EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina) SELAMA 1-13 HARI KEBUNTINGAN TERHADAP BOBOT OVARIUM DAN UTERUS TIKUS PUTIH (Rattus sp.)
SANDRA HAPSARI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN SANDRA HAPSARI. Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 1-13 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Ovarium dan Uterus Tikus Putih (Rattus sp.). Dibimbing oleh ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan BAMBANG KIRANADI. Ratusan tahun silam, nenek moyang kita sudah menggunakan purwoceng sebagai afrodisiak dan untuk mengembalikan energi setelah seharian bekerja. Tanaman tersebut merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup secara endemik di daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, Gunung Pangrango di Jawa Barat, dan area pegunungan di Jawa Timur. Perkembangan penggunaan purwoceng sebagai tanaman obat dalam bidang reproduksi sudah diminati oleh masyarakat karena mengandung bahan alami. Tanaman ini dikenal mengandung bahan bersifat estrogenik atau androgenik. Pada dasarnya tanaman yang mengandung senyawa-senyawa seperti estrogen atau androgen dipercaya dapat memperbaiki kinerja reproduksi. Purwoceng (Pimpinella alpina) mengandung senyawa kimia kumarin, sterol, saponin, sejumlah kecil alkaloida, dan oligosakarida. Beberapa penelitian telah menunjukkan efek penggunaan akar purwoceng pada kinerja reproduksi tikus putih. Berdasarkan penelitian terdahulu, penelitian ini dilakukan untuk melihat efektivitas purwoceng yang diberikan pada induk tikus betina yang bunting pada umur 1-13 hari terhadap kinerja reproduksinya yang meliputi bobot ovarium dan uterus. Metode penelitian ini meliputi pembuatan larutan ekstrak akar purwoceng, penentuan dosis ektrak purwoceng, persiapan hewan penelitian, perlakuan hewan, dan analisis data. Akar purwoceng diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram simplisia yaitu sejumlah 95 gram. Ekstrak ini kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar 5% yaitu 5 gram dalam 100 ml akuades. Dosis ekstrak purwoceng pada tikus yang digunakan yaitu sebesar 25 mg/ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram atau 83.25 mg/kg bobot badan. Pada penelitian ini larutan stok mengandung 50 mg/ml sehingga jumlah ekstrak purwoceng yang diberikan pada tikus yaitu 0.5 ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram. Sepuluh ekor tikus betina bunting yang diperoleh dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu lima ekor tikus bunting yang tidak diberi perlakuan (kontrol) dan lima ekor tikus bunting yang diberi perlakuan, yaitu diberi ekstrak purwoceng selama 1 sampai 13 hari kebuntingan. Selanjutnya semua tikus pada kelompok tersebut dinekropsi pada hari ke-13 kebuntingan untuk diambil dan ditimbang bobot ovarium dan uterusnya. Data bobot ovarium dan uterus yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji statistik menggunakan metode analysis of variance (ANOVA) sehingga diperoleh rata-rata dan standar deviasi dari data-data tersebut. Pemberian ekstrak etanol purwoceng selama 13 hari kebuntingan pada tikus putih yang sedang bunting menunjukkan bahwa rata-rata bobot ovarium dan uterus cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol meskipun setelah dilakukan analisis statistika menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Bobot ovarium tikus putih perlakuan yang cenderung lebih besar dibandingkan tikus putih kontrol diduga karena kadar estrogen yang meningkat akibat pemberian
purwoceng. Ovarium merupakan organ primer reproduksi betina yang dapat menghasilkan hormon yang akan diserap langsung ke dalam peredaran darah dan ovum yang dapat dilepaskan dari kelenjar. Hormon yang disintesis dalam ovarium terutama dari kolesterol yang berasal dari darah yaitu hormon estrogen. Pada penelitian ini, pemberian purwoceng dilakukan ketika hewan sudah bunting. Estrogen yang dihasilkan diduga dan diharapkan membantu peningkatan endogenous estrogen dalam folikel untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan uterus. Tikus yang dicekok purwoceng cenderung memiliki bobot uterus yang lebih besar dibandingkan tikus kontrol. Seiring dengan peningkatan bobot ovarium pada tikus yang dicekok purwoceng yang diduga akan mengalami peningkatan kadar estrogen maka akan berdampak pada peningkatan bobot uterus. Efek estrogenik akar purwoceng dapat mempengaruhi aktivitas mitogenik sel-sel epitel uterus, vagina, dan kelenjar ambing. Aktivitas mitogenik tersebut berupa proliferasi maupun diferensiasi sel-sel epitel. Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik menunjukkan bahwa zat yang terkandung paling banyak di dalam akar purwoceng adalah flavonoid dan alkaloid. Flavonoid merupakan salah satu golongan fitoestrogen yang merupakan senyawa non steroidal dan mempunyai aktivitas estrogenik atau dapat dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen. Fitoestrogen yang terkandung dalam akar purwoceng tersebut menstimulasi aktivitas estrogenik sehingga memberikan efek terhadap organ reproduksi tikus yaitu merangsang pertumbuhan uterus dan menstimulir penebalan endometrium sehingga uterus membesar dan bobotnya meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan cenderung meningkatkan bobot ovarium dan uterus tikus putih (Rattus sp.). Kata kunci: purwoceng, ovarium, uterus, estrogenik
ABSTRACT SANDRA HAPSARI. Effectivity of Purwoceng (Pimpinella alpina) Ethanol Extract during 1-13 Days of Pregnant Rat (Rattus sp.) on Ovarium and Uterus Weight. Under direction of ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS and BAMBANG KIRANADI. The research was aimed to examine the effects of purwoceng ethanol extract on the ovarium and the uterus weight of pregnant rat during 1-13 days gestation. This study consisted of two groups, the control group (no treatment) and the group that was given purwoceng ethanol extract. Purwoceng has been known as an estrogenic plant. Purwoceng ethanol extract was given on the first day until the 13th day of gestation. Rat were dissected on the 13th day of pregnancy to get the ovarium and the uterus weight. The result had shown that purwoceng ethanol extract tended to increase ovarium weight as well as the uterus weight. Keywords: purwoceng, ovarium, uterus
EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina) SELAMA 1-13 HARI KEBUNTINGAN TERHADAP BOBOT OVARIUM DAN UTERUS TIKUS PUTIH (Rattus sp.)
SANDRA HAPSARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 1-13 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Ovarium dan Uterus Tikus Putih (Rattus sp.) adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Sandra Hapsari NIM B04070057
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Judul Skripsi Nama NIM
: Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 1-13 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Ovarium dan Uterus Tikus Putih (Rattus sp.) : Sandra Hapsari : B04070057
Disetujui,
Dr. drh. Aryani Sismin S., M.Sc Pembimbing I
Dr. Bambang Kiranadi, M.Sc Pembimbing II
Diketahui,
Dr. Dra. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi yang berjudul Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 1-13 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Ovarium dan Uterus Tikus Putih (Rattus sp.). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rasa tulus dan hormat, penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc dan Dr. Bambang Kiranadi, M.Sc atas bimbingan, arahan, motivasi, waktu, pemikiran, dan kesabaran selama proses penelitian dan penyelesaian skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan bimbingan untuk terus maju dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Penulis juga ingin
menyampaikan terima kasih kepada Drs. Pudji Achmadi, MS yang telah memberikan kesempatan untuk bergabung dalam penelitian ini serta staf Laboratorium Fisiologi FKH IPB, ibu Sri, Ibu Ida, dan Bapak Edi atas bantuan dan kerja sama selama penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Sri Rumini (Ibunda), Sambas Safari (ayahanda), Andrianto (kakak), dan Meta Harsaningtyas (sepupu) atas kasih sayang, doa, motivasi, dan dorongan yang luar biasa dan tidak hentihentinya kepada penulis. Selain itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Gelatin plus dan Yayasan Karya Salemba Empat atas bantuan baik moril maupun materi sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dengan lancar, teman-teman satu tim penelitian (Meta, Divo, Junto, Wisnu, dan Copy) atas kerja sama dan dukungan selama penelitian, sahabat terdekat di Rumah Cantik (Dian, Annisa, Arni, Niken, Andi, Inez, Dara, Lia, dan Nova) untuk semua dukungan, hiburan, dan pengalaman berharga yang tak terlupakan, sahabat-sahabat Gianuzzi, keluarga besar RUMINERS dan IMAKAHI atas pengalaman dan pembelajaran
yang sangat berharga bagi penulis, serta semua pihak yang baik sengaja maupun tidak sengaja membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh Civitas Akademika Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Penulis menyadari bahwa
penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis sangat berterima kasih dan terbuka untuk kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Agustus 2011
Sandra Hapsari NIM B04070057
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Sandra Hapsari, dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 16 Juni 1989 dari ayah Sambas Safari dan ibu Sri Rumini. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai dari SD PASIRKALIKI 96/IV Bandung hingga lulus pada tahun 2001, kemudian dilanjutkan ke SLTP Negeri 40 Bandung dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMA Negeri 2 Bandung dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan. Penulis pernah menjadi Sekretaris dan Badan Pengawas Himpunan Minat Profesi Ruminansia FKH IPB (2009-2011), Penanggung Jawab Bahasa Tradisional Lembaga Struktural (LS) Bahasa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FKH IPB Kabinet Katalis (2009-2010), staf keuangan Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) FKH IPB (2009-2010), dan Bendahara Umum IMAKAHI FKH IPB (2010-2011). Di samping itu, selama perkuliahan penulis juga memperoleh beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) IPB pada tahun 2009 dan beasiswa Yayasan Karya Salemba Empat pada tahun 20092011. Selama masa perkuliahan penulis pernah memperoleh penghargaan sebagai Runner up Duta Lingkungan Fakultas Kedokteran Hewan IPB pada tahun 2010 dan masuk dalam 10 besar seleksi mahasiswa berprestasi Yayasan Karya Salemba Empat pada tahun 2010.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1.2 Tujuan ..................................................................................................... 1.3 Manfaat ................................................................................................... 1.4 Hipotesa ..................................................................................................
