REKONSTRUKSI ACEH N0. 2 ■ 20 AGUSTUS 2005 ■ DUA MINGGUAN
HIKAYAT Bisa dihitung dengan jari, kegiatan dan bantuan pendidikan yang mengedepankan program pendidikan jangka panjang untuk anak-anak yatim piatu di Aceh. Baca cerita sampul di halaman 4
Macam bantuan keunoe meusapat Ka teuka ramhmat keu wareh lingka Bantuan ka na keu bantu rakyat Udep beumangat jinoe tarasa Beudoh wareh droe tajak hareukat Tatem jak meukat lagee biasa Tanyoe tieb watee pujoe hadarat Tajak hareukat bek sagai reuda ■ HILMI HASBALLAH
2 Indikasi Korupsi di Aceh Barat
3 Bila Batas Tanah Menghilang
■ MANTO
PLTD Apung itu “Nangkring” di Tanah Martini
4
Asri Zaidir Banda Aceh
[email protected]
M Pada Merekalah Aceh Bersandar
7 Pulau Podiamat, Riwayatmu Kini
ARTINI Juned (58) jengkel bukan kepalang. Kapal Pembangkit Tenaga Listrik Disel (PLTD) apung milik PLN Aceh yang berbobot mati 4.000 ton itu, masih saja “nangkring” di atas tanahnya. Pensiunan kantor Gubernur NAD ini sudah sering menghubungi pihak terkait meminta penjelasan perihal status tanah rumahnya. Apalagi dia mendengar pemerintah telah merencanakan kapal ‘raksasa’ itu jadi monumen keganasan tsunami 26 Desember tahun lalu. Namun Usaha Martini mengalami jalan buntu. Hingga delapan bulan pascatsunami, tidak ada tanggapan. Yang
ada lokasi PLTD apung itu ramai dikunjungi orang yang melakukan tur tsunami. “Saya sudah lapor masalah ini ke kantor camat. Dan hingga saat ini belum ada tanggapan,” kata Martini yang tinggal di sana sejak tahun 1964. Minta diselesaikan Di bawah PLTD apung itu ada dua rumah. Yaitu rumah Martini dan sepupunya. Tanah Martini sendiri pernah satu kali diukur oleh pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun setelah itu tak ada kelanjutan lagi. Tak heran janda ini menjadi berang. Buntutnya, Martini ‘mengultimatum’ pihak terkait dengan rencana memagar tanah yang menjadi haknya. Tindakan Martini cukup berralasan. Apalagi Ia mendengar selentingan kabar ada warga
yang bernasib sama, telah memperoleh ganti rugi dari pemerintah sebesar Rp 500 ribu. “Saya bingung dengar kabar itu,” kata Martini. Harga tanah mahal Untuk memastikan, Martini ‘mengusut’ kabar yang ternyata omong kosong itu. “Bagaimana mungkin ada yang mau diganti segitu. Harga tanah di kawasan ini kan mahal,” sergahnya. Menurut Martini tanah Punge Blang Cut, Meuraxa, Banda Aceh sebelum tsunami harganya Rp 400 ribu per meter. Sehingga aneh apabila ada yang mau diganti dengan harga segitu. Setuju untuk monumen Sebenarnya Martini sangat setuju perihal pembangunan monumen ini. Namun pemerintah dapat lebih arif dalam menentukan ganti rugi tanah warga seperti dirinya. Jangan sampai nantinya ada
perbedaan harga antara warga satu dengan warga lainnya. “Kita duek pakat dalam pemutusan harga. Saya kasih penawaran, pemerintah yang memutuskan nantinya,” ucap Martini memberi solusi. Martini sangat mengharapkan ganti rugi cepat terealisasikan. Tujuannya agar dia cepat memperoleh bayangan akan nasibnya ke depan. Maklum, hingga saat ini, dia masih menumpang di rumah saudaranya, yang tak jauh dari lokasi “nangkring”nya PLTD. “Kalau bisa agak cepat. Bagaimana pun tidak enak tinggal di rumah orang,” ucap Martini sendu. ■ Untuk membaca cerita pengukuran tanah korban tsunami, baca Rubrik Fokus halaman 3
2
ANTIKORUPSI
CEUREUMeN
Indikasi Korupsi di Aceh Barat
■ ■ ■ TANYA JAWAB Mahasiswa Mendapatkan Tempat Tinggal T: Apakah mahasiswa bisa mendapatkan tempat tinggal yang layak untuk kuliah? Toni Zati (Melalui email) Mahasiswa J: Untuk mahasiswa yang kuliah di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) atau IAIN Ar-Raniry, tidak ada bantuan rumah atau uang langsung biaya menyewa rumah. Menurut Rektor IAIN ArRaniry Prof Yusny Saby, pihaknya mencari solusi dengan berencana membuat sejumlah asrama mahasiswa. Untuk merealisasikannya, telah diajukan usulan ke berbagai lembaga seperti PT Arun, BRR dan lainnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Unsyiah untuk membantu 22.805 mahasiswanya. Selama ini bantuan yang dapat diberikan langsung kepada mahasiswa dalam bentuk beasiswa bagi yang kurang mampu atau berprestasi. Jika masih tersisa, tentu beasiswa ini bisa digunakan untuk menyewa sebuah kamar kost. Pascatsunami, Unsyiah menggratiskan biaya SPP selama satu semester bagi seluruh mahasiswanya tanpa kecuali. Sedangkan IAIN juga menggratiskan SPP selama dua semester bagi seluruh mahasiswanya. ■
RS Jiwa Gratis T: Apakah Rumah Sakit Jiwa Banda Aceh masih memberikan pelayanan kesehatan gratis untuk pasien rawat inap yang menderita gangguan jiwa? Nurbaiti Kembang Tanjung, Pidie J: Rumah Sakit Jiwa milik pemerintah di Banda Aceh masih memberikan pelayanan kesehatan dan rawat inap gratis bagi pasien
mana pun. Pelayanan gratis diberikan sepanjang masih ada subsidi dari APBN dan APBD. Sebelum tsunami, hanya yang mempunyai Kartu Sehat (KS) yang mendapat pelayanan gratis. Tetapi sekarang tanpa kecuali. Anda bisa menghubungi 0651-32010 ■
Mencari Saudara yang Hilang T: Saya meyakini saudara saya masih hidup meski terkena tsunami. Siapa yang bisa membantu saya untuk membantu mempertemukan dengannya? Azizah Darussalam Banda Aceh J: Anda bisa melapor dulu identitas lengkap Anda dan saudara Anda itu, antara lain kepada Dinas Sosial NAD ataupun Palang Merah. Mereka akan berusaha sebisa mungkin untuk mencarinya dan mempertemukan dengan Anda jika masih hidup. Anda bisa menghubungi PMI dengan nomor 0651- 7410504 atau Dinas Sosial dengan nomor 0651- 7406054 ■
Perbedaan Bantuan
Rumah
