ANALISIS PROSES KOMUNIKASI INTERPERSONAL GURU SLB DAN SISWA TUNARUNGU DALAM MENINGKATKAN KEMANDIRIAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (Studi Deskriptif Pada Guru dan Siswa SLB Negeri Cicendo Bandung) ANALYSIS OF INTERPERSONAL COMMUNICATION PROCESS BETWEEN TEACHER AND DEAF STUDENTS IN IMPROVING THE CHILD’S INDEPENDENCE WITH SPECIAL NEEDS (Descriptive Study on Teacher and Students of SLB Negeri Cicendo Bandung) Bunga Indah Pratiwi1 Martha Tri Lestari, S.Sos., MM2 Berlian Primadani Satria Putri, S.I.Kom., M.Si3 1,2,3
1
Prodi S1 Ilmu Komunikasi, Fakultas Komunikasi dan Bisnis, Universitas Telkom
[email protected] ,
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Anak tunarungu merupakan salah satu klasifikasi anak berkebutuhan khusus yang memiliki keterbatasan dalam pendengarannya yang memberikan dampak negatif bagi perkembangannya, terutama dalam kemampuan berbicara dan berbahasa. Keterbatasan yang dimiliki anak tunarungu ini membuat orangtua khawatir dengan perkembangan anaknya dimasa depan, khususnya mengenai kemandirian anaknya tersebut. Adanya kekhawatiran ini juga membuat orangtua selektif dalam menentukan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi interpersonal yang dilakukan guru SLB dan siswa tunarungu dalam meningkatkan kemandirian anak berkebutuhan khusus. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Informan kunci pada penelitian ini berjumlah 4 orang yang terdiri dari 2 orang guru SLB dan 2 orang siswa tunarungu di SLB Negeri Cicendo Bandung. Sedangkan untuk informan pendukung yaitu kedua orangtua siswa tunarungu. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa observasi dan wawancara mendalam. Untuk meningkatkan validitas data, peneliti menggunakan triangulasi metode yaitu membandingkan hasil observasi dengan hasil wawancara yang didapatkan. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa belum semua aspek kemandirian diterapkan pada proses belajar mengajar di SLB Negeri Cicendo Bandung. Pada kemandirian emosional, dari keempat aspek kemandirian emosional hanya satu aspek yang terlihat yaitu melatih keterampilan berkomunikasi siswa tunarungu secara lisan. Pada kemandirian behavioral, dari ketiga aspek yang terlihat hanya satu aspek yaitu meningkatkan rasa percaya diri siswa tunarungu dengan menciptakan suasana kompetitif di kelas. Pada kemandirian nilai belum terlihat penerapannya pada proses belajar mengajar di SLB Negeri Cicendo Bandung. Pemberian motivasi dan perhatian oleh guru dan orangtua secara simultan diprediksi dapat membantu siswa tunarungu dalam mengembangkan kemandiriannya.
Kata Kunci : Komunikasi Interpersonal, Siswa Tunarungu , Kemandirian
ABSTRACT
Deaf children is one of the children classification with special needs who has limited hearing that give the negative effect to their development, especially in speech and language ability. The limitation of these deaf children makes parents worried with their development in the future, especially regarding the child’s independence. The worry of it also makes parents selective in determine the education for children with special needs.The aim of this study was to know how an interpersonal communication process between teacher and deaf students in
improving the child’s independence with special needs.This research used qualitative research methods to the presentation of descriptive analysis. The key informan in this research were 2 teachers and 2 deaf students at SLB Negeri Cicendo Bandung. Meanwhile for informan support are the parent of deaf students. Data collection techniques used were observation and indepth interviews. In reaching the validity of the data, researchers used triangulation metodh that compared observation result with indept interview result. Based on the research result was found that not all aspects of independence are applied to the teaching and learning process at SLB Negeri Cicendo Bandung. In emotional independence. Only one aspect visible that is training deaf student to speak verbally. For behavioral independence, only one aspect visible that is increasing selfconfidence of deaf student by creating a competitive atmosphere in classroom. While in independence value, all aspect have not seen in the the teaching and learning process. Keyword :interpersonal communication, deaf students, independence 1.
