KAJIAN ANDROGENIK EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) TERHADAP KINERJA REPRODUKSI TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) BETINA DARA
PUDJI ACHMADI B. 151070031 / IFO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Androgenik Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Terhadap Kinerja Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina Dara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2011
Pudji Achmadi B.151070031
ABSTRACT Study of Androgenic Effect of Ethanolic Extract of Root Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) on the Reproduction Performance of Adult Female Rats (Rattus norvegicus) Pudji Achmadi Aryani Sismin Satyaningtijas, Hera Maheshwari ABSTRACT Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) is one of medicinal herbals which had been used in male reproductive research because it has androgenic property. Studies of purwoceng on female reproductive performance is not clearly yet. This research was conducted to explore the effect of purwoceng on duration of each period and total time of estrus cycle. A total of 48 female rats strain of Sprague Dawley were divided into 4 groups based on their estrous period: proestrus, estrus, metestrus and diestrus. Each group consisted of 6 rats as a control and 6 rats as treated animals. Extract of purwoceng was given oraly every day for 10 days. After 10 days, half of them were sacrificed and the rest of group were continued for vaginal smears examination until day 15. The results showed that purwoceng given at various periods during 2 cycles of estrous extend the time period of proestrus and estrus, and significantly different in estrous period when given during the period of estrus (P<0.05) compare to other period. Time period of metestrus and diestrus were decreased except period of metestrus which increased during administration of purwoceng on metestrus. The weight of uterine and ovarian was higher on rats receiving purwoceng during estrus period than the control (P<0.05). The conclusion of this research was that the administration of purwoceng was more effective when it was given at times of estrus period. Keywords: purwoceng, estrous cycles, uterine and ovarian weights
RINGKASAN PUDJI ACHMADI. Kajian Androgenik Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Terhadap Kinerja Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina Dara. Di bawah bimbingan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan HERA MAHESHWARI. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kajian androgenik ekstrak etanol akar purwoceng terhadap kinerja reproduksi tikus betina dara yang meliputi panjang siklus berahi, panjang masing-masing periode siklus berahi, bobot uterus dan bobot ovarium. Penelitian berlangsung mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 dengan menggunakan 48 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley betina dara, dewasa kelamin berumur ± 10 minggu. Tikus dibagi secara acak dalam 4 kelompok berdasarkan periode siklus reproduksinya
yaitu kelompok
periode proestrus, kelompok periode estrus, kelompok periode metestrus, dan kelompok periode diestrus, masing-masing perlakuan terdiri atas 12 ekor. Pengelompokkan periode berahi dilakukan dengan cara melakukan apusan ulas vagina dari 48 ekor tikus betina dara. Setiap kelompok periode dibagi lagi menjadi kelompok kontrol (tidak dicekok purwoceng) dan kelompok purwoceng (dicekok purwoceng), masing-masing sebanyak 6 ekor. Kemudian kelompok kontrol dan perlakuan dibagi lagi menjadi kelompok dikorbankan (dibedah) dan kelompok apusan ulas vagina sampai hari ke-15, masing-masing sebanyak 3 ekor sebagai faktor pengulangan. Pemberian ekstrak etanol purwoceng dilakukan dengan cara mencekok tikus dengan menggunakan sonde lambung pada pagi hari setelah apusan ulas vagina pagi hari dilakukan. Pencekokan purwocengdilakukan selama 10 hari dengan dosis sebesar 83,25 mg/kg BB, sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Taufiqqurrachman (1999) dengan dosis 25 mg/ml untuk bobot tikus 300 g. Pengamatan terhadap periode siklus berahi dilakukan dua kali setiap harinya yaitu pagi hari (pukul 06.00 WIB) dan sore hari (pukul 18.00 WIB) dengan melakukan apusan ulas vagina. Pengambilan apusan ulas vagina dilakukan dengan menggunakan cotton bud ukuran kecil yang sudah dibasahi dengan NaCl fisiologis 0,9%. Apusan ulas vagina dioleskan pada
kaca preparat
(gelas objek) dengan merata kemudian di fiksasi dalam
metanol selama 5 menit. Setelah itu diwarnai dengan pewarna Giemsa selama 30 menit, kelebihan giemsa dicuci dengan air kran mengalir. Setelah dikeringkan dengan tisue, preparat diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 kali. Hasil pembacaan kemudian dicatat setiap hari sesuai dengan kelompok pada periode siklus berahi berdasarkan gambaran sel epitelnya sehingga dapat diperoleh panjang siklusnya. Pengamatan preparat apusan ulas vagina dilakukan selama 10 hari (2 siklus) untuk kelompok dikorbankan dan juga pengamatan apusan ulas vagina selama 15 hari untuk masing-masing kelompok fase. Pengambilan sampel organ uterus dan ovarium dilakukan dengan cara mengorbankan tikus setelah dilakukan pembiusan terlebih dahulu menggunakan eter. Organ uterus dan ovarium (kiri dan kanan) diambil dengan cara pembedahan pada bagian perut kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitis digital. Bobot organ uterus dan ovarium di catat untuk dianalisis perbedaannya. Secara umum pemberian ekstrak etanol akar purwoceng selama 2 siklus menyebabkan meningkatnya waktu periode proestrus dan estrus bila diberikan pada saat periode estrus (P<0,05). Pemberian purwoceng pada berbagai periode selama 2 siklus menurunkan waktu periode metestrus dan diestrus, kecuali periode metestrus pada tikus yang diberi purwoceng pada saat periode metestrus yang meningkat (P<0,05). Pencekokan purwoceng saat periode estrus akan menghasilkan bobot uterus dan ovarium yang lebih tinggi dan berbeda sangat signifikan dibandingkan kontrol (P<0,05).
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Penguripan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kriitik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Judul Penelitian : Kajian Androgenik Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS)Terhadap Kinerja Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina Dara Nama NRP Program Studi
: Pudji Achmadi : B. 151070031 : Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat
Disetujui
Dr.drh. Aryani S Satyaningtijas, M.Sc. Ketua
Dr.drh. Hera Maheshwari, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi IFO
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Nastiti Kusumorini
Dr. Ir. Darul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal ujian: 7 Juni 2011
Tanggal ujian: 11 Agustus 2011
PRAKATA Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga
karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 2010 dan berakhir pada tanggal 20 Desember 2010 dengan judul Kajian Androgenik Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Terhadap Kinerja Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina Dara. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc. dan Dr. drh. Hera Maheshwari M.Sc. yang dengan sabar telah memberikan semangat, bimbingan, saran, dan petunjuk yang tulus selama mengikuti kuliah, persiapan, perencanaan penelitian serta penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Bambang Kiranadi, M.Sc. sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan saran untuk perbaikan penulisan karya limiah ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen, Kepala Bagian Fisiologi yang telah mendukung dengan sepenuhnya saat saya menyelesaikan tesis. Ucapan terima kasih saya berikan untuk Dr. drh. Min Rahminiwati, M.Sc. yang telah memberikan izin pemakaian alat Rotary Evaporator dan peminjaman alat-alat untuk pembuatan ekstrak purwoceng serta Prof. Dr. Agik Suprayogi yang memberikan masukannya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada temanteman satu angkatan Ibu Kasiyati, Pak Andri, pak Narno, Ibu Herna, dan Ibu Heni yang telah memberikan dukungan pada penulis, terutama untuk drh. Andriyanto Msi yang telah membantu dalam mengolah data penelitian dan kepada Ibu Ida, Ibu Sri, Pak Ludi, dan pak Edi yang telah membantu selama penelitian berlangsung. Ucapan terima kasih untuk ibunda tercinta, Ibu Soemartilah, istri tercinta Linda serta anakku tersayang Rizki, Anisa ,dan Arya yang selalu menyertai setiap langkah penulis dalam doa. Penulis dengan segala kerendahan hati, mohon maaf atas segala kekurangan dalam tesis ini dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bogor, Juni 2011 Pudji Achmadi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Bogor, Jawa Barat pada tanggal 12 Juni 1962 dari ayah drh. Didi Soesetiadi (Alm.) dan ibu Soemartilah Soesetiadi. Penulis merupakan anak tunggal. Tahun 1981 penulis lulus dari SMA Negeri II Bogor dan melanjutkan pendidikan sarjana di jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran Bandung, lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1992 penulis diangkat sebagai staf pengajar di bagian Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat (IFO) atas biaya sendiri.
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ...............................................................................................................
viii
DAFTAR ISI.............................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL......................................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................
xiv
PENDAHULUAN .....................................................................................................
1
Latar Belakang ..............................................................................................
1
Tujuan ............................................................................................................
3
Manfaat ..........................................................................................................
3
Hipotesa .........................................................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................
4
Tanaman Purwoceng .....................................................................................
4
Klasifikasi dan Ciri Morfologis Purwoceng..................................................
4
Kandungan Bahan Aktif dan Khasiat ............................................................
6
Afrodisiaka .....................................................................................................
7
Biologi Umum Tikus .....................................................................................
8
Organ Reproduksi Tikus ................................................................................
9
Uterus .......................................................................................................
9
Ovarium ..................................................................................................
10
Steroidogenesis .............................................................................................
11
Pada Jantan .........................................................................................
12
Pada Betina ........................................................................................
13
Siklus Reproduksi Tikus ..............................................................................
14
Proestrus ..............................................................................................
15
Estrus ....................................................................................................
16
Metestrus ..............................................................................................
16
Diestrus ................................................................................................
17
Fitoestrogen ....................................................................................................
17
BAHAN DAN METODE PENELITIAN ..................................................................
20
Waktu dan Tempat Penelitian .........................................................................
20
Alat dan Bahan ...............................................................................................
20
Pembuatan Larutan Ekstrak Etanol Akar Purwoceng ..................................
20
Persiapan Hewan Model ...............................................................................
21
Pengelompokkan Hewan ..............................................................................
22
Penentuan Dosis Ekstrak Etanol Akar Purwoceng .....................................
22
Pengamatan dan Pengambilan Sampel ........................................................
22
Analisis Data ................................................................................................
23
Bagan Penelitian .........................................................................................
24
HASIL PENELITIAN ............................................................................................
25
Efektifitas Ekstrak Etanol Akar Purwoceng terhadap Periode Siklus Berahi .................................................................................
25
Perubahan Panjang Siklus Berahi Setelah Pencekokkan Dihentikan ............................................................................
28
Bobot Uterus dan Ovarium ........................................................................
29
KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................................
32
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................
33
LAMPIRAN ..........................................................................................................
37
DAFTAR TABEL Halaman 1. Nilai rataan panjang siklus berahi dan periodenya pada tikus yang dicekok purwoceng dan kontrol ..........................................25 2. Nilai rataan panjang siklus berahi dan periodenya setelah pencekokan purwoceng dihentikan........................................... 28 3. Nilai rataan bobot uterus dan ovarium pada berbagai pencekokan siklus berahi (proestrus, estrus, metestrus dan diestrus) ......................................................................... 29
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tanaman Purwoceng .....................................................................
