BAB I PENDAHULUAN Pada dasarnya hubungan antara pengusaha dan pekerja/ buruh adalah hubungan kerjasama untuk menghasilkan produk dan jasa yang dibutuhkan. Pekerja/ buruh berperan dalam mengolah modal yang dimiliki oleh Pengusaha baik berupa uang atau barang baku yang kemudian dirubah menjadi barang dan jasa yang dibutuhkan. Topik yang menarik untuk dibahas dalam pola hubungan antara buruh dan pengusaha salah satunya adalah mengenai sistem pengupahan pengusaha kepada buruh. Dalam membahas menganai Upah, tidak hanya Pengusaha dan pekerja/ buruh yang mempunyai kepentingan, namun pemerintah, serta masyarakat juga umumnya sama-sama mempunyai kepentingan atas sistem ini. Pengusaha berkepentingan dalam hal pengelolaan modal yang dimilikinya, bagaimana dapat mengelola modal yang dimilikinya sebaik mungkin dengan memperoleh hasil yang maksimal. Pekerja dan keluarganya sangat tergantung pada upah yang mereka terima untuk dapat memenuhi kebutuhan sandang, pangan, perumahan dan kebutuhan lain. Pemerintah dalam hal ini berkepentingan dengan kebijakan pengupahan dan terkait juga dengan pemenuhan standar kemakmuran rakyatnya. Sedangkan masyarakat adalah bentuk keseluruhan dari pemerintah, pengusaha dan pekerja/ buruh yang akan mengalami dampak dari sistem pengupahan yang dibangun. Dalam hal perumusan mengenai upah, pekerja/ buruh memiliki kecenderungan yang saling berbeda. Pekerja memiliki kecenderungan untuk mendapatkan upah yang banyak untuk mencapai penghidupan yang baik. Pengusaha memiliki kecenderungan untuk memberikan upah yang rendah kepada pekerja karena upah dipandang sebagai pengurang keuntungan yang didapatkan. Semakin besar upah yang diberikan, maka semakin besar juga biaya yang harus dikeluarkan oleh Pengusaha, hal ini berarti juga keuntungan yang akan diperolehnya akan berkurang.
1
Menghadapi hal ini, Pemerintah terkadang harus turun tangan melalui kebijakannya, karena masalah pengupahan akan membawa pengaruh juga kepada tingkat kemakmuran masyarakat dan negara. Dalam hal ini Pemerintah lebih banyak bersikap sebagai penengah diantara kepentingan Pengusaha dan Pekerja/ buruh yang saling berseberangan tersebut. Pemerintah harus dapat bersikap adil dalam mengeluarkan kebijakannya terkait dengan masalah pengupahan ini. Apabila pemerintah terlalu berpihak kepada Pengusaha, maka kebijakannya tersebut akan membawa pengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Sedangkan apabila Pemerintah terlalu berpihak kepada Pekerja/ buruh, maka kebijakannya tersebut akan menghambat pembangunan ekonomi secara makro. Dalam keadaan seluruh faktor produksi terpakai, sistem pengupahan antara Pengusaha dan Pekerja/ buruh lebih banyak didasarkan atas kesepakatan antara kedua belah pihak dimana posisi tawar kedua pihak tersebut sama-sama kuat. Pengusaha membutuhkan pekerja/ buruh untuk menggerakkan pengolahan modalnya. Sedangkan pekerja/ buruh membutuhkan pengusaha untuk membantu meningkatkan kesejahteraannya dan pemenuhan kebutuhan pekerja/ buruh tersebut. Keadaan seimbang dimana Pengusaha dan Pekerja/ buruh yang saling membutuhkan tersebut sangat jarang terjadi. Di Indonesia misalnya sebagai negara yang menduduki peringkat ke-4 dalam jumpah penduduk didunia tentunya memiliki potensi Sumber Daya Manusia (pekerja/ buruh) yang sangat besar, sedangkan pertumbuhan ekonominya tidak sebesar jumlah penduduknya. Oleh karena itu hubungan yang tercipta adalah seakan-akan pekerja/ aburuh yang membutuhkan pekerjaan dan upah untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dalam kondisi demikian, Pengusaha lebih mempunyai posisi tawar yang lebih besar dibandingkan dengan pekerja/ buruh. Oleh karena itu Pengusaha cenderung untuk menurunkan upah yang diberikan kepada pekerja/ buruh, sedangkan pekerja/ buruh tidak bisa memberikan pilihan yang lebih baik dikarenakan dengan kebutuhannya akan upah tersebut. Menyikapi keadaan yang tidak seimbang tersebut, Pemerintah melalui kebijakannya harus membantu pekerja/ buruh memperbaiki posisi tawarnya 2
tersebut atau paling tidak melindungi tingkat kesejahteraanpekerja/ buruh yang notabene merupakan warga negara butuh perlindungan dan pemenuhan kesejahteraan. Salah satu kebijakan Pemerintah tersebut adalah penetapan standar upah minimum pekerja/ buruh. Pemerintah berharap agar pekerja/ buruh dalam situasi tawar yang lemah dapat terlindungi kesejahteraannya. Kelompok kami tertarik untuk menganalisis implementasi penerapan kebijakan penetapan upah minimum di Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial.