PENDAHULUAN
Berkomunikasi merupakan suatu hal yang mendasar bagi semua orang. Banyak orang yang menganggap bahwa berkomunikasi itu suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Namun, seseorang akan tersadar bahwa komunikasi tidak akan menjadi mudah apabila terjadi gangguan komunikasi (noise), baik noise tersebut terjadi pada komunikator, medium ataupun komunikannya itu sendiri. Situasi tersebut dapat mengakibatkan proses komunikasi yang berjalan tidak efektif. Proses komunikasi yang terhambat seringkali ditemukan pada interaksi komunikasi yang melibatkan anak-anak berkebutuhan khusus seperti tunarungu. Hal ini disebabkan karena terhambatnya bahasa yang seharusnya mereka dapatkan melalui pendengaran. Sama seperti anak normal, anak-anak berkebutuhan khusus pun dalam perkembangannya akan melalui tahap-tahap perkembangan seperti masa prenatal (bayi), remaja dan dewasa. Tentunya dengan kekurangan yang dimiliki anak berkebutuhan khusus, mereka memerlukan pendampingan extra dari orang - orang sekitarnya dalam melewati tahapan - tahapan tersebut untuk membentuk kemandirian anak. Perkembangan kemandirian mereka ini berkaitan dengan bekal masa depannya dimana individu harus mampu melaksanakan hidup dengan tanggung jawab berdasarkan norma yang berlaku. Selain itu kemandirian juga berkaitan dengan kualitas hidup mereka di masa mendatang yang harus bersaing dengan orang-orang yang tidak memiliki keterbatasan. Adanya kekhawatiran orangtua mengenai kemandirian anak tunarungu juga menjadi salah satu aspek yang menjadi perhatian khusus bagi orangtua untuk menentukan pendidikan anaknya. Untuk menjadi individu yang mandiri tidaklah muncul begitu saja secara mendadak, tetapi harus dimulai dengan latihan kemandirian sejak kecil. Smart dan Smart dalam kutipan Nisa[23] menyatakan bahwa "kemandirian dapat dilihat sejak individu masih kecil dan akan terus berkembang sehingga akhirnya menjadi sifat relatif menetap pada masa remaja". Salah satu penanganan masalah pembentukan kemandirian ini dapat dilakukan melalui pemberian layanan pendidikan yang tepat bagi anak tunarungu. Wardani[30] menyebutkan bahwa semua penyandang keluarbiasaan memerlukan keterampilan/ vokasional dan bimbingan karir yang akan memungkinkan mereka mendapat pekerjaan dan hidup mandiri tanpa banyak tergantung dari bantuan orang lain. Salah satu SLB-B untuk anak tunarungu yang telah memiliki visi dan misi untuk menghasilkan peserta didik yang mandiri adalah SLB Negeri Cicendo Bandung. Didalam visi SLB Negeri Cicendo disebutkan bahwa sekolah ini ingin menghasilkan peserta didik yang kompeten berkomunikasi dan memiliki kecakapan hidup. Pada proses belajar mengajar di SLB-B terlihat adanya komunikasi antar pribadi ( interpersonal ) yang lebih intens dilakukan antara guru dan siswanya karena salah satu metode pengajaran siswa berkebutuhan khusus adalah pembelajaran secara individu per individu. Dari uraian diatas, peneliti menjadi tertarik untuk memahami secara mendalam mengenai bagaimana proses komunikasi interpersonal antara guru SLB dan siswanya dalam membangun kemandirian siswa di SLB Negeri Cicendo Bandung. Fokus Penelitian
Fokus permasalahan pada penelitian ini adalah “Bagaimana proses komunikasi interpersonal guru SLB dengan siswa tunarungu dalam meningkatkan kemandirian anak berkebutuhan khusus di SLB Negeri Cicendo Bandung?”. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah mengetahui proses komunikasi interpersonal guru SLB dalam meningkatkan kemandirian siswa SLB. Metodologi Penelitian Peneliti dalam melakukan penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Moleong[19] penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Dalam hal ini penelitian yang dilakukan yaitu berkaitan dengan aktifitas berkomunikasi antara guru SLB dengan siswa tunarungu. Setelah menentukan metode penelitian, peneliti menggunakan studi deskriptif. Prastowo[24] menyimpulkan bahwa metode penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha mengungkap fakta suatu kejadian, objek, aktivitas, proses, dan manusia secara apa adanya pada waktu sekarang atau jangka waktu yang masih memungkinkan dalam ingatan responden. Penelitian ini sesuai menggunakan studi deskriptif karena mengungkapkan bagaimana proses komunikasi interpersonal dalam meningkatkan kemandirian yang berlangsung saat proses belajar mengajar antara guru SLB dan siswa tunarungu.
