EFEKTIVITAS PEMBERIAN KEDELAI PADA TIKUS PUTIH ((Rattus novergicus)) BUNTING DAN MENYUSUI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KINERJA REPRODUKSI ANAK TIKUS BETINA
ADRIYAN PERMANA PUTRA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
1
ABSTRAK ADRIYAN PERMANA PUTRA. Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih (Rattus novergicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja reproduksi anak tikus betina. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS. Studi ini mengamati pengaruh pemberian kedelai (tanaman kaya fitoestrogen) pada induk tikus Sprague-Dawley bunting dan laktasi dengan dosis 5 mg/Kgbb/hari terhadap pertambahan bobot badan, bobot uterus, dan bobot ovarium anaknya. Tikus dibagi dalam empat kelompok. Kelompok A adalah kelompok anak tikus yang berasal dari induk diberi kedelai mulai 14 hari kebuntingan sampai 14 hari laktasi. Kelompok B adalah kelompok anak tikus yang berasal dari induk yang diberi kedelai mulai 14 hari kebuntingan sampai melahirkan. Kelompok C adalah kelompok induk yang diberi kedelai sejak melahirkan hingga laktasi 14 hari. Sedangkan kelompok D adalah kontrol yang tidak diberi perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan, bobot ovarium dan bobot uterus anak lebih tinggi pada kelompok B (p<0,05) sedangkan pada kelompok C tidak berbeda nyata dengan kontrol (p>0,05). Hal ini menunjukkkan bahwa fitoestrogen dari kedelai lebih efektif dalam peningkatan kinerja reproduksi pada anak yang induknya diberikan kedelai pada saat bunting dibandingkan dengan menyusui. Kata kunci: kedelai, fitoestrogen, tikus putih, reproduksi.
2
EFEKTIVITAS PEMBERIAN KEDELAI PADA TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) BUNTING DAN MENYUSUI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KINERJA REPRODUKSI ANAK TIKUS BETINA
ADRIYAN PERMANA PUTRA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
3
Nama
:
Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih (Rattus novergicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja reproduksi anak tikus betina
Nama
:
Adriyan Permana Putra
Normor Pokok :
B 04104078
Disetujui :
Dr. Nastiti Kusumorini Dosen Pembimbing I
Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, MSc Dosen Pembimbing II
Diketahui :
Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan FKH IPB
Tanggal lulus : 4
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata`ala karena atas limpahan rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih (Rattus novergicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja reproduksi anak tikus betina. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis di Kandang Hewan Percobaan dan di Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Keluargaku tercinta: Ibu, Bapak dan kelima saudara kandung penulis Frans, Ari, Yudhi, Yesi, dan Fauzan yang selalu memberikan doa, kasih sayang, nasihat, dan motivasi tiada henti. 2. Dr. Nasititi Kusumorini dan Dr. drh Aryani S. Satyaningtijas, MSc, selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan dan memberi saran positif kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. 3. Semua karyawan laboratorium Fisiologi: Pak Edi, Pak Wawan, Ibu Sri, Ibu Ida, terima kasih atas bantuan, saran, dan kerja samanya selama penulis melakukan penelitian. 4. Teman satu penelitian; Kukuh Diki. Teman-teman Asteroidea 41, Balio 27 (Zulfikar, Agung, Reza, Adi, Uli, Hendra dkk) terimakasih atas bantuan dan dukungannya. 5. Serta semua pihak yang telah membantu penulis semenjak kuliah sampai penulisan skripsi ini, yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan. Namun semoga tulisan ini masih dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal shalih bagi penulis. Bogor, januari 2009 Penulis 5
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Adriyan Permana Putra. Penulis dilahirkan di Sawah Lunto, Sumatra Barat pada tanggal 12 Januari 1986. Penulis merupakan putra pertama dari enam bersaudara dari ayahanda Masdi S.IP dan ibunda Yusma Elita. Penulis mulai mengenyam pendidikan di SDN 007 Bengkalis hingga lulus tahun 1998.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTP) di SLTPN 1 Bengkalis hingga lulus tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikannya di SMUN 1 Bengkalis hingga tahun 2004. Pendidikan sarjana ditempuh penulis di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004 Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa kegiatan organisasi. Penulis pernah tergabung dalam Dewan Perwakilan Mahasiswa DPM tahun (2006/2007) anggota komisi eksternal. Penulis sempat juga menjabat sebagai pengurus di Ikatan Mahasiswa Kedoteran Hewan Indonesia (IMAKAHI). Penulis ikut serta dalam organisasi Dewan Keluarga Mushala (DKM) An-Nahl (2006/2008) dan ROHIS angkatan 41 (2006/2008). Penulis merupakan salah satu penerima beasiswa BRI (2006/2008).
6
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................................viii DAFTAR GAMBAR .....................................................................................................ix DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................................x
PENDAHULUAN Latar Belakang ....................................................................................................... 1 Tujuan Penelitian ................................................................................................... 2 Hipotesis .................................................................................................................. 3 Manfaat .................................................................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA Kedelai..................................................................................................................... 4 Fitoestrogen ............................................................................................................ 5 Metabolisme fitoestrogen...................................................................................... 9 Biokimia fitoestrogen .......................................................................................... 10 Estrogen ................................................................................................................. 12 Peran estrogen pada kebuntingan ......................................................................... 15 Peran estrogen terhadap organogenesis ............................................................... 15
Tikus putih ............................................................................................................ 17 Siklus estrus tikus................................................................................................. 18 Proestrus...................................................................................................19 Estrus........................................................................................................19 Metestrus..................................................................................................20 Diestrus.. ..................................................................................................20
METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian .............................................................................. 23 Bahan dan alat ...................................................................................................... 23 Metode penelitian ................................................................................................. 23
vi
Tahap persiapan .......................................................................................23 Tahap perlakuan dan perlakuan hewan coba ...........................................24 Pengamatan dan pengambilan sampel .....................................................25 Analisa data........................................................................................................... 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian kedelai terhadap hadirnya siklus estrus anak...................... 27
Pengaruh pemberian kedelai terhadap bobot badan anak ............................... 28 Pengaruh pemberian kedelai terhadap bobot ovarium anak ........................... 30 Pengaruh pemberian kedelai terhadap bobot uterus anak............................... 32 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ........................................................................................................... 36 Saran ...................................................................................................................... 36 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................37
vii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Perkiraan kandungan protein dan isoflavone dari beberapa produk soya ......... 5
2
Relative binding affinity (RBA) berbagai hormon pada reseptor estrogen α dan β pada tikus ...................................................................................................... 10
3
Parameter normal fisiologi reproduksi dan biologi tikus .................................. 18
4
Jenis-jenis sel yang terdapat pada preparat ulas vagina tikus putih. ................ 19
5
Persentase hadirnya siklus estrus anak tikus usia 4,6, dan 8 minggu........................ 27
6
Persentase pertambahan bobot badan anak tikus betina 4-6 dan 6-8 minggu ........... 28
7
Rata-rata bobot ovarium (gr) anak tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu................... 30
8
Rata-rata bobot uterus (gr) anak tikus pada umur 4, 6 dan 8 minggu ....................... 32
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kedelai ........................................................................................................................ 4
2 Fitoestrogen yang paling umum ditemukan pada tumbuhan .............................. 7 3 Glucon dan aglucon dari fitoestrogen .................................................................... 8 4 Perbandingan metabolisme fitoestrogen (lignan dan isoflavon) secara skematik ..................................................................................................................... 9 5 Interaksi metabolisme fitoestrogen dan estrogen ............................................... 12 6 Steroidogenenesis estrogen pada hewan betina......................................................... 13 7 Rattus novergicus, galur Sprague-Dawley .......................................................... 17 8 Gambaran sitologi vagina tikus selama fase proestrus, estrus, metestrus dan diestrus ...................................................................................................................... 22
9 Diagram tahap perlakuan ......................................................................................... 25 10 Persentase pertambahan bobot badan anak tikus pada usia 4-6 dan 6-8 minggu...... 28 11 Rata-rata bobot ovarium (gr) anak tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu ........ 31 12 Rata-rata bobot uterus (gr) anak tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu ............ 32
ix
Daftar Lampiran Halaman 1
Analisa pengaruh pemberian kedelai terhadap pertambahan bobot badan anak tikus betina
1.1 Analisa pertambahan bobot badan 4-6 minggu ......................................42 1.2 Analisa pertambahan bobot badan 6-8 minggu ......................................42 2
Analisa Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Bobot Ovarium anak tikus
2.1 Analisa bobot ovarium pada tikus umur 4 minggu.................................43 2.2 Analisa bobot ovarium pada tikus umur 6 minggu.................................43 2.3 Analisa bobot ovarium pada tikus umur 8 minggu.................................44 3
Analisa Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Bobot Uterus anak tikus
3.1 Analisa bobot uterus pada tikus umur 4 minggu ....................................44 3.2 Analisa bobot uterus pada tikus umur 6 minggu ....................................45 3.3 Analisa bobot uterus pada tikus umur 8 minggu ....................................45
x
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Kedelai merupakan bahan makanan yang terkenal dengan kandungan proteinnya senilai daging, juga kandungan vitamin, mineral, dan lemaknya. Lemak dalam kedelai adalah lemak tak jenuh ganda (polyunsaturated) yang dapat membantu menurunkan kadar kolesterol darah dan menghindari penggumpalan lemak dalam darah, serta menurunkan risiko penyakit jantung koroner (American Heart Association 2000). Cina, Jepang, Korea, dan beberapa negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia adalah negara-negara yang
memiliki tingkat
konsumsi kedelai tinggi (Anonima 2008). Di Indonesia banyak produk makanan yang berasal dari olahan kacang kedelai diantaranya adalah tahu dan tempe yang terkenal sebagai menu makanan sehari-hari dan sebagai sumber protein yang murah dibandingkan dengan protein hewani. Manfaat dari kedelai ternyata tidak sebatas kandungan protein yang tinggi, belakangan diketahui oleh para ahli bahwa kedelai mengandung suatu substrat yang memiliki khasiat mirip estrogen. Subtrat ini yang kemudian dinamai dengan fitoestrogen, berasal dari kata phyto yang berarti tumbuhan dan estrogen adalah zat yang merangsang estrus (estro = estrus, gen = generate) (Thomson 2005). Penemuan ini sangat berharga terutama dalam dunia kedokteran. Kajian dan penelitian tentang fitoestrogen belakangan semakin intensif dilakukan karena kacang kedelai (soybeans) mengandung fitoestrogen dalam jumlah yang bermakna untuk pengobatan. Penduduk Jepang yang mengkonsumsi produk kedelai (soy products) ternyata memperlihatkan rendahnya angka kejadian penyakit yang umum diderita kaum wanita terkait kekurangan hormon (Andra 2007). Konsumsi produk-produk kedelai juga menurunkan prevalensi penyakit seperti kardiovaskular (yakni dengan mengendalikan kadar kolesterol pada kadar yang normal), mencegah kanker payudara dan prostat, meningkatkan kesehatan tulang (mencegah osteoporosis), dan mengurangi berbagai gejala serta keluhan menopause (Heinnermen 2003). Paparan agen estrogenik pada saat kebuntingan dan laktasi telah diketahui dapat mempengaruhi perkembangan morfologi dan fungsional organ reproduksi (Hughes et al.2004). Fetus dan anak yang baru lahir (neonate) lebih peka terhadap 1
2
estrogen oleh sebab itu konsumsi fitoestrogen pada saat kebuntingan dan laktasi dapat mempengaruhi periode penting dari perkembangan dan pertumbuhan (Hughes et al. 2004). Paparan estrogen pada fetus dan neonatus ditakutkan akan menyebabkan efek yang menyimpang seperti infertilitas, kornifikasi vagina persisten, hemorrhagi folikel ovarium, dan premature vaginal opening. Seperti yang telah dilaporkan sebelumnya bahwa penggunaan DES (dietilstilbestrol) ketika kebuntingan
dapat menyebabkan struktur genital yang abnormal pada
hewan jantan(Viscenzo et al. 2005). Untuk itu perlu diketahui seberapa besar pengaruh pemaparan fitoestrogen pada saat kebuntingan dan laktasi terhadap fetus dan neonatal. Sehingga hal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan ketika hendak mengkonsumsi bahan yang banyak mengandung fitoestrogen contohnya konsumsi kedelai pada saat kebuntingan dan laktasi. Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tikus sebagai hewan model. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan kemungkinan bahwa fitoestrogen dari kedelai dapat dipindahkan dari induk kepada anaknya melalui transplasental pada saat prenatal dan melalui susu induk postnatal. Kedelai mengandung isoflavon yang mempunyai aktivitas estrogenik sehingga anak tikus dari induk yang diberikan kedelai diharapkan dapat menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi yang pada akhirnya meningkatkan profil dan kinerja reproduksi. Oleh sebab itu maka parameter yang dijadikan ukuran pada penelitian ini adalah pertambahan bobot badan, bobot ovarium dan bobot uterus anak tikus betina. Peningkatan dari parameter tersebut menunjukkan adanya peningkatan kinerja reproduksi. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kedelai pada induk tikus bunting dan menyusui terhadap kinerja reproduksi anak tikus betina berupa perubahan bobot badan, bobot ovari, dan bobot uterus.