3
BAB. II KERANGKA TEORI
Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan dari pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Penetapan upah minimum dipandang sebagai sarana atau instrumen kebijaksanaan yang cocok untuk mencapai kepantasan dalam hubungan kerja. Tujuan penetapan upah minimum adalah untuk: a. Menghindari atau mengurangi persaingan yang tidak sehat sesama pekerja
dalam kondisi pasar kerja yang surplus, sehingga mereka bersedia menerima upah di bawah tingkat kelayakan; b. menghindari atau mengurangi kemungkinan eksploitasi pekerja oleh pengusaha
yang
memanfaatkan
kondisi
pasar
untuk
akumulasi
keuntungannya; c. sebagai jaring pengaman untuk menjaga tingkat upah karena satu dan lain hal jangan turun lagi; d. mengurangi tingkat kemiskinan absolut pekerja, terutama bila upah minimum tersebut dikaitkan dengan kebutuhan dasar pekerja dan 4
keluarganya; e. mendorong peningkatan produktivitas baik melalui perbaikan gizi dan kesehatan pekerja maupun melalui upaya manajemen untuk memperoleh kompensasi atas peningkatan upah minimum; f. meningkatkan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara umum; g. menciptakan hubungan industrial yang lebih aman. Maksud besar penetapan upah minimum ini adalah memberikan jaminan kesejahteraan bagi pekerja/ buruh dalam situasi tawar dengan pengusaha yang kurang menguntungkan. Kebijakan ini bertujuan menciptakan suasana yang berkeadilan diantara Pengusaha, Pekerja/ buruh. Dalam pembahasan ini, kelompok kami menyimpulkan bahwa ukuran keadilan dalam penetapan upah adalah para pihak yang terkait dalam masalah pengupahan ini tidak saling merugikan satu sama lainnya. Kelompok kami juga akan menganalisis penetapan kebijaksanaan
upah
minimun
untuk
mencapai
keadilan
sosial
dengan
menggunakan beberapa teori, yaitu: A. Teori dan Hukum Penawaran dan Permintaan Teori pengupahan pada dasarnya masih tetap berlandaskan hukum penawaran dan permintaan yang dikembangkan oleh Adam Smith (17231790). Teori adam Smith termasuk dalam teori klasik yang didasarkan pada pertumbuhan penyediaan atau penawaran faktor produksi. Teori dan hukum penawaran dan permintaan tersebut didasarkan pada asumsi pasar sempurna dan mobilitas tenaga kerja secara sempurna. Bila upah disuatu sektor ekonomi atau disuatu daerah tertentu lebih rendah dari upah di sektor daerah lain, maka sebagian pekerja akan berpindah. Teori ini hanya bisa mencerminkan keadilan sosial apabila penawaran dan permintaan tersebut didasarkan pada asumsi pasar sempurna dan mobilitas tenaga kerja secara sempurna, artinya pengusaha dan pekerja/ buruh tidak saling membutuhkan. Pengusaha bebas untuk mengganti pekerja/ buruhnya dan pekerja/ buruh dapat berpindah ke pekerjaan lain yang menawarkan upah 5
yang lebih menarik. Lalu, apa yang akan terjadi apabila pemerintah menarik kebijakan penetapan upah minumum? Apakah kebijakan tersebut akan mengacaukan proses tawar menawar antar pengusaha dan pekerja/ buruh. Buruh akan lebih merasa aman dengan posisi yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sebaliknya pengusaha belum tentu dapat secara finansial mencapai
kemampuan
memberikan
upah minimum yang ditetapkan
pemerintah. Kemudian apakah dari kekacauan proses penawaran dan permintaan tersebut akan menghasilkan implementasi kebijakan yang berkeadilan sosial? B. Teori Investasi Sumberdaya Manusia Teori Investasi Sumberdaya manusia didasarkan pada asumsi bahwa setiap tambahan investasi sumberdaya manusia dalam bentuk pendidikan, latihan, pengalaman kerja serta gizi dan kesehatan akan menambah kemampuan berproduksi dari orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, produktifitas kerja atau produk yang dihasilkan oleh seseorang, berbanding lurus dengan akumulasi investasi sumberdaya manusia yang dialami oleh orang tersebut. Semakin besar akumulasi investasi sumberdaya manusia yang dialamu seseorang, semakin tinggi produktifitas kerjanya. Upah merupakan imbalan atas nilai produk yang dihasilkan oleh seseorang. Semakin tinggi produktivitas kerja seseorang, semakin tinggi pula upahnya. Dengan kata lain, tingkat upah berbanding lurus dengan produktivitas kerja dan dengan demikian berbanding lurus dengan akumulasi investasi manusia. Apa yang akan terjadi apabila Pemerintah menetapkan upah minimum, dikhawatirkan pengusaha akan cenderung merasa aman bila memberikan upah yang telah memenuhi standard minimum, sedangkan pekerja cendeung tidak termotivasi untuk meningkatkan produktifitasnya karena telah merasa aman dengan batasan upah minimum yang diberikan oleh pemerintah. C. Teori Upah Kontekstual
