Yayasan HAK Jl. Gov. Serpa Rosa T-091, Farol Dili - Timor Lorosae Tel/Fax.: + 313323 e-mail:
[email protected]
Direito D w i M i n g g u a n H a k A za s i Ma n u s i a
Editorial
Upaya Buruh Memperbaiki Nasib Buruh di Timor Lorosae tak kalah sigap. Mereka tengah mempersiapkan serikat buruh, yang kelak dapat melindungi diri dari eksploitasi pengusaha. Mereka toh bukan sapi perahan. Mereka harus menjadi manusia bebas di masa Timor Lorosae merdeka.
D
i masa transisi menuju Timor Lorosae yang merdeka, nasib buruh tak lebih baik dibandingkan semasa penjajahan Indonesia. Mereka yang bekerja di pelabuhan setiap hari hanya mendapat upah per hari sebesar Rp 20.000. Sebandingkah upah itu untuk memenuhi kebutuhan dasar seharihari? Mudah ditebak. Harga makanan dan kebutuhan pokok lainnya kini sangat mencekik leher. Di warung pinggir jalan, harga sebungkus nasi tanpa lauk kita harus merogoh uang Rp 3.000 sementara harga pisang goreng kecil mencapai Rp 500 per buah. Belum lagi untuk ongkos transport, yang harus dibayar dengan Rp 2.000. Bisa dibayangkan bagaimana
Photo: Atoy AB
“Setiap rakyat (bangsa) mempunyai hak menentukan nasibnya sendiri. Berkat hak itu, mereka bebas menentukan status politiknya dan bebas mengejar perkembangan ekonomi, sosial dan budayanya sendiri.” Demikian bunyi pasal 1, ayat 1 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Ayat lain pasal tersebut memberi jaminan bagi setiap bangsa dalam mengatur kekayaan dan sumberdaya yang dimiliki untuk tujuan di atas, serta menegaskan bahwa pemerintah, termasuk yang bertanggungjawab atas pemerintahan wilayah-perwalian yang belum berpemerintahan sendiri, akan meningkatkan perwujudan dan penghormatan terhadap hak-hak tersebut, sesuai ketentuan-ketentuan Piagam PBB. Bagi Rakyat Timor Lorosae, hak penentuan nasib sendiri telah dilaksanakan. Persoalannya, sejauh mana saat ini hak tersebut dapat memberi mereka kebebasan untuk menentukan status politik yang mereka inginkan, dan seberapa besar akses mereka terhadap pemanfaatan sumberdaya yang tersedia guna mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya serta mencapai suatu tingkat penghidupan yang lebih baik? Masyarakat di banyak wilayah negeri ini telah menunjukkan langkah-langkah positif berdasarkan inisiatif mereka sendiri. Mereka perlu dukungan dari Pemerintah Transisi. Upaya mereka patut ditiru dan didukung!
Buruh di Pelabuhan Dili. Menanti perbaikan nasib.
sulitnya seorang buruh memenuhi kebutuhan pokoknya. Apalagi kalau ia sudah berkeluarga. Buruh yang bekerja pada lembagalembaga internasional yang marak di Dili pun keadaannya tak jauh berbeda. Sebuah lembaga bantuan makanan PBB, misalnya, hanya membayar buruh angkat barang di gudang dengan upah Rp 25.000 per hari. Itu pun setelah mereka melakukan protes. Sebelumnya, upah mereka hanya Rp 20.000 per hari dengan jam kerja sampai 12 jam/hari di beberapa lembaga. “Para majikan memperlakukan kami seperti kerbau,” kata Frederico, seorang buruh pelabuhan, kepada Direito. Para majikan itu telah mempekerjakan mereka tanpa memperhatikan kesejahteraan. Afonso, yang bekerja pada pada sebuah lembaga bantuan internasional menambahkan, “Mereka memperlakukan kami secara tidak manusiawi. Teman kami yang bekerja sebagai penjaga malam, tidak diperbolehkan mengambil air minum.” Pemerintahan Transisi mengklasifikasikan buruh menjadi tiga jenis, yaitu buruh terampil, buruh semi terampil, buruh tidak terampil. Dalam prakteknya ternyata kebanyakan orang Timor timur yang bekerja hanyalah digolongkan pada buruh semi terampil dan buruh tidak terampil. Akibatnya
orang Timor Lorosae kebanyakan hanya menjadi menjadi supir atau penjaga keamanan atau guru dengan gaji relatif rendah jika dibandingkan dengan para “bule” yang pasti masuk klasifikasi buruh terampildengan gaji yang tinggi dan jaminan sosial yang baik. Tentu saja hal ini menimbulkan keresahan dikalangan buruh karena UNTAET dianggap telah melakukan diskriminasi. Ketentuan Pemerintah transisi UNTAET menyebutkan, upah bagi pekerja tanpa keahlian (unskilled labour) antara Rp 20.000 dan Rp 25.000. Apa dasarnya? Bagaimana caranya sampai mendapatkan angka tersebut? Tak ada yang tahu. Perhitungan untuk menentukan upah ini memang tidak transparan dan dilakukan secara sepihak. Dari segi hukum sebenarnya telah jelas. Peraturan UNTAET No 1 tahun 1999 pada bagian 2 dan bagian 3 secara jelas menyatakan bahwa di Timor Timur diberlakukan standar-standar Internasional tentang hak asasi manusia dan berlakunya hukum-hukum yang berlaku di Timor timur sebelum tanggal 25 Oktober 1999 sepanjang tidak bertentangan dengan standar hak asasi manusia. Peraturan ini menunjukan bahwa di Timor Timur juga berlaku Standar Perburuhan Internasional sebagaimana yang telah ditentukan oleh ILO (Organisasi Buruh Internasional) dan Hukum Perburuhan Indonesia.Misalnya Konvensi ILO no 111 mengenai diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan yang isinya mengatur larangan terhadap setiap bentuk diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatann atau Undang-undang kerja no 12 tahun 1948 yang salah satu ketentuan didalamnya mengatur tentang jam kerja buruh yaitu 7 jam sehari dan 40 jam seminggu, Juga Undang-undang no 14 tahun 1969 tentang ketentuian pokok mengenai tenaga kerja yang di dalamnya mengatur tentang kebebasan buruh untk berorganisasi dan hak buruh untuk mogok, demonstrasi dan lock out. Jadi sebenarnya secara hukum Direito 04
Photo: Atoy AB
Direito Utama
BURUH. Penting dalam memperlancar arus barang.