2
3
Hipotesis Pemberian kedelai 5 mg/Kg bb/hari secara peroral pada induk tikus bunting dan atau menyusui mempengaruhi bobot badan, bobot ovari, dan bobot uterus anaknya. Manfaat Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan ilmu kedokteran. Data yang dihasilkan dapat memberikan informasi terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh konsumsi kedelai pada saat kebuntingan dan menyusui terhadap penampilan anak serta dapat menjadi acuan atau dasar untuk melakukan penelitian di bidang reproduksi selanjutnya.
3
4
TINJAUAN PUSTAKA Kedelai Kedelai atau kacang kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar makanan Asia Timur seperti kecap, tahu dan tempe. Pemanfaatan utama kedelai adalah dari biji. Biji kedelai kaya protein dan lemak serta beberapa bahan gizi penting lain, misalnya vitamin (asam fitat) dan lesitin. Olahan biji dapat dibuat menjadi tahu (tofu), bermacam-macam saus penyedap (salah satunya kecap, yang aslinya dibuat dari kedelai hitam), tempe, susu kedelai (baik bagi orang yang sensitif laktosa), tepung kedelai, minyak (dari sini dapat dibuat sabun, plastik, kosmetik, resin, tinta, krayon, pelarut, dan biodiesel, taosi, tauco (Anonimb 2008). Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua spesies: Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning, agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam) (Gambar 1). G. max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti Tiongkok dan Jepang selatan, sementara G. soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia Tenggara. Klasifikasi ilmiah kedelai menurut AAK (1989) tergolong kedalam kerajaan Plantae, filum Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Fabales, subfamili Fabaceae, famili Faboideae, genus Glycine (L) Merr, Spesies Glycine max dan Glycine soja.
Gambar 1 Kedelai putih (kiri) dan kedelai hitam (kanan).
Kedelai mempunyai akar yang memiliki bintil pengikat nitrogen bebas. Kedelai merupakan tanaman dengan kadar protein tinggi sehingga tanamannya digunakan sebagai pupuk hijau dan pakan ternak. Kedelai mengandung protein 4
5
yang berkisar 30-40%, karbohidrat 34.8%, dan lemak 18.1%. Kedelai juga mengandung vitamin A, vitamin B6, vitamin B12, vitamin C, vitamin K, Kalsium, Zat Besi, magnesium, fosfor, kalium, natrium, dan seng. Kedelai juga merupakan sumber
isoflavon
antikarsinogenik.
berfungsi Kedelai
sebagai
memiliki
zat
estrogenik,
kandungan
antioksidan
isoflavon
lebih
dan tinggi
dibandingkan tanaman pangan lainnya (Achadiat 2007). Kandungan protein dan isoflavon di dalam kedelai tertera dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1 Perkiraan kandungan protein dan isoflavone dari beberapa produk soya
(Sumber: Kligler 2003)
Penelitian pada kedelai yang telah dibuktikan para ahli antara lain adalah khasiatnya dalam menurunkan kadar kolestrol, meningkatkan kekebalan tubuh, menghambat
pertumbuhan
kanker
payudara,
prostat,
usus,
mencegah
osteoporosis, menghambat pengikisan dan keretakan pada tulang (Heinnermen 2003). Fitoestrogen
Fitoestrogen
atau sumber estrogen berbasis tumbuh-tumbuhan yang
merupakan senyawa non steroidal mempunyai aktivitas estrogenik atau dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen (Tsourounis 2004). Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tumbuhan yang memiliki khasiat mirip estrogen, meskipun rumus bangun kimianya berbeda dengan estrogen tetapi memiliki inti yang sama persis dengan estrogen. Khasiat estrogenik terjadi karena fitoestrogen juga memiliki 2 gugus -OH/ hidroksil yang berjarak 11.0-11,5 A0 pada intinya, sama persis dengan inti estrogen sendiri. Para peneliti sepakat jarak 11 A0 dan gugus -OH inilah yang menjadi struktur pokok suatu substrat agar
5
6
mempunyai efek estrogenik, yakni memiliki afinitas tertentu untuk dapat menduduki reseptor estrogen (Achadiat 2007). Substrat tadi baru akan berefek estrogenik bila telah berikatan dengan reseptor estrogen tersebut. Namun afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibanding estrogen endogen atau dapat dikatakan bahwa diperlukan jumlah yang sangat besar bagi fitoestrogen untuk memperoleh efek yang memadai seperti estrogen (Tsourounis 2004). Menurut Yildiz (2005) kunci struktural penting dari suatu zat agar dapat berperan sebagai estrogen atau estradiol-like effects adalah: a. Memiliki cincin fenol yang sangat penting perannya dalam berikatan dengan estrogen reseptor (ERs) b. Cincin dari isoflavon menyerupai cincin dari estrogen pada bagian ikatan reseptor. c. Berat molekular serupa dengan estrogen (BM=272) d. Jarak antara dua gugus hidroksil dari inti isoflavon sama seperti yang dimiliki oleh estradiol. e. Pola hidroksilasi yang optimal. Fitoestrogen pertama kali diamati pada tahun 1926. Pada saat itu masih belum diketahui apakah zat ini dapat mempengaruhi metabolisme hewan atau manusia. Pada tahun 1940-an baru disadari bahwa domba yang digembalakan di daerah yang banyak ditumbuhi red clover atau semanggi merah ternyata menyebabkan domba tersebut menjadi sangat subur karena diduga banyak memakan tumbuhan yang kaya akan fitoestrogen ini (Johnston 2003). Semenjak itu mulai banyak penelitian mengkaji manfaat dari fitoestrogen ini. Penelitian fitoestrogen diarahkan pada fungsinya terhadap regulasi kolestrol dalam tubuh dan dalam mempertahankan densitas tulang pada perempuan menopause (Yildiz 2005) Fitoestrogen memiliki 3 kelompok utama yaitu isoflavone, lignan, dan coumestan, dan beberapa herbal lain. Tiga kelompok tersebut terdapat pada 300 tanaman, terutama tumbuhan keluarga polong-polongan. Menurut Tsourounis (2004) kelompok dari fitoestrogen tersebut adalah: 1. Isoflavone terdapat pada : soybean (kacang kedelai), lentil (miju - miju), chickpeas/garbanio bean (buncis), red clover (semanggi merah)
6
7
2. Lignan terdapat pada : Flaxseed (biji rami), cereal (padi - padian), sayursayuran, dan buah-buahan. 3. Coumestan terdapat pada : sunflower seed (biji bunga matahari), bean sprout (kecambah taoge). 4. Bentuk lain terdapat pada herbal Black cohosh, Dong Quai, ginseng, Evening primrose (Kligler 2003). Black cohosh tumbuh di hutan-hutan Amerika Selatan dan sekarang telah diekstraksi serta dikemas menjadi produk obat untuk menopause. Pada umumnya tumbuhan sumber fitoestrogen hampir tidak pernah dijumpai mengandung hanya satu jenis senyawa tersebut, melainkan selalu mengandung banyak sekali senyawa estrogenik secara bersama-sama (Achadiat 2007). Fitoestrogen pada tumbuhan paling umum di temukan dalam bentuk coumestan dan isoflavon yang tergolong dalam kelompok flavonoid. Struktur molekul kedua senyawa ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Fitoestrogen yang paling umum ditemukan pada (Coumestan dan isoflavon) (Sumber : Jennylen 2005).
tumbuhan
Isoflavon adalah kelompok yang paling menonjol dan yang telah banyak diteliti. Isoflavon terdiri dari tiga jenis senyawa yakni genistein, daidzein, dan glycitin. Kedelai mengandung isoflavon dengan kadar daidzein 38%; genistein 50%; dan glycitin 12%. Walaupun merupakan isoflavon kedua terbanyak setelah genistein, daidzein dikenal paling potensial untuk menimbulkan efek estrogenik (Andra 2007)
7
8
Kedelai merupakan sumber isoflavon (fitoestrogen) dan mengandung antioksidan yang berfungsi melindungi sel dari kerusakan akibat radikal bebas. Di dalam tiap gram protein kedelai mengandung isoflavon total sebesar 5,1-5,5 mg terdiri dari daidzein, genistein, dan sedikit glycitin. Daizein berkisar 10,5-85 dan genestein 26.8-120,5 mg/100g berat kering di dalam kedelai atau produk olahannya (Widodo 2005) Sebagai fitoestrogen, isoflavon kedelai memiliki dua efek penting. Pertama, saat kadar estrogen tinggi, fitoestrogen bisa menghentikan bentuk estrogen yang lebih poten diproduksi oleh tubuh (dengan memblokir reseptor estrogen) dan bisa membantu mencegah penyakit yang dikendarai oleh hormon, seperti kanker payudara. Kedua, saat kadar estrogen rendah, seperti pada keadaan setelah menopause, fitoestrogen bisa menggantikan estrogen tubuh itu sendiri, sehingga bisa mengurangi hot flashes dan melindungi tulang (Andra 2007). Isoflavon di dalam tumbuhan terdapat dalam bentuk glikosida terkonjugasi (glycoside conjugate) yang disebut glucon (genistin dan daidzin). Glucon akan dimetabolisme oleh bakteri pencernaan menjadi senyawa aktif yang disebut aglicon (genistein dan
daidzein) (Speroff & Fritz 2005). Senyawa aktif ini
(aglikon) akan masuk aliran darah dan beredar keseluruh tubuh dimana ia akan berikatan dengan sejumlah organ dengan reseptor khusus. Gambar 3 merupakan skematis perubahan glukon menjadi aglikon oleh bakteri di dalam usus. Bakteri Usus
Glucon
Aglucon
Gambar 3 Glucon dan aglucon dari fitoestrogen (Sumber : Thomson 2005).