1 1 2 2 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2.1 Organ Reproduksi Betina ........................................................................ 2.1.1 Ovarium ................................................................................ 2.1.2 Uterus ................................................................................... 2.2 Hormon Reproduksi Betina .................................................................... 2.2.1 Estrogen ............................................................................... 2.2.2 Progesteron .......................................................................... 2.3 Tikus Putih (Rattus sp.) .......................................................................... 2.3.1 Karekteristik Umum Tikus Putih (Rattus sp.) ...................... 2.3.2 Sistem Reproduksi Tikus Putih (Rattus sp.) ......................... 2.4 Purwoceng (Pimpinella alpina) .............................................................. 2.4.1 Fitokimia ..............................................................................
3 3 3 4 6 6 7 8 8 10 12 13
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 3.1 Waktu dan Tempat .................................................................................. 3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................ 3.3 Metode Penelitian ................................................................................... 3.3.1 Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng ..................... 3.3.2 Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng .................................. 3.3.3 Persiapan Hewan Penelitian ................................................ 3.3.4 Perlakuan Hewan ................................................................. 3.3.5 Bagan Penelitian .................................................................. 3.4 Analisis Data ...........................................................................................
15 15 15 15 15 16 16 17 18 18
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................
19
BAB 5 PENUTUP ........................................................................................ 5.1 Simpulan ................................................................................................. 5.2 Saran ........................................................................................................
27 27 27
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
28
LAMPIRAN ..................................................................................................
33
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Ratusan tahun silam, nenek moyang kita sudah menggunakan purwoceng
sebagai afrodisiak dan untuk mengembalikan energi setelah seharian bekerja. Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman herbal yang akarnya diketahui berkhasiat sebagai diuretikum dan afrodisiak, yakni mampu meningkatkan gairah seksual dan menimbulkan ereksi (Rahayu dan Sunarlim 2002).
Purwoceng mengandung senyawa aktif yang pada umumnya bersifat
sebagai penyegar dan tonikum. Beberapa diantaranya merupakan senyawa aktif yang diduga ada kaitannya dengan aktivitas seksual.
Senyawa aktif tersebut
antara lain stigmasterol, isoorientin, eugenol, dan dianetole (Gunawan 2002). Tanaman tersebut merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup secara endemik di daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, Gunung Pangrango di Jawa Barat, dan area pegunungan di Jawa Timur (Darwati dan Roostika 2006). Rahardjo (2003) dan Syahid et al. (2004) melaporkan bahwa saat ini tanaman tersebut hanya terdapat di dataran tinggi Dieng. Purwoceng mengandung senyawa kimia kumarin, sterol, saponin, sejumlah kecil alkaloida, dan oligosakarida. Sterol dalam tubuh akan dikonversi menjadi testosteron sedangkan senyawa aktif lain merangsang susunan saraf pusat untuk memproduksi Luteinizing Hormone (LH). Testosteron adalah hormon steroid dari kelompok androgen yang produksinya diatur oleh kelenjar hipofisis.
Organ
penghasil testosteron adalah testis pada jantan dan indung telur pada betina. Testosteron penting untuk kesehatan baik bagi jantan maupun betina. Fungsinya antara lain meningkatkan libido, energi, fungsi imun, dan perlindungan. Purwoceng dengan kandungan sterolnya juga mampu meningkatkan produksi hormon luteinizing sampai 29.2% (Taufiqqurrachman 1999). Beberapa penelitian telah menunjukkan efek penggunaan akar purwoceng pada kinerja reproduksi tikus putih. Caropeboka (1980) mengebiri tikus jantan dan menyuntiknya dengan ekstrak akar purwoceng dalam minyak zaitun. Ekstrak akar purwoceng mempunyai aktivitas androgenik pada tikus jantan yang dikebiri.
2
Juniarto (2004) melaporkan bahwa ekstrak akar purwoceng yang diberikan pada tikus Sprague-Dawley juga dapat meningkatkan derajat spermatogenesis dalam testis, jumlah maupun motilitas spermatozoa dibandingkan dengan tanpa pemberian purwoceng. Berdasarkan penelitian terdahulu, penelitian ini dilakukan untuk melihat efektivitas purwoceng yang diberikan pada induk tikus betina yang bunting terhadap kinerja reproduksinya yang meliputi bobot ovarium dan uterus. Bobot ovarium dan uterus dijadikan parameter pada penelitian ini karena ovarium adalah sumber estrogen dan uterus adalah target organ dari estrogen.
1.2
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh pemberian ekstrak etanol
purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan terhadap bobot ovarium dan bobot uterus tikus putih betina.
1.3
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi mengenai
pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) pada pertumbuhan dan perkembangan uterus dari tikus betina bunting sehingga dapat dijadikan acuan pada penelitian berikutnya.
1.4
Hipotesa Hipotesa dari penelitian ini adalah pemberian ekstrak etanol purwoceng
(Pimpinella alpina) pada tikus putih betina yang bunting selama 1-13 hari dapat mempengaruhi bobot ovarium dan bobot uterus.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Organ Reproduksi Betina 2.1.1 Ovarium Organ reproduksi betina terdiri atas dua buah ovari, dua buah tuba falopii, uterus, serviks, vagina, dan vulva. Ovarium bertanggung jawab secara fisiologi terhadap pengeluaran gamet secara periodik dan produksi hormon steroid estradiol dan progesteron.
Kedua aktifitas ini terintegrasi pada suatu proses
pengulangan yang berlangsung terus menerus dari maturasi folikel, ovulasi dan pembentukan korpus luteum dan regresinya sehingga ovarium tidak bisa dipandang sebagai suatu organ endokrin yang statis dimana ukuran dan fungsinya bisa saja membesar dan mengecil, tergantung dari hormon-hormon yang mempengaruhinya (Speroff et al. 2005). Ovarium merupakan organ reproduksi primer yang mempunyai fungsi sebagai kelenjar eksokrin yaitu penghasil ovum dan sebagai endokrin yaitu penghasil hormon. Ovarium memproduksi hormon steroid yang memungkinkan berkembangnya ciri-ciri seksual betina sekunder dan mendukung kebuntingan. Pada umumnya, ovarium terdapat dua buah, yaitu di bagian kanan dan kiri yang terletak dalam rongga pelvis dan menggantung pada mesovarium. Siklus dalam ovarium akan menghasilkan folikel matang sebagai hasil kerja sama antara hormon-hormon ovarium dan gonadotropin (Nalbandov 1990). Perkembangan ovum dan folikel pada ovari dipengaruhi oleh produksi Follicle Stimulating Hormone (FSH). Produksi FSH pada pituitari menyebabkan folikel menjadi berongga dan menghasilkan estrogen. Gonadotropin juga akan mengaktifkan korpus luteum sehingga melepaskan progesteron yaitu hormon gonadal yang merangsang mukosa uterus untuk mempersiapkan implantasi jika terjadi fertilisasi (Nalbandov 1990). Perubahan ovarium selama siklus seksual bergantung seluruhnya pada hormon-hormon gonadotropik, FSH, LH yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. Ovarium yang tidak dirangsang oleh hormon ini tetap tidak aktif, yang merupakan keadaan pada masa anak-anak, ketika hampir tidak ada hormon-hormon gonadotropik yang disekresikan. FSH
4
dan LH merupakan glikoprotein kecil dengan berat molekul kira-kira 30 000. Satu-satunya efek dari FSH dan LH yang bermakna adalah testis pada pria dan ovarium pada wanita (Guyton dan Hall 1997). Peningkatan estrogen dalam darah menyebabkan pituitari mengurangi produksi FSH dan meningkatkan pelepasan LH dan Luteotropic Hormone (LTH). Produksi FSH mencapai puncak yang disertai meningkatnya LH menyebabkan folikel mencapai fase akhir perkembangannya dan menjadi pecah, proses ini disebut dengan ovulasi.
