1
EFEK AS SAP ROK KOK PADA A TIKUS (Rattus noorvegicus) BUNTING TE ERHADAP P TAMPIL LAN FISIIOLOGIS INDUK DAN D ANA AKNYA SETELAH H DILAHIR RKAN
S SAMSURI IA
SEKOLA AH PASCA ASARJAN NA IN NSTITUT PERTAN NIAN BOG GOR BOGOR R 2009
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul, Efek Asap Rokok pada Tikus (Rattus norvegicus) Bunting terhadap Tampilan Fisiologis Induk dan Anaknya Setelah Dilahirkan adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir dari tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
Samsuria G 352070261
3
ABSTRACT SAMSURIA. Effect of cigarette smoke on pregnant rat (R. norvegicus) in terms of it’s physiologys performance and of its child after birth. Under Direction of DEDY DURYADI SOLIHIN and NASTITI KUSUMORINI. Cigarette smoke consists of chemical substances such as acrolein, carbon monoxide, nicotine, ammoniac, formic acid, hydrogen cyanide, nitrogen oxide, cyanogens, phenol, acetone, methanol, tar, cadmium, naphthalene, butane, pyrene and benzopiren. Among these substances, the most dangerous are nicotine, tar and carbon monoxide. The bad effects of cigarette smoke on human health may take place from such phases as embryo until adulthood in form of respiratory problem, fertility, impotency, heart problem and embryo abnormality. The aim of this research was to find out the effects of cigarette smoke on a pregnant rat (Rattus norvegicus) in terms of it’s physiologys performance and the of its child after birth. The exposure to cigarette smoke was done in two stages. The first stage was 11 days, that was to observe the physiologys performance of it’s reproduction, and the second stage was 21 days to observe of the children. Cigarette smoke and nicotine injection were proved to influence the process of implantation, ovary weight and UPA weight (uterus, child and placenta). In the meantime, the effects on child development were in form of underweight, high mortality rate, a high number of hemoglobin and high a concentration of triiodothyronine. Keywords: Rattus norvegicus, cigarette smoke, injection nicotine, triiodothyronine.
4
RINGKASAN SAMSURIA. Efek Asap Rokok pada Tikus (Rattus norvegicus) Bunting terhadap Tampilan Fisiologis Induk dan Anaknya Setelah Dilahirkan. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN dan NASTITI KUSUMORINI. Kebiasaan merokok di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya terus meningkat. Perokok di Indonesia berjumlah 75% yang terdiri atas 60% berasal dari populasi pria dan 15% dari populasi wanita (WHO 2005). Sementara di negaranegara maju kebiasaan merokok justru semakin menurun, hal ini disebabkan karena mereka telah sadar akan bahaya rokok pada kesehatan. Hasil Survei Global Youth Tobacco memperlihatkan bahwa 88% perokok di Indonesia lebih menyukai rokok kretek dan 12% menyukai rokok putih. Kadar tar dan nikotin pada rokok kretek lebih tinggi, dibanding rokok putih. Rokok kretek berpotensi menghasilkan asap yang lebih banyak baik asap arus utama dan arus samping dibandingkan dengan rokok putih. Belakangan ini, bahaya asap rokok tidak hanya difokuskan pada perokok aktif tetapi juga pada perokok pasif. Perokok pasif mempunyai peluang yang sama bahkan lebih tinggi mendapatkan penyakit dibandingkan perokok aktif. Secara umum gangguan asap rokok terhadap kesehatan manusia dapat terjadi mulai pada fase janin, anak-anak sampai pada orang dewasa. Gangguan kesehatan itu antara lain gangguan pernafasan, fertilitas, impotensi, jantung dan kelainan pada janin. Wanita hamil yang sering terpapar asap rokok dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada anaknya bahkan sebelum anak dilahirkan (fase janin). Beberapa kelainan atau gangguan asap rokok terhadap janin diantaranya adalah: a) terjadinya keguguran spontan, b) berat badan lahir rendah, c) komplikasi saat melahirkan, dan d) kelainan pada perkembangan saraf. Melihat begitu besarnya konsumsi rokok kretek dibandingkan rokok putih di Indonesia, dan besarnya bahaya yang mungkin ditimbulkannya pada wanita hamil, serta minimnya penelitian mengenai bahaya asap rokok terhadap kesehatan, maka perlu penelitian lebih lanjut mengenai dampak rokok kretek terhadap tampilan fisiologis induk dan anaknya setelah dilahirkan dengan tikus sebagai hewan coba. Sebelum percobaan dimulai semua tikus diadaptasikan di lingkungan kandang percobaan selama 10 hari. Perkawinan dilakukan dengan cara satu ekor tikus jantan ditempatkan satu kandang dengan dua ekor tikus betina. Pada keesokan harinya dilakukan pembuktian perkawinan dengan cara melakukan ulas vagina “papsmear”. Tikus-tikus percobaan yang dinyatakan bunting pada kebuntingan hari kesatu dikelompokkan kedalam tiga kelompok yaitu: 1) kelompok kontrol, 2) kelompok yang dipapar asap rokok, dan 3) kelompok yang diinjeksi nikotin (sebagai pembanding). Selanjutnya kelompok dipapar asap rokok dan injeksi nikotin dibagi dalam dua kelompok yaitu diberi perlakuan selama 11 hari, kemudian dikorbankan untuk mengetahui fisiologis induk, dan yang diberi perlakuan selama 21 hari, dibiarkan sampai melahirkan, selanjutnya anaknya dipelihara untuk melihat perkembangan anak.
5
Pemaparan dimulai dengan memasukkan 5 ekor tikus bunting ke dalam smoking chamber kemudian rokok dipasang pada pipa yang dihubungkan dengan pompa udara. Rokok kretek yang telah dipasang dibakar dan pompa udara dinyalakan, bersamaan dengan itu oksigen juga dialirkan kedalam smoking chamber dengan kecepatan 0.5 ppm. Pemaparan dilakukan dengan menggunakan 4 batang rokok selama 1 jam setiap hari dengan selang waktu 10-15 menit setiap batang selama 11 hari untuk kelompok pertama dan 21 hari untuk kelompok kedua. Sebagai pembanding (kontrol positif) dilakukan penyuntikan dengan menggunakan nikotin murni (99%) yang diinjeksi secara subcutan dengan dosis 0,5 mg/kg bb yang dilarutkan dalam larutan NaCl 0.9%. Pada kelompok pertama, setelah 11 hari perlakuan, sebagian tikus percobaan dianestesi dengan cara memasukkan induk tikus kedalam stopless yang berisi eter, kemudian darahnya diambil untuk pemeriksaan hematologi, dan selanjutnya induk tikus dibedah. Pembedahan dilakukan untuk mengetahui jumlah titik implantasi, jumlah korpus luteum, berat ovarium dan berat UPA. Sedangkan untuk perlakuan 21 hari, setelah perlakuan, tikus dibiarkan dalam kandang dengan tetap diberi pakan sampai tikus melahirkan. Pengambilan data bobot badan dilakukan dengan menimbang anak tikus sesaat setelah lahir. Kemudian untuk mengetahui pertumbuhannya, anak tikus tetap dipelihara di kandang percobaan (tanpa perlakuan), disapih sampai berusia tiga minggu dan ditimbang satu kali tiap minggu selama delapan minggu. Pengamatan terhadap aktivitas anak tikus dilakukan setelah anak tikus berusia delapan minggu. Aktivitas anak tikus yang diamati meliputi: a) jarak perpindahan anak tikus dari satu tempat ke tempat lain (distance traveled), b) waktu istirahat tikus (resting time), c) waktu yang dibutuhkan oleh tikus untuk memulai suatu gerakan (ambulatory time), dan d) waktu selama tikus melakukan gerakan stereotypic, seperti gerakan menggaruk, menjilat-jilat dan mencium (stereotypic time). Pengamatan aktivitas anak tikus dilakukan dengan cara anak tikus dimasukkan ke dalam Optovarimex Activity Monitor. Jarak perpindahan dan lamanya waktu bergerak anak tikus dalam opto-varimex dihitung dengan menggunakan program Auto-Track System 4.31 selama 5 menit (waktu yang ditentukan). Setelah pengamatan aktivitas, anak tikus dianestesi untuk pengambilan darah. Darah diambil dari jantung sebanyak 1 ml, selanjutnya darah yang diambil dianalisa untuk mengetahui nilai hematologi, dan sebagian disentrifius untuk analisa hormon triiodotironin (T3). Analisa hormon T3 dilakukan dengan menggunakan metode radioimunoassay (RIA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek asap rokok pada tikus bunting terhadap fisiologis induk adalah kegagalan implantasi, penurunan berat ovarium dan berat uterus-plasenta-anak (UPA). Salah satu komponen asap rokok yang mempengaruhi proses implantasi adalah nikotin. Pemberian nikotin secara langsung maupun tidak langsung dapat menghambat proses pembelahan sel, menghambat pembentukan blastosit, dan mengganggu masuknya embrio ke rongga rahim dan bahkan mencegah terjadinya implantasi. Efek asap rokok pada tikus bunting terhadap perkembangan anak setelah dilahirkan adalah rendahnya bobot anak setelah lepas
6
sapih, terjadinya mortalitas, peningkatan jumlah hemoglobin dan kadar hormon triiodotironin serta meningkatkan perilaku agresif. Pada usia satu hingga tiga minggu, anak tikus masih sangat bergantung pada air susu induknya. Hal ini menyebabkan bobot badan anak tikus hingga usia tiga minggu tidak berbeda dengan control, hal ini dapat diartikan bahwa tidak terjadi penurunan produksi susu induk akibat pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin. Lamanya waktu pemaparan dan jumlah rokok yang digunakan dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap proses laktasi pada induk. Hal ini terlihat dari bobot badan anak hingga usia tiga minggu. Setelah usia tiga minggu, anak-anak tikus mulai mencari makanan lain selain air susu induk. Kondisi bobot badan anak yang lebih rendah pada kelompok pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin diduga akibat kurangnya nafsu makan anak. Injeksi nikotin mempunyai pengaruh yang cepat terhadap kejadian mortalitas anak-anak tikus dibandingkan dengan pemaparan asap rokok. Mortalitas yang terjadi pada anak-anak tikus kelompok dipapar asap rokok juga dipengaruhi oleh komponen lain dalam asap rokok, hal ini menyebabkan hingga usia delapan minggu pada kelompok ini masih terjadi mortalitas yang cukup tinggi dibandingkan dengan kelompok injeksi nikotin maupun kontrol. Faktor lain yang diduga sebagai penyebab mortalitas anak pada usia delapan minggu adalah rendahnya bobot badan. Rendahnya bobot badan anak-anak tikus akibat pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin diduga karena anak tikus mengalami anoreksi ringan (kurangnya nafsu makan). Selain itu penurunan bobot badan dapat disebabkan karena anak-anak tikus dalam kondisi stres. Kondisi stres pada anak tikus dapat dilihat dengan tingginya aktivitas yang dilakukan. Hal ini terkait dengan jumlah T3 yang tinggi didalam darah. Keberadaan T3 lebih banyak digunakan untuk menghasilkan energi guna menunjang aktivitas yang meningkat, sehingga sangat sedikit protein yang disimpan dalam tubuh. Berkurangnya protein yang tersimpan dalam tubuh menyebabkan terjadinya penurunan berat badan. Pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin juga terbukti menyebabkan tingginya jumlah Hb. Peningkatan jumlah Hb menunjukkan tingginya kadar karbonmonoksida (CO) dalam darah. Orang yang mempunyai kebiasaan merokok (pasif maupun aktif), cenderung mempunyai kadar Hb yang tinggi. Hal ini disebabkan karena Hb dalam darah mempunyai kecenderungan lebih kuat untuk berikatan dengan CO yang terdapat dalam darah dari pada dengan oksigen (O2). Semakin banyak CO dalam darah, maka kadar Hb juga akan meningkat. Kata kunci: Rattus norvegicus, asap rokok, injeksi nikotin, triiodotironin.
7
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
8
EFEK ASAP ROKOK PADA TIKUS (Rattus norvegicus) BUNTING TERHADAP TAMPILAN FISIOLOGIS INDUK DAN ANAKNYA SETELAH DILAHIRKAN
SAMSURIA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Biosains Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
9
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. drh. Ariany S. Satyaningtijas, MSc
10
Judul Tesis Nama NRP
: Efek Asap Rokok pada Tikus (Rattus norvegicus) Bunting terhadap Tampilan Fisiologis Induk dan Anaknya Setelah Dilahirkan. : Samsuria : G352070261
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Ketua
Dr. Nastiti Kusumorini Anggota
Mengetahui
Koordinator Mayor Biosains Hewan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Bambang Suryobroto
Tanggal Ujian: 25 Agustus 2009
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal lulus: 03 September 2009
11
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2008 sampai Mei 2009 adalah Efek Asap Rokok pada Tikus (Rattus norvegicus) Bunting terhadap Tampilan Fisiologis Induk dan Anaknya Setelah Dilahirkan. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya terutama kepada Pembimbing, yaitu Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA dan Dr. Nastiti Kusumorini yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama penulis menempuh studi S2. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, MSc, sebagai penguji luar ujian tesis, yang telah memberikan saran-sarannya atas perbaikan tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Departemen Agama Republik Indonesia yang telah mengadakan program beasiswa pascasarjana dengan IPB, Yayasan Dana Beasiswa Maluku (YDBM) yang bekerjasama dengan Yayasan Tahija di Jakarta yang juga telah memberikan bantuan dalam penelitian ini. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Kepala MAN 2 Ambon, Bapak Drs. Jusuf Pellu yang telah memberikan ijin penulis untuk tugas belajar di IPB, serta teman-teman guru MAN 2 Ambon atas dukungannya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami, ibu, kakak, adik dan seluruh keluarga atas doa, kasih sayang dan keikhlasannya. Tidak lupa kepada pegawai laboratorium fisiologi FKH, bapak Edy Sukma, rekan-rekan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran untuk perbaikan sangat diharapkan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Agustus 2009
Samsuria Ri
12
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tomia pada tanggal 10 Desember 1974 dari bapak Ode Arsani (Almarhum) dan ibu Wa Buke (Almarhummah). Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Pendidikan Dasar penulis selesaikan di SD Negeri Sanahuni, Kecamatan Seram Barat, Maluku Tengah pada tahun 1988. Pendidikan Menengah diselesaikan di SMP Swasta Telaganipa, kecamatan Seram Barat, Maluku Tengah tahun 1991, dan Pendidikan Atas di SMA PGRI 2 Ambon tahun 1994. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Perguruan Tinggi Universitas Pattimura Ambon, pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Biologi dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2002, penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Agama, dan ditugaskan sebagai guru pada MAN 2 Ambon sampai sekarang. Tahun 2007, penulis mendapat beasiswa dari Departemen Agama Republik Indonesia untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB, Mayor Biosains Hewan. Alamat rumah sekarang di komplek MAN 2 Ambon Jl. Raya Tulehu km. 23. Kecamatan Salahutu. Email:
[email protected]. Alamat sekolah MAN 2 Ambon Jl. Raya Tulehu km. 23 Ambon telp. (0911) 3306850.