T: Mengapa ada perbedaan pembuatan rumah. Ada masyarakat yang diberikan rumah permanen, ada pula yang semipermanen? Murni Lhoknga, Aceh Besar J: Istilah permanen dan semipermanen hanya istilah tradisional. Sebetulnya, setiap rumah yang didirikan di atas tanah sendiri adalah rumah permanen, meskipun berupa rumah panggung, rumah setengah tembok, ataupun rumah tembok. Bentuk rumah apa pun layak dihuni, antara lain sepanjang memenuhi syarat kesehatan dan keamanan. ■
Anda bisa mengirimkan pertanyaan apa pun yang ingin Anda ketahui, terutama mengenai masalah rekonstruksi dan rehabilitasi. Redaksi akan mencarikan jawaban untuk pertanyaan Anda. Kirimkan ke PO BOX 061 Banda Aceh 23001 atau email
[email protected] dengan mencantumkan “Rubrik Tanya Jawab”
Barak Beratap Rumbia di Beureugang Aceh Barat Said Kamaruzzaman Banda Aceh
[email protected]
A
TAP barak itu terbuat dari daun rumbia. Pemasangannya jarang-jarang, karenanya banyak atap yang sudah bocor. Para pe ngungsi yang tinggal menyiasati kebo-coran itu dengan menambal-nya dengan kardus. Begitu juga dengan 16 unit MCK yang dibangun di lokasi barak. Kakus yang dibangun tersumbat dengan tanah karena tidak dibuat lubang. Inilah bentuk barak pe ngungsi korban tsunami di Beureugang, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat. Tambahan biaya Dengan keadaan yang serba minimalis ini, Badan Pekerja Solidaritas untuk Anti-Korupsi (BP.SuAK) menemukan indikasi penyimpangan dalam pembangunan 10 unit barak Beureugang tersebut. Dana pembangunan barak ini bersumber dari bantuan Depsos (Departemen Sosial) sebesar Rp 240.000.000. “Karena dananya kecil maka bentuk baraknya seperti itu,” kata Teuku Neta Firdaus dari SuAK kepada Ceureumen. Belakangan Pemda Aceh Barat menganggarkan kembali dana APBD 2005 sebesar Rp 434.770.000 untuk menutupi kekurangan anggaran dalam pembangunan barak yang pada tahap awal telah dibantu oleh Depsos sebesar Rp 240.000.000 itu. Nah, jika anggaran yang diajukan sebagai tambahan itu disetujui DPRD Aceh Barat, maka total biaya pembangunan barak tersebut nantinya mencapai Rp 674.770.000. Jumlah yang fantastis! Bila Anda menjumpai penyimpangan atau indikasi korupsi di wilayah Anda di Aceh Barat, Anda dapat menghubu ngi Solidaritas untuk Anti-Korupsi (SUAK) Jalan Sisingamangaraja no 48, Desa Gampa Johan Pahlawan, Meulaboh. Telepon: 06557006850. Hubungi Teuku Neta Firdaus
■ MAHDI ABDULLAH
“Kami berharap DPRD Aceh Barat untuk mengkaji kembali rencana pengalokasian dana untuk Barak Beuregang,” kata Neta. Tidak sesuai Menurut Neta, pengerjaan proyek barak itu juga tidak sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang disusun oleh Dinas Cipta Karya dan Sumber Daya Air Pemerintah Kabupa ten Aceh Barat. Kendati beralasan karena sedang darurat sehingga tidak memiliki RAB, menurut SuAK itu bukan alasan. “Tidak dibenarkan memba ngun proyek yang tidak sesuai dengan RAB karena bertentangan dengan Pasal 43 UU No 18 Tahun 1999,” kata Neta lagi. Darurat Seorang kontraktor pelaksana memberi alasan mengapa barak tersebut dibangun tidak
sesuai dengan RAB. Salah satu alasannya adalah karena situasi saat itu yang darurat. “Barak dibangun pada kondisi darurat. Material bangunan sulit didapat dan harganya pun mahal. Sedangkan yang lain-lain, seperti atap yang dibuat dari daun rumbia itu dibangun sesuai dengan RAB,” kata seorang kontraktor yang membangun barak di Beureugang itu. Sementara itu, Kepala Dinas Cipta Karya dan Sumberdaya Air Aceh Barat Ir Hilal Hasballah juga mengakui barak tak sesuai RAB. “Pembangunan saat itu kan dalam keadaan darurat. Tapi, kita akan sempurnakan kembali. Makanya kita belum bayar sepeser pun kepada kontraktornya, karena memang belum sempurna,” katanya kepada Ceureumen. ■
Beberapa Indikasi Barak Beuregang tidak Sesuai RAB 1. Dalam RAB tercantum pemakaian kayu ukuran 7/10. Ter nyata ukuran kayu dimaksud tidak dipergunakan sama sekali (fiktif), sementara harga ukuran kayu ini per kubiknya Rp 1.260.000. Bila dikalikan per unit barak maka kerugian negara dan daerah mencapai Rp 12.660.000. 2. Kayu yang dipakai untuk dinding dan lantai, harga yang tercantum di dalam RAB mencapai Rp 1.300.000 per m3. Namun di lapangan, yang digunakan hanya kayu-kayu sembarang dengan kualitas mutu dan harganya lebih murah, yaitu Rp 1.000.000 per m3 (harga ini sudah termasuk ongkos angkut). Hitungan mark-up yang terjadi dalam pengadaan kayu untuk pembangunan 10 unit barak tersebut mencapai Rp 45.015.000. 3. Pembuatan 16 unit MCK di lokasi Barak Beureugang terkesan mubazir, karena pembangunan dilakukan asalasalan dan tidak dapat difungsikan. Akibatnya, pengungsi tidak dapat menggunakan fasilitas MCK tersebut. Sementara anggaran yang diplot untuk pembangunan 16 unit MCK sebesar Rp 71.469.760. ■
■ REDAKSI CEUREUMeN ■ Pemimpin Redaksi: Sim Kok Eng Amy ■ Sekretaris Redaksi: Siti Rahmah ■ Redaktur: Nani Afrida ■ Wartawan: Mounaward Ismail, Said Kamaruzzaman ■ Koordinator Artistik: Mahdi Abdullah ■ Fotografer: Hotli Simanjuntak ■ Dengan kontribusi wartawan lepas di Aceh ■ Alamat: PO BOX 061 Banda Aceh 23001. Email:
[email protected] ■ Percetakan dan distribusi oleh Serambi Indonesia. CEUREUMeN merupakan media dwi-mingguan yang didanai dan dikeluarkan oleh Decentralization Support Facility (DSF atau Fasilitas Pendukung Desentralisasi). DSF merupakan inisiatif multi-donor yang dirancang untuk mendukung kebijakan desentralisasi pemerintah dengan meningkatkan keselarasan dan efektifitas dukungan dari para donor pada setiap tingkatan pemerintahan. Misi dari CEUREUMeN adalah untuk memberikan informasi di Aceh tentang rekonstruksi dan berita yang bersifat kemanusiaan. Selain itu CEUREUMeN diharap bisa memfasilitasi informasi antara komunitas negara donor atau LSM dengan masyarakat lokal.
