EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) PADA INDUK TIKUS SELAMA 1-13 HARI KEBUNTINGAN TERHADAP SIKLUS ESTRUS ANAK BETINANYA
MUH ALWI AMNUR
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) pada induk tikus selama 1-13 hari kebuntingan terhadap siklus estrus anak betinanya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skirpsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Muh Alwi Amnur NIM B04090143
ABSTRAK MUH ALWI AMNUR. Efektivitas ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) pada induk tikus selama 1-13 hari kebuntingan terhadap siklus estrus anak betinanya. Dibimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan PUDJI ACHMADI. Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) selama 1-13 hari kebuntingan tikus bertujuan untuk melihat kinerja reproduksi anak betinanya. Delapan ekor tikus bunting yang memiliki 5-7 anak yang digunakan pada penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok; kelompok betina bunting sebagai kontrol dan kelompok betina bunting yang diberikan ekstrak etanol akar purwoceng dengan dosis 25 mg/300 gram BB. Setelah pemberian ekstrak etanol akar purwoceng, tikus bunting dipelihara sampai melahirkan. Anak-anak tikus betina yang dilahirkan diamati pembukaan vagina dan siklus estrusnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa purwoceng dapat mempercepat pembukaan vagina dibandingkan kelompok kontrol, tetapi purwoceng tidak memberikan efek pada panjang siklus estrus. Kata kunci: pembukaan vagina, purwoceng, siklus estrus
ABSTRACT MUH ALWI AMNUR. Effectiveness administration ethanolic extract purwoceng roots (Pimpinella alpina KDS) on parent during 1-13 day of gestation to female pups’s estrous cycle. Supervised by ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and PUDJI ACHMADI. The administration of ethanolic extract purwoceng roots (Pimpinella alpina KDS) during 1-13 days of gestation on rats was purposed to examine the reproduction performance of female pups. Eight pregnant rats with 5-7 pups were used in this study and divided in to two groups; The groups were control and the pregnant rats which were given ethanolic extract purwoceng roots with the dose of 25 mg/300 gram body weight. After given ethanolic extract purwoceng roots, pregnant rats were kept until giving birth. Their female pups were observed for vaginal opening and estrous cycles. The result showed that the vaginal opening of the purwoceng pup’s was earlier as compare to control group. Meanwhile, purwoceng did not affect the length of estrous cycles. Keywords: vaginal opening, purwoceng, estrous cycles
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) PADA INDUK TIKUS SELAMA 1-13 HARI KEBUNTINGAN TERHADAP SIKLUS ESTRUS ANAK BETINANYA
MUH ALWI AMNUR
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini berjudul Efektivitas ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) pada induk tikus selama 1-13 hari kebuntingan terhadap siklus estrus anak betinanya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr Drh Aryani Sismin Satyaningtijas MSc dan Bapak Drs Pudji Achmadi MSi atas bimbingan, arahan, motivasi, waktu, pemikiran, pengertian, kesabaran dan dorongan yang luar biasa kepada penulis selama proses penelitian dan penyusunan tugas akhir ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Drh Hj Upik Kesumawati Hadi MS atas kasih sayang, doa, motivasi dan perhatian kepada penulis. Selain itu, penulis juga manyampaikan ucapan terima kasih kepada staf Laboratorium Fisiologi FKH IPB yaitu Ibu Sri, Ibu Ida, dan Bapak Edi atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada ayahanda Muh Amin, ibunda Nurlia, adinda Nur Ainung Amnur dan seluruh keluarga atas doa dan dukungan baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah ini dengan baik. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh jajaran pengurus Pondok Pesantren Modern Tarbiyah Takalar terutama ustadz Priyadi Akhyar, S.pd.I, MM dan Kementrian Agama atas bantuan materi sehingga penulis dapat berkuliah dan menyelesaikannya serta pada teman se-asrama Latimojong yang membuat penyusunan tugas akhir ini lebih seru, teman-teman IKAMI SUL-SEL terkhusus angkatan 46, teman-teman CSS MORA 46, teman-teman geochelone 46 atas motivasi dan dukungannya. Teman satu bimbingan Dirwan Rahman dan Muhammad Zhaahir atas bantuan, kerja sama dan dukungan selama penelitian dan penyusunan tugas akhir ini. Terakhir penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh Civitas Akademik Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis masih berharap karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, September 2015 Muh Alwi Amnur
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Hipotesis
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Purwoceng (Pimpinella alpina KDS)
2
Tikus sebagai hewan uji (Rattus norvegicus)
3
Siklus Reproduksi
4
METODOLOGI
4
Waktu dan Tempat
4
Alat dan Bahan
4
Metode Penelitian
5
Prosedur Analisis Data
8
HASIL DAN PEMBAHASAN SIMPULAN DAN SARAN
8 12
Simpulan
12
Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
13
RIWAYAT HIDUP
16
LAMPIRAN
17
DAFTAR TABEL 1 Perbandingan waktu pembukaan vagina anak tikus kontrol dan tikus yang mendapatkan purwoceng berdasarkan bobot badan 2 Rataan panjang siklus estrus selama tiga periode pada tikus kelompok kontrol dan kelompok purwoceng.
9 10
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Tanaman purwoceng Rattus norvegicus galur Sprague Dawley Perbedaan jarak anogenital pada tikus betina dan tikus jantan Bagan penelitian Sitologi vagina pada tiap tahap siklus estrus. Tiga tipe sel yang teridentifikasi: leukosit (lingkaran), sel kornifikasi (segitiga hitam), sel epitel berinti (segitiga putih). Tahapan siklus estrus meliputi proestrus (A), estrus (B), metestrus (C), dan diestrus (D). 6 Populasi sel epitel vagina Rattus norvegicus selama satu siklus estrus.