6
Tingkat upah dipengaruhi oleh kondisi pekerja, kondisi perusahaan dan berbagai faktor ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Tingkat upah dipengaruhi oleh kualitas atau produktivitas pekerja sebagai wujud dari akumulasi pendidikan, latihan dan pengalaman kerjanya. Tingkat upah juga dipengaruhi oleh kondisi perusahaan, teknologi yang digunakan dan kualitas manajemen di perusahaan tersebut. Peran serikar pekerja, tingkat upah diperusahaan lain dan kebijaksanaan Pemerintah dapat pula mempengaruhi pengupahan di suatu perusahaan. Apa yang akan terjadi apabila Pemerintah menetapkan upah minimum, dikhawatirkan pengusaha akan cenderung merasa aman bila memberikan upah yang telah memenuhi standard minimum, sedangkan pekerja cendeung tidak termotivasi untuk meningkatkan kualitas kerjanya karena telah merasa aman dengan batasan upah minimum yang diberikan oleh pemerintah.
7
BAB. III FAKTA DAN MASALAH
I. Masalah yang Muncul dari Kebijakan Penetapan Upah Minimum. Dari pemaparan yang telah disinggung sebelumnya pada Bab Kerangka Teori, kelompok kami menyimpulkan masalah utama yang terkait dengan penetapan upah minimum, yaitu: 1. Apakah Kebijakan pemerintah menetapkan upah minimum telah mencerminkan keadilan sosial bagi masyarakat? 8
Untuk menjawab masalah tersebut, kelompok kali akan menganalisis berdasarkan fakta empiris yang terjadi dan menganalisis secara yuridis mengenai kebijakan pemberian upah di Indonesia. Dari pembahasan itulah maka dapat diambil kesimpulan mengenai keadilan sosial kebijakan pemerintah enetapkan upah minimum tersebut. II. Pembahasan A. Fakta Penerapan Kebijakan Upah Minimum Untuk mengetahui fakta empiris dari penerapan kebijakan upah minimum, maka kelompok kami mengutip hasil penelitian lembaga penelitian SMERU dengan dukungan dari USAID /PEG yang meneliti tentang “Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia. Dari hasil analisis statistik penelitian ini menunjukkan kenaikan upah minimum telah mendongkrak upah pekerja kasar. Adanya hubungan yang positif antara tingkat upah minimum dan tingkat upah rata-rata juga ditemukan di berbagai kelompok pekerja lainnya, misalnya pekerja perempuan, muda usia, berpendidikan rendah, dan pekerja kerah putih (white collar worker). Namun hubungan positif tersebut secara statistik tidak nyata. Hal ini tidak berarti bahwa upah minimum tidak berpengaruh terhadap upah pekerja secara individu, tetapi pengaruh tersebut berbeda-beda antar pekerja. Upah beberapa pekerja terangkat oleh adanya upah minimum, sementara upah pekerja lainnya malah tertekan, sehingga pengaruhnya menjadi tidak nyata pada upah rata-rata keseluruhan pekerja. Berbeda dengan dampak terhadap upah, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa: -
Kenaikan upah minimum berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor formal perkotaan, dengan perkecualian bagi pekerja kerah putih.
9
-
Dampak negatif dari upah minimum sangat dirasakan oleh kelompok yang mempunyai kerentanan tinggi terhadap perubahan dalam kondisi pasar tenaga kerja, seperti pekerja perempuan,
pekerja muda usia, dan pekerja
berpendidikan rendah. Perlu diingat bahwa mereka ini merupakan mayoritas dari pekerja di Indonesia, baik di sektor formal maupun sektor informal. -
Pekerja kerah putih (white colar worker) adalah satu-satunya kategori pekerja yang mendapat keuntungan dari upah minimum dalam hal penyerapan tenaga kerja.