FOKUS
3
CEUREUMeN
Bila Batas Tanah Menghilang Baharuddin Keusyik Lamteungoh serius. ”Kami telah memberikan AZALI Yahya, Kepala warga yang tidak punya tanah, Badan Pertanahan Na- tanah sebesar sepetak rumah sional (BPN) Aceh menga- untuk dibangun,” katanya. ku sedang sibuk berat. PekerDesa Lamteungoh, Kecamajaan mengukur tanah hingga tan Peukan Bada, memang memasuki bulan ke delapan mengaku tidak memiliki masabencana tsunami belum juga lah.Namun, tanah yang diukur selesai. Dari 13 desa di Kota- itu harus menunggu BPN unmadya Banda Aceh, baru 4 desa tuk mendapatkan sertifikat. yang selesai. ”Jadi bukan berarti tanah Mengukur tanah memang yang dipatok masyarakat bukan pekerjaan mudah. sudah resmi akan mendapat Apalagi batas tanahnya sudah sertifikat, tapi harus diukur hilang. Dibutuhkan ketelitian ulang BPN,” kata Razali lagi. ekstra keras untuk menghindari Bagaimana dengan warga perselisihan. yang tanahnya tenggelam kare“Untuk sementara ini sih be- na abrasi? lum ada masalah,” katanya ke”Mereka akan mendapatkan pada Ceureumen. penggantian dari pemerintah Bencana tsunami telah meng- dengan harga yang sesuai,” hilangkan batas tanah milik kata Razali. masyarakat sebanyak 250 ribu Wacana lain hektar. Sementara itu 60.000 Berbeda dengan Lamteubuah sertifikat rusak berat. ngoh yang langsung melakuBatas hilang kan pematokan tanah masingJangankan pihak BPN, pemi- masing warga, di Desa Lamlik tanah pun masih bingung bung Kecamatan Meuraxa, waruntuk menentukan tanah mere- ga punya wacana lain. ka secara pasti. Mereka berencana akan me”Kalau posisinya sih kita ratakan seluruh tanah dan tahu, tapi bataih jih kadang hana membangun perumahan seperjelaih (batasnya tidak jelas),” ti Perumnas dengan jalanan kata Zamzami, yang luas untuk menghindari Masyarakat memang telah tsunami kedua. Istilah itu disemelakukan pengukuran tanah but Land Consolidation (LC). secara manual sambil menungKendati itu merupakan gu pengukuran tanah resmi wacana baru, pihak BPN meoleh BPN. Desa Lamteungoh, nyarankan warga berpikir dulu. Kecamatan Peukan Bada, Aceh ”LC membuat semua warga Besar, misalnya. harus rela melepaskan hak atas ”Kami secara bergotong ro tanahnya. Baiknya jangan yong mengukur sendiri,” kata dulu,” kata Kepala BPN Aceh Razali. Namun Razali mengaku semuanya ada di tangan masyarakat. Kalau masyarakat merasa ”nyaman” dengan keputusan itu, silakan saja. ”Asal jangan jadi masalah,” ujarnya. Urusan tanah memang pelik, karena warga mulai bosan tinggal di tenda dan ingin segera kembali membangun rumah. Namun karena tidak adanya sertifikat tanah, rencana pembangunan rumah sering terhambat. Apalagi banyak LSM ingin ■ HOTLI membangun rumah MENGUKUR TANAH - Seorang warga asal Desa Lam Isek, Peukan Bada, sedang mengukur tanpa masalah sertitanah. fikat. ■
Asri Zaidir
Banda Aceh
[email protected]
R
Beberapa Desa di Banda Aceh yang Tenggelam karena Tsunami NAMA DESA
LUAS
Ulee Lheu, Meraxa Asoe Nanggroe, Meraxa Tibang, Syiah Kuala Alue Naga, Syiah Kuala Deah Baro, Syiah Kuala
67,5 16,8 230,8 242,6 178,2
SISA LUAS hektar hektar hektar hektar hektar
54 15,12 196,18 194,08 160,38
hektar hektar hektar hektar hektar ■ Sumber BPN
■ HOTLI
MEMBERI TANDA - Sepasang suami istri asal Desa Lam Isek, Peukan Bada, sedang memberi tanda di atas tanah mereka yang terkena tsunami.
Pengukuran Tanah di Desa Lambung
Semua Tanah akan Diratakan Asri Zaidir
D
Banda Aceh
[email protected]
ESA Lambung Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, terletak tak jauh dari pusat Kota Banda Aceh. Di desa inilah terdapat monumen perahu untuk mengenang keganasan tsunami yang meluluhlantakkan hampir setengah Kota Banda Aceh, akhir tahun lalu. Muktar Muklis (51) misalnya. Warga Desa Lambung ini kini kembali ke desanya kendati harus menumpang di balai desa yang dibangun sederhana, bersama 320 penduduk desa lainnya. “Saya belum mampu membangun rumah, jadi tinggal di sini,” kata Muklis yang “terpaksa” menitipkan anak gadisnya di rumah saudara. Sebenarnya ada beberapa LSM yang berniat membangun rumah. Tetapi tersandung masalah tanah yang belum selesai. Para aparat desa memang mengusulkan sebuah usul yang cukup ekstrim. Dan ada warga yang tidak setuju. Meratakan tanah Usul itu adalah merencanakan pembangunan sistem perumahan bergaya ala “ Londo”. Rumah sistem blok dengan tiap rumah seluas 450 meter berikut dengan jalan-jalannya yang lebar. Menurut keuchik Desa Lambung, Drs. Zaidi M Adan, tujuan menata desa mereka de ngan memakai sistem komplek antara lain bertujuan untuk mengantisipasi apabila kejadian serupa terjadi lagi di Aceh. “ Kami akan membangun rumah dengan gaya BTN, dan ber-blok. Kami tidak mau kebodohan terjadi dua kali. Rumah tidak teratur, jalan sempit. Itulah yang mengakibatkan banyak jatuh korban dari kami waktu tsunami,” ucap pak keuchik diplomatis. Demi mewujudkan impian itu, pak keuchik langsung mengajak warga untuk melakukan rapat kilat. Tujuannya adalah membahas masalah tanah yang nantinya terpakai sebagai rumah “gaya baru” tersebut. Karena
menurutnya, langkah pertama yang harus di ambil adalah meratakan seluruh sisa ba ngunan yang ada di Desa Lambung tersebut. Menghargai keputusan Desa Lambung terbagi atas empat buah dusun: Melati, Mawar, Seulanga, dan Dahlia. Sehingga otomatis tak mudah bagi seorang keuchik untuk memimpin empat buah dusun sekaligus, dengan karakter warga yang berbeda. Apalagi luas Desa Lambung cukup besar, 80 hektar luas keseluruhannya. Waktu digelarnya rapat, ternyata dari 320 jumlah warga yang ada sekarang ini, hanya satu orang yang menjadi ahli waris merasa keberatan apabila tanahnya diratakan. Alasannya cukup beralasan dalam segi ekonomis. Letak rumah almarhum orang tuannya cukup strategis dengan luas tanah yang le bar. Walaupun begitu, pak keuchik mencoba untuk menghargai keputusan si ahli waris tersebut. Namun bukan berarti dia membatalkan rencana yang telah diputusan bersama warga. “ Kami akan tetap melaksanakan rencana kami. Dan tanah dia itu tetap kami biarkan utuh. Masa yang ramai harus berkorban untuk yang seorang,” ucap pak keuchik berfilosofi. Pengukuran dulu Saat ini urusan dengan warga rasanya sudah mendapat penyelesaian. Yang setuju akan di bongkar, dan yang tidak akan tetap dibiarkan saja. Namun bagai mana status tanah para warga nantinya pak keuchik pun menjelaskan. “ Saat ini kami tidak berkoordinasi dengan BPN dulu. Nanti setelah pengukuran, baru kami akan lapor kepada BPN dan minta dibuatkan sertifikat baru. Supaya tidak ada sertifikat ganda nantinya,” ucap pak keuchik lagi. Masalah tanah ini memang harus segera diselesaikan, sehingga rumah bisa segera dibangun. “Saya ingin segera berkumpul dengan anak saya, tidak enak merepotkan keluarga terusterusan,” kata Muktar serius. ■
4
CERITA
CEUREUMeN
Jangan Buang Ciri Khas Aceh Saya seorang pengungsi di Desa Tibang, Kecamatan Syiah Kuala. Melalui media ini saya ingin memberi sedikit penekanan kepada para petinggi Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (BRR) —tapi maaf – saya lebih suka memanggil BRR dengan Bisanya Rapat-Rapat Aja atau Badan Rawon-Rawon. Saya berharap BRR agar tidak melupakan sejarah dan seni budaya Aceh dalam proses rekonstruksi di nanggroe ini. Faktor budaya yang saya maksud tak lain terfokus pada segi bangunan yang sedang dibangun di beberapa tempat di Aceh. Baik itu bangunan publik ataupun bangunan lain milik masyarakat. Kebanggaan kami sebagai orang Aceh ada di seni budaya ini. Sebab dalam pepatah Aceh ada ungkapan; mate aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat tamita (meninggal anak tahu kuburan di mana, hilang adat tak tahu dicara kemana). Cobaan yang diberikan Allah SWT yang “mengirimkan” tsunami guna menguji kesabaran kami terima dengan lapang dada, sehingga jeurat aneuk pun tak tahu di mana. Nah sekarang kami minta kepada pemerintah dan siapapun dia, jangan sampai setelah tsunami adat-adat kami pun hilang. Untuk itu, kami minta kepada lembaga manapun yang membantu Aceh di bidang konstruksi membangun negeri kami dengan “bau” Aceh. Oleh karena itu kami mengusulkan supaya BRR memperketat masalah ini. Seharusnya setiap bangunan yang ada di Aceh wajib melambangkan ciri khas keAcehannya. Saya kira dalam hal ini badan yang kalau tak salah bernama Majelis Adat Aceh perlu difungsikan. Libatkan mereka dalam masalah ini. Jangan diabaikan begitu saja. Wassalam ■ A Haris Setiadi, ST Desa Lamjabat Kecamatan Meuraxa Banda Aceh
Kapan Kami Pindah ke Barak? Kami sudah lama me-
ngungsi di Komplek TVRI Gue Gajah, Aceh Besar, sayangnya hingga kini masih terkatung-katung. Rumah tidak ada apalagi tempat hunian sementara atau barak. Tempat kami mengungsi tidak lagi representatif karena sanitasi di komplek TVRI sudah buruk. Tenda sudah mulai koyak. Mungkin saja satu atau dua bulan tidak bisa dipakai lagi. Kalaupun tenda diganti, alangkah baiknya kami dipindahkan saja ke barak sambil menanti rumah seperti yang dijanjikan pemerintah. Melalui Tabloid Ceureumen kami berharap supaya
Pada Merekalah Ac
Isi kepalaku penuh dengan barak!
