis for writing, observation and
conversational analysis for speaking. More interestingly, the effect of technology leads this field to innovate the practices of language testing and assessment process by computer and multimedia. Some instances are the use of computer assisted language testing (CALT) in form of computer based assessment in light of the popularity item response theory (Dunkel, 1991) and the use of video for listening comprehension test (Gruba, A comparison study of audio and video in language testing, 1993). Those are several facts that language testing and assessment is still trying to achieve an ideal test in terms of practical procedure for quality control in the design (focus on theoretical components), development (methodological components) and use (technological components). In reality, the use of technology is undoubtedly inseparable from the recent development of language testing and assessment in practical advances. Nevertheless, one question arises is which technology refers to. Mostly, people use the term of technology and multimedia interchangeably. This brings confusion as nowadays there are many
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 varieties of technology. To narrow down, technology can refer to firstly computer based assessment (CALT), it is the delivery and the procedure of language testing process done by computers such as computer-based test (CBT) of English as foreign language. Or secondly, multimedia that is specified solely into the medium of language testing delivery such as the use of video to listening comprehension because the test-takers are still using paper and pencil test as the test method. Without having any purpose to distract the object of discussion, this paper narrows down the term of multimedia to the latter definition to examine some crucial issues of the use of video in listening comprehension assessment. Method The approach of discussion starts from some pros and cons why such medium is used along with some findings of empirical researches. In turn, all ideas of the use of video in listening comprehension then will be examined by a method of test usefulness to the quality of validation, reliability, practicality, authenticity, ethics and professionalization related to the test. Throughout discussion, it will be clear that the use of video is acceptable to be used scientifically as long as it fulfils the criteria and it is aware of essential components that generated from the facets and the test usefulness framework. It is undeniable that there still needs further investigations to the development of practical advances in language test and assessment especially for the use of video in a listening test. The Debates Of The Use Of Video In Listening Comprehension One major reason why the use of video is encouraged massively in listening comprehension is underpinned by the real-life communication. Nowadays, it is hardly easy to communicate and perform the listening skill with one sense without visual sense. For example, when we are using English to interact or when we are eliciting information from TV, we use both of senses. It means that the contact of visual sense and aural sense can not be demarcated in real-life communication (Progosh, 1996) . Moreover, the use of video has been mushrooming in pedagogical practices. Communicative language teaching and learning has
proven that the use of video can accelerate the understanding of learners to the real use of language (Warschauer, 2002). The multimedia is used to provide some actual strategies or clues in forms of non-verbal communication to understand the contextual use and discourse (Altman, 1990), pragmatic competence to enrich the learners cognitive of the dynamic of interaction from paralinguistic features such as gestures and rhythm, etc (Secules, T.,Herron,C.,Tomasello,M., 1992). It seems that the use of video can facilitate the learners to predict the meaning interpretation of language use. In addition to that, from the view point of sociolinguistic, the language variation awareness of learners can rise accordingly (Holmes, 2008). The learners will realise that there are various dialects and accents of the target language. In second language acquisition, video can give a distinctive experience for empowering the learners to practicing meaning negotiation and gives more interaction models besides peer and teacher interaction model (Terrel, 1993). As a result, the advantages of video in language learning and teaching activities tend to lead the use of video in language testing and assessment. However, there are also some cons of the use of video in language testing and assessment. One underlying reason is that the use of video does not stimulate the understanding of the specific text (Baltova, 1994). It means that when a specific text brings a meaning in actual conversation, the meaning often deviates due to another influence of sense (visual sense). In other words, the test-takers will be risky to predict the meaning from visual image. Elsewhere, more crucially, the focus of attention of test-takers to deal with this particular design of test is highly required. The test-takers have to be a multitask player who must be accustomed to concentrate on two mediums concurrently. Probably, the testtakers will feel that the presence of media is not quite helpful, or even becomes a distracting focus element. Moreover, when the test-takers have to look up and look down continuously due to lack of test design setting (Gruba, A comparison study of audio and video in language testing, 1993). It is undeniable that complication in the quality of test is one fundamental reason to reject the use of video in listening comprehension test. It is widely known that it is unrealistic that the skills want to