2.
DASAR TEORI
Komunikasi Antarpribadi ( Interpersonal Communication) Komunikasi Antarpribadi (Interpersonal Communication) adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun non verbal[20]. Definisi lain menyebutkan bahwa komunikasi interpersonal adalah proses penyampaian dan penerimaan pesan antara pengirim pesan (sender) dengan penerima (receiver) baik secara langsung maupun tidak langsung[6]. Suranto Aw[6] menyebutkan terdapat sembilan komponen pada komunikasi interpersonal yaitu : 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Sumber/komunikator Sumber/komunikator adalah orang yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi, yakni keinginan untuk membagi keadaan internal sendiri, baik yang bersifat emosional maupun informasional dengan orang lain. Encoding Encoding adalah suatu aktifitas internal pada komunikator dalam menciptakan pesan melalui pemilihan simbol-simbol verbal dan non verbal, yang disusun berdasarkan aturan-aturan tata bahasa, serta disesuaikan dengan karakteristik komunikan. Pesan Pesan adalah seperangkat simbol-simbol baik verbal maupun non verbal, ataupun gabungan keduanya, yang mewakili keadaan khusus komunikator untuk disampaikan kepada pihak lain. Saluran Saluran merupakan sarana fisik penyampaian pesan dari sumber ke penerima atau yang menghubungkan orang ke orang lain secara umum. Penerima/komunikan Penerima/komunikan adalah seseorang yang menerima, memahami dan menginterpretasikan pesan. Dalam proses komunikasi interpersonal, penerima bersifat aktif, selain menerima pesan melakukan pula proses interpretasi dan memberikan umpan balik. Decoding Decoding merupakan kegiatan internal dalam diri penerima dalam memberikan makna pada pesan yang diterima. Melalui indera, penerima mendapatkan macam-macam data dalam bentuk “mentah” berupa kata-kata dan simbol-simbol yang harus diubah ke dalam pengalaman-pengalaman yang mengandung makna. Respon Respon yakni apa yang telah diputuskan oleh penerima untuk dijadikan sebagai sebuah tanggapan terhadap pesan.
8.
Gangguan (Noise)) merupakan apa saja yang mengganggu atau membuat kacau penyampaian dan penerimaan pesan, termasuk fi fisik dan phsikis. 9. Konteks komunikasi berkaitan dengan konteks dimensi ruang, waktu dan nilai. Konteks ruang menunjuk pada lingkungan konkrit dan nyata tempat terjadinya komunikasi. Konteks waktu menunjuk pada waktu kapan komunikasi tersebut dilaksanakan. Ko Konteks nteks nilai meliputi nilai sosial dan budaya yang mempengaruhi suasana komunikasi. Semakin kita memahami elemen penting dari komunikasi interpersonal, maka kompetensi dan skill komunikasi interpersonal kita akan semakin meningkat. Keberhasilan komunikasi interpersonal menjadi tanggung jawab para peserta komunikasi. Proses Komunikasi Interpersonal Dalam proses komunikasi interpersonal yang melibatkan dua orang dalam situasi interaksi, komunikator menyandi suatu pesan, lalu menyampaikannya menyampaikannya kepada komunikan, dan komunikan mengawas sandi pesan tersebut. Suranto Aw[6] mengasumsikan bahwa proses roses komunikasi interpersonal akan terjadi apabila ada pengirim menyampaikan informasi berupa lambang verbal maupun nonverbal kepada penerima dengan menggunakan medium suara manusia (human voice), maupun dengan medium tulisan.