LH menyebabkan terjadinya ovulasi dan perubahan
folikel kosong menjadi korpus luteum dan atas pengaruh LTH dihasilkan progesteron. Progesteron menghambat pengeluaran FSH dan estrogen yang akan mempengaruhi keseimbangan LH, LTH serta korpus luteum (Nalbandov 1990). Setelah ovulasi, sel-sel sekretori pada folikel berkembang jadi korpus luteum yang menyekresikan sejumlah besar hormon progesteron dan estrogen.
Kemudian
korpus luteum akan berdegenerasi sedangkan hormon progesteron dan estrogen akan sangat berkurang jumlahnya, keadaan ini diikuti dengan siklus ovarium yang baru (Guyton dan Hall 1997).
2.1.2 Uterus Uterus adalah suatu organ muskular berongga, berdinding tebal, dan terdiri dari otot-otot polos. Uterus terletak di pelvis minor diantara kandung kemih dan rektum. Selama kebuntingan uterus berfungsi sebagai tempat implantasi, retensi dan nutrisi konseptus. Pada saat persalinan dengan adanya kontraksi dinding uterus dan pembukaan serviks uterus, isi konsepsi dikeluarkan. Uterus terdiri dari fundus uteri, corpus uteri, dan serviks uteri. Fundus uteri adalah bagian uterus proksimal, pada bagian ini kedua tuba fallopii masuk ke uterus. Serviks uteri merupakan bagian terbawah uterus, terdiri dari pars vaginalis (berbatasan atau menembus dinding dalam vagina) dan pars supravaginalis. Serviks uteri terdiri dari 3 komponen utama, yaitu otot polos, jalinan jaringan ikat (kolagen dan glikosamin), dan elastin (Prawirohardjo 2005).
Di samping itu, uterus juga
dilengkapi dengan ligamentum penyangga uterus (Decherney dan Nathan 2003). Uterus sangat berperan penting bagi perkembangan dan diferensiasi embrio sebagai sumber nutrisi, tempat implantasi, dan sebagai penunjang fetus sampai
5
waktu normal kelahiran. Perubahan utama perkembangan embrio dalam fetus selama fase praimplantasi terjadi ketika embrio berkembang dari stadium sel ke-4 atau ke-8 menjadi morula kemudian blastosis. Embrio masih dilindungi oleh membran tambahan, zona pelusida, dan sangat tergantung pada cadangan makanan sitoplasma telur, tetapi pada saat pelepasan zona, kebutuhan nutrisi embrio praimplantasi yang tumbuh cepat sangat bergantung pada unsur pokok cairan uterus (yang disebut susu uterus atau histotrof). Selama fase ini akan terbentuk ruang antara embrio dan uterus, dan pada spesies politokus hal ini menyangkut penyebaran embrio ke seluruh tanduk uterus (Hunter 1995). Stadium perkembangan embrio berhubungan erat dengan proliferasi endometrium yang diatur oleh hormon. Selama embrio berada dalam tuba falopii, uterus dipersiapkan untuk menerimanya melalui pembuangan fagositik reruntuhan pascacoitus seperti spermatozoa mati dan sisa-sisa sperma, produk semen lainnya, dan bakteri yang mungkin masuk pada saat kawin.
Peningkatan sekresi
progesteron oleh korpus luteum yang sedang berkembang akan mempengaruhi fase
persiapan,
yang
mengakibatkan
proliferasi
endometrium
dengan
meningkatnya aktivitas kelenjar dan sekresi zalir ke lumen uterus. Zalir uterus bersama dengan komponen seluler tertentu akan membentuk histotrof. Penggabungan embrio dengan epitelium uterus menyebabkan terbentuknya plasenta dan ketergantungan embrio yang sedang berdiferensiasi pada metabolisme induknya (Hunter 1995). Kelenjar uterus selama fase folikular terlihat sederhana dan lurus dengan sedikit cabang sedangkan selama fase luteal saat progesteron bekerja terhadap uterus terlihat endometrium bertambah tebal secara mencolok, menjadi bercabang dan berkelok. Estrogen menyebabkan meningkatnya vaskularisasi dan aktivitas mitosis uterus yang lebih besar mengakibatkan organ bertambah berat. Tetapi estrogen yang diberikan pada tikus dan mencit mengakibatkan akumulasi air pada lumen uterus.
Otot polos miometrium mengalami hiperplasia dan hipertrofi.
Kenaikan bobot uterus seimbang dengan jumlah estrogen yang diberikan (Nalbandov 1990).
6
2.2 Hormon Reproduksi Betina 2.2.1 Estrogen Estrogen merupakan hormon yang diproduksi oleh ovarium dan plasenta yang berfungsi merangsang perkembangan organ kelamin wanita, payudara, berbagai sifat kelamin sekunder.
Estrogen dibentuk terutama dari 17-
ketosteroidnandrostenedion. Estrogen merupakan salah satu hormon reproduksi pada hewan betina.
Hormon ini terutama disekresi oleh sel-sel granulosa
penyusun folikel ovarium. Struktur hormon estrogen tersusun atas 18 atom C, gugus –OH fenolik pada C-3, sifat aromatik cincin A, dan tidak mempunyai gugus metil pada C-10 (Dellman dan Brown 1992). Bentuk hormon estrogen dalam tubuh hewan betina berupa estradiol-17β, estron dan estriol (Johnson dan Everitt 1988; Hiller 1991; Ganong 2003). Estrogen steroid alami yang paling kuat di dalam tubuh manusia adalah estradiol17β (E2), diikuti estron (E1), dan estriol (E3). Hormon yang paling dominan yaitu estradiol-17β karena jumlahnya paling banyak terdapat dalam tubuh dan aktivitasnya paling tinggi (Cao et al. 2004). Ketiganya adalah suatu steroid 18 karbon dengan sebuah cincin fenolat A, yaitu suatu cincin aromatik dengan sebuah gugus hidroksil melekat ke karbon 3. Keadaan ini menyebabkan steroidsteroid tersebut berikatan secara selektif dengan reseptor estrogen. Senyawa ini juga memiliki gugus β-hidroksil atau keton di posisi 17 cincin C yang berfungsi meningkatkan daya ikatnya (Marks et al. 2000). Efek yang disebabkan oleh hormon estrogen dinamakan efek estrogenik. Efek estrogenik meliputi pertumbuhan payudara, menjaga kesuburan rahim, menjaga kehalusan kulit, mencegah osteoporosis, dan menjaga kolesterol dalam tubuh (Cao et al. 2004). Gambar 1 menunjukkan struktur kimia estrogen. Potensi estradiol-17β 12 kali lebih besar dari estron, dan 80 kali lebih besar dari estriol. Hormon steroid seperti estrogen dan progesteron adalah molekul kecil yang bersifat hidrofobik sehingga dapat berdifusi ke dalam sel.
Pada target sel,
estrogen dan progesteron akan mengikat protein reseptor yang ada dalam sitoplasma atau inti (Pineda 1983).
7
Gambar 1 Struktur kimia estrogen (Cao et al. 2004).
Estrogen bekerja pada uterus untuk meningkatkan massa endometrium dan miometrium serta meningkatkan amplitudo dan frekuensi kontraksi oleh efek oksitosin dan prostaglandin. Estrogen terdapat di berbagai jaringan tubuh hewan seperti ovarium, testis, adrenal, plasenta, dan sedikit banyak ditemukan di spermatozoa (Turner dan Bagnara 1988).
Estrogen berfungsi meningkatkan
proliferasi dan pertumbuhan sel-sel spesifik pada tubuh dan bertanggung jawab terhadap perkembangan sebagian besar sifat seksual sekunder betina (Guyton 1995). Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel teka interna dari folikel, korpus luteum, plasenta, dan dalam jumlah sedikit oleh korteks adrenal dan testis.
Konsentrasi estrogen menjelang ovulasi mencapai kadar
tertinggi dalam tubuh dan berfungsi menekan produksi FSH dan LH sehingga terjadi ovulasi (Hunter 1995).
2.2.2 Progesteron Progesteron merupakan steroid berkarbon 21 yang memiliki struktur dasar inti pregnan dengan rumusan empat lingkaran (Turner dan Bagnara 1988). Gambar 2 menunjukkan struktur kimia progesteron.
Gambar 2 Struktur kimia progesteron (Sarah 1998).
8
Progesteron pada betina disintesis oleh sel teka folikel yang sedang berkembang dan kemudian oleh korpus luteum sebagai respon terhadap stimulasi oleh LH dan FSH (Corwin 2009). Progesteron disekresi oleh sel lutein korpus luteum, plasenta, dan dalam jumlah sedikit telah diisolasi dari testis dan kelenjar adrenal. Hormon progesteron diperlukan untuk pertumbuhan sel-sel endometrium yang pada akhirnya diperlukan untuk makanan fetus. Progesteron mendukung perkembangan ovum sebelum implantasi, karena secara khusus meningkatkan sekresi tuba fallopii dan uterus untuk memberikan zat-zat gizi yang sesuai bagi morula dan blastokista yang sedang berkembang serta mempengaruhi pembelahan sel pada embrio yang baru berkembang. Pada proses kebuntingan progesteron juga berpengaruh pada susunan saraf pusat guna menekan sintesis estrogen sehingga konsentrasinya dalam darah ditekan (Guyton 1995).