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 measure in listening test with only audio have the same characteristics as in listening test with both audio and video. Each test must have different procedures and technical supports to ensure the quality of the test. Nevertheless, complication can not be a barrier for the development of language testing and assessment. The complication invites the attention of researchers who are interested in this field. Gradually, the findings of empirical studies reveal and approach to strengthen the role of video in listening comprehension test. One of framework that will be used on this paper is the test usefulness. Test Usefulness Test usefulness is a synthesis framework in language testing and assessment that tries to evaluate whether one type of test is useful regardless its complication, challenges, facets in order to achieve the ideal form of quality of the test itself (Bachman, L.F. and Palmer, A.S., 1996). This framework is also intended to formulate a type of test that is more accessible to test design, development and its use following the new era where technology can not be separated from pedagogy and real life interactions. It means that this framework is suitable for finding a meeting point where the demand of technology can be accommodated with the use of video in language testing assessment. The first criterion to evaluate the usefulness of video to measure listening skill is the validation of test. The validation of test is “the investigation of a test quality through inferences” (McNamara, 2000, p. 10). The inferences are created by building a unitary correlation between the construct of the test regarding what target measurements are and how they are measured regarding the process of test-taking itself (procedure, mechanism, etc). It refers back to the nonsense similarity of target measurement skills between the listening comprehension test with only audio and the test with additional visual image aid. Rubin (1995) states that listening skill is “An active process in which listeners select and interpret information which comes from auditory and visual cues in order to define what is going on and what the speakers are trying to express” (Gruba, 1997, p. 338). This definition clearly shows that video has a significant role for the test. Automatically, it also
shows that the definition of skill also changes due to the use of video in the test. In turn, the target measurement also covers not only discrete point (paraphrase recognition) and integrative testing (acquire relevant information) but also communicative testing that include the attitudes of models in video (pragmatic behaviours) and paralinguistic features or non-verbal communication (Weir, 1993). Similarly, one item of target measurement in listening is that assessing the ability of test-takers “to decipher meaning from facial expression, body language, kinetics and non-verbal expression” (Brown, 2004, pp. 121-122). It means that this test must also measure the visual cues besides the auditory cues. Most importantly, the congruency of theory of listening skill and target measurement specifications must be generated into the test items. Another question in the validation of test is how the target measurements are measured. It is related to the test method features because these test method features are the basic orientation of a testtaking process. They are also analysed to be indicators whether the test can establish a strong correlation between the test result and the truly performance of test-takers (Bachman, 1995). If the analysis finds that there are somehow facets in the test, the errors must be alleviated by a systematic control of the test method features. In language testing and assessment, facet is defined as the factors that affect the performance of test-takers before, during and after a test-taking process. Regarding the use of video in listening comprehension, one of the facet is the testing environment in which the familiarity of equipment is one consideration. In other words, when video is used in listening comprehension test, the test design must be aware of the familiarity of test-takers to the test. The test-takers must be informed and prepared in advance that the video will provide audio-visual information to the test-takers to deal with the test items that assess the test-takers’ ability in listening skills. Similarly, in the facet of rubric, the procedure of response to the video is essential to lead the testtakers strategically and concurrently answer the test items during their focused attention to the video. It must be very clear that where the instructions are
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 given (on paper test or on video), otherwise the testtakers will miss and never acquire any relevant information to answer the test items. Furthermore, as video is a sort of input in this particular context, the test design must be aware of the settings of the test-taking. It is regarding with the visual distance between the video equipment and the participants to ensure the clarity, the volume, and many other technical management. It is impossible to use a video for listening test with a unit of TV for 30 test-takers. On the test item itself, in the facet of expected response, the type of responses may influence significantly to the test. The test has to choose wisely whether a selected response or a constructed response is expected from the test-takers. The consideration may stem from the congruency between the responses and the skills that to measure. Another, the restriction of response itself whether it is fair enough to give a long video to answer a set of 10 questions of listening comprehension compared to the availability of time and the tasks that test-takers have to face to answer the test items. The implications could be that the test examines the memory power of the test-takers at the expense of the validity of test. There are many other critical constructive issues that may arise to alleviate the facets of test method in the use of video in listening comprehension. These aspects must be accounted for this kind of test through a systematic control so that the test can reduce the erroneous factors that considerably affect the test. Throughout its development, indeed, there are many researches have proven scientifically that video can be used for listening comprehension in condition that a great endeavour to avoid the facets is absolutely-required. In concise, the quality of test validation is concerning how to establish a congruency between the generation of nature of language skill and target measurements on test items, and how to control the facets through test-taking process. It means that the use of video in listening comprehension test is acceptable as long as it has such quality of test validation. The second criterion of test usefulness is the reliability and the practicality of the test. It means that the use of video in listening comprehension test must not be treated vigorously at the expense of the test