8
9
Metabolisme Fitoestrogen Semua fitoestrogen secara garis besar diabsorbsi sebagai metabolit prekursor yaitu dalam bentuk awal dari fitoestrogen yang belum aktif atau kurang bersifat estrogenik (merupakan fitoestrogen dalam bentuk glikosida terkonjugasi). Fitoestrogen
kelompok
lignan
akan
diabsorbsi
sebagai
matairesinol,
secoisolaricinol. Selanjutnya metabolit prekursor ini akan di dimetabolisme oleh bakteri intestinum menjadi senyawa aktif yang bersifat estrogenik yaitu enterolacton dan enterodiol. Sedangkan fitoestrogen kelompok isoflavon akan diserap sebagai formononetin, daidzin, genistin dan biochanin A yang akan dimetabolisme oleh bakteri intestinum menjadi daidzein dan genistein. Selanjutnya senyawa ini akan dimetabolisme atau diekskresi tanpa perubahan bentuk biokimiawi dalam urin dan faeses (Wolf 2005). Daidzein dapat mengalami perubahan lebih lanjut menjadi equol dan ODM-angiolensin sedangkan genistein berubah menjadi Pethylphenol untuk diekskresikan melalui urin. Keseluruhan proses ini secara skematis diterangkan dalam Gambar 4.
Formononentin Daidzin Biochanin-A dan Genistin
Gambar 4 Perbandingan metabolisme fitoestrogen (lignan dan isoflavon) secara skematik (Sumber : Ibanez & Baulieu 2005) Kedelai terutama mengandung biochanin-A dan formononetin dengan aktivitas estrogenik lemah, tetapi masing-masing diubah dalam usus menjadi genistein dan daidzein yang lebih estrogenik dan selanjutnya menjadi equol yang lebih estrogenik daripada daidzein (Speroff dan Fritz 2005). Equol dihasilkan dari 9
10
daidzein dalam usus yang merupakan produk buangan oleh sebab itu kurang berperan di dalam tubuh. Produksi equol akan lebih banyak ditemukan pada orang diet tinggi karbohidrat dan berhubungan dengan risiko kanker payudara yang rendah (Ibanez & Baulieu 2005). Biokimia Fitoestrogen Fitoestrogen memiliki struktur kimia mirip 17β estradiol, sehingga dapat berikatan dengan kedua reseptor estrogen yaitu ERα dan ERβ. Afinitas ikatan fitoestrogen pada kedua reseptor tidak sama, afinitas fitoestrogen lebih besar terhadap ERβ dibanding ERα (Tabel 2) (Tsourounis 2004). Afinitas fitoestrogen (genistein) rendah terhadap reseptor alpha yakni 5% sedangkan terhadap reseptor betha hanya 36% jika dibandingkan dengan 17β estradiol, walaupun demikian kadar sirkulasi yang berulang dari fitoestrogen mampu menghasilkan aktivitas biologik yang potensial (Tsourounis 2004). Tabel 2 Relative binding affinity (RBA) berbagai hormon pada reseptor estrogen α dan β pada tikus
(Sumber : Ibanez & Baulieu 2005)
Prostat, ovarium, paru-paru, vesika urinaria, ginjal, uterus dan testis, merupakan beberapa tempat yang dipengaruhi khusus oleh fitoestrogen (Tsourounis 2004). Isoflavon akan berikatan dengan reseptor estrogen di organ tersebut, walaupun kurang poten dibandingkan 17β estradiol namun dengan kadar yang lebih tinggi dan sirkulasi yang berulang dapat menimbulkan efek yang potensial. Hal ini disebabkan karena
reseptor estrogen akan diblokir oleh
fitoestrogen dan tidak dapat diduduki oleh estrogen. Fitoestrogen setelah berikatan pada reseptor estrogen, akan menyebabkan timbulnya aktivitas estrogenik yang relatif lemah (Tsourounis 2004). Dengan kata lain fitoestrogen dapat bersaing dan
10
11
menggantikan fungsi estrogen. Hal ini sangat menguntungkan karena mengingat kadar estrogen yang tinggi telah dikaitkan dengan kanker payudara, kanker indung telur dan kanker rahim. Asupan protein kedelai dalam tubuh memberikan kesempatan pada fitoestrogen untuk mengambil alih tugas estrogen endogen ketika kadar fitoestrogen tinggi di dalam tubuh, sehingga mengurangi potensi berbahaya dari estrogen yakni mengubah sel normal menjadi sel kanker (berperan sebagai antiestrogenik). Fitoestrogen berperan dalam menstabilkan fungsi hormonal, yakni dengan cara menghambat aktivitas estrogen yang berlebihan yang dapat menginduksi terjadinya kanker dan juga dapat mensubtitusi estrogen ketika kadarnya di dalam tubuh rendah (Anonima 2008). Fitoestrogen memiliki efek menormalkan hormon, tidak hanya menghambat penyerapan estrogen secara berlebihan, tetapi juga mampu meningkatkannya pada wanita yang kadar estrogennya rendah (Anonima 2008). Lignan dan isoflavon merupakan estrogenik lemah dan merupakan agen antiestrogenik parsial. Lignan dan isoflavon memiliki kemampuan antimikrobial, antikarsinogenik, dan antiinflamasi. Menurut Tsourounis (2004) efek fitoestrogen antara lain: 1. Meningkatkan steroid hormon binding globulin (SHBG) dengan diikuti penurunan kadar hormon steroid bebas. Terutama nyata untuk androgen, juga untuk estradiol. 2. Memblokir atau menduduki reseptor estradiol sebagai akibat tingginya kadar fitoestrogen. Walaupun afinitas ikatan lemah, estradiol akan digantikan dari reseptor akibat massa substrat yang signifikan. 3. Efek fitoestrogen yang paling penting adalah inhibisi enzim intraseluler. Genistein mampu menonaktivasi rantai sinyal seluruh growth factor dan keluarga tirosinkinase, misalnya insulin-like growth factor (IGF-1), insulin, epidermal growth factor (EGF), transfonning growth factor (TGFβ) dan fibroblast growth factor (FGF) dengan memblokir tirosinkinase. Oleh karena itu second messenger dari rantai sinyal growth hormon tidak dapat terbentuk. Selanjutnya, efek inhibisi terjadi pada aromatase 17β OH dehidrogenase dan 5α reduktase (Gambar 5)
11
12
Gambar 5 Interaksi metabolisme fitoestrogen dan estrogen (Sumber : Ibanez & Baulieu 2005) Estrogen Estrogen adalah senyawa steroid yang berfungsi terutama sebagai hormon seks wanita. Walaupun terdapat dalam tubuh pria maupun wanita, kandungannya jauh lebih tinggi dalam tubuh wanita usia subur. Hormon ini menyebabkan perkembangan dan mempertahankan tanda-tanda kelamin sekunder pada wanita, seperti payudara, dan juga terlibat dalam penebalan endometrium maupun dalam pengaturan siklus haid. Pada saat menopause, estrogen mulai berkurang sehingga dapat menimbulkan beberapa efek, di antaranya hot flash, berkeringat pada waktu tidur, dan kecemasan yang berlebihan (Achadiat 2007) Ada tiga bentuk estrogen dalam jumlah bermakna di dalam plasma hewan betina utama yaitu 17β estradiol, estron, dan estriol. Pada manusia sejak menarche (siklus menstruasi pertama) sampai menopause (berhentinya menstruasi), estrogen utama adalah 17β-estradiol. Di dalam tubuh, ketiga jenis estrogen tersebut disentesa dari androgen dengan bantuan enzim. Estradiol dikonversi dari testosteron di dalam sel granulosa dengan bantuan enzim aromatase atas stimulasi FSH, sedangkan estron dibuat dari androstenadion (Gambar 6) (Johnson & Everitt 1984).
Estron
bersifat
lebih
lemah
daripada
estradiol.
Pada
wanita
pascamenopause estron ditemukan lebih banyak daripada estradiol. Berbagai zat alami maupun buatan telah ditemukan memiliki aktivitas bersifat mirip estrogen. Zat buatan yang bersifat seperti estrogen disebut xenoestrogen, sedangkan bahan alami dari tumbuhan yang memiliki aktivitas seperti estrogen disebut fitoestrogen. Estrogen-estrogen ini akan berikatan pada dua jenis reseptor yang dikenal dengan
12
13
estrogen reseptor alpha (ERα) dan estrogen reseptor betha (ERβ) (Ibanez & Baulieu 2005)
Gambar 6 Steroidogenenesis estorgen pada hewan betina (Sumber : Johnson & Everitt 1984). ERα dan ERβ banyak terdapat pada jaringan reproduksi wanita (ovarium, endometrium, dan payudara), kulit, pembuluh darah tulang dan otak. Pada reproduksi laki-laki reseptor ini banyak terdapat pada prostat. Pada otak hampir seluruh bagiannya mengandung reseptor ERβ kecuali pada hipokampus yang secara khusus mengandung ERα (Brown 2004). Distribusi reseptor estrogen ERβ yang tinggi terdapat pada kelenjar prostat, ovarium, paru-paru, vesika urinaria, ginjal, uterus dan testis (Tsourounis 2004). Susunan syaraf pusat adalah target lain dari estrogen yang akan memodulasi sekresi LH dan FSH melalui sistem hipotalamus-hipofisis. Berdasarkan kadarnya dalam plasma, estrogen dapat berperan sebagai kontrol umpan balik negatif dengan menurunkan sekresi LH dan FSH, atau sebagai kontrol umpan balik positif dengan menstimulasi sekresi LH & FSH. Estrogen juga berperan dalam perilaku seksual. Estrogen mempunyai peran penting pada metabolisme tulang dengan cara menurunkan reasorbsi dengan menghambat ekspresi IL-6 yang menstimulasi osteolisis. Dalam sistem kardiovaskuler estrogen
13
14
bermanfaat untuk meningkatkan keseimbangan fisiologis kolesterol dengan memperbaiki komponen lipoprotein HDL (Yoles et al. 2005). Estrogen terutama berfungsi dalam proliferasi sel dan pertumbuhan jaringan organ-organ dan jaringan lain yang berkaitan dengan reproduksi. Menurut Guyton & Hall (1997) fungsi estrogen adalah sebagai berikut: a. Pada uterus dan organ kelamin wanita. Ovarium, tuba fallopi, uterus dan vagina semuanya akan bertambah besar atas pengaruh estrogen. Pembesaran juga terjadi pada genitalia eksterna akibat meningkatnya deposisi lemak. Estrogen juga mengubah epitel vagina yang semula adalah epitel pipih selapis menjadi kuboid bertingkat. Estrogen menyebabkan perubahan nyata pada endometrium dan kelenjarnya akibatnya ukuran uterus bertambah dua sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelum pubertas b. Pada tuba fallopi. Menyebabkan proliferasi tuba fallopi, dan yang paling penting, estrogen menyebabkan bertambah banyaknya sel silia yang membatasi tuba fallopi. c. Pada payudara. Menyebabkan perkembangan jaringan stroma payudara, pertumbuhan duktus yang luas, dan deposisi lemak pada payudara. d. Pada tulang rangka. Menyebabkan meningkatnya aktivitas osteoblastik dan laju pertumbuhan menjadi cepat pada awal pubertas. e. Pada tulang. Kekurangan estrogen pada usia tua akan menyebabkan berkurangnya aktivitas osteoblastik, matriks tulang, dan deposit kalsium serta fosfat tulang, sehingga menyebabkan osteoporosis. f. Pada pengendapan protein. Menyebabkan sedikit peningkatan total protein tubuh, terbukti dari adanya keseimbangan nitrogen yang lebih positif apabila diberikan estrogen. g. Pada metabolisme dan deposit lemak. Sedikit meningkatkan laju kecepatan metabolisme. Estrogen menyebabkan peningkatan jumlah deposit lemak dalam jaringan subkutan.