-
Setelah adanya kenaikan upah minimum perusahaan mengubah proses produksi yang padat tenaga kerja dengan proses produksi yang lebih padat modal dan lebih menuntut keterampilan. Karena adanya saling keterkaitan antara modal dan keterampilan, maka proporsi pekerja kerah putih yang lebih tinggi menandai adanya pemanfaatan teknologi yang lebih padat modal. Dengan demikian, adanya kenaikan tingkat upah minimum maka perusahaan akan mengurangi sebagian tenaga kerja untuk digantikan dengan pekerja kerah putih. Karakteristik-karakteristik
perusahaan
sangat
mempengaruhi
penerapan peraturan upah minimum di tingkat perusahaan. Secara umum, perusahaan-perusahaan di sektor padat modal membayar upah lebih tinggi, dan karena itu menunjukkan penerapan peraturan upah minimum yang lebih tinggi daripada perusahaan-perusahaan di sektor padat karya. Ukuran perusahaan juga merupakan faktor penentu dalam penerapan peraturan upah minimum. Umumnya perusahaan yang lebih besar akan lebih mampu membayar upah lebih tinggi, dan karena itu penerapan peraturan upah minimumnya lebih baik daripada perusahaanperusahaan kecil. Perusahaanperusahaan modal asing juga umumnya membayar upah lebih tinggi dan menerapkan peraturan upah minimum secara lebih efektif dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan domestik. Sementara itu, perusahaan-perusahaan yang menjual produknya ke pasar ekspor rata-rata membayar upah lebih tinggi dan menerapkan peraturan 10
upah minimum lebih baik daripada perusahaanperusahaan yang hanya mengincar pasaran domestik. Namun, temuan-temuan mengenai perusahaanperusahaan padat modal, perusahaan asing, dan eksportir ini ternyata lebih diakibatkan karena perusahaan-perusahaan tersebut masuk dalam kategori sampel perusahaan skala besar. Analisis ekonometrik menunjukkan bahwa skala perusahaan adalah penentu utama kemampuan perusahaan dalam menerapkan peraturan upah minimum. Pekerja di perusahaan skala menengah memiliki 21% kemungkinan lebih tinggi untuk memperoleh upah di atas upah minimum daripada pekerja di perusahaan skala kecil. Demikian pula, pekerja di perusahaan skala besar mempunyai 44% kemungkinan lebih tinggi untuk menerima upah di atas upah minimum daripada pekerja di perusahaan skala kecil. Kkarakteristik-karakteristik pekerja juga mempengaruhi penerapan peraturan upah minimum oleh perusahaan. Pekerja pria rata-rata digaji lebih tinggi dari upah minimum dan hanya sedikit dari pekerja pria yang menerima upah di bawah upah minimum dibanding dengan pekerja perempuan. Hubungan U-terbalik yang sering ditemui antara usia dan upah juga tampak jelas dalam studi ini. Upah mulamula meningkat seiring dengan meningkatnya umur, tetapi kemudian menurun kembali pada tingkat umur yang semakin tua. Pendidikan juga merupakan faktor penentu yang penting dalam penetapan upah. Mereka yang hanya berpendidikan tidak lebih tinggi dari sekolah lanjutan tingkat pertama rata-rata dibayar sekitar upah minimum. Kemudian, ditemukan adanya hubungan yang positif antara pengalaman kerja dengan tingkat upah yang diterima.
Akan tetapi, analisis ekonometrik
mengidentifikasi jender sebagai variabel utama yang mempengaruhi apakah seorang pekerja dibayar di atas upah minimum atau tidak. Pekerja perempuan mempunyai 19% kemungkinan lebih rendah untuk dibayar di atas upah minimum dibanding dengan pekerja laki-laki. Dengan demikian, baik karakteristik-karakteristik
perusahaan
maupun
pekerja
sama-sama
mempengaruhi kemungkinan apakah seorang pekerja dibayar sesuai dengan atau lebih rendah daripada upah minimum.
11
Survei kualitatif menemukan bahwa jenis kontrak kerja yang mencerminkan hubungan kerja antara perusahaan dan pekerjanya juga mempunyai konsekuensi penting terhadap kesejahteraan pekerja. Pekerja harian lepas menerima upah rata-rata sekitar upah minimum dan sekitar 44% dari pekerja dalam kategori ini dibayar lebih rendah daripada upah minimum. Sebaliknya, pekerja bulanan tetap umumnya menerima upah lebih tinggi daripada
kategori
pekerja-pekerja
lainnya.