13
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL -------------------------------------------------------------------------
xiv
DAFTAR GAMBAR ---------------------------------------------------------------------
xv
DAFTAR LAMPIRAN -------------------------------------------------------------------
xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang ----------------------------------------------------------------------------Tujuan Penelitian --------------------------------------------------------------------------Hipotesis -----------------------------------------------------------------------------------Manfaat Penelitian -------------------------------------------------------------------------Kerangka Pemikiran -----------------------------------------------------------------------
1 3 3 4 5
TINJAUAN PUSTAKA Kandungan Asap Rokok ------------------------------------------------------------------Efek Asap Rokok Pada Kesehatan -------------------------------------------------------Biologi Umum Tikus --------------------------------------------------------------------Perkembangan Anak -----------------------------------------------------------------------
6 8 10 13
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ------------------------------------------------------------Bahan dan Alat ---------------------------------------------------------------------------Metode Penelitian --------------------------------------------------------------------------Tahap Persiapan Bahan ----------------------------------------------------------Tahap Persiapan Hewan Model -------------------------------------------------Tahap Perlakuan dan Pengamatan ----------------------------------------------Tahap Analisa Hormon Triiodotironin (T3) -----------------------------------Rancangan Percobaan ---------------------------------------------------------------------Analisis Data -------------------------------------------------------------------------------
16 16 16 17 17 19 22 23 23
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Asap Rokok terhadap Tampilan Fisiologis Induk ------------------------Kemampuan Reproduksi --------------------------------------------------------Gambaran Hematologi ----------------------------------------------------------Pengaruh Asap Rokok Perkembangan Anak ------------------------------------------Bobot Lahir dan Bobot badan Usia 8 Minggu -------------------------------Pertumbuhan -----------------------------------------------------------------------
24 24 28 29 30 31
14
Mortalitas Anak ------------------------------------------------------------------Kadar Hormon Triiodotironin (T3) ---------------------------------------------Gambaran Hematologi ----------------------------------------------------------Aktifitas Individu -----------------------------------------------------------------
34 37 38 40
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan --------------------------------------------------------------------------------Saran ----------------------------------------------------------------------------------------
42 42
DAFTAR PUSTAKA --------------------------------------------------------------------LAMPIRAN -------------------------------------------------------------------------------
43 49
15
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4
Jenis perlakuan dan jumlah tikus target ---------------------------------------------Parameter yang diukur pada tiap perlakuan ----------------------------------------Rata-rata keberhasilan implantasi, berat ovarium dan UPA --------------------Rata-rata jumlah Hb, hematokrit, butir darah merah, butir darah putih, dan diferensiasi butir darah putih pada induk tikus ------------------------------------5 Rata-rata bobot lahir dan bobot badan anak tikus usia depalan minggu -------6 Rata-rata jumlah Hb, hematokrit, butir darah merah, butir darah putih, dan diferensiasi butir darah putih pada anak tikus -------------------------------------
19 22 24 29 30 39
16
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Alur kerangka pemikiran ------------------------------------------------------------Rumus bangun nikotin ---------------------------------------------------------------Tahapan fase estrus pada tikus ------------------------------------------------------Kondisi kandang percobaan --------------------------------------------------------Cara Menentukan Kebuntingan Tikus --------------------------------------------Pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin ---------------------------------------Tikus percobaan yang dikorbankan setelah perlakuan 11 hari ------------------Alat opto-varimex activity monitor ------------------------------------------------Diagram penelitian -------------------------------------------------------------------Alat Automatic Gamma Counter ----------------------------------------------------Titik implantasi pada tikus perlakuan ----------------------------------------------Rata-rata bobot badan anak tikus setiap minggu ---------------------------------Rata-rata pertambahan bobot badan anak tikus setiap minggu -----------------Rata-rata persentase mortalitas anak dari ketiga perlakuan ---------------------Rata-rata kadar hormon T3 pada anak tikus usia 8 minggu -------------------Rata-rata aktivitas individu anak tikus usia delapan minggu --------------------
5 6 12 18 18 19 20 21 21 23 25 31 32 34 37 40
17
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Jadwal penelitian ----------------------------------------------------------------------
50
2
Cara pemeriksaan hematologi -------------------------------------------------------
51
3 Hasil uji ANOVA tampilan fisiologis reproduksi induk tikus -------------------
53
4 Hasil uji ANOVA gambaran hematologi induk tikus -----------------------------
55
5 Hasil uji ANOVA bobot lahir anak tikus -------------------------------------------
59
6 Hasil uji ANOVA pertumbuhan anak tikus setiap minggu ----------------------
60
7
Hasil uji ANOVA pertambahan bobot badan anak tikus setiap minggu -------
64
8
Hasil uji ANOVA persentase mortalitas anak tikus -------------------------------
69
9 Hasil uji ANOVA gambaran hematologi anak tikus -----------------------------
71
10 Hasil uji ANOVA kadar hormon triiodotironin (T3) anak tikus ----------------
75
11 Hasil uji ANOVA aktivitas anak tikus
76
---------------------------------------------
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kebiasaan merokok di Indonesia dan beberapa negara berkembang lainnya terus meningkat. Pada tahun 1996, jumlah perokok berjumlah 68% dan meningkat menjadi 72% pada tahun 2001 (Yurekli dan Bayer 2002). Perokok di Indonesia berjumlah 75% yang terdiri atas 60% populasi pria dan 15% populasi wanita (WHO 2005). Berbeda dengan di Indonesia, di negara-negara maju kebiasaan merokok justru semakin berkurang dari tahun ke tahun, dari 32% pada tahun 1996 menurun menjadi 28% pada tahun 2001, hal ini disebabkan karena mereka telah sadar akan bahaya rokok pada kesehatan (Yurekli dan Bayer 2002). Masalah asap rokok sudah merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian besar. Hal ini terbukti dengan dipilihnya rokok sebagai tema hari kesehatan sedunia oleh WHO sejak tahun 1980. Perhatian ini sudah sepantasnya diberikan karena asap rokok disamping berbahaya bagi kesehatan si perokok, juga berbahaya bagi orang-orang yang berada disekitar perokok. Data WHO (2000) menyebutkan bahwa sebagian besar rokok yang dikonsumsi di Indonesia adalah rokok kretek yang mengandung cengkeh sekitar seperempat bagian dan sisanya bumbu khusus yang menjadi ciri khas masing-masing merek rokok. Hasil survei dari Survei Global Youth Tobacco tahun 2000 memperlihatkan bahwa 88% perokok di Indonesia lebih menyukai rokok kretek dan 12% menyukai rokok putih. Kadar tar dan nikotin pada rokok kretek lebih tinggi dibandingkan dengan rokok putih (rokok tanpa cengkeh). Secara umum, rokok kretek yang dijual di Indonesia mengandung 1,9-2,76 mg nikotin dan 34-65 mg tar per batang (Widodo 2006), sedangkan rokok putih mengandung 0,05-1,4 mg nikotin dan 0,5-24 mg tar per batang (US 2000). Rokok kretek berpotensi menghasilkan asap yang lebih banyak dibandingkan dengan rokok putih (Susanna et al. 2003). Beberapa tahun belakangan ini, bahaya asap rokok tidak hanya difokuskan pada orang yang merokok (perokok aktif) tetapi juga terhadap orang-orang yang tidak merokok (perokok pasif) tetapi menghisap asap rokok yang dihasilkan oleh perokok
2
aktif. Perokok pasif mempunyai peluang yang sama bahkan lebih tinggi mendapatkan penyakit dibandingkan perokok aktif (Dalager et al. 1986; Dias-Junior 2009). Hal ini disebabkan karena perokok pasif akan menghisap asap samping yang keluar dari ujung batang rokok yang terbakar dan juga menghisap bagian dari asap utama (Friedman et al. 1983). Asap
arus samping lebih banyak dari asap arus utama
(Rubenstein et al. 2004) dan mengandung lebih banyak bahan berbahaya karena tanpa melalui penyaringan atau filter (Susanna et al. 2003). Gangguan pernapasan atau perubahan pada epitel saluran napas akibat asap rokok dapat
berupa: a)
hilangnya silia, b) hipertrofi kelenjar lendir dan peningkatan jumlah sel goblet, c) penurunan lapisan epitel bronkiolus, dan d) penurunan kandungan glutation peroksidase (GSH) jaringan paru (Hanslavina 2003; Sartono 2005). Asap rokok juga dapat menyebabkan: a) peningkatan jumlah sel makrofag dan perubahan ketebalan jaringan kolagen pada alveolus, b) terjadi proliferasi sel fibroblast dan c) peningkatan kandungan malondialdehid pada paru (Kenconoviyati 2003). Secara umum gangguan asap rokok terhadap kesehatan manusia dapat terjadi mulai pada fase janin, fase anak-anak sampai pada orang dewasa. Gangguan kesehatan itu antara lain berupa gangguan pernafasan, gangguan fertilitas, impotensi, kelainan pada jantung, sistem saraf dan kelainan pada janin (Gondodiputro 2007). Gangguan fertilitas pria akibat paparan asap rokok dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada: a) sel-sel spermatogenik, b) frekuensi sebaran stadia epitel seminiferus, c) berat testis, d) diameter tubulus seminiferus, dan e) penurunan kadar hormon testosteron (Anita 2004). Pada wanita, asap rokok dapat menghambat fungsi saluran telur yang melaksanakan transpor telur/ovum yang telah matang masuk ke dalam rahim sehingga jika terjadi pembuahan, maka embrio yang terbentuk tidak dapat bersarang pada dinding endometrium rahim untuk berkembang secara normal. Keadaan ini menyebabkan frekuensi pembuahan di luar tuba atau perkembangan embrio/janin di luar rahim (Zenzes 2000; Talbot dan Riveles 2005). Wanita hamil yang sering terpapar asap rokok dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada anaknya bahkan sebelum anak dilahirkan (fase janin). Beberapa kelainan atau gangguan asap rokok terhadap janin diantaranya adalah: a) terjadinya
3
keguguran spontan (Ness et al. 1999), b) berat badan lahir rendah, c) komplikasi saat melahirkan (Eskenazi et al.1995; Amiruddin 2005), dan
d) kelainan pada
perkembangan saraf (Lieberman et al. 1994). Berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan salah satu faktor resiko yang mempunyai kontribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal. Selain itu bayi dengan berat badan lahir rendah dapat mengalami gangguan mental dan fisik pada usia tumbuh kembang (Schmidt et al. 2002). Melihat begitu besarnya konsumsi rokok kretek dibandingkan rokok putih di Indonesia, dan besarnya bahaya yang mungkin ditimbulkannya pada wanita hamil, serta minimnya penelitian mengenai bahaya asap rokok terhadap kesehatan, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dampak rokok kretek terhadap tampilan fisiologis induk dan anaknya setelah dilahirkan, dengan tikus sebagai hewan coba. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat mengenai perubahan fisiologi pada induk maupun anak maka pada hewan model tersebut dilakukan pemeriksaan darah (hematologi) yang meliputi kadar hemoglobin (Hb), hematokrit, jumlah butir darah merah, jumlah butir darah putih dan diferensiasi butir darah putih.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh asap rokok pada tikus (Rattus norvegicus) bunting terhadap tampilan fisiologis induk dan anaknya setelah dilahirkan.
Hipotesis Pemaparan asap rokok
pada tikus (Rattus norvegicus) bunting akan
mempengaruhi tampilan fisiologis induk dan anaknya setelah dilahirkan.
4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh pemaparan asap rokok pada saat kebuntingan terhadap tampilan fisiologis induk dan anaknya, sehingga masyarakat dapat menyadari dampak asap rokok terhadap kesehatan. Data ini juga dapat digunakan untuk
penerapan dan
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan ilmu kesehatan.
.
5
Kerangka pemikiran Asap Rokok mengandung: • Nikotin • Tar • Karbonmonoksida
Induk Tikus Bunting
Sistem Respirasi
11 hari Oksigen turun 21 hari
Tampilan Induk: a. Kinerja reproduksi; terdiri atas: • Keberhasilan implantasi • Berat ovarium • Berat uterus, plasenta dan anak (UPA) b. Gambaran hematologi
Janin
Metabolisme turun
Anak
• • • • •
Pertumbuhan (bobot badan) Gambaran hematologi Mortalitas Hormon Triiodotironin (T3) Aktivitas individu
Indikator pengaruh asap rokok terhadap kesehatan ibu dan anak
Gambar 1 Alur kerangka pemikiran
6
TINJAUAN PUSTAKA
Kandungan Asap Rokok Asap rokok merupakan aerosol heterogen dari pembakaran tembakau, komponen dalam rokok dan pembungkusnya. Komposisi kimia asap rokok tergantung pada jenis tembakau dan cara pembuatan rokok (ada tidaknya filter atau bahan tambahan). Setiap batang rokok mengandung berbagai bahan kimia diantaranya adalah akrolein, karbonmonoksida, nikotin, amoniak, asam formiat, hidrogen sianida, nitrogen oksida, sianogen, phenol, aseton, methanol dan tar (Soeradi 1995; Riveles et al. 2005). Menurut Stedman (1986) asap rokok juga terdiri dari kadmium, naftalen, butan, pirene dan benzopiren. Secara umum bahan kimia pada rokok dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu komponen padat (partikel) dan komponen gas. Komponen padat adalah bagian yang tertinggal dalam filter dan merupakan radikal semiquinon/quinon seperti nikotin, tar, logam (nikel, besi, kadmium, benzipiren dan dibensokarbasol). Sedangkan komponen gas adalah bagian yang dapat melewati filter antara lain karbonmonoksida, nitrogen oksida, amoniak, gas-gas nitrosamin, hidrogen sianida, sianogen, senyawa-senyawa belerang, aldehid, dan keton (Gondodiputro 2007). Diantara berbagai bahan kimia tersebut yang paling berbahaya adalah nikotin, tar dan karbonmonoksida (Soeradi 1995). Nikotin
adalah suatu senyawa alkaloid yang terdapat dalam tanaman
tembakau. Zat ini berbentuk cairan tidak berwarna, merupakan basa yang mudah menguap dan berubah warna menjadi coklat dan berbau mirip tembakau setelah bersentuhan dengan udara (Gondodiputro 2007). Nikotin memiliki rumus molekul C6H10N2, dengan rumus bangun seperti pada Gambar 2.
Gambar 2 Rumus bangun nikotin (Hukkanen et al. 2005)
7
Perbedaan kadar nikotin dalam berbagai merek rokok tergantung pada: a) jenis dan campuran tembakau yang digunakan, b) jumlah tembakau dalam tiap batang rokok, c) senyawa tambahan yang digunakan untuk meningkatkan aroma, dan d) ada tidaknya filter dalam tiap batang rokok (Susanna et al 2003). Berdasarkan kadar nikotin dalam satu batang rokok, rokok dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu rokok dengan nikotin tinggi (> 1,2 mg), sedang (> 0,2–1,2 mg), rendah (>0,01-0,2 mg) dan tanpa nikotin (< 0,01 mg). Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru – paru. Penempelan tar pada paru-paru menyebabkan oksigen tidak dapat beredar ke pembuluh darah. Kadar tar dalam tembakau antara 0,5-35 mg/ batang (Gondodiputro 2007). Negara-negara berkembang seperti Cina, Indonesia dan India
memiliki
kandungan tar pada rokok berkisar antara 19–33 mg sedangkan negara-negara industri hanya 0,5–20 mg (WHO 2002). Tar merupakan kumpulan berbagai senyawa kimia yang diantaranya bersifat karsinogenik dan bahkan mutagenik. Beberapa senyawa kimia yang terdapat dalam tar diantaranya adalah nitrosamin, SO2 dan kadmium (Hoffmann et al. 1996). Menurut US (2000), rokok kretek di Indonesia termasuk rokok dengan kadar yang tinggi yaitu nikotin 5,07 – 5,51 mg/batang dan kadar tar yaitu 40,7 – 53,7 mg/batang, serta CO 18,2 – 23 mg/batang. Karbonmonoksida merupakan suatu gas beracun yang tidak berwarna dan tidak berbau yang dihasilkan dari proses pembakaran yang tidak sempurna. Sekitar 35% asap rokok mengandung karbonmonoksida (Soeradi 1995). Karbonmonoksida memiliki kecenderungan yang kuat untuk berikatan dengan hemoglobin dalam sel-sel darah merah dibandingkan dengan oksigen. Hal ini disebabkan karena daya ikat karbonmonoksida dengan hemoglobin 200-250 kali lebih kuat dari daya ikat oksigen dengan hemoglobin. Ikatan antara karbonmonoksida dengan hemoglobin disebut karboksihemoglobin (COHb) (Gondodiputro 2007).
8
Efek Asap Rokok Pada Kesehatan Sekitar tiga perempat dari nikotin yang dihasilkan oleh rokok yang dibakar ternyata keluar melalui asap sampingan ke udara bebas. Penelitian di Inggris menunjukkan bahwa pada sebagian besar penduduk perkotaan yang tidak pernah merokok, ternyata ditemukan nikotin dalam darahnya. Ini menunjukkan besarnya polusi udara yang disebabkan karena asap rokok (Russel et al. 1980; Aditama 1992). Asap rokok arus samping mengandung nikotin lebih banyak daripada dalam asap arus utama. Dengan demikian kadar nikotin yang dilepaskan ke lingkungan lebih banyak dari pada nikotin yang dihisap oleh perokok. Hal ini disebabkan karena asap rokok arus samping dihasilkan secara terus menerus selama rokok menyala walaupun tidak dihisap tanpa melalui penyaringan atau filter (Susanna et al. 2003). Kebiasaan merokok yang cukup tinggi pada negara-negara berkembang mengakibatkan terjadinya kematian sekitar 80–90% akibat kanker paru, 75% bronkitis, 40% kanker kandung kencing dan 25% penyakit jantung (WHO 2002). Kebiasaan merokok juga dapat memberi akibat buruk pada berbagai organ tubuh kita, mulai dari kepala (serangan stroke atau gangguan pembuluh darah otak), gangguan di paru dan jantung, berbagai keluhan di perut, gangguan pada proses kehamilan sampai pada kelainan di kaki (gangguan pembuluh darah di kaki) (Aditama 1992). Namun demikian tidak hanya perokok saja yang berisiko mendapatkan penyakit-penyakit tersebut, tetapi juga orang yang tidak merokok tetapi sering terpapar oleh asap rokok (perokok pasif) (Gondodiputro 2007). Menurut Widodo (2006), pengaruh asap rokok pada saluran pernapasan dapat menimbulkan: a) perubahan histopatologi dan ultrastruktur saluran napas, b) penyempitan saluran napas, c) turunnya tegangan permukaan alveolus,
dan d)
perubahan pada ultrastruktur pneumosit tipe I, tipe II dan sel clara yang mengarah pada kematian sel. Gangguan kesehatan lain yang disebabkan oleh kebiasaan merokok adalah gangguan reproduksi. Pada wanita gangguan reproduksi dapat bermacam-macam bentuknya mulai dari gangguan menstruasi, menopause lebih awal, sulit untuk hamil, kehamilan diluar kandungan, keguguran dan timbulnya kelainan pada janin (Zavos dan Zarmakoupis 1999)
9
Pada wanita perokok atau sering terpapar asap rokok, efek nikotin yang merugikan antara lain menghambat pembentukan hormon estrogen. Hormon estrogen ini sangat penting bagi wanita, misalnya pada proses pematangan telur/ovum dan perkembangan lapisan endometrium rahim (uterus). Meningkatnya pembentukkan folikel atresia, yaitu sel telur yang gagal berkembang, merupakan akibat lain yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, wanita perokok atau sering terpapar asap rokok memiliki resiko kemandulan lebih tinggi daripada wanita bukan perokok (Soeradi 1995). Nikotin pada wanita perokok (apalagi perokok berat) dapat menghambat fungsi saluran telur (tuba falopii/tuba uteri) yang melaksanakan transpor telur/ovum yang telah matang masuk ke dalam rahim. Dengan demikian, kalau terjadi pembuahan (fertilisasi), maka embrio yang terbentuk tidak bisa bersarang pada dinding endometrium rahim untuk berkembang secara normal. Keadaan ini menyebabkan frekuensi pembuahan di luar tuba atau perkembangan embrio/janin di luar rahim pada wanita perokok meningkat. Selain dari itu, hormon progesteron yang diperlukan untuk mempertahankan kehamilan menurun, sehingga merugikan perkembangan janin dalam rahim. Disamping itu pengaruh karbonmonoksida yang menimbulkan keadaan hipoksia (kekurangan oksigen) dalam jaringan janin, yang bisa menghambat pertumbuhan, kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, bahkan risiko kematian janin (Zenzes 2000). Paparan asap rokok juga berpengaruh pada fungsi dan volume kelenjar tiroid (Pontikides & Krassas 2002). Kelenjar tiroid adalah salah satu kelenjar endokrin yang tumbuh pada masa perkembangan suatu individu. Kelenjar tiroid menghasilkan hormon-hormon tiroid yang pada dasarnya berfungsi sebagai pengatur tumbuh. Hormon ini bekerja sebagai katalisator reaksi oksidatif dan mengatur kecepatan metabolisme di dalam tubuh. Adapun yang termasuk hormon tiroid adalah triiodotironin (T3), tiroksin (T4) dan kalsitonin (Turner dan Bagnara 1976). Kelainan pada kelenjar tiroid akan menyebabkan pembentukan hormon tiroid yang berlebihan (hipertiroidisme) dan defisiensi produksi hormon tiroid (hipotiroidisme) (Price dan Wilson 2005).