tidak boleh ada perlakuan yang diajukan kepada seluruh buruh,” kata sewenang-wenang dari pihak manapun Luis Freitas, yang terpilih sebagai terhadap buruh dengan alasan belum sekretaris. Pengurus serikat buruh ada hukum apalagi hanya dengan alasan yang belum bernama itu, kini tengah pengabdian untuk bangsa dan negara. menyusun program kerja dan Keberatan mengenai cara UNTAET mempersiapkan langkah-langkah untuk membuat peraturan mulai santer mendaftarkan diri pada Pengadilan terdengar. “UNTAET membuat Distrik dan UNTAET. peraturan tanpa melihat kenyataan di Langkah yang dirintis para buruh lapangan dan tidak mendengar aspirasi pelabuhan ternyata menarik minat rakyat,” kata seorang sarjana hukum buruh-buruh lain yang bekerja di tempat lain. Kebebasan memang yang enggan disebut namanya. Dan buruh pun tak bodoh. Frederico menjadi hal yang baru bagi sebagian bersama lebih dari 100 buruh yang besar dari rakyat Timor Lorosae. bekerja di pelabuhan telah Langkah para buruh ini patut didukung mendiskusikan cara-cara untuk dan dijaga jangan sampai perjuangan memperbaiki nasib mereka. Mereka buruh yang sedang dilakukan demi juga berdialog dengan sejumlah ahli. kesejahteraan dan perbaikan nasib Mereka ingin mencari tahu mengenai buruh dibelokkan menjadi perjuangan hukum perburuhan dan cara-cara le- politik terutama politik partisan yang berorientasi pada kekuasaan. gal untuk memperbaiki nasib buruh. Setelah bertemu beberapa kali, pada pertengahan bulan Februari lalu kaum Upah yang kecil memang tak buruh pelabuhan Dili menyalahi peraturan yang berlaku. itu sepakat untuk Ketentuan pemerintah transisi mendirikan serikat buruh. Para pengurus UNTAET menyebutkan, upah bagi pun dipilih secara pekerja tanpa keahlian antara Rp demokratis. “Kami 20.000 dan Rp 25.000. Apa melakukan pemilihan secara langsung. dasarnya? Tak ada yang tahu. Orang-orang yang Perhitungan untuk menentukan upah akan dicalonkan ini memang tidak transparan. untuk menduduki jabatan tertentu 28 Maret 2000
2
Wa w a n c a r a Ramona Matusis
Hukum Perburuhan Harus dari Buruh Sendiri Lembaga-lembaga internasioanal seperti UNTAET, NGO internasional dan perusahaan asing belum mampu menangani masalah perburuhan di Timor Lorosae. Akibatnya, terjadi banyak pelanggaran terhadap hak-hak buruh. Untuk mengetahui permasalahan buruh di Timor Lorosae dan kemungkinan penyelesaiannya dari perspektif serikat buruh, Direito mewawancarai Ramona Matusis dari APHEDA (Australian People for Health and Education Development Abroad). Ramona adalah wakil APHEDA untuk Timor Lorosae. Organisasi ini didukung oleh Australian Trade Union movement di mana APHEDA berafiliasi dengan ACTU (Autralian Council of Trade Union). Kehadirannya di sini adalah untuk membantu melakukan pelatihan-pelatihan bagi buruh dan membuka jaringan buruh Timor Lorosae dengan serikat buruh lainnya di dunia. Berikut petikan wawancara dengan Ramona Matusis. Apa pendapat Anda tentang persoalan perburuhan di Timor Lorosae? Persoalan perburuhan di Timor Lorosae karena sebelumnya buruh belum memiliki pengalaman kerja secara kolektif. Di negara-negara lain mereka memiliki sistem kerja sehingga mereka dapat bekerja bersama-sama untuk membicarakan persoalan yang dihadapi, mencari solusi yang akan diambil, atau melakukan negosiasi dengan pengusaha. Pada masa penjajahan Portugal dan Indonesia, di Timor Lorosae tidak memiliki sistem seperti itu. Karena itu mereka harus memilikinya sejak awal dan itu merupakan sesuatu yang sulit. Masalah upah yang sangat rendah, jam kerja yang panjang, kondisi kerja yang merugikan merupakan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh buruh Timor Lorosae saat ini. Mengapa UNTAET dan NGO internasional tidak menghormati hakhak buruh padahal UNTAET tengah mempersiapkan Timor Lorosae untuk merdeka dan mereka memiliki latar belakang sistem perburuhan yang baik? ita tidak dapat berasumsi seperti itu. Banyak staf UNTAET, NGO internasional dan pengusaha yang berasal dari negaranegara maju itu tahu akan hak-hak buruh. Tapi kita jangan terlalu mengharapkan pada UNTAET untuk menyelesaikan persoalan-persoalan perburuhan. Perubahan tidak berasal dari kebaikan hati UNTAET atau perusahaan-perusahaan, tapi sangat tergantung pada buruh itu sendiri. Buruh di sini dan di luar negeri dapat menjalin kerja sama untuk memaksa, agar terjadi perubahan ke arah yang lebih 3
baik.
tidak adil, karena tidak membela kepentingan buruh.
Adakah perbedaan antara agen PBB dan NGO internasional dalam melayani buruh. Agen PBB, misalnya memberlakukan surat kontrak sedangkan NGO internasional tidak padahal keduanya di bawah kendali UNTAET?
Bagaimana seharusnya peranan UNTAET untuk mengatasi persoalan perburuhan? Hukum perburuhan, hubungan industri bisa menjadi lebih kompleks, tapi ada cara untuk mengatasinya. Misalnya, dengan berkonsultasi dengan semua kelompok (UNTAET, NGO internasional, kaum buruh, organisasi buruh, CNRT maupun pengusaha) yang ada di Timor Lorosae. Hal ini merupakan jalan terbaik untuk menentukan peraturan-peraturan.
