BUTA AKSARA VERSUS BUDAYA MEMBACA Kholid A.Harras Saat diadakan Sosialisasi Program Pemberantasan Buta Aksara di Solo tanggal 18 Desember 2005 yang lalu, Sekjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas, Ace Suryadi menegaskan Depdiknas menargetkan angka buta aksara bangsa ini bisa diturunkan hingga tinggal 50%, dari 15.414.211 orang menjadi 7.707.105 orang pada akhir tahun 2009 nanti (sementara dalam kesempatan yang sama angkanya menurut Mendiknas sekira 14,8 juta orang, sedangkan versi LIPI, sekira 6,7 persen dari 220 juta jiwa total jumlah penduduk Indonesia). Untuk itu Ace menargetkan setiap tahun direktoratnya akan memelekkan 1,5 juta penderita buta aksara. Dengan demikian, pada akhir 2009 diperkirakan angka buta aksara di Indonesia tinggal separuhnya atau sekira 10 persen lagi Sebagai gambaran pada tahun 1996 jumlah buta aksara di Indonesia tahun masih sekitar 16 persen. Saat ini gerakan pemberantasan buta aksara masih difokuskan pada sembilan provinsi. Yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Papua, NTB, Kalimantan Barat, NTT, dan Banten. (www.mediaindo.co.id.) Jika pernyataan
Dirjen PLS, Mendiknas dan LIPI bisa kita pegang, ini merupakan
sebuah prestasi yang cukup luar biasa dalam hal mengentaskan penduduk buta aksara, mengingat jumlah penduduk di negeri ini yang telah dan akan melek huruf telah lebih dari 200 juta orang. Pencapaian tersebut sungguh istimewa. Karena rata-rata di negara berkembang lainnya jumlah penduduk yang masih hanya sekitar 69 persen dari total jumlah penduduknya. Dengan besarnya persentase
masyarakat kita yang telah melek huruf tersebut,
sebagaimana lazimnya yang terjadi di banyak negara, maka asumsinya persentase kebutuhan masyarakat kita terhadap bahan-bahan bacaan pun seharusnya berkorelasi signifikan. Logikanya, semakin banyak orang yang bisa membaca maka jumlah bahan bacaan yang dihasilkan pun menjadi meningkat. Akan tetapi anehnya dalam kenyataannya tidaklah demikian. Berdasarkan data SRI persentase akses masyarakat terhadap koran hanya 2,8 persen. Tahun 1999 saja, rasio jumlah penduduk dengan surat kabar di Indonesia hanya 1 : 43 alias satu surat kabar dibaca oleh 43 orang. Bandingkan dengan Malaysia (1 : 8,1), Jepang (1 : 1,74), serta India (1: 38,14). Begitu pula halnya dengan buku. Jumlah buku baru yang diterbitkan di negeri ini hanya 0,0009 persen dari total penduduknya. Artinya, sembilan judul buku baru untuk setiap sejuta penduduk. Padahal menurut standar Unesco, seharusnya di negara berkembang sebanyak 10 persen atau 55 per satu juta penduduk dan di negara-negara maju di atas 30 persen atau 513 judul buku baru setahun untuk setiap sejuta penduduknya (Daniel Dhakidae, 1997;187). Kemudian di negeri ini pun sebuah buku terbitan domestik dengan tingkat penjualan di atas 75 ribu eksemplar
dalam setahun, sudah dianggap larismanis alias buku dengan predikat bestseller. adahal di negaranegara lain ukurannya harus di atas jutaan eksemplar. Sebagai contoh misalnya buku-bukunya J.K.Rawling. Konon bukunya yang terbit pada 21 Juni tahun lalu , Harry Potter and the Order of the Phoenix cetakan perdana berjumlah 6,8 juta eksemplar! Begitu pula dengan aktivitas bangsa ini dalam mengunjungi tempat-tempat galeri ilmu. Menurut Pimpinan Perpustakaan Nasional, Hernandono, konon jumlah penduduk Indonesia yang mau mengunjungi perpustakaan hanya satu persen saja. Memang harus diakui secara umum kondisi perpustakaan di negeri ini, baik perpustakaan umum maupun perpustakaan sekolah masih sangat jauh dari memadai. Seorang teman dengan nada kelakar menggambarkannya “lebih luas gedung serta lebih banyak rak bukunya dibandingkan dengan jumlah buku yang dimilikinya”. Masih menurut data Perpusnas, konon dari sekitar 70.000 desa dan 9.000 kecamatan yang ada di Indonesia, tak lebih dari setengah persen yang sudah memiliki perpustakaan standar. Sedangkan dari sekitar 316 Daerah Tingkat II yang memiliki baru 70 persen yang memiliki perpustakaan standar. Bagaiamana dengan perpustakaan sekolah? Ternyata masih belum beranjak dari kata memprihatinkan. Dari sekitar 200.000 jumlah SD kita, diperkirakan cuma satu persen yang memiliki perpustakaan standar. Sedangkan dari sekitar 70.000 unit SLTP, hanya 36 persen yang
memenuhi standar. Dan dari sekitar 14.000 unit SLTA, hanya 54 persen saja yang
mempunyai perpustakaan standar. Sementara di perguruan tinggi yang nota bene merupakan centre of excelence, dari sekitar 4.000 PT yang kita miliki hanya 60 persen saja yang memiliki perpustakaan standar. Mengapa kondisinya menjadi tidak berkorelasi signifakan seperti itu? Faktor-faktor apakah yang telah menjadikan seolah-olah terjadi kontradiksi antara melek huruf di satu sisi dengan budaya membaca disisi lain, yang dalam hal ini diparameteri oleh bertambahnya jumlah buku dan media teks lainnya? Lebih kongkretnya, mengapa banyak orang Indonesia yang bisa membaca tetapi belum (tidak?) suka membaca?