2 3 6 7
8 11
DAFTAR LAMPIRAN 1 Data analisis pembukaan vagina 2 Data analisis Siklus Etrus
17 19
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Sejak zaman dahulu, bangsa kita dalam melakukan pengobatan terhadap penyakit sering menggunakan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitarnya. Penggunaan bahan tumbuhan obat ini sangat sederhana, setelah dipetik langsung digunakan, atau diproses dengan menggiling dan diseduh dengan air panas.”Obat” dari bahan tumbuhan bisa dalam bentuk tunggal maupun ramuan dan digunakan turun temurun. Seiring dengan perkembangan zaman sebagian masyarakat justru menerapkan gaya hidup “back to nature”, sehingga obat tradisional menjadi salah satu alternatif yang bisa digunakan untuk mempertahankan kesehatan atau mengobati penyakit. Namun sebagian besar obat tradisional belum diketahui mekanisme kerjanya, sehingga para klinisi belum bisa menggunakan obat tradisional sebagai pengganti obat modern. Salah satu bahan obat tradisional yang sering digunakan oleh masyarakat di Indonesia adalah tanaman purwoceng. Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) adalah tumbuhan obat asli (endemik) Indonesia yang mempunyai efek androgenik dan anabolik sehingga masyarakat menggunakan sebagai obat afrodisiaka atau zat yang dapat menimbulkan dorongan seksual (Heyne 1987). Tanaman purwoceng terutama bagian akar digunakan dalam ramuan obat tradisional yang dapat berfungsi seperti ginseng dari Korea atau pasak bumi dari Kalimantan. Peluang pemanfaatan purwoceng sebagai obat afrodisiaka sangat besar, sehingga purwoceng mempunyai potensi yang dapat disetarakan dengan obat kuat sintetis lainnya maupun obat kuat dari bahan alam seperti pasak bumi, ginseng ataupun sanrego. Menurut Hernani dan Yuliani (1991), tumbuhan yang mempunyai khasiat sebagai afrodisiak umumnya mengandung senyawa-senyawa turunan saponin, alkaloid, steroid dan senyawa-senyawa lain yang berkhasiat sebagai penguat tubuh dan memperlancar peredaran darah. Suzery et al. (2004) melakukan isolasi senyawa aktif dari tanaman purwoceng dan menemukan adanya stigmasterol yaitu senyawa golongan steroida saponin yang mempunyai gugus OH terikat pada atom karbon ke-3 dari inti siklopentanoperhidrofenantren. Molekul dengan inti siklopentanoperhidrofenantren dimiliki oleh hormon-hormon steroid yang banyak berperan dalam proses reproduksi dan biasa digunakan sebagai bahan dasar industri pada produk hormon seks dan aktivitas anabolik. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati pengaruh ekstrak akar purwoceng yang diberikan pada induk tikus bunting terhadap kinerja reproduksi anak tikus putih betina (Rattus norvegicus) yang dilahirkannya. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengamati efektivitas ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) yang diberikan pada induk tikus bunting terhadap kinerja reproduksi anak betinanya mulai dari waktu awal pembukaan vagina dan perubahan siklus estrusnya.
2 Hipotesis Ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) yang diberikan pada induk bunting secara oral setiap hari selama 1-13 hari masa kebuntingan dapat mempercepat waktu awal pembukaan vagina dan mempersingkat periode siklus estrus dan memperpanjang fase estrus anak tikus putih betina (Rattus norvegicus) yang dikandungnya. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi tentang khasiat purwoceng terhadap kinerja reproduksi anak tikus betina .
TINJAUAN PUSTAKA Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) merupakan tanaman obat karena hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan. Bagian akar dari tanaman ini mempunyai sifat diuretika dan digunakan sebagai afrosidiak (Heyne 1987), yaitu khasiat suatu obat yang dapat meningkatkan atau menambah stamina. Pada umumnya tumbuhan atau tanaman yang berkhasiat sebagai afrosidiak mengandung senyawa-senyawa turunan saponin, alkaloid, tanin, dan senyawasenyawa lain yang berkhasiat sebagai penguat tubuh serta memperlancar peredaran darah, menimbulkan efek stimulan baik secara hormonal dan non hormonal sehingga dapat meningkatkan stamina tubuh. Di Indonesia tumbuhan atau tanaman obat yang digunakan sebagai afrosidiak lebih banyak hanya berdasarkan kepercayaan dan pengalaman (Hernani dan Yuliani 1991).
Gambar 1 Tanaman purwoceng (Rostiana et al. 2003) Tumbuhan afrodisiak pada umumnya menunjukkan efek peningkatan sirkulasi darah pada genitalia pria dan meningkatkan aktivitas hormon
3
androgenik. Hal ini dapat akan memperbaiki aktivitas jaringan tubuh sehingga secara tidak langsung akan memperbaiki fungsi organ. Balitro (2011) melaporkan hasil uji fitokimia pada purwoceng yang dipakai dalam penelitian ini didapatkan zat-zat antara lain alkaloid, tanin, flavonoid, triterfenoid, steroid dan glikosida. Flavonoid yang dikandung oleh purwoceng merupakan suatu senyawa yang bersifat estrogenik (Ulya 2008), yang mampu berfungsi seperti estrogen dalam tubuh yang akan meningkatkan efek estrogen. Dalam hal ini berarti purwoceng memiliki 2 bahan aktif yang berpengaruh seperti estrogen di dalam tubuh yakni flavonoid dan steroid. Flavonoid yang bersifat estrogenik dapat menduduki reseptor estrogen yang berada di dalam tubuh dan menimbulkan efek seperti estrogen. Sedangkan steroid merupakan prekursor hormon testosteron, yang kemudian diubah menjadi estrogen. Jika dibandingkan ke duanya, flavonoid lebih berpengaruh lebih besar dibandingkan steroid karena dalam hasil pengujiannya menunjukan positif kuat, sedangkan steroid positif lemah. Flavonoid termasuk dalam golongan fitoestrogen, yang merupakan suatu substrat dari tanaman yang memiliki aktivitas biologi yang sama dengan estrogen endogen (Glover dan Assinder 2006). Tikus sebagai hewan uji (Rattus norvegicus) Rattus norvegicus (tikus putih) merupakan contoh hewan uji yang umum digunakan dalam penelitian biologi dan biomedis. Rattus norvegicus juga mudah beradaptasi dan mudah dipelihara (Hem 2005). Tikus ini memiliki masa kebuntingan yang pendek dan kemampuan reproduksi yang baik (Hedrich 2006). Selain itu, tikus ini memiliki siklus estrus yang pendek (4-5 hari), sehingga memudahkan pemantauan masa subur (Sharp dan La Regina 1998; Lohmiller dan Swing 2006). Betina pada umumnya memiliki ekor yang lebih panjang dibandingkan pejantan. Bukaan vagina terletak sekitar 7 mm dari bagian ventral anus (Hedrich 2000; Hofstetter et al. 2006). Organ reproduksi pada tikus terdiri atas vagina, uterus, kelenjar susu, dan ovari (Grant 2011).