■ MANTO
BELAJAR - Seorang anak sedang berlatih menulis di atas lantai, di sekolah darurat Krueng Raya, Aceh Besar. Saat ini sekitar 23 ribu anak yatim piatu di Aceh membutuhkan bantuan pendidikan jangka panjang.
pemerintah segera memikirkan masalah ini. Katakanlah kalau masalah rumah dalam tahap jangka panjang, namun barak harus harus dipikirkan sekarang juga. Selain itu, saya berharap kepada pemerintah atau LSM donor kami sangat berharap agar segera menyalurkan bantuan rumah sebagaimanan yang sudah dijanjikan itu. Terima kasih.■ Slamat Warga Peulanggahan Kec Kuta Raja Banda Aceh
Perlu Alat Pertanian dan Perahu Kami korban tsunami dari Desa Lhoh Kecamatan Pulo Aceh Aceh Besar sangat berharap bantuan pemerintah untuk memberi kami modal berupa perahu dan alat-alat pertanian. Kini kami berencana akan kembali ke desa dan memulai aktivitas seperti dulu lagi. Bila kami diberikan modal berupa perahu dan alatalat pertanian, maka desa kami akan lebih maju. Apalagi saat ini begitu sulit karena Pulo Aceh sangatlah terpencil.■ Pawang Rasyid Desa Lhoh Kecamatan Pulo Aceh Aceh Besar
Buat Anda yang ingin menyampaikan Suara Rakyat kecil berupa ide, saran, dan kritik tentang rekonstruksi bisa melalui surat ke Tabloid CEUREUMeN PO Box 061 Banda Aceh 23001 email:
[email protected]
Mounaward Ismail Banda Aceh
[email protected]
“S
AYA bu…, saya bu…” teriak Andre dari kursi belakang penuh semangat. Murid kelas II SD 96 Neusu Banda Aceh ini sedari tadi mengacungkan tangan minta tampil ke depan untuk menulis di papan tulis. Semangatnya untuk belajar tetap membara meski saat itu mereka belajar di bawah tenda. Jangan tanya bagaimana fasilitas pendidikannya. Ala kadar. “Senang juga bisa belajar lagi biar pun ditenda,” ujar Nurazizah, siswa kelas V asal Desa Ganoe, Lamdingin Kecamatan Kuta Alam. Begitupula dengan Karmi nisari, walau sebelumnya belajar di gedung permanen, kini harus berkutat di bawah tenda, dia juga ikhlaskan saja. “Saya ingin menjadi guru Bahasa Inggris,” ucap anak ke4 dari 5 bersaudara asal Desa Babahdua, Kecamatan Lamno, Aceh Jaya ini. Dinas Pendidikan NAD mencatat jumlah gedung sekolah yang rusak mencapai 493 unit di seluruh Aceh. Instansi ini juga mengumumkan, akibat tsunami, setidaknya 1.298 orang guru telah meninggal dunia. Banyaknya anak telantar Itu baru fasilitas, lalu bagaimana dengan anakanak? Jumlah ini dikabarkan lebih besar lagi. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi NAD, memperkirakan sedikitnya ada 23.000 anak korban bencana gempa dan tsunami di 11 kabupaten/kota di Aceh.
‘’Masalah yang mereka hadapi saat ini cukup komp leks. Mereka telah kehilangan orang tua, saudara dan rumah tempat tinggal, bahkan pendi dikan juga,’’ kata A. Gani Nurdin dari LPA. A Gani Nurdin menjelaskan, rata-rata anak yatim korban tsunami itu berusia antara 5 tahun hingga 17 tahun. Kebanyakan mereka, saat ini tidak memiliki pakaian yang layak, makan tidak menentu, dan keadaan kesehatan yang cenderung menurun. Pendidikan dadakan Pasca tsunami, banyak lembaga atau LSM yang segera tanggap membuat pendidikan alternative bagi anak-anak korban tsunami. Unicef sebagai lembaga PBB yang mengurusi pendidikan malah memberikan ribuan peralatan sekolah yang kerap disebut school in the box (sekolah dalam kotak). Selain itu children centre (pusat kegiatan anak-anak) didirikan hampir di setiap titik pengungsian. Belakangan children centre itu jarang kelihatan. “Jadi kalau LSM tidak di Aceh lagi, kami pasti tidak belajar lagi,” kata Fitri (13) pengungsi asal Lhoong. Jangka panjang Bicara pembinaan (baca: pendidikan) yang berkelanjutannya. Nampaknya ini yang paling penting karena dialami puluhan ribu anak Aceh. Apalagi sebenarnya masalah ini bukan saja dialami anak korban tsunami, tetapi juga anak korban konflik. Konflik sejak tahun 1976 telah membuat ribuan anak Aceh putus sekolah dan terlantar. Dan jumlah itu membengkak dengan
tsunami. “Ada sekitar 67.654 jiwa anak terlantar tidak termasuk korban tsunami. Tapi tidak semuanya mendapat pembinaan dari dinas, jumlah sedikit sekali,” kata Burhanuddin, Humas Dinsos NAD. Program pendidikan Bisa dihitung dengan jari, kegiatan dan bantuan pendidikan yang mengedepankan program pendidikan jangka panjang untuk anak-anak yatim piatu di Aceh. LSM Negara Turki misalnya. Beberapa LSM di Negara ini telah membantu pendidikan jangka panjang Aceh dengan mendirikan beberapa sekolah, dengan program belajar mengikuti negara itu. LSM Plan International yang mengurusi ribuan anak Aceh pasca tsunami juga melakukan pembangunan beberapa sekolah dengan mengedepankan mutu pendidikan dan kualitas guru. “Kalau gurunya bagus, muridnya pasti begitu juga,” kata Paulan dari Plan International. Sedangkan Save the Children sudah menyalurkan bantuan scholarship (beasiswa) yang diberikan kepada 2.050 anak dari berbagai jenjang pendidikan; SD/MIN. SMP/MTsN, SMA/MAN. Yang pasti pekerjaan untuk pendidikan di Aceh masih menumpuk dan harus diselesaikan. Karena pada anakanak itulah nasib Aceh akan bersandar…■ Baca LSM yang mengurusi soal pendidikan jangka panjang di rubrik Akrab dengan NGO halaman 6
Ade Mau Jadi Kepala Sekolah Nanee Calang
[email protected]
A