10
Biologi Umum Tikus Tikus (Rattus norvegicus) sebagai hewan uji digolongkan ke dalam kelas Mamalia, bangsa Rodentia, suku Muridae dan marga Rattus. Tikus merupakan salah satu hewan mamalia yang mempunyai peranan penting untuk tujuan ilmiah, karena memiliki daya adaptasi yang baik. Tikus memiliki beberapa galur yang merupakan hasil persilangan sesama jenis. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Wistar, Long-Evans dan Sprague-Dawley (Weihe 1989). Sprague-Dawley merupakan salah satu galur yang dikembangkan di Winconsin pada tahun 1925 oleh R.W. Dawley untuk pembibitan komersial. Galur Sprague-Dawley merupakan galur tikus albino yang memiliki panjang leher sedang, sementara panjang tubuhnya bisa sama panjang atau lebih pendek dari ekornya (Festing 1979) Sebagai hewan laboratorium tikus banyak digunakan dalam penelitian dan percobaan antara lain untuk mempelajari pengaruh obat-obatan, toksisitas, metabolisme, embriologi, maupun dalam mempelajari tingkah laku. Hal ini disebabkan karena tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esophagus bermuara ke dalam lambung dan tidak mempunyai kantung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Umur dewasa tikus dicapai saat 3-4 bulan, dengan masa kebuntingan 21-22 hari. Kebanyakan tikus mulai kawin pada umur 8–9 minggu. Waktu kawin tikus dilakukan pada masa estrus. Siklus estrus adalah suatu kegiatan fisiologik hewan betina dengan ciri-ciri khusus yang ditandai dengan keinginan untuk kawin. Siklus estrus berlangsung sekitar 4–5 hari dan segera sesudah beranak (post-partum estrus). Untuk mengetahui tahapan pada siklus estrus, dilakukan ulas vagina atau papsmear. Berdasarkan histologi vagina, siklus estrus pada tikus dibagi menjadi empat fase (Gambar 3) yaitu: a) proestrus, b) estrus, c) metestrus, dan d) diestrus (Partodihardjo 1992). Proestrus adalah fase menjelang estrus dimana gejala birahi mulai muncul akan tetapi hewan betina belum mau menerima pejantan untuk melakukan kawin. Pada fase ini folikel de graaf tumbuh dibawah pengaruh FSH dan estrogen. Peningkatan konsentrasi estrogen dan penurunan sekresi progesteron menyebabkan
11
corpus luteum (CL) mengecil dan atresia. Saluran reproduksi termasuk mukosa vagina mulai mendapatkan vaskularisasi yang lebih intensif sehingga sel-sel epitel saluran reproduksi mulai berproliferasi. Baker et al. (1980) mengemukakan bahwa fase proestrus dapat diketahui dengan adanya dominasi sel-sel epitel berinti yang muncul secara tunggal atau bertumpuk jika dilihat dengan menggunakan metode ulas vagina. Fase ini berlangsung selama kira-kira 12 jam (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Fase estrus merupakan fase setelah proestrus ditandai dengan keinginan untuk kawin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina untuk kopulasi. Fase estrus dapat diketahui dengan adanya sel-sel kornifikasi yaitu sel epitel yang mengalami penandukan dan seringkali tanpa inti (Baker et al. 1980). Fase ini berlangsung kirakira 12 jam dan biasanya lebih sering terjadi pada malam hari daripada siang hari. .
Fase metestrus merupakan kelanjutan dari fase estrus dan berlangsung
selama 6-15 jam. Fase ini ditandai dengan tumbuhnya CL dan sel-sel granulosa folikel dengan cepat yang dipengaruhi oleh luteinizing hormone (LH) dari adenohyphofisa. Fase metestrus dapat diketahui dengan adanya dominasi sel-sel tanduk dan sel-sel leukosit jika dilihat dengan menggunakan metode ulas vagina (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Sedangka fase diestrus merupakan fase terpanjang diantara fase-fase siklus estrus lainnya. Fase diestrus berlangsung selama 60 – 70 jam (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Pada fase ini kontraksi uterus menurun, endometrium menebal dan kelenjar-kelenjar mengalami hipertropi, serta mukosa vagina menipis, warna lebih pucat dan leukosit yang bermigrasi semakin banyak. Gambaran ulas vagina pada fase ini menunjukkan leukosit dalam jumlah yang banyak (Turner dan Bagnara 1976).
12
Proestrus
Estrus
Diestrus Metestrus Gambar 3 Tahapan fase estrus pada tikus (Safrida 2008) Tikus bersifat poliestrus yaitu hewan yang memiliki siklus birahi lebih dari dua kali dalam satu tahun. Perkawinan yang terjadi dalam jangka waktu 24 jam dapat diketahui dengan mengamati sumbat vagina yang merupakan penggumpalan air mani dan berasal dari sekresi kelenjar khusus betina atau memeriksa adanya spermatozoa dalam sediaan apusan vagina (Malole dan Pramono 1989). Sifat reproduksi tikus menyerupai mamalia besar, memiliki interval generasi yang pendek dan berukuran kecil sehingga memudahkan dalam pemeliharaan serta efisien dalam konsumsi pakan (10 gram/100 gram berat badan). Berat badan tikus jantan dewasa sekitar 450–520 gram, dan tikus betina dewasa sekitar 250 – 300 gram. Tikus memiliki jumlah anak yang banyak per kelahiran (6-12 ekor), dengan berat lahir antara 5–6 gram, dan memiliki kecepatan tumbuh 5 gram/hari (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Menurut Malole dan Pramono (1989), tikus betina menjilat vulvanya sebelum anaknya lahir. Selanjutnya betina menarik anak keluar dari vulva dengan mulutnya. Setelah itu betina akan memakan plasenta sebelum menjilat anaknya sampai kering dan akan mengumpulkan semua anaknya sesudah yang terakhir lahir, kemudian anak-anaknya dapat disapih sampai berumur 21 hari.
13
Perkembangan Anak Perkembangan (development) adalah proses atau tahapan pertumbuhan ke arah yang lebih maju. Pertumbuhan (growth) berarti tahapan peningkatan sesuatu dalam hal perubahan besar, jumlah, ukuran/dimensi sel, organ maupun individu yang diukur dengan ukuran berat, ukuran panjang, umur tulang dan keseimbangan metabolik (Soetjiningsih 1995). Pertumbuhan juga dapat berarti sebuah tahapan. Dalam ilmu kesehatan anak istilah pertumbuhan dan perkembangan menyangkut semua aspek kemajuan yang dicapai dari konsepsi sampai dewasa. Secara umum seluruh proses perkembangan individu menjadi invidu yang sempurna (dirinya sendiri) berlangsung dalam tiga tahap yaitu: 1) tahap proses konsepsi, 2) tahap proses kelahiran, dan 3) tahap proses perkembangan individu bayi tersebut menjadi seorang pribadi yang khas. Indikator pertumbuhan yang banyak digunakan adalah berat badan dan pertambahan berat (Rogol et al. 2000). Secara umum dua faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik merupakan dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang anak. Melalui intruksi-instruksi genetik yang terkandung di dalam sel telur yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas pertumbuhan, dan ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas dan berhentinya pertumbuhan tulang. Yang termasuk faktor genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, dan suku bangsa (Rona 1981). Sedangkan faktor lingkungan adalah faktor yang sangat menentukan tercapai atau tidaknya potensi bawaan. Secara umum faktor lingkungan dibagi menjadi dua bagian yaitu: 1) faktor lingkungan pada waktu masih di dalam kandungan (faktor prenatal), dan 2) faktor lingkungan setelah lahir (faktor postnatal). Pertumbuhan linear untuk bayi dan anak lebih banyak ditentukan oleh faktor lingkungan sebelum lahir daripada setelah lahir (Soetjiningsih 1995). Lingkungan prenatal yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin mulai dari konsepsi sampai lahir, antara lain adalah: gizi ibu pada waktu hamil, mekanis (posisi fetus yang tidak normal), toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, stres,
14
imunitas, dan anoksia embrio ( (Lay dan Wilson 2002). Lingkungan postnatal adalah masa dimana bayi yang baru lahir harus melewati masa transisi, dari suatu sistem yang teratur yang sebagian besar tergantung pada organ-organ ibunya, ke suatu sistem yang tergantung pada kemampuan genetik dan mekanisme homeostatik bayi itu sendiri. Adapun faktor lingkungan postnatal yang mempengaruhi tumbuh kembang anak secara umum dapat digolongkan menjadi: a) faktor biologis, b) faktor fisik, c) faktor psikososial (kemandirian dan perilaku), dan d) faktor keluarga dan adat istiadat (Soetjiningsih 1995). Menurut Schmidt et al. (2002), faktor lingkungan yang juga mempengaruhi perkembangan anak baik masa prenatal maupun postnatal adalah gizi dan pola asuh. Anak yang mengalami kurang gizi pada tingkat tertentu dapat menyebabkan berat otak, jumlah sel, ukuran besar sel, dan zat-zat biokimia lainnya lebih rendah daripada anak yang normal. Akibat kurang gizi akan menjadi lebih berat, apabila kurang gizi dimulai sejak dalam kandungan. Kemunduran mental yang diakibatkan oleh keadaan kurang gizi yang berat, dapat bersifat permanen. Tetapi pada keadaan kurang gizi yang ringan maupun sedang, kemunduran mental dapat dipulihkan sejalan dengan bertambah baiknya keadaan gizi dan lingkungan tempat anak dibesarkan. Menurut Halfon dan Inkelas (2003), perkembangan fisik merupakan awal dari perkembangan pribadi seseorang yang bersifat biologis. Perkembangan fisik ini mencakup aspek-aspek anatomis dan fisiologis. Aspek anatomis ditunjukkan dengan adanya perubahan kuantitatif pada struktur tulang. Indeks tinggi dan berat badan, proporsi tinggi kepala dengan tinggi garis badan secara keseluruhan. Sedangkan aspek fisiologis ditandai dengan adanya perubahan secara kuantitatif, kualitatif, dan fungsional dari sistem-sistem kerja hayati seperti otot, peredaran darah, pernapasan, syaraf, sekresi kelenjar dan pencernaan. Pengaturan fisiologis pada sel-sel tubuh dilakukan oleh suatu hormon/zat kimia yang disekresi dalam cairan tubuh oleh suatu sel/kelompok sel. Salah satu hormon yang berpengaruh pada proses pertumbuhan dan perkembangan adalah hormon somatotrof dan hormon-hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid. Hormon yang paling banyak disekresi oleh kelenjar tiroid adalah tiroksin, akan tetapi juga
15
disekresikan triiodotironin dalam jumlah yang sedang. Fungsi kedua hormon ini secara kualitatif sama, tetapi berbeda dalam kecepatan dan intensitas kerja. Triiodotironin memiliki kecepatan empat kali lebih cepat dari tiroksin, tetapi terdapat jauh lebih sedikit dalam darah (Guyton 1990).
16
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2008 sampai bulan Mei 2009 yang bertempat di kandang hewan percobaan dan Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) kampus Darmaga Institut Pertanian Bogor (IPB) serta di di Laboratorium Klinik Prodia Bogor untuk analisa hormon.
Bahan dan Alat Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dan betina galur Sprague-Dawley sebanyak 45 ekor yang terdiri atas 15 ekor jantan dan 30 ekor betina dan telah berumur 14 minggu dengan bobot badan ± 250-300 gram. Hewan-hewan ini berasal dari bagian hewan percobaan Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bahan-bahan lain yang diperlukan adalah rokok kretek, nicotine pure for synthesis (C10H14N2), pelet, air, kit triiodotironin, kapas, cotton buds, giemsa, larutan Hayem, larutan Turk, larutan NaCl fisiologis 0.9%, éter, buffer normal formalin (BNF) 10%, aquadest, tissu penyerap dan sekam. Alat yang diperlukan dalam penelitian ini adalah perangkat kandang tikus, smoking chamber, pompa udara, tabung oksigen, Automatic Gamma Counter, sentrifius, timbangan dial-0-gram 1600 series, timbangan digital, seperangkat alat bedah, mikroskop, tabung reaksi, stopless,
spuit, mikropipet, pipet pengencer,
hematocrit reader, hemositometer (kamar hitung), alat bantú hitung (counter), cawan, spektrofotometer, Opto-varimex Activity Monitor, kaca preparat dan gelas objek.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu: a) tahap persiapan alat dan bahan, b) tahap perlakuan yaitu pemaparan dengan asap rokok dan injeksi nikotin, c) tahap pemeliharaan dan pengamatan, dan e) tahap analisa yaitu analisa darah (pemeriksaan hematologi) pada anak tikus dan induk, dan analisa kadar hormon triiodotironin (T3) pada anak tikus.
17
Parameter yang diamati terbagi menjadi dua yaitu pada induk tikus yang terpapar dan pada anak-anak tikus yang dilahirkan. Parameter pada induk dititikberatkan pada tampilan kemampuan reproduksinya yang meliputi keberhasilan implantasi, berat ovarium, berat uterus-plasenta-anak (UPA) serta gambaran hematologi (hemoglobin, hematokrit,
butir darah merah, butir darah putih dan
diferensiasi butir darah putih). Sedangkan parameter yang diamati pada anak tikus adalah bobot badan, pertambahan bobot badan, mortalitas, kadar hormon T3, gambaran hematologi (hemoglobin, hematokrit, butir darah merah, butir darah putih dan diferensiasi butir darah putih) serta aktivitas individu.
Tahap Persiapan Bahan Bahan utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah rokok kretek yang menurut survei adalah rokok kretek yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia dengan kandungan nikotin 2,76 mg/batang, tar 45,77 mg/batang, eugenol 14,70 mg/batang, CO 2,70% atau 16,66 mg/batang berdasarkan hasil uji dari Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional Jakarta (Widodo 2006). Nikotin yang digunakan adalah nicotine pure for synthesis (C10H14N2) 99% produksi Honenbrunn German dengan merek dagang Schuchardt OHG 85662.
Persiapan Hewan Model Sebelum percobaan dimulai semua tikus diadaptasikan di lingkungan kandang percobaan (Gambar 4) selama 10 hari. Tikus jantan dan tikus betina ditempatkan pada kandang (bak) plastik secara individual dengan tutup terbuat dari kawat ram dan dialasi sekam. Pakan berupa pellet dan air minum diberikan ad libitum. Lingkungan kandang dibuat agar tidak lembab, ventilasi dan penyinaran yang cukup.
18
A. adaptasi tikus
B. kandang (bak) pemeliharaan
C. tikus jantan dan betina
Gambar 4 Kondisi kandang percobaan Perkawinan dilakukan dengan cara satu mencampurkan satu ekor tikus jantan dengan dua ekor tikus betina dalam satu kandang. Pada keesokan harinya dilakukan pembuktian perkawinan dengan cara melakukan ulas vagina “papsmear” yaitu metode yang dipakai untuk melihat adanya sperma pada preparat apusan vagina tikus (Gambar 5). Jika pada preparat apusan vagina tikus ditemukan sperma maka pada hari tersebut ditetapkan sebagai kebuntingan hari pertama.
A. Ulas vagina “papsmear” B. Sperma tikus pada preparat ulas vagina Gambar 5 Cara menentukan kebuntingan tikus Tikus-tikus percobaan yang dinyatakan bunting pada kebuntingan hari kesatu dikelompokkan kedalam tiga kelompok (Tabel 1) yaitu: 1) kelompok kontrol, 2) kelompok yang dipapar asap rokok, dan 3) kelompok yang diinjeksi nikotin (sebagai pembanding). Tikus kelompok perlakuan dibagi dalam dua kelompok yaitu: 1) tikus yang dikorbankan pada hari kebuntingan ke-11, untuk mendapatkan data fisiologis induk, dan 2) tikus yang dibiarkan sampai melahirkan, selanjutnya anaknya dipelihara untuk mendapatkan data perkembangan anak.
19
Tabel 1 Jenis perlakuan dan jumlah tikus betina target Total
Kelompok 1
Kontrol 5 ekor
Dipapar asap rokok 5 ekor
Injeksi nikotin murni 5 ekor
15 ekor
2
5 ekor
5 ekor
5 ekor
15 ekor
Jumlah
10 ekor
10 ekor
10 ekor
30 ekor
Tahap Perlakuan dan Pengamatan Tikus-tikus yang telah dinyatakan bunting (pada kebuntingan hari kesatu) selanjutnya diberi perlakuan dengan pemaparan asap rokok. Pemaparan dimulai dengan memasukkan 5 ekor tikus bunting ke dalam smoking chamber kemudian rokok dipasang pada pipa yang dihubungkan dengan pompa udara (Gambar 6). Rokok kretek yang telah dipasang dibakar dan pompa udara dinyalakan, bersamaan dengan itu oksigen juga dialirkan kedalam smoking chamber dengan kecepatan 0,5 ppm. Perlakuan pemaparan dilakukan dengan menggunakan 4 batang rokok selama 1 jam setiap hari dengan selang waktu 10-15 menit setiap batang selama 11 hari untuk kelompok pertama dan 21 hari untuk kelompok kedua. Pemaparan dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB. Sebagai pembanding (kontrol positif) dilakukan penyuntikan (injeksi) dengan menggunakan nikotin murni (99%) secara subcutan dengan dosis 3 mg/kg bb yang dilarutkan dalam larutan NaCl 0,9% (Hudson dan Timiras 1972). Dosis ini diujicobakan beberapa kali, hingga mendapatkan dosis yang tepat yaitu 0.5 mg/kg bb.
A. Dipapar asap rokok
B. Injeksi nikotin
Gambar 6 Pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin
20
Pada kelompok pertama, setelah 11 hari perlakuan, sebagian tikus percobaan dianestesi dengan cara memasukkan induk tikus kedalam stopless yang berisi eter, kemudian darahnya diambil untuk pemeriksaan hematologi, dan selanjutnya induk tikus dibedah (Gambar 7). Pembedahan dilakukan untuk mengetahui jumlah titik implantasi, jumlah korpus luteum, berat ovarium dan berat uterus, plasenta, anak (UPA). Perlakuan ini dilakukan sebanyak empat kali ulangan (n=4). Sedangkan untuk perlakuan 21 hari, setelah perlakuan, tikus dibiarkan dalam kandang dengan tetap diberi pakan sampai tikus melahirkan. Pengambilan data bobot badan dilakukan dengan menimbang anak tikus sesaat setelah lahir (bobot lahir). Kemudian untuk mengetahui pertumbuhannya, anak tikus tetap dipelihara di kandang percobaan (tanpa perlakuan), disapih sampai berusia tiga minggu dan ditimbang satu kali tiap minggu selama delapan minggu. Pengamatan ini dilakukan sebanyak lima kali ulangan (n=5) untuk masing-masing kelompok perlakuan.