reliability and practicality. There are two findings that strengthen this particular test in reliability and practicality, namely the control of input and the convenience respectively (Gruba, 1993). The control of input means that the video can accommodate and facilitate the generation of target measurements in response to the purpose of the test. It also means that the video can be designed to represent all aspects of skills. Moreover, the generation of construct of the test on the video can gradually have improvement as it can be modified, restored and archived safely in computer database. It is also transportable from one place to another place. However, the use of video in listening comprehension test also has a drawback. For instance, it is truly-believed that the production of video is more practical and more effective, but it is also requires higher budget than to use only audio in the test. Moreover, in setting of test-taking environment, where the number of TV or monitor must be equal to the number of test-takers. It means that this kind of test must have strong infrastructure such as monitors and video players. Another fundamental issue to consider in the particular test is the authenticity of the test. An authentic test is a test whose both test materials and test conditions has succeeded to achieve a real communication situation of the target language. In other words, the test must approximate the real life language interaction. There are two kinds of authenticity, namely interactional authenticity and situational authenticity (Chapelle, C.A. and Douglas,D., 2006). For the former, the use of video is likely to be an effort to reach it. Nevertheless, it is still weak compared to the live presentation as live presentation can be reciprocal and adaptive as the result of interaction between input and response. Meanwhile, for the latter, the use of video is better than its counterpart. The reason is the setting and the content of video can represent the real life of the target language situation. Moreover, the test-takers’ attitude to the video is positive due to the preparation of the test-takers to fulfil the validation of test. The test usefulness framework does not only focus on internal factors of the test, but also external factors related to the ethics of the test and the professionalization of the test. In ethics of the test, it
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 is better that the language test designers concern the consequences of the language test use. Likewise, the test-takers must also understand the impact of the test to themselves as a test is produced to judge and it can be very dangerous (Spolsky, 1981). One implication of the use of video in the test can be a great barrier to those who have trivial problems with their visual senses. Moreover, the contents of the test are predominantly aim to elicit information from visualisation. In fact, they can use the target language proficiently. Another, when test-takers are sitting the test with audiovisual media while exercising their listening comprehension at school by only audio. As a matter of fact, their schools have quite different context of socio-cultural economical situations, such as lack of infrastructure and low social class society. In connection to professionalization, all people who are related to the process of decision making, design, development, use of the test must be aware that they must abide by a code of guidelines (ethical conduct or operating procedure) so that the test can achieve the expected degree quality. There is a strong connection between the minimum impact, the appropriateness of language test and the ethical behaviour of professional language testers in order to produce a qualified and useful language test (Stansfield, C. W., 1993). Moreover, the use of technology in language testing urges a delicate matter relating to the collaboration of professionals; applied linguists, information and technology experts, and others. Continuous training system and development of standards of practice and mechanism for this kind of test can be good ideas (Davies, 1996). If the ethics and the professionalization becomes the mainstreaming issue of the use of video in listening comprehension test, the test can be acceptable by society and other professionals from different fields. In turn, this particular test builds its own credibility and accountability. Conclusion It is inevitable since it was introduced in language testing assessment the use of video in listening comprehension still leaves some pros and cons. Some pros are the use of video in pedagogy and the ability of video to bring salient pragmatic competence and paralinguistic features of the video, whereas the cons are the distractions that happen due
to video and the inability of video to avoid the ambiguity of interpretation. This paper does not aim to be partial and agree completely that the use of video is totally wrong due to the complications appear. At least, this paper believes that the use of video is inevitable because of the influence of globalisation that affects pedagogy, real life interaction with the target language. Therefore, the paper proposes a framework of test usefulness to raise some challenges and issues, namely the validation (The congruency of theory of listening skill and target measurement specifications must be generated into the test items), the facets (what are the facets and how to control of the test), the reliability and practicality, the authenticity, and more social cultural political perspective with ethics and professionalization of the test in light of previous critical weak findings on the test. The framework of test usefulness can formulate a qualified language test. In short, this paper strongly believes that when all challenges can be reduced with a conscious awareness by further investigation by empirical either qualitative or quantitative research along with following up actions (practical procedure for quality control in the design, development and use of the test), the use of video in listening comprehension test becomes acceptable scientifically and socially. References Altman, R. (1990). Toward a new video pedagogy: The role of schema theory and discourse analysis. IALL Journal of language learning technologies , 27, 11-26. Bachman, L. (1995). Fundamental considerations in language testing. Oxford: Oxford University Press. Bachman, L. (2000). Modern language testing at turn of the century: Assuring that what we count counts. Language testing , 17 (1), 1-42. Bachman, L.F. and Palmer, A.S. (1996). Language testing in practice: designing and developing useful language tests. Oxford: Oxford University Press.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2 Baltova, I. (1994). The impact of video on the comprehension skills of core french students. Canadian Modern Language Review , 50, 507523.