Masyarakat yang aliterat Dalam terminologi studi membaca, masyarakat yang bisa membaca namun memilih untuk tidak membaca tersebut disebut aliterat (sedangkan yang buta huruf disebut illiterat dan yangsudah berbudaya baca masyarakat yang literat). Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab mengapa suatu kelompok masyarakat yang bisa membaca, tapi jarang, bahkan tidak pernah mempraktikkan kemampuan membacanya. Karena faktor-faktor yang mempengaruhi minat membaca itu cukup kompleks. Misalnya akibat langkanya bahan bacaan, susah mengakses
bahan bacaan, atau karena sebagian besar waktunya digunakan untuk pekerjaan teknis yang melelahkan. Meskipun demikian dilihat dari perspektif pendidikan membaca ada sejumlah hipotesis yang dapat menjelaskan terjadinya kondisi masyarakat aliterat tersebut. Salah satunya misalnya karena tradisi kelisanan (orality) masih merupakan bottle neck dalam kantong memori linguistik mereka. Seperti kita tahu secara historis-kultural masyarakat kita mengantongi warisan budaya lisan yang hampir memfosil. Hampir berabad-abad lamanya prilaku komunikasi masyarakat kita lebih banyak berlangsung dalam tataran lisan yang serba melisan (omong-dengar) ketimbang tradisi baca-tulis. Tradisi literasi sendiri konon baru dikenal secara terbatas oleh bangsa kita mulai sekitar paruh abad VIII, sebagai akibat persentuhannya dengan agama serta kebudayaan Hindu, Budha kemudian Islam. Itu pun hanya terbatas pada sekelompok kecil masyarakat tertentu, yakni pada kalngan elit istana serta kaum agamawan. Kemudian pada sekitar paruh abad XIX aktivitas bacatulis tersebut mulai dikenal (juga masih secara terbatas) pada sebagian besar masyarakat elit priyayi sebagai akibat didirikannya lembaga persekolahan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai pengejawantahan dari politic etic-nya. Dan baru setelah bangsa ini merdeka mendirikan persekolahan kegiatan membaca dan menulis mulai menyentuh secara lebih luas pada masyarakat umum. Namun belum lagi berkembang penuh dan merasuk budaya baca ini, sudah datang pula teknologi informasi baru yang lebih menggoda. Mulanya adalah radio, televisi, dan kini yang paling mutakhir adalah Internet. Akibat gempuran budaya ini meminjam istilah Taufik Abdullah, telah membuta corak baru tradisi lisan (new kind of orality), atau, dalam istilah Ignas Kleden, kelisanan sekunder (secondary orality). Dalam tradisi baru lisan atau kelisanan sekunder ini kemampuan baca dan tulis tidak begitu dibutuhkan lagi, karena sumber informasi lebih bersifat audio-visual. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia mengalami lompatan dari kelisanan primer ke kelisanan sekunder, dengan melangkahi budaya baca-tulis. Karena corak lama tradisi lisan belum terkikis benar oleh budaya baca-tulis, maka tawaran corak baru tradisi lisan yang disuguhkan media informasi elektronik, utamanya televisi, jauh lebih "merangsang" dan memiliki daya tarik yang lebih kuat. Jadi perkenalan masyarakat kita dengan kegiatan membaca dan menulis memang masih belum lama. Padahal untuk mengubah tradisi lisan menuju tradisi literasi membutuhkan waktu yang lama. Konon masyarakat Eropa membutuhkan waktu kurang lebih dua abad lamanya untuk mengubah masyarakatnya dari budaya lisan menuju budaya literasi, yakni dimulai dari jaman renesans yang kemudian dilanjutkan jaman industrialisasi.