Kenyataannya, setelah hukum Indonesia dijadikan sebagai hukum pada masa transisi selama ini tidak ada upaya untuk buruh dan tidak ada sistem kontrol. Organisasi internasional termasuk perusahaan begitu mudah mempekerjakan buruh dengan mengambil keuntungan karena belum diberlakukanya hukum. Banyak staf UNTAET, NGO Dengan tidak adanya internasional maupun pengusaha hukum dan standar upah minimum, UNTAET yang berasal dari negara-negara sepertinya tidak punya maju tahu akan hak-hak buruh. keinginan untuk mengeluarkan peraturanTapi, jangan terlalu berharap pada peraturan dasar, sehingga mereka untuk menyelesaikan buruh memiliki aturanpersoalan-persoalan perburuhan. aturan dasar.
Perubahan harus berasal kaum buruh sendiri.
Hukum Indonesia akan diberlakukan di Timor Lorosae dengan sejumlah perbaikan, termasuk hukum perburuhan apa pendapat Anda mengenai hal itu?
Belum jelas apakah UNTAET akan menggunakan hukum mana untuk Timor Lorosae. Menurut saya, hal yang terbaik adalah teman-teman di Timor Lorosae harus memiliki hukum perburuhan sendiri. Hukum perburuhan Indonesia sangat Direito 04
Apa yang akan dilakukan organisasi Anda untuk mengatasi persoalan perburuhan di Timor Lorosae? Saya ke sini untuk melakukan kerja sama dengan buruh. Tapi jangan menganggap bahwa saya telah mengetahui semua persoalannya. Kami akan memberikan apa 28 Maret 2000
Wa w a n c a r a yang organisasi kami mampu lakukan. Kesempatan harus diberikan kepada kaum buruh untuk mengembangkan diri mereka. Bagaimana dengan buruh perempuan di Timor Lorosae karena persoalan perempuan seperti dilupakan selama ini? Saya tidak ingin berargumentasi bahwa penanganan terhadap perempuan berhubungan dengan budaya. Saya selalu mengatakan bahwa perkosaan di negara mana pun adalah perkosaan. Di mana pun secara budaya tidak dapat diterima atau tidak seharusnya diterima. Jadi, perempuan harus memiliki peran sebagai mitra yang setara. Ini tidak berarti mereka harus melakukan hal yang sama tapi mereka dapat memilih untuk tidak melakukan hal yang dilakukan oleh laklaki. Itu adalah pilihan mereka. Tapi mereka harus diberi kesempatan untuk berkembang. Sepengetahuan saya, selama proses referendum dan selama perjuangan menentang Indonesia perempuan memiliki peranan yang besar. Pada masa perjuangan dan setelah referendum, kaum perempuan merupakan objek kekerasan. Saya pikir sekarang ini, perempuan harus berkonsentrasi untuk mendukung keluarga, membangun kembali hidupnya. Perempuan Timor Lorosae harus mulai memikirkan peranannya untuk membangun masyarakat. Selama proses referendum perempuan memberikan kontribusi yang besar pada bangsanya. Saya tidak ingin melihat perempuan bersikap konservatif. Adalah penting bagi perempuan untuk memulai berdiskusi, berdebat dan mengeluarkan program-program kerja mereka. Di Australia, serikat buruh memiliki komite perempuan. Kami memiliki kebijakan-kebijakan yang mendukung perempuan untuk berperan dalam bidang-bidang penting yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan. Apa saja usaha Anda selama masa transisi yang berkaitan dengan buruh? Di negara-negara yang baru mengembangkan demokrasi adalah penting untuk memiliki civil society yang Direito 04
kuat termasuk kebebasan media, serikat buruh, organisasi hak asasi manusia, organisasi petani, kesehatan, dan yang lainnya. Kelompok-kelompok ini harus berperan dalam demokrasi seperti halnya dengan partai politik. Adalah sangat tergantung kepada buruh untuk melihat persoalannya. Buruh adalah bagian dari masyarakat, jadi apa yang dilakukan harus baik juga untuk masyarakat. Saya percaya bahwa serikat buruh dapat mengubah standar hidup masyarakat secara keseluruhan. Definisi tentang buruh di Timor Lorosae harus diperluas. Buruh bukan saja mereka yang bekerja pada NGO internasional atau perusahaan asing tapi juga petani, nelayan dan mereka yang bekerja pada UNTAET. Buruh adalah korban dari sistem ekonomi. Untuk dapat mengontrol sistem, buruh harus bersamasama dan itu bukan tugas saya untuk membicarakan hal tersebut. Ttapi, sekali lagi, tergantung pada masyarakat di sini untuk menentukannya.
mengetahuinya melalui tukar pikiran dengan teman-teman dari negara lain. Ada sistem yang bekerja lebih baik berkaitan dengan persoalan perburuhan. Contohnya, buruh di Basque, Spanyol. Di sana kaum buruh memiliki alat-alat produksi dan peralatan itu dikelola secara kolektif. Ini merupakan praktek yang sangat sesuai dengan rakyat Timor Lorosae, yang memiliki rasa kebersamaannya masih tinggi. Saya kira penting sekarang bagi rakyat Timor Lorosae untuk mengetahui kemungkinankemungkinan yang ada. Ada banyak contoh kolektivisme sebagai alternatif dari pilihan-pilihan yang ada. Tapi saya tidak mengajukan hal tersebut untuk rakyat Timor Lorosae, tapi cobalah untuk melihat pilihan-pilihan yang ada.
Buruh seharusnya mengontrol sistem ini nantinya atau bagaimana?