Gambar 2 Rattus norvegicus galur Sprague Dawley [koleksi pribadi] Tikus yang digunakan dalam penelitian ialah Rattus norvegicus galur Sprague-Dawley (Gambar 2). Kelebihan Rattus norvegicus dibandingkan Mus musculus terletak pada ukuran tubuhnya yang lebih besar, sehingga memudahkan pengambilan sampel berulang (Hedrich 2006). Galur Sprague Dawley umumnya bertemperamen baik dan memiliki laju pertumbuhan dan masa reproduksi yang relatif cepat (Baker et al. 1980). Rattus norvegicus galur Sprague Dawley telah
4 banyak dimanfaatkan dalam analisis berbagai penyakit, seperti penyakit kardiovaskular, penyakit autoimun, diabetes melitus, epilepsi, kanker, dan penyakit ginjal (Hedrich 2000). Siklus Reproduksi Tikus adalah hewan politokus/ multipara yaitu hewan yang dapat beranak banyak dalam 1 kali kelahiran. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), dalam 1 kali melahirkan tikus dapat menghasilkan 6-12 ekor anak. Dewasa kelamin yaitu masa saat tikus memasuki masa birahi yang pertama kali dan siap melaksanakan proses reproduksi. Fase ini dicapai pada saat tikus berumur 50-60 hari, vagina mulai terbuka pada umur 35 dan 90 hari dan testes turun atau keluar pada umur 20-50 hari (Malole dan Pramono 1989). Bobot badan tikus betina dewasa sekitar 250-300 g dan bobot badan tikus jantan dewasa 450-520 g, mulai dikawinkan umur 65-110 hari untuk jantan dan betina. Tikus yang baru lahir memiliki bobot lahir antara 5-6 g (Harkness dan Wagner 1989). Siklus estrus adalah selang waktu atau jarak antara estrus yang satu dan estrus berikutnya yang berlangsung 4-5 hari. Pada tikus siklus estrus terbagi menjadi empat periode, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Fase proestrus kurang lebih 12 jam, fase estrus berlangsung kurang lebih selama 12 jam, fase metestrus lamanya 21 jam, dan fase diestrus lamanya 57 jam (Baker et al. 1980). Fase-fase siklus ini dapat diamati pada gambaran jenis sel epitel vagina yang berubah di tiap stadiumnya dengan membuat preparat ulas vagina. Perubahan stadium ini dapat terjadi apabila tikus betina telah berumur 34 dan 109 hari (Kohn dan Barthold 1984).
METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Mei 2015 di Unit Pengelolan Hewan Laboratorium (UPHL) dan Laboratorium Fisiologi Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB-Darmaga). Ekstraksi purwoceng dilakukan di laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus berupa kotak plastic dengan ukuran 30 cm x 20 cm x 20 cm, kawat kasa, jaring-jaring kawat sebagai penutup, botol minum tikus. Spoit, scalpel, pinset, gunting, objek gelas, sonde lambung, mikroskop cahaya binokuler, timbangan analitik digital, pipet, cotton swab, tissue, kapas, kain saring, kertas nama, Erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, oven, wadah porselen, termometer. Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu pakan tikus, sekam, ekstrak purwoceng, eter, NaCl fisiologis 0.9%, etanol 70%, dan akuades. Hewan yang digunakan dalam
5
penelitian ini adalah 8 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) betina bunting dari galur Sprague Dawley. Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng Akar tanaman purwoceng dikeringkan terlebih dahulu dibawah panas sinar matahari dengan suhu kurang dari 50 ºC. Akar yang telah kering selanjutnya dipotong-potong sampai berukuran kecil-kecil kemudian menggunakan blender untuk dihaluskan sehingga menjadi serbuk. Serbuk yang dihasilkan sebanyak 350 g kemudian direndam dalam 3.5 L etanol 70% zat pelarut selama 24 jam dan setiap dua jam sekali diaduk agar homogen, kemudian disaring dengan menggunakan kain saring untuk mendapatkan filtratnya. Hasil filtrat disimpan kedalam Erlenmeyer, sedangkan ampas direndam kembali dalam 3.5 L etanol 70% selama 24 jam dan setiap dua jam diaduk agar homogen. Setelah itu, larutan disaring dan filtratnya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama dalam Erlenmeyer ukuran 5 L. Filtrat tersebut kemudian diuapkan dengan menggunakan rotary evaporator (rotavapor) Buchi pada suhu 48 ºC dengan kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm untuk menguapkan pelarut etanol 70% dan selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pengering lebih kurang pada suhu 45 °C selama 48 jam untuk menguapkan kadar airnya. Hasil dari pengeringan dalam oven adalah ekstrak murninya. Ekstrak kental disimpan dibotol kaca steril dan diencerkan kembali dengan akuades jika ingin digunakan pada hewan coba sesuai dosis perlakuan. Tahap Persiapan Hewan Tahap persiapan terdiri dari adaptasi dan perkawinan. Adaptasi adalah tahap penyesuaian hewan coba sebelum masuk tahap perkawinan. Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) dari galur Sprague Dawley yang bebas kecacingan. Tahap ini berlangsung selama 21 hari dan tiap minggu dilakukan observasi terhadap adanya telur cacing secara natif. Metode natif dilakukan dengan cara meneteskan NaCl fisiologis 0.9% ke atas gelas objek kemudian ditambah dengan feses tikus yang akan diperiksa. Jika hasil pemeriksaan positif adanya telur cacing maka tikus diganti dengan tikus baru yang negatif infeksi cacing. Tahap selanjutnya perkawinan yang merupakan tahap untuk mencari betina bunting maka tikus dipelihara dalam kandang yang berbentuk kotak dan terbuat dari plastik dengan tinggi yang memungkinkan tikus untuk berdiri sehingga tikus tidak stres dan leluasa bergerak sesuai dengan kebiasaan alaminya. Kandang tersebut dilengkapi dengan jaring kawat sebagai penutup bagian atas dan lantai diberi sekam sebagai alas, serta botol air minum yang dijepitkan pada jaring kawat. Tikus-tikus tersebut diberikan pakan pelet sehari dua kali yaitu pagi dan sore hari sebanyak 10 gram dan air minum ad libitum. Penggantian sekam dan pencucian kandang dilakukan 2 kali dalam seminggu. Tikus dikawinkan secara alamiah dalam satu kandang yang berisi satu tikus jantan dan satu tikus betina yang sudah diberi tanda pada ekornya agar memudahkan dalam pengambilan sampel ulas vagina untuk deteksi perkawinan.