14
15
h. Pada kulit. Estrogen akan menyebabkan kulit akan berkembang membentuk tekstur yang halus dan lembut serta menyebabkan kulit lebih vaskular daripada normal. i. Pada keseimbangan elektrolit. Menyebabkan terjadinya retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, namun efeknya ringan dan jarang bermakna kecuali pada masa kebuntingan. Peran Estrogen pada Kebuntingan
Peran estrogen pada saat kebuntingan adalah ikut membantu dalam mempersiapkan uterus untuk implantasi. Uterus akan mengalami hiperplasi dan hipertropi akibat estrogen dengan tujuan mempersiapkan kebuntingan. Estrogen bertanggung jawab terhadap peningkatan jumlah buluh darah ke uterus. Peningkatan jumlah vaskularisasi pada uterus akan memperlancar aliran darah ke uterus. Estrogen juga diperlukan dalam hal regulasi progesteron. Kerja progesteron diinisiasi oleh estrogen. Estrogen dan progesteron secara bersamasama berfungsi dalam memelihara kebuntingan. Estrogen juga memegang peranan penting terhadap perkembangan fetus selama kebuntingan. Estrogen memicu pematangan dari organ ginjal, paru, hati, adrenal dan pembentukan plasenta yang sempurna (Albrecht & Pepe 2007). Peran Estrogen Terhadap Organogenesis Diferensiasi gonad dan organ reproduksi terjadi di saat perkembangan fetus semasa kandungan. Organ reproduksi betina berasal dari perkembangan duktus Mullerian sedangkan duktus Wolffian akan mengalami atropi. Duktus Mullerian inilah untuk selanjutnya yang akan membentuk struktur organ reproduksi betina. Sebaliknya untuk hewan jantan, organ reproduksi berasal dari perkembangan duktus Wolffian sedangkan duktus Mullerian akan mengalami regresi. Proses diferensiasi sistem reproduksi pada fetus jantan sangat bergantung pada kehadiran hormon androgen (Hafez 2000). Paparan agen estrogenik pada saat kebuntingan dapat mempengaruhi diferensiasi dari organ reproduksi. Pada kasus pemberian diethylstilbestrol (DES) yang dilakukan pada tikus bunting telah menyebabkan keterlambatan regresi dari duktus mullerian pada hewan jantan. Duktus mullerian yang tidak sempat hilang
15
16
akan terbawa hingga lahir sehingga menyebabkan struktur genital abnormal pada tikus jantan. Selain menyebabkan kegagalan diferensiasi sex pada hewan jantan, paparan estrogen yang berlebih pada kebuntingan juga menyebabkan komplikasi lain seperti epididymal cysts, meatal stenosis, hypospadias, cryptorchidism and microphallus (Vicenzo et al. 2005). Frekuensi dari terjadinya abnormalitas ini sangat tergantung pada kadar dan waktu terjadinya paparan. Hewan jantan yang mendapat paparan estrogen pada periode akhir kebuntingan memiliki resiko lebih rendah terjadinya abnormalitas ini jika dibandingkan dengan yang mendapat paparan pada awal kebuntingan (Vicenzo et al. 2005). Sedangkan paparan estrogen disaat prenatal tidak menyebabkan struktur genital abnormal pada hewan betina. Paparan estrogen pada fetus dan neonatus ditakutkan akan menyebabkan efek yang menyimpang seperti infertilitas, kornifikasi vagina persisten, hemorrhagi folikel ovarium, dan premature vaginal opening (Hughes et al. 2004).
16
17
Tikus Putih Malole dan Pramono (1989) menyebutkan bahwa tikus telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian. Tikus yang sudah menyebar ke seluruh dunia dan digunakan secara luas untuk penelitian di laboratorium ataupun sebagai hewan kesayangan adalah tikus putih yang berasal dari Asia Tengah dan tidak ada hubungannya dengan Norwegia seperti yang diduga dari namanya (Malole & Pramono 1989). Tikus yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesies Rattus novergicus, galur Sprague-Dawley (Gambar 7). Sistem klasifikasi tikus putih (Norway rats) berdasarkan Myers dan Armitage (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum
: Chordata
Subfilum : Vertebrata Kelas
: Mammalia
Ordo
: Rodensia
Famili
: Muridae
Subfamili : Murinae Genus
: Rattus
Species
: Rattus novergicus
Gambar 7 Rattus novergicus, galur Sprague-Dawley
Terdapat lima macam “basic stock” tikus putih (Albino Normay rat, Rattus norvegicus) yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan di laboratorium yaitu Long Evans, Osborne Mendel, Sherman, Sprague Dawley, dan Wistar. Sprague Dawley memiliki ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil, dan ekornya lebih panjang daripada badannya. Long Evans lebih kecil ukuran badannya daripada Sprague Dawley dan memiliki warna yang gelap pada bagian atas kepala dan bagian depan tubuh. Wistar memiliki kepala yang besar dan ekornya lebih pendek (Baker et al. 1979). Untuk keperluan penelitian tikus putih memiliki nilai fisiologis yang telah terdata dengan baik. Informasi nilai fisiologis dari tikus putih disajikan dalam Tabel 3.
17
18
Tabel 3 Parameter normal fisiologi reproduksi dan biologi tikus Kriteria Nilai Lama/panjang siklus: Fase 1 diestrusi
60 jam
Fase 2 proestrus (awal)
60 jam
Fase 3 proestrus (akhir)
12 jam
Fase 4 estrus
10-20 jam
Fase 5 metaestrus
8 jam
Durasi total siklus
4-5 hari
Lama estrus
9-20 jam
Waktu ovulasi
8-11 jam sesudah estrus
Lama kebuntingan
21-23 hari
Jumlah anak perinduk
6-10 ekor
Usia lepas sapih Usia pubertas
21 hari 6 - 8 minggu
Berat organ : (berat basah dalam g/100 g bobot badan) Testis (single)
0,05
Ovary (single) Lain-lain:
0,005
Lama hidup
2-4 tahun
Berat dewasa jantan
300-400 g
Berat dewasa betina
250-300 g
Konsumsi makanan per berat badan, per hari
10 g/100g/hari
Konsumsi minum per berat badan, per hari
10-12/100g/hari
(Sumber : Waynforth & Flecknell 1992 ; Malole & Pramono 1989)
Siklus Estrus Tikus Siklus estrus tikus berlangsung selama empat sampai enam hari. Meskipun pemilihan waktu siklus dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksteroseptif seperti cahaya, suhu, status nutrisi dan hubungan sosial. Secara umum siklus estrus pada tikus dibagi menjadi empat fase (Turner & Bagnara 1976) yaitu fase proestrus, 18
19
estrus, metestrus, dan diestrus. Masing-masing fase ini menggambarkan proses fisiologis yang berbeda. Keempat fase ini dapat diketahui dari pemeriksaan preparat apus vagina yang dicirikan oleh keberadaan sel yang dominan pada saat itu (Tabel 4). Tabel 4 Jenis-jenis sel yang terdapat pada preparat ulas vagina tikus putih Fase Ulasan vagina proestus estrus metestrus diestrus
Awal: sel-sel berinti banyak Akhir: sel-sel bertanduk 25 % Awal: sel-sel bertanduk 75 % Akhir: sel-sel pavement 25 % Awal: sel-sel pavement 100% Akhir:sel-sel pavement dan leukosit Awal: leukosit Akhir: leukosit dan sel berinti banyak muncul
(Sumber : Baker et al. 1979)
Proestrus. Stadium ini berlangsung dalam dua tahap yaitu proestrus awal (60 jam) dan proestrus akhir (12 jam). Stadium ini menandakan akan datangnya birahi, stadium ini ditandai dengan terjadinya involusi fungsional korpus luteum dari fase sebelumnya serta pembengkakan praovulasi folikel. Pada fase ini cairan yang terkumpul didalam uterus akan menyebabkan uterus menjadi sangat kontraktil . Preparat apus vagina didominasi oleh sel-sel epitel berinti, yang muncul secara tunggal atau berbentuk lapisan (Turner & Bagnara 1976) (Gambar 8 a & b). Estrus, stadium ini merupakan periode berahi. Kopulasi dimungkinkan pada saat ini karena hanya pada fase ini hewan betina mau didekati oleh pejantan. Selama estrus terjadi perubahan perilaku seperti telinga yang bergerak-gerak dan sikap lordosis dalam menanggapi perlakuan manusia atau mendekatnya hewan jantan. Fase berakhir 9 sampai 15 jam dan dicirikan dengan aktivitas berlari-lari yang sangat tinggi. Dibawah pengaruh FSH, selusin atau lebih folikel ovari tumbuh dengan cepat; dengan demikian periode ini merupakan periode yang didominasi oleh kadar estrogen yang tinggi. Salah satu fungsi estrogen dapat dilihat pada uterus yang mengalami perbesaran progesif dan mengembung lantaran akumulasi cairan lumen (Turner & Bagnara 1976). Tingginya kadar estrogen ini akan menekan sekresi FSH dan sebaliknya merupakan umpan balik
19
20
positif terhadap LH sehingga terjadi lonjakan LH yang sangat tinggi (LH surge) sesaat sebelum ovulasi. Ovulasi terjadi selama estrus dan didahului oleh perubahan histologik di dalam folikel yang menunjukkan adanya luteinisasi awal. Cairan lumen di dalam uterus banyak yang hilang sebelum ovulasi. Apabila terjadi fertilisasi dan kebuntingan siklus terganggu selama masa gestasi (masa kebuntingan), yang berakhir 20 sampai 22 hari pada tikus. Hewan menjadi estrus pada akhir kebuntingan, namun siklusnya sekali lagi terganggu sampai berakhirnya laktasi (Turner & Bagnara 1976). Sel-sel menanduk didalam preparat apus vagina dipakai sebagai petunjuk estrus (Gambar 8 c & d). Sel-sel menanduk ini merupakan gambaran banyaknya mitosis yang terjadi di dalam mukosa vagina, lapisan permukaannya menjadi squmosa. Menjelang estrus berakhir, di dalam lumen vagina terdapat massa seperti keju terdiri atas sel-sel menanduk dengan inti berdegenerasi (Turner & Bagnara 1976). Metestrus. Stadium ini terjadi segera sesudah ovulasi, dan merupakan saat antara estrus dan diestrus yang berakhir 10 sampai 14 jam. Perkawinan biasanya tidak dimungkinkan pada stadium ini. Ovari mengandung korpus luteum yang mengandung
sel-sel
lutein
dan
folikel-folikel
kecil;
vaskularisasi
dan
kontraktilitas uterus akan berkurang. Banyak leukosit muncul di dalam lumen vagina bersama dengan sedikit sel-sel menanduk (Turner & Bagnara 1976) (Gambar 8 e & f). Pada fase ini produksi estrogen mulai berkurang digantikan oleh dominasi hormon progesteron yang dihasilkan oleh sel-sel lutein. Estrogen, progesteron dan inhibin (dihasilkan oleh sel granulosa dari folikel antral yang matang) pada fase ini akan memberikan efek umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan hipofise anterior sehingga menyebabkan penekanan FSH dan LH dan perkembangan folikel sejenak terhenti (Guyton & Hall 1997). Diestrus. Stadium ini berakhir 60 sampai 70 jam, pada masa tersebut terjadi regresi fungsional korpus luteum. Uterus menjadi kecil, anemik dan sedikit kontraktil. Mukosa vagina tipis dan banyak ditemukannya leukosit pada preparat apus vagina. Pada fase ini terjadi regresi korpus luteum yang mengakibatkan terjadinya penurunan progesteron yang dihasilkan. Rendahnya kadar progesteron dan estrogen pada fase ini akan merangsang kembali hipotalamus dan hipofise
20
21
anterior untuk mensekresi FSH dan LH dan siklus berulang ke proestrus. Fase diestrus didominasi oleh sel leukosit dan mulai munculnya sel epitel berinti (Gambar 8 g & h) Keempat siklus ini sangat erat kaitannya dengan siklus ovarium. Siklus ovarium terbagi menjadi fase folikular dan fase luteal. Fase proestrus dan estrus terletak di dalam fase folikular. Sedangkan fase metestrus dan diestrus terletak di dalam fase luteal. Di saat fase folikular atas pengaruh dari FSH terjadi pertumbuhan beberapa folikel primordial dalam ovarium. Fase proestrus adalah tingkat perkembangan folikel sampai pertumbuhan maksimal. Fase estrus adalah fase pematangan folikel de Graaf hingga menunggu ovulasi yang ditandai dengan tingginya kadar estrogen dan sekresi LH. Fase metestrus adalah fase pembentukan korpus luteum yaitu badan kuning yang terdiri dari sel-sel teka dan granulosa yang mengalami proliferasi dan diferensiasi menjadi sel-sel lutein atas pengaruh LH. Fase ini ditandai oleh tingginya kadar progesteron yang diperlukan untuk memelihara kebuntingan jika terjadi fertilisasi. Seandainya tidak terjadi fertilisasi dan kebuntingan maka korpus luteum akan beregresi. Fase ini disebut fase diestrus atau fase istirahat (Guyton & Hall 1997).