4
2. Daun Purwoceng ..........................................................................
5
3. Akar Purwoceng ..........................................................................
6
4. Tikus Putih ...................................................................................
8
5. Uterus tipe Duplex .......................................................................
9
6. Ovarium .......................................................................................
11
7. Steroidogenesis pada Hewan Jantan (Johnson & Everitt 1984) ............................................................
12
8. Steroidogenesis pada Hewan Betina (Johnson & Everitt 1984) ............................................................
13
9. Apusan Ulas Vagina masing-masing Fase Siklus Berahi ...............................................................................
15
10. Struktur kimia estrogen dan flavonoid........................................
18
11. Bagan Penelitian .........................................................................
24
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Laporan hasil uji fitokimia akar purwoceng................................... 39
2
Analisis variansi pencekokan proestrus......................................
40
3
Analisis variansi pencekokan estrus ...........................................
43
4
Analisis variansi pencekokan metestrus .....................................
45
5
Analisis variansi pencekokan diestrus .......................................
47
6
Analisis variansi pencekokan dihentikan (proestrus) .................
49
7
Analisis variansi pencekokan dihentikan (estrus) .......................
51
8
Analisis variansi pencekokan dihentikan (metestrus)..................
53
9
Analisis variansi pencekokan dihentikan (diestrus) ....................
55
10 Analisis variansi ovarium .............................................................
57
11 Analisis variansi uterus ................................................................
59
PENDAHULUAN Latar Belakang Beberapa tahun terakhir sudah banyak yang mencari atau menggunakan terapi yang bukan berasal dari zat sintetik atau kimia untuk menghindari adanya residu atau bahan kesehatan lainnya. Dengan semakin tingginya tingkat kesadaran orang dalam menjaga kesehatan maka semakin banyak orang yang menggunakan bahan yang bersifat alami sehingga herbal banyak dipilih sebagai obat alternatif. Beberapa penelitian tentang penggunaan herbal terhadap kinerja reproduksi telah banyak dilakukan antara lain semanggi merah yang dipergunakan untuk meningkatkan kesuburan domba (Johnston 2003), kedelai dengan kandungan fitoestrogennya dapat meningkatkan aktivitas biologi terutama aktivitas reproduksi (Tsourounis 2004), efek pemberian Tripterdium wilfordii terhadap kadar hormon estrogen, progesteron, FSH, dan LH (Jing et al. 2011), efek ekstrak metanol daun Aspilia africana terhadap siklus estrus dan bobot uterus (Kayode et al. 2007), efek ekstrak etanol Trichosanthes cucumerina terhadap gonadotropin, kinetik folikular ovarium dan siklus estrus (Kage et al.2009) dan efek ekstrak metanol biji Abrus precatorius terhadap siklus estrus, ovulasi, dan bobot badan tikus putih betina dewasa galur Sprague Dawley (Okoko et al. 2008). Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan salah satu tanaman herbal yang dikenal mempunyai kandungan bahan yang bersifat afrodisiaka dan androgenik (Taufiqqurraachman 1999). Pada mulanya, tanaman purwoceng digunakan oleh penduduk di sekitar Pegunungan Dieng (daerah asalnya) hanya untuk pemeliharaan kesehatan atau peningkatan tingkat kesehatan seseorang. Namun sejalan dengan perkembangan penelitian dan isu yang dihembuskan, tanaman ini berkembang menjadi komoditas yang sangat ”laku jual” sebagai bahan afrodisiaka, bahkan kini telah dipopulerkan oleh masyarakat dan Kelompok Tani setempat dengan sebutan ”Viagra Jawa”. Seluruh bagian tanaman purwoceng dapat digunakan sebagai obat tradisional, terutama akar. Akarnya mempunyai sifat diuretika dan afrodisiaka yang merupakan bahan yang berkhasiat dapat meningkatkan atau menambah stamina (Heyne 1987). Ekstrak akar purwoceng digunakan sebagai diuretik, tonik dalam seduhan, terutama sebagai afrodisiaka (Heyne 1987). Pada umumnya tanaman herbal
mengandung senyawa-senyawa turunan saponin,
alkaloid, tanin, dan senyawa-senyawa lain yang berkhasiat sebagai penguat tubuh serta memperlancar peredaran darah. Artha (2007) melaporkan dan membuktikan khasiat purwoceng sebagai obat penghilang rasa sakit, penurun demam, anti fungi, dan bakteri.
Secara empiris masyarakat umum lebih mengenal tanaman ini sebagai pemulih tenaga, penambah gairah, dan penambah jumlah hormon. Penduduk sekitar dataran tinggi Dieng telah mengenal purwoceng sebagai salah satu bagian dalam ramuan obat tradisonal. Penelitian terhadap aktivitas fisiologis dari ekstrak akar purwoceng menunjukkan akar purwoceng mempunyai daya kerja mempertinggi aktivitas motorik, mempertinggi tonus otototot lurik, menstimulasi susunan saraf pusat dengan titik tangkap kerja pada medula oblongata serta meningkatkan tingkah laku seksual tikus jantan (Caropeboka dan Lubis 1975). Tidak banyaknya penelitian yang menggunakan ekstrak akar purwoceng pada tikus betina menyebabkan penelitian Caropeboka dan Lubis (1975) masih dimasukkan sebagai referensi. Pemberian ekstrak purwoceng pada tikus putih jantan galur Sprague Dawley dapat meningkatkan
kadar
Luteinizing
Hormone
(LH)
dan
kadar
hormon
testosteron
(Taufiqqurrachman 1999). Kajian dari penelitian terdahulu juga ada yang melaporkan bahwa purwoceng merupakan bahan androgenik sehingga efek pemberian ekstrak purwoceng dapat meningkatkan motilitas spermatozoa serta derajat spermatogenesis pada tikus Sprague Dawley (Juniarto 2004). Banyaknya penelitian yang menggali peran purwoceng pada kinerja reproduksi jantan, maka peran atau efek terhadap kinerja reproduksi betina juga perlu dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat efektivitas purwoceng yang diberikan pada tikus betina dara terhadap kinerja reproduksi yang meliputi panjang siklus berahi, periode siklus berahi, bobot uterus, dan ovariumnya.
Tujuan Penelitian Mengetahui efektivitas ekstrak etanol akar purwoceng terhadap kinerja reproduksi tikus betina dara meliputi panjang siklus berahi , panjang masing-masing periode pada siklus berahi, bobot ovarium, dan bobot uterus. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh ekstrak etanol akar purwoceng pada kinerja reproduksi tikus betina dara galur Sprague Dawley. Hipotesis Hipotesis
dari
penelitian
ini
adalah bahwa pemberian
ekstrak etanol akar
purwoceng dapat mempengaruhi panjang siklus berahi, panjang periode siklus berahi, bobot uterus, dan ovarium tikus betina dara galur Sprague Dawley.
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Tanaman purwoceng (Pimpinella alpina KDS) termasuk tanaman endemik Indonesia dan sudah lama dikenal sebagai obat herbal. Purwoceng merupakan terna tahunan, tinggi tanaman purwoceng berkisar antara 15-50 cm, tumbuh di pegunungan dengan ketinggian 1800 - 3500 m di atas permukaan laut. Pada awalnya purwoceng hanya terdapat di Gunung Pangrango, Papandayan, Tangkuban Perahu (Jawa Barat), Dataran Tinggi Dieng
(Jawa
Tengah), dan Gunung Bromo (Jawa Timur) (Heyne 1987). Sampai saat ini yang dikenal sebagai daerah pengembangannya hanya di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah dengan luar areal yang terbatas dan termasuk ke dalam 24 tanaman langka di Jawa (Pusat Konservasi Tumbuhan 2007). Gambaran tanaman purwoceng disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Tanaman Purwoceng (Rostiana et al. 2003)
Klasifikasi dan Ciri Morfologis Purwoceng Klasifikasi tanaman Purwoceng menurut sistem Cronquist (Jones 1987) adalah sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Famili
: Apiaceae / Umbelliflorae
Suku
: Umbelliferae
Genus
: Pimpinella
Jenis
: Pimpinella alpina KDS/Pimpinella pruatjan Molk.
Morfologis dari tanaman purwoceng adalah : Daun. Daunnya merupakan daun majemuk berpasangan berhadapan, berbentuk jantung, dengan panjang ± 3 cm dan lebar 2,5 cm, bentuk anak daun membulat dengan tepi bergerigi, ujung daun tumpul, pangkal daun bertoreh, tangkai daun dengan panjang ± 5 cm berwarna coklat kehijauan, warna permukaan atas daun hijau, dan permukaan bawah hijau keputihan. Gambaran bentuk daun disajikan Gambar 2.
Gambar 2 Daun Purwoceng (Rostiana et al. 2003)
Batang Batangnya merupakan batang semu, berbentuk bulat, lunak, dan warnanya hijau pucat. Bunga. Bunganya merupakan bunga majemuk berbentuk payung, tangkainya silindris, panjangnya ± 2 cm, kelopak bunga berbentuk tabung berwarna hijau. Mulai berbunga antara bulan ke-5 sampai bulan ke-6 dan dapat dipanen pada umur 7 - 8 bulan (Yuhono 2004). Biji Bijinya berbentuk lonjong kecil, berwarna coklat. Biji yang sudah masak berwarna hitam, berukuran sangat kecil sekitar 0,52 g per 1.000 butir biji (Rahardjo et al. 2006).
Akar / rimpang. Akarnya merupakan akar tunggang yang membesar membentuk struktur seperti umbi pada
tanaman
ginseng
dengan
ukuran
yang
lebih
kecil,
berwarna putih kecoklatan. Gambaran bentuk akar purwoceng yang sudah kering disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Akar Purwoceng (Koleksi pribadi)
Kandungan Bahan Aktif dan Khasiat Akar purwoceng mengandung turunan senyawa kumarin, sterol, alkaloid, dan saponin (Caropeboka dan Lubis 1975, Rostiana et al. 2003), flavonoid, glikosida, dan tanin (Rostiana et al. 2003), kelompok furanokumarin seperti bergapten, isobargapten, dan sphondin (Sidik et al. 1975), sitosterol dan vitamin E (Rahardjo et al. 2006), saponin, alkaloid, glikosida, kumarin, dan triterpenoid-steroid (Rostiana et al. 2003). Senyawa yang diketahui memberi efek afrodisiaka diantaranya adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa lain yang dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001). Dalam penelitiannya (Rahardjo et al. 2005) menyatakan bahwa zat berkhasiat pada herbal purwoceng adalah senyawa sitosterol dan stigmasterol yang terdapat pada bagian akarnya. Caropeboka (1979) melakukan penelitian terhadap aktivitas reproduksi pada tikus yang diberi ekstrak akar purwoceng yang mempunyai aktivitas androgenik. Selanjutnya Caropeboka (1980) melakukan penelitian pada tikus jantan yang dikebiri dan tikus betina tanpa indung telur, hasilnya menunjukkan bahwa pemberian ekstrak ekstrak akar purwoceng memperlihatkan aktivitas androgenik dan kecenderungan aktivitas estrogenik. Kosin (1992) melakukan terhadap anak ayam jantan, hasilnya ekstrak purwoceng mempunyai efek androgenik terhadap peningkatan pertumbuhan ukuran jengger. Beberapa penelitian tentang pemberian purwoceng sudah dilakukan terhadap tikus putih. Hasil uji praklinis itu, menyatakan bahwa tikus yang diberi 50 mg purwoceng meningkat kadar testosteronnya mencapai 125%. Testosteron merupakan hormon steroid dan kelompok androgen yang menyebabkan kaum pria bersuara rendah, berotot gempal, dan tumbuh kumis. Testosteron fungsinya antara lain meningkatkan libido, energi, fungsi imun, dan perlindungan. Selain meningkatkan testosteron hingga 125%, dosis 50 mg purwoceng juga menaikkan hormon luteinizing hingga 29,2%. Luteinizing merupakan hormon yang diproduksi hipofisis anterior di otak. Perannya merangsang sel-sel dalam testis untuk memproduksi
testosteron.