6 Deteksi perkawinan dilakukan dengan cara melihat ada tidaknya spermatozoa yang mengelilingi sel kornifikasi pada preparat ulas vagina dengan menggunakan mikroskop. Keberadaan spermatozoa yang mengelilingi sel kornifikasi merupakan tanda tikus betina telah dikawini dan pada hari itu biasanya tikus menjadi bunting (Baker et al. 1979). Jumlah tikus yang dibuat menjadi bunting adalah 20 ekor tikus betina.Tikus yang bunting harus dipisahkan dari tikus jantan dan ditempatkan pada satu kandang dan selanjutnya masuk ke tahap pembagian kelompok. Dua puluh ekor tikus bunting tersebut dibagi dalam 2 kelompok yaitu 10 ekor tikus kontrol yang hanya diberikan air dan 10 ekor tikus perlakuan yang diberikan purwoceng. Tahap Perlakuan Hewan Tahap perlakuan adalah tahapan saat tikus-tikus betina bunting masingmasing diberi perlakuan berupa pencekokan air terhadap 10 ekor tikus dan pencekokan purwoceng dengan dosis 0.25 mg/ 300 mg. Pencekokan dilakukan mulai saat kebuntingan hari 1 sampai hari 13. Selanjutnya tikus-tikus tersebut dipelihara hingga melahirkan. Anak-anak tikus betina diambil dari 8 ekor induk tikus yang memiliki anak berkisar 5-7 ekor dan bobot badan 6.47 g, empat ekor induk untuk kelompok kontrol dan 4 ekor induk untuk kelompok purwoceng. Anak-anak tikus betina yang dilahirkan dipelihara dan diamati setiap hari untuk melihat waktu pembukaan vagina (vaginal opening). Sembilan anak tikus betina diambil dari induk kelompok kontrol dan 9 ekor anak tikus betina diambil dari induk kelompok purwoceng. Cara membedakan jenis kelaminnya adalah dengan melihat jarak antara celah anogenital (Gambar 3). Pada tikus betina jarak antara anus dengan vagina lebih dekat. Selanjutnya tikus-tikus tersebut masuk ke tahap pengamatan.
Urethral opening
vulva
♂
♀
prepuce
Scrotal sac anus
Gambar 3 Perbedaan jarak anogenital pada tikus betina dan tikus jantan (Hrapkiewicz dan Medina 1998)
7
Tahap Pengamatan pembukaan vagina dan siklus estrus Tahap pengamatan pembukaan vagina dimulai dari hari pertama lahir. Pengamatan siklus estrus dari anak tikus betina yang dilahirkan tersebut dilakukan setelah anak tikus mengalami pembukaan vagina. Pengamatan siklus estrus dilakukan dengan metode ulas vagina. Bila pada tikus sudah dapat dilakukan ulasan vagina maka pada hari tersebut sudah terjadi pembukaan vagina. Ulas vagina dilakukan setiap hari selama 15 hari untuk melihat durasi waktu siklus estrus Pengulasan dilakukan setiap 12 jam namun setelah memasuki fase metestrus pengulasan dilakukan tiap 24 jam. Pengulasan dilakukan selama 15 hari atau tiga kali periode siklus estrus. Bobot badan juga diukur selama pengamatan. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. pengamatan & perlakuan pemeliharaan penimbangan BB
Persiapan
21 hari adaptasi
60 hari
13 hari
8 hari
perkawinan pencekokan purwoceng
15 hari Siklus Estrus
Lahir Pembukaan Vagina Gambar 4 Bagan penelitian Penentuan fase siklus berahi tikus dilakukan dengan pengambilan sampel ulas vagina, dan penentuan fase siklus didasarkan pada jenis-jenis sel yang terdapat pada preparat ulas vagina (Baker et al. 1979). Pada fase proestrus, sel epitel vagina didominasi sel epitel berinti. Pada fase estrus, sel epitel vagina didominasi sel epitel menanduk tidak berinti dan sel yang menumpuk (sel pavement). Pada fase metestrus, sel epitel vagina didominasi sel epitel menanduk dan leukosit. Pada fase diestrus, sel epitel vagina didominasi leukosit dan sel epitel berinti sudah mulai muncul (Maeda et al. 2000). Pembuatan preparat ulas vagina dilakukan dengan mengusap kapas (cotton bud) yang telah dibasahi dengan NaCl fisiologis 0,9% ke dalam vagina tikus betina yang kemudian diulaskan pada gelas objek. Populasi sel epitel vagina Rattus norvegicus selama satu siklus estrus dapat dilihat pada Gambar 5.
8
Gambar 5 Sitologi vagina pada tiap tahap siklus estrus. Tiga tipe sel yang teridentifikasi: leukosit (lingkaran), sel kornifikasi (segitiga hitam), sel epitel berinti (segitiga putih). Tahapan siklus estrus meliputi proestrus (A), estrus (B), metestrus (C), dan diestrus (D). [Byers et al. 2012]
Prosedur Analisis Data Hasil parameter yang diukur dinyatakan dengan rataan dan simpangan baku. Perbedaan antar kelompok perlakuan di uji secara statistika dengan analisa sidik ragam (ANOVA) dengan pola rancangan acak lengkap (Steel dan Torrie 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot badan anak tikus betina kontrol pada usia 45 hari adalah 52.90 g. Pada hari yang sama bobot badan anak tikus betina yang diberi purwoceng adalah 73.35 g dan pada hari itu terjadi pembukaan vagina (PV). Sedangkan pada usia 56 hari, bobot badan anak tikus betina kontrol adalah 82.40 g dan pada hari itu terjadi PV. Pada hari yang sama bobot badan anak tikus betina yang diberi purwoceng adalah 90.50 g.
9
Tabel 1 Perbandingan waktu pembukaan vagina anak tikus kontrol dan tikus yang mendapatkan purwoceng berdasarkan bobot badan Persentase PV Bobot badan (g) PV Umur (hari) Kontrol Purwoceng Kontrol Purwoceng Kontrol Purposing a 0% 66% 45 52.90±10.43 73.35±8.50b + a b 77% 100% 56 + + 82.40±7.58 90.50±13.58 Keterangan : - Superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) berdasarkan uji SAS - (+) waktu pembukaan vagina, PV : pembukaan vagina - n kontrol = 9, n purwoceng = 9
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan bobot badan berkorelasi positif dengan pematangan organ reproduksi. Anak tikus betina turunan induk kelompok purwoceng memiliki waktu PV yang lebih cepat dan bobot badan yang lebih berat dibandingkan dengan anak tikus betina turunan kelompok kontrol. Waktu PV yang lebih cepat tersebut diduga kuat disebabkan oleh pemberian ekstrak akar purwoceng selama 1-13 hari kebuntingan. Ekstrak akar purwoceng memiliki sifat estrogenik yang mempercepat pertumbuhan dan kesiapan pembentukan organ reproduksi anak tikus betina yang akan menjalankan fungsinya sebagai induk (Glover dan Assinder 2006). Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan (Frisch 1984) yang melaporkan bahwa kenaikan bobot badan memainkan peranan penting dalam regulasi pubertas. Kehadiran agen estrogenik pada tahap awal perkembangan anak dapat memacu berbagai reaksi dalam tubuh salah satunya merangsang percepatan pertumbuhan organ reproduksi. Manifestasi yang ditimbulkan dari hal ini adalah kemungkinan terjadinya perubahan onset pubertas (usia datangnya pubertas). Purwoceng dalam penelitian ini diberikan dalam 13 hari yaitu saat masa praplasentasi, menurut Widyastuti et al. (2006) pada masa tersebut adalah masa pembentukan organ yaitu pada hari ke 7 sampai dengan hari ke 17, sehingga ekstrak etanol akar purwoceng yang diberikan membantu organogenesis terkait dengan fungsi estrogen dalam meningkatkan proliferasi sel. Bobot badan induk akan dipengaruhi oleh bobot badan anak (fetus) dan lingkungan uterusnya. Pada awal kebuntingan estrogen berperan dalam penebalan dinding endometrium atau fase proliferasi uterus. Penambahan ekstrak etanol akar purwoceng yang diduga mempunyai efek estrogenik yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan uterus secara langsung dan secara tidak langsung akan mempengaruhi bobot badan induk. Pengaruh estrogenik dapat timbul karena adanya reseptor estrogen yang dapat berpasangan dengan flavonoid. Flavonoid termasuk dalam golongan fitoestrogen yang merupakan suatu substrat dari tanaman yang memiliki aktivitas biologi yang sama dengan estrogen endogen (Glover dan Assinder 2006). Pemberian ekstrak etanol akar purwoceng pada induk tikus selama 1-13 kebuntingan tidak mempengaruhi total panjang siklus estrus tikus anak betina turunannya dan panjang setiap fasenya.