A. Proses anestesi
B. Pengambilan darah C. Proses pembedahan
Gambar 7 Tikus percobaan yang dikorbankan setelah perlakuan 11 hari Pengamatan terhadap aktivitas anak tikus dilakukan setelah anak tikus berusia delapan minggu. Aktivitas anak tikus yang diamati meliputi: a) jarak perpindahan anak tikus dari satu tempat ke tempat lain (distance traveled), b) waktu istirahat tikus (resting time), c) waktu yang dibutuhkan oleh tikus untuk memulai suatu gerakan (ambulatory time), dan d) waktu selama tikus melakukan gerakan stereotypic, seperti gerakan menggaruk, menjilat-jilat dan mencium (stereotypic time). Pengamatan aktivitas anak tikus dilakukan dengan cara anak tikus dimasukkan ke dalam Optovarimex Activity Monitor (Gambar 8). Jarak perpindahan dan lamanya waktu
21
bergerak anak tikus dalam opto-varimex dihitung dengan menggunakan program Auto-Track System 4.31 selama 5 menit (waktu yang ditentukan).
Gambar 8 Alat Opto-varimex Activity Monitor Setelah pengamatan aktivitas, anak tikus dianestesi untuk pengambilan darah. Darah diambil dari jantung sebanyak 1 ml, selanjutnya darah yang diambil dianalisa untuk
mengetahui
gambaran
hematologi,
dan
sebagian
disentrifius
untuk
mendapatkan serum dan disimpan untuk analisa hormon T3. Pemeriksaan hematologi (Lampiran 2) dilakukan sebanyak lima kali ulangan (n=5) pada masing-masing kelompok perlakuan. Sedangkan analisa hormon T3 dilakukan dengan menggunakan metode radioimunoassay (RIA) sebanyak tiga kali ulangan (n=3) pada masingmasing kelompok perlakuan. Diagram penelitian dan parameter dari tiap perlakuan yang diamati dalam penelitian ini ditampilkan pada Gambar 9 dan Tabel 2. Tikus Jantan
+
Tikus Betina
Tikus Bunting
Kontrol
Dipapar Asap Rokok
Diinjeksi Nikotin
Selama 11 hari dan 21 hari
Dikorbankan pada 11 hari kebuntingan untuk data fisiologis induk, dan dibiarkan sampai melahirkan dan anaknya dipelihara untuk melihat perkembangan anak
Gambar 9 Diagram Penelitian
22
Tabel 2 Parameter yang diukur pada tiap perlakuan Perlakuan
11 hari* Reproduksi Hematologi
Bobot badan
21 hari** Hematologi Hormon T3
Aktivitas
Kontrol
9
9
9
9
9
9
Asap Rokok Nikotin
9 9
9 9
9 9
9 9
9 9
9 9
Keterangan: * Induk, **Anak
Tahap Analisis Hormon Triiodotironin Analisis hormon T3 dilakukan dengan cara sampel darah diambil dari jantung sebanyak 1 ml kemudian disentrifusi dengan kecepatan 2.000 rpm selama 30 menit guna mendapatkan serum dari darah. Teknik fase-padat dengan menggunakan kit triiodotironin coat-a-count yang berisi triiodotironin berlabel 125I, seri larutan standar A, B, C, D, E dan F berturut-turut berisi T3 dengan konsentrasi 0, 20, 50, 100, 200, dan 600 pg/ml yang diperoleh dari diagnostic product corporation (Los Angeles, CA). Volume sampel yang direkomendasikan adalah 100 µl. Supaya konsentrasi sampel dapat masuk dalam kisaran standar yang direkomendasikan pembuat kit, maka sampel dipekatkan sampai 3 kali. Untuk melihat adanya variasi hasil dengan pengenceran sampel terhadap konsentrasi hormon, maka dilakukan pengujian dengan menggunakan volume sampel 100, 200, 300 µl. Tabung untuk Non Spesific Binding (NSB) dan Total Count (T) diberi label dan masing-masing dibuat duplo. Sebanyak 12 tabung diberi label masing-masing A (MB), B, C, D, E, dan F (duplo). Dengan menggunakan mikropipet 100 µl larutan standar konsentrasi 0, 20, 50, 100, 200, dan 600 pg/ml dipipet hingga ke dasar tabung. Pada tabung NSB dimasukkan juga 100 µl larutan standar A. Tabung-tabung lainnya diisi sampel masing-masing sebanyak 300 µl. Ke dalam tiap tabung ditambahkan 1 ml T3 berlabel kemudian divorteks. Keseluruhan campuran itu diinkubasikan selama 3 jam dalam keadaan temperatur kamar. Sisa cairan yang ada dalam tiap tabung dituang dan tabung dibiarkan kering selama 3 menit. Radioaktivitas yang terikat pada tabung dicacah dengan menggunakan Automatic
23
Gamma Counter (Gambar 10) selama 1 menit. Persen radioaktifitas yang terikat dihitung dengan membagi CPM sampel maupun standar dengan CPM standar A (MB). Persamaan kurva standar dihitung dengan persamaan regresi linier persen radioaktivitas yang terikat sebagai Y dan log konsentrasi standar sebagai X. Konsentrasi T3 sampel dihitung dengan memasukkan nilai persen radioaktivitas terikat sampel ke persamaan kurva standar.
Gambar 10 Alat Automatic Gamma Counter Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan pola rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 (tiga) kelompok perlakuan dan 5 (lima) kali ulangan yang terbagi atas: 1) tikus bunting tanpa perlakuan (kontrol), 2) tikus bunting yang dipapar asap rokok dan 3) tikus bunting yang diinjeksi nikotin (sebagai pembanding).
Analisis Data Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan Analysis of (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan pada selang
kepercayaan 95%
(α = 0.05) dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 16 (Santoso 2008).
Variance
24
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Asap Rokok terhadap Tampilan Fisiologis Induk Kemampuan Reproduksi Kemampuan reproduksi pada induk tikus diukur dari keberhasilan implantasi, berat ovarium dan berat UPA (Tabel 3). Keberhasilan implantasi adalah kemampuan induk dalam mempertahankan implantasi. Nilai keberhasilan implantasi didapatkan dari jumlah titik implantasi dibagi jumlah korpus luteum kali 100%. Tabel 3
Rata-rata keberhasilan implantasi, berat ovarium kelompok perlakuan.
Perlakuan Kontrol (n=4) Asap Rokok (n=4) Nikotin (n=4)
dan berat UPA dari
Keberhasilan Implantasi (%) 99,11a±0,85
Berat Ovarium (gr) 0,33a±0,08
Berat UPA* (gr) 1,64a±0,21
61,50b±7,70 29,61c±17,19
0,10b±0,04 0,10b±0,02
0,28b±0,17 0,57b±0,22
Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). *UPA (Uterus, Anak dan Plasenta).
Tabel 3 menunjukkan bahwa pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin dapat menurunkan keberhasilan implantasi bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (P<0,05). Penurunan keberhasilan implantasi pada kelompok dipapar asap rokok terjadi sebesar 38.5% bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan untuk kelompok injeksi nikotin, penurunan implantasi terjadi lebih besar dan mencapai 70,4%. Keberhasilan implantasi pada tikus juga dapat dilihat dengan banyaknya titik implantasi disepanjang uterus (Gambar 11). Implantasi normal terlihat pada kelompok kontrol dengan jumlah titik implantasi yang banyak. Titik implantasi yang tidak normal, terlihat pada induk tikus dari kelompok dipapar asap rokok sedangkan kegagalan implantasi terjadi pada induk tikus kelompok injeksi nikotin.
25 Titik implantasi tidak normal
Titik implantasi normal
A. kontrol
UPA
B. dipapar asap rokok
Gagal implantasi
C. diinjeksi nikotin
Gambar 11 Titik implantasi pada tikus perlakuan
Dari Gambar 11 dapat diketahui bahwa keberhasilan implantasi ditandai dengan banyaknya jumlah titik implantasi yang terdapat disepanjang uterus bagian kanan dan kiri. Jumlah titik implantasi pada uterus kanan maupun kiri dapat mencapai 5-7 titik implantasi. Sedangkan pada implantasi yang tidak normal, banyaknya titik implantasi adalah kurang dari lima pada masing-masing uterus (kanan dan kiri). Implantasi tidak normal juga ditandai dengan adanya bintik hitam pada bagian titik implantasi. Bintik hitam pada titik implantasi menandakan adanya kelainan yang terjadi pada awal proses implantasi, dan ini sangat mempengaruhi perkembangan embrio. Kegagalan implantasi ditandai dengan tidak terdapatnya titik implantasi disepanjang uterus bagian kanan maupun kiri. Hal ini disebabkan karena belum terjadinya proses implantasi. Kegagalan implantasi dapat terjadi pada awal proses implantasi, dimana zigot yang telah dibuahi tidak dapat mencapai uterus. Pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin dapat mempengaruhi berat ovarium. Ovarium pada kelompok dipapar asap rokok maupun kelompok injeksi nikotin lebih ringan bila dibandingkan dengan berat ovarium pada kelompok kontrol (P<0,05). Sedangkan berat ovarium pada kelompok dipapar asap rokok dan kelompok injeksi nikotin tidak berbeda. Pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin juga dapat mempengaruhi berat UPA bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (P<0,05). Berat UPA pada kelompok dipapar asap rokok maupun kelompok injeksi nikotin lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan UPA pada kelompok dipapar asap rokok maupun kelompok injeksi nikotin tidak berbeda.
26
Pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin pada tikus bunting selama 11 hari kebuntingan terbukti mempengaruhi tampilan reproduksi pada tikus betina bunting. Adapun akibat yang disebabkan oleh pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin terhadap tampilan reproduksi adalah: a) berkurangnya kemampuan implantasi, b) penurunan berat ovarium, dan c) penurunan berat uterus-plasenta-anak (UPA). Kegagalan dalam proses implantasi adalah salah satu penyebab kegagalan dalam proses reproduksi seperti apa yang diutarakan oleh Price dan Wilson (2005), yang menyatakan bahwa keberhasilan sistem reproduksi diawali dengan terjadinya proses implantasi. Salah satu komponen asap rokok yang dapat mempengaruhi proses implantasi adalah nikotin. Pemberian nikotin secara langsung maupun tidak langsung dapat menghambat proses pembelahan sel, menghambat pembentukan blastosit, dan mengganggu masuknya embrio ke rongga rahim dan bahkan mencegah terjadinya implantasi (Card dan Mitchell 1979). Berdasarkan hasil penelitian ini, pengaruh nikotin yang berasal dari asap rokok lebih kecil, jika dibandingkan dengan nikotin yang diberikan secara injeksi. Hal ini disebabkan karena nikotin yang diberikan secara langsung merupakan nikotin murni yang mempunyai kadar nikotin lebih tinggi (99%), sehingga pengaruhnya lebih cepat terhadap kerusakan korpus luteum dan menggagalkan implantasi. Menurut Soeradi (1995), tikus betina yang dipapar asap rokok kretek selama 50 hari, setelah dikawinkan menunjukkan peningkatan kelainan dan gangguan pada janin secara bermakna, ini disebabkan karena tingginya kadar nikotin dan tar dalam asap rokok kretek. Komponen lain dari asap rokok yang mempengaruhi kegagalan implantasi menurut Zenzes (2000) adalah kadmiun. Menurut Soeradi (1995), kadmiun merupakan salah satu komponen karsinogenik utama dalam tar yang dapat menyebabkan kegagalan dalam proses implantasi. Dalam penelitian ini, asap rokok dan injeksi nikotin juga menyebabkan penurunan berat ovarium. Menurut Nalbandov (1990), ovarium yang lebih fungsional sedikit lebih berat dan struktur didalamnya lebih besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat ovarium yang rendah ditemukan pada kelompok yang mendapat paparan asap rokok dan injeksi nikotin. Menurut Yoshinaga et al. (1979) dan Winarsi (1985),
27
nikotin dapat menyebabkan gangguan pematangan pada sel telur sehingga sulit terjadi kehamilan. Hal ini dapat terjadi karena hidrokarbon polisiklik yang terdapat dalam asap rokok bersifat toksik terhadap sel ovarium. Selain itu, komponen alkaloid dalam asap rokok yakni nikotin, ternyata menekan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap penurunan fertilitas ovarium dan kejadian keguguran lebih tinggi. Talbot dan Riveles (2005) mengemukakan bahwa komponen lain dari asap rokok yang juga mempengaruhi fungsi ovarium adalah komponen tar yang terdiri dari piridin, pirazin dan phenol. Paparan asap rokok dan injeksi nikotin juga terbukti mempengaruhi berat UPA. Menurut Xiao et al. (2007), hal ini disebabkan karena nikotin dalam rokok menyebabkan pembuluh darah pada tali pusat (plasenta) dan uterus menyempit, sehingga akan menurunkan jumlah oksigen yang diterima janin. Wanita yang merokok selama kehamilan memiliki resiko pecahnya membran secara prematur sebelum proses kelahiran dimulai. Ini dapat mengakibatkan kelahiran prematur dan kemungkinan kematian janin. Selain itu nikotin yang masuk kedalam darah akan menghambat proses pembelahan (Zenzes 2000). Pembelahan sel-sel yang tidak sempurna menurut Ganong (1995) dapat menyebabkan perkembangan janin yang tidak normal. Gangguan yang berarti pada periode awal ini mengakibatkan terjadinya resiko yang sangat besar terhadap proses perkembangan selanjutnya. Gangguan yang berulang-ulang selama tahap awal kehamilan bahkan sampai setengah periode kehamilan atau dari awal kehamilan sampai tahap akhir periode kehamilan, dapat menyebabkan terganggunya proses pembelahan sel, kegagalan implantasi embrio akibat kerusakan uterus,
dan rusaknya sel akibat pemberian senyawa kimia.
Kerusakan ini mungkin akibat koagulasi, denaturasi protein protoplasma sel atau menyebabkan sel mengalami lisis, yakni dengan mengubah struktur membran sel sehingga mengakibatkan kebocoran isi sel (Siswandono dan Bambang 1993). Rugh (1971) mengemukakan pembelahan sel yang pertama pada tikus maupun mencit terjadi 24 jam (1 hari) setelah pembuahan. Pembelahan terjadi secara cepat di dalam oviduk dan berulang-ulang. Menjelang hari kedua setelah pembuahan
28
embrio sudah berbentuk morula 16 sel. Bersamaan dengan pembelahan, embrio bergulir menuju uterus. Menjelang hari ketiga kehamilan embrio telah masuk ke dalam uterus, tetapi masih berkelompok-kelompok. Pada akhirnya embrio akan menyebar di sepanjang uterus dengan jarak yang memadai untuk implantasi dengan ruang yang cukup selama masa pertumbuhan. Menurut Sperber (1991) diakhir tahap pembelahan akan terbentuk blastula. Blastula akan membentuk massa sel sebelah dalam (ICM) dan tropectoderm yang akan berkembang menjadi plasenta. ICM akan berkembang menjadi hipobals dan epiblas, dimana epibalas akan berkembang menjadi embrio sedangkan hipobalas akan berkembang menjadi selaput ekstra embrio. Selanjutnya menurut Rugh (1971) blastomer akan terimplantasi pada hari keempat
kehamilan dan berakhir pada hari keenam kehamilan. Kemudian
diikuti dengan proses gastrulasi, yakni adanya perpindahan sel dan diferensiasi untuk membentuk lapisan ektoderm, mesoderm dan endoderm. Akhir tahap perkembangan adalah proses pembentukan organ dari lapisan ektoderm, mesoderm, endoderm dan derivat-derivatnya. Dengan demikian, jika pemberian senyawa kimia dalam hal ini nikotin pada awal pembentukkan embrio, maka akan mengganggu perkembangan embrio maupun proses organogenesis.
Gambaran Hematologi Indikator penting untuk mengetahui perubahan fisiologi dan patologi pada hewan adalah dengan pemeriksaan hematologi (analisa gambaran darah). Kelainan pada gambaran hematologi menandakan terjadinya perubahan fisiologi pada hewan tersebut. Gambaran hematologi untuk ketiga perlakuan disajikan pada Tabel 4. Gambaran hematologi induk pada ketiga perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Gambaran hematologi pada kelompok dipapar asap rokok maupun injeksi nikotin tidak berbeda dengan kelompok kontrol.
29
Tabel 4 Rata-rata jumlah Hb, hematokrit, butir darah merah, butir darah putih, dan diferensiasi butir darah putih pada induk tikus. Perlakuan
Hematologi BDP (rb/mm3)
Diff. Butir Darah Putih (%) N M
Hb (g %)
Hematokrit (%)
BDM (jt/mm3)
Kontrol (n=4)
11,05 ±0,64
35,06 ±2,95
7,82 ±1,56
8,46 ±1,75
72,25 ±7,04
25,25 ±4,99
2,25 ±1,50
2,79 ±1,19
Asap Rokok (n=5)
12,90 ±0,58
40,31 ±2,85
8,93 ±0,72
6,50 ±2,77
59,50 ±10,60
35,00 ±9,83
3,25 ±2,63
2,25 ±0,50
Nikotin (n=5)
9,70 ±3,33
31,56 ±12,98
6,05 ±2,33
9,01 ±3,64
56,25 ±10,44
40,00 ±9,49
2,25 ±1,60
2,75 ±0,50
L
E
Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Berdasarkan hasil uji statistik, paparan asap rokok maupun injeksi nikotin pada induk tikus selama 11 (sebelas) hari kebuntingan tidak berpengaruh terhadap gambaran hematologi induk. Hal ini menandakan bahwa induk tikus tidak mengalami perubahan patologis. Perubahan
patologis yang tidak terjadi pada induk tikus
dipengaruhi oleh singkatnya waktu pemaparan dan sedikitnya jumlah rokok yang digunakan. Susanna et al. 2003 mengemukakan bahwa efek yang dapat ditimbulkan oleh pemaparan asap rokok dipengaruhi oleh waktu pemaparan dan jumlah rokok yang digunakan.
Pengaruh Asap Rokok terhadap Perkembangan Anak Perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan yang sistematis (perubahan yang bersifat saling mempengaruhi antara satu bagian dengan bagian lainnya, baik fisik maupun psikis dan merupakan satu kesatuan yang harmonis), progresif (perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat dan meluas, baik secara kuantitatif/fisik mapun kualitatif/psikis), dan berkesinambungan (perubahan pada bagian atau fungsi organisme itu berlangsung secara beraturan atau berurutan) dalam diri individu sejak lahir hingga akhir hayatnya. Perkembangan terjadi bersamaan dengan
pertumbuhan.