Pemberian 25 mg purwoceng yang dikombinasikan dengan pasak bumi memberikan hasil
peningkatan kadar testosteron hingga 196,3% sedangkan kadar luteinizing hanya naik 2,5% (Trubus, Oktober 2008).
Hal ini tiak lepas dari khasiat yang dimiliki oleh tanaman herbal
purwoceng yang banyak mengandung alkaloid, tanin, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida. Flavonoid termasuk ke dalam golongan fitoestrogen yang kerjanya sangat mirip dengan estrogen.
Afrodisiaka Ekstrak akar purwoceng dapat
berfungsi sebagai bahan afrodisiaka yaitu
meningkatkan potensi seksual sehingga tenaga dan kemampuan seksualnya lebih kuat. Potensi seksual ini sangat dipengaruhi oleh adanya hormon testosteron (Gauthaman et al. 2002). Hasil uji secara farmakologis pada tikus jantan Sprague Dawley menunjukkan pemberian ekstrak akar purwoceng dengan zat pelarut metanol 99% dapat meningkatkan motilitas spermatozoa (Juniarto 2004) dan meningkatkan kadar LH dan testosteron (Taufiqqurrachman dan Wibowo 2006). Peningkatan kadar testosteron ini disebabkan efek stimulasi ekstrak purwoceng terhadap LH dan konversi fitosterol yang ada pada ekstrak purwoceng menjadi testosteron pada jaringan hewan uji (Taufiqqurrachman dan Wibowo 2006). Testosteron merupakan hormon utama yang mempengaruhi perilaku seksual jantan. Pada ayam jantan yang diberi hormon androgenik dapat menimbulkan sifat kelamin sekunder (Harper et al 1979). Ini sesuai dengan hasil penelitian dari Kosin (1992) terhadap ayam jantan yang diberi ekstrak akar purwoceng, terjadi peningkatan ukuran jengger anak ayam jantan. Biologi Umum Tikus
Gambar 4 Tikus putih (Rattus norvegicus) (Anonim 2007)
Tikus putih (Rattus norvegicus) atau tikus albino (Gambar 4) merupakan jenis tikus yang paling banyak digunakan sebagai hewan model dalam penelitian, terutama untuk galur Sprague Dawley (SD) yang mempunyai ciri morfologis: bentuk kepala kecil dan ekor lebih
panjang dari badannya. Hewan ini memiliki keistimewaan yaitu umur relatif pendek, sifat produksi dan reproduksinya menyerupai mamalia besar, lama produksi ekonomis 2,5 - 3 tahun, lama kebuntingan berkisar antara 21- 23 hari, umur sapih 21 hari, umur pubertas 50 60 hari, vagina mulai terbuka pada umur 35 – 90 hari, dan testis turun atau keluar pada umur 20 - 50 hari, angka kelahiran 6 - 12 ekor per kelahiran, memiliki siklus estrus yang pendek 4 5 hari dengan karakteristik setiap fase siklus yang jelas, lama estrus 9 - 12 jam, interval antar generasi relatif pendek, dan berukuran kecil sehingga memudahkan dalam pemeliharaan serta efisien dalam mengkonsumsi pakan (10 g/100 g BB/hari) (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Berat badan tikus betina dewasa sekitar 250 g - 300 g dan berat badan tikus jantan dewasa 450 g - 520 g, mulai dikawinkan umur 65 - 110 hari untuk jantan dan betina. Tikus yang baru lahir memiliki berat lahir antara 5- 6 g (Harkness 1989). Tikus laboratorium (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian (Malole dan Pramono 1989). Klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Myers dan Armitage (2004) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Rodentia
Famili
: Muridae
Subfamili
: Murinae
Genus
: Rattus
Species
: Rattus norvegicus
Strain
: Rattus norvegicus galur Sprague Dawley
Organ Reproduksi Betina Uterus Uterus merupakan organ yang terdiri dari korpus (badan), servik (leher), dan dua tanduk (kornua). Bagian-bagian uterus mempunyai bentuk dan susunan tanduk yang bervariasi tergantung speciesnya. Pada hewan rodensia (tikus, mencit, dan kelinci) uterusnya mempunyai internal dua servik, tanduk secara utuh terpisah (duplex uterus). Gambaran bentuk uterus tipe duplex disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Uterus tipe duplex (Koleksi pribadi 2011)
Seperti organ yang menyerupai tabung, dinding uterus terdiri atas lapisan membran mukosa, lapisan otot polos intermediat, dan lapisan serosa bagian luar (peritoneum). Servik (leher uterus) mengarah kaudal menuju ke vagina. Servik merupakan sfingter otot polos yang kuat dan tertutup rapat kecuali saat terjadi birahi atau saat kelahiran. Pada saat birahi servik agak relaks sehingga memungkinkan spermatozoa memasuki uterus (Frandson 1986). Uterus merupakan saluran muskuler yang diperlukan untuk penerimaan ovum yang telah dibuahi menjadi zigot dan embrio. Selanjutnya embrio akan berkembang pada endometrium dengan melalui suatu proses yang disebut dengan implantasi. Pada saat terjadi perkawinan, uterus akan berkontraksi untuk mempermudah pengangkutan sperma ke tuba Falopii. Sebelum implantasi cairan uterus merupakan medium yang bersifat suspensi bagi blastosit sedangkan sesudah implantasi uterus menjadi tempat pembentukan plasenta dan perkembangan fetus (Toelihere 1981). Perubahan-perubahan histologis dan morfologis uterus terjadi pada saat siklus estrus berjalan sehingga ukuran maupun histologi organ ini tidak pernah statis. Hormon yang berkaitan dengan perkembangan dan pertumbuhan uterus adalah estrogen yang merangsang pertumbuhan uterus (sintesa protein dan pembelahan sel). Ketika pada tingkat vagina terjadi fase proestrus dan estrus, pada ovarium terjadi fase folikuler dan pada uterus terjadi fase proliferasi. Selama fase folikuler ovarium, yang terjadi pada saat proestrus dan estrus pada vagina dari siklus estrus, kelenjar uterus sederhana dan lurus dengan sedikit cabang. Estrogen yang dihasilkan pada saat fase folikuler ini akan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan uterus. Fase inilah yang disebut sebagai fase proliferasi uterus. Selama fase proliferasi uterus dipengaruhi oleh hormon estradiol sedangkan saat fase sekresi dipengaruhi oleh hormon progersteron. Selama fase luteal, yang terjadi saat fase metestrus dan diestrus pada vagina, progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum akan beraksi terhadap pertumbuhan dan perkembangan uterus, endometrium bertambah tebal secara nyata.
Diameter dan panjang kelenjar meningkat secara cepat menjadi bercabang-cabang dan berkelok-kelok (Nalbandov 1990). Ovarium Ovarium merupakan organ primer reproduksi betina. Ovarium dapat menghasilkan hormon yang akan diserap langsung ke dalam peredaran darah dan ovum yang dapat dilepaskan dari kelenjar. Ovarium merupakan sepasang kelenjar yang terdiri atas ovarium kanan yang letaknya di belakang ginjal kanan dan ovarium kiri yang letaknya di belakang ginjal kiri. Pada kebanyakan species hewan, ovariumnya mempunyai bentuk menyerupai biji almond. Ukuran normal ovarium sangat bervariasi antar species (Frandson 1986). Lokasi ovarium berada pada ujung kornua uterus. Gambaran ovarium tikus disajikan pada gambar 6.
Gambar 6 Ovarium Tikus (Koleksi pribadi 2011)
Fungsi ovarium sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur (ovum) dan organ endokrin yang mensekresikan hormon-hormon kelamin betina (estrogen dan progesteron). Hormon – hormon yang berkaitan dengan perkembangan dan pertumbuhan ovarium adalah: 1. Estrogen berperan saat fase folikuler 2. Progesteron berperan saat fase luteal
Steroidogenesis Steroidogenesis merupakan proses pembentukan hormon-hormon steroid antara lain progesteron, testosteron, dan estradiol yang memegang peranan penting dalam proses reproduksi pada hewan jantan dan betina. Terdapat perbedaan metabolisme pada jantan dan betina dari hormon-hormon yang dihasilkan pada steroidogenesis tersebut. Steroidogenesis pada jantan dan betina dijelaskan sebagai berikut:
Pada Jantan Pada hewan jantan, testosteron disekresikan oleh sel Leydig yang terletak diantara tubulus seminiferi testis akibat adanya perangsangan hormon Luteneizing hormone (LH) yang disekresikan oleh hipofise anterior. Testosteron disekresikan mulai dari proses perubahan asam asetat menjadi kolesterol kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi menjadi progesteron. Dari pregnenolon dan progesteron akhirnya melalui beberapa perubahan menjadi testosteron. Testosteron yang sudah disekresikan oleh sel Leydig akan menuju sel Sertoli melalui sirkulasi darah dan berperan dalam proses pematangan sperma. Di dalam sirkulasi darah testosteron ditransportasi oleh adanya steroid binding globulin (β globulin) yang disekresikan oleh sel Sertoli akibat adanya rangsangan dari FSH. Sekitar 98% dari testosteron yang bersirkulasi dalam darah berada dalam keadaan terikat sisanya merupakan testosteron yang bebas dapat masuk ke organ target. Proses tersebut terjadi bila terdapat enzim dalam sitoplasma yang akan merubah testosteron menjadi dehidrotestosteron sehingga dapat bereaksi dengan reseptor testosteron pada organ target (Hafez 2000). Steroidogenesis pada hewan jantan disajikan dalam Gambar 7.
