Bunyi Merdeka
Sejarah Sosial dan Tinjauan Musikologi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Dirdho Adithyo dan I Gusti Agung Anom Astika
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Kesenian 2017
Bunyi Merdeka
Edisi Pertama, ebook, Juli 2017, 122 hlm, 14,8 x 21 cm Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Kesenian Komp. Kemdikbud Gedung E Lt. 9 Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta, 10270, 021 5725578 – 021 5725035 - 021 5725572
Penanggung Jawab Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid Pengarah Direktur Kesenian Restu Gunawan Panitia Pelaksana Edi Irawan Ibnu Sutowo Farida Berliana S. Oktavia Yulliea Susanto Penulis Dirdho Adithyo & I Gusti Agung Anom Astika Editor M. Fauzi Penata Letak dan Perancang Sampul Alit Ambara
Daftar Isi Sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan
vii
I Overture 1 1.1. Prelude untuk Sumpah Pemuda 1 1.2. Tala Nada Politik Hukum Indonesia Raya 26 1.3. Kemerdekaan Sebagai Bunyi 32 II Musik Sebelum Indonesia Raya 39 2.1. Etude Syailendra 41 2.2. Musik Barat di Hindia Belanda 51 2.3. Musik Modern, Nyanyian Perjuangan, dan Indonesia Raya 54 III Indonesia Raya dan Kemerdekaan Dalam Bunyi 62 3.1. Detik-detik Kelahiran Indonesia Raya 62 3.2. Aransemen Musikal Indonesia Raya 69 3.3. Mengeja dan Menala Lagu Indonesia Raya 87 IV Sesudah Indonesia Raya 98 4.1. Indonesia Raya Sebagai Musik Anti-Kolonial 4.2. Crescendo Lagu-lagu Perjuangan 103 4.3. Decrescendo Lagu-lagu Perjuangan 109 V Coda Kebangsaan 117 5.1. Keaslian dan Kebangsaan 5.2. Titi Nada Kebangsaan 120
117
102
vi
BUNYI MERDEKA
Sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan Seorang perwira intelejen kolonial mencatat dalam laporannya pada bulan Desember 1928 mengenai Kongres Pemuda Kedua: “28 Oktober 1928 diterima dengan antusiasme luar biasa. Setelah penutupan kongres itu, bahkan sampai sekarang, pada pertemuan para pribumi masih terdengar siulan melodi lagu ini, khususnya di kalangan pramuka.” Sang perwira tengah berbicara tentang lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan untuk pertama kali dalam Kongres itu. Lagu yang diciptakan W.R. Supratman untuk menggambarkan semangat dan cita-cita kaum pergerakan kebangsaan itu menerbitkan kegelisahan di mata kolonialisme. Melodinya disiulkan dari bibir ke bibir kaum terjajah hingga membentuk imajinasi bersama yang menghimpun mereka semua sebagai suatu bangsa. Di situ nampak bagaimana musik bisa punya andil dalam kelahiran sebuah bangsa dan merawat jiwanya menghadapi segala rintangan penjajahan. Peran lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai pengejawantahan jiwa bangsa pun masih terekam dengan baik dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1958 yang menyatakan bahwa lagu Indonesia Raya dinyanyikan sebagai “pernyataan perasaan nasional”. Semangat ini dilandasi oleh visi tentang bangsa sebagai suatu usaha politik bersama, yakni suatu usaha bantu-binantu bersama untuk mewujudkan kebudayaan nasional sendiri, suatu kebudayaan yang mau mengakhiri segala bentuk penjajahan dan melahirkan manusia baru. Inilah usaha besar kebangsaan kita: menegaskan kedaulatan politik, mewujudkan kemandirian ekonomi dan mengambil sikap kebudayaan yang berpribadi. Itulah imajinasi kebangsaan kita. Kendati begitu, perikehidupan kebangsaan memang tak bisa dipisahkan vii
dari upacara, prosedur dan protokol. Hal itu dapat saja membiakkan rutinitas yang punya risiko memadamkan semangat pemerdekaan yang semula mengiringi terbentuknya bangsa Indonesia. Api kebangsaan harus dijaga nyalanya dengan pemaknaan-pemaknaan baru atas praktik kebangsaan dan kenegaraan kita. Untuk merawat api kebangsaan itulah Direktorat Jenderal Kebudayaan menyelenggarakan kegiatan perekaman ulang lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam versi tiga stanza yang asli. Usaha ini dilandasi oleh keyakinan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk terlibat dalam imajinasi kebangsaan bersama, hak untuk memetik buahnya kebudayaan nasional. Dengan menghadirkan Indonesia Raya versi tiga stanza yang selama ini cenderung terlupakan kepada seluruh warga bangsa, Direktorat Jenderal Kebudayaan mau membuka akses seluas-luasnya pada salah satu sumber imajinasi kebangsaan kita. Dalam rangka itulah, buku ini diterbitkan. Buku Bunyi Merdeka ini akan menjadi panduan yang membantu kita semua mengakses pandangan hidup yang tertuang dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya versi tiga stanza. Lewat pemaparan sejarah sosial dan tinjauan musikologi, buku ini dapat mengantarkan kita pada rahasia bunyi yang membawa kita pada kemerdekaan. Semoga buku ini dapat berperan memperkuat rasa kebangsaan kita dan memelihara komitmen bersama kita sebagai bangsa merdeka.
Hilmar Farid Direktur Jenderal Kebudayaan
viii
I Overture Indonesia Raya, sebagai sebuah lagu kebangsaan negara Republik Indonesia sebenarnya memiliki sulur-sulur akar sejarah yang panjang. Indonesia Raya lahir di tengah bara sekam perlawanan rakyat bumiputera yang tak hangus ditindas oleh kolonialisme Belanda. Pun ia tumbuh sebagai bentuk perjuangan yang baru, refleksi dari perjuangan-perjuangan di periode abad ke-19. Karena itu penting kemudian untuk menempatkan lagu Indonesia Raya dalam konteks sejarah politik dan kebudayaan bangsa Indonesia.
1.1. Prelude untuk Sumpah Pemuda 1.1.1. Suita Tetabuhan Nusantara Sampai dengan akhir abad ke-19, nama Indonesia belum menjadi. Ia baru serupa kawasan yang sedang dalam proses penaklukan yang sepenuh-penuhnya oleh kolonialisme Belanda. Negeri Hindia Timur sebutan awalnya, lalu berubah menjadi Hindia Belanda kemudian. Sebuah kawasan seluas 1.905 juta km2 yang terdiri dari belasan ribu pulau tempat beragam suku, bangsa, dan bahasa, yang saling berinteraksi, dan bermukim sejak periode awal Masehi. Narasi sejarah tentangnya merangkum berbagai kisah tentang peradaban yang bergerak maju, yang berjaya di sepanjang Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan sampai saat pedagang-pedagang besar Eropa tiba di abad ke-17. Setelah itu, sejarah tentang kawasan yang kemudian dikenal sebagai Nusantara ini lebih banyak bercerita tentang monopoli perdagangan rempah, penaklukan bandar perdagangan dan kerajaan, peperangan dan kekerasan. Peradaban bergerak mundur seiring dengan kekalahan raja-raja Nusantara yang berulang kali diperdaya dan ditundukkan oleh yang kemudian disebut sebagai kolonialisme. Massa rakyat pun dilanda ketakutan dan pemiskinan, oleh karena raja-raja mereka tak lagi menjadi pimpinan mereka. Malah sebaliknya, raja-raja itu menjadi boneka kolonial untuk memeras rakyat. Hingga sepertinya tak ada jalan keluar lain kecuali bangkit melawan kolonialisme.
Karenanya, menjelang abad ke-20 adalah sebuah masa yang penuh dengan pergolakan melawan panji suci gemilang kolonialisme. Di sepanjang garis pantai barat dan timur belahan utara Pulau Sumatra, derap juang rakyat Aceh bertahan dari siram desing mesiu pasukan marsose Belanda. Kendati satu demi satu pimpinan perjuangan rakyat Aceh gugur di medan laga, gerak berlawan tak henti. Setelah Tjoet Njak Dhien ditangkap pada 1904, perlawanan rakyat Aceh bergerak ke selatan, sebagian bergabung dengan pasukan Sisingamangaraja di wilayah Sumatra Utara. Mereka terus berlawan hingga 1907. Sementara, di sisi selatan Nusantara golak-golak keresahan kaum tani di Jawa akibat pemberlakuan pajak tanah yang tinggi oleh kolonial membawa kobar-kobar api pemberontakan di lahan-lahan perkebunan. Ciomas, di tahun 1886 sekelompok rakyat yang dipimpin oleh Muhamad Idris menyerang sebuah acara pesta tahunan yang dihadiri oleh para pegawai tuan tanah. Puluhan tahun sebelumnya, di Pekalongan, Jawa Tengah, Haji Ahmad Rifai menuliskan syair-syair protes baik terhadap pemerintah kolonial, maupun kepada aparat birokrasi feodal yang dianggapnya kaki tangan kolonial. Seperti syair berikut, yang meresahkan penguasa kolonial, hingga membuang beliau ke Ambon pada 1860: Bahasa Jawa Tanbihun, tinemu negara Jawi rajane kufur Iku amar naha ora gugur Saben mukalaf ghalib ana kuasa milahur Uga bisa ghalib derajate luwih luhur Bahasa Indonesia Ingatlah! Sekarang didapati penjajah sudah menguasai negara Jawa Berjuang mencegah selalu diharapkan Tiap-tiap rakyat dewasa kalau mampu melaksanakan Kalau memang benar-benar mampu mencegahnya akan memperoleh kemuliaan Tiga minggu pemberontakan petani di Cilegon yang dipimpin oleh Haji Tubagus Ismail pada 1888, berlanjut kemudian pemberontakan Ciomas di belah barat Pulau Jawa; lalu syair Haji Rifai, dan gerakan tolak bayar pajak a la Samin di sekitaran Jawa Tengah, semuanya adalah ekspresi perlawanan 2
BUNYI MERDEKA
terhadap kolonialisme. Lepas pantai utara dan timur dari Pulau Jawa, perlawanan terhadap kolonialisme berkembang di wilayah Pulau Kalimantan dan Bali. Oleh karena persengketaan hak tawan karang antara pemerintah kolonial dan raja-raja di Bali, Benteng Jagaraga Buleleng sepanjang tahun 1846-1849 berhadap-hadapan dengan pasukan kolonial Belanda. Perselisihan ini kembali muncul di tahun 1906 yang berujung pada peristiwa Puputan Badung. Demikian juga dengan perlawanan rakyat Kalimantan di sepanjang periode 1859-1906, yang menolak intervensi Belanda dalam suksesi kerajaan. Semuanya merupakan reaksi terhadap upaya kolonialisme di dalam mencengkeram lebih jauh lembaga-lembaga adat masyarakat setempat. Semua paparan di muka menyimpulkan, kolonialisme Belanda tak pernah seutuhnya menundukkan bangsa-bangsa Nusantara. 1.1.2. Elegi Tanam Paksa Bagi kolonialisme yang maju dan beradab adalah yang taat pada hukum kolonial dan gerak industri. Para penguasa tradisional, sebagai akibat dari perang-perang penaklukkan, kehilangan tanah-tanah luas nan subur miliknya. Tanah-tanah itu diambil alih oleh pemerintah kolonial untuk dijadikan sebagai lahan-lahan perkebunan-perkebunan besar. Ini berkait dengan kebijakan tanam paksa yang dimulai sejak 1830. Sejak saat itu posisi kebangsawanan para penguasa tradisional itu terus merosot secara ekonomi, politik dan militer. Mereka bukan lagi penguasa atas rakyatnya, tetapi berubah menjadi pegawai korps birokrasi kolonial (Binnenland Bestuur). Karenanya kebangsawanan kemudian lebih ditentukan oleh pengabdian dan loyalitas seseorang di dalam korps tersebut, ketimbang berdasar genealogi keturunan, demi menyukseskan praktik tanam paksa. Apa sebabnya? Karena praktik tanam paksa sesungguhnya adalah upaya pengerahan segala sumber daya alam dan makhluk hidup di Hindia Belanda guna memproduksi hasil-hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan pasar Eropa. Kendati hanya seperlima dari tanah yang dimiliki oleh rakyat, yang diminta diserahkan untuk kebutuhan tanam paksa, secara perlahan rakyat dipaksa untuk menyerahkan semua miliknya. Para penguasa tradisional yang dimandatkan untuk menjalankan proses tanam paksa ini mendapatkan upah dari pemerintah kolonial menurut besar setoran hasil produk tanam paksa. Karena itu, para penguasa tersebut menindas rakyat sedemikian rupa agar tanah-tanah mereka bisa menghasilkan produk tanam 3
paksa, seperti kopi, kina, tebu, dan sebagainya. Akibat langsung dari praktik tanam paksa ini adalah kegagalan panen bahan pangan, lantaran tanah sudah telanjur dipakai untuk tanaman ekspor. Tidak mengherankan jika kemudian jumlah penduduk di Jawa menurun drastis, oleh karena kelaparan, wabah penyakit, dan kemiskinan, pun kebodohan yang meraja, merayap membentuk kesadaran bangsa kuli. Ini masih ditambah lagi dengan praktik kerja rodi di sejumlah wilayah, plus pajak yang tinggi. Tepatnya, tahun 1843 ketika terjadi bencana kelaparan di beberapa wilayah seperti Demak, Grobogan, Cirebon dan beberapa tempat lain sebagai akibat dari kurang diperhatikannya produksi pangan untuk para pribumi. Kelaparan antara 1843-1848 mengakibatkan jumlah penduduk turun dengan cepat, di suatu kabupaten dari 336.000 penduduk menjadi 120.000; di kabupaten lain ada pula yang jumlah penduduknya berkurang sekitar 80.500 jiwa. 1.1.3. Fantasia Balas Budi Kendati tanam paksa membawa banyak keuntungan bagi pemerintah Belanda, tetapi pelaksanaannya tanpa kontrol pemerintah kolonial. Akibatnya terjadi kehancuran sumber daya alam dan manusia, dan ini membuat peluang realisasi industri modern menjadi susah dibangun di tanah Hindia. Lebih-lebih karena industri modern menuntut peningkatan kualitas tenaga kerja, dan intensifikasi lahan-lahan perkebunan. Akhirnya, tanam paksa dihapuskan secara bertahap. Penghapusan diawali dengan dikeluarkannya undang-undang (Regering Reglement) tahun 1854 tentang penghapusan perbudakan. Namun pada praktiknya, kerja rodi baru dihapuskan pada 1860. Ini lalu diikuti dengan penghentian wajib tanam lada (1862), cengkeh dan pala (1864), indigo, teh, dan kayu manis (1865), dan tembakau (1866). Tanam paksa benar-benar dihapuskan pada 1917, terkait penghapusan kewajiban tanam kopi di Priangan, Manado, Tapanuli, dan Sumatra Barat. Seiring dengan proses penghapusan tersebut kaum liberal Belanda mengajukan banyak kritik terhadap praktik tanam paksa. Douwes Dekker, Van Hoevel, dan Van Deventer adalah tiga juru bicara yang mengemuka dari kaum liberal, terkait catatan-catatan mereka tentang kondisi kemiskinan yang dialami penduduk Jawa. Kritik-kritik ini tidak segera mendapat tanggapan karena pemerintah kolonial masih sibuk dengan sejumlah perang penaklukkan di luar Jawa, terutama Perang Aceh. Tulisan-tulisan mereka yang lalu mendorong pemerintah Kerajaan Belanda mengubah arah kebi4
BUNYI MERDEKA
jakannya. Pada 1901, Ratu Belanda, Wilhelmina, dalam pidato tahunannya menyatakan perihal kewajiban yang luhur serta tanggung jawab sosial Belanda untuk rakyat Hindia Belanda sehubungan dengan keadaan ekonomi yang buruk di Hindia Belanda pada 1901. Pidato Ratu Wilhelmina itu kerap dianggap sebagai awal dari Politik Etis. Sebuah upaya pemerintah kolonial Belanda untuk semacam merevitalisasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang hancur karena praktik tanam paksa. Upaya ini diperlukan mengingat persaingan ekonomi di antara negeri-negeri Eropa bergerak ke arah industrialisasi, sehingga dibutuhkan sumber daya manusia yang terdidik dan terawat kesehatannya, dan membuka ruang investasi yang lebih besar di tanah jajahan dengan membangun irigasi bagi wilayah perkebunan swasta. Dengan kata lain, Politik Etis adalah semacam kebijakan pemerintah kolonial untuk bergerak ke arah industri. 1.1.4. Aria Kebangsaan Di tengah perkembangan menuju industrialisasi Hindia Belanda, di tengah kehancuran ekonomi dan budaya masyarakat Jawa, roh berlawan terhadap kolonialisme tetap hidup. Setidaknya itu muncul dari seorang perempuan yang dengan kemampuannya menulis dan berbahasa Belanda menggambarkan keadaan masyarakat Jawa sekitarnya dan mengajukan gagasan tentang kebangkitan bumiputra. “Saya malu sekali memikirkan kepentingan pribadi. Saya berpikir-pikir dan mengelamun tentang keadaan saya sendiri dan di luar, di sekeliling saya demikian banyaknya orang yang hidup menderita dan sengsara. Seolah-olah udara tiba-tiba bergetar disebabkan oleh suara orang-orang menderita di sekeliling saya yang menjerit, mengerang dan mengeluh. Lebih keras lagi dari suara mengerang dan mengeluh, terdengar bunyi mendesing dan menderau dalam telinga saya: Bekerja! Bekerja! Bekerja! Berjuanglah membebaskan diri! Baru setelah kamu bekerja membebaskan diri, akan dapatlah kamu menolong orang lain! Bekerja! Suara itu saya dengar terang sekali.” (Surat Kartini kepada Nyonya R.M. Abendanon-Mandri, 8 April 1902, cetak miring sesuai aslinya)1 1 Kartini. Surat-surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. (Penerjemah Sulastin
5
Kutipan di muka, yang ditulis oleh Kartini dalam salah satu surat-suratnya Kartini kepada sahabatnya di negeri Belanda, menegaskan tentang keadaan masyarakat Jawa dan tentang kebutuhan untuk melakukan perubahan terhadap keadaan itu. Lebih jauh lagi Kartini mulai membuat analisa tentang keadaan masyarakat Jawa di hadapan kolonialisme: “Tetapi perbuatlah sekehendak hati tuan, tuan tidak akan dapat menahan paksaan zaman juga. Saya sayang kepada orang Belanda. Sayang, amat sayang dan saya berterima kasih atas banyak hal, yang kami nikmati dengan keikhlasan hati mereka dan atas usaha mereka. Banyak, amat banyak di antara mereka boleh kami sebut sahabat karib kami. Tiada lain sebabnya, hanyalah karena kami berani berdaya upaya menjadi cerdas dan maju, hampir-hampir sama dengan mereka. Dengan cara yang halus sekali mereka membuat kami merasakan hal itu. “Saya orang Eropah, kamu orang Jawa” atau dengan perkataan lain “Saya yang memerintah, kamu saya perintah … Oh, sekarang saya mengerti, mengapa orang tidak setuju dengan kemajuan orang Jawa. Kalau orang Jawa berpengetahuan, ia tidak akan lagi mengiakan dan mengamini saja segala sesuatu yang ingin dikatakan atau diwajibkan kepadanya oleh atasannya.” (Surat Kartini kepada Nona E.H. Zeehandelaar, 12 Januari 1900) Kartini memang belum lagi berpikir tentang Indonesia, tapi ia memahami adanya bangsa Jawa, yang kemudian ia sebut juga “bangsa boemipoetra” yang tidak hidup bahagia dan tidak merdeka di bawah kekuasaan feodal dan kolonial. “Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang-orang setengah Eropah atau orang-orang Jawa kebarat-baratan. Dengan pendidikan bebas kami bertujuan terutama sekali akan menjadikan orang Jawa sebagai orang Jawa sejati, orang Jawa yang dijiwai dengan cinta dan semangat untuk tanah air dan bangsanya. Dijiwai dengan mata dan hati terbuka untuk keindahannya dan kesukarannya! (Surat Kartini kepada Nyonya R.M. Abendanon-Mandri, 10 Juni 1902, cetak miring sesuai aslinya) Sutrisno). Jakarta: Djambatan, 1985. Kutipan surat-surat Kartini pada halaman berikutnya mengacu ke buku ini.
6
BUNYI MERDEKA
Hingga kemudian Kartini merumuskan bahwa membangun bangsa berarti juga membangun kaum perempuannya. Ini terkait dengan upaya memperadabkan masyarakat, di mana perempuan yang terdidik dan berbudi akan menjadi teman seiring kaum laki-laki. Saat mereka menjadi ibu, merekalah yang sejak awal berpengaruh besar dalam memberi pendidikan budi pekerti bagi anak-anaknya. “Perempuan sebagai pendukung Peradaban! Bukan, bukan karena perempuan yang dianggap cakap untuk itu, melainkan karena saya sendiri juga yakin sungguh-sungguh, bahwa dari perempuan mungkin akan timbul pengaruh besar bahwa dialah yang paling banyak dapat membantu meninggikan kadar kesusilaan manusia. Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah seseorang mulai belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata. Dan makin lama makin jelaslah bagi saya, bahwa pendidikan yang mula-mula itu bukan tanpa arti bagi seluruh kehidupan. Dan bagaimanakah ibu-ibu Bumiputera dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?” (Surat Kartini kepada Nyonya R.M. Abendanon, 21 Januari 1901) Demikianlah Kartini, yang belum mengetahui peristilahan nasionalisme, ataupun gagasan kebangsaan secara utuh, sudah merumuskan bibit-bibit pemikiran tentang bangsa dan kebangkitan sebuah bangsa. 1.1.5. Serenade Pergerakan Kebangsaan Kartini wafat di usia muda pada 1904. Sebuah masa ketika kebijakan Politik Etis mulai dijalankan di wilayah Hindia Belanda. Dalam hal pendidikan, di bawah Snouck Hurgronje dan J.H. Abendanon, pemerintah kolonial membuka pendidikan barat berbahasa Belanda di wilayah tanah jajahan Hindia Belanda untuk generasi elite penguasa tradisional dan mempersiapkan mereka untuk menjadi pegawai negeri. Sebelumnya pada 1893 pemerintah kolonial juga membagi sekolah-sekolah menjadi dua kelas, agar anak-anak dari kaum penguasa tradisional mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Ini dengan harapan agar rakyat Hindia Belanda dengan sukarela akan menerima peradaban barat dan menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Pendidikan barat tersebut, melahirkan generasi kaum terpelajar bumipu7
tra, yang mulai paham tentang sejumlah perlawanan terhadap kolonialisme di dalam maupun di luar Pulau Jawa, dan bagaimana semua perlawanan dengan perang tersebut bertumbangan satu demi satu. Pun sebuah generasi yang mulai menyadari bahwa untuk melawan kolonialisme mereka harus menggunakan alat-alat penguasa seperti ilmu pengetahuan, institusi pendidikan, organisasi, pertemuan umum, percetakan dan penerbitan. Sebuah generasi yang melahirkan Tirto Adhi Soerjo yang telah merintis berbagai penerbitan surat kabar; Tjipto Mangoenkoesoemo sang dokter penerima bintang Oranje Nassau, dengan pandangan-pandangan politiknya yang maju dan berani; Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, seniman dan penganjur pendidikan, serta sejumlah tokoh pergerakan kebangsaan lainnya yang berlibat di dalam berbagai organisasi perjuangan. Pun sebuah generasi yang nantinya menggunakan kata “Indonesia” sebagai pengganti kata Hindia atau Hindia Belanda. Khususnya pada dunia musik periode ini merupakan pergaulan yang aktif antara para pemusik lokal dan pemusik Eropa di Jawa. Sekolah-sekolah guru Belanda pada masa Hollands Indische Kweekschool (HIK) dan Kweekschool menjadi tempat para pemusik pribumi belajar musik barat, salah satunya Soerjopoetro seorang priayi Puro Pakualaman. Pada masa itu tokoh-tokoh karawitan di Jawa bertemu dengan para pemusik Eropa yang progresif seperti Walter Spies, Linda Bandara dan Collin Mcphee, serta ahli-ahli teori karawitan Belanda seperti Jaap Kunst dan Brans Buy. Karenanya tidak mengherankan jika kemudian muncul komponis abad ke-20 yang telah menggunakan pola kehidupan budaya musik barat sebagai sarana guna mengungkapkan ekspresi musikal. Beliau adalah Soerjopoetro tahun 1916-1917 dengan karyanya Rarjuo Sarojo duet vokal dan biola. Materi komposisi diangkat dari sebuah lagu dolanan anak. Melodi vokal dan biola pada prinsipnya sama, tetapi gerakan melodi pada biola diberikan nada-nada hiasan seperti halnya penggarapan unsur rebab dalam karawitan Jawa. Analisis komposisi karya Soerjopoetro dapat dikatakan sebuah awal upaya untuk menggarap musik tradisional menjadi sebuah garapan komposisi barat.2 Bersamaan dengan proses industrialisasi dan Politik Etis, berbagai macam perkembangan teknologi industri produksi massal hadir di tanah Hindia. 2 Wisnu Mintargo. “Musik Nasional dalam Konsep Trikon Ki Hadjar Dewantara: Akulturasi Budaya Timur dan Barat”, dimuat dalam situs web http://wisnumintargo.web.ugm. ac.id/?p=64
8
BUNYI MERDEKA
Industri kereta api yang mulai dibangun pada 1867 mulai berkembang sembilan tahun kemudian di tahun 1876. Mesin cetak yang pada periode sebelum abad ke-19 hanya dimiliki oleh kantor pemerintah kolonial atau kantor misionaris, di pertengahan dan akhir abad ke-19 mulai menjadi bagian dari industri surat kabar. Ini terlihat dari terbitnya surat kabar pertama berbahasa Jawa di Surakarta, Bromartani, pada 1855. Bahkan perusahaan rekaman sudah mulai masuk Hindia Belanda di awal abad ke-20. Di masa itu setidaknya ada tiga saudagar Tionghoa yang menggeluti dunia musik dengan mendirikan perusahaan rekaman, yaitu Tio Tek Hong di Pasar Baru dan Lie A Kon di Pasar Senen, dan satu lagi di Surabaya. Sebagaimana yang telah dikemukakan, situasi ini di satu sisi membuka mata kaum terpelajar bumiputra tentang kemajuan ilmu pengetahuan. Tetapi, di sisi lain kaum terpelajar juga tidak mungkin menutup mata terhadap kemiskinan dan diskriminasi yang dialami kaum bumiputra. Karenanya membangun organisasi dan menerbitkan surat kabar atau berkala lain menjadi sarana untuk membela kaum bumiputra, membela bangsa. Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (1880-1918), sosok pendiri pers nasional yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI No. 85/ TK/2006. Sejak muda, Tirto Adhi Soerjo merintis berbagai penerbitan surat kabar. Yang paling terkenal adalah surat kabar Medan Prijaji (beredar sejak Januari 1907 sampai Januari 1912). Inilah surat kabar pertama yang dikelola sepenuhnya oleh tenaga pribumi dan menggunakan bahasa Melayu. Inilah juga surat kabar pergerakan pertama yang menjadi model bagi berbagai surat kabar pergerakan sesudahnya (seperti Sarotomo dan Soeloeh Indonesia). Sebagai surat kabar pergerakan, Medan Prijaji memuat laporan dan liputan yang dituliskan dari sudut pandang rakyat Indonesia. Metode jurnalismenya dikenal sebagai jurnalisme advokasi, yakni suatu cara kerja jurnalistik yang menekankan pada pembelaan pada kaum tertindas yang tengah diliput. “Sekarang betapakah halnja tentang orang Boemi poetera? orang berkoeli, jaitoe mentjeri makan dengan dapet opahan dari angkatken orang laen punja barang… “tjoba lihat, itoe disana ada koetsier, dan dinaiki seorang bangsa sopan. Dogcart dibawa poeter kota, dari sini kesana, dari sana kemari, barangkali soedah empat lima djam lamanja 9
„sekarang berhenti disini sir‟, „saja toean‟, „ini sewanja een kwartje‟, „minta tambah, toean!‟, „apa! Kaoe berani boeka moeloet!‟, „tida toean, ini terlaloe sedikit sebab dogcart dipake 4 djam lamanja‟, „Peng!‟. Apa itu, soeara bedil! Boekan! Itoe soeara tapak tangan jang jatoeh dipipinja koetsir jang brutaal. Kasihan!”” Kutipan di muka adalah salah satu contoh laporan dan liputan Medan Prijaji yang khas, karena dituliskan dari sudut pandang rakyat Indonesia. Melalui kerja jurnalistik semacam inilah, Tirto Adhi Soerjo mengobarkan semangat anti-kolonial dan menyulut kesadaran berkebangsaan yang mandiri. Generasi muda yang tumbuh melalui bacaan atas surat kabar ini kemudian membawa dalam diri mereka kesadaran tentang ketidakadilan pemerintah kolonial dan situasi keterjajahan bangsa Indonesia. Boedi Oetomo, sebagai organisasi pergerakan yang didirikan pada 1908 berangkat dari semangat membantu kaum bumiputra untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan murah. Pandangan mereka tentang keadaan masyarakat bumiputra, sebagaimana diungkapkan oleh Goenawan Mangoenkoesoemo, salah satu pendiri Boedi Oetomo: “Kaum bumiputera mempunyai nilai tidak lebih dari sebuah keset kaki atau seekor anjing yang dilempari batu oleh anakanak. Di dalam kereta api, trem, di sekolah-sekolah, di jalan raya, di kantor-kantor, di perkebunan-perkebunan, bangsa bumiputera senantiasa dipandang rendah dengan cara sangat menghina, dipandang sebagai bangsa tanpa tenaga dan tanpa kekuatan. Bangsa bumiputera selalu menjadi obyek percobaan untuk pertanian, obyek pengamatan, dan sesuatu yang dianalisis dan dipelajari orang, serta sesuatu yang dapat ditulis untuk bahan-bahan ceramah ilmiah.” 10
BUNYI MERDEKA
Karenanya, organisasi ini bertujuan melawan kolonialisme melalui jalan pendidikan. Ini ditegaskan di dalam salah satu dokumennya: “Tujuan Budi Utomo adalah mengusahakan persatuan kaum Boemipoetera yang sedapat mungkin bersifat umum, sehingga akan tercapai Persatuan orang Jawa pada umumnya, dengan Boedi Oetomo hanya sebagai pelopor, yang tugas utamanya adalah untuk merancang cara-cara yang tepat untuk mencapai terwujudnya suatu pendidikan yang serasi bagi negara dan rakyat Hindia Belanda.” Walaupun belum sampai pada tuntutan Indonesia Merdeka, Boedi Oetomo menjadi inspirasi bagi para pejuang kebangsaan selanjutnya. Barulah dengan berdirinya Indische Partij pada 25 Desember 1912 tuntutan kemerdekaan menjadi eksplisit sebagai tujuan partai. Tiga serangkai pendirinya yakni Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat tak lama kemudian berurusan dengan polisi kolonial karena mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Kesadaran tentang bertanah air dan berbangsa satu bangkit dari sana. 1.1.6. Etude Pandu Variasi gerakan menentang kolonialisme juga muncul melalui modifikasi organisasi kepanduan yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial. Pada 1916, S.P. Mangkunegara VII membuat organisasi kepanduan kaum bumiputra, yang kemudian diberi nama Javaansche Padvinders Organisatie dan merupakan organisasi kepanduan pertama di Nusantara. Bagi kaum pergerakan nasional Indonesia organisasi kepanduan ini bisa menjadi sarana membentuk manusia yang baik dan menjadi kader pergerakan nasional. Karenanya, muncul kemudian sejumlah organisasi kepanduan seperti organisasi kepanduan milik Muhammadiyah yang diberi nama Padvinder Muhammadiyah di mana pada 1920 mengganti nama mereka menjadi Hizbul Wathan. Selain Muhammadiyah, ada juga Nationale Padvinderij milik Boedi Oetomo, Sarekat Islam Afdeling Padvinderij milik Sarekat Islam yang namanya kemudian diubah menjadi Sarekat Islam Afdeling Pandu (SIAP), Nationale Islamietische Padvinderij (Natipij) yang berdiri berkat Jong Islamieten Bond, dan terakhir adalah Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO) yang berutang kepada Pemuda Indonesia untuk berdiri. Pada 23 Mei 1928, rasa persatuan yang timbul dalam organisasi kepanduan 11
di Indonesia mulai mewujudkan dirinya dengan nama “Persaudaraan Antara Pandu Indonesia” (PAPI) yang beranggotakan INPO, SIAP, Natipij, dan PPS. Sejarah terus berlanjut. Melihat maraknya organisasi kepramukaan milik pribumi yang bermunculan, Belanda akhirnya membuat peraturan untuk melarang organisasi kepramukaan di luar milik Belanda menggunakan istilah Padvinder. Karena itu kemudian Haji Agoes Salim menggunakan istilah “Pandu” dan “Kepanduan”. Demi mempererat persaudaraan di antara tiap organisasi, Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia berencana untuk mengadakan sebuah jambore besar. Kegiatan ini mengalami beberapa kali perubahan rencana dalam waktu dan nama kegiatan, meskipun pada akhirnya nama kegiatan disetujui sebagai “Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem” atau disingkat Perkino. Tanggal acara yang tadinya juga sempat didebatkan akhirnya diputuskan untuk dilakukan pada 19 hingga 23 Juli 1914 di suatu daerah di Yogyakarta. Selanjutnya, pada 1930 timbul kesadaran dari tokoh-tokoh Indonesia untuk mempersatukan organisasi kepramukaan. Maka terbentuklah Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). KBI merupakan gabungan dari organisasi kepanduan seperti INPO, PK (Pandu Kesultanan), PPS (Pandu Pemuda Sumatra). Maka, dimulailah apa yang disebut sebagai “Zaman Bergerak”, yakni era perlawanan rakyat Indonesia yang terorganisasikan secara modern terhadap pemerintahan kolonial, struktur feodal dan pranata kapitalis di Hindia Belanda yang terjadi antara 1912 dan 1926. Perlawanan ini dikatakan ‘terorganisasikan secara modern’ karena tak lagi menggunakan pendekatan feodal seperti pépé (berjemur) di halaman pembesar lokal memohon kesudiannya untuk menjalankan perubahan situasi, melainkan menggunakan instrumen politik seperti organisasi/perserikatan (vereeniging) dan pemogokan (werkstaking) yang difungsikan secara strategis untuk memaksa pemodal menerima tuntutan gerakan. Berbagai gerakan pekerja dan intelektual muda bergabung dalam aksi-aksi bersama yang menentang tatanan kolonial yang represif. Pada masa inilah timbul kesadaran baru bahwa tatanan politik kolonial bukanlah nasib yang ditimpakan begitu saja ke bumi manusia, melainkan dapat diubah sewaktu-waktu oleh tangan rakyat Indonesia sendiri. Haji Misbach, seorang aktivis pergerakan masa itu, berbicara tentang “djaman 12
BUNYI MERDEKA