Perkembangan
anak
pada
tahap
awal
menentukan
perkembangan anak selanjutnya. Secara umum perkembangan dapat dilihat dari
30
beberapa indikator seperti pertumbuhan (pertambahan bobot badan), persentase mortalitas, ketersediaan hormon dan gambaran darah serta aktivitas individu.
Bobot lahir dan bobot badan saat usia 8 minggu Rata-rata bobot lahir dan bobot badan anak tikus saat usia delapan minggu pada semua perlakuan disajikan pada Tabel 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot lahir anak tidak dipengaruhi baik oleh pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin. Sedangkan bobot badan saat berusia delapan minggu, terbukti dipengaruhi oleh pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin. Tabel 5 Rata-rata bobot lahir dan bobot badan anak tikus usia 8 minggu (gr) dari ketiga perlakuan Kelompok Perlakuan
Bobot lahir (gr)
Bobot badan usia 8 minggu (gr)
Kontrol (n=5 induk)
5,44±0,13
102,12a±5,11
Asap rokok (n=5 induk)
5,28±0,15
74,12b±4,34
Nikotin (n=5 induk)
5,34±0,00
77,10b±1,98
Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata bobot lahir anak tikus pada ketiga kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05). Bobot lahir dari kedua kelompok perlakuan (dipapar asap rokok maupun injeksi nikotin) sama dengan kelompok kontrol. Sedangkan bobot badan anak tikus saat usia delapan minggu pada ketiga perlakuan berbeda nyata (P<0,05). Bobot badan anak tikus pada kelompok dipapar asap rokok dan kelompok injeksi nikotin lebih kecil bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan antara kedua kelompok perlakuan (dipapar asap rokok dan injeksi nikotin) tidak berbeda. Bobot lahir yang tidak berbeda antara ketiga perlakuan, menandakan bahwa paparan asap rokok dan injeksi nikotin tidak mempengaruhi plasenta, sehingga asupan nutrisi dari induk ke anak tidak mengalami gangguan. Menurut Dockery et al. 2000, plasenta berfungsi sebagai pertukaran oksigen, karbon dioksida dan zat
31
makanan dari embrio ke induk. Sedangkan perbedaan bobot badan anak tikus pada usia delapan minggu kemungkinan dipengaruhi oleh pola makan dan aktivitas. Pola makan yang terganggu akibat kurangnya nafsu makan, akan berakibat pada kenaikan bobot badan. Selanjutnya aktivitas yang tinggi pada anak tikus menyebabkan energi lebih banyak digunakan untuk aktivitas, sehingga penyimpanan protein dalam tubuh akan berkurang. Berkurangnya cadangan protein dalam tubuh akan berpengaruh terhadap kenaikan bobot badan (Guyton 1990).
Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran (misalnya bobot badan) yang dinyatakan dengan angka. Bobot badan dapat digunakan sebagai salah satu tolak ukur untuk menentukan tingkat kesehatan anak. Rata-rata pertumbuhan dan pertambahan bobot badan anak tikus disajikan pada Gambar 12 dan Gambar 13. Dari data yang didapat, hingga minggu ketiga baik bobot badan maupun pertambahan bobot badan pada ketiga perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05). Rata-rata bobot badan anak tikus pada minggu pertama hingga minggu ketiga dari kedua kelompok perlakuan (dipapar asap rokok maupun injeksi nikotin) tidak berbeda dengan kelompok kontrol. Sedangkan pertumbuhan anak tikus pada minggu keempat hingga minggu kedelapan dari ketiga perlakuan berbeda (P<0,05). Rata‐rata pertumbuhan anak tikus
Bobot badan (gr)
120 100 80 Kontrol
60 40
As a p Rokok
20
Ni koti n
0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Minggu
Gambar 12 Rata-rata bobot badan anak tikus setiap minggu
32 Pertambahan Bobot Badan
Bobot badan (gr)
25.00 20.00 15.00
Kontrol Asap Rokok
10.00
Nikotin
5.00 0.00 M1
M2
M3
M4
M5
M6
M7
M8
Minggu
Gambar 13 Rata-rata pertambahan bobot badan anak tikus setiap minggu Gambar 12 dan 13 menunjukkan bahwa rata-rata bobot badan dan pertambahan bobot badan anak tikus dari minggu pertama hingga minggu ketiga dari kelompok perlakuan (dipapar asap maupun injeksi nikotin) sama dengan kelompok kontrol. Hal ini berarti bahwa, pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin pada induk tikus selama kebuntingan tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan dan pertambahan bobot badan anak tikus. Hal ini disebabkan karena, hingga usia tiga minggu, anak tikus masih sangat bergantung pada air susu induknya. Jadi boleh dengan tidak ada perbedaan bobot badan dan penambahan bobot badan hingga usia tiga minggu, dapat diartikan tidak terjadi penurunan produksi susu induk akibat pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin. Lamanya waktu pemaparan dan jumlah rokok yang digunakan dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap proses laktasi pada induk. Hal ini terlihat dari rata-rata bobot badan dan penambahan bobot badan anak hingga usia tiga minggu yang tidak berbeda. Menurut Susanna et al. (2003), efek yang disebabkan oleh asap rokok dipengaruhi oleh jumlah rokok yang digunakan dan lamanya waktu terpapar. Bobot badan tikus dewasa yang diberi paparan asap rokok kretek sebanyak 8 batang setiap hari selama enam minggu cenderung lebih rendah dibanding tikus kontrol (Widodo 2006). Sedangkan pada minggu keempat hingga minggu kedelapan, bobot badan dan pertambahan bobot badan anak tikus dipengaruhi oleh pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin. Rata-rata bobot badan dan pertambahan bobot badan anak tikus kelompok dipapar asap rokok dan injeksi nikotin pada minggu keempat hingga
33
minggu kedelapan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan bobot badan dan pertambahan bobot badan antara kelompok dipapar asap rokok dan kelompok injeksi nikotin tidak berbeda. Perbedaan bobot badan dan pertambahan bobot badan anak tikus akibat pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin pada kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol menyebabkan terganggu pertumbuhan anak tikus. Menurut Widyastuti dan Widyani (2002), bobot badan dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan tingkat kesehatan anak. Bobot badan yang rendah sejak lahir menunjukkan kondisi bayi yang kurang sehat. Sebaliknya, jika berat badan bayi masih dalam kisaran pola standar, maka dapat dipastikan bayi dalam keadaan sehat. Pada tikus, bobot badan normal saat lahir adalah 5-6 gram, dan akan mencapai bobot badan 30-40 gram saat berusia empat minggu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Walaupun asap rokok dan injeksi nikotin tidak berpengaruh terhadap bobot lahir hingga usia tiga minggu, tetapi pada minggu keempat hingga minggu kedelapan bobot badan anak-anak tikus mulai terlihat lebih rendah bila dibandingkan dengan bobot badan anak-anak tikus pada kelompok kontrol. Hal ini disebabkan karena setelah usia tiga minggu, anak-anak tikus mulai mencari makanan lain selain air susu induk. Kondisi bobot badan anak yang lebih rendah pada kelompok pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin diduga akibat kurangnya nafsu makan anak. Walaupun jumlah pakan secara langsung tidak dihitung dalam penelitian ini, namun menurut Chen et al. (2006), paparan asap rokok selama empat minggu dapat menyebabkan kelainan psikis berupa kekurangan nafsu makan (anoreksia) ringan yang berpengaruh pada bobot badan. Ini karena paparan asap rokok menyebabkan penurunan enzim neuropeptida Y axis (enzim yang berfungsi mengatur rasa lapar) pada hipotalamus yang secara umum mengganggu sistem fisiologis tubuh dalam metabolisme. Kelainan psikis yang terjadi pada anak tikus adalah akibat dari pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin pada induk selama kebuntingan. Kelainan bawaan seperti kelainan morfologi umumnya mudah dideteksi pada saat kelahiran atau sesaat setelah kelahiran, tetapi kelainan fungsi, seperti gangguan sistem saraf pusat tidak
34
dapat didiagnosis segera setelah lahir. Hal ini disebabkan karena sampai batas tertentu, sawar plasenta masih dapat melindungi janin (Lu 1995). Ini dapat dilihat dari kondisi anak tikus kelompok dipapar asap rokok maupun injeksi nikotin hingga usia tiga minggu tidak menunjukkan adanya kelainan. Selain itu, bobot badan yang rendah pada anak-anak tikus juga disebabkan karena anak tikus dalam kondisi stres. Kondisi stres yang terjadi pada anak tikus dapat menyebabkan tingginya hormon T3, yang merupakan salah satu hormon yang dapat merangsang metabolisme tubuh. T3 yang tinggi menyebabkan aktivitas anak tikus lebih meningkat, hal ini disebabkan karena sebagian besar energi digunakan untuk melakukan aktivitas, sehingga simpanan protein dalam tubuh menjadi berkurang. Berkurangnya simpanan protein dalam tubuh menyebabkan rendahnya bobot badan, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap lambatnya
proses
pertumbuhan (Guyton 1990).
Mortalitas anak Mortalitas adalah ukuran jumlah kematian pada suatu populasi. Mortalitas umumnya dinyatakan sebagai suatu persentase. Persentase mortalitas didapat dari jumlah individu yang mati per individu jumlah yang lahir dikali 100%. Rata-rata persentase mortalitas anak tikus pada usia empat minggu dan delapan minggu dari ketiga perlakuan disajikan pada Gambar 14.
Persentase (%)
Mortalitas 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
a
a
a
b c
Kontrol
b
4 minggu 8 minggu
Asap Rokok
Nikotin
Perlakuan
a berbeda nyata dengan b dan c
Gambar 14 Rata-rata persentase mortalitas anak dari ketiga perlakuan
35
Gambar 14 menunjukkan bahwa rata-rata persentase mortalitas anak tikus dari ketiga perlakuan hingga usia empat minggu dan delapan minggu terlihat berbeda nyata (P<0,05). Kelompok injeksi nikotin memiliki persentase mortalitas tertinggi (82,22%) dibandingkan kelompok dipapar asap rokok (50,49%) dan kelompok kontrol (26,40%). Sedangkan mortalitas pada kelompok dipapar asap rokok tampak lebih besar dari control (P<0,05). Selanjutnya hingga minggu kedelapan, rata-rata persentase mortalitas anak tikus dari kelompok dipapar asap rokok lebih tinggi (35,01%) dari kelompok injeksi nikotin (9,72%) dan kelompok kontrol (6,40%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa paparan asap rokok dan injeksi nikotin pada induk tikus selama kebuntingan berpengaruh terhadap mortalitas anak. Mortalitas yang tinggi pada anak-anak tikus kelompok perlakuan, menunjukkan adanya pengaruh
paparan asap rokok dan injeksi nikotin yang
diberikan pada induk selama kebuntingan. Persentase mortalitas yang tinggi (82.22%) pada anak tikus kelompok injeksi nikotin hingga usia empat minggu, disebabkan karena nikotin yang digunakan adalah nikotin murni dengan kadar nikotin 99%, sehingga kemungkinan pengaruh yang diberikan cukup besar dan cepat. Hal ini terlihat dari rata-rata mortalitas anak terjadi pada hari pertama setelah lahir. Sedangkan persentase mortalitas anak tikus yang rendah pada kelompok dipapar asap rokok dibandingkan kelompok injeksi nikotin, kemungkinan disebabkan karena efek yang dihasilkan dari
pemaparan asap rokok membutuhkan waktu untuk
terakumulasinya komponen-komponen dalam asap rokok, sehingga efek
yang
diberikan lebih lambat dari pada injeksi nikotin. Mortalitas yang terjadi pada anak tikus kelompok dipapar asap rokok juga diduga disebabkan karena sifat agresif dari induk tikus. Walaupun persentase mortalitas anak tikus akibat sifat agresif dari induk tidak dihitung secara langsung, namun berdasarkan pengamatan pada jumlah anak-anak tikus yang mati, diduga juga karena dimakan oleh induknya lebih banyak dari yang mati karena faktor lain. Ini dibuktikan dengan berkurangnya anak-anak tikus setiap hari tanpa ditemukan bangkainya. Menurut Gatzke-Kopp dan Beauchaine (2007), perokok pasif maupun aktif cenderung memiliki perilaku mengacau, agresif, sering terlibat masalah, dan
36
melanggar aturan dibandingkan dengan yang tidak merokok atau terpapar asap rokok. Hal ini disebabkan karena perilaku itu dikontrol oleh sistem dopamin otak. Dopamin menurut Salokangas et al. (2000) adalah zat di dalam otak yang terpacu keluar akibat paparan asap rokok. Komponen asap rokok yang mempengaruhi dopamin adalah nikotin. Pada keadaan normal, dopamin berfungsi untuk mengatur fungsi-fungsi motorik dan mengatur status emosional. Peningkatan dopamin akan memacu timbulnya gerakan yang agresif. Perilaku agresif yang berlebihan pada hewan dapat menyebabkan perilaku liar (buas), bahkan kanibal (Schwartz 1994). Hingga usia delapan minggu, rata-rata persentase mortalitas anak tikus pada kelompok dipapar asap rokok masih terlihat cukup tinggi dibandingkan dengan kelompok injeksi nikotin maupun kelompok kontrol. Hal ini disebabkan karena disamping nikotin, ada komponen lain dalam asap rokok yang terakumulasi dan akan menimbulkan efek jika kondisi dan ketahanan fisik anak tikus terlihati menurun. Rendahnya bobot badan anak tikus hingga usia delapan minggu, menyebabkan mortalitas anak tikus pada kelompok ini terlihat cukup tinggi. Hal ini menurut Soetjiningsih (1995), bobot badan rendah adalah indikator kesehatan anak yang kurang sehat. Anak yang terlahir dari seorang ibu perokok (aktif maupun pasif) akan mengalami gangguan perkembangan. Hal ini disebabkan karena asap rokok dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh pada bayi dan anak-anak, sehingga bayi dan anak-anak lebih rentan terhadap berbagai macam infeksi dan penyakit serius (Arcavi dan Benowitz 2004). Selanjutnya Soetjiningsih (1995) mengemukakan bahwa kehidupan anak setelah lahir dipengaruhi oleh dua faktor yaitu; lingkungan prenatal dan lingkungan postnatal. Lingkungan prenatal adalah lingkungan yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin mulai dari konsepsi sampai lahir, antara lain meliputi; gizi ibu pada waktu hamil, mekanis, toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, stres, imunitas, dan anoksia embrio. Sedangkan lingkungan postnatal adalah masa dimana bayi yang baru lahir harus melewati masa transisi, dari suatu sistem yang teratur dan sebagian besar tergantung pada organ-organ ibunya, ke suatu sistem yang tergantung pada kemampuan genetik dan mekanisme homeostatik bayi itu sendiri.
37
Kadar Hormon Triiodotironin (T3) Hormon T3 merupakan salah satu hormon yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid. Fungsi T3 secara keseluruhan adalah merangsang proses metabolisme, dan pada anakanak dapat merangsang proses pertumbuhan. Rata-rata kadar hormon T3 pada ketiga perlakuan disajikan pada Gambar 15. Kadar Horm on Triiodotironin (T3)
1 Kadar (ng/dL)
0.8 0.6 0.4 0.2
b
a
a
0 Kontrol
Asap Rokok
Nikotin
Perlakuan
a berbeda nyata dengan b
Gambar 15 Rata-rata kadar hormon T3 pada anak tikus usia 8 minggu Gambar 15 menunjukkan bahwa rata-rata kadar hormon T3 pada kedua kelompok perlakuan dipengaruhi oleh pemaparan asap rokok maupun injeksi nikotin, dimana rata-rata kadar hormon T3 pada anak tikus kedua kelompok ini terlihat lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (P<0,05). Kadar T3 pada anak tikus kelompok dipapar asap rokok lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sedangkan pada kelompok dipapar asap rokok dan kelompok injeksi nikotin tidak berbeda. Berdasarkan hasil uji statistik, paparan asap rokok dan injeksi nikotin pada induk tikus selama kebuntingan terbukti berpengaruh terhadap kadar hormon T3 anak tikus setelah dilahirkan. Kadar T3 normal pada tikus berkisar antara 0,42-1,65 ng/dl (Larsen et al. 1980). Walaupun kadar T3 anak tikus dalam penelitian ini masih berada pada batas normal, namun anak tikus kelompok perlakuan memiliki kadar T3 yang lebih tinggi dari kelompok kontrol. Menurut Guyton (1990), bahwa kadar T3 yang tinggi dalam darah berpengaruh terhadap bobot badan. Walaupun bobot badan anak tikus saat berumur empat minggu terlihat normal, tetapi saat berumur delapan minggu
38
bobot badan anak tikus untuk kedua perlakuan terlihat rendah dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini karena anak tikus usia delapan minggu sudah merupakan individu dewasa. T3 yang tinggi pada individu yang telah dewasa hampir selalu mengurangi berat badan. Sedangkan T3 yang rendah selalu meningkatkan berat badan (Turner dan Bagnara 1976). Hal ini disebabkan karena kadar hormon tiroid yang tinggi akan menekan output tirotropin (thyroid stimulating hormone atau TSH) yang berfungsi untuk mengontrol fungsi tiroid (Fisher et al. 1997). Fungsi tiroid menurut Guyton (1990) adalah meningkatan kecepatan metabolisme secara keseluruhan dan pada anak-anak dapat merangsang pertumbuhan (Metsios et al. 2007). Keberadaan T3 yang tinggi, lebih banyak digunakan untuk metabolisme energi guna menunjang aktivitas yang meningkat, sehingga sangat sedikit protein yang disimpan dalam tubuh. Berkurangnya protein yang tersimpan dalam tubuh menyebabkan terjadinya penurunan berat badan (Suaskara et al. 2007). Selain itu hormon T3 yang tinggi dipengaruhi oleh kondisi anak tikus. Anak tikus yang dalam keadaan stress memicu terjadinya peningkatan hormon T3, hal ini disebabkan karena tikus yang dalam kondisi stres akan lebih bersifat agresif dan lebih banyak melakukan aktivitas. Menurut Turner dan Bagnara (1976), aktivitas yang tinggi ditunjang oleh tinggi hormon T3, yang secara keseluruhan berfungi dalam merangsang proses metabolisme.