Gambar 7 Steroidogenesis pada hewan jantan (Johnson dan Everitt 2004)
Pada Betina Estrogen
merupakan
hormon
utama
pada
hewan
betina,
dalam
proses
pembentukannya melibatkan 2 sel yaitu sel teka dan sel granulosa. Sel teka akan berkembang di bawah pengaruh Luteinizing Hormone (LH) dan sel granulosa akan berkembang di bawah pengaruh Follicle Stimulating Hormone (FSH). Di dalam sel teka yang berkembang, estrogen
disekresikan mulai dari proses perubahan asam asetat menjadi kolesterol kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi menjadi progesteron. Dari progesteron berubah menjadi androstenedion dengan bantuan enzim 17α-hidroksi progesteron, kemudian berubah menjadi testosteron. Sel granulosa mendapat asupan testosteron dari sel teka dan akan berubah menjadi estrogen setelah diaromatisasi oleh enzim aromatase yang distimulasi FSH. Ada 3 bentuk estrogen di dalam plasma hewan betina yaitu 17β-estradiol, estron, dan estriol (Johnson dan Everitt 1984). Di dalam tubuh hewan betina, ketiga jenis estrogen tersebut disintesis dari testosteron endogen dengan bantuan enzim aromatase pada sel teka, kemudian proses konversi yang sama juga terjadi pada sel granulosa. Di bawah rangsangan FSH, konversi estron berasal dari androstenedion, bersifat lebih lemah daripada estradiol. Gambaran steroidogenesis pada hewan betina disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Steroidogenesis pada hewan betina (Johnson dan Everitt 1984)
Estrogen merupakan hormon yang mengandung senyawa steroid, fungsinya sebagai hormon seks wanita. Hormon estrogen terdapat dalam tubuh pria maupun wanita dimana dalam tubuh wanita usia subur kandungannya lebih tinggi. Hormon ini mempertahankan tanda – tanda
kelamin sekunder wanita,
menyebabkan penebalan
endometrium dan
pengaturan siklus haid. Fungsi estrogen berguna pada proses pembentukan jaringan tulang dengan cara mengatur kadar kalsium dalam darah. Estrogen (khususnya estradiol) bertanggung jawab untuk persiapan kelenjar ambing di dalam proses laktogenesis. Estrogen juga berfungsi di dalam sistem saraf pusat sehingga menimbulkan perilaku persiapan kawin (estrus) dengan cara memodulasi sekresi LH dan FSH melalui sistem hipotalamus-hipofisis hewan jantan dan betina (Johnson dan Everitt 1984). Menurut Guyton dan Hall (1997) fungsi estrogen
adalah: terhadap uterus, ovarium, tuba Falopii, dan vagina akan bertambah bobotnya karena pengaruh estrogen. Estrogen juga mengubah epitel vagina yang semula berbentuk epitel pipih selapis menjadi kuboid bertingkat.
Estrogen menyebabkan perubahan nyata pada
endometrium dan kelenjarnya yang mengakibatkan ukuran uterus bertambah dua sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelum pubertas. Pada tuba Falopii keberadaan estrogen akan menyebabkan terjadinya proses proliferasi sel. Siklus Reproduksi Tikus Tikus merupakan hewan poliestrus yang dapat beberapa kali mengalami siklus estrus dan melahirkan anak dalam satu tahunnya. Panjang siklus estrus tikus rata-rata berkisar antara 4 - 5 hari yang terdiri atas fase proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Masingmasing fase tersebut menggambarkan proses fisiologis yang berbeda terkait dengan gambaran anatomi sel epitel dari dinding vaginanya. Perbedaan gambaran sel epitel dapat digunakan untuk menentukan masing-masing fase siklus reproduksinya (Gambar 9).
A
B
D
C
Gambar 9 Apusan ulasvagina masing-masing fase siklus berahi Keterangan gambar: A (Proestrus), sel epitel berinti; B (Estrus), sel kornifikasi; C (Metestrus), sel lekosit; D (Diestrus), sel lekosit dan sel epitel berinti (Koleksi pribadi 2011)
Proestrus Proestrus merupakan fase awal yang menandakan akan datangnya berahi. Fase ini ditandai oleh periode pertumbuhan folikel pada ovarium yang cepat karena pengaruh dari Folicle Stimulating Hormone (FSH) (Mc.Donald, 1989). Folikel yang berkembang ini mensekresikan hormon estrogen. Estrogen dapat menyebabkan terjadinya vaskularisasi dan penandukkan pada sel epitel vagina pada beberapa spesies. Pada pemeriksaan apusan ulas
vagina akan didominasi oleh sel-sel epitel berinti (Gambar 9A). Fase proestrus terjadi selama + 12 jam (Nalbandov 1990; Baker et al 1980). Ketika pada tingkat vagina terjadi fase proestrus, estrogen akan memulai merangsang pertumbuhan uterus (sintesa protein dan pembelahan sel). Estrus Fase estrus merupakan fase penerimaan seksual (berahi) hewan betina yang bersedia menerima pejantan untuk kawin. Stadium ini berlangsung kira-kira 12 jam dimulai pada malam hari (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Kondisi ini berakhir setelah 9-15 jam dengan ciri-ciri aktivitas hewan berlari-lari sangat tinggi di bawah pengaruh FSH. Pengaruh FSH menyebabkan sel-sel folikel ovari tumbuh dengan cepat sehingga sekresi estrogen meningkat. Pada pemeriksaan apusan ulas vagina terlihat banyaknya sel pavement /sel yang menumpuk dan sel kornifikasi /sel yang mengalami penandukan (Gambar 9B) (Nalbandov 1990; Baker et al. 1980). Pada fase estrus, vaskularisasi semakin meningkat estrus, pada ovarium terjadi fase folikuler dan pada uterus terjadi fase proliferasi. Metestrus Metestrus merupakan fase yang terjadi setelah estrus selesai berlangsung kira-kira 21 jam (Baker et al. 1980). Pada umumnya fase ini masih didapatkan gejala-gejala estrus, tetapi betina menolak untuk kopulasi. Pada fase ini folikel pecah sehingga kadar estrogen menurun, dan mengalami reorganisasi kemudian mulai terbentuk korpus luteum yang mensekresi progesteron dan berlanjut hingga fase diestrus. Ovarium mengandung korpus luteum dan folikel-folikel baru yang kecil, uterus mengalami vaskularisasi dan kontraksi berkurang (Turner dan Bagnara 1988). Menurut (Smith dan Mangkoewidjojo 1988) metestrus dapat dibedakan menjadi metestrus I dan metestrus II. Metestrus I berlangsung selama kira-kira 15 jam. Pada sediaan apusan ulas vagina terlihat sel-sel kornifikasi, biasanya ada sumbat air mani menggumpal dalam vagina bila hewan sudah kawin. Metestrus II berlangsung kirakira 6 jam. Pada pemeriksaan apusan ulas vagina tampak sel-sel kornifikasi dan mulai tampak lekosit (sel darah putih) (Gambar 9C). Progesteron yang dihasilkan pada fase metestrus pada tingkat vagina dan fase luteal pada ovarium ini akan menyebabkan fase sekresi pada uterus. Selama fase proliferasi uterus dipengaruhi oleh hormon estradiol sedangkan saat fase sekresi dipengaruhi oleh hormon progesteron. Selama fase luteal, yang terjadi saat fase metestrus dan diestrus pada vagina, progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum akan bereaksi terhadap pertumbuhan dan perkembangan uterus, endometrium bertambah tebal secara nyata.
Diameter dan panjang kelenjar meningkat secara cepat menjadi bercabang-cabang dan berkelok-kelok akibat adanya progesteron (Nalbandov 1990). Diestrus Fase diestrus merupakan periode terakhir dan terlama dari siklus birahi, fase ini berlangsung antara 60 - 70 jam (Turner dan Bagnara 1976), sedangkan menurut (Smith dan Mangkoewidjojo 1988) fase ini berlangsung kira-kira 57 - 60 jam. Pada fase ini terjadi pematangan korpus luteum, bila terjadi fertilisasi korpus luteum akan dipertahankan, tetapi jika tidak terjadi regresi dari korpus luteum akibat pengaruh PGF 2α (Hafez 1980). Pada pemeriksaan apusan ulas vagina (Gambar (D) terlihat sel-sel epitel berinti dan lekosit (sel darah putih) (Baker et al. 1980). Fitoestrogen Fitoestrogen merupakan
senyawa
merupakan non
sumber
steroidal
estrogen yang dan
mempunyai
berasal dari tanaman yang aktivitas
dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen (Tsourounis
estrogenik atau
2004). Fitoestrogen
merupakan substrat dari tanaman yang berkhasiat seperti estrogen dan mempunyai inti yang sama seperti estrogen walaupun rumus bangun kimianya berbeda dengan estrogen. Khasiat estrogenik terjadi karena fitoestrogen mempunyai 2 gugus -OH/hidroksil yang jaraknya sama (11.0 - 11,5 Aº) pada intinya, begitu
juga dengan inti estrogen sendiri.
Para ilmuwan sepakat bahwa jarak 11 A0 dan gugus -OH menjadi struktur pokok suatu substrat mempunyai efek estrogenik (memiliki afinitas tertentu untuk dapat menduduki reseptor estrogen (Achadiat 2007). Suatu substrat baru akan berefek estrogenik bila telah berikatan dengan reseptor estrogen. Tetapi afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen (Tsourounis 2004). Menurut Tsourounis (2004) beberapa senyawa fitoestrogen yang terdapat dalam tanaman antara lain: Isoflavone pada buah-buahan, teh hijau, kacang kedelai, dan produk kedelai seperti tempe, tahu, dan tauco. Lignane pada biji gandum dan wijen. Coumestane pada kacang-kacangan dan biji bunga matahari. Glikoside Tripterpen pada tanaman Cimifuga racemosa (Black cohosh) yang tumbuh di hutan Amerika Selatan, saat ini telah diekstraksi dan dikemas menajdi produk obat menopause.
Senyawa-senyawa estrogenik lain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti flavone, chalcone, diterpenoid, triterpenoid, coumarine, dan acyclic.
Zat yang paling banyak dalam akar purwoceng adalah alkaloid dan flavonoid. Alkaloid dan flavonoid termasuk dalam golongan fitoestrogen.
Berdasarkan struktur
kimianya, seluruh senyawa golongan flavonoid pada tanaman merupakan induk flavon. Flavonoid merupakan senyawa larut air, etanol, metanol, dan mengandung sistem atomatik yang terkonyugasi. Secara umum flavonoid ditemukan pada tumbuhan sebagai campuran dan terikat pada gula seperti glikosida, aglikon atau dalam kombinasi beberapa bentuk aglikon. Senyawa flavonoid diklasifikasikan menjadi 10 golongan yang terkarakterisasi oleh warna pada teknik spektrofotometer dan pemisahan pada teknik kromatografi. Golongan tersebut adalah antosianin, proantosianin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, flavonon, dan isoflavon (Harborne 1987). Flavonoid mempunyai efek hormonal khususnya efek estrogenik karena mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen. Flavonoid pada ekstrak akar purwoceng merupakan senyawa fitoestrogen yang mempunyai kesamaan struktur kimia dengan estrogen mamalia. Berikut adalah kemiripan struktur kimia antara estrogen dan flavonoid (Gambar 10).