2.3 Tikus Putih (Rattus sp.) 2.3.1 Karakteristik Umum Tikus Putih (Rattus sp.) Tikus digolongkan ke dalam ordo Rodentia (hewan pengerat), famili Muridae dari kelompok mamalia (hewan menyusui). Ordo Rodentia merupakan ordo dari kelas mamalia yang terbesar yaitu 40% dari 5000 spesies mamalia. Tikus memiliki kemampuan menyesuaikan diri yang baik dengan lingkungannya, baik saat cuaca dingin maupun panas. Klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Myers dan Armitage (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum
: Chordata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodentia
Subordo
: Sciurognathi
Famili
: Muridae
Subfamili : Murinae Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
9
Tiga galur atau varietas tikus yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu galur Sprague-Dawley yang memiliki kepala kecil, berwarna albino putih dan ekornya lebih panjang dari badannya. Galur Wistar memiliki telinga yang panjang, kepala yang lebar, dan ekor yang tidak sama panjang seperti tubuhnya. Galur Long Evans yang lebih kecil dari tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono 1989). Menurut Inglis (1980), galur yang sering digunakan untuk penelitian yaitu SpraqueDawley, Wistar, dan Long-Evans. Galur Spraque-Dawley berasal dari SpraqueDaley, Madison, Wisconsin (Gambar 3). Galur Wistar berasal dari Institut Wistar di Pennysylvania. Galur Long-Evans berukuran lebih kecil dibandingkan galur Spraque-Dawley dan Wistar.
Gambar 3 Rattus norvegicus (Abimosaurus 2010). Tikus yang sering digunakan sebagai hewan percobaan di laboratorium yaitu tikus putih (Rattus norvegicus). Tikus putih (Rattus norvegicus) sering digunakan sebagai hewan percobaan atau hewan laboratorium karena telah diketahui sifat-sifatnya dan mudah dipelihara (Veterinary Library 1996). Tikus putih (Rattus norvegicus) sering digunakan pada berbagai macam penelitian karena tikus ini memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi, murah serta mudah untuk mendapatkannya (Ballenger 2000). Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esofagus bermuara ke dalam lambung dan tikus tidak mempunyai kantung empedu. Menurut Ballenger (2002) warna umum dari Rattus norvegicus yaitu abu-abu kehitaman atau cokelat, dapat juga berwarna abu-abu
10
pucat atau abu-abu putih, namun tikus yang digunakan sebagai hewan percobaan merupakan starin albino dari Rattus norvegicus.
Tabel 1 menunjukkan data
biologis dari tikus putih Rattus norvegicus. Tabel 1 Data Biologis Tikus Putih Kriteria Lama hidup Lama produksi ekonomis Lama bunting Umur disapih Umur dewasa Umur dikawinkan Siklus estrus Lama estrus Perkawinan Berat lahir Jumlah anak
Keterangan 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun 1 tahun 20-22 hari 21 hari 40-60 hari 10 minggu (jantan dan betina) 4-5 hari 9-20 jam Pada waktu estrus 5-6 gram Rata-rata 9, dan dapat 20
Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo (1987)
2.3.2 Sistem Reproduksi Tikus Putih (Rattus sp.) Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur 50-60 hari, vagina mulai terbuka pada umur 35-90 hari dan testis turun pada umur 20-50 hari. Anak-anak tikus yang sehat dan kuat dihasilkan bila tikus mulai dikawinkan pada umur 65110 hari yaitu pada saat betina mencapai 250 gram bobot badan dan jantan 300 gram. Umur perkawinan pertama tersebut tergantung dari galur tikus dan tingkat pertumbuhannya. Siklus estrus berlangsung 4-5 hari dengan estrus selama 12 jam setiap siklus dan seperti halnya pada mencit, estrus mulai pada malam hari (Malole dan Pramono 1989). Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks dan dapat terganggu pada berbagai stadium sebelum dan sesudah permulaan siklus reproduksi. Hewan betina harus menghasilkan ovum yang hidup dan diovulasikan pada waktu yang tepat. Ia harus memperlihatkan estrus dekat waktu ovulasi sehingga kemungkinan penyatuan sel kelamin jantan dengan sel telur dan pembuahan dapat dipertinggi.
Ia harus menyediakan
lingkungan intrauterin yang sesuai untuk konseptus sejak pembuahan sampai partus, demikian pula lingkungan yang baik untuk anaknya sejak lahir sampai waktu disapih (Toelihere 1985).
11
Tikus merupakan hewan poliestrus yaitu hewan yang memiliki siklus berahi lebih dari dua kali dalam satu tahun. Siklus estrus dipengaruhi dan diatur oleh hormon-hormon khusus dalam tubuh dan berlangsung selama 4-6 hari, siklus pertama timbul setelah 1-2 hari dari mulainya pembukaan vagina yang terjadi pada umur 28-29 hari. Siklus estrus terbagi atas empat periode, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Malole dan Pramono 1989; Smith dan Mangkoewidjojo 1987). Periode proestrus berlangsung selama 12 jam, secara mikroskopis terlihat sel epitel berinti dari ulasan vagina yang dilakukan (Hafez 2000). Periode estrus merupakan periode berahi, dan kopulasi dimungkinkan hanya pada saat ini. Setiap siklusnya berlangsung selama 12 jam (Malole dan Pramono 1989).
Periode metestrus berlangsung selama 10-14 jam, pada
umumnya tidak terjadi perkawinan. Pada ovarium terbentuk korpus hemorhagi di tempat folikel de Graaf yang baru melepaskan ovum.
Periode diestrus
berlangsung selama 60-70 jam. pada masa tersebut terjadi regresi fungsional korpus luteum.
Mukosa vagina tipis dan leukosit bermigrasi melintasinya.
Apabila terjadi kebuntingan, siklus akan terganggu selama masa kebuntingan. Hewan menjadi estrus pada akhir kebuntingan namun siklusnya sekali lagi tertunda sampai akhir laktasi (Turner dan Bagnara 1988). Tikus mempunyai uterus yang berbentuk dupleks, dengan dua serviks, tanpa badan uterus, dan pemisahan tanduk secara sempurna. Seluruh organ tersebut melekat pada dinding pinggul dan dinding perut dengan perantaraan ligamentum uterus yang lebar, yaitu ligamentum lata uteri. Ligamentum ini membantu uterus untuk dapat menerima suplai darah dan saraf. Lapisan luar ligamentum lata uteri membentuk ligamentum uterus yang melingkar (Nalbandov 1990). Gambar 4 menunjukkan uterus tikus putih yang sedang bunting.
12
Gambar 4 Uterus tikus putih (Needham et al. 2011).
2.4 Purwoceng Purwoceng adalah tanaman herba komersial yang dapat digunakan sebagai afrodisiak, diuretik, dan tonik (Gambar 5). Dewasa ini populasi purwoceng sudah langka karena mengalami erosi genetik secara besar-besaran, populasinya di Gunung Pangrango Jawa Barat dan area pegunungan di Jawa Timur dilaporkan sudah musnah karena pembabatan bagian akarnya yang dimanfaatkan sebagai viagra Jawa (Darwati dan Roostika 2006).
Gambar 5 Purwoceng (Darwati dan Roostika 2006). Pada awalnya tanaman purwoceng di Indonesia hanya dijumpai di daerah pegunungan Dieng sebagai tanaman liar jenis perdu. Meskipun tergolong jenis perdu, purwoceng merupakan tanaman yang tergolong langka karena selain
13
tempat tumbuhnya di ketinggian 2000–4000 meter di atas permukaan laut, pertumbuhan purwoceng membutuhkan faktor-faktor lingkungan yang spesifik (Fauzi et al. 2009). Hingga saat ini tidak banyak laporan penelitian tentang purwoceng.
Beberapa aspek yang sudah dilaporkan adalah aspek agronomi,
kultur in vitro, fitokimia, dan farmakologi (Darwati dan Roostika 2006). Tabel 2 menunjukkan deskripsi dari purwoceng. Tabel 2 Deskripsi purwoceng Habitus Batang Daun Bunga Buah Biji Akar
Deskripsi Semak, menutup tanah, tinggi ± 25 cm Semu, bulat, lunak, hijau pucat Majemuk, bentuk jantung, panjang + 3 cm, lebar ± 2,5 cm, tepi bergerigi, ujung tumpul, pangkal bertoreh, tangkai panjang ± 5cm, coklat kehijauan, pertulangan menyirip, hijau Majemuk, bentuk payung, tangkai silindris, panjang + 2 cm, kelopak bentuk tabung, hijau, benang sari putih. putik bulat. hijau, mahkota berambut, coklat Lonjong, kecil, hijau Lonjong, kecil, coklat Tunggang, putih kotor
Sumber: Rahardjo (2003); Yuhono (2004)
Seluruh bagian tanaman purwoceng dapat digunakan sebagai obat tradisional terutama akar. Akar purwoceng berkhasiat sebagai afrosidiak, yakni dapat membangkitkan hormon seksual dan mengandung senyawa diuretik yang mampu melancarkan air seni.