Gambaran Hematologi Rata-rata gambaran hematologi anak tikus pada usia delapan minggu dari ketiga perlakuan disajikan pada Tabel 6. Secara umum, rata-rata gambaran hematologi anak tikus pada kedua kelompok perlakuan tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol (P>0,05), kecuali pada jumlah hemoglobin (Hb). Rata-rata jumlah Hb pada kelompok dipapar asap rokok lebih tinggi dari kelompok kontrol. Tabel 6 menunjukkan bahwa pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin dapat meningkatkan jumlah Hb. Jumlah Hb pada anak tikus kelompok dipapar asap rokok dan kelompok injeksi nikotin lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok
39
kontrol (P<0,05). Sedangkan jumlah Hb pada anak tikus kelompok dipapar asap rokok dan kelompok injeksi nikotin tidak berbeda. Tabel 6 Rata-rata jumlah Hb, hematokrit, butir darah merah, butir darah putih, dan diferensiasi butir darah putih pada anak tikus usia delapan minggu. Hematologi Perlakuan Kontrol (n=5) Asap Rokok (n=5) Nikotin (n=5)
Hb (gr %)
Hematokrit (%)
BDM (jt/mm3)
10,76b ±0,62
36,75 ±2,67
7,11 ±0,66
6,27 ±1,81
13,26a ±0,89
36,75 ±2,26
7,16 ±0,50
14,01a ±1,37
36,40 ±4,36
7,55 ±0,95
BDP (rb/mm3)
L
Diff. Butir Darah Putih (%) N M
E
54,40 ±19,93
41,20 ±22,13
1,60 ±0,89
2,80 ±3,03
5,36 ±2,33
55,20 ±11,54
39,40 ±12,24
3,00 ±1,87
2,40 ±1,95
5,50 ±2,74
45,40 ±19,71
53,60 ±19,98
1,60 ±0,89
0,60 ±0,54
Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Paparan asap rokok dan injeksi nikotin pada induk tikus selama kebuntingan terbukti mempengaruhi jumlah hemoglobin (Hb). Jumlah Hb bervariasi tergantung umur, jenis kelamin, dan lingkungan tempat tinggal (Guyton 1990). Rata-rata Hb pada tikus adalah 10-16 gr % (Sulaksono 2002). Walaupun jumlah Hb pada anak tikus dalam penelitian masih termasuk normal, namun terjadi sedikit peningkatan dari kelompok kontrol. Peningkatan jumlah Hb akibat paparan asap rokok maupun injeksi nikotin menunjukkan tingginya kadar karbonmonoksida (CO) dalam darah. Orang yang mempunyai kebiasaan merokok (pasif maupun aktif), cenderung mempunyai kadar Hb yang tinggi. Hal ini disebabkan karena Hb dalam darah mempunyai kecenderungan lebih kuat untuk berikatan dengan CO yang terdapat dalam darah dari pada dengan oksigen (O2) (Tang et al. 2001). CO dalam darah bukan perokok kurang dari 1%, sedangkan pada perokok mencapai 4-15%. Semakin banyak CO dalam darah, maka jumlah Hb juga akan meningkat, dan ini menyebabkan darah menjadi kental sehingga proses peredaran darah akan terganggu (Price dan Wilson 2005).
40
Aktifitas Individu Aktivitas dapat diartikan sebagai segala perilaku hewan yang terlihat akibat interaksi dengan lingkungan, baik lingkungan luar maupun lingkungan dalam hewan itu sendiri. Aktivitas melibatkan otot yang dapat diamati secara eksternal seperti berpindah dari satu tempat ke tempat lain, beristirahat, menggaruk, mencium dan menjilat. Aktivitas yang diamati dalam penelitian ini adalah distance traveled (DT), resting time (RT), ambulatory time (AT) dan stereotypic time (ST). Rata-rata aktivitas anak tikus disajikan pada Gambar 16. Rata-rata DT, AT dan ST pada kelompok perlakuan berbeda dengan kelompok kontrol (P<0,05). Sedangkan RT untuk ketiga perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05).
a
b
b
a
b ab
a b
b
Gambar 16 Rata-rata aktivitas individu anak tikus usia delapan minggu Gambar 16 menunjukkan bahwa pemaparan asap rokok dan injeksi nikotin dapat meningkatkan distance traveled . DT pada anak tikus kelompok dipapar asap rokok lebih tinggi dari kelompok injeksi nikotin maupun kelompok kontrol. Sedangkan pada anak tikus kelompok injeksi nikotin dan kontrol tidak berbeda. Ambulatory time (AT) pada kelompok dipapar asap rokok lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol, sedangkan kelompok injeksi nikotin sama dengan kelompok kontrol maupun kelompok dipapar asap rokok. Selanjutnya stereotypic
41
time (ST) pada kelompok dipapar asap rokok lebih tinggi dari kelompok kontrol maupun kelompok injeksi nikotin. Hasil uji statitik menunjukkan bahwa paparan asap rokok pada induk tikus selama kebuntingan dapat mempengaruhi aktivitas anak tikus. Adapun aktivitas anak tikus yang dapat dipengaruhi adalah: distance traveled (DT), ambulatory time (AT) dan stereotypic (ST). Distance traveled (DT) adalah jarak yang ditempuh oleh anak tikus selama lima menit (waktu yang ditentukan) atau perpindahan tikus dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Perpindahan tikus bisa berkaitan dengan agresif dalam mencari makanan dan minuman, mencari tempat perlindungan ataupun pengenalan lingkungan (Suaskara et al. 2007). Dalam penelitian ini, jarak tempuh yang dicapai oleh anak tikus kelompok dipapar asap rokok lebih besar dari dua kelompok lain. Besarnya jarak yang ditempuh oleh anak tikus, menandakan tingginya perilaku agresif. Perilaku agresif juga didukung oleh lamanya gerakan stereotypic yang dilakukan oleh anak tikus selama berada dalam opto-varimex. Walaupun waktu yang dibutuhkan oleh tikus untuk memulai suatu gerakan (ambulatory time) terlihat kecil, tetapi waktu untuk melakukan gerakan stereotypic besar. Stereotypic time menurut Suaskara et al. (2007) dan Eddy (2006) adalah waktu yang terhitung selama tikus melakukan gerakan stereotypic, seperti misalnya gerakan menggaruk, menjilat-jilat, dan mencium. Perilaku agresif yang tinggi akibat paparan asap rokok merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya aktivitas anak tikus. Hal ini terkait dengan tingginya kadar hormon T3 pada anak tikus kelompok dipapar asap rokok. T3 yang tinggi dalam tubuh digunakan untuk menghasilkan energi guna menunjang aktivitas yang lebih tinggi (Suaskara et al. 2007).
42
DAFTAR PUSTAKA Aditama TY. 1992. Rokok dan Kesehatan. Universitas Indonesia Press Amiruddin R. 2005. Analisis risiko pajanan asap rokok terhadap berat badan lahir di RS Fatimah Makassar. Epidemiologi. Universitas Hasanuddin. Anita N. 2004. Perubahan sebaran stadia epitel seminiferus, penurunan jumlah sel-sel spermatogenik dan kadar hormon testosteron total mencit (Mus musculus L) galur DDY yang diberi asap rokok kretek [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana. Universitas Indonesia. Arcavi L, Benewitz L. 2004. Cigarette smoking and infection. Arch Intern Med. 164:2206-2216. Baker DEJ, Lindsey JR, Weisborth SH. 1980. The Labaratory Rat. Vol II. Research applications. Academic Press Inc. London. Card JP, Mitchell JA. 1979. The effects of nicotine on implantation in the rat. Biology of reproduction. 20: 532-539. Chen H et al. 2006. Cigarette smoke exposure reprograms the hypothalamic neuropeptide Y axis to promote weight loss. Am J of Respiratory and Clinical Care Medicine 173: 1248-1254. Dalager NA et al. 1986. The Relation of passive smoking to lung cancer. Cancer Research 46: 4808-4811. Dias-Junior SA et al. 2009. Prevalence of active and passive smoking in a population of patients with asthma. J Bras. Pneumol 35: 1806-3713.
Dockery P, Bermingham J, Jenkins D. 2000. Structure–function relations in the human placenta. Biochemic Society Transactions 28: 202-208. Eddy L. 2006. Suplementasi somatotropin untuk memperbaiki tampilan fisiologis tikus jantan umur 6 dan 12 bulan [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Eskenazi B, Prehn AW, Christianson RE. 1995. Passive and active maternal smoking as measured by serum cotinine: the effect on birthweight. Am J of Public Health. 85: 3-5.
43
Festing MFW. 1979. Inbred Strains. In The Laboratory Rat (ed. H.J. Baker, J.R. Lindsey, and S.H. Weisbroth), pp. 55-73. Academic Press, New York. Fisher CL, Mannino DM, Herman WH, Frumkin H. 1997. Cigarette smoking and thyroid hormone level in males. Int J of Epidemiol 26: 972-977. Friedman GD, Petitti DB, Bawol RD. 1983. Prevalence and Correlates of Passive Smoking. J of Public Health 73 : 401 – 405. Ganong WF. 1995. Fisiologi Kedokteran. Diterjemahkan oleh Andrianto J. Oswari (ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Gatzke-Kopp LM, Beauchaine TP. 2007. Direct and passive prenatal nicotine exposure and the development of externalizing psychopathology. Child Psychiatry Hum Dev. 38: 255-269. Guyton AC. 1990. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Gondodiputro S. 2007. Bahaya tembakau dan bentuk-bentuk sediaan tembakau. Bandung. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Halfon N, Inkelas M. 2003. Optimizing the health and development of children. Am Med Association 290: 3136-3138. Hanslavina. 2003. Efek akut asap rokok kretek terhadap hyperplasia sel globet pada saluran napas tikus galus swiss Webster [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana. Universitas Indonesia. Hoffmann D, Raineri R, Hecht SS, Maronpot R, Wynder EL. 1996. A study of tobacco carcinogenesis, XIV. Effects of N’nitrosononicotine and N’nitrosoanabasine in rats. J of the National Cancer Inst 55: 977-979. Hudson DB, Timiras PS. 1972. Nicotine injection during gestation: Impairment of reproduction fetal viability, and development. Biol of reprod 7: 247-253. Hukkanen J, Jacob P, Benowitz N. 2005. Metabolism and disposition kinetics of nicotine. Pharmacol Rev 57: 79-115. Kenconoviyati. 2003. Perubahan sebaran stadia epitel seminiferus, penurunan jumlah sel-sel spermatogenik dan kadar hormon testosteron total mencit (Mus muscullus L) galur DDY yang diberi asap rook kretek. [Tesis]. Jakarta: program Pascasarjana. Universitas Indonesia.
44
Larsen PR, Bavli SZ, Castonguai M, Jove R. 1980. Direct Radioimmunoassay of Nuclear 3,5,3' Triiodothyronine in Rat Anterior Pituitary. J. Clin. Invest. the American Society for Clinical Investigation 65: 675-681. Lay DC, Wilson ME. 2002. Development of the chicken as a model for prenatal stress. J Anim Sci. 80: 1954 – 1961. Lieberman E et al. 1994. Low birth weight at term and the timing of fetal exposure to maternal smoking. Am J Public Health. 84: 1127 – 1131. Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar: asas, organ sasaran, dan penilaian risiko. Jakarta: Penerbit Indonesia. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Bogor: IPB Press. Metsios GS et al. 2007. A brief exposure to moderate passive smoke increases metabolism and thyroid hormone secretion. The J of Clin Endocrinol and Metabolism. 92: 208-211. Nalbandov AV. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Ed ke-3.Jakarta: UI-press. Ness RB et al. 1999. Cocaine and tobacco use and the risk of spontaneous abortion. The new England Journal of Medicine 340: 333 - 339. Partodihardjo S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pontikides N, Krassas GE. 2002. Influence of cigarette smoking on thyroid function, goiter formation and autoimmune thyroid disorders. Hormone 2: 91-98. Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Riveles K, Roza R, Talbot P. 2005. Phenol, quinolines, indoles, benzene, and 2cyclopenten-I-ones are oviductal toxicants in cigarette smoke. Toxicol. Sci 17: 267- 272. Rogol AA, Clark PA, Roemmich JN. 2000. Growth and pubertal development in children and adolescents: effects of diet and physical activity. Am J Clin Nutrition 72: 521-528.
45
Rona RJ. 1981. Genetic and environmental factors in the control of growth in childhood. Britsh Medical Bulletin. 37: 265-272. Rubenstein D, Jesty J, Bluestein D. 2004. Deferences between mainstream and sidestream cigarette smoke extracts and nicotine in the activation of platelets under static and flow condition. Circul J of the American Heart Association 109: 78 – 83. Rugh R. 1971. A Guide to Vertebrate Development. 6th. Burgess Publishing Co. USA Russel MAH, Jarvis M, Iyer R, Feyerabend C. 1980. Relation of nicotine yield of cigarettes to blood nicotine concentrations in smoker. J Med 280: 972-976. Safrida. 2008. Perubahan kadar hormon estrogen tikus yang diberi tepung kedelai dan tepung tempe. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor Salokangas et al. 2000. High levels of dopamine activity in the basal ganglia of cigarette smokers. Am J Psychiatry 2000; 157:632–634. Santoso S. 2008. Panduan Lengkap Menguasai SPSS 16. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Sartono N. 2005. Pengaruh pajanan asap rokok kretek secara pasif terhadap epitel bronkiolus dan kandungan GSH paru tikus galur Swiss Webster. [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana. Universitas Indonesia. Schmidt MK et al. 2002. Nutritional status and linear growth of Indonesia infants in West Java are determined more by prenatal environment than by postnatal factors. The J of nutrition. 2202 – 2207 Schwartz LD. 1994. University.
Poultry Health Handbook. 4th Ed Pennsylvania State
Siswandono, Bambang S. 1993. Kimia Medisinalis. Airlangga University Press. Surabaya Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: U Press. Soeradi O. 1995. Nikmat rokok membawa sengsara. Detil jurnal I. 4. Universitas Indonesia. Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. EGC. Jakarta.
46
Sperber GH. 1991. Embriologi Kraniofacial.4th. Hipokrates. Jakarta. Stedman RL. 1986. The chemical composition of tobacco and tobacco smoke. Chemical Review, 68 (2). 153 – 207. Suaskara IBM, Kusumorini N, Nurhidayat. 2007. Pertumbuhan dan aktivitas anak tikus pada pemaparan cahaya yang berbeda. Institut Pertanian Bogor. http://ejournal.unud.ac.id. [27 Maret 2008]. Sulaksono E. 2002. Penentuan nilai rujukan parameter faal hewan percobaan sebagai model penyakit manusia dan hewan. [Laporan Penelitian]. Susanna D, Hartono B, Fauzan H. 2003. Penentuan kadar nikotin dalam asap rokok. Jurnal ekologi kesehatan. Universitas Indonesia. Talbot P, Riveles K. 2005. Smoking and reproduction: The oviduct as a target of cigarette smoke. Reprod Biol and endocrinol 3:52. Tang CS, Fan SZ, Chan CC. 2001. Smoking status and body size increase carbon monoxide concentrations in the breathing circuit during low-flow anesthesia. The Intern Anesthesia Research Society 72: 542-547. Turner CD, Bagnara JT. 1976. Endokrinologi Umum. Ed ke-6. Yogyakarta: Airlangga University Press. [US]
United State. 2000. Federal trade commission tar, nicotine, and carbonmonoxide. http://www.ftc.gov/reports/tobacco/1998tar&nicotinereport. [13 Februari 2008].
Weihe WH. 1989. The Laboratory Rat. In the UFAW Hand Book on the Care and Management of laboratory Animals 6th Edit. T.B. Poole & Robinson. Longman Scientific & Technical. England: Bath Press. Widodo E. 2006. Pajanan asap rokok kretek pada tikus putih sebagai model untuk manusia: perhatian khusus pada perubahan histopatologi dan ultrastruktur napas. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Widyastuti D, Widyani R. 2002. Panduan Perkembangan Anak 0-1 Tahun.Cetakan I. Jakarta. Puspa Swara. Winarsi H. 1985. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas: Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. Penerbit: Kanisius
47
[WHO] World Health Organization. 2000. Global Youth Tobacco Survey 2000. WHO Buletin. 78: 868-876. [12 Februari 2008]. [WHO] World Health Organization. 2002. World health report: Reducing risks, promoting healthy life : Quantifying risks. [12 Februari 2008]. [WHO] World Health Organization. 2005. The scientific of tobacco product regulation: report of a WHO study group. [9 Februari 2008]. Xiao D, Huang X, Yang S, Zhang L. 2007. Direct effects of nicotine on contractility of the uterine artery in pregnancy. The J Of Pharmacol And Experiment Therapeutics 322: 180-185. Yoshinaga K, Rice C, Krenn J, Pilot RL. 1979. Effects of nicotine on early pregnancy in the rat. Biol of Reprod 20: 294-303. Yurekli dan Bayer. 2002. Bank dunia. Februari 2008].
http://www.worldbank.org/tobacco. [12
Zavos PM, Zarmakoupis PN. 1999. Impact of cigarette smoking on human reproduction: its effects on male and female fecundity. Technol 6: 9-16. Zenzes MT. 2000. Smoking and reproduction: gene damage to human gametes and embryos. Europ of society human reproduction and embryology. 6: 122 – 123.
48
LAMPIRAN
49
Lampiran 1 Jadwal Penelitian
Tahun 2008 No.
Okt 1 2
Adaptasi Tikus Persiapan alat dan bahan
3
Perlakuan
4
Pengamatan
5
Analisa data
6
Tahun 2009
Kegiatan
Penulisan laporan
Nov
Des
Jan
x
x
Feb
Mar
Apr
Mei
x
x
x
x
Jun
Jul
x
x
x x
x x
x
x x
50
Lampiran 2 Cara Pemeriksaan Hematologi Mengukur Hb Metode Sahli 1. Tabung Sahli diisi dengan larutan HCl 0.1 N sampai menunjukkan angka 10 pada garis paling bawah tabung. 2. Dengan menggunakan aspirator, darah diambil sampai batas 20 cm (0.02 ml), kemudian tabung Sahli diletakkan antara kedua bagian standar warna dalam alat Hemoglobinometer dan dibiarkan selama 3 menit sampai terbentuk asam hematin (berwarna coklat). 3. Kedalam tabung ditambahkan setetes demi setetes aquadest sambil diaduk sampai berwarna sama dengan warna standar. 4. Tingginya cairan pada tabung Sahli menunjukkan jumlah (gr %) hemoglobin.
Mengukur hematokrit 1. Darah diambil dengan menggunakan mikrokapiler, ujung disumbat dengan crestaseal kemudian disentrifius dengan kecepatan 11.500 – 15.000 rpm selama 5 menit. 2. Nilai hematokrit ditentukan dengan mengukur % volume eritrosit (lapisan yang berwarna merah), dan dibaca dengan hematokrit reader.