10 Tabel 2 Rataan panjang siklus estrus selama tiga periode pada tikus kelompok kontrol dan kelompok purwoceng. Periode waktu (jam) Perlakuan Kontrol Purwoceng
Proestrus 15.11±4.07 16.00±2.31
Estrus
Metestrus
17.78±5.05 19.55±2.04 16.89±2.04 16.44±3.36
Diestrus 67.56±7.34 70.67±5.81
Total Panjang Siklus Estrus (jam) 120±0.00 120±0.00
Tikus bunting yang diberi purwoceng mengalami peningkatan berat ovarium dan uterus. Purwoceng juga menyebabkan titik implantasi tikus hampir mendekati jumlah korpus luteum yang sudah terbentuk dan ini menunjukkan keberhasilan implantasi yang lebih baik (Satyaningtijas et al. 2014). Achmadi (2011) menambahkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan uterus tikus yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng lebih berat sehingga dapat memberikan lingkungan yang lebih baik bagi embrio atau fetus untuk berkembang. Fetus yang memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang baik juga akan menghasilkan anak-anak yang dilahirkan berkualitas baik. Setelah kelahiran, banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan anak tikus. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap siklus estrus adalah fisiologis, fungsi hipotalamus, dan hipofisis dalam kaitannya dengan proses reproduksi. Proses pubertas termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi siklus estrus serta proses pembentukan sel kelamin (gametogenesis). Siklus estrus sangat dipengaruhi oleh hormon estrogen dan progesteron yang dihasilkan ovarium serta hormon FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing Hormone) yang dihasilkan oleh hipofisis anterior (Taw 2008). Purwoceng adalah tanaman yang mengandung senyawa fitoestrogen dan dapat memberikan efek pada kinerja reproduksi tikus jantan dan betina. Pemberian ekstrak akar purwoceng secara langsung berpengaruh terhadap peningkatan vitalitas dengan indikator peningkatan kadar testosteron dan Luteinizing Hormone (LH) pada tikus jantan (Nasihun 2009). Menurut Achmadi (2011) melaporkan bahwa tikus betina dara yang diberi ekstrak akar purwoceng pada periode dua siklus estrus dapat mempengaruhi perpanjangan siklus estrus tikus tersebut dan peningkatan bobot uterus dan ovarium yang lebih berat. Pemberian purwoceng secara tidak langsung seperti pemberian melalui induk tikus bunting pada hari ke 1 sampai dengan 13 kebuntingan juga dapat mempengaruhi panjang tulang anak tikus jantan dan betina keturunannya (Zhaahir 2014; Rahman 2015). Pada tikus betina pembukaan vagina dan ovulasi terjadi saat ovariumpituitari-hipotalamus axis mencapai kematangan (Halasz et al. 1988). Pada tikus betina normal dalam hal ini yang tidak mendapat perlakuan apapun selama nutrisinya baik, siklus estrus dan ovulasi terjadi pada saat yang sama ketika terjadi pembukaan vagina (Glass dan Swedloff 1980; Engelbregt et al. 2002). Hal ini menjelaskan bahwa pembukaan vagina adalah awal pubertas. Setelah terjadi pembukaan vagina maka siklus estrus dapat diamati. Pengamatan terhadap fase dalam siklus etrus dilakukan dengan mengambil usapan pada vagina. Siklus reproduksi pada tikus betina berkisar 4-5 hari dan terdiri dari 4 fase yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
11
Berikut adalah gambar hasil ulasan vagina yang dilakukan pada penelitian ini (Gambar 6).
Gambar 6 Populasi sel epitel vagina Rattus norvegicus selama satu siklus estrus. Keterangan: A. Proestrus (sel epitel berinti), B. Estrus (sel epitel menanduk dan sel pavement), C. Metestrus (sel epitel menanduk dan leukosit) , D. Diestrus (leukosit) [Sumber: koleksi pribadi]. Fase proestrus, adalah fase yang ditandai dengan adanya sel-sel epitel berinti berbentuk bulat, leukosit tidak ada atau sangat sedikit. Lamanya fase ini kurang lebih 12 jam (Baker et al. 1980). Pada fase ini diawali dengan pertumbuhan folikel dan secara bertahap menskresikan estrogen sesuai dengan perkembangan populasi folikel (Nuryadi 2007). Secara fisik tahap ini ditandai dengan labia vagina yang bengkak, lembab dan berwarna merah muda. Pembukaannya lebar dan sering terdapat kerutan pada bagian dorsal dan tepi ventral (Byers et al. 2012). Fase estrus adalah fase yang ditandai dengan adanya sel-sel epitel kornifikasi/ sel-sel yang mengalami penandukan, beberapa sel epitel dengan inti yang berdegenerasi karena adanya estrogen yang semakin tinggi dan terlihat banyak sel-sel pavement/ sel-sel yang menumpuk (Nalbandov 1990). Fase ini berlangsung kurang lebih selama 12 jam (Baker et al. 1980). Fase estrus adalah keadaan fisiologis hewan betina yang siap menerima perkawinan dengan jantan. Peningkatan estrogen akan menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku (birahi) dan kontrol umpan balik positif terhadap hipotalamus dan hipofise yang berdampak menstimulasi Luteinizing Hormone sehingga terjadi ovulasi. Kebuntingan sangat mungkin terjadi apabila seekor tikus betina dikawini oleh seekor tikus jantan pada kondisi tersebut (Malole dan Pramono 1989). Ketika memasuki tahap estrus pembukaan vagina menjadi lebih merah muda, lebih lembab, dan lebih bengkak dari keadaan sebelumnya (Byers et al. 2012). Fase