Di samping itu, tanaman ini berkhasiat
melancarkan peredaran darah, menambah stamina, menghangatkan, dan menyehatkan tubuh (Gunawan 2002).
2.4.1 Fitokimia Penelitian yang mempelajari fitokimia purwoceng sudah cukup banyak. Suzery et al. (2004) menunjukkan adanya senyawa stigmasterol dalam akar purwoceng berdasarkan data spektroskopi.
Hernani dan Rostiana (2004)
melaporkan pula adanya senyawa kimia yang teridentifikasi secara kualitatif, yaitu bergapten, marmesin, 4- hidroksi kumarin, umbeliferon, dan psoralen. Tabel 3 menunjukkan kandungan aktif purwoceng.
14
Tabel 3 Kandungan aktif purwoceng Senyawa aktif (-)-Limonena, terkandung dalam seluruh tanaman Anisketone, terkandung dalam buah Asam kafeat, terkandung dalam seluruh tanaman Dianethole, terkandung dalam seluruh tanaman Hydroquinone, terkandung dalam seluruh tanaman
Isoorientin, terkandung dalam seluruh tanaman Phlellandrene, terkandung dalam seluruh tanaman Squalene, terkandung dalam seluruh tanaman Stigmasterol, terkandung dalam seluruh tanaman
Efek Menghambat pertumbuhan jamur Candida albicans penyebab keputihan, merangsang peristaltic Merangsang dan menambah semangat, pereda lelah Merangsang semangat, merangsang aktivitas saraf pusat, merangsang keluarnya prostaglandin, menghambat keluarnya histamin Merangsang hormon estrogen Merangsang ereksi, mengurangi sekresi cairan pada liang vagina, anti pendarahan di luar haid, merangsang semangat, menaikkan tekanan darah Menambah produksi sperma Memacu ereksi, bahan pengharum dan pewangi Merangsang semangat, melancarkan transfer oksigen dalam darah Merangsang hormon estrogen, merangsang terjadinya proses ovulasi, bahan baku pembuatan hormon steroid
Sumber: Gunawan (2002)
Pemberian ekstrak akar purwoceng tidak mempengaruhi lamanya daur birahi tikus. Profil hormon Estradiol-17β plasma tikus-tikus betina selama daur birahi, setelah diberi ekstrak akar purwoceng selama 15 hari memperlihatkan peningkatan kadar Estradiol dibandingkan dengan normal. Selain itu, ekstrak akar purwoceng dengan dosis 80 mg bubuk akar per tikus, selama 15 hari mengurangi fertilitas tikus-tikus betina (Caropeboka 1983).
Hasil uji fitokimia akar
purwoceng yang dipakai pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng Jenis Contoh Akar purwoceng
Uji Fitokimia Alkaloid Saponin Tanin Fenolik Flavonoid Triterfenoid Steroid Glikosida
Sumber: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011).
Hasil Pengujian +++ + +++ + + +
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2010 sampai dengan bulan Maret 2011 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pengamatan dan pengukuran terhadap organ reproduksi betina dilakukan di laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley yang berjumlah 10 ekor tikus betina bunting dan 5 ekor tikus jantan. Bahan yang digunakan antara lain sekam, pakan tikus, larutan fisiologis NaCl 0.9%, etanol 70%, kain saring, eter, akuades, ekstrak akar purwoceng. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kandang tikus yang terbuat dari plastik, jaring-jaring kawat penutup kandang, botol minum tikus, alat bedah minor, Erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, kain saring, gelas objek, gelas penutup, mikroskop, kamera digital, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, spoit 1 ml, sonde lambung dari stainless steel, oven, wadah porselen, cotton swab, tisu, kapas, kertas label, dan timbangan analitis digital.
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng Akar purwoceng dikeringkan melalui penjemuran dengan sinar matahari. Suhu saat penjemuran tidak boleh melebihi 50 °C. Selanjutnya akar purwoceng yang telah kering dipotong tipis-tipis dan dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga di dapat bentuk serbuk (simplisia). Serbuk akar purwoceng diekstraksi dengan metode maserasi sebanyak 350 gram direndam dalam 3.5 liter etanol 70% sebagai zat pelarut selama 24 jam, setiap 2 jam sekali diaduk agar
16
homogen. Kemudian disaring dengan menggunakan kain saring. Hasil ekstrak disimpan di dalam Erlenmeyer sedangkan ampasnya direndam kembali dalam 3.5 liter etanol 70% selama 24 jam dan diaduk setiap 2 jam sekali. Setelah itu larutan disaring dan ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama di dalam Erlenmeyer ukuran 5 liter. Kemudian dilakukan proses evaporasi agar zat pelarut terpisah dengan menggunakan rotari evaporator (rotavapor) Buchi dengan suhu 48 °
C dengan kecepatan 60 rotasi per menit (rpm).
Selanjutnya ekstrak kering
diperoleh dengan menggunakan alat pengering beku (freeze drying). Ekstrak kering disimpan di dalam botol kaca steril dan dilarutkan kembali dengan akuades sesuai dosis saat perlakuan terhadap hewan coba. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram simplisia adalah sejumlah 95 gram.
Ekstrak ini
kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar 5% yaitu 5 gram dalam 100 ml akuades.
3.3.2 Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng Penentuan dosis ekstrak purwoceng pada tikus didasarkan pada penelitian terdahulu (Taufiqurrahman 1999) yaitu sebesar 25 mg/ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram atau 83.25 mg/kg bobot badan. Pada penelitian ini larutan stok mengandung 50 mg/ml sehingga jumlah ekstrak purwoceng yang diberikan pada tikus yaitu 0.5 ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram.
3.3.3 Persiapan Hewan Penelitian Tikus percobaan dibiarkan hidup di dalam kandang selama satu minggu agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kandang.
Tikus bunting
diperoleh dari hasil perkawinan alamiah dengan mengawinkan dua tikus betina dan satu tikus jantan dalam satu kandang. Tikus bunting dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok A (kontrol) dan kelompok B (perlakuan). Tikus betina tersebut diberi tanda dengan spidol pada bagian ekor agar tidak keliru, tanpa tanda untuk kelompok A dan diberi tanda untuk kelompok B.
Uji kebuntingan
dilakukan pada pagi hari dengan cara ulas vagina tikus betina dan diamati di bawah mikroskop. Perkawinan ditandai dengan adanya spermatozoa pada ulas vagina dan biasanya tercatat sebagai hari pertama kebuntingan.
Tikus yang
17
bunting harus dipisahkan dari jantan dan diletakkan pada satu kandang. Tikus yang tidak bunting dikembalikan ke kandang untuk dikawinkan kembali. Tikus yang bunting dipelihara di dalam kandang hewan individu yang terbuat dari plastik berukuran 30 cm × 20 cm × 12 cm serta dilengkapi dengan kawat penutup pada bagian atas. Pemberian pakan dan minum dilakukan ad libitum.
Pakan yang diberikan yaitu pellet dan air minum diberikan dengan
memasukkan ke dalam botol-botol kecil dan dijepitkan pada jaring-jaring kawat. Botol-botol berisi air tersebut dibuat lubang pada tutupnya agar air tersebut bisa diminum tikus. Penggantian sekam dan pencucian kandang dilakukan setiap satu minggu sekali.
3.3.4 Perlakuan Hewan Sepuluh ekor tikus betina bunting yang diperoleh dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: A: lima ekor tikus bunting yang tidak diberi perlakuan (kontrol) B: lima ekor tikus bunting yang diberi perlakuan, yaitu diberi ekstrak purwoceng peroral dengan dosis 0.5 ml/300 gram bobot badan tikus selama 13 hari kebuntingan dimulai sejak hari ke-1 kebuntingan. Seluruh tikus pada tiap kelompok tersebut dinekropsi pada hari ke-13 kebuntingan untuk melihat adanya perubahan makroanatomi dari alat reproduksi. Selanjutnya ovarium dan uterus diambil dan ditimbang bobotnya.
18
3.3.5 Bagan Penelitian Tikus jantan dewasa kelamin
Tikus betina dewasa kelamin Tikus betina
Kontrol (tidak diberi perlakuan)
Diberi purwoceng pada kebuntingan 1-13 hari (perlakuan) Nekropsi pada hari ke-13 kebuntingan
Pengamatan: Bobot ovarium, bobot uterus
3.4 Analisis Data Parameter yang diamati adalah bobot ovarium dan bobot uterus selama 13 hari kebuntingan. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji statistik menggunakan metode analysis of variance (ANOVA) untuk melihat adanya pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng selama kebuntingan 1-13 hari pada tikus putih (Steel dan Torrie 1993).
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng terhadap tikus putih betina pada usia kebuntingan 1-13 hari terhadap rata-rata bobot ovarium dan bobot uterus tikus putih dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih No.