DE Marphan(10) bukan siapa-siapa. Dia hanyalah murid laki-laki kelas IV SD Kampong Baro Kecamatan Setia Bakti Aceh Jaya. Sama seperti murid sekolah lain, Ade memakai pakaian seragam putih merah. Beda nya seragam itu sudah lusuh. “Ini sisa tsunami,” katanya pada Ceureumen. Bukan hanya baju, tas dan seluruh isinya juga bekas pemberian orang. Isi tas kecil itu tidak banyak. Hanya dua buah buku tipis dan sebuah pinsil yang ujungnya sudah tumpul. Korban tsunami Ade korban tsunami. Bapaknya hilang hingga saat ini. Dia juga tidak memiliki rumah untuk berteduh dan sekolah untuk belajar. “Ibu dan saya tinggal di tenda, jauh dari sini,” kata Ade. Sekolah Ade terbuat dari tenda yang mulai robek. Ada tulisan Unicef di tenda itu. Sejak dua bulan pasca tsunami lalu, Ade dan teman-temannya di SD Kam-
pong Baro mulai belajar di bawah tenda. Tsunami telah merengut beberapa dari teman Ade. Kini kelas IV hanya berisi setengah dari murid biasanya. “Ada yang pindah, ada juga yang meninggal,” katanya sambil tersenyum. Mau jadi kepala sekolah Tenda terpal ukuran 8X5 meter itu dihuni tiga kelas. Yaitu kelas IV,V dan VI. Lantainya bekas pertapakan rumah yang tersisa. Kalau ada angin atau hujan, kelas langsung bubar. Murid belajar berhadaphadapan. Ade biasanya mendapat tempat duduk – baca bangku—bila dia cepat datang. Kalau terlambat, dia harus bersedia duduk di tikar yang penuh dengan pasir. Kendati belajar ala kadarnya, Ade tetap ceria. Dia berharap semoga sekolahnya yang dibuat oleh International Organization for Migrant (IOM) cepat selesai. “Saya ingin belajar seperti dulu,” katanya. Ade ingin menjadi seorang kepala sekolah. Tapi, “Semoga Ibu punya uang, kami saja masih tinggal di tenda,” katanya. ■
■ HOTLI
BERMAIN- Beberapa siswa sekolah dasar, Desa Nusa, sedang bermain lompat karet, sesaat sebelum pelajaran dimulai. Saat ini terdata sekitar 23 ribu anak yatim membutuhkan batuan pendidikan jangka panjang.
DATA ANAK YATIM PIATU DI ACEH Jumlah Panti Asuhan Jumlah anak yang hidup di panti Anak-anak di pengungsian yang bersekolah Jumlah anak-anak seluruhnya
: 193 : 13.366 : 19.867 : 102.082*
* Jumlah ini dihitung 20 % dari jumlah pengungsi yakni sebanyak 514.410 jiwa ■ Sumber: Dinas Sosial Nanggroe Aceh Darussalam
■ MANTO
SELAMATKAN ANAK YATIM- Beberapa anak sekolah darurat di krueng raya sedang memandang keluar melalui jendela yang sudah rusak akibat tsunami.
Mengais Pendidikan Lewat Rumah Singgah Mounaward Ismail Banda Aceh
[email protected]
S
ENYUM simpul Safrizal (14) terasa amat bermakna. Tak terlihat gurat sedih di wajahnya. Apalagi ditambahi sebuah kopiah haji yang membuat penampilannya kian bersahaja. Memang, dia dan puluhan anak-anak lain sedang belajar mengaji. Ketika dijumpai Ceureumen, dia ditemani Muhammad Zahri (14). Dua rekan sejawat ini adalah penghuni Rumoh Aneuk Aceh di kawasan Geuceu Meunara. Keduanya sudah tujuh bulan menetap di panti yang dikelola Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) ini. Semua anak-anak yang tinggal di rumah itu adalah korban tsunami, termasuk kedua siswa kelas II SMP Darul Hijrah ini. “Saya senang tinggal di sini, ustazdnya baik-baik,” kata Safrizal, anak asal Desa Karang Ateuh, Kecamatan Lamno, Aceh Jaya. Bukan karena ustazd atau pengasuh yang baik membuat dia betah tinggal di sana. Ada satu hal yang membuat dia tetap bertahan. Apa itu? Sekolah. Pendidikan adalah harga mati bagi Safrizal dan M Zahri. Apalagi keduanya mulai mematok cita-cita. “Saya ingin menjadi ulama,” timpal Zahri, asal Desa Puluet Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. “Kalau saya ingin menjadi tentara,” sambung Safrizal sedikit ragu seraya kembali merevisi ucapannya. “Awalnya sih tentara karena apaa ya…, tapi menjadi dokter juga cita-cita saya.” Rumah singgah Namun inisiatif Baznas
yang bahu-membahu dengan sejumlah relawan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) membuat Zahri Cs kembali mendapat secercah sinar guna menyenter masa depan setelah tsunami nyaris menenggelamkan citacita mereka. Kepala Kepengasuhan Anak di Rumoh Aneuk Aceh, Suhardi yang ditanyai Ceureumen menjelaskan panti bentukan Baznas ini semacam rumah singgah. Rumoh Aneuk Aceh yang dikelola Baznas ini ada Banda Aceh sebanyak empat rumah yang masing-masing dua untuk putra dan putri. “Mereka kita didik dipisah antara laki-laki dan perempuan,” katanya. Selain di ibu kota provinsi, rumah serupa juga terdapat di Sigli, Kabupaten Pidie dan Meulaboh, Aceh Barat. Masingmasing dua rumah yang dikhususkan satu buat putra
dan satu untuk putri. “Masingmasing rumah dihuni 30 anak,” ujar Suhardi. Jangka panjang Komitmen lembaga ini tidak terbatas pada “merumahkan” mereka. “Kita juga memberikan pendidikan untuk mereka mulai dari jenjang Sekolah Dasar hingga kuliah,” paparnya. Pendidikan yang diberikan kepada anak-anak itu tidak sebatas pada sekolah umum semata. Mereka juga digembleng dengan ilmu agama plus dibahani berbagai macam pelatihan. “Kita juga akan upayakan lapangan kerja untuk mereka,” katanya. ■ Rumoh Aneuk Aceh Jalan Fatahillah no. 59 Geuce Inem Banda Aceh Telepon : 0651-46671
● Pengurusan sertfikat tanah dilakukan secara gratis tanpa dipungut bayaran oleh BPN. ● Unicef (United Nation Children’s Fund) akan melakukan imunisasi polio gratis tanggal 31 Agustus mendatang untuk anak-anak usia 0-5 tahun. Imunisasi akan diberikan di pos-pos Pekan Imunisasi Nasional (PIN) di daerah Anda. Ini adalah imunisasi putaran pertama. Untuk putaran kedua akan dilakukan pertengahan September mendatang. Suara Rakyat Kecil dan Cerita Sampul bisa juga Anda simak pada program Peunegah Aceh di stasiun-stasiun radio kota Anda yang didukung oleh Internews.