Gambar 1 Proses Komunikasi Interpersonal (Sumber : Suranto Aw, 2011 : 7) Gambar diatas menjelaskan mengenai proses komunikasi interpersonal yang diawali dengan adanya keinginan untuk berkomunikasi pada komunikator. Keinginan berkomunikasi ini dapat muncul berupa gagasan, informasi, opini dan lain-lainnya lain yang muncul dari benak komunikator. Langkah selanjutnya, komunikator menyandi (encoding) pesan yang akan disampaikannya kepada komunikan. Komunikator memformulasikan pesan tersebut ke dalam lambang (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Setelah itu masuk pada langkah ketiga yaitu pengiriman pesan. Pesan yang dikirimkan kemudian diterima oleh komunikan dan selanjutnya terjadi proses decoding dimana komunikan menetapkan makna pada lambang yang disampaikan oleh komunikator kepadanya. Dari proses decoding ini menghasilkan hasilkan umpan balik (feedback), yakni tanggapan komunikan terhadap pesan yang disampaikan tersebut. Umpan balik ini biasanya merupakan awal dimulainya suatu siklus proses komunikasi baru, sehingga proses komunikasi berlangsung secara berkelanjutan. Kemandirian Istilah kemandirian merujuk pada konsep Steinberg dalam Aprilia[3] yang dalam tulisannya menggunakan istilah autonomy, yaitu kemandirian untuk bertindak, tidak tergantung pada orang lain. Istilah otonomi seringkali dianggap sama den dengan gan kemandirian. Kemandirian tidak bisa selesai di satu tahap kehidupan saja, melainkan akan terus menerus berkembang di dalam setiap tahap perkembangan seseorang. Menurut teori perkembangan psikososial Erikson dalam Tyas[28] menyebutkan bahwa kemandirian mulai terlihat pada anak usia 18 bulan hingga 3 tahun ((toddler). Berdasarkan beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk dapat bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak mengandalkan dukungan ataupun bantuan dari orang lain secara berlebihan dan dapat mempertanggungjawabkan mempertanggungjawabkan setiap tindakan yang dilakukannya tersebut. Steinberg dalam Budiman[7] membagi kemandirian dalam tiga tipe, yaitu kemandirian emosional (emotional autonomy),, kemandirian behavioral (behavioral autonomy),, dan kemandirian nnilai (values autonomy).
1.
Kemandirian Emosional (emotional autonomy) Kemandirian emosional adalah dimensi kemandirian yang berhubungan dengan perubahan keterikatan hubungan emosional remaja dengan orang lain, terutama dengan orang tua. Terdapat empat aspek kemandirian emosional, yaitu : a. Sejauh mana remaja mampu melakukan de-idealized terhadap orang tua Aspek pertama dari kemandirian emosional adalah de-idealized, yakni kemampuan remaja untuk tidak mengidealkan orang tuanya. Indikatornya adalah memahami orangtua apa adanya dan memiliki respek objektif terhadap orangtuanya. b. Sejauh mana remaja mampu memandang orang tua sebagai orang dewasa umumnya (parents as people) Aspek kedua dari kemandirian emosional adalah pandangan tentang parents as people, yakni kemampuan remaja dalam memandang orang tua sebagaimana orang lain pada umumnya. Indikatornya mampu berinteraksi secara seimbang dengan orangtua, dapat menghormati dan mencintai orangtua dengan tulus, serta mampu menghargai perbedaan pendapat dengan orangtua. c. Sejauh mana remaja tergantung kepada kemampuannya sendiri tanpa mengharapkan bantuan emosional orang lain (nondependency) Aspek ketiga dari kemandirian emosional adalah nondependency, yakni suatu derajat di mana remaja tergantung kepada dirinya sendiri dari pada kepada orang tuanya untuk suatu bantuan. Indikatornya adalah mampu mengatasi masalah sendiri dan memiliki keterampilan berkomunikasi. d. Sejauh mana remaja mampu melakukan individualisasi di dalam hubungannya dengan orang tua Aspek keempat dari kemandirian emosional pada remaja adalah mereka memiliki derajat individuasi dalam hubungan dengan orang tua (individuated). Indikatornya adalah melakukan hubungan antar pribadi secara wajar, mampu bersikap objektif dan realistis terhadap diri sendiri maupun terhadap orangtua.