12 metestrus adalah fase yang ditandai dengan sedikitnya sel-sel epitel kornifikasi dan jumlah leukosit yang banyak. Lamanya fase ini 21 jam (Baker et al. 1980). Metestrus ditandai dengan pembukaan vagina yang tidak terbuka lebar, tidak bengkak, dan dapat terlihat sel-sel debris yang berwarna putih (Byers et al. 2012). Fase diestrus adalah fase yang ditandai dengan adanya sel-sel epitel berinti dalam jumlah yang sangat banyak. Lamanya fase ini 57 jam (Baker et al. 1980). Pada tahap diestrus, pembukaan vagina kecil dan tertutup tanpa disertai pembengkakan jaringan (Byers et al. 2012). Tikus merupakan hewan poliestrus, yaitu dapat mengalami estrus lebih dari sekali dalam setahun. Terdapat estrus postpartum dalam waktu 48 jam sesudah partus. Akan tetapi tikus tidak dikawinkan dalam masa estrus postpartum supaya anak-anak yang sedang disusui tidak terlantar. Tikus betina yang baru bunting harus dipisah dari jantan sampai anaknya disapih (Malole dan Pramono 1989). Aktivitas ovari selama siklus estrus diatur oleh gonadotropin yang disekresikan oleh pituitari anterior. Kadar estradiol meningkat seiring dengan perkembangan folikular saat proestrus awal. Kadar estradiol meningkat saat pagi hari proestrus dan menurun saat siang harinya. Peningkatan kadar estradiol diikuti oleh peningkatan kadar progesteron, Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) (Maeda et al. 2000). Purwoceng mengandung senyawa alkaloid dan steroid yang merupakan bahan utama penyusun pembuatan hormon testosteron. Testosteron dalam hewan jantan lebih banyak diubah oleh enzim 5α reduktase menjadi dehidrotestosteron untuk pembentukan organ kelamin sekunder, sedangkan pada betina hormon tersebut diubah oleh enzim aromatase menjadi estradiol yang dapat menempati reseptor estrogen endogen untuk pembentukan organ kelamin sekunder. Pemberian purwoceng secara langsung pada hewan betina mempunyai efek estrogenik dari kandungan flavonoidnya secara signifikan ketika pemberian tersebut dilakukan pada periode estrus (Achmadi 2011). Pada penelitian ini, waktu pemberian purwoceng dilakukan secara tidak langsung sehingga efek estrogenik tidak berpengaruh terhadap siklus estrus anak tikus betina turunannya.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pembukaan vagina lebih cepat pada anak tikus betina yang diberi purwoceng yaitu 45 hari dengan bobot badan 73.35 g dibandingkan dengan anak tikus betina kontrol yang pembukaan vaginanya terjadi pada hari ke-56 dengan bobot badan 82.4 g. Total waktu siklus estrus dan durasi waktu setiap fasenya tidak menunjukkan perbedaan antara kontrol dan purwoceng. Saran Perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas pemberian ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) pada induk selama 13-21 hari kebuntingan terhadap siklus estrus anak tikus betinanya.
13
DAFTAR PUSTAKA Achmadi P. 2011. Kajian androgenik ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) terhadap kinerja reproduksi tikus putih (Rattus norvegicus) betina dara [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Baker DEJ, Lindsey JR, Russell, Weisbroth SH. 1979. The Laboratory Rat. Biology and Disease. USA (US): Academic Press. Hlm 154-160. Baker DEJ, Lindsey JR, Weisbroth SH. 1980. The laboratory rat. Volume 11 Research Applications. London (GB): Academic Press Inc. Hlm 169-186. [Balittro] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2011. Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng. Bogor (ID): Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Byers SL, Wiles MV, Dunn SL, Taft RA. 2012. Mouse estrous cycle identification tool and image. PloS ONE. 7(4): e35538. Doi:10.1371/journal.pone.0035538 Darwati I, Roostika I. 2006. Status Penelitian Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah 12(1): Hlm 9-15. Engelbregt MJT, van Weissenbruch MM, Popp-Snijders C, Delemarre-van de Wall HA. 2002. Delayed first cycle in intrauterine growth-retarded and postnatally undernourished female rats: follicular growth and ovulation after stimulation with pregnant mare serum gonadotrophin at first cycle. J Endocrinol 173: Hlm 297–304 Fauzi, Mustafa FI, Supriyati N. 2009. Menghasilkan ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina) melalui kultur jaringan serta pengaruhnya terhadap hasil metabolit sekunder [internet]. [diunduh 2014 April 20]. Tersedia pada : http://www.risbinkes.litbang.depkes.go.id/Buku%20laporan%20penelitian% 201997-2006/19-menghasilkan_ekstrak_purwoceng.htm Frisch RE. 1984. Body fat, puberty and fertility. Biol Rev Camb Philos Soc 59: Hlm 88-161. Glass AR, Swedloff RS. 1980. Nutritional influences on sexual maturation in the rat. Federation Proceedings 39:2360–4. Glover A, Assinder SJ. 2006. Acute exposure of adult male rats to dietary phytoestrogen reduces fecundity and alters epididymal steroid hormone receptor expression. J Endocrinol 189:565-573. Grant K. 2011. Female reproductive system [internet]. [diunduh 2014 Maret 15]. Tersedia ada: http://ratguide.com/breeding/anatomy/female_reproductive_system.php, Halasz B, Koves K, Molnar J, Balika K, Stoll V, Kovacs G. 1988. Hypothalamus and puberty. Brain Research Bulletin 20: Hlm 79-120. Harkness JE, Wagner JE. 1989. The Biology and Medicine of Rabbits and Rodents. Ed ke-3. Philadelphia (US): Lea & Febriger. Hlm 545-556. Hedrich HJ. 2000. History, Galurs, and Models. Di dalam: Krinke GJ editor. The handbook of experimental animals: The Laboratory Rat; London, Inggris. London (GB): Academic Pr. Hlm 3-16. Hedrich HJ. 2006. Taxonomy and stocks and galurs. Di dalam: Suckow MA, SH Weisbroth & CL Franklin, editor. The Laboratory Rat. 2nd ed; Boston, USA. Boston (US): Elsevier. Hlm 71-92.