balik boeono” (zaman terjungkir-baliknya dunia). Dalam pidatonya di salah satu pemogokan ia menyatakan: “Tjeritanja ja-itoe di negri Oostenrijk (Austria), dhoeloe djoega di kepalai oleh saorang Radja tetapi sekarang soedah boeono baliknja-itoe di kepalai Republiek, mendjadi waktoe itoe banjak sekali ambtenaar-ambtenaar jang di-boenoeh oleh republiek asal bekas ambtenaar kelihatan djalan, teroes potong sadja lehernja, begitoelah seteroesnja. Maka soedara, ajo! ingetlah, bila tanah ini boekan poenjanja siapa-siapa, terang bila poenja kita sendiri. Tida boleh tida, ini tanah temtoe kombali pada kita lagi.” (Shiraishi 1997: 263-264) Kesadaran tentang zaman yang telah berganti rupa semacam ini terus muncul di kalangan pergerakan kebangsaan Indonesia. Dalam hiruk-pikuk semangat perubahan inilah lahir gerakan para pemuda yang mengupayakan ikatan komitmen bersama sebagai bangsa. 1.1.7. Rondo Kongres Pemuda (I) Pada 1925 dilangsungkan rapat-rapat persiapan yang akan mengarah pada terlaksananya Kongres Pemuda Pertama. Para perintisnya tergabung dalam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang berasal dari sekolah-sekolah tinggi di Jakarta dan Bandung. Mereka yang aktif di sana antara lain Soegondo Djojopoespito, Sigit, Abdul Sjukur, Gularso, Sumitro, Samijono, Hendromartono, Subari, Rochjani, S. Djoened Poesponegoro, Kuntjoro, Wilopo, Surjadi, Muhammad Yamin, A.K. Gani dan Aboe Hanifah. Sebagai angkatan muda yang mengenyam pendidikan model Eropa, mereka antusias mempelajari dan memperdebatkan berbagai revolusi besar dunia, seperti Revolusi Amerika 1776, Revolusi Prancis 1789, Revolusi Cina 1911 dan Revolusi Rusia 1917. Mereka pun mendiskusikan beragam pemikiran politik dunia, mulai dari Plato, Aristoteles, Niccolo Machiavelli, Thomas Hobbes, Montesquieu, Jean-Jacques Rousseau dan John Stuart Mill (Rahman 2016: 5). Sekalipun menimba pelajaran dari berbagai belahan dunia, cita-cita mereka tentang sebuah forum yang mendeklarasikan persatuan bangsa Indonesia terinspirasi dari wacana persatuan yang didengungkan oleh Perhimpunan Indonesia (PI). 13
Sebagai wadah para pelajar Indonesia di Negeri Belanda, PI mengalami radikalisasi berkat bergabungnya Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat pada 1913. Keduanya dibuang ke Belanda akibat aktivitas mereka dalam Indische Partij. Berkat kehadiran keduanya, PI yang semula hanya menggelar forum silaturahim dan pesta-pesta kemudian mulai aktif membicarakan kemungkinan persatuan kebangsaan di dalam panji Indonesia merdeka. Pada 1925, diskusi-diskusi mereka tentang kondisi bangsa mengantar mereka pada segugus kesimpulan yang kemudian dikenal sebagai Manifesto Politik 1925: 1. Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih sendiri oleh mereka. 2. Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun. 3. Tanpa persatuan yang kokoh dari berbagai unsur rakyat, tujuan perjuangan itu akan sulit dicapai. Semangat merdeka ini tercermin dalam terbitan mereka. Perhimpunan Indonesia mengeluarkan terbitan rutin berjudul Indonesia Merdeka yang melontarkan seruan-seruan nasionalis untuk kemerdekaan Indonesia. Seruan inilah yang ditangkap oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia dan mulai digencarkan di dalam negeri serta diwujudkan dalam bentuk kongres persatuan Indonesia. Kongres Pemuda Pertama diselenggarakan di Jakarta antara 30 April dan 2 Mei 1926. Susunan kepanitiaan kongres ini adalah sebagai berikut: Ketua: Mohammad Tabrani (Jong Java) Wakil Ketua: Soemarto (Jong Java) Sekretaris: Djamaluddin Adinegoro (Jong Soematranen Bond) Bendahara: Soewarso (Jong Java) Anggota: 1. Bahder Djohan (Jong Soematranen Bond) 2. Jan Toule Soulehuwij (Jong Ambon) 3. Paul Pinontoan (Jong Celebes) 4. Achmad Hamami (Sekar Roekoen) 5. Sanoesi Pane (Jong Bataks Bond) 6. Sarbaini (Jong Soematranen Bond) 14
BUNYI MERDEKA
Tema utama yang ditekankan dalam kongres ini adalah “penyebaran jiwa kebangsaan Indonesia di kalangan pemuda Indonesia” (de Nationaal Indonesische geest onder de Indonesische Jeugd). Kongres ini diselenggarakan dengan cita-cita untuk: 1. Membentuk badan terpusat dari organisasi-organisasi pemuda yang ada. 2. Memajukan gagasan persatuan nasional. 3. Menjalin kerjasama lebih erat antar-organisasi pemuda yang bernafaskan persatuan nasional. Hadir dalam kongres ini adalah perwakilan dari berbagai organisasi pemuda kebangsaan seperti Jong Java, Jong Soematranen Bond, Jong Ambon, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Minahasa, dan Jong Bataks Bond. Kongres Pemuda Pertama kesulitan menghasilkan keputusan yang tajam karena perasaan kedaerahan masih sangat mewarnai pandangan dari setiap delegasi pemuda. Meski begitu, sudah ada usaha bersama untuk menggagas cita-cita persatuan Indonesia dan kesadaran bersama tentang perlunya menghilangkan pandangan adat kedaerahan yang kolot dan sempit. Tetapi, perwujudannya dalam bentuk komitmen bersama yang positif belum berhasil dirumuskan secara tegas. Apa yang terjadi di sana lebih merupakan pertemuan penjajakan tentang berbagai ide terkait persatuan kebangsaan. Muhammad Yamin, misalnya, menyampaikan pidato “Kemungkinan-Kemungkinan Masa Depan Bahasa dan Sastra Indonesia” yang berargumen bahwa bahasa Melayu adalah bahasa yang paling cocok digunakan sebagai bahasa persatuan. Sementara yang lain berpendapat bahasa Jawa lebih tepat digunakan sebagai bahasa persatuan. Sedangkan keseluruhan diskusi itu sendiri dilakukan dalam bahasa Belanda. Kesulitan menyatukan pandangan amat terasa dalam sidang-sidang Kongres Pemuda Pertama. Bahkan pimpinan kongres, Mohammad Tabrani, berulang kali mesti memediasi berbagai pendapat yang menjurus pada sentimen kedaerahan agar tidak pecah sebagai konflik terbuka antar organisasi pemuda. 15
1.1.8. Rondo Kongres Pemuda (II) Pada 3 Mei 1928, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia mulai menggelar rapat persiapan menuju Kongres Pemuda Kedua. Rapat itu dilanjutkan lagi pada 12 Agustus 1928 yang dihadiri perwakilan dari berbagai organisasi pemuda dan berhasil memutuskan akan menggelar kongres pada 27-28 Oktober 1928. Dalam rapat tersebut disepakati susunan kepanitiaan sebagai berikut: Ketua: Soegondo Djojopoespito (PPPI) Wakil Ketua: R.M. Djoko Marsaid (Jong Java) Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Soematranen Bond) Bendahara: Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond) Pembantu I: Djohan Mohammad Tjaja (Jong Islamieten Bond) Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemoeda Indonesia) Pembantu III: R.C.L. Senduk (Jong Celebes) Pembantu IV: Johanes Leimena (Jong Ambon) Pembantu V: Rochjani Soe’oed (Pemoeda Kaoem Betawi) Dengan susunan kepanitiaan semacam itu akhirnya terselenggara Kongres Pemuda Kedua di Jakarta pada 27-28 Oktober 1928. Dari sekitar tujuh ratus peserta yang hadir, nama-nama peserta yang tercatat adalah sebagai berikut (Rahman 2016: 17-19): 1. Abdoel Halim 2. Abdoel Moethalib Sangadji 3. Abdoel Rachman 4. Abdoellah Sigit (Indonesische Studieclub) 5. Aboe Hanifah 6. Achmad Hamami 7. Adnan Kapau Gani 8. Dr. Mohammad Amir (Dienaren van Indie) 9. Anta Permana 10. Anwari 11. Arnold Mononutu 12. Assaat dt Muda 13. Bahder Djohan 14. Dali 15. Darsa Arsa 16. Dien Pantouw 16
BUNYI MERDEKA
17. Djuanda 18. Dominee (pdt) van Hoorn 19. Dr. Pijper (Adviseur voor Inlandsche Zaken) 20. Dr. Poerbatjaraka (Adviseur voor Inlandsche Zaken) 21. Dr. Van der Plaas (Adviseur voor Inlandsche Zaken) 22. Emma Poeradiredja 23. F. Dahler 24. Hoofdcommissaris van Politie van der Plugt 25. Inoe Martakoesoema 26. J.E. Stokvis 27. Jo Tumbuhan 28. Joesoepadi Danoehadiningrat 29. John Lau Tjoan Hok 30. Jos Masdani 31. Kadir 32. Karto Menggolo 33. Kasman Singodimedjo 34. Koentjoro Poerbopranoto 35. Kwee Thiam Hong 36. Ma’moen Ar Rasjid 37. Moehidin (Pasundan) 38. Moekarno 39. Moewardi 40. Mohammad Ali Hanafiah 41. Mohammad Nazif 42. Mohammad Roem 43. Mohammad Tamzil 44. Mr. Sartono 45. Muhammad Husni Thamrin 46. Nona Tumbel 47. Oey Kay Siang 48. Patih Batavia, Raden Achmad 49. Poernamawoelan 50. R.M. Djoko Marsaid 51. Raden Soeharto 52. Raden Soekamso 53. Ramelan 54. S.M. Kartosoewirjo 55. Saerun (Keng Po) 56. Sahardjo 17
57. Sarbaini 58. Sarmidi Mangoensarkoro 59. Setiawan 60. Siti Soendari 61. Sjahbuddin Latif 62. Sjahrial 63. Soedjono Djoened Poesponegoro 64. Soehara 65. Soejono (Volksraad) 66. Soekamto 67. Soekmono 68. Soelaeman 69. Soemanang 70. Soemarto 71. Soenario (PAPI dan INPO) 72. Soerjadi 73. Soewadji Prawirohardjo 74. Soewarni 75. Soewirjo 76. Soeworo 77. Tjahija 78. Tjio Djien Kwie 79. Tjokorda Gde Raka Sukawati (Volksraad) 80. Wage Rudolf Soepratman 81. Wilopo 82. Koesoemo Oetojo Rangkaian kongres tersebut terbagi ke dalam tiga rapat yang diselenggarakan di tempat yang berbeda-beda. Rapat pertama diadakan pada pukul 20.00 di gedung Katholieke Jongenlingen Bond yang berlokasi di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam rapat pertama ini, Muhammad Yamin berpidato tentang lima prasyarat persatuan Indonesia yakni sejarah, bahasa, hukum, pendidikan, dan kemauan. Pidato ini ditanggapi secara positif oleh Inoe Martakoesoema yang menekankan pentingnya persatuan agar Indonesia bisa sejajar dengan Inggris dan Belanda. Secara tidak langsung, Inoe mau mengatakan bahwa persatuan berguna buat kemerdekaan Indonesia. Maksud ini ditangkap oleh Hoofdcommissaris van Politie bernama van der Plugt. Agen polisi itu memotong tanggapan Inoe dan mengimbaunya untuk meninggalkan kong18
BUNYI MERDEKA
res. Mr. Sartono kemudian memberikan tanggapan yang mempersoalkan polisi Belanda yang doyan main larang. Rapat kedua diadakan di gedung bioskop Oost Java yang terletak di Koningsplein Noord (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara). Dalam rapat kali ini Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro berbicara tentang pentingnya pendidikan kebangsaan yang membawa semangat demokratis di rumah dan sekolah. Selain itu, Siti Soendari mengajukan pandangannya tentang kondisi perempuan yang tertindas dalam masyarakat. Rapat terakhir diadakan di gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106, yang merupakan rumah indekos kepunyaan Sie Kong Liang, tempat aktivis-aktivis pemuda seperti Muhammad Yamin dan Amir Sjarifuddin pernah menyewa. Dalam pertemuan itu, Soenario Sastrowardoyo menyampaikan pidato yang menekankan perlunya nilai-nilai nasionalisme dan demokrasi serta mengingatkan pentingnya gerakan pramuka dalam konteks pembentukan gerakan pemuda yang berorientasi kebangsaan. Ketika itu, sempat terjadi insiden yang membawa risiko pembubaran kongres oleh aparat keamanan. Pasalnya, terlontar frasa “Indonesia merdeka” dari peserta kongres. Pejabat kepolisian van der Plugt beserta barisan aparat intel kolonial (Politieke Inlichtingen Dienst, PID) mengancam akan membubarkan kongres seketika itu juga. Menghadapi ketegangan itu, Soegondo Djojopoespito selaku pimpinan kongres segera menengahi dengan menyatakan bahwa pernyataan itu (maksudnya “Indonesia merdeka”) tidak perlu dilontarkan secara eksplisit, cukup tahu sama tahu saja. Para peserta pun menyambutnya dengan riuh, gembira dan sesekali melontarkan nada mengolok-olok barisan aparat keamanan kolonial. Dalam rapat terakhir itulah lagu Indonesia Raya dibawakan lewat gesekan biola Wage Rudolf Soepratman dan sesudah itu dibacakan sebuah maklumat yang dinamai “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia”. Inilah dokumen yang kemudian kita kenal sebagai Sumpah Pemuda, sebuah dokumen historis pernyataan komitmen bersama tentang persatuan yang dirumuskan dalam tiga keputusan: “Pertama Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. 19
Kedua Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Ketiga Kami putra dan putri Indonesia mengaku menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Lewat maklumat inilah para pemuda mendeklarasikan prinsip persatuan Indonesia, persatuan tanah air, bangsa dan bahasa. 1.1.9. Balada si Wage Wage Rudolf Soepratman dilahirkan pada Senin Wage, 9 Maret 1903 di Desa Somongari yang terletak sekitar 12 kilometer sebelah tenggara Kota Purworejo, Jawa Tengah. Ayahnya, Jumeno Senen Sastrosuharjo, adalah serdadu KNIL berpangkat sersan, sementara ibunya bernama Siti Senen. Pada malam kelahirannya, sang ayah memberinya nama Wage Soepratman. Akan tetapi, pada umur sebelas tahun, nama Rudolf ditambahkan padanya supaya memudahkan Soepratman masuk ke Europeesche Lagere School, Sekolah Dasar yang mayoritas diisi anak-anak Belanda.
20
BUNYI MERDEKA
Potret W.R. Soepratman
Pada 1914, Soepratman mengikuti kakak sulungnya, Rukiyem, ke Makassar. Di sana, ia bersekolah sampai ke taraf Normaalschool. Soepratman lantas bekerja di kantor pengacara Belanda, kemudian sebagai guru Sekolah Angka 2 dan juga di kantor sebuah perusahaan dagang serta firma hukum. Semasa tinggal di Makassar inilah bakat musiknya dikembangkan oleh kakak iparnya, suami Rukiyem, yang berprofesi sebagai guru musik tentara kolonial. Sastromiarjo alias Willem Mauritius van Eldik, sang kakak ipar, mengajarinya bermain biola. Sepulangnya ke Pulau Jawa pada 1924, Soepratman bekerja sebagai wartawan di Bandung dan Jakarta. Ia menyumbangkan artikel-artikel pelaporan pada surat kabar Kaoem Moeda, Kaoem Kita dan juga Sin Po. Pada masa-masa inilah ketertarikannya pada dunia pergerakan kebangsaan yang 21
sudah muncul semasa ia di Makassar semakin menguat dan ia pun mulai bergaul dengan para tokohnya. Dalam suasana perjuangan kebangsaan inilah Soepratman menciptakan sejumlah lagu-lagu perjuangan yang membangkitkan semangat patriotik. Gubahan pertamanya adalah sebuah lagu berjudul Dari Barat Sampai Ke Timur: “Dari Barat sampai ke Timur/ Berjajar pulau-pulau Sambung menyambung menjadi satu/ Itulah Indonesia Indonesia Tanah Airku/ Aku berjanji padamu Menjunjung Tanah Airku/ Tanah Airku Indonesia” Lagu perjuangan yang diciptakan pada 1926 ini dari segi musik menyerupai lagu La Marseillaise, sebuah lagu perjuangan Revolusi Prancis yang kemudian diadopsi sebagai lagu kebangsaan Prancis. Sekitar masa inilah Soepratman membaca sebuah artikel di majalah Timboel terbitan Solo yang menantang para komponis Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan Indonesia. Tantangan ini juga dibarengi dengan kabar yang tersiar dari Indonesische Clubgebouw yang menghendaki supaya segera diciptakan lagu kebangsaan Indonesia. Menjawab kebutuhan historis bangsa ini, Soepratman menggubah lagu Indonesia Raya yang pada subjudulnya dengan terang tertulis “lagu kebangsaan”. Berikut adalah lirik asli Indonesia Raya yang ditulis W.R. Soepratman pada pertengahan tahun 1928 (Hutabarat 2001: 19-21): I Indonesia Tanah Airku Tanah Tumpah Darahku Di sanalah Aku Berdiri Jadi Pandu Ibuku Indonesia Kebangsaanku Kebangsaan Tanah Airku Marilah Kita Berseru Indonesia Bersatu Hiduplah Tanahku Hiduplah Negeriku Bangsaku, Jiwaku Semuanya 22
BUNYI MERDEKA
Bangunlah Rakyatnya Bangunlah Bangsanya Untuk Indonesia Raya Indones, Indones, Merdeka Merdeka Tanahku Negriku Yang Kucinta Indones, Indones, Merdeka Merdeka Hiduplah Indonesia Raya. II Indonesia Tanah Yang Mulia Tanah Kita Yang Kaya Di sanalah Aku Hidup Untuk Slama-lamanya Indonesia Tanah Pusaka Pusaka Kita Semuanya Marilah Kita Berseru Indonesia Bersatu Suburlah Tanahnya Suburlah Jiwanya Bangsanya Rakyatnya Semuanya Sadarlah Hatinya Sadarlah Budinya Untuk Indonesia Raya Indones, Indones, Merdeka Merdeka Tanahku Negriku Yang Kucinta Indones, Indones, Merdeka Merdeka Hiduplah Indonesia Raya III Indonesia Tanah Yang Suci Tanah Kita Yang Sakti Di sanalah Aku Berdiri Menjaga Ibu Sejati Indonesia Tanah Berseri 23
Tanah Yang Aku Sayangi Marilah Kita Bernyanyi Indonesia Abadi Selamatlah Rakyatnya Selamatlah Puteranya Pulaunya, Lautnya, Semuanya Majulah Negerinya Majulah Pandunya Untuk Indonesia Raya Indones, Indones, Merdeka Merdeka Tanahku Negriku Yang Kucinta Indones, Indones, Merdeka Merdeka Hiduplah Indonesia Raya Itulah lirik asli Indonesia Raya tiga stanza yang digubah W.R. Soepratman. Pada 8 September 1944, Panitia Lagu Kebangsaan menetapkan sejumlah perubahan kecil atas lagu tersebut dengan ketentuan umum: apabila dinyanyikan satu stanza saja, maka ulangannya dinyanyikan dua kali, sedangkan jika dinyanyikan tiga stanza, maka ulangannya dinyanyikan satu kali pada dua stanza pertama dan dua kali pada stanza ketiga. Pada 26 Juni 1958, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 44 yang menetapkan gubahan, irama, nada dan tata tertib dalam membawakan lagu tersebut. Kisah dikumandangkannya lagu Indonesia Raya dalam Kongres Pemuda Kedua punya latar yang menarik. Sebagai wartawan koran Sin Po, Soepratman pernah meliput Kongres Pemuda Pertama yang diselenggarakan antara 30 April dan 2 Mei 1926. Ketika akan diselenggarakan Kongres Pemuda Kedua yang nantinya menghasilkan Sumpah Pemuda, Soepratman pun ditugasi meliputnya kembali. Mula-mula, demi keperluan liputan, Soepratman bertemu dengan Soegondo Djojopoespito, salah seorang tokoh muda dan kawan satu indekos Sukarno ketika di Surabaya. Dalam pertemuan itu, ia diminta Soegondo membawakan lagu Indonesia Raya dalam suatu acara di gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106. Acara inilah yang kemudian digelar sebagai Kongres Pemuda Kedua. Pada malam 28 Oktober 1928, tepat sebelum putusan kongres dibacakan, W.R. Soepratman membawakan Indonesia Raya dalam gesekan biola. Atas pertimbangan Soegondo, demi mengh24
BUNYI MERDEKA
indari represi oleh agen-agen kolonial yang terus memantau keseluruhan acara, lagu itu pun sengaja tidak dinyanyikan. Pada tahun 1930, lagu Indonesia Raya dilarang dinyanyikan di depan umum. Pemerintah kolonial menganggap lagu itu subversif dan mengganggu “ketenangan dan ketertiban” (rust en orde). Lagu tersebut dikhawatirkan dapat memicu semangat kemerdekaan atau pemberontakan terhadap pemerintah yang sah. Seiring dengan pelarangan lagu Indonesia Raya, Soepratman pun ditangkap polisi dan diinterogasi badan intelijen kolonial (Politieke Inlichtingen Dients). Pelarangan tersebut memicu protes yang meluas sampai menjadi perdebatan keras di Volksraad.
Catatan intelejen kolonial tentang Indonesia Raya
Dalam menyuarakan cita-cita kemerdekaan, Soepratman tak hanya berhenti pada gubahan musik. Ia juga menulis novel berjudul Perawan Desa yang ditulis dan diterbitkan pada 1929. Novel itu berkisah tentang kesengsaraan hidup di bawah kolonialisme yang dipotret melalui cerita para kuli kontrak di tanah perkebunan Deli, Sumatra Utara. Karena mengandung kritik atas pemerintah kolonial, novel itu pun disita dan dimusnahkan oleh aparat Belanda. Selain menggubah Indonesia Raya, Dari Barat Sampai Ke Timur, Indonesia Ibuku, Di Timur Matahari, serta sejumlah lagu mars pergerakan, W.R. Soepratman juga mencipta Ibu Kita Kartini, yang terinspirasi dari liputannya atas Kongres Perempuan Indonesia Pertama di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928, dan Matahari Terbit. Lagu terakhir itu dianggap subversif oleh pemerintah 25
kolonial dan menggiring Soepratman dijebloskan ke penjara Kalisosok, Surabaya, pada Agustus 1938. Kelelahan fisik dan psikis membuat Soepratman jatuh sakit dan akhirnya meninggal di Surabaya, Jawa Timur, pada 17 Agustus 1938. Pada detik-detik penghabisannya, ia menulis secarik surat wasiat (Rahman 2016: 34): “Selamat tinggal tanah airku Tanah tumpah darahku Indonesia tanah berseri Tanah yang aku sayangi Selamat tinggal bangsaku!” 1.2. Tala Nada Politik Hukum Indonesia Raya W.R. Soepratman menggubah lagu Indonesia Raya dengan dua versi. Versi pertama menggunakan tanda sukat 6/8 yang bisa dilihat dari partitur yang diterbitkan oleh koran Sin Po. Versi lainnya adalah versi dengan menggunakan tanda sukat 4/4. Keduanya tidak terlalu memiliki perbedaan, kecuali pada nilai-nilai nada. Lain daripada itu, Soepratman juga memberikan versi keroncong dan versi waltz. Kemungkinan yang dimaksud dengan Indonesia Raya versi waltz adalah yang menggunakan sukat 6/8, dan versi keroncong yang menggunakan sukat 4/4. Syair yang pertama kali dibuat oleh Soepratman juga sudah diubah beberapa kali, sesuai dengan kebutuhan artistik dan politik. Adapun syair awal Soepratman berbunyi: Indonesia, tanah airku, Tanah tumpah darahku Disanalah aku berdiri Menjaga Pandu ibuku Indonesia, kebangsaanku Kebangsaan tanah airku Marilah kita berseru “Indonesia bersatu” Hiduplah tanahku Hiduplah neg’riku Bangsaku, jiwaku, semua 26
BUNYI MERDEKA
Bangunlah rakyatnya Bangunlah badannya Untuk Indonesia Raya Indones’, Indones’ Mulia, mulia Tanahku, neg’riku yang kucinta Indones’, Indones’ Mulia, mulia Hiduplah Indonesia Raya Indones’, Indones’ Mulia, mulia Tanahku, neg’riku yang kucinta Indones’, Indones’ Mulia, mulia Hiduplah Indonesia Raya Judul yang pertama kali diberikan Soepratman untuk karangannya adalah Indonesia. Setelah melihat kemerdekaan sudah mulai muncul di cakrawala, Sukarno meminta Kusbini untuk membentuk sebuah panitia guna menyempurnakan lagu dan syair Indonesia Raya agar dapat menjadi lagu kebangsaan. Pada pertengahan 1944, dibentuklah sebuah Panitia Lagu Kebangsaan yang dipimpin oleh Kusbini. Adapun panitia tersebut terdiri dari para tokoh nasional, yaitu: 1. Sukarno 2. Ki Hadjar Dewantara 3. Achiar 4. Bintang Sudibyo 5. Darmajaya 6. Kusbini 7. Kyai Haji Mansyur 8. Muhammad Yamin 9. Sastromulyono 10. Sanoesi Pane 11. Cornel Simandjuntak 12. A. Subardjo 27
13. Utoyo Panitia Lagu Kebangsaan itu selesai merumuskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan syair dan sekaligus membuat ketetapan-ketetapan sebagai berikut: 1. Apabila lagu Indonesia Raya dinyanyikan satu kuplet saja, maka ulangannya dilagukan dua kali. Apabila dinyanyikan tiga kuplet, maka ulangannya dilagukan satu kali, kecuali kuplet ketiga yang ulangannya tetap dilagukan dua kali. 2. Ketika menaikkan bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya harus diperdengarkan dengan ukuran cepat 104. Kalau sedang berbaris, dipakai ukuran cepat 120. 3. Perkataan “semua” diganti dengan perkataan “sem’wanya.” Not ditambah dengan Do. 4. Perkataan “refrein” diganti dengan perkataan “ulangan.” Pada kenyataannya, perubahan pada syair Indonesia Raya bukan hanya pada kata “semua,” tetapi, lebih dari itu. Perubahan itu didasarkan atas pertimbangan tata bahasa, sastra dan musik. Di bawah ini adalah perbandingan antara syair asli Indonesia Raya buatan Soepratman dan revisi yang dibuat oleh Panitia Lagu Kebangsaan: Kuplet I 1928 1944 Menjaga pandu ibuku Jadi pandu ibuku Kebangsaan tanah-airku Bangsa dan tanah airku Bangsaku, jiwaku semua Bangsaku, rakyatku sem’wanya Bangunlah, rakyatnya Bangunlah jiwanya Bangunlah, bangsanya Bangunlah badannya Kuplet II Disanalah aku hidup Marilah kita berseru 28
Disanalah aku berada Marilah kita mendoa
BUNYI MERDEKA
Indonesia bersatu Indonesia bahagia Kuplet III Menjaga ibu sejati Njaga ibu sejati Selamatlah rakyatnya S’lamatlah rakyatnya Selamatlah putranya S’lamatlah putranya Pulaunya, lautnya semua Pulaunya, lautnya sem’wanya Pada praktiknya, setelah kemerdekaan, meskipun sudah dikodifikasi oleh Panitia Lagu Kebangsaan, masih banyak ditemukan berbagai variasi cara memainkan lagu Indonesia Raya. Akhirnya, pemerintah pada masa itu menganggap perlu suatu intervensi untuk menetapkan cara-cara lagu kebangsaan dimainkan. Oleh sebab itu, pada 16 November 1948, Presiden Sukarno memutuskan untuk membentuk Panitia Indonesia Raya. Tugas utama dari panitia tersebut adalah untuk memberikan saran-saran kepada Pemerintah mengenai: 1. Cara menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam berbagai upacara resmi dan tidak resmi. 2. Cara mengibarkan dan memakai bendera kebangsaan Sang Merah Putih. 3. Bentuk, isi dan cara pemakaian lambang negara Republik Indonesia. 4. Hal-hal lain yang dianggap perlu dan bersangkutan dengan lagu kebangsaan, bendera kebangsaan Sang Merah Putih dan lambang negara yang belum tersebut dalam butir 1, 2 dan 3. Judul Indonesia Raya baru diberikan kemudian, setelah dirasa judul awalnya kurang mencerminkan kemegahan negeri Indonesia. Kata-kata “mulia” dalam syair awal buatan Soepratman juga mengalami perubahan pada 1944. Perubahan itu dilakukan oleh Panitia Lagu Kebangsaan yang diminta Sukarno untuk merumuskan lagu kebangsaan, mengingat kemungkinan kemerdekaan yang sudah ada di depan mata. Keputusan Sukarno itu lalu menetapkan bahwa lagu Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan Indonesia. 29
Lebih dari satu dasawarsa kemudian, pada 1958 pemerintah mengeluarkan penetapan berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 1958 yang menegaskan perihal Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya. Selanjutnya PP tersebut juga menegaskan tentang cara menyanyikan, penggunaan dan tata tertib penggunaan lagu kebangsaan. Berkait dengan cara menyanyikan PP tersebut menyatakan sebagaimana termaktub dalam pasal 2 ayat (1), (2) dan (3): (1) Pada kesempatan-kesempatan di mana diperdengarkan Lagu Kebangsaan dengan alat-alat musik, maka lagu itu dibunyikan lengkap satu kali, yaitu satu strofe dengan dua kali ulangan. (2) Jika pada kesempatan-kesempatan Lagu Kebangsaan dinyanyikan, maka lagu itu dinyanyikan lengkap satu bait, yaitu bait pertama dengan dua kali ulangan. (3) Jika dalam hal tersebut pada ayat 2 di atas, Lagu Kebangsaan dinyanyikan seluruhnya, yaitu tiga bait, maka sesudah bait yang pertama dan sesudah bait yang kedua dinyanyikan ulangan satu kali dan sesudah bait penghabisan dinyanyikan ulangan satu kali dan sesudah bait penghabisan dinyanyikan ulangan dua kali. Perkembangan selanjutnya berdasarkan peraturan pemerintah melalui Instruksi Menteri Muda Pendidikan dan Pengajaran dan Kebudayaan Nomor 1 tanggal 17 Agustus 1959, telah ditetapkan tujuh lagu-lagu perjuangan sebagai lagu wajib yaitu (1) lagu ‘Kebangsaan Indonesia Raya’ ciptaan W.R. Soepratman. (2) lagu ‘Bagimu Neg’ri’ ciptaan Kusbini. (3) lagu ‘Maju tak Gentar’ ciptaan Cornel Simandjuntak. (4) lagu ‘Hallo-hallo Bandung’ ciptaan Ismail Marzuki. (5) lagu ‘Rayuan Pulau Kelapa’ ciptaan Ismail Marzuki. (6) lagu ‘Berkibarlah Benderaku’ ciptaan Bintang Sudibyo, dan (7) lagu ‘Satu Nusa Satu Bangsa’ ciptaan L. Manik. Kodifikasi terakhir terhadap lagu Indonesia Raya adalah melalui UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, yang sekali menegaskan perihal Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan berikut aturan tambahan penggunaannya. Ini tercantum dalam Bab V bagian kedua terkait penggunaan lagu kebangsaan, pasal 59 ayat (1), Lagu Kebangsaan wajib diperdengarkan dan/atau dinyanyikan: a. untuk menghormati Presiden dan/atau Wakil Presiden; 30
BUNYI MERDEKA
b. untuk menghormati Bendera Negara pada waktu pengibaran atau penurunan Bendera Negara yang diadakan dalam upacara; c. dalam acara resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah; d. dalam acara pembukaan sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah; e. untuk menghormati kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat dalam kunjungan resmi; f. dalam acara atau kegiatan olahraga internasional; dan g. dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni internasional yang diselenggarakan di Indonesia. Selain itu lagu kebangsaan Indonesia Raya juga boleh digunakan untuk momen tertentu. Pada pasal 59 ayat (2) disebutkan bahwa lagu kebangsaan dapat diperdengarkan dan/atau dinyanyikan: a. sebagai pernyataan rasa kebangsaan; b. dalam rangkaian program pendidikan dan pengajaran; c. dalam acara resmi lainnya yang diselenggarakan oleh organisasi, partai politik, dan kelompok masyarakat lain; dan/atau d. dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi dan seni internasional. Menurut pasal 60 pada bagian ketiga undang-undang, tata cara penggunaan lagu kebangsaan adalah sebagaimana berikut: 1. Lagu Kebangsaan dapat dinyanyikan dengan diiringi alat musik, tanpa diiringi alat musik, ataupun diperdengarkan secara instrumental. 2. Lagu Kebangsaan yang diiringi alat musik, dinyanyikan lengkap satu strofe, dengan satu kali ulangan pada refrein. 3. Lagu Kebangsaan yang tidak diiringi alat musik, dinyanyikan lengkap satu stanza pertama, dengan satu kali ulangan pada bait ketiga stanza pertama. Sebagai tambahan dari pasal 61, apabila Lagu Kebangsaan dinyanyikan lengkap tiga stanza, bait ketiga pada stanza kedua dan stanza ketiga dinyanyikan ulang satu kali. Sementara sikap hadirin tertulis pada pasal 62 yang berisi bahwa setiap orang yang hadir pada saat lagu kebangsaan diperdengarkan dan/atau dinyanyikan, wajib berdiri tegak dengan sikap hormat. 31
1.3. Kemerdekaan Sebagai Bunyi Sebelum ini sudah dibahas mengenai gambaran umum situasi pra-kemerdekaan, lebih tepatnya, Kebangkitan Nasional sampai Sumpah Pemuda, terutama kisah tragis pahlawan bangsa, W.R. Soepratman dan karya gubahannya yang kita kenal sebagai lagu kebangsaan. Bagian ini akan menguraikan kemerdekaan sebagai bunyi atau kemungkinan-kemungkinan bunyi kemerdekaan. Apa maksudnya kemerdekaan sebagai bunyi? Dapatkah bunyi menjadi merdeka atau, setidaknya, melambangkan kemerdekaan? Apakah mungkin musik menyampaikan makna kemerdekaan sebagai sebuah karya abstrak?3 Bagaimana sebuah bunyi-bunyian yang tersistematisasi membakar semangat perjuangan kemerdekaan? Apakah memang mungkin? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini akan coba dilukiskan secara umum sebagai pengantar kajian yang lebih mendalam pada bab selanjutnya. Sudah dijelaskan bahwa lagu kebangsaan Indonesia Raya digubah oleh W.R. Soepratman menggunakan biola. Kemudian, agar menjadi lagu kebangsaan yang sekarang kita kenal, gubahan Soepratman itu diorkestrasi oleh seorang komponis Belanda bernama Josef Cleber. Tidak semua komponis menggubah lagunya memang untuk orkes besar, Soepratman salah satunya. Mengingat kondisi bangsa tatkala Soepratman menggubah Indonesia Raya, wajar saja ia tidak memper-
Josef Cleber
3 Karya abstrak berarti karya yang disarikan dari nilai-nilai kunci sebuah satuan wujud. Sebagai misal, sila-sila dari Pancasila merupakan abstraksi dari nilai-nilai filosofis bangsa Indonesia yang terperikan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
32
BUNYI MERDEKA
siapkan orkestrasi penuh. Soepratman menggubah Indonesia Raya di bawah bayang-bayang kuasa kolonial di mana kehidupan serba sementara dan tidak ada kepastian masa depan. Benar saja, Soepratman meninggal di usia muda sebelum sempat mendengar kebangkitan bangsa yang ia impikan. Baik Indonesia Raya bentuk asli Soepratman dan Cleber memiliki napas yang sama, napas perjuangan dan kebangkitan bangsa. Namun, nuansa kedua bentuk tersebut amat berbeda. Hal ini dikarenakan perbedaan karakter alat musik, di mana versi asli menggunakan biola dan versi di kemudian hari, versi yang kita kenal sekarang, menggunakan orkestra penuh. Jika dalam seni lukis kita mengenal warna, maka seni musik juga mengenal warna. Warna dalam seni musik digunakan untuk memberikan kesan yang berbeda, sama halnya dengan seni lukis. Oleh sebab itu, setiap alat musik memiliki warnanya masing-masing, sesuai dengan karakter yang dimiliki oleh alat musik itu sendiri. Sebelum kita masuk lebih jauh ke dalam pemahaman musik Indonesia Raya, terutama dalam kaitan dengan bunyi kemerdekaan, kita perlu memastikan apa itu musik. Ini perlu agar kita tidak keliru antara bunyi kemerdekaan dan bunyi-bunyi yang tersistematisasi lainnya. Juga karena lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya, bukan Bendera gubahan kelompok musik Coklat, bukan juga Padamu Neg’RI ciptaan Kusbini dan lagu-lagu nasional lainnya.4 1.3.1. Apa Itu Musik? Perlunya mencari definisi musik yang tidak hanya niscaya, tetapi juga memadai menjadi penting dalam pembahasan mengenai musik kebangsaan, 4 Ternyata, ketika Kusbini menggubah lagu Padamu Neg’RI, kata terakhir, yaitu Neg’RI bukan dimaksudnya sebagai negeri dalam artian tanah tumpah darah. Kata Neg’RI, dan ini adalah alasan saya menggunakan huruf besar untuk sukukata “RI,” rupanya adalah singkatan dari Negara Republik Indonesia. Ketika itu, Kusbini dipanggil oleh Sukarno ke ibukota Indonesia yang waktu itu bertempat di Yogyakarta. Konon katanya, Sukarno beberapa kali memanggil Kusbini untuk melihat lagu apa yang sudah dikarang olehnya. Pada hari itu, Kusbini datang dengan sepeda dan membawa sebuah map berisikan naskah lagu Padamu Neg’RI. Pada awalnya, kalimat terakhir dari syair lagu tersebut adalah “Indonesia Raya.” Menyadari hal itu, Sukarno menegur Kusbini agar ia mengubahnya karena ketika itu belum ada yang namanya Republik Indonesia. Oleh sebab itu, sekarang kita mengenal lagu tersebut dengan syair penutup “Jiwa raga kami.” Sedangkan singkatan pada judul lagu tersebut menunjukkan bentuk-bentuk perlawanan kepada pemerintahan kolonial dalam bentuk pesan-pesan tersembunyi.