2.
Kemandirian Behavioral (behavioral autonomy) Kemandirian behavioral adalah dimensi kemandirian yang merujuk kepada kemampuan remaja membuat keputusan secara bebas dan konsekuen atas keputusannya itu. Terdapat tiga domain pada kemandirian perilaku (behavioral autonomy) yang berkembang pada masa remaja yaitu : a. Mampu menganbil keputusan yang ditandai dengan menyadari resiko terhadap tingkah lakunya, memilih alternatif pemecahan masalah, dan bertanggung jawab atas konsekuensi dari keputusan yang diambilnya. b. Memiliki kekuatan terhadap pengaruh pihak lain yang ditandai dengan tidak mudah terpengaruh pada situasi konformitas dan tidak terpengaruh tekanan teman sebaya dan orangtua dalam mengambil keputusan c. Memiliki rasa percaya diri (self reliance) yang ditandai oleh kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah dan di sekolah, mampu memenuhi tanggung jawab di rumah dan di sekolah, mampu mengatasi masalah sendiri dan berani mengemukakan ide atau gagasan
3.
Kemandirian Nilai (value autonomy) Kemandirian nilai adalah dimensi kemandirian yang merujuk kepada kemampuan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, serta penting dan tidak penting. Kemandirian nilai ini baru bisa tercapai setelah kemandirian emosional dan kemandirian tingkah laku berkembang dengan baik. Steinberg dalam Tyas[28] mengungkap bahwa terdapat bukti yang menunjukan bahwa perkembangan kemandirian nilai ini muncul lebih lama (antara 18 – 20 tahun) dibandingkan perkembangan kemandirian emosional dan tingkah laku. Terdapat tiga aspek perkembangan kemandirian nilai yaitu : a. Kemampuan berpikir abstrak b. Lebih mendasarkan keyakinannya pada prinsip-prinsip umum yang memiliki dasar ideologis (prinsip moral). c. Menggunakan nilai-nilai individu sendiri dalam keyakinannya, bukan system nilai yang diturunkan oleh orang tua atau figur otoritas lainnya.
3.
PEMBAHASAN Berkaitan dengan proses komunikasi interpersonal yang dilakukan guru SLB untuk meningkatkan kemandirian emosional siswanya dapat terlihat pada bagian keinginan berkomunikasi, encoding pesan dan pengiriman pesan. Keinginan berkomunikasi disini dapat terlihat bagaiman bagaimana guru SLB memiliki motivasi untuk membuat siswanya mampu berkomunikasi secara lisan dengan lancar yang ditunjukan dengan melakukan interaksi sesering mungkin dengan siswanya yang dimulai sejak masuk kelas. Ali & Asrori dalam Natasya[22] menyebutkan faktorr eksternal yang mempengaruhi kemandirian emosional yaitu berbagai stimulasi yang datang dari lingkungan seperti pola asuh orang tua, sistem pendidikan di sekolah, dan sistem kehidupan di masyarakat. Dalam hal ini, keinginan berkomunikasi guru SLB juga berkaitan berkaitan dengan system pendidikan sekolah dimana SLB Negeri Cicendo Bandung memiliki visi untuk menghasilkan peserta didik yang mandiri yang direalisasikan melalui cara mengajar siswanya. Berawal dari keinginan berkomunikasi ini kemudian dilanjutan dengan proses encoding pesan. Pesan yang diberikan berupa pesan verbal dan non verbal. Pesan verbal yang dilakukan seperti menggunakan bahasa lisan dan bahasa isyarat secara bersamaan. Sedangkan untuk pesan non verbal terlihat pada penggunaan jarak ketika komuni komunikasi kasi berlangsung. Edward T. Hall dalam Cangara[9] menyebutkan bahwa kedekatan yang berjarak antara 18 inchi hingga 4 kaki merupakan wilayah pribadi. Artinya secara tidak langsung guru mengirimkan pesan non verbal ini untuk menggali kemampuan siswanya secaraa pribadi dan intens dengan suasana yang nyaman