Bobot ovarium (gram) K P
Bobot uterus (gram) K P
1 2 3 4 5
0.08 0.05 0.09 0.04 -
0.04 0.05 0.11 0.13 0.04
1.63 1.49 3.25 3.12 -
3.82 5.74 4.31 2.59 0.93
0.081± 0.027
0.137± 0.137
0.065 ± 0.0238
0,074 ± 0.042
Rata-rata Keterangan:
K = Kontrol P = Perlakuan
Pemberian ekstrak etanol purwoceng selama 13 hari kebuntingan pada tikus putih yang sedang bunting menunjukkan bahwa rata-rata bobot ovarium dan uterus cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tikus kontrol meskipun setelah dianalisis secara statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Hasil yang tidak signifikan antara kontrol dan perlakuan ini dapat disebabkan karena jumlah sampel yang terlalu sedikit. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Caropeboka (1980) yang menyatakan bahwa ekstrak akar purwoceng memiliki aktivitas androgenik. Hasil penelitian tersebut didukung oleh hasil penelitian Taufiqqurrachman (1999) yang melaporkan bahwa ekstrak akar purwoceng sebanyak 25 mg mampu meningkatkan kadar Luteinizing Hormone (LH) sebesar 4.5% dan kadar testosteron sampai 85.5% dibandingkan dengan kontrol (tanpa pemberian ekstrak) pada tikus Sprague-Dawley. Sebaliknya, ketika tikus betina tanpa indung telur disuntik dengan ekstrak akar purwoceng dalam minyak zaitun pada dosis yang sama, maka tampak adanya peningkatan yang sangat nyata pada bobot rahim.
20 Fakta tersebut juga memberi petunjuk adanya aktivitas estrogenik dari ekstrak akar purwoceng. Istilah androgen digunakan secara kolektif untuk senyawa-senyawa yang kerja biologiknya sama dengan testosteron.
Fungsi utama androgen adalah
merangsang perkembangan, aktivitas organ-organ reproduksi, dan sifat-sifat seks sekunder, sedang kerja kombinasinya disebut kerja androgenik. Androgen utama pada jantan adalah testosteron yang disekresikan oleh sel leydig akibat adanya perangsangan LH (Hafez 2000).
LH merupakan hormon yang diproduksi
hipofisis anterior dan berperan merangsang sel-sel dalam testis untuk memproduksi testosteron. Jumlah sel leydig sangat banyak pada individu baru lahir dan pada masa pubertas. Kebanyakan testosteron yang terfiksasi pada sel target berada dalam bentuk aktif, yaitu dehidrotestosteron. Testosteron adalah prekursor dari dua kelas steroid, yaitu reduksi 5α-androgen dan estrogen. Efek total yang ditimbulkannya adalah hasil penjumlahan dari pengaruh metabolit reduksi 5α-dihidrotestosteron dan turunan estrogennya, yaitu estradiol (Kee dan Hayes 1994).
Purwoceng pada jantan dapat meningkatkan kadar LH dan
testosteron (Taufiqqurrahman 1999). Pada hewan betina proses pembentukan testosteron melibatkan dua sel, yaitu sel teka dan sel granulosa. Sel granulosa akan berkembang di bawah pengaruh FSH dan sel teka akan berkembang di bawah pengaruh LH. Sel teka yang berkembang ini mensintesis androgen yaitu testosteron dari asetat dan kolesterol, sedangkan sel granulosa tidak mensintesis testosteron tetapi mendapatkan asupan testosteron dari sel teka yang pada akhirnya testosteron ini akan diaromatisasi oleh enzim aromatase yang ada pada sel granulosa menjadi estrogen (Johnson dan Everitt 1984).
Metabolisme testosteron pada betina
mempunyai jalan yang berbeda dengan jantan. Oleh karena itu ketika terjadi pemberian purwoceng yang sudah dibuktikan dapat meningkatkan testosteron, yang terjadi adalah kemungkinan meningkatnya estradiol.
Pengaruh ekstrak etanol purwoceng terhadap bobot ovarium Bobot ovarium tikus putih perlakuan yang cenderung lebih besar dibandingkan tikus putih kontrol diduga karena kadar estrogen yang meningkat
21 akibat pemberian purwoceng.
Ovarium merupakan organ primer reproduksi
betina yang dapat menghasilkan hormon yang akan diserap langsung ke dalam peredaran darah dan ovum yang dapat dilepaskan dari kelenjar (Frandson 1986). Hormon yang disintesis dalam ovarium terutama dari kolesterol yang berasal dari darah yaitu hormon estrogen (Guyton 1995). Achmadi (2011) menyatakan bahwa periode estrus pada tikus yang dicekok ekstrak purwoceng lebih panjang dibandingkan dengan tikus kontrol. Periode proestrus dan estrus merupakan periode siklus birahi yang terjadi saat fase folikular, yaitu fase pertumbuhan folikel yang sedang berkembang. Fase folikular atau proliferatif disebut juga fase estrogen.
Folikel yang sedang berkembang ini akan memproduksi estrogen
sehingga
semakin besar folikel yang terbentuk maka semakin tinggi kadar
estrogennya. Menurut Hiller (1991) dan Ganong (2003) sintesis hormon estrogen akan meningkat seiring dengan perkembangan folikel dalam ovarium.
Pada
penelitian ini, pemberian purwoceng dilakukan ketika hewan sudah bunting. Tujuan pemberian pada saat bunting ini adalah tidak terhadap proliferasi folikel lagi tetapi menambah hormon estrogen dari luar dengan asumsi bahwa purwoceng mengandung bahan aktif yang mirip atau memiliki efek seperti estrogen. Estrogen yang dihasilkan diduga dan diharapkan membantu peningkatan endogenous estrogen dalam folikel untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangan uterus.
Pengaruh ekstrak etanol purwoceng terhadap bobot uterus Tikus yang dicekok purwoceng cenderung memiliki bobot uterus yang lebih besar dibandingkan tikus kontrol. Seiring dengan peningkatan bobot ovarium pada tikus yang dicekok purwoceng yang diduga akan mengalami peningkatan kadar estrogen maka akan berdampak pada peningkatan bobot uterus. Estrogen merupakan hormon yang dapat menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan dan aktivitas endometrium serta mempersiapkan kerja progesteron pada endometrium (Johnson dan Everitt 1984). Adanya akumulasi cairan dan pertumbuhan endometrium ini mengakibatkan bobot ovarium dan uterus tikus putih mengalami peningkatan.
22
Gambar 6 Uterus tikus putih pada hari ke-13 kebuntingan. Uterus merupakan salah satu organ reproduksi betina yang berfungsi sebagai penerima dan tempat perkembangan ovum yang telah dibuahi. Uterus pada tikus berupa tabung ganda yang disebut tipe dupleks (Partodihardjo 1980). Dinding uterus terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu lapisan endometrium, miometrium dan perimetrium (Burkitt et al. 1999).
Lapisan endometrium
merupakan lapisan yang responsif terhadap perubahan hormon reproduksi, sehingga perubahan lapisan ini bervariasi sepanjang siklus estrus dan dapat dijadikan indikator terjadinya fluktuasi hormon yang sedang terjadi pada hewan tersebut (Johnson dan Everitt 1988; Dellman dan Brown 1992). Estrogen mempunyai dua macam reseptor, yaitu reseptor REα dan REβ. REα dan REβ banyak terdapat dalam jaringan reproduksi wanita diantaranya pada ovarium, endometrium, dan payudara (Ganong 2003). Uterus diketahui lebih banyak mengandung reseptor alfa (REα) daripada beta (REβ).