Menurut
responden
dari
perusahaan, cara penetapan kebijakan upah minimum akhirakhir ini telah menghambat perkembangan sejumlah perusahaan, sehingga menghambat peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor moderen. Kebijakan upah minimum juga telah menjadi salah satu penyebab utama perselisihan perburuhan. Sebelum krisis, upah minimum ditetapkan sekali setiap tahun. Namun baru-baru ini dibeberapa wilayah tingkat upah minimum telah diubah lebih dari satu kali dalam setahun. Akibatnya, hal ini menimbulkan masalah bagi perusahaan dalam melakukan perencanaan dan memperkirakan aliran dana. Disamping itu, hal ini juga menimbulkan kesulitan bagi perusahaan-perusahaan yang sudah menandatangani kontrak dengan pembeli. Perhitungan biaya dalam kontrak tidak memasukkan kenaikan tingkat upah yang tidak diperkirakan sebelumnya, sehingga menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Upah minimum tampaknya juga telah mengurangi insentif bagi pekerja untuk meningkatkan produktivitas. Sejak akhir tahun 1980an tingkat upah minimum sudah mengalami kenaikan dengan cepat sehingga telah mencapai satu titik dimana upah minimum menjadi tingkat upah yang berlaku bagi sebagian besar pekerja. Hal ini terutama terjadi di perusahaanperusahaan skala menengah dan kecil. Semua pekerja tidak terampil dan setengah terampil di perusahaan-perusahaan ini kini menerima upah yang kurang lebih sama besarnya, yaitu upah minimum. Akibatnya, hal ini telah membatasi kemampuan perusahaan untuk menggunakan upah sebagai sistem insentif
untuk
meningkatkan
produktivitas
pekerja.
Juga
terdapat
kekhawatiran bahwa hal ini akan menimbulkan disinsentif bagi pekerja yang 12
lebih
produktif.
Akhirnya,
hal
ini
dapat
menyebabkan
penurunan
produktivitas secara keseluruhan di perusahaanperusahaan tersebut. Dampak upah minimum terhadap perusahaan berbeda antar sektor. Dampak yang paling besar terjadi pada sektor-sektor yang padat karya. Namun, perusahaan-perusahaan di sektor ini tidak mempunyai banyak pilihan selain mentaati peraturan upah minimum, sekalipun sesungguhnya mereka kesulitan untuk membayar upah pekerja pada tingkat itu. Tetapi, biaya bila tidak mematuhi peraturan diperkirakan akan lebih besar karena kemungkinan akan terjadinya perselisihan perburuhan. Secara teoritis, bagi perusahaan yang sedang menghadapi kesulitan untuk menerapkan peraturan upah minimum memang peraturan memberi kesempatan untuk mengajukan permohonan penundaan sementara. Namun, persyaratan untuk mendapatkan ijin penundaan ini sulit dipenuhi dan biayanya sangat mahal, sperti harus adanya audit oleh akuntan publik. Disamping itu, penundaan cenderung mengundang protes dan pemogokan pekerja, sehingga akan mengganggu kegiatan produksi dan mengakibatkan keterlambatan pengiriman produk kepada pemesan. Kombinasi antara hubungan perburuhan yang penuh masalah dan semakin banyaknya
peraturan
ketenagakerjaan
yang
cenderung
memberatkan
perusahaan akhir-akhir ini telah menjadi keprihatinan banyak perusahaan. Perusahaan tidak hanya harus menerapkan peraturan mengenai upah minimum, tetapi mereka juga menghadapi kesulitan untuk mempertahankan pekerja mereka, terutama karena adanya peraturan mengenai uang pesangon yang mendorong pekerja untuk keluar dari pekerjaannya hanya karena ada perselisihan kecil dengan pihak manajemen. Untuk mengatasi masalah ini, beberapa perusahaan telah memilih untuk mengubah sistem kepegawaian mereka, yaitu dengan cara lebih banyak menggunakan pekerja borongan.