21
22
Gambar 8 Gambaran sitologi vagina tikus selama fase proestrus (a, b), estrus (c, d), metestrus (e, f) dan diestrus (g, h). Tertandai; Leukocytes (L), epithelial (E) and cornified cell (C). (Sumber : Marcondes et al. 2002)
22
23
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Nopember 2007 sampai dengan Juli 2008. Penelitian dilakukan di kandang hewan percobaan FKH dan Laboratorium Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor Bahan dan Alat Hewan yang digunakan sebagai model dalam penelitian ini adalah tikus betina bunting paritas kedua dari spesies Rattus norvegicus galur Sprague-Dawley berumur 3,5-4 bulan, dengan bobot badan rata-rata 200-250 gram. Bahan yang digunakan adalah kedelai yang telah digiling halus, aquades, pewarna giemsa, buffer alkohol, metanol, dan eter. Peralatan yang digunakan adalah spuit, sonde lambung, gelas objek , mikroskop, cotton bud, timbangan tikus, timbangan analitik GR-202, perangkat kandang, dan alat diseksi. Metode Penelitian Tahap Persiapan a. Tikus Tiga puluh ekor tikus betina diadaptasikan terlebih dahulu dalam kandang. Tikus ditempatkan dalam kandang berukuran 34 x 25 x 12 cm yang beralaskan sekam dan bertutupkan kawat. Tikus diberi makan secara teratur dengan kebutuhan diet yang terjaga (feed intake diasumsikan sama), minum ad libitum, dan ditempatkan pada ruangan dengan perbandingan lama gelap dan terang 14:10, suhu ruangan 20-25o C dengan kelembaban relatif 40-50% sebagai kondisi umumnya. b. Perkawinan Tikus jantan dan betina (rasio kawin 1:2) dimasukkan ke dalam satu kandang. Proses perkawinan biasanya terjadi malam hari. Untuk mengetahui terjadinya perkawinan dilakukan pemeriksaan ulas vagina. Terjadinya perkawinan diindikasikan dengan ditemukannya spermatozoa pada sediaan ulas vagina. Hari
23
24
ditemukannya spermatozoa pada sediaan ulas vagina ditetapkan sebagai hari pertama kebuntingan (Turner & Bagnara 1976). Tahap Perlakuan dan Pengelompokan Hewan Coba Perlakuan pada penelitian ini adalah pemberian sediaan kedelai mentah peroral yang diberikan dengan cara dicekok menggunakan sonde lambung. Sediaan kedelai dibuat dengan mencampurkan 10 gr tepung kedelai kedalam 50 ml aquades. Dosis kedelai yang diberikan adalah 5 mg/Kg BB/ hari. Untuk menghindari tercekam akibat pemberian kedelai dengan volume yang besar, maka kedelai diberikan dalam 2 tahap yaitu pada pagi hari dan sore hari dan dilakukan pada jam yang sama setiap harinya. Induk tikus yang positif bunting dikelompokkan sesuai perlakuan sebagai berikut: Kelompok A : diberi kedelai 5 mg/KgBB/ hari mulai pada usia kebuntingan 14 hari hingga usia menyusui 14 hari. Kelompok B : diberi kedelai 5 mg/KgBB/ hari mulai pada usia kebuntingan 14 hari hingga hari kelahiran. Kelompok C : diberi kedelai 5 mg/KgBB/ hari sejak induk melahirkan hingga usia menyusui 14 hari. Kelompok D : tidak diberi kedelai. Anak yang dilahirkan dipelihara bersama induknya sampai usia 21 hari. Pada umur 21 hari tikus disapih dan dikelompokan (4-5 ekor) sesuai dengan kelompok induknya. Tikus dipelihara hingga umur 4, 6, dan 8 minggu untuk pengambilan sampel. Tiap kelompok terdiri dari 5 ekor anak tikus betina, sehingga total sampel anak betina yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 60 ekor. Tahap perlakuan disajikan dalam diagram (Gambar 9)
24
25
Gambar 9. Diagram tahap perlakuan. Pengamatan dan Pengambilan Sampel S
Pengambilan sampel dilakukan pada anak berumur 4 , 6 dan 8 minggu. Umur 4 minggu adalah model untuk tikus yang belum dewasa ((immature rats), umur 6 minggu adalah tikus yang mulai pubertas (prepubertal (prepubertal rats rats) sedangkan umur 8 minggu adalah contoh untuk tikus dewasa (mature ( rats).. Parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertambahan bobot badan, bobot ovarium dan bobot uterus. Selain itu, juga dilakukan pengambilan sampel ulas vagina yang digunakan untuk memeriksa status siklus si estrus anak tikus. a. Pengambilan sampel ulas vagina Pengambilan ambilan preparat ulas vagina (pap ( smear)) bertujuan untuk mengetahui status siklus estrus anak tikus. Ulas vagina dilakukan dengan cara mengoleskan cotton buds yang telah dibasahi NaCl fisiologis 0,9% diusapkan secara perlahan pada dinding vagina tikus. Lalu hasil koleksi dioleskan ke gelas objek yang bersih. Preparat reparat kemudian diwarnai, terlebih dahulu dilakukan fiksasi dalam metanol 10% % selama 5 menit diikuti Giemsa selama 30 menit lalu dibilas dengan air mengalir perlahan beberapa detik, kemudian preparat ulas vagina diamati di bawah mikroskop. Fase siklus estrus diketahui berdasarkan jenis sel yang dominan terlihat. Fase proestrus didominasi oleh sel epitel berinti. Fase estrus didominasi oleh sel tanduk. Pada fase metestrus ditemukan sel sel-sel tanduk dan leukosit. Sedangkan fase diestrus yang paling dominan dominan terlihat adalah sel leukosit (Marcondes et al. 2002).