33
terutama Indonesia Raya sebagai perwujudan saripati pergerakan kebangsaan. Definisi memadai secara logis lebih kuat daripada definisi niscaya. Artinya begini, bunyi-bunyian merupakan salah satu elemen musik paling dasar, tetapi tidak semua bunyi-bunyian bisa dikatakan sebagai musik. Sedangkan definisi memadai tetap berlaku, meskipun definisinya dibalik. Misalnya, contoh yang cukup populer, manusia adalah binatang rasional. Ketika dibalik, semua binatang rasional adalah manusia dan berlaku juga sebaliknya, semua manusia adalah binatang rasional. Mengingat unsur di atas, maka dari itu, musik biasanya dijelaskan sebagai bunyi atau suara. Definisi ini terlalu luas, meskipun secara umum bisa menerangkan apa itu musik, sehingga suara-suara yang dihasilkan oleh apa pun, selama memiliki frekuensi, baik yang bisa didengar oleh manusia atau tidak, akan jatuh ke dalam kategori musik. Menurut definisi ini, maka anak kecil yang memukul panci atau menangis bisa disebut musik. Bukan itu. Terutama untuk keperluan kita sekarang, tidak mungkin kita menyamakan antara Indonesia Raya dan tangisan anak kecil karena kehilangan mainannya. Indonesia Raya digubah dengan pertumpahan darah W.R. Soepratman justru agar anak kecil itu bisa bebas menangis sekarang. Pengembangan dari definisi awal itu biasanya menentukan musik sebagai suara yang tersistematisasi. Artinya, suara yang disusun, dibentuk atau dirangkai dengan atau tidak saksama sehingga menjadi sebuah kesatuan baru. Sekali lagi, definisi ini masih sedikit luas, meski sudah mulai menyempit. Dapat kita lihat, definisi ini juga menyertakan suara-suara yang tersistematisasi seperti misalnya seruan para pekerja yang sedang demonstrasi, erangan (keluh kesah) kucing meminta makan (minta kawin), keluh kesah kucing kelaparan yang minta makan dan kawin, dan seterusnya. Suara-suara seperti itu merupakan bunyi yang terorganisir dan memiliki tujuan tertentu, bukan hanya keusilan untuk membuang waktu. Tetapi, apakah suara semacam itu adalah musik? Untuk itu, kita harus menyempitkan lagi definisi kerja kita agar lebih menyesuaikan dengan Indonesia Raya sebagai sebuah karya seni musik. Dengan mempertimbangkan pelaku yang memproduksi suara, kita sebetulnya sudah mengarah kepada definisi yang lebih baik dan tegas. Kesulitannya adalah tidak semua produksi suara manusia, sebagai pelaku, bisa dikategorikan sebagai musik. Contohnya, tangisan anak kecil yang menuntut mainan kegemarannya tadi. Musik juga tidak bisa dibilang selalu dibuat untuk menyampaikan ide yang 34
BUNYI MERDEKA
dimiliki oleh penggubahnya. Lagi pula, tidak semua musik memiliki ide atau gagasan yang ingin disampaikan. Sandi suara, kalau begitu, bisa disebut musik karena menyampaikan pesan tertentu dengan menggunakan frekuensi yang terorganisir. Diperlukan sebuah kategori lagi untuk lebih memperjelas definisinya sehingga bisa menjadi memadai, yaitu, kategori tujuan. Oleh sebab itu, mungkin musik dapat dijelaskan sebagai: “Bebunyian yang disusun secara temporal oleh seseorang dengan maksud memperkaya atau menegaskan pengalaman melalui kesertaan aktif (misalnya, mendengar, menari, mempertunjukkan) dengan menggunakan medium suara, setidaknya hampir seluruhnya, sebagai suara.” Dengan memberikan landasan definisi musik, maka kita bisa memulai kajian tentang musik Indonesia Raya dengan lebih terang. Jelas dari definisi tersebut kita bisa melihat bahwa Indonesia Raya masuk ke kategori musik. Pertama-tama karena lagu tersebut digubah oleh seseorang yaitu W.R. Soepratman. Kemudian, jelas pula maksud dari Soepratman menggubah lagu Indonesia Raya, yaitu untuk memperkaya atau menegaskan pengalaman masyarakat Indonesia. Semua ini dimungkinkan melalui kesertaan aktif para pendengarnya yaitu masyarakat Indonesia itu sendiri. Berbicara mengenai maksud atau tujuan sebuah karya musik, kita harus bicara mengenai kemampuan ekspresinya. Pada umumnya, ada dua arus besar dalam teori kajian musik. Arus pertama adalah formalisme, yang menghasilkan musik absolut, yaitu arus yang menolak makna terselubung di balik tatanan musikal yang sudah rapi tersusun oleh seorang komponis dan/atau merasa bahwa musik tidak mungkin merujuk pada sesuatu di luar dirinya sendiri.5 Sedangkan arus kedua adalah paham musik program, artinya, musik yang memang sengaja digubah dengan tujuan membangkitkan perasaan tertentu dan/atau berupaya menggambarkan tema-tema tertentu. Paham pertama biasanya menolak kemampuan ekspresif dari musik sama sekali, tetapi keduanya biasanya sepakat bahwa musik tidak memiliki rujukan semantik. 5 Selain menolak makna terselubung, para penganut formalisme juga menolak makna eksplisit. Intinya, segala bentuk makna betul-betul ditolak. Meskipun begitu, formalisme juga memiliki posisi moderat yang masih memberi ruang bagi ekspresi musikal untuk aneka rupa musik program atau musik dengan lirik atau teks seperti opera dan tentu saja Indonesia Raya.
35
Lagu Indonesia Raya masuk ke kategori nomor dua, yaitu musik yang sengaja digubah dengan tujuan membangkitkan perasaan tertentu dan, khususnya untuk kasus Indonesia Raya, berupaya menggambarkan tema-tema tertentu. Tentunya yang digambarkan oleh Indonesia Raya bukan kenyataan itu sendiri, tetapi kesan yang ditimbulkan dari rangkaian nada-nada tertentu. Komponis Hungaria Franz Liszt masuk ke kategori musik program ini dan memang menurut Liszt, musik program menuntut kemampuan lebih tinggi dari penggubahnya karena sang penggubah tidak hanya melakukan manipulasi atas relasi formal musikal semata.6 Jadi, seperti apa itu musik absolut atau musik formal? Musik yang tidak dipengaruhi atau berhubungan dengan peristiwa atau wujud di luar musik. Musik absolut tidak menggambarkan gugusan awan, sinar rembulan, sungai yang memercik, gemuruh samudra, palung tak berdasar dan seterusnya. Musik program, dengan sendirinya, mampu menggambarkan pantulan matahari di tebing gunung kuarsa, kicauan burung, keindahan alam semesta, sangkakala maut, arak-arakan kematian, sampai pengalaman mencapai langit ke tujuh.7 Dalam musik program, nada-nada dirangkai sedemikian rupa sehingga kesan yang diinginkan dapat tercapai. 1.3.2. Pergerakan Nasional dan Musik Berbicara tentang musik sebagai bagian dari Pergerakan Nasional, pada dasarnya memiliki dua kandungan yang berbeda namun tidak mudah dipisahkan. Pertama, ini terkait dengan gagasan nasionalisme dalam musik, dan kedua, terkait dengan peran musik di dalam menumbuhkan identitas nasional. Gagasan nasionalisme dalam musik ini sebenarnya merupakan refleksi dari munculnya semangat identitas nasional sebagai kekuatan politik di abad ke-19, termasuk di dalamnya gelombang gerakan kemerdekaan. Kelahirannya berkaitan erat dengan pemujaan terhadap “rasa” dan “identitas”, plus tuntutan liberal akan negara yang lebih berbasis pada kedaulatan rakyat ketimbang kedaulatan raja maupun Tuhan. 6 Yang dimaksud dengan relasi formal adalah betapapun kita ingin membayangkan keadaan atau peristiwa tertentu ketika mendengarkan musik absolut, kita akan kesulitan mendapatnya. Hal ini dikarenakan ketika digubah, musik macam ini tidak ditujukan untuk menggugah khayalan korespondensi. 7 Penekanan ada dalam kata “mampu”. Artinya, musik program berupaya untuk menggambarkan berbagai kondisi nyata di luar musik. Soal keberhasilannya menggambarkan kondisi-kondisi itu, ternyata adalah masalah lain.
36
BUNYI MERDEKA
Karena itu, gagasan musik dalam nasionalisme di sini merujuk pada negeri, wilayah, bahkan etnisitas sebagaimana yang ditampilkan melalui nada-nada, ritmis, dan harmoni musik rakyat/daerah, maupun adopsi subjek-subjek nasional untuk opera, simfoni maupun bentuk-bentuk musik lainnya. Fenomena nasionalisme dalam musik ini, dari sisi musik klasik terwakili oleh figur Frederic Chopin yang mencipta Etude ke-12, yang biasa disebut sebagai Etude Revolusioner ataupun Etude Bombardemen Warsawa, yang muncul bersamaan dengan serangan kekaisaran Rusia terhadap Polandia pada 1831. Begitu juga ketika Chopin pindah ke Prancis dan berhubungan erat dengan sastrawan aktivis Georges Sand, pada 1848 saat pecah gelombang yang kesekian dari Revolusi Prancis, Chopin membuat lagu Polonaise in A-flat major, Op. 53, atau biasa disebut Polonaise Kepahlawanan (Heroic). Komponis lain yang juga tersangkut gelombang nasionalisme dalam musik adalah Bela Bartok. Antipatinya terhadap dominasi ruang-ruang pertunjukan musik Eropa yang mengharuskan penampilan repertoar bergaya Beethoven pada abad ke-19, membuatnya memilih untuk menggali musikmusik dari kaum tani Hungaria dan Romania. Ini ditujukan untuk menunjukkan kepada masyarakat musik Eropa bahwa musik itu tidak berasal dari kantong uang para maesenas, tetapi dari rakyat yang ada di pegunungan Moravia misalnya. Kandungan yang kedua, beranjak pada fungsi sosial musik sebagai sarana masyarakat untuk menghadapi kesukaran, menyuarakan keresahan, ataupun menyerukan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Dalam hal ini musik menjadi bagian dari identitas politik yang membuat pembedaan-pembedaan antara “kita” dan “yang lain”. Walaupun demikian, patut diperhatikan juga bahwa musik adalah juga instrumen yang memiliki kemampuan untuk merangsang konflik ataupun perang, sebagaimana juga kemampuannya untuk memulihkan perdamaian. Musik-musik pergerakan yang dibuat oleh para musisi Afrika Selatan seperti Miriam Makeba, Hugh Masekela, Abdullah Ibrahim, di dalam perjuangan menentang politik diskriminasi ras apartheid Afrika Selatan adalah bagian dari upaya membangun identitas politik. Paling tidak sejak abad ke-17 musik sudah dihubung-hubungkan dengan bahasa tutur. Tentu saja, teori ini berkembang di belahan dunia barat. Ketika itu, seorang komponis dari Italia, Jacopo Peri, dengan karyanya yang berjudul Euridice, menggunakan teknik bernyanyi yang mirip dengan gaya tutur. Dalam tatanan musik barat, gaya bernyanyi tutur seperti ini disebut 37
recitativo. Opera Euridice sendiri berulang kali dianggap sebagai salah satu karya opera pertama yang pernah digubah. Sebagai penggabungan antara teater dan musik, opera mesti memiliki dialog antara pemain-pemainnya. Debat mengenai musik dan bahasa tutur ini berlanjut dan menemui puncaknya ketika Charles Darwin menolak pandangan Herbert Spencer yang menyatakan bahwa musik berasal dari tuturan manusia. Menurut Darwin, bukan musik yang berasal dari bahasa tutur, melainkan bahasa tutur yang berasal dari musik. Tetapi, terlepas dari kedua perbedaan pendapat itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya musik mengemban nilai-nilai emosional. Tidaklah berlebihan apabila kita mengatakan bahwa W.R. Soepratman dalam kandungan musik identitas politik berada di atas puncak gunung komponis nasionalisme musik bersama Smetana, Dvorak, Liszt, Bartok, Enescu, Sibelius, Elgar, Shostakovich. Karena apa yang dituturkannya, dan yang dibunyikannya seolah-olah menyuarakan hal yang sama dengan para komponis besar tersebut: “Aku sudah hidup dan mati untuk negaraku.”
38
II Musik Sebelum Indonesia Raya Tidak bisa dipungkiri, terdapat pengaruh kebudayaan barat dalam komposisi Indonesia Raya bahkan sebelum Josef Cleber ditugasi untuk mengorkestrasinya. W.R. Soepratman menggubahnya pertama kali menggunakan biola, sebuah instrumen yang tidak ditemukan di tanah air. Kemudian, kita bisa mendengar sekilas pengaruh musik keroncong dalam gubahan awal Soepratman, lagi-lagi dipengaruhi oleh musik Portugis yang waktu itu datang membawa alat musik semacam ukulele bernama cavaquinho atau braguinha. Tergantung dari sukat (time signature) yang digunakan, kita juga dapat merasakan pengaruh musik waltz dalam gubahan Soepratman, sekali lagi membuktikan bahwa dalam Indonesia Raya pengaruh musik barat begitu mencolok.8 Bab ini akan memaparkan perjumpaan budaya antara Indonesia dan negara lain, karena pengaruh budaya tidak hanya berlaku satu arah saja. Di Belanda, misalnya, terdapat komunitas yang aktif melestarikan musik-musik daerah jajahan, terutama Indonesia.9 Tujuan dari bab ini adalah memberikan gambaran umum mengenai kondisi budaya tanah air, termasuk di dalamnya pengaruh tekanan kolonial terhadap alam pikir masyarakat pada masa pemerintahan kolonial. Diharapkan pembaca dapat memahami peristiwa pertukaran budaya yang terjadi dengan lebih jernih dan terbuka. Penjelasan yang diberikan di sini sifatnya hanya penjelasan umum, bukan penjelasan menyeluruh tentang tradisi musik Nusantara. Pemaparan budaya musik tanah air membutuhkan riset etnomusikologi yang lebih meluas, sementara ruang yang ada terbatas untuk membahas musik Indonesia Raya. Perlu diketahui bahwa budaya tradisional masyarakat tanah air sudah banyak yang punah. Kepunahan ini sudah terjadi bahkan sebelum ada arus mod8 Tanda sukat yang digunakan oleh Indonesia Raya yang kita kenal sekarang adalah 4/4, sedangkan, sebelumnya tanda sukat yang digunakan adalah 6/8 sehingga kita bisa mendengar pengaruh musik waltz yang kentara dalam versi itu. 9 Contoh yang paling terkenal adalah Wieteke van Dort. Ia bahkan memiliki sebuah acara televisi yang menjangkitkan kebudayaan Nusantara, terutama Jawa.
ernisasi sekarang ini. Kepunahan ini ada yang dipaksakan dan ada yang memang terjadi secara sukarela, seperti misalnya perubahan yang terjadi akibat pertukaran budaya antar pedagang yang berjumpa di pelabuhan. Tetapi, perubahan yang terjadi akibat pemaksaan juga tidak sedikit jumlahnya. Misalnya saja, agama-agama samawi yang masuk ke tanah air memaksa penduduk asli untuk meninggalkan budaya yang berkaitan dengan ritus-ritus yang dianggap kafir atau memuja berhala di mana di dalam ritus-ritus pemujaan itu banyak kebudayaan yang mengandung, tidak hanya musik, tetapi juga tari-tarian dan kearifan lokal lain. Bagian ini hanya dimaksudkan sebagai pengantar ke dalam tradisi musik Nusantara sehingga bukan sama sekali bermaksud untuk menjadi lengkap. Pemilihan tradisi yang diangkat juga tidak berdasarkan sistematika tertentu, melainkan hanya sebuah pilihan praktis di tengah sedikitnya informasi yang tersedia. Oleh sebab itu, bisa saja tradisi musik masyarakat adat lain di Indonesia tidak termasuk ke pembahasan singkat ini. Catatan lain, musik tradisional Jawa dan Bali, sebagai musik tradisional paling populer, baik di Nusantara maupun di dunia internasional, tidak akan dibahas. Alasannya, karena sudah cukup banyak kajian mengenai musik tradisional Jawa dan Bali dan sumber-sumber yang ada membahasnya dengan amat terinci.10 Gamelan menjadi begitu populer dan koleksi gubahannya masih berkembang terus sampai sekarang dibandingkan dengan musik tradisional masyarakat Indonesia lainnya. Orkes gamelan juga tidak lagi terbatas pada tanah air Indonesia saja karena di Amerika Serikat, misalnya, terdapat puluhan orkes gamelan yang melakukan pementasan rutin sekaligus mengkaji aspek musikalnya.11 10 Lihat misalnya, Sumarsam, Jaap Kunst, Philip Yampolsky dan seterusnya, yang pernah menulis musik tradisional Jawa, gamelan. 11 Tidak hanya itu, hampir semua institusi pembelajaran etnomusikologi di Amerika Utara memiliki jurusan khusus musik gamelan, baik Jawa ataupun Bali. Pak Tjokro atau K.P.H. Notoprojo, misalnya, pernah mengajar di California Institute of the Arts selama beberapa waktu. Salah seorang murid beliau adalah komponis Amerika terkenal bernama Lou Harrison yang berulang kali menggunakan gamelan dalam komposisi modernisnya. Selain itu, I Wayan Suweca mendirikan gamelan Sekar Jaya bersama beberapa muridnya, juga di Amerika Serikat, selain mengajar di berbagai institusi pendidikan formal di sana. Peran musik gamelan Jawa dan Bali begitu kuat, sehingga Rahayu Supanggah pernah menggubah musik untuk pementasan I La Galigo, sebuah lakon yang diangkat dari kebudayaan Bugis kuno, yang diciptakan oleh sutradara lakon kenamaan, Robert Wilson, menggunakan beberapa instrumen gamelan dari Jawa dan Bali untuk komposisi musik yang seharusnya murni berasal dari kebudayaan musik Bugis. (Ini bukan berarti komposisi Rahayu Supanggah jelek
40
BUNYI MERDEKA
Musik dalam tradisi masyarakat adat Indonesia tidak bisa dipisahkan dari berbagai ritual upacara yang mengikutinya. Musik tradisional Nusantara pada umumnya juga tidak pernah berdiri sendiri, seperti pada musik tradisional barat, karena musik tradisional Indonesia biasanya dimainkan untuk mengiringi, misalnya tarian-tarian dan berbagai upacara adat. Oleh sebab itu, tidak banyak bisa disaksikan musik tradisional dipentaskan tanpa ritual-ritual yang mengikutinya. Memang, berbagai upaya dilakukan untuk terus melestarikan tradisi musik Nusantara yang semakin lama semakin menghilang.
2.1. Etude Syailendra Jejak-jejak awal kehidupan musik di Indonesia dapat ditemukan dalam relief-relief Candi Borobudur dan Prambanan. Pada Candi Borobudur terdapat 105 relief yang menggambarkan adegan musik dalam segala lingkungan masyarakat dan dunia supernatural. Relief-relief tersebut ditemukan pada cerita Karmawibangga, Lalitawistara, Jatakamala Jataka, Awadhana, Gandawyuha dan Bhadracari. Relief-relief itu juga menggambarkan adanya empat kelompok jenis alat musik yaitu Tata Vadya/Kordofon yang terdiri dari alat musik petik; Ghana Vadya/Ideofon yang terdiri dari alat musik pukul, dengan sumber bunyi pada alat musik itu sendiri seperti simbal, genta, gambang, saron, dan sebagainya; Sushira Vadya/Aerofon yang terdiri dari alat-alat musik tiup; serta Avanaddha Vadya/Membranofon seperti gendang.12
atau bahkan salah. Komposisi Rahayu Supanggah boleh dikatakan tidak setia kepada tradisi Bugis, akan tetapi, dalam proses penggubahan sebuah karya seni, hal semacam itu sah-sah saja). 12 Peter Ferdinandus. “Perkembangan Musik Pada Dinasti Sailendra abad VIII-IX,” Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi XI, Solo 13-16 Juni 2008.
41
Gambar alat musik pada relief Candi Borobudur
Sementara pada kompleks Candi Prambanan terutama Candi Siwa terlihat relief alat-alat musik dengan bentuk tarian yang dipahatkan pada pagar langkan candi tersebut. Apabila seseorang mengelilingi candi tersebut dan melihat ke atas akan terlihat adegan penari-penari dengan pemain musik dan alat musik. Selanjutnya bila diperhatikan perjalanan sejarah musik juga tampak pada Candi Jalatunda, Jago, Jawi dan Penataran, terkait fungsi musik yang memiliki peran yang besar dalam masyarakat. Ini diperkuat lagi dengan data-data yang terdapat dalam prasasti-prasasti abad ke-8-15 Masehi. Dari data arkeologi tersebut tampak gambaran bahwa musik tetap dikontrol oleh tokoh masyarakat seperti raja atau golongan istana. Dalam prasasti berbahasa Jawa kuno maupun Bali kuno sepanjang abad ke-9-15 Masehi tercatat peran penting musik dalam pendirian sima yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Naskah-naskah Jawa kuno serupa kakawin, kidung dan sejenisnya menempatkan musik sebagai bagian dari upacara, komunikasi, pemberi semangat dan taktik perang. 2.1.1. Syair Gendang dan Gong Nias Fo’ere merupakan salah satu alat musik perkusi yang memiliki bentuk se42
BUNYI MERDEKA
rupa dengan moko dan nekara lokal, memiliki bentuk berpinggang sebagai batas antara bagian tubuh. Pada salah satu bagian lubangnya digunakan sebagai bidang pukul (timpanum). Pola hias fo’ere dan keletakan pola hias menunjukkan kesamaan dengan pola hias nekara ataupun moko yaitu pada pola hias kedok muka manusia, bulu burung dan segitiga berjajar. Sebagian fungsi fo’ere sama dengan fungsi nekara yaitu digunakan sebagai alat musik untuk keperluan religi semata. Persamaan bentuk dan fungsi serta pola hias dan peletakan pola hias yang diacu pada masa pembabakan prasejarah (megalitik) yang dikaitkan dengan budaya Dong Son menguatkan hipotesis bahwa fo’ere bentuk alat musik perkusi dari budaya prasejarah. Aramba (gong) merupakan alat musik jenis perkusi yang digunakan pada upacara yang bersifat sakral maupun profan pada masyarakat Nias. Bentuk aramba (gong) yang serupa dengan bentuk batu kenong dan batu gong, yang merupakan hasil budaya megalitik memiliki kesamaan dengan aramba (gong) yang digunakan masyarakat Nias pada khususnya. Mengingat bahan baku aramba (gong) yang digunakan adalah perunggu serta temuan batu kenong dan batu gong berkaitan dengan budaya megalitik, maka sangat memungkinkan aramba (gong) merupakan salah satu bentuk budaya materi yang berkaitan dengan budaya Dong Son masa prasejarah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fo’ere dan aramba (gong) merupakan bentuk alat musik perkusi yang berasal dari budaya Dong Son pada masa prasejarah. 2.1.2. Ansambel Krinok Krinok merupakan salah satu seni vokal tradisi yang dimiliki masyarakat Melayu di Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Muara Bungo, Jambi. Seniman krinok mengatakan krinok adalah kesenian tertua yang telah ada sejak prasejarah dan masih dapat dijumpai hingga saat ini. Cikal bakal krinok sebagai sebuah seni suara telah ada jauh sebelum masuknya agama Budha ke wilayah Jambi. Pada masa itu seni vokal digunakan untuk pembacaan mantra atau doa tertentu, inilah yang kemudian berkembang menjadi kesenian krinok. Sebagai sebuah bentuk kesenian, krinok pada awalnya merupakan seni vokal yang sangat sederhana. Krinok hanya berupa puisi lama yang dinyanyikan sedemikian rupa dengan nada-nada tinggi dan tanpa alat musik. 43
Krinok belumlah menjadi suatu seni pertunjukan seperti sekarang, melainkan sebuah seni suara yang bersifat sangat personal dan dipenuhi emosi. M. Hasan mengatakan, pada awal keberadaannya krinok hanya dilantunkan oleh kaum laki-laki saat mereka bekerja di ladang atau mencari kayu di hutan. Krinok dapat dilantunkan sendiri atau juga berbalasan dengan pelantun lain yang berjarak ratusan meter. Kesenian krinok generasi awal ini sempat mendapat pertentangan dari kalangan ulama. Krinok dinilai kurang sesuai dengan ajaran Islam karena lirik krinok pada umumnya berisi ratapan. Namun, kesenian ini tetap bertahan karena dianggap memiliki fungsi tersendiri bagi masyarakat. Krinok pada masa ini memiliki tiga fungsi yaitu sebagai penghibur diri, untuk mengusir binatang buas dan untuk menarik hati perempuan yang ingin dinikahi. Karena fungsinya sebagai penghibur diri, maka tidak ada lirik krinok yang baku. Setiap pelantun bebas menyuarakan isi hati mereka, entah senang ataupun duka. Berbeda dengan kaum laki-laki, kaum perempuan menghibur diri dengan memainkan alat musik kelintang kayu disela-sela waktu istirahat saat bekerja di sawah. Kelintang kayu ini adalah alat musik tunggal yang mampu menghasilkan nada yang harmonis. Kelintang kayu dibuat sendiri oleh kaum perempuan di Rantau Pandan dengan menggunakan beberapa potong kayu dari pohon ngkring beluka yang sudah dikeringkan. Setelah kering, kayu dibelah dua dan dipotong menurut nada yang ingin dihasilkan. Potongan kayu tersebut disusun di atas kotak kayu persegi panjang dengan diberi alas dari ban bekas. Uniknya, kelintang kayu hanya memiliki enam potongan kayu sehingga hanya memiliki enam nada. Pada masa dahulu masyarakat Rantau Pandan belum mengenal notasi balok kelintang kayu sehingga lebih mengandalkan naluri si pemain. Agar menghasilkan nada-nada yang indah, kelintang kayu dimainkan oleh dua pemain. Awalnya kelintang kayu dimainkan tanpa lagu, hanya alunan nada saja. Namun, dalam perkembangan selanjutnya seniman krinok di Rantau Pandan memadukan vokal krinok dengan alunan nada kelintang kayu sehingga menghasilkan seni musik yang lebih menarik. Pada fase ini krinok mulai dimainkan saat bekerja di sawah, baik vokal solo maupun duet. Bahkan krinok dengan iringan kelintang kayu menjadi hiburan wajib bagi muda-mudi yang ikut serta dalam kegiatan beselang (gotong-royong) di sawah maupun ladang. Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian krinok tidak hanya diiringi dengan alat musik kelintang kayu. Beberapa alat musik mulai dipadukan 44
BUNYI MERDEKA
dengan krinok seperti gong, gendang panjang serta biola. Keempat alat musik tersebut kemudian menjadi pakem bagi musik pengiring krinok. Dengan alat musik yang lebih lengkap, kesenian krinok semakin memikat para penggemarnya. Fase ini dapat dikatakan sebagai fase penting dalam perkembangan krinok, karena dengan bertambahnya musik pengiring krinok menjadi suatu kesenian yang lebih dinamis. Sedikitnya ada lima poin perkembangan yang terjadi pada fase ini selain penambahan alat musik, yaitu: Pertama, ruang pementasan krinok semakin luas. Krinok tidak hanya dimainkan saat kegiatan beselang, tetapi juga menjadi hiburan pada pesta perkawinan. Kedua, seniman krinok mulai membentuk sebuah kelompok seniman dengan anggota relatif tetap dan mulai menjadikan krinok sebagai sumber penghasilan sampingan. Ketiga, krinok mulai mengenal lirik baku yang dikenal umum dan terpola dalam setiap pertunjukannya. Keempat, seniman krinok mulai menggunakan kostum dan tata rias. Kostum pemain laki-laki terdiri dari peci hitam, baju teluk belango beserta celana dan kain sarung sebagai kain pinggang. Sedangkan kostum untuk pemain krinok perempuan adalah kerudung, baju kurung panjang yang dipadukan dengan kain sarung. Warna kostum disesuaikan dengan selera pemain musik. Kelima, hilangnya bentuk awal krinok sebagai seni vokal yang bersifat ekspresif dan personal. 2.1.3. Aceh dan Budaya Musik Syariah Kebudayaan tradisional Aceh, terutama yang terwujud dalam tari-tariannya, seperti misalnya tari Saman, adalah salah satu budaya yang cukup populer di kalangan masyarakat kontemporer. Budaya kesenian tari dan musik Aceh dapat dibagi menjadi dua periode utama, yaitu periode pra-Islam dan periode setelah Islam masuk. Kebudayaan yang berasal dari periode sebelum Islam menyebar di provinsi itu kini sudah banyak mengalami Islamisasi karena dianggap kafir atau tidak sesuai dengan ajaran syariah. Oleh sebab itu, kebudayaan Aceh, sebagai provinsi yang dikenal sebagai Serambi Mekah, sangat kental tradisi Islamnya. 2.1.4. Musik Upacara Masyarakat Pekantan Masyarakat Pekantan adalah masyarakat yang sekarang terletak di Kecamatan Pekantan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara. Masyarakat Pekantan adalah salah satu komunitas yang cukup terisolir dari dunia luar. Hal ini membuat kebudayaan Pekantan cukup terjaga dari pengaruh dunia luar, meskipun, beberapa perubahan juga sudah terjadi, terutama 45
sejak agama Islam masuk. Sistem pemerintahan masyarakat Pekantan, seperti halnya masyarakat adat lainnya di Indonesia, adalah kerajaan. Jika disebut bahwa masyarakat Pekantan mengenal sistem kerajaan, jangan dibayangkan yang dimaksud dengan kerajaan adalah kerajaan modern dengan wilayah dan kuasa yang luas. Budaya Pekantan mengenal banyak raja, yang artinya raja mengatasi berbagai aspek kehidupan masyarakat adat atau suku. Jadi, lebih tepatnya, raja adalah semacam kepala suku yang mengepalai suatu komunitas atau pemukiman. Biasanya raja dalam masyarakat Pekantan tinggal di dataran yang lebih tinggi dari masyarakat biasa. Dalam sistem kekastaan ini berarti raja mendapatkan air yang paling dekat dengan sumber mata air, artinya air tersebut belum tercemar.13 Ini sekaligus menandakan pentingnya air dalam kehidupan masyarakat Pekantan. Rumah tempat raja tinggal bernama bagas na godang atau bagas borlang. Raja dalam masyarakat adat Pekantan memiliki fungsi administratif dan yudikatif sekaligus bertugas memimpin upacara adat. Raja menjalankan tugas eksekutifnya dari sebuah pendopo bernama sopo godang atau sopo gordang, di mana dalam pendopo tersebut raja memimpin upacara ritual atau mengadakan pertemuan dengan pemimpin suku lain. Sopo godang terletak di dataran yang lebih tinggi dari pemukiman rakyat biasa. Di dalam sopo gordang inilah tersimpan alat musik orkes gordang sembilan, alat musik yang dianggap paling suci berdasarkan sistem kelas masyarakat Pekantan.14 Masyarakat adat Pekantan, seperti layaknya masyarakat adat di Nusantara lainnya, memiliki berbagai upacara ritual keagamaan.15 Musik menempati peran yang teramat penting dalam ritual upacara keagamaan masyarakat Pekantan Mandailing sehingga tidak bisa dipisahkan dari ritual-ritual keagamaan tersebut. Hanya dalam ritual upacara tertentu saja orkes gordang sembilan boleh dimainkan, misalnya dalam upacara kematian raja. Lebih tepatnya, hanya raja dan keturunannya yang dapat menggelar acara di mana 13 Sistem kasta masyarakat Pekantan terbagi menjadi tiga kelas, yaitu bangsawan, masyarakat biasa dan budak. 14 Gordang sembilan tersusun dari sembilan gendang, perkusi berbahan metal atau metalofon dan alat musik tiup dengan reed ganda. 15 Upacara keagamaan di sini berarti upacara menghormati leluhur atau upacara persembahan untuk leluhur untuk berterima kasih atas keberhasilan panen, misalnya. Bukan ritual keagamaan seperti yang kita kenal sekarang, tetapi ide dasarnya kurang lebih sama.