Gambar 2. Skema Proses Komunikasi Interpersonal Untuk Meningkatkan Kemandirian Emosional Pada hasil penelitian telah disebutkan bahwa pengiriman pesan yang dilakukan guru SLB melalui tiga saluran yaitu sal saluran uran udara, saluran visual dan saluran taktil. Ketiga saluran komunikasi ini biasanya dilakukan secara bersamaan. Untuk saluran taktil dipergunakan guru untuk menegur atau pun mengembalikan fokus siswanya. Selanjutnya setelah pengiriman pesan, terjadi pros proses penerimaan pesan. Pada bagian ini, penerimaan pesan bisa saja berhasil diterima oleh siswa
tunarungu atau bisa saja gagal terjadi akibat hambatan yang dimiliki siswa tersebut. Ketika pesan gagal diterima siswa, maka guru kembali mengenkoding pesan yang ingin disampaikannya tersebut dengan mengulangi pesan yang sama sebanyak tiga kali atau guru biasanya menggunakan kalimat lain yang memiliki makna serupa. Apabila proses penerimaan pesan berhasil kemudian berlanjut pada decoding pesan. Sama halnya dengan penerimaan penerimaan pesan, apabila decoding gagal terjadi maka kembali pada proses encoding pesan. Setelah proses decoding berhasil dilakukan maka terjadilah umpan balik dari siswa yang ditunjukan dengan menjawab menggunakan bahasa lisan. Pada proses komunikasi interpersonal interpersonal ini kemandirian emosional tidak bisa langsung terbentuk atau pun terlihat. Adanya perbedaan kemampuan masing – masing individu dalam menerima pesan juga menjadi salah satu faktornya. Seperti yang disebutkan pada penelitian Ali & Asrori dalam Natasya[22] bahwa faktor internal yang mempengaruhi kemandirian emosional yaitu dorongan dari dalam diri remaja itu sendiri. Selain itu, Holmbeck, ck, Durbin & Kung, dalam Natasya[22] menyebutkan pula bahwa tempat tinggal atau dengan siapa remaja tinggal juga mempengaruhi kemandirian emosional. Pada kedua informan kunci di penelitian ini peneliti juga ditemukan bahwa pola asuh orangtua dan dengan siapa siswa tersebut tinggal menunjukan perkembangan kemandirian emosional yang berbeda meskipun interaksi secara interpersonal interpersonal yang dilakukan oleh guru dengan kedua siswa tersebut tidak ada perlakuan yang berbeda. Selanjutnya untuk kemandirian behavioral, berdasarkan erdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa dari tiga domain kemandirian rian behavioral yang ada hanya satu domain sa saja ja yang terlihat penerapannya yaitu kemampuan memiliki rasa self-reliance atau kepercayaan diri. Sementara itu untuk aspek kemampuan mengambil keputusan dan memiliki kekuatan terhadap pengaruh pihak lain belum peneliti temukan penerapannya dalam proses be belajar lajar mengajar antara guru SLB dengan siswa tunarungu.