Saya pikir rakyat Timor Lorosae mengalami trauma yang berat karena mengalami penjajahan Indonesia selama hampir 24 tahun. Rakyat Timot Lorosae perlu memikirkan struktur negara, hukum, dan masa depannya. Rakyat Timor Lorosae harus memiliki pemahaman yang luas terhadap kehidupan sosialnya dan ke mana arah pembangunan ini. Rakyat Timor Lorosae membutuhkan waktu untuk membangun kembali kehidupannya dan mengetahu secara pasti apa yang diinginkan rakyat itu sendiri. Tidak mungkin jawabanjawaban tersebut diperoleh dari negaranegara lain. Negara lain hanya memyediakan kemungkinan pilihan.
Berbicara mengenai kontrol, saya pikir apa yang harus dikembangkan lebih jauh karena saya melihat budaya kritik sangat kuat di antara rakyat Timor Lorosae lebihlebih mahasiswa. Selama Timor Lorosae dinyatakan terbuka untuk melakukan debat dengan permasalahan yang dihadapi di forum-forum maupun melalui media, maka tidak akan ada satu kelompok yang akan mendominasi sistem. Saya pikir belum ada dalam sejarah dimana selfcriticism itu sangat kuat di negara mana pun. Budaya kritik harus tetap dipertahankan dan dikembangkan. Apakah ada pilihan-pilihan bagi buruh Timor Lorosae sehubungan dengan persoalan yang mereka hadapi? Satu hal menarik yang saya ketahui tentang rakyat Timor Lorosae adalah rakyat Timor Lorosae dengan tegas mengatakan, yang salah itu salah dan yang benar itu benar. Ini merupakan hal yang sangat utama dalam membangun negaranya. Tapi apa yang belum dipahami secara utuh adalah pilihan-pilihan yang tersedia baginya. Begitu pula dengan buruh-buruh di Australia. Kita bisa 28 Maret 2000
Apa harapan Anda bagi organisasi buruh atau gerakan buruh di Timor Lorosae, paling tidak selama masa transisi ini?
Saya tidak mau menentukannya dari atas, karena saya belum memiliki bukti bahwa sistem tersebut merupakan yang terbaik bagi Timor Lorosae. Rakyat Timor Lorosae harus menentukan sendiri pilihan mana yang akan diambil. Harapan saya, semoga dapat tercipta jaringan yang luas dengan negara-negara lain. Dan terciptanya satu forum di mana rakyat Timor Lorosae dapat membicarakan masalahnya sendiri. Jika dapat tercapai tentu saya akan ikut merasa senang. 4
O p i n i Tribunal Internasional & Rekonsiliasi di Timor Lorosae Oleh: Manuel F. Exposto, S.H.
L
embaga peradilan internasional menjadi topik perbincangan hangat di kalangan masyarakat internasional ketika terjadinya peningkatan aksi kekerasan selama dan setelah referendum di Timor Lorosa’e. Operasi pembumihangusan oleh milisi dan TNI memicu reaksi dari berbagai penjuru dunia. Komisaris Tinggi HAM PBB, Mary Robinson secara terbuka menyatakan TNI terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Lorosa’e. Pernyataan serupa juga diungkapkan berbagai disertai desakan masyarakat internasional agar PBB membentuk menyeret para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ke Tribunal Internasional. Masyarakat di Timor Loroase menaruh harapan besar, agar PBB secepat mungkin membentuk peradilan internasional. Apalagi PBB telah membentuk dan mengutus tim investigasi ke Timor Lorosa’e untuk menyelidiki kasus tersebut. Tak heran jika masyarakat semakin optimis dengan terobosan PBB tersebut. Setelah beberapa lama berada di Timor Lorosae, badan penyelidik internasional itu membenarkan, bahwa telah terjadi tindak kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan para milisi dan TNI di Timor Lorosae. Sementara itu, pembentukan sebuah Tribunal Internasional ternyata bukan hal yang mudah. Beberapa keberhasilan memang pernah dicapai dengan dibentuknya tribunal (ad hoc) internasional dalam kasus Rwanda dan Yogoslavia. Namun, dalam kasus lain terbukti gagal ketika akan menyeret Pol Pot dalam kasus “ladang pembantaian” di Kamboja. Oleh karena itu, pemahanan terhadap sosok lembaga pengadilan internasional sangat penting dalam konteks Timor Lorosae. Ide tentang peradilan internasional untuk kasus kriminal yang permanen telah diupayakan dan hasilnya dituangkan dalam sebuah dokumun yang disebut Statuta Roma (The Rome Statute of The International Criminal Court), yang berisi sejumlah prinsip-prinsip hukum tentang lembaga kriminal internasional. Pada prinsipnya disebutkan, maksud dibentukya Peradilan Kriminal Internasional adalah untuk menciptakan
5
sebuah lembaga peradilan dengan yuridiksi (kompetensi) internasional untuk mengadili tertuduh pelaku pelanggaran berat terhadap hukum internasional (Humanitarian Law). Berbeda dari Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang kompetensinya (subyek hukum) terbatas pada negara (state), Peradilan Kriminal memiliki kapasitas untuk mengadili seseorang secara individual dengan yuridiksi universal. Lembaga ini pun bukan bersifat ad hoc seperi peradilan internasional untuk kasus Rwanda dan Yogoslavia yang yudidiksinya pun terbatas secara geografis. Mekanisme internasional yang permanen akan mencegah tindakan impunity atas kekejaman para penguasa negara yang berlindung dibalik kekuasaannya dan lebih jauh akan terjaminnya sebuah kepastian hukum. Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan tindakan kekerasan sistematis yang meliputi aspek yang luas terhadap masyarakat sipil. Tindakan yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur dalam pasal 7 Statuta Roma adalah pembunuhan, pembasmian, perbudakan, pengiriman kembali ke negeri asal, pemenjaraan, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan politik, ras dan keagamaan dan tindakantindakan tidak berperikemanusiaan lainnya. Jika dicermati, kategorisasi tersebut banyak memiliki korelasi dengan tindak kejahatan yang berlangsung pada masa pembumihangusan. Dari perspektif hukum, aturanaturan dasar dalam Statuta Roma dapat menjadi landasan dibentuknya sebuah Tribunal Kriminal Internasional yang permanen di masa datang. Persoalannya mungkin akan terbentur pada faktor politik dan ekonomi dari negara-negara anggota Dewan Keamanan (DK), mengingat keputusan untuk pembentukan lembaga serupa memerlukan persetujuan dari negara-negara anggorta DK tersebut melalui mekanisme voting tanpa adanya veto dari negara-negara anggota tetap. Sementara itu, status lembaga peradilan internasional yang bersifat pelengkap terhadap peradilan nasional (dalam negeri) sebuah negara akan berpengaruh pada dibentuk atau tidaknya
Direito 04
sebuah tribunal kriminal internasional. Yang dimaksud dengan sifat pelengkap tersebut adalah sejauh peradilan nasional berlangsung secara transparan dan fair, sehingga kemungkinan tidak akan dibentuk tribunal internasional untuk kasus-kasus kejahatan kemanusiaan untuk kasus yang sama. Ini tampaknya terkait dengan pelaksanaan salah satu prinisip hukum seseorang bahwa tidak dapat diadili untuk kedua kalinya dalam kasus yang sama. Dalam konteks Timor Lorosa’e rekonsiliasi merupakan sebuah upaya untuk menjamin reintegrasi sosial. Politik devide et impera yang dipraktekkan Indonesia 24 tahun telah mencabik-cabik kekerabatan rakyat Timor Lorosa’e. Dengan politik devide et impera pemerintah Indonesia mencoba memanipulasi persoalan Timor Lorosa’e menjadi sebuah konflih horizontal. Dan tanpa disadari masyarakat di Timor Lorosae pun terjebak dalam manipulasi tersebut. Ide tentang rekonsilisasi kini menjadi tema pokok setiap perbincangan, dan kadang diwarnai perbedaan pendapat, baik di tingkat elit kekuasaan maupun masyarakat awam. Dari perspektif hukum, jelas bahwa rekonsiliasi yang efektif harus dilandasi dengan pelaksanaan hukum (law enforcement) secara efektif. Fenomena kekerasan di Timor Lorosae merupakan rangkaian tindakan kriminal yang tergolong ke dalam kejahatan kemanusiaan, maka upaya rekonsiliasi harus pula dilihat dalam konteks law enforcement. Artinya. para pelaku kejahatan berat (gross violation) harus mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui proses hukum yang adil. Upayanya bisa melalui mekanisme Tribunal Internasional untuk para pelaku kejahatan. Seiring dengan itu, pada level lokal (Peradilan di Timor Lorosae), proses penegakkan hukum diarahkan untuk menuntut para pelaku yang terlibat langsung dalam kasus di lapangan. Sebuah rekonsiliasi yang berperspektif hukum akan lebih efektif dalam konteks pendidikan hukum kepada rakyat. Bahwa setiap tindak kejahatan harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Dan melalui mekanisme peradilan lah dapat dibuktikan apakah seorang dinyatakan bersalah atau tidak.
28 Maret 2000
Serba Serbi Pertemuan dengan Mantan Tapol-Napol Mantan tahanan dan narapidana politik memang bukan sampah masyarakat. Mereka pernah adalah individu atau kelompok yang pernah melakukan aktivitas politik pada masa penjajahan Indonesia. Secara moral mereka memiliki tanggungjawab terhadap perkembangan bangsa dan negara Timor Lorosae. Pada awal Februari silam, Yayasan HAK telah menyelenggarakan pertemuan dengan sejumlah eks tahanan dan narapidana politik yang pernah didampingi selama proses penyelidikan maupun selama persidagan. Pertemuan yang diselenggarakan di Becora, Mota Ulun itu dihadiri 53 orang, 5 perempuan dan 48 laki-laki. Sebagai kelompok maupun individu, mereka harus memiliki tempat dan ruang untuk terus memperjuangkan kemerdekaan bagi Timor Lorosae. “Mereka harus diberdayakan agar tetap tumbuh sikap kritis terhadap perkembangan pilitik, ekonomi maupun sosial,” kata Oscar da Silva, kepala divisi pendidikan dan pengorganisasian Yayasan HAK. Karena itu, Yayayasan HAK mempunyai kewajiban untuk tetap mengorganisir mereka.
Hal itu diakui oleh Vasco da Gama, yang pernah ditahan di penjara Becora, sehubungan dengan kasus penyerangan Brimob Markas Kompi A di Bairo Pitte. “Kami merasa masih memiliki ikatan satu sama lain meski kini kami telah lama menghirup udara di alam bebas. Untuk itu kita harus bisa saling membantu mengembangkan potensi dan kreativitas,” ujar ayah beranak kembar itu. Tamatan Fakultas Pertanian Universitas Timor Timur ini menambahkan, sampai saat ini di Timor Lorosae masih saja ada keributan yang terjadi di mana-mana, tapi orang-orang yang pernah mendekam dalam tahanan itu tak ada yang terlibat dalam berbagai kejadian tersebut. Dalam pertemuan yang berlangsung akrab dan santai itu, beberapa peserta mengusulkan beberapa kegiatan yang bisa dibantu oleh Yayasan HAK. Kita semua tahu, pasca referendum kondisi di Timor Lorosae hancur lebur. Sebagian besar rakyat tak lagi memiliki apa-apa. Alberto, misalnya mengajukan gagasan, lembaga yang bergerak di bidang hukum, hak asasi dan keadilan ini memberikan modal untuk membuka usaha.