Gambar 10 Struktur kimia estrogen dan flavonoid (Guyton 1997; Harborne 1987)
Flavonoid mampu berikatan dengan reseptor estrogwn (RE), di dalam tubuh ada 2 reseptor estrogen yaitu reseptor estrogen alfa (Reα) dan reseptor estrogen beta (Reβ). Reseptor estrogen α terdapat pada organ uterus, testis, hipofisis, ginjal, epididimis, dan adrenal. Sedangkan reseptor estrogenβ terdapat di ovarium, prostat, paru-paru, kandung kemih, dan tulang (Barnes dan Kim 1998).
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pengamatan dan pengukuran organ reproduksi betina dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan - IPB. Alat dan Bahan Hewan yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley yang terdiri atas tikus betina dara, dewasa kelamin berumur ± 10 minggu sebanyak 48 ekor dengan berat badan berkisar antara 150 - 200 g. Beberapa tikus putih jantan dan betina dewasa kelamin sebagai indukan. Bahan lain yang diperlukan adalah larutan fisiologis NaCl 0,9%, cotton buds, metil alkohol, larutan giemsa, kertas saring Whatman no 42, etanol 70%, akuades, eter, akar purwoceng, ekstrak purwoceng. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat kandang tikus, kamera digital, alat bedah, erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, gelas objek, mikroskop binokuler, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, spuit 1 ml dan sonde lambung dari stainless steel, oven, wadah porselen, termometer, timbangan analitis, dan digital.
Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng Purwoceng berasal dari daerah Pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Semua bagian tanaman purwoceng (akar, batang, dan daun) dapat dimanfaatkan sebagai bahan afrodisiak. Tetapi hanya bagian akar saja yang digunakan sebagai bahan ekstrak karena bagian tersebut mempunyai efek afrodisiaka yang lebih tinggi dibandingkan bagian lainnya. Bagian akar dikeringkan dengan penjemuran panas matahari (suhu tidak boleh melebihi 50ºC). Selanjutnya akar purwoceng yang telah kering dipotong tipis-tipis dan dihaluskan dengan menggunakan blender hingga didapatkan simplisia. Serbuk akar purwoceng diekstraksi dengan menggunakan
metode maserasi dingin sebanyak 700 g direndam dalam pelarut
etanol 70% sebanyak 3,5 l selama 48 jam (setiap 2 jam sekali diaduk agar homogen). Kemudiaan disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman no 42. Hasil ekstrak disimpan di dalam erlenmeyer sedangkan ampas direndam kembali dalam 3,5 liter etanol
70% selama 24 jam, setiap 2 jam diaduk. Setelah itu larutan disaring dan ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama dalam erlen meyer ukuran 5 liter. Kemudian dilakukan proses evaporasi agar zat pelarut (etanol 70%) terpisah dengan menggunakan rotari evaporator (rotavapor) Buchi dengan suhu 48ºC dan kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm. Selanjutnya bahan ekstrak dimasukkan ke dalam oven pengering dengan suhu ± 45 oC selama 48 jam sehingga kadar air yang masih ada dapat menguap semuanya. Akhirnya didapat ekstrak kental (pasta) yang disimpan di dalam wadah porselen tertutup rapat. Apabila jadwal pencekokan sudah dimulai maka dari ekstrak kental purwoceng akan dibuat larutan stock sebesar 5% dengan cara melarutkan 5 g ekstrak kental purwoceng ke dalam 100 ml akuades sehingga didapat ekstrak etanol purwoceng berupa cairan berwarna kecoklatan. Ekstrak purwoceng disimpan dalam lemari es apabila tidak digunakan. Berat ekstrak kental yang didapat dari 700 gram simplisia adalah sebanyak 190 g ekstrak kental. Persiapan Hewan Model Tikus betina dara berumur 10 minggu (dewasa kelamin) didapat dari perkawinan induk secara alamiah dengan mencampurkan jantan dan betina
dalam
satu
kandang.
Kebuntingan ditandai dengan adanya sperma dalam apusan ulas vagina. Kemudian tikus dibiarkan bunting dan melahirkan serta menyusui anaknya hingga lepas sapih.
Anak tikus
betina dipelihara sampai dengan umur 10 minggu (dewasa kelamin), kemudian dijadikan hewan model. Tikus tersebut dibiarkan selama 1 minggu dalam kandang kolektif agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pemeliharaan tikus (induk, bunting dan anakan) dilakukan di dalam kandang hewan individu yang terbuat dari plastik berukuran 30 cm x 20 cm x 12 cm (panjang x lebar x tinggi) dan dilengkapi dengan kawat kasa penutup pada bagian atasnya. Pakan dan air minum dilakukan ad libitum. Penggantian sekam dan pencucian kandang plastik dilakukan setiap 1 minggu sekali. Pengelompokkan Hewan Tikus di bagi dalam 4 kelompok berdasarkan periode berahi dari siklus reproduksinya (Gambar 10) yaitu kelompok periode proestrus (P) bila ditemukan lebih dari 75% sel epitel berinti, kelompok periode estrus (E) bila ditemukan lebih dari 75% sel kornifikasi, kelompok periode metestrus (M) bila ditemukan lebih dari 75% sel darah putih, dan kelompok periode diestrus (D) bila ditemukan sel darah putih dan sel epitel berinti sama banyaknya (Baker et al. 1980), masing-masing perlakuan terdiri atas 12 ekor. Pengelompokkan periode berahi
dilakukan dengan cara melakukan apusan ulas vagina dari 48 ekor tikus betina dara. Setiap kelompok periode dibagi lagi menjadi kelompok kontrol (tidak dicekok purwoceng) dan kelompok perlakuan (dicekok purwoceng), masing - masing sebanyak 6 ekor. Kemudian kelompok kontrol dan perlakuan dibagi lagi menjadi kelompok dikorbankan (dibedah) dan kelompok apusan ulas vagina sampai hari ke -15, masing - masing sebanyak 3 ekor sebagai faktor pengulangan (Gambar 10). Penentuan Dosis dan Pencekokan Ekstrak Etanol Purwocceng Pemberian ekstrak etanol purwoceng dilakukan dengan cara mencekok tikus dengan
menggunakan sonde lambung
pada pagi hari setelah apusan
ulas vagina pagi hari dilakukan. Pencekokan purwoceng dilakukan
selama 10
hari dengan dosis sebesar 83,25 mg/kg BB (Gambar 10), sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Taufiqqurrachman (1999) dengan dosis 25 mg/ml untuk berat tikus 300 g. Pengamatan dan Pengambilan Sampel Pengamatan terhadap periode siklus berahi dilakukan dua kali setiap harinya yaitu pagi hari (pukul 06.00 WIB) dan sore hari (pukul 18.00 WIB) dengan melakukan apusan ulas vagina. Pengambilan apusan ulas vagina dilakukan dengan menggunakan cotton bud ukuran kecil yang sudah dibasahi dengan NaCl fisiologis 0,9%. Apusan ulas vagina dioleskan pada kaca preparat (gelas objek) dengan merata kemudian di fiksasi dalam metanol selama 5 menit. Setelah itu diwarnai dengan pewarna Giemsa selama 30 menit, kelebihan Giemsa dicuci dengan air kran mengalir. Setelah dikeringkan dengan tisue, preparat diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 kali. Hasil pembacaan kemudian dicatat setiap hari sesuai dengan kelompok pada periode siklus berahi berdasarkan gambaran sel epitelnya sehingga dapat diperoleh panjang siklusnya. Pengamatan preparat apusan ulas vagina dilakukan selama 10 hari (2 siklus) untuk kelompok dikorbankan dan juga pengamatan apusan ulas vagina selama 15 hari untuk masing - masing kelompok fase. Pengambilan sampel organ uterus dan ovarium dilakukan dengan cara mengorbankan tikus setelah dilakukan pembiusan terlebih dahulu menggunakan eter. Organ uterus dan ovarium (kiri dan kanan) diambil dengan cara pembedahan pada bagian perut kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitis digital. Bobot organ uterus dan ovarium di catat untuk di analisis perbedaannya.
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dan dibandingkan dengan menggunakan metode Analysis of Variance (ANOVA), dilanjutkan dengan uji t-student (Steel dan Torrie 1989).