46
BUNYI MERDEKA
orkes gordang sembilan dimainkan. Upacara besar dikenal dengan nama Horja na godang sedangkan upacara kecil atau biasa-biasa saja dikenal dengan nama Horja na menek. Jika kematian raja dikategorikan sebagai upacara besar, maka upacara kelahiran anak penduduk biasa, misalnya, diklasifikasikan sebagai upacara kecil dan hanya bisa dirayakan dengan alat musik orkes biasa saja. Seperti kebanyakan masyarakat adat di Nusantara, masyarakat Pekantan mengenal paham dualisme. Musik, terutama musik ansambel, diakui sebagai bentuk ekspresi paling luhur karena dianggap mampu mendamaikan pertentangan antara dua kutub bertentangan, yaitu sintaksis musik (bentuk) dan ekspresi emosional (isi) yang dikiaskan.16 Apabila bunyi gendang dan metalofon terkesan kaku dan terkekang oleh irama yang tidak berubah-ubah, itu karena memang dimaksudkan demikian. Di sini, peran alat musik tiup dan vokal menjadi penting sebab kedua instrumen itulah yang memberikan improvisasi bebas atas fondasi yang diberikan oleh gendang dan metalofon. Ada sebelas komposisi yang digubah untuk tujuan upacara besar; lima di antaranya untuk dimainkan dalam upacara-upacara utama, sedangkan enam lainnya hanya dimainkan untuk upacara kematian, pernikahan dan upacara untuk membangkitkan semangat. Orkes ansambel yang boleh dimainkan oleh anggota masyarakat Pekantan berbeda-beda tergantung pada posisi kasta pemilik hajat. Apabila ada tiga kelas kasta dalam sistem masyarakat Pekantan, maka ada tiga pula kelas orkes ansambel mengikuti kelas kasta di mana gordang sembilan menempati posisi puncak. Jenis instrumen dalam setiap kelas orkes cenderung sama, yang berbeda adalah jumlah gendang yang boleh dimainkan sehingga akhirnya dinamika dari komposisi musik berbeda pula.17 Sudah jelas dari namanya, gordang sembi16 Dalam hal ini, kebudayaan musik masyarakat Pekantan tidak sendirian. Kebudayaan musik barat juga mengenal pertentangan yang sama antara isi dan bentuk. Keseimbangan terjadi bila bentuk dapat menyampaikan isi yang tepat. Musik yang hanya menekankan bentuk tidak akan memiliki isi atau pesan, tetapi di sisi lain mustahil ada isi tanpa memiliki bentuk. Oleh sebab itu, tegangan antara isi dan bentuk adalah dua jenis aspek yang harus diperhatikan dalam menggubah sebuah karya seni, tidak hanya musik. 17 Dinamika dalam musik adalah tingkat kuatnya sebuah bagian dimainkan. Dinamika sebuah komposisi bisa berubah-ubah tergantung dari orkestrasi atau komposisi. Sebuah komposisi yang baik biasanya memiliki aneka rupa penanda dinamika yang akhirnya bisa diterjemahkan ketika karya tersebut ditampilkan. Sekalipun komponis memberikan petunjuk dinamika dalam sebuah komposisi, adalah pengaba yang bebas menerjemahkan sejauh apa
47
lan memiliki sembilan jenis gendang maka dari itu, komposisi yang dimainkan dengan gordang sembilan cenderung lebih membahana. Gordang sembilan dimainkan oleh lima orang yang bertugas menabuh dengan sekuat tenaga sehingga menghasilkan suara menggelegar. Jumlah gendang yang boleh dimainkan dalam musik adat Pekantan selalu berjumlah ganjil. Sama halnya dengan upacara pengorbanan kerbau yang juga harus berjumlah ganjil. Diperkirakan sembilan gendang yang sekarang dikenal pertama-tama hanya berjumlah tujuh saja. Hal ini diperkuat dengan temuan di beberapa daerah yang masih menggunakan tujuh gendang. Konon katanya, jumlah gendang dalam susunan instrumen gordang sembilan pada awalnya hanya berjumlah lima sehingga dikenal dengan nama gordang lima.18 Penambahan jumlah gendang ke dalam susunan instrumen gordang merupakan perlambangan dari penyerapan marga ke dalam pemerintahan Raja Pekantan. Dari kacamata ini, gordang lima dianggap sebagai awal mula dari masyarakat Pekantan di mana kemudian sedikit demi sedikit jumlah marga yang terserap bertambah. Hal inilah yang dilambangkan dengan penambahan juga jumlah gendang menjadi tujuh dan kemudian sembilan. Sejumlah lima gendang dalam susunan gordang sembilan melambangkan marga Nasution, Lintang, Hasibuan, Kotalanca dan Hutagambir. Tiga gendang dianggap sebagai perwakilan dari marga Lubis yang terdiri dari Lubis Hutanopan, Lubis Singasora dan satu marga turunan lain. Susunan ini menyisakan satu gendang sebagai lambang Raja Pekantan yang mengepalai seluruh marga tersebut. Raja Pekantan sendiri harus berasal dari marga Lubis. Jika dulu gondang sembilan hanya boleh dimainkan atas persetujuan atau permintaan raja, maka sekarang ini saudagar kaya boleh mengadakan pengorbanan kerbau dengan diiringi oleh orkes gondang sembilan.19 Prosesi seharusnya amanat sang komponis dijalankan. Itulah sebabnya, kita sering kali mendengar banyak variasi, terutama dalam dinamika dan tempo, meskipun lagu yang dimainkan sama. 18 Gordang lima sampai sekarang masih digunakan dalam upacara-upacara yang berkaitan dengan sihir atau ilmu gaib. 19 Hanya rajalah pada waktu itu yang boleh dan mampu mengorbankan kerbau dengan diiringi orkes gondang sembilan. Tentu saja ini wajar karena harga kerbau tidak murah. Pengadaan upacara di zaman dahulu biasanya akan dimusyawarahkan dalam sebuah forum masyarakat bertempat di sopo godang, di mana jenis dan kelas upacara itu akan ditentukan
48
BUNYI MERDEKA
upacara yang paling panjang adalah ketika raja atau keturunan bangsawan meninggal dunia. Upacara kematian ini bisa memakan waktu beberapa bulan dan selama itu pula jenazahnya tidak akan dikubur sampai semua kerabatnya datang. Penundaan penguburan itu terutama dilakukan untuk menunggu orang-orang yang berutang bisa hadir dan membawa persembahan sesuai dengan kemampuan masing-masing.20 Upacara penguburan raja akan berlangsung selama kurang lebih sembilan hari dan sembilan malam, atau dalam kasus tertentu, sampai persediaan makanan dari hewan kurban habis.21 Adapun gunanya upacara kematian itu adalah untuk mengantar arwah yang meninggalkan dunia ini ke alam selanjutnya. Selain raja dan keturunannya, yang mendapat kehormatan untuk diberikan upacara begitu megah adalah harimau. Jika raja dianggap sebagai penguasa manusia, harimau dianggap sebagai penguasa alam. Apabila seekor harimau kedapatan bersalah dalam membunuh manusia maka ia akan dibunuh kemudian dipotong-potong menjadi beberapa bagian lalu dikubur.22 Bagian tubuh harimau yang sudah terbagi menjadi beberapa potongan akan dikuburkan di bawah lumbung, di mana ia akan menjadi lambang kesuburan. 2.1.5. Spiritualisme Masyarakat Parmalim Batak Toba Masyarakat Parmalim Batak Toba adalah salah satu kelompok etnis yang bersama-sama. 20 Aturan adat ini sedikit banyak mirip dengan yang terdapat di Toraja, di mana seseorang baru akan dimakamkan bila jumlah pengorbanan sudah cukup. 21 Pada kala itu, para kerabat atau anggota masyarakat Pekantan akan datang dari penjuru negeri dengan membawa persembahan. Tidak jarang di antara mereka membawa hewan-hewan yang sekarang ini, terutama setelah Islam masuk, dilarang oleh agama seperti babi dan anjing. Tidak diketahui pasti apakah semua hewan kurban itu, termasuk babi dan/ atau anjing, juga dimakan atau tidak. 22 Kasus harimau menyerang manusia biasanya disebabkan oleh pembakaran hutan demi perluasan lahan pertanian. Harimau yang terganggu akan marah dan menyerang para petani. Harimau akan ditangkap melalui upaya perburuan kolektif atau dengan bantuan dukun. Dulu, setelah tertangkap, harimau tersebut akan diadili oleh sibaso (semacam medium yang akan dirasuki arwah). Peran “hakim” ini kemudian berpindah kepada raja dan lama kelamaan diputuskan bersama oleh seluruh warga. Soal bagaimana menentukan seekor harimau bersalah telah menyerang atau membunuh manusia belum diketahui dan tidak dijelaskan dalam teks.
49
tersebar di Sumatra Utara. Meskipun terdapat kemiripan budaya antara suku Batak Toba dan Mandailing, kedua kelompok etnis tersebut cenderung menolak kategorisasi tersebut dan menekankan bahwa kedua kelompok tersebut berbeda. Kelompok etnis Batak Toba pada awalnya berasal dari apa yang sekarang bernama Kabupaten Toba Samosir, meskipun populasinya tersebar di penjuru Sumatra Utara dan wilayah Nusantara lainnya. Dalam masyarakat Batak Toba terdapat sebuah kelompok kecil yang dikenal dengan nama Parmalim yang merupakan sebuah komunitas religius atau lebih tepatnya spiritual.23 Masyarakat Parmalim masih menerapkan kepercayaan leluhur yang sudah ada sebelum budaya Kristen masuk melalui para misionaris. Oleh sebab itu, sampai sekarang masih bisa ditemukan ritual-ritual yang belum terjamah oleh agama-agama samawi. Parmalim sendiri bukan merupakan nama dari kepercayaan, melainkan nama kelompok yang mempraktikkan kepercayaan leluhur itu. Nama kepercayaan itu sendiri adalah Malim. Meskipun banyak anggapan bahwa kepercayaan Malim adalah bentuk dari animisme, pada kenyataannya mereka mengimani satu pencipta Yang Esa, yaitu Mulajadi Na Bolon (Pencipta Batak Toba). Sayangnya, masyarakat Parmalim sudah berulang kali harus kehilangan jati diri budayanya. Pertama-tama oleh kuasa kolonial, kemudian oleh masuknya agama Kristen di tanah Batak, lalu yang terakhir oleh ideologi negara yang hanya mengakui lima agama. Sebagaimana yang sudah diketahui, musik dalam tradisi budaya Nusantara hampir tidak pernah berdiri sendiri, artinya selalu berada dalam satu sistem ritual upacara tertentu. Dampaknya jelas: tradisi musik Parmalim semakin terkikis oleh zaman. Sebagai suatu bentuk masyarakat kuno pra-kolonial, masyarakat Parmalim bisa dibilang satu-satunya kelompok masyarakat yang masih memahami praktik budaya Batak Toba asli.24
23 Biasanya antara religi dan spiritual dibedakan, dimana religi pada umumnya menunjuk kepada sebuah sistem agama formal tertentu dengan kepercayaan kepada wahyu. Sedangkan kepercayaan spiritual tidak mengandung sebuah sistem formal sehingga cenderung lebih dinamis. 24 Larangan agama merupakan salah satu hambatan besar bagi praktik-praktik kebudayaan masyarakat Batak Toba. Kebanyakan anggota masyarakat Batak Toba modern lebih mengimani musik liturgi yang dibawa oleh gereja ke tanah Batak. Sedangkan tradisi Batak Toba asli, yang masih dipegang oleh masyarakat Parmalim, dianggap praktik kafir oleh agama Kristen. Wajar saja, karena dalam praktiknya tidak jarang terjadi peristiwa kesurupan yang mengikuti upacara-upacara kepercayaan asli masyarakat Batak Toba.
50
BUNYI MERDEKA
2.2. Musik Barat di Hindia Belanda Musik-musik Indonesia yang direkam pada awal era 1900-an pada umumnya menggunakan bahasa Melayu terutama yang ditemui dalam irama keroncong serta stambul. Genre dan subgenre musik yang berkembang sejak 1903 adalah musik-musik Indonesia yang merupakan serapan dari budaya Arab dan Cina serta yang tercerabut dari pola musik etnis mulai dari Jawa, Bali, Cirebon, Sunda dan kemudian memasuki dasawarsa 1930an mulai terdengar ragam etnis Tapanuli dan Minangkabau.25 Lalu siapa sajakah pemusik atau penyanyi Indonesia yang dikenal di era ini? Di awal abad ke-20 ini ada beberapa pemusik yang tercatat menyita perhatian antara lain Tio Tek Tjoe seorang penggesek biola andal hingga Hasan Muna. Lalu penyanyi-penyanyi yang merekam suaranya pada label Gramophone Company atau His Master Voices (HMV) saat itu adalah Miss Jacoba Siregar dari Sumatra Utara tapi bermukim di Pulau Jawa, ada juga Nji Raden Hadji Djoelaeha penyanyi Sunda dari Jawa Barat, serta Miss Norlia. Antara tahun 1926-1927 Beka Record menampilkan rekaman dari Miss Riboet, penyanyi dan juga aktris layar lebar. Miss Riboet merekam sekitar 188 lagu pada label Beka Record ini. Selain Miss Riboet, penyanyi-penyanyi yang berada di bawah naungan Beka Record antara lain adalah Aer Laoet atau Herlaut, Toemina, juga ada Nji Moersih yang khusus menyanyikan lagu-lagu Sunda serta penyanyi pria bernama Amat. Lalu pada label Odeon bernaung sederet penyanyi yang dikategorikan sebagai second-rank stars antara lain adalah Miss Alang, Siti Amsah, Miss Lee, Nji Resna dan Nji Iti Narem, dua nama terakhir khusus menyanyikan lagu-lagu bernuansa Sunda. Di label Odeon ada Mr. Jahri atau yang kerap dipanggil Jaar sebagai pemimpin ansambel yang mengiringi para artis Odeon. Di tahun 1928 muncul label Columbia Gramophone Company yang mengetengahkan para penyanyi seperti Siti Aminah yang dikenal sebagai pelantun irama Melayu, Miss Julie serta dua pemusik yang tampil sebagai pemimpin orkes yaitu Fred Beloni, lelaki blasteran Eropa dan Asia serta pemimpin ansambel Abdul Rachman. Di era 1920-an, genre musik populer pun mulai bisa disimak melalui gelombang radio. Siaran pertama yang ada di negeri ini berasal dari siaran radio 25 Penjelasan tentang musik di masa kolonial ini diambil dari situs web https://dennysakrie63.wordpress.com/2013/10/22/industri-rekaman-di-zaman-hindia-belanda/
51
Bataviase Radio Vereeniging (BRV) di Batavia yang resminya mengudara pada 16 Juni 1925 berstatus swasta. Lalu, berdirilah radio di daerah dengan bantuan dari pemerintah Hindia Belanda. Dalam waktu singkat muncullah perkumpulan-perkumpulan siaran radio bahasa Indonesia, yang tujuan utamanya menyiarkan kesenian dan kebudayaan Indonesia. Tampaknya Belanda berhasil dalam upaya mengalihkan titik perhatian masyarakat dari masalah-masalah politik lewat budaya dan kesenian. Di era 1920-an ini musik barat yang tengah populer adalah musik jazz yang berasal dari Amerika Serikat. Musik jazz saat itu hanya dinikmati oleh kalangan tertentu saja mulai dari kalangan orang Belanda dan Eropa lainnya serta segelintir kaum intelektual dan menengah ke atas Indonesia. Di Surabaya mulai dikenal nama Jose Marpaung, seorang pemain piano yang juga terampil melantunkan suara emasnya. Bersama Martin Kreutz dan Karel Lind, Jose Marpaung membentuk kelompok jazz bernama White Dove. Kelak hingga ke era 1960an dan 1970an, Surabaya tercatat banyak menetaskan pemusik-pemusik jazz berbakat mulai dari Jack Lesmana hingga Bubi Chen dan Maryono. Di era 1920-an pula di Makassar juga terdengar kiprah musik jazz dengan munculnya kelompok musik bernama Black and White Jazz Band yang anggotanya terdiri dari orang-orang Belanda dan pribumi, satu di antaranya adalah W.R. Soepratman yang kelak dikenal sebagai komposer lagu kebangsaan Indonesia Raya. Sebelum meletusnya Perang Dunia II, dikenal pula penyanyi bernama Broer Nadus yang memiliki nama asli Bernardus Sapulette, putra Maluku yang dikenal sebagai penyanyi Hawaiian di Makassar. Ada juga seorang remaja bernama Tan Tjeng Bok yang dalam usia 14 tahun pada 1912 telah meniti karier sebagai biduan atau penyanyi yang memiliki daya pikat. Di era 1920an terdengar pula sosok lelaki Maluku bernama Bram Tutuheru yang berkarier sebagai penyanyi dan pemimpin orkes di Batavia. Di tahun 1927 perempuan penyanyi tunanetra Annie Landauw berhasil menjuarai kontes menyanyi di Surakarta, Jawa Tengah. Landouw kemudian diajak ke dapur rekaman oleh perusahaan rekaman Beka Record dan menetap di Batavia. Di era 1930an kawasan Sumatra, Malaysia dan permukiman selat merupa52
BUNYI MERDEKA
kan monopoli untuk rekaman piringan hitam 78 RPM (Rotation Per Minute) yaitu Gramophone Company Limited yang merilis sederet lagu Melayu dengan label His Master’s Voice (HMV), di mana katalog berbahasa Inggris diperuntukkan buat Malaysia serta yang menggunakan bahasa Belanda dirilis hanya untuk wilayah Hindia Belanda. Ada tiga jenis orkes yang mencuat pada era 1930an yaitu orkes harmonium, orkes gambus dan orkes Melayu. Sjech Albar, ayah kandung penyanyi rock Achmad Albar, adalah pemusik gambus yang sangat kesohor dari Surabaya. Sjech Albar ternyata sangat produktif merilis album-album baru, salah satu di antaranya adalah Zakhratoel Hoesoen pada 1937. Juga terdengar berkibar nama S. Abdullah, penyanyi dan pemusik yang merekam suara emasnya pada Gramophone Company serta Canary Record. Nama lainnya adalah penyanyi Menir Moeda yang kerap menyanyikan lagu-lagu Sunda serta dikenal pula sebagai pelawak. Miss Eulis, Miss Soepija, Gadjali, Miss Brintik, Mr. Hanapi, Leo Sapulitu dan Bram Titaley atau lebih dikenal dengan nama panggung Bram Atjeh. Di tahun 1936 muncul pemain biola berbakat bernama Mas Sardi yang tergabung dalam Faroka Opera. Kelompok opera ini menggelar pertunjukan hingga ke Singapura. Setahun kemudian, tepatnya pada 1937, Mas Sardi, yang juga ayah Idris Sardi, bergabung dalam Sweet Java Opera. Sejak 1939, Mas Sardi mulai terjun sebagai pembuat music score untuk film-film layar lebar seperti Rentjong Atjeh, Alang-alang, Srigala Item maupun Sorga Palsoe. Di samping itu juga dikenal penggesek biola sekaligus peniup klarinet Sastrodihardjo, ayah kandung dari peniup saksofon jazz Maryono. Lalu dikenal juga pianis dan komposer ternama Ismail Marzuki serta beberapa pemusik yang berjaya pada era tersebut, misalnya Kartolo, Abdullah, Jahja, Zahiruddin, Atungan serta Hugo Dumas. Salah satu orkes keroncong yang disegani saat itu adalah Lief Java yang dibentuk Hugo Dumas dan Abdullah. Pada 1937 muncul perempuan penyanyi Roekiah yang juga meniti karier dalam dunia teater dan perfilman. Penampilan penyanyi Roekiah kerap diiringi orkes keroncong Lief Java pimpinan pemusik S. Abdullah dan Hugo Dumas. Roekiah memopulerkan lagu-lagu seperti Terang Boelan hingga Kerontjong Moritsko. Di tahun 1938 penyanyi populer Annie Landouw akhirnya bergabung juga dengan Lief Java ini. Selain itu, pada 1937 juga berdiri sebuah kelompok musik jazz bernama Melody Makers yang didukung gitaris Jacob Sigarlaki hingga penabuh drum Boetje Pesolima. Mereka memainkan musik dixie dan ragtime secara mengagumkan. 53
Jangan lupa pula sederet penyanyi lain yang tak kalah sohornya antara lain Miss Netty, Jan Bon, Van Der Mul, Miss Lie, Moenah, Paulus Itam, Miss J. van Salk, Harry King, John Iseger, Miss Ninja, Miss J. Luntungan, Mohammad Jasin Al Djawi, Miss C. Luardie, Miss Dewe serta Leo Spel. Gaya bernyanyi mereka terinspirasi dengan gaya crooner Amerika Serikat. Di masa ini musik keroncong, langgam, gamelan, gambus dan jazz merupakan genre musik yang mendapat sambutan baik di kalangan masyarakat luas. Untuk musik gamelan dikenal tiga pesinden langgam Jawa yaitu Njai Demang Mardoelaras, Bok Bekel Mardoelaras dan M.A. Worolaksmi. Untuk gambus maupun kasidah dikenal nama-nama seperti Sjech Albar, S.H. Alaidroes dan Mohammad Jasin Al Djawi. Sementara untuk jenis keroncong dikenal tiga penyanyi yang sangat terkenal yaitu Parmin, Sukarno dan Soeparto. Para pemusik yang dianggap andal di era ini antara lain Hugo Dumas yang memimpin dua kelompok musik sekaligus yaitu Lief Java yang cenderung memainkan musik keroncong dan The Sweet Java Islanders yang memainkan musik Hawaii atau irama Lautan Teduh; F.H Belloni, komposer dan pemimpin ansambel musik; S. Mohammad bin Jitrip yang memimpin orkes gambus; dan S. Mohammad Alajdroes yang memimpin orkes harmonium; H.E.L.W.E DeSizo yang memimpin De Siso’s Strings Orchestra. Pada saat pendudukan Jepang di Indonesia dalam kurun waktu 1942 hingga 1945, musik jazz nyaris tak terdengar gaungnya sama sekali. Tak satu pun kelompok musik Indonesia yang memainkan repertoar jazz, termasuk memutar rekaman musik jazz melalui siaran radio. Penyebabnya adalah situasi politik yang tidak memperkenankan budaya Amerika berkembang di Indonesia. Ruang gerak musik jazz terbendung dan musik yang diperkenankan bergaung waktu itu adalah musik bernuansa propaganda Jepang serta lagu-lagu daerah termasuk di antaranya musik keroncong. Sebagian besar orang Jepang yang menduduki Indonesia malah terpukau dengan lagu Bengawan Solo karya Gesang. 2.3. Musik Modern, Nyanyian Perjuangan, dan Indonesia Raya Seperti sudah dikemukakan di bagian overture, Indonesia Raya hadir di tengah maraknya perkembangan dunia industri. Dalam hal musik, ini tidak bisa dilepaskan dari perkembangan industri rekaman pada masa awal abad ke-20. Mengapa, karena industri rekaman melalui fonograf waktu itu adalah yang memperkenalkan perkembangan musik dunia kepada masyarakat Hindia Belanda. Musik-musik yang berasal dari rekaman fonograf itu 54
BUNYI MERDEKA
lalu dimainkan oleh para pemusik Belanda, Tionghoa, Ambon dan Manado melalui berbagai pertunjukan panggung. Lagu-lagu Amerika yang populer dimainkan saat itu antara lain adalah Lazy Moon yang dinyanyikan Oliver Hardy dalam film Pardon Us (1901), atau Mother O’Mine lagu yang diangkat dari puisi karya Rudyard Kipling. Saat itu patut diakui kiblat bermusik adalah ke Amerika Serikat. Para perempuan penyanyi yang ada di zaman Hindia Belanda disebut crooner bukan singer, bahkan di depan nama para perempuan penyanyi diberi embel-embel seperti Miss Tjitjih, Miss Riboet, Miss Roekiah, Miss Dja dan seterusnya. Hal ini berlangsung hingga akhir era 1940an. Mungkin ini hampir mirip dengan keadaan sekarang di mana hampir semua perempuan penyanyi bersematkan predikat diva. Namun, para pengusaha rekaman Tionghoa di Hindia Belanda waktu itu berinisiatif merekam musik dari tanah Hindia. Penyanyi dan kelompok musik yang direkam Tio Tek Hong Record cukup beragam. Untuk musik keroncong ada Orkest Krontjong Park, Orkest Moeridskoe, Krontjong Sanggoeriang, Kerontjong Aer Laoet, Krontjong Deca Park. Untuk musik kasidah ada Kasida Sika Mas, Orkese Gamboes Metsir, Kasida Rakbie Mas, Gamboes Boea Kana serta Gamboes Turkey. Lagu-lagu yang populer saat itu antara lain Tjente Manis, Boeroeng Nori, Djali-djali, Tjerai Kasih, Paioeng Patah, Dajoeng Sampan, Kopi Soesoe, Sang Bango, Inang Sargie, Gelang Pakoe Gelang dan masih banyak lagi. Lagu-lagu ini direkam dalam bentuk vinil berukuran 10 inci. Di samping itu Tio Tek Hong Record juga merekam sandiwara Njai Dasima yang dikemas dalam format bokset berisikan sebanyak lima keping piringan hitam. Lalu, bagaimana dengan kaum pergerakan pada masa itu? Pada 1913 saat Tjipto Mangoenkoesoemo memprotes Komite Perayaan Belanda, dan kemudian diberangkatkan ke pengasingan, ia berseru “Ayo kita nyanyikan lagu kebangsaan Republik Transvaal”. Republik Transvaal, di wilayah Afrika Selatan berhasil merdeka dari pemerintahan Belanda, dan cerita tentang Transvaal ini menginspirasi perjuangan kaum pergerakan di awal abad ke-20. Lirik lagu kebangsaan tersebut jika diterjemahkan secara bebas adalah sebagai berikut: Tahukah kamu tentang bangsa yang penuh heroisme Namun begitu lama ditindas? Ia telah mengorbankan banyak harta benda dan darah Ayolah warga negara, kibar-kibarkan bendera Penderitaan kita telah usai 55
Pujikan kemenangan dari para pahlawan kita Kita adalah bangsa merdeka Kita yang merdeka untuk bangsa yang merdeka! Sangat mungkin sekali, Tjipto Mangoenkoesoemo hafal lagu tersebut oleh karena interaksinya dengan dunia di luar Hindia Belanda. Tetapi itu juga berarti bahwa sebagian dari kalangan pimpinan pergerakan di masa itu memperhatikan betul perkembangan-perkembangan di dunia internasional. Dengan cara yang lain, Ki Hadjar Dewantara meyakini bahwa seni musik adalah bentuk tertinggi dari ekspresi seni Eropa. Karenanya, demi menunjukkan kepada bangsa-bangsa Eropa bahwa kultur bumiputra, dalam hal ini kultur Jawa sebagai bagian dari kultur yang setara dengan kultur Eropa, Ki Hadjar menciptakan Kinanthie Sandoong. Tepatnya sebuah upaya mentransformasikan gending tradisional Jawa ke dalam bentuk seni modern, ke dalam olahan piano dan sopran. Karya itu pertama kali dicipta untuk Kongres Pendidikan Kolonial Pertama dan ditampilkan oleh para siswa Koninklijk Conservatorium Den Haag pada 28-30 Agustus 1916. Partitur musik Kinanthie Sandoong lalu dimuat dalam berkala ilmiah prestisius Hindia Belanda Nederlandsch Indie Oud en Nieuw (NION 1916: 378–379).