25
26
b. Koleksi uterus dan ovarium Sebelum dikorbankan tikus dibius terlebih dahulu menggunakan eter. Tikus dimatikan dengan cara cervical dislocation. Pembedahan dilakukan pada bagian abdomen. Otot beserta kulit digunting lurus sejajar linea alba mulai dari bagian perineal terus ke anterior hingga diaphragma. Otot abdomen dikuakkan ke sisi kiri dan kanan lalu difiksir. Uterus dicari dibawah usus kemudian dipreparir bersamaan ovarium. Sebelum ditimbang organ dibersihkan dari lemak mesentericus. Ovarium dipisahkan dari uterus dan masing-masing ditimbang bobotnya menggunakan timbangan digital. Bobot yang didapatkan merupakan bobot basah organ. Setelah ditimbang organ kemudian dimasukkan dalam larutan buffer formalin. Analisa data Data yang diperoleh dianalisa dan dibandingkan dengan menggunakan metode analysis of variance (ANOVA), dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel & Torrie 1991)
26
27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Hadirnya Siklus Estrus Anak Pengaruh pemberian kedelai selama kebuntingan terhadap siklus estrus disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Persentase terhadap hadirnya siklus estrus anak tikus 8 minggu pada masing-masing kelompok perlakuan 4 Minggu 6 Minggu Belum ada siklus 0% Ada siklus 100% Klp P E M D P E M D P
pada usia 4, 6, dan 8 Minggu Ada siklus 100% E M D
A
0
0
0
0
0
0
43%
57%
28,5%
43%
28,5%
0
B
0
0
0
0
25%
12,5%
37,5%
25%
14%
0
14%
72%
C
0
0
0
0
0
0
28,5%
71,5%
57%
43%
0
0
D
0
0
0
0
0
0
14%
86%
0
0
0
100%
Keterangan :
Klp= kelompok, A=kedelai saat bunting dan laktasi, B=kedelai saat bunting, C=kedelai saat laktasi, D= tidak mendapat asupan kedelai (kontrol). P= proestrus, E= estrus, M= metestrus, D= diestrus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tikus umur 4 minggu, belum terjadi pembukaan vagina (vaginal opening) dan belum adanya siklus. Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian kedelai selama kebuntingan tidak mempengaruhi usia pubertas hal ini terlihat karena pada semua perlakuan siklus estrus dapat dilihat pada usia 6 minggu. Peristiwa estrus pertama kali merupakan tanda bahwa tikus telah memasuki usia pubertas. Usia pubertas dari anak tikus dalam penelitian ini tidak diketahui kapan secara pasti karena pemeriksaan ulas vagina tidak dilakukan setiap hari, namun dalam interval 2 minggu. Usia pubertas pada tikus umumnya dicapai pada umur 6-8 minggu (Malole & Pramono 1989). Hasil yang didapat menunjukan bahwa sebagian besar anak tikus pada umur 6 minggu berada pada fase metestrus dan diestrus. Sedangkan untuk umur 8 minggu siklus estrus lebih bervariasi. Kelompok A dan C lebih banyak berada pada fase proestrus dan estrus. Sedangkan kelompok B dan D berada pada fase metestrus dan diestrus. Fase proestrus dan estrus disebut fase folikuler sedangkan fase metestrus dan diestrus disebut fase luteal. Pada fase folikuler uterus akan akan mengalami pembesaran dan mengembung akibat akumulasi cairan akibat pengaruh estrogen (Turner & Bagnara 1976). Sejalan dengan penurunan kadar estrogen pada fase metestrus dan diestrus uterus akan mengecil dan akumulasi
27
28
cairan di uterus makin berkurang. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap pengukuran bobot uterus dan ovarium. Kehadiran agen estrogenik pada tahap awal perkembangan anak dapat memacu berbagai reaksi dalam tubuh salah satunya merangsang percepatan pertumbuhan organ reproduksi. Manifestasi yang ditimbulkan dari hal ini adalah kemungkinan terjadinya perubahan onset pubertas (usia datangnya pubertas). Hughes et al. (2004) mengatakan paparan DES (dietilstilbestrol) pada saat kebuntingan dan laktasi telah menyebabkan perubahan onset pubertas dan jarak anogenital (anogenital distance) pada saat lepas sapih. Namun hal ini tidak terjadi pada pemberian kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kedelai tidak meyebabkan terjadinya percepatan usia pubertas. Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Pertambahan Bobot Badan Anak Pertambahan bobot badan 4-6 minggu dan 6-8 minggu pada 4 kelompok perlakuan disajikan pada Tabel
6. Hasil yang disajikan merupakan rataan
persentase ± SE (standard error) Tabel 6 Persentase pertambahan bobot badan anak tikus betina pada usia 4-6 dan 6-8 minggu % pertambahan bobot badan Usia Kelompok A Kelompok B Kelompok C Kelompok D 134,08± 33,06b 54,07 ± 9,22 a
4-6 minggu 6-8 minggu
119,67± 26,74b 49,11± 10,87 a
35,27±5,04a 35,29± 13,77 a
34,66±7,18a 30,06±15,01 a
Keterangan : huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan bahwa hasil berbeda nyata (p<0,05) ; A= kedelai saat bunting dan laktasi, B= kedelai saat bunting, C= kedelai saat laktasi, D= tidak m25endapat asupan kedelai (kontrol)
150
4-6 M
100
6-8 M
50 0
A
B
C
D
Gambar 10 Persentase pertambahan bobot badan anak tikus betina pada usia 4-6
dan 6-8 minggu. Berdasarkan tabel pertambahan bobot badan diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok A yaitu kelompok anak tikus yang berasal dari induk yang diberi
28
29
asupan kedelai selama kebuntingan dan laktasi memiliki pertambahan bobot badan tertinggi dibandingkan kelompok B, C, dan D. Dalam selang waktu dua minggu yakni dari umur 4 minggu hingga umur 6 minggu bobot badan anak tikus kelompok A naik sebesar 134 % dan kelompok B sebesar 119%. Hasil ini jika dibandingkan dengan kelompok C dan D berbeda nyata (p<0,05). Kelompok C yaitu anak tikus yang berasal dari induk yang diberi asupan kedelai hanya pada periode laktasi saja memiliki pertambahan bobot badan yang cenderung sama dengan kelompok kontrol. Pertambahan bobot badan kelompok C hanyan sebesar 35% sedangkan pada kelompok D sebesar 34%. Secara keseluruhan hasil ini menunjukkan bahwa faktor pemberian asupan kedelai pada induk hanya berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan anak dari induk yang diberi kedelai pada masa kebuntingan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh efek fitoestrogen dari kedelai yang ikut berperan dalam merangsang perkembangan fetus semasa kebuntingan. Fitoestrogen juga mempunyai pengaruh yang baik pada lingkungan mikro uterus sehingga mendukung perkembangan embrio atau fetus. Hal ini yang menyebabkan anak memiliki penampilan yang bagus pada saat lahir. Bobot lahir anak yang tinggi hasil pemberian isoflavon pada kebuntingan telah dilaporkan pada penelitian Garvita (2005). Penampilan yang bagus di saat lahir menyebabkan anak tumbuh lebih baik dibandingkan dengan kelompok anak yang tidak mendapat asupan fitoestrogen di saat kebuntingan. Pemberian kedelai di saat kebuntingan diduga berpengaruh terhadap produksi air susu dari induk terkait dengan kandungan fitoestrogen yang berperan terhadap laktogenesis. Proses laktogenesis dimulai sejak masa kebuntingan yang mana sangat dipengaruhi oleh estrogen.
Estrogen
bersama-sama
progesteron
adalah
hormon-hormon
mammogenik yang mengatur perkembangan kelenjar mamae (Hafez 2000). Pertambahan bobot badan yang tinggi pada kelompok A dan B mungkin juga dikarenakan tingginya produksi susu induk sehingga anak mendapat asupan nutrisi yang lebih baik jika dibandingkan kelompok lainnya. Menurut Hardjopranjoto (1995) bahwa pada metabolisme tubuh estrogen meningkatkan sintesis dan sekresi hormon pertumbuhan, sehingga dapat menstimulasi pertumbuhan sel-sel dalam tubuh, mempercepat pertambahan bobot badan dan merangsang kelenjar korteks adrenal untuk meningkatkan metabolisme
29
30
karena adanya retensi nitrogen yang meningkat. Peningkatan bobot badan oleh fitoestrogen juga pernah dilaporkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Ruhlen (2007) yang menyatakan bahwa fitoestrogen dalam makanan dapat meningkatkan kadar estradiol serum mencit dan mengakibatkan fetal estrogenization syndrome dan obesity. Kesimpulan yang dapat diambil adalah terdapat pengaruh positif pemberian kedelai pada saat kebuntingan terhadap pertambahan bobot badan. Pada umur 8 minggu kelompok A dan B pertumbuhan badannya mulai berangsur menurun, sedangkan untuk kelompok C dan D pertambahan bobot badan cenderung tetap dibandingkan minggu sebelumnya. Pertambahan bobot badan umur 6-8 minggu tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata antara keempat perlakuan. Dapat dikatakan bahwa setelah 6 minggu pengaruh dari kedelai mulai berkurang terhadap pertambahan bobot badan. Hal ini disebabkan oleh faktor makanan dari luar, karena pada usia ini anak tikus sudah mencari makannya sendiri. Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Bobot Ovarium Anak Bobot ovarium anak tikus umur empat, enam, dan delapan minggu hasil pemberian fitoestrogen kedelai pada induk dari masing masing kelompok perlakuan tertera dalam Tabel 7 berikut ini. Hasil yang diberikan merupakan rataan ± SE. Tabel 7 Rata-rata bobot ovarium (gr) anak tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu Usia 4 Minggu 6 Minggu 8 Minggu
Kelompok A 0,024± 0,003b 0,038±0,002 b 0,064±0,012c
Rataan bobot ovarium (gr) Kelompok B Kelompok C Kelompok D 0,032± 0,002c 0,019± 0,001a 0,015 ± 0,01a 0,045±0,002 b 0,028±0,004 a 0,025±0,001 a 0,042±0,004ab 0,062±0,045bc 0,034± 0,021a
Nilai P 0,0001 0,0001 0,015
Keterangan : huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa hasil berbeda nyata (p<0,05) ; A= kedelai saat bunting dan laktasi, B= kedelai saat bunting, C= kedelai saat laktasi, D= tidak mendapat asupan kedelai (kontrol)
30
31
0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0
Kelompok A Kelompok B Kelompok C Kelompok D 4 Minggu
6 Minggu
8 Minggu
Gambar 11 Rata-rata bobot ovarium tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu.
Seperti yang dilihat pada Tabel 7 diatas, pada usia 4 minggu bobot ovarium tertinggi terjadi pada kelompok B dan berbeda nyata terhadap semua kelompok (p<0,5). Bobot ovarium kelompok B adalah sekitar dua kali lebih tinggi jika dibandingkan kontrol. Kelompok A memiliki bobot ovarium kedua tertinggi, hasil ini berbeda nyata terhadap kelompok C dan D. Sedangkan pada kelompok C dan D tidak terdapat perbedaan yang berarti. Pola yang sama juga diperlihatkan pada umur 6 minggu. Hal ini dapat di lihat bahwa kelompok A dan B tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Karena kelompok A juga diberi kedelai pada saat kebuntingan. Tingginya bobot ovarium pada kelompok B diduga merupakan efek dari fitoestrogen kedelai yang di dapat anak semasa kebuntingan. Ini membuktikan bahwa fitoestrogen memang dapat dipindahkan dari induk kepada anaknya melalui
plasenta pada saat kebuntingan. Sedangkan bobot
ovarium yang didapat pada tikus umur 8 minggu menunjukkan pola yang berbeda dibandingkan minggu sebelumnya. Pola bobot ovarium pada umur ini diperkirakan bukan atas pengaruh fitoestrogen dari kedelai. Tingginya bobot ovarium pada kelompok A dan C karena tikus sedang berada pada fase proestrus dan estrus dari hasil pemeriksaan ulas vagina. Keadaan ini menyebabkan adanya dugaan
bahwa
estrogen
endogenous
yang
dihasilkan
berperan
dalam
meningkatkan bobot ovarium. Tingginya bobot ovarium akibat pemberian fitoestrogen kedelai adalah karena fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen pada ovarium dan dengan cara mengaktivasi sel dan menginduksi produksi dan proliferasi sel-sel
31
32
ovarium akan terjadi penambahan jumlah sel dalam ovarium yang akan meningkatkan massa ovarium (Suttner et al. 2005). Penambahan bobot ovarium diperkirakan berasal dari penambahan sel-sel mesenkhim dan sel-sel folikuler ovarium disertai dengan peningkatan kadar carian dalam ovarium. Cairan ini berupa transudat dari serum dan mukopolisakarida yang disekresikan oleh sel-sel granulosa. Peningkatan bobot ovarium juga tidak terlepas dari peran daidzein (fitoestrogen kedelai) yang mampu mengurangi atresia dari sel-sel folikuler (Suttner et al. 2005). Pengaruh Pemberian Kedelai Terhadap Bobot Uterus Anak Bobot uterus anak tikus umur 4, 6 dan 8 minggu hasil pemberian fitoestrogen kedelai pada induk dari masing masing kelompok perlakuan tertera dalam Tabel 8. Hasil yang diberikan merupakan rataan ± SE. Tabel 8 Rata-rata bobot uterus (gr) anak tikus pada umur 4, 6 dan 8 minggu Umur 4 Minggu 6 Minggu 8 Minggu
Kelompok A
0,034 ± 0,005b 0,051 ±0,005 b 0,248 ± 0,090b
Rataan bobot uterus (gr) Kelompok B Kelompok C Kelompok D 0,038 ± 0,007b 0,065 ± 0,002 c 0,138 ± 0,015ab
0,016 ±0,0003a 0,024 ± 0,002 a 0,414 ± 0,048c
0,019 ± 0,001a 0,030 ± 0,001 a 0,040 ± 0,003a
Nilai P 0,005 0,0001 0,0007
Keterangan : huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa hasil berbeda nyata (p<0,05) ; A= kedelai saat bunting dan laktasi, B= kedelai saat bunting, C= kedelai saat laktasi, D= tidak mendapat asupan kedelai (kontrol)
0,5 0,4
Kelompok A
0,3
Kelompok B
0,2
Kelompok C
0,1
Kontrol
0 4 Minggu
6 Minggu
8 Minggu
Gambar 12 Rata-rata bobot uterus anak tikus pada umur 4, 6, dan 8 minggu.