Bagan Penelitian Tikus Betina
Apusan Ulas Vagina
Kelompok P (Proestrus)
Kelompok E (Estrus)
Kelompok M (Metestrus)
Kelompok D (Diestrus)
Kontrol/Dicekok 83,25 mg/kg BB Apusan Ulas Vagina pagi (pukul 06.00WIB) dan (pukul 18.00 WIB) selama 10 hari
Dikorbankan Pengamatan : 1. Bobot Uterus 2. Bobot Ovarium
Apusan Ulas Vagina Sampai Hari Ke - 15
Pengamatan : Apusan Ulas Vagina
Gambar 10 Bagan Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Efektivitas Ekstrak Etanol Akar Purwoceng terhadap Periode Siklus Berahi Beberapa penelitian terdahulu melaporkan bahwa panjang siklus berahi berkisar antara 4 - 5 hari, terdiri atas periode proestrus selama 12 jam, periode estrus selama 12 jam, periode metestrus selama 21 jam, dan periode diestrus selama 57 jam (Baker et al. 1980). Pada penelitian ini, rataan panjang periode siklus berahi tikus disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai rataan panjang siklus berahi dan periodenya pada tikus yang dicekok purwoceng dan kontrol Periode Hasil Pengamatan (Jam) Proestrus
Estrus
Metestrus
Diestrus
Panjang Siklus Berahi
18 ± 4,52 14 ± 4,52
20 ± 6,20 14 ± 2,45
20 ± 3,10a 24 ± 0b
64 ± 7,35 70 ± 7,35
122 ± 5,29 122 ± 3,58
16 ± 3,10 14 ± 3,10
24 ± 3,79b 14 ± 3,29a
20 ± 3,10 22 ± 4,90
60 ± 4,52a 70 ± 4,52b
120 ± 3,63 120 ± 3,95
14 ± 3,10 12 ± 3,10
16 ± 3,29 14 ± 3,29
28 ± 3,10b 24 ± 0a
64 ± 5,02 68 ± 3,29
122 ± 3,63 118 ± 2,42
12 ± 0 12 ± 0
16 ± 3,10 14 ± 3,10
26 ± 3,10 28 ± 3,29
64 ± 5,90 68 ± 4,52
118 ± 3,03 122 ± 2,73
Perlakuan Proestrus Dicekok Kontrol Estrus Dicekok Kontrol Metestrus Dicekok Kontrol Diestrus Dicekok Kontrol
Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0.05)
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa tikus yang dicekok purwoceng pada saat periode proestrus dan estrus cenderung mempunyai pola rataan waktu periode proestrus dan estrus lebih panjang bila dibandingkan kontrol. Periode estrus pada tikus yang dicekok saat estrus menunjukkan waktu yang lebih panjang secara nyata (P<0,05). Semakin panjang periode estrus dibandingkan dengan kontrol maka proses kawin antara jantan dan betina menjadi lebih lama. Dengan adanya kondisi tersebut, terjadinya proses fertilisasi menjadi lebih besar kemungkinannya. Secara umum pada tikus yang dicekok pada saat periode proestrus dan estrus justru terjadi pemendekan waktu periode metestrus dan diestrus bila dibandingkan dengan periode kontrolnya. Pola yang sama ditunjukkan oleh tikus yang dicekok pada periode metestrus dan diestrus yaitu terjadi kecenderungan pemanjangan waktu periode proestrus dan estrus kecuali pada tikus yang dicekok periode diestrus, mempunyai panjang periode proestrus yang sama dengan kelompok kontrol. Tikus yang dicekok purwoceng pada saat periode metestrus dan diestrus juga mempunyai nilai rataan periode lebih pendek pada periode metestrus dan diestrusnya bila dibandingkan dengan periode kontrolnya kecuali pada
periode metestrus yang menunjukkan perpanjangan waktu periode metestrus bila dibandingkan dengan kontrolnya (P<0,05). Pada tabel ini juga tampak
bahwa
nilai
panjangnya periode yang paling tinggi muncul pada pengamatan periode ketika pencekokkan dilakukan pada periode tersebut. Panjang periode proestrus yang paling tinggi terjadi pada kelompok tikus yang dicekok pada periode proestrus, demikian juga panjang periode estrus yang paling tinggi terjadi pada kelompok tikus yang dicekok pada periode estrus. Hal ini juga terjadi pada kelompok metestrus dan diestrus. Panjang siklus berahi pada tikus yang dicekok purwoceng pada setiap periode yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan dengan tikus kelompok kontrol (P<0,05). Efek pemberian herbal lain seperti triptolide yang diisolasi dari tanaman Triptergium wilfordii pada tikus betina galur Sprague-Dawley dengan dosis 200 μg/kg dan 400 μg/kg menyebabkan meningkatnya kadar hormon gonadotropin (Folicle Stimulating Hormone dan Luteinizing Hormone), siklus estrus bertambah panjang, bobot uterus dan ovarium secara signifikan menjadi turun (Jing et al. 2011). Pemberian ekstrak metanol daun Aspilia africana pada tikus betina galur Wistar dengan berbagai dosis menyebabkan siklus estrus menjadi lebih pendek secara signifikan (Kayode et al. 2007). Periode proestrus dan estrus adalah periode siklus berahi yang terjadi saat terjadi fase folikular pada ovarium. Pada fase folikular ini terjadi perkembangan folikel de Graf di bawah pengaruh gonadotropin (FSH dan LH) yang akan siap diovulasikan. Perkembangan folikel ini melibatkan 2 sel yang berada didalamnya yaitu sel granulosa dan sel teka yang berkembang. Sel granulosa akan berkembang dibawah pengaruh Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan sel teka akan berkembang dibawah pengaruh Luteinizing Hormone (LH). Sel teka yang berkembang ini mensintesis androgen yaitu testosteron dari asetat dan kolesterol, sedangkan sel granulosa tidak mensintesis testosteron tetapi mendapatkan asupan testosteron dari sel teka yang pada akhirnya testosteron ini akan diaromatisasi oleh enzim aromatase yang ada pada sel granulosa menjadi estrogen. Berdasarkan hasil uji Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika, uji fitokimia akar purwoceng secara kualitatif adalah sebagai berikut: alkaloid (+++), tanin (+), flavonoid (+++),
triterfenoid (+), steroid (+), glikosida (+)
sedangkan saponin (-) dan fenolik (-). Purwoceng mengandung steroid dengan hasil positif lemah (+), alkaloid dan flavonoid dengan hasil positif kuat (+++). Alkaloid dan flavonoid termasuk kedalam golongan fitoestrogen yang kerjanya sangat mirip dengan
estrogen.
Beberapa senyawa fitoestrogen yang diketahui banyak terdapat dalam tanaman antara lain yaitu isoflavon, flavon, lignan, coumestans, tripterpene glycosides, acyclics, dan masih banyak lagi (Anonim 2004). Berdasarkan berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa
fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause, memperbaiki lipid/lemak dalam plasma, menghambat perkembangan arteriosklerosis serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor/kanker pada payudara dan endometrium (Hidayati 2003). Penelitian terdahulu menyatakan bahwa pemberian
purwoceng pada tikus putih
jantan galur Sprague Dawley dapat meningkatkan kadar LH dan kadar testosteron pada tikus jantan (Taufiqqurrachman 1999). Perpanjangan periode proestrus dan estrus yang terjadi pada tikus yang dicekok pada periode tersebut juga diduga adalah karena pada tikus betina juga terjadi peningkatan testosteron sehingga juga memicu peningkatan estrogen. Kemungkinan yang terjadi adalah bahan aktif pada purwoceng dapat menduduki reseptor yang sama dengan reseptor yang dimiliki oleh LH pada sel teka dan atau reseptor testosteron pada sel granulosa. Reseptor dari hormon estrogen terdapat di dalam sitoplasma sel dan tenunan tujuan dari organ uterus, hipofisa pars anterior, kelenjar ambing, dan tenunantenunan organ reproduksi lainnya pada hean jantan maupun betina.
Setelah mengalami
rangsangan akan terjadi proses translokasi ke dalam inti sel (Soewondo 1990).
Estrogen
mempunyai 2 jenis reseptor yaitu reseptor estrogen alfa (REα) dan reseptor estrogen beta (REβ). Reseptor α terdapat pada organ uterus, testis, hipofisis, ginjal, epididimis, dan adrenal sedangkan reseptor beta terdapat pada organ ovarium. Untuk organ uterus yang berperan adalah RE α sedangkan organ ovarium yang berperan REβ. Estrogen merupakan hormon steroid, yang sangat penting untuk sistem reproduksi betina dan akan berikatan dengan reseptor alfa dengan target organ pada sistem reproduksi (Barnes dan Kim 1998). Estrogen merupakan molekul kecil yang bersifat hidrofobik sehingga dapat berdifusi ke dalam sel dan pada sel target estrogen akan mengikat protein reseptor yang ada di dalam sitoplasma atau inti (Pineda 1989). Menurut Tsourounis (2004) fitoestrogen memiliki struktur kimia mirip 17β estradiol sehingga dapat berikatan dengan reseptor estrogen alfa. Sementara itu reseptor estrogen beta target organnya adalah pada ovarium, tulang, jantung,hati, otak, dan kandung kemih (Barnes dan Kim 1998). Di dalam uterus lebih banyak mengandung reseptor estrogen alfa daripada reseptor estrogen beta sehingga reseptor estrogen alfa lebih berperan pada saat berikatan dengan 17β estradiol. Periode metestrus dan diestrus adalah periode yang terjadi saat fase luteal pada ovarium. Fase luteal
merupakan
fase yang didominasi sekresi
progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum, sehingga pemberian purwoceng memberikan pengaruh pada fase ini.
tidak
Perubahan Panjang Siklus Berahi Setelah Pencekokan Dihentikan Pengamatan terhadap panjang periode siklus berahi tikus dilanjutkan sampai dengan 15 hari setelah sebelumnya dicekok purwoceng selama 10 hari
untuk melihat proses
perubahan siklus kembali ke siklus normal seperti sebelum dilakukan pencekokan. Tabel 2. Nilai rataan panjang siklus berahi dan periodenya setelah pencekokan purwoceng dihentikan Periode Hasil Pengamatan (Jam) Perlakuan Proestrus
Estrus
Metestrus
Diestrus
Panjang Siklus Berahi
Proestrus Dicekok 12 ± 0 16 ± 6,93 20 ± 3,46a 58 ± 6,93 106 ± 4,33a b Kontrol 12 ± 0 12 ± 3,10 68 ± 3,46 116 ± 1,64b 24 ± 0 Estrus Dicekok 12 ± 0 20 ± 3,46 18 ± 0 56 ± 3,46a 106 ± 1,93a b Kontrol 12 ± 0 16 ± 3,46 22 ± 6,93 120 ± 4,33b 70 ± 6,93 Metestrus Dicekok 12 ± 0 14 ± 3,46 26 ± 3,46 56 ± 6,93a 108 ± 3,46a b Kontrol 12 ± 0 12 ± 0 24 ± 0 118 ± 0,9b 70 ± 3,46 Diestrus Dicekok 12 ± 0 14 ± 3,46 22 ± 3,46 60 ± 0 108 ± 1,73a Kontrol 12 ± 0 12 ± 0 26 ± 3,46 66 ± 6 110 ± 0,87b Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0.05)
Tabel 2 adalah pengamatan terhadap panjang masing-masing periode siklus berahi pada tikus yang sudah tidak dilakukan pencekokan lagi setelah pencekokan selama 10 hari. Secara umum kelompok tikus yang yang dicekok purwoceng pada berbagai periode, panjang periode proestrus dan estrusnya sudah menunjukkan pemulihan waktu siklus berahinya segera setelah dihentikan pemberian purwoceng. Tikus yang sebelumnya dicekok purwoceng pada saat proestrus, periode metestrusnya masih lebih pendek dari periode metestrus pada tikus kontrol dan pada tikus yang sebelumnya dicekok
pada periode estrus dan metestrus, periode
diestrusnya juga masih lebih pendek dari tikus kontrol. Hal ini menyebabkan panjang siklus berahi masih berbeda antara tikus yang dicekok purwoceng dan tikus kontrol. Bobot Uterus dan Ovarium Bobot uterus dan ovarium tikus yang dicekok purwoceng pada periode yang berbeda dalam dua siklus berahi yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai rataan bobot uterus dan ovarium pada berbagai pencekokan siklus berahi (proestrus, estrus, metestrus dan diestrus) Bobot (g)
Periode Proestrus
Estrus
Metestrus
Diestrus
0,33 ± 0,04
0,33 ± 0,03b
0,32 ± 0,06
0,28 ±0,01
0,28 ±0,01
a
0,28 ±0,01
0,28 ± 0,01
0,28 ±0,01
Dicekok
0,10 ± 0,01
0,12 ± 0,01b
0,08 ± 0,01
0,10 ±0,02
Kontrol
0,09 ± 0,01
0,08 ± 0,01a
0,08 ± 0,01
0,09 ± 0,01
Uterus Dicekok Kontrol Ovarium
Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0.05)
Secara umum bobot uterus dan bobot ovarium tikus yang dicekok purwoceng pada periode proestrus, metestrus, dan diestrus dengan bobot pada tikus kontrol tidak menunjukkan perbedaan. Akan tetapi bobot uterus dan ovarium
pada tikus yang
dicekok pada periode estrus menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0,05) bila dibandingkan dengan bobot uterus dan ovarium pada tikus kontrol. Sesuai dengan fase estrus yang semakin panjang bila mendapatkan asupan purwoceng maka dugaan bahwa terjadinya peningkatan estrogen juga akan berdampak pada peningkatan bobot uterus dan ovarium. Estrogen
merupakan
hormon yang dapat menyebabkan terjadinya
akumulasi cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan dan aktivitas endometrium serta mempersiapkan kerja progesteron pada endometrium (Johnson dan Everitt
1984).