Sampul Partitur Kinanthie Sandoong
56
BUNYI MERDEKA
Halaman Pertama Partitur Kinanthie Sandoong
57
Halaman Kedua Partitur Kinanthie Sandoong
58
BUNYI MERDEKA
Ini sebenarnya tahun yang berdekatan ketika Ki Hadjar juga menerjemahkan syair lagu Internationale ke dalam bahasa Melayu, yang kemudian dimuat di harian Sinar Hindia pada 1915. Syair lagu Internasionale terjemahan Ki Hadjar Dewantara
Kehadiran W.R. Soepratman sebenarnya sangat fenomenal mengingat latar belakangnya sebagai pemusik klub jazz di Makassar, lalu bertransformasi menjadi komponis lagu-lagu perjuangan. Seperti sudah dikemukakan bahwa Soepratman menciptakan sejumlah lagu perjuangan setelah Indonesia Raya. W.R. Soepratman juga menciptakan dan menggubah lagu alat pemersatu 59
lainnya yaitu Bendera Kita. Lagu ini adalah lagu yang digubah untuk mempertebal kesadaran bangsa, juga sebagai lagu tandingan buatan Belanda yang dikenal dengan Vlaggelied atau Strijdled. Peran Soepratman dengan lagu Bendera Kita yaitu menyadarkan bangsanya, sadar batinnya untuk Indonesia yang besar, Indonesia Raya. Selain itu Soepratman juga menggubah sebuah lagu dalam tema “pengantar tidur anak” atau tema Barcarolle dalam tradisi musik klasik yang berjudul Bangunlah Hai Kawan. Ia ingin agar pada saat tidur kaum ibu bisa memberikan nyanyian yang dapat menggugah semangat jiwa anak-anak. Pada 13 September 1930 pengurus besar Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) menyelenggarakan jambore atau perkemahan umum pertama. Perkemahan ini diadakan di tempat peristirahatan Sri Sultan Hamengkubuwono IX di Yogyakarta. Pada acara tersebut Soepratman menciptakan lagu kepanduan untuk KBI. Berikut tampilan lirik dari mars tersebut: Kuplet I Kita Kepanduan Indonesia/ Suka berkumpul dan bekerja/ Dengan hati yang amat gembira Ulangan 2x KBI lekaslah sedia/ Berbuat yang baik, bekerja yang mulia/ KBI tinggallah setia/ Pada Tanah Air dan Bangsa
Kuplet II Putra dan putri dari KBI/ Hidup damai bagi saudara/ Bekerja dengan hati yang suci/ Menolong sesama manusia Ulangan 2x KBI ingatlah wajibmu/ Besarkan hatimu, untuklah jasamu/ KBI peganglah namamu/ Kibarkan tinggi benderamu
60
BUNYI MERDEKA
Kuplet III Merah dan Putih bendera kita/ Bendera kepanduan KBI/ Mempunyai cita-cita yang mulia/ Menjunjung persatuan yang tinggi Ulangan 2x KBI lihatlah bendera/ Berseri berkibar, berpanji sedia/ KBI hormatlah segera/ Sebagai pandu yang setia
61
III Indonesia Raya dan Kemerdekaan Dalam Bunyi 3.1. Detik-detik Kelahiran Indonesia Raya Indonesia tahun 1928. Sepuluh tahun setelah Perang Dunia I, dunia sedang dilanda banyak huru-hara. Salah satunya adalah permulaan dari krisis ekonomi panjang yang melanda negara-negara Eropa dan Amerika, salah satu dampak besar dari Perang Dunia I. Belanda, meskipun tidak ikut serta dalam perang tersebut terkena imbasnya karena perdagangan mereka terhenti akibat rekan dagangnya hampir semuanya terseret ke dalam perang tersebut, terutama Jerman. Akibat peristiwa itu, Belanda mulai takut akan kehilangan kuasanya di negara jajahan. Beberapa inisiatif pun mereka lancarkan, terutama dalam kaitan untuk mempertahankan jajahannya. Pergerakan badan bukan satu-satunya yang mengalami perubahan dalam periode pasca pergantian abad. Perubahan alam pikir juga menjadi salah satu hal yang perlu mendapat pertimbangan khusus, dan apabila ingin dibicarakan, dipastikan itu akan menjadi sebuah topik yang bisa menghasilkan ribuan halaman analisis. Sebut saja perubahan yang terjadi di ranah kebudayaan, seperti sastra, seni rupa, seni musik, filsafat, ilmu alam dan matematika, dan beberapa perubahan substansial lainnya. Boleh dikata, semua fondasi yang melatari perkembangan pemikiran tersebut mulai dipertanyakan dan pada akhirnya goyah. Dari dunia sastra saja tercatat kelahiran seorang detektif kenamaan yang hadir sebagai pahlawan masyarakat di hadapan situasi yang tidak menentu, ia bernama Sherlock Holmes. Kemudian, kita tahu bahwa ada Joseph Conrad, pengarang novel yang bakatnya mendunia. Ia disebut-sebut sebagai salah satu pengarang modernis pada masanya dan sekarang dianggap sebagai salah satu pengarang terbaik dunia. Dalam novelnya yang berjudul Heart of Darkness ia merenungkan bagaimana sebenarnya penjajah dan yang terjajah pada dasarnya tidak terlalu berbeda. Novel itu menjadi salah satu novel politis yang cukup mengganggu dunia pada saat pertama kali diterbitkan. Sampai sekarang, masih ada perdebatan
BUNYI MERDEKA
yang berlangsung, terutama dari kacamata studi pascakolonial yang menganggap bahwa Conrad menggambarkan masyarakat terjajah sebagai kutub yang sangat berbeda dari para penjajah Eropa. Dari dalam negeri, kebijakan Politik Etis yang dilakukan oleh pemerintah kolonial mulai membuahkan hasil untuk anak bangsa. Dengan masuknya pengetahuan dari negeri barat, para pejuang rakyat mulai menyadari bahwa perjuangan yang selama ini mereka lakukan ternyata kurang terpusat dan berdampak. Apalah artinya satu atau dua gigitan nyamuk bagi seekor Singa Oranye yang sedang kelabakan akibat beberapa runutan peristiwa yang menimpanya? Oleh sebab itu, sang Singa akhirnya merelakan kebijakan Politik Etisnya untuk kemudian mulai memerintah dengan teror di daerah jajahan, terutama Hindia Belanda. Teror ini mewujud dalam bentuk polisi rahasia Politieke Inlichtingen Dienst (PID) dan Zona Hadal bagi para pembangkang dan penggerak revolusi, Boven Digul. Pergerakan kebangsaan atau kerakyatan pada masa itu, seperti kita tahu dari beberapa kajian sejarah, memang terserak di mana-mana. Salah satu pergerakan yang mempersatukan masyarakat adalah perkumpulan jawatan kereta api yang berulang kali mengadakan demonstrasi untuk menuntut hak-hak mereka. Itu pun bukan benar-benar pergerakan kebangsaan, karena mereka masih menuntut hak kelompok mereka sendiri dengan ideologi sosialisme yang dibawa oleh Henk Sneevliet ke tanah air. Tapi, pergerakan pegawai jawatan kereta api itu bisa dibilang merupakan salah satu tonggak sejarah menuju masa depan pergerakan yang lebih cerah. Karena, tidak lama setelah itu, berbagai kelompok pemuda mulai berkumpul dan memutuskan untuk mengadakan kongres pemuda; sebuah wadah bagi penyatuan dan pemusatan perjuangan pergerakan kebangsaan. Dari dua kongres pemuda yang pernah dilaksanakan, Kongres Pemuda Kedua memegang peranan paling penting. Dari kongres itu kita dapatkan Sumpah Pemuda yang nantinya akan meletakkan dasar-dasar perjuangan bangsa untuk bertahun-tahun setelah itu. Kongres pemuda ini merupakan salah satu konsekuensi nyata langsung kebijakan Politik Etis pemerintah kolonial pada masa itu. Meskipun Politik Etis hanya berlangsung sebentar pada praktiknya, dampaknya masih terus terasa, terutama melalui perkumpulan pelajar yang berkumpul dalam satu atap. Hal itu hanya bisa dimungkinkan karena adanya kebijakan untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat negara jajahan. Kurang lebih, plot yang terjadi adalah, karena adanya kebijakan pendidikan, maka akan ada pelajar. Pelajar-pela63
jar itu tidak hanya datang dari ibukota saja, melainkan dari seluruh penjuru Indonesia. Ketika mereka datang ke ibukota untuk belajar, mereka akan membutuhkan rumah tinggal sementara selama belajar. Di rumah tinggal itulah mereka berkumpul dan mulai berdiskusi tentang masa depan bangsa. Para pemuda pelajar itu berkumpul di sebuah rumah yang bernama Gedung Kramat Nomor 106, sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda. Sebelumnya, mereka memondok di sebuah bangunan gedung di Jalan Kwitang Nomor 3. Akan tetapi, karena anggota mereka semakin bertambah, kebutuhan akan ruang yang lebih besar kian terasa oleh mereka. Oleh sebab itu mereka memutuskan untuk memindahkan kegiatan diskusi bawah tanah mereka ke Gedung Kramat No. 106 itu. Gedung Kramat No. 106 disebut oleh para pelajar dari Jawa yang tergabung dalam Jong Java dengan nama langen siswo, yang jika diterjemahkan secara bebas berarti kesenangan pelajar atau siswa. Nama itu sekiranya memang cocok, karena pada awalnya mereka hanya melakukan kegiatan yang mereka gemari, seperti kesenian. Lama kelamaan, diskusinya semakin menajam sehingga nantinya melahirkan Sumpah Pemuda. Nama-nama besar dalam sejarah pergerakan Indonesia seperti Amir Sjarifuddin, Muhammad Yamin, Asaat Datuk Mudo, dan banyak lagi yang lain, hampir semua pemuda yang dulu tinggal di Gedung Kramat No. 106 tersebut memegang peranan dan jabatan penting dalam pemerintahan Indonesia nanti. Kegiatan pemuda pada masa itu sangat hebat. Contohnya saja Muhammad Yamin yang pada usia muda pernah menerjemahkan karya sastra dari Belanda yang berjudul Huis en Wereld. Ia juga pernah menerjemahkan salah satu karya William Shakespeare, The Merchant of Venice, ke dalam bahasa Indonesia. Buku-buku karangannya juga pernah diterbitkan oleh penerbit Kantoor voor de Volkslectuur atau yang sekarang menjadi Balai Pustaka. Sebenarnya, persatuan bukan merupakan kecemasan mereka ketika mereka berkumpul dan berdiskusi di Gedung Kramat No. 106 itu. Seiring dengan bertambahnya anggota yang tidak hanya berasal dari Pulau Jawa, mulailah para pemuda itu merasakan sensibilitas yang teramat berbeda dari yang biasa mereka temui selama ini. Oleh sebab itu, persatuan merupakan konsekuensi dari pertemuan itu dan bukan sebaliknya. Karena diskusi bawah tanah yang mereka lakukan hampir setiap hari semakin menajam dan bernuansa persatuan, mulailah mereka berpikir untuk mendirikan se64
BUNYI MERDEKA
buah persatuan pelajar. Pada September 1926 akhirnya mereka mendirikan Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) sekaligus meresmikan pula gedung tempat tinggal mereka sebagai markas utama perkumpulan ini. Tema-tema diskusi para pelajar itu semakin meruncing dan terarah kepada tema-tema kemanusiaan, keadilan, berbagai revolusi dunia, seperti Revolusi Amerika, Revolusi Prancis, Revolusi Rusia dan Revolusi Cina. Sudah dapat dipastikan, diskusi dan perdebatan mereka membawa kepada benih-benih pergerakan kebebasan dari penjajahan. Berulang kali mereka juga mengkaji pemikiran-pemikiran filsuf besar, seperti Plato, Aristoteles, Machiavelli, Thomas Hobbes, Jean Jacques Rousseau dan John Stuart Mill. Bukan pencapaian yang rendah, terutama mengingat nama-nama tersebut sekarang sudah jarang terlintas dari mulut para pelajar. Salah satu diskusi yang mereka lakukan pada waktu itu pernah dihadiri oleh Sukarno. Sukarno merasa gemas dan konon pernah berkomentar kepada para pemuda yang hadir, “Sudahlah, tidak perlu banyak teori. Mari kita pikirkan apa yang akan kita perbuat, bagaimana mempersiapkan rakyat kita. Itu lebih baik kita pikirkan sekarang.” Indonesische Clubgebouw atau Gedung Kramat No. 106 itulah yang akhirnya menjadi tempat persemaian ide-ide pergerakan kemerdekaan Indonesia. Salah satu bentuk perlawanan mereka pada waktu itu adalah dengan memasang papan nama bertuliskan Indonesische Clubgebouw di halaman depan Gedung Kramat No. 106 itu. Sekarang mungkin kita akan berpikir itu biasa saja, tetapi pada waktu itu, di mana Indonesia belum ada, memasang papan nama bertulisan Gedung Pertemuan Indonesia merupakan perlawanan yang tegas. Di saat yang bersamaan, Perhimpunan Indonesia di Belanda juga tidak ketinggalan melakukan pertemuan-pertemuan yang membahas beraneka rupa wacana kebangsaan dan kemerdekaan. Dari pertemuan mereka lahir analisa dan kritik terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Ada tiga butir yang diberi nama Manifesto Politik 1925, setahun sebelum PPPI dibentuk. Adapun ketiga butir itu adalah: 1. Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih sendiri oleh mereka; 2. Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak mana pun; 65
3. Tanpa persatuan yang kokoh dari berbagai unsur rakyat, tujuan perjuangan itu sulit dapat dicapai. Kita dapat mencerap adanya ide-ide besar di balik butir-butir manifesto itu, yaitu prinsip kebebasan, persatuan dan kesetaraan yang kemudian akan diterjemahkan ke dalam berbagai landasan politik perjuangan bangsa. Manifesto Politik 1925 ini berdampak sangat besar bagi pergerakan pemuda di tanah air. Tidak lama setelah itu, pada 15 November 1925 diadakanlah pertemuan yang menjadi cikal bakal Kongres Pemuda Pertama. Mereka yang hadir antara lain adalah, Soemarto Soewarso dan Mohammad Tabrani (Jong Java); Bahder Djohan, Djamaluddin dan Sarbaini (Jong Sumatranen Bond); Jan Toule Soulehuwij (Jong Ambon); dan Sanoesi Pane (Jong Bataks Bond). Mereka semua kedapatan tugas membentuk sebuah panitia dengan tujuan utama menyelenggarakan Kongres Pemuda Pertama. Hasil dari pertemuan tersebut mewujud pada 30 April 1926 sampai 2 Mei 1926. Untuk melancarkan jalannya kongres, maka ditunjuklah sejumlah nama sebagai panitia dengan susunan sebagai berikut: Ketua Wakil Ketua Sekretaris Bendahara Anggota
: Mohammad Tabrani : Soemarto : Djamaluddin Adinegoro : Soewarso : 1. Bahder Djohan 2. Jan Toule Soulehuwij 3. Paul Pinontoan 4. Achmad Hamami 5. Sanoesi Pane 6. Sarbaini
Demi kelancaran diskusi, maka dibagilah kongres tersebut menjadi tiga kelompok. Mohammad Tabrani, Soemarto dan Muhammad Yamin ada di kelompok pertama. Tugas mereka adalah untuk membahas dan mempertajam cita-cita satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Dalam kelompok kedua terdapat Bahder Djohan, Djaksodipoero dan Stien Adam. Kelompok ini ditugasi untuk membahas kedudukan perempuan dalam tatanan masyarakat Indonesia yang dicita-citakan. Sedangkan, kelompok terakhir kedapatan tugas untuk membahas masalah agama dan peranannya dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan. Kelompok ini beranggotakan Paul Pinontoan. 66
BUNYI MERDEKA
Kongres Pemuda Pertama diselenggarakan utamanya untuk sosialisasi atau perluasan jiwa nasionalisme Indonesia di kalangan para pemuda bangsa. Agaknya upaya mereka berhasil, karena setelah itu mulai sering terjadi pertemuan rutin antar pemuda. Pertemuan pertama setelah Kongres Pemuda Pertama adalah pada 15 Agustus 1926, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan pada 20 Februari 1927 dan 23 April 1927, semuanya di Jakarta. Meskipun upaya mereka untuk membentuk sebuah persatuan belum bisa dikatakan berhasil, dari pertemuan itu lahirlah sebuah inisiatif untuk membentuk sebuah kesatuan. Dari pertemuan tersebut, tersebutlah dua butir utama yang menjadi pokok pikiran para pemuda, yaitu: 1. Indonesia merdeka harus menjadi cita-cita seluruh pemuda Indonesia. 2. Segala perserikatan pemuda harus berdaya upaya menuju fusi dalam suatu perkumpulan. Setelah itu, masih ada dua pertemuan lagi yang diadakan pada 3 Mei dan 12 Agustus 1928 yang diadakan di Indonesische Clubhuis atau Gedung Kramat No. 106. Dari kedua pertemuan susulan itulah muncul gagasan untuk mengadakan Kongres Pemuda Kedua. Diputuskanlah pada pertemuan tersebut bahwa kongres kedua akan diadakan pada bulan Oktober di tahun yang sama dan biaya kongres akan ditanggung oleh seluruh perserikatan yang ikut serta dalam pertemuan. Tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 akhirnya ditentukan sebagai hari penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua. Kongres Pemuda Kedua terdiri dari susunan kepanitiaan sebagai berikut: Ketua Wakil Ketua Sekretaris Bendahara Pembantu I Pembantu II Pembantu III Pembantu IV Pembantu V
: Soegondo Djojopoespito : R. M. Djoko Marsaid : Muhammad Yamin : Amir Sjarifuddin : Djohan Mohammad Tjaja : R. Katjasoengkana : R.C.L. Senduk : Johannes Leimena : Rochjani Soe’oed
Lain dengan Kongres Pemuda Pertama yang hanya bertempat di satu lokasi, Kongres Pemuda Kedua mengambil tempat di tiga lokasi berbeda dan dibagi menjadi tiga sesi rapat. Selain itu, Kongres Pemuda Kedua juga dihadiri 67
oleh Patih Batavia dan elemen dari PID. Patih Batavia sendiri sempat menegur para anggota kongres untuk melarang penggunaan kata kemerdekaan dalam pidato. Anehnya, kata-kata seperti persatuan dan kesatuan sama sekali tidak dilarang. Ini terbukti dari pidato Muhammad Yamin yang berjudul Persatuan dan Kesatuan. Dalam rapat ketiga inilah W.R. Soepratman memainkan untuk pertama kali gubahannya yang berjudul Indonesia Raya. Dilaporkan bahwa suasana pagi itu, menjelang rapat kedua pada 28 Oktober 1928, sedikit tegang. Semua peserta kongres tampak tertegun dalam pikirannya masing-masing. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang biasanya bercengkerama pagi itu diam dan membisu. Semua sedang memikirkan masa depan bangsa Indonesia. Semua sedang khusyuk membayangkan bagaimana jalannya kongres pemuda ini dan apa yang akan disumbangkan kepada perjuangan kemerdekaan. Kemungkinan juga para peserta kongres pesimis akan kesuksesan diskusi kemerdekaan karena persis satu hari sebelumnya Patih Batavia melarang penggunaan kata kemerdekaan. Di sela-sela istirahat antara rapat kedua dan ketiga, W.R. Soepratman datang menghampiri ketua rapat, Soegondo Djojopoespito. Ia menceritakan perihal gubahannya dan meminta izin dari ketua rapat untuk diperbolehkan memainkan ciptaannya tersebut. Setelah isi lagu Indonesia Raya tersebut diteliti oleh pihak panitia, akhirnya mereka menyetujui bahwa Kongres Pemuda Kedua akan ditutup oleh lagu ciptaan Soepratman. Untuk keperluan ini Soepratman memainkan biola pemberian kakak iparnya yang ternyata dibuat oleh Nicolo Amati. Biola itu adalah salah satu biola termahal, dan Amati sendiri merupakan guru dari Antonio Stradivari yang kemudian akan menjadi pembuat biola paling diincar oleh para pemain biola profesional ataupun kolektor barang antik. Soepratman sendiri waktu itu baru berusia 25 tahun. Pada pukul 23.00, persis sebelum rapat ketiga Kongres Pemuda Kedua ditutup, Soepratman mengambil tempat ke depan. Dengan khusyuk jari jemarinya bergerak di atas leher biolanya. Dari gesekannya terdengar nada-nada lagu yang pada waktu itu hanya dikenal dengan nama Indonesia. Penonton terdiam, seakan-akan tenggelam dalam perasaan kolektif yang sudah selama ini dipendam sejak dari nenek moyang mereka. Dengan suara serak terbatuk-batuk, Soepratman juga berusaha menyanyikan lirik yang ia ciptakan seiring dengan permainan biolanya. Perlahan-lahan, sebagai seorang komponis yang sepatutnya tahu bagaimana musiknya seharusnya dimainkan, ditambah dengan penguasaan total terhadap in68
BUNYI MERDEKA
strumennya, ia membangun momentum demi momentum untuk akhirnya mencapai puncak dari gubahannya. Indonesia belum merdeka pada 1928, tetapi para hadirin yang ada dalam Kongres Pemuda Kedua itu sudah merasakan, meskipun hanya sepintas, indahnya kemerdekaan melalui nada-nada melodi Soepratman. Biola W.R. Soepratman untuk membawakan Indonesia Raya
Begitu ia usai memainkan magnum opus-nya, ruang yang sebelumnya sunyi dipecahkan oleh suara gemuruh dari para hadirin yang menempati ruang yang penuh sesak itu. Persis seperti lagu Indonesia Raya yang hanya memiliki kesunyian di permulaan komposisi yang hanya kemudian langsung digetarkan oleh suara dawai, kesunyian para hadirin pun sirna dan tergantikan oleh gejolak kegembiraan. Kepada rakyat Indonesia dan kepada dunia yang saat itu tidak hadir dalam peristiwa tunggal yang tidak mungkin terulang, Soepratman hanya meninggalkan jejak seperti kaki yang menapak menyusuri pantai. Tidak lama setelah itu, ia wafat karena kesehatannya memburuk. Para perwira PID yang hadir dalam kesempatan tersebut konon katanya sampai tertegun begitu Soepratman mengakhiri permainan lagunya. Entah karena mereka begitu menghayati keindahan lagu tersebut atau mungkin, kata saksi mata yang hadir waktu itu, mereka belum paham makna dari lagu tersebut.
3.2. Aransemen Musikal Indonesia Raya Sebagai lagu kebangsaan yang digubah untuk mengekspresikan semangat perjuangan anti penjajahan, lagu Indonesia Raya adalah salah satu lagu kebangsaan terbaik, kalau bukan yang terbaik. W.R. Soepratman adalah salah satu komponis modern Indonesia, mungkin setelah Ki Hadjar Dewantara yang menggubah Kinanthie Sandoong pada 1917, yang sadar betul akan i69
diom-idiom musik modern Romantik. Hal ini dibuktikan melalui lagu Indonesia Raya yang dari segi musikal sarat dengan pakem-pakem yang bisa ditemukan dalam musik-musik komponis barat seperti Richard Wagner, Anton Bruckner, dan Gustav Mahler. Soepratman bukan seorang komponis yang kemarin sore belajar main musik, karena jelas musik gubahannya sangat memerhatikan beraneka rupa aspek intrinsik maupun ekstrinsik. Mereka yang menganggap musik Indonesia Raya remeh-temeh dan tidak pantas untuk disejajarkan dengan karya besar seperti Beethoven dan komponis lain telah melakukan kesalahan besar karena membandingkan apel dengan sepatu. Indonesia Raya memang musik populis, bukan musik absolut dengan makna bebas. Sebaliknya, apabila seorang komponis berniat untuk menggubah musik populis tetapi masih sarat dengan nuansa tafsir, maka ia sudah gagal dalam mengartikulasikan maksudnya. Sebagai musik populis dengan program tertentu, ia sudah sangat berhasil ketika pemerintah kolonial menyaksikan dengan ketakutan bagaimana ia terus-menerus bergema dalam keseharian masyarakat Indonesia. Karena itulah memang tujuan Indonesia Raya, menggerakkan bangsa dalam penindasan, bukan kontemplasi tanpa pamrih seperti ketika kita mendengar musik-musik absolut. Apabila di zaman romantik tinggi kita sering kali mendengar kiasan manusia yang memandang ke dalam palung, maka Indonesia Raya merupakan perwujudan kehendak manusia yang menantang palung tersebut, meskipun palung tersebut kembali menatap dengan dingin. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang dengan berani menatap palung dan menyatakan bahwa dirinya dengan palung itu setara. Soepratman tidak merasakan akhir dari sebuah periode, melainkan berusaha membidani periode baru di mana tatanan dunia Indonesia baru akan muncul. Dalam benaknya, perjuangan politis harus terus ada. Musik hanya salah satu cara berjuang, sebuah bahasa baru yang dapat dimaknai tanpa selubung tafsir. Palung yang ditatap oleh masyarakat Indonesia adalah kehampaan dan kegagalan retorika dan perjuangan gerilya melawan penjajahan. Dalam arti itu, Soepratman menyadari kehampaan perjuangan tersebut dan berusaha merumuskan idiom-idiom perjuangan baru melalui musik yang sepenuhnya merupakan perwujudan dari perjuangan bangsa. Lirik musik Indonesia Raya mendambakan masyarakat ideal yang bagi Soepratman sangat mungkin diwujudkan dalam kenyataan. Semua ini terjadi dalam bayang-bayang pesimisme sebuah bangsa di bawah penindasan kolonial. 70
BUNYI MERDEKA
Musik romantik tinggi di barat kemungkinan menjadi inspirasi kosakata musik Soepratman, selain tentu saja sensibilitas keroncong yang tidak pernah pudar dari gubahan awal Indonesia Raya. Permainan emosi terlihat jelas dari pemilihan nada-nada atas sedari awal lagu tersebut dimulai. Sentakan-sentakan baris-berbaris yang diwujudkan dengan ketukan bawah (down beat) semakin memberikan nuansa perlawanan terhadap penindasan. Segala bentuk teknik musik diperhatikan dengan saksama oleh Soepratman untuk memberikan musik Indonesia Raya napas perjuangannya. Orkestrasi Josef Cleber mungkin terinspirasi oleh kosakata musik romantik tinggi gaya barat, tetapi Soepratman jelas-jelas menginginkan warna keroncong dalam lagu Indonesia Raya agar masyarakat dapat dengan mudah mengingat lagu itu. Ini tercermin dalam gubahan asli Soepratman yang pertama kali dimainkan olehnya di Kongres Pemuda Kedua. Musik romantik tinggi pada umumnya mendambakan sebuah tataran dunia ideal, atau bisa dikatakan sebuah mimpi surgawi, tetapi lain halnya dengan Indonesia Raya. Meskipun diorkestrasi oleh Cleber, nada penyusun lagu tersebut tidak ada yang diubah, kecuali perubahan langgam keroncong yang kental pada gubahan awal Soepratman. Itulah mengapa kita tidak bisa merasakan tujuan paripurna ke arah akhirat seperti layaknya musik romantik tinggi lainnya. Soepratman menggubah Indonesia Raya tanpa tujuan akhir menuju dunia surgawi atau penyelesaian hal-hal duniawi untuk pada akhirnya melesat menuju alam setelah kehidupan. Soepratman mengidamkan sebuah tatanan ideal yang berdasar pada mimpi duniawi yang bahkan tidak sama sekali mengambil inspirasi dari alam seperti layaknya komposisi musik romantik. Kenyataan pahit penjajahan membuat Indonesia Raya sangat kuat berpijak pada hal-hal duniawi, seperti kebebasan, kedaulatan, pencerahan rakyat, dan lain sebagainya. Penyelesaian musik tersebut tidak terletak pada kemampuannya membawa imajinasi pendengarnya ke sebuah mimpi surgawi, melainkan digubah dengan tujuan membangkitkan mimpi-mimpi universal kebebasan dunia dari cengkeraman penjajahan. Maka dari itu, Soepratman adalah seorang komponis sekuler sejati. Apabila kita membandingkan orkestrasi Cleber dengan musik-musik romantik tinggi seperti Bruckner Simfoni No. 8, misalnya, di mana kesan akhir dunia begitu terasa di babak akhir, maka kita dapat juga merasakan bahwa kesamaan antara kedua gubahan tersebut hanya terletak pada penanda suasana (mood marking). Selepas itu, pendengar Simfoni No. 8 Bruckner akan 71
terbawa pada suasana khusyuk akhir zaman dengan berbagai perasaan yang mengiringinya. Sedangkan pada Indonesia Raya, bisa dipastikan pendengar akan terbawa oleh suasana yang diawali dengan perasaan persatuan tanah dan darah, sebuah tema yang sering kali diulang dalam berbagai karya bersifat nasionalis, dan diakhiri dengan perasaan khusyuk tentang masa depan bangsa Indonesia. Tidak ada tema-tema yang mengawang seperti akhirat, surga dan alam ideal. Jika dunia dengan penjajahan adalah dunia yang kejam dan penuh kengerian, maka, dalam benak Soepratman, penyelesaian mengenai mimpi buruk manusia itu bukan terletak dari baik buruknya dosa dan pahala duniawi agar bisa selamat di akhirat. Soepratman hanya peduli pada keselamatan dunia dan dunia yang ia maksudkan bukan dunia universal melainkan dunia Indonesia, bangsa yang pada waktu itu belum juga ada. Bahwa pada kenyataannya pesan-pesan Soepratman dapat juga dirasakan oleh bangsa lain, itu hanya sebuah efek samping dari musik, sebuah cabang kesenian yang konon katanya lebih universal dibandingkan dengan karya seni lain. Bagaimana Soepratman dapat dengan sangat baik mencapai tujuan untuk membangkitkan semangat dan perasaan tanah air yang merdeka, terutama setelah kita tahu bahwa musik tidak bisa dijejalkan dengan berbagai pesan-pesan emosional? Kemampuan Soepratman memainkan dinamika dan penggunaan nada-nada atas (upper register) seharusnya tidak boleh lagi dipertanyakan, karena ia menggubah dengan saksama sembari memerhatikan kedua aspek tersebut. Meskipun secara keseluruhan sebuah karya musik tidak bisa memiliki isi emosional tertentu, dinamika musik bisa sinonim dengan isian emosional tertentu. Ambil contoh opera, ketika sebuah adegan memuncak dan penyanyi menuangkan segala bentuk emosinya untuk menyampaikan ceritanya, biasanya dinamika bagian tersebut akan juga ikut memuncak. Artinya, keras-pelannya sebuah bagian dari musiklah yang memberikan kesan emosional kepada musik tersebut. Sebuah musik akan terasa aneh apabila bagian puncaknya, seperti yang kita bisa pahami dari liriknya, diiringi dengan dinamika nada yang berbisik pelan. Begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, kita bisa dan sering kali mengiaskan rangkaian nada-nada tertentu dengan teriakan dan bisikan sebagai konsekuensi dari dinamika musik. Kekuatan utama Indonesia Raya terletak pada musiknya, bukan pada liriknya. Lirik musik itu bisa saja diganti, dan memang liriknya sudah berulang 72
BUNYI MERDEKA
kali disesuaikan. Akan tetapi, ini bukan berarti kita bisa mengganti lirik Indonesia Raya, karena Soepratman memang dengan sengaja memilih lirik tersebut untuk menjadi bagian dari lagu tersebut. Maka dari itu, kita tidak bisa menalar dan menggambarkannya, kita hanya bisa merasakannya. Indonesia Raya adalah sebuah perwujudan artistik di mana pilihan perjuangan lain dirasa sudah tidak lagi memadai. Inilah yang dimaksud dengan menatap palung kehampaan. Ketika bahasa, kata-kata dan perjuangan tubuh sudah sekian lama tidak membuahkan hasil, musiklah yang kemudian merasuki sanubari manusia dan memberi semangat perjuangan baru. Tentu saja kemerdekaan bangsa ini bukan merupakan akibat langsung dari lagu Indonesia Raya. Banyak faktor lain yang menjadi penyebab utama kemerdekaan kita. Akan tetapi, itu bukan berarti kita bisa serta-merta menganggapnya remeh. Pemerintah kolonial sempat dibuat kalang kabut dan melarang Indonesia Raya dimainkan dalam setiap perkumpulan. Bahkan, dalam penyangkalannya, pemerintah kolonial sampai menyebut Indonesia Raya tidak lebih dari sebuah lagu perkumpulan saja, bukan lagu kebangsaan. Inilah bukti dari kemampuan musik untuk merasuki sanubari manusia dan dalam kasus pemerintah kolonial, yang mereka rasakan adalah ketakutan. Bagaimana tidak, Indonesia Raya bukan suara personal seseorang. Indonesia Raya adalah suara seluruh rakyat Indonesia yang bersatu melawan kekuatan kolonial. Seperti diketahui, lagu Indonesia Raya digubah W.R. Soepratman menggunakan keroncong sebagai model dasarnya. Alasan di baliknya sederhana. Ia ingin agar masyarakat Indonesia bisa mudah mengenalinya dan menyanyikannya, karena keroncong adalah salah satu musik yang sangat dekat dengan penduduk negara kepulauan ini. Boleh dikata, keroncong adalah salah satu bahasa musikal pemersatu bangsa pada waktu itu. Meskipun Soepratman mengenal budaya musik barat melalui kakak iparnya, kemungkinan besar ia memilih musik keroncong agar Indonesia Raya betul-betul menjadi milik orang Indonesia. Artinya, ia bisa saja menggubah Indonesia Raya dengan gaya musik jazz, sebuah aliran yang sangat dekat dengannya karena ia tergabung dalam sebuah kelompok musik jazz. Tidak terlalu banyak instruksi kepengarangan dalam gubahan awal Indonesia Raya. Ini juga kemungkinan disebabkan oleh keinginan Soepratman agar seluruh rakyat Indonesia dapat dengan mudah membaca notasi yang ia ciptakan. Bahkan, tanda dinamika juga tidak disebutkan dalam partitur asli yang diterbitkan di surat kabar Sin Po. Ini membuktikan bahwa 73
Soepratman memang meniatkan lagu Indonesia Raya sebagai lagu populis, lagu rakyat. Untuk apa mempunyai lagu kebangsaan apabila rakyatnya sendiri tidak bisa menyanyikannya? Hanya ada satu instruksi kepengarangan yang ia berikan dalam komposisi awal Indonesia Raya, yaitu tanda suasana (mood marking) Marcia, yang artinya baris-berbaris. Dari tanda suasana itu dapat disimpulkan bahwa Soepratman ingin memberikan kesan pergerakan pada lagu gubahannya. Tanda suasana itu mengisyaratkan kita untuk memberikan sentakan pada setiap ketukan bawah (down beat) agar kesan baris-berbaris untuk bergerak ke depan dapat kita rasakan. Kemegahan lagu tersebut tidak seperti yang kita kenal sekarang, karena warna instrumennya kala itu terbatas pada biola dan yang ada hanya melodi semata. Pemilihan untuk terus menggunakan sentakan pada setiap ketukan bawah digunakan untuk menegaskan tanda suasana baris-berbaris tersebut. Pilihan Soepratman untuk menyederhanakan komposisinya selain memudahkan orang untuk memainkannya juga merupakan pedang bermata dua. Sudah pasti banyak pemain instrumen akan merasa kesulitan dengan kebebasan interpretasi yang diberikan. Mungkin itulah sebabnya sering kali kita mendengar banyak variasi lagu Indonesia Raya versi asli. Seperti misalnya, ketika seorang pemain biola memainkan biola asli Soepratman dalam rangka peringatan Sumpah Pemuda tahun 2016 lalu, ia memilih untuk menghayati musiknya dengan sendu, sehingga menghilangkan suasana baris-berbaris yang diminta oleh Soepratman. Pada praktiknya, ini adalah hal yang lumrah dan biasa terjadi dalam interpretasi musik yang tertulis, terutama apabila notasi yang diberikan tidak terlalu mengikat. Yang menarik dari gubahan Soepratman ini adalah pembagian suku kata dalam lirik seturut dengan ketukan dua bait terakhir dari komposisi awal Indonesia Raya. Apabila kita asumsikan Indonesia Raya dimainkan dengan birama 4/4 dari awal, maka ketika kita masuk ke bagian puncaknya, yaitu, bagian di mana liriknya berbunyi “Indonesia Raya Merdeka merdeka ” ketukannya seakan-akan berubah menjadi 3/4. Perubahan ketukan itu dapat kita lihat secara sederhana dari pencacahan suku kata “In-do-ne-sia Ra-ya Mer-de-ka Mer-de-ka ” menjadi tiga. Efek dari perubahan ketukan itu luar biasa. Dua bait terakhir itu menegaskan kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara yang mandiri dan merdeka. Dalam sastra efek itu bisa dicapai dengan kalimat-kalimat pendek yang dibubuhi dengan tanda seru. Jika awal musik Indonesia Raya dimainkan dengan penekanan di setiap per74
BUNYI MERDEKA
mulaan kata sesuai dengan awal ketukan, maka di bagian puncaknya, setiap suku kata diberikan tekanan mengikuti tiga ketukan tersebut. Pemilihan ketukan ditambah dengan nada-nada atas memberikan efek yang kuat dan dramatis. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa Soepratman sangat memerhatikan drama dalam gubahannya. Dari awal mula lagu Indonesia Raya kita bisa menemukan nada-nada atas yang gunanya tidak lain adalah untuk menciptakan tegangan. Kemudian, memasuki bagian akhir, tegangan tersebut semakin diperkuat dengan perubahan ketukan dan nilai nada. Dalam kata lain, seluruh musik Indonesia Raya diciptakan dengan pemahaman akan naik-turunnya tegangan untuk akhirnya sampai kepada penyelesaian akhir yang paripurna. Bagian puncak Indonesia Raya adalah pengembangan tema dari bait sebelumnya yang berbunyi “Marilah kita berseru Indonesia bersatu” Jika kita menggunakan tangga nada C sebagai dasar, maka rangkaian nada dari bagian tersebut adalah A-A-A-E-E-E, sedangkan apabila kita menggunakan tangga nada G, maka rangkaian nadanya akan menjadi E-E-E-C-C-C. Sekalipun lagu Indonesia Raya sudah diorkestrasi oleh Josef Cleber, semua bagian tersebut, termasuk variasinya, tidak berubah sampai sekarang. Tugas Cleber hanya orkestrasi, artinya hanya menambahkan beberapa rincian, seperti tanda sukat, dinamik, harmonisasi instrumen, dan seterusnya. Kerangka awal Indonesia Raya masih terjaga seperti yang diimpikan oleh Soepratman, selain tentu saja, sekarang ketika kita mendengar lagu tersebut, tidak lagi tersisa alunan keroncong. Di bawah ini kita akan menelusuri dan mempelajari secara singkat tuntutan teknis yang ada dalam lagu Indonesia Raya melalui analisa tempo, nada dan maknanya.