Sejalan dengan hasil sebelumnya pola grafik rata-rata bobot uterus pada umur 4 minggu tidak berbeda jauh dibandingkan grafik hasil bobot ovarium dimana bobot tertinggi didominasi oleh kelompok A dan B yang berbeda nyata
32
33
jika dibandingkan kelompok C dan D (p<0,05). Sedangkan untuk kelompok C dan D sendiri relatif memiliki bobot uterus yang cenderung sama. Begitu pula hasil bobot uterus pada umur 6 minggu menunjukkan pola yang tidak jauh berbeda. Ini menunjukkan efek fitoestrogen masih dapat terlihat pada usia 6 minggu. Hasil ini membuktikan terdapat pengaruh yang nyata fitoestrogen kedelai dalam meningkatkan bobot uterus selama kebuntingan. Kelompok B memiliki bobot uterus lebih tinggi sekitar 1,8 kali dibandingkan kontrol pada umur 4 dan 6 minggu. Hasil bobot uterus yang didapat pada tikus umur 8 minggu menunjukkan pola yang berbeda dari minggu sebelumnya. Pada minggu ini dapat dilihat bahwa bobot uterus tinggi pada kelompok A dan C. Dari pemeriksaan ulas vagina diketahui bahwa kelompok A dan C sedang berada dalam fase estrus. Pada tikus yang sedang estrus terdapat akumulasi cairan didalam lumen uterus yang akan menyebabkan meningkatnya berat basah organ (Hafez 2000). Fitoestrogen kedelai seperti halnya estrogen memiliki aktivitas uterothrophic yang menyebabkan peningkatan massa uterus (Ford et al. 2006). Santell et al. (1997) membuktikan adanya hubungan ketergantungan dosis (dose-dependent) terhadap peningkatan bobot uterus oleh fitoestrogen (Santell et al. 1997). Genestein (isoflavon) bekerja dalam cara yang sama dengan estradiol, yaitu dengan berikatan pada ER dan komplek reseptor:ligand untuk menginduksi ekspresi dari gen yang responsif terhadap estrogen (estrogen-responsive gens), sehingga terjadi peningkatan massa uterus. Efek ini masih terlihat dengan pemberian fitoestrogen genestein pada dosis 375 µg/g diet (Santell et al. 1997). Pada penelitian ini tidak diketahui berapa dosis fitoestrogen yang sampai pada anak.
Pemberian fitoestrogen kedelai tidak
dilakukan pada anak melainkan kepada induk. Sejumlah fitoestrogen pada induk akan mengalami degradasi dan penurunan selama perjalananya dari tubuh induk hingga akhirnya sampai ke tubuh anak. Penurunan ini terutama terjadi ketika proses absorbsi ditubuh induk, kadarnya dalam serum, kemampuan perfusi pada plasenta, kadarnya yang bisa hadir didalam susu (Franke & Custer 1996), dan kemampuan absorbsi oleh anak tikus (Hughes et al. 2004). Paparan efektif oleh fitoestrogen kedelai pada anak tikus tidak diketahui, karena pemerikasaan serum tidak dilakukan.
33
34
Prinsip kerja hormon dipengaruhi oleh reseptor. Hormon hanya akan bekerja seandainya di dalam sel target memiliki reseptor hormon tersebut (Ganong 2002). Fitoestrogen walaupun bukan hormon namun karena strukturnya yang mirip dengan estradiol dapat pula menduduki reseptor estrogen dan mampu menimbulkan efek layaknya estrogen endogenous sendiri (Harrison et al. 1999). Organ yang dipengaruhi fitoestrogen antara lain adalah ovarium, uterus, testis, prostat, dan beberapa organ lainnya (Tsourounis 2004) . Walaupun affinitas terhadap reseptor estrogen tidak setinggi estradiol namun fitoestrogen mampu menimbulkan efek estrogenik (Sheehan 2005). Kim et al. (1998) berpendapat aktivitas dan implikasi klinis fitoestrogen sangat tergantung pada jumlah reseptor estrogen, letak reseptor estrogen, dan kosentrasi estrogen endogen yang mampu bersaing. Dua parameter yang digunakan dalam penelitian ini yakni bobot ovarium, dan bobot uterus adalah komponen yang dipengaruhi secara langsung oleh fitoestrogen. Pada kelompok B yakni kelompok yang mendapat asupan kedelai selama bunting menunjukkan bahwa terdapat hubungan pemberian fitoestrogen selama kebuntingan dengan peningkatan pertumbuhan dan kinerja reproduksi. Penelitian yang dilakukan oleh Todaka et al. (2005) tentang pemaparan fitoestrogen pada fetus dan status fitoestrogen antara induk dan fetus pada saat kebuntingan telah menunjukkan bukti bahwa fitoestrogen dapat ditransfer dari induk ke fetus. Di dalam serum fetus dapat ditemukan genestein, daidzein, equol, dan coumestrol (fitoestrogen kelompok isoflavon) dengan detection rates secara berurutan sebesar 100%, 80%, 35%, dan 0%. Kadar genestein dan daidzein lebih tinggi pada cord (tali pusar) dibandingkan maternal serum, dan hal ini berkebalikan untuk equol dimana kadarnya lebih tinggi di maternal serum. Penelitian ini melaporkan pula bahwa terdapat perbedaan tingkat metabolit dan eskresi fitoestrogen antara induk dan fetus. Fitoestrogen cenderung bertahan lebih lama di dalam tubuh fetus dibandingkan tubuh induk. Penelitian yang dilakukan oleh Degen et al. (2002) juga mengatakan hal yang sama, bahwa plasenta tidak mempunyai barier terhadap genestein atau estrogenik isoflavon lainnya karena struktur molekulnya mirip dengan estrogen endogenus yang berukuran kecil sehingga mampu dengan mudah berdifusi menembus membran plasenta.
34
35
Sedangkan pemberian fitoestrogen pada periode laktasi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kinerja reproduksi. Beberapa teori yang dapat menjelaskan hal ini adalah dikarenakan fitoestrogen dalam serum tidak bisa menembus barier alveol sehingga tidak bisa dipindahkan melalui susu. Teori yang lain mengatakan bahwa fitoetrogen dapat ditransfer melalui air susu namun kadarnya kecil sekali sehingga paparan efektif tidak tercapai (Lewis et al 2002). Untuk memberikan efek yang nyata, maka fitoestrogen perlu ditransfer dalam jumlah yang cukup antara induk dan anak. Anak akan menerima sejumlah fitoestrogen melalui plasenta pada pemberian kedelai sewaktu bunting, dan setelah dilahirkan anak akan menerima fitoestrogen lewat susu induk. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kadar fitoestrogen pada anak. Misalnya ketika terjadi stress, sekresi susu induk akan berkurang yang berarti sedikit pula fitoestrogen yang akan didapatkan oleh anak. Begitu juga pada saat kebuntingan, perfusi fitoestrogen dari induk-anak melalui plasenta diantaranya dipengaruhi faktor seperti tekanan darah, pH, flow rate (laju aliran darah), jenis plasenta, barier plasenta, besar molekul. (Thomson 2005).
35
36
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian kedelai dengan aplikasi oral sebesar 5mg/Kgbb pada induk tikus selama bunting dapat meningkatkan kinerja reproduksi berupa laju pertumbuhan bobot badan, bobot ovarium dan bobot uterus anak tikus usia 4 dan 6 minggu. Sedangkan pada kelompok induk yang diberi kedelai semasa laktasi tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini menunjukkkan bahwa fitoestrogen dari kedelai lebih efektif dalam peningkatan kinerja reproduksi pada anak yang induknya diberikan kedelai pada saat bunting dibandingkan dengan menyusui. Saran Untuk mendukung hasil penelitian ini perlu dilakukan penelitian lanjutan seperti informasi kadar fitoestrogen dalam serum anak (radio immuno assay test/RIA). Penghitungan bobot kering, analisa RNA/DNA organ disarankan juga dilakukan. Untuk melihat efek fitoestrogen kedelai khususnya pada tikus diatas umur 6 minggu sebaiknya tikus dilakukan ovariectomy terlebih dahulu untuk mengurangi pengaruh dari estrogen endogenous. Sebagai bahan pertimbangan untuk studi pada manusia, penting juga untuk diperhatikan adalah respon dosis, umur pada saat paparan, dan panjangnya paparan fitoestrogen yang berbeda antara hewan dan manusia.
36
37
DAFTAR PUSTAKA AAK.1989. Kedelai. Yogyakarta: Kanisius. Achadiat CM. 2007. Fitoestrogen untuk wanita menopause. http://www.klinik.net [Januari 2008] Albrecth ED, and Pepe GJ. 2007. Estrogen maintains pregnancy, triggers fetal maturation. http://www.sciencedaily.com/news/health_medicine/pregnancy_and_chil dbirth/[20 Oktober 2008]. American Heart Association. 2000. Fitoestrogen and cardiovascular health. JACC. 35(6): 1403-10. Andra. 2007. Fitoestrogen untuk wanita menopause. Http://www.majalahfarmacia.com/rubrik/mag_detail.asp?mid=40 [ januari 2008]. Anonima. 2008. Rahasia sebutir kedelai. http://www.indomedia.com/bpost /092003/2/ragam/art-1.htm [Januari 2008] Anonimb.2008. Kedelai (Glycine max L.Merr). http:// www. wikipedia.org.com [juli 2008] Baker HJ, Lindsey JR and Weisbroth SH. 1979. The Laboratory Rat. Volume I: Biology and Diseases. Academic Press: New York dan London. Brown DJ.2004. Is black cohos a selective estrogen modulator?. Herbal Gram. 61:33-35. Degen GH, Janning P, Diel P, Michna H, and Bolt HM. 2002. Transplacental transfer of the phytoestrogen daidzein in DA/Han rats. Arch Toxicol. 76(1):23-9. Franke AA, and Custer LJ. 1996. Daidzein and genistein concentrations in human milk after soy consumption. Clin Chem. 42:955-964 Ford JA Jr, Clark Sg, Walters EM, Wheeler MB and Hurley WL. 2006. Estrogenic effects of genistein on reproductive tissues of ovariectomized gilts. J Anim Sci. 84:834-842 Ganong
WF. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. HM Djauhari Widjajakusumah, editor. Brahman U Pendit, penerjemah. Jakarta: EGC.