Namun demikian tidak ditemukan adanya perbedaan bobot uterus pada setiap periode pada tikus yang dicekok purwoceng walaupun estradiol dapat ditemukan pada konsentrasi yang tinggi saat periode estrus. Hasil penelitian Astuti (1999) membuktikan bahwa fitoestrogen dalam ransum tepung kedelai dan tepung tempe mempunyai efek uterotropik (meningkatkan bobot uterus) karena isoflavon dengan aktivitas estrogen menyebabkan produksi estrogen meningkat dan menstimulir penebalan endometrium sehingga uterus membesar dan bobotnya meningkat. Peningkatan kadar estrogen yang tinggi berdampak pada peningkatan bobot uterus dan ovarium. Selain itu tingginya alkaloid dan flavonoid menyebabkan makin panjangnya periode estrus. Purwoceng dengan kandungan alkaloid dan flavonoid yang cukup tinggi (3+) diharapkan dapat menjadi alternatif pengobatan dalam menanggulangi kasus-kasus reproduksi seperti dalam penelitian ini. Namun pemberiannya harus dilakukan pada saat yang tepat yaitu saat periode estrus. Periode estrus ini merupakan periode dengan
kadar estrogen yang paling tinggi dibandingkan periode lainnya. Tingginya estrogen ini ditambah dengan fitoestrogen yang ditambahkan dari luar seperti dari purwoceng akan memberikan efek yang signifikan. Pemberian purwoceng yang diduga mempunyai efek estrogenik dari kandungan flavonoidnya mampu meningkatkan bobot uterus secara signifikan ketika pemberian tersebut dilakukan pada periode estrus.
Flavonoid
mempunyai efek estrogenik yaitu dapat bekerja seperti estrogen dengan cara menduduki reseptor estrogen. Pada uterus, estrogen akan menduduki reseptor estrogen alfa (Barnes dan Kim 1998).
Uterus adalah organ reproduksi wanita yang akan
menjadi tempat berkembangnya embrio kemudian fetus. Penambahan bobot uterus memberikan makna bahwa kemungkinan terjadinya proliferasi sel-sel pada uterus. Rangsangan terjadinya proliferasi ini dapat terjadi bila ada peran estrogen yang terlibat di dalamnya. Estrogen diketahui dapat merangsang proliferasi sel (Guyton dan Hall 1997; Hafez 2000). Fungsi estrogen pada organ vagina juga dapat menyebabkan proliferasi dan kornifikasi epitel (Guyton dan Hall 1997). Pertumbuhan dan perkembangan uterus yang baik diharapkan dapat memberikan lingkungan yang lebih baik bagi embrio atau fetus untuk berkembang. Fetus yang memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang baik juga akan menghasilkan anak-anak yang dilahirkan berkualitas baik. Pada akhirnya anak-anak tersebut diharapkan akan memiliki daya tahan hidup yang lebih baik. Pemberian purwoceng dengan dosis yang tepat dan saat yang tepat diharapkan mempu menjadi alternatif untuk mendapatkan kinerja reproduksi yang lebih baik dengan cara berkesinambungan.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Pemberian purwoceng pada berbagai periode selama 2 siklus meningkatkan waktu periode proestrus dan estrus, yang secara signifikan terjadi pada perpanjangan waktu estrus bila diberikan pada saat periode estrus (P<0,05).
2. Pemberian purwoceng pada berbagai periode selama 2 siklus menurunkan waktu periode metestrus dan diestrus, kecuali periode metestrus pada tikus yang diberi purwoceng pada saat periode metestrus yang meningkat (P<0,05). 3. Pencekokan purwoceng saat periode estrus akan menghasilkan bobot uterus dan ovarium yang lebih tinggi dan berbeda sangat signifikan dibandingkan kontrol (P<0,05)
SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan analisis hormon estrogen dan atau testosteron pada tikus betina dara yang diberi purwoceng atau pengaruh purwoceng pada tikus bunting dan laktasi.
DAFTAR PUSTAKA Achadiat CM. 2004. Prospek phytoestrogen dalam pengobatan menopause http://www.kompas.com-cetak/0208/28/iptek/pros33.htm [12 Okt 2004]. Anonim. 2000. Farmakope Obat Indonesia. Edisi I. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Anonim. 2004. Phytoestrogen. http:www.herbalchem.net. [20 Okt 2004]. Anwar NS. 2001. Manfaat obat tradisional sebagai afrodisiak serta dampak positifnya untuk menjaga stamina. Makalah pada Seminar Setengah Hari “Menguak Manfaat Herbal bagi Vitalitas Seksual”. Jakarta. 13 Oktober 2001. hlm 8. Artha, AT. 2007. Mengenal daya guna tanaman obat purwoceng. http://www.koranmerapi.com. (Tanggal penelusuran 7 Juni 2007). Astuti S. 1999. Pengaruh tepung kedelai dan tempe dalam ransum terhadap fertilitas tikus percobaan (tesis). Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Baker DEJ, Lindsey JR, Weisbroth SH. 1980. The laboratory rat. Volume 11 Research Applications. Academic Press Inc. London Barnes S dan Kim H. 1998. Soy isofalvone, estrogens and growth factor signaling. The soy connection newslette vol 6. http://www.soyfoods.com/nutrition/isoflavone. html. [27 Okt 2004]. Caropeboka AM, Lubis I. 1975. Pemeriksaan pendahuluan kandungan kimia akar Pimpinella alpina (Purwoceng). Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Obat I. Bogor, 8 – 9 Desember 1975. Bogor: Bagian Farmakologi – Dept. Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan –IPB. Halaman 153 – 158. Caropeboka AM, Iskandar dan Paridjo P. 1979. Pengaruh ekstrak akar Pimpinella alpina KDS terhadap reproduksi hewan. Bogor: Dept. Fifarm. FKH – IPB. Bogor. Ganong WF. 1990. Publications.
Review of
medical
physiology.
Lange /
Medical
Guyton, Ac dan Hall JE. 1997. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed ke-9. Irawati Setiawan, editor. Jakarta: EGC. Frandson RD. 1986. Anatomy and physiology of farm animals. 4th Ed. Lea & Febiger. Philadelphia. Hafez ESE. 2000. Reproduction in farm animals. Ed ke-7 Philadelphia: Lippincott Wiliams & Wilkins.
Harborne JB. 1987. Metode fitokimia. Penuntun cara modern menganalisis Tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB. Harknes JE. Dan Wagner JE. 1989. The biology and medicine of rabbits and r ʳ Ed. Lea & Febiger. Philadelphia. Harper HA, Rodel VW, Mayes PA. 1979. Riview of Physiological Chemistr. Martin Muliawan, penerjemah, Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran. Hidayati. 2003. Peran isoflavon untuk kesehatan reproduksi wanita. Kedokteran 139.
Cermin dunia
Heyne K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Jilid III Cetakan ke-1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Jing L et al. 2011. Triptolide induces adverse effect on reproductive parameters female Sprague Dawley rats. Drug & Chemical Toxicology Vol. 34 Issue 1, p1-7 Johnson M, Everitt B. 1984. Essential reproduction. 2nd edition. London dan Beccles: William Clowes Limited. Johnston I. 2003. Phytochem Functional Foods. CRC Press Inc. Hal 66 – 68. Juniarto AZ. 2004. Perbedaan pengaruh pemberian ekstrak Eurycomalongifolia dan Pimpinella alpina pada spermatogenesis tikus Sprague Dawley (Tesis). Semarang: Universitas Dipenogoro, Program Studi Ilmu Biomedik. Kage DN, Malashetty VB, Seetharam YN, Suresh P, Patil SB. 2009. Effect of ethanol extract of whole plant of Trichosanthes cucumerina var. cucumerina L. on gonadotropins, ovarian follicular kinetics and estrous cycle for screening of antifertility activity in albino rats. Journal Morphology. 27 (1): 173-182. Kayode AO, Uche CO, Baxter GD, Tolulope OO. 2007. Toxic effects of methanolic extract of Aspilia africana leaf on the estrous cycle and uterine tissues of Wistar rats. International Journal of Morphology. 25 (3): 609-614 Kosin
AM. 1992. Efek androgenik dan anabolik ekstrak akar Pimpinella alpina Molk.(purwoceng) terhadap anak ayam Jantan (Skripsi) Bogor: Universitas Pakuan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Biologi.
Malole. MBM dan Pramono CS. 1989 Penggunaan hewan-hewan percobaan laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Direktorat Jendral Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mc Donald. 1980. Veterinery Endocrinology and Reproduction. Ed ke-3. Lea and Febiger. Philadelphia.
of
McLaclahan JA. 1975. Reproductive tract lesion in male mice exposed prenatally to dietilstilbestrol. Science dec 5 : 190 (4281) 991 -2. Nalbandov AV. 1990. Fisiologi reproduksi pada mamalia dan unggas. S Keman, penerjemah. Jakarta: UI Press. Okoko IE et al. 2008. Effects of methanolic extract of Abrus precatorius Linn. seeds on estrous cycle, ovulation and body weight of adult cyclic Sprague Dawley rats. Journal of Endocrinology. 4 (2): 1-1. Perry LM, Y. Metzger. 1980. Medical plants of east and southeast asia: Attributed Properties and Uses. The MIT Press.Cambridge, England. Pineda MH. 1989. Female reproductive system. Di dalam: Mc Donald, editor. Veterinery Endocrinology and Reproduction. Ed. Ke-4. Lea & Febiger. London. Hlm 303 – 354. Rahardjo M, Wahyuni S, Trisilawati O, Djauhariya E. 2005. Ciri agronomis, mutu, dan lingkungan tumbuh tanaman obat langka purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII – Bogor, 15 -16 September 2005. Rostiana O et al. 2003. Eksplorasi potensi purwoceng dan cabe jawa serta perbaikan potensi genetik menunjang industri obat tradisional afrodisiak. Laporan Teknis Penelitian Penguasaan Teknologi tanaman Rempah dan Obat. Tahun 2003/2004. Bogor:Balittro. Sidik, Sasongko, Kurnia E dan Ursula. 1985. Usaha isolasi turunan kumarin akar purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) asal dataran tinggi Dieng. Prosiding Penelitian Tanaman Obat I. Bogor. Sjamsuhidayat SS , Johnny RH. 1991. Inventaris tanaman obat I. Badan Litbangkes Departemen Kesehatan. Jakarta. Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1987. The Care, breeding and management of experimental animals for researsch in the tropics International Development Program of Australia Universities and College (IDP). Canberra. Soewondo D. 1990. Fisiologi kelenjar endokrin vol.1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Steel RGD, Torrie JH. 1989. Prinsip dan prosedur statistik. B. Sumantri, penerjemah. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Taufiqqurrachman. 1999. Pengaruh ekstrak Pimpinella alpina Molk. (purwoceng) dan akar Eurycoma longifolia Jack. (pasak bumi) terhadap peningkatan kadar testosteron, lh dan fsh serta perbedaan peningkatannya pada tikus jantan Sprague Dawley. Tesis. Pascasarjana Ilmu Biomedik Universitas Dipenogoro. Semarang. Halaman 119.