Gambar 3. Skema Proses Komunikasi Interpersonal Untuk Meningkatkan Kemandirian Behavioral
Sama halnya dengan kemandirian emosional, kemandirian behavioral yang dibentuk di SLB Negeri Cicendo Bandung ini menggunakan komunikasi interpersonal yang diterapkan di sela-sela proses belajar mengajar secara formal berlangsung. Pada bagian keinginan berkomunikasi ini selain karena tuntutan pekerjaan yang memang memiliki visi untuk menghasilkan siswa yang mandiri, hal ini juga secara alamiah timbul rasa keinginan untuk membuat siswanya menjadi pribadi yang memiliki rasa percaya diri. Hal ini disalurkan melalui encoding pesan yang terlihat pada proses belajar mengajar. Encoding pesan juga dilakukan dengan menciptakan suasana kompetitif yaitu menggunakan system reward. Sistem reward yang dimaksud yaitu dengan memberikan gambar bintang diujung atas papan tulis pada siswa yang mampu menjawab. Pemilihan penggunaan system reward ini bertujuan agar suasana kompetisi antara satu siswa dengan siswa lainnya muncul yang diharapkan munculnya keberanian siswa untuk menjawab atau tampil ke depan. Selain itu juga guru sering mengecoh siswanya dengan pura-pura menjawab salah. Dalam hal ini guru menguji sejauh mana mereka memperhatikan materi pembelajaran. Setelah proses encoding selesai, penyampaian pesan dilakukan masih menggunakan ketiga saluran komunikasi yaitu saluran suara, saluran visual dan saluran taktil. Dalam hal ini saluran suaraa dan visual dominan dilakukan untuk mempertegas pesan yang ingin disampaikan guru pada siswanya. Kemudian masih serupa dengan peningkatan kemandirian secara emosional pada proses penerimaan dan decoding pesan siswa masih saja terhambat. Ketika pesan gagal di terima atau pun di decoding maka guru secara aktif untuk mengulang pesan dengan bahasa yang lebih sederhana lagi. Setelah pesan sudah bisa diterima dan didecoding oleh siswa tunarungu, umpan balik yang akan terlihat yaitu dari tingkah laku siswanya sendiri seperti berani menjawab pertanyaan, berani tampil ke depan, dan berani juga mengkoreksi jawaban guru atau siswa lain yang dirasa belum benar. Kemudian untuk kemandirian nilai, ditemukan bahwa kedua siswa tunarungu belum memiliki kemandirian nilai. Pada penelitian ini siswa tunarungu yang menjadi informan kunci merupakan siswa SDLB yang berusia sekitar 12 – 13 tahun sehingga untuk kemampuan nalar dan pemikiran secara hipotesis mereka belum mencapai tahap tersebut. Hal ini juga didukung dengan penyataan Steinberg dalam Tyas[28] yang mengungkap bahwa terdapat bukti yang menunjukan bahwa perkembangan kemandirian nilai ini muncul lebih lama (antara 18 – 20 tahun) dibandingkan perkembangan kemandirian emosional dan tingkah laku. Aprilia[3] juga menyebutkan keterbatasan informasi dan kurangnya daya abstraksi pada seorang tunarungu akan menghambat proses pencapaian pengetahuan yang lebih luas, dengan demikian perkembangan inteligensi secara fungsionalpun terhambat. Pada praktiknya dalam proses belajar mengajar pun dalam melatih kemandirian nilai ini terlihat hanya dalam hal memahami aturan sekolah dan kedisplinan waktu yang ditunjukan melalui kalimat-kalimat instruksional seperti aturan berpakaian, aturan jam masuk kelas dan lain sebagainya.
4.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan maka peneliti menyimpulkan bahwa belum semua aspek kemandirian diterapkan pada proses belajar mengajar di SLB Negeri Cicendo Bandung. Pada kemandirian emosional, dari keempat aspek kemandirian emosional hanya satu aspek yang terlihat yaitu melatih keterampilan berkomunikasi siswa tunarungu secara lisan. Pada kemandirian behavioral, dari ketiga aspek yang terlihat hanya satu aspek yaitu meningkatkan rasa percaya diri siswa tunarungu dengan menciptakan suasana kompetitif di kelas. Pada kemandirian nilai belum terlihat penerapannya pada proses belajar mengajar di SLB Negeri Cicendo Bandung. Proses komunikasi interpersonal dalam meningkatkan kemandirian ini tidak bisa hanya satu kali saja dilakukan namun harus terus menerus dilakukan pelatihan. Bagian penting pada proses komunikasi interpersonal dalam meningkatkan kemandirian ini terletak pada keinginan berkomunikasi, enkoding oleh komunikator dan penyampaian pesan kaena berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh siswa tunarungu seperti keterbatasan pendengaran dan pemaknaan pesan sehingga diperlukan usaha yang lebih bagi guru SLB. Pemberian motivasi dan perhatian oleh guru dan orangtua secara simultan diprediksi dapat membantu siswa tunarungu dalam mengembangkan kemandiriannya.