Holmes, J. (2008). An introduction to sociolinguistics (3rd ed.). Harlow, England: Pearson Longman. McNamara, T. (2000). Language Testing. Oxford: Oxford University Press.
Brown, J. (2004). Language assessment: Principles and classroom practices. Longman. Chapelle, C.A. and Douglas,D. (2006). Assessing language through computer technology. Cambridge: Cambridge University Press. Davies, A. (1996). The role of a segmental dictionary in professional validation: constructing a dictionary of language testing. (R. Cumming and Berwick, Ed.) Validation in language testing , 222-35. Dunkel, P. (1991). Computer-assisted language learning and testing : Research issues and practice. New York: Newbury House. Gruba, P. (1993). A comparison study of audio and video in language testing. JALT Journal , 15, 85-88.
Gruba, P. (1997). The role of video media in listening assessment. System , 25 (3), 335-45.
Progosh, D. (1996). Using video for listening assessment: Opinions of test-takers. TESL Canada Journal , 14 (1), 34-44. Secules, T.,Herron,C.,Tomasello,M. (1992). The effect of video context on foreign language learning. Modern language journal , 76, 480-90. Spolsky, B. (1981). Some ethical questions about language testing. In C. a. Klein Braley, Practice and problems in language testing (pp. 5-21). Frankfurt: Peter Lang. Stansfield, C. W. (1993). Ethics, Standards, and professionalism in language testing. Applied Linguistics , 4 (2), 15-30. Terrel, T. (1993). Comprehensible input for intermediate foreign language students via video. IALL Journal of language learning technologies , 26 (2), 17-23. Warschauer, M. (2002). A developmental perspective on technology in language education. TESOL Quarterly , 36 (3), 453-475.
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Maret 2011, Volume 9 Nomor 2
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh
Strategi dan Hambatan Penerapan Qanun Khalwat dalam Pencegahan Prilaku Khalwat pada Remaja Kota Banda Aceh Abubakar dan Anwar (68 – 90) Strategi Guru dalam Membina Siswa yang Bertingkah Laku Menyimpang Akhyar Peranan Kepemimpinan dan Partisipasi Masyarakat Terhadap Lembaga Pendidikan A. Jabar
(92 – 99)
(100 – 106)
Kompetensi Pedagogik Guru Biologi yang telah Lulus Sertifikasi di SMA Negeri Kota Banda Aceh Hasanuddin dan Cut Nurmaliah (108 – 121) Pelaksanaan Perkuliahan Biologi Sel Melalui Penerapan Model Pembelajaran Cooperative Construktivistik Jailani (122 – 125) Peningkatan Pembelajaran Menulis Dongeng dengan Menggunakan Iringan Musik pada SMP Negeri I Banda Aceh Azwani (126 – 134) Video in Listening Comprehension Test : Is It Valid, Reliable And Practical Enough ? Muhammad Aulia
(135 – 140)
Drs. Abubakar, M.Si * dan Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis I Dpk pd FKIP USM Banda Aceh