Pemberian
estrogen juga akan meningkatkan konsentrasi reseptor estrogen REα pada organ reproduksi (Kusmana et al. 2007). Reseptor estrogen dikendalikan oleh gen pada kromosom (Ganong 2003). Aktivitas estrogen di dalam sel dimulai setelah terjadi ikatan estrogen dengan reseptor di dalam sitosol. Kompleks estrogen dan reseptor selanjutnya berdifusi ke dalam inti sel dan melekat pada DNA. Ikatan kompleks
23 estrogen-reseptor dengan DNA menginduksi sintesis dan ekspresi mRNA berupa sintesis protein sehingga meningkatkan aktivitas sel target yang ditunjukkan dengan terjadinya proliferasi sel (Ganong 2003; Campbell et al. 2004). Efek estrogenik akar purwoceng dapat mempengaruhi aktivitas mitogenik sel-sel epitel uterus, vagina, dan kelenjar ambing. Aktivitas mitogenik tersebut berupa proliferasi maupun diferensiasi sel-sel epitel. Aktivitas mitogenik sel epitel dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Estrogen dapat berikatan langsung dengan REα epitel ataupun secara tidak langsung dengan REα stroma. Proliferasi yang terjadi pada sel-sel epitel endometrium uterus, epitel vagina, dan epitel duktus kelenjar ambing terjadi secara tidak langsung yang dibantu oleh faktor parakrin yang dihasilkan sel stroma akibat induksi estrogen (Cooke et al. 1995). Faktor parakrin yang berperan memberikan sinyal untuk menginduksi proliferasi diduga berupa growth factor (GF). Bermacam-macam GF yang diproduksi oleh sel stroma, salah satunya yaitu epidermal growth factor (EGF) yang diduga kuat berperan dalam proliferasi epitel endometrium, epitel vagina, dan duktus kelenjar kelenjar ambing. Estrogen berikatan pada REα stroma yang kemudian akan mengaktifkan faktor parakrin untuk menginduksi mitosis sel-sel epitel. Faktor parakrin berupa EGF akan teraktivasi oleh ikatan reseptor tirosin kinase yang terdapat pada epitel. Kompleks EGF dan reseptor tirosin kinase tersebut kemudian akan mengaktifkan protein-protein kinase yang terdapat dalam sitoplasma sel. Protein kinase yang teraktivasi diduga berupa mitogen-activated protein kinase (MAPK) yang merupakan sinyal utama pengaktivasi transkripsi maupun translasi, sehingga terjadi sintesis protein (Clarke et al. 2001). Protein hasil sintesis tersebut diperlukan dalam proses mitosis pada sel-sel epitel. Mitosis yang terjadi pada setiap sel epitel kemudian akan menyebabkan epitel tersebut berproliferasi sampai batas optimum. Proliferasi sampai batas optimum ini menyebabkan bobot uterus kelompok tikus perlakuan lebih besar dibandingkan bobot uterus kelompok tikus kontrol meskipun setelah dianalisa secara statistika pemberian ekstrak etanol purwoceng menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara kelompok tikus perlakuan dan kelompok tikus kontrol.
24 Uterus merupakan organ reproduksi yang memiliki reseptor estrogen (Johnson dan Everitt 1988; Cooke et al. 1995) sehingga perubahan yang terjadi pada lapisan penyusun dinding uterus merupakan hasil regulasi hormon, terutama hormon estradiol. Penyusun lapisan endometrium uterus adalah selapis epitel kolumnar dan lamina propia yang terdiri dari jaringan ikat dan kelenjar (Johnson dan Everitt 1988; Burkitt et al. 1999). Kelenjar uterus di dalam endometrium merupakan kelenjar tubular sederhana yang mengalami perubahan sepanjang siklus estrus. Aksi fitoestrogen yang sama dengan estradiol sepanjang fase folikular menyebabkan proliferasi lapisan endometrium, termasuk
kelenjar
endometrial. Hal inilah yang menyebabkan dinding uterus semakin tebal sehingga bobotnya pun bertambah. Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011), menunjukkan bahwa zat yang terkandung paling banyak di dalam akar purwoceng adalah flavonoid dan alkaloid. Senyawa tersebut bersifat estrogenik dan merupakan fitoestrogen.
Fitoestrogen adalah
sumber estrogen yang berasal dari tanaman yang merupakan senyawa non steroidal dan mempunyai aktivitas estrogenik atau dapat dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen. Fitoestrogen merupakan substrat dari tanaman yang berkhasiat seperti estrogen dan mempunyai inti yang sama walaupun rumus bangun kimianya berbeda dengan estrogen.
Suatu substrat baru berefek
estrogenik bila telah berikatan dengan reseptor estrogen (Tsorounis 2004). Flavonoid termasuk ke dalam golongan fitoestrogen. Flavonoid merupakan senyawa polar sehingga dapat larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, aseton, dimetil sulfoksida (DMSO), dimetil fontamida (DMF), dan air (Markham 1988). Isoflavon (Gambar 7) adalah golongan senyawa yang struktur dasarnya terdiri dari dua cincin benzena, dan dihubungkan menjadi satu oleh tiga atom karbon yang tertutup atau tidak tertutup oleh cincin piran. Senyawa isoflavon termasuk dalam golongan flavonoid (Liu 1997).
25
8 7 6
O
A
2 3
1’
5
O
2’
6’ 5’
B
A: Cincin Benzena A dengan 6 atom karbon 4’
3’
Keterangan: B: Cincin Benzena B dengan 6 atom karbon
Gambar 7 Struktur umum isoflavon (Madhavi dan Salunkhe 1996; Chang 2002). Perbedaan senyawa isoflavon dengan flavonoid terletak pada kedudukan dari cincin aromatik B pada rantai propana sentral (Manitto 1992; Madhavi dan Salunkhe 1996). Senyawa isoflavon sering dijumpai hanya pada tanaman Leguminoceae karena terbatasnya distribusi enzim chalcone isomerase yang mengubah 2 (R)-naringinen, sebagai prekursor flavon menjadi 2-hidroxydaidzein (Coward et al. 1993). Fitoestrogen mayor seperti isoflavon struktur kimianya sama dengan estradiol-17β sehingga dapat dipakai sebagai bahan estrogen alami yang paling potensial. Molekul-molekul fitoestrogen dapat menempati reseptor estrogen (Anggraini 2008), misalnya isoflavon dapat berkombinasi dengan reseptor estrogen sekalipun dengan afinitas yang lebih rendah dibandingkan estradiol-17β dan menstimulasi aktivitas estrogenik sehingga memberikan efek terhadap organ reproduksi tikus yaitu merangsang pertumbuhan uterus dan menstimulir penebalan endometrium sehingga uterus membesar dan bobotnya meningkat. Estrogen steroid alami yang paling kuat di dalam tubuh manusia adalah estradiol-17β (E2), diikuti estron (E1), dan estriol (Cao et al. 2004). Walaupun afinitas terhadap reseptor estrogen tidak setinggi estradiol namun fitoestrogen mampu menimbulkan efek estrogenik (Sheehan 2005). Senyawa lain yang terdapat dalam purwoceng yang mungkin juga mempengaruhi pertambahan bobot ovarium dan uterus adalah stigmasterol. Stigmasterol merupakan salah satu contoh steroid dengan jumlah atom karbon 29. Steroid atau sterol adalah suatu golongan senyawa triterpenoid yang mengandung inti siklopentana perhidrofenantren yaitu dari tiga cincin sikloheksana dan sebuah cincin siklopentana. Banyak juga senyawa steroid yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan. Senyawa sterol pada tumbuhan disebut dengan fitosterol, yang umum terdapat pada tumbuhan tinggi adalah sitosterol, stigmasterol dan kampesterol
26 (Harborne 1987; Robinson 1995). Secara umum komposisi sterol yang terdapat dalam jaringan tumbuhan yaitu 70% sitosterol, 20% stigmasterol, dan 5% kampesterol (Marliyati 2005).
Penelitian Caropeboka pada tahun 1980
membuktikan adanya aktivitas estrogenik dari akar purwoceng.
Hal tersebut
diduga berasal dari kandungan fitosteroid berupa kampesterol, fitosterol, dan stigmasterol. Ketiga senyawa fitosteroid tersebut memiliki kemiripan struktur dengan kolesterol yang merupakan prekursor pembentukan hormon seks, salah satunya hormon estrogen (Montgomery et al. 1993).
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5. 1 Simpulan Pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) selama 1-13 hari kebuntingan tikus putih cenderung meningkatkan bobot ovarium dan uterus.
5. 2 Saran 1.
Perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak setelah dilahirkan dari induk betina yang diberi ekstrak etanol purwoceng selama 113 hari kebuntingan.
2.
Perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) dengan dosis optimum.
3.
Perlu dilakukan analisa hormon di dalam darah.