DAFTAR PUSTAKA [1] Admin. (2013). Sejarah Singkat SLB Negeri Cicendo Bandung. Diakses pada slbncicendo.com ( Jumat, 31 Oktober 2014, 20.34) [2] Alfi, Annis. (2012). Komunikasi Antarpribadi Dalam Proses Belajar Mengajar Guru Dengan Murid Berkebutuhan Khusus (Analisis Komunikasi Antarpribadi Guru dengan Murid Tunagrahita SLB BC Cibaduyut). Skripsi Ilmu Komunikasi Telkom University Bandung [3] Aprilia, Imas Diana. (2014). Model Bimbingan dan Konselng Untuk Mengembangkan Kemandirian Remaja tunarungu di SLB-B Bandung. S3 thesis, Universitas Pendidikan Indonesia. Sistem Informasi Penelitian Pendidikan. Diakses pada sippendidikan.kemendikbud.go.id (Minggu, 30 November 2014, 11.31) [4] Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. (2009). Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung : Simbiosa Rekatama Media. [5] Azwar, Saifuddin. (1998). Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar [6] Aw, Suranto. (2011). Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta : Graha Ilmu [7] Budiman, Nandang. (2011). Perkembangan Kemandirian Pada Remaja. Artikel. [Online]. Diakses pada http://ebookbrowsee.net/perkembangan-kemandirian-pdfd234962623 (Senin, 23 Maret 2015, 09.03) [8] Budyatna, Muhammad dan Leila Mona. (2011). Teori Komunikasi Antar Pribadi. Jakarta Kencana Prenada Media Group [9] Cangara, Hafied. (2008). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada [10] Daryanto. (2010). Ilmu Komunikasi 1. Bandung : PT. Sarana Tutorial Nurani Sejahtera [11] DeVito, Joseph A. (1997). Komunikasi Antarmanusia. Jakarta : Professional Book [12] DeVito, Joseph A. (2013). The Interpersonal Communication Book 13th ed .E-book [13] Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Perkembangan Jumlah Sekolah Luar Biasa (SLB) Menurut Status Tiap Provinsi. Diakses pada data.kemenkopmk.go.id (Selasa, 4 November 2014 , 10.22) [14] Effendy, Onong Uchjana.(2003).Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT Citra Aditya Bakti [15] Effendy, Onong Uchjana. (2009). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : Remaja Rosdakarya [16] Hidayat, Dasrun. (2012). Komunikasi Antar Pribadi dan Medianya. Yogyakarta : Graha Ilmu [17] Iriantara, Yosal dan Usep Syaripudin. (2013). Komunikasi Pendidikan. Bandung : Simbiosa Rekatama Media [18] Moleong, L. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda karya [19] Moleong, Lexy J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: Remaja Rosdakarya [20] Mulyana, Deddy. (2008). Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : Remaja Rosdakarya [21] Naim, Ngainun. (2011). Dasar-dasar Komunikasi Pendidikan. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media [22] Natasya, Arvini. (2013). Studi Komparatif Mengenai Kemandirian Emosional Pada Siswa SMP Yang Tinggal Di Asrama dan Yang Tinggal Di Rumah Dengan Orangtua. Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Diakses pada http://pustaka.unpad.ac.id (Senin, 23 Maret 2015 pukul 13.22) [23] Nisa, Nirma Shofia. (2013). Kemandirian Perilaku Remaja Tunarungu di SLB Permata Cianjur. Skripsi S1 Pendidikan Luar Biasa, Universitas Pendidikan Indonesia. Diakses pada repository.upi.edu ( Selasa, 17 Februari 2015 pukul 15.11) [24] Prastowo, Andi. (2011). Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media [25] Satori, Djam'an dan Aan Komariah. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta [26] Surya, Mohammad. (1996). Psikologi Pendidikan. Bandung : Pembangunan Jaya [27] Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta [28] Tyas, Maya Puspaning. (2008). Gambaran Kemandirian Anak Tunggal Dewasa Muda. Skripsi S1 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Diakses pada http://lib.ui.ac.id/ (Senin, 13 April 2015 pukul 16.27) [29] Ulfatin, N. (2013). Metode Penelitian Kualitatif di Bidang Pendidikan: Teori dan Aplikasinya. Malang: Bayumedia Publishing [30] Wardani, I.G.A.K . (2012). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Tangerang Selatan : Universitas Terbuka