Begitu pula dengan proses
terbentuknya tradisi literasi masyarakat Jepang konon membutuhkan waktu hampir satu abad lamanya, yakni dimulai sejak pencangan Restorasi Meiji. Hipotesis lainnya –ini yang cukup menarik sekaligus ironis--
penyebab rendahnya
aktivitas litearsi masyarakat kita karena kehadiran lembaga-lembaga persekolahan formal kita yang seharusnya merupakan institusi penjebol dominasi tradisi lisan ternyata dalam praktiknya disinyalir justru berbalik menjadi penguat semakin suburnya tradisi tersebut. Dengan perkataan lain
sistem persekolahan kita masih belum berhasil membentuk masyarakat yang literat
(berkebudayaan baca-tulis), tetapi baru sekedar mampu menghasilkan masyarakat yang aliterat, yakni masyarakat yang bisa membaca dan menulis, tetapi tidak menjadikan kedua hal itu sebagai bagian dari tradsi hidupnya. Mengapa gambarannya paradok semacam itu? Ada beberapa faktor yang diduga sebagai penyebabnya. Pertama, dunia persekolahan kita dianggap masih belum memberikan peluang yang cukup bagi hadirnya tradisi literasi. Sebagaimana kita ketahui hampier semua aktivitas para peserta didik kita bersekolah dari mulai TK hingga PT semuanya nyaris berjalanan dalam bentangan kelisasnan. Interaksi maupun proses belajar-mengajar yang dilakukan oleh para guru di dalam kelas misalnya, pada umumnya lebih banyak berlangsung dalam tataran yang serba melisan( guru bicara dan siswa atau mahasiswa menyimak) tinimbang dalam tataran keberaksaraan. Masih sangat sedikit guru yang secara sungguh-sungguh menjadikan aktivitas membaca
buku dan menulis sebagai
sumber acuan atau sebagai frame of reference
pembelajarannya. Sehubungan dengan kondisi tersebut kembali ada sebuah anekdot yang mengatakan bahwa untuk dapat sukses belajar di lembaga-lembaga pendidikan ini, termasuk di PT sekalipun tidak usah si murid atau mahasiswa memiliki kemahiran membaca yang mumpuni serta banyak membaca, apalagi memiliki banyak buku. Tetapi cukup rajin datang ke sekolah atau kampus kemudian menjadi pendengar yang baik saja. Sebab bukankah transfer ilmu yang dilakukan oleh sang guru atau dosen pun bukan bersumber dari dari buku melainkan dari omongan-omongannya yang disampaikan secara lisan? Jadi dengarkan saja baik-baik semua yang diomongkan oleh guru atau dosen tersebut, pasti tidak akan jauh dari sekitar yang diomongkannya di dalam kelas itulah hal-hal yang akan ditanyakannya ketika ujian. Selain itu untuk menjawab soal-soal ujian pun juga tidak harus banyak membaca. Sebab bukankah jenis soal-soal yang diberikan pun pada umumnya lebih banyak berupa pilihan ganda (multiple choice) yang alternatif jawaban-jawabannya sudah tersedia? Sejauh mana kebenaran dari hipotesis-hipotesis tersebut, tentunya masih harus dibuktikan lewat penelitian. Yang pasti, upaya menghadirkan minat baca seseorang, terlebih menjadikannya
sebagai bagian dari tradisi masyarakat atau bangsa memang bukan persoalan sederhana. Sebab sebagaimana dikemukakan
dalam banyak literatur , faktor-faktor yang menggayuti minat
membaca ini memang cukup kompleks. Selain bergayut dengan aneka faktor psikologis, juga bergayut dengan faktor-faktor sosiologis, bahkan politis. Oleh karena kompleksnya faktor-faktor yang turut mempengaruhi minat baca ini, maka pengupayaannya tidak dapat hanya bertumpu pada salah satu faktor saja dan mengupayakan faktor lainnya. Misalnya hanya mengandalkan instutusi persekolahan formal atau pada pemerintah saja. Keluarga dan masyarakat juga mutlak dituntut peran sertanya. Tanpa peran serta mereka mengharapkan masyarakat dan bangsa ini berbudaya membaca hanya akan menjadi sebuah utopia belaka. ***