DAFTAR PUSTAKA Abimosaurus. 2010. Mencit dan tikus putih galur Wistar Sprague Dawley untuk praktikum dan penelitian. http://forum.detik.com/ p=10498201 [05 Juli 2011]. Achmadi P. 2011. Kajian androgenik ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) terhadap kinerja reproduksi tikus putih (Rattus norvegicus) betina dara [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Anggraini W. 2008. Fitoestrogen sebagai alternatif alami terapi sulih hormon untuk pengobatan osteoporosis primer pada wanita pascamenopouse. M I Kedokteran Gigi 23(1): 27,29. [Balittro] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2011. Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng. Bogor: Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Ballenger L. 2000. Rattus norvegicus. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/rattus/r._norvegicus$narrat ive.html [15 Desember 2010]. Ballenger L. 2002. The diversity web. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/rattus/r._norvegicus$narrat ive.html [15 Desember 2010]. Burkitt HG, Young B, Heath JW. 1999. Wheaters Functional Histology, A Text and Colour Atlas. Ed ke-3. Edinburg: Churchill Livingstone. Campbell N. 2004. Biologi. Ed Ke-5. Jakarta: Erlangga. Chang SKC. 2002. Isoflavones from Soybeans and Soy Foods. Di dalam: Shi J, Mazza G, Maguer ML. Functional Foods (Biochemical and Procesing Aspects). New York: CRC Pr. Cao ZT, Swift TA, West CA, Rossano TG, Rej R. 2004. Immunoassay of estradiol: unanticipated suppression by unconjugated estriol. Clin Chem 50(1):160–165. Caropeboka AM. 1980. Pengaruh ekstrak akar Pimpinella alpina terhadap sistem reproduksi tikus [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Caropeboka et al. 1983. Aspek hormonal respons tubuh terhadap ekstrak akar Pimpinella alpina Koord. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
29
Clarke R, Leonessa F, Welch JN, Skaar TC. 2001. Cellular and molecular pharmacology of antiestrogen action and resistance. Pharmacol Rev 53:2571. Cooke PL, Buchanan DL, Lubchan DB, Cunha GR. 1995. Mechanism of estrogen action: lessons from the estrogen receptor-α knockout Mouse. Biol Reprod 59:470-475. Corwin EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Ed ke-3. Subekti NB, penerjemah; Yudha EK, Wahyuningsih E, Yulianti D, Karyuni PE, editor. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Handbook of Phatophysiology, 3rd Ed. Coward L, Barnes NC, Setchell KDR, Barnes S. 1993. Genistein, daidzein and other -glycoside conjugates: antitumor isoflavones in soybean foods from American and Asian diets. J Agric Food Chem 41:1961-1987. Darwati I, Roostika I. 2006. Status Penelitian Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah 12(1):9-15. Dellmann HD, Brown EM. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner II. Ed ke-3. Jakarta: UI. Decherney A, Nathan L. 2003. Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & treatment. Ed ke-9. Asia: The MeGrawi-Hill education. Frandson RD. 1986. Anatomy and Physiology of Farm Animals. Ed ke-4. Philadelphia: Lea and Febiger. Fauzi, Mustafa FI, Supriyati N. 2009. Menghasilkan ekstrak purwaceng (Pimpinelle alpine Molk) melalui kultur jaringan serta pengaruhnya terhadap hasil metabolit sekunder. http://www.risbinkes.litbang.depkes.go.id/Buku%20laporan%20penelitian% 201997-2006/19-menghasilkan_ekstrak_purwaceng.htm [11 Juli 2011]. Ganong WF. 2003. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Gunawan D. 2002. Ramuan Tradisional untuk Keharmonisan Suami Isteri. Ed ke3. Jakarta: Penebar Swadaya. Guyton AC. 1995. Fisiologi Manusia. Ed ke-3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Hafez ESE. 2000. Reproduction in Farm Animals. Ed ke-7. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
30
Harborne. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Ed ke-2. Bandung: ITB. Hernani, Rostiana O. 2004. Analisis kimia akar purwoceng (Pimpinella pruatjan). Di dalam: Indonesian Biopharmaca and Excibition and Conference. Prosiding Fasilitasi Forum Kerjasama Pengembangan Biofarmaka. Yogyakarta, 14-15 Juli 2004. Yogyakarta: Ditjen Hortikultura, Departemen Pertanian. Hiller SG. 1991. Ovarian Endocrinology. London: Blackwell Sci. publ. Hunter RHF. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik. Bandung: ITB. Inglis JK. 1980. Introduction to Laboratory Animal Science and Technology. USA: Pergamon Pr. Johnson MH, Everitt BJ. 1984. Essential Reproduction. Ed ke-2. London and Beccles: William Clowes Limited. Johnson MH, Everitt BJ. 1988. Essential Reproduction. Ed ke-3. London: Blackwell Sci. publ. Juniarto AZ. 2004. Perbedaan pengaruh pemberian ekstrak Eurycoma longifolia dan Pimpinella alpina pada spermatogenesis tikus Sprague-Dawley [tesis]. Semarang: Program Studi Ilmu Biomedik, Universitas Diponegoro. Kee JL, Hayes ER. 1994. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan. Anugerah P, penerjemah; Asih Y, editor. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Pharmacology: A Nursing Process Aproach. hlm 678. Kusmana D, Lestari R, Setiorini, Dewi AN, Ratri PR, Soraya RRR. 2007. Efek estrogenik ekstrak etanol 70% kunyit (Curcuma domestica Val.) terhadap mencit (Mus musculus L.) betina yang diovariektomi. Makara Sains 11(2):90-97. Liu KS. 1997. Soybeans: Chemistry, Technology and Utilization. New York: Chapman and Hall. Madhavi DL, Salunkhe DK. 1996. Toxicological aspects of food antioxidants. Di dalam Food Antioxidants (Technological, Toxicological, and Health Perspectives). New York: Marcel Dekker, Inc. Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
31
Manitto P. 1992. Biosynthesis Of Natural Products. Semarang: IKIP Semarang Pr. Markham. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: ITB. Marks DB, Marks AD, Smith CM. 2000. Biokomia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis. Pendit Bu, penerjemah; Suyono J, Sadikin V, Mandera I, editor. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Basic Medical Biochemistry: A Clinical Approach. hlm 717. Marliyati SA, Syarief H, Muchtadi D, Darusman LK, Rimbawan. 2005. Ekstraksi dan analisis fitosterol lembaga gandum (Triticum sp.). Jurnal Teknol dan Industri Pangan 16(1):2. Montgomery R, Robert LG, Thomas WC, Arthur AS. 1993. Biokimia: Suatu Pendekatan Berorientasi Kasus. Ismadi, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Pr. Terjemahan dari: Biochemistry A Case-Oriented Approach. Myers P, Armitage D. 2004. “Rattus norvegicus” animal diversity web. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/information/Rattus_norveg icus.html [15 Desember 2010]. Nalbandov AV. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Jakarta: UI Pr. Needham J, Smith A, Prestrud KW. 2011. Caesarian rederivation in the mouse. http://oslovet.norecopa.no/teaching/mouse/techniques/rederive/default.html [05 Juli 2011]. Partodihardjo S. 1980. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta: Mutiara. Pineda MH. 1983. Female Reproductive System. Di dalam: Mc Donald, editor. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Ed ke-4. London: Lea dan Febiger. Prawirohardjo S. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. Rahayu S, Sunarlim N. 2002. Konservasi tumbuhan obat langka purwoceng melalui pertumbuhan minimal. Buletin Plasma Nutfah 8(1):29-33. Rahardjo M. 2003. Purwoceng tanaman obat aprodisiak yang langka. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 9(2):4-7. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Ed ke-6. Padmawinata K, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: The Organic Constituents of Higher Plants.
32
Sarah. 1998. Hormon. http://www.vivats.de/tsinfo/maenner/hormone/artikel/hormone.html [06 Juli 2011]. Sheehan DM. 2005. The case for expanded phytoestrogen research. Proc Soc Exp Biol Med 208:5-3. Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1987. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Pr. Speroff L, Fritz, Marc A. 2005. Clinical Gynecologic Endocrinology & Infertility. Ed ke-7. Lippincott Williams & Wilkins. Steel RD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Procedures of Statistics. Suzery M, Cahyono B, Ngadiwiyana, Nurhasnawati H. 2004. Senyawa stigmasterol dari Pimpinella alpina Molk. Suplemen 39(1):39-41. Syahid SF, Rostiana O, Rohmah M. 2004. Pengaruh NAA dan IBA terhadap Perakaran Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) in Vitro. Yogyakarta: Indonesian Biopharmaca Excibition and Conference. Taufiqqurrachman. 1999. Pengaruh ekstrak Pimpinella alpina Molk. (purwoceng) dan akar Eurycoma longifolia Jack. (pasak bumi) terhadap peningkatan kadar testosteron, LH, dan FSH serta perbedaan peningkatannya pada tikus jantan Sprague-Dawley [Tesis]. Semarang: Pascasarjana Ilmu Biomedik, Universitas Diponegoro. Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Penerbit Angkasa. Tsourounis C. 2004. Clinical effects of fitoestrogens. Clin Obst Gynecol 44:836842. Turner CD, Bagnara JT. 1988. Endokrinologi Umum. Ed ke-6. Surabaya: Airlangga University Pr. Veterinary Library. 1996. The laboratory rat. http://www.animal.co.nz/library/small_pet/rats.htm [17 Desember 2010]. Yuhono JT. 2004. Usaha tani purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk), potensi, peluang dan masalah pengembangannya. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 15(1):25-32.
LAMPIRAN
34
Lampiran 1 Analisis bobot ovarium pada kebuntingan 13 hari Perlakuan
Mean
N
Std. Deviation
Control Purwoceng Total
.08125 .13700 .11222
4 5 9
.027801 .137186 .102777
Source Model
Type III Sum of Squares .160a
df 6
Mean Square .027
F 2.136
Sig. .285
Perlakuan tikus_ke Error Total
.013 .040 .038 .198
1 4 3 9
.013 .010 .013
1.055 .801
.380 .597
a. R Squared = .810 (Adjusted R Squared = .431) Lampiran 2 Analisis bobot uterus pada kebuntingan 13 hari
Perlakuan
Mean
N
Std. Deviation
Control
.0650
4
.02380
Purwoceng
.0740
5
.04278
Total
.0700
9
.03391
Source
Type III Sum of Squares a
df
Mean Square
F
Sig.
Model Perlakuan
.049 .001
6 1
.008 .001
5.506 .414
.095 .566
tikus_ke
.005
4
.001
.775
.608
Error
.004
3
.001
Total
.053
9
a. R Squared = .917 (Adjusted R Squared = .750)