Taufiqqurrachman dan Wibowo. 2006. Effect of purwoceng (Pimpinella alpina) Extract in stimulating testosterone, luteinizing Hormone (LH) and follicle stimulating hormone (FSH) in Sprague Dawley male rats. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII : Bogor, 15 - 16 Sept 2006. Bogor: Balittro – POKJANAS. Direktorat Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. Hal 62 – 71. Toelihere MR. 1981. Fisiologi reproduksi pada ternak. Penerbit Angkasa. Bandung. Tsourounis C. 2004. Clinical effects of fitoestrogens. Clinical Obstetrict and Gynecology. 44 (4): 836-42. Yuhono JT. 2004. Usaha tani purwoceng (Pimpinella pruatjan Molkenb.), potensi, peluang, dan masalah pengembangannya. Bul. Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 15(1): 25- 32.
LAMPIRAN
Lampiran 2. Analisis Variansi Pencekokan Proestrus T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95). Pencekokan proestrus T-Test Notes Output Created
27-Jan-2011 09:40:48
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data File Missing Value Handling
Definition of Missing
12 User defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each analysis are based on the cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
Syntax
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
Resources
Processor Time
0:00:00.016
Elapsed Time
0:00:00.114
One-Sample Statistics N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Proestrus
12
15.0000
4.78634
1.38170
Estrus
12
16.5000
5.79184
1.67196
Metestrus
12
22.0000
2.95420
.85280
Diestrus
12
67.0000
7.16050
2.06706
One-Sample Test \T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus One-Sample Test Test Value = 0 95% Confidence Interval of the Difference t Proestrus
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Lower
Upper
10.856
11
.000
15.00000
11.9589
18.0411
9.869
11
.000
16.50000
12.8200
20.1800
25.797
11
.000
22.00000
20.1230
23.8770
Diestrus 32.413 /CRITERIA=CI(.95).
11
.000
67.00000
62.4504
71.5496
Estrus Metestrus
Notes Output Created
27-Jan-2011 09:56:40
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data File Missing Value Handling
Definition of Missing
12 User defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each analysis are based on the cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
Syntax
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus /CRITERIA=CI(.95).
Resources
T-Test
Processor Time
0:00:00.000
Elapsed Time
0:00:00.031
Test Value = 0 95% Confidence Interval of the Difference t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Lower
Upper
proestrus
16.583
11
.000
15.00000
13.0091
16.9909
estrus
11.663
11
.000
19.50000
15.8200
23.1800
metestrus
17.983
11
.000
21.00000
18.4298
23.5702
One-Sample Statistics N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
proestrus
12
15.0000
3.13340
.90453
estrus
12
19.5000
5.79184
1.67196
metestrus
12
21.0000
4.04520
1.16775
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
Lampiran 3. Analisis variansi pencekokkan estrus T-Test
Notes Output Created
27-Jan-2011 09:56:58
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data File Missing Value Handling
Definition of Missing
12 User defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each analysis are based on the cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
Syntax
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
Resources
Processor Time
0:00:00.000
Elapsed Time
0:00:00.025
[DataSet0]
One-Sample Statistics N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
proestrus
12
15.0000
3.13340
.90453
estrus
12
19.5000
5.79184
1.67196
metestrus
12
21.0000
4.04520
1.16775
diestrus
12
65.0000
7.60383
2.19504
One-Sample Test Test Value = 0 95% Confidence Interval of the Difference t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Lower
Upper
proestrus
16.583
11
.000
15.00000
13.0091
16.9909
estrus
11.663
11
.000
19.50000
15.8200
23.1800
metestrus
17.983
11
.000
21.00000
18.4298
23.5702
diestrus
29.612
11
.000
65.00000
60.1688
69.8312
Lampiran 4. Analisis variansi pencekokan metestrus T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
T-Test
Notes Output Created
27-Jan-2011 10:19:26
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data File Missing Value Handling
Definition of Missing
12 User defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each analysis are based on the cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
Syntax
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
Resources
[DataSet0]
Processor Time
0:00:00.015
Elapsed Time
0:00:00.018
One-Sample Statistics N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
proestrus
12
13.5000
2.71360
.78335
estrus
12
14.5000
3.08957
.89188
metestrus
12
26.0000
2.95420
.85280
diestrus
12
66.0000
5.11682
1.47710
One-Sample Test Test Value = 0 95% Confidence Interval of the Difference t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Lower
Upper
proestrus
17.234
11
.000
13.50000
11.7759
15.2241
estrus
16.258
11
.000
14.50000
12.5370
16.4630
metestrus
30.488
11
.000
26.00000
24.1230
27.8770
diestrus
44.682
11
.000
66.00000
62.7489
69.2511
Lampiran 5. Analisis variansi pencekokan diestrus T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95). T-Test Notes Output Created
27-Jan-2011 10:36:42
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data File Missing Value Handling
Definition of Missing
12 User defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each analysis are based on the cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
Syntax
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
Resources
Processor Time
0:00:00.031
Elapsed Time
0:00:00.044
One-Sample Statistics N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
proestrus
12
12.0000
.00000a
.00000
estrus
12
15.0000
3.13340
.90453
metestrus
12
26.5000
3.08957
.89188
diestrus
12
66.0000
5.11682
1.47710
a. t cannot be computed because the standard deviation is 0.
One-Sample Test Test Value = 0 95% Confidence Interval of the Difference t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Lower
Upper
estrus
16.583
11
.000
15.00000
13.0091
16.9909
metestrus
29.712
11
.000
26.50000
24.5370
28.4630
diestrus
44.682
11
.000
66.00000
62.7489
69.2511
Lampiran 6. Analisis variansi pencekokan dihentikan (PROESTRUS) T-TEST /TESTVAL=95 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95). T-Test Notes Output Created
27-Jan-2011 11:00:24
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data File Missing Value Handling
Definition of Missing
12 User defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each analysis are based on the cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
Syntax
T-TEST /TESTVAL=95 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
Resources
Processor Time
0:00:00.016
Elapsed Time
0:00:00.024
One-Sample Statistics N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
proestrus
6
12.0000
.00000a
.00000
estrus
6
14.0000
4.89898
2.00000
metestrus
6
22.0000
3.09839
1.26491
diestrus
6
63.0000
7.34847
3.00000
a. t cannot be computed because the standard deviation is 0.
One-Sample Test Test Value = 95 95% Confidence Interval of the Difference t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Lower
Upper
estrus
-40.500
5
.000
-81.00000
-86.1412
-75.8588
metestrus
-57.712
5
.000
-73.00000
-76.2516
-69.7484
diestrus
-10.667
5
.000
-32.00000
-39.7117
-24.2883
Lampiran 7. Analisis variansi pencekokan dihentikan (ESTRUS) T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95). T-Test
Notes Output Created
27-Jan-2011 11:12:22
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data File Missing Value Handling
Definition of Missing
6 User defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each analysis are based on the cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
Syntax
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
Resources
[DataSet0]
One-Sample Statistics
Processor Time
0:00:00.016
Elapsed Time
0:00:00.024
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
proestrus
6
12.0000
.00000a
.00000
estrus
6
18.0000
3.79473
1.54919
metestrus
6
20.0000
4.89898
2.00000
diestrus
6
63.0000
9.09945
3.71484
a. t cannot be computed because the standard deviation is 0.
One-Sample Test Test Value = 0 95% Confidence Interval of the Difference t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Lower
Upper
estrus
11.619
5
.000
18.00000
14.0177
21.9823
metestrus
10.000
5
.000
20.00000
14.8588
25.1412
diestrus
16.959
5
.000
63.00000
53.4507
72.5493
Lampiran 8. Analisis variansi pencekokan dihentikan (METESTRUS) T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95). T-Test Notes Output Created
27-Jan-2011 11:20:55
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data File Missing Value Handling
Definition of Missing
6 User defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each analysis are based on the cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
Syntax
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
Resources
Processor Time
0:00:00.016
Elapsed Time
0:00:00.101
One-Sample Statistics N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
proestrus
6
12.0000
.00000a
.00000
estrus
6
13.0000
2.44949
1.00000
metestrus
6
25.0000
2.44949
1.00000
diestrus
6
63.0000
9.09945
3.71484
a. t cannot be computed because the standard deviation is 0.
One-Sample Test Test Value = 0 95% Confidence Interval of the Difference t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Lower
Upper
estrus
13.000
5
.000
13.00000
10.4294
15.5706
metestrus
25.000
5
.000
25.00000
22.4294
27.5706
diestrus
16.959
5
.000
63.00000
53.4507
72.5493
Lampiran 9. Analisis variansi pencekokan dihentikan (DIESTRUS) T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95). T-Test
Notes Output Created
27-Jan-2011 11:29:13
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data File Missing Value Handling
Definition of Missing
6 User defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each analysis are based on the cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
Syntax
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
Resources
Processor Time
0:00:00.015
Elapsed Time
0:00:00.129
[DataSet0]
One-Sample Statistics N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
proestrus
6
12.0000
.00000a
.00000
estrus
6
13.0000
2.44949
1.00000
metestrus
6
24.0000
3.79473
1.54919
diestrus
6
63.0000
5.01996
2.04939
a. t cannot be computed because the standard deviation is 0.
One-Sample Test Test Value = 0 95% Confidence Interval of the Difference t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Lower
Upper
estrus
13.000
5
.000
13.00000
10.4294
15.5706
metestrus
15.492
5
.000
24.00000
20.0177
27.9823
diestrus
30.741
5
.000
63.00000
57.7319
68.2681
Lampiran 10. Analisis variansi ovarium T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=PROESTRUS ESTRUS METESTRUS DIESTRUS /CRITERIA=CI(.95).
Notes Output Created
28-Jan-2011 10:45:08
Comments Input
Active Dataset
DataSet0
Filter
<none>
Weight
<none>
Split File
<none>
N of Rows in Working Data File Missing Value Handling
Definition of Missing
6 User defined missing values are treated as missing.
Cases Used
Statistics for each analysis are based on the cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
Syntax
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=PROESTRUS ESTRUS METESTRUS DIESTRUS /CRITERIA=CI(.95).
Resources
Processor Time
0:00:00.000
Elapsed Time
0:00:00.039
[DataSet0]
One-Sample Statistics N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
PROESTRUS
6
.0983
.00753
.00307
ESTRUS
6
.1000
.01897
.00775
METESTRUS
6
.0800
.00632
.00258
DIESTRUS
5
.1000
.01581
.00707
One-Sample Test Test Value = 0 95% Confidence Interval of the Difference t
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Lower
Upper
PROESTRUS
31.997
5
.000
.09833
.0904
.1062
ESTRUS
12.910
5
.000
.10000
.0801
.1199
METESTRUS
30.984
5
.000
.08000
.0734
.0866
DIESTRUS
14.142
4
.000
.10000
.0804
.1196