Bantuan untuk Wilayah Bazartete dan Maubara Pada minggu ketiga Maret lalu, sebuah truk Canter bernomor Y-HAK 15 melaju dari Jalan Raya Bazartete ke Liquica. Truk berwarna putih itu penuh dengan hasil bumi yang siap dipasarkan. Selama masa sulit pasca referendum akibat pembumihangusan oleh milisi dengan dukungan TNI, Yayasan HAK mengambil peran aktif membantu rakyat yang tengah dilanda krisis pangan, sandang, dan papan melalui divisi bantuan darurat. Kegiatan yang dilakukan tak hanya untuk wilayah barat, tapi juga ke wilayah tengah, dan timur. Antonio Zeronimo, salah seorang anggota Divisi Bantuan Darurat menuturkan, program di Distrik Liquica, khususnya di Bazarete dan Maubara dirancang untuk memberdayakan rakyat lewat pengorganisasian kelompok tani. “Selain itu, juga menyediakan jasa transportasi untuk mengangkut hasil pertanian warga di Bazartete dan Maubara untuk dijual ke pasar Liquica Kota,” kata Antonio. Program pembedayaan rakyat ini sudah dilakukan sejak 15 Januari lalu, sedangkan kegiatan pengangkutan dilakukan setiap hari Jum’at. Atoi Zero, begitu Antonio akrab
Direito 04
dipanggil, mengisahkan keadaan masyarakat di Bazartete ketika pertama kali tim bantuan darurat terjun untuk membantu warga tani di sana. Daerah itu amat memprihatinkan, rumah tinggal habis dibakar, hasil pertanian pun dibakar, sebagian kecil yang tersisa rusak karena terlalu lama ditimbun. “Mau dijual tapi siapa yang mampu membeli sementara kalau dibawa ke Dili bagaimana membawanya?” Lalu, apa upaya warga? Kelompok tani itu kemudian mengemukakan masalah yang dihadapi pada Bupati Distrik Liquica, Patrick Burges. Solusi pun segera ditemukan. Hasil pertanian warga yang tersisa dan masih layak jual, segera dipasarkan. Untuk keperluan transportasi, divisi bantuan darurat diminta untuk menyediakan transportasi. Warga tentu saja merasa terbantu. Dan setelah satu bulan bekerjasama, warga berinisiatif untuk mengumpulkan dana secara patungan, yang disesuaikan dengan kemampuan setiap anggota. “Iuran itu digunakan untuk menambah biaya operasional,” tambah Jose Gonsalves yang juga bertanggung jawab memfasilitasi kegiatan Divisi Bantuan Darurat di Bazartete.
28 Maret 2000
Sementara Agustinho Mengusulkan agar ada bantuan berupa alat-alat pertanian, seperti traktor dan alat-alat lainnya. “Sebagian di antara kami memiliki lahan yang cukup luas,” katanya. Transportasi pun amat mereka perlukan. “Ada di antara kami yang memerlukan bantuan kendaraan untuk mengangkut barang-barang dagangan dari kampung ke Dili,” sambung Thomas. Usulan dari para peserta itu tentu saja tak langsung disanggupi. Sebab, untuk membuka usaha dibutuhkan konsep yang jelas maupun dan tenaga terampil yang bersedia menjadi pengelola. “Kami bisa saja memfasilitasi bantuan asal gagasan untuk membuka usaha itu datang dari kelompok ini,” kata Jose Luis de Oliveira, manajer program Yayasan HAK. Menanggapi tawaran dari Jose Luis itu, para peserta kemudian bersepakat untuk mendirikan sebuah badan usaha, yaitu koperasi yang akan dikelola oleh kelompok ini. Sementara managemennya akan diatur bersama antara kelompok mantan tapol dan napol ini dengan Y-HAK. Sedangkan Horacio, Thomas Correa, Alberto, Fransisco dan Bendito terpilih sebagai pengelola koperasi. Kita tunggu kelanjutan program mereka itu.
Menjelang bulan keempat, kehidupan di Bazartete, wilayah yang berbatasan dengan Dili, Gleno Ermera dan Liquica Kota pelan-pelan mulai bergirah. Rumahrumah darurat beratap daun lontar dan terpal kini mulai beratap seng atas bantuan dari sebuah NGO Jepang, Peace Wind Japan. Kebun-kebun kosong yang lama ditinggalkan pemiliknya karena harus mengungsi ke perbukitan pun sudah mulai ditanami tomat, sayuran, tembakau, nanas, jagung dan pisang. Mereka sudah mulai memetik hasil jerih payah mereka. Namun, persoalan pangan utama masih belum teratasi, khususnya kurangnya beras, minyak, obat-obatan dan alat-alat pertanian. Sementara itu di wilayah Maubara, yang berbatasan dengan Ermera, Hatolia dan Atabae itu juga difasilitasi dengan membentuk kelompok tani dan jasa transportasi. “Kebetulan di Maubara terdapat sejumlah NGO lokal, yang dikelola oleh penduduk dan juga memiliki program di bidang pengorganisasian kelompok tani.” Di Maubara Lisa, divisi bantuan darurat telah menyumbangkan sejumlah peralatan pertanian selain kacang hijau. Ya, rakyat di Timor Lorosae memang tak harus bergantung pada bantuan orang lain.
6
Serba Serbi Problem Tanah Selama Masa Transisi Masalah yang berkaitan dengan tanah selalu menarik, apalagi selama masa transisi. Untuk mengetahui sejauh mana persoalan yang berkaitan dengan tanah di Timor Lorosaei, divisi pengkajian mengundang Dr. Daniel Fritzpatrik, seorang pengajar pada Australian National University, yang kini bekerja pada Departemen Land & Property Untaet. Diskusi yang diselenggarakan pada 10 Maret lalu itu dihadiri oleh staf Yayasan HAK dan anggota Assosiasi Mak Kaer Fukun Timor Lorosae. Dalam diskusi muncul berbagai masalah, antara lain persoalan tanah adat. Menurut Daniel, jika ada kasus tanah masyarakat adat harus dibangun mekanisme sengketa tanah dengan memberi kewenangan
pada lembaga adat (hukum adat), yang dalam konteks hukum nasional harus diberikan pengakuan mutlak dalam undang-undang, sehingga penyelesaiannya dapat dilanjutkan ke pengadilan formal dengan membentuk pengadilan tanah. Mudahkah? “Dengan catatan harus ada sistem untuk pendaftaran tanah adat, khususnya hak komunal (hak ulayat),” kata Daniel. Dalam sistem hukum Indonesia eksistensi hukum adat diakui tapi tidak kuat, karena dalam proses pendaftaran tanah adat harus ada wakil adat. Lalu, siapakah wakil adat itu? Wakil adat itu harus didefinisikan dengan jelas dan dalam konteks ekonom modern memang sulit tapi harus dilaksanakan. Ia mengambil contoh, jika saat ini ada
pemodal yang membutuhkan tanah untuk membuka bisnis atau yang lain, maka Untaet harus mendapatkan persetujuan dengan masyarakat adat. Untuk proses yang fair pertama harus ada pendaftaran hak ulayat, sehingga ada kepastian sebagai hak milik masyarakat adat terhadap obyek yang bersangkutan. Jadi harus ada prosedur yang kuat dalam bentuk peraturan. Prosedur itu akan mengatur, tanaman, bangunan, harga bangunan, harga tanah dan apakah bangunan itu akan mengganggu kehidupan lingkungan adat. Dan ia mengusulkan, semua ganti rugi itu tidak harus dalam bentuk uang, tapi pemodal bisa membangun jalan, membangun gedung sekolah atau puskesmas.