6
AKRAB BERSAMA LSM
CEUREUMeN
CEK BANUN
Mari... silahkan
Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa itu juga berlaku untuk rubrik “Akrab bersama LSM”. Mulai edisi ini kami akan membahas profil LSM yang terlibat dalam proses rekonstruksi Aceh.
Save the Children Unicef (United Nation Children Fund)
Bayar dengan Dolar atau Rupiah?
?
■ MAHDI ABDULLAH
● Lembaga PBB ini mengurusi tentang pendidikan dasar 9 tahun bukan hanya di Aceh tetapi juga di Indonesia. ● Dalam waktu dekat, Unicef mendukung memperbaiki 200 sekolah dasar (SD) dan membangun 300 SD di Aceh. Unicef juga menyediakan prasarana belajar mengajar di sekolah. Alamat : J l . M a s j i d Shadaqah No.2 Lamlagang Banda Aceh 23243 Telepon : 0651 740 7651
● Bekerja di Aceh sejak 30 tahun yang lalu. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas kehidupan anak-anak serta keluarganya. ● Di bidang pendidikan, Save The Children bermitra dengan Unicef dan Departemen Pendi dikan. ● Save The Children juga melatih para guru untuk mengatasi reaksi pascatrauma yang terjadi pada anak-anak. Program ini rencananya akan dilaksanakan di 125 sekolah di Aceh. Alamat : Jalan ST Mansyursyah no 77 Kelurahan Peuniti Banda Aceh Telepon : 0651 637810
Cardi/NRC
Plan International
M
ASYARAKAT Aceh biasa memasak ikan segar dengan bumbu Aceh. Bila tidak ada ikan segar, mengapa tidak dicoba ikan kaleng atau ikan sarden? Rasanya tidak kalah lezatnya bila dimasak dengan bumbu Aceh. Apalagi kalau menjadi teman nasi pagi dan kerupuk. Tidak percaya? Cobalah resep Ibu Retno Santi.
● ● ●
● ● ●
■ HOTLI
Resep: Ikan Sarden a la Aceh Oleh Ibu Retno Santi Desa Cadek Bahan: 1 kaleng ikan sarden ukuran sedang 50 gr cabe merah 2 buah tomat 4 siung bawang merah
RETNO SANTI
2 siung bawang putih 4 buah asam sunti Minyak makan secukupnya Garam secukupnya Bumbu penyedap secukupnya
TEKA TEKI SILANG CEUREUMeN NO 2 1
2
3
5 7
4
6
8 9 10
12
13
11
Cara membuat Ikan kaleng dibuang airnya Giling semua bumbu hingga halus Goreng satu suing bawang merah ke dalam minyak yang panas hingga kuning Masukkan bumbu yang dihaluskan Setelah setengah masak, masukkan ikan sarden Masak hingga matang, beri bumbu penyedap dan garam.■
Bagi Anda yang memiliki resep unik yang bisa dimasak dengan mudah dan enak, bisa mengirim surat ke PO BOX 061 Banda Aceh 23001. Email:
[email protected]. Cantumkan alamat lengkap. Ceuremen akan mengunjungi Anda dan melihat Anda memasak. Disediakan bingkisan kecil untuk Anda.
MENDATAR: 1. Gejala, sesuatu yang luar biasa 5. Manusiawi 7. LSM yang menerbitkan buletin ini 9. Tulis JK 10. Alat penghimpun tenaga listrik 12. Orang yang mengawasi suatu pekerjaan 13. Himpunan MENURUN: 1. Makanan (Inggris) 2. Sangat bersahaja 3. Susunan nada atau suara yang mengandung irama
● Berada di Aceh sejak Januari 2005. Kini mengurusi sedikitnya 3000 anak di Aceh. ● Memiliki rencana pendidikan long term (jangka panjang) untuk anak-anak selama tiga tahun dengan membangun 17 sekolah dasar (SD) dan TK. ● Plan membuat system pendidikan berbasis peningkatan mutu pendidikan. ● Selain itu Plan juga melakukan pelatihan 153 guru di 31 titik pengungsian. Alamat : Jl T Iskandar no 48 Lamteh Ulee Kareng Banda Aceh Telepon : 0651 22380
4. Air Susu Ibu 6. Bergerak ke atas 8. Yang tertinggal sesudah dimakan 9. Jatah hidup (Akronim) 10. Halangan, rintangan 11. Binatang air 12. Mandi, cuci dan kakus Jawaban TTS Ceureumen No. 01 Mendatar 1. Bala, 3. Dwi, 5. Teo, 6. Riba, 7. NGO, 8. Kolektor, 11. Buy, 12. Drum, 13. Alu, 14. Rok, 15. Arah. Menurun 1. Barak, 2. Atase, 3. Donatur, 4. ILO, 9. Layak, 10. Rumoh, 11. BRR, 12. Dua.
● LSM ini menangani soal pendidikan dengan membangun sekolah di tiga Kabupaten di Aceh yaitu Pidie, Aceh Barat dan Banda Aceh. ● Termasuk melakukan training untuk para guru, pembagian seragam sekolah dan peralatan belajar untuk murid. ● Untuk di tingkat Universitas, Cardi mendorong training dan praktek mengajar untuk 100 orang mahasiswa dari IAIN Arraniry yang datang dari Aceh Jaya, Aceh Barat dan Pidie. Alamat : Jl. Alue Blang No. 1C-D Neusu Aceh. Banda Aceh Telepon : 0651 636523
Pemenang TTS Ceureumen No. 1 adalah: ● Imran HS Trieng Gadeng, Pidie ● Ramli Sabang ● Irwan Indra Jaya, Pidie Bagi pemenang di atas akan mendapat bingkisan VCD lagu Aceh dari Medicins San Frontiers Anda bisa mengirimkan jawaban Anda ke PO BOX 061 Banda Aceh 23001. Bagi lima pemenang akan diberikan bingkisan yang menarik berupa Kamus Bahasa Inggris dari Ceureumen.
KAMPUNGKU
CEUREUMeN
7
Pulau Podiamat, Riwayatmu Kini
■ SAID KAMARUZZAMAN
PULANG KAMPUNG - Empat orang warga Podiamat sedang mencari yang tersisa di bekas pertapakan rumah mereka.