14 Hem A. 2005. The biology of laboratory animals. 1: Hlm 95-102. Hernani, Rostiana O. 2004. Analisis kimia akar purwoceng (Pimpinella pruatjan). Di dalam: Indonesian Biopharmaca and Excibition and Conference. Prosiding Fasilitasi Forum Kerjasama Pengembangan Biofarmaka. Yogyakarta, 14-15 Juli 2004. Yogyakarta (ID): Ditjen Hortikultura, Departemen Pertanian. Hernani, Yuliani S. 1991. Obat-obat afrodisiaka yang bersumber dari bahan alam. Di dalam: Zuhud E.A.M, editor. Pelestarian Pemanfaatan Tumbuhan Obat dari Hutan Tropis Indonesia. Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan. Fakultas Kehutanan IPB dan IWF; Bogor, Indonesia. Bogor (ID). Hlm 130134. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Hlm 403-452. Hofstetter J, Suckow MA, Hickman DL. 2006. Morphophysiology. Di dalam: Suckow MA, SH Weisbroth & CL Franklin, editor. The laboratory rat. 2nd ed; Boston, USA. Boston (US): Elsevier. Hlm 93-125. Hrapkiewicz K, Medina L. 1998. Clinical Laboratory Animal Medicine : An Introduction. Iowa state University Pr: State Avenue. Hlm 124-130. Kohn DF, Barthold SW. 1984. Biology and Disease of Rat Laboratory Animal Medicine. New York (US): Academic Press. Inc. Hlm 57-67. Lohmiller JJ, Swing SP. 2006. Reproduction and breeding. Di dalam: Suckow, M.A., S.H. Weisbroth & C.L. Franklin, editor. The laboratory rat. 2nd ed; Burlington, USA. Burlington (US): Elsevier Academic Press. Hlm 147-164. Maeda K, Ohkura S, Tsukamura H. 2000. Physiology of reproduction. Di dalam: Krinke, G.J., editor. The handbook of experimental animals: The laboratory rat; London, Inggris. London (GB): Academic Press. Hlm 145-176. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor (ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Nalbandov AV. 1990. Fisiologi reproduksi pada mamalia dan unggas. S Keman, penerjemah. Jakarta (ID): UI Press. Hlm 45-60. Nasihun T. 2009. Pengaruh pemberian ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina Molk) terhadap peningkatan indikator vitalitas pria studi eksperimental pada tikus jantan Sprague Dawley. J Sains Medika 1(1): Hlm 53-62. Nuryadi. 2007. Reproduksi Ternak. Malang (ID): Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Hlm 61-69. Rahardjo M. 2010. Tanaman Obat Afrodisiak. Di dalam: Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Volume 16 Nomor 2. Bogor: Pengembangan Tanaman Perkebunan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Rahman D. 2015. Tampilan anak tikus betina dari induk bunting yang diberi ekstrak akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) selama 1-13 hari [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Rostiana O, Rosita SMD, Muhamad H, Hernani, Syahid SF, Surachman D, dan Nasrun. 2003. Eksplorasi potensi purwoceng dan cabe jawa serta perbaikan potensi genetik menunjang industri obat tradisional afrodisiak. Laporan Teknis Penelitian Penguasaan Teknologi tanaman Rempah dan Obat. Tahun 2003/2004. Bogor (ID): Balittro.
15
Satyaningtijas AS, Maheshwari H, Achmadi P, Pribadi WA, Hapsari S, Jondrianto D, Bustaman I, Kiranadi B. 2014. Reproduction performance of rat administered ethanolic extract of purwoceng (Pimpinella alpina). J Kedokteran Hewan Unsia 8(1): Hlm 1-3. Sharp PE, La Regina MC. 1998. The laboratory rat. Boston (US): CRC Pr. Hlm 26-28. Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Steel RD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Sumantri B. Penerjemah. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari : Principles and Procedures of Statistic. Suzery MB, Cahyono, Ngadiwiyana, H Nurhasnawati. 2004. Senyawa stigmasterol dari Pimpinella alpina Molk. (Purwoceng). Suplemen 39 (1): Hlm 39- 41. Taw. 2008. Oviduct and Uterus Histology [internet]. [diunduh 2015 April 21]. Tersedia pada http://www.siu.edu/tw3a/utest.jpg. Ulya R. 2008. Analisis kadar stigmasterol dari tanaman purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) yang tumbuh pada tingkat ketinggian berbeda [skripsi]. Semarang (ID): FMIPA Undip. Usmiati S, Yuliani S. 2010. Efek Androgenik dan Anabolik Ekstrak Akar Pimpinella alpina Molk (Purwoceng) pada Anak Ayam Jantan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Widyastuti N. 2006. Efek Teratogenik Ekstrak Buah Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Galur Wistar [skripsi]. Surakarta (ID): FMIPA-UNS. Zhaahir M. 2014. Tampilan anak tikus jantan (Rattus norvegicus) dari induk yang diberi ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
16
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Muh Alwi Amnur dilahirkan di Tana-tana Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 13 September 1991 dari pasangan Muh Amin dan Nurlia. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dan mempunyai saudari bernama Nur Ainung Amnur. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas di Pondok Pesantren Modern Tarbiyah Takalar (20062009). Pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan S1 di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur BUD KEMENAG (Beasiswa Utusan Daerah Kementrian Agama). Semasa perkuliahan, penulis aktif di beberapa organisasi diantaranya Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Pelajar Indonesia (IKAMI) Sulawesi Selatan (2009-sekarang), Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) se-Kota Bogor, Community Santri Scholar of Ministry of Religion Affair (CSS MORA) IPB.
17
LAMPIRAN Lampiran 1 Data analisis pembukaan vagina The SAS System 1 The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
perlakuan
Values 2
Kontrol
Purwocen Hari
1
P
Number
of
Observations
Read
Number
of
Observations
Used
18 18 The
SAS
System
2 The GLM Procedure Dependent Variable: respon
Source F Value Pr > F
Square
544.5000000
Model 252.93
Sum of Squares
DF
Mean
1
544.5000000
16
34.4444444
<.0001
Error 2.1527778 Corrected Total
17
578.9444444
R-Square
Coeff Var
Root MSE
0.940505
2.880068
1.467235
respon Mean
50.94444 Source F Value Pr > F
Square
544.5000000 .
.
perlakuan 252.93 Hari
DF
Type I SS
1
Mean
544.5000000
<.0001 0
0.0000000
.
18 perlakuan*Hari .
0
0.0000000
.
DF
Type III SS
Mean
. Source F Value Pr > F
Square
544.5000000 .
.
.
.
perlakuan 252.93 Hari
1
544.5000000
<.0001
perlakuan*Hari
0
0.0000000
.
0
0.0000000
.