Edukasaun Popular di Radio Sejak awal tahun ini, Yayasan HAK bekerjasama dengan Radio Timor Kmanek. Acara yang dikemas dalam talkshow itu mengangkat tema utama tentang pendidikan popular. Edukasaun popular yang berdurasi 30 menit itu mengangkat berbagai masalah yang muncul di Timor Lorosae. Selama bulan Januari, topik yang pernah dibahas antara lain, masalah buruh, hak asasi manusia, dan nasionalisme Timor Lorosae. Pada bulan berikutnya, Hilmar Farid
dari Forum Solidaritas untuk Rakyat Timor Lorosae [Fortilos], Jakarta bersama Jose Luis de Oliveira membahas dampak pemakaian dolar Amerika selama masa transisi. Sehubungan dengan maraknya persoalan perburuhan, pada minggu kedua Februari lalu tema yang dibahas adalah masalah advokasi buruh, dengan narasumber Johnson Pandjaitan, pengacara dari PBHI [Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia], Jakarta; kemudian masalah tribunal internasional dibahas bersama Tessa
Piper dari Human Rights Section Untaet dan Jose Jaquelino dari CDHTL, dan acara terakhir pada bulan Februari mengupas masalah “Apa itu Nacional Counsultative Council [NCC]” dengan narasumber Felicidade Guterres dan Aniceto Guterres Lopes. Pada bulan Maret, pengasuh acara Edukasaun Popular, Ajiza Magno dan Nuno Rodgriguez tema yang diangkat adalah masalah rekonsiliasi dan rekonstruksi nasional, kekerasan yang terjadi di Timor Lorosae, dan persoalan tanah.
Pertemuan dengan Masyarakat Uatu-Lari Tim dari Yayasan HAK, yang terdiri dari Oscar da Silva, Jose Luis de Oliveira, Aderito de Jesus Soares, Moises da Silva, Titu de Aquino dan Silverio Pinto Babtista menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat di Uatu-Lari, Viqueque, pada 2-5 Maret lalu. Pertemuan dengan masyarakat UatuLari itu dihadir 183 orang, 3 orang perempuan dan 174 orang laki-laki. Diskusi diawali dengan pembahasan persoalan apa arti ukun rasik an dan bagaimana memelihara ukun rasik an bagi seluruh rakyat Timor Lorosae melalui rekonsiliasi yang dicanangkan secara nasional oleh pimpinan CNRT Xanana Gusmao. Kemudian dilanjutkan dengan perkembangan situasi dan berbagai konflik yang timbul dan langkah-langkah antisipasi untuk mengatasi hal hal tersebut dengan menguraikan perkembangan proses peradilan yang tengah dipersiapkan oleh UNTAET. Para peserta banyak menyoroti masalah perampasan harta kekayaan, berupa sawah dan ternak yang dilakukan oleh masyarakat pro-integrasi pada tahun 1979. Harapan masyarakat, agar segera diselesaikan melalui proses hukum. Kemudian dijelaskan,
7
bahwa sampai saat ini, baru ada satu pengadilan di Dili dan pelayanannya masih sangat terbatas. Karena itu masih sangat sulit mengharapkan penyelesaikan masalah melalui jalur pengadilan. Sebagai alternatif, harus dipikirkan jalan penyelesaian alternatif. Misalnya, membentuk kelompok yang bertugas untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi dalam masyarakat. Selama diskusi dapat diidentifikasi, bahwa diperlukan kelompok yang dibentuk oleh masyarakat untuk menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi. Pertemuan berikutnya dilakukan bersama kelompok adat dan pembentukan kelompok penyelesaian sengketa. Pada pertemuan kali ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok bersama pimpinan zona, yang membahas masalah pembentukan kelompok penyelesaian sengketa; dan Komisi Keadilan dan Perdamaian yang mengadakan pertemuan dengan kelompok adat. Kegiatan lain adalah pelatihan HAM untuk guru SD dan SMP. Pertemuan yang diselenggarakan di aula Paroki Uatu-Lari itu dihadiri 131 orang, yang terdiri dari 9 orang perempuan dan 122 laki-laki. Selain para guru,
Direito 04
hadir pula dua orang pastor yang menjabat sebagai kepala sekolah SD dan SMP Swasta di Zona Uatu-Lari. Dalam pelatihan tersebut dibahas HAM sebagai hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sejak ia dilahirkan untuk dapat mengembangkan kehidupannya. Sedangkan konsep pelanggaran HAM dilihat sebagai aspek filosofi, yaitu suatu tindakan untuk mengurangi martabat manusia; sedangkan jika dilihat dari aspek yuridis sebagai tindakan yang melanggar instrumen-instrumen yang berkaitan dengan nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam pertemuan itu juga dijelaskan tentang Duham dan konvensi-konvensi lainnya. Persoalan yang muncul dari peserta menyangkut masalah penanganan proyek kemanusiaan yang menurut mereka sangat diskriminatif. Menurut peserta, memang sebagian besar masyarakat Uato-Lari tidak kekurangan pangan, tapi berarti semua warga masyarakat di sana memiliki sawah. Hal itu dikeluhkan karena LSM yang menangani proyek kemanusiaan mengambil langkahlangkah yang sepihak, tanpa melihat keadaan yang sesungguhnya.