Banda Aceh
[email protected]
P
ODIAMAT, itulah nama nya. Sebagian orang menyebutnya Pulau Podiamat. Podiamat ini sebenarnya sebuah dusun, tetapi jika melihat letaknya, Podiamat memang ibarat pulau, terpisah dari yang lain. Kiri-kanan dusun ini dipagari oleh tambak. Induk desanya sendiri, Alue Naga, jauh di sana. Harus menyeberang tambak beratusratus meter jaraknya. Di ujung utara sana, baru ada hamparan laut yang tiada batas. Tapi, itu pun harus melangkahi Alue Naga tadi. Dulu, dusun Podiamat dikelilingi oleh pohon-pohon kelapa yang lumayan tinggi. Pohonpohon lain yang sudah berumur berpuluh-puluh tahun juga banyak. Tapi kini, hanya sebatang pohon kelapa yang tersisa. Yang lain semuanya tercabut dihantam tsunami. “Itulah yang tersisa, sebatang pohon kelapa,” kata Salihin (32), seraya menunjuk sebatang kelapa kepada Ceureumen, yang letaknya di sudut timur Pulau Podiamat. Bukan cuma pepohonan besar, rumput pun kini tak lagi tumbuh. Kalau ada rumput yang tingginya semata kaki, warnanya sudah menguning. “Rumput ini kuning karena air asin naik. Sekarang Podiamat sudah turun, makanya air laut naik,” timpal Marzuki Ibrahim (40). Desa berpenduduk lepra Podiamat memang terpisah. Wilayah ini seakan diisolir dari tetangga di sekitarnya sejak puluhan tahun yang lalu, meskipun dusun ini masuk ke dalam Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Kotamadya Banda Aceh. Salah satu penyebab diisolir,
untuk memudahkan orangorang yang terkena penyakit lepra diobati dan dibina. Tak mengherankan kalau penduduk Podiamat berasal dari berbagai daerah. Ada yang dari Pidie, Aceh Jaya, Aceh Besar, dan lain-lain. “Kami sudah tinggal di Podiamat sejak tahun 1960-an,” kata A Gani Ali Basyah (53), yang sudah 35 tahun tinggal di Podiamat. Kebanyakan yang tinggal dan mengungsi ke sini tahun 60-an lalu adalah orang-orang yang menderita lepra. Kini, sebagian besar telah sembuh dari penyakit lepra. Dulu, ada 36 Kepala Keluarga (KK) tinggal di sini. Jumlah penduduknya mencapai 130 orang. Akan tetapi, setelah tsunami menghantam wilayah ini, jumlah penduduk yang tersisa hanya 69 orang. “Yang meninggal dan hilang sebanyak 61 orang,” kata Salihin, yang hingga kini belum menumukan jasad Ayahnya. Tak ada yang tersisa Dengan ditemani oleh Ceureumen, Marzuki Ibrahim, Salihin, maupun M Yusuf (40) coba pulang ke Podiamat, pekan lalu. Sejak tsunami 26 Desember, baru kali inilah M Yusuf kembali. Soalnya, memang tidak ada jalan ke sana. Warga yang ingin pulang kampung harus menyeberangi sungai. Jalan yang ada terputus-putus dan telah berubah menjadi lautan. Kaum perempuan yang ingin pulang, biasanya sampai menyiapkan nasi dan minuman sebagai bekal di perjalanan. Lalu, mereka berjalan perlahanlahan di antara sisa-sisa jalan yang masih bisa dilalui. Ketika melewati jalan yang terputus, ya harus berjalan di dalam air yang ketinggiannya hingga mencapai sepinggang. “Bi-
asanya mereka membawa nasi kalau pulang ke Podiamat. Soalnya, kalau jalan kaki butuh waktu lama. Pergi pagi hari, tiba di sini kembali Ashar. Capainya bukan main. Itu pun masih bisa dilalui kalau air ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Said Kamaruzzaman
tidak pasang,” kata Marzuki. Jika air pasang naik, tambahnya, dipastikan tidak bisa lewat tanpa perahu atau boat. Ceureumen pun meminjam perahu masyarakat untuk dapat melihat kondisi Podiamat terkini. Butuh waktu sekitar 20 menit mengayuh perahu hingga tiba di Podiamat. Bersyukur, pekan lalu itu tak ada air pasang, sebagaimana yang lazim terjadi setiap bulan selama ini. Kalau pasang sedang melanda, niscaya pulau kecil ini tenggelam. “Kalau pasang, air naik sekitar selutut. Dan itu terjadi dalam beberapa hari untuk setiap bulan,” tandas M Yusuf. Sampai di Podiamat, tak terlihat ada sebuah rumah pun yang tersisa. Mencari pertapakan rumah saja sulit. M Yusuf bahkan harus berputar ke sana kemari hingga menemukan tanah bekas pertapakan rumahnya. Rumah Yusuf hanya berjarak ratusan meter dari laut. Tapi, ia sendiri bukan pelaut. Selama ini Yusuf berprofesi sebagai tukang. Menurutnya, tak seorang pun ada warga Podiamat yang berprofesi sebagai nelayan. “Kalaupun ada yang
melaut, itu sekadar mencari ikan untuk kebutuhan sendiri,” kata Salihin. Mereka memang bukan dasar pelaut. Mereka ke Podiamat pun sebagai pengungsi, karena daerah asal masingmasing kurang kondusif bagi mereka. Tanah satu-satunya Begitupun, sebelum musibah tsunami mereka tergolong makmur. Selain adanya bantuan dari pemerintah daerah saban bulan—karena sebagian mereka penderita cacat—mereka juga punya keahlian lain seperti bertukang dan berternak. “Saya sendiri sebagai tukang,” aku M Yusuf. Namun, mereka tidak tahu, kapan pemerintah mau kembali membangun Podiamat. Soalnya, Yusuf dan teman-temannya mengaku tak punya tanah yang lain. “Saya tidak punya tanah lain, semua warga Podiamat tak punya tanah lain. Makanya kami berharap dibangun lagi di sini. Atau kalau tak dibangun lagi di sini, ya dikasih lahan yang lain untuk membangun rumah kami,” katanya. ■
Abdullah, di Antara Warga yang Tersisa Said Kamaruzzaman
nami, baru sekali pemerintah daerah membantu obat-obatan kepada penderita lepra di kawasan ini. “Kalau tak ada bantuan ruBDULLAH (45) tidak menyangka tin, bisa kambuh kembali,” imbuh pria ini. kalau dirinya masih hidup saat tsuDi Podiamat sana, ia masih bisa memelinami. Penderita penyakit kusta ini hara ayam seraya menunggu dirinya semdibawa air menyeberangi sungai besar buh. “Penghasilan dari memelihara ayam bisa Krueng Cut, hingga tiba di Lamreung, seki- saya peroleh mencapai 300.000 per bulan,” tar dua kilometer jarak dengan desanya. tandasnya. Tapi, itu dulu. Saat tsunami 26 Desember, pria yang Kini, tak banyak yang ia bisa lakukan. sedikit cacat jari-jemarinya itu juga me- Selain karena ketiadaan modal, ia juga merangaku kurang sehat. “Saya tidak sa waswas dengan penyakitnya. bisa lari. Tanpa sadar saya dibaBekerja di luar seperti orang kewa air menyeberangi sungai itu,” banyakan juga terasa sulit. Begikata Abdullah, seraya menunjuk tu pula dengan teman-teman Absebuah sungai besar di belakang dullah. barak tempat tinggalnya, Sim“Puleh nyoe mateng rayek tuah pang Mesra, Banda Aceh. (Sembuh ini saja sudah syukur),” Ketika hanyut dan tersangkut katanya. di Lamreung, seorang lelaki keMenurut Abdullah, penderita mudian membantunya. “Saya dilepra yang tersisa hanya 12 orangkatnya dari dalam air dalam ang, termasuk dirinya. “Yang lainABDULLAH keadaan tidak sadar,” katanya. nya meninggal semua,” tuturnya. Sebatang kara Abdullah kemudian bertanya, kapan peLelaki ini sebatang kara. Tak punya istri merintah kembali membantu mengobati sedan keluarga lain. Ia menginjak kaki di Po- cara gratis dan rutin dirinya dan beberapa diamat, tujuh tahun lalu. Tujuannya, untuk orang temannya yang masih terselamatkan mengisolasi diri guna mengobati penyakit oleh tsunami. lepranya. “Kapan kami mau dibantu lagi obat-obaMaklum, masyarakat menjauhinya di Lam- tan oleh pemerintah secara rutin, setelah itu no sana . “Saya tidak tahu apakah Abang ya modal,” katanya. dan Kakak saya masih hidup di Lamno, Aceh Secara terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Jaya,” katanya. NAD dr Teuku Marwan Nusri MPH meneKini pun ia tinggal sendirian di baraknya. gaskan, penderita lepra di kawasan Alue Bersama dengan 26 KK lainnya dari Po- Naga itu memang tidak lagi diberikan obat diamat, Abdullah kini tinggal di barak itu se- untuk kusta. “Mereka sudah sembuh dengan kustanya. Yang kita berikan obat untuk reakjak dua bulan lalu. Perlu berobat si kusta, bukan obat untuk kusta lagi. BegiYang membuat Abdullah dan teman-te- tupun, kita terus memeriksa mereka, sepermannya kini gelisah adalah soal pengoba- ti yang kita lakukan dengan mengumpulkan tan. Persoalannya, delapan bulan setelah tsu- mereka tiga pekan lalu,” kata dr Marwan.■ Banda Aceh