Josef Cleber mengaba Indonesia Raya, 1950
75
Sepertinya W.R. Soepratman menulis dua buah partitur untuk Indonesia Raya karena ditemukan dua buah partitur dengan spesifikasi teknis yang berbeda. Partitur pertama disebarkan ke masyarakat melalui bantuan koran Sin Po pada 10 November 1928. Tentu saja ini wajar. Ketika itu, Soepratman tengah bekerja di majalah itu. Kemudian, ada satu lagi partitur yang masih ada sampai sekarang, yang masih tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia. Partitur kedua ini mensyaratkan tanda sukat 4/4, sedangkan partitur pertama yang diterbitkan oleh majalah Sin Po menggunakan tanda sukat 6/8. Agaknya Soepratman memang sengaja membuat dua buah partitur supaya memudahkan pemain dalam menyanyikannya. Tentu, sekarang, kedua partitur dapat dengan mudah dimainkan oleh orang dengan pengetahuan musik sederhana. Tapi, kita bicara di lain waktu. Pada tahun 1928, kenyataannya mungkin berbeda. Partitur yang diterbitkan oleh Sin Po menggunakan tanda tempo “jangan terlalu cepat”, sedangkan partitur kedua menggunakan tanda tempo Marcia. Selain tempo dan tanda sukat, sisanya sama. Artinya, kedua partitur hanya menampilkan melodi, tanpa ritme dan orkestrasi. Jelas saja, dengan perbedaan tanda sukat, nilai nada yang ada akan berubah, sehingga lagu yang dihasilkan kurang lebih akan berbeda. Tetapi, perbedaan itu tidak terlalu signifikan, karena tanda sukat 6/8 dan tanda sukat 4/4, tidak terlalu banyak memiliki perbedaan yang kentara. Alasannya, karena musik dengan tanda sukat 6/8 biasanya akan memberikan penekanan atau aksen pada ketukan pertama dan keempat. Kalau birama 6/8 dihitung, maka ia akan berbunyi “satu dua tiga empat lima enam satu dua tiga empat lima enam, ” Bandingkan dengan birama 4/4 yang memberikan tekanan pada ketukan pertama dan keempat, seperti, “satu dua tiga empat satu dua tiga empat, ”. Karena partitur yang ada di majalah Sin Po tidak dicetak terlalu jelas, maka akan sulit bagi kita mempelajarinya. Misalnya, nada bernilai 1/8 dengan notasi hampir tidak bisa dibedakan dengan nada bernilai 1/16 dengan notasi . Oleh karena itu, lebih aman bagi kita untuk menggunakan partitur kedua dimana tanda sukat yang digunakan adalah 4/4 dan instruksi temponya adalah Marcia.
Ä Å
Partitur Indonesia Raya di koran Sin Po (1928)
76
BUNYI MERDEKA
77
Indonesia Raya versi yang diterbitkan oleh Sin Po menggunakan tanda sukat 6/8, dan kita bisa berspekulasi bahwa itulah yang dimainkan oleh Supratman pada Kongres Pemuda II. Sedangkan dalam partitur kedua buatan Supratman dengan jelas kita bisa melihat tanda pada awal notasinya. pada awal notasi menandakan bahwa birama yang digunakan Huruf itu sendiri berarti common time atau birama jamak, adalah 4/4. Huruf karena penggunaannya paling umum dalam komposisi musik. Sedangkan tanda sukat yang tidak biasa contohnya seperti 2/3 atau bahkan pernah juga ditemukan tanda sukat 2/32 yang biasanya ditemukan dalam komposisi musik klasik kontemporer.
¡
¡
¡
Tanda sukat dapat kita pelajari dari jumlah nada yang terdapat dalam satu birama yang tersebar dalam satu bar. Musik Indonesia Raya menggunakan tanda sukat 4/4 yang artinya terdapat empat nada bernilai 1/4 dalam setiap birama yang menyusun satu buah bar. Meskipun terdapat nada-nada yang nilainya kurang dari 1/4, seperti misalnya 1/8 dan 1/16 dalam satu birama, tetapi, jumlah keseluruhan nilai nada tersebut jika ditotal akan menjadi empat nada bernilai 1/4 sehingga menjadikannya 4/4. Dengan pengecualian tiga bar terakhir di mana terdapat nada-nada triplet dalam pembilang empat, keseluruhan Indonesia Raya seharusnya dimainkan dengan tanda sukat 4/4.
78
BUNYI MERDEKA
Meskipun begitu, kecenderungan ketukan waltz memang tidak bisa dipungkiri ada dalam gubahan awal Indonesia Raya. Seperti yang sudah dikatakan di muka, tiga bar terakhir mengandung matra rangkap tiga (triple metre), tetapi tetap berada dalam birama 4/4. Apa maksudnya birama dengan matra rangkap tiga? Artinya, setiap nada dalam birama yang dibagi menjadi gugusan tiga nada dalam hitungan 4/4 akan diberikan tekanan. Dalam lirik, ini akan diterjemahkan menjadi tekanan dalam setiap suku kata. Jadi, apabila lirik bagian tersebut berbunyi “Hiduplah tanahku” maka, seharusnya lirik tersebut dibunyikan seperti “Hi-dup-lah ta-nah-ku,” dengan penekanan di setiap suku kata. Dalam puisi, inilah yang namanya kaki. Sering kali terjadi kekeliruan dalam penghitungan ketukan 3/4 dan 6/8. Mungkin, itulah sebabnya banyak yang mengira Indonesia Raya berada dalam hitungan 6/8. Ketika matra rangkap tiga itu digabungkan untuk menjadi enam nada dalam satu birama. Sedangkan, ketika didengar, kedua sukat itu sungguh berbeda. Apabila setiap nada dalam sukat 3/4 dibunyikan dengan penekanan, maka dalam sukat 6/8 penekanan hanya diberikan pada nada pertama dan keempat. Penekanan inilah yang kita kenal dengan nama aksen. Penekanan pada sukat 6/8 akan dibagi seperti “satu dua tiga empat lima enam, satu dua tiga empat lima enam, ” sedangkan dalam sukat 3/4 semua nada akan ditekan, seperti “satu dua tiga, satu dua tiga, ” Contoh lagu nasional dengan sukat 6/8 adalah Desaku yang Kucinta karya L. Manik dan contoh lagu dengan sukat 3/4 adalah Teguh Kukuh Berlapis Baja karangan Cornel Simandjuntak. Untuk mempermudah, sebaiknya kita berikan ilustrasi analisa ketukan dalam lagu Indonesia Raya. Mungkin, itulah sebabnya musik sering kali disamakan dengan matematika secara formal, karena ia bisa diteliti berdasarkan angka-angka penyusunnya. Pecahan di bawah ini melambangkan nilai nada dalam partitur awal Indonesia Raya yang digubah oleh Soepratman dan angka di atasnya sebagai rujukan untuk keperluan pembahasan selanjutnya, supaya lebih mudah:
79
Notasi pecahan di atas terlihat rumit, tapi, sebenarnya sederhana sekali. Tanda adalah tanda pemisah birama. Angka 0 digunakan untuk menandakan istirahat atau diam. Oleh sebab itu, 0 0 berarti diam yang nilainya dua ketukan. Dari situ kita bisa melihat bahwa lagu Indonesia Raya memiliki awal yang tidak biasa, yaitu karena ia dimulai bukan di hitungan atau ketukan pertama, tetapi di hitungan keempat, atau setelah hitungan ketiga. Di dalam setiap birama, karena Indonesia Raya menggunakan tanda sukat 4/4, maka jumlah total nada adalah satu nada penuh atau empat nada 1/4 sehingga menjadi 4/4 atau satu nada penuh. Titik yang ditempatkan setelah sebuah nada berfungsi menambahkan nada yang bersangkutan dengan nada yang bernilai setengah dari nada tersebut. Sebagai misal, bira-
|
80
BUNYI MERDEKA
ma dengan angka 2 seandainya dijabarkan dengan sebagai notasi pecahan akan terlihat seperti ini:
atau dalam notasi balok akan terlihat seperti:
¬
= Nada bernilai penuh atau satu (tidak pernah digunakan dalam Indonesia Raya)
° ± Ä Å .
= Nada bernilai setengah = Nada bernilai 1/4 = Nada bernilai 1/8 = Nada bernilai 1/16 = Menambah nilai setengah dari nada yang bersangkutan
Jika kita bandingkan not balok dan notasi pecahan yang diberikan, maka dapat diperhatikan bahwa notasi pecahan tujuannya memberikan nilai setiap nada yang tertulis dalam partitur. Seperti yang sudah disebutkan, tanda titik yang ada di setelah nada menambah nilai nada tersebut dengan nada yang bernilai setengah dari nada awal. Sehingga, nada pertama dalam birama kedua disebutkan memiliki penambahan nilai setengah dari nilai awalnya. Oleh sebab itu, dari tabel informasi yang ada di atas, kita bisa menyimpulkan itu artinya nada awal yang dimaksud bernilai 1/8. Karena nada tersebut diberi penambahan titik, maka nada tersebut ditambah dengan sebuah nada yang nilainya setengah dari nada awal, yaitu 1/8 menjadi 1/16. 81
Setelah kita bisa menghitung nilai satuan setiap nada, barulah kita bisa menentukan total nilai nada yang ada dalam satu birama, dengan mengambil contoh penggalan nomor 2 dari lagu Indonesia Raya. Meskipun pecahan yang menyusun birama nomor 2 itu hanya memiliki satu nada bernilai 1/4, kita bisa menjumlahkan nilai pecahan lainnya. Dan, apabila kita menghitungnya, dengan mengambil contoh dua nada pertama, maka kita akan . Ketika kita menjumlahkan dua nada pertamendapatkan pecahan ma itu, bisa kita lihat bahwa jumlah totalnya adalah 2/8 atau jika disederhanakan, 1/4. Lanjutkan penghitungan tersebut sampai seluruh nilai nada tidak dapat disederhanakan lagi, maka kita akan mendapat rangkaian 1/4, 1/4, 1/4, 1/4, sehingga jika keseluruhannya dijumlahkan, maka kita akan mendapat 4/4. Itulah mengapa, birama yang digunakan oleh Indonesia Raya adalah 4/4, bukan 3/4 dan bukan juga 6/8. Selanjutnya, mari kita ambil contoh dari penggalan nomor 3, persis setelah penggalan nomor 2. Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa ada nada yang sebelumnya tidak ada, yaitu nada dengan nilai 1/2, lambangnya, Kalau kita jabarkan, maka rangkaian nada itu akan terlihat seperti ini;
°.
atau dalam notasi balok akan terlihat seperti:
Pengoperasian yang dilakukan juga sama dengan sebelumnya, yaitu menjumlahkan semuanya menjadi 4/4 atau satu nada penuh. Nada dengan nilai 1/2 apabila dibagi menjadi dua, akan menjadi dua nada bernilai 1/4. , Sedangkan kelompok nada yang ketiga dapat dijabarkan menjadi yang seperti sebelumnya, apabila dijumlahkan akan kembali bernilai 1/4. Sekali lagi ini menandakan bahwa dalam penggalan ketiga, jumlah nilai nada yang ada juga bernilai 4/4 atau satu nada penuh. Begitu juga dengan bagian di mana terdapat rangkaian nada matra rangkap tiga di dalam sukat 4/4, di mana bila kita membaca dari notasi pecahan di atas akan terletak di penggalan nomor 17. Penggalan nomor 17 itu tertulis begini: 82
BUNYI MERDEKA
Bagian yang sama dalam notasi balok akan terlihat seperti ini:
Pengelompokan nada dalam penggalan tersebut adalah:
Dengan mengamati bagan di atas, kita bisa melihat pengelompokan nada menjadi tiga di dalam empat ketukan, karena setiap birama nilainya 4/4. Pencapaian yang dihasilkan dari pengelompokan nada ini cukup kuat, yaitu memberikan kesan sentakan kaki ke bumi sembari berseru dengan keras. Seruan itu, tetapi, tidak boleh terlalu keras karena kita harus memperhatikan juga bahwa bagian ini bukan bagian puncak, melainkan bagian yang menghantarkan kita ke puncak lagu Indonesia Raya. Apabila kita perhatikan lirik dari bagian tersebut, maka kita akan mendapatkan: Hiduplah tanahku, Hiduplah negriku, Bangsaku, jiwaku, Semuanya. Bangunlah ra’yatnya, Bangunlah badannya, Untuk Indonesia Raya Sentakan kaki tersebut begitu padu-padan dengan lirik, layaknya burung yang akan lepas landas meninggalkan bumi dan terbang tanpa jejak. Hal ini juga diekspresikan dengan baik oleh musiknya yang mempersiapkan diri untuk melesat di bagian puncak. Burung yang ingin terbang lepas harus memiliki pijakan kaki yang kuat untuk melentingkan tubuhnya ke udara. Perlambangan ini diwakilkan oleh nada-nada dengan sentakan yang mengisyaratkan kuatnya kaki berpijak di atas tanah bumi pertiwi. Seluruh bagian Indonesia Raya memang dibuat untuk mempersiapkan diri untuk mencapai bagian puncak ini. Bagian yang menggambarkan dengan baik kemerdekaannya melalui lirik dan nada yang digunakannya, meskipun nada tersebut hanya merupakan pengulangan tema yang sudah ada sebe83
lumnya. Penggunaan matra rangkap tiga di dalam birama 1/4 sepertinya sulit. Akan tetapi, hanya diperlukan proses matematis sederhana yang sudah diajarkan sejak Sekolah Dasar untuk memahami. Kedua ketukan akan bertemu kembali di ketukan pertama di nada ke-12. Cara penghitungannya adalah dengan mengalikan angka 3 yang merupakan satuan matra rangkap tiga dan angka 4 yang merupakan penyebut dari birama 4/4. Tetapi, kesulitan itu hanya terjadi apabila yang terlibat dalam permainan musik ada lebih dari satu instrumen. Apabila instrumennya hanya satu, penghitungan dalam kepala tidak diperlukan, karena tidak ada rekan yang dikhawatirkan akan melewatkan ketukan pertama yang akan dilakukan bersama-sama. Berikut ini adalah notasi balok asli Indonesia Raya yang sudah disesuaikan agar mengikuti faedah yang ada karena partitur aslinya sudah agak sulit terbaca. Koreksi yang dilakukan sebenarnya hanya agar notasinya mengikuti faedah-faedah penghitungan nilai nada yang ada.
84
BUNYI MERDEKA
Nada dasar Indonesia Raya adalah G Mayor, sebuah nada dasar yang paling sering dipakai dalam komposisi lagu, baik lagu klasik atau lagu populer. Mengapa demikian? Karena tentu saja sebuah lagu nasional harus bisa dinyanyikan atau dimainkan oleh orang banyak. Rentang suara normal manusia juga bisa dengan mudah menyanyikan lagu dengan nada dasar G Mayor. Kemungkinan ini jelas dipertimbangkan oleh Soepratman ketika menggubah Indonesia Raya. Nada-nada yang dikelompokkan dalam tangga nada G Mayor adalah G, A, B, C, D, E dan F#. Dalam komposisi musik Barok, tangga nada G Mayor merupakan tangga nada yang kudus. Komponis Johann Sebastian Bach sering menggunakan tangga nada ini dalam berbagai komposisinya. Eine kleine Nachtmusik karya Wolfgang Amadeus Mozart juga merupakan salah satu karya kenamaan yang menggunakan nada dasar G Mayor. Tangga nada yang digunakan oleh Indonesia Raya terbitan Sin Po adalah tangga nada C mayor. C mayor adalah tangga nada paling umum dipakai dalam musik-musik kebanyakan. Deret nada yang tergabung dalam C Mayor adalah C, D, E, F, G, A dan B. Kita bisa mengetahui nada dasar yang digunakan oleh Soepratman dalam partitur terbitan Sin Po dengan melihat ketiadaan tanda kres. Bandingkan dengan tangga nada G Mayor yang memiliki satu kres (#), yaitu F#. Dalam piano, tangga nada C Mayor sama sekali tidak menekan tuts berwarna hitam. Nama Jean Sibelius dibuat harum oleh tangga nada C Mayor, karena ia berhasil memberikan warna baru bagi tangga nada yang sudah sering kali dipakai dalam komposisi musik barat, seperti yang bisa kita dengar melalui karya puncaknya, Simfoni No. 7. Berhubungan dengan tanda tempo, setidaknya ada dua mahzab dalam mendekati sebuah karya musik. Mahzab pertama adalah anggapan yang menerima bahwa satu ukuran tempo bisa dipakai untuk seluruh bagian musik itu. Artinya, apabila tanda tempo yang diberikan adalah Allegro, yang sekiranya memiliki 120 – 168 bpm (beat per minute) atau ketukan dalam setiap menit, maka pendekatan tempo yang pertama akan menerapkan itu ke seluruh bagian dari musik. Sedangkan pendekatan kedua lebih tekstual, dalam arti pendekatan ini melihat hubungan tempo dan tegangan dalam musik sebagai sesuatu yang dinamis. Hasilnya jelas berbeda. Misalnya sebuah lagu dengan spesifik menggunakan tempo Adagio, seperti banyak lagu-lagu pemakaman, khususnya lagu-lagu yang ingin mengekspresikan kesenduan atau situasi khusyuk, di mana terdapat 66 – 76 ketukan setiap menit, maka seorang pengaba boleh saja memakai tempo lain bila terdapat bagian yang dirasa akan lebih baik dengan tempo yang baru. Artinya, ba85
gian pembukaan dan puncak bisa saja memiliki tempo yang berbeda jika dilihat dari sudut pandang ini. Kegunaan tempo yang berbeda dalam setiap bagian musik secara langsung dapat dilihat sebagai cara menafsir. Salah satu hal penting yang bisa diperhatikan dalam perubahan tempo ini adalah tegangan dalam musik. Bayangkanlah, dalam hal ini, sebuah pesawat yang ingin lepas landas. Atau lebih baik lagi, sebuah musik yang berusaha menggambarkan terbangnya Ikarus. Awal mula musik itu, dalam bayangan kami, idealnya dilakukan perlahan dan akan menambah kecepatan seiring dengan bertambahnya momentum. Momentum itulah yang berusaha ditangkap oleh perubahan tempo. Oleh sebab itu, penggunaan tempo yang berbeda-beda dalam satu komposisi musik boleh dilakukan oleh penafsir agar mendapat momentum, di mana akhirnya efek drama yang ingin ditampilkan dengan jelas akan terekspresikan. Ada komponis-komponis yang begitu saksama membubuhkan sampai ke paparan terkecil bagaimana mereka ingin lagu mereka dimainkan. George Enescu adalah salah satunya. Ibarat sebuah karya sastra, ada sastrawan yang menggambarkan dengan teliti sebuah peristiwa atau karakter dengan harapan pembacanya bisa mendapat gambaran kasatmata mengenai cerita yang dikisahkannya. Ada juga, seperti contohnya para penulis lakon Yunani kuno yang tidak banyak mensyaratkan uraian tertentu dalam karyanya. Dalam hal ini, pembaca atau penafsir dipersilakan untuk melakukan pembebasan artistik untuk menangkap keseluruhan karya tersebut. Pada akhirnya, semua ada di tangan penafsir, seperti halnya dalam musik, kuasa ada di tangan pengaba agar karya tersebut bisa bermakna. Tidak jarang bahkan, tafsiran seorang pengaba, dalam musik, bisa memberikan nuansa atau warna baru dalam karya yang sudah akrab di telinga kita. Indonesia Raya tidak diperbolehkan untuk diubah dalam bentuk apa pun, termasuk temponya. Oleh sebab itu, tempo yang seharusnya digunakan dalam setiap kali lagu Indonesia Raya disajikan harus selalu tetap, yaitu Marcia, apabila kita mengikuti partitur Soepratman dan Festoso e con bravura jika kita mengacu kepada orkestrasi Cleber dengan revisi Soedjasmin. Ini disebabkan bahwa Indonesia Raya sudah selalu memiliki makna tertentu dan makna itu dianggap universal. Hal ini juga tercermin dari liriknya yang mengusung semangat kebebasan universal manusia yang seharusnya tidak surut dimakan waktu. 86
BUNYI MERDEKA
Sewaktu kita memperhatikan lagu Indonesia Raya, terutama setelah mempelajari partitur yang sudah diterjemahkan di muka, maka kita akan melihat bahwa Soepratman hanya menggunakan tanda diam atau istirahat di awal lagu. Tidak ada dalam rangkaian nada selanjutnya tanda diam ditemukan. Kalau kita ingin bicara tafsir, mungkin Soepratman memang menggunakan setiap nada sebagai pesan pergerakan, di mana saatnya diam sudah selesai. Sebelum musik itu dimulai, memang ada kesunyian, tetapi setelah itu, yang ada hanya gerak maju ke depan menuju semangat kebebasan yang tampak jelas dari liriknya.
3.3. Mengeja dan Menala Lagu Indonesia Raya Syair Lagu Indonesia Raya hampir tidak pernah dibahas secara serius, dan atau diupayakan pemaknaan setiap kata, frasa, dan kalimat dari syairnya secara utuh dan terinci. Karenanya di dalam bagian ini akan dituliskan dua hal: pertama tentang makna sosio-historis dari kata-kata dalam syair. Kedua adalah analisa umum dari syair lagu Indonesia Raya.
87
3.3.1. Glosarium Indonesia Raya Indonesia Kata Indonesia pertama kali dirumuskan oleh sejumlah ahli etnologi di Eropa, sebagai pengganti kata Hindia ataupun Kepulauan Hindia, pada pertengahan dan akhir abad ke-19. James Richardson Logan dalam artikelnya di majalah JIAEA volume 4 hal 252-347 dengan judul “The Ethnology of Indian Archipelago” menyatakan bahwa istilah geografis yang lebih tepat untuk Hindia atau Kepulauan Hindia adalah Indonesia. Ahli lain dari Universitas Berlin, Jerman, Adolf Bastian memopulerkan nama “Indonesia” dengan menerbitkan sebuah buku berjudul Indonesia Ordeer Die Inseln Des Malaysichien Archipel sebanyak lima volume sepanjang tahun 1864-1880. Orang Indonesia yang pertama kali menggunakan nama “Indonesia” adalah Ki Hadjar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat) pada waktu beliau dibuang di Negeri Belanda tahun 1913. Ketika di Belanda beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers Bureau. Karena itu, di Rotterdam (Belanda) nama Indonesia semakin populer digunakan oleh kalangan mahasiswa dan ilmuwan. Di dalam negeri berbagai organisasi pun muncul dengan sebutan Indonesia. Tercatat tiga organisasi yang pertama kali menamakan organisasinya dengan memakai sebutan “Indonesia”. 1. Organisasi Jong Indonesische Padvinderij Organisatie (JIPO) yang berdiri pada 1923. 2. Organisasi Indonesische Studieclub tahun 1924 yang didirikan oleh dokter Soetomo. 3. Organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1924. Sebutan Indonesia semakin populer di dalam negeri dalam berbagai gerakan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh nasional setelah nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama Tanah Air, Bangsa dan Bahasa pada kerapatan Pemoeda-Pemoeda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 yang kemudian disebut “Soempah Pemoeda”. Pada Agustus 1939 tiga anggota Volksraad (Parlemen Hindia Belanda) Mo88
BUNYI MERDEKA
hammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjodjo, dan Soetardjo Kartohadikoesoemo mengajukan mosi kepada pemerintah Hindia Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie” (Hindia Belanda), tetapi Belanda menolak mosi ini. Segala usaha terus dilakukan untuk mengganti di dalam perundang-undangan sebutan “Nederlandsch-Indie” dengan Indonesia; dan Inboorling, Inlander, Inheeimsche dengan Indonesier tetapi selalu mengalami kegagalan, di mana pihak kolonial Belanda selalu mendasarkan keberatannya atas dasar pertimbangan “yuridis”. Nama Indonesiers hanya boleh dipakai secara resmi dalam surat-menyurat saja (Surat Edaran 10 Oktober 1940). Sebutan “Hindia Belanda” lenyap ketika balatentara Jepang menduduki Tanah Air kita pada 8 Maret 1942 dan berganti sebutan “To-Indo” (India Timur). Tidak lama balatentara Jepang menduduki Tanah Air kita, tentara sekutu menghancurkan kekuasaan Jepang. Lalu, pada 17 Agustus 1945 muncul lebih kuat dengan dicantumkan dalam proklamasi bangsa Indonesia, dan pada 18 Agustus 1945 berdirilah Negara Republik Indonesia. Tanah Air Muhammad Yamin, sastrawan, budayawan, dan politisi kelahiran Minangkabau dari beberapa puisi karyanya, terbaca bahwa istilah Tanah Air memang mengacu pada kaitan yang erat antara tanah dan air. Dalam puisinya “Tanah Air”, bertarikh Bogor, Juli 1920, Yamin antara lain menulis sebagai berikut: /Pada batasan Bukit Barisan/ Memandang ke pantai, teluk permai/ tampaklah air, air segala,/ Dalam puisinya yang juga berjudul “Tanah Air” bertanggal Tanah Pasundan, 9 Desember 1922, Yamin mengulangi ungkapannya dengan: /Memandang beta ke bawah memandang/ Tampaklah hutan rimba dan ngarai/ Lagipula sawah, telaga nan permai/ Hubungan tanah dan air diperkuat lagi dalam puisinya “Indonesia, Tanah Tumpah Darahku”, bertarikh Pasundan, 26 Oktober 1928. Yamin menulis: /Duduk di pantai tanah permai/ Tempat gelombang pecah berderai/ Berbuih putih di pasir terderai/ Tampaklah pulau di lautan hijau/ Gunung-gemunung bagus rupanya/ Dilingkari air mulia tampaknya: Tumpah darahku Indonesia namanya/. Namun, jika ditilik lebih dalam lagi, hal tanah air ini adalah refleksi dari konsepsi Hindu tentang lingga dan yoni yang mewujud dalam gunung dan lautan. Gunung, sumber penghidupan dari makhluk tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia menjulang tinggi ke angkasa. Sedangkan lautan 89
mengelilingi daratan memenuhi hampir seluruh permukaan bumi. Di dalam filosofi pendakian menuju puncak pencerahan rohani, di mana usaha manusia untuk menjadi semakin dekat dengan-Nya sering diistilahkan dengan memutar gunung sampai ke puncak-nya. Setelah sampai di puncak turun lagi untuk menyelami kedalaman lautan samudra sampai ke dasarnya. Gunung sebagai perwujudan “Lingga” adalah tempat bersemayam “Dewa Siwa”. Sedangkan lautan sebagai perwujudan “Yoni” adalah tempat bersemayam saktinya Siwa. Pertemuan di antara keduanya adalah yang menciptakan manusia dengan segala kekuatan supranatural yang melingkupinya. Pada masa berkembangnya Islam di wilayah Nusantara, salah seorang Walisongo, Sunan Kalijaga, membuat Kidung Kawedar yang bait ke-21 berbunyi: Bahasa Jawa Gunung Agung segara Serandil, langit ingkang amengku buwana, kawruhana ing artine, gunung segara umung, guntur sirna amangku bumi, duk kang langit buwana, dadya weruh iku, mudya madyaning ngawiyat, mangrasama ing gunung Agung sabumi, candi-candi segara. Bahasa Indonesia Gunung Agung laut Serandil, langit yang menyelimuti bumi, pahamilah artinya, gunung lautan gaduh, guntur lenyap memenuhi bumi, tatkala langit dan bumi, jadi ketahuilah itu, memuja tengahnya (pusat) langit, membangun pondok satu negeri di gunung Agung, candi-candi lautan. Secara umum bait ini ditafsirkan sebagai bagian dari pencarian seorang hamba pada keyakinan terhadap Yang Maha Kuasa dari waktu ke waktu. 90
BUNYI MERDEKA
Untuk itu ia bisa meninggalkan kehidupan yang penuh pesona dunia. Tak ada yang tahu di mana istana Tuhan. Karenanya, Tuhan tidak mudah diketemukan, apabila sang manusia tidak bisa menaklukkan hawa nafsunya yang setinggi gunung, bergelora bak laut pasang dan menggelegar bagaikan guntur, meskipun ia berada di dalam rumah peribadatan yang disucikan. Kini tanah air secara umum bermakna istilah yang digunakan bangsa Indonesia untuk menyebut seluruh bumi Indonesia yang terdiri dari darat dan lautan. Istilah ini didasarkan pada konsep Wawasan Nusantara yang terbentuk dari kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Istilah ini membedakan Indonesia dari bangsa lain yang sering memanggil wilayahnya dengan sebutan motherland atau fatherland. Di samping itu, bumi Indonesia juga sering disebut dengan panggilan ‘Ibu Pertiwi’ dan ‘Nusantara’. Tanah Tumpah Darah Makna dari tanah tumpah darah sebenarnya merujuk pada salah satu tembang mocopat Jawa yang berbunyi: “Lamun sira dumadi prajurit, nganggo wewaton. Kang sepisan, labuh negarane. Kaping pindho sira kudu eling. Duk nalika lahir. Wutah getihupun”. (Jika engkau menjadi prajurit, pakailah dasar-dasar etikanya. Yang pertama, membela negaramu. Yang kedua, engkau harus ingat. Ketika engkau lahir. Darahnya tumpah). Ini semacam pengingat kepada setiap orang Indonesia untuk selalu ingat kepada ibu yang telah menumpahkan darahnya bagi kelahiran anak-anak Indonesia, dan tempat tinggal ibu. Disederhanakan kemudian oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia menjadi tanah tempat kelahiran, atau kampung halaman. Merdeka Kata merdeka berasal dari bahasa Sansekerta mardika yang artinya pandai, terhormat, bijaksana dan tidak tunduk kepada seseorang selain raja dan Tuhan. Dalam bahasa Melayu merdika berarti bebas, baik dalam pengertian fisik, kejiwaan, maupun dalam arti politik. Dalam kitab Nitisastra IV.19, berbunyi: Lwirning mangdadi madaning jana, surupa dhana kalakulina yowana. Lawan tan sura len kasuran, agawe wereh i manahikang sarat kabeh. Yan wwanten sira sang dhaneswara, surupa guna dhanakulina yowana. Yan tan mada, maharddhikeka pangaranya sira putusi sang pinandita, artinya hal-hal yang menjadikan manusia itu mabuk ialah paras yang bagus, kekayaan, kebangsawanan dan keremajaan. Juga minuman keras dan keberanian itu dapat membuat 91
hati menjadi mabuk. Jika ada orang kaya, tampan wajahnya, pandai, banyak mempunyai harta benda, bangsawan dan muda, tetapi tak mabuk karenanya, ia adalah orang bijaksana yang berbudi maharddhika (bebas dari soal keduniawian). 3.3.2. Sonata Stanza Indonesia Raya Pada bagian ini akan coba dijelaskan bagaimana paduan antara kata dan nada dalam lagu Indonesia Raya melahirkan pengertian yang dalam dan meluas. 3.3.2.1. Sonata Stanza Pertama Sejak not-not pertama dinyanyikan dengan kata “In-done-sia” (nada meninggi), lalu “tanah a-irku” (nada menurun), lalu “tanah tumpah darahku” (nada menurun berderap), seluruhnya adalah pernyataan politik. Kata Indonesia yang mulai dipakai Ki Hadjar Dewantoro tahun 1913 adalah lawan kata dari Hindia Belanda. Kata Tanah Air adalah ruang kosmik kebangsaan tentang hakekat dialektika alam Tanah dan Air yang dirumuskan dalam puisi puisi Muhammad Yamin. Istilah Tanah Tumpah Darah adalah konsep tentang Ibu yang menumpahkan darah (wutah getih) saat melahirkan anak-anak Indonesia. Seperti bahasa lain dari “Inilah aku Indonesia dengan segala ke alamanku, yang lahir dan dibesarkan oleh perjuangan ibu-ibu bangsa”. Variasi melodi dari titi nada di baris pertama disuarakan “Di-sana-lah aku berdi-ri” (nada meninggi), lalu “jadi pandu i-bu-ku” (nada merendah berderap). Istilah “Di sanalah”, kerap menjadi pertanyaan publik: “Mengapa bukan “di sinilah””? Tetapi penggunaan istilah “Di sana” lebih serupa kerangka objektif W.R. Soepratman meletakkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang sanggup “berdiri”, tidak tunduk kepada bangsa asing. Ini seperti imbangan dari baris pertama yang sifatnya lebih subjektif, dan karenanya ada semacam pernyataan politik kedua di hadapan kolonialisme, “jadi pandu ibuku”. Pandu adalah gerakan pemuda yang tersisa, yang paling mungkin dimanfaatkan sebagai organ politik anti kolonialisme menyusul represi aparat kolonial yang melarang berbagai pertemuan dan aktivitas politik setelah pemberontakan 1926/27. “Jadi pandu Ibuku” karenanya bermakna, “Aku akan memimpin, menjaga, dan merawat bangsaku”. Jika dihubungkan dengan baris pertama, maka baris 92
BUNYI MERDEKA