Mengukur butir sel darah merah dan butir sel darah putih 1. Darah diambil dengan menggunakan pipet eritrosit yang telah dihubungkan dengan aspirator sampai menunjukkan angka 0.5 atau 1.0, kemudian ditambahkan dengan larutan Hayem sampai menunjukkan angka 101. 2. Pipet eritrosit dikocok dengan gerakan angka delapan, setelah itu sebagian cairan dibuang. 3. Tetesi sebagian larutan kedalam kamar hitung, kemudian hitung butir darah merah pada kotak R. 4. Untuk butir darah putih prosedurnya sama dengan menghitung butir darah merah, tetapi menggunakan larutan Turk sebagai larutan pengencer (sampai menunjukkan angka 11). Mengukur differensiasi butir darah putih
51
1. Buat preparat apusan darah, kemudian dikeringanginkan lalu difiksasi dengan alkohol 75%. 2. Kemudian preparat dimasukkan ke dalam larutan giemsa selama 30 menit, setelah itu diangkat lalu bilas dengan air kran. 3. Dikeringkan, lalu diamati dibawah mikroskop.
52
Lampiran 3 Hasil Uji ANOVA Tampilan Fisiologis Reproduksi Induk a. Persentase keberhasilan implantasi Descriptives Persen_Imp
N KT AR NK Total
Mean 99.1100 61.5050 29.6125 63.4092
4 4 4 12
Std. Deviation .85335 8.69981 17.18893 31.32989
Std. Error .42667 4.34991 8.59447 9.04416
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 97.7521 100.4679 47.6617 75.3483 2.2611 56.9639 43.5031 83.3152
Minimum 98.35 53.00 16.82 16.82
Maximum 100.00 73.00 54.92 100.00
Test of Homogeneity of Variances Persen_Imp Levene Statistic 4.214
df1
df2 2
Sig. .051
9
ANOVA Persen_Imp Sum of Squares Between Groups 9681.560 Within Groups 1115.623 Total 10797.183
df 2 9 11
Mean Square 4840.780 123.958
F 39.052
Sig. .000
Persen_Imp Duncan
a
Perlakuan NK AR KT Sig.
N 4 4 4
Subset for alpha = .05 1 2 3 29.6125 61.5050 99.1100 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
b. Berat ovarium Descriptives Ovarium
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
4 4 4 12
Mean .3313 .1057 .0995 .1788
Std. Deviation .08314 .04111 .02396 .12323
Test of Homogeneity of Variances Ovarium Levene Statistic 8.178
df1
df2 2
9
Sig. .009
Std. Error .04157 .02056 .01198 .03557
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound .1990 .4635 .0402 .1711 .0614 .1376 .1005 .2571
Minimum .24 .08 .07 .07
Maximum .42 .17 .13 .42
53 ANOVA Ovarium Sum of Squares .140 .028 .167
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square .070 .003
2 9 11
F 22.805
Sig. .000
Ovarium Duncan
a
Perlakuan Nikotin Asap Rokok Kontrol Sig.
N 4 4 4
Subset for alpha = .05 1 2 .0995 .1057 .3313 .879 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
c. Berat Uterus, Plasenta, Anak (UPA) Descriptives Berat_UPA
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
Mean 1.6378 .2785 .2752 .7305
4 4 4 12
Std. Deviation .21331 .16988 .02362 .68513
Std. Error .10665 .08494 .01181 .19778
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 1.2983 1.9772 .0082 .5488 .2376 .3128 .2952 1.1658
Test of Homogeneity of Variances Berat_UPA Levene Statistic 6.115
df1
df2 2
Sig. .021
9
ANOVA Berat_UPA Sum of Squares 4.939 .225 5.163
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 2.469 .025
Berat_UPA Duncan
a
Perlakuan Nikotin Asap Rokok Kontrol Sig.
N 4 4 4
Subset for alpha = .05 1 2 .2752 .2785 1.6378 .977 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
F 98.881
Sig. .000
Minimum 1.40 .03 .25 .03
Maximum 1.85 .41 .30 1.85
54
Lampiran 4 Hasil Uji ANOVA Gambaran Hematologi Induk a.
Hemoglobin (g %) Descriptives Hb
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
Mean 11.0500 12.9000 9.7000 11.2167
4 4 4 12
Std. Deviation .64031 .57735 3.33267 2.26026
Std. Error .32016 .28868 1.66633 .65248
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 10.0311 12.0689 11.9813 13.8187 4.3970 15.0030 9.7806 12.6528
Minimum 10.60 12.20 4.80 4.80
Test of Homogeneity of Variances Hb Levene Statistic 4.866
df1
df2 2
Sig. .037
9
ANOVA Hb Sum of Squares 20.647 35.550 56.197
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 10.323 3.950
F 2.614
Sig. .127
Hb Duncan
a
Perlakuan Nikotin Kontrol Asap Rokok Sig.
Subset for alpha = .05 1 9.7000 11.0500 12.9000 .057
N 4 4 4
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.
b. Hematokrit (%) Descriptives Hematokrit
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
4 4 4 12
Mean 35.0625 40.3125 31.5625 35.6458
Std. Deviation 2.93240 2.85318 12.89440 8.00104
Std. Error 1.46620 1.42659 6.44720 2.30970
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 30.3964 39.7286 35.7725 44.8525 11.0446 52.0804 30.5622 40.7294
Minimum 31.00 36.50 12.25 12.25
Maximum 37.75 42.50 39.00 42.50
Maximum 12.00 13.60 11.80 13.60
55 Test of Homogeneity of Variances Hematokrit Levene Statistic 4.867
df1
df2 2
9
Sig. .037
ANOVA Hematokrit Sum of Squares 155.167 549.016 704.182
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 77.583 61.002
F 1.272
Sig. .326
c. Jumlah butir darah merah (jt/mm3) Descriptives BDM
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
4 4 4 12
Mean 7.8225 8.9350 6.0525 7.6033
Std. Deviation 1.56242 .71951 2.33249 1.95643
Std. Error .78121 .35976 1.16624 .56477
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 5.3363 10.3087 7.7901 10.0799 2.3410 9.7640 6.3603 8.8464
Minimum 5.78 8.31 2.60 2.60
Maximum 9.53 9.75 7.50 9.75
Test of Homogeneity of Variances BDM Levene Statistic 1.608
df1
df2 2
9
Sig. .253
ANOVA BDM
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 16.906 25.198 42.104
df 2 9 11
Mean Square 8.453 2.800
F 3.019
Sig. .099
d. Jumlah butir darah putih (rb/mm3) Descriptives BDP
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
4 4 4 12
Mean 8.4625 6.5000 9.0150 7.9925
Std. Deviation 1.75280 2.77158 3.64299 2.79694
Std. Error .87640 1.38579 1.82149 .80741
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 5.6734 11.2516 2.0898 10.9102 3.2182 14.8118 6.2154 9.7696
Minimum 6.50 2.40 6.67 2.40
Maximum 10.60 8.35 14.45 14.45
56 Test of Homogeneity of Variances BDP Levene Statistic .923
df1
df2 2
Sig. .432
9
ANOVA BDP Sum of Squares 13.976 72.076 86.052
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 6.988 8.008
F .873
Sig. .450
e. Diferensiasi butir darah putih (%) Descriptives Limfosit
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
4 4 4 12
Mean 72.2500 59.5000 56.2500 62.6667
Std. Deviation 7.04154 10.59874 10.43631 11.21957
Std. Error 3.52077 5.29937 5.21816 3.23881
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 61.0453 83.4547 42.6350 76.3650 39.6435 72.8565 55.5381 69.7952
Minimum 63.00 48.00 45.00 45.00
Maximum 80.00 69.00 70.00 80.00
Test of Homogeneity of Variances Limfosit Levene Statistic .874
df1
df2 2
Sig. .450
9
ANOVA Limfosit Sum of Squares 572.167 812.500 1384.667
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 286.083 90.278
F 3.169
Sig. .091
Descriptives Netrofil
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
4 4 4 12
Mean 25.2500 35.0000 40.0000 33.4167
Std. Deviation 4.99166 9.83192 9.48683 9.93120
Test of Homogeneity of Variances Netrofil Levene Statistic 3.665
df1
df2 2
9
Sig. .068
Std. Error 2.49583 4.91596 4.74342 2.86689
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 17.3072 33.1928 19.3552 50.6448 24.9043 55.0957 27.1067 39.7267
Minimum 20.00 26.00 28.00 20.00
Maximum 30.00 44.00 49.00 49.00
57 ANOVA Netrofil Sum of Squares 450.167 634.750 1084.917
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square 225.083 70.528
2 9 11
F 3.191
Sig. .090
Descriptives Monosit
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
4 4 4 12
Mean 2.2500 3.2500 2.2500 2.5833
Std. Deviation 1.50000 2.62996 1.50000 1.83196
Std. Error .75000 1.31498 .75000 .52884
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound -.1368 4.6368 -.9348 7.4348 -.1368 4.6368 1.4194 3.7473
Minimum .00 1.00 .00 .00
Maximum 3.00 7.00 3.00 7.00
Test of Homogeneity of Variances Monosit Levene Statistic .671
df1
df2 2
Sig. .535
9
ANOVA Monosit Sum of Squares 2.667 34.250 36.917
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 1.333 3.806
F .350
Sig. .714
Descriptives Eosinofil
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
4 4 4 12
Mean 2.7875 2.2500 2.7500 2.5958
Std. Deviation 1.18910 .50000 .50000 .76647
Std. Error .59455 .25000 .25000 .22126
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound .8954 4.6796 1.4544 3.0456 1.9544 3.5456 2.1088 3.0828
Test of Homogeneity of Variances Eosinofil Levene Statistic 1.221
df1
df2 2
Sig. .340
9
ANOVA Eosinofil
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .720 5.742 6.462
df 2 9 11
Mean Square .360 .638
F .565
Sig. .587
Minimum 1.15 2.00 2.00 1.15
Maximum 4.00 3.00 3.00 4.00
58
Lampiran 5 Hasil Uji ANOVA Bobot Lahir Anak Tikus Descriptives Bobot_Lahir
N KT AR NK Total
5 5 2 12
Mean 5.4400 5.2800 5.3250 5.3542
Std. Deviation .13416 .14832 .03536 .14375
Std. Error .06000 .06633 .02500 .04150
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 5.2734 5.6066 5.0958 5.4642 5.0073 5.6427 5.2628 5.4455
Test of Homogeneity of Variances Bobot_Lahir Levene Statistic 1.213
df1
df2 2
9
Sig. .342
ANOVA Bobot_Lahir
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares .066 .161 .227
df 2 9 11
Mean Square .033 .018
F 1.843
Sig. .213
Minimum 5.30 5.10 5.30 5.10
Maximum 5.60 5.50 5.35 5.60
59
Lampiran 6 Hasil Uji ANOVA Pertumbuhan Anak Tikus Setiap Minggu Descriptives Minggu_1
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
Mean 11.4100 10.0400 10.6000 10.7042
5 5 2 12
Std. Deviation .68044 .99146 .14142 .97804
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 10.5651 12.2549 8.8089 11.2711 9.3294 11.8706 10.0827 11.3256
Std. Error .30430 .44340 .10000 .28234
Minimum 10.35 8.80 10.50 8.80
Test of Homogeneity of Variances Minggu_1 Levene Statistic 2.437
df1
df2 2
Sig. .143
9
ANOVA Minggu_1 Sum of Squares 4.718 5.804 10.522
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square 2.359 .645
2 9 11
F 3.658
Sig. .069
Descriptives Minggu_2
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
Mean 16.8400 14.5800 16.0500 15.7667
5 5 2 12
Std. Deviation .47749 2.10879 .63640 1.70738
Std. Error .21354 .94308 .45000 .49288
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 16.2471 17.4329 11.9616 17.1984 10.3322 21.7678 14.6818 16.8515
Minimum 16.00 12.60 15.60 12.60
Maximum 17.10 18.10 16.50 18.10
Minimum 21.50 16.70 20.30 16.70
Maximum 23.90 27.90 22.40 27.90
Test of Homogeneity of Variances Minggu_2 Levene Statistic 1.735
df1
df2 2
9
Sig. .231
ANOVA Minggu_2 Sum of Squares 12.962 19.105 32.067
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 6.481 2.123
F 3.053
Sig. .097
Descriptives Minggu_3
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
5 5 2 12
Mean 22.5200 20.2400 21.3500 21.3750
Std. Deviation 1.02567 4.40091 1.48492 2.96774
Std. Error .45869 1.96815 1.05000 .85671
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 21.2465 23.7935 14.7755 25.7045 8.0085 34.6915 19.4894 23.2606
Maximum 12.20 11.20 10.70 12.20
60 Test of Homogeneity of Variances Minggu_3 Levene Statistic 1.999
df1
df2 2
Sig. .191
9
ANOVA Minggu_3 Sum of Squares 12.998 83.885 96.883
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 6.499 9.321
F .697
Sig. .523
Descriptives Minggu_4
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
Mean 31.860 26.120 26.050 28.500
5 5 2 12
Std. Deviation .6427 4.9792 .4950 4.2409
Std. Error .2874 2.2267 .3500 1.2242
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 31.062 32.658 19.938 32.302 21.603 30.497 25.805 31.195
Minimum 31.0 20.9 25.7 20.9
Test of Homogeneity of Variances Minggu_4 Levene Statistic 2.596
df1
df2 2
9
Sig. .129
ANOVA Minggu_4
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 96.775 101.065 197.840
df 2 9 11
Mean Square 48.388 11.229
F 4.309
Sig. .049
Minggu_4 a,b
Duncan
Perlakuan Nikotin Asap Rokok Kontrol Sig.
N 2 5 5
Subset for alpha = .05 1 26.050 26.120 31.860 .061
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.333. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Descriptives Minggu_5
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
5 5 2 12
Mean 45.1200 35.1400 32.1500 38.8000
Std. Deviation 4.35052 2.78262 .21213 6.47976
Std. Error 1.94561 1.24443 .15000 1.87055
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 39.7181 50.5219 31.6849 38.5951 30.2441 34.0559 34.6830 42.9170
Minimum 41.20 31.10 32.00 31.10
Maximum 51.00 38.30 32.30 51.00
Maximum 32.8 34.3 26.4 34.3
61 Test of Homogeneity of Variances Minggu_5 Levene Statistic 5.047
df1
df2 2
Sig. .034
9 ANOVA
Minggu_5
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 355.135 106.725 461.860
df 2 9 11
Mean Square 177.568 11.858
F 14.974
Sig. .001
Minggu_5 Duncan
a,b
Perlakuan Nikotin Asap Rokok Kontrol Sig.
N 2 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 32.1500 35.1400 45.1200 .291 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.333. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Descriptives Minggu_6
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
Mean 59.2600 45.7600 46.4000 51.4917
5 5 2 12
Std. Deviation 4.25770 3.79381 1.55563 7.68913
Std. Error 1.90410 1.69664 1.10000 2.21966
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 53.9734 64.5466 41.0494 50.4706 32.4232 60.3768 46.6062 56.3771
Minimum 54.00 42.50 45.30 42.50
Test of Homogeneity of Variances Minggu_6 Levene Statistic .519
df1
df2 2
9
Sig. .612
ANOVA Minggu_6 Sum of Squares 517.845 132.504 650.349
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 258.923 14.723
Minggu_6 Duncan
a,b
Perlakuan Asap Rokok Nikotin Kontrol Sig.
N 5 2 5
Subset for alpha = .05 1 2 45.7600 46.4000 59.2600 .834 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.333. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
F 17.587
Sig. .001
Maximum 65.70 51.80 47.50 65.70
62 Descriptives Minggu_7
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
Mean 80.8600 59.5600 58.0500 68.1833
5 5 2 12
Std. Deviation 7.55864 5.07129 .91924 12.47877
Std. Error 3.38033 2.26795 .65000 3.60231
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 71.4747 90.2453 53.2632 65.8568 49.7910 66.3090 60.2547 76.1120
Minimum 74.50 55.50 57.40 55.50
Maximum 93.20 67.70 58.70 93.20
Minimum 97.60 67.20 75.70 67.20
Maximum 110.90 79.00 78.50 110.90
Test of Homogeneity of Variances Minggu_7 Levene Statistic 1.372
df1
df2 2
Sig. .302
9
ANOVA Minggu_7 Sum of Squares 1380.668 332.249 1712.917
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square 690.334 36.917
2 9 11
F 18.700
Sig. .001
Minggu_7 Duncan
a,b
Perlakuan Nikotin Asap Rokok Kontrol Sig.
N 2 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 58.0500 59.5600 80.8600 .756 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.333. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. Descriptives Minggu_8
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
5 5 2 12
Mean 102.1200 74.1200 77.1000 86.2833
Std. Deviation 5.11244 4.34477 1.97990 14.60503
Std. Error 2.28635 1.94304 1.40000 4.21611
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 95.7721 108.4679 68.7253 79.5147 59.3113 94.8887 77.0037 95.5629
Test of Homogeneity of Variances Minggu_8 Levene Statistic .381
df1
df2 2
Sig. .694
9
ANOVA Minggu_8
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2162.401 183.976 2346.377
df 2 9 11
Mean Square 1081.200 20.442
F 52.892
Sig. .000
63 Minggu_8 Duncan
a,b
Perlakuan Asap Rokok Nikotin Kontrol Sig.
N 5 2 5
Subset for alpha = .05 1 2 74.1200 77.1000 102.1200 .417 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.333. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
64
Lampiran 7 Uji ANOVA Pertambahan Bobot Badan Anak Tikus Setiap Minggu Descriptives M1
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
Mean 6.3000 4.7600 5.3000 5.4917
5 5 2 12
Std. Deviation .43012 .98641 .14142 .98485
Std. Error .19235 .44113 .10000 .28430
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 5.7659 6.8341 3.5352 5.9848 4.0294 6.5706 4.8659 6.1174
Minimum 5.80 3.70 5.20 3.70
Test of Homogeneity of Variances M1 Levene Statistic 8.322
df1
df2 2
Sig. .009
9
ANOVA M1 Sum of Squares 6.017 4.652 10.669
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 3.009 .517
F 5.821
Sig. .024
M1 Duncan
a,b
Perlakuan Asap Rokok Nikotin Kontrol Sig.