Garvita RV. 2005. Efektifitas ekstrak kedelai pada prakebuntingan (5,10,15, hari) tikus untuk meningkatkan profil reproduksi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
37
38
Guyton AC dan Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Irawati Setiawan, editor. Jakarta: EGC. Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. Philadelpia: Lea & Febiger. Hardjopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Surabaya: Airlangga University Press. Harrison RM, Phillippi PP, Swan KF, and Henson MC. 1999. Effect of genistein on steroid hormon production in the pregnant rhesus monkey. Society for Experimental Biology and Medicine vol 222. Heinnermen J. 2003. Khasiat Kedelai Bagi Kesehatan Anda. Jakarta: Prestasi Pustakarya. Hughes CL, Liu G, Beall S, Foster WG, and Davise V. 2004. Effects of genistein or soy milk during late gestation and lactation on adult uterine organization in the rat. Exp Biol Med; 229:108–117 Ibanez C. and Baulieu EE. 2005. Mechanisms of Action of Sex Steroid Hormones and Their Analog. Di dalam: Lauritzen C, Studd, Ed. Current management of the menopause. London: Taylor & Francis. Jennylen. 2005. Chemical detail of most common phytoestrogens. http://www3.interscience.wiley.com/phytoestrogen [Desember 2008] Johnson M, dan Everitt B. 1984. Essential Reproduction. 2nd edition. London dan Beccles: William Clowes Limited. Johnston I . 2003. Phytochem Functional Foods. CRC Press Inc. Hal 66-68. Kim H, Peterson TG, and Barnes S. 1998. Mechanism of action of the soy isoflavone genestein: emerging role of its effects through transforming grwoth factor beta signaling. Am J Clin Nutr. 68:1418S-1425S. K1ig1er B. 2003. Black Cohosh. American Family Physician : 68(1): 114 - 6. Lewis RW et al. 2002. The effects of the phytoestrogen genistein on the postnatal development of the rat. Toxicol Sci 71:74–83. Malole MBM dan Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor : Pusat Antar Universitas Bioteknologi-Institut Pertanian Bogor. Marcondes FK, Bianchi FJ, and Tanno AP. 2002. Determination of the estrous cycle phases of rats: some helpful considerations. Braz J Biol 62(4A):609-614.
38
39
Myers P and Armitage D. 2004. Rattus norvegicus (on-line), animal diversity web. Http://animaldiversity.ummz.edu/site/accounts/information/rattus_norveg icus.html [Agustus 2008] Ruhlen RL. 2007. Low phytoestrogen levels in feed increase fetal serum estradiol resulting in the “fetal estrogenization syndrome” and obesity in cd-1 mice. Environ Health Perspect. 116(3): 322–328 Santell RC, Chang YC, Muralee GN and William GH. 1997. Dietary genistein exerts estrogenic effects upon the uterus, mammary gland and the hypothalamic/pituitary axis in rats. J Nutr. 127: 263–269 Sheehan DM. 2005. The case for expanded phytoestrogen research. Proc Soc Exp Biol Med 208:5-3 Speroff L and Fritz MA. 2005. Postmenopausal Hormone Therapy. Dalam : speroff L, Fritz MA, eds. Clinical Gynecologic endocrinology and infertility 7nd edit. Philadelphia: lippincott Wilianms & Willkins. Hal. 689-777. Steel RGD dan Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: gramedia. Suttner AM, Danilovich NA, Banz WJ, and Winters TA. 2005. Soy Phytoestrogens: effects on ovarian function [Abstract]. Society for the Study of Reproduction. Thomson BM. 2005. Human health implications of exposure to xenoestrogens from food [Tesis]. Chirstchurch New Zealand: University of Canterbury. Todaka E et al. 2005. Fetal exposure to phytoestrogens—The difference in phytoestrogen status between mother and fetus. Environmental Research. 99(2):195-203 Tsourounis C. 2004. Clinical effects of fitoestrogens. Clinical Obstetrict and Genycology 44(4):836-42 Turner CD dan Bagnara JJ. 1976. Endokrinologi Umum. Harjoso, penerjemah. Surabaya: Airlangga University Press Vincenzo R, Bruno M, Matteo F, Elena V, and Cesare C. 2005. Estrogens and male reproduction. http://www.endotext.org/male/male17/male17.htm# Exposureexcessestrogensanimals [Agustus 2008]. Waynforth HB and Flecknell PA.1992. Experimental and Surgical Technique in the Rat. San Diego: Academic Press Inc.
39
40
Widodo J. 2005. Isoflavon, makanan ajaib. http://www.pdpersi.co.id [Agustus 2008] Wolf. 2005. Fitoestrogens-value and significance during menopause. Dalam: Fischl FH, penyunting. Menopause andropause. Http.//www.kup.at/cdbuch/8-inhalt.html [Agustus 2008] Yildiz F . 2005. Phytoestrogens in Functional Foods. Francis: Taylor & Francis Ltd. Hal 3-5, 210-211 Yoles I et al. 2005. Tofupill/Femarelle (DT56a): a new fito-selective estrogen receptor modulator-Like substance for the treatment of postmenopausal bone loss. Pub Med. Http//www.pubmed./ [Januari 2008]
40
41
LAMPIRAN
41
42
Lampiran 1 Analisa pengaruh pemberian kedelai terhadap pertambahan bobot badan anak tikus betina
Lampiran 1.1 Analisa pertambahan bobot badan 4-6 minggu
bunting dan menyusui bunting menyusui kontrol Total
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
5
134,6801
73,93281
33,06376
42,8804
5 5 6 21
119,6771 35,2752 34,6625 78,8637
59,81342 11,28079 17,59163 64,55984
26,74937 5,04492 7,18175 14,08811
45,4090 21,2683 16,2012 49,4764
Sum of Squares
df
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Minimum
Maximum
226,4798
54,91
209,33
193,9453 49,2822 53,1238 108,2510
69,30 23,25 15,54 15,54
222,27 48,90 56,27 222,27
Mean Square
Between Groups
45128,292
3
15042,764
Within Groups
38231,177
17
2248,893
Total
83359,469
20
F
Sig.
6,689
,003
Lampiran 1.2 Analisa pertambahan bobot badan 6-8 minggu Std. Deviation
Std. Error
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
N
Mean
5
53,9580
3,53324
1,58012
49,5709
bunting dan menyusui bunting
Minimum
Maximum
58,3451
49,00
58,79
5
49,6780
15,05506
6,73283
30,9847
68,3713
33,36
67,63
menyusui
5
35,8160
11,45161
5,12132
21,5969
50,0351
28,30
55,65
kontrol
5
35,3960
17,50971
7,83058
13,6548
57,1372
20,39
55,67
20
43,7120
14,63207
3,27183
36,8640
50,5600
20,39
67,63
Total
Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
1360,382
3
453,461
Within Groups
2707,472
16
169,217
Total
4067,854
19
F 2,680
Sig. ,082
42
43
Lampiran 2 Analisa pengaruh pemberian kedelai terhadap bobot ovarium anak 2.1 Analisa bobot ovarium pada tikus umur 4 minggu
Mean
Std. Deviation
Std. Error
5
,024220
,0058785
,0026290
,016921
N bunting dan laktasi bunting
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Minimum
Maximum
,031519
,0186
,0312
5
,032520
,0052007
,0023258
,026063
,038977
,0260
,0400
laktasi
5
,019040
,0027700
,0012388
,015601
,022479
,0172
,0239
kontrol
5
,015100
,0025436
,0011375
,011942
,018258
,0118
,0186
20
,022720
,0077882
,0017415
,019075
,026365
,0118
,0400
Total
Sum of Squares ,001
3
Mean Square ,000
Within Groups
,000
16
,000
Total
,001
19
Between Groups
df
F 14,953
Sig. ,000
2.2 Analisa bobot ovarium pada tikus umur 6 minggu N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
bunting dan menyusui bunting
5
,038320
,0051412
,0022992
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound ,029936 ,042704
5
,044820
,0042175
,0018861
,039583
menyusui
5
,024620
,0048920
,0021878
kontrol
5
,028080
,0025163
Total
20
,032960
,0092967
Sum of Squares
Minimum
Maximum
,0313
,0441
,050057
,0409
,0513
,018546
,030694
,0201
,0327
,0041253
,022956
,029204
,0238
,0296
,0020788
,028609
,037311
,0201
,0513
df
Mean Square
Between Groups
,001
3
,000
Within Groups
,000
16
,000
Total
,002
19
F
24,063
Sig. ,000
43
44
2.3 Analisa bobot ovarium pada tikus umur 8 minggu 95% Confidence Interval for Mean Std. Std. Lower Upper N Mean Deviation Error Bound Bound bunting dan 5 ,06438 ,027393 ,012251 ,03037 ,09839 laktasi bunting 5 ,04196 ,010493 ,004693 ,02893 ,05499 laktasi 5 ,06280 ,009960 ,004454 ,05043 ,07517 kontrol Total
Minimum
Maximum
,045
,110
,031
,054
,054
,080
5
,03358
,004834
,002162
,02758
,03958
,025
,037
20
,05068
,019798
,004427
,04141
,05995
,025
,110
Sum of Squares ,004
3
Mean Square ,001
Within Groups
,004
16
,000
Total
,007
19
Between Groups
df
F 4,768
Sig. ,015
Lampiran 3 Analisa pengaruh pemberian kedelai terhadap bobot uterus anak 3.1 Analisa bobot Uterus pada tikus umur 4 minggu
Mean
Std. Deviation
Std. Error
5
,034068
,0111590
,0049905
,020212
N bunting dan laktasi bunting
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Minimum
Maximum
,047924
,0227
,0500
5
,038380
,0159461
,0071313
,018580
,058180
,0208
,0595
laktasi
5
,016120
,0007155
,0003200
,015232
,017008
,0152
,0171
kontrol
5
,019400
,0017833
,0007975
,017186
,021614
,0178
,0214
20
,026992
,0131948
,0029504
,020817
,033167
,0152
,0595
Total
Between Groups
Sum of Squares ,002
df 3
Mean Square ,001 ,000
Within Groups
,002
16
Total
,003
19
F 6,198
Sig. ,005
44
45
3.2 Analisa bobot uterus pada tikus umur 6 minggu
Mean
Std. Deviation
Std. Error
5
,051440
,0116234
,0051981
,037008
N bunting dan laktasi bunting
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Minimum
Maximum
,065872
,0402
,0676
5
,065240
,0044366
,0019841
,059731
,070749
,0601
,0710
laktasi
5
,024360
,0042864
,0019169
,019038
,029682
,0182
,0300
kontrol
5
,030200
,0023611
,0010559
,027268
,033132
,0268
,0331
20
,042810
,0179178
,0040065
,034424
,051196
,0182
,0710
Total
Sum of Squares ,005
Between Groups
df 3
Mean Square ,002 ,000
Within Groups
,001
16
Total
,006
19
F 40,171
Sig. ,000
3.3 Analisa bobot uterus pada tikus umur 8 minggu
Mean
Std. Deviation
Std. Error
5
,24742
,201036
,089906
-,00220
N bunting dan laktasi bunting
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound
Minimum
Maximum
,49704
,077
,580
5
,13786
,034562
,015457
,09495
,18077
,091
,173
laktasi
5
,41400
,108074
,048332
,27981
,54819
,330
,560
kontrol
5
,03978
,007466
,003339
,03051
,04905
,033
,051
20
,20977
,177610
,039715
,12664
,29289
,033
,580
Total
Sum of Squares
df
Mean Square
Between Groups
,386
3
,129
Within Groups
,213
16
,013
Total
,599
19
F 9,647
Sig. ,001
45