kedua semacam pernyataan kepada kaum kolonial: “Di Indonesia aku berdiri sama tegak dengan bangsa-bangsa lain, oleh karena aku memimpin, menjaga, dan merawat bangsaku”. Baris ketiga berbunyi “Indonesia, kebangsaanku, bangsa dan tanah airku”. Apa kemudian perbedaan antara kebangsaan dan bangsa? Kebangsaan adalah peng-Indonesiaan dari kata nationalism, yang berarti cara pandang tentang kewilayahan dan politik dengan berbasis pada pemahaman dan kesadaran akan bangsa. Sementara bangsa adalah suatu komunitas manusia yang memiliki nama, yang mempunyai kesamaan wilayah bersejarah serta memiliki memori sejarah dan mitos publik yang sama, budaya publik bersama, perekonomian tunggal dan hak serta kewajiban bersama bagi semua anggotanya. Tetapi dalam konteks sejarah Indonesia, bangsa tidak mengandaikan satu golongan atau ras tertentu, sebagai konsekuensi dari kewilayahan yang menyatakan keragaman etnis dan golongan. Tjipto Mangoenkoesoemo dalam hal ini menyatakan bahwa “kata bangsa Hindia ini termasuk juga peranakan Eropa dan juga peranakan Tionghoa. Mereka ini sesudah dilahirkan di bawah lambaian nyiur lebih banyak dibesarkan oleh babu Sarinah daripada oleh ibunya sendiri, belum lagi disebutkan hal-hal yang acapkali terjadi, yaitu mereka yang dikandung dan dilahirkan oleh babu Sarinah yang itu juga”. Karenanya, jika dikembalikan pada lirik lagu Indonesia Raya, maka baris ketiga adalah sebuah abstraksi dari dua baris lirik sebelumnya. Dengan kata lain, W.R. Soepratman ingin berkata, “Karena aku telah menyatakan luar-dalamnya diriku sebagai bangsa Indonesia, maka cara pandangku adalah demi kewilayahan dan keragaman yang ada di dalamnya, yang membentuk kebangsaanku, itulah bangsa dan tanah airku”. Baris keempat yang berbunyi: “Marilah kita berseru, Indonesia Bersatu”, lebih serupa seruan yang indah dari W.R. Soepratman agar semua komponen bangsa bersatu di hadapan kolonialisme dan saat menghadapi kolonialisme. Letak keindahannya adalah pada lompatan nada kwint (interval lima nada) yang biasanya di awal kalimat lagu, ini berada di tengah dengan puncak nada panjang pada kata “See ru”. Baris ini juga menyatakan kepada kolonialisme bahwa “kebangsaanku menyatu di hadapan penindasanmu”. Baris kelima yang berbunyi: “Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku semuanya”, sebenarnya adalah pernyataan tentang harapan. Apabila dihubungkan dengan baris sebelumnya, maka makna dari baris kelima bisa menjadi “kebersatuan bangsa akan menghidupi tanah, 93
negeri, bangsa, dan rakyat”. Tetapi penting dipahami makna kata “tanah” dalam baris ini berbeda dengan tanah pada baris-baris awal stanza ini. Ia bukan tanah air, dan bukan juga tanah tumpah darah, melainkan tanah yang dapat dihidupkan, yang dapat melahirkan sesuatu, yang bisa menghidupi negeri, bangsa, dan rakyat. Artinya lagi-lagi ini sebuah pernyataan politik kepada kolonialisme yang merampas tanah-tanah rakyat Indonesia melalui sistem tanam paksa. Dengan kata lain, W.R. Soepratman mencoba menegaskan kepada kolonialisme bahwa “aku akan mengambil kembali tanah yang kau rampas, agar tanah itu dapat hidup dan menghidupi negeri, bangsa, dan rakyatku semuanya”. Baris keenam yang berbunyi: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”, lebih merupakan konsekuensi dari baris yang kelima. Artinya, ketika tanah sudah dapat menghidupi bangsa dan rakyat, maka tindakan selanjutnya adalah membangun rasa cinta tanah air, dan berkembang sesuai dengan kebutuhan hidup sebuah bangsa. Dengan kata lain, W.R. Soepratman ingin berkata kepada kita semua bahwa segala upaya membangun bangsa diasalkan dari diri kita sendiri untuk dapat berguna bagi bangsa. Ini serupa dengan seruan Kartini, puluhan tahun sebelumnya, “Bekerja! Bekerja! Bekerja! Berjuanglah membebaskan diri! Baru setelah kamu bekerja membebaskan diri, akan dapatlah kamu menolong orang lain!”. Baris ketujuh dan kedelapan yang berbunyi: “Indonesia raya, merdeka, merdeka, tanahku negeriku yang ku cinta/ Indonesia raya, merdeka, merdeka, hiduplah Indonesia raya”. Kalimat-kalimat ini bukan sekadar seruan tentang kebebasan dari kolonialisme, tetapi juga upaya membangun jati diri dengan keberanian melawan segala rintangan yang menghambat kebebasan. 3.3.2.2. Sonata Stanza Kedua Dalam stanza ini, syair baris pertama berbunyi : “Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya”. Sekilas pengertiannya bisa serupa, “Indonesia mulia karena Indonesia kaya”. Tetapi “mulia” di sini lebih dari sekadar soal kekayaan. Pengertian tentang tanah yang mulia perlu disandingkan baik dengan “tanah air, tanah tumpah darah” maupun sebagai kelanjutan dari “tanah yang hidup”. Karenanya ke-mulia-annya adalah abstraksi dari tanah air dan tanah tumpah darah, sedang ke-kaya-annya adalah simpulan 94
BUNYI MERDEKA
dari kemampuan tanah itu menghidupi negeri, bangsa, dan rakyat. Baris kedua yang berbunyi “ Di sanalah aku berdiri untuk slama-lamanya”, sekali lagi menegaskan posisi politik tentang Indonesia yang tidak dapat diganggu gugat oleh kolonialisme. Makna kata “slama-slamanya” di sini lebih berdekatan dengan pengertian W.R. Soepratman yang seolah hendak berkata kepada kolonialisme, “Apa pun yang terjadi aku tetap menjaga kemuliaan Indonesia”. Baris ketiga yang berbunyi “Indonesia tanah pusaka, pusaka kita semuanya” adalah sebuah penegasan ulang yang lebih fundamental. Setelah ia adalah Tanah Air, Tanah Tumpah Darah, Tanah yang Hidup, Tanah Mulia, maka Indonesia adalah pusaka. Pengertiannya di sini Indonesia adalah warisan leluhur bangsa Indonesia yang oleh karena berbagai sebab menjadi satu ikatan persaudaraan Indonesia. Karenanya, ke-pusaka-an Indonesia mengandaikan sifat-sifat hubungan-hubungan sosial yang erat di antara keragaman suku, bangsa, dan bahasa. Baris keempat, yang berbunyi “Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia”, lebih serupa lompatan dari pernyataan politik ke pernyataan ideologis. Jika diperhatikan ‘alur cerita’ dari stanza pertama sampai sebelum baris ini, semuanya berbicara tentang hal-hal yang sifatnya duniawi. Tepatnya keduniawian dari perjuangan melawan kolonialisme. Nah, pada baris ini hal-hal terkait perjuangan di muka dikembalikan pada spiritualitas agama yang menjadi bagian dari kehidupan rakyat Indonesia. Tepatnya perjuangan itu diberikan landasan moral ideologis, dengan membuat doa sebagai dasar dari perjuangan. Sepertinya W.R. Soepratman ingin berucap, “Terangnya perjuangan itu tidak mungkin tanpa doa rakyat Indonesia”, yang mana semua ditujukan demi Indonesia bahagia. Baris kelima berbunyi, “Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya, bangsanya, rakyatnya, semuanya”. Lirik dalam baris ini semacam menegaskan ulang makna dan tujuan dari doa perjuangan rakyat Indonesia. Ia merupakan harapan agar perjuangan melawan kolonialisme dapat dimenangkan dan harapan itu mengandaikan kebenaran tentang tanah yang subur, dan jiwa-jiwa pemberani dari bangsa dan rakyat Indonesia. Karenanya dalam baris akhir dari stanza kedua yang berbunyi: “Sadarlah hatinya, sadarlah budinya, untuk Indonesia Raya”, ini lebih serupa raungan pengingat kepada rakyat Indonesia untuk kembali menyadari hakekatnya 95
sebagai manusia yang merdeka. 3.3.2.3. Sonata Stanza Ketiga Baris pertama dari stanza ketiga berbunyi “Indonesia, tanah yang suci, Tanah kita yang sakti”. Pengertiannya hampir sama dengan Indonesia tanah yang mulia dalam stanza kedua. Hanya saja tambahan unsur ‘sakti’ di sini lebih serupa simpulan dari ke-mulia-an dan ke-pusaka-an Indonesia. Ke-sakti-an di sini juga tidak sama arti dengan tingkat keahlian seseorang, melainkan sebuah cita-cita akan Indonesia yang kokoh dan berjaya. Baris kedua yang berbunyi, “Di sanalah aku berdiri, N’jaga ibu sejati”, adalah sebuah penegasan dari baris sebelumnya, bahwa oleh karena ke-sakti-annya maka adalah “tugasku sebagai rakyat Indonesia untuk menjaganya”. Karenanya, dalam baris ketiga yang berbunyi “Indonesia, tanah berseri, Tanah yang aku sayangi,” ini semacam konsekuensi dan juga syarat untuk menjaga ibu sejati. Apa itu ibu sejati? Itulah simbol abstrak dari tanah air, tanah tumpah darah, tanah yang hidup, tanah pusaka, tanah suci dan mulia. Kesejatian ibu di sini juga bisa dirujuk pada apa yang dikatakan Kartini tentang ibu/perempuan sebagai soko guru peradaban bangsa. “Marilah kita berjanji, Indonesia abadi”, demikian bunyi baris keempat yang menunjukkan perlunya itikad yang besar dari setiap rakyat Indonesia untuk mempertahankan Indonesia dan ke-Indonesiaan. Hal itikad atau sumpah ini adalah semacam simbolisasi dari gerakan Sumpah Pemuda, yang perhelatannya di tahun 1928 menjadi tempat Indonesia Raya dibunyikan untuk pertama kali. Baris kelima yang berbunyi, “S’lamatlah rakyatnya, S’lamatlah putranya, pulaunya, lautnya, semuanya,” sebenarnya sebuah rencana realisasi dari janji menjaga Indonesia. Siapa yang harus berjanji? Rakyat Indonesia lah yang harus berjanji menyelamatkan manusia dan alam Indonesia. Karenanya sebagaimana bunyi baris penutup “Majulah Neg’rinya, Majulah Pandunya, Untuk Indonesia Raya”, ini serupa penegasan dan penajaman bahwa negeri ini harus dipimpin, dibimbing, dirawat agar Indonesia abadi. Tepatnya semacam kewajiban bagi rakyat Indonesia untuk merealisasikan janji atau itikad di muka. 96
BUNYI MERDEKA
Dari seluruh gambaran pemaknaan tentang syair lagu Indonesia Raya tampak jelas bahwa lagu Indonesia Raya memiliki semangat anti kolonialisme yang tinggi. Ini tentunya bukan sesuatu yang luar biasa mengingat W.R. Soepratman lahir dan dibesarkan di dalam alam kolonialisme. Akan tetapi hal yang paling mengemuka dari lagu Indonesia Raya adalah bahwa banyak dari kata-kata dalam lirik tersebut adalah pernyataan politik yang tegas, walau dibahasakan secara simbolik. Hal kedua yang juga mengemuka adalah bahwa lirik lagu Indonesia Raya juga membawa nuansa arahan politik kepada rakyat Indonesia tentang apa yang harus dilakukan secara praktis di dalam menghadapi kolonialisme. Bahkan, lirik lagu tersebut meminta rakyat Indonesia menyadari keberadaannya sebagai bagian dari wilayah yang bersejarah dan pengalaman sejarah yang sama, pengalaman kolonialisme. Karenanya menjadi penting kemudian untuk mengeja dan menala Indonesia Raya dalam cahaya kebangkitan dari kehancuran akibat kolonialisme. Semangat dan nuansa yang demikianlah, yang sedikit banyak mewarna dalam Pembukaan UUD 1945. Mulai dari kalimat pertama pembukaan, bahwa “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa” sampai dengan kalimat akhir “mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, lirik lagu Indonesia Raya seperti menjadi pandunya. Dengan kata lain, lirik lagu Indonesia Raya tiga stanza menggelora dalam kalimat-kalimat Pembukaan UUD 1945. Relevansinya kemudian pada hari ini adalah semangat untuk kembali membangun Indonesia. Indonesia yang terdiri dari beragam suku, bangsa, dan bahasa, yang berada di wilayah seluas 1,905 km2, membutuhkan kesadaran yang super untuk bisa memahami, dan menerimanya sebagai bagian dari kenyataan sosial politik dan budaya. Kesenjangan sosial ekonomi dan budaya yang menyebar di berbagai pulau, ketidaklancaran komunikasi dan transportasi antar pulau, dan segala kompleksitas permasalahan lainnya, itulah bagian dari kemuliaan Indonesia. Karenanya sudah tepat apabila pemerintah Presiden Jokowi memprioritaskan hal-hal penyelesaian sumbatan-sumbatan komunikasi dan keadilan sosial sebagai agenda utama pembangunan. Begitu juga dengan upaya membangun dari pinggiran sebagai amanat Nawacita, di dalam banyak hal justru mempertegas stanza ketiga Indonesia Raya “slamatlah rakyatnya, slamatlah putranya, pulaunya, lautnya, semuanya”. Karena itu menjadi penting kemudian untuk melihat Indonesia Raya sebagai sebuah pernyataan, doa perjuangan, dan janji rakyat Indonesia kepada tanah air dan tanah tumpah darahnya. 97
IV Sesudah Indonesia Raya Para penyair mendambakan ketiadaan jejak seperti layaknya burung yang terbang di udara. Sebagai manusia kita seperti dikutuk untuk selalu dihantui oleh berbagai jenis perasaan yang tertinggal oleh jejak-jejak waktu. Begitu pula lagu Indonesia Raya yang sangat meninggalkan jejak mendalam bagi rakyat Indonesia dan juga pemerintah kolonial. Selain meninggalkan jejak dalam bentuk Sumpah Pemuda, Kongres Pemuda Kedua juga mewariskan sebuah komposisi musik yang begitu populer pada masa itu di benak rakyat Indonesia. Rosihan Anwar pernah bercerita bahwa suatu hari ia pernah menumpang sebuah truk dalam perjalanan menuju ke suatu tempat. Tujuan yang ingin ia capai harus melalui sebuah jalan sempit, terutama untuk sebuah kendaraan sebesar truk. Di jalan sempit itu, kendaraannya berpapasan dengan truk lain yang berisikan banyak pemuda. Rosihan Anwar mengaku pada waktu itu ia masih buta politik. Karena jalan yang sempit itu, kedua truk tersebut terpaksa melaju sangat pelan. Dari kejauhan ia sudah bisa mendengar sekelompok pemuda yang menumpang truk tersebut bernyanyi sambil menyerukan slogan-slogan kemerdekaan. Ketika kedua truk itu berjalan berdampingan secara perlahan karena jalan yang sempit, ia bisa mendengar dengan jelas bahwa yang mereka nyanyikan adalah lagu Indonesia Raya. Rosihan Anwar lahir pada 1922. Andaikan ketika peristiwa itu terjadi, ia masih berusia sepuluh tahun, sebuah kemungkinan yang amat kecil, berarti ia mengalami kejadian itu pada 1932. Artinya, paling tidak empat tahun setelah pertama kali dimainkan oleh Soepratman, Indonesia Raya masih menggema dalam sanubari para pejuang kemerdekaan. Bahkan jauh setelah itu, sekitar tahun 1955, seorang eksekutif perusahaan rekaman yang berkantor di Cikini menulis surat kepada Presiden Sukarno. Isinya adalah permohonan merekam lagu Indonesia Raya untuk dijual kepada rakyat yang menginginkannya. Ia menyatakan bahwa pembeli hanya perlu membayar ongkos produksinya tanpa perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk kutipan keuntungan perusahaan rekaman itu. Ternyata, banyak orang datang ke perusahaan rekaman itu yang menanyakan perihal ketersediaan rekaman Indonesia Raya. Kongres Pemuda Kedua sudah berselang 27 tahun
BUNYI MERDEKA
dan proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah lewat sepuluh tahun, sedangkan orang masih saja berusaha memiliki salinan musik Indonesia Raya agar tidak buru-buru dijerat oleh lupa. Tentu saja, permohonan itu ditolak oleh Sukarno. Menurutnya, lagu Indonesia Raya adalah milik bangsa Indonesia, bukan untuk diperjual-belikan. Sukarno pun sudah mengurus perihal royalti kepada keluarga Soepratman dan Yo Kim Can yang diberikan hak cipta lagu tersebut untuk diperbanyak oleh Soepratman sendiri. Sukarno menerangkan perihal Jos Cleber yang pada waktu itu merekam Indonesia Raya atas perintahnya bahwa Cleber berlaku sebagai pegawai pemerintah, maka dari itu ia diperbolehkan merekam Indonesia Raya. Dua bulan setelah peristiwa Kongres Pemuda Kedua, di jalanan Jakarta para anggota pramuka kedapatan menyanyikan melodi Indonesia Raya. Kejadian ini diketahui oleh anggota PID yang kemudian membuat laporan kepada atasannya. Atasan tersebut berkirim surat kepada Gubernur Jendral di Jakarta melaporkan kejadian ini. Tidak lama kemudian, turun surat dari Menteri Daerah Jajahan di Negeri Belanda yang berisi larangan menyanyikan Indonesia Raya. Tatkala itu, Indonesia Raya dilarang disebut sebagai lagu kebangsaan, karena bangsa yang disebut-sebut dalam lagu tersebut tidak ada. Pada 1928, Soepratman pernah merekam lagu Indonesia Raya dengan menggunakan biola dan suaranya. Yo Kim Can pada waktu itu bertindak sebagai produser. Perekaman dilakukan di Indonesia dan rencananya piringan hitam itu akan dicetak di luar negeri untuk mendapat hasil yang maksimal. Ketika pencetakan sudah selesai dan saatnya membawa kembali piringan hitam untuk disebarluaskan di Indonesia, kapal yang memuat rekaman tersebut ditahan oleh pemerintah kolonial. Seluruh piringan hitam yang memuat lagu Indonesia Raya dihancurkan oleh pemerintah kolonial. Kendati demikian, Yo Kim Can berhasil menyimpan satu-satunya piringan hitam yang ia produksi bersama Soepratman. Betapa mengerikan suara persatuan yang terekspresikan oleh sebuah komposisi musik. Ini menandakan bahwa musik bukanlah perkara sederhana, melainkan sebuah pengalaman tunggal yang memang harus dirasakan. Betapa tidak, nyanyian anak-anak anggota pandu di jalanan Jakarta saja mendapat tanggapan keras dari Menteri Daerah Jajahan di Belanda. Hal ini jelas menunjukkan ketakutan pemerintah kolonial akan kekuatan musik 99
sebagai pemersatu bangsa, terutama bila kekuatan liriknya juga dipertimbangkan. Ketika menghadiri pemakaman salah seorang temannya, Gustav Mahler mendapat ilham untuk menggubah sebuah simfoni yang mengisahkan kehidupan setelah kematian. Setelah simfoni itu rampung, ia pun memimpin sebuah orkes di Eropa untuk memainkannya. Begitu simfoni itu selesai dimainkan, seorang perempuan menghampiri Mahler dan bertanya, “Jadi, Tuan Mahler, ada apa setelah kita mati?” Kisah Mahler ini mirip dengan cerita kekuatan musik Indonesia Raya. Apabila perempuan itu menganggap Mahler yang sudah berhasil menggubah karya begitu agung paling tidak pernah merasakan keberadaan yang melampaui kehidupan, maka pemerintah kolonial merasa bahwa Soepratman tahu bahwa tidak lama lagi negara yang ia impikan akan menjadi kenyataan. Ketakutan akan ramalan Soepratman itulah yang menghantui pemerintah kolonial. Ramalan Soepratman menjadi benar-benar menjadi kenyataan dan pemerintah kolonial sudah menyadari bahwa akhir cengkeramannya sudah bisa terlihat di cakrawala. Kemungkinan itulah yang menakutkan bagi pemerintah kolonial. Terutama tatkala kondisi ekonomi Belanda pada waktu itu sedang berada pada titik yang rendah. Mereka harus menanggapi persoalan lagu ini dengan serius. Kekuatan Indonesia Raya bukan terletak pada kemampuannya membawa pendengarnya sendirian hanyut ke dalam permenungan yang dalam, meskipun pesan-pesan di baliknya menggali falsafah hidup pencerahan khas Indonesia. Lagu ini harus dinyanyikan bersama-sama dengan banyak suara untuk dapat merasakan kegentingannya. Lagu ini adalah lagu rakyat. Seperti kebanyakan karya seni mutakhir, lagu Indonesia Raya memiliki banyak lapisan untuk didekati. Lagu itu bisa saja digumamkan ketika kita sedang santai sembari minum kopi sendiri, misalnya, menandakan interaksi dengan lapisan pertama. Tapi, lagu itu juga bisa membuat kita duduk tafakur memikirkan pesan-pesan intinya. Misalnya, apa itu kemanusiaan? Apa itu keadilan? Bagaimana mewujudkan cita-cita bangsa? Dalam arti ini, kesederhanaan musik Indonesia Raya mampu menjadi kiasan untuk mengundang kontemplasi lebih jauh mengenai tatanan ideal. Semua itu sudah dipikirkan oleh Soepratman. Peran lagu Indonesia Raya pada masa sebelum kemerdekaan sudah jelas. Pada masa penjajahan Belanda, lagu Indonesia Raya terbukti menjadi mimpi buruk kolonial. Ketika Belanda diusir oleh pemerintahan Jepang, hubungan lagu tersebut dengan rakyat Indonesia juga berubah. Radio NHK 100
BUNYI MERDEKA
dari Jepang, ketika perang Pasifik pecah, selalu mengawali dan mengakhiri siarannya dengan lagu Indonesia Raya, meskipun tidak jelas rekaman siapa yang digunakan. Pada 1942 ketika tentara Jepang berhasil merebut kekuasaan dari Belanda, sikap itu perlahan-lahan berubah. Lagu tersebut yang tadinya diputar setiap hari oleh Radio NHK akhirnya dilarang. Baru setelah Jepang mulai merasakan kekalahan demi kekalahan dalam teater Perang Pasifik, lagu Indonesia Raya mulai boleh dimainkan kembali. Setelah kemerdekaan, tepatnya 16 November 1948, Presiden Sukarno memutuskan untuk membentuk Panitia Indonesia Raya untuk mengkodifikasi lagu Indonesia Raya. Namun, kenyataan berbicara lain. Sebelum panitia tersebut menjalankan tugasnya, Belanda, yang sebelumnya menunggu di daratan Australia untuk kembali ke Indonesia, melajukan agresi militernya dengan menduduki ibukota Republik Indonesia yang waktu itu berada di Yogyakarta. Kepindahan ibukota negara ke Yogyakarta dilakukan untuk menghindari tentara Belanda yang diperkirakan akan merapat di Pelabuhan Tanjung Priok. Kemungkinan besar, dalam periode inilah cerita Rosihan Anwar di muka berlatar. Segala upaya Belanda untuk menghentikan penyebaran lagu Indonesia Raya sia-sia, karena semua orang sudah mengetahui dan mengingat lagu tersebut dalam benaknya. Untuk menandai kelahiran lagu kebangsaan Indonesia Raya, maka pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 28 Oktober 1928 sebagai hari lahir lagu kebangsaan. Selain itu, untuk memperingati seperempat abad lagu Indonesia Raya, maka pada 28 Oktober 1953 diadakan sebuah upacara besar di Lapangan Gambir. Pada kesempatan itu, bumi Nusantara digetarkan oleh paduan suara yang beranggotakan 1.000 orang, semuanya menyanyikan Indonesia Raya. Selain paduan suara tersebut, lagu Indonesia Raya juga dimainkan dengan orkes angklung Parahyangan, lalu kemudian dilanjutkan dengan orkes seruling putra-putri Maluku yang diiringi orkes Kepolisian Negara. Jauh setelah itu, pada 1998, mahasiswa yang berhasil menduduki gedung MPR/DPR menyanyikan lagu tersebut dalam rangka merayakan kemenangan rakyat atas tumbangnya Rezim Suharto. Dalam setiap demonstrasi lagu tersebut sering diulang untuk meresapi makna yang tertuang dalam liriknya. Menurut para mahasiswa, Rezim Orde Baru telah menyeleweng dari amanat yang ada di balik lagu Indonesia Raya. Belakangan, lagu Indonesia Raya juga kembali dinyanyikan oleh orang banyak di Gedung Balai Kota Jakarta dipimpin oleh Addie M.S.. Masyarakat menyanyikan lagu Indonesia 101
Raya sebagai protes keputusan hakim kepada Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang menjatuhkan hukuman dua tahun penjara atas tuduhan menistakan agama.
4.1. Indonesia Raya Sebagai Musik Anti-Kolonial Sebagai lagu pergerakan, lagu Indonesia Raya memuat banyak nilai yang mencerminkan falsafah kehidupan masyarakat Indonesia. Tetapi, lebih dari itu, Indonesia Raya adalah musik universal yang mengekspresikan semangat anti kolonial. Kita sudah membahas bahwa sebagai musik, Indonesia Raya tidak bisa memiliki semangat apa pun, tetapi dengan jelas mengekspresikan penolakan terhadap segala bentuk penjajahan. Hal ini bisa ditarik dari liriknya yang secara eksplisit menjelaskan hal tersebut. Pertama-tama, pesan tentang kebebasan dapat kita temukan dari kata pertama yang membuka lagu tersebut: Indonesia. Ketika pertama kali dimainkan pada tahun 1928, Indonesia belum menjadi sebuah negara. Bagaimana mungkin, merdeka saja belum, apalagi menjadi negara? Indonesia masih menjadi bagian dari Belanda yang bernama Hindia Belanda. Dengan menggunakan kata “Indonesia” di awal mula lagu, Indonesia Raya sudah menetapkan posisinya sebagai lagu kebebasan dan kemerdekaan dari pemerintahan Hindia Belanda. Artinya, ada Hindia Belanda dan ada Indonesia. Prinsip yang berlaku dalam penggunaan kata “Indonesia” ini adalah prinsip identitas. Ada aku dan ada engkau. Aku Indonesia dan kau Belanda. Aku adalah negara independen dan begitu juga engkau. Jelas-jelas ini adalah upaya untuk memisahkan diri dari pemerintahan kolonial. Kebebasan itu juga meniscayakan kedaulatan utuh yang terlepas dari campur tangan pemerintah kolonial. Terang saja para penjajah Belanda pada waktu itu kerepotan. Kata-kata kedua dalam lagu Indonesia Raya adalah “tanah airku.” Pada dirinya sendiri, kata-kata tersebut berarti ikrar kepada ibu pertiwi. Jika digabung dengan kata pertama, maka kalimat tersebut akan berarti ikrar kepada Ibu Pertiwi Indonesia. Di balik itu ada makna perjuangan sampai habis. Bahwa rakyat Indonesia sudah berjanji kepada Ibu Pertiwi untuk mempertahankan kebebasannya, identitasnya. Terutama apabila kita menilik kepada kata-kata dari bait kedua yang berbunyi “tanah tumpah darahku.” Makna dari kedua kalimat tersebut, “Indonesia tanah airku” dan “tanah tumpah darahku” berarti penekanan kepada pemisahan identitas 102
BUNYI MERDEKA
dan kehendak untuk mempertahankannya sampai mati. Bagi pemerintah kolonial, ini sama saja dengan pernyataan bahwa “sudah sekian lama kami melawan untuk identitas kami, dan kami akan terus melakukannya sampai habis.” Tentu saja makna fatalistik di balik dua bait lirik pertama itu sudah menakutkan bagi pemerintah kolonial. Betapa pun banyaknya keuntungan yang diraup oleh pemerintah kolonial, kemungkinan perjuangan sampai akhir zaman tidak akan pernah bisa dipikirkan oleh mereka sebagai investasi yang menguntungkan. Itulah yang siap diberikan oleh rakyat Indonesia pada waktu itu. Pernyataan itu semacam pertaruhan yang dijalankan oleh orang yang tidak rugi apa pun ketika kalah, tetapi menang banyak sewaktu-waktu mereka berjaya. Pertempuran macam itulah yang dihadapi oleh pemerintah kolonial. Mungkin pada waktu itu mereka juga belum menyadari hal itu, tapi mungkin juga sudah. Bait kedua dari kuplet pertama semakin menekankan hal identitas tersebut. Bait tersebut berbunyi, “Indonesia kebangsaanku” dan konsekuensinya sekali lagi pemisahan kewarganegaraan dari negara yang belum ada. Kata-kata terakhir dari bait ketiga adalah “untuk Indonesia Raya”, yang bisa berarti bahwa segala sesuatu yang dilakukan rakyatnya, seperti membangun jiwanya, membangun badannya adalah untuk kedaulatan Indonesia, untuk Indonesia Raya. Intinya, setiap bait dalam kuplet pertama adalah perumusan mengenai kebebasan dan perjuangan untuk mencapai kebebasan dari jerat kuasa penjajahan. Penjajahan dalam hal ini bisa berarti banyak hal. Yang pertama kali dipikirkan oleh Soepratman, jelas, adalah kebebasan dari penjajahan kolonial. Rakyat Indonesia waktu itu sudah geram selalu disamakan dengan bangsa kafir terbelakang. Tidak jarang bahkan disamakan dengan anjing. Terbukti dari banyak tempat-tempat umum yang menuliskan tanda “Inlander dan anjing dilarang masuk.” Dari situ saja kita bisa menyimpulkan kekuatan universal dari Indonesia Raya, karena penjajahan tidak hanya terjadi di bumi Nusantara.
4.2. Crescendo Lagu-lagu Perjuangan Sepeninggal W.R. Soepratman di tahun 1938, hampir tidak muncul lagu perjuangan yang baru. Tetapi pada masa pendudukan Jepang mulai hadir 103
generasi pemusik baru. Di Jawa generasi berikutnya ialah Ismail Marzuki, Kusbini, Bintang Sudibyo, R. Soenarjo, H. Mutahar, R.A.J. Soedjasmin dan lain-lain. Beberapa waktu kemudian muncul pula para pemusik asal Tapanuli dengan latar belakang pengetahuan dan praktisi musik klasik barat yang cukup andal. Para pemusiknya ialah Cornel Simandjuntak, Amir Pasaribu, J.A. Dungga, Liberty Manik, Binsar Sitompul dan W. Lumban Tobing. Awalnya mereka, bersama sejumlah seniman bidang lainnya bergabung dalam Badan Pusat Kesenian Indonesia (BPKI) yang diresmikan pada 6 Oktober 1942. Organisasi ini terdiri atas anggota pengurus, antara lain Sanoesi Pane (Ketua), Mr. Soemanang (Sekretaris), Winarno, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Kusbini, Bintang Sudibyo, Kamajaya, S. Sudjono, Basuki Abdullah, Dr. Poerbatjaraka, Mr. Djoko Sutomo (Ketua Perhimpunan Kesenian Jawa “Anggono Raras”), Ki Hadjar Dewantara, Mr. Achmad Subardjo, Soetardjo Kartohadikoesoemo, K.H. Mas Mansur, dan seorang bangsa Jepang Ichiki, yang masing-masing sebagai anggota dan badan pengawas. Tetapi kemudian badan ini dilebur menjadi Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho) milik pemerintah Jepang. Maksudnya, lembaga itu dapat mengawasi dan menguasai organisasi itu dengan fasilitas subsidi dari pemerintah Jepang. Melalui organisasi inilah, para seniman Indonesia terlibat langsung membuat lagu-lagu propaganda Asia Timur Raya. Para seniman ditugasi mengadakan konser keliling di seluruh tanah air menghibur penduduk sambil menyebarluaskan propaganda Jepang-Indonesia demi suksesnya Negara Kesatuan Asia Timur Raya.26 Karenanya tidak mengherankan jika, Cornel Simandjuntak, salah seorang komponis pejuang, mencipta lagu atas dasar pesanan Jepang. Ketika Jepang membentuk pasukan kuli yang dinamakan romusha – “remuk rusak,” kata orang-orang desa ketika itu – yang dikirim ke belakang garis depan perang di Pasifik dan Asia Tenggara, sejalan dengan itu Cornel menggubah Bekerja, Ke Pabrik dan Ayunkan Palu Bikin Kapal. Sementara, untuk pasukan cadangan, Jepang membentuk pasukan Peta (Pembela Tanah Air), dan oleh Cornel digubahnya lagu Mars Pasukan Sukarela.27 Tetapi di tengah situasi seperti itu seniman Cornel Simandjuntak dan Kusbini berhasil menyusupkan lagu-lagu patriotisme dan nasionalisme yang lembut seperti Citra dan Padi 26 Wisnu Mintargo. “Lagu Propaganda dalam Revolusi Indonesia: 1945-49” dimuat dalam situs web https://media.neliti.com/media/publications/11749-ID-lagu-propaganda-dalam-revolusi-indonesia-1945-1949.pdf 27 Hersri Setiawan. “Cornel Simanjuntak Cahaya, Datanglah!”, dimuat dalam situs web https://indoprogress.com/2014/06/cornel-simandjuntak-cahaya-datanglah/
104
BUNYI MERDEKA
Menguning.28 Sementara seniman Alfred Simanjuntak oleh karena menulis lagu Bangun Pemudi Pemuda sempat masuk dalam daftar hitam untuk dibunuh oleh tentara Jepang. Sesudah kemerdekaan ada banyak lagu perjuangan yang tercipta. Setelah Indonesia Raya, terdapat Bagimu Neg’ri ciptaan Kusbini, Maju Tak Gentar, dan Sorak-sorak Bergembira ciptaan Cornel Simandjuntak, Bangun Pemudi Pemuda ciptaan Alfred Simanjuntak dan sebagainya. Salah satu lagu perjuangan yang cukup kontroversial adalah lagu berjudul Darah Rakyat yang konon diciptakan oleh seorang pejuang bernama Legiman Harjono pada bulan September 1945. Seperti dicatat Soe Hoek Gie dalam bukunya, OrangOrang di Persimpangan Kiri Jalan. Pada 19 September 1945, saat rapat raksasa di Lapangan Ikada, Jakarta, lagu Darah Rakyat dituliskan di selebaran dan dibagi-bagikan ke ratusan ribu massa. Lagu Darah Rakyat dinyanyikan oleh ratusan ribu massa yang mengikuti rapat raksasa di Lapangan Ikada, di samping lagu Indonesia Raya, Maju Tak Gentar, dan Bagimu Negeri. Liriknya adalah sebagai berikut: Darah Rakyat masih berjalan/ Menderita sakit dan miskin Pada datangnya pembalasan/ Rakyat yang menjadi hakim (2x) Hayo, hayo bergerak sekarang / Kemerdekaan ‘tlah datang Merah warna panji kita / Merah warna darah rakyat (2x) Kami bersumpah pada rakyat/ Kemiskinan pasti hilang Kaum kerja akan memerintah / Dunia Baru Pasti Datang (2x) Hayo, hayo bergerak sekarang / Kemerdekaan ‘tlah datang Merah warna panji Kita / Merah warna darah rakyat (2x) Lagu ini populer hingga keluar Jawa. Seperti diceritakan oleh Amiruddin Noer dalam bukunya, Putri Melayu: Kisah Cinta dan Perjuangan Seorang Gadis Melayu di Tengah Kecamuk Pembantaian, lagu Darah Rakyat juga populer di Sumatra, tepatnya di daerah Sumatra Utara. Lagu ini dinyanyikan oleh pemuda revolusioner, laskar rakyat, dan gerakan buruh. Hampir di semua truk yang mengangkut pejuang menuju medan perang bergema lagu ini.