B. Analisis Yuridis Kebijakan Pemberian Upah di Indonesia
13
Terdapat hal-hal yang menjadi kendala untuk dapat terwujudnya tujuan yang ideal dari undang-undang No. 13 tahun 2003 tersebut karena masih terdapat aturan-aturan dalam pasal-pasalnya yang belum jelas dan kontradiktif dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya. 1. Perumusan pasal yang yang tidak jelas Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang No, 13 Tahun 2003 mengatur bahwa : "Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan" Belum ada kriteria atau parameter yang dapat digunakan sebagai penetapan kehidupan yang layak berikut jenis-jenis kebutuhan untuk setiap komponen. Sebaiknya dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dijelaskan secara gamblang hal-hal apa saja yang seharusnya dipenuhi dalam menetapkan kebutuhan hidup yang layak karena Kebutuhan hidup yang layak dapat meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas nasional. Adanya penetapan Upah Minimum aebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-01/MEN/1999 juga pada prakteknya masih belum memenuhi rasa keadilan para pihak yang terlibat dalam hubungan kerja. Penetapan upah minimum kemudian upah minimum regional (UMR) atau upah minimum Daerah (UMD) atau Upah Minimum Kota (UMK) mengacu pada UU Otonomi Daerah no, 22 tahun 1999. Intervensi pemerintah dalam hal ini ditunjukkan untuk menghilangkan kesan eksploitasi pemilik usaha kepada buruh karena membayar dibawah standar hidupnya. Nilai UMR, UMD dan UMK ini biasanya dihitung bersama berbagai pihak yang merujuk kepada kebutuhan fisik Minimum Keluarga (KFM), kebutuhan Hidup Minimum (KHM) atau kondisi lain didaerah yang bersangkutan.
14
Penetapan UMR sendiri sebenarnya sangat bermasalah dilihat dari realitas terbentuknya kesepakatan upah dari pihak pengusaha dan buruh. Dalam kondisi normal dan dalam sudut pandang keadilan ekonomi, seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya peran jasa buruh dalam mewujudkan hasil usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Penetapan UMR dan UMD di satu sisi dimanfaatkan buruh-buruh malas untuk memaksa pengusaha memberikan gaji minimal, meski perannya dalam kerja perusahaan sangat sedikit (meskipun ini sangat jarang terjadi). Di sisi lain UMR dan UMD skerap digunakan pengusaha untuk menekan besaran gaji agar tidak terlalu tinggi, meskipun si buruh telah mengorbankan tenaga dan jam kerjanya yang sangat banyak dalam proses produksi suatu perusahaan. Bila diteliti lebih jauh, penetapan UMR dan UMD ternyata tidak serta merta menghilangkan masalah gaji/ upah ini. Hal ini terjadi disebabkan oleh: a). Pihak pekerja , yang mayoritasnya berkualitas rendah dalam kuantitas yang banyak sehingga nyaris tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam menetapkan gaji yang diinginkan. Akhirnya besaran gaji hanya ditentukan oleh pihak pengusaha dan kaum buruh berada di posisi sulit menolak; b). Pihak pengusaha sendiri sering merasa keberatan dengan batasan UMR mengingat meskipun pekerja tersebut bekerja sedikit dan mudah, pengusaha tetap harus membayar sesuai dengan batas tersebut. c). Posisi tawar yang rendah dari para buruh semakin memprihatinkan dengan tidak adanya pembinaan dan peningkatan kualitas buruh oleh pemerintah, baik terhadap kualitas keterampilan dan pengetahuan para buruh terhadap berbagai regulasi perburuhan. d). Kebutuhan hidup yang juga memang bervariasi dan bertambah tetap saja tidak dapat dipenuhi dengan gaji sesuai UMR. Pangkal dari masalah ini adalah pemasukan dalam memenuhi berbagai kebutuhan dasar kehidupan masyarakat. 15
2. Pengecualian Asas No Work No Pay
Beadasarkan Pasal 93 (2) buruh/ pekaaja berhak atas upah penuh selama tidak masuk kerja sebagai pengecualian asas No Work No Pay. Namun penggunaan hak tersebut tidak dapat dilaksanakan jika hak pengecualian asas No Work No Pay tersebut tidak diatur dalam perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Hal ini diatur dalam Pasal 93 (5) yang menentukan: "Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pengaturan Pelaksaan Pasal 93 ayat (2) dalam Perjanjian Kerja, pexatuaaa Perusahaan, perjanjian Kerja bersama tersebut di atas bertentangan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2005 yang mengatur hierarki Peraturan Perundang-undangan yang tidak memasukkan perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, dan
perjanjian kerja bersama ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Peraturan Pelaksana dari Undang-undang No, 13 Tahun 2003 ini seharusnya dituangkan dalam Peraturan Pemerantah atau minimal dalam Keputusan Presiden. 3. Inkonsistensi antara Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dengan salah
satu peraturan pelaksanaannya. Dalam Pasal 1 angka 30 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 diatur bahwa upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi
kerja
kepada
pekerja/buruh
yang
ditetapkan
dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/ atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Disisi lain dalam Pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 diatur bahwa upah adalah suatu pemerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk suatu pekerjaanatau jasa yang telah 16
dilakukan atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan atau peraturan perundangundangan, dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya. Dari uraian diatas jelas upah diberikan dalam bentuk uang, namun secara normatif masih ada kelonggaran bahwa upah dapat diberikan dalam bentuk lain berdasarkan perjanjuan atau peraturan perundang-undangan, dengan batasan nilainya tidak boleh melebihi 25 % (dua puluh lima persen) dari nilai upah yang seharusnya diterima (Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan adanya ketidaksesuaian pembatasan pengertian upah itu sendiri.