28 Maret 2000
Serba Serbi Johny Lumintang Digugat di AS Mayor Jendral Johny Lumintang, mantan Kepala Staff TNI-AD, salah seorang dari Jendral Indonesia yang terbukti terlibat dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Lorosa’e digugat di AS. Lumintang berkunjung ke AS sebagai pembicara dalam sebuah seminar. Tanggal 30 Maret waktu AS, ketika berada di Bandara Internasional Dulles, Johny mendapat surat pemberitahuan tentang gugatan berikut surat panggilan untuk menghadap US District Court. Gugatan tersebut dilakukan atas nama seorang korban dan keluarga dua orang korban lainnya. Ketiga orang tersebut adalah seorang pria yang pernah dianiaya dan ditembak kakinya hingga harus diamputasi, seorang ibu yang anaknya terbunuh serta seorang pria yang ayahnya tertembak dan saudara lelakinya terbunuh. “Semua ruang yang tersedia harus dimanfaatkan untuk mendapatkan keadilan bagi TImor Lorosa’e.” demikian kata John M. Miller dari ETAN. “Gugatan seperti ini dapat membantu memastikan bahwa orangorang yang bertanggungjawab atas penghancuran di Timor Lorosa’e tahun lalu dimintai pertanggungjawaban, serta memperingatkan pelanggar HAM di masa yang akan datang,” lanjut Miller. Gugatan dilakukan oleh tiga lembaga di AS, yakni Center for Constitutional Rights (CCR) yang berbasis di New York, Center for Justice and Accountability (CJA) yang berbasis di San Francisco, serta James Klimaski yang berbasis di Washington DC, didukung oleh East Timor Action Network (ETAN). Berkas-berkas gugatan tersebut menyitir sebuah telegram yang ditandadangani oleh Jony Lumintang yang ketika itu menjabat Wakil Kepala Staff TNI-AD. Surat Telegram tersebut ditujukan kepada Panglima KODAM IX/ Udayana, berisi perintah untuk melakukan penghancuran jika hasil jajak pendapat menguntungkan pihak proDireito 04
Kemerdekaan Timor Lorosa’e. Suatu Rencana Penarikan Mundur/Evakuasi jika Jajak Pendapat dimenangkan kelompok pro-kemerdekaan. Telegram tersebut ditandatangani beberapa jam sebelum Kesepakatan 5 Mei tantang Jajak Pendapat ditandatangani. Berdasarkan Surat Perintah Telegram tersebut, sejak bulan Juni baik Korem 164/Wira Dharma maupun Polda Timor Timur telah mempersiapkan sebuah rencana evakuasi. Rencana tersebut dirancang lengkap dengan jumlah penduduk yang harus diungsikan ke NTT, baik orang Timor Lorosa’e maupun non-Timor Lorosa’e, lengkap dengan rincian persiapan logistik yang diperlukan. Dan rencana itu memang menjadi kenyataan begitu hasil Jajak Pendapat yang dimenangkan proKemerdekaan diumumkan. Gugatan yang dilakukan berdasarkan pada Alien Tort Claims Act 1789 dan Torture Victim Protection tahun 1992 tersebut juga menyitir sebuah Petunjuk Chandi Yudha yang ditandatangani oleh Lumintang, yang berisi petunjuk pelatihan petugas intelijen Kopassus dalam bidang propaganda, penculikan, terror, agitasi, sabotase, infiltrasi, operasi penyamaran, penyadapan telepon, intelijensi fotografi dan operasi psikologis. Alien Tort Claims Act 1789 memungkinkan siapa saja, baik penduduk AS maupun orang asing untuk digugat atas tindakan yang dilakukan di luar AS, yang melanggar hukum nasional maupun perjanjianperjanjian PBB. Pada tahun 1994, CCR berhasil menggugat Mayor Jeneral Sintong Panjaitan karena keterlibatannya dalam pembantaian 1991 di Santa Cruz, Dili di mana lebih dari 270 orang Timor Lorosa’e terbunuh. Jaksa Judge Patti Saris dari U.S. District Court memerintahkan jendral Panjaitan untuk membayar 4 juta Dollar AS sebagai kompensasi atas kerugian dan 10 Dollar AS sebagai kompensasi bagi 28 Maret 2000
hukumannya kepada Nyonya Hellen Todd, ibu dari Kamal Bamadhaj, satusatunya orang non-Timor Lorosa’e yang terbunuh dalam pembantaian tersebut. Sebuah laporan Komisi Investigasi HAM PBB yang dikeluarkan awal tahun ini menyimpulkan bahwa Tentara Indonesia terlibat dalam pelanggaran HAM sistematis sebelum dan sesudah Jajak Pendapat. Kesimpulan yang sama juga dilakukan oleh Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Komnas HAM Indonesia. Menurut komisi ini, mereka telah menemukan bukti-bukti bahwa sebuah operasi pembumihangusan massal yang terencana dan sistematis telah dilaksanakan di Timor Lorosa’e. Sementara itu, dari Jakarta diperoleh informasi bahwa Rancangan Undang-Undang Peradilan HAM yang dimaksudkan untuk mengadili para Penjahat terhadap kemanusiaan tersebut telak ditolak di DPR sebanyak 9 kali. Tarik-menarik masih terus berjalan seputar Rancangan Undang-undang tersebut, dan tidak mustahil akan mengalami kegagalan. Namun Jaksa Agung Indonesia Minggu lalu telah melantik sebuah Tim Penyelidik yang terdiri dati 79 orang untuk mulai melakukan penyidikan terhadap para tersangka. Banyak orang juga masih pesimis dengan Tim tersebut, mengingat bahwa di dalamnya masih terdapat 10 orang dari Detasement Polisi Militer TNI-AD dan 6 perwira penyidik dari POLRI dan 10 orang dari Departemen Dalam Negeri RI.
Redaksi Direito Pemimpin Redaksi: Rui Viana Editor: TI Lay Out: Quim Staff & Reporter: Neves, Rodrigues, Exposto, Silva, Borges, Pinto, Zero, Anu, Rosito. 8