28 Hersri Setiawan. Memoar Pulau Buru hal 218.
105
Rakyat memobilisasi diri untuk rapat raksasa di Lapangan Ikada
Namun, seiring dengan meletusnya banyak revolusi sosial di daerah, termasuk peristiwa tiga daerah (revolusi sosial yang bergolak di tiga daerah, yaitu Brebes, Pemalang, dan Tegal), revolusi sosial di Solo, revolusi sosial di Sumatra Timur, lagu Darah Rakyat yang menimbulkan akibat kekerasan dan anarki, pelan-pelan mulai dilarang.29 Pada periode 1950-1960an generasi komponis baru muncul. Salah satu yang mengemuka adalah Subronto Atmodjo. Dibesarkan dari lingkungan yang dekat dengan musik gamelan, Subronto menimba teori musik awalnya bukan dari sekolah musik, melainkan dari membaca artikel teori musik Amir Pasaribu di majalah-majalah Zenith, Horison, dan sebagainya. Selain itu Subronto bergaul akrab dengan tokoh-tokoh musik pada waktu itu, tanpa melewatkan kesempatan untuk berguru dan menimba ilmu pengetahuan musik dari beliau-beliau. Tokoh-tokoh musik tahun 1952-54 antara lain Amir Pasaribu, Sutisna, R.A.J. Sudjasmin, Sudharnoto, Mochtar Embut. Salah seorang dari mereka itu serta-merta memberinya nama ”Subakat”, karena dalam pandangannya Subronto memang berbakat musik sangat tinggi. Dalam menggubah lagu ia berprinsip, bertauladan kepada Cornel Simandjuntak, bahwa musik atau nada-nada mengabdi pada lirik atau 29 “Sekilas Sejarah Lagu Darah Rakyat”, diambil dari situs web http://www.berdikarionline.com/sekilas-sejarah-lagu-darah-rakyat/
106
BUNYI MERDEKA
kata-katanya, maka tekanan kata harus dinyatakan juga dalam tekanan musik. Kalau menjumpai suatu sajak/syair/puisi yang dinilainya kuat untuk dibikin musik, dia mengatakannya dengan ”puisi ini menyanyi”. Menurut komponis Alfred Simanjuntak, Subronto adalah komponis yang tak bisa diajak kompromi terhadap ciptaannya. Misalnya, pada 1962 sebuah grup paduan suara dalam membawakan ciptaan Subronto mengubah sebuah kata. Langsung ia, yang mendengar dari seorang temannya, menyambar sepeda menuju tempat latihan. Entah bagaimana, akhirnya grup tersebut bersedia membawakan ciptaan Subronto sesuai dengan aslinya. Salah satu lagunya yang cukup mengemuka adalah yang berjudul Suburlah Tanah Airku. Karyanya ini dianggap oleh beberapa musikus sebagai ciptaan berkualitas dan tahan zaman. Beberapa hari sebelum ia meninggal, sebuah grup paduan suara membawakan lagu itu di TVRI Jakarta dengan penjelasan bahwa pada dasawarsa 1950-an namanya dikenal luas sebagai pencipta lagu, pemimpin paduan suara, dan komponis. Suburlah subur tanah airku/ Tanah pusaka kelahiranku Sawah ladangmu hijau selalu/ Sungai lautmu luas membiru Oh indah alangkah indah berseri/ Bermandi cahya sang surya pagi Bumi persada luas meraya/ Tempat bersujud patuh setia Pertiwi curahan bela/ Indonesia subur bahagia Hijau nyiurmu melambai-lambai/ Ditiup angin sepanjang pantai Kuning padimu masak mengurai/ Dipeluk alam sejuk dan damai Oh Ibu Pertiwi kandungan sukma/ Pengisi jiwa haus dahaga Tumpah darah tempatku terpuja/ Selama hidup tetap kubela Abadi subur sentosa/ Indonesia kamu sejahtera Lagu-lagu perjuangan yang sejaman pada 1950-60an juga diwarnai dengan perkembangan situasi politik nasional dan internasional. Semisal terkait Konferensi Asia-Afrika muncul lagu Asia Afrika Bersatu yang digubah oleh komponis Sudharnoto, yang juga menggubah lagu mars Garuda Pancasila yang kita kenal sekarang. Lalu, terkait pelaksanaan Undang-Undang Bagi Hasil dan Undang-Undang Pokok Agraria muncul lagu Di Kaki-kaki Gunung Tangkuban Perahu. Begitu juga dengan lagu Mars Radio Republik Indonesia yang liriknya berbunyi: 107
Semboyan kami angkasawan RRI/ Sekali di udara tetap di udara Semenjak Empat Lima tak pernah berhenti Patuh dan setia berjiwa Pancasila Tri Prasetya landasan kerjanya/ Ampera tujuan utama Penuh pengabdian pada revolusi/ Demi Tuhan demi pertiwi Sekali di udara tetap di udara Kendati demikian terdapat juga lagu-lagu memorial perjuangan seperti Di Sela-sela Rumput Hijau yang digubah oleh Maladi, ataupun Pantang Mundur yang digubah oleh Ismail Marzuki. Secara umum lagu-lagu perjuangan adalah lagu-lagu yang dapat membangkitkan semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air, memiliki arti nilai-nilai penegakan demokrasi yang berkeadilan. Substansi yang digambarkan pada lagu-lagu perjuangan bahwa pesan moral dan keterlibatan hati yang disampaikan ternyata semakin relevan sepanjang waktu, bukan kian pudar dan jauh dari tuntutan zaman. Persoalannya kemudian sering kali lagu-lagu perjuangan itu dinyanyikan tanpa dijelaskan asal-usulnya dan bagaimana sejarahnya. Karenanya, sesering apa pun lagu itu diperdengarkan belum selalu dapat menumbuhkan nilai-nilai yang terdapat dalam lagu tersebut.
Poster Revolusi 45 (gambar Affandi dan teks Chairil Anwar)
108
BUNYI MERDEKA
Sekalipun demikian, penting untuk kemudian memahami bahwa lagu-lagu perjuangan di periode revolusi dan pascarevolusi kemerdekaan, secara umum menekankan perihal cinta tanah air, cinta pada upaya membela tanah air, dan cinta pada persaudaraan antar bangsa-bangsa. Ini satu hal yang cukup menarik, karena dengan demikian apa yang ditulis oleh W.R. Soepratman terkait “Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya” seperti memberikan pencerahan pada lagu-lagu perjuangan selanjutnya. Bahkan, jika kita perhatikan sebagian lirik dari lagu memorial perjuangan seperti Sepasang Mata Bola yang ditulis Ismail Marzuki pada 1946: “Lindungi aku pahlawan dari pada si angkara murka” seperti berdialog dengan sebagian lirik lagu Indonesia Raya “Jadi Pandu Ibuku”. Begitu juga dengan lirik “Hampir malam di Jogja ketika keretaku tiba” seolah meminta Pandu untuk “Menjaga Ibu Sejati”. Itulah sebabnya Indonesia Raya sebenarnya bukan sekadar lagu kebangsaan, tetapi juga inspirasi berbangsa dan bernegara.
4.3. Decrescendo Lagu-lagu Perjuangan Memasuki periode Orde Baru, nyaris tidak ada lagu-lagu perjuangan yang baru. Lagu Puing yang ditulis oleh Nortier Simanungkalit, komponis seangkatan Subronto Atmodjo, pada tahun 1966 tidak cukup kuat menggambarkan kehendak cinta tanah air, baik dari segi melodi maupun lirik sebagaimana berikut ini: Di Puing Peninggalan Kebesaran Negeriku/ Pemandangan memancarkan cinta pada tanahku Di sana kami bisikkan kasih cinta nan syahdu/ Meninggalkan puing hati membina sukma baru Hai puing yang teduh menyejukkan hati risau/ Tak slalu aku dapat bersimpuh di bawah naungmu Tugas kami slalu memanggil untuk tanah airku O Gusti pencipta cinta Bajakan smangat ku/ Tempa aku abdi tanah air Biar perih luka mengoyak dada/ Aku berjuang terus hingga bahagia, abadi. Bahkan, jika ingin ditelisik lebih jauh, tema perjuangan bangsa dan cinta tanah air pada masa Orde Baru lebih mengarah pada tema pembangunan 109
dan seruan berbakti pada negara. Ini tampak pada misalnya Mars Pemilu yang ditulis oleh komponis angkatan ‘45 Mochtar Embut pada 1971: Pemilihan umum telah memanggil kita/ Sluruh rakyat menyambut gembira/ Hak demokrasi Pancasila/ Hikmah Indonesia merdeka/ Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya/ Pengemban ampera yang setia/ Di bawah Undang-Undang Dasar ’45/ Kita menuju ke pemilihan umum Begitu juga dengan lagu Mars Keluarga Berencana, yang ditulis pula oleh Mochtar Embut: Keluarga berencana sudah waktunya/ Janganlah diragukan lagi Keluarga berencana besar maknanya/ Untuk hari depan nan jaya Putra putri yang sehat/ Cerdas dan kuat/ Kan menjadi harapan bangsa Ayah ibu bahagia rukun raharja/ Rumah tangga tentram sentosa Warna yang sama ditunjukkan pula oleh lagu Mars Angkatan Bersenjata Republik Indonesia: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Setiap saat, siap sedia Mempertahankan, menyelamatkan/ Negara Republik Indonesia! Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Setiap saat, siap sedia Mempertahankan, menyelamatkan/ Negara Republik Indonesia! Tanah air kita indah cemerlang/ Bila kita olah rakyatpun senang. Bersatu dengan rakyat, bekerja/ Membangun serentak! Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ Setiap saat, siap sedia Mempertahankan, menyelamatkan/ Negara Republik Indonesia! 110
BUNYI MERDEKA
Keadaan yang demikian ini melahirkan semacam reaksi dari banyak musisi maupun pecinta musik, yang tidak melihat adanya keindahan dalam lagulagu mars tersebut. Orientasi kepada alam sebagai representasi dari cinta tanah air yang hilang pada lagu lagu mars Orde Baru, dihidupkan melalui lagu-lagu populer kritik sosial dengan cita rasa musikalitas progressive rock atau art rock. Guruh Sukarnoputra dengan Guruh Gypsy hadir di periode awal Orde Baru dengan mengajukan komposisi paduan musik-musik tradisional dan orkestrasi barat. Seolah-olah Guruh menggugat orientasi individual Orde Baru dengan orientasi kealaman musik. Namun musik Guruh Gypsy tidaklah mudah dipahami, dan kelewat canggih bagi rakyat Indonesia kebanyakan. Gugatan kritik sosial yang mengemuka sebenarnya muncul di tahun 1979 dalam sebuah lagu Bahana Jelata yang dibawakan oleh Rudi Damhudi. Sebagian dari lagu tersebut menyatakan: dunia semakin kelam tiada belas memandang, hai ningrat lihat sini hidup yang penuh noda duri/ tiada banding kaya dengan jelata/ hari hari santap jelaga sampai mati menjadi bangkai/ mana sejahtera mana sentosa ibu pertiwi Ini menarik karena kosakata “ibu pertiwi” kembali dipergunakan walau dalam lagu populer. Seolah lirik lagu ini berdialog dengan lirik lagu “Ibu Pertiwi”, yang ditulis oleh Ismail Marzuki dua dasawarsa sebelumnya: Kulihat Ibu Pertiwi/ Sedang bersusah hati/ Air matanya berlinang/ Mas intannya terkenang Pertanyaan yang senada dengan Rudi Damhudi lalu diajukan lagi oleh God Bless pada 1982 dalam lagu Balada Sejuta Wajah: “Adakah hari esok makmur sentosa bagi wajah wajah yang menghiba”. Pertanyaan-pertanyaan dari lagu-lagu kritik sosial ini menjadi penting oleh karena situasi sosial-ekonomi yang berlangsung pada masa Orde Baru berseberangan dengan semangat lagu-lagu mars yang diperdengarkan oleh pemerintah. Semangat keutamaan individual yang digaungkan oleh pemerintah Orde Baru seperti ditertawakan oleh Iwan Fals dalam lirik lagu Sore Tugu Pancoran. Lagu ini bercerita tentang si Budi, anak kecil yang bersusah payah berjualan koran di dekat Tugu Pancoran. Refrein dari lagu itu berbunyi: “Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu/ Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu 111
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu/ Dipaksa pecahkan karang lemah jarimu terkepal” Dalam hal ini, Iwan Fals seperti melakukan pembalikan tentang konsep alam yang pada masa Sukarno dipuja sebagai sumber ke-mulia-an Indonesia, lalu pada masa Orde Baru diabaikan, maka konsekuensinya alam itu sesuatu yang menindas anak-anak. Nada kritik sosial yang lebih tajam muncul dari lagu-lagu aktivis mahasiswa di era akhir 1980an. Salah satunya adalah lagu Aku Anak Indonesia yang digubah oleh seniman aktivis Yayak “Kencrit” Yatmaka. Lirik lagu itu berbunyi demikian: Aku anak Indonesia/ Aku punya cita-cita/ Punya sawah, punya mobil/ Jadi menteri atau bupati Aku anak Indonesia/ Aku cinta Pancasila/ Apa daya uang tak punya/ sekolah pun aku binasa Indonesia kaya raya/ mengapa aku menderita/ tapi aku tetap gembira/ karna Indonesia merdeka Konsep tentang alam di sini menjadi sesuatu yang mengambang, sesuatu yang dipertanyakan oleh karena situasi sosial ekonomi seperti meniadakan alam. Ini memang satu kondisi yang di satu sisi membingungkan dan di sisi yang lain menyedihkan. Ia membingungkan karena hampir seluruh pemasukan pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru berasal dari industri ekstraktif sumber daya alam, kayu dan minyak. Tetapi, lagu-lagu yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru cenderung mengabaikan keberadaan Alam. Pun ia menyedihkan karena Alam dan Ibu Pertiwi lalu seperti tidak memiliki ke-Mulia-an seperti yang tercantum dalam stanza kedua Indonesia Raya. Keadaan di muka di dalam banyak hal lalu disuarakan oleh puisi-puisi Rendra, seperti misalnya yang berjudul Sajak Pertemuan Mahasiswa yang salah satu baitnya berbunyi: Kenapa maksud baik dilakukan tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya. Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota. Perkebunan yang luas hanya menguntungkan segolongan kecil saja. 112
BUNYI MERDEKA
Alat-alat kemajuan yang diimpor tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya. Tentu kita bertanya: “Lantas maksud baik saudara untuk siapa?” Sekarang matahari, semakin tinggi. Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala. Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya: Kita ini dididik untuk memihak yang mana ? Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini akan menjadi alat pembebasan, ataukah alat penindasan? Di awal tahun 1990an sebuah lagu ‘kebangsaan’ tandingan muncul dari kalangan gerakan mahasiswa. Lagu tersebut merupakan karangan beberapa mahasiswa Universitas Gadjah Mada, saat menggencarkan aksi mogok makan menuntut demokratisasi lembaga pemerintahan mahasiswa di kampus tersebut. Aksi tersebut dilaksanakan di suatu malam November 1991. Lagu itu berjudul Darah Juang, yang digubah oleh John Tobing, sedang liriknya dibuat oleh Budiman Sudjatmiko dan Dadang Juliantara: Di sini negeri kami, tempat padi terhampar/ samudranya kaya raya, negeri kami subur Tuhan Di negeri permai ini, berjuta rakyat bersimbah luka/ anak kurus tak sekolah, pemuda desa tak kerja Mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar/ Bunda relakan darah juang kami, padamu kami berjanji Menariknya lagu ini berkumandang di setiap demonstrasi mahasiswa pada periode 1990-an dengan disertai Sumpah Mahasiswa yang berbunyi: Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah: Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah: Berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah: Berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan Kemunculan lagu dan Sumpah Mahasiswa di muka, kontan menggegerkan iklim politik pemerintahan Orde Baru. Ini karena lagu Darah Juang walaupun tidak berirama mars sebagaimana Indonesia Raya, tetapi mengambil 113
kembali ruang cinta tanah air, ruang ke-alam-an yang terkubur, ditimbun oleh lagu-lagu mars pemerintah Orde Baru yang mengabaikan alam. Sementara Sumpah Mahasiswa menegaskan kembali hakikat kepemudaan yang pernah tumbuh di awal masa pergerakan di awal abad ke-20. Kontan, tuduhan dan stigma ‘pemberontak’ atau ‘komunis’ dilekatkan kepada semua aktivitas mahasiswa yang menyuarakan kedua ‘nyanyian’ perjuangan itu, kendati para aktivis tersebut juga menyanyikan Indonesia Raya dan mengibarkan bendera Merah-Putih. Bahkan, di dalam banyak aktivitas demonstrasi yang dilakukan oleh aktivis mahasiswa pada periode 1990-an, berbagai penangkapan dan pemenjaraan dilakukan oleh aparat kepolisian ataupun aparat militer pemerintah Orde Baru. Singkatnya, semangat cinta tanah air, semangat perjuangan direbut oleh aktivis tahun 1990an, dan semangat ini semakin diperkuat dengan munculnya puisi Wiji Thukul yang berjudul Peringatan: Peringatan jika rakyat pergi ketika penguasa pidato kita harus hati-hati barangkali mereka putus asa kalau rakyat bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri penguasa harus waspada dan belajar mendengar bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: lawan! Ruang merebut kembali ini bisa tercipta sebenarnya oleh karena keberadaan pemerintah Orde Baru yang cenderung melemahkan demokrasi 114
BUNYI MERDEKA
dan partisipasi rakyat, dan mencipta kesenjangan sosial yang tajam. Di permukaan kondisi sosial perkotaan terlihat tidak ada masalah, dan semuanya seperti berjalan aman-aman saja. Tetapi di balik itu semua, berlangsung sejumlah pengekangan kebebasan dan pengawasan terhadap siapa pun yang berani melancarkan kritik terhadap keberadaan pemerintah Orde Baru. Kekerasan yang dijalankan sebagai cara untuk melancarkan pembangunan banyak berpengaruh pada munculnya ketidakpuasan dari kalangan masyarakat bawah. Politik kekerasan dan intimidasi terhadap kritisisme berkembang sebagai sebuah kultur politik resmi negara Orde Baru. Keadaan di muka yang kemudian melahirkan ruang-ruang diskusi kecil, ruang-ruang berbagi pengetahuan terkait berbagai macam kritik terhadap pemerintahan Orde Baru, maupun pengetahuan tentang kesejarahan Indonesia. Tidak bisa dipungkiri kehadiran novel-novel tetralogi Pramoedya Ananta Toer, dan Di Bawah Bendera Revolusi karya Sukarno berikut wacana sejarah Indonesia yang ditulis oleh berbagai intelektual kritis dari dalam dan luar negeri seperti misalnya Arief Budiman dan Ben Anderson, sangat berpengaruh terhadap pembentukan kesadaran kritis. Ruang-ruang tersebut, yang kerap diselenggarakan secara sembunyi-sembunyi juga yang melahirkan berbagai macam bentuk organisasi perlawanan, dan penerbitan alternatif, mengingat pemerintah Orde Baru sangat ketat menyensor semua bentuk publikasi media massa. Awalnya munculnya perlawanan-perlawanan dari kalangan mahasiswa dalam bentuk demonstrasi dengan sumpah dan lagu di muka kerap dianggap oleh aparat pemerintah Orde Baru sebagai bentuk kenakalan remaja. Tetapi begitu perlawanan-perlawanan tersebut mulai bersentuhan dengan macam-macam problem kesenjangan sosial yang dialami oleh masyarakat, sebagaimana yang terjadi pada kaum tani Kedung Ombo di akhir 1980an dan kaum buruh di Medan, Bogor, Solo, Surabaya sekitar 1992-1995, maka operasi intelijen pemerintah Orde Baru diberlakukan untuk menumpas perlawanan-perlawanan tersebut. Gerak perlawanan ini semakin mendapatkan dukungan ketika kalangan jurnalis bereaksi menolak pemberedelan terhadap majalah Tempo, Editor dan tabloid Detik, setelah sebelumnya terjadi pemberedelan terhadap tabloid Monitor. Bahkan, gelombang perlawanan ini semakin membesar dan menguat ketika terjadi huru-hara 27 Juli 1996, saat massa rakyat pendukung Partai Demokrasi Indonesia menolak kepemimpinan PDI Soerjadi dan lebih memilih Megawati Sukarnoputri sebagai pimpinan mereka. Ini masih ditambah lagi dengan sejumlah keresahan dari pimpinan partai politik non Golkar di daerah yang waswas 115
dengan operasi pemerintah untuk memenangkan pemilu 1997. Karenanya ketika terjadi gelombang gerakan mahasiswa pada 1998 di berbagai kota di seluruh Indonesia, sebenarnya itu merupakan konsekuensi dari proses ‘pengambilalihan’ wacana kebangsaan dari tangan pemerintah Orde Baru ke tangan rakyat. Indonesia Raya seperti kembali menemukan rohnya, ketika disandingkan dengan nyanyian lagu Darah Juang dan pengucapan Sumpah Mahasiswa.
116
V Coda Kebangsaan Cerita tentang Indonesia Raya di dalam banyak hal telah melahirkan beragam pengetahuan baru. Kerap tumpuan pengetahuan masyarakat tentang lagu Indonesia Raya berhenti pada kejelasan identitas nama pencipta lagu. Tetapi siapakah W.R. Soepratman, dan atas dasar apa dirinya tetiba bersemangat mencipta lagu Indonesia Raya tidak banyak yang mengetahuinya. Sekalipun terdapat banyak literatur cetak, maupun informasi ringkas dari berbagai situs web tentang Indonesia Raya dan W.R. Soepratman, tetapi belum kelihatan jelas bagaimana dampaknya terhadap masyarakat. Apalagi terkait telisik terhadap gerak nada, irama serta syair lagu Indonesia Raya, nyaris senyap. Pendeknya, dengan tanpa mengurangi rasa hormat terhadap banyak pihak yang berupaya memberikan penjelasan tentang Indonesia Raya semuanya belum mampu menegaskan logika dan signifikansi lagu Indonesia Raya.
5.1. Keaslian dan Kebangsaan Di lain sisi, tidak bisa dipungkiri juga jika lagu Indonesia Raya menjadi hafalan sambil lalu bagi kebanyakan orang Indonesia. Ia tak lebih sebuah syarat untuk membuka acara-acara resmi di instansi pemerintah, upacara rutin maupun upacara peringatan hari besar. Pun banyak kali di berbagai ruang media sosial sempat muncul polemik apakah benar Indonesia Raya itu karya asli W.R. Soepratman. Karenanya memang diperlukan puluhan atau bahkan mungkin ratusan halaman untuk menjelaskan apa, mengapa, dan bagaimana Indonesia Raya dari berbagai macam sudut pandang. Ini demi menetapkan Indonesia Raya sebagai bagian dari kehidupan bangsa Indonesia dan bukan sekadar tinta di atas segel bermeterai pemerintah, ataupun tinta paten keaslian lagu Indonesia Raya. Kerangka dasar untuk mengerti Indonesia Raya, untuk adanya kejelasan tentang Indonesia Raya, adalah pemahaman bahwa lagu Indonesia Raya adalah hasil karya perjuangan rakyat Indonesia di dalam mewujudkan kemerdekaannya. Tentunya pertanyaan kemudian muncul, “Bukannya W.R. Soepratman yang bikin lagu itu?”. Benar, tidak ada yang salah dengan W.R. Soepratman. Teta-
pi bagaimana lagu tersebut menjadi bagian dari gerak perjuangan rakyat Indonesia, itu bukan hasil karya W.R. Soepratman seorang. Mulai dari ide menciptakan lagu Indonesia Raya, sampai dengan bagaimana Indonesia Raya itu lalu menjadi masalah bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan penetapannya kemudian sebagai lagu kebangsaan Republik Indonesia, semuanya adalah kerja banyak orang, kerja rakyat Indonesia. W.R. Soepratman tidak mungkin iseng-iseng membuat lagu tersebut, karena fakta sejarah menunjukkan bahwa dirinya terpikat dengan semacam ‘sayembara’ menulis lagu di sebuah surat kabar di masa itu. Pada saat ingin menampilkan lagu itu di Kongres Pemuda Kedua pada 1928, W.R. Soepratman perlu berbicara dengan Soegondo Djojopoespito, salah satu tokoh pergerakan nasional di masa itu. Ini mengingat syair lagu tersebut banyak menggunakan kata ‘Indonesia’ dan ‘merdeka’, sehingga timbul kekhawatiran akan membuat masalah terhadap jalannya kongres (penghentian) maupun peserta kongres (penangkapan). Begitu juga ketika lagu tersebut mulai beredar di pasaran melalui perusahaan rekaman piringan hitam Yo Kim Tjan, dan kemudian para pandu menyiul-nyiulkannya untuk mengolok-olok aparat keamanan kolonial, semuanya adalah bagian dari kehendak rakyat untuk Merdeka. Akan tetapi, kritik ataupun keraguan terhadap Indonesia Raya sebagai sebuah karya musik bukannya tidak pernah muncul. Tidak lama setelah lagu Indonesia Raya diperdengarkan di tahun 1928, muncul kritik dari para musisi Jawa yang sudah lama berinteraksi dengan sejumlah seniman Eropa. Salah satu kritiknya mengatakan bahwa lagu Indonesia Raya terlalu bernuansa Eropa, kurang membawa nilai-nilai ketimuran. Kritik tersebut bisa dimengerti, karena situasi musik klasik dunia pada masa itu sedang bergerak ke arah nasionalisme musik. Keterpikatan Debussy pada suara gamelan Jawa saat tampil di Paris, hingga komponis Leopold Godowsky berkunjung ke tanah Jawa dan membuat komposisi The Java Suite yang semacam ‘menerjemahkan’ gamelan ke dalam piano, semuanya membesarkan hati para seniman musik Jawa. Tetapi perlu juga dipahami bahwa W.R. Soepratman bermusik dengan disiplin musik Eropa melalui karya-karya Chopin, Beethoven, Liszt, Tchaikovsky dan sebagainya, yang dipelajarinya saat berlatih biola. Karenanya tidak mungkin juga menuntut W.R. Soepratman membuat lagu kebangsaan yang bernada Jawa, sementara para musisi Jawa itu tidak turut dalam sayembara membuat lagu kebangsaan. Keraguan yang selanjutnya muncul dari komponis Amir Pasaribu di tahun 1950-an. Beliau menduga lagu kebangsaan Indonesia Raya mengambil ba118
BUNYI MERDEKA
nyak nada dari lagu Pinda Pinda Lekka Lekka, sehingga kurang elok jika lagu tersebut dipertahankan sebagai lagu kebangsaan. Komponis Kusbini yang kemudian menyampaikan kritik Amir Pasaribu kepada Presiden Sukarno, dan Sukarno menjawab, “Sebaiknya yang sudah diputuskan secara politis jangan dianulir karena hal yang estetis.” Dua bentuk keraguan di muka adalah representasi dari semacam polemik tentang makna sosial dari musik. Aras pertama adalah yang menghendaki esensi musik harus mencerminkan suara-suara yang khas dari nasion atau bahkan etnis tertentu (nasionalisme musik), sementara yang kedua adalah yang menegaskan pada fungsi sosial dari musik. Setiap pilihan dari kedua aras itu membawa konsekuensi yang tidak sederhana. Berpihak pada aras pertama memiliki konsekuensi musik menjadi tidak mudah dipahami oleh massa rakyat. Dalam sejarah politik musik klasik Rusia, ada sukses Aram Katchaturian yang berhasil memadukan nada-nada Armenia ke dalam komposisi musik klasik Eropa. Tetapi itu menjadi sulit bagi komponis Dmitri Shostakovich yang berpikir bahwa musik adalah capaian seni manusia yang harus dikembangkan ke titik optimalnya, karena berhadapan dengan rezim Stalin yang menuntutnya membuat lagu-lagu berirama mars sebanyak mungkin. Demikian marahnya Shostakovich sehingga dirinya membuat sebuah komposisi yang menggambarkan suara dentuman bom dan penderitaan akibat perang sebagaimana yang tampak dalam Simfoni Leningrad. Sebuah komposisi yang tidak mudah dinikmati kendati memiliki nilai estetika yang luar biasa. Sementara pilihan pada aras kedua, ada konsekuensi nilai estetis dari musik menjadi runduk, dengan pilihan-pilihan nada yang sederhana, ritmis yang sederhana, pun harmoni yang begitu-begitu saja. “Harmoni tiga jurus,” kata salah seorang veteran pengajar musik Institut Kesenian Jakarta. Yang dimaksud beliau adalah harmoni akor C, F, G, dan variasi minornya yaitu akor Am, Dm, Em yang digunakan secara silih berganti dalam sebuah lagu. Tetapi itu bukan masalah bagi para komponis lagu-lagu perjuangan rakyat, karena yang lebih penting adalah apakah lagu tersebut membangkitkan semangat rakyat untuk berjuang atau tidak. W.R. Soepratman yang terdidik oleh disiplin musik klasik Eropa, dan bermain musik untuk sebuah klub jazz, pasti paham dengan pilihan-pilihan dari kedua aras di muka. Beliau mencoba membuat komposisi dengan variasi permainan melodi yang menggambarkan semacam panorama seseorang yang hendak meloncat terbang bebas. Itulah sebabnya lagu Indonesia 119
Raya, jika diperhatikan, didengarkan lamat-lamat adalah yang serupa gradasi dari nada-nada tengah ke nada-nada tinggi. Barangkali W.R. Soepratman mengambil nada-nada Indonesia Raya dari lagu Pinda Pinda Lekka Lekka, pun barangkali dari segi ritmis beliau mengambil contoh dari Simfoni 40 Mozart. Bahkan mungkin refrein lagu Indonesia Raya adalah gambaran kemarahan seorang ibu terhadap anaknya, sebagaimana “Der Holle Rache” dalam komposisi opera Die Zauberflote (The Magic Flute). Tetapi, apa pun pilihan W.R. Soepratman semuanya ditujukan untuk membangun semangat berjuang rakyat Indonesia. Semua komposisi yang dicipta oleh W.R. Soepratman adalah lagu-lagu perjuangan untuk rakyat Indonesia hingga akhir hayatnya di tahun 1938. Sayang sesudah kritik Amir Pasaribu terhadap Indonesia Raya, tidak ada komponis ataupun peneliti musik lain yang mencoba mengajukan keraguan yang lebih tajam, ataupun memeriksa karya-karya W.R. Soepratman yang lain. Setidaknya dari sana bisa dilihat secara lebih mendalam bagaimana Indonesia Raya dan karya-karya W.R. Soepratman yang lain berperan di dalam membentuk kesadaran politik anti kolonialisme, sekalian menguji pengetahuan musik yang terdapat dalam karya-karya W.R. Soepratman. Ini agar terdapat garis batas yang cukup tegas antara W.R. Soepratman dengan Chrisye yang diduga menjiplak lagu Footlose karya Kenny Logins, melalui lagu Hip Hip Hura; ataupun dengan Fahmi Shahab diduga mencontek lagu Coffee Rumba untuk lagu Kopi Dangdut.
5.2. Titi Nada Kebangsaan Seandainya lagu ini hendak dipadankan dengan kerangka berpikir politik perjuangan kebangsaan, maka ia adalah konsep tentang bangsa Indonesia dan juga keyakinan akan kemutlakan perjuangan. Ini terlihat dalam dua baris pertama lagu tersebut, yang sudah dikemukakan dalam bagian sebelumnya dari buku ini. Tepatnya sebuah dialektika antara Indonesia yang subjektif dan Indonesia yang objektif. Indonesia yang bebas merdeka dan Indonesia yang berdaulat sejajar dengan bangsa-bangsa lain, dan oleh karenanya perjuangan menjadi Indonesia harus tetap melekat pada ke-alaman Indonesia, yang sarat dengan keanekaragaman suku, bangsa dan bahasa, pun keanekaragaman flora dan fauna. Semuanya yang menjadi dasar dari pembentukan karakter keindonesiaan. 120
BUNYI MERDEKA
Hal kedua, sebagai konsekuensi dari keanekaragaman adalah kebutuhan untuk meramu berbagai keberbedaan dalam satu ruang bersama dari Sabang sampai Merauke. Kebersatuan ini mensyaratkan adanya upaya untuk memperhatikan, menghormati sumber-sumber penghidupan rakyat sebagai tanah yang hidup, dari frasa “hiduplah tanahku” pada lagu Indonesia Raya. Kebersatuan ini bukan sekadar pengertian dan penerimaan akan keberagaman, tetapi juga pengakuan bahwa semua yang beragam adalah bagian dari Indonesia. Sumber penghidupan mereka yang berada di Pulau Sulawesi adalah bagian dari kehidupan di Pulau Jawa. Rumput laut yang dibudidayakan di perairan Indonesia Timur harus berguna bagi kesehatan mereka yang tinggal di Kepulauan Mentawai. Demikian juga sebaliknya, dan sudah tentu segala sumber penghidupan itu harus bisa memakmurkan masyarakat pengolahnya. Hal ketiga yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk mengupayakan perjuangan menjadi Indonesia dibutuhkan kekuatan spiritual, kekuatan yang melampaui batas-batas keduniawian. Kekuatan yang menjadi dasar keyakinan untuk berperilaku saling menghormati satu dengan yang lain, kekuatan yang menempatkan manusia sebagai makhluk hidup tertinggi, dan juga kekuatan yang selalu memberi harapan akan perubahan dan kemajuan. Pun kekuatan yang melahirkan cita rasa kebudayaan dan kepribadian bangsa. Itulah kekuatan Yang Maha Kuasa, sebagaimana terbunyi dalam seruan “marilah kita mendoa Indonesia bahagia” pada stanza 2 Indonesia Raya. Karenanya menjadi jelas kemudian bahwa Indonesia Raya merupakan pandu bagi segenap warga negara Republik Indonesia untuk mulai belajar memahami Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara. Bahkan lebih praktis lagi, Indonesia Raya adalah pandu bagi Trisakti yang menegaskan perihal Kedaulatan Politik, Kemandirian Ekonomi dan Kebudayaan yang Berkepribadian. Karenanya Indonesia Raya adalah pandu bagi bunyi merdeka, pandu Ibu Pertiwi. Dalam kondisi yang berlangsung saat ini, di tengah ancaman krisis sosial-ekonomi, maupun terorisme internasional, lagu Indonesia Raya menjadi semakin penting untuk diajarkan secara lengkap tiga stanza. Bukan hanya berlatih untuk menyanyikannya pada setiap kesempatan pembukaan acara-acara resmi atau saat kelas-kelas sekolah dimulai, tetapi juga mempelajari makna di balik lirik-lirik yang tertulis di sana. Hampir semua frasa dalam lagu Indonesia Raya merupakan refleksi dari pengalaman seja121
rah pembentukan bangsa Indonesia. Kedua, nilai-nilai yang terkandung dalam Indonesia Raya perlu selalu dipertemukan dengan realitas sosial. Dalam hal ini pengertiannya adalah mengupayakan agar nilai-nilai seperti kesadaran akan kebangsaan, kesadaran akan kebebasan dan kesetaraan, keadilan sosial, dan ke-Tuhanan Yang Maha Esa mewujud dalam keseharian. Ini bukan hal yang mudah, mengingat perkembangan situasi sosial-budaya saat ini cenderung mengarah pada munculnya kesadaran yang menolak keberagaman, dan atau yang biasa disebut politik identitas. Arahan W.R. Soepratman agar setiap warga negara menyelamatkan putra-putri Indonesia sama sekali tidak mengandaikan identitas suku, bangsa, bahasa, maupun agama tertentu. Sebaliknya arahan itu mensyaratkan penerimaan dan pengakuan bahwa semua yang berada di wilayah Indonesia adalah yang bebas, yang sama dan sederajat. Karenanya sekali lagi Indonesia Raya adalah Pandu Bunyi Merdeka.
122
Hampir semua frasa dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya merupakan refleksi dari pengalaman sejarah pembentukan bangsa Indonesia. Indonesia Raya merupakan pandu bagi segenap warga negara Republik Indonesia untuk mulai belajar memahami Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara. Bahkan lebih praktis lagi, Indonesia Raya adalah pandu bagi Trisakti yang menegaskan perihal Kedaulatan Politik, Kemandirian Ekonomi dan Kebudayaan yang Berkepribadian. Karenanya Indonesia Raya adalah pandu bagi bunyi merdeka, pandu Ibu Pertiwi.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Kesenian