17
BAB. IV PEMECAHAN MASALAH
A. Peningkatan Peran Pemerintah Dalam Masalah Hubungan Pengusaha dan Pekerja/ Buruh. Pemerintah dalam upaya mewujudkan keadilan antara pekerja/ buruh dan pengusaha di Indonesia saat ini masih belum seimbang, hal ini terbukti dengan masih bergejolaknya masalah perburuhan akibat perundang-undangan yang ada tidak memberi kepastian hukum. Kelompok kami melihat bahwa ada dua peran pemerintah yang dapat dijalankan, yaitu sebagai mediator dan sebagai regulator. 1. Sebagai mediator
Fungsi mediator yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan dengan tujuan: a. Menjembatani antara kepentingan buruh/ pekerja dengan kepentingan
pengusaha agar nantinya diproleh solusi jalan tengah (win win solution) melalui proses yang demokratis. Pada dasarnya kepentingan pekerja/ buruh adalah memperoleh kesejahteraan atas imbalab dari pekerjaan yang dilakukannya, dan kepentingan dari pengusaha adalah dapat menjalankan usaha dengan biaya terjangkau sehingga dapat memperoleh keuntungan atas usaha yang dilakukannya. b. Berusaha memberi keadilan bagi pengusaha maupun bagi buruh, karena pada dasarnya keduanya saling membutuhkan dalam menciptakan kesejahteraan satu sama lain pada khususnya dan bagu perekonomian Indonesia pada umumnya. Bagi pengusaha agar dapat berusaha, memperoleh keuntungan dan memutar roda perekonomian, sedangkan bagi buruh mendapatkan perlindungan dan memperoleh haknya sebagai tenaga kerja. 18
Langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah dalam mewujudkan perannya sebagai mediator dilakukan dengan : a.
Menghidupkan kembali forum tripartit.
Sebagai salah satu unsur dari tripartit, diharapkan pemerintah dapat memiliki peran yang lebih besar dalam menjembatani kepentingan pengusaha dan buruh/ pekerja yang seringnya berseberangan. b.
Membuka ruang dialog bagi buruh dan pelaku usaha.
2. Sebagai Regulator
Sebagai regulator, pemerintah berperanan aktif dalam usaha membuat peraturan perundang-undangan dalam bidang ketenagakerjaan. Dalam hal terdapat kekurangan dari suatu peraturan peruiluangan maka pemerintah dalam perannya sebagai regulator dapat melaukan revisi terhadap peraturan tersebut dengan memperhatikan aspirasi dari semua pihak yang Lerkait. Jangan sarnpai terjadi kekacauan akibat adanya undang-undang tersebut. Sebagai contoh adaiah adanya revisi Undang-undang terhadap UndangUndang No. 13 Tabun 2003 yang manual reaksi keras dan i pihak buruh/pekerja. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang kini berlaku dirasa menguntungkan kepentingan pihak buruh. Kongres Serikat Pekerja Indonesia terus menolak rencana revisi Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tersebut karena dinilai. sangat merugikan kaum pekerja. Hal tersebut diatas terjadi karena pemerintah saaL ini masih sangat berorientasi pada perbaikan ekondmi dengan care menarik para investor penanam modal using dengan mengunggulkan politik upah murah, tanpa melakukan perbaikan masalah birokrasi yang juga masih simpang siur (dan masih banyak pungutan-pungutan liar), serta masih banyak lagi hal lain yang seharusnya juga dibenahi seperti korupsi dan lain sebagainya.