[email protected]
A
SOSOK
Bidan Revita Banda Aceh
[email protected]
M
ELAHIRKAN di perbukitan plus sekaligus membantu persalinan wanita lain, tentu amat merepotkan. Apalagi dalam kondisi bencana alam, ketika semua orang nafsi-nafsi. Terkadang keikhlasan itulah yang sulit dimiliki. Ternyata tidak dengan Revita. Seorang wanita yang berprofesi sebagai bidan di Desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Ketika bencana tsunami menerjang kampungnya, dia sedang hamil tua. Saat itu pula dia wajib menolong warga yang butuh pengobatan. “Untuk kebutuhan obat saya suruh warga mengutip di toko saya yang sudah hancur berserak,” urainya kepada Ceureumen, akhir pekan lalu, ketika menge-
8
Menuai Buah Keikhlasan
nang tragedi 26 Desember silam. Melahirkan di bukit Dia mengaku bekerja tanpa pamrih, kendati dalam kondisi kritis dan krisis. Sebab tak tersedia obat-obat yang cukup saat itu. Revita dan keluarga mengungsi ke Gunung Malahayati. Malahayati adalah nama seorang wanita janda (inong balee) yang menjadi panglima laut pertama di dunia pada masa Kerajaan Aceh Darussalam. Di sanalah dia melahirkan anak keduanya, tepat 10 hari setelah musibah tsunami menghancurkan Nanggroe Aceh Darussalam. Saat itu, 4 Januari 2005 di bawah sebuah tenda, dia melahirkan anak keduanya. Dan diberi nama Zakira Mala-
hayati. Menolong persalinan korban tsunami Setelah Zakira lahir, beberapa hari kemudian Revita harus menolong wanita lain yang melahirkan juga. Persalinan itu dia lakukan di bawah tenda yang semuanya berada di atas perbukitan. Berapa mendapat bayaran? “Saya ikhlaskan saja,” katanya lirih. Keikhlasan itu tak selamanya membuat dia tenang. Kadang-kadang, Revita sempat putus asa juga. Apalagi tak ada subsidi dan bantuan dari pihak manapun guna memenuhi pasokan obat. Sekarang, secara lambat laun, Revita sudah mulai merasa buah kesabaran itu. “Ada se-
orang hamba Allah yang akan memperjuangkan saya menjadi pegawai,” ka tanya sembari senyum mengembang. Bukan itu saja, belakangan dia juga banyak dilibatkan dalam sejumlah seminar. “Alhamdulillah banyak ilmu yang saya per o l e h ,” ujarnya lagi. ■
REVITA M IBRAHIM Nama Lahir Pekerjaan Alamat
: : : :
Revita M Ibrahim 10 Agustus 1976 Bidan PTT Desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar.
■ MANTO
Mounaward Ismail
CEUREUMeN
SENI & BUDAYA
Membaca
Lukisan Anak-Anak
Mahdi Abdullah Banda Aceh
[email protected]
“G
ELOMBANG besar itu saya lihat datang dari sana, warnanya hitam, dan saya terhempas tak sadarkan diri. Sedangkan ibu saya hilang entah kemana,” cerita Rusli mengenai sosok dalam karya lukisannya. Lain halnya dengan Rahman, “lukisan ini saya buat dari cita-cita atau keinginan saya atas masa depan, “ ungkap Raman tentang lukisan yang didominasi penggunaan warna merah dan hijau dengan bentuk naif kekanak-kanakan itu. Lukisan-
nya menggambarkan orang-orang bekerja serta figur kawankawannya sedang belajar di tenda-tenda. Seperti ungkapan di atas, yang satu lukisannya merupakan catatan harian Rusli, dan yang satunya lagi adalah lukisan mimpi Rahman. Dua ekspresi yang berbeda perlakuannya. Menggambar atau melukis bagi anak-anak adalah salah satu mainan yang mengasyikkan, dan terapi bagi korban gempa dan tsunami, melukis dapat dijadikan sebagai teraphi kejiwaan selain mengasah memori kreatif bagi korban. Anak-anak dalam melukis biasanya spontan dan tak memperdulikan proporsi bentuk dan
ban bencana alam Aceh di dunia internasional. Kami akan memamerkan sedikitnya 50 lukisan karya anakanak korban bencana ke beberapa negara”, kata Direktur Media dan Hubungan Masyarakat Islamic Relief, Abdel Salam, beberapa waktu yang lalu. Sebagai ungkapan Bagi anak-anak, melukis merupakan wadah ekspresi murni, yang tanpa mereka sadari, karya lukisannya adalah penyampaian sesuatu dengan menggunakan garis dan warna. Psikolog, Nurjanah Nitura, mengungkapkan kepada Ceureumen bahwa karya lukisan anak-anak dapat dijadikan entry point untuk membaca kandungan beban apa yang mereka alami pada saat-saat tertentu. ■
■ MAHDI ABDULLAH
■ MAHDI ABDULLAH
Faozan dari Koordinatoriat Bangkit Aceh sedang memberi bimbingan kepada anak-anak pengungsian dari Pulau Breuh di Kecamatan Seulimum, Aceh Besar beberapa waktu yang lalu.
acap kali menjumput warna- wa “lomba melukis bagi anakwarna murni seperti apa yang anak aceh ini bertujuan untuk membantu menumbuhkan kredilihatnya. Kebiasaan menggunakan atifitas bagi anak korban tsunawarna-warna seperti apa yang mi agar dapat bangkit kembali. mereka alami merupakan jawa- Bagi pemenang lomba, lukisanban yang baik untuk kita cerna nya akan kita perkenalkan di dan membaca pikiran dan sua- Jepang dan mereka yang menang akan memperoleh bea sana hati si pembuatnya. Tak heran, kalau lukisan siswa untuk melanjutkan penanak-anak lebih menarik dari didikan,” ungkap Okawa. Guntomara, Islamic Relief, pada lukisan dewasa. Spontanitas ungkapan dan kejujuran MahaStudio, Ikatan Santri itu yang membuat kita bergidik Dayah Aceh, Yayasan Peduli untuk menyidik apa yang mere- Pendidikan, Yayasan Aceh Sehati, dan beberapa organisasi ka ungkapkan. Lomba seni lukis lainnya yang peduli terhadap Berbagai lomba seni lukis anak telah melakukan hal yang yang tujuannya beragam telah sama dengan tujuannya madilaksanakan oleh beberapa or- sing-masing. ganisasi dan diberbagai tempat. “Islamic Relief menyelenggaSebut saja seperti prakarsa Koor- rakan pameran lukisan karya dinatoriat Bangkit Aceh yang anak-anak korban gempa bumi mendatangi kemah-kemah pen- dan tsunami ke beberapa negara gungsi untuk mengajak anak- dalam upaya pengumpulan anak untuk melukis apa saja dana bagi bantuan kepada koryang di alami sebelum dan sesudah tsunami. Jaringan Aceh Net bekerjasama dengan Harian Serambi Indonesia juga mengadakan perlombaan melukis bagi anak-anak tersebut untuk di pamerkan di Jepang. Seperti ungkap Seiichi Okawa kepada penulis beberapa waktu yang lalu, bah- Dari sana kita dapat membaca kandungan yang dibawa.