Subset for alpha = .05 1 2 4.7600 5.3000 5.3000 6.3000 .358 .106
N 5 2 5
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.333. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Descriptives M2
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
5 5 2 12
Mean 5.1000 4.5400 5.4500 4.9250
Std. Deviation .67823 1.37405 .49497 1.00374
Test of Homogeneity of Variances M2 Levene Statistic 1.020
df1
df2 2
9
Sig. .399
Std. Error .30332 .61449 .35000 .28976
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 4.2579 5.9421 2.8339 6.2461 1.0028 9.8972 4.2873 5.5627
Minimum 4.00 3.60 5.10 3.60
Maximum 5.60 6.90 5.80 6.90
Maximum 6.70 6.00 5.40 6.70
65 ANOVA M2 Sum of Squares 1.446 9.637 11.083
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square .723 1.071
2 9 11
F .675
Sig. .533
Descriptives M3
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
5 5 2 12
Mean 5.6800 5.6600 5.3000 5.6083
Std. Deviation .86429 2.48052 2.12132 1.71436
Std. Error .38652 1.10932 1.50000 .49489
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 4.6068 6.7532 2.5800 8.7400 -13.7593 24.3593 4.5191 6.6976
Minimum 4.40 3.30 3.80 3.30
Maximum 6.80 9.80 6.80 9.80
Test of Homogeneity of Variances M3 Levene Statistic 1.205
df1
df2 2
Sig. .344
9
ANOVA M3 Sum of Squares .229 32.100 32.329
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square .115 3.567
F .032
Sig. .968
Descriptives M4
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
5 5 2 12
Mean 9.3400 5.8800 4.7000 7.1250
Std. Deviation 1.24820 1.06630 .98995 2.25232
Std. Error .55821 .47686 .70000 .65019
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 7.7902 10.8898 4.5560 7.2040 -4.1943 13.5943 5.6939 8.5561
Test of Homogeneity of Variances M4 Levene Statistic .704
df1
df2 2
9
Sig. .520
ANOVA M4
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 44.043 11.760 55.803
df 2 9 11
Mean Square 22.021 1.307
F 16.853
Sig. .001
Minimum 7.80 4.20 4.00 4.00
Maximum 10.40 6.90 5.40 10.40
66 M4 Duncan
a,b
Perlakuan Nikotin Asap Rokok Kontrol Sig.
N 2 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 4.7000 5.8800 9.3400 .215 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.333. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Descriptives M_5
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
Mean 13.2600 8.0200 6.1000 9.8833
5 5 2 12
Std. Deviation 4.24888 2.30152 .28284 4.22629
Std. Error 1.90016 1.02927 .20000 1.22002
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 7.9843 18.5357 5.1623 10.8777 3.5588 8.6412 7.1981 12.5686
Test of Homogeneity of Variances M_5 Levene Statistic 6.201
df1
df2 2
9
Sig. .020
ANOVA M_5
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 102.997 93.480 196.477
df 2 9 11
Mean Square 51.498 10.387
M_5 Duncan
a,b
Perlakuan Nikotin Asap Rokok Kontrol Sig.
N 2 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 6.1000 8.0200 8.0200 13.2600 .462 .065
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.333. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
F 4.958
Sig. .035
Minimum 10.00 4.00 5.90 4.00
Maximum 19.10 9.50 6.30 19.10
67 Descriptives M_6
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
Mean 15.3400 9.4260 9.5500 11.9108
5 5 2 12
Std. Deviation 2.68198 2.90816 1.48492 3.88027
Std. Error 1.19942 1.30057 1.05000 1.12014
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 12.0099 18.6701 5.8150 13.0370 -3.7915 22.8915 9.4454 14.3762
Test of Homogeneity of Variances M_6 Levene Statistic .566
df1
df2 2
Sig. .587
9
ANOVA M_6 Sum of Squares 100.815 64.807 165.621
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 50.407 7.201
F 7.000
Sig. .015
M_6 Duncan
a,b
Perlakuan Asap Rokok Nikotin Kontrol Sig.
N 5 2 5
Subset for alpha = .05 1 2 9.4260 9.5500 15.3400 .954 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.333. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. Descriptives M7
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
5 5 2 12
Mean 21.6000 13.8000 10.2500 16.4583
Std. Deviation 7.03349 2.07846 .35355 6.46592
Std. Error 3.14547 .92952 .25000 1.86655
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 12.8668 30.3332 11.2192 16.3808 7.0734 13.4266 12.3501 20.5666
Minimum 15.50 11.10 10.00 10.00
Test of Homogeneity of Variances M7 Levene Statistic 1.742
df1
df2 2
9
Sig. .229
ANOVA M7
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 244.604 215.285 459.889
df 2 9 11
Mean Square 122.302 23.921
F 5.113
Sig. .033
Maximum 33.20 15.90 10.50 33.20
Minimum 12.20 4.80 8.50 4.80
Maximum 18.80 12.30 10.60 18.80
68 M7 Duncan
a,b
Perlakuan Nikotin Asap Rokok Kontrol Sig.
N 2 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 10.2500 13.8000 13.8000 21.6000 .373 .070
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.333. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Descriptives M8
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
Mean 21.2600 14.5600 15.5500 17.5167
5 5 2 12
Std. Deviation 4.38326 3.25392 .77782 4.68379
Std. Error 1.96026 1.45520 .55000 1.35209
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 15.8175 26.7025 10.5197 18.6003 8.5616 22.5384 14.5407 20.4926
Test of Homogeneity of Variances M8 Levene Statistic 4.543
df1
df2 2
9
Sig. .043
ANOVA M8 Sum of Squares 121.508 119.809 241.317
Between Groups Within Groups Total
df 2 9 11
Mean Square 60.754 13.312
M8 a,b
Duncan
Perlakuan Asap Rokok Nikotin Kontrol Sig.
N 5 2 5
Subset for alpha = .05 1 2 14.5600 15.5500 15.5500 21.2600 .734 .074
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.333. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
F 4.564
Sig. .043
Minimum 17.70 11.30 15.00 11.30
Maximum 26.20 19.30 16.10 26.20
69
Lampiran 8 Hasil Uji ANOVA Persentase Mortalitas Anak Tikus a. Persentase mortalitas anak tikus hingga usia 4 minggu Descriptives Mort_4minggu
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
Mean 26.4000 50.4880 82.2220 53.0367
5 5 5 15
Std. Deviation 4.15933 8.56917 25.58083 27.79953
Std. Error 1.86011 3.83225 11.44010 7.17781
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 21.2355 31.5645 39.8480 61.1280 50.4592 113.9848 37.6418 68.4315
Minimum 20.00 40.00 44.44 20.00
Maximum 30.00 60.00 100.00 100.00
Minimum .00 20.00 8.33 .00
Maximum 10.00 50.00 11.11 50.00
Test of Homogeneity of Variances
Mort_4minggu Levene Statistic 13.111
df1
df2 2
Sig. .001
12
ANOVA Mort_4minggu Sum of Squares 7838.957 2980.439 10819.396
Between Groups Within Groups Total
df 2 12 14
Mean Square 3919.478 248.370
F 15.781
Sig. .000
Mort_4minggu Duncan
a
Perlakuan Kontrol Asap Rokok Nikotin Sig.
N 5 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 3 26.4000 50.4880 82.2220 1.000 1.000 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
b. Persentase mortalitas anak tikus hingga usia delapan minggu Descriptives Mort_8minggu
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
5 5 2 12
Mean 6.4000 35.0140 9.7200 18.8758
Std. Deviation 4.97996 13.66117 1.96576 16.78112
Test of Homogeneity of Variances Mort_8minggu Levene Statistic 6.114
df1
df2 2
9
Sig. .021
Std. Error 2.22711 6.10946 1.39000 4.84429
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound .2166 12.5834 18.0514 51.9766 -7.9416 27.3816 8.2136 29.5380
70 ANOVA Mort_8minggu
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2248.093 849.574 3097.667
df 2 9 11
Mean Square 1124.046 94.397
F 11.908
Mort_8minggu Duncan
a,b
Perlakuan Kontrol Nikotin Asap Rokok Sig.
N 5 2 5
Subset for alpha = .05 1 2 6.4000 9.7200 35.0140 .670 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.333. b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
Sig. .003
71
Lampiran 9 Hasil Uji ANOVA Kadar Triiodotironin (T3) pada Anak Tikus Descriptives Kadar_T3
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
3 3 3 9
Mean .6900 .9733 .8933 .8522
Std. Deviation .12530 .04041 .11015 .15287
Std. Error .07234 .02333 .06360 .05096
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound .3787 1.0013 .8729 1.0737 .6197 1.1670 .7347 .9697
Test of Homogeneity of Variances Kadar_T3 Levene Statistic 1.543
df1
df2 2
Sig. .288
6
ANOVA Kadar_T3 Sum of Squares .128 .059 .187
Between Groups Within Groups Total
df 2 6 8
Mean Square .064 .010
Kadar_T3 Duncan
a
Perlakuan Kontrol Nikotin Asap Rokok Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 .6900 .8933 .9733 1.000 .361
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000.
F 6.517
Sig. .031
Minimum .56 .93 .82 .56
Maximum .81 1.01 1.02 1.02
72
Lampiran 10 Hasil Uji ANOVA Gambaran Hematologi Anak Tikus a. Hemoglobin ( g %) Descriptives Hb
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
Mean 10.7600 13.2680 14.0120 12.6800
5 5 5 15
Std. Deviation .62290 .89116 1.37119 1.71717
Std. Error .27857 .39854 .61322 .44337
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 9.9866 11.5334 12.1615 14.3745 12.3094 15.7146 11.7291 13.6309
Minimum 9.80 12.14 11.74 9.80
Maximum 11.40 14.20 14.94 14.94
Test of Homogeneity of Variances Hb Levene Statistic 1.729
df1
df2 2
Sig. .219
12
ANOVA Hb Sum of Squares 29.032 12.249 41.281
Between Groups Within Groups Total
df 2 12 14
Mean Square 14.516 1.021
F 14.220
Sig. .001
Hb Duncan
a
Perlakuan Kontrol Asap Rokok Nikotin Sig.
Subset for alpha = .05 1 2 10.7600 13.2680 14.0120 1.000 .267
N 5 5 5
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
b. Hematokrit (%) Descriptives Hematokrit
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
Mean 36.7500 36.7500 36.4000 36.6333
5 5 5 15
Test of Homogeneity of Variances Hematokrit Levene Statistic .700
df1
df2 2
12
Sig. .516
Std. Deviation 2.66927 2.25693 4.36105 2.99235
Std. Error 1.19373 1.00933 1.95032 .77262
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 33.4357 40.0643 33.9476 39.5524 30.9850 41.8150 34.9762 38.2904
Minimum 33.00 33.50 29.00 29.00
Maximum 39.50 39.75 39.75 39.75
73 ANOVA Hematokrit Sum of Squares .408 124.950 125.358
Between Groups Within Groups Total
df 2 12 14
Mean Square .204 10.413
F .020
Sig. .981
c. Jumlah butir darah merah (jt/mm3) Descriptives BDM
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
5 5 5 15
Mean 7.1060 7.1580 7.5480 7.2707
Std. Deviation .65862 .49837 .95424 .70480
Std. Error .29454 .22288 .42675 .18198
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 6.2882 7.9238 6.5392 7.7768 6.3632 8.7328 6.8804 7.6610
Minimum 6.13 6.39 6.64 6.13
Maximum 7.86 7.70 8.65 8.65
Test of Homogeneity of Variances BDM Levene Statistic 2.972
df1
df2 2
Sig. .089
12
ANOVA BDM Sum of Squares .584 6.371 6.954
Between Groups Within Groups Total
df 2 12 14
Mean Square .292 .531
F .550
Sig. .591
d. Jumlah butir darah putih (rb/mm3)
Descriptives BDP
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
5 5 5 15
Mean 6.2700 5.3600 5.5000 5.7100
Std. Deviation 1.81197 2.33356 2.74386 2.19465
Test of Homogeneity of Variances BDP Levene Statistic .474
df1
df2 2
12
Sig. .634
Std. Error .81034 1.04360 1.22709 .56666
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 4.0201 8.5199 2.4625 8.2575 2.0931 8.9069 4.4946 6.9254
Minimum 4.55 1.60 3.00 1.60
Maximum 8.35 8.05 9.75 9.75
74 ANOVA BDP Sum of Squares 2.401 65.030 67.431
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square 1.201 5.419
2 12 14
F .222
Sig. .804
e. Differensiasi butir darah putih (%) Descriptives Limfosit
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
5 5 5 15
Mean 54.4000 55.2000 45.4000 51.6667
Std. Deviation 19.93239 11.54123 19.71801 16.84665
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 29.6507 79.1493 40.8697 69.5303 20.9169 69.8831 42.3373 60.9960
Std. Error 8.91403 5.16140 8.81816 4.34979
Minimum 32.00 42.00 24.00 24.00
Maximum 76.00 68.00 76.00 76.00
Minimum 21.00 25.00 21.00 21.00
Maximum 66.00 54.00 72.00 72.00
Test of Homogeneity of Variances Limfosit Levene Statistic .819
df1
df2 2
Sig. .464
12
ANOVA Limfosit Sum of Squares 296.133 3677.200 3973.333
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square 148.067 306.433
2 12 14
F .483
Sig. .628
Descriptives Netrofil
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
5 5 5 15
Mean 41.2000 39.4000 53.6000 44.7333
Std. Deviation 22.12917 12.23928 19.98249 18.42540
Std. Error 9.89646 5.47357 8.93644 4.75742
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 13.7230 68.6770 24.2029 54.5971 28.7885 78.4115 34.5297 54.9370
Test of Homogeneity of Variances Netrofil Levene Statistic 1.532
df1
df2 2
Sig. .256
12
ANOVA Netrofil
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 597.733 4155.200 4752.933
df 2 12 14
Mean Square 298.867 346.267
F .863
Sig. .446
75 Descriptives Monosit
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
Mean 1.6000 3.0000 1.6000 2.0667
5 5 5 15
Std. Deviation .89443 1.87083 .89443 1.38701
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound .4894 2.7106 .6771 5.3229 .4894 2.7106 1.2986 2.8348
Std. Error .40000 .83666 .40000 .35813
Minimum 1.00 1.00 1.00 1.00
Maximum 3.00 6.00 3.00 6.00
Test of Homogeneity of Variances Monosit Levene Statistic .575
df1
df2 2
Sig. .578
12
ANOVA Monosit Sum of Squares 6.533 20.400 26.933
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square 3.267 1.700
2 12 14
F 1.922
Sig. .189
Descriptives Eosinofil
N Kontrol Asap Rokok Nikotin Total
5 5 5 15
Mean 2.8000 2.4000 .6000 1.9333
Std. Deviation 3.03315 1.94936 .54772 2.18654
Std. Error 1.35647 .87178 .24495 .56456
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound -.9662 6.5662 -.0204 4.8204 -.0801 1.2801 .7225 3.1442
Test of Homogeneity of Variances Eosinofil Levene Statistic 8.398
df1
df2 2
12
Sig. .005
ANOVA Eosinofil
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 13.733 53.200 66.933
df 2 12 14
Mean Square 6.867 4.433
F 1.549
Sig. .252
Minimum .00 .00 .00 .00
Maximum 7.00 5.00 1.00 7.00
76
Lampiran 11 Hasil Uji ANOVA Aktivitas Anak Tikus
a. Distance traveled (DT) (cm) Descriptives DT
N KT AR NK Total
Mean 25.6400 68.2800 29.0000 40.9733
5 5 5 15
Std. Deviation 15.98649 18.60892 14.32411 25.14073
Std. Error 7.14938 8.32216 6.40593 6.49131
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 5.7901 45.4899 45.1740 91.3860 11.2143 46.7857 27.0509 54.8958
Minimum .60 47.00 15.60 .60
Maximum 43.60 98.00 46.00 98.00
Test of Homogeneity of Variances DT Levene Statistic .040
df1
df2 2
Sig. .961
12
ANOVA DT Sum of Squares 5620.629 3228.160 8848.789
Between Groups Within Groups Total
df 2 12 14
Mean Square 2810.315 269.013
F 10.447
Sig. .002
DT Duncan
a
Perlakuan KT NK AR Sig.
N 5 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 25.6400 29.0000 68.2800 .752 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
b. Resting time (RT) (dtk) Descriptives RT
N KT AR NK Total
5 5 5 15
Mean 22.2400 29.4000 29.9200 27.1867
Std. Deviation 9.68132 8.32466 9.80673 9.33885
Std. Error 4.32962 3.72290 4.38570 2.41128
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 10.2191 34.2609 19.0636 39.7364 17.7433 42.0967 22.0150 32.3583
Minimum 14.00 22.60 22.20 14.00
Maximum 37.00 42.40 45.40 45.40
77 Test of Homogeneity of Variances RT Levene Statistic .112
df1
df2 2
Sig. .895
12
ANOVA RT Sum of Squares 184.197 1036.800 1220.997
Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square 92.099 86.400
2 12 14
F 1.066
Sig. .375
c. Ambulatory time (AT) (dtk) Descriptives AT
N KT AR NK Total
5 5 5 15
Mean 31.0400 19.0400 23.6000 24.5600
Std. Deviation 6.23763 7.31218 7.10915 8.18787
Std. Error 2.78955 3.27011 3.17931 2.11410
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 23.2950 38.7850 9.9607 28.1193 14.7728 32.4272 20.0257 29.0943
Test of Homogeneity of Variances AT Levene Statistic .062
df1
df2 2
12
Sig. .940
ANOVA AT Sum of Squares 366.912 571.664 938.576
Between Groups Within Groups Total
df 2 12 14
Mean Square 183.456 47.639
AT Duncan
a
Perlakuan AR NK KT Sig.
N 5 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 19.0400 23.6000 23.6000 31.0400 .317 .114
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
F 3.851
Sig. .051
Minimum 22.80 11.20 12.40 11.20
Maximum 37.20 26.60 30.80 37.20
78
d. Stereotypic time (ST) (dtk) Descriptives ST
N KT AR NK Total
Mean 6.5600 13.6400 6.0800 8.7600
5 5 5 15
Std. Deviation 3.76670 6.00400 3.79104 5.59091
Std. Error 1.68452 2.68507 1.69541 1.44357
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 1.8830 11.2370 6.1851 21.0949 1.3728 10.7872 5.6639 11.8561
Test of Homogeneity of Variances ST Levene Statistic .346
df1
df2 2
12
Sig. .714
ANOVA ST Sum of Squares 179.184 258.432 437.616
Between Groups Within Groups Total
df 2 12 14
Mean Square 89.592 21.536
ST Duncan
a
Perlakuan NK KT AR Sig.
N 5 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 6.0800 6.5600 13.6400 .873 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.
F 4.160
Sig. .042
Minimum .20 7.80 2.20 .20
Maximum 9.00 23.60 10.40 23.60