19
Selain
berperan
sebagai
mediator
dan
regulator
dalam
bidang
ketenagakerjaan pada khususnya, pemerintah pun seharusnya dapat memberikan jaminan kesejahteraan yang layak bagi pekerja , karena saat ini terdapat kecenderungan pemahaman bahwa kesejahteraan pekerja adalah tanggung jawab pengusaha. Negara dalam hal ini seolah-olah lepas tangan sama sekali. Sektor kesehatan yang harus dipenuhi oleh Negara. Sebab, kedua sektor tersebut termasuk dalam kategori pemeliharaan kemaslahatan umum. Negaralah yang harus menjamin seluruh fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memadai sehingga dapat dinikmati oleh seluruh warga negara, tidak terkecuali para buruh. Dengan demikian, tidak akan terjadi lagi tarik ulur antara pengusaha dengan buruhnya mengenai masalah tersebut. Para buruh bisa bekerja dengan kenang, karena kebutuhan primernya sudah terpenuhi sambil menunggu upahnya untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Dengan lancarnya pekerjaan para buruh maka pengusaha pun akan senang karena berarti produksi berjalan baik maka keuntungan dapat diraih. Negara pun akan memperoleh bagian dengan lancarnya perniagaan para pengusaha yaitu melalui pajak yang disetorkan untuk dikelola demi kepentingan seluruh rakyat.
20
BAB. V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Upah minimum telah menguntungkan sebagian pekerja tetapi merugikan sebagian lainnya. Para pekerja yang dapat mempertahankan pekerjaannya di pabrik-pabrik jelas mendapat keuntungan dari peningkatan upah minimum. Pekerja kerah putih jelas merasakan manfaat besar dari penegakan kebijakan upah minimum. Namun, mereka yang kehilangan pekerjaan sebagai akibat meningkatnya upah minimum adalah mereka yang dirugikan oleh kebijakan upah minimum. Mereka ini khususnya terdiri dari para pekerja yang rentan terhadap perubahan kondisi pasar tenaga kerja, seperti pekerja perempuan, muda usia, dan mereka yang berpendidikan rendah. Dalam iklim pertumbuhan ekonomi tinggi, peningkatan upah minimum tidak terlalu menjadi persoalan karena pertumbuhan itu sendiri akan mendorong peningkatan upah, sehingga tingkat upah yang berlaku sama dengan atau di atas upah minimum. Pertumbuhan ekonomi juga akan 21
mendorong penciptaan kesempatan kerja yang lebih besar daripada yang hilang karena kebijakan upah minimum. Dampak upah minimum terhadap kesejahteraan pekerja di sektor informal, yang merupakan sebagian besar dari angkatan kerja di Indonesia, mungkin sama pentingnya atau bahkan lebih penting lagi. Salah satu bidang yang penting untuk dikaji di waktu yang akan datang adalah bagaimana dampak pengurangan kesempatan kerja di sektor modern dari upah minimum berpengaruh terhadap penghasilan riil dari mereka yang bekerja di sektor informal. Penetapan upah yang ditetapkan oleh Pemerintah adalah ketentuan upah minimum yang berlaku secara regional, sektoral regional atau sub sektoral regional wajib dilaksanakan oleh setiap perusahaan dengan pengertian bahwa perusahaan tidak boleh membayar upah pekerjanya di bawah Ketentuan Upah Minimum. Apabila Pemerintah mengeluarkan Ketetapan Upah Minimum yang baru yang jumlahnya meningkat dari yang lama maka akan terjadi perubahan upah di dalam perusahaan. Mereka yang berada pada tingkat upah minimum yang lama akan mengalami kenaikan upah minimal sama dengan kenaikan di dalam Ketetapan Upah Minimum. Dengan naiknya upah pekerja yang paling bawah dapat mendekati atau menyamai tingkat upah pekerja di atasnya. Pekerja yang berada di atas Ketentuan Upah Minimum Pemerintah. B. SARAN Inti dari menaikkan posisi tawar pekerja/ buruh dalam proses negosiasi upah tidak adalah tingkat kesejahteraan pekerja/ buruh itu sendiri. Kesejahteraan merupakan pertanda telah terpenuhinya kebutuhan masyarakat di suatu Negara. Pemenuhan kebutuhan masyarakat disuatu Negara, paling tidak kebutuhan pokoknya, adalah tugas dari pemerintah.
22
DAFTAR PUSTAKA Gaol, Lumban S, Pengaturan Upah Perusahaan, Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum, Universitas Indonesia. Simanjuntak, Payaman J, Teori dan Sistem Pengupahan, Himpunan Pembina Sumberdaya Manusia Indonesia, Jakarta 1996. SMERU, Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Indonesia, Jakarta, Oktober 2001. Silalahi, Marulinda, Tinjauan Yuridis Pengaturan Upah Pekerja/ Buruh Dihubungkan Dengan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Serta Implikasinya Terhadap Upaya Mewujudkan Keadilan Antara Pekerja/ Buruh dan Pengusaha, Tesis: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2006. Supriadi, Andri Yudhi, Dampak Kenaikan Upah Minimum Terhadap Pekerjaan Formal di Perkotaan Tahun 1998-2004, Tesis: Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta 2005.
23