The
SAS
System
3 The GLM Procedure Duncan's
Multiple
Range
Test
for
respon NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 16 Error Mean Square 2.152778 Number of Means Critical Range Means
with
the
same
2 1.466
letter
are
not
significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
perlakuan A
56.4444
9
Kontrol
B
45.4444
9
Purwocen
The
SAS
System
4 The GLM Procedure Level of
------------respon---
-------Hari
N
Mean
Std Dev P 5.83571380
18
50.9444444
19
Lampiran 2 Data analisis Siklus Etrus 2.1 Data analisis fase proestrus The SAS System 1 The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
perlakuan
2
Kontrol
jam
1
P
Purwocen
Number of Observations Read 54 Number of Observations Used 54 The SAS System 2 The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source Square F Value Model 0.000000
DF
Sum of Squares
1
0.000000
52
6965.333333
53
6965.333333
Mean
Pr > F
0.00
1.0000
Error 133.948718 Corrected Total R-Square
Coeff Var
Root MSE
0.000000
76.59014
11.57362
respon Mean 15.11111
Square 0 .
Source F Value
DF
Type I SS
1
0
0
0
Pr > F
perlakuan 0.00 1.0000 jam . .
Mean
20 .
perlakuan*jam . .
Square
Source F Value
30 . .
0
0
DF
Type III SS
1
8.414516E-30
0
0
0
0
Mean
Pr > F
perlakuan 0.00 1.0000 jam . . perlakuan*jam . .
8.414516E-
The SAS System 3 The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 52 Error Mean Square 133.9487 Number of Means Critical Range
2 6.321
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
A A A
15.111
27
perlakuan Kontrol
15.111 27 Purwocen The SAS System
4 The GLM Procedure Level of
------------respon-----
-----jam
N
Mean
54
15.1111111
Std Dev P 11.4639166
21
2.2 Data analisis fase estrus The SAS System 1 The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
perlakuan
2
Kontrol
jam
1
E
Purwocen
Number of Observations Read 54 Number of Observations Used 54 The SAS System 2 The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source Square F Value Model 10.666667
DF
Sum of Squares
1
10.666667
52
5077.333333
53
5088.000000
Mean
Pr > F
0.11
0.7423
Error 97.641026 Corrected Total R-Square
Coeff Var
Root MSE
0.002096
57.00777
9.881347
respon Mean 17.33333
Square
Source F Value
DF
Type I SS
Mean
1
10.66666667
0
0.00000000
.
0
0.00000000
.
Pr > F
perlakuan 10.66666667 0.11 jam . . perlakuan*jam . .
0.7423
22 Square
Source F Value
DF
Type III SS
Mean
1
10.66666667
0
0.00000000
.
0
0.00000000
.
Pr > F
perlakuan 10.66666667 0.11 jam . . perlakuan*jam . .
0.7423
The SAS System 3 The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 52 Error Mean Square 97.64103 Number of Means Critical Range
2 5.397
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
A A A
17.778
27
perlakuan Kontrol
16.889 27 Purwocen The SAS System
4 The GLM Procedure Level of
------------respon-----
-----jam
N
Mean
54
17.3333333
Std Dev E 9.79795897
2.3 Data analisis fase metestrus The SAS System 1
23
The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
perlakuan
2
Kontrol
jam
1
M
Purwocen
Number of Observations Read 54 Number of Observations Used 54 The SAS System 2 The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source Square F Value Model 66.666667
DF
Sum of Squares
1
66.666667
52
5898.666667
53
5965.333333
Mean
Pr > F
0.59
0.4468
Error 113.435897 Corrected Total R-Square
Coeff Var
Root MSE
0.011176
57.74437
10.65063
respon Mean 18.44444
Square
Source F Value
perlakuan 66.66666667 0.59 jam . . perlakuan*jam . .
Square
Source F Value
DF
Type I SS
Mean
1
66.66666667
0
0.00000000
.
0
0.00000000
.
DF
Type III SS
Pr > F 0.4468
Pr > F
Mean
24 perlakuan 66.66666667 0.59 jam . . perlakuan*jam . .
1
66.66666667
0
0.00000000
.
0
0.00000000
.
0.4468
The SAS System 3 The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 52 Error Mean Square 113.4359 Number of Means Critical Range
2 5.817
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
A A A
19.556
27
perlakuan Kontrol
17.333 27 Purwocen The SAS System
4 The GLM Procedure Level of
------------respon-----
-----jam
N
Mean
54
18.4444444
Std Dev M 10.6091215 The SAS System 5 The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
25
perlakuan
2
Kontrol
jam
1
M
Purwocen
Number of Observations Read 54 Number of Observations Used 54 The SAS System 6 The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source Square F Value Model 66.666667
DF
Sum of Squares
1
66.666667
52
5898.666667
53
5965.333333
Mean
Pr > F
0.59
0.4468
Error 113.435897 Corrected Total R-Square
Coeff Var
Root MSE
0.011176
57.74437
10.65063
respon Mean 18.44444
Square
Source F Value
perlakuan 66.66666667 0.59 jam . . perlakuan*jam . .
Square
Source F Value
DF
Type I SS
1
66.66666667
0
0.00000000
.
0
0.00000000
.
DF
Type III SS
1
66.66666667
0
0.00000000
.
0
0.00000000
.
0.4468
Mean
Pr > F
perlakuan 66.66666667 0.59 jam . . perlakuan*jam . .
0.4468
The SAS System 7
Mean
Pr > F
26 The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 52 Error Mean Square 113.4359 Number of Means Critical Range
2 5.817
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
A A A
19.556
27
perlakuan Kontrol
17.333 27 Purwocen The SAS System
8 The GLM Procedure Level of
------------respon-----
-----jam
N
Mean
54
18.4444444
Std Dev M 10.6091215
2.4 Data analisis fase diestrus The SAS System 1 The GLM Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
perlakuan
2
Kontrol
jam
1
D
Purwocen
27
Number of Observations Read 54 Number of Observations Used 54 The SAS System 2 The GLM Procedure Dependent Variable: respon Source Square F Value Model 130.66667
DF
Sum of Squares
1
130.66667
52
21162.66667
53
21293.33333
Mean
Pr > F
0.32
0.5734
Error 406.97436 Corrected Total R-Square
Coeff Var
Root MSE
0.006137
29.19010
20.17361
respon Mean 69.11111
Square
Source F Value
perlakuan 130.6666667 0.32 jam . . perlakuan*jam . .
Square
Source F Value
DF
Type I SS
Mean
1
130.6666667
0
0.0000000
.
0
0.0000000
.
DF
Type III SS
Mean
1
130.6666667
0
0.0000000
.
0
0.0000000
.
Pr > F 0.5734
Pr > F
perlakuan 130.6666667 0.32 jam . . perlakuan*jam . .
0.5734
The SAS System 3 The GLM Procedure Duncan's Multiple Range Test for respon
28 NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 52 Error Mean Square 406.9744 Number of Means Critical Range
2 11.02
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
A A A
70.667
27
perlakuan Purwocen
67.556 27 Kontrol The SAS System
4 The GLM Procedure Level of
------------respon-----
-----jam
N
Mean
54
69.1111111
Std Dev D 20.0439768